Anda di halaman 1dari 34

TUGAS REVIEW BUKU

”MADZAB – MADZAB ANTROPOLOGI”


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Budaya dan Perilaku Organisasi

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Nur Syam

Oleh :
Ratna Andita Fakih
NIM. G73217090

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2018
BAB I
Identitas Buku dan Pengarang
Judul Buku : Madzab – Madzab Antropologi
Penulis : Dr. Nur Syam
Pengantar : Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, M.A
Penerbit :LKiS Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Mei 2007
Tebal : XVI + 230 halaman
Tentang Pengarang
Pengarang buku ini adalah Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si. Prof. Dr. H. Nur Syam,
M.Si lahir di Tuban, 7 Agustus 1958. Pendidikan dasar diselesaikan di desa kelahirannya :
SDN Sambungrejo, Merakurak (1970). Jenjang pendidikan Strata Satu (S-1) di Fakultas
Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya pada 1985. Kemudian pada 1997, dia meraih predikat
magister bidang Ilmu-Ilmu Sosial dari Universitas Airlangga Surabaya. Meraih Doktor di
bidang Ilmu Sosial di Universitas yasama pada 2003.
Guru Besar Sosiologi IAIN Sunan Ampel ini, selain menjadi dosen pada Fakultas
Dakwah dan Program Pascasarjana (PPs) IAIN Sunan Ampel, juga mengajar pada PP IAI
Ibrahim Situbondo, PPs IAI Tribakti Kediri, dan PPs UNIPDU Jombang. Dia juga
berkesempatan mengikuti University Management Workshop diMcGill University, Montreal,
Canada (2006). Pembantu Rektor II IAIN Sunan Ampel periode 2005-2009 ini cukup aktif
melakukan penelitian ilmah dan juga cukup aktif menulis di beberapa media cetak dan jurnal
ilmiah. Hingga kini, beliau sudah menerbitkan 6 buku.

