MEMIKIRKAN KEMBALI
ETNOARKEOLOGI
Abstract
Up until now there is still much confusion about ethnoarchaeological research in
archaeological community in Indonesia. There are many archaeologists who could not
distinguish between ethnographic and ethnoarchaeological research. Therefore, after
the evaluation of ethnoarchaeological research done in more than 20 years ago, there
is a necessity to rethink about ethnoarchaeological research. In brief, ethnography in
archaeology is an effort to depict all of the archaeological activities and ideas which
tries to put the past (archaeology) in the context of society today (ethnography). The
ethnoarchaeological research is not a way to find the truth in the past but an effort to
increase the faith upon the phenomenon that might be happened in the past.
Pendahuluan
Tahun ini usia istilah “etnoarkeologi” sudah 110 tahun. Istilah ini pertama
kali diajukan oleh Jesse Fewkes, seorang ahli arkeologi yang banyak meneliti tentang
tradisi migrasi Tusayan, salah satu komunitas Indian-Amerika. Dalam tulisannya yang
diterbitkan dalam laporan tahunan Bureau of American Ethnology 1900, Fewkes
menyebutkan “ethno-archaeologist” sebagai ahli arkeologi yang mempelajari
kehidupan masyarakat tradisional sebagai persiapan untuk meneliti dan memahami
‘masyarakat prasejarah’ yang sedang ia kaji tinggalan-tinggalannya (David dan
Kramer, 2001). Sebenarnya, upaya untuk memahami dan menafsirkan budaya yang
sudah punah (arkeologis) dengan menggunakan bandingan budaya masyarakat masa
kini (data etnografis) sudah lama diterapkan sebelum munculnya istilah etnoarkeologi.
Para perintis ilmu Arkeologi, seperti William Camden, Sven Nilsson dan Pitt Rivers,
misalnya, telah mengemukakan pentingnya mengetahui kehidupan tradisional di masa
kini untuk memahami dan menfasirkan kehidupan masa lampau (lihat Tanudirjo,
1987). Namun, cara-cara yang telah dipergunakan hampir setua ilmu arkeologi itu
sendiri tidak jarang dipertanyakan keabsahnya.
Awalnya, para ahli arkeologi lebih banyak menggunakan data etnografi yang
dikumpulkan atau dipaparkan oleh etnografer (ahli antropologi). Sejak tahun 1940-an,
memang para ahli arkeologi merasa tidak puas dengan hasil pengamatan dan paparan
ahli lain. Alasannya, ada banyak aspek yang ingin diketahui arkeologi justru tidak
diamati atau tidak dipaparkan oleh mereka. Karena itu, para ahli arkeologi terdorong
untuk melakukan pengamatan dan mendapatkan data etnografi sendiri. Pada saat itu,
kegiatan etnoarkeologi menjadi semakin banyak dilakukan dan digunakan untuk
memecahkan masalah-masalah arkeologi (Tanudirjo, 1987).
Pembahasan
E
T
L N
I O Pengetahuan dan cara pandang
N S masyarakat tradisional terhadap budaya
G A
I bendawi
U
I N
S
T
I
K
Penelitian Linguistik Murni, tanpa
konteks budaya
Keadaan ini tentu amat berbeda dengan apa yang dilakukan di luar.
Binford, misalnya, melakukan penelitian yang amat teliti selama berbulan-bulan di
tengah masyarakat Nunamiut Eskimo hanya untuk mengamati terbentuknya sebaran
benda-benda hasil aktivitas mereka (1983). Demikian juga, Meehan (1982) yang
tekun mengamati dan memetakan sisa-sisa cangkang kerang yang ditinggalkan
oleh masyarakat Gidjingali di Australia Utara. Ia ingin mengetahui bagaimana
proses transformasi ekofak kerang dari habitat alamnya (shell bed) hingga menjadi
tumpukan sisa makanan (shell midden). Contoh lain adalah kerja Lee dan De Vore
di Gurun Kalahari, Afrika. Mereka berbulan-bulan mengikuti perpindahan suku
Kung Bushman yang nomaden dan merekam semua benda yang ditinggalkan di
perkemahan-perkemahan mereka.
