Anda di halaman 1dari 134

WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH

(PENDEKATAN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA TERHADAP


PEMENTASAN WAYANG KULIT KI YUWONO DI DESA
BANGOREJO BANYUWANGI)

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Komunikasi Pernyiaran Islam (S.Kom.I)

Oleh:

Aldi Haryo Sidik


NIM: 109051000024

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 2 November 2014

Aldi Haryo Sidik


WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH

(Pendekatan Komunikasi Antar Budaya Pada Pementasan Wayang Kulit Ki Yuwono


di Desa Bangorejo Banyuwangi)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi


Untuk memenuhi syarat-syarat untuk mencapai
Gelar Sarjan Ilmu Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Disusun Oleh :
Aldi Haryo Sidik
NIM : 109051000024

Di Bawah Bimbingan

Drs. M. Sungaidi, MA
NIP: 1960 08 03 1997 03 1006

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436H/2014
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi berjudul Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Pendekatan


Komunikasi Antarbudaya Terhadap Pementasan Wayang Kulit Ki Yuwono
di Desa Bangorejo Banyuwangi telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada hari Selasa 23 Desember 2014. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam
(S.Kom.I) pada Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Jakarta, 23 Desember 2014

Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Rachmat Baihaky, MA Fita Fathurokhmah, M.Si


NIP.19761129 200912 1 001 NIP. 19830610 200912 2 001

Penguji I Penguji II

Drs. Study Rizal, LK, MA Rachmat Baihaky, MA


NIP.19640428 199303 1 002 NIP. 19761129 200912 1 001

Pembimbing

Drs. M. Sungaidi, MA
NIP. 19600803 199703 1 006
ABSTRAK
Aldi Haryo Sidik, Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Pendekatan
Komunikasi Antarbudaya Pada Pementasan Wayang Kulit Ki Yuwono di Desa
Bangorejo Banyuwangi) Pembimbing: Drs. M. Sungaidi, MA

Wayang adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang
paling menonjol di anatara karya budaya lainnya di Indonesia. Budaya wayang
meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tuur, seni sastra, seni lukis, seni
pahat dan juga seni perlambangan. Wayang sebagai titik temu nilai budaya Jawa
dan Islam adalah suatu momentum yang sangat berharga bagi perkembangan
khasanah budaya Jawa. Wayang bagi masyarakat Jawa tidak hanya sekedar
hiburan, juga merupakan alat komunikasi yang mampu menghubungkan kehendak
dalang lewat alur cerita, sehingga dapat menginformasikan ajaran-ajaran Islam.
Berdasarkan konteks di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk
menjawab pertanyaan mayor dan minor. Adapun mayornya adalah Bagaimana
akulturasi narasi pakem Jawa Tengah pada pementasan wayang kulit Ki Yuwono
di desa Bangorejo Banyuwangi Jawa Timur? Kemudian minornya Bagaimana
pesan dakwah dikemas dalam kekuatan bahasa (signing), kekuatan fakta
(framing), dan kekuatan tata waktu (priming) pada pementasan wayang kulit
dalang Ki Yuwono? Bagaimana faktor penghambat dan pendukung perilaku
komunikasi antar budaya dalam penyampaian pesan dakwah di pementasan
wayang kulit Ki Yuwono?
Dilihat dari apa yang di teori kegunaan dan kepuasan (Uses and
Grafications Theory) yang di perkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz
(1974), bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan
menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak
yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari sumber
media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya, artinya
pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya.
Metodologi yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskritif. Peneliti
menggambarkan dan menguraikan secara faktual apa yang dilihat dan ditemukan
dari objek penelitian ini. Penulis berupaya untuk menghimpun, mengolah dan
menganalisa secara kualitatif dan terwujudkan dalam konsep. Sedangkan data
yang penulis peroleh dengan cara, observasi, wawancara, study dokumentasi.
Pendekatan dakwah melalui media wayang kulit sebagai hasil kebudayaan,
mempunyai kelebihan yang langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh masyrakat
Indonesia sampai saat ini. Wayang kulit sudah mendarah daging bagi masyarakat
Jawa. Dalam pementasan atau pertunjukan wayang kulit banyak membawa
pengaruh bagi para penggemarnya dan masyarakat Jawa. Karena di dalam
pementasan atau pertunjukan wayang kulit banyak mengandung falsafah
kehidupan dan tata nilai yang luhur.
Keyword: Wayang, Akulturasi, Media, dan Dakwah
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah

memberi kita begitu banyak nikmat dan senantiasa memberikan hidayah-Nya

kepada setiap makhluk ciptaan-Nya sehingga atas izin-Nya akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat serta salam kita haurkan kepada hamba Allah yang paling manis

tutur katanya, yang paling banyak sujudnya dan yang paling bijaksan kepada

umatnya, Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya.

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar

strata satu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan judul

“Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Pendekatan Komunikasi Antar Budaya

Terhadap Pementasan Wayang Kulit Dalang Ki Yuwono di Desa Bangorejo

Banyuwangi”.

Penelitian ini bukan semata-mata buah tangan sendiri, tetapi juga

merupakan hasil dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Peneliti juga

merasa bahwa dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan, terutama disebabkan

karena keterbatasan penulis sebagai manusia, untuk itu saran dan kritikan yang

membangun sangat penyusun harapkan. Selanjutkan tidak lupa peneliti haturkan

terima kasih kepada semua pihak atas segala bimbingan dan bantuannya, semoga

amal baik tersebut mendapat balasan dari Allah SWT.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada:
i
1. Dr. H. Arief Subhan,MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan

Ilmu Komunikasi beserta Dr. Suparto, M. Ed, MA. Selaku Wakil

Dekan I, Drs.Jumroni, M.Si. selaku Wakil Dekan II, Drs. Wahidin

Saputra, M.A. selaku Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Dakwah dan

Komunikasi.

2. Rachmat Baihaky M.A, selaku Ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran

Islam dan Ibu Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Sekretaris Jurusan

Komunikasi Penyiaran Islam.

3. Dr. Armawati Arbi,M.Si, selaku dosen pembimbing akademik KPI A

2009, terima kasih atas ilmu, motivasi dan saran yang telah diberikan

kepada saya.

4. Bapak Drs. Muhammad Sungaidi, MA selaku dosen pembimbing

yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan

memberikan pengarahan serta motivasi kepada peneliti sehingga

skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang diinginkan.

5. Dalang Ki Dwi Arto Yuwono yang telah meluangkan waktunya untuk

memberikan informasi kepada penulis.

6. Teristimewa untuk Orang Tua penulis Bapak H. Suyanto Sidik S.H

dan Ibu Hj. Sriwiyati yang saya cintai, terima kasih telah merawat,

mengajarkan segala hal positif dan membesarkan penulis serta telah

berupaya memberikan motivasi baik moril maupun material.

Terimakasih juga untuk do’a yang selalu dipanjatkan untuk peneliti.


ii
Adik-adiku Aqmarina Fildzah Sidik dan Agib Bagaskara Sidik yang

selalu menghibur peneliti. Untuk keluarga besar Sidik yang di

Banyuwangi, terima kasih telah memberikan do’a dan mempermudah

penulis untuk melakukan penyelesaian skripsi ini.

7. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Segenap Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu, motivasi dan

waktunya untuk peneliti.

9. Untuk kawan-kawan KPI A 2009, yang telah menghibur, memberikan

motivasi serta menjadi teman diskusi. Untuk Sahabat-Sahabatku Rizqi

Rahayu Setiani, Iqbal Zulfahmi, Tri Amirullah, Fitri Hanani, Alyssa

Miratin, dan Ika Istiani yang selalu mendukung penulis dari awal

hingga akhir penulisan skripsi ini. Terima kasih sudah menjadi teman

diskusi untuk penyeselesaian skripsi ini. Untuk keluarga besar LSO

KLISE FOTOGRAFI, yang telah memberikan do’a, semangat, dan

dukungannya kepada penulis hingga skripsi ini terselesaikan.

10. Semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung yang

tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu, namun tidak mengurangi

rasa hormat. Semoga Allah SWT senantiasa membalas semua

kebaikan dan keikhlasan yang telah diberikan kepada penulis.

iii
Semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi penulis dan

umumnya bagi pembaca. Amin.

Jakarta, 15 Desember 2014

Peneliti

iv
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................... i

Daftar Isi .............................................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................ 1


B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ........................................ 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian .................................................................. 7
E. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 7
F. Kerangka Teori ....................................................................... 8
G. Metodologi Penelitian ............................................................. 9
H. Tahapan Penelitian ................................................................. 10
I. Sistematika Penelitian ............................................................ 12

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Paradigma Penelitian ....................................................... 13


B. Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah .................................. 15
1). Ruang Lingkup Wayang ................................................... 15
2). Sejarah dan Perkembangan Wayang Kulit ....................... 18
3). Dalang Sebagai Juru Dakwah ........................................... 21
C. Ruang Lingkup Dakwah ........................................................ 28
1). Pengertian Dakwah ........................................................... 28
2). Bentuk-Bentuk Dakwah .................................................... 30
3). Unsur-Unsur Dakwah ....................................................... 31
D. Komunikasi Antar Budaya ..................................................... 38
1). Pengertian Komunikasi Antar Budaya ............................. 38
2). Bahasa Verbal dan Non-Verbal ........................................ 47
3). Akulturasi ......................................................................... 52
4). Peran Komunikasi Dalam Akulturasi ............................... 55

BAB III PROFIL DALANG KI YUWONO, GAMBARAN UMUM


WAYANG KULIT DAN GAMBARAN UMUM DESA
BANGOREJO

A. Sejarah Hidup Ki Yuwono ..................................................... 63


B. Gambaran Umum Wayang ..................................................... 66
1). Pengertian Wayang ........................................................... 66
2). Jenis-Jenis Wayang ........................................................... 68
C. Desa Bangorejo Banyuwangi ................................................. 77
1). Gambaran Umum .............................................................. 77

v
2). Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat
Desa Bangorejo ................................................................ 79

BAB IV ANALISIS WAYANG SEBAGAI MEDIA DAKWAH

A. Akulturasi Bahasa Dalam Pementasan Wayang Kulit ......... 82


B. Nilai Pesan Dakwah Dalam Pementasan Wayang Kulit ...... 88
C. Kearifan Lokal Jawa dan Islam Jawa .................................... 97

BAB V KESIMPULAN

A. Kesimpulan ......................................................................... 102


B. Kritik dan Saran .............................................................. 104

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 107

LAMPIRAN ...................................................................................................... 111

vi
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Sejarah adalah mata rantai kehidupan dan kita adalah bagian dari mata rantai

kehidupan tersebut. Hanya orang yang pandai menangkap semangat zaman, yang

akan menjadi pelita dan membuat kehidupan lebih bermakna. Maka sudah

sepatutnya setiap pribadi dari kita memperhatikan waktu dan lingkungannya. Hari

kemarin adalah pelajaran hari esok, hari ini adalah kenyataan dan hari esok adalah

harapan perjuangan untuk mewujudkan harapan. Hal ini dapat dimengerti karena

berbicara masalah sejarah tidak lepas dari tiga dimensi waktu, yaitu masa lalu,

masa kini, dan masa yang akan datang.

Manusia pada dasarnya memiliki dua kedudukan dalam hidup, yaitu

makhluk pribadi dan makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi, manusia memiliki

banyak tujuan dan cita-cita yang ingin dicapainya, di mana setiap individu

memiliki kebutuhannya sendiri dan juga berbeda satu dengan yang lain.

Sedangkan makhluk sosial, manusia tidak lepas dengan berinteraksi dengan yang

lain dan memiliki kehidupan yang dinamis bersama orang lain di sekitarnya

maupun di tempat yang lain.

Dalam proses perkembangan peradaban, suatu bangsa memiliki adat

kebiasaan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut

merupakan suatu unsur yang terpenting dan dapat memberikan ciri serta identitas

diri bangsa yang bersangkutan.

1
2

Sebagai ekspresi diri serta perwujudan kepribadian masyarakat, maka

masing-masing individu dan kelompok menunjukan local genius yang menjadi

ciri dan inti kehidupan budaya masyarakat. Kedudukan local genius ini sentral,

karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang

datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang.

Hilangnya atau musnahnya local genius berarti pula memudarnya kepribadian

suatu masyarakat, sedangkan kuatnya local genius untuk bertahan dan

berkembang menunjukan pula kepribadian suatu masyarakat itu. Dalam pada itu,

kita pun perlu menyadari bahwa hubungan dan pergaulan dengan masyarakat dan

bangsa lain akan menimbulkan akulturasi, di mana masing-masing masyarakat

saling memberikan dan menerima pengaruh. Suatu proses alkuturasi yang

akhrinya mendatangkan dominasi kebudayaan asing berarti memusnahkan local

genius sebagai pencerminan identitas budaya masyarakat setempat. 1

Kesenian merupakan salah satu hasil perwujudan dari sebuah kebudayaan,

berbagai corak ragam kesenian yang ada di Indonesia terjadi karena adanya

lapisan-lapisan budaya yang bertumpuk dari masa ke masa. Di samping itu

keanekaragaman kesenian di Indonesua juga terjadi karena adanya berbagai etnik

yang memiliki sistem budaya sendiri-sendiri. Setiap masyarakat memiliki ragam

kesinian, masyarakat Jawa memiliki ragam kesenian tersendiri dan tumbuh sesuai

dengan perkembangan budaya Jawa itu sendiri.

Dari sekian banyak jenis kesenian Jawa, seni pewayangan yang hidup sejak

ribuan tahun yang lalu. Seni pewayangan merupakan sebuah tuntutan hidup bagi

1
Soerjanto Poespowardojo, Strategi Kebudayaan; Suatu Pendekatan Filosofis,(Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 1993).h.122
3

masyarakat Jawa, sarat akan kandungan nilai-nilai yang sampai sekarang masih

didambakan oleh masyarakat Jawa. 2

Pewayangan mempunyai andil besar dalam pengislaman masyarakat Jawa.

Sebetulnya wayang sendiri merupakan peninggalan agama Hindu. Namun para

Wali dapat berpikir rasional. Mereka sadar bahwa peertujukan wayang telah

berakar kuat di masyarakat dan tidak mungkin untuk dihilangkan begitu saja.

Sebagai hasil kebudayaan, wayang mempunyai nilai hiburan yang

mengandung cerita baku baik untuk tontonan maupun tuntunan. Penyampaian

ceritanya diselingi pesan-pesan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan,

sehingga juga mempunyai nilai pendidikan. Variasinya dapat meliputi segi

kepribadian, kepemimpinanan, kebijaksanaan dan kearifan dalam kehidupan

berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.

Seringkali, ajaran-ajaran yang hendak disampaikan dalam kesenian wayang

kulit dikemas dalam bentuk pasemon, simbol atau perlambang, sehingga tentunya

untuk mendapatkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya diperlukan

penghayatan secara mendalam. Nilai-nilai ataupun ajaran-ajaran yang

disampaikannya itu sesuai dengan sosiokultural, kepribadian, dan pemikiran khas

masyarakat jawa sebagai sebuah masyarakat yang pertama kali menciptakan

kesenian wayang tersebut. Hal ini sudah menjadi kewajaran dalam masyarakat

jawa, sebab dalam setiap kali memahami filsafat, mereka memberikan suatu

pengertian bahwa berfilsafat adalah berarti cinta kesempurnaan (ngudi

kasampurnaan) bukan semata-mata cinta kearifan, love of wisdom, sehingga

untuk menyampaikan suatu makna atau ajaran, seringkali cara penyampaiannya

2
Suwaji Bastomi, Nilai-Nilai Seni Pewayangan, (Semarang: Dahara Prize,1993) h.iv
4

dengan menggunakan suatu simbol tertentu yang penuh penjiwaan, cipta, dan rasa

yang tinggi.3

Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang

patut menurut budayanya. Bahasa persahabatan, kebiasaan makan, praktek

komunikasi, tindakan-tindakan sosial, dan sebagainya, semua itu berdasarkan

pola-pola budaya. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat.

Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalamn,

kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan

ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh

sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalaui usaha individu dan

kelompok.4Untuk membentuk manusia yang seimbang diperlukan peranan da’i

atau pendakwah agar terciptanya individu, keluarga, dan masyarakat yang

menjadikan islam sebagai pola pikir dan pola hidup agar tercapai kehidupan

bahagia baik di dunia maupun di akhirat.5

Pementasan wayang kulit termasuk salah satu media yang efektif untuk

penyampaian pesan dakwah. Wayang kulit adalah seni budaya peninggalan

leluhur yang sudah berumur berabad-abad dan kini masih lestari di masyarakat,

seni pewayangan sudah lama digunakan sebagai media penyampaian nilai-nilai

luhur/moral, etika, dan relegius. Dari zaman kedatangan islam digunakan para

walisongo sebagai media dakwah Islam di tanah Jawa.6

3
Ridin sofwan, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa (Yogyakarta: Gama
Media, 2004), h. 80.
4
Deddy Mulyana, Jalaludin Rakhmat Komunikasi Antar Budaya. (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 1993,) h. 19
5
Rosid, Dakwah Sufistik Kang Jalal, (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet . Ke-1, h.1
6
Hazim Amir, Nilai-nilai Etis dalam Wayang, (Jakarta: CV. Mulia Sari, 1991, Cet. Ke-1),
h. 16
5

Karakter setiap tokoh pewayangan merupakan lambang dari berbabagi

perwatakan yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada tokoh jahat adapula yang

baik. Ada yang melambangkan kejujuran, keadilan, kesucian, kepahlawanan,

tetapi ada pula melambangkan tetang angkara murka, keserakahan, ketidak

jujuran, dan lain sebagainya. Ada sifat dan perilaku tokoh yang patuh ditiru atau

dicontoh, tetapi ada pula sifat yang tak perlu untuk di ditiru atau dijauhi. Berbagai

perlambangan itu akan sangat bermanfaat untuk mengembangkan kepribadian

diri, setidaknya untuk mawas diri.

Cerita wayang adalah menggambarkan situasi kejadian dan pesan-pesan

yang ada dalam pementasan wayang kulit. Cerita dalam pewayangan tidak hanya

sebagai pertunjukan seni semata, juga berfungsi sebagai media dakwah atau

sebagai sarana untuk memyampaikan ajaran keagamaan. Sosok dalang

sesungguhnya bukan seorang juru penerang yang serba bisa, tetapi dituntut harus

bisa, tetapi berperan sebagai budayawan, guru, kritikus, dan seorang juru bicara

yang bisa mengartifikasi isi hati, alam pikiran dan alam rasa.

Dalam pementasan wayang kulit di desa Bangorejo Banyuwangi ini menjadi

media yang masih digunakan dalam aktifitas berdakwah. Dengan kesenian budaya

dari leluhur sebagai media berdakwah yang dilakukan para ulama dan wali,

pementasan wayang di desa Bangorejo Banyuwangi sangat berperan penting bagi

nilai-nilai moral, etika dan religious.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis menyusun skripsi

dengan judul “WAYANG SEBAGAI MEDIA DAKWAH (Pendekatan

Komunikasi Antar Budaya Terhadap Pementasan Wayang Kulit Dalang Ki

Yuwono di Desa Bangorejo Banyuwangi).


6

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk lebih memfokuskan penelitian dan memberi arah yang tepat dalam

pembatasan masalah ini sehingga tidak terlalu meluasnya pembahasan, maka

penelitian ini dibatasi hanya pada daerah pementasan wayang kulit pada

masyarakat Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi saja agar tidak melebar luas ke

topik pembahasan yang lain.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam

penelitan ini adalah:

a. Bagaimana akulturasi narasi pakem Jawa Tengah pada pementasan

wayang kulit Ki Yuwono di desa Bangorejo Banyuwangi Jawa Timur?

b. Bagaimana pesan dakwah dikemas dalam kekuatan bahasa (signing),

kekuatan fakta (framing), dan kekuatan tata waktu (priming) pada

pementasan wayang kulit dalang Ki Yuwono?

c. Faktor-faktor apa saja yang menghambat dan mendukung perilaku

komunikasi antar budaya dalam penyampaian pesan dakwah di

pementasan wayang kulit Ki Yuwono?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini :

1. Peneliti ingin mengetahui model akulturasi narasi pakem Jawa Tengah

pada pementasan wayang kulit Ki Yuwono di desa Bangorejo

Banyuwangi Jawa Timur.


7

2. Peneliti ingin mengetahui lebih dalam tentang pesan dakwah dikemas

dalam kekuatan bahasa (signing), kekuatan fakta (framing), dan

kekuatan tata waktu (priming) pada pementasan wayang kulit dalang Ki

Yuwono.

3. Peneliti ingin mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat

dalam penyampaian pesan-pesan dakwah dalam pementasan wayang

kulit Ki Yuwono.

D. Manfaat Penelitian

a. Manfaat akademis dari penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini dapat bermanfaat dalam memperkaya khazanah kajian

ilmu dakwah dan religius dengan kebudayaan lokal.

2. Diharapkan dapat menjadi masukan baru bagi aktivis dakwah, akademis

serta masyarakat umum yang konsen pada perkembangan dakwah untuk

menjadikan seni budaya wayang kulit sebagai media dakwah.

b. Manfaat praktis :

Penelitian ini dapat memberikan rekomendasi dan kontribusi bagi

khazanah sejarah islam Indonesia. Untuk menambah literatur kebudayaan

yang berkaitan dengan sejarah islam yang berasal dari tanah Jawa ini.

E. Tinjauan Pustaka

Setelah melakukan penelusuran koleksi skripsi pada Perpustakaan Utama

dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, penelitian mengenai analisis media


8

cetak memang sudah banyak yang diteliti khususnya di Fakultas Ilmu Dakwah

dan Ilmu Komunikasi., diantaranya adalah seperti :

1. “Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Studi Pada Wayang Kulit Dalang

Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang” oleh Yogyasmara. P. Ardhi ,

Tahun 2010. Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Dalam skripsi ini

yang lebih di ungkapkan menunjukan peranan pementasan wayang kulit dan

kebudayaan Jawa yang menjadi media dakwah.7

2. “Pertunjukan Wayang Sebagai Media Pendidikan” oleh Moh. Rois

Fathurohim, Tahun 2007. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Dalam skripsi

ini lebih menjelaskan wayang terhadap pendidikan moral, agama, dan

soisal.8

Namun, dari hasil penelusuran ini tidak membuat peneliti berhenti untuk

melanjutkan penelitian ini. Karena, ada beberapa hal yang peneliti anggap sebagai

kelebihan sekaligus pembeda dari penelitian yang lain. Salah satu perbedaannya

adalah penelitian ini merupakan cerita pewayangan yang disampaikan dan

berbeda tempat.

F. Kerangka Teori

Subjek dari penelitian ini adalah Ki Yuwono. Dan objek dari penelitian ini

adalah Pementasan Wayang Kulit di Bangorejo Banyuwangi. Dengan

Teorikegunaan dan kepuasan (Uses and Grafications Theory) yang di perkenalkan

oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974), bahwa pengguna media memainkan

peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain,

7
Yogyasmara. P. Ardhi, Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Studi Pada Wayang Kulit
Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang, 2010
8
Moh. Rois. Fathurohim, Pertunjukan Wayang Sebagai Media Pendidikan, 2007
9

pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna

media berusaha mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha

memenuhi kebutuhannya, artinya pengguna media mempunyai pilihan alternatif

untuk memuaskan kebutuhannya.9Model yang di gunakan adalah S (Source) M

(Massage) C (Channel) R (Receiver), Menurut Berlo, dengan demikian proses

komunikasi dapat terjadi apabila empat komponen tersebut terdapat saling

hubungan, saling berproses dalam mewujudkan komunikasi yang dikehendaki.

Teori dasar komunikasi inilah yang melandasi munculnya Media Komunikasi.

Media Komunikasi menjadi dasar munculnya Media Belajar atau Media

Pembelajaran. Karena pada dasarnya proses pembelajaran adalah proses

komunikasi yang terjadi antara Sumber dan Penerima antara dalang dengan

penonton.

G. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskritif

analisis dengan pendekatan kualitatif.Metode deskritif yaitu, metode

mengumpulkan, mengklafikasikan, menganalisis data yang menggambarkan

situasi keadaan dan hasil temuan lapangan yang bersifat non-hipotesis,

selanjutnya mendeskripsikan apa yang di lihat, di dengar, di rasakan, dan

ditanyakan. 10

Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat serta

tata cara yang berlaku dalam masyarakat. Penelitian ini tidak menceritakan dan

menjelaskan hubungan, dan tidak menguji hipotesis. Deskriptif diartikan

9
Mc Quail, Dennis, Teori Komunikasi Massa (terj), (Jakarta: Airlangga, 1986). h. 126
10
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Dilengkapi Contoh Proposal dan Laporan
Penelitian), (Bandung; ALFA BETA, 2005), cet. 1, h. 17.
10

melukiskan variabel demi variabel. Pada hakikatnya metode deskriptif

mengumpulkan data secara univariat. Karakteristik data diperoleh dengan ukuran-

ukuran kecenderungan pusat (central tandency) atau ukuran sebaran

(dispersion).11

Kirk dan Miller mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi

tertentu dalam pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dar

pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam

peristilahannya.12 Kemudian Bogdan dan Taylor (1975:5) mendefinisikan

metodelogi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskritif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati.13

H. Tahapan Penelitian

1. Teknik Pengumpulan data

Ada pun teknik untuk mengumpulkan data dalam penelitiam ini adalah :

a. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang terjadi terhadap gejala-

gejala yang diteliti. E.C. Wragg menjelaskan bahwa observasi yaitu

pengamatan secara sistematis dan analisa yang memegang peranan penting

untuk meramalkan tingkah laku sosial, sehingga hubungan antara satu

peristiwa dengan yang lainya menjadi jelas.14 Dalam pengumpulan data,

11
Jumroni, Metode-metode Penelitian Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h.
41
12
Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survey (Jakarta: LP3ES, 1989), h.192
13
Masri Singarimbun, Op.Cit. h. 193
14
Nurul Hidayati, Metodologi Penelitian Dakwah, Dengan Pendekatan Kualitatif
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 8
11

peneliti datang langsung ke lapangan untuk memperoleh data untuk

pementasan wayang kulit Ki Yuwono.

b. Wawancara

Menurut Subyantoro dan Suwarto, “wawancara merupakan alat

pengumpulan data atau informasi dengan cara tanya-jawab sepihak,

dikerjakan secara sistemik dan berlandaskan pada tujuan penelitian”.15

Wawancara dilakukan dengan Ki Yuwono untuk mendapatkan keterangan

mengenai wayang kulit sebagai media dakwah di Desa Bangorejo.

c. Dokumentasi

Menurut Soehartono, “Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan

data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian. Dokumen

yang diteliti dapat berupa berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi.”16

Teknik ini digunakan sebagai sumber dan pelengkap penelitian.

2. Pengolahan data

Penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang

diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance)

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Analisis Data

Tahap analisis data adalah tahap yang penting dan menentukan. Pada tahap

inilah data dikerjakan dan dimanfaatkan demikian rupa sampai berhasil

15
Arief Subyantoro dan FX. Suwarto, Metode dan Teknk Penelitian Sosial, (Yogyakarta,
ANDI, 2007), h.97
16
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: : Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2008), Cet.1. h.70.
12

menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab

persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian.17

Analisis tersebut dilakukan terhadap data yang sudah diperoleh dengan

menggunakan teknik pengumpulan data yang digunakan. Setelah data

diperoleh, selanjutnya data dianalisis menggunakan analisis deskritif.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data ini adalah

sebagai berikut:

a. Reduksi Data

Mereduksi data berarti membuat rangkuman, memilih hal-hal pokok,

memfokuskan pada hal-hal penting, mencari tema dan pola, serta

membuang yang dianggap tidak penting.18 Reduksi data diperlukan

mengingat banyaknya data yang didapat selama melakukan penelitian.

Sehingga dalam melakukan analisis menjadi lebih mudah dan cepat.

b. Penyajian Hasil Identifikasi dan Klasifikasi Data

Pada langkah ini data-data yang sudah ditetapkan kemudian disusun

secara sistematis dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut

kemudian dianalisis sehingga diperoleh deskripsi tentang pesan-pesan

dakwah dalam pementasan wayang kulit Ki Yuwono.

I. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis, peneliti menyusun penulisan

skripsi ini dengan lima bab, yang masing-masing terdiri dari beberapa sub bab,

yaitu:

17
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1991), Cet. XI, h. 264
18
Trianto, Pengantar Penelitian Pendidikan bagi Pengembang Profesi Pendidikan dan
Tenaga Kependidikan, (Jakarta, Kencana, 2010), h.287
13

BAB I Penulis akan menjabarkan tentang Latar Belakang Masalah,

Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian,

Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Penulis akan menjelaskan tentang paradigma penelitan pengertian

umum, ruang lingkup wayang kulit, pengertian wayang kulit, sejarah

perkembangan wayang kulit, macam-macam wayang kulit, dan ruang lingkup

dakwah, subjek dan objek dakwah, metode dakwah, materi dakwah, dan tujuan

dakwah. Ruang lingkup wayang kulit dan dalang sebagai juru dakwah.

BAB III mendeskrisipkan mengenai profil dalang Ki Yuwono yang terdiri

dari riwayat hidup, pendidikan, prestasi dan pengalaman beliau serta aktifitas

dalam pementasan wayang kulit di Bangorejo Banyuwangi.

BAB IV dalam bab ini berisikan data penelitian dan analisa data

penelitian, menguraikan tentang kiprah pementasan wayang kulit oleh Ki

Yuwono, serta pandangan masyarakat mengenai kiprah wayang kulit di Bangorejo

Banyuwangi.

BAB V Merupakan bab terakhir dalam rangkaian penulisan penelitian.

Penulis akan menguraikan dalam bentuk kesimpulan dan juga saran penulis atas

permasalahan yang telah diteliti dan dilengkapi daftar pustaka.


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Paradigma Penelitian

Paradigma merupakan perspektif penelitian yang digunakan peneliti, yang

berisi bagaimana peneliti melihat realita (world views), bagaimana mempelajari

fenomena, cara-cara yang digunakan dalam penelitian, dan cara-cara yang

digunakan dalam menginterprestasikan temuan. Pemilihan paradigma penelitian

dalam konteks desain penelitian menggambarkan pilihan suatu kepercayaan yang

akan mendasari dan memberi pedoman seluruh proses penelitian (Guba, 1990).1

Denzin dan Lincoln (1998:107) menyatakan “a paradigm may be viewed

as a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first

principle” (suatu paradigma dapat dipandang sebagai seperangkat kepercayaan

dasar (atau yang berada di balik fisik, yaitu metafisik) yang bersifat pokok atau

prinsip utama). Sementara itu, adapula yang berpendapat bahwa ilmu sosial dapat

dikonseptualiskan dengan empat asumsi yang berhubungan dengan ontologi,

epistemologi, sifat manusia (human nature), dan metodologi.2

1) Ontologi adalah asumsi yang penting tentang inti dari fenomena dalam

penelitian. Pertanyaan dasar tentang ontologi menkekan pada apakah

“realita” yang diteliti objektif ataukah “realita” adalah produk kognitif

individu.

1
Iman Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif; Teori dan Praktik, (Jakarta; PT. Bumi
Aksara, 2013), h. 25
2
Iman Gunawan. h.25

14
15

2) Epistimologi adalah tentang landasan ilmu pengetahuan (grounds of

knowladge) – tentang bagaimana seseorang memulai memahami dunia

dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain.

3) Sifat manusia (human nature) adalah asumsi-asumsi tentang hubungan

antarmanusia dan lingkungannya.

4) Metodologi adalah asumsi-asumsi tentang bagaimana seseorang

berusaha untuk menyelidiki dan mendapat “pengetahuan” tentang dunia

sosial.3

Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max Weber

yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan gejala-gejala sosial,

tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakanperorangan

yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu,

metode yang utama dalam sosiologi dari Max Weber adalah verstehen atau

pemahaman (jadi bukan eklaren atau penjelasan). Menurut Supardan (1997; 95)

untuk memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seseorang

peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat

memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman

yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial

yang diamatinya.4

Dalam penelitian kualitatif terdapat paradigama yang bersifat

konstruktivisme, Guba (1990: 25) menyatakan “ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan

percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka teori. Basis untuk menemukan

3
Iman Gunawan h.27
4
Iman Gunawan. h.34
16

“sesuatu benar-benar ada” dan “benar-benar bekerja” adalah tidak. Realitas hanya

ada dalam konteks suatu kerangka kerja mental (kontruk) untuk berpikir tentang

realitas tersebut). Kaum kontruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian

itu tidak bebas nilai. Jika “realitasí” hanya dapat dilihat melalui jendela teori,

maka itu hanya dapat dilihat semua melalui jendela nilai. Banyak pengonstruksian

dimungkinkan. Hal ini berarti penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas

nilai. Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kaca mata) yang

berdasarkan nilai. 5

Paradigma konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang

memisahkan subjek dengan objek komunikasi. Dalam pandangan kontruktivisme,

bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka

dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampaian pesan. Kontruktivisme justru

menganggap subjek (komnikator/decoder) sebagai faktor sentral dalam kegiatan

komunikasi serta hubungan-hubungan sosial. Dengan begitu dalam lingkup

paradigma kontruktivisme ini, teori kegunaan dan kepuasan (Uses and

Grafications Theory) yang di perkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz

(1974), bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan

menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak

yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari sumber

media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya, artinya

pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya.6

5
Iman Gunawan. h.49
6
Mc Quail, Dennis, Teori Komunikasi Massa (terj), (Jakarta: Airlangga, 1986). h. 126
17

B. Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah

a) Ruang Lingkup Wayang

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang

di Jawa. Wayang berasal dari kata 'MaHyang' yang artinya menuju kepada roh

spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang

adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena

penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya

saja. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalangyang juga menjadi narator

dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan

sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang

memainkan wayang kulit di balikkelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih,

sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong),

sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan

wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon),

penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang

bayangannya tampil di layar.

Menurut Bambang Sugito, wayang kulit yaitu suatu bentuk pertunjukan

tradisional yang disajikan oleh seorang dalang dengan menggunkan gambar

boneka atau semacamnya dari kulit sebagai alat pertunjukan dengan diiringi

musik yang telah ditentukan.7

Bagi Orang Jawa, dunia pewayangan merupakan dunianya sendiri, dunia

Jawa agar mencerminkan usaha yang memiliki karakteristik dan nilai-nilai simbol
7
Bambang Sugito, Op.Cit, h.31
18

kehidupan masyarakat. Karena orang Jawa menilai bahwa wayang mengandung

filsafat yang dalam dan memberi peluang untuk melakukan pengajian filsafat dan

ajaran keagamaan. 8 Wayang kulit penuh dengan simbolik. Dalam pertunjukannya

menggambarkan perjalanan hidup manusia, yakni manusia yang mencari

keinsyafan akan sangkan-parannya, bukan manusia yang hanya hidup dan tidak

mati. Gambaran yang jelas dapat dilihat dari struktur lakon yang dibawakan oleh

dalang yakni menceriterakan perjalanan hidup salah satu tokoh pewayangan.9

Salah satu perlengkapan wayang yang disebut Gunungan atau Kayon

memiliki makna simbolis. Kayon menyerupai bentuk masjid, apabila dibalik akan

menyerupai jantung manusia. Hal ini mengandung falsafah bahwa dalam

kehidupan umat Islam, jantung hatinya harus senantiasa berada di masjid.

Semua unsur dalam dunia pewayangan mengandung simbolisme. Dalam

mengapresiasikan wayang, orang Jawa tidak pernah berhenti pada aspek formal

ceritanya saja, melainkan mereka akan selalau menarik makna esoterik yang

terkandung di dalamnya. Karena itu, persepsi orang Jawa, antara satu dengan yang

lainnya, tentang wayang juga berbeda-beda tetapi secara umum gambaran-

gambaran simbolis mengenai bentuk fisik wayang yang tembus pada kondisi batin

tokoh-tokoh wayang hampir semua dipahami penonton.

Wayang kulit atau wayang purwo sebagaimana adanya sekarang

merupakan kreasi Wali songo, khususnya Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, dari

membaca „alam‟ lingkungan masyarakat Jawa yang telah tumbuh sebelumnya.10

8
S. Haryanto, Bayang-bayang Adiluhung, (Semarang, Dahara Prize, 1992), h. 77
9
Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga. (Jakarta: Menara Kudus, 1960), h. 65
10
Suyanto Sidik, Makalah; Membaca Ayat-Ayat Semesta, Kearifan Lokal dan Islam
Jawa”, dalam Diskusi Panel dan Sarasehan; “Membaca Alam Dalam Kearifan Lokal
Berdasarkan Nilai-Nilai Spiritual Jilid 2”,2013, Banyuwangi.
19

Cerita wayang yang berasaldari kesusasteraan India, di ubah oleh para wali

tersebut dalam seni pertunjukan dengan muatan-muatan Islam sebagai sarana

dakwah.

Kreativitas para wali memanfaatkan budaya setempat sebagai media

penyebaran Islam yang efektif tersebut, telah mempercepat pertumbuhan dan

perkembangan Islam di Jawa. Selain itu para wali juga berjasa dalam

mempopulerkan seni wayang sebagai bentuk kesenian pentas yang merupakan

salah satu kekayaan budaya Indonesia yang telah berakar jauh ke masa lalu dan

cukup banyak mengalami pertumbuhan dan penyempurnaan dari masa ke masa.

Pagelaran wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut

penghibur publik terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk,

sang dalang memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan

orang-orangan berbahan kulit kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah

sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi,

mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana,

dalang dibantu oleh musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang

menyanyikan lagu-lagu Jawa.

Tokoh-tokoh dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orang-

orangan yang sedang tak dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di

dekat sang dalang. Saat dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan

di layar putih yang ada di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena

setiap pertunjukan wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang

membantu pemantulan orang-orangan yang sedang dimainkan.


20

b) Sejarah dan Perkembangan Wayang Kulit

Arti harfiah dari wayang adalah bayangan, tetap dalam perjalanan

waktu pengertian itu berubah, dan kini wayang dapat berarti pertunjukan

panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor dan aktris. Wayang sebagai

seni teater berarti pertunjukan panggung di mana sutradara ikut bermain. Jadi

berbeda dengan sandiwara atau film di mana sutradara tidak muncul sebagai

pemain. Adapun sutradara dalam pertunjukan wayang dikenal dengan dalang,

yang peranannya dapat dominasi pertunjukan seperti dalam wayang purwa di

Jawa, wayang purwa atau wayang ramayana di Bali dan wayang banjar di

Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Dalamwayang orang peranan

dalang tidak begitu menonjol. 11

Berdasarkan berbagai sumber, baik tertulis maupun lisan, di masa

lampau di nusantara ini telah tumbuh dan berkembang berbagai macam dan

atau jenis wayang. Sedemikian banyak jumlah wayang yang ada di

nusantara. Sebelum Islam masukketanah Nusantara, khususnya di Jawa,

wayangtelahmenemukanbentuknya.Bentukwayangpadaawalnyamenyerupai

relief yang bisakitajumpai di candi-candiseperti di Prambananmaupun

Borobudur.Pagelaranwayangsangatdigemarimasyarakat.Setiappementasannyas

elaludipenuhipenonton. 12

Wayang Nusantara memiliki definisi yang tidak terpisah antara

Pertunjukkan Seni dengan Peraga, Membawa Lakon kisah-kisah, dan muatan

11
Pandam Guritno, Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. (Jakarta: UI Press,
1988), h. 11
12
Bambang Murtiyoso, dkk, Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan
Wayang, (Surakarta: Etnika Surakarta, 2004). h. 1
21

Nilai-nilai Nusantara. Budaya Wayang Indonesia adalah salah satu budaya

nusantara yang telah mengarungi jalan panjang sejak sejarah mencatat seni

wayang nusantara di abad ke-9. Bahkan dipercaya seni ini sudah menjadi bagian

kehidupan nusantara jauh sebelum itu

Asal-usul wayang di dunia ada dua pendapat. Pertama, bahwa wayang

berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini

selain dianut dan dkemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia,

juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat, diantaranya Hazeau,

Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.13 Alasan ini cukup kuat karena seni wayang

masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa

Indonesia, khususnya orang Jawa, yakni Punakawan tokoh yang terpenting dalam

pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong hanya dalam pewayangan

Indonesia dan tidak ada di Negara lain. Selain itu nama dan istilah teknis

pewayangan semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna) dan bukan bahasa lain.14

Pendapat kedua diduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama

dengan agama Hindu ke Indonesia. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di

Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, Raja Kahuripan

(976-1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya.

Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga

Indonesia, sejak abad X. Antara lain naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin

berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-

910) yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India,
13
http://www.tempokini.com/2014/09/kenalilah-wayang-maka-anda-akan-mencintai-nya/
14
Sri Mulyono,Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya (Jakarta: ALDA, 1965).,
h.21
22

Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan

Ramayana dan Mahabarata ke Bahasa Jawa Kuna, tetapi mengubahnya dan

menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa Kuna

kedalamnya.15Menurut Dr. Hazeu, wayang telah ada sejak zaman Airlangga (950

caka = 1028 M permulaan abad XI sesudah Masehi) didalam kerajaan Kediri yang

makmur. Pertunjukan wayang mwmpergunakan boneka dari kulit (walulang

inukir) dan bayangan-bayanganya diproyeksi pada tabir (kelir/layar).16

Wayang sebagai satu pergelaran dan tontonan sudah dimulai ada sejak

zaman pemerintahan raja Airlangga. Kata “wayang” diduga berasal dari kata

“wewayangan” yang artinya bayangan. Untuk lebih menjawakan budaya sejak

awal jaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak

berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak itulah cerita-cerita Panji

ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi

menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam,

diantaranya para Wali Sanga.17

Wayang telah dikenal sejak zaman purba yang merupakan perwujudan dari

bayang-bayang nenek moyang. Dalam kepercayaan animisme dan dinamisme

suatu kepercayaan yang dianut masyrakat pada zaman itu berkaitan dengan roh

nenek moyang yang telah lama mati menjadi pelindung bagi manusia yang masih

hidup. Roh tersebut tinggal di bukit-bukit, gunung-gunung, pohon besa dan

benda-benda lainnya.

15
http://mediaonlinenews.com/dunia/asal-usul-wayang-kulit dikases pada Kamis, 17 Juli
2014.
16
Sri Mulyono,Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya (Jakarta: ALDA, 1965).,
h.28
17
Bram Palgunadi, Tinjauan Tentang Wayang Kulit, (bulletin PSTK-ITB, Edisi 1 Tahun
ke-2 1978).
23

Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang

merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang

sudah ada berabad-abad sebeluh Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita

wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya

sastra India, yaitu Ramayan dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam

pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk

menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.18

c) Dalang Sebagai Juru Dakwah

Sumber ilmu dakwah tidak bisa terlepas dari Al-Quran dan Sunnah

sebagai pijakannya indiologi sumber ilmu. Dengan berpedoman pada sumber

ilmu, tidak cukup dengan hanya satu mazhab tetapi multimazhab yang lahir

dari bangunan keilmuan dakwah untuk mengkomunikasikan bahasa agama

kepada umat manusia. Tetapi perlu dipahami bahwa “dakwah” dan “Ilmu

Dakwah” berbeda. Jika dakwah selalu memilih kata sebaiknya, seharusnya,

maka ilmu dakwah harus tunduk dan patuh pada kaidah-kaidah ilmu yang

sifatnya netral dan tidak memihak. 19 Kajian Epistemologi Sultan memberikan

gambaran tentang epistemologi ilmu dakwah. 20

Peran dalang erat hubungannya dengan fungsi wayang dalam kehidupan

sosial. Pada masa lampau (sebelum tahun 1965-an), wayang bagi masyarakat

Jawa bukanlah sekedar ekspresi seni dan hiburan, melainkan juga sebagai

18
Sri Mulyono,Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya. (Jakarta: ALDA, 1965).,
h.14
19
Nasir Mahmud, Bunga Rapai epistemology dan Metode Studi Islam, (Cet.1; IAIN
Alauddin Press, 1988), h. 39
20
Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000). h.49
24

sumber acuan hidup, sebuah frame of reference, mitologi, dan cermin budaya

Jawa. Lewat lakon, di dalam pertunjukan wayang memuat nilai-nilai filsafat,

etika, estetika, religius, dan pendidikan. Maka wayang merupakan media

pengajaran bagi manusia yang melambangkan pergulatan hidup dan budi

pekerti luhur (tuntunan). Menurut para ahli budaya Jawa, lakon-lakon wayang

melukiskan kehidupan masyarakat dan negara, kebijakan dan praktik

kenegaraan, sehingga tak pelak bila Umar Kayam pernah mensinyalir bahwa

untuk mengetahui kehidupan negara perlu melihat wayang. Oleh karena itu

pula lakon wayang sering dipercaya dapat berpengaruh bagi kehidupan

penanggapnya.

Dari fungsi wayang semacam itulah, dalang sebagai sutradara dan

pelaku utama dalam pertunjukan sering diibaratkan dengan seorang pembawa

kaca benggala, simbol perantara antara mikrokosmos dan makrokosmos, guru

masyarakat (ngudal piwulang). Dalang memiliki kedudukan yang tinggi

setingkat kiai, pujangga dan sebagainya. Karena wayang tersebut tidak

mungkin bisa bergerak sendiri tanpa adanya dalang, maka jelas sekali bahwa

peranan dalang sangat penting dan paling menentukan bagi perkembangan

dunia pewayangan. 21

Dalam prakteknya, dakwah yang dilakukan oleh para pembawa ajaran

yaitu dengan upaya mengakulturasikan budaya – budaya yang sudah ada dengan

dengan meng-input ajaran-ajaran Islam. Sehingga Islam tidak menghilangkan

susunan budaya asli yang sudah melekat pada tatanan masyarakat Jawa,

melainkan Islam datang untuk membenahi ajaran-ajaran yang sudah ada.

21
Wawan Susetya, Dhalang, Wayang, dan Gamelan, (Jakarta; Narasi; 2007) h.28
25

Pernyataan ini akan sesuai jika membaca sedikit sejarah masyarakat Jawa. Adanya

budaya masyarakat Jawa yang sudah berhasil di input oleh ajaran Islam

diantaranya adalah upacara Selametan yang berkaitan dengan orang mati pada

hari ketiga, ketujuh, dan hari keempat puluh yang didalamnya sudah terdapat

lafal-lafal Allah dan wirid-wirid Islam lainnya. Padahal kalau ditelusuri budaya

ini merupakan warisan kepercayaan animisme. Dengan adanya perpaduan ini,

tradisi lama secara otomatis sudah mendapat cap Islam. Demikian pula upacara

selamatan akbar yang dilaksanakan oleh Sultan dengan nama gunungan dalam

upacara Grebeg Maulud, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar , disamping mendapat

cap Islam namun juga memang untuk merayakan hari besar Islam.

Dengan kedatangan agama Islam ditanah Jawa telah menimbulkan

perubahan kebudayaan yang melekat pada masyarakat Jawa. Perubahan yang

terjadi bukan semata-mata karena perombakan oleh dunia Islam, akan tetapi

karena adanya toleransi dari Islam untuk mengakulturasikan budaya yang telah

ada. Sejarah telah mengatakan bahwa akulturasi yang mendorong perkembangan

Islam di Jawa adalah Wayang.

Kebudayaan Jawa berupa Wayang sudah ada sejak zaman dahulu sebelum

Indonesia merdeka dan merupakan kebudayaan asli Indonesia. Pada mulanya

wayang masih berhubungan dengan kepercayaan animisme yang menjadi

kepercayaan para leluhur bangsa Indonesia. Sebenaranya Wayang berasal dari

kata wayangan yang berarti sumber Ilham dalam menggambar wujud tokoh dan

cerita sehingga bisa tergambar dengan jelas dalam batin si penggambar. 22

22
Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, ( Yogyakarta: Gama Media, 2000). h.22
26

Dalang dalamdunia pewayangandiartikan sebagai seseorang yang

mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang (ndalang). Keahlian

ini biasanya diperoleh dari bakat turun - temurun dari leluhurnya. Seorang

anak dalang akan bisa mendalang tanpa belajar secara formal. Ia akan

mengikuti ayahnya selagi mendalang dengan membawakan peralatan, menata

panggung, mengatur wayang (nyimping), menjadi pengrawit, atau duduk di

belakang ayahnya untuk membantu mempersiapkan wayang yang akan

dimainkan.