Tentang Buku
Buku Madzhab – Madzhab Antropologi ini merupakan buku cetakan pertama yang
diterbitkan pada tahun 2007 dan bekerja sama dengan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Sekilas
buku ini terlihat sangat sederhana dengan cover yang menggambarkan kehidupan primitif di
zaman dahulu. Buku ini terdiri dari 10 bab dan tiap babnya terdapat kutipan dari berbagai
sumber buku lain serta pada tiap bab nya juga terdapat kesimpulan-kesimpulan dari penulis
sendiri.
Buku ini memaparkan tentang konteks sejarah, antropologi mengalami perkembangan
dari satu episode aliran ke aliran lain dari satu perspektif ke perspektif lain. Antropologi
sebagai suatu bidang atau disiplin ilmu juga mengalami proses serupa dengan ilmu-ilmu
sosial lainnya bahkan ilmu –ilmu alam
BAB II
ISI BUKU DAN ANALISIS
BAB I : Memasuki Dunia Antropologi
Antropologi memiliki bias imperialisme Eropa pada sekitar awal abad ke-16 sampai
abad ke-20. Semula ilmu ini digunakan oleh pemerintah kolonial di berbagai wilayah dalam
rangka mempelajari bahasa, budaya dan keyakinan lokal dengan harapan dari kajian tersebut
dapat dihasilkan berbagai kebijakan untuk melestarikan pemerintah kolonial tersebut.
Definisi Antropologi
Antropologi merupakan gabungan dari antropos yang berarti manusia dan logos yang
berarti ilmu. Yaitu, ilmu yang mempelajari tentang aspek manusia. Titik tekan antropologi
lebih pada:
1. Masalah sejarah terjadinya dan perkembangan manusia sebagai makhluk sosial.
2. Masalah sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia dipandang dari sudut ciri-ciri
tubuhnya.
3. Masalah penyebaran dan terjadinya aneka warna bahasa yang diucapkan oleh manusia di
seluruh dunia.
4. Masalah perkembangan, penyebaran, dan terjadinya aneka warna dari kebudayaan manusia
di seluruh dunia.
5. Masalah dasar-dasar dan aneka warna kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat
dan suku bangsa yang tersebar di seluruh muka bumi zaman sekarang ini.
Koentjaraningrat mengasumsikan bahwa kebudayaan manusia itu berevolusi sedemikian
rupa melalui proses perkembangan.
Antropologi dibagi menjadi 3(tiga) bidang, yaitu:
1. Antropologi Fisik
Meliputi warna kulit, ukuran tinggi badan, ukuran tengkorak, otak, badan, serta anggota
tubuh lainnya dan juga golongan darah dan sebagainya, Pengelompokan manusia berdasarkan
ciri khas fisik tersebut disebut sebagai ras manusia. Di dunia terdapat berbagai macam ras,
misalnya: ras Mongoloid, ras Kauskasoid dan ras Negroid.
2. Antropologi Budaya
Mengkaji manusia dalam dimensi kebudayaan yang dimilikinya baik yang menyangkut
bahasa, tulisan, kesenian, sistem pengetahuan dan totalitas kehidupan manusia. Terdapat
etnolog yang mengkaji tentang dasar-dasar kebudayaan manusia dari berbagai suku bangsa.
Etnologi menurut bahasa yaitu ilmu yang mengkaji etnis atau suku bangsa di suatu lokasi
terten
3. Antroplogi Sosial (Generalizing Approach)
Mengkaji tentang prinsip-prinsip persamaan di belakang aneka ragam masyarakat dan
kebudayaannya dari kelompok-kelompok manusia di dunia. C. Kluckholn mengkaji 7(tujuh)
unsur budaya universal atau cultural universal, yaitu:
 Sistem Pengetahuan
 Sistem Ekonomi
 Sistem Teknologi
 Sistem Sosial
 Sistem Religi
 Sistem Kesenian
 Sistem Bahasa
Dengan generalizing approach, maka berkembanglah subbidang seperti antropologi
ekonomi, antropologi politik dan antropologi agama.
Perkembangan Antropologi
Dalam prespektif aliran antropologi tertua yang dikemukakan oleh Edward Burnett
Taylor (1832-1917), kebudayaan ialah hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Kebudayaan
dikonsepsikan sebagai perubahan evolusioner. Di dalam berbagai penelitian yang
menggunakan studi perbandingan sinkronik ataupun diakronik diperoleh gambaran bahwa
kebudayaan itu mengalami perubahan secara evolusioner.
Prespektif berikutnya adalah strukturalisme yang dikemukakan oleh Claude Levi-Strauss
(lahir 1908). Strukturalisme relevan untuk menemukan struktur logis didalam pemikiran
manusia atau sekelompok manusia dengan tradisi dan kebudayaannya. Tujuan analisis ini
adalah untuk membangun pola,model, atau pola umum yang berlaku mendasar dan
menekankan pada penggunaan linguistik.
Prespektif kognitif yang dikembangkan oleh Ward H. Goodenough pada tahun 1950-an,
yang menyatakan bahwa kebudayaan sebagai suatu sistem pengetahuan. Tujuan antropologi
kognitif adalah untuk memahami dunia anggota-anggota masyarakat tentang hal-hal diluar
dirinya sebagai pemahaman mereka sendiri dan berdasar atas konsepsi-konsepsi yang
dimilikinya.
Prespektif antropologi simbolik interpretatif yang dikembangkan oleh Geertz (1926).
Terdapat dua hal utama yaitu sebagai pola (model for) dan pola dari (model of) tindakan.
Sebagai pola dari (model for), kebudayaan berisi seperangkat sistem nilai yang menjadi
pedoman bagi individu atau masyarakat didalam berkebudayaan.
Perbandingan Buku Lain dan Analisis Bab I :
Dari aspek bahasa, dan terlebih berkenaan dengan uraian kata, Roger Pearson dalam
karyanya Introduction to Anthropology berpendapat, antropologi telah lama diklaim sebagai
pengetahuan tentang manusia. Kata antropologi secara literer sebetulnya merupakan
perpaduan sinergis dari dua kata dasar bahasa Yunani: anthropos yang berarti manusia
(makhluk hidup yang memiliki citra dan sosok tertentu), dan logos yang berarti ilmu,
pengetahuan atau studi.1
Terminus antropologi digunakan paling pertama oleh Filsuf Yunani Aristoteles untuk
merujuk pada penjelasan detail mengenai manusia dan kegiatannya, ketika merumuskannya
sebagai berikut: “….to convey the sense of a lofty, far-seeing view of mankind, in contrast to
the more narrow, unimaginative, and self-oriented outlook of everyday life”.

Analisis Kedua Buku

Pemakaian istilah dan pengertian tersebut sebetulnya bertujuan untuk menyebut


antropologi sebagai disiplin atau ilmu pengetahuan yang merangkumi pemahaman yang
sangat mendalam mengenai manusia dan kehidupannya. Berikut beberapa skema pembagian
antropologi yang menyebar dalam berbagai literature berkenaan dengan pembicaraan
mengenai dinamika Ilmu antropologi:

A. Roger Keesing (1981, terj. 1999: 3)


Linguistik Antropologi
Antropologi Sosial

Antropologi Arkeologi
Budaya (Prasejarah)

Antropology
ANTROPOLOGI
Fisik

1
Pearson 1974:1, bdk. juga Barnouw 1979:1-2, The New Encyclopaedia Britannica 1980, Vol 1: 968-969.
B. William A. Haviland (1985, terjm 1999: 16)
Etnologi