E = C1, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8, C9, C10 Maka, A = E
“A” adalah data arkeologi, dan “E” adalah data etnografi. Jadi, jika sejumlah
ciri data arkeologi sama dengan ciri data etnografi, maka dianggap budaya di balik data
arkeologi sama dengan budaya etnografi. Di sini, data etnografi mengisi ciri-ciri data
arkeologi yang hilang, sehingga secara keseluruhan seakan-akan sama dengan data
etnografi. Ciri-ciri yang ditambahkan oleh data etnografi (C2, C6, C8) hanya tafsiran,
tidak nyata tetapi hanya merupakan perluasan pikir saja. Karena itu, bandingan data
etnografi tidak dapat menjadi bukti nyata. Ia hanya merupakan suatu kemungkinan
(probabilitas) saja. Semakin banyak ciri-ciri yang sama, maka kemungkinan kesamaan
antara data arkeologi dengan data etnografi semakin tinggi. Contoh gambar berikut ini
mungkin dapat memberikan ilustrasi tentang analogi secara lebih jelas.
1 2 3
Anggapan Umum
Analogi Umum
Analogi Prinsip
Kesinambungan Sejarah
sini setidaknya ada anggapan bentuk yang sama memiliki fungsi dan
cara pemakaian yang sama. Dari segi argumentasi, cara analogi ini lebih
kuat dibanding tingkat sebelumnya, tetapi tetap saja kurang kuat karena
ciri-ciri yang dibandingkan masih terlalu umum. Karena sifatnya masih
umum, analogi ini masih dapat diterapkan secara cukup luas.
Bagi Arkeologi Prosesual, data arkeologi adalah fenomena masa kini, benda
mati yang statis, dan tidak memuat informasi apa pun. Ia tidak bisa menceritakan
masa lalu, walaupun ia mengalaminya. Karena itu, tugas arkeologi adalah mencoba
menemukan proses budaya yang menghasilkan benda-benda tersebut. Penjelasan itu
akan diperoleh jika ada teori, dalil, dan model yang dapat memberikan acuan awal.
Teori, dalil, dan model itu yang kemudian diujikan secara deduktif untuk menentukan
tingkat kebenarannya. Dengan paradigma seperti itu, kajian etnoarkeologi tentunya
ditempatkan sebagai penelitian yang menghasilkan teori, dalil atau model bagi
penjelasan. Atau, menurut Binford (1983), kajian ini merupakan teori tingkat
menengah (middle-range theory), karena etnoarkeologi dapat menyediakan data
yang menjembatani secara langsung antara yang statis (benda budayawi) dan yang
dinamis (tindakan dan gagasan). Dengan kata lain, data etnografi dapat menolong ahli
arkeologi menjelaskan fenomena masa lampau yang terkait dengan benda arkeologi.
Di sini, terdapat asumsi uniformitarian yang menyatakan bahwa proses-proses yang
terjadi di masa lampau pada prinsipnya tidak berbeda dengan yang terjadi di masa
kini. Binford (1983a) menuliskan secara puitis “letting the present serves the past”
(biarlah masa kini melayani masa lampau). Artinya, melalui kajian etnoarkeologi,
seorang aghli arkeologi akan dapat memiliki praduga atau kemungkinan awal (prior-
probability) tentang masa lampau. Tentu saja, untuk mengetahui apakah praduga
tersebut benar, maka harus diujikan lagi pada data arkeologinya. Dengan demikian,
bagi Arkeologi Prosesual, etnoarkeologi menjadi wadah untuk mendapatkan model
maupun menguji model itu pada data arkeologi.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Bahn, P. dan J. Vertut. 1988. Images of the Ice Age. Fact on File, New York – Oxford.
Binford, L.R. 1983. In Pursuit of the Past : Decoding the archaeological record.
New York: Academic Press.
Gould, R. dan M.B. Schiffer (eds.). 1981. Modern Material Culture: The Archaeology
of Us. New York: Academic Press.
Hayden, B. 1992. Archaeology: the Science of Once and Future Things. New York:
W.H. Freeman and Company.
Hodder, I dan S. Hutson. 2003. Reading the Past. 3rd edition. Cambridge: Cambridge
University Press.
LaMotta, V.M. dan M.B. Schiffer. 2001. Behavioral Archaeology: Toward a New
Synthesis, dalam I. Hodder (ed.), Archaeological Theory Today. London:
Blackwell. Hlm. 14 – 64.
Reid, J. 1995. Four Strategies after Twenty Years: A Return to Basics, dalam J.M.
Skibo, W.H. Walker, dan A.E. Nielsen (eds.) Expanding Archaeology. Salt
Lake City: University of Utah Press. Hlm. 15 – 21
Renfrew, C. dan P.Bahn. 2004. Archaeology: Theories, Methods, dan Practice. 4th
edition. London: Thames and Hudson.
Tilley, C. 1993. Interpretation and a Poetics of the Past, dalam C. Tilley (ed.)
Interpretive Archaeology. Berg, Providence. Hlm. 1 – 27.