Anda di halaman 1dari 141

KOMUNIKASI NARATIF KITAB BULA MALINO

DAN PESAN DAKWAH DALAM BARIS 332-383

Skirpsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom.I)

Oleh

La Ode Chusnul Huluk

NIM: 109051000058

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PERNYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah dicantumkan sesuai

ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian terbukti bahwa karya ini bukan karya asli peneliti atau

merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima

konsekuensi sesuai yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 28 September 2014

La Ode Chusnul Huluk


ABSTRAK

La Ode Chusnul Huluk


Komunikasi Naratif Kitab Bula Malino dan Pesan Dakwah dalam Baris 332-383

Kitab Kabanti Bula Malino adalah syair yang ditulis oleh Muhammad Idrus
Kaimuddin pada tahun 1824 M, sebagai bentuk upaya melestarikan kebudayaan Islam
di masa itu. Dalam perkembangan kajiannya, kitab ini megandung ajaran-ajaran
dakwah serta ajaran religionitas. Salah satu syair agama Sultan Buton ke-29 tersebut
memuat tentang cerita manusia yang pasti akan mati sehingga menasehati dirinya
agar cenderung pada kebajikan dan jauh dari kemungkaran untuk sebuah tujuan
menjadi manusia yang husnul khatimah.
Dari pernyataan di atas, muncul pertanyaan penelitian, bagaimana narasi
dakwah dalam cerita pengarang dalam kitab tersebut? Bagaimana rangkaian atau
relasi petanda perstiwa dalam narasi kitab tersebut dilihat dari karakteristik narasi?
Apa pesan dakwah dalam baris 332-383 dalam kitab yang berbentuk tulisan aksara
arab-wolio tersebut. Adapaun tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana
aktan Greimas dalam narasi kitab dan mengetahui pesan dakwah apa yang terkandung
dalam baris 332-383.
Teori yang digunakan dalam pembahasan ini adalah Model Atan Algridas
Julian Greimas yang akan melihat enam petanda dan bagaimana keterkaitan tanda
tersebut dalam narasi yang koheren serta bersifat logis dalam kitab yang dikaji.
Komunikasi naratif tersebut akan memunculkan peran-peran apa saja dalam syair
agama tersebut. Sedangkan metodologi yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini
adalah kualitatif, yaitu melakukan wawancara langsung kepada para praktisi syair
juga pemegang naskah syair tersebut. Kemudian mengumpulkan, menyusun,
menerjemahkan kembali dan menganalisis naskah kitab tersebut.
Upaya Idrus, sebagai narator, menulis rangkaian nasehat untuk dirinya yang
relevan dengan perintah QS Ali Imran [3]: 104 mengenai amar ma’ruf dan nahi
munkar. Kita Bula Malino memuat rangkaian narasi yang mempunyai koherensi
dengan logika kehidupan nyata yang mana alur narasinya tidak acak (random).
Secara terstruktur dan teratur penulis kitab menarasikan perjalanan manusia agar
mencapai tujuan husnul khatimah. Sehingga, pembaca akan terkonstruk masuk ke
dalam isi kitab yang narasinya memukau tersebut.
Kabanti Bula Malino merepresentasikan dakwah melalui narasi dalam tulisan
kitab kepada masyarakat buton. Media dakwah dalam bentuk kitab ini sudah
merambah ke masyarakat baik berbentuk buku transliterasi maupun dalam bentuk
kaset VCD. Bukti kefamiliaran syair tersebut diperkuat dengan adanya kajian dalam
bentuk buku. Namun, seyogyanya kitab tersebut dapat diformulasikan dengan
gerakan dakwah masa kini hingga bisa dikembangkan dalam bentuk Ebook bahkan
menjadi sebuah aplikasi telepon genggam “Andrioid”.

Key word: Bula, Dakwah, Kabanti, Kitab, Malino, Narasi, dan Syair.

i
KATA PENGATAR

Bismillahhirahmanirrahim

Alhamdulillah serta rasa syukur yang besar peneliti panjatkan kepada

Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan limpahan nikmat yang begitu

banyak. Sehingga dengan segala ridho Allah SWT peneliti dapat merampungkan

skripsi ini. Tanpa semua nikmat yang diberikan oleh-Nya, penelitian dan

penyusunan penelitian ini mungkin takkan selesai.

Shalawat teriring taslim senatiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad

SAW dan seluruh keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya, yang telah

mengalirkan syiar dakwah hingga terasa sampai saat ini. Proses perkembangan

gerakan dakwah pada zamannya menjadi inspirasi sejumlah ulama untuk menulis

dan membukukannya pada konteks dakwah masa khilafah hingga saat ini.

Kabanti Bula Malino merupakan Karya Agung Sultan Muhammad Idrus

Kaimuddin di Buton pada tahun 1824 M. Pesan dakwah yang berkaitan dengan

amar ma’ruf dan nahi munkar dalam syair tersebut menjadi encoding peneliti

terhadap formulasi gerakan dakwah masa kini.

Masyarakat Buton beserta peneliti merasa penting untuk mengkaji kitab

Bula Malino. Sebab, budaya kabanti ini sangat diyakini sebagai ajaran

religionitas paripurna pada masa kesultanan Buton. Kitab tersebut akan sangat

bermanfaat bagi masyarakat Buton khususnya jika telah bertranformasi menjadi

Ebook atau bahkan bisa dibuat dalam aplikasi Android seperti Al-Qur’an dan

Hadits.

ii
Hasil karya ini penulis persembahkan secara khusus kepada kedua orang

tua kedua Ayahanda La Ode Chalid dan (almh) Ibunda Wa Ode Zafia.

Dengan segala keberkahan dari Allah SWT sehingga do’a yang terus mengalir,

dukungan yang tak pernah padam baik moral maupun materil, serta kasih sayang

dari keduanya yang begitu besar menjadi motor penggerak untuk lebih optimis.

Teruntuk Ibu Syahadah Saudara kandung, (Kak Wa Ode Alfiati Kalsum,

Kak Zahid Alqaf, Kak Wahyu Hidayat, Kak Iman Wahyuddin, Kak Muh.

Tsauban, Kak Wahiduddin Ridha, Kak Wa Ode Istqomah, dan Adik Ahmad

Maqbulah), yang lebih dari sekedar membantu, bahkan mendukung peneliti

seperti mentari pagi yang membawa aura spirit tiap hari, sehingga skripsi ini bisa

terselesaikan.

Atas usainya pendidikan S-1, penelitian, dan penulisan skripsi ini, saya

berhutang budi dan ingin menyampaikan juga ucapan terima kasih yang

sebebsar-besarnya kepada beberpa individu yaitu:

1. Keluarga Besar Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

Hidyataullah Jakarta yang telah memberikan khazanah keilmuan dalam

pendidikan, keorganisasian, dan wawasan kemahasiswaan penulis selama

ini, yaitu: Dr. H. Arief Subhan, M.A (Dekan FIDKOM), Dr. Suparto, S

M.Ed, Ph.D (Wadek I), Drs. Jumroni, M. Si (Wadek II), Drs. Sunandar

Ibnu Noor, M.A (Wadek III), Rahmat Baikhaky, M.A (Kajur KPI), Fita

Faturokhmah, M. Si (Sekjur KPI), serta para Dosen lainnya yang tidak

dapat disebutkan satu persatu.

iii
2. Kepada Dosen Pembimbing skripsi, Dr. Rulli Nasrullah, M.Si, yang telah

menuntun dan mengajarkan banyak hal kepada peneliti sehingga skripsi

ini selesai dengan baik.

3. Segenap Staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Fakultas

Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah memberikan pelayanan

yang memuaskan sehingga membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini.

4. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Baubau dan Kabupaten Buton,

serta Bapak Syaifuddin, Bapak Lambalangi dan Ibu Hj. Siti Suhura,

terutama Bapak Almujazi yang telah meluangkan waktunya untuk

mempermudah peneliti mendapatkan data dan informasi yang relevan

dengan penelitian ini.

5. Buat sahabat sekaligus sebagai keluarga Peneliti (di Jakarta) yaitu, Kak

Falah Sabirin, Kak Rasid Ante Amiruddin, Kak Sabir Laluhu, Kak Hamid

Munier, Kak Samnur Abdullah, Kak Kasman, Kak La Ode Syahril,

Harsin Hamid, Muh. Awaluddin, Mujahidin Nur, Yudi Asfar, serta rekan-

rekan Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Indonesia Buton (HIPPMIB)

Bersatu-Jakarta lainnya, dan juga buat Abdul Hanafi yang lebih dari

pekerjaan Tukang Ojek telah membuat peneliti lebih dari sekedar terbantu

hingga skripsi ini selesai.

6. Tak terlupakan dalam benak serta sanubari peneliti, yaitu luapan terima

kasih kepada Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid Baubau (Buton)

sebagai lembaga pendidikan pertama yang mengajarkan banyak tentang

filsafat keislaman, hingga saat ini. Juga terimakasih kepada (alm) KH.

Syahruddin Saleh, MA, Keluarga H. Sabirin, Pondok Pesantren, KH.

iv
Abd. Rasyid Sabirin, Lc, M.A, Ust. Jafar Karim, Ust. Jamhur Baeda, Ust.

Faisal Islami Ust. Amir, Para pengajar, dan seluruh santri Pndok

Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid Baubau. Dari lingkungan dan

pendidikan lembaga inilah cakrawala wawasan dan intelektual awal

tentang keislaman dan keindonesiaan peneliti peroleh.

7. Terimaksih juga untuk Siti Musfiroh, (alm) Ahmad Riyadh Firdaus, dan

Muhammad Rifki serta teman Jurusan KPI B 2009 dan KKS DIMENSI

2012 di Desa Tolandona Matanaeo Buton Sulawesi Tenggara dengan

segala upaya silaturrahmi teman-teman sehingga peneliti makin optimis

menyelesaikan skripsi ini.

8. Terimakasih buat HMI, sebagai awal perjalanan peneliti dalam

memahami pergerakan sebagai insan yang produktif. LPM Institute UIN

Jakarta, sebagai ibu yang mengajarkan cara menulis dengan baik. LAPMI

Ciputat, adalah rumah singgah peneliti untuk mengenal jurnalistik secara

praktis. KONTRAS Music FIDKOM, telah mendukung dan mendo’akan

peneliti, juga sebagai ruang ekspresi kegamangan untuk mencurahkan

hasrat musik.

Penelti

La Ode Chusnul Huluk

v
DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...................................... 5
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 5
D. Manfaat Penlitian .................................................................... 6
E. Metodologi Penelitian ............................................................. 6
1. Pendekatan Kualitatif ........................................................ 6
2. Paradigma Penelitian ......................................................... 6
3. Metode Penelitian.............................................................. 7
4. Subjek dan Objek Penelitian ............................................. 7
5. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 7
6. Teknis Analisis Data ........................................................ 9
7. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................... 9
F. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ............................................................. 10

BAB II TINJAUAN TEORITIS


A. Syair Di Nusantara ................................................................ 12
1. Sejarah Perkembangan Syair ........................................... 12
B. Syair-syair yang Muncul di Buton .......................................... 21
1. 1. Mengenal Aksara ......................................................... 24
C. Syair Sebagai Media Dakwah ................................................. 25
1. Dakwah dan Objek Kajiannya .......................................... 25
2. Metode Dakwah ................................................................ 28
3. Media Dakwah .................................................................. 32

vi
4. Materi Dakwah .................................................................. 36
D. Semiotik dalam Syair .............................................................. 40
1. Semiotika .......................................................................... 40
2. Semiotika dalam Studi Sastra Narasi ................................ 42
E. Komunikasi Naratif dan Sastra ............................................... 47
1. Karakteristik Narasi .......................................................... 47
F. Aktan Algridas Greimas dalam Narasi ................................... 50
1. Enam Aktan Greimas ........................................................ 52

BAB III KITAB KABANTI BULA MALINO


A. Mengenal Syair Bula Malino .................................................. 56
B. Penulis Kabanti Bula Malino .................................................. 58
C. Bentuk Pengamalan Kabanti ................................................... 59
1. Masa Kesultanan ............................................................... 59
2. Masa Pasca Kesultanan (Modern) .................................... 60
D. Naskah-naskah Kabanti yang Sudah Diperoleh ...................... 61

BAB IV PEBAHASAN DAN ANALISIS SYAIR


A. Analisis Narasi Model Aktan Greimas .................................. 64
1. Aktan Subjek .................................................................... 64
2. Aktan Objek ..................................................................... 68
3. Aktan Destiator (Pengirim) ............................................. 70
4. Aktan Receiver (Penerima) .............................................. 71
5. Aktan Adjuvant (Pendukung) ........................................... 74
6. Aktan Traitor (Penghambat) ............................................ 85
B. Pesan Dakwah dalam Syair Bula Malino pada Baris 332-383 94
1. Pesan Dakwah pada Baris 332-343 ................................... 94
2. Pesan Dakwah pada Baris 344-359 ................................... 95
3. Pesan Dakwah pada Baris 360-379 ................................... 101
4. Pesan Dakwah pada Baris 380-383 ................................... 103
C. Kitab Bula Malino dalam Gerakan Dakwah Masa Kini ......... 104
1. Faktor Pendukung ............................................................. 106
2. Faktor Penghambat............................................................ 107

vii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 214
B. Saran ....................................................................................... 217

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan Narasi Ekspositoris dan Sugestif


Tabel 4.1 Aktan Subjek
Table 4.2 Aktan Objek
Tabel 4.3 Aktan Destonator (Pengirim)
Tabel 4.4 Aktan Receiver (Penerima)
Tabel 4.5 Aktan Adjuvant (Pendukung)
Tabel 4.6 Aktan Traitor (Penghambat)
Table 4.7 Tanda-tanda dalam Baris 332-383

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manuskrip Kabanti di Buton bisa dibilang dalam status jaga, kepedulian

secara ilmiah tentang kabanti sudah menipis bahkan belum berkembang pesat.

Bukan hanya itu, pemahaman bahwa semua kabanti yang ditulis oleh Ulama

dahulu di Buton merupakan upaya penyampaian dakwah tidak lagi urgent dibahas.

Entah karena kurangnya keterpanggilan hati atau efek dari globalisasi informasi,

yang jelas, jika naskah-naskah agama ini tidak diselamatkan maka akan menjadi

dongeng dan rumor belaka. Maksud diselamatkan adalah perlunya dikembangkan

serta dikaji dengan pendekatan-pendekatan tertentu hingga menjadi warisan

budaya keagamaan yang bisa digunakan dalam gerakan dakwah kontemporer

(masyarakat perkotaan).

Syair atau nyanyian tradisional merupakan hasil budaya Islam yang

memiliki pengaruh tertentu terhadap masyarakat dan umat beragama. Di seluruh

nusantara, masing-masing daerah memiliki tradisi yang berbeda. Hampir seluruh

daerah di Indonesia mengandung tradisi nyanyian atau syair daerah. Tari saman

dengan nyanyian bahasa Aceh adalah salah satu contoh. Ulama-ulama di

nusantara juga melanjutkan syiar dengan caranya masing-masing. Seperti halnya

Kabanti (syair) Buton yang ditulis oleh Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin.

Kabanti merupakan nyanyian atau syair tertulis yang tersimpan dan terjaga

oleh masyarakat Buton hingga saat ini. Kabantai Wolio atau syair buton telah

1
2

menjadi tradisi nyanyian daerah di kalangan masyarakat. 1 Dalam kamus wolio

(wolio dictionary) oleh J.C. Anceaux, kabanti bermakna puisi syair, nyanyian,

sajak.2 Sehingga, Kabanti ini berbentuk syair yang dinyanyikan.

Pada masa keemasan Islam di Kesultanan Buton, dimana saat Idrus

Kaimuddin menjabat sebagai Sultan, Seni Budaya Islam berbentuk kabanti mulai

diperkenalkan kepada masyarakat. Seni Budaya Islam di Buton pada masa itu

dimaksudkan sebagai sarana dakwah Islam. Tiga bentuk seni budaya yang

dikembangkan pada masa itu adalah. Pertama, Kabanti Wolio atau Syair Buton,

Muhammad Idrus Kaimuddin membuat syair tidak kurang dari 30 judul. Antara

lain yang terkenal adalah Bula Malino (purnama yang cerah). Beberapa penyair

ternama juga membuat kabanti di masa itu, termasuk Hatibi Bula dengan judul

Anjonga Yinda Malusa (pakaian yang tidak bakal rusak).3

Kabanti merupakan bagian dari sastra Buton yang mana tulisannya

berbentuk buri wolio (tulisan wolio) dengan model aksara Arab (bahasa Wolio).

Dalam hal ini, kabanti termasuk dalam karya yang bersifat sufistik. Sebagaimana

dikutip dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara (Dr.

Supriyanto, MA; 2009), terdapat dua jenis tradisi sastra Buton yaitu sastra tulisan

dan lisan. Namun, di era modern ini, kabanti sungguh hampir tidak punya nilai

1
Sebenarnya nama Buton hanya lazim digunakan orang luar untuk sebutan
Kesultanan Buton. Penduduk setempat terbiasa menggunakan sebutan Wolio. Yunus,
Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, (2011: 379).
2
J. C. ANCEAUX, Wolio Dictionary-wolio-english-indonesia, (Foris Publication
Holland: 1987), Hal. 51.
3
Dikutip dari catatan Hj. Siti Surah di kediamannya, Kaobula (Maret, 2013). Ia
mencatat dari ungkapan almarhum saudaranya yang interview langsung sebelum beliau
wafat.
3

lagi. Sebab, sudah mulai digeser oleh budaya-budaya modern seperti yang kita

lihat saat ini.

Pada masa Kerajaan Islam Buton, keberdaan sastra lisan tidak begitu

berkembang dalam lingkungan keraton. Umunya, sastra jenis ini dari segi sisinya

hanya memuat tradisi lokal. Sastra tulisan buton identik dengan sastra islam.

Sastra ini ditulis dalam aksara arab. Sastra tulisan ini ada yang berbentuk puisi

dan ada yang berbentuk prosa. Sastra yang berbentuk puisi atau syair, masyarakat

lokal lebih mengenalnya tiga istilah kabanti nazamu atau nazami.4

Muhammad Idrus Kaimuddin telah meninggalkan beberapa karya puisi

dan nyanyian inspiratif bagi umat Islam khususnya di Buton. Contoh penggalan

bait dari Syair Bula Malino;

Bismillahi kaasi karo-ku siy


Dengan nama Allah sayangnya diriku ini
Alhamdu padaa-ka kumatemo
Segala puji tak lama lagi aku akan mati
Ka-janjinamo Oputa mo-makaa-na
Sudah janji Allah swt Yang Maha Kuasa
A pekamate bari-baria batua
Akan mematikan kepada semua hamba.5

Namun, para praktisi kabanti seperti Ibu Suhurah mengakui bahwa kabanti

wolio sudah ditelan masa. Beberapa faktor penyebab antara lain adalah:

1. Tidak ada moment tertentu sebagai sarana pelestarian Kabanti

2. Hilangnya rasa kepedulian dan kepahaman tentang Kabanti Wolio.

Walaupun pada tahun 2012 oleh Wali Kota Bau-Bau pernah menggelar

lomba Kabanti antar Instansi Departemen Pendidikan. Namun, setelah itu belum

4
Supriyanto, Sejarah Kebduayaan Islam, Icv. SHADRA: 2009), Hal. 86.
5
Lamra, Bula Malino:Syair Wolio (Tarafu: 1994), h. 5.
4

terdengar lagi lantunan syair Buton tersebut dalam bentuk lomba maupun dalam

aktifitas keseharian. Sementara itu, menurut Al-Muajzi, kandungan kabanti adalah

ajaran dan ilmu spiritual yang cukup dahsyat. Pada bulan Mei 2013, Ibu Surah

diminta Amirul Tamim, mantan Walikota Baubau, untuk melantunkan kabanti

Momondona Taruamia (sebuah kebersamaan yang sah) di acara akad nikah

putrinya.

Syair Bula Malino terdiri dari 382 suku kata. Lamrah, salah satu yang

menerjemahkan syair tersebut, mengakui banyak kekurangan.6 Sebab,

menurutnya, pembendaharaan bahasa Wolio yang sangat tidak menunjang atas

dasar kosa kata dalam hukum intonasi. Sehingga, penulis ingin menerjemahkan

kembali dan meneliti dengan model analisi naratif.

Alasan mengapa syair bisa relevan dengan analisis narasi adalah

sebagaimana dikutib dalam buku Eriyanto, Aanalisis Naratif (2013: 9). Analisis

naratif adalah analisis mengenai narasi, baik narasi fiksi (novel, puisi, cerita

rakyat, dongeng, film, komik, musik, dan sebagainya) ataupun fakta-seperti berita.

Menggunakan analisis naratif menempatkan teks sebagai sebuah cerita (narasi)

sesuai dengan karakterisitiknya. Artinya, dalam syair ada sebuah narasi yang

bercerita secara berurutan hingga menjelaskan makna utama dari syair.

Peneliti hanya akan mengkaji pesan dakwah pada baris 332-383. Tema

tersbut telah menjadi kajian yang menarik seperti yang dipublikasikan melalui

jurnal-jurnal online. Meskipun demikian, masih perlu adanya kritikan dan

terjemahan mendalam tentang kitab ini. Peneliti akan membatasi pembahasan

skripsi mengenai kitab ini hanya pada baris 332-383. Selain baris ini populer, juga

6
Lihat di Lamra Tarafu, Syair Wolio, Alih Aksara dan Bahasa, (Buton), hal. 72.
5

disebabkan adanya faktor lain berupa kekurangan bagi peneliti sendiri dalam hal

waktu dan sebagainya untuk menyelesaikan skripsi ini.7

Berdasarkan beberapa hal di atas, penulis akan melakukan penelitian

skripsi dengan judul Komunikasi Naratif Kitab Bula Malino dan Pesan

Dakwah dalam Baris 332-383

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk bahan analisis dalam penyusunan skripsi ini, peneliti membatasi

permasalahan pada Syair Karya Muhammad Idrus Kaimuddin dengan judul Bula

Malino (Purnama yang Cerah) Tema Terakhir mengenai Analogi Kematian

dengan Tradisi Berlayar. Adapu rumusan masalah pada penelitian skripsi ini

adalah:

1. Bagaimana narasi pada keseluruhan Syair Bula Malino menurut Aktan

Algridas Julian Greimas pada baris 332-383?

2. Pesan-pesan dakwah apakah yang terkandung dalam baris 332-383

pada Syair Bula Malino tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian bertujuan untuk mencapai

beberapa hal sebagai berikut:

1. Mengetahui tanda-tanda apa yang terkandung dalam baris 332-383

pada narasi Syair Bula Malino dilihat dari model aktan Greimas.

7
http://pusatstudiwakatobi.blogspot.com/2011/04/mengungkap-ketokohan-
muhammad-idrus.html (diakses 25 September 2014). (Belum menunjukkan makna
berimbang dari apa yang ditulis dalam blog tersebut, tidak jauh berbeda dengan tulisan La
Niampe dalam Nasehat Muhammad Idrus Kaimuddin (Kendari, 2009).
6

2. Mengetahui pesan-pesan dakwah apa saja yang terkandung dalam baris

332-383 pada Syair Bula Malino.

D. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Secara Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi ilmiah dan dapat

berguna bagi pengetahuan tentang dakwah bagi khazanah keilmuan

Islam serta dapat menjadi referensi penelitian di masa yang akan

datang.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan motivasi juga sebagai

kontribusi serta membawa wawasan bagi kalangan praktisi dakwah

dan aktivis dakwah khususnya pada masyarakat Buton agar konsisten

dalam memsperjuangkan nilai-nilai dakwah terutama pada kaum

awam.

E. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Kualitatif

Pendekatan kualitatif yang penulis lakukan terfokus pada analisis

wacana yang mengacu pada model Aktan Algirdas Greimas. Metode

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara,

observasi, dokumentasi, dan instrument. Analisis naratif berfokus pada

penelitian model aktan Greimas.


7

2. Paradigm Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigm kritis. Kritis adalah, representasi

yang berperan dalam bentuk subjek tertentu, tema-tema dalam narasi,

maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu, analisis naratif akan

melahirkan interpretasi yang baik serta menemukan apa saja yang menjadi

tanda aktan Greimas dalam narasi tersebut.

3. Metode Penelitian

Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian analisis

naratif, model Aktan Algirdas Greimas. Analisis linguistik adalah sebuah

upaya (penguraian) untuk memberi penjelasan dari teks yang dikaji oleh

seseorang atau kelompok untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya,

dalam sebuah konteks harus disadari akan adanya kekeliruan tulisan dan

bahkan kesalahan interpretasi dari peneliti lainnya. Oleh karena itu,

analisis yang terbentuk disadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari

berbagai faktor.

4. Subjek dan Objek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah Kabanti Bula Malino (Syair Purnama

yang Cerah). Sedangkan objek penelitiannya adalah bentuk dakwah dalam

sarana (media) tertulis dalam syair Idrus Kaimuddin tersebut.

5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, sesuai dengan metode

penelitian yang akan digunakan yaitu:


8

a. Observasi: yaitu penulis mengumpulkan sejumlah tulisan Kabanti

Bula Malino baik sudah berbentuk buku maupun tulisan tangan

dari beberapa Tokoh Adat Buton serta menganalisis isi teks yang

terdapat pada syair tersebut. Peneliti melakukan pengamatan

mengenai tulisan sebanyak dua kali, langsung ke pulau buton.

b. Wawancara: penulis melakukan wawancara dengan: Al-Mujazi:

Pemegang naskah, sekaligus mewarisi tulisan dan koleksi naskah

Abdul Mulku Zahari (alm) Ayahnya “Kabanti Bula Malino”.

Syafiuddin: selain mengajar di Universitas Dayanu Ihsanuddin,

beliau juga seorang pemerhati Kabanti serta hal-hal yang

menyangkut adat wolio. Lambalangi: ia merupakan Tokoh yang

telah mengumpulkan dan mentrasliterasi sejumlah judul Kabanti

termasuk Bula Malino. Beliau juga sebagai manta Kepala Kantor

Departemen Agama Kecamatan Wolio Sulawesi Tenggara. Siti

Suhura: ia salah satu pelantun syair kabanti yang profesional.

c. Dokumentasi: dalam hal ini, penulis mengumpulkan dokumentasi

yang berbentuk gambar (foto) maupun naskah kabanti yang telah

ditulis ulang oleh sejumlah Tokoh yang berkaitan dengan syair

yang diteliti tersebut.

6. Teknik Analisis Data

Berkenaan penelitiaan ini adalah analisis naratif kualitatif yang di

mana hasil temuan dan fakta yang diperoleh dari proses wawancara,

observasi, serta data-data pendukung lain melalui studi pustaka dan


9

dokumentasi akan dipetakan. Selanjutnya, penulis menghimpun untuk

meninjau kembali agar analisis dilakukan dengan cara sistematis.

7. Waktu dan Tempat Penelitian

Penulis melakukan penelitian pada bulan Februari dan Maret 2014 dan

merampungkan tulisan hingga setahun lamanya. Penelitian ini langsung

dilakukan dengan cara interview secara langsung di pulau buton.