Antropologi

Fisik Linguistik
Antropologi

Budaya
Arkeologi

ANTROPOLOGI

C. Koentjaraningrat (1985: 25)


Paleo
Antropologi antropologi
Biologi

Antropologi Fisik

Antropologi
Prehistori

Descriptive
integration,
Antropologi Etnolinguistik
etnologi
Budaya

Etnologi Generalizing
approach,
antropologi
sosial
Etnospiskologi
Antropologi
Ekonomi,
Antropologi
Antropologi
Spesialisasi Politik,
Antropologi
Antropologi Kependudukan,
Antropologi
Terapan
Kesehatan,
Antropologi
Pendidikan,
(Skema A diambil dari Koentjaraningrat, 1986: 25) Antropologi
Perkotaan, dll
BAB II : Kebudayaan dalam Perspektif Evolusionisme
Pendahuluan
Aliran evolusionisme merupakan aliran yang tertua. Aliran ini banyak membahas
mengenai fenomena agama dengan masyarakat. Ketertarikan terhadap fenomena agama dan
masyarakat ini didasari oleh suatu kenyataan bahwa pada masyarakat primitiv ternyata
terdapat sekian banyak ritual yang terkait dengan berbagai pemujaan terhadap sesuatu yang
dianggap lain dari dunianya sendiri. Ada sesuatu yang dianggap suci dan sakral. Prespektif
evolusionisme berdasar atas suatu proses perubahan dari waktu ke waktu secara
evolusioniser, ada sebuah proses yang terjadi dari masa awal ke sekarang.
Kebudayaan dalam Prespektif Evolusionisme
Dalam konsep antropologi evolusionis kebudayaan dibagi menjadi tiga, yaitu kebudayaan
sebagai sistem (cultural system), aktivitas (activities) dan material culture. Terdapat tujuh
unsur kebudayaan menurut C. Kluckholn, yaitu:
1. Sistem peralatan dan perlengkapan hidup.
2. Sistem mata pencaharian hidup
3. Sistem kemasyarakatan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem pengetahuan
7. Sistem religi
Kebudayaan suatu masyarakat berarti menggali terhadap ketujuh unsur budaya tersebut.
Sistem religi terdiri dari sistem kepercayaan, kesusastraan suci, sistem upacara keagamaan,
komuniti keagamaan, ilmu gaib dan sistem nilai, serta pandangam hidup.
Untuk mengkaji sistem budaya universal, metode yang digunakan ialah metode
perbandingan. Menurut Koentjaraningrat ada dua metode perbandingan, yaitu:
a. Metode Perbandingan Diakronik
Peneliti mengkaji kebudayaan pada entitas masyarakat tertentu, pada suatu waktu dan
kemudian dikaji lagi beberapa saat kemudian pada entitas masyarakat yang sama.
b. Penelitian Komparatif Sinkronik
Mengkaji entitas kebudayaan dari suatu komunitas tertentu pada waktu yang hampir
bersamaan, namun dua entitas ini terdiri dari budaya yang terbuka dan satunya tertutup.
Kebudayaan dalam Cara Pandang Evolusionistik
Cara pandang evolusionis bertujuan untuk mendiskripsikan unsur-unsur budaya universal
dan pola perubahan yang teramati melalui mekanisme perbandingan kebudayaan yang hidup
dan berkembang di suatu entitas budaya. Salah satu bentuknya yaitu budaya Indis dan Religi
Orang Bukit.
Budaya Indis merupakan perpaduan antara budaya Barat dengan budaya Timur,
khususnya Jawa yang menghasilkan kebudayaan dan gaya hidup tersendiri. Gaya hidup
masyarakat Indis dapat dilihat dari rumah tinggal Indis dan kelengkapan rumah tinggalnya,
serta gaya hidup mewah yang menjadi ciri utama masyarakat Indis. Dari aspek bahasa
terdapat pola campuran antara bahasa Belanda dengan bahasa Jawad dan Cina yang
membentuk bahasa pidgin yang dipergunakan oleh orang orang keturunan Belanda ibu Jawa,
Cina keturunan dan Timur Asing. Selain itu, juga menghasilkan bahasa campuran (Petjoek)
yaitu bahasa yang digunakan oleh kaum miskin dan orang Belanda yang tidak diakui. Tulisan
lain yang lebih menukik pada subsistem budaya universal ialah tulisan Radan tentang Religi
Orang Bukit. Keyakinan orang bukit merupakan suatu konsepsi mereka mengenai Tuhan,
manusia dan alam.

Perbandingan Buku Lain dan Analisis Bab II :

Ada dua golongan penelitian di dalam studi etnologi yakni (a) jenis pertama
menekankan bidang diakronik, dan (b) jenis kedua menekankan bidang sinkronik dari
kebudayaan umat manusia. Memang belum ada istilah yang tepat untuk mengurai kedua
golongan dan sistem penelitian tersebut, namun dalam istilah Bahasa Inggeris dikenal
proposisi-proposisi berikut. Untuk model diakronik dikenal apa yang disebut descriptive
integration yakni catatan detail berkenaan dengan struktur dasar dari bahan atau materi yang
hendak diteliti. Kemudian golongan yang kedua sinkronik dikenal apa yang disebut
generalizing approach yakni penelitian yang memusatkan perhatian pada sistem dan pola
membuat generalisasi. Di dalam sejarah perkembangan antropologi, jenis diakronik disebut
ethnology (etnologi) dan yang kedua sinkronik disebut social anthropology, antropologi
sosial (Koentjaraningrat, 1985: 15-16).2