Dalam buku Tuntunan Praktek Pedalangan Wayang Golek Purwa Gaya

Sunda, yang disusun oleh Yoyo Rismayan W dikatakan :

Dalang asal kata dari dalung/blencong/lampu = alat penerang. Dengan alasan

demikian, maka fungsi dalang dalam masyarakat adalah sebagai juru

penerangan, atau lebih tegasnya dalang adalah orang yang memberi

penerangan dan bimbingan bagi masyarakat yang tingkatan sosialnya

beranekaragam.23

Dalang berasal dari kata : dal adalah kependekan dari kata ngudal =

mengucapkan; dan lang kependekan dari kata piwulang = piwuruk =

petuah/nasehat. Hal ini adalah mitologi rakyat. Dengan demikian dapat

diartikan bahwa dalang adalah orang yang memberi nasehat/petuah. Di sini

fungsi dalang adalah sebagai pendidik/pembimbing masyarakat atau guru

masyarakat.24

23
Yoyo Rismayan, Tuntunan Praktek Pedalangan Wayang Golek Purwa Gaya Sunda,
(Bandung, STSI, 1983). h. 24
24
Yoyo Rismayan, h. 24
27

Dalang berasal dari kata da = veda = pengetahuan dan lang = wulang.

Dalang adalah pengetahuan mengajar, di sini dalang dapat diartikan sebagai

guru masyarakat.Dalang berasal dari kata talang = alat penghubung untuk

mengalirkan air. Dalam hal ini dalang bertugas sebagai penghubung/

penyambung lidah, baik pesan dari pemerintah kepada masyarakat, maupun


25
sebaliknya.

Dalang adalah pemimpin, penyusun naskah, produser, juru cerita dan

memainkan wayang. Pendapat ini dikemukakan oleh Claere Holt (seorang

sarjana Barat) dalam bukunya : Art In Indonesia Continintees, and Change,

1960.

Dalang adalah seniman pengembara, sebab apabila mengadakan

pementasan tidak hanya di satu tempat, tapi berpindah-pindah. Menurut Drs.

Sudarsono, pendapat ini dikemukakan oleh Hazou (seorang sarjana Barat

juga).Dalang berasal dari kata dal = dalil-dalil, dan lang = langgeng. Ini adalah

pendapat seorang dalang kasepuhan dari Kecamatan Ciledug Kabupaten

Cirebon, yang bernama Dulah. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dalang

adalah seorang yang memberi dalil-dalil atau petuah-petuah/wejangan selama

hidupnya. Di sini fungsi dalang adalah sebagai pendidik/pembimbing

masyarakat atau guru masyarakat. 26

Dalam pagelaran wayang, dalang menempati peran dan posisi yang

sangat sentral. Ungkapan Jawa dhalange mangkel, wayange

dipendemmenunjukkan betapa besar peranan dalang dalam pagelaran wayang.


25
Yoyo Rismayan, h.25
26
Yoyo Rismayan, h.25
28

Dalang merupakan sutradara sekaligus tokoh utama dalam pagelaran. Ia adalah

penutur kisah, penyanyi lagu (suluk) yang mengajak memahami suasana pada

saat-saat tertentu, pemimpin suara gamelan yang mengiringi, dan di atas

segalanya, dalang merupakan pemberi jiwa pada wayang atau pelaku-pelaku

manusianya.

Pada zaman dahulu, peranan dalang tidak terbatas sampai disitu. Sesuai

dengan fungsi pewayangan sebagai upacara ritual dan keagamaan, yaitu untuk

menyembah atau menghormati arwah leluhur, dalang pun dipandang sebagai

penghubung antara manusia dengan jagat besar (makro-kosmos), antara

komunitas dengan dunia spiritual. Oleh karenanya, dalang mempunyai tempat

dan kedudukan yang terhormat dalam kehidupan masyarakat.

Lalu bagaimana posisi dan peranan dalang saat ini? Sesuai dengan

perubahan dan perkembangan wayang yang saat ini telah beralih menjadi

upacara modernisasi, meminjam istilah James L. Peacock dalam bukunyaRites

of Modernization : Symbolic and Sosial Aspect of Indonesia Proletarian

Drama, dalang pun mendapat peran baru yang tetap tidak menghilangkan

pamornya di masyarakat. Saat ini, wayang diharapkan menjadi sarana

komunikasi yang dapat menyampaikan konsepsi-konsepsi dan ide-ide baru

yang sesuai dengan gerak langkah pembangunan. Sesuai dengan sifat

pagelaran wayang yang multi-dimensional, maka para dalang sebagai figur

utama dan sentral, sudah sewajarnya dapat tampil dalam berbagai peranan,

sebagai komunikator, seniman, pendidik masyarakat, penghibur, juru penerang

ataupun kritikus sosial. 27

27
Victoria M. Clara van Groenendael, Dalang Dibalik Wayang, ( Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1987) h. 55
29

Sebagai seniman, dalang dituntut penguasaannya atas unsur-unsur seni

pedalangan, yang mencakup seni drama, seni rupa, seni kriya, seni sastra, seni

suara, seni karawitan dan seni gaya. Dalang pun harus menguasai 12 bidang

keahlian yang merupakan persyaratan klasik tradisional yang sangat berat

tetapi mendasar (Haryanto, 1988), yaitu:

Antawacana, Renggep, Enges, Tutug, Pandai dalam sabetan, Pandai

melawak;Pandai amardawa lagu, Pandai amardi basa, Faham Kawi

Radya, Faham Parama Kawi, Faham Parama Sastra, dan Faham Awi

Carita.28

Dalam hal keagamaan dalang dituntut wajib menguasai detail demi

detail tentang agama. Karena dapat dikatakan bahwa dalang setingkat dengan

Kiai atau pemuka agama. Dan juga dalang harus sebagaiseorang komunikator,

penyuluh, atau juru penerang. Karena wayang tersebut tidak mungkin bergerak

sendiri tanpa ada dalang. Maka jelas sekali bahwa peranan dalang sangat

penting dan paling menentukan bagi pementasan wayang.

C. Ruang Lingkup Dakwah

a) Pengertian Dakwah

Secara etimologis, kata “dakwah” berasal dari bahasa Arab yang

mempunyai arti: panggilan, ajakan, dan seruan. Sedangkan dalam ilmu tata bahasa

Arab, kata dakwah adalah bentuk dariisim masdar yang berasal dari kata kerja

: ‫ دعوة‬,‫ يدعو‬,‫دعا‬ artinya : menyeru, memanggil, mengajak dengan tujuan agar

28
Victoria M. Clara van Groenendael. h. 56
30

orang lain memenuhi ajakan tersebut yag berpedoman kepada Al-Qur‟an dan As-

Sunnah.29

Dakwah dalam pengertian ini dapat dijumpai dalam Al-Qura‟an yaitu pada

surat Yusuf; 33 dan Surat Yunus; 25. Dalam Al-Qur‟an , dakwah dalam arti

mengajak ditemukan sebanyak 46 kali, 39 kali dalam arti mengajak kepada Islam

dan kebaikan, 7 kali ditemukan dalam makna mengajak kepada mereka dan

kejahatan.

Sedangkan ditinjau dari segi terminologi, banyak sekali perbedaan

pendapat tentang definisi dakwah di kalangan para ahli, antara lain:

1. Menurut A. Hasmy dalam bukunya Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an,

mendefinisikan dakwah yaitu: mengajak orang lain untuk meyakini dan

mengamalkan akidah dan syariat Islam yang terlebih dahulu telah diyakini

dan diamalkan oleh pendakwah itu sendiri.30

2. Menurut Syekh Ali Mahfud. Dakwah Islam adalah memotivasi manusia

agar melakukan kebaikan menurut petunjuk, menyuruh mereka berbuat

kebajikan dan melarang mereka berbuat kemungkaran, agar mereka

mendapat kebahagian dunia dan akhirat.

3. Menurut Amrullah Ahmad .ed., dakwah Islam merupakan aktualisasi

Imani (Teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan

manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara

teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak

manusia pada tataran kegiatan individual dan sosio kultural dalam rangka

29
Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya : Al-Ikhlas, 2000) h.23
30
A. Hasmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997). h. 18
31

mengesahkan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan

dengan cara tertentu.31

4. Menurut M. Quraish Sihab, dakwah adalah seruan atau ajakan kepada

keinsyafan atau usaha megubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan

sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat.32

Jadi dakwah adalah suatu usaha atau proses yang dilakukan dengan sadar

dan terencana, dengan mengajaknya umat manusia ke jalan Allah. Usaha dan

proses tersebut untuk memperbaiki situasu dan juga untuk mencapai tujuan

tertentu, yaikni agar manusia hidup dengan penuh kebahagian dunia akhirat tanpa

adanya unsur paksaan.

Dalam Al-Quran, pengertian dakwah seperti yang terdapat dalam surat Al-

Imran: 104

    


 
 
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang
beruntung”

b) Bentuk-Bentuk Dakwah

Dakwah bil lisan. Dakwah ini dilakukan dengan menggunakan lisan,

antara lain :

31
Amrullah Ahmad,ed. Dakwah dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Prima Duta, 1983), h.
2.
32
Qurasih Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung Mizan, 1996), cet ke-XIX, h. 194.
32

1) Qaulun ma’rufun, dengan berbicara dalam pergaulanny sehari-hari yang

disertai dengan misi agama yaitu Islam, seperti penyebarluasan salam,

mengawali perbuatan dengan membaca basmallah, atau Al-Fatihah.

2) Mudzakarah, yaitu mengingatkan orang lain jika berbuat salah, baik

dalam ibadah maupun perbuatan.

3) Nasihatuddin, yaitu memberi nasihat kepada orang yang dilanda problem

kehidupan agar mampu melaksanakan agamanya dengan baik, seperti

bimbingan penyuluhan agama dan sebagainya.

Dakwah bil hal, yaitu dakwah yang dilakukan melalui berbagai kegiatan

yang langsung menyentuh kepada masyarakat sebagai objek dakwah atau

berdakwah melalui perbuatan, mulai dari tutur kata, tingkah laku, sampai pada

kerja bentuk nyata seperti mendirikan panti asuhan, fakir miskin, sekolah-sekolah,

rumah ibadah, dan lain-lain.33 Dakwah bil hal merupakan upaya dakwah dengan

melakukan perbuatan nyata, tentunya wujudnya beraneka ragam, dapat berupa

bantuan yang diberikan pada orang lain baik bantuan moril maupun materiil

sebagai mana firman Allah :


 
 
 
  


    
   


  
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela)
orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-
anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan Kami, keluarkanlah kami
dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami
pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kamu penolong dari sisi
Engkau!””.

33
Toha Yahya Omar, Islam dan Dakwah, (Jakarta; al-Mawardi, 2004), h.75
33

Dalam ayat ini terdapat dorongan yang kuat agar kaum muslimin

membela, membantu saudara-saudaranya yang lemah dengan cara mengetuk pintu

hati setiap orang yang memiliki perasaan dan berkeinginan baik.

c) Unsur-unsur Dakwah

1) Subjek dakwah

Di sini adalah da‟i yaitu seseorang sebagai pelaku dakwah atau

komunikator. Da‟i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik secara

lisan, tulisan maupun perbuatan, individu, kelompok, organisasi atau

lembaga. Da‟i sering disebut “muballigh” (orang yang menyampakan

ajaran Islam). Seorang da‟i selaku subyek dakwah adalah unsur terpenting

yang menduduki peranan strategis. Da‟i adalah seorang muslim yang

memiliki syarat-syarat dengan kemampuan tertentu yang dapat

melaksanakan dakwah dengan baik. 34

Adapun syarat-syarat yang diperlukan utuk menjadi seorang da‟i

menurut Hafi Anshari antara lain:

(a) Peryaratan jasmani (fisik)

Kesehatan jasmani menjadi faktor yang penting dalam

mempelancar dakwah disamping itu kondisi jasmani dan

penampilan fisik seorang da‟i akan menjadi kebanggan bagi

mad‟u. Persyaratan yang dimaksud meliputi: kesehatan jasmani

secara umum, keadaan tubuh bagian dalam dan keadaan tubuh

mengenai cacat atau tidak.

34
Hamzah Ya‟kub, Publisistik Islam, (Bandung: Diponogoro, 1981), h.13
34

(b) Persyaratan ilmu pengetahuan

Persyaratan ilmu pengetahuan ini berkaitan dengan pemahaman

da‟i terhadap unsur-unsur dakwah yang ada seperti mad‟u, materi,

media serta tujuan dakwah.

(c) Persyaratan kepribadian

Sebagai pemimpin yang akan menjadi panutan, sudah barang

tentu haruslah mempunyai kewibawaan, sedangkan kewibawaan

itu terwujud ditentukan oleh faktor kemampuan da‟i untuk

memulai dari dirinya lebih dahulu sebagai contoh dan

keteladanan. Seorang da‟i haruslah mempunyai kepribadian yang

baik, watak dan sikapnya menyenangkan, perilaku baik dan bisa

dijadiakan contoh.35

2) Objek Dakwah (mad‟u)

Obyek dakwah ialah sasaran, penerima, khalayak, jama‟ah,

pembaca, pendengar, pemirsa, audience, komunikan yang menerima

dakwah Islam. Obyek dakwah adalah amat luas, ia adalah masyarakat yang

beraneka ragam latar belakang dan kedudukannya.

Dengan mengetahui klasifikasi obyek dakwah, memudahkan bagi

da‟i melakukan penyesuaian dalam penyampaian isi pesan dakwahnya,

tergantung permasalahan kehidupan yang dihadapi masyarakat, sehingga

35
HM. Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, (Surabaya, Al-Ikhlas, 1993).
h.105-106
35

dakwah dapat menyentuh langsung di hati obyek (sasaran) dakwah. Seperti

misal, Jika yang menjadi obyek dakwah adalah kebanyakan golongan

petani, makai diberikan penjelasan bagaimana cara bertani yang baik

sehingga hasil pertaniannya meningkat dan bagaimana peningkatan

tersebut sekaligus merupakan bagian dari ibadahnya kepada Allah.

Demikian pula bagi buruh, sehingga peningkatan mutu kerjanya sama

dengan mutu ibadahnya. Hal ini akan mendorong mereka untuk lebih

memahami bagaimana beribadah dengan baik akan membantu mereka

untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. Sudah barang tentu da‟i

yang bertugas di kalangan buruh atau petani atau lainnya haruslah mereka

yang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai dunia buruh dan tani.

Dalam hal ini, khutbah atau tabligh perlu disesuaikan dengan persoalan

buruh dan petani. Di samping itu perlu dilakukan kegiatan yang lebih

konkret seperti latihan keterampilan kerja, pemilihan bibit dan pupuk,

sehingga mereka merasa diperhatikan. Tak lupa juga masalah bagaimana

memasarkan hasil tani. Lapangan kerja apa saja yang sedang dibutuhkan

dan dagang apa saja yang sedang laku dan seterusnya.36

3) Metode Dakwah

Salah satu faktor yang menyebabkan keberhasilan suatu kegiatan

dakwah adalah karena menggunakan metode yang efektif ditentukan.

Metode ini adalah satu skema, satu rancangan bekerja untuk menyusun satu

macam masalah menjadi satu sistem pengetahuan. Secara etimologi, istilah

36
Rafiudin, Maman Addul Jalil, Prinsip dan Strategi Dakwah, (Bandung; CV. Pustaka
Setia, 1997), cet. Ke-1. h. 47
36

metode berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata ”metodos” yang berarti

cara atau jalan. Dengan demikian, metode berarti ilmu pengetahuan yang

mempelajari tentang cara-cara atau jalan yang di tempuh untuk mencapai

suatu tujuan dengan hasil yang efektif dan efisien. Tidak semua metode

cocok untuk setiap sasaran dakwah untuk setiap sasaran yang akan

dipengaruhi. Begitu pula dalam hal dakwah. Dalam hal ini Allah

memberikan pedoman pokok dalam surat surat an-Nahl ayat 125:

     


  
 

    


 
 
 
”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.

4) Materi Dakwah

Materi dakwah adalah pesan-pesan atau segala sesuatu yang harus

disampaikan oleh subyek kepada obyek dakwah, keseluruhan ajaran Islam,

yang ada di dalam Kitabullah maupun sunnah Rasul-Nya, yang pada

pokoknya mengandung tiga prinsip, yaitu: Aqidah, yang menyangkut sistem

keimanan/kepercayaan terhadap Allah swt. dan ini menjadi landasan yang

fundamental dalam keseluruhan aktifitas seorang muslim, baik yang

menyangkut sikap mental maupun sikap lakunya dan sifat-sifat yang

dimiliki. Hal ini merupakan manifestasi masalah-masalah yang berkitan

dengan keyakinan (keimanan) yang meliputi: Iman kepada Allah, iman


37

kepada Malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada Rasul-

rasul-Nya, iman kepada hari akhir, iman kepada Qadla dan qadar.

Syari‟at, yaitu rangkaian ajaran yang menyangkut aktivitas manusia

muslim di dalam semua aspek hidup dan kehidupannya, mana yang boleh

dilakukan dan mana yang tidak boleh, mana yang halal dan haram, mana

yang mubah dan sebagainya, dan ini juga menyangkut hubungan manusia

dengan sesamanya (hablun minallah dan hablun minannas). Pembahasan

yang termasuk dalam syari‟ah meliputi :

- Ibadah, (dalam arti khusus) yaitu: thaharah, sholat, zakat, puasa, haji.

- Mu’amalah, (dalam arti luas):

al-qanunul khas (hukum perdata): yaitu munakahah (hukum nikah),

waratsah (hukum waris).

al-qanunul ’am (hukum publik) yaitu: jinayah (hukum pidana),

khalifah, hukum niaga, Jihad (hukum perang dan damai).

Akhlaq, yaitu menyangkut tata cara berhubungan baik secara vertikal

dengan Allah. maupun secara horizontal dengan sesama manusia dan

seluruh makhluk-makhluk Allah. Ada pun pembagian akhlak adalah: akhlak

terhadap khaliq. Akhlaq terhadap mahluk, meliputi: akhlak terhadap

manusia; (diri sendiri, tetangga, masyarakat). ahlak tehadap bukan manusia

(flora, fauna, dan lain-lain). Keseluruhan ajaran Islam menjadi materi

dakwah, tidak ada lain adalah bersumber dari al-Qur‟an dan al-Hadits. Oleh

karena itu pengkajian, pendalaman, pengamalan materi dakwah menjadi

sangat dominan bagi pelaksana dakwah (da‟i).


38

Aqidah dalam Islam bersifat I’tiqad bathiniyah yang mencakup

masalah yang erat hubungannya dengan rukun Iman. Di bidang aqidah ini

pembahasannnya bukan saja tertuju pada masalah-masalah yang dilarang

sebagai lawannya, misalnya Syirik, Ingkar dan sebagainya. Allah berfirman


  
  

 
“dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada
(nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan
(Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
Termasuk orang-orang yang merugi.”(Q.S. Az-Zumar – 65)
Sumber-sumber materi dakwah adalah :

a. Al-Qur‟an Dan Al-Hadits.

Agama islam adalah agama yang menganut kitabnya allah

yakni al-qur‟an dan al-hadits rasulullah saw yang mana kedua ini

merupakan sumber utama ajaran-ajaran islam. Oleh karenanya

materi dakwah islam tidaklah dapat terlepas dari dua sumber

tersebut, bahkn bila kita tidak bersandar dari keduanya (Al-qur‟an-

hadits ) seluruh aktivits dakwah akan sia-sia dan dilarang oleh

syari‟at islam.37

b. Ra’yu Ulama (Opini Ulama)

Islam menganjurkan umatnya untuk berfikir-fikir, berijtihad

menemukan hukum-hukum yang sangat operasional sebagai tafsiran

37
HM. Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengalaman Dakwah, (Surabaya; Al-Ikhlas,
1993). h.105
39

dn akwil Al-qur‟an dan hadits. Maka dari hasil pemkiran dan

penelitian para ulama‟ ini dapat dijadikan sumber kedua setelah

alqur‟an dan al-hadits dengn kata lain penemuan baru yang tidak

bertentangan dengan al-quran dan al-hadits dapat pula di jadikan

sebagai sumber materi dakwah.

Materi dakwah yang hendak di dakwahkan itu adalah pancaran sinar

dari asas hidup islam yang dituturkan wahyu. Bersumber kepada wahyu kita

kita buat rumus, pola dan formula, cetakbiru dari materi yang hendak kiata

dakwahkan, kita susun materi dakwah. Bertlak dari asas hidup dan

pandangan hidup islam, kita bentuk maddah perjuangan, kita letakan qoidah

perjuangan, kita rentangkan khitthah perjuangan. Maddah yang jelas,

khitthah yang terang dan qo‟idah yang kuat akan memahirkan kita dan

menuntun kita dalam memiliki khid‟ah dan maidah perjuangan. Jika semua

itu didukung oleh pemikir dan pejuang yang berwatak yang bermoral dan

berkarakter, maka perjuangan yang di kendalikanya akan dapat dijadikan

tumpangan kepercayaan umat yang berjuang. Maddah (materi). Khittha dan

wijhah, khid‟ah dan makidah, semua itu tidak boleh lepas dari sumbernya.

Ialah wahyu ilahi dan sunnah nabi muhammad Saw.

5) Tujuan Dakwah

Setiap pekerjaan yang dilakukan mempunyai tujuan, demikian juga

dengan dakwah. Dakwah yang disampaikan Rasulullah mempunyai tujuan

yang jelas untuk menyelamatkan umat manusia dari berbagai bentuk

kesesatan kepada keridhaan Allah SWT. Tanpa adanya tujuan tertentu yang
40

harus diwujudkan maka dakwah tidak mempunyai arti apa-apa, bahkan

menjadi suatu perkerjaan yang sia-sia.

Tujuan dilaksanakannya dakwah adalah mengajak manusia ke jalan

yang benar yaitu jalan Allah SWT. Disamping itu, dakwah bertujuan untuk

mempengaruhi cara berpikir manusia, cara merasa, cara bersikap dan

bertindak, agar manusia bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Allah Berfirman;

  


 
  
  


“Dan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-
Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran”

D. Komunikasi Antar Budaya

a) Pengertian Komunikasi Antar Budaya

Untuk memahami interaksi antar budaya, terlebih dahulu harus

memahami komunikasi manusia. Memahami komunikasi manusia berarti

memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung, mengapa itu

terjadi, apa yang terjadi, akibat-akibat dari apa yang terjadi, dan akhirnya apa

yang dapat diperbuat untuk mempengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari

kejadian tersebut.

Komunikasi adalah suatu proses yang di mana dua orang terlibat dalam

percakapan dengan berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa

yang di percakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan

itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan lain perkataan,


41

mengerti bahasa saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa

tersebut. Jelas bahwa percakapan dua orang tersebut dapat dikatakan

komunikatif, apabila keduanyaselain mengerti bahasa yang dipergunakan, juga

mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan.38

Menurut Sundra Hybels dan RichardL. Weafer II, bahwa komunikasi

merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan. Proses

itu meliputi informasi yang disampaikan tidak hanya secara

Menurut Billie J. Walhstrom mengungkapkan komunikasi adalah (1)

pernyataan diri yang efektif; (2) pertukaran pesan-pesan yang tertulis, pesan-

pesan dalam percakapan, bahkan melalui imajinasi; (3) pertukaran informasi

atau hiburan dengan kata-kata melalui percakapan atau dengan metode lain; (4)

pengalihan informasi dari seorang kepada orang lain; (5) pertukaran makna

antar pribadi dengan sistem simbol; (6) proses pengalihan pesan melalui

saluran tertentu kepada orang lain dengan efek tertentu.39

Menurut Harold D. Lasswell, cara yang baik untuk menggambarkan

komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan berikut : Who Says what In

which Channel To Whom With What Effect? (Siapa mengatakan apa dengan

saluran apa kepada siapa dengan efek bagaimana?). sedangkan Bernard

Berelson dan Gary A. Steiner (1964) mendifinisikan komunikasi, sebagai

berikut; “Communication: the transmission of information, ideas, emotions,

skills, etc. By the uses of symbol..” (komunikasi adalah transmisi informasi,

gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-

38
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, (Bandung;CV Remadja
Karya, 1985). h.11
39
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta,LKiS,
2002). h. 4
42

simbol, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya

disebut komunikasi.)40

Menurut Carey menyatakan bahwa komunikasi merupakan suatu proses

„ritual yang mengemukakan informasi dua model, yaitu: (1) model transisi,

yakni model yang tidak secara langsung mengutamakkan perkuasan pesan

pesan dalam ruang, tetapi diarahkan untuk mengelola masyarakat dalam satuan

waktu, model yang tidak mengutamakan tindakan untuk mengambil bagian

dalam informasi, untuk menarik orang lain agar turut serta dalam

kebersamaan.41

Komunikasi adalah suatu aktivitas yang terus berlangsung dan selalu

berubah. Sebagai pelaku komunikasi secara konstan dipengaruhi oleh pesan

orang lain dan sebagai konsekuensinya, kita mengalami perubahan yang terus

menerus. Komunikasi terjadi antara sumber dan penerima. Ini

mengimplikasikan dua orang atau lebih yang membawa latar belakang dan

pengalaman unik mereka masing-masingke peristiwa masing-masing ke

peristiwa komunikasi.