F. Tinjauan Pustaka

Buku berjudul Nasihat Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin yang

diterbitkan oleh FKIP Unhalu (UHO), Kendari: 2009 karya La Niampe. Pada

bukunya, ia menerjemahkan dan menafsirkan kitab Bula Malino tersebut, yang

disertakan dengan pedoman Transliterasi dari buri (tulisan) wolio (buton) ke huruf

latin. Bedanya dengan skripsi yang dibuat dengan peneliti pada penggunaan teori

analisis. Kemudian, dalam menerjamahkan dan menerjemahkan menafsirkan tiap

baris dari kitab tersebut perkata secara keseluruhan (tidak hanya menafsirkan

secara umum saja seperti dalam buku di tersebut).

Membara di Api Tuhan, judul buku terbitan Proyek Penerbitan Buku

Sastra Indonesia dan Daerah tahun 1983 (cetakan 1961) karya La Ode Malim.

Buku tersebut merupakan terjemahan dan penghayatan La Ode Malim atas Syair

Bula Malino yang kemudian terangkai dalam sebuah buku. Peneliti sangat

termotivasi dengan adanya buku yang mula-mula hanya bisa didapatkan di Alden

Library Ohio University tersebut untuk meneliti dengan pendekatan metode

penelitian berbeda serta kajian teori dakwah yang kiranya bisa diformulasikan

dalam gerakan dakwah masa kini.


10

G. Sistematika Penulisan

Agar penelitian lebih produktif, maka peneliti membuat sistematika

penelitian ke dalam lima bagian, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini, peneliti membagi lagi ke beberapa bagian, yaitu: Latar

Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,

Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika

Penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

Bagian ini merupakan kerangka berpikir dari peneliti yang meliputi

tentang Sejarah Perkembangan Syair, Syair-syair yang Muncul di Buton, Syair

sebagai Media Dakwah, Semiotik dalam Syair, Komunikasi Naratif dan Sastra,

dan Analisis Naratif Model Aktan Algirdas Greimas.

BAB III KITAB KABANTI BULA MALINO

Pada bab ini peneliti menjelaskan objek penelitian, berupaya mengenali

Syair Bula Malino, Penulis Syair Bula Malino, Bentuk Pengamalan Syair

(Kabanti), dan Naskah-naskah Kabanti yang sudah diperoleh.

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS SYAIR

Bagian ini menyangkup pembahasan Analisis Narasi Model Aktan

Greimas pada Baris 332-383 dan Pesan Dakwah dalam syair Bula Malino pada

Baris 332-383.
11

BAB V PENUTUP

Pada bab terakhir ini, peneliti membaginya kepada kesimpulan dari

penelitian dan hasil penelitian serta saran untuk berbagai pihak yang terkait

dengan penelitian ini, daftar pustakam dan lampiran-lampiran.


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Syair di Nusantara

Syair adalah jenis puisi lama. Syair terdiri dari empat baris, setiap baris

mengandung empat kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari sembilan sampai

dua belas suku kata. Syair juga tidak mempunyai unsr-unsur sindiran di dalamnya.

Aturan sanjak akhir ialah aaaa dan sanjak dalam (internal rhyme) (A. Teeuw,

1966b: 431-432) hampir-hampir tidak ada.1

1. Sejarah Perkembangan Syair

R. O. Winsted berpendapat bahwa syair pertama kali muncul dalam sastra

Melayu pada abad ke-15 dalam Syair Ken Tambuhan. Bukti-bukti yang

dikemukakannya ialah pemakaian kata-kata Kawi seperti lalangan (kebun), kata-

kata Jawa seperti ngambara dan ngulurkan, perbendaharaan kata yang kaya, mitos

Hindu dan satu gaya yang klasik (R. O. Winsted, 1958: 152).

A. Teeuw tidak setuju dengan pendapat ini. Ditunjukkannya bahwa Syair

Ken Tambuhan baru ditulis pada abad ke-17 atau ke-18; unsur-usnur Jawa yang

terdapat dalam Syair Ken Tambuhan belum tentu langsung berasal dari bahasa

Jawa oleh penulisnya. Ia mungkin berasal dari cerita Panji dan wayang yang

tersebar luas di alam Melayu sejak zaman dahulu kala; tambahan pula, kita juga

tidak boleh menafsirkan adanya hubungan langsung dengan Jawa sesudah zaman

Malaka, yaitu abad ke-15.

1
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (YOI: 2011), h. 562.

12
13

Menurut Teeuw, kemunculan syair dalam sastra melayu tidak mungkin

lebih awal daripada abad ke-16. Sekitar tahun 1600, syair masih berarti puisi

secara umum dan bukan sesuatu jenis puisi tertentu.. dalam Tajus Salatin yang

tertulis pada tahun 1602/1603 tidak terdapat sekuntum pun puisi yang mirip

dengan struktur syair sekarang. Syair sebagai jenis puisi yang berbaris empat dan

bersanjak aaaa baru tersebar sesudah Hamzah Fansuri menamai puisi yang

ditulisnya ruba‟i (puisi yang berbaris empat). Tetapi ruba‟i Hamzah Fansuri

berbeda dengan ruba‟i sejenis puisi Arab/Parsi. Ruba‟i Hamzah Fansuri

merupakan bagian dari sebuah puisi yang lebih panjang, sedangkan ruba‟i sebagai

puisi Arab/Parsi adalah sebuah puisi yang berdiri dengan sendirinya.2

Mula-mula puisi Hamzah itu terdiri atas beberapa kesatuan yang disebut

ruba‟i, kadang-kadang bait dan sekali-sekali syi‟r atau sya‟ir. Bila puisi-puisi

jenis ini tersebar luas dan digemari orang, ia mendapat nama baru, yaitu syair.

Penyair-penyair lain juga menulis puisi jenis ini (syair), tetapi tidak membatasi

diri pada puisi tasawuf lagi. Semua perkara disyairkan dalam bentuk ini.

Pengaruhnya juga kian meluas. Dalam sastra Jawa muncul sejenis puisi yang

berasal dari syair, yaitu sangir. Pada tahun 1670, seorang Melayu di Makassar

menggunakan bentuk ini untuk menulis sebuah sysair sejarah, yaitu Syair Perang

Mengkasar. Lambat-laun, penulis-penulis di berbagai daerah menggunakan puisi

jenis ini untuk menulis puisi romantik seperti Syair Ken Tambuhan.

Demikianlah kita melihat pada abad ke-17, syair-syair sudah bermunculan

di Johor, Palembang, Riau, Banjarmasin, Batavia, (Jakarta), dan Ambon, bahkan

di seluruh Nusantara. (A. Teeuw, 1966:446).

2
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (YOI: 2011), h. 563.
14

Jauh sebelum A. Teeuw mengemukakan kemungkinan Hamzah Fansuri

sebagai pencipta syair Melayu yang pertama, P. Voorhoeve sudah membuat

kesimpulan yang sama. Dalam sebuah ceramahnya kepada pelajar-pelajar bahasa

Melayu di Paris, tahun 1952, P. Voorhoeve sudah mengatakan bahwa syair

Melayu yang mula-mula mungkin ditulis oleh Hamzah Fansuri. Alasan yang

dikemukakan hampir serupa dengan alasan yang dikemukakan oleh A. Teeuw,

a. Tiada syair sebelum Hamzah Fansuri

b. Tiada bentuk syair dalam bahasa-bahasa Nusantara kecuali sangir

dalam bahasa jawa yang berasal dari syair melayu; dan

c. Pada paruh pertama abad ke-17, puisi Hamzah Fansuri tidak dikenal

sebagai syair melainkan ruba‟i dan Valentijin dalam bukunya (1726)

menyebutkan tentang Hamzah Fansuri yang terkenal dengan syairnya.

Bukan itu saja. Ar-Raniri yang dalam hal agama, adalah saingan

Hamzah Fansuri, juga pernah dipengaruhi oleh Hamzah dan menulis

beberapa ruba‟i dalam Bustanus Salatin (P. Voorhoeve, 1968: 277-

278).

Syed Naguib Al-Attas menyatakan pendapatnya dengan tegas. Dalam dua

risalah (Syed Naguib Al-Attas, 1968, 1971), menyerang A. Teeuw karena ketidak

tegasannya dalam mengemukakakn bahwa Hamzah Fansuri sebgai pencipta syair

Melayu yang pertama. Kesimpulannya ialah Hamzah Fansuri mendapat pengaruh

atau bentuk asal puisinya dari puisi Arab, syi’r yang berbaris empat, seperti syi‟r
15

yang dikarang Ibnul Arabi dan Iraqi yang banyak dikutipnya (Syed Naguib Al-

Attas, 1968: 58).3

Amin Sweeney, seorang sarjana yang pernah mengajar di Universitas

Kebangsaan Malaysia, tidak setuju dengan pendapat ini. Menurutnya, syair

Hamzah Fansuri mendapat pengaruh yang kuat dari nyanyian rakyat (pantun)

seperti yang terdapat dalam Sejarah Melayu. Ia sampai kepada kesimpulan ini

sesudah menyelidiki ciri-ciri syair, yaitu irama (metre), sanjak akhir (rhyme),

pembagian kesatuan (units) dan pengelompokkan kesatuan.

Irama syair adalah sama seperti irama pantun. Bukan saja pantun kadang-

kadang muncul dalam syair, baris-baris syair juga kadang-kadang terdapat dalam

panting. Doorenbos, seorang sarjana Belanda telah menunjukkan dalam

disertasinya bahwa beberapa baris syair Hamzah Fansuri adalah sama seperti yang

dipakai dalam pantun. Dalam sebaris pantun atau syair selalu ada semacam

perhentian (caesura) ditengah-tengahnya, yaitu sesudah perkataan yang kedua

dalam sebaris pantun atau syair yang mengundang empat perkataan itu. Sanjak

akhir yang dipakai dalam syair Hamzah Fansuri adalah aaaa. Ini adalah pola

sanjak yang terdapat dalam nyanyian-nyanyian dalam Sejarah Melayu.

Seandainya Hamzah mencontoh puisi Arab, setiap bait Fansuri pasti hanya

terdiri dari dua baris saja dan bukan empat baris. Bait yang berbaris empat tidak

dikenal dalam puisi arab. Nyatalah yang menjadi contoh syair Hamzah bukan

puisi arab melainkan nyanyian (pantun) empat baris yang terdapat dalam Sejarah

Melayu (R. Roolvink, 1966: 455-457). Tentang pengelompokkan kesatuan pula,

3
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (YOI: 2011), h. 564.
16

kesatuan-kesatuan ini tidak berdiri sendiri melainkan bersambung untuk

mengembangkan suatu tema atau cerita. Dalam puisi Arab, satu kesatuan (bait)

yang dua baris itu merupakan satu keseluruhan (Amin Sweeney, 1971: 58-66).

Sebagai kesimpulan boleh dikatakan bahwa sungguhpun Hamza Fansuri

menggunakan Istilah puisi Arab, bait, syair, ruba‟i, syair Hamzah Fansuri

bukanlah tiruan dari puisi Arab. Pengaruh nyanyian (pantun) pada syair Hamzah

Fansuri jauh lebih besar dari puisi Arab. Syair Melayu, biarpun memakai istilah

bahasa Arab adalah puisi Melayu asli juga (C. Hooykas, 1947: 72).4

Menurut isinya, syair dapat dibagi menjadi lima golongan berikut.

a. Sayir Panji

Syair panji sebagian besar adalah olahan dari bentuk prosanya, misalnya

Syair Panji Semirang adalah olahan dari Hikayat Panji Semirang, Syair Angreni

adalah saduran dari Panji Angreni. Sering hanya isinya saja yang diambil dan

bukan judulnya. Satu lagi antara perbedaan hikayat Panji dan syair Panji ialah

bahwa hikayat panji berbelit-belit plotnya, sedang syair Panji lebih sederhana

plotnya. Biasanya satu syair hanya menceritakan satu cerita utama saja. Misalnya

Syair Ken Tambuhan, hanya menceritakan percintaan dan perwakinan Raden

Menteri dan Ken Tambuhan; Syair Undakan Agung Udaya hanya menceritakan

kisah Panji tinggal di Daha dan memakai nama Undakan Agung Udaya. Contoh

syair Panji adalah; Syair Ken Tambuhan, Syair Angreni, Syair Damar Wulan,

Syair Undakan Agung Udaya, dan Cerita Wayang Kinudang.5

4
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (YOI: 2011), h. 565.
5
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (YOI: 2011), h. 566.
17

b. Syair Romantis

Syair romantis adalah jenis syair yang paling digemari. Harun Mat Piah

pernah mengkaji 150 buah syair untuk disertasinya di Universitas Kebangsaan

Malaysia (1989) dan mendapati bahwa 70 buah (47 persen) adalah syair romantis.

Ini tidak mengherankan karena sebagian besar syair romantik menguraikan tema

yang biasa terdapat di dalam cerita rakyat, penglipur lara dan hikayat. Contoh dari

syair romantis adalah; Syair Bidasari, Syair Yatim Nestapa, Syair Abdul Muluk,

Syair Sri Banian, Syair Sinyor Kosta, Syair Cinta Berahi, Syair Raja Mambang

Jauhari, Syair Tajul Muluk, Syair Sultan Yahya, dan Syair Putri Akal.

c. Syair Kiasan

Syair kiasan atau simbolik adalah syair yang mengisahkan percintaan

antara ikan, burung, bunga, atau buah-buahan. Hans Overbeck menemani syair

jenis ini sebagai syair binatang dan bunga-bungaan (Malay animals and fllower

shers, 1934). Menurut Overbeck lagi, syair jenis ini biasanya mengandung kiasan

atau sindiran terhadap peristiwa tertentu. Misalnya Syair Ikan Terubuk adalah

syair yang menyindir peristiwa anak raja Malaka meminang putri Siak. Syair

Burung Pungguk menyindir seorang pemuda yang ingin mempersunting seorang

gadis yang lebih tinggi kedudukannya. Ada juga syair yang menyindir

petualangan cinta saudagar pengembara atau memberi nasehat pada

pendengarnya. Contoh judul syair kiasan adalah; Syair Burung Pungguk, Syair

Kumbang dan Melati, Syair Nuri, Syair Bunga Air Mawar, Syair Nyamuk dan

Lalat, Syair Kupu-kupu dengan Kembang dan Balang, dan Syair Buah-buahan.
18

d. Syair Sejarah

Syair sejarah adalah syair yang berdasarkan peristiwa sejarah. Di antara

peristiwa sejarah yang paling penting ialah peperangan, dan karena itu, syair

perang juga merupakan syair sejarah yang paling banyak dihasilkan. Peristiwa

sejarah itu mungkin juga merupakan kisah raja yang memerintah atau residen

Belanda. Syair Sultan Mahmud di Lingga, misalnya, menceritakan masa

kehidupan Sultan Mahmud Syah beserta keluarganya, Syair Residen De Brau pula

mengisahkan peranan yang dimainkan residen de Brau dalam pembuangan

Perdana Menteri dari Palembang ke tanah Jawa. Contoh judul syair kiasan adalah;

Syair Perang Mengkasar, Syair Kompeni Welanda Berperang dengan Cina, Syair

Perang di Banjarmasin, Syair Raja Siak, Syair Sultan Ahmad Tajuddin, dan Syair

Siti Zubaidah Perang Melawan Cina.

e. Syair Agama

Syair agama adalah golongan syair yang paling penting. Telah dijelaskan

bahwa Hamzah Fansurilah orang pertama menulis puisi dalam bentuk syair yang

kemudian diikuti oleh penyair-penyair lainnya di Aceh seperti Abdul Jamal,

Hasan Fansuri dan beberapa orang penyair-penyair yang tidak bernama. Abdul

Rauf sendiri juga pernah menulis sebuah syair yang berjudul Syair Makrifat (Van

Ophuijsen, 78). Perkara yang disyairkan di dalam syair-syair semuanya bersifat

keagamaan. Hanyalah kemudian dan dengan perlahan-lahan syair dipakai untuk

menyairkan hal-hal yang tidak ada kaitan dengan agama.


19

Berdasarkan isinya, syair agama dapat dibagi pula kepada beberapa jenis.

1) Jenis pertama ialah syair sufi yang dikarang oleh Hamzah Fansuri

dan penyair-penyair sezaman.

2) Jenis kedua adalah syair yang menerangkan ajaran Islam seperti

Syair Ibadat, Syair Sifat Dua Puluh, Syair Rukun Haji, Syair

Kiamat, Syair Cerita di dalam Kubur dan sebagainya.

3) Jenis ketiga ialah Syair Anbia, yaitu syair yang mengisahkan

riwayat hidup para nabi, misalnya Syair Nabi Allah Ayub, Syair

Nabi Allah dengan Firaun, Syair Yusuf, Syair Isa, dan lain-lain.

4) Jenis keempat ialah syair nasihat, yaitu syair yang bermaksud

memberi pengajaran dan nasihat kepada pendengar atau

pembacanya, misalnya Syair Nasihat, Syair Naihat Bapak Kepada

Anaknya, Syair Nasihat Laki-laki dan Perempuan dan sebagainya.

Syair Takbir Mimpi dan Syair Raksi mungkin juga dapat

digolongkan ke dalam jenis ini.

Contoh judul syair agama adalah; Syair Hamzah Fansuri, Syair Perahu,

Syair Dagang, Bahr An-Nisa‟, Syair Kiamat, Syair Takbir Mimpi, dan Syair

Raksi.6

Ricklefs mengutip bahwa bahwa Hamzah Fansuri dan Syamsuddin

menulis karya-karya mengenai ilmu tasawuf Islam. Kemudian, pada masa

kekuasaan Ratu Taj ul-Alam (1641-75), Abdurrauf merupakan pengarang yang

terpenting di istana, menulis karya-karya ilmu hukum Syafi’i dan juga ilmu

6
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (YOI: 2011), h. 611.
20

tasawuf. Tetapi, masih bertahannya cerita-cerita Hindu seperti Hikayat Seri Rama

menggambarkan bahwa kesastraan Melayu tidak seluruhnya didominasi oleh

karya-karya yang berilhamkan Islam.

Sajak macapat menggunakan bahasa Jawa yang sangat baik. Kesastraan

yang berbahasa Jawa Kuno mencerminkan peranan penting yang dimainkan Bali

dalam memelihara warisan kesastraan pra-Islam Jawa setelah Jawa menjadi Islam.

beruhungan dengan kesastraan Bali terbaibagi menjadi tiga kelompok atas dasar

bahasanya: Jawa Kuno, Jawa Pertengahan (Jawa-Bali/Bali-Jawa), dan Bali. Buku-

buku yang berbahasa Jawa Kuno masih dapat ditemukan di Jawa, namun sebagian

besar hanya dikenal dalam bentuk salinan-salinan dari Bali atau Pulau Lombok

yang letaknya berseblahan. Ini berhubungan dengan penolakan Bali terhadap

Islam dan tetap mempertahankan warisan kesastraan dan agama yang di Jawa

telah berubah (namun tidak pernah terhapus sama sekali) sebagai akibat

islamisasi.

Kesastraan yang berbahasa Jawa Pertengahan merupakan suatu subyek

yang problematis. Sebagian besar dari naskah-naskah itu dinamakan kidung

(nyanyian). Naskah-naskah tersebut terutama berisi legenda-legenda romantis

mengenai zaman Majapahit di Jawa (Harsawijaya, Rangga Lawe, Sorandaka,

Sunda). Orang-orang Bali juga menulis dalam bahasa mereka sendiri, terutama

mengenai sejarah kerajaan-kerajaan mereka yang didapati dalam bentuk sajak.

Begitupun Suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, keduanya mempunyai

kesastraan yang berkaitan erat, baik prosa maupun sajaknya. Kesastraan mereka

menggunakan tulisan asli yang nyata-nyata berbeda dari tulisan Arab maupun

Jawa, yang mempunyai kesamaan dengan tulisan tersebut adalah beberapa tulisan
21

Sumatera yang pada dasarnya berasal dari India. Selain itu, masih ada tradisi-

tradisi kesastraan Indonesia lain di samping tradisi-tradisi kesastraan tersebut di

atas.7

Nampaknya, relevan dengan Alifuddin yang mengatakan bahwa Yunus

menyebut Buton terkena pengaruh ajaran-ajaran tasawuf Hamzah Fanshuri dan

Syamsuddin Sumatrani sebagaimana yang berkembang di Aceh pada akhir abad

ke-16 dan awal abad ke-17. Lebih lanjut Yunus mengemukakan, bahwa ajaran

yang tampak di Buton pada pertengahan abad ke-17 adalah ajaran Martabat Tujuh

atau konsep manusia sempurna.8 Senada dengan Ricklefs, khususnya

Syamsuddin, Abdurrauf, dan ar-Raniri semuanya menerapkan doktrin tasawuf

tentang tujuh tahapan asal-usul (martabat), yang didalamnya Tuhan mewujudkan

diri-Nya di dunia yang fana ini, yang mencapai puncaknya pada manusia

sempurna/insan kamil (lihat Rifleks, 2011:78).

B. Syair-syair yang Muncul di Buton

Terdapat dua jenis tradisi sastra Buton yaitu sastra tulisan dan sastra lisan.

Pada masa kerajaan Islam Buton, tampaknya keberdaan sastra lisan tidak begitu

berkembang dalam lingkungan Keraton. Umumnya sastra jenis ini dari segi isinya

hanya memuat tradisi lokal; pada masa kesultanan dibersihkan dari kehidupan

dunia keraton. Sastra tulisan di Buton identik dengan sastra Islam. Selain isinya

memperlihatkan pengaruh atau alam pemikiran islam, sastra ini juga ditulis dalam

aksara Arab yang oleh masyarakat pendukungnya menyebutnya buri wolio. Sastra

7
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Gajah Mada University Press,
Cetakan kesepuluh: Yogyakarta, 2011), hal. 77-87.
8
M. Alifuddin, Islam Buton: Interaksi Islam dengan Budaya Lokal, (Badan
Litbang dan Dilat Departemen Agama, 2007), hal. 148-149.
22

tulisan ini ada yang berbentuk, prosa, dan syair. Sastra dalam bentuk puisi atau

syair masyarakat lokal lebih mengenalnya dengan istilah kabanti atau nazamu.

Sastra tulisan di Buton secara garis besar dapat dibagi menjadi dua

golongan. Pertama, ialah karya-karya yang bersifat sufistik seperti karya-karya

Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, Syeikh Haji Abdul Ganiu (kenepulu bula),

Abdul Hadi, Haji Abdul Rakhim, dan La Kobu. Mereka adalah para ulama lokal

yang mendalam pengetahuannya tentang Islam dan mempunyai kecenderungan

terhadap sufisme. Salah satu Kabanti (syair) yang cukup populer pada masanya

adalah syair bula malino karya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin.9

Sedangkan golongan yang kedua adalah karya-karya yang memperlihatkan

sastra Islam dalam bahasa melayu atau karya-karya ciptaan baru yang

memperlihatkan pengaruh agama atau peradaban islam terhadap penulisnya.

Karya-karya yang memperlihatkan pengaruh sastra Islam secara langsung ialah

karya-karya saduran (sastra terjemahan) seperti tula-tulana Nuru Muhammad,

terjemahan dari hikayat Nur Muhammad, tula-tulana koburu terjemahan dari syair

kubur, kitabi masaalah sarewu, terjemahan dari kitab seribu masalah.10

Kabanti merupakan nyanyian atau syair yang tersimpan dan terjaga oleh

masyarakat Buton. Kabantai Wolio atau syair wolio/buton telah menjadi tradisi

nyanyian daerah di kalangan masyarakat.11 Dalam kamus wolio (wolio dictionary)

9
La Ode Muh. Syukur, Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara, (CV.
Shadra: 2009), Hal. 86.
10
Ibid, h. 90.
11
Sebenarnya nama Buton hanya lazim digunakan orang luar untuk sebutan
Kesultanan Buton. Penduduk setempat terbiasa menggunakan sebutan Wolio. Yunus,
Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, (2011: 379).
23

oleh J.C. Anceaux, kabanti bermakna puisi syair, nyanyian, sajak.12 Pada

pertengahan abad ke-19, Haji Abdul Gani menulis naskah syair (kabanti). Di

antaranya yang diterjemahkan oleh Abdul Mulku Zahari adalah Ajonga Yinda

Malusa (Pakaian yang Tidak Kusut).13 Termaksud syair Kanturuna Mohelana

(Lampu Orang yang Berlayar) anonym (Ikram, 2002: 2).14

Lambalangi, adalah seorang yang menulis ulang dan mengumpulkan beberapa

kabanti wolio mengatakan bahwa pada 1824 di masa Diponegoro, karena

pergaulan di Buton sudah jauh dari norma-norma agama. Sehingga, Muhammad

Idrus Kaimuddin membuat kabanti pada saat itu. Kata para orang tua dulu ada 100

lebih judul kabanti yang tertulis. Namun, hingga saat ini sudah 21 tahun yang

ditemukan baru 35 judul kabanti.15

Disamping menumbuhkan kesusastraan dalam bahasa asli, beberapa

daerah telah pula menciptakan sastra dalam bahasa Melayu seperti Aceh,

Minangkabau Sulawesi Selatan dan Tenggara, Bima, dan Maluku. Bahasa itu

khususnya digunakan untuk menulis teks-teks yang mempunyai kepentingan

kenegaraan, seperti Hikayat Aceh (Aceh), Bo‟ Sangaji Kai (Bima), Hikayat Tanah

Hitu (Ambon), Istiadat Tanah Negeri Butun (Buton). Di lingkungan bahasa Sunda

12
J. C. ANCEAUX, Wolio Dictionary-wolio-english-indonesia, (Foris
Publication Holland: 1987), h. 51.
13
Achadiati Ikram, Katalok Naskah Buton: Koleksi Abdul Mulku Zahari,
(Jakarta, Yayasan Obor Indonesia: 2002), Hal. 5.
14
Lihat juga Ikram (2002:2) Kanturuna Mohelana menjadi syair yang dianggap
sebuah sejarah yang mengungkap latar belakang nama Buton.
15
Wawancara Pribadi dengan Lambalangi, Tanggal 25 Maret 2014
(dikediamannya, Tarafu, Baubau, Sulawesi Tenggara).
24

dan Jawa tetap dihasilkan sastra agama Islam dalam bahasa daerah dengan tata

aksara Arab yang disesuaikan, yaitu pegon.16

C. Mengenal Aksara

Berkenaan dengan aksara arab pada tulisan kabanti, sebenarnya secara

keseluruhan, aksara yang ditemukan dalam naskah tulisan tangan mempunyai dua

sumber, yaitu India dan Arab, meliputi kurun waktu abad ke-9 sampai abad ke-20.

Kedua sumber tersebut tersebar ke Sumatera, Jawa, Kalimantan, Madura, Bali,

Sulawesi, dan Maluku. Hadirnya teknologi percetakan yang disebarluaskan

dengan cara pendidikan formal bersama kedatangan bangsa Eropa dan terutama

kekuasaan pemerintah kolonial memberi pukulan telak kepada kehidupan seni

tulis tangan.17

Tradisi manuskrip lambat laun, tetapi pasti, ditinggalkan untuk suatu

teknologi yang lebih mudah. Bukan hanya itu, aksara daerah akan terdesak oleh

jenis tulisan yang sudah lazim dipakai di dunia para penguasa dari Eropa.