Ada dua istilah teknis dalam ilmu ethonologi yang diakronik dan sinkronik, dimana
kedua istilah dijelaskan dalam penjelasan yang berbeda. Hal utama dalam pespektif

2
Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru . hlm. 15-16
berkenaan dengan waktu ini adalah sejarah dan rangkaiannya dilihta sebagai soal kunci untuk
dioerhatikan dengan lebih seksama. Lazim dikenal perspektif (1) diakronik, (2) sinkronik dan
(3) interaktif.

Diakronik adalah perspektif yang menggambarkan hubungan unsur-unsur kebudayaan


sepanjang waktu. Cara pandang dari kajian yang luas ini tidak terikat pada pemetaan akan
kekhasan dan keistimewaan dari data-data tertentu yang ditemukan pada daerah tertent yang
eksklusif. Dengan kata lain, rujukan yang dikaji adalah bahan universal dari bangsa manusia
dalam perjalanan sejarah secara garis besarnya saja. Yang dapat dikelompokkan dalam
perspektif ini adalah evolusionisme dan difusionisme.

Sedangkan sinkronik adalah perspektif yang menunjuk hubungan unsur-unsur


kebudayaan besama-sama pada waktu yang sama. Analisis dalam perspektif sinkronik tertuju
pada detail dari masing-masing data yang telah dikumpulkan, dimana sasaran yang akan
dicapai juga adalah membuat sebuah pola generalisasi. Selanjutnya atas dasar pola
generalisasi inilah semua data dikategori dalam sebuah ukuran dan peta yang sama dan
sebangun. Perspektif sinkronik meliputi aliran fungsionalisme, strukturalisme adan
interpretivisme. Sasaran yang dituju dari aliran ini adalah menjelaskan bekerjanya
kebudayaan tertentu tanpa acuan waktu.3

Saifuddin mengutip S. Barrett (1989) dan menurunkan detail dari Perspektif


Konstelasi Teori-Teori Antropologi (2005: 29).

Jadi antara lain dijelaskan bahwa pada pelana perspektif konstelasi teori-teori
antropologi, terdapat tujuh aliran sebagai berikut:

(1) Evolusionisme, terdiri dari Evoludionisme awal, Neo-evolusi, Ekologi Budaya,


Materialisme Kebudayaan, Sosiobiologi, Kebudayaan Materi.
(2) Konflik, terdiri dari Konflik Marx, Konflik non-Marx, Konflik Simmel, Konflik neo-
Marx.
(3) Tindakan Sosial, terdiri dari Tindakan sosial Weber, Tindakan sosial Bailey,
Tindakan sosial Parsons, Interaksionisme simbolik, Model generative (F. Barth),
Marxisme fenomenologis (Lukacs), Teori tukar-menukar

3
Saifuddin, Fedyani Ahmad. 2016. Logika Antropologi : Suatu Percakapan (Imajiner) Mengenai Dasar
Paradigma. Jakarta : Kencana
(4) Struktural-fungsionalisme, terdiri dari Fakta sosial Durkheim, Struktural-
fungsionalisme Inggris, Sistem teori, Sibernetika, Teori permainan, ANalisis
Jaringan Sosial
(5) Partikularisme-difusionisme historis, terdiri dari partikularisme historis Boas, Aliran
kurturkreise, Difusionisme Inggris, Etnohistoris
(6) Antropologi Psikologi, terdiri dari Kebudayaan dan Kepribadian, Neo-antropologi
psikologi, Analisis formal dan etnografi baru, Sosiolinguistik, Akulturasi, dan
Antropologi simbolik
(7) Srukturalisme, terdiri dari Alrhusser (Marxisme ilmiah), Etnometodologi, dan
Antropologi dialektika .4