Komunikasi berlangsung dalam konteks fisik dan konteks sosial. Ketika

berinteraksi dengan seseorang, interaksi tidaklah terisolasi, tetapi ada dalam

lingkungan fisik tertentu dan dinamika sosial tertentu. Lingkungan fisik

meliputi objek-objek fisik tertentu seperti mebel, alat musik, karpet atau tidak

ada kesemerawutan, pesan-pesan lain yang menyaingi, dan sebagainya.

Konteks sosial menentukan hubungan sosial antara sumber dan penerima.

Perbedaan-perbedaan posisi seperti guru-murid, atasan-bawahan, orangtua-


40
Wiryanto, “Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: PT. Grasindo, 2006) h.7
41
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya,(Yogyakarta,LKiS, 2002).
h. 40
43

anak, dokter-pasien, dan sebagainya, mempengaruhi proses komunikasi. Dan

sering lingkungan fisik turut menentukan konteks sosial. Bagaimana pun

konteks sosial tersebut, mempengaruhi komunikasi. Bentuk bahasa yang

digunakan, penghormatan atau kurangnya penghormatan yang ditunjukan

kepada seseorang, waktu, suasana hati, siapa berbicara dengan siapa dan drajat

kegugupan atau kepercayaan diri yang diperlihatkan orang, semua itu adalah

sebagian saja dari aspek-aspek komunikasi yang dipengaruhi oleh konteks

sosial. 42

Saat ini harus paham, bahwa komunikasi manusia tidak terjadi dalam

“ruang hampa” sosial. Alih-alih, komunikasi merupakan suatu matriks

tindakan-tindakan sosial yang rumit dan saling berinteraksi, serta terjadi dalam

suatu lingkungan sosial yang kompleks. Lingkungan sosial ini merefleksikan

bagaimana orang hidup, bagaimana ia ia beriteraksi dengan orang lainnya.

Lingkungan sosial ini adalah budaya, dan bila ingin benar-benar memhami

komunikasi, harus memahami budaya juga.

Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa

yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan,

praktik komunikasi , tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan

politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Apa yang

orang-orang lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaimana mereka hidup

dan berkomunikasi, merupakan respon-respon terhadap dan fungsi-fungsi

budaya mereka.

42
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi AntarBudaya; Panduan
Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,1993)
h. 17
44

Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal

budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan,

nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep

alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar

orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya

menampakn diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan

perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan

penyesuaian diri dan gaya komunikasiyang memungkinkan orang-orang

tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada

suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu.43

Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena itu budaya

tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana

orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-

kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Budaya

dan komunikasi memiliki hubungan timbal balik. Budaya mempengaruhi

komunikasi dan sebaliknya komunikasi mempengaruhi budaya. Karena itulah

menjelaskan keterkaitan kedua unsur ini menjadi sedikit rumit.44

Martin dan Nakayama (2003:86) menjelaskan bahwa melalui budaya

dapat mempengaruhi proses dimana seseorang mempersepsi suatu realitas.

Semua komunitas dalam semua tempat selalu memanifestasikan atau

mewujudnyatakan apa yang menjadi pandangan mereka terhadap realitas

43
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat. h.19
44
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat. h. 20
45

melalui budaya. Sebaliknya pula, komunikasi membantu kita dalam

mengkreasikan realitas budaya dari suatu komunitas.45

Budaya atau kebudayaan adalah sesuatu yang sudah melekat erat di

dalam individu, masyarakat atau kelompok tertentu yang berkaitan dengan

minat dan bidang pengetahuan. Kebudayaan merupakan sesuatu yang dipelajari

dan diikuti oleh seseorang guna melakukan penyesuaian diri

terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial. Kebudayaan berorientasikan

pada kelompok, dipelajari berdasarkan pendidikan, bahasa, interaksi, dan

konteks langsung dengan lingkungan yang dilakukan sejak lahir sehingga

mempengaruhi seseorang individu. Kebudayaan juga diartikan sebagai budi

dan akal. Hal ini juga berarti kebudayaan adalah hal-hal yang berhubungan

dengan budi dan akal.

Dalam perkembangannya, kebudayaan berarti juga buah pikiran, hasil

karya manusia berbentuk sesuatu yang indah seperti karya seni. Wujud

kebudayaan ada tiga macam, yaitu kebudayaan ideal, lalu sistem sosial dan

yang terakhir kebudayaan fisik. Beberapa unsur universal yang ada di dalam

kebudayaan adalah sistem religi dan juga upacara keagamaan, sistem dan

organisasikemasyarakatan, sistem ilmu pengetahuan, sistem bahasa, ada juga

kesenian, sistem mata pencaharian, dan juga sistem teknologi.46

Budaya memiliki fungsi untuk mengatur, mengendalikan, dan

memberikan arahan pada tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai, norma, dan

45
Mulyana, Deddy. Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintasbudaya. ( Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. 2004). h.19
46
Bakker, JWM. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. ( Yogyakarta: Kanisius, 1999).
h.57
46

keyakinan, yang termasuk dalam unsur-unsur kebudayaan mempengaruhi

persepsi juga sikap seseorang dan dikomunikasikan kepada masyarakat untuk

dipatuhi demi tercapainya masyarakat yang aman dan damai.

Komunikasi berperan menyampaikan pengaruh positif dan negatif di

dalam masyarakat dan mengajarkan tingkah laku yang baik. Sejatinya,

seseorang bisa belajar komunikasi adalah melalui kebudayaan yang ada. Begitu

pula sebaliknya dengan kepandaian seseorang dalam komunikasi, tujuan

kebudayaan akan tercapai dengan baik di dalam masyarakat. Kebudayaan

dipelajari di dalam fenomena sosial melalui contoh perbuatan tentang nilai

kehidupan seperti nilai baik dan buruk, sesuatu yang harus dilakukan, atau

sebaliknya sesuatu yang harus ditinggalkan. Tempat belajar kebudayaan

pertama kali adalah di lingkungan keluarga. Selanjutnya, pembelajaran itu akan

berkembang menjadi nilai-nilai yang mencerminkan sistem kebudayaan suatu

lingkungan tertentu. Melalui kebudayaan, terjadi komunikasi antarindividu

atau kelompok untuk berbagai macam urusan. Komunikasi dan budaya,

keduanya saling mempengaruhi dan berkaitan dalam memberikan hubungan

timbal balik. Komunikasi membentuk kebudayaan yang terjadi di masyarakat

sedangkan kebudayaan menentukan pola dan aturan-aturan di dalam

komunikasi. Perilaku individu sangat tergantung pada kebudayaan yang ada di

daerah tersebut.47

Manusia mampu menciptakan dan mengembangkan pengetahuan,

makna, simbol, nilai-nilai, aturan, dan tata upacara yang memberikan batasan

47
Mulyana, Deddy. Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintasbudaya. ( Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. 2004). h.147
47

serta bentuk pada hubungan-hubungan melalui komunikasi. Selain itu, melalui

komunikasi juga unsur-unsur kebudayaan bisa diwariskan dari satu generasi ke

generasi yang lainnya. Komunikasi menjadi sarana individu untuk

menyesuaikan diri dengan budaya-budayanya sendiri ataupun dengan budaya

asing yang ditemuinya. Jadi, melalui komunikasilah kebudayaan bisa

dirumuskan, dibentuk, dan dipelajari. Banyak sekali manfaat yang didapatkan

melalui proses komunikasi. Beberapa di antaranya adalah melalui komunikasi

kita bisa meningkatkan pengetahuan untuk diri sendiri dan menyampaikannya

kepada orang lain. Selain itu, melalui proses komunikasi kita bisa menjelaskan

berbagai macam kendala dan masalah yang timbul tentang kebudayaan ataupun

proses pemahaman budaya dan juga dengan komunikasi kita bisa

meningkatkan pengetahuan tentang kemajuan teknologi dan informasi. Hal ini

sangat penting bagi kita agar kita melek teknologi dan bisa menggunakan

teknologi dengan bijak.

Komunikasi tentang kebudayaan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.

Komunikasi ini bisa terjadi baik secara verbal maupun nonverbal. Pada

kenyataanya, terdapat berbagai macam budaya yang menjadi ciri khas dan

kebiasaan kelompok masyarakat tertentu yang sering kita temui. Namun,

keragaman tersebut bisa berjalan beriringan dengan terjalinnya komunikasi

yang baik di dalam masyarakat baik di dalam suatu negara maupun di seluruh

dunia. Contoh kebudayaan yang ada adalah budaya berdasarkan wilayah

seperti budaya timur dan barat. Budaya berdasarkan negara seperti budaya

Indonesia, budaya Prancis, dan budaya Malaysia. Budaya berdasarkan suku

atau ras di dalam suatu negara seperti budaya Cina Indonesia, budaya Amerika,
48

dan Asia. Budaya berdasarkan strata sosial seperti budaya rakyat bawah atau

budaya orang kaya (golongan menengah ke atas). 48

Berbagai macam jenis komunikasi bisa terjadi di dalam lingkup budaya

dengan konteks isi yang berbeda-beda. Komunikasi di kalangan politisi

berbeda dengan komunikasi yang terjadi di kalangan tokoh keagamaan. Begitu

juga dengan komunikasi yang terjadi di dalam lingkup sosial yang lainnya

tergantung dari konteks sosial kebudayaan yang ada di sana. Berbagai macam

latar belakang mempengaruhi isi komunikasi budaya yang terjadi. Faktor yang

mempengaruhinya seperti latar belakang pendidikan dan penerimaan kemajuan

teknologi. Di sini, tampak begitu dekat hubungan antara komunikasi dan

budaya yang ada. Latar belakang budaya yang berbeda-beda secara otomatis

akan mempengaruhi cara komunikasi seseorang. Pengaruh tersebut muncul

akibat adanya suatu persepsi dan pemaknaan terhadap suatu realitas yang

terjadi di dalam masyarakat. Salah satunya adalah persepsi kepercayaan yang

merupakan persepsi pribadi yang merujuk kepercayaan seseorang pada

pandangan kualitas tertentu meskipun pandangan tersebut dapat dibuktikan

secara logis atau tidak. Misalkan saja, kebudayaan mempercayai bahwa berdoa

membantu menyembuhkan penyakit, menabrak kucing hitam akan membawa

kemalangan dan berbagai macam jenis kepercayaan yang lainnya. Budaya

memainkan peranan yang sangat kuat dalam pembentukan kepercayaan

seseorang bahkan masyarakat. 49

48
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta,LKiS,
2002). h. 12
49
Alo Liliweri. h.14
49

Kita harus berhati-hati di dalam berkomunikasi dengan konteks

antarbudaya. Kita tidak bisa memvonis suatu kepercayaan itu benar atau salah.

Hal terpenting yang harus kita lakukan adalah membangun komunikasi yang

baik dengan orang lain ketika memiliki kebudayaan yang berbeda dan

menghargai kepercayaan lawan bicara yang kita hadapi meskipun kepercayaan

tersebut tidak sesuai dengan apa yang kita percayai. Kepercayaan yang

diyakini oleh seseorang menjadi nilai-nilai budaya yang disepakati di dalam

suatu masyarakat. Nilai-nilai tersebutlah yang menjadi rujukan benar, salah,

baik, dan buruk di lingkungan tertentu. Perilaku komunikasi seseorang menjadi

pembeda ketaatan seseorang terhadap budaya yang ada. Nilai-nilai budaya

mampu membentuk perilaku-perilaku para anggota budayanya sebagaimana

tuntutan budaya yang terjadi di masyarakat tersebut. Hingga pada akhirnya,

kepercayaan suatu masyarakat terhadap budaya menjadi sebuah nilai yang

berkontribusi pada pengembangan sikap masyarakatnya. 50

Komunikasi dan budaya akan selalu berkaitan. Budaya tidak akan bisa

terbentuk tanpa adanya komunikasi. Pola komunikasi yang terjadi pun sesuai

dengan latar belakang dan nilai-nilai budaya yang ada di dalam masyarakat

tersebut dan menggambarkan identitas budaya seseorang. Aktivitas komunikasi

dari seseorang yang memiliki kebudayaan tertentu adalah representasi dari

kepercayaan, nilai, sikap, dan pandangan dunia dari budayanya itu. Nilai-nilai

50
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta,LKiS,
2002). h. 19
50

dan esensi suatu budaya mampu diperkuat dengan adanya komunikasi yang

terbentuk di dalam masyarakat.51

b) Bahasa Verbal dan Non Verbal

Bahasa Verbal :

Bahasa menjadi alat utama yang digunakan manusia untuk

berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Simbol atau pesan verbal adalah

semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua

rangsangan wicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal

disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan

dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat juga dianggap sebagai suatu

sistem kode verbal. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan

pikiran, perasaan dan maksud yang ingin disampaikan. Bahasa verbal

menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas

individual kita.52

Manusia menggunakan bahasa untuk menyampaikan pikiran,

perasaan, niat dan keinginan kepada orang lain. Kita belajar tentang orang-

orang melalui apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka

mengatakannya, kita belajar tentang diri kita melalui cara-cara orang lain

51
Mulyana, Deddy. Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintasbudaya. ( Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. 2004). h.150
52
Mulyana, Deddy. KomunikasiAantarbudaya. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1993).
h.33
51

bereaksi terhadap apa yang kita katakan dan kita belajar tentang hubungan kita

dengan orang lain melalui take and give dalam interaksi yang komunikatif .53

Bahasa begitu vital dalam kehidupan manusia, realitasnya mungkin

tidak ada tanpa bahasa. Bahasalah yang telah memberikan makna terhadap

semesta kehidupan ini. Disetiap daerah memiliki perbedaan bahasa, bahkan

setiap generasi memiliki bahasa yang berbeda dan unik.

Bahasa Nonverbal

Manusia dipersepsikan tidak hanya melalui bahasa verbalnya,

bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing dan

sebagainya), namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Lewat perilaku

nonverbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah

ia sedang bahagia, bingung atau sedih. Kesan awal kita pada seseorang sering

didasarkan pada perilaku nonverbalnya yang mendorong kita untuk

mengenalnya lebih jauh. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua

isyarat yang bukan kata-kata. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk

melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan

tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan

perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Dalam

pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh

bersifat nonverbal. Bahasa verbal dan nonverbal dalam kenyataannya jalin

menjalin dalam suatu aktivitas komunikasi tatap muka. Keduanya dapat

53
Samovar, Porter dan Mc. Daniel, Komunikasi AntarBudaya.(Jakarta; Salemba Humanika,
2007). h. 164
52

berlangsung spontan dan serempak. Dalam hubungannya dengan perilaku

verbal, perilaku nonverbal mempunyai fungsi-fungsi berikut:

a. Fungsi Repetisi; perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal

b. Fungsi Komplemen; perilaku nonverbal memperteuh atau melengkapi

perilaku verbal.

c. Fungsi Substitusi; perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku

verbal.

d. Fungsi Regulasi; perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal.

e. Fungsi Kontradiksi; perilaku nonverbal dapat membantah atau

bertentangan dengan perilkau verbal.54

Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua

kategori besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan

pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan,

bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam.55

Bahasa Verbal dan Nonverbal dalam proses komunikasi antarbudaya:

Pada dasarnya, bahasa verbal dan nonverbal tidak terlepas dari konteks

budaya. Tidak mungkin bahasa terpisah dari budaya. Dalam arti yang

paling dasar, Rubin mengatakan, bahasa adalah satu set karakter atau elemen

dan aturan yang digunakan dalam hubungan satu sama lain. Karakter atau

elemen tersebut adalah simbol bahasa yang beragam secara budaya, mereka

berbeda satu dengan yang lain. Tidak hanya kata-kata dan suara untuk simbol-

54
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,
2008). h.121
55
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta,LKiS,
2002). h. 12
53

simbol yang berbeda, namun juga aturan untuk menggunakan simbol-simbol

dan suara-suara tersebut. Budaya memberi pengaruh yang sangat besar pada

bahasa karena budaya tidak hanya mengajarkan simbol dan aturan untuk

menggunakannya, tetapi yang lebih penting adalah makna yang terkait dengan

simbol tersebut.

Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata merepresentasikan persepsi

dan interpretasi orang-orang yang berbeda yang menganut latarbelakang sosial-

budaya yang berbeda pula. Oleh karena itu, terdapat berbagai kemungkinan

untuk memaknai kata-kata tersebut. Kata-kata adalah abstraksi realitas

yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau

konsep yang diwakilkan dari kata-kata itu. Bila budaya disertakan sebagai

variabel dalam proses abstraksi tersebut, masalahnya menjadi semakin

rumit. Ketika berkomunikasi dengan seseorang dari budaya yang sama, proses

abstraksi untuk merepresentasikan pengalaman jauh lebih mudah, karena

dalam suatu budaya orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa.

Namun, bila komunikasi melibatkan orang-orang berbeda budaya, banyak

pengalaman berbeda dan konsekuensinya proses abstraksi juga

menyulitkan.

Sebagaimana bahasa verbal yang tidak terlepas dari budaya, begitu pula

dengan bahasa nonverbal. Perilaku nonverbal seseorang adalah akar budaya

seseorang tersebut. Oleh karena itu, posisi komunikasi nonverbal memainkan

bagian yang penting dan sangat dibutuhkan dalam interaksi komunikatif di

antara orang dari budaya yang berbeda.


54

Hubungan antara komunikasi verbal dengan kebudayaan jelas adanya,

apabila diingat bahwa keduanya dipelajari, diwariskan dan melibatkan

pengertian- pengertian yang harus dimiliki bersama. Dilihat dari ini, dapat

dimengerti mengapa komunikasi nonverbal dan kebudayaan tidak dapat

dipisahkan satu sama lain. Banyak perilaku nonverbal dipelajari secara

kultural. Sebagaimana aspek verbal, komunikasi nonverbal juga tergantung

atau ditentukan oleh kebudayaan, yaitu: kebudayaan menentukan perilaku-

perilaku nonverbal yang mewakili atau melambangkan pemikiran, perasaan,

keadaan tertentu dari komunikator dan kebudayaan menentukan

kapanwaktuyangtepatataulayakuntuk mengkomunikasikan pemikiran,

perassan, keadaan internal. Jadi, walaupun perilaku-perilaku yang

memperlihatkan emosi ini banyak yang bersifat universal, tetapi ada

perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam menentukan bilamana, oleh siapa dan

dimana emosi-emosi itu dapat diperlihatkan.56

c) Akulturasi

Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu

kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur

dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan

diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya

unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Contoh akulturasi: Saat

budaya rap dari negara asing digabungkan dengan bahasa Jawa, sehingga

56
Dadan Anugrah. Winny Kresnowiati, Komunikasi Antar Budaya; Konsep dan
Aplikasinya, (Jakarta, Jala Permata, 2008) h. 88
55

menge-rap dengan menggunakan bahasa Jawa. Ini terjadi di acara Simfoni

Semesta Raya.

Istilah akulturasi berasal dari bahasa Latina cculturate yang berarti

“tumbuh dan berkembang bersama”. Secara umum,

akulturasi (acculturation) adalah perpaduan dua buah budaya yang

menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan unsur-unsur asli dalam

budaya tersebut. Misalnya. proses percampuran dua budaya atau lebih yang

saling bertemu dan saling memengaruhi. Sedangkan, menurut

Koentjaraningrat, akulturasi adalah proses sosial yang terjadi bila kelompok

sosial dengankebudayaan tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing yang

berbeda. Syarat terjadinya proses akulturasi adalah adanya

persenyawaan (affinity) yaitu penerimaan kebudayaan Tanpa rasa terkejut.

Syarat lainnya adalah adanya keseragaman (homogenity) seperti nilai baru

yang tercema akiat keserupaan tingkat dan corak budayanya.

Thomas Glick (1997) akulturasi adalah proses pergantian budaya yang

diset dalam gerakan dari pertemuan sistem budaya yang otonom. Hal

tersebut menghasilkan sebuah peningkatan persamaan antara satu dengan

yang lainnya.Robert Redfield, Ralph Linton dan Melville

Herskovits dalam American Antropologist (1936) menjelaskan bahwa

akulturasi merupakan sebuah hasil ketika dua kelompok budaya dari

individu-individu saling bertukar perbedaan budaya, timbul dari

keberlanjutan perjumpaan pertama. Dimana terjadi perubahan dari pola asli

kebudayaan dari kedua kelompok tersebut.


56

Akulturasi dapat terjadi melalui kontak budaya yang bentuknya dapat

bermacam-macam, antara lain sebagai berikut.

 Kontaksosial dapat terwujud pada seluruh lapisan masyarakat, sebagian

masyarakat, atau bahkan antarindividu dalam dua masyarakat.

Kehadiran teknologi misalnya, tentu berbeda dengan kehadiran seorang

ulama. Kehadiran seorang ahli psikologi berbeda dengan kehadiran

seorang ahli ekonomi.

 Kontak budaya dapat terwujud dalam situasi bersahabat atau situasi

bermusuhan.

 Kontak budaya dapat terwujud antara kelompok yang menguasai dan

dikuasai dalam seluruh unsur budaya, baik dalam ekonomi, bahasa.

teknologi. kemasyarakatan. agama, kesenian, maupun ilmu

pengetahuan.

 Kontak budaya dapat terwujud di antara masyarakat yang jumlah

warganya banyak atau sedikit.

 Kontak budaya dapat terwujud dalam ketiga wujud budaya baik sistem

budaya, sistem sosial, maupun unsur budaya fisik.57

Hasil proses akulturasi budaya ditentukan oleh kekuatan setiap

budaya. Semakin kuat suatu budaya maka semakin cepat memengaruhi

budaya lainnya. Salah satu contoh dari proses akulturasi di Indonesia adalah

yang terjadi di daerah transmigrasi. Di antara berbagai suku bangsa yang

terdapat di daerah transmigrasi, secara alami terjadi pertemuan dua budaya

57
Nana, Mamat dan Kosim, Ilmu Pengetahuan Sosial (Geografi, Sejarah, Sosoiologi),
(Jakarta, PT. Grafindo Media Pertama, 2006) h.87
57

atau lebih. Dalam proses akulturasi, perbedaan-perbedaan yang ada berjalan

beriringan dengan unsur persamaan-persamaan yang mereka miliki sampai

pada akhirnya budaya memiliki pengaruh lebih kuat akan berperan besar

dalam proses akulturasi.

d) Peran Komunikasi Dalam Akulturasi

Peran akulturasi banyak berkenaan dengan usaha menyesuaikan diri

dengan, dan menerima pola-pola dan aturan-aturan komunikasi dominan yang

ada pada masyarakat pribumi. Kecakapan komunikasi pribumi yang diperoleh

pada gilirannya akan mempermudah semua aspek penyesuain diri lainnya

dalam masyarakat pribumi. Dan informasi tentang komunikasi imigran

memungkinkan kita meramalkan derajat dan pola akulturasinya.Potensi

akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi dapat mempermudah

akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat pribumi.

Proses akulturasi akan segera berlangsung saat seorang imigran

memasuki budaya pribumi. Proses akulturasi akan terus berlangsung selama

imigran mengadakan kontak langsung dengam sistem sosio-budaya pribumi.

Semua kekuatan akulturatif-komunikasi persona dan sosial, lingkungan

komunikasi dan potensi akulturasi mungkin tidak akan berjalan lurus dan

mulus, tapi akan bergerak majumenuju asimilasi yang secara hipotesis

merupakan asimilasi yang sempurna.

Jika seorang imigran ingin mempertinggi kapasitas akulturatifnya dan

secara sadar berusaha mempermudah proses akulturasinya, maka ia harus


58

menyadari pentingnya komunikasi sebagai mekanisme penting untuk

mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dan memiliki suatu kecakapan komunikasi

dalam budaya pribumi, kecakapan kognitif, afektif, dan perilaku dalam

berhubungan dengan lingkungan pribumi.