Pertarungan yang tidak seimbang akhirnya menggeser aksara kea lam sejarah.

Begitupun bahasa daerah untuk tulisan, kini dalam proses kepunahan. Walau

masih ada juga masyarakat yang tetap memilih menggunakan dan memelihara

16
Achadiati Ikram dkk, Mukhlis PaEni:Editor Umum, Sejarah Kebudayaan
Indonesia: Bahasa, Sastra, dan Aksara, (Rajawali Pers, Jakarta: 2009), h. 78-79.
17
Lihat Ikram, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Bahasa, Sastra dan Aksara,
(2009: 270). Tidak semua komunitas manusia memerlukan aksara atau tulisan, kata Ong,
bahasa hakikatnya adalah lisani (oral). Itu terbukti dalam penelitian bahwa di antara
puluhan ribu bahasa yang pernah digunakan di dunia hanya sekitar 106 yang memiliki
sistem tulisan yang menghasilkan kepustakaan. Artinya, sebagian besar tidak mengenal
tulisan (Ong, 1980:7). Kemduian, di antara kurang lebih 3000 bahasa yang kini hidup
hanya kira-kira 78 yang mempunyai kesusastraan tertulis. Sehingga, dari tempat-tempat
rekayasa sistem tulisan yang disebut di atas itulah, dan terutama dari Asia Minor
kemudian pengenalan aksara menyebar sehingga banyak bangsa dapat mengambil alihnya
dan mentransformasikannya tanpa perlu menciptakannya sendiri.
25

aksara daerah dan tulisan tangan untuk tujuan-tujuan tertentu (lihat Ikram, 2009:

279-280).

D. Syair Sebagai Media Dakwah

1. Dakwah dan Objek Kajiannya

Secara etimologi, kata Da‟wah berasal dari bahasa Arab yang berarti:

panggilan, seruan, atau ajakan. Bentuk perkataan tersebut dalam bahasa Arab

disebut mashdar. Sedangkan bentuk kata kerja (fi‟il)nya adalah memanggil,

menyeru atau (Da‟aa, Yad‟uu, Da‟watan).18

Secara terminologi, beberapa ahli mengemukakan pengertiannya sebagai

berikut:

a. Pof. Thoha Yahya Umar, dakwah Islam adalah mengajak manusia

dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah

Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan

akhirat.19

b. Menurut M. Quraish Shihab, dakwah adalah seruan atau ajakan kepada

keinsyafan atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik

dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat.20

c. Menurut M. Arifin, dakwah adalah suatu kegiatan ajakan dalam bentuk

lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang dilakukan secara

sadar dan terencana dalam usaha mempengaruhi orang lain secara

18
Drs. Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
Hal. 1.
19
Prof. H. M. Thoha Yahya Umar. MA, Imu Dakwah, (Jakarta: CV. Al-Hidayah,
2002), Hal. 7.
20
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), Hal. 194.
26

individu maupun kelompok supaya timbul dalam dirinya suatu

pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan, serta pengamalan terhadap

ajaran agama, message yang disampaikan kepadanya tanpa ada unsur

pemaksaan.21

Dakwah menurut Sayyid Qutub memberi batasan dengan ”mengajak” atau

“menyeru” kepada orang lain masuk ke dalam sabil (jalan) Allah SWT bukan

untuk mengikuti da’i atau sekolompok orang. Ahmad Ghusuli menjelaskan bahwa

dakwah merupakan pekerjaan atau ucapan untuk mempengaruhi manusia supaya

mengikuti Islam. Abdul al Badi Shadar membagi dakwah membagi dua tataran

yaitu dakwah fardiyah dan dakwah ummah. Sementara itu, Abu Zahroh

menyatakan bahwa dakwah itu dapat dibagi menjadi dua hal; pelaksana dakwah,

perseorangan, dan organisasi. Sedangkan Ismail al-Faruqi, mengungkapkan

bahwa hakikat dakwah adalah kebebasan, universal, dan rasional. Kebebsan akan

menunjukkan dakwah itu bersifat universal (berlaku untuk semua umat dan

sepanjang masa).22

Pada intinya, menurut Ilaihi, pemahaman lebih luas dari pengertian

dakwah yang telah didefinisikan oleh para ahli tersebut adalah: pertama, ajakan

ke jalan Allah SWT. Kedua, dilaksanakan secara berorganisasi. Ketiga, kegiatan

untuk mempengaruhi manusia agar masuk jalan Allah SWT. Keempat, sasaran

bisa secara fardiyah atau jama‟ah. Dalam konteks dakwah istilah amar ma‟ruf

nahi munkar secara lengkap dan populer dipakai adalah yang terekam dalam Al-

Qur’an, Surah Ali-Imran, ayat 104:

21
M. Arifin, Paikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi, (Jakarta: Bumi Aksara,
2000) Cet. Ke-5, Hal. 6.
22
Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Rosdakarya: Bandung, 2010), hal. 14.
27

                 

 

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru pada
kebajikan, menyuruh pada yang ma‟ruf dan mencegah yang munkar;
mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Ciri khas materi dakwah menurut Anwar Arifin adalah al-khair, al-ma‟ruf,

dan al-munkar, sebagaimana ayat tersebut di atas. Meskipun demikian, dalam

kenyataannya terdapat perbedaan penafsiran. Kemudian, materi dakwah yang lain

secara umum adalah keyakinan dan pandangan hidup Islam yang bersifat

universal dan sesuai dengan fitrah dan kehanifaan manusia. Semua pandangan itu

termaktub dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul.23

Objek kajian dakwah ialah hubungan interaksional antara subjek dakwah

dan subjek sasaran dakwah dengan menggunakan metode, media, dan materi

dakwah tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Kutipan Ilaihi tersebut juga

akhirnya dinyatakan secara proposional dalam ilmu proposisi yaitu:

a. Subjek dakwah tertenut berhubungan dengan religionitas subjek

sasaran dakwah.

b. Media dakwah tertentu berhubungan dengan religionitas subjek

sasaran dakwah.

c. Materi dakwah tertnetu berhubungan dengan religionitas subjek

sasaran dakwah.

d. Situasi objektif subjek sasaran dakwah berhubungan dengan

religionitas sendiri.

23
Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi Komunikasi, (Graha Ilmu,
Yogyakarta: 2011), h.20-21.
28

Hampir seirama dengan pernyataan di atas, objek kajian ilmu dakwah

menurut Cik Hasan Bisri adalah unsur substansial ilmu dakwah yang terdiri dari

enam komponen yaitu: dai’i, mad’u, metode, materi, media, dan tujuan dakwah.

Sedangkan objek forma ilmu dakwah adalah sudut pandang tertentu yang dikaji

dalam disiplin utama ilmu dakwah yaitu disiplin Tbaligh, Pengembangan

Masyarakat Islam, dan Manajemen Dakwah. Sedangkan objek materi ilmu

dakawah adalah proses penyampaian umat manusia.24

2. Metode Dakwah

a. Pengertian Metode dakwah

Dari segi bahasa, metode berasal dari dua kata yaitu “meta” (melalui)

dan “hodos” (jalan. Cara) (Arifm, 1991:61). Dengan demikian, dapat

diartikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk

mencapai suatu tujuan. Sumber yang lain menyebutkan bahwa metode

berasal dari bahasa Jerman methodeicay artinya ajaran tentang metode.

Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata methods artinya jalan

“thariq” (bahasa Arab) (Hasanuddin, 1996:35). Metode berarti cara yang

telah diatur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai suatu maksud.

Sehingga, metode dakwah adalah cara-cara tertentu yang dilakukan

oleh seorang da’i (komunikator) kepada mad’u untuk mencapai suatu

tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang (Tasmara, 1997:43). Hal ini

mengandung arti bahwa pendekatan dakwah harus bertumpuh pada suatu

pandangan human oriented menempatkan penghargaan yang mulia untuk

manusia.

24
Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah (Rosdakarya: Bandung, 2010), h. 29.
29

b. Macam-macam Metode Dakwah

Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan


pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat di jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang
yang mendapat petunjuk (QS Al-Nahl [16]: 125).

Dari ayat berikut dapat dipahami bahwa metode dakwah itu

meliputi tiga cakupan, yaitu:

1) Bil-Hikmah

Kata “hikmah” dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 20 kali baik

dalam bentuk nakiroh maupun ma’rifat. Bentuk mashdarnya adalah

“hukuman” yang diartikan secara makna aslinya adalah mencegah.

Jika dikaitkan dengan hokum berarti mencegah dari kezaliman, dan

jika dikaitkan dengan dakwah maka berarti menghindari hal-hal yang

kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah.

Ibnu Qoyim berpendapat bahwa pengertian hikmah yang paling

tepat adalah seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan Malik yang

mendefinisikan bahwa hikmah adalah pengetahuan tentang kebenaran

dan pengamalannya, ketepatan dalam perkataan dan pengamalannya.

Hal ini akan tercapai dengan memahami Al-Qur’an dan mendalami

Syariat Islam (Qoyyim: 226).

Sementara itu, menurut Imam Abdullah bin Ahmad Mahmud An-

Nasafi, arti dakwah bil-hikmah adalah dakwah dengan menggunakan

perkataan yang benar dan pasti, yaitu dalil yang menjelaskan

kebenaran dan menghilangkan keraguan (Hasan Fadhullah: 44).


30

2) Al-Mau‟idza Al-Hasanah

Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi adalah perkataan-

perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau

memberikan nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau

dengan Al-Qur’an (Hasanuddin, 1996:37). Sementara menurut Abdul

Hamid al-Bilali, merupakan salah satu manhaj (metode) dalam

dakwah untuk mengajak ke dalam dakwah untuk mengajak ke jalan

Allah dengan memberikan nasihat atau bimbingan yang lemah lembut

agar mereka mau berbuat baik (Al-Bilali, 1989).

Wahidin Saputra mengutip dan menklasifikasikan mau‟idzah

hasanah dalam beberapa bentuk yaitu, nasihat atau petuah, bimbingan

(pengajaran dan pendidikan), kisah-kisah, kabar gembira dan

peringatan, dan wasiat (pesan-pesan positif).

Jubaedi mengatakan bahwa metode tersebut salah satunya

merupakan nasihat agar umat Islam melaksanakan ajarannya

sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, seperti

melaksanakan shalat limat waktu, anjuran agar umat Islam bersatu,

tolong menolong antar sesama dan anjuran untuk berbuat baik.25

Sementara metode kisah dijadikan cara untuk menyampaikan

pesan-pesan Islam oleh para Mubaligh, terutama ketika memperingati

acara Maulid Nabi, Isra Mi’raj, dan pengajian-pengajian yang

memerlukan ilustrai penjelasan dengan kisah (lihat Aripuddin, 2011:

100).

25
Acep Aripuddin, Pengembangan Metode Dakwah, (PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta: 2011), h. 84.
31

3) Al-Mujadalah

Menurut Al-Jarisyah, dalam kitabnya Adab al-Hiwar wa-

almunadzarah, mengartikan bahwa “al-Jidal” secara bahasa dapat

bermakna “datang untuk memilih kebenaran” dan apabila berbentuk

ism “al-jadlu” maka berarti “pertentangan atau perseteruan yang

tajam” (Al-Jarisyah, 1989:19).

Sementara menurut an-Nasafi, kata ini bermakna “berbantahan

dengan baik yaitu dengan jalan yang sebaik-baiknya dalam

bermujadalah, antara lain dengan perkataan yang lunak, lemah

lembut, tidak dengan ucapan yang kasar atau dengan mempergunakan

suatu perkataan yang bisa menyadarkan hati, membangunkan jiwa,

dan menerangi akal pikiran, ini merupakan penolakan bagi orang

yang enggan melakukan perdebatan dalam agama.

Wahidin Saputra berpendapat bahwa Al-Mujadalah merupakan

tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang

tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima

pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti

yang kuat. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan

menghormati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran,

mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman

kebenaran tersebut.26

26
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.
242-255.
32

3. Media Dakwah

Berbicara soal media, kata “media” merupakan jamak dari bahasa Latin

yaitu medion, yang berarti alat perantara. Sedangkan secara istilah media berarti

segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan

demikian, dapat dirumuskan bahwa media dakwah berarti segala sesuatu yang

dapat digunakan untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan (lihat

Syukir, 1993:163). Seorang Da‟i dalam menyampaikan ajaran Islam kepada umat

manusia tidak akan lepas dari sarana atau media (wasilah) dakwah. Kepandaian

untuk memilih media dakwah yang tepat merupakan salah satu unsur keberhasilan

dakwah.

Bagi Tarmizi Taher, internet juga merupakan media dakwah Islam. Pada

masa kini dakwah telah menggunakan medium bit, binary dan digital. Dakwah

dalam bentuk tulisan di buku mendapatkan komplementernya berupa text dan

hypertext di Internet. Meskipun jumlahnya masih sangat sedikit, kalangan umat

Islam di Indonesia yang menggunakan Internet sebagai media dakwah jumlahnya

kian hari kian bertambah. Fenomena dakwah digital tersebut berkembang seiring

dengan berkembangnya teknologi informasi (TI) di dunia.27

Bagi Asmuni Syukur, media dakwah adalah segalah sesuatu yang

dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan.

27
Nurul Badru Tamam, Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher, (Jakarta: Grafindo
Khazanah Ilmu, 2005), h. 157-158.
33

Media dakwah ini dapat berupa barang (material), orang, tempat, kondisi tertentu

dan sebagainya.28

Dr. Taufik al-Wa’iy menyebut beragama-macam sarana bertabligh atau

berdakwah. Apalagi pada era teknologi, telah bermacam-macam dan beraneka

ragam media atau sarana dakwah. Semuanya dapat dikelompokkan sebagaimana

berikut ini:

a. Sarana sam‟iyah (audio), seperti radio, seminar, khotbah, diskusi,

pelajaran, dan lain-lain.

b. Sarana maqru‟ah (bacaan), seperti Koran, majalah, buku, selebaran,

dan lain-lain.

c. Sarana bashriyah (video), seperti televise, drama, bisokop, dan lain-

lain.

d. Sarana syakhsiyah (profil), seperti pertemuan, dakwah fardiyah,

percakapan, basa-basi, dan lain-lain.29

Beberapa media dakwah yang dikutip oleh Asmuni Syukur (Syukur: 168-

180) adalah sebagai berikut:

a. Lembaga Pendidikan Formal

Lembaga pendidikan formal yang memiliki kurikulum, siswa

sejajar kemampuannya, pertemuan rutin, dan sebagainya. Seperti

Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan lain sebagainya.

Dalam kurikulum yang dianutnya terdapat bidang studi agama apalagi

28
Asmuni Syukur, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya, Al-Ikhlas), h.
163.
Taufik al-Wa’iy, “Da‟wah Ilallah” Dakwah ke Jalan Allah: Muatan, Saran,
29

dan Tujuan, (Jakarta: Robbani Press, 2010), h. 352.


34

lembaga pendidikan yang di bawah lingkungan Kementrian Agama.

Dengan pendidikan agama tersebutlah menunnjukkan bahwa lembaga

formal merupakan media dakwah. Sebab, pendidikan agama pada

dasarnya menanamkan ajaran Islam kepada anak yang bertujuan

melaksanakan perintah Allah (dakwah).

b. Lingkungan Keluarga

Keluarga adalah kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan

anak atau kesatuan sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang

masih ada hubungan darah. Keluarga memiliki kepala keluarga yang

berkuasa atas segalanya di dalam keluarga dan juga sebagai sosok

yang disegani.

Pada umumnya, di dalam keluarga terdapat kesamaan agama, tapi

ada juga bermacam-macam agama yang dianutnya. Bagi kepala

keluarga beragama Islam, kesempatan yang baik keluarganya dapat

dijadikan media dakwah, seperti membiasakan anaknya shalat, puasa,

dan sebagainya sebagaimana disabdakan Rasulullah saw:

“Suruhlah anak-anakmu menjalankan ibadah shalat bila mana


sudah berusia tujuh tahun, dan apabila telah berusia sepuluh
tahun pukullah ia (bila tidak mau menjalankan shalat tersebut)
dan pisahkan tempat tidurnya” (Al-Hadits).

c. Organisasi-organisasi Islam

Oraganisasi Islam sudah tentu berasaskan ajaran Islam. Begitupun

tujuan organisasinya, menyingguny ukhuwah islamiyah, dakwah


35

islamiah, dan sebagainya. Maka, organisasi Islam seperti ini dapat

dikatakan sebagai media dakwah.

d. Hari-hari Besar Islam

Sebagai tradisi Umat Islam Inonesia, setiap peringatan hari besar

secara seksama mengadakan upacara-upacara. Upacara peringatan hari

besar Islam dilaksanakan di berbagai tempat, di istana Negara, kantor-

kantor, sampai di daerha pelosok pedesaan. Di sinilah da‟i memiliki

kesempatan yang baik dalam menyampaikan misi dakwahnya. Baik

bersifat pengajian umum maupun selamatan di surau-surau atau tempat

lainnya. Kebaikan hari-hari besar memang biasa dijadikan sebagai

media dakwah.

e. Media Massa

Media yang berupa radio, televisi, surat kabar/majalah, juga

dipergunakan sebagai media dakwah. Baik melalui rubrik/acara khusus

agama ataupun acara/rubrik yang berbentuk sandiwara, puisi, lagu-

lagu, dan sebagainya.

f. Seni Budaya

Beberapa group kesenian dan juga kebudayaan menunjukkan

perannya dalam usaha penyeruan dakwah Islam (amar ma‟ruf nahi

mungkar). Seperti group qosidah, dangdut, musik band, sandiwara,

wayang kulit, dan sebagainya (Syukur:163).


36

4. Materi Dawkah

Materi dakwah adalah isi pesan yang disampaikan da’i kepada mad’u.

Pada dasarnya, pesan dakwah itu adalah ajaran Islam itu sendiri. Secara umum

dapat dibagi beberapa kelompok yaitu:

a. Pesan Akidah, meliputi Iman kepada Allah Swt, Iman kepada

Malaikat-Nya, Iman kepada kitab-kitab-Nya, Iman kepada Rasul-rasul-

Nya, Iman kepada Hari Akhir, dan Iman kepada Qadha-Qadar.

b. Pesan Syair’ah, meliputi ibadah thaharah, shalat, zakat, puasa, haji,

serta mu’amalah.

 Hukum perdata meliputi: hukum niaga, hukum nikah, dan hukum

waris,

 Hukum public meliputi: hukum pidana, hukum negara, hukum

perang, dan damai.

c. Pesan Akhlak, meliputi akhlat terhadap Allah Swt, akhlak terhadap

makhluk yaitu manusia, diri sendiri, tetangga, masyarakat, serta akhlak

terhadap bukan manusia yaitu flora, fauna, dan sebagainya.30

Sampai dengan abad ke-8 H/14 M, belum ada pengislaman penduduk

pribumi Nusantara secara besar-besaran. Dalam pola perkembangan dakwah di

Indonesia sebelum masa penjajahan, baru pada abad ke-9 H/14 M, penduduk

pribumi memeluk islam secara massal. Menurut para pakar sejarah, bahwa masuk

islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan

saat itu kaum muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu,

30
Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Rosdakarya: Bandung, 2010), h. 20.
37

ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam, seperti Kerjaan

Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Buton, Cirebon, Ternate, dan lain-lainnya.

Dalam literatur yang beredar dan menjadi arus besar sejarah, masuknya

Islam ke Indonesia selalu diidentikkan dengan penyebaran agama oleh orang

Arab, Persia, ataupun Gujarat. Walaupun ada penemuan Slamet Mulyana bahwa

Islam di Nusantara tidak hanya berasal dari wilayah India dan Timur Tengah,

akan tetapi juga dari Cina, tepatnya Yunan. Setelah armada Tiongkok Dnasti

Ming yang pertama kali masuk Nusantara melalui Palembang tahun 1407 M,

kemudian Laksamana Ceng Ho membentuk Kerjaan Islam di Palembang yang

dalam perkembangannya Kerjaan Islam Demaklah yang lebih dikenal.31

Sunan Bonang atau Maulana Makhdum Ibrahim adalah putra Sunan

Ampel dan Nyai Ageng Malina. Pemilik julukan Prabu Nyokrokusumo itu adalah

termasuk penyokong dari Kerjaan Demak dan ikut pula membantu pendirian

Masjid Agung di kota Bintaro Demak. Selain mendirikan pendidikan dan dakwah

Islam, salah satu program dakwah yang dikembangkannya adalah berinteraksi

dengan masyarakat dan menciptakan gending-gending atau tembang-tembang

jawa yang sarat dengan misi pendidikan dakwah Islam (Hefni, 2007: 177). Seperti

halnya Idrus Kaimuddin membuat syair (kabanti) buton, tembang ciptaan Sunan

Bonang juga membuat seperti Simon, Dandang Gulo, Pangkur, dan lain-lain.

Berkaitan dengan yang dilakukan Idrus, Sunan Bonang juga melakukan

kodifikasi atau pembukuan dakwah yang diandili oleh murid-muridnya. Kitab itu

ada yang berbentuk puisi maupun prosa yang sampai saat ini dikenal sebagai

31
Harjani Hefni, Lc, M.A, Pengantar Sejarah Dakwah (Kencana: Jakarta, 2007),
h. 171-172.
38

Suluk Sunan Bonang (Hefni, 2007). Berkenaan dengan hal tersebut, syair yang

dibuat dengan pendekatan tasawuf atau religionitas adalah juga merupakan saran

dakwah Islam.

Yusuf Qardhawi dalam Retorika Islam mengatakan bahwa dakwah di jalan

Allah SWT dapat dilakukan dengan menulis buku, membangun lembaga

pendidikan, mempresentasikan ceramah-ceramah di pusat keilmuan, atau

menyampaikan khutbah jum’at dan sebagainya. Ada pula yang melakukan

dakwah dengan kalimat thayibah (baik), pergaulan yang baik dan keteladanan.

Selain itu, ada lagi bentuk dakwah dengan menyediakan fasilitas-fasilitas material

demi kemaslahatan dakwah, bahkan dakwah melalui seni, baik seni suara maupun

seni musik.32

Menurut Esa Poetra, yang dikutip Aripudin, bahwa lagu-lagu dan puji-

pujian pada masa penjajahan merupakan media yang bisa menumbuhkan

ketenangan dan keberanian. Pada masa Nabi Muhammad saw, pernah suatu ketika

dua kali pasukan tentara Islam dipukul tentara Quraisy, Rasulullah sempat

meminta dikumpulkan penyanyi-penyanyi terbaik dengan meminta Hindun

menjadi lead vocal-nya. Dengan segala ridha-Nya, perang ketiga akhirnya

dimenangkan pasukan Islam (lihat Aripudin, 2012: 137-138).

Berdasarkan prisnsip al-hikmah dan biqadri „uquulihim, Wali Songo

memanfaatkan seni budaya lokal (seni suara, seni karawitan, dan wayang) sebagai

media dakwah. Sebagaimana Islam-Demak masyarakat umumnya menggunakan

tembang gede, sebuah seni suara Jawa-Hindu. Karena tembang tersebut dirasa

32
Acep Aripuddin, Dakwah Antarbudaya, (Rosdakarya, Bandung: 2012), h. 137.
39

kurang menarik dan kurang praktis, maka Sunan Kalijaga, Sunan Giri, dan Sunan

Bonang (Wali Janget Tinelon/Tiga Serangkai) mengganti dengan tembang

macapat dengan lagu-lagunya yang terkenal. Tembang macapat memiliki banyak

lagu, di antaranya lagu Kinanti karya Sunan Kalijaga, isi syairnya sebagai berikut:

Bismillahi- sun pitutu (r)


Pitutur laku basuki
Ing donya tum‟keng delaha (n)
Mung samungkem mring Ilahi
Hasirik laku duraka
Asih tresno mring sasami

Artinya:
Bismillahi aku memberi wejangan
Wewejang merupakan laku selamat
Di dunia sampai akhirat
Hanya taat kepada Tuhan
Pantang melakukan perbuatan durhaka
Kasih sayang kepada sesama manusia33

Islam telah memberikan acuan moral (akhlak) bagi para penyair untuk

membela agama, menonjolkan nilai-nilai yang baik, melawan musuh-musuh kaum

muslimin dengan kata-kata dan membantah setiap tipu daya para pendusta. Al-

Qur’an juga mencela cara-cara yang dilakukan para penyair sesat, yang membuat

kalimat-kalimat tak berakhlak dan berisi khayalan, mimpi-mimpi dan tipu daya

yang menjauhkan pembacanya dari hakikat kebenaran. Seperti firman Allah QS.

Asy-Syu’ara: 224-227)

Bahkan, Rasulullah Saw mendukung syair-syair yang menyerukan pada

keutamaan dan nilai-nilai yang terpuji. Sebuah riwayat yang menyebutkan: beliau

bersabda, “Sesungguhnya dari syair itu terdapat hikmah” juga “Dengan syair itu,

33
Nawari Ismail, Filsafat Dakwah: Ilmu Dakwah dan Penerapannya, (PT. Bulan
Bintang, Jakarta: 2004), h. 113-114.
40

kalian laksana melempar busur-busur panah ke mereka” (Bukhari, Al-Jami‟ Ash-

Shahih, juz 7, hal. 107).34

E. Semiotik dalam Syair

1. Semiotika

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.

Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya berusaha mencari jalan

di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika,

atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari

bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai dalam

hal ini tidak dapat dicampur adukkan dengan mengkomunikasikan (to

communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa

informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga

mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179; Kurniawan,

2001:53).

Sobur mengutip bahwa Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya

sendiri, dan makna ialah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda

(Littlejohn, 1996:64). Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang

amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk

nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan

maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda

merujuk kepada semiotika. Chalrles Sanders Peirce (dalam Littlejohn, 1996:64)

34
Muhammad Amahzun, Manhaj Dakwah Rasulullah, (Qisthi Press, Jakarta:
2004), h.201-202.
41

mendefinisikan semiosis sebagai “a relationship among a sign, an object, and a

meaning (suatu hubungan di antara tanda, objek, dan makna)”.

Kata “semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani semeion yang

berarti “tanda” (Sudjiman dan van Zoest, 1996: vii) atau seme, yang berarti

“penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1999:4). Semiotika berakar dari studi klasik

dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika (Kurniawan, 2001:49).

“Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya

hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api.

Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak

memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti

(significant) dalam kaitannya dengan pembaca. Pembaca itulah yang

menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan

konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra,

misalnya, kerap diperhatikan hubungan sintaksis antara tanda-tanda

(strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan (semantik).

Sebuah teks, apakah itu surat cinta, makalah, iklan, cerpen, puisi, pidato

presiden, poster politik, komik, kartun, dan semua hal yang mungkin menjadi

“tanda” bisa dilihat dalam aktivitas penanda: yakni, suatu proses signifikasi yang

menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi.35

2. Semiotika dalam Studi Sastra (Narasi)

Narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan

dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi. Narasi
35
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (PT Remaja Rosdakarya: 2009) h. 15-17.
42

berusaha menjawab pertanyaan “Apa yang telah terjadi?” Ada narasi yang hanya

bertujuan untuk memberi informasi kepada para pembaca, agar pengetahuannya

bertambah luas, yaitu narasi ekspositoris. Di samping itu, ada juga narasi yang

disusun dan disajikan sekian macam, sehingga mampu menimbulkan daya khayal

para pembaca. Ia berusaha menyampaikan sebuah makna kepada para pembaca

melalui daya khayal yang dimilikinya. Narasi semacam ini adalah narasi sugestif.