4
Ibid. Hlm 29.
BAB lll : Kebudayaan dalam Perspektif Fungsionalisme Struktural
Dalam pandangan aliran fungsionalisme struktural dinyatakan kebudayaan merupakan
proses keterkaitan pengaruh satu subsistem atas subsistem lainnya. Contohnya seperti,
bagaimana religi memengaruhi terhadap kehidupan manusia. Antropologi struktural sendiri
mengkaji struktur logis dari kebudayaan yang ada di masyarakat.
Pemuka Perspektif Fungsionalisme
Fungsionalisme struktural menjadi satu madzhab di dalam antropologi budaya yang
semakin kuat dengan sentuhan ‘Brainslaw Malinowski (1884-1942)’ dalam pandangannya
mengatakan bahwa dimana-mana manusia mempunyai kebutuhan bersama yang bersifat
biologis dan psikologis. Dan fungsi kebudayaan adalah untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Tokoh lain yang dapat dinisbatkan dengan madzhab perspektif fungsionalisme ini adalah
‘Leslie White (1900-1975)’ dalam kajiannya ia melihat bahwa kebudayaan sebagai
kumpulan dari tiga komponen yaitu; komponen teknologi-ekonomis, sosial dan ideologi.
Dalam hal ini, ia menulis sebuah karya terkenal yaitu The Evolution of Culture. Bagi Leslie,
perkembangan kebudayaan merupakan reaksi atas perkembangan dan kemajuan teknologi.
Kebudayaan dalam Perspektif Struktural Fungsional
Dalam pandangan antropologi ini kebudayaan adalah keterkaitan antara subsistem
kebudayaan yang menghasilkan sesuatu yang lain, misalnya keterkaitan struktur sosial
dengan kebudayaan pada suatu masyarakat tertentu. Kebudayaan terdiri dari nilai-nilai,
kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik perilaku manusia
dan tercermin di dalam perilakunya masing-masing.
Dari sisi metodologi, ada titik penekanan dari antropologi struktural fungsional, yaitu
dalam kajian tentang budaya yang bercorak sistemik, artinya keterkaitan antara subsistem
satu dengan yang lainnya sangat kuat. Dengan kata lain peneliti harus mengeksplorasi ciri
sistemik kebudayaan. Analisis struktural fungsional dalam antropologi lebih cenderung
bersifat mikro yang unit analisisnya meliputi kasus di dalam suatu lokus terbatas (desa,
komunitas, etnis, dan lain sebagainya).
Perbandingan Buku Lain dan Analisis Bab III

Bronislaw Malinowski (1884-1942), merupakan tokoh yang mengembangkan teori


fungsional tentang kebudayaan, atau a functional theory of culture (Koentjaraningrat, 1980
:162) . Inti dari teori fungsional Malinowski adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu
sebenarnya bermaksud memuaskan rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk
manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kebutuhan itu meliputi kebutuhan
skunder, kebutuhan mendasar yang muncul dari perkembangan kebudayaan itu sendiri.5

Konsep kebudayaan terintegarasi secara menyeluruh dalam upaya pemenuhan


kebutuhan manusia. Kebudayaan sebagai seperangkat sarana adalah masalah mendasar.
Kepercayaan, dan magik sekalipun, harus mengandung inti utilitarian, karena ia memenuhi
fungsi psikologis. Aturan-aturan dan ritual magik dan agama tertentu dapat memantapkan
kerjasama yang diperlukan, di samping juga untuk memenuhi kepuasan pribadi sesorang.

Maslows Hierarchy of Needs, menguraikan tingkat kebutuhan yang dibutuhkan


manusia ada 5 tingkatan yaitu dari kebutuhan tingkat terendah sampai tertinggi meliputi6 :
1. Physiologi, kebutuhan faal tubuh meliputi pemenuhan kebutuhan akan rasa haus, lapar,
istirahat dan aktivitas.
2. Safety –Scurity, yaitu kebutuhan akan rasa aman yang bebas dari takut dan cemas atau
kekhawatiran.
3. Belongings and love, manusia membutuhkan harta benda dan kasing sayang untuk
mendukung eksistensinya
4. Esteem – self and others, kebutuhan manusia akan penghargaan pribadi dan orang lain.
5. Self actualization, personal self fulfillment, kebutuhan akan aktualisasi diri, pemenuhan
diri pribadi.

Analisis Kedua Buku

Apa yang diuraikan di atas adalah merupakan kebutuhan yang ideal. Namun dalam
kenyataannya untuk memenuhi setiap kebutuhan itu harus disertai faktor pendukung. Bila
kita amati dalam kehidupan masyarakat, masih banyak hal yang masih perlu diperbuat dan
diusahakan oleh setiap individu maupun masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhannya dari
tingkat paling bawah sampai ketingkatan yang teratas.