Akulturasi adalah suatu proses interaktif "mendorong dan menarik"

antara seorang imigran dan lingkungan pribumi. Imigran tidak akan pernah

mendapatkan tujuan akulturatifnya sendirian, tetapi anggota-anggota

masyarakat pribumi dapat mempermudah akulturasi imigran dengan

menerima pelaziman budaya asli imigran. Hal tersebut dapat terjadi dengan

memberikan situasi-situasi komunikasi yang mendukung kepada imigran, dan

menyediakan diri secara sabar untuk melakukan komunikasi antarbudaya

dengan imigran. Masyarakat pribumi dapat lebih aktif membantu akulturasi

imigran dengan mengadakan program-program latihan komunikasi. Dan

nantinya segala program latihan tersebut harus membantu imigran dalam

memperoleh kecakapan komunikasi.58

Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang memperoleh

perilakunya lewat belajar. Apa yang kita pelajari pada umumnya dipengaruhi

oleh kekuatan- kekuatan sosial dan budaya. Dari semua aspek belajar

manusia, komunikasi merupakan aspek yang terpenting dan paling mendasar.

Kita belajar banyak hal lewat respon-respon komunikasi terhadap rangsangan

dari lingkungan. Kita harus menyandi dan menyandi balik pesan-pesan

sehingga pesan-pesan tersebut akan dikenali, diterima dan direspons oleh

58
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung, PT
Remaja Rosdakarya, 2005), h.149
59

individu-individu yang berinteraksi dengan kita. Kegiatan-kegiatan

komunikasi berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan lingkungan fisik dan

sosial kita.

Budaya sebagai paduan pola-pola yang merefleksikan respon-respon

komunikatif terhadap rangsangan dari lingkungan. Pola-pola budaya ini pada

gilirannya merefleksikan elemen-elemen yang sama dalam perilaku

komunikasi individual yang lahir dan diasuh dalam budaya itu. Budaya

sebagai seperangkat aturan yang terorganisasi mengenai cara-cara dimana

individu-individu dalam masyarakat harus berkomunikasi satu sama lain dan

cara bagaimana mereka berpikir tentang diri mereka dan lingkungan

mereka.Proses individu-individu memperoleh aturan-aturan budaya

komunikasi dimulai pada masa awal kehidupan manusia tersebut. Melalui

proses sosialisasi dan pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan ke dalam

sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku individu. Proses

belajar yang terinternalisasikan ini memungkinkan kita untuk berinteraksi

dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola

komunikasi serupa. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh individu-

individu itu disebut enkulturasi.59

Banyaknya tata cara komunikasi yang telah diperoleh individu sejak

masa kanak-kanak mungkin tidak berfungsi lagi dalam lingkungan barunya.

Transaksi- transaksi dalam kehidupan sehari-hari saja membutuhkan

kemampuan berkomunikasi yang menggunakan lambang-lambang dan

aturan-aturan yang ada dalam sistem komunikasi masyarakat pribumi yang

59
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat. h.155
60

menjadi lingkungan barunya. Tidaklah mudah memahami perilaku-perilaku

kehidupan yang sering tidak diharapkan dan tidak diketahui. Sebagai seorang

anggota baru dalam budaya pribumi, imigran harus menghadapi banyak aspek

kehidupan yang asing. Asumsi-asumsi budaya yang tersembunyi dan respon-

respon yang telah terkondisikan menyebabkan banyak kesulitan kognitif,

afektif dan perilaku dalam penyesuaian diri dengan budaya baru. Schultz

mengatakan bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang

dimasukinya bukanlah merupakan tempat berteduh tetapi merupakan suatu

arena petualangan, bukan merupakan hal yang lazim tetapi suatu topik

penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat untuk lepas dari situasi-

situasi problematik tetapi merupakan suatu situasi problematik tersendiri yang

sulit dikuasai. Meskipun demikian, hubungan antara budaya dan individu,

seperti yang terlihat dalam proses enkulturasi, mampu membangkitkan

kemampuan manusia yang besar untuk menyesuaikan dirinya dengan

keadaan. Secara bertahap imigran belajar menciptakan situasi-situasi dan

relasi-relasi yang tepat dalam masyarakat pribumi.

Walaupun percakapan merupakan bagian dari kehidupan manusia yang

alami (karena kita tidak dapat menghindarkan percakapan, namun percakapan

bukanlah sesuatu yang tanpa konsekuensi. Percakapan yang kita laukan

membentuk siapa dan bagaimana diri ini akan membahas teori-teori yang

berada dalam kelompok pemikiran kritis (tradisi kritis), yang akan

menunjukkan kepada kita bagaimana penggunaan bahasa dalam percakapan


61

menolak bentuk-bentuk komunikasi egaliter yang memberdayakan seluruh

kelompok masyarakat. 60

Variabel-variabel Komunikasi Dalam Akulturasi

1) Komunikasi Persona

Komumikasi persona (interpersona) mengacu kepada proses-proses

mental yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam

dan dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara

melihat, mendengar, memahami dan merespon lingkungannya. Salah satu

variabel komunikasi persona terpenting dalam akulturasi ialah

kompleksitas sruktur kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan

pribumi. Selama fase-fase awal akulturasi, persepsi seorang imigran atas

lingkungan pribuminya relatif sederhana. Namun, setelah imigran

mengetahui budaya pribumi lebih jauh persepsinya menjadi lebih luas

dan kompleks, memungkinkannya menemukan banyak variasi dalam

lingkungan pribumi.

2) Komunikasi Sosial

Komunikasi sosial dapat dikategorikan lebik jauh kedalam komunikasi

antarpersona dan komunikasi massa. Komunikasi antar persona terjadi

melalui antar hubungan-hubungan antar persona, sedangkan komunikasi

massa adalah suatu proses komunikasi sosial yang lebih umum, yang

dilakukan indivudu-individu yang terinteraksi dengan lingkungan sosio-

budayanya tanpa terlihat dalam hubungan-hubungan antarpersona dengan

individu-individu tertentu.

60
Morissan, Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa, (Jakarta, Kencana Prenada Media
Group; 2013), h. 266
62

3) Lingkungan Komunikasi

Suatu kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh pada komunikasi dan

akulturasi imigran adalah adanya komunitas etniknya di daerah setempat.

Derajat pengaruh komunitas etnik atas perilaku imigran snagat

tergantung pada derajat “kelengkapan kelembagaan” komunitas tersebut

dan kekuatannya untuk memelihara budayanya yang khas bagi anggota-

anggotanya (Taylor, 1979). Lembaga-lembaga etnik yang ada dapat

mengatasi tekanan-takanan situasi antarbudaya dan memudahkan

akulturasi. Namun keterlibatan imigran yang ekstensif dalam komunitas

etniknya tanpa kominikasi yang memadai dengan anggota-anggota

masyarakat pribumi mungkin akan mengurangi intensitas dan kecepatan

akulturasi imigran (Broom dan Kitsuse, 1976).61

Sebagai inti akulturasi interaktif adalah proses komunikasi yang

menghubungkan individu-individu imigran dengan lingkungan sosio-budaya

mereka. Pentingnya komunikasi bagi akulturasi tidak perlu diragukan lagi.

Kecakapan komunikasi yang diperoleh imigran tidak hanya penting bagi

semua aspek penyesuain diri lainnya, tapi juga penting bagi masyarakat

pribumi bila kecakapan komunikasi imigran tersebut daoat secara efektif

menampung berbagai unsur dan memelihara kesatuan dan kekuatan

masyarakat yang diperlukan.

Begitu pula dengan teori yang dikemukan oleh Everett M Roger,

adalah sebagai suatu proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui

saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap anggota suatu sistem

61
Dedy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antar Budaya. (Bandung: Remaja
Rosdakarya. 1996.) h. 200
63

sosial, sedangkan kalau inovasi didefinisikan sebagai “an idea, practice, or

object perceived as new by the individual” (suatu gagasan, praktek, atau

benda yang dianggap/dirasa baru oleh individu).

Adapun Unsur unsur dalam Difusi Inovasi adalah sebagai berikut

1. Innovation ( Inovasi), yaitu ide, praktek, atau benda yang dianggap

baru oleh individu atau kelompok.

2. Communication channel ( saluran komunikasi ), yaitu bagaimana

pesan itu didapat suatu individu dari individu lainnya.

3. Time ( waktu ), ada tiga faktor waktu, yaitu :

 Innovation decision process (proses keputusan inovasi)

 Relative time which an inovation is adopted by individual or group.

(waktu relatif yang mana sebuah inovasi dipakai oleh individu atau

kelompok)

 Innovation’s rate of adoption (tingkat adopsi inovasi)

4. Social System ( sistem sosial ), yaitu serangkaian bagian yang saling

berhubungan dan bertujuan untuk mencapai tujuan umum.

Sedangkan untuk Model keputusan adopsi inovasi adalah

1. Knowledge (pengetahuan)

2. Persuasion (kepercayaan)

3. Decision (keputusan)

4. Implementation, dan (penerapan)

5. Confirmation (penegasan/pengesahan)
64

Dalam tahap yang pertama adalah Knowledge Stage/tahap

pengetahuanadalah merupakan Proses keputusan inovasi ini dimulai dengan

Knowledge Stage. Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan

suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa ?,

bagaimana ?, dan mengapa ? merupakan pertanyaan yang sangat penting pada

knowledge stage ini. Selama tahap ini individu akan menetapkan “ Apa

inovasi itu ? bagaimana dan mengapa ia bekerja ?

Dalam tahap kedua adalah Persuasion (kepercayaan). Tahap Persuasi

terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi.

Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah individu

tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan

membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi , maka tahap ini

berlangsung setelah knowledge stage dalam proses keputusan inovasi. Rogers

menyatakan bahwa knowledge stage lebih bersifat kognitif (tentang

pengetahuan), sedangkan persuasion stage bersifat afektif karena menyangkut

perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh

lagi. Tingkat ketidakyakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial

akan mempengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi.

Dalam tahap ketiga adalah Decision (keputusan). Pada tahapan ini

individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi.

Menurut Rogers adoption (menerima) berarti bahwa inovasi tersebut akan

digunakan secara penuh, sedangkan menolak berarti “ not to adopt an

innovation”. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada

keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena
65

biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut

pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi

tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap

proses keputusan inovasi ini.

Dalam tahap keempat yaitu Implementation, dan (penerapan). Pada

tahap implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi

sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat

ketidakpastiannya akan terlibat dalam difusi. Ketidakpastian dari hasil-hasil

inovasi ini masih akan menjadi masalah pada tahapan ini. Maka si pengguna

akan memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi

tingkat ketidakpastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan

inovasi ini akan berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius

terjadi apabila yang mengadopsi inovasi itu adalah suatu organisasi, karena

dalam sebuah inovasi jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan

inovasi ini akan lebih banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda.

Dalam tahap kelima yaitu Confirmasi. Ketika Keputusan inovasi

sudah dibuat, maka si penguna akan mencari dukungan atas keputusannya ini

. Menurut Rogers keputusan ini dapat menjadi terbalik apabila si pengguna

ini menyatakan ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang inovasi tersebut.

Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari hal-hal seperti

ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang memperkuat

keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih krusial.
66

Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan

sikap individu .62

62
http://dwikartikawati.blogspot.com/2011/02/diffusion-of-innovations-teori-difusi.html
BAB III

PROFIL DALANG KI YUWONO, GAMBARAN UMUM WAYANG

KULIT DAN GAMBARAN UMUM DESA BANGOREJO

A. Sejarah Hidup Ki Yuwono

Dwi Arto Yuwono, nama lengkap dari dalang muda berprestasi di

Kabupaten Banyuwangi, yang biasa disapa dengan panggilan Ki Yuwono ini lahir

di desa Balurejo, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi pada tanggal 9

Juni 1978. Ki yuwono merupakan seorang putra ke dua dari pasangan bapak

Suparman dan ibu Surtiani. Lahir dari keturunan seniman wayang, mengikuti

jejak sang ayah sebagai dalang wayang kulit. Dan ibu Surtiani adalah seorang rias

pengantin. Kedua orang tua Ki Yuwono ini cukup dikenal oleh masyarakat

Pesanggaran pada saat itu. Memiliki 3 keturunan, Wahyu Adi Prasetyo, Dyah Ayu

Indriani, dan Hapsari Putri Rahayu, yang dimana darah seniman mengalir kepada

ketiga anaknya. Anak pertamanya dapat memainkan wayang sebagai mana Ki

Yuwono memainkan wayang, meskipun tidak begitu intens memainkannya,

secara tidak langsung darah seniman mengalir dalam dirinya. Begitu pula pada

anak ketiganya yang dapat “menyinden”, dijuluki sinden cilik oleh teman-teman

dalang Ki Yuwono, Hapsari tidak lah malu untuk menampilkan bakat keturunan

pertama kali pada usia 6 tahun, yang membuat Ki Yuwono tercengang

mendengarkannya.

Selain Seni Pedalangan Ki Yuwono juga bisa membuat Wayang Kulit

sendiri, ya walaupun belum mempuni tapi layak untuk dipentaskan.Karena dalam

seni pedalangan itu melibatkan Seni Karawitan, Seni Kriya, Seni Tatah Sungging.

67
68

Seni dalam pembuatan Wayang Kulit yang telah terwujud ya itu Dua buah Buto

raksasa, yang panjangnya mencapai + 2,5 meter.

Menganyam pendidikan dasar di SDN Karangdara 9, Banyuwangi, Ki

Yuwono dikenal mudah bergaul. Pada usia 11 tahun, Ki Yuwono sudah mengikuti

ayahnya untuk pentas kesenian wayang. Dari sinilah bakat Ki Yuwono tampak,

dan sang ayah giat untuk mengajaknya saat sang ayah mendapat panggilan

pementasan wayang dimana-mana. Pertama kali Ki Yuwono tampil tanpa

didampingi sang ayah di belakangnya, pada saat khitanan teman SMP-nya waktu

duduk dibangku SMP 6 Ngajung, Kabupaten Malang. Dengan modal keberanian

dan percaya pasti bisa, Ki Yuwono memberanikan diri untuk tampil pertama

kalinya. Dengan terus meminta bimbingan dari sang ayah di kemudian harinya.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah di Malang, Ki Yuwono kembali

ke tanah leluhurnya di Pesanggaran. Tetapi beliau tak lama kemudian berpindah

tempat tinggal dari Pesanggaran ke desa Stembel, Kecamatan Jajag. Dari desa

hijrah ke kota, begitu beliau menyebutnya. Disaat inilah beliau di uji kesetiannya

dengan wayang kulit, saat bertemu dengan teman-teman sebayanya saat duduk

dibangku SMA, Ki Yuwono mengalami masa remaja yang belum pernah ia

rasakan sebelumnya. Pementasan wayang kulit dimannapun akan didatangi,

berbeda pada masa kali ini, Ki Yuwono lebih senang dengan Cangkruk

(nongkrong) bersama dengan teman-temannya. Rasa bosan dengan dunia wayang

atau dalang, beliau mengatakan hampir 75% kesenangannya dengan wayang

menghilang pada saat itu, tetapi masih ada 25% menyukai wayang. Saat itu, ada

pementasan wayang, dalangnya adalah ayahnya, sedikitpun tidak melihat ayahnya

pentas tetapi lebih senang Cangkruk. Bahkan dalang kondang Ki Manteb


69

Sudarsono saat pentas didaerah itu, beliau menghiraukan begitu saja. Lepas dari

masa-masa SMA, Ki Yuwono bertekat untuk mengembangkan bakatnya kembali.

Bersama sahabat sang ayahnya beliau mengembangkan bakat sebagai

dalang, Ki Guntur Carito adalah „guru‟ saat beliau lepas dari SMA. Sebagai

Penyimping (seseorang yang duduk dibelakang dalang dan bertugas menyiapkan

wayang kulit yang akan di tampilkan oleh sang dalang), disinilah Ki Yuwono

memperdalam dunia dalang. Tidak hanya dengan satu sahabat ayahnya saja, tetapi

Ki Yuwono juga belajar dengan Ki Sukarno Kondho Wahono. Tidak ada praktek

atau belajar dalang secara formal yang dilakukan oleh Ki Yuwono, hanya

memperhatikan bagaimana Ki Guntur dan Ki Sukarno saat pementasan. Hampir

setiap keduanya ada pementasan, Ki Yuwono selalu mengikuti untuk belajar

bagaimana menjadi dalang yang sesungguhnya.1

Ki Yuwono bergabung bersama PEPADI (Persatuan Pedalangan

Indonesia) Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Banyuwangi. Prestasi yang

pernah di raih oleh beliau adalah menjadi 5 besar pada tingkat provinsi Jawa

Timur pada tahun 2003, penyaji terbaik se-Jawa Timur tingkat Provinsi pada

tahun 2011, penghargaan penyaji terbaik dari Dinas Pariwisata Provinsi Jawa-

Timur pada tahun 2012, dan penghargaan Seniman Berbakat dari Bupati

Banyuwangi pada tahun 2012. Bagi PEPADI Kabupaten Banyuwangi, Ki

Yuwono adalah dalang andalan bagi Kabupaten Banyuwangi untuk pentas

disegala ajang perlombaan pementasan wayang se-Indonesia.

1
Wawancara Pribadi dengan Ki Yuwono pada tanggal 27 Juli 2014 Pukul 11.16 WIB
70

B. Gambaran Umum Wayang

a. Pengertian Wayang

Menurut pendapat Dr. G.A.J. Hazeu, wayang dalam bahasa Jawa, yang

berarti “bayangan”, dalam bahasa Melayu disebut “bayangan-bayang”. Akar kata

dari wayang adalah “yang”. Akar kata ini bervariasi dengan “yung, yong”, antara

lain terdapat kata layang – “terbang”, doyong – “miring”, tidak stabil; royong –

selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain; poyang – payingan “ berjalan

sempoyongan, tidak tenang” dan sebagainya.2

Awalan “wa” di dalam baha Jawa modern tidak mempunyai fungsi. Tetapi

dalam bahasa Jawa kuno awalan tersebut masih jelas memiliki fungsi tata bahasa.

Seperti terdapat pada kata: Wahairi yang berarti “iri hati, cemburu”, sejajar

dengan kata: bahiri dalam bahas Daya. Jadi bahasa Jawa wayang yang

mengandung pengertian “berjalan kian-kemari, tidak tetap, sayup-sayup (bagi

substansi bayang-bayang),” telah terbentuk pada waktu yang amat tua ketika

awalan “wa” masih mempunyai fungsi tata bahasa.3

Pengertian wayang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

: “boneka tiruan yang dibuat dari kulit yang telah diukir, kayu yang dipahat, dan

sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dipertunjukan

drama tradisional yang dimainkan oleh seorang dalang.”4

Asal-usul wayang di dunia ada dua pendapat. Pertama, bahwa wayang

berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini

2
Sri Mulyono, Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya,Jakarta: ALDA, 1975.
H. 11
3
Ibid.
4
Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia. H.1010
71

selain dianut dan dkemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia,

juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat, diantaranya Hazeau,

Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt. Alasan ini cukup kuat karena seni wayang

masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa

Indonesia, khususnya orang Jawa, yakni Punakawan tokoh yang terpenting dalam

pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong hanya dalam pewayangan

Indonesia dan tidak ada di Negara lain. Selain itu nama dan istilah teknis

pewayangan semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna) dan bukan bahasa lain.

Pendapat kedua diduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama

dengan agama Hindu ke Indonesia. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di

Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, Raja Kahuripan

(976-1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya.

Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga

Indonesia, sejak abad X. Antara lain naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin

berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-

910) yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India,

Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan

Ramayana dan Mahabarata ke Bahasa Jawa Kuna, tetapi mengubahnya dan

menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa Kuna kedalamnya.

Wayang sebagai satu pergelaran dan tontonan sudah dimulai ada sejak

zaman pemerintahan raja Airlangga. Kata “wayang” diduga berasal dari kata

“wewayangan” yang artinya bayangan. Untuk lebih menjawakan budaya sejak

awal jaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak

berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak itulah cerita-cerita Panji
72

ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi

menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam,

diantaranya para Wali Sanga.

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga member

pengaruh besar pada budaya wayang, terutama konsep religi dari falsafah wayang

itu. Sejak zaman Kartasura, pengubahan cerita wayang yang berinduk pada

Ramayana dan Mahabarata semakin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah

masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh

dewanya, yang berawal dari Nabi Adam.

b. Jenis-Jenis Wayang

Pertunjukan wayang kulit sudah berumur lebih dari 1000 tahun atau

kongkritnya + 1111 tahun ( + 903 – 2014). Apabila dihitung dari pertunjukan

bentuk aslinya sudah mempunyai umur + 3.534 ( + 1500 SM – 2014). Walaupun

sudah lebih dari 3000 tahun, namun masih tetap digemari dan tetap mendarah-

daging bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan suku Jawa pada khususnya.

Pertunjukan wayang kulit telah diakui UNESCO pada tanggal 7 November 2003,

sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan

warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible

Heritage of Humanity).5

5
S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Yogyakarta:
Djambatan, 1998), h.5-6
73

Pada zaman penyebaran Islam di Jawa, juga telah digunakan sebagai alat

perjuangan penyebaran agama dan budaya Islam. Walisanga, terutama Sunan

Kalijaga dipercaya menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah dengan

melakukan gubahan cerita pakem wayang kulit. Cerita wayang yang mulanya

mereferensi pada keyakinan Hindu dan berasal dari daratan India lalu disesuaikan

dengan ajaran Islam di Jawa. Sebut saja lakon Jimat Kalimasada yang dinilai

terbukti efektif sebagai media siar Islam pada zaman kerajaan Demak

Wayang kulit merupakan paling populer di kalangan masyarakat local hingga kini.

Dalang wayang kulit biasanya biasanya di tanggap oleh keluarga – keluarga yang

mengadakan pesta hajatan perkawinan dan khitanan. Dalam prosesi pesta hajatan

tersebut, seorang dalang biasanya tidak sekedar berperan menghibur para

pengunjung dengan pertunjukannya tetapi juga sebagai kiyai yang mendoakan

agar mereka yang memiliki hajat selalu dilindungi dari segala bencana.

Wayang berfungsi sebagai sarana penerangan, pendidikan dan komunikasi

massa yang sangat akrab dengan masyarakat pendukungnya dengan tujuan

akhirnya membangun kehidupan berbangsa dan bernegara menuju terwujudnya

negara Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Salah satu karya

walisanga adalah tentang konsep Panakawan yang selalu ditampilkan dalam setiap

pementasan wayang yang beliau dalangi. Para tokoh Panakawan ini selalu beliau

tampilkan dalam setiap pementasan wayang kulit. Tokoh-tokoh Panakawan

tersebut adalah :

1. Semar, nama tokoh ini berasal dari bahasa arab Mismar. Mismar berarti

paku. Tokoh ini dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran


74

dalam ajaran Islam Semar merupakan simbolisasi dari agama sebagai

prinsip hidup setiap umat beragama.

2. Nala Gareng, juga diadaptasi dari kata arab Naala Qariin. Dalam

pengucapan lidah jawa, kata Naala Qariin menjadi Nala Gareng. Kata ini

berarti memperoleh banyak teman, ini sesuai dengan dakwah para aulia

sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman

(umat) agar kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan

yang baik.

3. Petruk, diadaptasi dari kata Fatruk. Kata ini merupakan kata pangkal dari

sebuah wejangan (petuah) tasawuf yang berbunyi: Fat-ruk kulla maa

siwalLaahi, yang artinya: tinggalkan semua apapun yang selain Allah.

Wejangan tersebut kemudian menjadi watak para aulia dan mubaligh pada

waktu itu. Petruk juga sering disebut Kanthong Bolong artinya kantong

yang berlubang. Maknanya bahwa, setiap manusia harus menzakatkan

hartanya dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah SWT secara ikhlas,

seperti berlubangnya kantong yang tanpa penghalang.

4. Bagong, berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yaitu berontak

terhadap kebathilan dan keangkaramurkaan. Si Bayangan Semar ini

karakternya lancang dan suka berlagak bodoh.6

Jenis – jenis wayang :

1. Wayang Purwa: Wayang purwa disebut juga wayang kulit karena

terbuat dari kulit lembu.Wayang kulit purwa terbuat dari bahan kulit

6
Rizal Firdaus Al-Sam, “Wayang Sebagai Media Dakwah,” artikel diakses pada 16
Agustus 2014 dari http://rizalalsam.blogspot.com/2011/01/wayang-sebagai-media-dakwah.html
75

kerbau yang ditatah dan diberi warna sesuai dengan kaidah pulasan

wayang pedalangan, diberi tangkai dari bahan tanduk kerbau bule yang

diolah sedemikian rupa dengan nama cempurit yang terdiri dari tuding

dan gapit. Ditinjau dari bentuk bangunnya wayang kulit purwa dapat

digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain:

- Wayang Kidang kencana; boneka wayang berukuran sedang tidak

terlalu besar juga tidak terlalu kecil, sesuai dengan kebutuhan untuk

mendalang (wayang pedalangan).Wayang Ageng; yaitu boneka

wayang yang berukuran besar, terutama anggota badannya di bagian

lambung dan kaki melebihi wayang biasa, wayang ini disebut

wayang jujudan.