Di antara kedua ekstrim ini terjalinlah bermacam-macam narasi dengan tingkat

informasi yang semakin berkurang menuju tingkat daya khayal yang semakin

bertambah.

d. Narasi Ekspositoris

Narasi ekspositoris bertujuan untuk menggugah pikiran para pembaca

untuk mengetahui apa yang dikisahkan. Sasaran utamanya adalah rasio,

yaitu berupa perluasan pengetahuan para pembaca sesudah membaca kisah

tersebut. Narasi menyampaikan informasi mengenai berlangsungnya suatu

peristiwa. Narasi ekspositoris dapat bersifat khas atau khusus dan dapat

pula bersifat generalisasi.

Narasi ekspositoris yang bersifat generalisasi adalah narasi yang

menyampaikan suatu proses yang umum, yang dapat dilakukan siapa saja,

dan dapat pula dilakukan secara berulang-ulang. Sementara narasi yang

bersifat khusus adalah narasi yang berusaha menceritakan suatu peristiwa

yang khas, yang hanya terjadi satu kali. Peristiwa yang khas adalah

peristiwa yang tidak dapat diulang kembali, karena ia merupakan

pengalaman atau kejadian pada suatu waktu tertentu saja.


43

e. Narasi sugestif

Seperti halnya dengan narasi ekspositoris, narasi sugestif juga pertama-

tama bertalian dengan tindakan atau perbuatan yang dirangkaikan dalam

suatu kejadian atau peristiwa. Seluruh rangkaian kejadian itu berlangsung

dalam suatu kesatuan waktu. Tetapi tujuan atau sasaran utamanya bukan

memperluas pengetahuan seseorang, tetapi berusaha memberi makna atas

peristiwa atau kejadian itu sebagai suatu pengalaman. Karena sasarannya

adalah makna peristiwa atau kejadian itu, maka narasi sugestif selalu

melibatkan daya khayal (imajinasi).

Narasi sugestif merupakan suatu rangkaian peristiwa yang disajikan sekian

macam sehingga merangsang daya khayal para pembaca. Pembaca

menarik suatu makna baru di luar apa yang diungkapkan secara eksplisit.

Narasi tidak bercerita atau memberikan komentar mengenai sebuah cerita,

tetapi ia justru mengisahkan suatu cerita atau kisah. Seluruh kejadian yang

disajikan menyiapkan pembaca kepada suatu perasaan tertentu untuk

menghadapi peristiwa yang berada di depan matanya. Kesiapan mental

itulah yang melibatkan para pembaca bersama perasaannya, bahkan

melibatkan simpati atau antipati mereka kepada kejadian itu sendiri.

Supaya memudahkan dan lebih jelas perbedaannya, maka di table

berikut akan dikemukakan secara singkat perbedaan Narasi Ekspositoris

dan Narasi Sugestif.36

36
Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), h. 135-
138.
44

Table 2.1
Perbedaan Narasi Ekspositoris dan Sugestif
Narasi Ekspositoris Narasi Sugestif
1. Memperluas pengetahuan. 1. Menyampaikan suatu makna atau
suatu amanat yang tersirat.
2. Menyampaikan informasi 2. Menimbulkan daya khayal
mengenai suatu kejadian.
3. Didasarkan pada penalaran 3. Penalaran hanya berfungsi
untuk mencapai kesepakatan sebagai alat untuk menyampaikan
rasional. makna, sehingga kalau perlu
penalaran dapat dilanggar.
4. Bahasanya lebih condong ke 4. Bahasanya lebih condong ke
bahasa informative dengan titik bahasa figuratif dengan menitik-
berat pada penggunaan kata- beratkan penggunaan kata-kata
kata denotatif. konotatif.

Dalam papernya, Nasrullah mengutip bahwa, semiotika naratif bisa

diartikan sebagai upaya penghitungan (recounting) atau pembacaan kembali

terhadap dua atau lebih situasi yang secara logikal terhubung, baik dari segi waktu

maupun tempat, dan terkait dengan konsistensi sebuah subjek dari keseluruhan

teks atau pesan untuk melihat narasi atau perubahan cerita dari tanda; termasuk

untuk mengungkap makna tersembunyi dari tanda (lihat Stam, Burgoyne, &

Flitterman-Lewis, 1992:70; Prince, 1987). Bagi Greimas (1965) semiotika naratif

adalah “the orientation towards a goal, and therefore a sense of closure and

wholeness, as a crucial determinant of naarative”.37

Sobur juga menulis, bahwa dalam lapangan sastra, karya sastra dengan

keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda. Sebagai

suatu bentuk, karya sastra secara tulis akan memiliki sifat kerungan (Santosa,

1993:36). Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung

tabiat tanda-menanda yang menyiratkan makna semiotika. Dari dua tataran (level)

37
Rulli Nasrullah, Jurnal Semiotika Naratif Graimas dalam Iklan Busana
Muslim, (www.kangarul.com), h. 3.
45

antara mimetik dan semiotik (atau tataran kebahasaan dan mitis) sebuah karya

sastra menemukan keutuhannya untuk dipahami dan dihayati.

Wawasan semiotika dalam studi sastra memiliki tiga asumsi (Aminuddin,

1997:77).

1) Karya sastra merupakan gejala komunikasi yang berkaitan dengan (i)

pengarang, (ii) wujud sastra sebagai sistem tanda, dan (iii) pembaca.

2) Karya sastra merupakan salah satu bentuk penggunaan sistem tanda

(system of sign) yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu.

3) Karya sastra merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca

sejalan dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya.

Dalam literasi semiotics, karya sastra disikapi dengan literary discourse.

Sasaran kajian sastra secara ilmiah bukan pada maujud konkret wacananya,

melainkan pada metadiscourse atau bentuk dari ciri kewacanaan yang tidak

teramati secara konkret.

Maka, menyikapi karya sastra sebagai literary discourse, berarti juga

menyikapi karya sastra sebagai wacana ataupun sebagai gejala komunikasi.

Namun, berbeda dengan gejala komunikasi pada umumnya, komunikasi dalam

wacana sastra ditujukan untuk membuahkan efek keindahan tertentu. Efek

keindahan tersebut bukan merujuk pada dunia di luar wacana sastranya,

melainkan unsur-unsur yang secara potensial teremban dalam karya sastra itu

sendiri secara internal. Karena itulah komunikasi dalam wacana sastra juga dapat

disebut sebagai bentuk komunikasi dalam wacana sastra juga dapat disebut

sebagai bentuk komunikasi puitik (Aminuddin, 1997:71). Dalam bukunya


46

Language in Literature, Jakobson (1987:71) menggambarkan keberdaan karya

sastra sebagai gejala komunikasi puitik melalui bagan sebagai berikut:

Referensial
Puitik
Emotif Fatis Konotatif

Gambar 2.1 Gejala Komunikasi Puitik

Pada dasarnya, penyusunan spesifikasi di atas didasarkan pada sistem

komunikasi verbal yang mengandung komponen: (i) pembicara (addreser), (ii)

konteks perututran, (iii) pesan, (iv) kontak, (v) kode sebagai wahana encoding,

dan (vi) pendengar (addressee). Dalam komunikasi tersebut, pembicara dan

pendengar berada dalam hubungan langsung. Dikaitkan dengan komponen-

komponen komunikasi tersebut, bahasa sebagai wahana memiliki fungsi yang

berbeda-beda. Setelah dihubungkan dengan karakteristik komunikasi sastra,

fungsi bahasa ditentukan meliputi fungsi (Jakobson, 1987:71-76): (i) emotif, (ii)

referensial, (iii) puitik, (iv) fatis, (v) metalingual atau metabahasa, dan (vi)

konatif.38

E. Komunikasi Naratif dan Sastra

1. Karakteristik Narasi

Ada beberapa syarat dasar narasi. Pertama, adanya rangkaian peristiwa.

Sebuah narasi terdiri atas lebih dari dua peristiwa, di mana peristiwa satu dan

peristiwa lain dirangkai. Kedua, rangakaian (sekuensial) peristiwa tersebut

tidaklah random (acak), tetapi mengikuti logika tertentu, urutan atau sebab akibat

38
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Rosdakarya: 2009), h. 141-143.
47

tertentu sehingga dua peristiwa berkaitan secara logis. Jika peristiwa tersebut tidak

disusun menurut logika tertentu, maka tidak bisa disebut sebagai narasi.

Kemudian ketiga, narasi bukanlah memindahkan peristiwa ke dalam sebuah teks

cerita. Dalam narasi, selalu terdapat proses pemilihan dan penghilangan bagian

tertentu dari peristiwa. Bagian mana yang diangkat dan bagian mana yang

dibuang dalam narasi, berkaitan dengan makna yang akan disampaikan atau jalan

pikiran yang hendak ditampilkan oleh pembuat narasi (Eriyanto, 2013: 2-3).

Kutipan Eriyanto di atas diperjelas dengan pertanyaan mengapa analisis

naratif? Jawabanannya adalah, analisis naratif melihat teks berita, sebuah cerita,

sebuah dongeng yang mana di dalamnya ada plot, adegan, tokoh, dan karakter.

Narasi adalah bentuk teks yang paling tua dan paling dikenal, karena sesuai

dengan pengalaman hidup manusia. Kitab suci, selain berisi tentang ajaran agama,

juga berisi tentang cerita-cerita (lihat Eriyanto, 2013: 8-9). Nampaknya ini seperti

yang disajikan dalam Kitab Bula Malino.

Narasi merupakan penceritaan. Menurut Ricoeur (1981) yang dikutip oleh

Sobur, sesungguhnya sebuah narasi masih harus disatukan sebagai sebuah

keseluruhan dan dikembalikan ke dalam komunikasi naratif. Narasi menjadi

wacana (discourse) yang disampaikan narator kepada audiens. Ricoeur juga

memandang bahwa model linguistik bisa dialihkan kepada teori narasi,

sepenuhnya menegaskan: sekarang ini, penjelasan bukan lagi sebuah konsep

yang dipinjam dari ilmu-ilmu alam dan kemudian ditransfer pada bidang-bidang

artefak tertulis yang asing melainkan berasal dari ruang lingkup bahasa itu
48

sendiri. Juga melalui pemindahan analogis dari unit-unit yang lebih besar

daripada kalimat, seperti narasi, cerita rakyat, dan mitos.39

Ahmad Mubarok dalam Psikologi Dakwah menyatakan bahwa kegiatan

dakwah adalah kegiatan komunikasi, di mana da’i mengomunikasikan pesan

dakwah kepada mad’u baik secara perseorangan maupun kelompok. Secara

teknis, dakwah merupakan komunikasi da’i (komunikator) dan mad’u

(komunikan). Perbedaan anatara kegiatan-kegiatan lahiriah, anatara komunikasi

dan dakwah nyaris tidak Nampak sebab memang tidak begitu tajam. Justru,

sangat terasa persamaannya dengan beberapa bentuk aktivitas komunikasi yang

dikenal selama ini (lihat Ilaihi, 2010: 24).

Dalam komunikasi dakwah Ilaihi juga mengutip bentuk-bentuk etika

komunikasi atau pendekatan komunikasi yang terkandung dalam qawl/kata

dalam Al-Qur’an yaitu salah satunya dengan qawlan maisura (kata yang muda).

Lebih lanjut dalam komunikasi dakwah dengan menggunakan qwlan maisura

dapat diartikan bahwa dalam menyampaikan pesan dakwah, da’i harus

menggunakan bahsa yang ringan, sederhana, pantas, atau yang muda diterima

oleh mad’u (mitra dakwah) secara spontan tanpa harus melalui pemikiran yang

berat.

Namun, menurut Zaimar (lihat Sobur, 2014: 12) sesuai tekanan bahasa

yang digunakan pada waktu tuturan (komunikasi verbal), maka fungsi bahasa

bisa dikelompokkan menjadi enam:

39
Sobur, Komunikasi Naratif: Paradigma, Analisis, dan Aplikasi (Rosdakarya
Bandung, 2014), h. 4.
49

a. Fungsi emotif (ekspresif), yakni apabila bahasa digunakan untuk

menekan pikiran dan perasaan penutur (pengirim)

b. Fungsi konatif, apabila tekanan tutur ada pada si penerima, yaitu

apabila di dalam penuturan terdapat suruhan yang harus dilakukan

penerima atau ada usaha penutur untuk memengaruhi penerima.

c. Fungsi referensial, apabila dalam tuturan ada penonjolan acuan,

misalnya berbagai peristiwa diceritakan. Di sini, baik penutur maupun

penikmat tidak menonjolkan dirinya.

d. Fungsi fatik, fungsi ini akan muncul apabila dalam tuturan ada

penonjolan saluran komunikasi. Dalam teks tertulis akan tampak pada

huruf besar semua, atau huruf miring, atau yang lainnya, sementara

pada lisan akan nampak pada perubahan suara seperti perubahan suara

dalang, peranan musik, tarian, dan sebagainya.

e. Fungsi puitik, tampak bila penonjolan tuturan ada pada pesan,

misalnya dengan ritme tertentu atau verifikasi seperti pada puisi.

Dalam bahasa daerah, banyak sekali penggunaan fungsi ini.

f. Fungsi metalinguistik, muncul apabila dalam tuturan ada tekanan yang

ingin menonjolkan kode, misalnya dengan suatu kata atau unsur

bahasa lain.

Keenam fungsi di atas menurut Sobur bisa digunakan dalam penelitian

karya sastra atau tradisi lisan. Dengan penelitian fungsi bahasa yang
50

digunakan, maka tujuan masing-masing penutur dalam berkomunikasi

akan lebih jelas.40

Bagian yang penting dalam analisis naratif menurut Nick Lacey dan Van

Dijk adalah cerita (story) dan laur cerita (plot). Kedua aspek tersebut berperan

dalam memahami suatu narasi, bagaimana narasi bekerja, bagian mana dari suatu

peristiwa yang ditampilkan dalam narasi, dan bagian mana yang tidak

ditampilkan. Cerita aliur (plot) berbeda, ia adalah suatu yang ditampilkan secara

eksplisit dalam sebuah teks. Sementara cerita (story) adalah urutan kronologis dari

suatu peristiwa, di mana peristiwa tersebut bisa di tampilkan dalam teks juga tidak

ditampilkan dalam teks (lihat Eriyanto, 2013: 15-16).

F. Aktan Algirdas Greimas dalam Narasi

Narasi sering disamakan dengan cerita dongeng. Narasi berasal dari kata

Latin narte, yang artinya “membuat tahu”. Dengan demikian, narasi berkaitan

dengan upaya untuk memberitahu sesuatu peristiwa. Tetapi tidak semua informasi

atau memberitahu peristiwa bisa dikategorikan sebagai narasi. Papan penunjuk

jalan, jadwal kereta api di surat kabar, dan iklan lowongan pekerjaan meskipun

berisi informasi tetapi tidak bisa disebut sebagai narasi (cerita).41

Karakter dalam narasi yang dikemukakan Greimas banyak dipakai dalam

analisis narasi. Greimas menganalogikan narasi sebagai suatu struktur makna

(semantic structure). Mirip sebuah kalimat yang terdiri atas rangkaian kata-kata,

setiap kata dalam kalimat menempati posisi dan fungsinya masing-masing


40
Sobur, Komunikasi Naratif: Paradigma, Analisis, dan Aplikasi, (Rosdakarya
Bandung, 2014), h. 12-13.
41
Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis
Teks Berita Media, (KENCANA Jakarta, 2013), h. 1.
51

(sebagai subjek, objek, predikat, dan seterusnya). Kata yang satu juga mempunyai

relasi dengan kata yang lain sehingga membentuk kesatuan yang koheren dan

mempunyai makna. Narasi menurut greimas juga harus dilihat seperti sebuah

semantik dalam kalimat.

Berbeda dengan Propp, Greimas mengembangkan penelitiannya dari dasa

oposisi dan kontradiksi, kemudian dasar tersebut digunakan untuk menganalisis

struktur kemasyarakatan seperti pada fiksi media populer (Sobur, 2014: 229).

Karakter dalam narasi menempati posisi dan fungsinya masing-masing. Lebih

penting dari posisi itu adalah relasi dari masing-masing karakter. Sebuah narasi

dikarakterisasi oleh enam peran, yang disebut oleh Greimas sebagai aktan

(actant) di mana aktan tersebut tersebut berfungsi mengarahkan jalannya cerita.

Karena itu, analisis Greimas ini kerap juga disebut sebagai model aktan (Eriyanto,

2013:95-96).

1. Enam Aktan Greimas

Ada enam peran yang berfungsi untuk mengarahkan jalannya cerita.

Keenam peran tersebut bisa digambarkan sebagai berikut.

a. Subjek, menduduki peran utama sebuah cerita, tokoh utama yang

mengarahkan jalannya cerita. Posisi subjek ini bisa diidentifikasi

dengan melihat porsi terbesar dari cerita.

b. Objek. Merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh subjek. Objek

bisa berupa orang, tetapi bisa juga sebuah keadaan atau kondisi

yang dicita-citakan.
52

c. Pengirim (destinator). Merupakan penentu arah, memberikan

aturan dan nilai-nilai dalam narasi. Pengirim umumnya tidak

bertindak secara langsung, ia hanya memberikan perintah atau

aturan-aturan kepada tokoh dalam narasi.

d. Penerima (receiver). Karekter ini berfungsi sebagai pembawa nilai

dari pengirim (destinator). Fungsi ini mengacu kepada objek

tempat di mana pengirim menempatkan nilai atau aturan dalam

cerita.

e. Pendukung (adjuvant). Karekter ini berfungsi sebagai pendukung

subjek dalam usahanya mencapai objek.

f. Penghalang (traitor). Karakter ini berfungsi sebaliknya dengan

pendukung, di mana karakter ini menghambat subjek dalam

mencapai tujuan.

Greimas melihat keterkaitan antara satu karakter dengan karakter yang

lain. Dari fungsi-fungsi karater dalam sebuah narasi, secara sederhana bisa dibagi

ke dalam tiga relasi struktural.

a. Relasi struktural antara subjek versus objek. Relasi ini disebut juga

sebagai sumbu hasrat atau keinginan (axis of desire). Objek adalah

tujuan yang ingin dicapai oleh subjek. Menurut Cohan dan Shires,

hubungan antara subjek dan objek adalah hubungan langsung yang

bisa diamati secara jelas dalam teks. Relasi antara subjek dan objek ini

bisa berupa hubungan yang dikehendaki oleh kedua belah pihak

(misalnya, seorang pahlawan sebagai subjek yang ingin membebaskan

putri dari penculikan penjahat) atau tidak dikehendaki (seorang


53

penculik ingin menyekap korbannya). Objek ini tidak harus selalu

berupa orang, tetapi juga bisa berupa keadaan. Misalnya keinginan

dari pahlawan (subjek) untuk membebaskan suatu negeri dari raja

yang kejam (objek).

b. Relasi antara pengirim (destinator) versus penerima (receiver). Relasi

ini disebut juga sebagai sumbu pengirim (axis of transmission).

Pengirim memberikan nilai, aturan, atau perintah agar objek bisa

dicapai. Sementara penerima adalah manfaat setelah objek berhasil

dicapai oleh subjek. Sebagai misal, seorang raja (pengirim)

memberikan perintah kepada prajurit agar membebaskan putri (objek)

yang ditawan oleh seorang penyihir. Objek dari cerita ini adalah

membebaskan putri, yang menjadi inti atau tujuan dari keseluruhan

cerita. Sementara penerima (receiver) adalah putri.

c. Relasi struktural antara pendukung (adjuvant) versusu penghambat

(traitor). Relasi ini disebut juga sebagai sumbu kekuasaan (axis of

power). Pendukung melakukan sesuatu untuk membantu subjek agar

bisa mencapai objek. Sebagai misal, dalam suatu cerita, pahlawan

mendapat bantuan dari orang pintar, pedang, kuda. Sementara

pahlawan juga mendapat halangan dari penyihir, naga, dan

sebagainya.
54

Ketiga relasi struktural tersebut, bisa digambarkan ke dalam sebuah model

seperti berikut:

Pengirim Penerima
(Destinator)
Objek
(Receiver)

Pendukung Penghambat
(Adjuvant) Subjek
(Traitor)

Gambar 2.2 Relasi-relasi dalam Model Aktan

Greimas melihat, bagian terpenting dari suatu narasi adalah keterkaitan di

antara karakter satu dengan karakter lain. Menurut Luc Herman and Bart

Vervaeck (dikutip Eriyanto, 2013:98), model aktan dari Greimas ini mempunyai

kelebihan sekaligus kelemahan. Kelebihan dari model ini adalah menekankan

interaksi di antara karakter yang satu dengan yang lain. Tetapi kelemahannya

adalah mereduksi kompleksitas karakter dari suatu narasi hanya menjadi enam

karakter saja.42

42
Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis
Teks Berita Media, (KENCANA Jakarta, 2013), h. 95-98.
BAB III

KITAB KABANTIBULAMALINO

A. Penulis Kabanti (Syair) BulaMalino

Sultan Muhammad Idrus adalah Sufi ternama dari Buton (Sulawesi). Ia

diperkirakan lahir pada akhir abad ke-18, karena ia menduduki jabatan sebagai

Sultan Buton pada tahun 1824 atau sekitar berusia 40 tahun. Di masa kecilnya, ia

menerima pendidikan Islam dari kakeknya, La Jampi, yang juga pernah menjadi

Sultan dengan gelar Sultan Qa’im al-Din Tua (1763-1788). Sampai pada tahun

1974, orang Buton masih menemukan jejak tempat ia dibina oleh kakeknya dalam

pengetahuan agama, khususnya tasawuf. Tempat itu dikenal dengan Zawiyah.1

Guru Muhammad Idrus yang lain adalah Syekh Muhammad bin Syais

Sumbu al-Makki. Dari ulama inilah ia menerima tarekat Khalwatiyyah

Sammaniyah. Tulisan-tulisannya yang khusus membahas tentang tasawuf antara

lain: Jauharana Manikamu, Mu’nisah al-Qulub fi Dzikr wa Musyahadah, Diya al-

Anwar fi Tashfiyah al-Akdar, dan Kasif al-Hijab fi Muraqabah al-Wahhab.2 Perlu

dipahami bahwa karya-karya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin bersifat

sufistik.3

1
La Ode Muh. Syukur, Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara, (CV.
Shadra: 2009), h. 86.
2
La Niampe, Nasihat Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu Badaruddin Al-
Buthuni, (Kendari, FKIP Unhalu/UHO 2009), h. 9.
3
La Ode Muh. Syukur, Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara, (CV.
Shadra: 2009), h. 90.

55
56

B. Mengenal Syair BulaMalino

Masyarakat Buton menyadari bahwa Kabanti (Syair) merupakan peninggalan

budaya tak benda dari masa kesultanan.4 Tidak sedikit yang masih memegang

teguh dan mempercayai kandungan kabanti secara tekstual. Belum lagi berbicara

latar belakang dan sejarah mengapa kabanti dibuat dan membuming di masa itu.

Begitu banyak paham yang berbeda mengenai profil Kabanti Bula Malino.

Syair BulaMalino adalah nasihat Sultan Muhammad Idrus kepada dirinya.

Mengawali nasihatnya, Sultan Muhammad Idrus mengatakan bahwa kelak ia akan

menghadapi kematian. Hal ini sudah merupakan takdir Tuhan kepadanya sebagai

hamba-Nya.Tidak ada satupun hamba Tuhan semata. Oleh karena itulah, di kala

kematiannya tiba, ia memohon kepada Tuhan agar senantiasa diberi kekuatan

iman serta dapat mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan teguh.5

Semua jenis kabanti mengandung ajaran baik-buruknya tingkah laku kita dan

mengetahui jati diri kita.Termasuk sejarah dan keadaan Benteng Buton ini

tersimpan dalam kabanti.Seperti kabanti-kabanti lainnya juga merupakan ajaran

untuk menuju pada kesalehan dan beradab bagi manusia itu sendiri.6Dalam kamus

4
www.baubaupos.com/page.php/diakses 10 September 2014. Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan menghimbau ada Penyuluh Budaya dan mengharapkan agar
kebudayaan yang belum tersentuh bisa diselamatkan. Serta memotivasi masyarakat akan
pentingnya melestarikan suatu kebudayaan bagi bangsa dan negara.
5
La Niampe, Nasihat Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu Badaruddin Al-
Buthuni, (Kendari, FKIP Unhalu, 2009), h. 20.
6
Al Mujazi, wawancara tanggal 13 Maret 2014 (di kediamannya, Sambali,
Baubau, Sulawesi Tenggara).Al Mujazi adalah seorang pemerhati dan penjaga naskah-
naskah asli Wolio. Aktivitas hariannya menjaga Museum Kebudayaan Woliodi Badhia.Ia
juga menyimpan dan memelihara peninggalan kebudayaan Wolio yang benda dan tak
benda dengan rapihdan terjaga. Ia adalah putra dari pasangan Abdul Mulku Zahari dan
Syamsiah Ma Faoka.
57

wolio (wolio dictionary) oleh J.C. Anceaux, kabanti bermakna puisi syair,

nyanyian, sajak.7

Beberapa pendapat yang diutarakan oleh Tokoh Adat lainnya bahwa narasi

dari KabantiBulaMalinoadalah sistim pemahaman di dalam pelaksanaan

tasawuf.Salah satu tarekat yang digemari oleh orang tua dahulu.Pemahaman

narasi kabanti oleh Guru, dalam arti mengajarkan langsung kepada Murid atau

memberikan petunjuk makna dari naskah oleh Guru kepada Murid.Begitulah

sistim tata cara pelaksanaan pemahaman daripada narasi kabanti tersebut. Kabanti

adalah sistim pengamalan tarekat.Sebab itulah mengapa KabantiBulaMalino ini

mengandung nilai-nilai tarekat.

BulaMalinojuga mengandung etika Islam, yang mana ajarannya termasuk

ajaran tasawuf.Kabanti dipakai setiap kali oleh masyarakat, di samping untuk

pengkajian nilai-nilai keislaman, mereka juga langsung mengamalkan isi dari

pada kabantitersebut.Karena cerita dalam kabanti mengenai bagaimana pengarang

berupaya tidak berpisah dengan Penciptanya.