5
Maslow, H Abraham. Teori Motivasi dengan Ancangan Hirarki Kebutuhan Manusia. ppm
6
Ibid.
BAB IV : Kebudayaan dalam Perspektif Antropologi Kognitif
Antropologi kognitif adalah sub bidang antropologi budaya yang mengkaji antar
hubungan bahasa, kebudayaan, dan kognisi. Pada antropologi kognitif terfokus pada kajian
mengenai pikiran manusia. Aliran ini banyak dikembangkan oleh Ward H. Goodenough,
seorang ahli linguistik yang tertarik pada kebudayaan, sekitar pertengahan tahun 1950-an.
Antropologi kognitif mempunyai hubungan dekat dengan pandangan bahwa kebudayaan
berisi mengenai pikiran, mood, perasaan, keyakinan, dan nilai yang disebut sebagai perspektif
fenomenologi, dan juga analisis budaya yang memandang bahwa menganalisis budaya lebih
melihat isi pikiran dan perasaan daripada perilaku manusia.
Kebudayaan dalam Pandangan Antropologi Kognitif
Dalam pandangan antropologi ini menurut Ward H. Goodenough, kebudayaan adalah
suatu budaya dalam masyarakaat yang terdiri dari apa pun yang harus diketahui atau
dipercaya untuk dapat berfungsi sedemikian rupa, sehingga dianggap pantas oleh anggota-
anggotanya. Kebudayaan bukanlah fenomena material, tidak terdiri atas benda-benda,
perilaku, dan emosi melainkan lebih merupakan suatu pengaturan hal-hal tersebut.
Antropologi banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran linguistik dimana bahasa
sebagai bahan mentah kebudayaan yang melahirkan antropologi kognitif ini, oleh karena itu
antropologi kognitif percaya bahwa pemahaman terhadap orientasi budaya para anggota
masyarakat dapat dicapai melalui analisis bahan-bahan linguistik. Sub bidang lain yang
mempengaruhi munculnya antropologi kognitif ini ialah kebudayaan dan kepribadian. Objek
kajian sub bidang ini adalah hubungan antara kepribadian individu dengan kebudayaan atau
pasikologi individu dengan kebudayaan.
Antropologi Kognitif untuk Kajian Budaya Lokal
Dalam bagian ini akan dikaji secara selintas tentang dua karya penting yang dapat
dikategorikan sebagai sebuah karya dalam perspektif antropologi kognitif.
Yang pertama, karya Niels Mulder ‘Individual and Society in Java’ dalam karyanya, ia
mengkaji dinamika hubungan antara individu dan masyarakat sebagaimana dalam pandangan
orang jawa. Kajian ini tertarik pada akses untuk memahami kode komunikasi dan identifikasi
sebagai presentasi idenya. Kajian ini juga diarahkan untuk melihat perubahan di tengah
kontinuitas, yakni perubahan yang menyangkut pandangan mereka tantang etika dan praktik
kehidupan yang dikaitkan dengan perubahan-perubahan pengalamannya.
Yang kedua, karya Ben Anderson ‘Mitologi dan Toleransi Orang Jawa’ dalam
karyanya ia memberikan pemahaman tentang karakter orang jawa sebagaimana tergambar di
dalam dunia wayang yang merupakan dasar moral orang jawa mengenai kehidupan. Bagi
orang jawa, sikap yang pantas adalah sikap yang bersarkan tingkatannya.
Dalam karya Ben Anderson ini menyimpulkan bahwa memahami karakter orang Jawa
tidak bisa menggunakan preferensi budaya lain karena karakter orang Jawa mengandung
‘keunikan’ yang disebut sebagai relativisme Jawa yang mempunyai pluralisme moralitas
yang tidak sama dengan budaya lain atau tempat lain. Untuk itu, parameter moral dalam
budaya Jawa itu bersifat ambigu atau tidak jelas karena tergantung pada konteksnya.

Perbandingan Buku Lain dan Analisis Bab IV


Kognitif berarti pengetahuan. Teori budaya yang ditawarkan oleh Keesing
menyebutkan bahwa suatu kebudayaan merupakan sebuah sistem yang diturunkan secara
sosial dari pola – pola kehidupan antara manusia dengan lingkungannya. Sedangakan
Goodenough memandang bahwa kebudayaan merupakan suatu pengetahuan bersama yang
dipelajari oleh orang lain dan bukan karena adanya faktor krturunan. Keduanya, baik Keesing
maupun Goodenough sama – sama memahami budaya sebagai sebuah sistem pengetahuan
yang diajarkan atau diperoleh melalui proses kognitif atau dengan cara belajar.
Sejalan dengan hal tersebut, Goodenough (1957:167) menjelaskan kembali bahwa budaya
bukan merupakan suatu fenomena materi, benda, manusia, tingkah laku, emosi, dan
sebagainya. namun menurutnya, budaya sendiri merupakan sebuah organisasi dari hal – hal
tersebut. Selain itu, pada bukunya yang berjudul Comment on Cultural Evolution,
Goodenough lebih menegaskan bahwa : “… budaya merupakan standar untuk menentukan
apa … guna menentukan bisa jadi apa … guna menentukan bagaimana seseorang
merasakannya, … guna menentukan apa yang harus dilakukan tentang hal itu … guna
menentukan bagaimana melakukannya”. Dari kedua penjelasan dari Goodenough diatas dapat
diketahui bahwa kebudayaan itu dimiliki oleh seseorang dengan maksud agar berperilaku
sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku dalam masyarakat agar dapat diterima oleh
masyarakat luas, budaya bukan sesuatu yang wujudnya berupa material atau benda – benda.
Budaya ada dalam pikiran manusia yang bisa diwujudkan dalam hal berorganisasi antar
sesama masyarakat. 7

7
Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer (Terjemahan oleh Samuel
Gunawan, dari judul asli: Cultural Anthropology, A Contempory Perspective. Jakarta : Erlangga
Analisis Kedua Buku