- Wayang kaper;yaitu wayang yang berukuran lebih kecil dari pada

wayang biasa.

- Wayang Kateb;yaitu wayang yang ukuran kakinya terlalku panjang

tidak seimbang dengan badannya.

Pada perkembangannya bentuk bangun wayang kulit ini

mengalami perkembangan bahkan pergeseran dari yang tradisi menjadi

kreasi baru. Pada zaman Keraton Surakarta masih berjaya dibuat wayang

dalam ukuran yang sangat besar yang kemudian diberi nama Kyai

Kadung, hal ini yang mungkin mengilhami para dalang khususnya

Surakarta untuk membuat wayang dengan ukuran lebih besar lagi.

Misalnya Alm. Ki Mulyanto Mangkudarsono dari Sragen, Jawa Tengah

membuat Raksasa dengan ukuran 2 meter, dengan bahan 1 lembar kulit

kerbau besar dan masih harus disambung lagi. Karya ini yang kemudian
76

ditiru oleh Dalang Muda lainnya termasuk Ki Entus dari Tegal, Ki Purbo

Asmoro dari Surakarta, Ki Sudirman dari Sragen dan masih banyak lagi

dalang lainnya. Penyaduran sumber cerita dari Ramayana dan Maha barta

kedalam bahasa Jawa kuno dilakukan pada masa pemerintahan raja

Jayabaya .pujangga yang terkenal pada masa itu ialah empuSedah ,empu

panuluh empu Kanwa. Sunan Kalijaga salah seorang walisanga

(demak,abad XV) adalah orang yang pertama kali menciptakan wayang

dari kulit lembu.

2. Wayang beber merupakan salah satu jenis wayang tertua di Indonesia.

Dalam pertunjukan narasi ini, lembaran gambar panjang dijelaskan oleh

seorang dalang. Wayang beber tertua dapat ditemukan di Pacitan,

Donorojo, Jawa Timur. Selain dari kisah-kisah Mahabharata dan

Ramayana, wayang beber juga menggunakan kisah-kisah dari cerita

rakyat, seperti kisah asmara Panji Asmoro Bangun dan Dewi Sekartaji.

Gambar-gambar tokoh pewayangan dilukiskan pada selembar kain atau

kertas, kemudian disusun adegan demi adegan berurutan sesuai dengan

urutan cerita. Gambar-gambar ini dimainkan dengan cara dibeber. Saat

ini hanya beberapa kalangan di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo,

Karangmojo Gunung Kidul, yang masih menyimpan dan memainkan

wayang beber ini.

Konon oleh para Wali di antaranya adalah Sunan Kalijaga wayang

beber ini dimodifikasi bentuk menjadiwayang kulit dengan bentuk

bentuk yang bersifat ornamen yang dikenal sekarang, karena

ajaran Islam mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup (manusia,


77

hewan) maupun patung serta menambahkan Pusaka Hyang Kalimusada.

Wayang hasil modifikasi para wali inilah yang digunakan untuk

menyebarkan ajaran Islam dan yang kita kenal sekarang.

Menurut Kitab Sastro Mirudo, Wayang Beber dibuat pada tahun

1283, dengan Condro Sengkolo, Gunaning Bujonggo Nembah Ing Dewo

(1283), Kemudian dilanjutkan oleh Putra Prabu Bhre Wijaya, Raden

Sungging Prabangkara, dalam pembuatan wayang beber. Wayang Beber

juga memuat banyak cerita Panji, yakni Kisah Cinta Panji Asmoro

Bangun yang merajut cintanya dengan Dewi Sekartaji Putri Jenggolo.

3. Wayang Krucil : Banyak orang menamakanya wayang klithik.Wayang

ini terbuat dari kayu,bentuknya mirip wayang kulit. Biasanya

meceritakan DamarWulan dan Majapahit. Untuk menancapkan Wayang

klithik tidak ditancapkan di pelepah pisang seperti wayang kulit tetapi

menggunakan kayu yang telah diberi lubang lubang. Wayang ini

pertama kali diciptakan oleh Pangeran Pekik, adipati Surabaya, dari

bahan kulit dan berukuran kecil sehingga lebih sering disebut

dengan wayang krucil. Munculnya wayang menak yang terbuat

dari kayu, membuat Sunan Pakubuwana II kemudian menciptakan

wayang klithik yang terbuat dari kayu yang pipih (dua dimensi). Tangan

wayang ini dibuat dari kulit yang ditatah. Berbeda dengan wayang

lainnya, wayang klithik memiliki gagang yang terbuat dari kayu.

Apabila pentas menimbulkan bunyi "klithik, klithik" yang diyakini

sebagai asal mula istilah penyebutan wayang klithik.Di Jawa

Tengah wayang klithik memiliki bentuk yang mirip dengan wayang


78

gedog. Tokoh-tokohnya memakai dodot rapekan, berkeris, dan

menggunakan tutup kepala tekes (kipas). Di Jawa Timur tokoh-tokohnya

banyak yang menyerupai wayang purwa, raja-rajanya bermahkota dan

memakai praba. Di Jawa Tengah, tokoh-tokoh rajanya

bergelung Keling atau Garuda Mungkur saja.

Repertoar cerita wayang klitik juga berbeda dengan wayang kulit.

Di mana repertoar cerita wayang kulit diambil dari wiracarita Ramayana

dan Mahabarata, repertoar cerita wayang klitik diambil dari siklus

cerita Panji dan Damarwulan.

Cerita yang dipakai dalam wayang klithik umumnya mengambil

dari zaman Panji Kudalaleyan di Pajajaran hingga zaman

Prabu Brawijaya di Majapahit. Namun, tidak menutup kemungkinan

wayang krucil memakai cerita wayang purwa dan wayang menak,

bahkan dari Babad Tanah Jawi sekalipun.

4. Wayang Gedog : Wayang Gedog atau Wayang Panji adalah wayang

yang memakai cerita dari serat Panji. Wayang ini mungkin telah ada

sejak zaman Majapahit. Bentuk wayangnya hampir sama dengan

wayang purwa. Tokoh-tokoh kesatria selalu memakai tekes dan rapekan.

Tokoh-tokoh rajanya memakai garuda mungkur dan gelung keling.

Dalam cerita Panji tidak ada tokoh raksasa dan kera. Sebagai gantinya,

terdapat tokoh Prabu Klana dari Makassar yang memiliki tentara orang-

orang Bugis. Namun, tidak selamanya tokoh klana berasal dari

Makassar, terdapat pula tokoh-tokoh dari Bantarangin (Ponorogo),

seperti Klana Siwandana, kemudian dari Ternate seperti prabu Geniyara


79

dan Daeng Purbayunus, dari Siam seperti Prabu Maesadura, dan dari

negara Bali. Wayang gedog yang kita kenal sekarang, konon diciptakan

oleh Sunan Giri pada tahun 1485 (gaman naga kinaryeng bathara) pada

saat mewakili raja Demak yang sedang melakukan penyerbuan ke Jawa

Timur (invasi Trenggono ke Pasuruan).

Wayang Gedog baru memakai keris pada zaman panembahan

Senapati di Mataram. Barulah pada masa Pakubuwana III di Solo

wayang gedog diperbarui, dibuat mirip wayang purwa, dengan nama

Kyai Dewakaton.Dalam pementasannya, wayang gedog memakai

gamelan berlaras pelog dan memakai punakawan Bancak dan Doyok

untuk tokoh Panji tua , Ronggotono dan Ronggotani untuk Klana, dan

Sebul-Palet untuk Panji muda.Seringkali dalam wayang gedog muncul

figur wayang yang aneh, seperti gunungan sekaten, siter (kecapi),

payung yang terkembang, perahu, dan lain-lain.

Di Surakarta, tinggal ada dua dalang wayang gedog, yaitu Bp.

Subantar (SMKI/ Konservatori) dan Bp. Bambang Suwarno, S.Kar

(STSI) yang juga salah satu desainer wayang gedog yang masih

bertahan sampai sekarang.

5. Wayang Golek : Wayang adalah bentuk teater rakyat yang sangat

populer, terutama di pulau Jawa dan Bali. Orang sering menghubungkan

kata “wayang” dengan “bayang”, karena dilihat dari pertunjukan

wayang kulit yang memakai layar, dimana muncul bayangan-bayangan.

Di Jawa Barat, selain dikenal wayang kulit, yang paling populer adalah

Wayang golek . Istilah golek dapat merujuk kepada dua makna, sebagai
80

kata kerja kata golek bermakna 'mencari', sebagai kata benda golek

bermakna boneka kayu. Berkenaan dengan wayang golek, ada dua

macam diantaranya wayang golek papak (cepak) dan wayang golek

purwa yang ada di daerah Sunda. Kecuali wayang orang yang

merupakan bentuk seni tari-drama yang ditarikan manusia, kebanyakan

bentuk kesenian wayang dimainkan oleh seorang dalang sebagai

pemimpin pertunjukan yang sekaligus menyanyikan suluk, menyuarakan

antawacana, mengatur gamelan mengatur lagu dan lain-lain.

Pertunjukan ini dilakukan menggunakan wayang tiga dimensi yang

terbuat dari kayu. Jenis wayang ini paling populer di Jawa Barat. Ada 2

macam wayang golek, yaitu wayang golek papak cepak dan wayang

golek purwa. Wayang golek yang banyak dikenal orang adalah wayang

golek purwa. Kisah-kisah yang digunakan sering mengacu pada tradisi

Jawa dan Islam, seperti kisah Pangeran Panji, Darmawulan, dan Amir

Hamzah, pamannya Nabi Muhammad a.s.

6. Wayang Wong : Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang

wong (bahasa Jawa) adalah wayang yang dimainkan dengan

menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut.

Wayang orang diciptakan oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731.

Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi

dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit

yang biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang lain), akan

tetapi menampilkan manusia-manusia sebagai pengganti boneka-boneka

wayang tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan


81

yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun muka

mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering

kali pemain wayang orang ini diubah/dihias mukanya dengan tambahan

gambar atau lukisan.7

C. Desa Bangorejo Banyuwangi

a. Gambaran Umum

Desa Bangorejo adalah salah satu desa di Kecamatan Bangorejo

Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Desa Bangorejo adalah pusat pemerintahan

Kecamatan Bangorejo. Jarak antara desa Bangorejo ke Pusat Pemerintahan

Kabupaten Banyuwangi sekitar 42 Km. Desa Bangorejo adalah desa yang

produktif dalam segi pertanian.

Pada tahun 2000 desa Bangorejo hanyalah sebuah dusun, perubahan

administratif pada desa atau kelurahan untuk nama lain dari „desa‟, terjadi di akhir

tahun 2000. Penyebutan „desa‟ hanya sebuah istilah oleh peneliti agar mudah

dicerna maknanya. Karena perubahan status hanya bersifat adminitratif semata

tanpa mengurangi pengaruh terhadap objek penelitian.8

Luas wilayah desa Bangorejo keseluruhan adalah 103,4446 Ha atau

1.034.446 m2. Dengan luas persawahan 7,16472 Ha, luas permukiman 10,9541

7
Artikel di akses pada 16 Agustus 2014 http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang
8
Arsip Desa Bangorejo Tahun 2013
82

Ha, dan sebagaian luas wilayahnya adalah perkantoran dan prasaran umum

lainnya.9 Dengan batas wilayah sebagai berikut :

5. Sebelah Utara : Desa Purwodadi, Kecamatan Gambiran dan

Kecamatan Tegalsari

6. Sebelah Selatan : Desa Sambimulyo, Kecamatan Bangorejo

7. Sebelah Timur : Desa Balurejo, Kecamatan Purwoharjo

8. Sebelah Barat : Desa Kebondalem, Kecamatan Bangorejo

Desa Bangorejo berada didataran rendah, bukan dataran tinggi dengan ketinggian

40 meter diatas permukaan laut. Desa Bangorejo terdiri dari 4 (empat) Dusun,

yaitu Dusun Sere, Dusun Bangorejo, Dusun Gunungsari dan Dusun

Tamansuruh.10

9
Arsip Desa Bangorejo Tahun 2013
10
Arsip Desa Bangorejo Tahun 2013
83

b. Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat Desa Bangorejo

1. Penduduk

Berdasarkan data pada arsip Desa Bangorejo tahun 2013, penduduk Desa

Bangorejo adalah 8.949 jiwa dengan perbandingan laki-laki 4.426 jiwa sedangkan

perempuan 4.523 jiwa. Penduduk Desa Bangorejo lebih mendominan usia 18

tahun keatas. 11

Kehidupan masyarakat Desa Bangorejo sudah terbiasa dengan beriteraksi

satu dengan yang lain. Begitu pula dengan interaksi antar dusun, dalam artian

mengenal warga dusun yang ada dalam ruang lingkup desa Bangorejo. Hal

tersebut dapat dibuktikan dengan masih eratnya hubungan antar masyarakat yang

berbeda dusun, walaupun jaraknya tidak dekat. Begitupula dengan sifat gotong

royong serta slidaritas sesama masyarakat desa, sebagai contoh ketika salah satu

warga ada yang mengadakan hajat (perkawinan, sunatan atau selamatan) tanpa

harus di undang untuk membantu, maka dengan sendirinya akan datang untuk

membantu, masyarakat setempat menyebutnya dengan “Rewang” (membantu).

Biasanya untuk urusan dapur adalah perempuan, dan urusan yang agak berat laki-

laki, begiu pula dengan mengantar undangan untuk saudara atau kerabat si

pemilik hajat, laki-laki desa Bangorejo biasanya mengantarkan undangan tersebut

yang biasa mereka sebut “Tonjoan”. Dengan saling membantu, masyarakat desa

Bangorejo dapat berinteraksi dengan masyarakat yang diluar kecamatan

Bangorejo.Untuk kehidupan secara individualisme, masyarakat desa Bangorejo

11
Arsip Desa Bangorejo Tahun 2013
84

jauh dari hal tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bagaimana masyarakat

Bangorejo bersosialisasi.

Tidak tampak perbedaan dalam hal status sosial pada masyarakat desa

Bangorejo. Kecuali kepada seseorang yang memang sewajarnya harus dibedakan

karena selayaknya dibedakan jenjang sosialnya, seperti dengan pejabat desa, dan

tokoh agama.

2. Kondisi Sosial dan Budaya

a. Pendidikan

Masyarakat desa Bangorejo sebagaian besar mengikuti jenjang

pendidikan. Namun sekitar 35% dari keseluruhan penduduk Bangorejo tidak

mengikuti pendidikan secara formal maupun non-formal. Dan rata-rata tingkat

kelulusan pada masyarakat Bangorejo adalah SLTA dan SLTP, adapula hanya

sampai tingkat SD. 12

b. Mata Pencaharian

Mata pencaharian masyarakat desa Bangorejo sebagian besar sebagai

petani dan buruh tani, adapula yang menjadi Pegawai Negeri Sipil tetapi hanya

sebagian saja. Sesuai dengan usia kerja yaitu 18-56 tahun.

c. Agama

Masyarakat Desa Bangorejo yang berjumlah 8.949 jiwa tidak seluruhnya

memeluk agama Islam, sekitar 8.871 jiwa yang memeluk agaman Islam. Sudah

terbayang bagaimana suasana Islami yang ada pada masyarakat Desa Bangorejo.

12
Arsip Desa Bangorejo Tahun 2013
85

Faham NU dan Muhammadiyah tidak terlalu terlihat semestinya yang sering

dijumpai di daerah-daerah yang benar-benar mempunyai faham yang begitu kuat

diantara keduanya. Tidak ada pemisah diantara kedua faham tersebut, membaur

menjadi satu kesatuan, faham itu hanya sebuah ajaran yang di dapatkan oleh

seseorang tentang pemahaman tentang Islam.


BAB IV

Analisis Wayang Sebagai Media Dakwah

A. Akulturasi Bahasa Dalam Pementasan Wayang Kulit

Dalam situasi manusia, kita hidup bersama gagasan-gagasan, orang lain,,

diri kita sendiri dan lingkungan materiil. Hubungan kita dengan keempat bidang

ekspersi itu membentuk pengalaman dan pendirian kita. Seseorang misalnya,

dapat menjadi seorang sosialis, seorang pemimpin, seseorang yang

berkepercayaan diri, dan seseorang bisa saja percaya kepada ramalan nasib, pada

tataran individual, hubungan-hubungan ini merupakan definisi diri.

Pada tataran sosial, hubungan-hubungan ini juga didefinisikan dan diberi

arti oleh nilai-nilai, konsepsi dan gagasan-gagasan yang dikenakan oleh

kebudayaan kita kepada hubungan-hubungan ini pada umumnya maupun dalam

segi-seginya. Contohnya, orang yang baik percaya kepada Tuhan, taat kepada

atasan, tidak menonjolkan diri dan tidak pernah berkerja tangan. 1

Islam tidak saja dilihat sebagai unsur yang universal, tetapi juga

akomodatif. Sementara kebudayaan lokal tidak dipandang sebagai unsur „rendah‟

yang harus mengalah kepada Islam. “Sinkretisme Islam” tidak lagi dipandang

sebagai sesuatu yang pejoratif, tetapi justru memperlihatkan adanya dialog.2

Wayang kulit adalah media komunikasi yang begitu efektif untuk

penyampaian pesan yang bertujuan untuk menyampaikan pesan yang bersifat

1
Niels Mulder, “Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa (Kelangsungan dan
Perubahan Kulturil)”, (Jakarta, PT. Gramedia; 1983). h.118
2
Purwadi, “Tasawuf Muslim Jawa”, (Yogyakarta, Damar Pustaka, 2004). Cet. 1. h.7

86
87

positif/baik. Akulturasi budaya masyarakat Jawa dengan ajaran Islam telah

menghasilkan terobosan jalan baru untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan

keadaan geografis dan sosiologis yang ada. Sementara itu, pandangan Islam

terhadap budaya Wayang adalah salah satu budaya pemula yang mampu

diakulturasikan sehingga mampu memasukkan Islam ditanah Jawa. Dan juga

dengan adanya akulturasi budaya tersebut generasi sekarang ini diharapkan

agar mampu mengambil I‟tibar dari perjuangan para ulama terdahulu dalam

penyampaian misi dakwah islaminya.

Adapun hasil sukses yang diperoleh Walisongo dalam menyebarkan

dakwah islam di tanah Jawa itu tidak bisa lepas dari metode dakwah yang

dipakai kala itu.Yang mana di dalam Al-Qur‟an Allah SWT telah memberikan

tuntunan dakwah yang baik-baik dan benar.

Berbagai fenomena telah terjadi di masyarakat Indonesia, tidak bisa

dipungkiri bahwa kemunculan bentuk-bentuk pertunjukkan wayang

kontemporer memberikan angin segar, akan perkembangan kesenian wayang,

walaupun sebenarnya itu semua sudah keluar dari pakem pewayangan, namun

untuk kepentingan yang lebih besar hal tersebut bisa diterima oleh masyarakat

luas. Dan untuk perkembangan dunia dakwah, hal tersebut juga bisa menjadi

salah satu alternatif media dakwah yang bisa digunakan untuk menyampaikan

pesan-pesan dakwah. Selain kita menggemakan gerakan dakwah, juga bisa

sekalian ikut melestarikan kebudayaan bangsa, berupa kesenian wayang.

Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai seseorang yang

mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang (ndalang). Dalam


88

pagelaran wayang, dalang menempati peran dan posisi yang sangat sentral.

Ungkapan Jawa “dhalange mangkel, wayange dipendem” menunjukkan betapa

besar peranan dalang dalam pagelaran wayang. Dalang merupakan sutradara

sekaligus tokoh utama dalam pagelaran. Ia adalah penutur kisah, penyanyi lagu

(suluk) yang mengajak memahami suasana pada saat-saat tertentu, pemimpin

suara gamelan yang mengiringi, dan di atas segalanya, dalang merupakan

pemberi jiwa pada wayang atau pelaku-pelaku manusianya. Sesuai dengan

perubahan dan perkembangan wayang yang saat ini telah beralih menjadi

upacara modernisasi.

Dilihat dari aspek seni bahasa misalnya, dalam memainkan wayang

perlu menguasai bermacam-macam tingkat tutur yang cocok bagi status setiap

tokoh. Sebab bila tidak menguasai aspek ini, sudah dipastikan permainan wayang

akan terlihat jelek dan tidak mampu memikat penonton. Karena itu dhalang adalah

seorang yang mampu menggambarkan semua keindahan yang tercipta dengan

kata-kata yang penuh perasaan, yang mampu memikat penonton, dan sarat dengan

pesan moral.3

Saat ini, wayang diharapkan menjadi sarana komunikasi yang tepat

menyampaikan konsepsi-konsepsi dan ide-ide baru yang sesuai dengan gerak

langkah pembangunan. Sesuai dengan sifat pagelaran wayang yang multi-

dimensional, maka para dalang sebagai figur utama dan sentral, sudah

sewajarnya dapat tampil dalam berbagai peranan, sebagai komunikator,

3
Purwadi, “Seni Pedhalangan Wayang Purwa” (Yogyakarta: Panji Pustaka; 2007), h.
35.
89

seniman, pendidik masyarakat, penghibur, juru penerang ataupun kritikus

sosial.

“Pertunjukan wayang kulit bukan hanya sekedar pertunjukan


seni yang biasa, tetapi pertunjukan yang dimana terdapat
sebuah pesan nilai, moral dan hal yang mengajak kepada
penonton untuk berada di jalan-Nya”4
Seni pertunjukan wayang kulit menggunakan bahasa non verbal dan

verbal. Non verbalnya adalah sebuah penggerakan lakon-lakon wayang kulit

yang digerakan oleh sang dalang. Dan verbalnya sebuah kata-kata yang

diucapkan oleh sang dalang. Dalam penyampaian pesan pada pertunjukan

wayang kulit, dalang harus menguasai teknik memainkan wayang, agar

pertunjukan wayang kulit terlihat menarik. Dan dalam tata kata, hal ini juga

penting, karena dalang harus menjadi pengisi suara disetiap lakon wayang

yang ditampilkan. Penguasaan kedua hal ini sangat penting bagi pertunjukan

wayang kulit.

Sunan Kalijaga mementaskan Wayang kulit dengan cerita dan dialog

sekitar Tasawuf dan akhlaqul karimah, untuk melemahkan masyarakat yang pada

waktu itu beragama Hindu dan Budha yang ajarannya berpusat pada kebatinan.

Pada masa itu saat Majapahit masih cukup berkuasa, Sunan Kalijaga berusaha

memasukan unsur-unsur Islam yang kompleks dalam kisah pewayangan yang

sudah mendarah daging di kalangan penduduk Majapahit. Dengan melakonkan

cerita Mahabarata, para mubaligh dapat memasukkan unsur-unsur sendi

kepercayaan atau aqidah, ibadah dan juga akhlaqul-karimah. Sehingga pada masa

itu wayang dijadikan sebuah alat metode dakwah Islam oleh para wali dan

4
Wawancara pribadi dengan Ki Yuwono
90

mubaligh dengan tujuan supaya pengikut agama Islam bertambah banyak

khususnya di wilayah Jawa.

Berikut beberapa contoh akulturasi antara kisah atau pakem pewayangan

yang berdasarkan budaya Hindu-Budha yang kemudian digabungkan dengan

unsur-unsur Islam:

1. Kalimah-Syahadah dipersonifikasikan dalam tokoh Puntadewa atau

Samiaji sebagai saudara tua dari Pandawa, karena kalimah Syahadah

memang rukun Islam yang pertama. Dalam cerita wayang, sifat-

sifat Puntadewa sebagai raja (syahadat bagaikan rajanya rukun Islam)

yang memiliki sikap berbudi luhur dan penuh kewibawaan. Seorang

raja yang arif bijaksana, adil dalam ucapan dan perbuatan, sebagai

pengejawantahan dari kalimah Syahadat yang selamanya mengilhami

kearifan dan keadilan. Puntadewa memimpin empat saudaranya dengan

penuh suka duka dan kasih sayang. Demikian pula kalimah Syahadat

sebagai “rajanya” rukun Islam yang lainnya, karena biarpun seseorang

menjalankan rukun Islam yang kedua, ketiga, keempat, dan kelima,

namun apabila tak menjalankan rukun Islam yang pertama maka semua

amalannya akan sia-sia belaka.