Objek atau kunci akhir daripada kabanti ini adalah untuk betul-betul menjadi

seorang insan kamil di hadapan Allah swt.Pada waktu itu kabanti merupakan

pendidikan informal yang tertuju kepada ketinggian tauhid seseorang.Sehingga,

kabanti tidak salah jika dikategorikan sebagai media dakwah.8

7
J. C. ANCEAUX, Wolio Dictionary-wolio-english-indonesia, (Foris Publication
Holland: 1987), h. 51.
8
Syafiuddin, wawancara tanggal 13 Maret 2014 (di kediamannya Bataraguru,
Baubau, Sulawesi Tenggara).Syafiuddin adalah seorang Tokoh Adat Kebudayaan Wolio.
Selain mengkaji kabanti, ia sekaligus pemerhati budaya pernikahan wolio (buton) dalam
hal ini oleh masyarakat disebut Boka. IaGuru Besar di Universitas Dayanu Ihsanuddin
Baubau.
58

Banyak hal yang dapat dipelajari dari kebudayaan Syair BulaMalino.Muda-

mudi, bahkan pendidikan kebudayaan seluruh sekolah di Buton, selayaknya

menempatkankabanti sebagai materi pelajaran.Sebab, budaya kabanti kini sudah

tergantikan dengan dangdut, serta nyanyian modern lainnya.Saat ini,kita kita bisa

melihat akidah sebagian masyarakat buton sudah mulai longgar. Masyarakat patut

berhati-hati karena longgarnya akidah itu akhirnya kabanti akan menjadi hal yang

tidak penting lagi. Mulai dari kurangnya mencintai al-Qur’an hingga sudah tidak

peduli lagi dengan peninggalan budaya islam ini. Seperti halnya, banyak manusia

yang belajar ilmu berenang tapi melupakan ilmu menyelam. Sehingga,

pemanfaatan pendidikan di sekolah menjadi media yang tepat untuk melestarikan

kabanti dalam bentuk formal.

Salah satu penyebab mengapa kabanti sudah tidak dilestarikan lagi adalah

berkurangnya orang wolio asli.“Orang Wolio sudah berkurang tapi Orang di

Wolio sudah semakin banyak”.Karena memang masyarakat Buton sekarang sudah

kurang mengerti berbahasa (daerah) wolio.9

C. Bentuk Pengamalan Kabanti

1. Masa Kesultanan

Di satu sisi, fungsikabanti bagi orang tua, ketika ingin membacakan atau

menyanyikannya, mereka mengumpulkan keluarganya dan beberapa sanak

saudara lainnya dalam satu forum informal. Kemudian, yang membaca

9
Lambalangi, wawancara tanggal 25 Maret 2014, (dikediamannya, Tarafu,
Baubau, Sulawesi Tenggara).Ia memutuskan menjadi penyalin kabanti dan membukukan
kabanti setelah pensiun pada 1992 sebagai upaya melestarikan budaya kabanti. Ia menulis
kabanti dengan tulisan woilo dan tulisan latin.
59

kabantiakan menjelaskan makna dari kandungannya sesuai judul dan tema kabanti

yang akan dikaji. Semua akan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sejauh

mana masyarakat memahami.10

Penulis merasakan bagaimana masyarakat sangat menghargai peninggalan

atau ungkapan-ungkapan orang tua terdahulu. Lebih-lebih tertulis seperti kabanti.

Bahkan mereka menilai hal tersebut sangat sakral. Sehingga, masyarakat kadang

tidak memandang pentingnya mengetahui latar belakang Ulama dan Sultan

mengarang kabanti.

Di sisi lain, Kabanti yang dibuat kadang dinyanyikan pada waktu masyarakat

sedangberaktivitas. Bahkan,saat sedang pestahamar dan berjudi serta

perilakuyang menyimpang lainnya.Penyairkabanti saat itu tidak menegur secara

langsung orang-orang yang telah menyimpang dari norma-norma agama tersebut.

Akan tetapi, justru mereka menyindir dengan caramenyanyikan kabanti (syair)

agama tesebut di tengahaktivitas mereka.11

2. Masa Pasca Kesultanan (Modern)

Kabanti sering dibaca pada hajatan-hajatan keislaman tertentu seperti, Maulid,

Pernikahan, Syukuran Rumah Baru yang akan dihuni, dan sebagainya.

Sepertiyang dilakukan oleh Siti Surah pada pernikahan putri mantan Walikota

10
Al Mujazi,wawancara tanggal 13 Maret 2014 (di kediamannya, Sambali,
Baubau, Sulawesi Tenggara).
11
Lambalangi, wawancara tanggal 25 Maret 2014 (dikediamannya, Tarafu,
Baubau, Sulawesi Tenggara).
60

Baubau tahun 2012. Selain itu, saat ini kabanti dibaca pada pertemuan-pertemuan

terntu oleh Majelis Taklim Lingkungan Batu Poaro.12

Selain itu, saat ini belum ada lagiaktivitas kabanti di buton.Kabanti ini

memang tidak rutin lagi pelaksanaannya.Dalam hal ini, bagi siapa saja yang

melakukan aktivitas atau menyanyikan kabanti dalam acara adat,

dipersilahkan.Tidak ada jadwal acara rutin atau yang ditetapkan untuk

melaksanakannya.13

Naskah asli Kitab Bula Malino tidak ditemukan oleh peneliti. Karena

keterbatasan waktu dan kondisi naskah yang memang sulit ditemukan sehingga

Al-Mujazi hanya memperlihatkan tulisan dari Ayahnya bernama Abdul Mulku

Zhari,14 seperti pada gambar berikut:

12
Siti Surah, wawancara di kediamannya, Kaobula (Maret, 2013). Ia melantukan
kabantiMomondona Ruamiaana (Terjalinnya dua sejoli). Syair ini menceritakan tentang
hukum dan syarat nikah dan membangung rumah tangga.
13
Syafiuddin, wawancara tanggal 13 Maret 2014 (di kediamannya Bataraguru,
Baubau, Sulawesi Tenggara).
14
(http://myrepositori.pnm.gov.my/bitstream/123456789/1627/1/PAMM2014_Pa
per09.pdf). Ayah dari Abdul Mulku Zahari adalah La Wungu, dan buyutnya bernama Ma
Zahari sebagai pejabat kerajaan Buton yang dikenal suka menulis. Nama belakang
Muluku diambil dari buyut yang diyakini mewariskan bakat menulisnya itu. Karena hobi
menulis itulah Abdul Mulku Zahari mendapat warisan untuk memelihara berbagai jenis
arsip dan naskah kerajaan. Jabatan Mulku Zahari yang terakhir sebagai pembantu utama
(semacam asisten pribadi) Sultan Falihi 1960 memberi kesempatan luas baginya untuk
menghimpun naskah. Abdul Mulku Zahari kerap kali menyalin beberapa naskah dan
menerjemahkannya.
61

Gambar 3.1, Tulisan Tanga Abdul Mulku Zahari

Gambar 3.2, Tulisan Abdul Mulku Zahari (Baris 332-383)


62

D. Naskah-naskah Kabanti yang Sudah Ada/Diperoleh

Saat penulis mewawancarai Lambalangi, sebagai Tokoh Kabanti sekaligus

penulis transliterasi naskah Wolio, tercatat beberapa syair Buton yang telah

diperoleh adalah sebagai berikut:

Syair Jilid I

1. Bula Malino

2. Tazkiri Momampodo

3. Nuru Molabi

4. Jauharana Amala

5. Maiyati

6. Kaokabi

7. Kaokabi Mainawa

8. Pakeana Arifu

Syair Jilid II

1. Kamainawa Arifu

2. Kalipopo Mainawa

3. Kaluku Panda

Sayir Jilid III

1. Jagugu/Kanturuna Mohelana

2. Anaana Maelu Undu-undu

3. Anaana Maelu Bula Baani

4. Tula-tulana Nabi
63

5. Paiyasa Mainawa

Syair Jilid IV

1. Wa Iyati/Wahadini

2. Bunga Malati

3. Bunga Dalima

4. Jauhara Manikamu Molabi

5. Wafatina Nabi saw

Syair Jilid V

1. Bunga-bungana Wameo

2. Taguna Nua

3. Bunga Cengkeh

4. Lele Matapa

5. Kalipopo Niyzani

6. Kanturuna Mohelana

7. Wafatina Nabi saw

8. Qoburu

Kemudian, ada syair yang paling tebal di antara syair-syair lainnya yaitu

Kabanti Ajonga Indaa Malusa (Pakaian yang Tidak Pernah Kusut).15 Penelitian

ini hanya fokus pada syair Jilid I nomor 1 yaitu Bula Malino (Purnama yang

Cerah) Karya Muhammad Idrus Kaimuddin dan pembatasan masalahnya hanya

pada baris 332-383.

15
Data yang diperoleh dari Lambalangi, sebagai penulis transliterasi sejumlah
Kabanti Wolio (Buton), (25, Maret 2014).
BAB IV

TEMUAN DAN ANALISIS

Analisis dengan Model Aktan Greimas ini akan dilakukan dengan cara

melihat struktural narasi yang terangkai dalam baris-baris melalui petanda (aktan)

yang mengarahkan jalannya cerita. Pada bab ini peneliti akan memaparkan pesan-

pesan dakwah yang terkandung dalam Kitab tersebut khususnya pada baris 332-

383.

A. Analisis Narasi Model Aktan Greimas

1. Aktan Subjek

Subjek menduduki peran utama sebuah cerita, jika subjek adalah

manusia, maka ia merupakan tokoh utama yang mengarahkan jalannya

sebuah cerita.1 Subjek yang terdapat dalam baris yang dibahas ini yaitu

pada peringatan kematian. Narator mengirim sebuah tema tentang

kematian agar manusia mempersiapkan bekal selama hidupnya.2

Perhatikan tabel berikut:

Tabel 4.1
Aktan Subjek
Baris Transliterasi Terjemahan

332 Ee karoku mate pada Wahai diriku, kematian akan


aumbamo datang
333 Ngalu hela padaaka Angin berlayar akan berhembus
atumpumo Siapkan kelengkapan
334 Pamondomea kasangkana tumpanganmu
sawikamu
335 Pentaaka wakutuuna Menantikan waktu berlayarmu
helamu
336 Matemo yitu hela yindaa Mati itu pelayaran yang tidak
1
Eriyanto, Aanalisis Naratif, (Jakarta: 2013), h. 96.
2
Lihat baris 377 dan 383. Kematian dalam hal ini terbagi menjadi dua, bisa
husnul khatimah bisa juga mati dalam keadaan su’ul khatimah.

64
65

mobancule kembali
337 Osiitumo bose mosatotuuna Dan itulah pelayaran yang
hakiki
338 Indamo ambuli paimia Tidak kembali semua yang telah
molingkana pergi
339 Moporopena i dala incia Yang menuju di jalan itu
siitu
340 Matemo itu intaana alimu Mati itu yang dinantikan orang
alim
341 Itoku-tokuna paimia saalihi Yang diharap-harapkan orang
saleh

Kalimat pernyataan pada baris 332-333 dibentuk dari kata ee,

karoku, mate, pada, aumba, -mo, ngalu, hela, padaaka, atumpu, dan –

mo. Ee artinya wahai, menandakan sebuah seruan. Pada kata karoku

membayangkan adanya dua zat yaitu karo dan aku (jiwa dan jasad).

Kata mate artinya kematian yang merupakan peristiwa terpisahnya ruh

dan jasa (karoku). Pada mengandung makna masa mendatang (future).

Akhiran –mo pada kata aumbamo (akan tiba) mengaskan tibanya waktu

kematian. Kata ngalu artinya angin, yang secara stilistik bermakna

tanda-tanda berlayar. Sebab, ia menyatu dengan kata hela berarti

menarik (ngalu hela) yang membayangkan adanya sesuatu yang ditarik

yaitu kapal. Sehingga, secara sintaksis ia berarti berlayar. Kata padaaka

sama maknanya dengan padaa di atas. Kata tersebut menganalogikan

kematian dengan ngalu hela (berlayar). Akhiran –mo pada kata

atumpumo secara stilistik maknanya adalah menggambarkan tentang

waktu (masa).3

3
Pada kalimat baris 333 merupakan analogi dari kalima pada baris 333 yaitu
mate=ngalu hela pada=padaaka, aumbamo=atumpumo.
66

Kalimat pada baris 334-335 dibentuk dari kata pamondo, wakutu, -

na, hela, kasangka, -na, sawika, -mu, pentaa, -ka, wakutu, -na, hela,

dan –mu. Pada kata pamondo (selesaikan) menggambarkan seorang

yang tengah bersiap untuk melakukan sesuatu. Akhiran –na pada kata

wakutuna (waktunya) yang menyatu dengan kata hela mengekspresikan

makna berlayar. Akhiran –na pada kata kasangkaana (perlengkapan)

menegaskan sebuah perlengkapan. Sawika berarti tumpangan (kapal).

Mu adalah kata gantu dari kamu (komunikan). Akhiran –ka pada kata

pentaaka bermkana menantikan sesuatu. Kata wakutu dan akhiran –na

menjelaskan sebuah waktu yang dinantikan tersebut. Hela seperti

dijelaskan di muka, secara stilistik bermakna berlayar. Mu adalah kata

pendek dari ngko (kamu).

Metaforis kalimat pada baris 336-337 tersusun dari kata mate, -mo,

yitu, hela, iinda, mo-, bancule, osiitu, -mo, bose, mo-, satotu, dan –na.

Akhiran –mo pada kata matemo menegaskan (menyebutkan dengan

tegas) tentang kematian. Kata yitu artinya itu, maksudnya adalah

kematian. Ia (yitu), juga berperan sebagai kata analogi. Kata hela

(berlayar) merupakan analogi dari mate (kematian). Iinda artinya tidak,

berkorelasi dengan hela. Awalan mo- dalam kata mobancule

mengambarkan sebuah pelayaran yang tidak pernah kembali lagi (kata

analogi). Akhiran mo- pada kata osiitumo menunjukkan secara tegas

makna hela (berlayar). Kata bose artinya mendayung, ia

membayangkan adanya sebuah perahu (kapal) dan seorang yang sedang


67

mendayung. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata mosatotuna (yang

hakiki) menegaskan makna berlayar yang hakiki adalah kematian.

Kalimat pernyataan pada baris 338-339 dibangun dari kata iinda, -

mo, ambuli, paimia, mo-, lingka, -na, mo-, porope, -na, i, dala, incia,

dan siitu. Akhiran –mo pada kata iindamo (tidal bakal) menegaskan

tentang hela (mate). Kata ambuli artinya pulang atau kembali, ia

membayangkan seorang yang tidak akan kembali. Paimia berarti siapa

yang, maknanya menunjuk pada sejumlah manusia (jamak). Awalan

mo- dan akhiran –na pada kata molingkana (yang telah pergi)

mengekspresikan sejumlah yang telah pergi ke sebuah tempat yaitu hela

(mate). Awalan mo- dan akhiran –na pada kata moporopena artinya

menuju, ia menegaskan sebuah pelayaran yang telah bertolak dan

mengarah pada tujuannya. Kata i berarti di dan dala berarti dala

menggambarkan sebuah tujuan yang makna sintaksisnya kembali

kepada jalur mate (kematian). Siitu berarti itu, menunjuk pada dala atau

mate.4

Kalimat pada baris 340-341 dibentuk dari kata mate, -mo, yitu,

intaa, -na, aalimu, itoku-toku, -na, paimia, dan salihi. Akhiran –mo

pada kata matemo mengandung makna penegasan kematian. Kata yitu

(itu) kata ganti dari (berkorelasi dengan) kematian. Akhiran –na pada

kata intaana mengekspresikan upaya menunggu. Kata aalimu berarti

orang-orang alim yang berupaya menunggu sesuatu yaitu mate

4
Penulis memaknai kata dala sebagai mate (kematian). Sebab, secara logika,
sebuah jalan yang di mana manusia tidak akan bisa kembali ke belakang, sangat lekat
dengan makna kematian. Sehingga, sintaksis dari pada dala adalah kematian.
68

(matemo). Akhiran –na pada kata kerja itoku-tokuna berarti diharap-

harapkan. Secara stilistik makna toku adalah menunggu (Anceaux:

182). Kata paimia membayangkan adanya sejumlah manusia (jamak).

Salihi artinya orang saleh berkorelasi dengan kata paimia. Retoris

kalimat tersebut menjelaskan bahwa kematian, oleh orang-orang beserta

orang-orang salih akan disambut tidak dengan ketakutan. Secara

semantik, justru orang-orang alim dan orang-orang saleh menunggu

kematian tersebut.

2. Aktan Objek

Menurut Greimas, objek merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh

subjek. Objek bisa berupa orang, tetapi bisa juga sebuah keadaan atau

kondisi yang dicita-citakan.5 Objek yang dicapai dalam narasi ini adalah

harapan seorang hamba agar mati dalam keadaa husnul khatimah

sehingga dapat berhadapan langsung dengan Zat Penciptanya (Allah

SWT). Perhatikan tabel berikut:

Tabel 4.2
Aktan Objek
Baris Transliterasi Terjemahan

380 Ee waOpu patotapua incaku Wahai Tuhan, kuatkan hatiku


381 Poaroku kutonto maka Hadapku menatap zat-Mu
zatumu
382 Oiimani motopenena karosa Keimanan yang kuat dalam diri
383 Kapupuaku tee husnul Akhirkanlah aku dengan husnul
khatimah khatimah

Kalimat pernyataan pada baris 380-381 dibangun dari kata ee,

waopu, pa-, tumpu, -a, inca, -ku, opoaro, -ku, kutonto, maka, zatu, dan
5
Eriyanto, Aanalisis Naratif, (Jakarta: 2013), h. 96.
69

–Mu. Kata ee merupaka seruan artinya wahai. Waopu atau Opu artinya

adalah tuhan. Kata wa disebabkan adanya kata ee di depan Opu.6

Awalan pa- dan akhiran –a pada kata patumpua membayangkan adanya

permintaan seorang hamba pada Tuhannya artinya tetakanlah. Kata

inca-ku artinya hatiku yang secara stilistik ia menggambarkan makna

iman. Sebab, kata incaku berhubungan dengan permintaan hamba pada

Tuhan. Kata opoaro (arah hadap) maksdunya adalah kiblat yang

terhubung dengan kata ganti dari yaku (aku) yaitu -ku. Kutonto

(kusaksikan) membayangkan adanya seseorang sedang menyaksikan

sesuatu. Kata maka sama dengan –aka, kutontomaka= kutontoaka. –a

dan –ka dua akhiran yang sering didapatkan pada akhiran kata kerja, ia

menjelaskan makna agar dan supaya. Akhiran –Mu pada kata zatMu

mengekspresikan zat Allah SWT. Kalimat tersebut menggambarkan

permohonan seorang hamba pada Tuhannya agar ditetapkan imannya

dan kelak memberinya kesempatan berhadapan langsung dengan-Nya

untuk menyaksikan zat-Nya.

Metaforis kalimat pada baris 382-383 tersusun dari kata tee, iimani,

mo-, topene, -na, karosa, ka-, pupu, -a, -ku, tee, husnul, dan hatima.

Kata tee (juga) menunjukkan sebuah hubungan dengan kalimat

sebelumnya. Iimani berarti iman yang meyakini ketauhidan Allah SWT

serta memahami Rukun Iman. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata

6
Pemakaian kata wa pada Opu dalam bahasa wolio seperti kata Allah yang pasti
menggunakan kata yaa dalam bahasa arab. Yang benar adalah Yaa Allah bukan Yaa
Ilaahu dan jika menggunakan Yaa Ilaah maka harus ditambah dhamir anaa yaitu Yaa
Ilaahii. Apabila wa dihilangkan dari Opu namun di depannya ada kata ee (wahai), ia
mengandung makna lancang. Sehingga, wa pada Opu mengekspresikan makna
mengagungkan.
70

motopenena (yang kuat/tingkat atas) menegaskan makna iman yang

kuat. Kata karosa sama dengan karosii yang berasala dari kata karo dan

sii (diri dan ini). Ia membayangkan adanya seseorang yang menunjuk

dirinya. Awalan ka- dan akhiran –a-ku pada kata kapupuaku

mengekspresikan sebuah akhir dari kehidupan (mati) artinya

penghabisan. Kata tee artinya juga, ia terhubung dengan kedua kata

husnul hatima. Kedua kata yang diadopsi dari bahasa arab tersebut

merupakan kesatuan makna yang artinya husnul khatimah

(akhir/kematian yang baik). Kalimat tersebut adalah permohonan

seorang hamba (lanjutan dari kalimat sebelumnya) pada Tuhannya agar

dikaruniai keimanan yang kuat agar mengakhiri hidupnya dengan

husnul khatimah.

3. Destinator (Pengirim)

Pengirim berandil sebagai penentu arah, memberikan aturan dan

nilai-nilai narasi. Menurut Greimas, pengirim pada umumnya tidak

bertindak secara langsung, ia hanya memberikan perintah-perintah atau

aturan-aturan kepada tokoh dalam narasi.7 Dalam Kitab Bula Malino

ini, Idruslah (Narator) sebagai destinator yang ditandai pada kata Ee

Karoku (Wahai Diriku) Ia merangkai struktur narasi untuk tujuan

mengajar dan menasehati dirinya dalam bentuk syair aksara arab-wolio.

Perhatikan tabel berikut:

7
Eriyanto, Analisis Narasi, (Jakarta: 2013), h. 96.
71

Tabel 4.3
Aktan Destinator
Baris Transliterasi Terjemahan

332 Ee karoku mate pada Wahai diriku, kematian akan


aumbamo datang
380 Ee waOpu patotapua Wahai Tuhan, kuatkan hatiku
incaku

Pada baris 332, dibangun dari kata, Ee artinya wahai, menandakan

sebuah seruan. Pada kata karoku membayangkan adanya dua zat yaitu

karo dan aku (jiwa dan jasad). Kata mate artinya kematian yang

merupakan peristiwa terpisahnya ruh dan jasa (karoku). Pada

mengandung makna masa mendatang (future). Akhiran –mo pada kata

aumbamo (akan tiba) mengaskan tibanya waktu kematian.

Dan pada baris 380, dibentuk dari kata ee merupaka seruan, artinya

wahai. Waopu atau Opu artinya adalah tuhan. Kata wa disebabkan

adanya kata ee di depan Opu.8 Awalan pa- dan akhiran –a pada kata

patumpua membayangkan adanya permintaan seorang hamba pada

Tuhannya artinya tetakanlah. Kata inca-ku artinya hatiku yang secara

stilistik ia menggambarkan makna iman.

4. Receiver (Penerima)

Greimas mengakatan bahwa karakter ini berfungsi sebagai

pembawa nilai dari dari pengirim (destinator). Fungsinya mengacu

8
Pemakaian kata wa pada Opu dalam bahasa wolio seperti kata Allah yang pasti
menggunakan kata yaa dalam bahasa arab. Yang benar adalah Yaa Allah bukan Yaa
Ilaahu dan jika menggunakan Yaa Ilaah maka harus ditambah dhamir anaa yaitu Yaa
Ilaahii. Apabila wa dihilangkan dari Opu namun di depannya ada kata ee (wahai), ia
mengandung makna lancang. Sehingga, wa pada Opu mengekspresikan makna
mengagungkan.
72

kepada objek tempat di mana pengirim menempatkan nilai atau aturan

dalam cerita.9 Sehingga, dalam kajian ini, yang menjadi penerima

adalah bisa seorang narator sendiri, bisa juga untuk manusia yang lain

(pembaca). Sekalipun pada rangkaian cerita tidak didapati kata

manusia atau hamba, namun, beberapa kata perintah dan larangan

seperti Berzikirlah, Tawakallah, Jangan turunkan layarnya,

menunjukkan adanya upaya narator agar kitab yang ditulis bisa dibaca

oleh orang lain selain dirinya. Perhatikan tabel berikut:

Tbel 4.4
Aktan Receiver
Baris Transliterasi Terjemahan

361 Tawakalamo poaromu I Tawakallah menghadap


Opumu Tuhanmu
367 Zikiriillahu laa ilaaha Berzikirlah laa Ilaaha Illallah
illallahu
370 Patotomea poropena Tetapkan haluan perahu itu
Bangka yitu
371 Pangaawana boli ataurakea Jangan turunkan layarnya

Pada baris 361 disusun dari kata tawakala diadopsi dari bahasa

arab artinya tawakal atau berserah diri. Akhiran –mo bermakna

penegasan pada kata tawakala. Kata poaro berasasl dari kata aro

artinya hadap, awalan po- berfungsi pada awalan kata kerja, sehingga,

poaro menjelaskan sebuah arah tujuan yang lurus (menghadap) ke

depan. Akhiran –mu membayangkan adanya (kamu) pendengar sebagai

komunikan. Kata i secara stilistik artinya kepada, Opu-mu (Opumu)

menegaskan sosok Tuhan pada komunikan.

9
Eriyanto, Analisis Narasi, (Jakarta: 2013), h. 96.
73

Pada baris 367 kata zikirillahu menegaskan makna berzikir atas

nama Allah SWT. Kata laa, ilaaha, Illa, dan Allah merupakan kesatuan

kalimat tentang ucapan zikir yang artinya tiada Tuhan Selain Allah.10

Interpretasi pada kalimat tersebut menegaskan untuk mengambil

keputusan yang tetap saat hendak melakukan pelayaran. Keputusan

tersebut didasari dengan lafaz Laa Ilaaha Illallah (tiada Tuhan selain

Allah).

Kalimat pada baris 370-371 dibentuk dari kata patoto, -mea,

porope, -na, bangka, yitu, pangaawa, -na, boli, utaurake, dan -a.

Akhiran –mea pada kata patotomea merupakan kata perintah berkenaan

dengan pernyataan pada baris sebelumnya. Kata porope artinya haluan

dan –na makasudnya kapal (haluan kapal). Kata bangka artinya perahu

(kapal) dari kayu, berhubungan dengan kata poropena. Yitu

menegaskan kembali kata poropena bangka. Pada kata pangaawa

artinya layar, yang membayangkan sebuah kapal layar. –na

dimaksudkan untuk kapal. Kata boli merupakan larangan yang artinya

jangan. Kata taurakea secara stilistik artinya adalah menurunkan.11

Akhiran –a mengekspresikan sebuah pangaawa (layar). Interpretasi

dari kalimat tersebut bahwa, jika setan mulai menghasud saat sedang

10
Hubungan lafaz Laa Ilaaha Illallah sangat lekat dengan makna sebuah
keputusan seorang manusia saat hendak menyatakan kalimat syahadat. Selain itu, ia juga
diucapkan saat manusia menjelang sakratulmaut. Seorang yang mengucapkan lafaz
tersebut akan memutuskan dirinya untuk meyakini dan mempelajari Islam. Jadi, cukup
relevan ketika Idrus membuat analogi bahwa jika telah siap waktu berlayar (mati)
ucapkanlah lafaz tersebut sebagai keputusan husnul khatimah.
11
Taurakea berasal dari kata tauraka lekat dengan tauaka artinya (menurunkan
untuk). Pada Wolio Dictionary tertulis, arti kata dari tauraka adalah; menurunkan,
menaruh, menempatkan, meninggalkan (juga warisan), dan mas kawin atau mahar
(Anceaux: 179).
74

berlayar, jangan sekali-kali menyerah atau kalah dari muslihat setan

hingga memutuskan untuk menurunkan layar sebagai tanda pelayaran

tidak lagi berlanjut.