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa Goodenough memandang budaya secara
epistemologi berada dalam alam yang sama dengan bahasa sebagai aturan ideasional yang
berada di luar dari bidang yang dapat diamati. Jadi dalam pandangan kognitif ini, kebudayaan
secara epistemologis dipahami seperti bahasa sebagai suatu sistem sandi atas gagasan yang
terletak dibalik suatu peristiwa atau fenomena yang diamati. Yang harus dicari yaitu
bagaimana masyarakat dapat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran lalu kemudian
menerapkan atau menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan sehari – harinya.
Penekanan dari kebudayaan sebagai sistem kognitif adalah pada sistem atau perangkat
pengetahuannya yang merupakan suatu pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat.
Dalam jurnal Teori – Teori tentang Budaya milik Keesing, bahasa merupakan satu subsistem
dari budaya, dimana peneliti antropologi kognitif berharap atau menduga bahwa metode –
metode serta model – model linguistik dapat digunakan pada bidang budaya yang lain.
Analisis kebudayaan sebagai sistem kognitif tidak berkembang terlalu jauh di luar usaha
pemetaan terhadap daerah – daerah semantik yang terikat secara terbatas dan ketat.
Optimisme penyebaran antropologi kognitif pada awalnya hanya menghasilkan beberapa
kepingan karangan deskripsi kultural saja, bahkan antropologi kognitif hanya menghasilkan
beberapa sketsa tentatif tentang struktur dan organisasi kebudayaan sebagai sistem kognitif
secara menyeluruh.
BAB V : Kebudayaan dalam Perspektif Strukturalisme
Kebudayaan dan tradisi
Penilaian terhadap kebudayaan berdasarkan ukuran kebudayaan lain pada hakikatnya
merupakan imbas dari pemikiran posivistik, yang beranggapan bahwa budaya suatu etnis
lebih tinggi daripada etnis lain, dengan menggunakan tolak ukur budaya etnis lain itu.
Pandangan ini diturunkan dari teori rasialis yang beranggapan bahwa terdapat ketidaksamaan
diantara berbagai ras manusia sehingga suatu ras akan lebih unggul dibanding dengan ras
lainnya di dunia ini. Konsekuensinya adalah munculnya konsep diskriminasi dan eksploitasi
satu ras pada ras lainnya.
Kebudayaan adalah produk atau hasil dari aktivitas nalar manusia, dimana ia memiliki
kesejajaran dengan bahasa yang juga merupakan produk dari aktivitas nalar manusia tersebut.
Tradisi bukan bagian dari kebudayaan, melainkan sebuah relasi yang mengandung
kesejajaran sebab akibat. Artinya kebudayaan bukan yang menyebabkan adanya tradisi dan
sebaliknya karena antara kebudayaan dan tradisi memiliki sumber yang sama, yaitu pikiran
manusia atau human mind. Tujuan mempelajari antropologi menurut Levi-Strauss adalah
menemukan model atau pola sehingga dapat memahami tentang pikiran dan perilaku di
dalam kehidupan masyarakat.
Strukturalisme dalam Antropologi
Dalam ilmu Antropologi, strukturalisme Levi-Strauss terlebih dahulu bersentuhan dengan
berbagai pemikiran antara lain pemikiran dari Ferdinand de Saussure. Ia memperoleh
pengaruh tentang Signifed (tinanda) dan signifer (penanda) , form (bentuk) dan content (isi) ,
language (bahasa) dan parole (ujaran) , syncrhonic (sinkronik) dan diachronic (diakronik) ,
syntagmatic (sintagmatic) dan associate (paradigmatik).
Pengaruh Jacobson ialah pada sisi fonem. Dengan memandang bahwa bahasa hanyalah
sebagai suatu sistem bunyi maka dengan sendirinya “kata” tidak lagi dapat dianggap sebagai
satuan linguistik yang paling dasar. Jadi, fonem merupakan unsur terkecil bahasa yang
membedakan makna.
Pengaruh Troubetzo juga sangat besar,terutama mengenai analisis struktural. Baginya,
fonem ialah suatu konsep linguistik dan bukan konsep psikologis. Artinya fenom sebagai
sebuah konsep atau ide berasal dari ahli bahasa dan bukan dari pengetahuan pemakai bahasa.
Truobetzkoi menyatakan bahwa analisis struktural hendaklah beralih dari tataran yang
disadari ke tataran nirsadar yang tidak berdiri sendiri, yaitu dengan melihat relasi antaristilah
atau antarfenom tersebut dan perlu juga memperhatikan sistem fenomis dan menampilkan
struktur dari sitem tersebut selanjutnya merumuskan hukum tentang gejala kebahasaan.
Struktur dibagi menjadi dua, yaitu struktur permukaan dan struktur batin. Struktur luar
ialah relasi antar unsur yang dapat dibuat atau dibangun berdasarkan atas ciri empiris dari
relasi tersebut. Sedangkan struktur dalam ialah susunan tertentu yang dibangun berdasarkan
atas struktur lahir yang telah berhasil dibuat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari
fenomena yang dipelajari. Transformasi adalah konsep berbeda dengan perubahan.
 Mitos dan Tradisi dalam Struktur Pemikiran Masyarakat
Konsep eksistensial berlawanan dengan esensial, selain yang teoritikal berlawanan
dengan esensial, selain yang teoritikal berlawanan dengan praktikal. Namun demikian,
ternyata strukturalisme yang di dalam analisisnya menggunakan konsep binary opposition
dan tidak mencukupi ketika digunakan untuk mengkaji sebuah tradisi pemikiran yang
kompleks seperti corak pemikiran orang Jawa sehingga aspek kompleksitas pemikiran Jawa
mengenai posisi dan peran Semar di dalam dunia kehidupan tidak dapat dijelaskan dengan
korespondensi, tetapi melalui penjelasan koherensi.
Perbandingan Buku Lain dan Analisis Bab V
Menurut Husen (ed.) (2001: 28), gagasan kebudayaan sebagai sistem struktural
bertolak dari anggapan bahwa kebudayaan adalah sistem mental yang mengandung semua hal
yang harus diketahui individu agar dapat berperilaku dan bertindak sedemikian rupa sehingga
dapat diterima dan dianggap wajar oleh sesama warga masyarakat. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa strukturalisme melihat kebudayaan sebagai suatu sistem masyarakat sebagai
struktur yang teratur dan berpola. Dengan tujuan untuk memahami dan menjelaskan struktur
tersebut. Cara keluar dari struktur dan strukturalisme adalah dengan negosiasi budaya.8