2. Shalat lima waktu dipersonifikasikan dalam tokoh Bima. Dalam kisah

pewayangan tokoh tersebut dikenal juga sebagai Penegak Pandawa. Ia

hanya dapat berdiri saja, karena memang tidak dapat duduk. Tidur dan

merempun konon berdiri pula. Demikian pula sholat lima waktu

selamanya harus ditegakkan. Baginya terpikul tugas penegak agama


91

Islam dan jangan lupa sholat adalah tiang agama. Nabi Muhammad

SAW pernah bersabda: “Shalat lima waktu adalah penegak agama

Islam. Siapa-siapa yang menjalankannya berarti menegakan Islam”.

3. Zakat dipersonifiksikan dengan tokoh ketiga dalam Pandawa yakni

Arjuna. Nama Arjuna diambil dari kata “jun” yang berarti jambangan.

Benda ini merupakan symbol jiwa yang jernih. Kejernihan Arjuna

memancar pada jiwa dan tubuhnya. Arjuna juga merupakan seorang

pecinta seni keindahan. Perasaannya amat halus dan hangat. Karena

kehalusannya, Arjuna jadi sulit mengatakan “tidak”. Karena kehalusan

budi pekertinya tersebut Arjuna seolah-olah mempunyai kesan lemah.

Padahal semua itu dilakukan agar tidak menyakiti hati orang lain.

Selain itu dalam perang yang dijalaninya Arjuna tidak terkalahkan.

Maka demikianlah, zakat sebagai rukun Islam yang ketiga, karena

setiap muslim berkewajiban berzakat, mengandung inti kebijaksanaan

agar setiap orang Islam untuk berjuang memperoleh rizki dan

kekayaan. Dalam cerita kepahlawanan Pandawa, Bima dan Arjuna

paling menonjol peranannya, satu terhadap lainnya sangat memerlukan

hingga menjadi dwi-tunggal yang tidak terpisahkan. Demikian pula

sholat lima waktu dan zakat merupakan dua rukun Islam yang tidak

terpisahkan, selamanya berjalan seiring-sejalan.

4. Puasa Ramadhan dan Haji, dipersonifikasikan dalam tokoh kembar

Nakula-Sadewa. Kedua tokoh ini tampil pada saat-saat tertentu saja.

Demikian pula dengan puasa Ramadhan dan Haji tidak setiap hari

dikerjakan. Bulan Ramadhan untuk puasa dan bulan Zulhijah, sekali


92

dalam setahun untuk melakukan ibadah Haji. Pandawa bukanlah

Pandawa tanpa si kembar Nakula dan Sadewa. Memanglah demikian,

Puasa Ramadhan dan Haji lahir pada bulan tertentu, tidak demikian

halnya dengan 3 rukun Islam sebelumnya, yang dilakukan setiap saat

tiap hari.

Islam sufisik atau Isalam tasawuf yang lembut, mula-mula berkembang

dan mewarnai Islam di Indonesia pada tahap-tahap awal. Penyebaran Islam

yang berkembang secara spektakuler, berkat peranan dan kontribusi tokoh-

tokoh tasawuf. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang

lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Tumbuh tanpa mempersoalkan

perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis menjadi orientasi

kosmopolitan.5

Bahasa adalah bahan pokok yang menjadikan pertunjukan wayang kulit

sebagai media komunikasi/dakwah yang dilakukan oleh seorang dalang.

Meskipun disatu pulau, pulau Jawa memiliki beberapa suku, suku Sunda, Jawa

Tengah, dan Jawa Timur. Nama Jawa tidak menjadi patokan sebagai satu

bahasa, memiliki sebuah perbedaan. Begitu pula dengan wayang kulit yang

dimana memiliki perbedaan sebuah pakem, pakem Surakarta dengan pakem

Jawa Timur-an. Jika ditelaah pakem Surakarta lebih lembut dalam tata bahasa

dalam pertunjukan wayang kulit, sedangkan Jawa Timur-an lebih kepada

maksud tertentu tetapi lebih banyak dengan candaan dalam pertunjukan

wayang kulit.

5
Purwadi, “Tasawuf Muslim Jawa”, (Yogyakarta, Damar Pustaka, 2004). Cet. 1. h.11
93

“Tidak ada perbedaan tertulis tentang pakem Surakarta dengan


Jawa Timur-an, semua masyarakat menikmati dengan baik,
tergantung pembawaan dari sang dalangnya itu sendiri. Karena
wayang adalah seni tradisional yang digemari bukan karena
pakemnya, karena keseniaan dan makna dibalik pertunjukannya
itu sendiri. Jika dalang dapat melakukan pertunjukan dengan baik,
maka dalang itu menguasai seni pewayangan. Masyarakat disini
menikmati apa yang saya pertunjukan, tidak ada salahnya juga
masyarakat tidak menikmati/menyukai, karena selera masyarakat
berbeda satu dengan yang lain.”6
Wayang kulit adalah kesenian yang sudah mendarah daging

bagi masyarakat Jawa, tanpa ada batasan untuk menggunakan pakem

dari mana. Khususnya masyarakat desa Bangorejo tidak membatasi

sebuah penampilan wayang kulit menggunakan pakem apa, pesan-

pesan dalang dalam pementasan harus disajikan semenarik mungkin

agar, penikmat wayang kulit lebih tertarik untuk menyaksikannya dan

mengambil hikmah dari cerita yang disajikan oleh sang dalang.

B. Nilai Pesan Dakwah Dalam Pementasan Wayang Kulit

Dakwah Islamiah berkembang terus dan meluas kesegenap penjuru tanah

air. Pada umumnya dalam menyebarkan agama Islam dan dalam memberikan

pendidikan Islam, para ulama cenderung pada aliran tasawuf. Hal ini menunjukan

bahwa mereka datang dari Gujarat, sutau tempat yang banyak dipengaruhi oleh

aliran tasawuf. Di Jawa, terutama di pesisir utara, para pemimpin madrasah dan

gerakan dakwah Islam terkenal dengan sebutan wali.7

Kedatangan agama Islam ditanah Jawa telah menimbulkan perubahan

kebudayaan yang melekat pada masyarakat Jawa. Perubahan yang terjadi bukan

6
Wawancara Pribadi Dengan Ki Yuwono, tanggal 27 Juli 2014
7
M. Abdul Karim. Islam Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007) cet.1,
h. 148
94

semata-mata karena perombakan oleh dunia Islam, akan tetapi karena adanya

toleransi dari Islam untuk mengakulturasikan budaya yang telah ada. Dalam

Sejarah telah mengatakan bahwa akulturasi yang mendorong perkembangan Islam

di Jawa adalah Wayang.

Perkembangan Islam di Jawa tidak terdokumentasikan dengan baik,

namun manuskrip-manuskrip dari abad ke-16 menunjukan bahwa Islam

mengakomodasi dirinya sendiri dengan lingkungan budaya Jawa sekaligus tidak

demikian. Di satu sisi bukti dari adanya satu budaya hibrid di mana menjadi orang

Jawa dan orang muslim sekaligus tidak dipandang sebagai hal yang problematis,

suatu budaya di mana isltilah-istilah lokal yang lebih tua, misalnya Tuhan,

sembahyang, surga, dan jiwa dipakai, bukan istilah-istilah dari bahasa Arab.8

Dalam lakon-lakon wayang adalah seperti kehidupan manusia sehari-hari,

karena dalam keseharian manusia ada dua hal yaitu baik dan buruk. Begitu pula

dalam cerita wayang adalah sebagai penyampaian pesan. Penyampaian pesan

yang disampaikan oleh dalang sangatlah penting dalam hal pesan dakwah. Ketika

mendalang Ki Yuwono mennyisipkan pesan-pesan dakwah untuk disampaikan

melalui wayang kulit.

Beliau mengatakan dalam pementasan:


“Suro Diro djayadiningrat tebut dipangastuti”
Artinya: Hal yang buruk dapat dikalahkan oleh kebaikan.

Istilah-istilah dalam cerita pewayangan yang disampaikan oleh dalang Ki

Yuwono dalam pementasan juga menjadi sebuah pesan dakwah. Dengan cara

Cangian, juga dapat menyampaikan pesan-pesan moral yang diinginkan dan

8
M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa (terj), (Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, 2013).
Cet. 1. h.30
95

untuk disampaikan kepada penonton.9 Cangian adalah termasuk pra acara dalam

suatu pagelaran wayang kulit, bentuknya seperti nyanyian yang didalamnya ada

penyampaian sesuatu pesan yang dianggap sangat perlu, karena dalam cangian

ini pesan dakwah dapat tersampaikan.

Ketika pementasan ia mengatakan:


“Kito kudu manembang manorsemang Gusti karono menungsung iku “
Artinya: “ Kita harus menyembah kepada Tuhan kita, karena kita hidup di
dunia tidak luput dari kekuasaan Tuhan. Dengan kita hidup dengan diberi
kesempurnaan, kita harus bersyukur kepada Yang Maha Kuasa”

Menurut Ki Yuwono, dalam keseharian manusia, harus menyadari bahwa

kita adalah makhluk sempurna, kita bisa sempurna karena kekuasaan Allah SWT.

Dengan cara mensucikan diri dan mendekatkan diri kepada Allah, wajiblah kita

untuk mensyukuri segala nikmat yang telah di limpahkan-Nya.

Sejauh makna yang terkandung dalam wayang, dalam arti kata yang

bernafaskan ke-Islaman. Wayang kita saksikan sekarang ini adalah wayang hasil

gubahan para wali, falsafah Islam yang lain juga kita dapati dalam Gunungan.

Gunungan dibuat pada zaman kerajaan Demak oleh Raden Patah sekitar tahun

1443. Sebelum pertunjukan dimulai, gunungan di letakan di tengah-tengah kelir

yang merupakan titik pusat para penonton. Gunungan ini merupakan gambaran

simbol dari “Mustika Masjid”. Jika dibalik gunungan tersebut akan berbentuk

seperti jantung manusia, yang terdiri dari bilik kanan, bilik kiri, serambi kanan,

dan serambi kiri. Makna tersebut mengandung falsafah Islam yang berarti,

seorang hidup, jantung hatinya harus selalu ada berada di Masjid, jika orang itu

9
Wawancara Pribadi dengan Ki Yuwono pada tanggal 27 Agustus 2014 Pukul
10.21 WIB
96

belum mempunyai niat untuk ke Masjid maka orang tersebut Imannya belum

sempurna.10 Gunungan ditancapkan ditengah-tengah kelir oleh dalang pun

mempunyai arti bahwa yang harus diperhatikan pertama-tama dalam hidup ini

adalah Masjid, atau kepentingan beribadah kepada Allah SWT.

Dalam pertunjukan wayang kulit banyak sekali pesan-pesan moral, Nilai

Aqidah, Akhlak dan Syariah yang disampaikan oleh dalang. Pesan-pesan

tersebutlah yang menjadi sebuah pesan inti atau tujuan yang ingin disampaikan

kepada masyarakat umum melalui pertunjukan wayang kulit.

Sebagai umat muslim, Ki Yuwono selalu mengajarkan tentang ke-Islaman

dalam pertunjukan wayang kulitnya. Ki Yuwono sendiri kerap melakukan

pertunjukan wayang kulit semalam suntuk pada kegiatan keagamaan, misalnya,

tahun baru Islam, atau Maulid Nabi Muhammad saw. Dalam setiap pergelaran

wayang, dalang selalu menyampaikan pesan-pesan moral Islam dalam bahasa

Jawa. Bagi seorang Jawa, nilai-nilai moral wayang dapat ditangkap sebagai ajaran

tentang baik-buruk, tentang perilaku etis yang di ajarkan agama.11

“Saya selalu mengajarkan kepada masyarakat untuk melakukan


hal kebaikan, selama kita hidup tanpa adanya kebaikan, maka
sia-sia lah hidup kita. Dengan cara mengajarkan dan mengajak
masyarakat untuk menunaikan Shalat lima waktu, Zakat,
berpuasa, dan Haji (bila mampu), adalah hal yang paling
penting, karena itu adalah rukun Islam.” 12

Dalam pertunjukan wayang kulit juga terdapat pesan Aqidah, Akhlak dan

Syariah, yang merupakan nilai-nilai luhur fundamental wajib dimiliki oleh setiap

umat muslim.

10
RM Ismunandar K. h.103
11
Tedi Sutardi, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya¸ (Bandung; PT Setia
Purna Inves; 2007) h.57
12
Wawancara Pribadi dengan Ki Yuwono
97

1. Nilai-nilai Aqidah

Dibidang Aqidah ini pembahasannya bukan hanya tertuju pada

masalah-masalah yang wajib di Imani, akan tetapi materi dakwah

meliputi masalah-masalah yang dilarang sebagai lawannya, misalnya,

Syririk (menyekutukan Tuhan), Musyrik dan sebagainya.

Dalam prakteknya, dalang mengajak umat muslim khususnya

penonton pertunjukan wayang kulitnya di Desa Bangorejo untuk

percaya kepada do‟a, spiritual yang wajib dilakukan umat muslim.

Do‟a sebuah perwujudan dari iman kepada Allah, Tuhan Yang Maha

Esa. Asumsi adanya Tuhan sebagai Rabb atau pengatur urusan

manusia dengan keharusan semua orang untuk melakukan Ibadah.

Sebelum memulai pertunjukan wayang kulit, Ki Yuwono melakukan

ritual berdo‟a kepada Allah agar diperlancar segala urusan pementasan

wayang kulit yang akan disajikan. Pada awal pertunjukan, Ki Yuwono

mengatakan :

(Saya minta kepada masyarakat semua, untuk berdo‟a,


memninta segalanya kepada Allah SWT, karena hanya
Allah ya[mb v ng mampu menghidup matikan kita
semua. Semoga setiap hembusan nafas senantiasa
mendapat kemulian, keselamatan, ketentraman dan jauh
dari mara bahay karena lindungan maha pencipta)13

2. Nilai Akhlak

Dalam pementasan wayang kulit, Ki Yuwono mengajarkan

penting dan perlu mengetahui bagaimana pentingnya Akhlak. Dengan

13
Wawancara Pribadi dengan Ki Yuwono
98

menanamkan dan mengajarkan kasih sayang, toleransi dan kepedulian

sosial kepada masyarakat, sehingga terciptanya hidup rukun antara

sesama umat beragama.

Nilai-nilai Akhlak merupakan sasaran penting dalam

penyampaian pesan dalam pementasan wayang kulit Ki Yuwono.

Sebagaimana dalam pementasan wayang kulitnya, beliau berpesan:

“Ojo bosen podo urip bertoleransi, rukun, sing


ajenkinanjenan ing podo podo nyenengke sing lain, ben
urip iki tentrem.(Jangan bosen untuk hidup bertoleransi,
saling menghargai dan menyanyangi satu dengan yang
lain, agar kehidupan kita tentram)”14
Dalam kehidupan ini, toleransi, saling menghargai dan

membantu sesama merupakan akhlak seorang muslim yang telah

digambarkan dalam Al-Qur‟an surat Al-Hujarat ayat 11:

          

      


       

          
 

         

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan


orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi
yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh
jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka
mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran
yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang
tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”

14
Wawancara Pribadi dengan Ki Yuwono
99

3. Nilai Syari‟ah

Aspek lainya yang tak kala penting adalah syariah

mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah

yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan,

ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam

bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur

sedemikian rupa oleh syariah Islam. Ibadah adalah ritual yang

syarat akan simbol-simbol takbir kepada Allah, sedangkan

mu‟amalah adalah interaksi sosial yang diberikan batasan dan

aturannya dalam agama Islam.

Di dalam cerita wayang, tentang kehidupan manusia

digambarkan melalui lakon-lakon pewayangan, sehingga saat

pementasan penonton atau penikmat wayang kulit

mendapatkan pesan dakwah dari sebuah simbol. Seperti halnya

lakon-lakon berikut:

Puntadewa Puntadewa atau Yudistira merupakan saudara para

Pandawa yang paling tua. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Yama

dan lahir dari Kunti. Sifatnya sangat bijaksana, tidak memiliki musuh.

Hampir tak pernah berdusta seumur hidupnya. Sebagai raja dan

saudara-saudaranya merupakan symbol rukun Islam. Puntadewa

memiliki sifat “berbudi bawa leksana, berbudi luhur dan penuh

kewibawaan. Ia adalah seorang raja yang arif dan bijaksana, adil

dalam ucapan dan perbuatan (al-adlu), sebagai pengajawantahan dari


100

kalimat syahadat yang selamanya menilhami kearifan dan keadialn.

Puntawa memimpin ke-4 adiknya atau bisa dikatakan keempat

saudaranya tersebut adalah suka duka dan penuh kasih sayang.

Demikian pula dalam rukunIslam yang kedua, ketiga, keempat dan

kelima namun tidak menjalankan rukun Islam yang pertama maka

seluruh amalnya akan sia-sia. Bahkan oleh agama Islam akan

dipandang sebagai perbuatan pura-pura atau munafik. Puntadewa

tidak pernah mati selama ia memiliki jimat (azimat) “Kalimosodo”

(Kalimat Syahadat atau Syahadatin).

Tokoh Bima atau Werkudara, nama bhima dalam bahasa

Sangsekerta memiliki arti “mengerikan”. Ia merupakan penjelmaan

dari Dewa Bayu sehingga memiliki nama julukan Bayusutha. Bima

sangat kuat, lengannya panjang, tubuhnya tinggi, dan berwajah paling

sangar/galak di antara saudara-saudaranya. Meskipun demikian, ia

memiliki hati yang baik, dia dipersonifikasikan sebagai rukun Islam

yang kedua yaitu Shalat luma waktu. Dalam kisah pewayangan, Bima

terkenal sebagai penegak Pandawa. Ia hanya biasa berdiri saja, karena

memang tidak biasa duduk, konon menurut cerita pewayangan

“tidurpun Bima dengan berdiri.” Seperti halnya hadist Nabi

Muhammad SAW yang artinya :

“Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang


menjalankannya maka ia menegakkan Islam dan barang
siapa yang meninggalkannya maka ia meobohkan
Islam.”
Dalam kehidupannya sehari-hari Bima selalu menggunakan

“Bahasa Ngoko” atau bahasa Jawa kasar baik itu kepada dewa, kyai,
101

atau siapaun itu. Sifat seperti itu melambangkan rukun Islam yang

kedua shalat lima waktu, maka shalat berlaku terhadap siapapun,

kapanpun dimanapun tak pandang bulu dan jabatan. Semuanya

dikenakan kewajiban Shalat Lima Waktu, inilah arti daripada satu

bahasa menghadapi siapapun.

Arjuna atau Janoko, namanya (dalam bahasa Sangsekerta)

memiliki arti “yang bersinar”. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa

Indra, Sang Dewa perang. Arjuna memiliki kemahiran dalam ilmu

memanah dan dianggap ksatria terbaik oleh Drona. Kemahirannya

dalam ilmu peperangan menjadikannya sebagai tumpuan para

pandawa agar mampu memperoleh kemenangan saat pertempuran

akbar di Kuruksherta. Arjuna memiliki banyak nama panggilan,

Dhananjaya (perebut kekayaan – karena ia berhasil mengumpulkan

upeti saat upacara Rajasuya yang diselenggarakan Yudistira); Kirti

(yang bermahkota indah – karena ia diberi mahkota oleh Dewa Indra

saat berada di surga); Partha (putra Kunti – karena ia merupakan

putera Pritha atau Kunti). Dalam pertempuran di Kurushetra, ia

berhasil memperoleh kemenangan dan Yudistira diangkat menjadi

raja. Arjuna digambarkan sebagai rukun Islam yang ketiga yaitu

Zakat. Dalam cerita pewayangan ia disebut sebagai “lelanganing

jagad” (lelaki pilihan). Nama Arjuna berasal dari kata “jun” yang

artinya Jambangan, benda ini merupakan symbol jiwa yang bersih.

Dengan kehalusan dan kelembutan Arjuna maka akan terlihat lemah

dan tidak berdaya, namun sebenarnya dibalik kehalusannya terdapat


102

kekuatan yang sangat luar biasa. Terbukti Arjuna selalu unggul di

dalam setiap pertempuran. Maka demikianlah zakat sebagai rukun

Islam yang ketiga sebagai kewajiban setiap muslimin dan juga

mengandung arti agar setiap muslimin dimanapun berada agar

berjuang untuk mendapatkan Rezeki dan kekayaan. Setiap oran pasti

menginginkan “mas peci raja brana” (harta kekayaan dan lain-

lainnya). Maka agar harta itu berfungsi sosial dan pembersih maka

harus di zakatkan agar suci dan bersih lahir batinnya.

Nakula dan Sadewa, menggambarkan sebagai rukun Islam

yang keempat dan kelima yaitu berpuasa di bulan Ramadhan dan Haji.

Kedua tokoh ini hanya bertemu pada saat-saat tertentu saja. Demikian

juga dengan puasa Ramadhan dan Haji, tidak setiap hari dikerjakan.

Hanya saja dikerjakan dalam waktu tertentu saja. Misalnya, puasa

setahun sekali pada bulan Ramadhan, dan Haju juga setahun sekali

pada bulan Dzulhijah. 15

Tokoh-tokoh yang memiliki peran utama seperti diatas adalah

gambaran terbesar dalam kehidupan muslimin. Tokoh bukan sekedar

tokoh yang dibuat sebagai cerita sejarah dan seni keindahan teater

wayang, dibalik itu semua banyak nilai-nilai pesan yang akan

disampaikan. Setiap apa yang dilakukan di muka bumi ini oleh

manusia baik yang positif maupun negatif diceritakan dalam

pertunjukan wayang. Maka dari itu wayang kulit meluruskan sifat-

15
RM Ismunandar K, “Wayang; Asal-Usul dan Jenisnya”, (Semarang; Dahara Prize,
1994) h.98-102
103

sifat manusia yang saat itu belum mengetahui agama yang

menjadikannya benar-benar lurus.

C. Kearifan Lokal dan Islam Jawa

Sebagaimana diketahui masuknya Islam ke Tanah Air secara damai dan

tidak menimbulkan kontroversi. Mengenai hal ini Prof. Zamakhasyari Dhofeir

menyatakan dalam disertasinya bahwa, “Semua proses adopsi agama dan

kebudayaan itu berlangsung melalui hati sanubari dan pikiran bangsa Indonesia

sendiri, tidak ada paksaan dari luar dan tidak ada kekuatan militer yang menyertai
16
masuk dan berkembangannya Islam di Indonesia.” Dalam buku Sejarah

Nasional Jilid III juga dinyatakan bahwa kedatangan Islam dan penyebarannya di

Nusantara berjalan secara damai. 17

Meskipun telah memilih menjadi Muslim, hanya sebagian kecil bangsa

Indonesia yang mengadopsi aspek-aspek budaya Arab.18 Dalam konteks Jawa, hal

ini berarti menjadi Muslim tetapi tetap menjadi wong Jowo. Keadaan ini sering

membingungkan peneliti asing seperti MC. Ricklefs. Ia berpendapat bahwa Islam

di Jawa sesungguhnya baru di mulai pada akhir abad 19, yaitu ketika terjadi

gerakan reformasi Islam untuk memurnikan Islam dari unsur-unsur lokal. 19

Relasi Islam dan budaya di Indonesia, memang merupakan pergumulan

yang tak kunjung usai antara tiga model: Arabisasi yang di bawa kalangan

masyarakat Arab dan orang yang berafilisiasi dengannya, Islamisasi atau

16
Zamakhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta, LP3ES, 2011, Cet.9). h.6
17
Marwati Djoened Poeponegoro (ed.), “Sejarah Nasional Indonesia”, (Jakarta, Balai
Pustaka, 2010, Jilid III), h. 45
18
Zamakhsyarai Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta, LP3ES, 2011, Cet.9). h. 28
19
M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa (terj), (Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, 2013).
Cet. 1. h.50
104

purifakasi yang diusung kalangan modernis dan pribumisasi yang diusung


20
kalangan tradisonalis. model Arabisasi didasarkan pada argumen bahwa Islam

identik dengan Arab, sehingga masyarakat luar yang mau memahami dan

menjalankan ajaran Islam harus mengikuti model yang lahir dari budaya

masyarakat Arab. Sedangkan kaum modernis cenderung melihat Islam sebagai

nir-budaya. Persoalannya sulit dijawab, ketika Islam harus diterapkan secara

sosiologis dalam keseharian, pembentukan format budaya merupakan suatu

keniscayaan. Al-Qur‟an dilihat dalam posisi berdialog dengan budaya di luar

budaya Arab. Budaya lokal dibiarkan selama tidak bertentangan dengan substansi

Al-Qur‟an, kemudian ke dalamnya Al-Qur‟an memasukan pesan moral universal

Islam. Inilah unsur signifikansi Al-Qur‟an yang dalam istilah Abdurahman Wahid

disebut pribumisasi Islam. 21

Istilah pribumisasi memberikan kesan pada pelokalan Islam, meskipun

yang dimaksud adalah meletakkan konsep-konsep substansi Islam ke dalam

konteks budaya lokal yang berkembang di masyarakat dalam lingkup tertentu.