5. Adjuvant (Pendukung)

Greimas mengatakan bahwa karakter ini berfungsi sebagai

pendukung subjek dalam usahanya mencapai objek.12 Dalam kitab,

khususnya pada baris 332-383, dicantumkan pada kata yang

menyimbolkan ketaatan (seperti iman, tasdiq, zuhud, kona’at,

riyadhat, khauf, tawadhu’ dll). Narasi yang dibangun dalam baris-baris

tersebut dapat dilihat bahwa kata-kata yang disebutkan merupakan

pendukung untuk mencapai objek yang diinginkan. Perhatikan tabel

berikut:

Tabel 4.5
Aktan Adjuvant
Baris Transliterasi Terjemahan

342 Kasawika motopenena Dan kapal yang paling baik


kalape
343 Oimani tasdiiki Iman dan tasdiq yang teguh
momatangka
344 Kokombuna ala akea haufu Tiang perahu itu ambilkan
khauf
345 Pangaawana bakea-kea Layarnya bentangkan rajaa
rijaa
346 Tawadhu betao kapabelona Tawadhu’ dijadikan layar
depan
347 Mosaahida betao para Musyahid untuk para
bosena pendayungnya
348 Riyadhati kamondona Riyadhat kelengkapan tali-
rabutana temalinya
349 Kina’ati kasangkana Kona’at kelengkapan
kabokena pengikatnya

12
Eriyanto, Analisis Narasi, (Jakarta: 2013), h. 96.
75

350 Ulina yitu mopatotona Kemudinya meluruskan haluan


porope
351 Oihilasi totona inca Keihlasan tulus hati yang bersih
mangkilo
352 Opadomana mosusuakana Sebagai kompas penunjuk arah
dala
353 Oquruaani tee hadisina Qur’an dan Hadits Nabi
Nabii
354 Obanderana sulaakea Benderanya pasangkan zuhud
zuhudu
355 Tombi-tombina zikir tee Fandelnya zikir dan tasbih
tasubehe
356 Juru batuna sara’i zaahiri Juru batunya sara’i yang zahir
357 Juru mudina ilimu batiini Juru mudinya ilmu batin
358 Mopolumena madadi mina I Yang menimba air ilmu dari
guru guru
359 Anakodana hidayatina Opu Nahkodanya hidayah dari
Tuhan
360 Asangkaaka kamondona Jika telah lengkap kesiapan
hela yitu berlayar itu
361 Tawakalamo poaromu I Tawakallah menghadap
Opumu Tuhanmu
362 Adikaaka ngali ihelaakamu Kapan angina berlayar sudah
bertiup
363 Patotomea poropena Luruskan haluan perahu
Bangka yitu
364 Botukimea lipu mbooresa Putuskan negeri tempat
tinggalmu
365 Masirahamu tee antona Sahabat, kenalan, dan seisi
banuamu rumahmu
366 Pepuu mea kambotu Mulailah dengan keputusan
motopenena yang tetap
367 Zikiriillahu laa ilaaha Berzikirlah laa Ilaaha Illallah
illallahu

Metaforis kalimat pada baris 342-343 tersusun dari kata kasawika,

mo-, topene, -na, kalape, oimani, tasdiiki, mo-, dan matangka. Pada

kata kasawika berarti tumpangan, secara stilistik menggambarkan

makna sebuah kapal. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata

motopenena mengekspresikan keunggulan yang sangat pada kasawika.

Kata kalape artinya baik, menjelaskan bahwa keunggulan sawika sangat


76

luar biasa bagusnya. Kata oimani artinya adalah sebuah iman, yang

mengekspresikan status sawika adalah dengan sebuah iman. Tasdiiki

masih berkorelasi dengan iimani. Keduanya adalah maksud dari pada

motpenena kalape (yang luar biasanya baiknya). Kata matangka

menegaskan status tasdiiki (kepercayaan) harus kuat. Kalimat tersebut

menginterpretasikan bahwa kapal yang paling baik adalah dengan

keimanan serta keyakinan yang kuat.

Kalimat pernyataan pada baris 344-345 dibangun dari kata

kokombu, -na, alakea, haufu, pangaawa, -na, bakea, -kea, rijaa. Pada

kata kokombu secara berarti tiang pada kapal. Akhiran -na kata ganti

dari kapal. Kata alakea merupakan kata kerja perintah artinya ambilkan

untuk sesuatu. haufu (khauf) adalah yang dimaksud dari ambilkan

berarti rasa ketakutan. Maknanya adalah, rasa ketakutan (khauf)

dijadikan sebagai tiang kapal. Pada kata pangaawa artinya adalah layar.

Akhiran –na kata ganti dari kapal. Kata tersebut membayangkan adanya

ciri-ciri kapal tradisional (kapal layar). Bakea merupakan kara kerja,

artinya bentang. Kata -kea mengekspresikan bahwa yang dibentang

adalah layar. Kata rijaa merupakan analogi yang artinya raja yaitu

pribadi yang senantiasa hanya mengharapkan keridhaan Allah dalam

hidupnya. Kalimat tersebut menginterpretasikan bahwa layar kapal

adalah rajaa.13

Kalimat pada baris 346-347 dibentuk dari kata tawadhu’, betao,

kapabelo, -na, mosaahida, betao, parabose, dan -na. Kata tawadhu’


13
Kata hauf dan rijaa diadopsi dari bahasa arab yaitu kahuf dan rajaa.
77

diadopsi dari bahasa arab yang berarti rendah hati. Betao berarti untuk.

Kata kapabelo merupakan sebuah alat yang digunakan untuk

membelokkan kendaraan. Jika pada kapal tradisional, alat tersebut ada

pada layar terdepan. Akhiran -na adalah kata ganti dari kapal. Kata

mosaahida artinya para musyahid. Kata tersebut membayangkan

seorang yang berjiwa Jihad di jalan Allah SWT. Betao artinya telah

dijelaskan di muka (untuk). Kata parabose artinya para pendayung

(jamak). Akhiran –na bermakna kapal. Kata tersebut membayangkan

adanya sejumlah orang yang bertugas sebagai pendayung. Secara

analogi, kalimat pada baris tersebut menginterpretasikan bahwa layar

kapal yang berfungsi sebagai setir diibaratkan sebagai tawadhu’. Para

pendayung kapal diiabartkan seolah-olah mereka sedang berjihad di

jalan Allah SWT.

Retoris kalimat pada baris 348-349 tersusun dari kata riyadhati,

kamondo, -na, rabuta, -na, kina’ati, kasangka, -na, kaboke, -na. Pada

kata riyaadhati diadopsi dari bahasa arab yaitu riyaadhotu yang artinya

menggembleng diri, menempa diri, dan mengkaji diri (selalu

muhasabah). Kata kamondo aritinya kelengkapan yang menjelaskan

kelengkapan pada kapal (akhiran –na). Rabuta artinya temali atau tali

berkorelasi dengan kamondo. Maksdunya adalah kelengkepan tali-

temali kapal adalah riyadhati. Pada kata kina’ati juga diadopsi dari

bahasa arab yaitu qonaa’ah yang artinya adalah mersa cukup dari apa

yang telah dikaruniakan Allah SWT sehingga mampu menghindar dari

sifat tamak. Kata kasangka merupakan sintaksis dari kamondona


78

artinya pelengkap atau kelengkapan. Akhiran -na maksudnya adalah

kapal. Kata kaboke berarti pengikat yang membayangkan adanya tali

(berhubungan denga temali). Maksudnya adalah, kelengkapan pengikat

pada kapal adalah kina’ati.

Pada kalimat pernyataan baris 350-351 dibangun dari kata uli, -na,

yitu, mo-, patoto, -na, porope, oihilasi, toto, -na, yinca, dan mangkilo.

Kata uli-na menegaskan seorang kemudi kapal. Kata yitu berarti itu,

maksdunya adalah kapal. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata

mopatotona (yang menentukan) mengekspresikan tugas dari seorang uli

(kemudi) sebagai penentu jalannya kapal. Kata porope artinya arah

tujuan yang mana ditentukan oleh sang kemudi kapal. Awalan o- pada

kata oihilasi (sebuah ikhlas) menegaskan bahwa sang kemudi harus

menyandang sifat keikhlasan. Toto-na artinya status atau kedudukan

berkorelasi dengan ihilasi. Kata inca berarti hati atau perasaan pada

manusia. Kata mangkilo menyatu dengan kata yinca yaitu hati yang

bersih. Interpretasi dari kalimat tersebut adalah, status hati yang bersih

dan ikhlas harus dimiliki oleh sang pengemudi (kemudi) kapal yang

akan menentukan ke mana arah tujuan berlayar.

Kalimat pada baris 352-353 dibentuk dari kata opadoma, -na,

mosusaka, -na, dala, okuru’ani, tee, hadisi, -na, dan Nabii. Kata

opadoma menyebutkan makna sebuah (kompas). Akhiran –na adalah

kata ganti dari kapal. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata

mosusuakana (penunjuk) menegaskan fungsi dari padoma (kompas).

Kata dala berarti jalan, maksudnya adalah arah. Kata okuru’ani


79

(sebuah qur’an) menegaskan adanya makna adalah (adalah sebuah

qur’an). Tee menunjukkan makna dengan atau dan. Kata hadisi artinya

hadis atau sunnah Rasul. Nabii (Nabi) mengekspresikan sebuah korelasi

antara hadis dan Nabi (hadis Nabi). Kalimat tersebut

menginterpretasikan bahwa al-Qur’an dan Hadis Nabi digunakan

sebagai kompas penentu arah berlayar. Begitupun dalam kehidupan,

hendaknya manusia berpegang teguh pada keduanya (Qur’an dan

Hadis).

Metaforis kalimat pada baris 354-355 tersusun dari kata obenderai,

-na, sulaake-a, zuhudu, tombi-tombi, -na, zikiri, tee, dan tasubehe. Pada

kata obendera (bendera) terdapat awalan o- yang menegaskan makna

sebuah. Akhiran –na maksudnya adalah kapal (bendera kapal).

Sulaakea adalah kata kerja perintah yang berarti topandkan dengan

akhiran –a yang menegaskan sebuah bendera. Kata zuhudu diadopsi

dari bahasa arab yaitu zuhud yang artinya adalah sifat berpaling dan

meninggalkan sesuatu yang bersifat material atau kemewahan duniawi

dengan mengharap dan menginginkan sesuatu wujud yang lebih baik

dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akhirat. Kata tombi-tombi

artinya bendera umbul-umbul (fandel).14 Akhiran –na mengekspresikan

makna kapal. Kesatuan kata zikiri tee tasubehe maknanya adalah zikir

dan tasbih. Interpretasi dari kalimat tersebut bahwa kibarkan zuhud

14
Kata tombi-tombi berasal dari kata tombi artinya bendera umbul-umbul. Karena
yang dipakai oleh Idrus adalah kata yang berulang maka ia membayangkan adanya
jumlah umbul-umbul yang lebih dari satu (jamak).
80

sebagai bendera kapal beserta zikir dan tasbih sebagai sebagai bendera

umbul-umbulnya.

Kalimat pernyataan pada baris 356-357 dibangun dari kata juru,

batuna, syara’i, zaahiri, juru, mudina, ilimu, dan baatini. Pada kata

juru dan batu merupakan kesatuan kata yaitu jurubatu. Dalam kapal

tradisional istilah jurubatu (juru batu) bertugas di depan kapal untuk

memantau kondisi rute yang diarungi.15 Kata syara’i diadopsi dari

bahasa arab yaitu syaraa’i jamak dari syariat. Zahiri adalah zahir, kata

yang menyatu dengan syaraa’i (syaraa’i zahiri) yang lebih familiar

dengan sebuta zahir syari’at.16 Kemampuan ilmu zahir pada seorang

juru batu akan membantu dalam melaksanakan tugasnya dengan

sempurna. Zahir syariat Juru dan mudi merupakan kesatuan kata

(jurumudi) yang mengekspresikan pemegang kendali (kemudi) di

bagian belakang kapal.17 Maksud dari ilmu baatini adalah ilmu batin

yang juga disebut sebagai ilmu ma’rifat. Batin lebih peka terhadap

isyarat alama seperti jika akan terjadi bencana atau kejadian masa depan

15
Pengguna bahasa wolio memaknai jurubatu sebgai mojaganina rope (yang
menjaga kapal di bagian depan) atau petugas bagian luar depan kapal. Tugasnya adalah
untuk memastikan keselamatan kapal dari benturan batu karang dan kemungkinan
menabrak kapal lain. Selain itu, jurubatu juga bertugas untuk memantau rute agar tidak
salah arah.
16
Zahir syariat merupakan ilmu zahir yaitu tentang perintah dan larangan serta
hukum-hukum. Zahir secara terminologi berhubungan dengan yang nyata atau terlihat.
Sehingga, zahir lebih fokus terhadap pandangan mata (bukan mata batin), sebab manusia
memiliki keduanya zahir dan batin.
17
Jurumudi bertugas untuk mengemudikan kapal. Ia selalu berkonfirmasi dengan
jurubatu jika ingin membelokkan kapal (kapal tradisional). Berbeda dengan kapal modern
yang dilengkapi dengan alat teknologi. Bahkan, sesekali jurumudi akan diintruski oleh
jurubatu untuk memutar balik arah.
81

di sekitarnya.18 Ilmu batin mampu menjadikan juru mudi akan memiliki

firasat yang baik. Kalimat tersebut menginterpretasikan bahwa, seorang

juru batu harus memiliki zahir syariat. Begitu juga pada seorang juru

mudi, ia harus menyandang ilmu batin.

Kalimat pada baris 358-359 dibentuk dari kata mo-, polume, -na,

madadi, mina, i, guru, anakoda, -na, hidayati, -na, dan Opu.

Mopolumena dari kata lume menimbah (mengeluarkan) air dari dalam

kapal. Banyaknya air yang masuk dalam kapal akan menyebabkan ia

tenggelam. Awalan mo- dan akhiran –na pada kata mopolumena

menggambarkan adanya Objek. Kata madadi dari kata dadi artinya

orang mengkuti perintah. Mina artinya dari berkorelasi dengan kata i

guru artinya dari guru. Kalimat tersebut menginterpretasikan bahwa

perintah dari guru merupakan perintah yang dengan patuh diaplikasikan

oleh murid yang baik. Akhiran –na pada kata anakodana

mengekspresikan seorang nakhoda atau kapten kapal. Kata hidayati

diadopsi dari bahasa arab artinya hidayah. –na merupakan pernyataan

untuk kata Opu (Tuhan). Interpretasi dari kalimat tersebut adalah,

seorang yang mengeluarkan air dari dalam kapal harus konsisten bagai

18
Chy Rohmanah menulis, bahwa ilmu tersebut mempelajari bagaimana
mengubah batin agar lebih dekat dengan Allah SWT hingga mendapatkan ketenangan
serta membangkitkan hal positif dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menguatkan
iman agar lebih yakin terhadap kehadiran Tuhan serta menjadikan-Nya tuntunan
kehidupan (blogging.co.id/ilmu-kebatinan. diakses pada 25-08-2014).
82

seorang murid yang baik diperintah oleh gurunya.19 Nakhoda kapal

diibaratkan sebuah hidayah dari Allah SWT.

Metaforis kalimat pada baris 360-361 tersusun dari kata asangkaa,

-ka, ka-mondo, -na, hela, yitu, tawakala, -mo, poaro, -mu, i, Opu, dan –

mu. Pada kata asangkaa artinya sempurna. Akhiran –ka kata pendek

dari jika yang mengandung makna sudah. Awalan ka- pada kata

kamondo menggambarkan sebuah kelengkapan (kesiapan). Akhiran –na

mengekspresikan kata hela yaitu kapal (berlayar). Kata yitu artinya itu,

menegaskan kata hela atau berlayar. Kata tawakala diadopsi dari

bahasa arab artinya tawakal atau berserah diri. Akhiran –mo bermakna

penegasan pada kata tawakala. Kata poaro berasasl dari kata aro

artinya hadap, awalan po- berfungsi pada awalan kata kerja, sehingga,

poaro menjelaskan sebuah arah tujuan yang lurus (menghadap) ke

depan. Akhiran –mu membayangkan adanya (kamu) pendengar sebagai

komunikan. Kata i secara stilistik artinya kepada, Opu-mu (Opumu)

menegaskan sosok Tuhan pada komunikan. Interpretasi pada kalimat

tersebut menegaskan bahwa, jika telah siap dengan segala peralatan

kapal untuk melakukan pelayaran maka itulah saatnya meluruskan

haluan kapal dan bersiap untuk berlayar.

Kalimat pernyataan pada baris 362-363 dibangun dari kata adikaa,

-ka, ngalu, ihelaaka, -mu, patoto, mea, porope, -na, bangka, dan yitu.

19
Selazimnya, air laut bisa setiap detik masuk ke dalam kapal apalagi diterpa
gelombang yang besar. Keuletan dan kesabaran mopolumena sangat dipertaruhkan dalam
aktifitas ini. Sehingga secara sintaksis, relevanlah analogi modadi mina i guru dengan
kata mopolumena.
83

Kata adikaa secara stilistik artinya bukanlah menyimpan, tapi lebih

menggambarkan makna telah siap (memungkinkan). Akhiran –ka

seperti dijelaskan di atas artinya jika. Kata ngalu artinya angin, karena

terdapat pada pembahasan kapal, ia bermakna waktu berlayar.20 Awalan

i- dan akhiran –ka pada kata ihelaakamu menegaskan makna

berlayarmu. Kata patoto dan mea mengekspresikan makna perintah

artinya luruskanlah. Porope berarti haluan, menggambarkan kapal siap

berlayar. Akhiran –na adalah kata ganti untuk persona (tunggal). Kata

Bangka artinya perahu (kapal). Yitu berarti itu (yang di sana).

Interpretasi dari kalimat tersebut menegaskan bahwa jika telah sesuai

angin laut dengan arah tujuan berlayarmu maka luruskanlah haluan

kapal mu.

Kalimat pada baris 364-365 dibentuk dari kata botu-ki, mea, lipu,

mbooresa, musiraha, -mu, tee, anto, -na, banua, dan –mu. Akhiran –i-

mea pada kata botukimea merupakan kata perintah yang artinya adalah

putuskanlah. Kata lipu berarti negeri atau kampung. Pada konteks lain,

lipu berarti dunia. Kata mbooresa membayangkan adanya tempat

tinggal, yang dihuni, tempat manusia berpopulasi. Musiraha artinya

kenalan, teman, dan orang lain entah laki-laki atau perempuan. Akhiran

–mu kata pendek dari ingko (kamu) entah laki-laki atau perempuan.

Kata tee artina juga (dan). Anto artinya isi dan akhiran –na artinya nya,

mengekspresikan isi sesuatu. Akhiran –mu pada kata banuamu

20
Kapal yang diceritakan dalam syair adalah kapal layar. Kata angina sangat
relevan dengan kapal layar. Jika arah angin laut sudah bagus dan sesuai dengan arah
tujuan berlayar, maka bersipalah untuk berlayar.
84

menegaskan pada komunikan (pembaca) yang artinya rumahmu. Isi

rumah bisa berupa manusia maupun benda mati (materi). Kalimat

tersebut menginterpretasikan penegasan analogi, agar memutuskan atau

memisahkan diri dengan kampung (kehidupan dunia), termasuk para

kolega serta isi dalam rumah.21

Retoris kalimat pada baris 366-367 tersusun dari kata pepuu, mea,

kambotu, mo-, topene, -na, zikrillahu, laa, ilaaha, illa, Allah. Pada kata

pepu artinya mulai dihubungkan dengan kata mea sebagai akhiran kata

kerja perintah yaitu mulailah. Kata kambotu berarti keputusan, yang

menjelaskan bahwa yang dimulai adalah sebuah keputusan. Awalan

mo- dan akhiran –na pada kata motopenena mengekspresikan bahwa

kambotu (keputusan) tersebut harus topene (tetap) atau tidak mudah

berubah. Kata zikirillahu menegaskan makna berzikir atas nama Allah

SWT. Kata laa, ilaaha, Illa, dan Allah merupakan kesatuan kalimat

tentang ucapan zikir yang artinya tiada Tuhan Selain Allah.22

Interpretasi pada kalimat tersebut menegaskan untuk mengambil

keputusan yang tetap saat hendak melakukan pelayaran. Keputusan

tersebut didasari dengan lafaz Laa Ilaaha Illallah (tiada Tuhan selain

Allah).

21
Begitupun saat berlayar, ia membayangkan sebuah kejadian terpisahnya
manusia dengan pulau tempat tinggalnya beserta rekan (family) beserta isi rumahnya.
22
Hubungan lafaz Laa Ilaaha Illallah sangat lekat dengan makna sebuah
keputusan seorang manusia saat hendak menyatakan kalimat syahadat. Selain itu, ia juga
diucapkan saat manusia menjelang sakratulmaut. Seorang yang mengucapkan lafaz
tersebut akan memutuskan dirinya untuk meyakini dan mempelajari Islam. Jadi, cukup
relevan ketika Idrus membuat analogi bahwa jika telah siap waktu berlayar (mati)
ucapkanlah lafaz tersebut sebagai keputusan husnul khatimah.
85

6. Traitor (Penghambat)

Karakter ini berfungsi sebaliknya dengan pendukung, di mana

karakter ini menghambat subjek dalam mencapai tujuan.23 Pada kata

jika kamu di datangi godaan setan, sementara kamu berlayar dan

itulah angina topan yang kencang, yang mampu memecahkan kapal,

adalah gambaran sebagai hambatan (ujian) seorang hamba dalam

mencapai objek tersebut (Lihat baris 368-372). Perhatikan tabel

berikut:

Tabel 4.6
Aktan Traitor
Baris Transliterasi Terjemahan

368 Neakawako garurana Jika kamu didatangi godaan


seetani setan
369 Tangasaana daangiiapo Semetara engkau sedang
uhela berlayar
370 Patotomea poropena Tetapkan haluan kapal itu
Bangka yitu
371 Pangaawana boli ataurakea Jangan turunkan layarnya
372 Osiitumo uso imapasaaka Itulah angin topan yang
pecahkan kapal
373 Neatosala poropena Jika perahumu salah haluan
Bangka yitu
374 Amapasaaka Bangka incia Kalau akhirnya pecah perahumu
siitu
375 Tokarugimu naile muri- Kelak kau akan rugi pada hari
murina kemudian
376 Osiitumu kampadaa Itulah penghabisan yang
momadaki buruk
23
Eriyanto, Analisis Narasi, (Jakarta: 2013), h. 96.
86

377 Isarongimo suu’ul haatima Itu pula namanya su’ul


kahtimah
378 Alapamo beumatina Nabii Sudah lepas dari umat Nabi
379 Asala mea millati Isilamu Telah menyalahi agama Islam

Kalimat pernyataan pada baris 368-369 dibangun dari kata nee,

akawa, -ko, garura, -na, seetani, tangaasana, dangia, -po, dan uhela.

Awalan nee- dan akhirna –ko pada kata neakawako menegaskan

peringatan akan adanya sesuatu yang menghampiri –ko (seseorang).

Akhiran –ko adalah kata ganti ingko sebagai objek (maf’uulunbih). Kata

garura secara stilistik maknanya ada gangguan bisikan. Akhiran –na

mengekspresikan sesuatu yang membawa gangguan tersebut. Kata

seetani artinya setan, menegaskan dirinya sebagai sumber dari

gangguan yang berupa bisikan. Kata tangaasana artinya di tengah atau

sementara yang membayangkan adanya aktifitas. Ia berasal dari kata

tanga yang berarti tengah. Akhiran –po pada kata dangiapo lekat

artinya dengan tangaasana yaitu sedang melakukan sesuatu. kata uhela

menggambarkan kata kerja aktif artinya adalah sedang berlayar.

Kalimat tersebut menginterpretasikan peringatan apabila saat kamu

(manusia) sementara dalam pelayaran kemduian gangguan dan bisikan

setan mulai berdatangan. Perlu digarisbawahi bahwa kalimat ini masih

terputus dan borkorelasi dengan kalimat berikutnya.

Kalimat pada baris 370-371 dibentuk dari kata patoto, -mea,

porope, -na, bangka, yitu, pangaawa, -na, boli, utaurake, dan -a.

Akhiran –mea pada kata patotomea merupakan kata perintah berkenaan

dengan pernyataan pada baris sebelumnya. Kata porope artinya haluan

dan –na makasudnya kapal (haluan kapal). Kata bangka artinya perahu
87

(kapal) dari kayu, berhubungan dengan kata poropena. Yitu

menegaskan kembali kata poropena bangka. Pada kata pangaawa

artinya layar, yang membayangkan sebuah kapal layar. –na

dimaksudkan untuk kapal. Kata boli merupakan larangan yang artinya

jangan. Kata taurakea secara stilistik artinya adalah menurunkan.24

Akhiran –a mengekspresikan sebuah pangaawa (layar). Interpretasi

dari kalimat tersebut bahwa, jika setan mulai menghasud saat sedang

berlayar, jangan sekali-kali menyerah atau kalah dari muslihat setan

hingga memutuskan untuk menurunkan layar sebagai tanda pelayaran

tidak lagi berlanjut.

Metaforis kalimat pada baris 372-373 tersusun dari kata osiitu, -mo,

uso, i, mapasaa, -ka, nee, atosala, porope, -na, bangka, dan yitu.

Akhiran –mo pada kata osiitumo menggambarkan makna penegasan

yang artinya itulah. Kata uso artinya badai (angina rebut). Awalan i dan

akhiran –a pada kata imapasaaka mengekspresikan efek dari badai

artinya mampu memecahkan sesuatu. Maksud dari badai pada kalimat

tersebut adalah gangguan dan bisikan setan. Pada kata neatosala artinya

jika salah haluan, melekat dengan kata poropena yang berarti haluan

kapal. Kedua kata tersbut membayangkan adanya kemungkinan

menurunkan layar (tergoda oleh bisikan setan) sehingga haluan

berubah. Kata bangka dan yitu sudah sering dijelaskan, artinya adalah

kapal tersebut. Sehingga, maksud dari kalimat tersebut bahwa, godaan

24
Taurakea berasal dari kata tauraka lekat dengan tauaka artinya (menurunkan
untuk). Pada Wolio Dictionary tertulis, arti kata dari tauraka adalah; menurunkan,
menaruh, menempatkan, meninggalkan (juga warisan), dan mas kawin atau mahar
(Anceaux: 179).
88

setan diibaratkan badai yang menerpa kapal. Kapal akan pecah jika

layarnya tidak berkibar lagi dan haluan telah berubah.

Pada kalimat pernyataan baris 374-375 dibangun dari kata

amapasaa, -ka, bangka, incia, siitu, too, karugi, -mu, naile, muri-muri,

dan na. Akhiran –ka pada kata amapasaaka mengandung makna jika

telah yang artinya jika telah pecah. Bangka adalah yang dimaksud telah

pecah artinya kapal. Kata incia menyatu dengan siitu, artinya yang itu

(menunjuk sebuah kapal). Awalan to- dan akhiran –mu pada kata

tokarugimu mengekspresikan makna kerugian jika kapal mulai pecah

(oleh godaan setan). Kata naile artinya besok, berkorelasi dengan kata

muri-murina yang menggambarkan makna hari kiamat. Kalimat

tersebut menginterpretasikan bahwa, kapal pecah oleh godaan setan

tersebut dianalogikan sebagai keberhasilan setan menghasud manusia

meninggalkan ibadah. Sehingga, di hari akhir nanti, manusia akan

merasa menyesal dan rugi tiada tara.

Kalimat pada baris 376-377 dibentuk dari kata osiitu, -mo,

kampadaa, mo, madaki, isarongi, -mo, suu’ul, dan haatimah. Akhiran –

mo pada kata osiitumo menggambarkan makna penegasan yang artinya

itulah. Kata kampadaa adalah gabungan dari dua kata yaitu kaa dan

padaa. Kata ka- di sini merupakan awalan kata kerja yang dihubungkan

dengan kata padaa (habis) menjadi penghabisan. Penghabisan yang

dimaksud adalah kematian. Awalan mo- merupakan kata kerja untuk

membuat parsitip aktif terhubung dengan kata madaki sehingga

menegaskan sebuah penghabisan yang buruk (kematian yang bad


89

ending). Pada kata isaro-ngi artinya yang dinamakan.25 Kata suu’ul

haatimah diadopsi dari bahasa arab, maksdunya adalah su’ul khatimah

(bad ending). Kalimat menegaskan bahwa bagi siapa yang tidak mampu

bertahan pada haluan (tujuan hidup) sehingga kapalnya pecah oleh

badai (godaan setan), maka itulah tanda-tanda yang buruk menjelang

kematian. Demikianlah sebuah akhir dari kehidupan yang su’ul

khatimah.

Retoris kalimat pada baris 378-379 tersusun dari kata alapa, -mo,

be-, umati, -na, Nabii, asala, mea, millati, dan isilamu. Akihran –mo

pada kata alapamo mengesakan adanya sesuatu yang terlepas. Kata

umatina maksudnya adalah umat manusia. Kata Nabii menegaskan

bahwa umatina adalah umat Nabi Muhammad saw. Kata asala berarti

menyalahi, berkorelasi dengan kata mea yang mengisyaratkan sesuatu

(menyalahi sesuatu). Kata millati artinya millah atau agama. Isilamu

adalah agama islam, lebih mengekspresikan hukum-hukum serta syariat

islam. Interpretasi dari kalimat tersebut adalah, jika umat manusia

menjadi su’ul khatimah saat kematiannya tiba, maka ia dikategorikan

telah lepas dari golongan umat Nabi Muhammad saw. Sebab, ia telah

menyalahi aturan Islam seperti turunan muslim sejati lainnya.

Sebagai batasan masalah, pada baris 332-383 peneliti menemukan bahwa

narasi yang dibangun dalam kitab tidaklah random, ia relevan dengan logika

kehidupan (tidak acak). Kemudian pada baris tersebut, Idrus telah menulis hal

25
Akhiran –i dan akhiran ngi memiliki makna yang sama yang berfungsi sebagai
akhiran kata kerja transitif (Anceaux: 44).
90

yang penting dan tidak memasukkan hal yang tidak penting. Sebagai narator,

Idrus menyusun narasi kitab tersebut mulai dengan peringatan kematian.

Kemudian menampilkan fenomena kehidupan dunia yang terdiri dari amar ma’ruf

nahi munkar atau ajakan kebaikan dan larangan keburukan. Baru setelah itu

narator menggambarkan tentang kematian, kemudian kiamat dan kehidupan

akhirat, yang di mana di akhirat narator juga menampilkan betapa inginnya

seorang Idrus bertemu menghadap Zat Tuhannya.

Syair tersebut menggambarkan perjalanan hidup manusia. Pengarang

(Idrus/manusia), Kematian (Angin Berlayar), dan Tuhan, ketiganya adalah ikon

dari baris tersebut. Realitas yang diceritakan dalam syair memang tidak tertuju

pada wanita atau pria, tua atau muda, dan entah di mana tempatnya. Namun,

susunan bait syair yang saling berkorelasi antara satu kalimat dengan kalimat

lainnya sangat relevan dengan kehidupan manusia secara universal. Ikon juga

merepresentasikan amal saleh dan amal fasik yang akan diperankan oleh manusia.

Indeks dalam syair tersebut ditampilkan melalui tiga tanda, yakni melalui

bait-bait (tema) yang berkaitan dengan peringatan berupa ajaran kebaikan (seperti;

zuhud, khauf, raja, dan lain-lain), melalui bahasan tentang menjelang kematian

yang husnul khatimah atau su’ul khatimah, dan juga pada baris yang menjelaskan

harapan seorang hamba melihat Zat Tuhannya.

Sementara simbol yang muncul dari syair adalah manusia yang meliputi

kata-kata iman, tasdiq, kahuf, rajaa, tawadhu’, mujahid, riyadhat, kona’at,

Qur’an, Hadits, zikir, tasbih, syara’i zahir, imlu batin, hidayah, dan tawakkal.
91

Kata- kata tersebut merupakan konatif dari sifat manusia, yang mana dalam hal ini

dikonatifkan dengan perlengkapan berlayar.

Tabel 4.7
Tanda-tanda dalam Baris 332-383
Jenis Tanda Contoh Tanda
Ikon Pengarang, Kematian
(Kapal), dan Tuhan
Indeks Dunia, husnul khatimah,
su’u; khatimah, dan
Melihat Zat Tuhan
Simbol Manusia

Dalam karakteristik Greimasian, simbol pengarang “Muhammad Idrus

Kaimuddin” yang merupakan pengarang kitab Kabanti pada dasarnya merupakan

sender. Pengarang adalah aktan yang berperan menarasikan cerita syair tersebut.

Semua ikon, indeks, maupun simbol pada syair tersebut merujuk pada pengarang.

Penegasan melalui indeks kata diriku menunjukkan ada peran subjek dalam

mengarahkan pemaknaan. Idrus (pengarang) menasihati dirinya (manusia) untuk

menjadi pribadi yang baik dan mempersipakan dirinya untuk kematian dengan

ditandai beberapa kata yang bermuara pada makna menasehati (menganjurkan).

Indeks pada tema syair yang berkaitan dengan ajaran (nasehat) pada diri sendiri

makusdnya adalah membersihkan hati. Sehingga, receiver dalam syair tersebut

adalah bisa Idrus itu sendiri, bisa juga sebagai manusia (pembaca kitab) seperti

dijelaskan di mukas.

Idrus akan menerima segala macam ajaran dari subjek untuk memenuhi

kebutuhan yang menjadi tujuan dari pengirim (sender). Kematian merupakan

pelayaran yang tidak bisa lagi untuk kembali (ke dunia), ucapan baris 336

tersebut menandakan bahwa ada sepsifikasi yang dibutuhkan sender agar terbantu
92

untuk mencapai Objek yang diingikan. Objek dalam syair tersebut adalah sebuah

harapan agar menjadi golongan yang husnul khatimah sehingga dapat melihat

(bertemu) Zat Allah SWT. Ketika waktu pencapaian objek telah tiba, itu artinya

manusia sudah menjelang kematiannya.

Untuk mencapai objek tersebut, tidak akan muda bagi hamba yang

bersarang di dunia yang penuh dengan tipu muslihat ini kecuali ia harus menelusri

kehidupan dengan berada di jalan yang lurus hingga mencapai akhir yang husnul

khatimah. Hal tersebut menjelaskan bahwa pendukung untuk mencapai objek

(husnul khatimah/rahmat di sisi Allah) tersebut yaitu amal saleh yang ditandai

oleh beberapa simbol sifat manusia (zuhud, khauf, raja, dll).

Adjuvant (pendukung) bagi hamba yang ingin cenderung melakukan amal

saleh tersebut adalah Ibadah meliputi iman, tasdiq, kahuf, rajaa, tawadhu’,

mujahid, riyadhat, kona’at, Qur’an, Hadits, zikir, tasbih, syara’i zahir, imlu batin,

hidayah, dan tawakkal. Artinya, untuk menjadi hamba yang husnul khatimah

maka kualitas amal harus diperhatikan. Berkenaan dengan hal tersebut, penekanan

untuk meninggalkan yang buruk dan lebih dekat kepada kebajikan pada dasarnya

diperintahkan untuk seluruh umat manusia.

Amal fasik yang cenderung dilakukan hamba selama di dunia berperan

sebagai traitor (penghambat). Pertama, amal fasik akan menghambat manusia

dalam konsistennya menjalankan kebaikan. Dalam baris 372, hal ini diibaratkan

sebagai angina topan yang datang menerpa kapal hingga pecah. Jika manusia

gampang tergodah dengan godaan setan tersebut, maka keputusan ia menurunkan


93

layar perjalanan hakikinya bisa menobatkan dia sebagai manusia yang su’ul

khatimah atau bad ending.

Adapaun subjek yang mengarahkan kepada objek adalah Syair Bula

Malino yang ditulis oleh Idrus. Subjek berfungsi sebagai media tertulis yang

mengandung ajaran-ajaran kegamaan. Nasihat-nasihat dan permisalan kehidupan

di dunia akan menuntun hamba menjadi makhluk yang husnul khatimah (happy

ending). Tanda-tanda dalam baris syair tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

Idrus Kaimuddin Husnul Khatimah Pembaca


Pengirim Objek Penerima

Amal Saleh Syair Godaan Setan


Pendukung Subjek Penghambat

Gambar 4.1 Model Aktan dari Narasi Bula Malino (Baris 332-383)

Gambar di atas merupakan ilustrasi dari objek, subjek, pengirim

(destinator), penerima (receiver), pendukung (adjuvant) dan penghalang (traitor).

Peran Idrus untuk menyiapkan bekal berlayarnya (kematian) agar dapat bertemu

dengan Penciptanya melalui husnul khatimah. Seperti itulah urutan narasi

sehingga menunjukkan sebuha makna dalam rangkaian yang koheren.


94

B. Pesan Dakwah dalam Syair Bula Malino pada Baris 332-383

Dalam QS Al-Nahl [16]: 125 disebutkan ada tiga macam metode dakwah

yaitu Bil-hikmah, Al-Mau’idza Al-Hasanah, dan Mujadalah. Motode yang

dilakukan Idrus melalui syair tersebut sangat relevan dengan yang kedua (Al-

Mau’idza Al-Hasanah) yaitu dakwah dengan nasehat-nasehat dan bimbingan yang

lembut melalui kisah-kisah dan sebagainya. Media yang digunakan oleh Idrus

yaitu tulisan melalui kertas atau selebaran seperti yang disebutkan oleh Taufik Al-

Wa’iy (2010:352) bahwa sarana dakwah di antaranya bisa melalui majalah, koran,

buku, kertas, selebaran, dan lain-lain yang disebut sebagai saranan maqru’ah.

Seperti yang disinggung peneliti di muka, peneliti membatasi dalam hal

mengidentifikasi pesan-pesan dakwah dalam syair tersebut hanya pada tema

terakhir saja. Peneliti menemukan 17 tema yang terbangun dari kitab tersebut.

Sehingga, karena keterbatasan waktu yang membuat skripsi pesan dakwah dalam

kitab ini, peneliti hanya bisa mengkaji pesan dakwah di satu tema saja yaitu pada

baris 332-383. Untuk penelitian lebih lanjut, perlu adanya kritik dan

penerjamahan naskah lebih mendalam lagi.

1. Pesan Dakwah pada baris 332-343

Pada baris 332 sampai baris 343 menjelaskan tentang kematian yang pasti

akan datang bagai perjalanan berlayar. Kematian itu adalah pelayaran yang tidak

bisa kembali lagi ke dunia atau ke pulau negerinya. Sehingga, wajib bagi hamba

yang bernyawa untuk bersipa menghadapi kematian tersebut. Beberapa ayat Al-

Qur’an yang kita sering dengar mengenai kematian sebagai berikut:


95

    

“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati


pula” (QS. Az-Azumar [39]: 30).

           

“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada


hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian”. (QS. Ali-Imran [3]:
185).

2. Pesan Dakwah Pada baris 344-359

Pada baris 344-345 menganalogikan tiang kapal adalah khauf (ketaukutan

kepada Allah SWT) serta layar kapal bagaikan raja.26 Ini merupakan ekspresi rasa

takut kepada Allah SWT dan mengharapkan raja dan keridhoan kepada Allah

SWT. Khauf dan Rajaa adalah dua tali kekang yang berguna untuk

mengendalilkan orang yang masih belum nampak keindahan Ilahi dalam

hatinya.27 Seperti beberapa ayat tersebut.

                  

“Katakanlah (wahai Muhammad), jika kamu (benar-benar) mencntai


Allah, ikutlah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-
dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali-Imran
[3]: 31).

         
  

26
Lihat Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jkarta,
2012:431). Ar-Rajaa ialah merenungkan nikmat Allah SWT kepada manusia yang berupa
kesehatan tubuh serta anggota tubuh yang berfungsi dengan baik. Lalu merenungkan
sebab diutusnya para Nabi sebagai pemberi petunjuk dan diciptakannya makanan,
minuman, dan obat-obatan yang semua itu demi untuk dirinya.
27
Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jakarta: 2012), h.
432.
96

“Barang siapa yang takut kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada
Allah dan bertakwa kepada-nya, maka mereka adalah orang-orang yang
mendapatkan kemenangan”. (QS. An-Nur [24]: 52).

Pada baris 346-347 menegaskan bahwa layar depan harus dengan sifat

rendah hati (tawadhu’) dan para pendayung bagaikan semangatnya para

mujahidin. Rasulullah saw pernah ditanya, “Ya Rasulallah, dengan apa

keselamatan itu diperoleh?” Beliau menjawab, “Dengan tidak melakukan ketaatan

hanya kerena ingin dipuji orang.” (HR. Ahmad).28 Seperti dalam Al-Qur’an

difirmankan sebagai berikut:

         


   
   
  
 

“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (adalah) orang-


orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-
orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselematan”. (QS. Al-Furqan [25]: 63).

          

“Ingatlah (Muhammad) tatkalah Tuhanmu mewahyukan kepada Malaikat.


Sesungguhnya Aku bersama dengan kalian, karenanya, tabahkanlah
(hati/semangat) orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Anfal [8]: 12).

Kemduian pada baris 348-349 menyebutkan bahwa tali-temali kapal harus

dengan riyadhat dan pengikatnya harus dengan kinaa’at. Maksud riyadhat adalah

mengoreksi diri (olah batin) atau menggembleng diri serta mengkaji diri. Manusia

mempunyai dua cara untuk mengawasi dan mengoreksi diri yaitu dengan cara

menegur diri sendiri atas kesalahan yang dilakukan dan bermunajat kepada Allah

28
Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jakarta: 2012), h.
382.
97

SWT.29 Kinaa’at maksdnya merasa cukup atas apa yang diterima. Beberapa dalil

yang menjelaskan tentang mengkaji diri, yaitu sebagai berikut:

                    

“Dan tiada satu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang


memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat binatang yang berdiam
binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam kitab yang
nyata”. (QS. Huud [11]: 6).

Pada bari 350-351 mengonotasikan seorang kemudi pada kapal bertugas

untuk ke mana haluan kapal diarahkan. Untuk itu, agar haluan kehidupan tetap

pada jalan yang lurus ia harus menyandang ketulusan hati yang bersih. Seperti

dalam Hadits Riwayat Muslim, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dalam tubuh

manusia ada segumpal daging yang jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh dan

jika ia buruk, maka buruklah seluruh tubuh, itulah hati”.30 Beberapa dalil juga

menyebutkan sebagai berikut:

         

“Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengarannya, dan


penglihatannya telah dikunci oleh Allah SWT.” (QS. An-Nahl [16]: 108).

            
      



“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang


lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin
yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang
besar.” (QS. Al-Israa [17]: 9).

29
Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jakarta: 2012), h.
517.
30
Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jakarta: 2012), h.
273.
98

Pada baris 352-353 dikonotasikan bahwa kompas kapal yaitu Al-Qur’an

dan Hadits. Penunjuk haluan adalah Qur’an dan Hadits sebagaimana keduanya

juga sebagai petunjuk kehidupan dunia. Sebagaimana firman Allah:

            
         

               

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah taatlah kepada


Rasul-Nya dan Uli Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59).

Pada baris 354-355 menggambarkan bendera kapal adalah zuhud dan

bendera umbul-umbul kapal yaitu zikir dan tasbih. Menurut Al-Ghazali, hakikat

zuhud adalah meninggalkan sesuatu dan menginginkan sesuatu yang lain. Orang

yang meninggalkan dunia dan membencinya, lalu menghendaki akhirat, itulah

orang yang zuhud terhadap dunia.31 Zikir dan tasbih bermakna berzikir dan

bertasbih kepada Allah SWT. Sehingga, bendera yang dibawa oleh kapal

berlandaskan zuhud. Sebagaimana dalil yang menyebutnya yaitu:

            

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai

perhiasan baginya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 7).

        

31
Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jakarta: 2012), h.
450.
99

“Barang siapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan


keuntungan itu baginya.” (QS. Asy-Syu’araa’ [26]: 20).

               
  

       


 

“Maka apabilah kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di


waktu berdiri, di waktu duduk dan diwaktu berbaring.” (QS. An-Nisaa’
[4]: 103).

Pada baris 356-357 dikatakan bahwa Jurubatu kapal yaitu syara’i dan

zahir yaitu terlatih secara mata zahir untuk melihat mana yang baik dan mana

yang batil. Begitupun Jurumudi kapal, yaitu dengan ilmu batin yang ia miliki

mampu marasakan secara firasat apa saja yang akan menempa kehidupan (kapal).

Begitupun dalam alqur’an, ada makna zahir da nada makna batin. Sebagai mana

dalil tersebut:

        


 

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati


mereka terkunci?” (QS. Muhammad [47]: 24).

  
      

“Dan Allah telah menyempurnakan bagimu nikmat zahir dan nikmat


batin.” (QS. Luqman [31]: 20).

Pada baris 358-359 menyatakan bahwa yang bertugas mengeluarkan air

yang masuk ke dalam kapal harus memiliki semangat seolah dia sedang diperintah

oleh gurunya. Nahkoda kapal diibaratkan sebuah hidayah dari Allah SWT yang

menunjukkan jalan lurus. Seperti beberapa dalil berikut:


100

Rasulullah saw bersabda : “Kedudukanku bagi kalian seperti seorang


Ayah bagi anaknya”. Maksudnya : Beliau (saw) sebagai guru adalah
menyelamatkan manusia dari penderitaan jangka panjang yang abadi
nanti di akhirat. Dan ia lebih penting dari pada tugas kedua orang tua
yang menyelamatkan anaknya dari penderitaan di dunia belaka. Oleh
karena itu, hak seorang guru lebih besar daripada hak kedua orang tua,
karena orang tua sebagai sebab hadirnya seorang anak dalam kehidupan
yang fana di dunia ini, sementara guru menjadi sebab untuk meraih
kebahagian dalam kehidupan jangka panjang yang abadi di akhirat nanti
(Al-Hadits).32


    
              

          

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah


selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada Ibu Bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di anatara mereka atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa’ [17]: 23).

                  

 

"Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat


(saja dan memaksamu untuk beriman). Tetapi Allah menyesatkan siapa
yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang
telah kamu kerjakan." (QS. An-Nahl [16]: 93).

32
http://ssarifin.blogspot.com/2012/02/menghormati-orang-dan-guru.html
(diakses 24 September 2014).
101

3. Pesan Dakwah Pada Baris 360-379

Pada baris tersebut dijelaskan agar senantiasa bertawakkal kepada Allah

SWT saat semua perlengkapan berlayar telah siap. Hakikat tawakkal bisa

diketahui dari berbagai ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi di antaranya:

        

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-
benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah [5]: 23).

Begitupun pada QS. Ath-Thalaq [65]: 3, “Barang siapa yang bertawakkal

kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan kelular.” Serta dalam

QS. Ali-Imran [3]: 159, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang

bertawakkal kepada-Nya.” Nabi Muhammad saw bersabda, “Seandainya kalian

bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, maka Allah pasti

akan memberi rezeki sebagaimana Ia memberi rezeki kepada burung yang pada

pagi hari pergi dengan perut kosong dan pulang pada sore hari dengan perut

kenyang.” HR. Al-Bukhari.33

Maksud dari baris 361-364 adalah meninggalkan negeri tempat tinggal

serta sanak saudara dan harta benda di dunia. Ini menggambarkan untuk tidak

terlalu mencintai keduniaan. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa mencintai

keduniaan itu tercela34 seperti firma Allah SWT dalam QS. Al-Munaafiqun [63]: 9

yang artinya; “Hai orang-orang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-

33
Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jakarta: 2012), h.
457.
34
Lihat Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali (Jakarta, 2012:
362)
102

anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat

demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”.

Kemudian pada baris 365-366 menegaskan agar memulai keputusan untuk

berlayar atau menelusuri kehidupan dengan berlandaskan syahadat dan senantiasa

berzikir kepada Allah SWT bahwa tiada Tuhan selain Dia. Imam Al-Ghazali

mengutip sebuah riwayat dikatakan, “Suatu kaum yang duduk (di suatu majelis),

tetapi selama itu tidak pernah mengingat Allah SWT (berzikir) dan tidak pula

bershalawat kepada Nabi saw, maka mereka akan merugi pada hari kiamat kelak.”

HR. Ahmad.35

Pada baris 367-379 menegaskan bahwa akan ada godaan setan dalam

perjalana hidup seorang hamba. Namun, dianjurkan dalam syair tersebut agar

tetap pada haluan dan tidak tergoda oleh tipu daya setan. Jangan turunkan layar

sebagai semangat raja sebab itulah godaan yang dahsyat yang datang dari mana

saja dan tak henti menguji ketakwaan hamba.

Jika haluan kapal sudah berubah, itu tandanya setan berhasil

menggoyahkan konsisten iman dan ketakwaan seorang hamba. Di hari kemudian,

ia akan merugi, sebab telah tergolong sebagai orang-orang yang su’ul khatimah.

Sehingga, hamba tersebut dinilai terputus dari ajaran agama Islam. Beberapa dalil

yang berkaitan dengan pesan kalimat tersebut sebagai berikut:

35
Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jakarta: 2012), h.
168.
103

          


       

     


     

“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan


(menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian
saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari
kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al-A’raf [7]: 16-17).

                  
  

  

“Katakanlah, apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-


orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi [18]:
103-104).

4. Pesan Dakwah Pada Baris 380-383

Pada baris tersebut, Idrus Kaimuddin memohon untuk ditetapkan hatinya

pada garis-garis agama Islam sehingga bisa menghadap kepada Zat Allah SWT. Ia

juga mengharapkan keimanannya meningkat agar mati dalam keadaan husnul

khatimah. Imam Al-Ghazali mengutip sebuah kisah ketika Mu’awiyah mendekati

ajal, beliau berkata, “Dudukkanlah aku,” maka beliau didudukkan. Lalu beliau

mulai berzikir dan bertasbih. Setelah itu beliau menangis sejadi-jadinya, lalu

berkata, “Ya Rabb, kasihanilah orang tua renta yang banyak dosa dan berhati

keras. Ya Allah, kurangilah kekeliruanku, ampunilah … ampunilah dosaku dan

berikanlah kelembutan-Mu pada orang yang tidak pernah berharap kepada selain
104

diri-Mu dan tidak percaya pada siapapun selain Engkau.”36 Seperti Firman Allah

SWT berikut:

      


             

                
  

           

“Dan janganlah kamua mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan


Allah itu mati bahkan mereka hidup di sisi Tuhan mereka dengan
mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia
Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka beriang hati
terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka (yang
masih berjihad di jalan Allah) yang belum menyusul mereka. Ketahuilah
tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.
Mereka bergembira dengan nimat dan karunia yang besar dari Allah dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.”
(QS. Ali-Imran [3]: 169-171).

C. Interpretasi Kitab dalam Gerakan Dakwah Masa Kini

Seperti yang dilakukan Suhurah, salah satu pelantun kabanti wolio wanita,

ia menyampaikan syair tersebut dengan metode nyanyian. Belum lagi kabanti

telah direkam dalam bentuk audio (MP3) dan bahkan telah dikembangkan dalam

bentuk karya ilmiah seperti buku hingga Ebook. Semua itu menunjukkan bahwa

kabanti diterima oleh masyarakat sebagai karya yang urgent. Selain itu, kabanti

juga dinobatkan sebagai nilai-nilai Islam dalam tradisi kesenian Buton.37

Narator menulis mengenai kebaikan dan keburukan yang bersarang di

dunia seperti ungkapan amar ma’ruf nahi munkar. Beberapa tema dalam syair

seperi kematian, larangan menfitnah, kewaspadaan akan muslihat dunia, serta

36
Abdurraziq, Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, (Jakarta: 2012), h.
546.
37
Sastra tulisan dibuton identik dengan sastra dunia keraton. Lihat Supriyanto
dalam Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara, (Kendari: 2009), h. 86.
105

cerita hari kiamat menjadi topik dominan dalam kitab tersebut. Seperti halnya

para Ustadz atau Ulama saat ini, dakwah yang dilakukan tidak jauh berbeda

substansinya dengan kandungan kabanti Idrus. Namun, gerakan dakwah masa

kini, di mana metode dakwah telah sejalan dengan perkembangan teknologi dan

komunikasi. Maksudnya, dakwah telah bertransformasi menjadi objek yang

mudah diakses. Pada saat yang sama, seseorang bisa mendengar atau membaca

subjek tentang dakwah di layar computer secara networking.

Gerakan dakwah masa kini sudah sangat jauh dengan apa yang ditulis oleh

Idrus. Tidak hanya dalam bentuk tulisan aksara Arab, namun kuantitas isinya yang

cukup banyak akan tersaingi dengan dakwah melalui media televisi, radio, atau

metode dan media kontemporerlainnya yang bersifat lisan dan tulisan. Namun,

kreatifitas yang menjadi instrument kabanti ini bisa jadi senjata ampuh untuk

mengalihkan kembali mitra dakwah masyarakat buton agar memahami bahwa

kitab yang ditulis oleh Idrus bukan untuk disimpan dalam lemari buku tua

kemudian hangus begitu saja. Instrument tersebut adalah nyanyian (nada) kabanti

wolio secara khusus. Berkenaan dengan upaya Suhura, seorang praktisi kabanti

wanita, juga sejumlah praktisi lainnya yang memahami kabanti dan

melestarikannya dengan menguasai model nyayian syair tersebut.

Syair-syair yang nadanya satu model tersebut, sadar atau tidak sadar telah

bergerak sebagai dakwah, entah dalam bentuk kaset (audio) maupun karya ilmiah.

Di satu sisi, pendengarnya “mungkin” memahami arti dan makna dari kabanti

tersebut. Di sisi lain, masyarakat mengoleksinya hanya sebatas untuk identitas diri

agar lebih merasa menjadi masyarakat buton dan sebagainya. Namun, menurut
106

peneliti, kedua konsumen atau mitra dakwah tersebut tidak akan memahami

secara komprehensif maksud dan tujuan dakwah dalam syair tersebut jika tidak

memiliki kecakapan dalam bahsa Wolio serta pengetahuan agama yang baik.

Gerakan dakwah model syair tersebut akan diapresiasi di era digital ini

kemudian dapat juga dikembangkan seiring perkembangan zaman. Untuk lebih

menyadarinya, peneliti memberikan gambaran dua faktor pendukung dan

penghambat Kitab Bula Malino atau syair lainnya dapat diformulasikan dengan

gerakan dakwah saat ini, yaitu sebagai berikut:

1. Faktor Pendukung

Kondisi kitab serta syair lainnya masih sangat perlu diteliti. Bentuk

tulisan aksara Arab Wolio tentu akan sulit bagi masyarakat saat ini. Bukan

hanya perkara budaya bahasa daerah (Wolio) yang mulai pudar, namun

gaya hidup masyarakat yang konsumtif dan populer bisa menjadi motivasi

kitab ini perlu dikaji serta diperbanyak. Selain transliterasi, peneliti

menemukan sejumlah buku yang mengkaji Kitab Bula Malino seperti

Membara di Api Tuhan (La Ode Malim: 1983) dan Nasiha Sultan

Muhammad Idrus Kaimuddin (Laniampe: 2009).