Pembahasan membaca alam, kearifan lokal dan Islam Jawa ada penghampiran

seperti yang digagas dalam pribumisasi Islam, meskipun lokalitas dan etniisitas

adalah kenyataan alamiah yang diakui oleh Al-Qur‟an.

  


         

      


         

20
Aksin Wijaya, “Relasi Al-Qur’an dan Budaya Lokal”, UIN Sunan Kalijaga, Jurnal
Kajian Islam Interdisipliner, 2005, Vol.4, h. 7
21
Aksin Wijaya, Ibid, h.252
105

“Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dab seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan suku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahuhi lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujarat, 13)
Jiwa manusia adalah subyek sadar yang dapat menjadikan seluru alam

sebagai obyeknya. Begitu eratnya kaitan jiwa dan alam semesta dapat diibaratkan

sebagai suatu organisma yang memiliki dua wajah. Pertalian erat ini menimbulkan

knsekuensi, tidak ada mikrokosmos tanpa makrokosmos, dan tak ada

makrokosmos tanpa mikrokosmos. Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa

adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta yang mengandung

kekuatan supranatural dan penuh dengan hal-hal yang bersifat misterius.

Sedangkan mikrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan

hidup terhadap dunia nyata. Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta

menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan

mikrokosmos. Dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam

semesta memiliki hirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan

orang Jawa dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna (dunia atas-dunia

manusia-dunia bawah). Alam semesta terdiri dari empat arah utama ditambah satu

pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan. Sikap dan

pandangan tehadap dunia nyata (mikrokosmos) adalah tercermin pada kehidupan

manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata

kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang nampak oleh mata. Dalam

mengahdapi kehidupan manusia yang baik dan benar didunia ini tergantung pada

kekuatan batin dan jiwanya. Bagi orang Jawa, pusat di dunia ada pada raja dan

karaton, Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja adalah perwujudan


106

Tuhan di dunia sehingga dalam dirinya terdapat keseimbangan berbagai kekuatan

alam. Jadi raja adalah pusat komunitas di dunia seperti halnya raja menjadi

mikrokosmos dari Tuhan dengan karaton sebagai kediaman raja . karaton

merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja karena raja

merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan

membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan.

Pepatah sufi menggambarkan keeratan hubungan Tuhan, manusia dengan

alam adalah; alam diciptakan untuk manusia, sementara manusia diciptakan untuk

Tuhan. Hubungan ini tergambar dalam Surat An-Naziat Ayat 27-33.22

            

       


   

           

 
 

“Apakah kamu lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah


membinanya,(27) dia meninggikan bangunannya lalu
menyempurnakannya,(28) dan Dia menjadikan malamnya gelap
gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang.(29) dan bumi
sesudah itu dihamparkan-Nya.(30) Ia memancarkan daripadanya
mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.(31) dan
gunung-gunung dipancangkann-Nya dengan teguh,(33) (semua itu)
untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu” (Q.S
An-Naziat 27 – 33)
Memahami Agama melalui idom-idom kearifan lokal, dibutuhkan

pengetahuan ganda, pertama; pengetahuan mengenai Agama itu sendiri, dan

22
Suyanto Sidik, “Makalah; Membaca Ayat-Ayat Semesta, Kearifan Lokal dan Islam
Jawa”, dalam Diskusi Panel dan Sarasehan ; “Membaca Alam Dalam Kearifan Lokal Berdasarkan
Nilai-Nilai Spiritual Jilid 2”,2013, Banyuwangi. h.31
107

kedua; pengetahuan tentang budaya setempat. Tentu hal ini tidak mudah, karena

dituntut menggabungkan hasi pembacaan Kitab Semesta dan Hidayah dari Kitab

Suci. Meskipun sulit, penggabungan ini dengan anggun berhasil dilaksanakan

oleh Walisongo, antara lain pada saat mengubah wayang kulit agar sesuai dengan

ajaran Islam. Dalam perkembangannya, wayang tidak hanya dijadikan media

dakwah untuk kalangan kebanyakan, tetapi juga dimanfaatkan sebgai sarana untuk

menerangkan ilmu-ilmu sir (lembut) yang terdapat dalam tasawuf, yang sulit

diajarkan melalui simbol-simbol.23

23
Suyanto Sidik, Op.Cit h. 32
BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah dikemukakan diatas, maka dapat di tarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebuah pertunjukan wayang harus menggunakan bahasa yang harus

dimengerti oleh masyarakat, maka dari itu dalang harus memahami apa

yang harus dikuasainya, yaitu bahasa. Antara pakem Jawa Tengah

(Surakarta) dengan pakem Jawa Timur berbeda dari gaya

pertunjukannya. Pakem Surakarta di minati masyarakat Bangorejo dan

Ki Yuwono karena pesan yang akan di sampaikan lebih menarik

daripada menggunakan pakem Jawa Timur-an, meskipun pakem Jawa

Timur-an lebih langsung tertuju kepada pokok permasalahan dan juga

lebih banyak menggunakan canda yang disajikan oleh sang dalang.

Tak ada proses akulturasi bahasa yang begitu sulit untuk Ki Yuwono

dalam penyampaian pesan saat pertunjukan, karena pertunjukan yang

disajikan oleh Ki Yuwono lebih mudah di mengerti oleh masyarakat

Bangorejo.

2. Dalam pementasan wayang kulit, dalang Ki Yowono, selalu berusaha

semaksimal mungkin untuk mengemas pesan dakwah yang dapat

mudah dicerna oleh masyarakat setempat. Saat pementasana, Ki

Yuwono menyisipkan pesan-pesan tentang ke-Islaman, dan ditunjukan

melalui tokoh-tokoh pewayangan yang sebagaimana karater tokoh

107
108

tersebut. Ki Yuwono juga mengajak para penonton/masyarakat untuk

bershalawat untuk Nabi Muhammad Saw, yang dituju agar masyarakat

atau umat Islam seluruhnya menaruh rasa hormat kepada beliau. Sebab

beliau adalah pilihan-Nya untuk menjadi Nabi terakhir dan penutup

para Nabi, yang membebaskan manusia dari kehidupan jahiliyah. Atas

perjuangan beliau, umat manusia bisa dihantarkan ke alam yang terang

benderang. Beliaulah yang mengantarkan umat manusia dari

kehidupan hewani menjadi kehidupan yang manusiawi. Jika tidak ada

beliau, entah kebejatan moral apa yang dilakukan oleh umat manusia.

Pesan Akhlak, Akidah dan Syariah juga disampaikan oleh beliau. Saat

pementasan wayang kulit, Ki Yuwono lebih memfokuskan 2 sampai 3

jam pertama untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah, dan lebih

banyak pesan dakwah atau ke-Islaman yang disampaikan, dikarenakan

faktor daya tahan tubuh masyarakat atau penonton yang harus

melawan rasa kantuk. Karena pertunjukan/pementasan wayang kulit

dimulai dari pukul 20.00 WIB sampai pukul 05.00 WIB.

3. Di kehidupan ini, apapun itu ada faktor penghambat dan faktor

pendukung, begitu pula dengan pementasan wayang kulit Ki Yuwono.

Dalam penyampaian pesan dengan menggunakan pakem Surakarta

tidak ada faktor penghambat yang begitu banyak, ada sedikit

penghambatnya yaitu dari pesaingnya yang mengharuskan untuk

menggunakan pakem Jawa Timur-an, menurutnya wayang kulit bukan

permasalahan harus menggunakan wajib sebuah pakem, yang wajib itu

adalah mengajarkan, menyampaikan dan mengajak masyarakat untuk


109

melakukan hal kebajikan. Karena dalang adalah sebuah panutan bagi

masyarakat. Dalam penyampaian pesan dalam pementasan yang

menggunakan pakem Surakarta, Ki Yuwono menyesuaikan bahasa

dengan masyarakat setempat agar dapat dimengerti. Dengan menguasai

bahasa yang beberapa istilah antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur

sedikit berbeda, Ki Yuwono tidak mengalami kesulitan, beliau belajar

juga dengan teman-teman sinden, atau pemain gamelan/karawitan yang

juga berbeda asal kelahirannya.

B. Saran

1. Untuk dalang Ki Yuwono, agar memegang teguh tanggung jawab yang

besar terhadap hasil karya dan pesan yang disampaikan saat

pementasan, karena pementasan wayang kulit yang dihasilkan

mempunyai pengaruh yang besar terhadap penggemar wayang kulit

dan masyarakat yang menyaksikan pementasan tersebut. Kesenian

wayang kulit jangan lah luntur dari budaya Jawa yang sudah dari

ribuan tahun ini, agar anak cucu kita nanti dapat merasakan bagaimana

hasil kebudayaan dari tanah kelahirannya dan nenek moyangnya

tersebut. Dan tak lupa dalam pementasan wayang kulit, karya-karya

cerita kesenian wayang kulit ini dapat mendidik dan dapat membawa

kebaikan lebih bagi para penggemar dan masyarakat, begitu pula

dengan mengemas pesan-pesan religius dapat disatukan dengan cerita

sesuai perkembangan yang ada saat ini.


110

2. Untuk masyarakat Bangorejo, memiliki kewajiban untuk mengajarkan

apa yang telah didapat dari sebuah pelajaran yang telah didapat dari

apapun itu, seperti contohnya setelah menyaksikan pementasan

wayang kulit ini. Agar dapat tetap menjalakan dakwahnya sesuai

bidang dan kemampuan masing-masing, karena dakwah Islam ini tidak

difokuskan dengan satu bidang saja, tetapi segala bidang dan

kemampuan yang bisa menjalankan dakwah tersebut. Untuk

masyarakat Indonesia, lestarikan kebudayaan sendiri, lebih banyak

pesan moral, akhlak, akidah, dan syariah yang ada pada setiap

kebudayaan yang ada di Negeri ini, jadikan kebudayaan kita mendunia

agar kita bangga menjadi bangsa Indonesia. Jangan hanya meniru dari

barat untuk menjadikan generasi ini terkenal, buatlah Negeri ini

terkenal dengan kebudayaan yang terlahir dari nenek moyang kita

sendiri.

3. Untuk Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta, dalam hal

ini Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi khususnya, Jurusan

Komunikasi dan Penyiaran Islam untuk lebih memperdalam displin

ilmu dakwah terutama dalam pemhaman penyiaran melalui media

apapun itu dan kebudayaan yang ada di negeri ini, khususnya kesenian

wayang, dan diharapkan menjadi kajian khusus mengenai dakwah

memalui media wang kulit. Sebagaimana kita ketahui bahwa media

wayang telah dipergunakan sebagai media dakwah pada awal

perngembangan Islam di Indonesia oleh Wali Songo. Ketersedian

literatur tentang wayang sebagai media dakwah di Fakultas Ilmu


111

Dakwah dan Ilmu Komunikasi adalah sebagai acuan untuk

pembelajaran dan perluasan dakwah Islam di masa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Amrullah. Dakwah dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Prima


Duta, 1983.

Al-Sam, Rizal Firdaus. Wayang Sebagai Media Dakwah. 2011. Amin,


Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media,
2000.

Amir, Hazim. Nilai-nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: CV. Mulia Sari,
1991.

Amrullah Ahmad, ed. Dakwah dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Prima


Duta, 1983.

Anshari, HM. Hafi. Pemahaman dan Pengamalan Dakwah. Surabaya: Al


Ikhlas, 1993.

Ardhi, Yogyasmara P. Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Studi Pada


Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010.

Asmuni. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 2000.

Baker, JWM. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. Yogyakarta:


Kanisius, 1999.

Dadan Anugrah, Wini Kresnowiati. Komunikasi Antarbudaya, Konsep dan


Aplikasinya. Jakarta: Jala Permata, 2008.

Dr. Purwadi, M. Hum. Seni Pedhalangan Wayang Purwa. Yogyakarta:


Panji Pustaka, 2007.

Fathurohim, Mohammad Rois. Pertunjukan Wayang Sebagai Media


Pendidikan. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007.

Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif , Teori dan Praktek. Jakarta:


PT Bumi Aksara, 2013.

Haryanto, S. Bayang-bayang Adhiluhung. Semarang: Dahara Prize, 1992.

Haryono, S. Pratiwimba Adhiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang.


Yogyakarta: Djambatan, 1998.

Hasmy, A. Dustur Dakwah Menurut Al-Qur'an. Jakarta: Bulan Bintang,


1997.

107
108

Jumroni. Metode-metode Penelitian Komunikasi. Jakarta: UIN Jakarta


Press, 2006.

Liliweri, Alo. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya.


Yogyakarta: LKiS, 2002.

Mahmud, Nasir. Bunga Rapai Epistimolgi dan Metode Studi Islam.


Makasar: IAIN Alauddin Press, 1988.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2007.

Morissan. Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana


Prenada Media Group, 2013.

Mulde, Niels. Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa


(Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. Jakarta: PT Gramedia,
1983.

Mulyana, Deddy. Komunikasi Efektif, Suatu Pendakatan Lintasbudaya.


Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.

Mulyono, Sri. Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta:


ALDA, 1965.

Nana, Mamat dan Kosim. Ilmu pengetahuan Sosial (Geografi, Sejarah,


Sosiologi). Jakarta: PT Grafindo Media Pertama, 2006.

Omar, Toha Yahya. Islam dan Dakwah. Jakarta: Al-Mawardi, 2004.

Palgunadi, Bram. “Tinjauan Tentang Wayang Kulit.” Bulletin PSTK-ITB,


1978.

Poespowardjojo, Soerjanto. Strategi Kebudayaan (Suatu Pendekatan


Filosofis). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Poespowardojo, Soerjanto. Strategi Kebudayaan(Suatu Pendekatan


Filosofis). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Rafiudin, Maman Addul Jalil. Prinsip dan Strategi Dakwah. Bandung: CV


Pustaka Setia, 1997.

Raharja, Giri. Reposisi Dalang Wayang Goleh. 2011.


www.putragiri3.blogspot.com/2011/07/reposisi-dalang-wayang-
golek-menghadapi.html.

Rakhmat, Deddy Mulyana & Jalaludin. Komunikasi Antar Budaya.


Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993.
109

Rosid. Dakwah Sufistik Kang Jalal. Jakarta: Paramadina, 2004.

Salam, Solochin. Sekitar Wali Sanga. Jakarta: Menara Kudus, 1997.

Samovar, Porter, dan Mc. Daniel. Komunikasi Antar Budaya. Jakarta:


Salemba Humanika, 2010.

Shihab, Qurasih. Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1996.

Sidik, Suyanto. “Membaca Kearifan Lokal dan Islam Jawa.” 2012.

Susetya, Wawan. Dalang, Wayang, dan Gamelan. Jakarta: Narasi, 2007.

Syukir, Asmuni. Dasar-Dasar Strategi Islam. Surabaya: Alikhas, 2000.

Wiryanto. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo, 2006.

Ya'kub, Hamzah. Publistik Islam. Bandung: Diponogoro, 1981.


110

Media Online

http://www.tempokini.com/2014/09/kenalilah-wayang-maka-anda-akan-
mencintai-nya/.

http://mediaonlinenews.com/dunia/asal-usul-wayang-kulit.
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Pementasan Wayang Kulit Ki Yuwono

109
110

Foto bersama dalang Ki Yuwono setelah melakukan wawancara pribadi di

kediamannya pada tanggal 27 Juli 2014


111

Transkip Wawancara

Nama : Ki Yuwono

Jabatan : Dalang Seni Wayang Kulit

Hari/Tanggal : Minggu, 27 Juli 2014

Alamat : Jl. Stembel, desa Stembel, Banyuwangi, Jawa Timur.

Penulis : Sejak kapan bapak mulai menekuni dunia pewayangan?

Ki Yuwono : Awal mulanya mennenkuni dunia pewayangan ketika saya duduk


di bangku sekolah dasar, sekitar umur 11 tahun. Yang di mana
saya sudah di ajak dalam pementasan wayang almarhum bapak
saya, saat itu saya berada di belakang bapak yang sedang
mendalang. Mulai seusia itu saya sudah di ajak pergi mendalang
di mana-mana oleh bapak.

Penulis : Apakah bapak belajar wayang kulit dari sang Ayah?

Ki Yuwono : Alhamdulillah, saya memiliki darah keturunan seni, khususnya


seni wayang kulit, saat duduk di bangku sekolah dasar, banyak
hal yang di ajarkan oleh bapak saya dengan cara mengikutinya
pentas di mana-mana sampai saya duduk di bangku SLTA.
Setelah lulus SLTA saya di perkenalkan kepada sahabat-sahabat
ayah saya yang juga dalang, yaitu Ki Guntur dan Ki Sukarno.
Saya belajar wayang tidak formal, tetapi secara otodidak, saya
memperhatikan bagaimana sahabat-sahabat ayah saya bermain
lalu saya menirukannya, dan jika ada yang saya bingung lalu saya
tanyakan langsung. Ketika saat belajar wayang, saya menjadi
Penyemping (seseorang yang bertugas duduk dibelakang dalang
dan menyiapkan wayang kulit yang akan ditampilkan).
112

Penulis : Pementasan wayang kulit bapak menggunakan pakem Surakarta


atau pakem Jawa Timur-an?

Ki Yuwono : Karena dari keturunan seniman wayang saya lahir, dan leluhur
saya menggunakan pakem Surakarta, dengan sendirinya saya
mengikuti arus yang mengalir di dalam kehidupan seni saya.

Penulis : Menurut bapak, apakah wayang kulit sebagai media yang tepat
untuk melakukan dakwah?

Ki Yuwono : Seni pertunjukan wayang bukan sekedar pertunjukan seni biasa,


tetapi pertunjukan yang di mana terdapat sebuah pesan nilai,
moral, akhlak dan apapun itu yang menyangkut untuk mengajak
kepada siapapun yang menyaksikan untuk berada di jalan-Nya.
Wayang adalah media berdakwah dari zaman Walisongo, dan
media paling efektif untuk berdakwah.

Penulis : Bagaimana bapak menyampaikan pesan-pesan dakwah saat


pementasan?

Ki Yuwono : Dalam pementasan, saya harus menyampaikan sebuah pesan


dakwah. Penyampaiannya itu bisa melalui Suluk, Karawitan, atau
dari perilaku dan perkataan dari lakon/tokoh wayang tersebut.
Saat pementasan, saya juga mengajak masyarakat untuk
berbuatan kebaikan “Suro diro djayodiningrat tebut
dipangastuti”.

Penulis : Apa tujuan bapak mengunakan wayang kulit sebagai media


dakwah?

Ki Yuwono : Tujuan saya menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah


ialah untuk mengajarkan sebuah kebaikan dengan cara apa yang
saya miliki, dalam arti saya memiliki kemampuan mendalang,
melalui wayang kulit lah saya mengajarkan tentang kebaikan,
keagamaan, sosial dan sebagainya. Dan saya seorang muslim,
yang di wajibkan untuk menyampaikan hal kebajikan, dan
113

Rasulullah mengatakan bahwa “Sampakanlah walau hanya satu


ayat”, maka dari itu saya harus menyampaikan sebuah kebajikan
kepada masyarakat.

Penulis : Dengan materi apa yang bapak sampaikan saat mendalang agar
dapat mudah dimengerti oleh masyarakat?

Ki Yuwono : materi tentang sosial dan keagaaman yang pasti saya sampaikan
kepada masyarakat. Karena kita hidup bersosialisasi dan
beragama tentunya. Pada saat pentas di sebuah acara, misalnya
peringatan Maulid Nabi, menceritakan bagaimana sejarah
Rasulullah memperjuangkan agama Islam. Atau setelah perayaan
Hari Raya Idul Fitri, menceritakan tentang cintanya Nabi Ibrahim
dengan anaknya dan mendapat utusan dari Allah untuk
menyembelih anak semata wayang tercintanya. Penempatan cerita
tergantung saat acara apa saya pementasan wayang kulit.

Penulis : Adakah ritual yang bapak lakukan sebelum pementasan?

Ki Yuwono : Untuk ritual saya hanya serahkan semuanya kepada Sang Pencipta
alam semesta ini, tidak ada ritual mistis, misalnya. Karena hidup
saya ini Allah yang mengatur, saya hanya bisa meminta dengan
do’a agar apa yang saya sampaikan, saya ajarkan, dan saya
mengajak masyarakat untuk berbuat kebaikan, tersampaikan
dengan baik. Dan juga, saya mengharapkan tidak adanya
hambatan dalam segi apapun itu. Tetapi, ketika Allah
memutuskan apa yang di inginkan-Nya, saya hanya bisa pasrah
dan meminta ampun jika saya mempunyai kesalahan. Lalu saya
juga mengajak masyarakat untuk bershalawat Nabi sebelum
melakukan pentas, agar diberikan hal yang postif.

Penulis : Nilai-nilai pesan dakwah apa yang bapak sering bapak gunakan
saat pementasan?
114

Ki Yuwono : Yang saya sering sampaikan adalah tentang ibadah, “Shalat


adalah tiang agama, dirikanlah shalat maka akan kuat imanmu”,
atau tentang berpuasa, zakat, dan pergi haji. Tentang Rukun Islam
yang sering saya sampaikan kepada masyarakat.

Penulis : Adakah kesulitan dalam penyampaian pesan dengan


menggunakan pakem Surakarta di Jawa Timur?

Ki Yuwono : Tidak ada perbedaan tertulis tentang pakem Surakarta dengan


Jawa Timur-an, semua masyarakat menikmati dengan baik,
tergantung pembawaan dari sang dalangnya itu sendiri. Karena
wayang adalah seni tradisional yang digemari bukan karena
pakemnya, karena keseniaan dan makna dibalik pertunjukannya
itu sendiri. Jika dalang dapat melakukan pertunjukan dengan baik,
maka dalang itu menguasai seni pewayangan. Masyarakat disini
menikmati apa yang saya pertunjukan, tidak ada salahnya juga
masyarakat tidak menikmati/menyukai, karena selera masyarakat
berbeda satu dengan yang lain.

Penulis : Apa Faktor penghambat dan pendukung dalam proses


penyampaian pesan saat pertunjukan wayang kulit bapak?

Ki Yuwono : Alhamdulillah, untuk faktor penghambat penyampaian pesan


hampir tidak ada, kecuali untuk masalah Soundsystem , cuaca,
jarak tempuh atau masyarakat yang menderita Tuna Rungu.
Untuk faktor pendukung, banyak sekali, dari keluarga, sahabat
pedalang, tim paguyuban saya yang terdiri dari pemain gamelan,
sinden, penata panggung, penata wayang, penata gamelan, dan
sebagainya, yang selalu menjadi faktor pendukung internal saya.

Penulis : Apa harapan bapak untuk masyarakat yang menyaksikan


pertunjukan wayang kulit bapak?

Ki Yuwono : Penuh harapan yang positif yang menjadi keiinginan semua


dalang setelah pertunjukan selesai. Ada pula dari segi sosial dan
115

segi agama, menjadi lebih baik dari hari kemarin, ambil sisi
positif dari semua kehidupan kita, dan buang jauh-jauh sisi
negatif yang kita miliki.

Penulis : Apa harapan bapak untuk dunia pewayangan di desa Bangorejo?

Ki Yuwono : Semoga kesenian wayang kulit ini tak berhenti di tangan saya,
warisan budaya ini harus di lestarikan, dijaga,dan harus memiliki
penerusnya.

Penulis : Apa harapan bapak untuk duni pewayangan dan kebudayaan di


Indonesia?

Mengetahui,

Pewawancara Responden

Aldi Haryo Sidik Ki Yuwono

Anda mungkin juga menyukai