Berkenaan dengan gerakan dakwah masa kontemporer, seperti yang

dilakukan La Ode Malim dalam Membara di Api Tuhan, sangat

mendukung dalam pergerakan dakwah dengan sarana tulisan (al-mau’idza

al-hasanah). Bukunya telah dikembangkan dalam bentuk Ebook (buku

elektronik) dan dapat diakses serta didownload oleh siapa saja dan kapan

saja. Begitupun yang dilakukan oleh Laniampe dan peneliti sendiri, secara
107

ilmiah, kitab tersebut akan menjadi topik populer di ruang diskusi pelajar,

mahasiswa, serta ilmuan lainnya. Berhubungan dengan hal tersebut,

peneliti menilai bahwa gerakan dakwah ini akan mendapat antusias khusus

seperti halnya pada selera food, fashion, dan fun masyarakat saat ini.

Tentunya jika formulasi yang dilakukan para penulis di atas didukung

masyarakat serta pemerintah berandil sebagai pendukung utama.

Sepeti yang dikatakan Munir Amin, bahwa media elektronik

merupakan media efektif dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan

kepada khalayak atau mitra dakwah. Apalagi pada gerakan dakwah masa

kini. Sebab, ciri utama media massa elektronik ialah keserempakan

(simultanitas). Sehingga, khalayak bisa kapan saja menerima atau

membaca kitab tersebut.38

Seirama dengan QS Ali Imran [3]: 104, Idrus sabgai da’i telah

memasukkan esensi dakwah yaitu mengajak pada kebajikan dan mencegah

dari yang munkar. Begitupun pada sasarannya, dakwah dalam kitab

tersebut bisa secara fardiyah maupun jama’ah. Artinya, kandungan

dakwah yang diekspresikan penulis dalam kitab Bula Malino tersebut bisa

diterima oleh setiap kalangan.

2. Faktor Penghambat

Jika upaya-upaya tersebut di atas tidak dikembangkan atau dalam

katalain “terhenti”, maka untuk memaknai kitab syair Bula Malino dan

syair lainnya yang harus dengan keahlian bahasa Wolio serta ruang waktu

dan membutuhkan waktu yang lama, di mana pada era globalisasi ini gaya

38
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Sinar Grafika Offset, Jakarta:Amzah,
2009), h. 267-268.
108

seperti itu sudah tidak memungkinkan lagi. Sebab, Tokoh kabanti seperti

Lambalangi, Almujazi, Syafiuddin serta Tokoh lainnya yang tidak

disebutkan, pasti akan memerlukan generasi.

Peneliti sebagai pengguna bahasa Wolio menemukan pendapat yang

berbeda di buku La Niampe dengan tulisan Ayah dari Almujazi dalam

Bula Malino. Belum lagi ditambah dengan fenomena bahasa wolio yang

tidak lagi menjadi high culture. Fenomena tersebut tidak bisa disalahkan,

justru itulah yang menjadi alasan mengapa para Tokoh Budaya

memerlukan generasi untuk meneruskan dakwah ini.

Berkenaan dengan dakwah di era digital saat ini, karya syair-syair

agama tersebut akan musnah begitu saja jika para pemegang naskahnya

tidak memahami dakwah dalam Islam secara universal. Seluruh naskah

yang belum dikaji akan digerogoti hewan jika terus berdiam di dalam peti

sampai akhirnya tidak satupun lagi yang bertahan. Kajian Islam yang

dilakukan para ulama pendahulu (Sultan) akan menjadi rumor bahkan

dongeng belaka jika apa yang dilakukan Nabi yaitu menyampaikan wahyu

(naskah Al-Qur’an) tidak dipahami oleh masyarakat. Maksudnya, arus

perkembangan metode dakwah akan terus bertransformasi dan akan sulit

masyarakat bendung bahkan justru harus terbuka secara ilmiah. Sehingga,

pemerintah harus mengerti bahwa beberapa Tokoh Adat dan Budaya di

buton seharusnya juga didukung atas kesadaran ilmiah mereka memelihara

naskah tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti menilai bahwa yang akan

menghambat syair-syair tersebut bisa diformulasikan dengan gerakan


109

dakwah saat ini adalah jika masyarakat tidak mengembangkannya secara

ilimiah. Bisa meniru seperti pada buku Membara di Api Tuhan yang telah

berbentuk Ebook. Keterbukaan Almujazi sangat perlu didukung dari

pemerintah agar naskah yang tersimpan dapat terjaga dan bisa bertahan

lama. Sebab, jika tidak, itu akan menjadi penghambat besar kitab dakwah

ini beradaptasi dengan zaman modern. Bukan perkara mereka tidak

memberikan naskah tersebut, namun, tempat penyimpanan yang tidak

layak akan saling kejar dengan upaya sejumlah peneliti atau mitra dakwah

dalam menyetarakannya dengan gerakan dakwah masa kini.

3. Posisi Bula Malino dengan Manuskrip Lain

Semua syair yang dibuat oleh orang tua dahulu masing-masing

mempunyai tujuan khusus yaitu ajaran tentang agama. Misalkan pada

acara nikah, kabanti yang berjudul Momondona Rua Miaana (Terjalinnya

dua sejoli) nampaknya dikarang untuk hubungan rumah tangga. Ungkapan

Suhura tersebut terlihat saat peneliti melakukan wawancara dengan Pak

Lambalangi. Penulis transliterasi kabanti tersebut menunjukkan sejumlah

tulisannya dengan bermacam-macam tema. Selain Bula Malino (Purna

yang Cerah), syair yang tebal adalah Ajonga Indaa Malusa (Pakaian yang

Tak Pernah Kusut). Namun, peneliti menemukan setiap buku mengenai

sejarah buton dan mengandung tema keislaman, selalu terdapat bahasan

Kabanti Bula Malino.

Posisi Kitab Bula Malino memang cukup populer di kalangan

masyarakat dan bisa dibilang sangat berlaku ucapan “siapa yang tidak tahu

Kabanti Bula Malino?”. Tidak jarang ditemukan beberapa individu yang


110

familiar dengan nama Bula Malino namun tidak mengerti isi kitabnya

bahkan belum pernah melihat bagaimana bentuk tulisannya. Memang

sejumlah masyarakat telah menggenggam kaset VCD Bula Malino tapi

nampaknya upaya nyanyian tersebut kurang produktif sebagai sarana

dakwah jika pendengarnya (masyarakat) tidak memiliki kecakapan bahasa

Wolio.

Jika dilihat dari prespektif dakwah, tidak ada klasifikasi mana yang

bagus dan mana yang tidak di antara semua kitab kabanti yang ada di

Buton. Secara universal, ulama dahulu memang telah mencurahkan

segenap pemikiran hingga menghasilkan karya tulis sastra agama. Itu

terlihat dari struktur narasi penulisan kitab-kitab tersebut. Seperti ucapan

Suhura, peneliti menilai bahwa, perlu adanya kajian berikutnya pada syair

(kitab) lain selain Bula Malino. Dari seluruh Manuskrip yang ada di

Buton, dalam hal ini berkaitan yang dengan syair agama, kitab yang dikaji

oleh peneliti ini merupakan satu-satunya syair yang lebih dominan ditulis

dan dikaji secara ilmiah. Namun demikian, sangat perlu bagi peneliti serta

masyarakat untuk menjamahi manuskrip lain dan mengkajinya secara

ilmiah pula.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Model Aktan Greimas dalam narasi Kitab Bula Malino khususnya pada

baris 332-383 menunjukkan adanya rangkaian hubungan antar satu kalimat (bait)

dengan kalimat lainnya. Dalam hal ini, Idrus sebagai destinator (pengirim)

menulis sebuah kitab syair. Dalam baris tersebut mengandung pesan peringatan

kematian. Topik kematina dikirim oleh Idrus dalam syair sebagai subjek agar

manusia lebih bersiap menjalani kehidupan. Sehingga, sebagai receiver

(penerima) adalah bisa seorang narator namun bisa juga manusia. Sebab, kitab ini

akan dibaca oleh khalayak, secara tidak langsung, pesan yang dinaraskan dalam

kitab tersebut ditujukan kepada manusia selain pengarang.

Kemudian, yang diharapkan Idrus (narator) atau yang menjadi objek

dalam kajian baris tersebut adalah harapan agar menjadi manusia yang husnul

khatimah sehingga dapat melihat secara langsung Zat Tuhannya. Untuk

mencapai objek tersebut maka wajib bagi hamba untuk membekali perjalanan

hidupnya dengan keimanan dan tasdiq yang tetap. Kualitas amal saleh yang serta

Qur’an dan Hadits yang dijadikan pedoman oleh hamba selama di dunia akan

membentenginya dari godaan setan yang menerpa. Itulah yang dinamakan

Adjuvant (pendukung) menurut Greimas.

Dalam perjalanan hidup ini, sudah tentu ada yang namanya ujian dan

cobaan. Dalam hal ini, cobaan dan ujian yang dimaksud adalah suatu yang

menghambat manusia dalam konsistensinya mencapai objek tersebut. Dikatakan

111
112

bahwa, akan ada godaan setan bagai angin topan yang kencang datang menerpa

hamba. Jika godaan tersebut mampu menggoyahkan konsistensi iman dan

mampu meruntuhkan semangat ibadah, maka hamba tersebut akan tergolong

orang-orang yang su’ul khatimah. Hal tersebut dinamakan traitor (penghambat)

yang menghalai seorang hamba untuk mencapai tujuannya (objek) yaitu bertemu

dengan Tuhan sebagai hamba yang husnul khatimah.

Ada tiga rangkain cerita dalam kitab tersebut. Pertama, bagian awal yaitu

dibuka dengan tema peringatan kematian. Kedua, bagian tengah yaitu

menarasikan tentang keimanan dan konsistensi amal saleh. Ketiga, bagian akhir,

narasi tentang kematian yang dalam perjalanannya akan menuju husnul khatimah

dan bisa saja menuju pada su’ul khatimah. 332-383 (Tabel 4.17).

Dalam gerakan dakwah masa kini, materi dakwah yang dinarasikan oleh

Idrus merupakan topik-topik urgent bagi setiap kalangan. Sudah lazim bagi

media dakwah, manuskrip tersebut dapat diformulasikan dengan gerakan dakwah

masa kini. Dakwah secara tulisan (al-mau’idza al-hasanah) ilmiah tersebut tidak

hanya didapati pada kitab Bula Malino. Masih banyak media dakwah berbentuk

tulisan syair yang serupa dengan kitab Idrus tersebut. Tidak hanya pada

masyarakat buton, secara umum, karya ilmiah ini dapat dibaca semua kalangan.

Beberapa dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits berkaitan dengan item-item

pesan dakwah tersebut seperti yang di tulis di bab sebelumnya. Pada batasan

kajian dakwah yang ditentukan peneliti tersebut merupakan rangkuman dari

rangkaian 16 tema lainnya. Artinya, perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai

kitab Bula Malino ini.


113

Pesan dakwah yang takandung dalam baris 332 sampai baris 383 sangat

terlihat dan meliputi beberapa hal yaitu:

1. Mengenai kematian yang tak mungkin hamba bisa kembali lagi ke

dunia. Kematian dinantikan oleh orang alim dan diharapkan oleh orang

saleh.

2. Kelengkapan berlayar yang lekat dengan religionitas. Tiang kapal yaitu

khauf dan layarnya adalah rajaa. Layar paling depan adalah tawaduh’

dan para pendayung laksana para Mujahid. Tali-temalinya adalah

riyadhat dan pengikatnya adalah konaa’ah. Kemudi kapal harus

berhati bersih dan tulus serta. Kompas kapal menggunakan Qur’an dan

Hadits serta. Bendera kapal harus bernafaskan zuhud serta bendera

umbul-umbulnya yaitu zikir dan tasbih. Jurubatu mempunyai ilmu

zahir dan Jurumudinya harus memiliki ilmu batin. Petugas yang

mengeluarkan air dalam kapal harus berjiwa seorang murid yang taat

pada gurunya dan Nahkoda kapal harus seperti sebuah hidayah dari

Allah SWT.

3. Perintah bertawakkal kepada Allah SWT saat siap melakukan sesuatu.

meluruskan niat. Mulai melupakan kepentingan dunia serta diawali

dengan keputusan yang baik dengan landasan Laa Ilaaha Illallaah

yaitu semata-mata niatnya hanya mengharap ridha Allah SWT.

4. Menghadapi beragam godaan cobaan dengan tetap teguh pada

pendirian. Tidak mengubah atau menggoyah keimanan atas niat yang

telah dibentuk. Sebab, jika tidak bertahan, maka seorang hamba akan

merugi di kemduian hari. Kerugian ini dinamakan su’ul khatimah.


114

Sehingga, seorang hamba harus menguatkan imannya agar menjadi

hamba yang husnul khatimah dan melihat Zat Tuhannya.

B. Saran

Kitab atau buku adalah salah satu media dakwah dalam bentuk tulisan

yang ditulis oleh seorang yang telah wafat ratusan tahun silam. Kondisi tersebut

menggambarkan bahwa kandungan kitab tersebut ditulis berkenaan dengan corak

kehidupan pada masa si pengarang. Sehingga, sebagai media dakwah, seharusnya

kitab tersebut harus dikaji lebih tajam dengan pendekatan ilmiah yang

berkembang agar mitra dakwah atau masyarakat buton khususnya menyadari

bahwa gerakan dakwah Islam bukan baru lahir saat ini.

Kabanti Bula Malino adalah kitab yang bukan satu-satunya membahas

tentang ajaran agama. Kitab lain seperti Ajonga Inda Malusa, Momondona

Ruamiana, dan kitab lainnya masih dalam bentuk transliterasi dan belum

dikembangkan seperti Bula Malino dalam buku Membara di Api Tuhan serta

yang diteliti oleh penulis lainnya. Sebagai upaya menambah khazanah kelimuan,

perlu juga bagi kitab yang lain untuk dikaji dengan penelitian ilmiah. Tentunya

itu akan mudah dilakukan jika didukung oleh sumber yang open minded

(terbuka). Maksudnya, diharapakan kepada pemegang manuskrip atau naskah

kitab tersebut agar mendukung penelliti secara profesional.

Harapan yang sama kepada sejumlah peneliti agar menjaga

profesionalisme karya ilmiah dengan menyatakan dari mana sumber (referensi)

didapat. Dalam buku misalnya, atau karya ilmiah lainnya, penulis harus

menghindari sifat egois atau lupa menulis bagaimana sumber (kitab) bisa didapat
115

atau dari manakah manuskrip tersebut ditemukan. Demikian itu telah menjadi

sebab mengapa para pemegang naskah (manuskrip) buton enggan membuka

(memberi) kepada tiap peneliti.

Oleh Karen itu, perlu adanya dukungan dari masyarakat terutama

pemerintah agar karya dakwah ini menjadi sumber yang dapat diakses semua

orang dalam bentuk Ebook dan sebagainya. Sebab gerekan dakwah di era digital

ini patut membutuhkan keselrasan perkembangan teknologi. Misalnya, kitab

tersebut dapat diformulasikan menjadi aplikasi dalam telepon genggam

(Android).
DAFTAR PUSTAKA

Alifuddin, M. Islam Buton: Interaksi Islam dengan Budaya Lokal, Badan Litbang
dan Dilat Departemen Agama, 2007.

Al-Bakri, Ahmad Abdurraziq. Ringkasan Ihya’ulumuddin:Imam Al-Ghazali, Jakarta:


PT. Sahara Intisais 2012.

Amahzun, Muhammad. Manhaj Dakwah Rasulullah, Qisthi Press, Jakarta: 2004.

Arifin, Anwar. Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi Komunikasi, Graha Ilmu,


Yogyakarta: 2011.

Arifin, M. Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

Amin, Samsul Munir. Ilmu Dakwah, Penertib, Sinar Grafika Offset, Jakarta: Amzah,
2009.

Yunus, Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, 2011.

Al-Wa’iy, Taufik. “Da’wah Ilallah” Dakwah ke Jalan Allah: Muatan, Saran, dan
Tujuan, Jakarta: Robbani Press, 2010.

Aripuddin, Acep. Dakwah Antarbudaya, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung: 2012.

ANCEAUX, J. C. Wolio Dictionary-wolio-english-indonesia, Foris Publication


Holland: 1987.

Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks


Berita Media, Kencana Pernada Media Group, Jakarta, 2013.

Fang, Liaw Yock. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, Jakarta Yayaysan Obor
Indonesia, 2011.

Hefni, Harjani. Pengantar Sejarah Dakwah, Kencana Prenada Meida Group: Jakarta,
2007.

Ikram, Achadiati. Katalok Naskah Buto: Koleksi Abdul Mulku Zahari, Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia, 2002.

Ilaihi, Wahyu. Komunikasi Dakwah, PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2010.


Ismail, Nawari. Filsafat Dakwah: Ilmu Dakwah dan Penerapannya, PT. Bulan
Bintang, Jakarta: 2004.

Ikram, Achadiati. Katalok Naskah Buto: Koleksi Abdul Mulku Zahari, Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia, 2002.

Ikram, Achadiati, dkk:Mukhlis PaEni:Editor Umum, Sejarah Kebudayaan Indonesia:


Bahasa, Sastra, dan Aksara, Rajawali Pers, Jakarta: 2009.

Keraf, Gorys. Argumentasi dan Narasi Jakarta: PT. Gramedia, 1986.

Lamra, Tarafu. Alih Aksara dan Bahasa, Buton

La Niampe, Nasihat Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu Badaruddin Al-


Buthuni, Kendari, FKIP Unhalu, 2009.

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern, Gajah Mada University Press, Cetakan
kesepuluh: Yogyakarta, 2011.

Saputra, Wahidin. Pengantar Ilmu Dakwah, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992.

Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2009.

Sobur, Alex. Komunikasi Naratif: Paradigma, Analisis, dan Aplikasi PT. Remaja
Rosdakarya Bandung, 2014.

Sobur, Alex. Komunikasi Naratif: Paradigma, Analisis, dan Aplikasi, PT. Remaja
Rosdakarya Bandung, 2014.

Syukur, La Ode Muh, dkk. Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara, CV.
Shadra, 2009.

Syukur, Asmuni. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya, Al-Ikhlas,

Tamam, Nurul Badru. Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher, Jakarta: Grafindo


Khazanah Ilmu, 2005.

Umar, Thoha Yahya. Imu Dakwah, Jakarta: CV. Al-Hidayah, 2002.


Sumber lain:

blogging.co.id/ilmu-kebatinan. diakses pada 25-08-2014

http://ssarifin.blogspot.com/2012/02/menghormati-orang-dan-guru.html (diakses 24
September 2014).
Rulli Nasrullah, Semiotika Naratif Graimas dalam Iklan Busana Muslim,
www.kangarul.com.
http://myrepositori.pnm.gov.my/bitstream/123456789/1627/1/PAMM2014_Paper09.
pdf (diakses 25 September 2014).
Naskah Kabanti Bula Malino (Tulisan Abdul Mulku Zahari) Ayah dari Al-
Mujazi sebagai Pemegang naskah.

Tulisan Kitab berbentuk Aksara Arab-Wolio (Bahasa Wolio)


Tulisan Tangan Muhammad Idrus Kaimuddin
Diperoleh dari Al-Mujazi

Tulisan Al-Qur’an oleh Muhammad Idrus Kaimuddin


TRANSKIP WAWANCARA

Narasumber : Al Mujazi

Institusi : Museum Kebudayaan Wolio

Jabatan : Pemegang Naskah sekaligus (bisa dibilang) Pemilik Naskah

Hari, Tanggal : Kamis, 13 Maret 2014

Waktu : 16.00-17.00 WITA

Alamat : Jalan Labuke, Buton Sulawesi Tenggara (tepatnya di benteng

keraton buton)

(T) Kabanti merupakan sarana dakwah, apakah perlu dibudayakan?

(J) “Seharusnya apa yang telah kita awali dari kabanti tetap kita lanjutkan, jangan

diputuskan.”

(J) Apa sajakah isi kandungan kabanti wolio?

Kabanti semua mengandung ajaran. Baik buruknya tingkah laku kita dan

mengetahui jati diri kita. Termasuk sejarah dan keadaan benteng Buton ini

tersimpan dalam kabanti. Seperti kabanti-kabanti lainnya juga merupakan ajaran

untuk menuju pada kesalehan dan beradab bagi manusia itu sendiri.

(T) Bagaimana fungsi kabanti sebenarnya?

(J) “Bagi orang tua ketika ingin membacakan kabanti, mereka mengumpulkan

keluarganya dan beberapa sanak saudaranya dalam satu forum informal.

Kemudian, pembaca kabanti akan menjelaskan makna dari kandungan kabanti

tertentu sesuai judul yang akan dikaji. Semua akan diamalkan dalam kehidupan

sehari-hari sejauh mana dia memahami.”


(T) Mengapa sebagian manuskrip enggan dikasih oleh sumber atau

pemegang naskah (manuskrip) tersebut?

(J) “Pernah ada seorang peneliti yang datang ke Buton, kemudian sebagian yang

memegang sumber naskah memberikannya untuk keperluan akademis. Namun,

ternyata seorang peneliti tersebut hanya mementingkan kebutuhan tertentunya.”

Mengetahui,

Al-Mujazi
TRANSKIP WAWANCARA

Narasumber : Syafiuddin

Institusi : Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) Baubau

Sulawesi Tenggara

Jabatan : Dosen aktif Unidayan

Hari, Tanggal : Minggu, 23 Maret 2014

Alamat : Kelurahan Bataraguru, Baubau Sulawesi Tenggara

(T) Bagaimana metode pengajaran atau pengamalan kabanti di zaman dulu?

(J) “Narasi dari Kabanti Bula Malino adalah sistim pemahaman di dalam

pelaksanaan tasawuf. Salah satu tarekat yang digemari oleh orang tua dahulu.

Pemahaman narasi kabanti oleh guru, dalam arti mengajarkan langsung kepada

murid atau memberikan petunjuk makna dari naskah oleh guru kepada murid.

Begitulah sistim tata cara pelaksanaan pemahaman daripada narasi kabanti itu.

Kabanti adalah sistim pengamalan tarekat. Kabanti Bula Malino ini adalah

tarekat.

(T) Selain pemahaman tasawuf, apa lagi yang direpsentasikan kabanti?

(J) “Bula Malino adalah etika Islam, yang mana ajarannya ini adalah ajaran

tasawuf. Kabanti dipakai setiap kali oleh mereka di samping pengkajian, mereka

langsung mengamalkan isi dari pada kabanti. Karena cerita dalam kabanti

mengenai bagaimana Pengarang berupaya tidak berpisah dengan Penciptanya.”

(T) Apa yang Anda pahami dari seluruh nasehat pengarang kitab tersebut?
(J) “Objek atau kunci akhir daripada kabanti ini adalah untuk betul-betul menjadi

seorang insan kamil di hadapan Allah SWT. Pada waktu itu kabanti merupakan

pendidikan informal yang tertuju kepada ketinggian tauhid seseorang.”

Mengetahui,

Syafiuddin
TRANSKIP WAWANCARA

Narasumber : Lambalangi

Pekerjaan : Tokoh dan Praktisi Kabanti (menyalin dan menulis kabanti)

Jabatan : Mantan Kepala Kantor Departemen Agama Kecamatan Wolio

Hari, Tanggal : Selasa, 25 Maret 2014

Waktu : 19.45- 20.30 WITA

Alamat : Kelurahan Tarafu, Kecamatan Betomabari, Kota Babau Sulwesi

Tenggara

(T) Bgaimana gerakan kabanti yang dilakukan oleh masyarakat saat ini dan apa

yang telah Anda lakukan?

(J) “Salah satu penyebab mengapa kabanti sudah tidak dilestarikan lagi adalah

berkurangnya orang Wolio asli. “Orang Wolio sudah berkurang tapi Orang di Wolio

sudah semakin banyak”. Karena memang masyarakat Buton sekarang sudah kurang

mengerti berbahasa Wolio. Oleh karena itu, setelah beberapa lama pensiun, pada

tahun 1992 saya berpikir apa yang harus saya kerjakan? Pada saat yang sama saya

dibayang-bayangi akan makin punahnya bahasa wolio. Sehingga, saya menyalin dan

menyetak beberapa kabanti. Semua kabanti yang saya cetak ini ada tujuh buku, ada

yang bertuliskan Wolio dan ada juga yang latin.”

(T) Ada berapa jumlah “judul” kabanti?

(T) “Kata para orang tua dulu ada 100 lebih judul kabanti yang tertulis. Namun,

hingga saat ini sudah 21 tahun yang ditemukan baru 35 judul kabanti.
Apa latar belakang ditulisnya kabanti wolio?”

(T) Bagaimana fungsi kabanti pada masa kesultanan?

(J) “Pada 1824 di masa Diponegoro, karena pergaulan di Buton sudah jauh dari

norma-norma agama sehingga Muhammad Idrus Kaimuddin membuat kabanti pada

saat itu. Kabanti yang dibuat kadang dinyanyikan pada waktu masyarakat lagi

meminum khamar dan berjudi serta aktivitas yang menyimpang lainnya. Aktivis

kabanti saat itu tidak menegur secara langsung orang-orang yang telah menyimpang

dari norma-norma agama. Akan tetapi justru mereka menyanyikan kabanti agama di

saat aktivitas mereka.”

(T) Bagaimana masyarakat menggunakan kabanti saat ini?

(J) “Saat ini sudah longgar akidah, jadi cukup berhati-hati. Akhirnya kabanti akan

menjadi hal yang tidak penting lagi. Masyarakat sudah tidak peduli lagi dengan

peninggalan budaya Islam ini. Seperti halnya, banyak manusia yang ingin belajar

ilmu renang tapi melupakan Ilmu menyelam. Saati ini sudah banyak lagu dangdut dan

itu sangat diminati daripada senandung kabanti.”

Mengetahui,

Lambalangi
Bersama Bapak Al-Mujazi
Praktisi Kabanti sekaligus salah satu pemegang manuskrip karya Muhammad
Idrus Kaimuddin. Sejumlah manuskrip yang dimilikinya adalah warisan dari
Ayahnya, Abdul Mulku Zahari (lihat Bab III, h. 60).
Museum Kebudayaan Wolio, Baadhia, Baubau Sulawesi Tenggara.

Bersama Al-Mujazi, usai wawancara (di kediamannya)

Bersama Al-Mujazi, usai mencari naskah asli Kabanti


Bersama Bapak Lambalangi (Mantan Kepala Kantor Departemen Agama
Kecamatan Wolio)
Beliau aktif menyalin dan mengoleksi naskah-naskah Buton.
Kelurahan Tarafu, Baubau Sulawesi Tenggara.

Hasil Transliterasi oleh Lambalangi

Anda mungkin juga menyukai