Analisis Kedua Buku

Jadi, dalam prespektif strukturalisme berusaha menafsirkan kembali tradisi


masyarakat yang tengah berkembang melalui perspektif pengalaman dan kehidupan sehari-
hari sekarang ini. Perspektif ini mengajak untuk mencermati ide guna memperluas gagasan
kebudayaan karena kebudayaan itu sendiri sangat luas cakupannya. Semua aspek kehidupan
merupakan bagian dari budaya

8
Husen,Ida Sundari dan Rahayu Hidayat (ed.) . 2001. Meretas Rumah Bahasa, Semiotika dan Budaya .
Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya.
BAB VI : Kebudayaan dalam Perspektif Antropologi Simbolik – Intrepetatif
Kebudayaan dalam Perspektif Antropologi Simbolik
Kebudayaan merupakan istilah yang kompleks. Dari sekian banyak pengertian kebudayaan,
Kluckholn telah merangkumnya menjadi berikut :
1. Keseluruhan cara hidup suatu masyarakat
2. Warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya
3. Suatu cara berpikir,merasa dan percaya
4. Suatu abstraksi dan tingkah laku
5. Suau teori pada pihak antropolog tentang cara suatu kelompok masyarakat nyatanya
bertingkah laku.
Oleh karena itu, dalam perspektif simbolik, kebudayaan, merupakan keseluruhan
pengetahuan manusia yang dijadikan sebagai pedoman / penginterpretasian keseluruhan
tindakan manusia. Kebudayaan yaitu pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini
kebenarannya oleh masyarakat tersebut.
Antropologi dalam sudut pandang pelaku
Pendekatan fungsional dinamis, tidak membedakan segi-segi kultural yang bermakna
logis dari pola ritual itu, dan segi-segi struktural sosial yang kausal fungsional sebab melalui
pembedaan itu kiranya akan dapat dijadikan sebagai pisau analisis yang memadai. Melalui
pisau nalisis ini akan dapat diketahui sumber penyebabnya yaitu sebuah ketidaksesuaian
antara kerangka kerja, makna yang bersifat kultural dan pola interaksi sosial. Sebuah
ketidaksesuaian yang disebabkan oleh ketahanan sebuah sistem simbol religus yang
disesuaikan dengan struktur sosial petani di sebuah lingkungan kota.

Perbandingan Buku Lain dan Analisis Bab VI :

Menurut Keesing, jalan lain dalam membahas suatu kebudayaan adalah dengan cara
memandang kebudayaan – kebudayaan tersebut sebagai sistem simbol dan pemaknaan yang
dimiliki bersama ole masyarakat. Kebudayaan – kebudayaan tersebut tidak dimiliki oleh
individu, namun dimiliki bersama oleh suatu kelompok masyarakat. Geertz menganggap
pandangannya tentan budaya adalah semiotik. Mempelajari budaya adalah berarti
mempelajari aturan – aturan makna yang dimiliki bersama tersebut. Simbol merupakan suatu
hubungan antara penanda dan petanda berdasarkan kesepakatan bersama. Misalnya saja bagi
masyarakat Indonesia, bendera merah putih (penanda) memiliki makna yang bisa kita baca
(petanda) yaitu berani dan suci, dimana warna merah berarti berani dan putih berarti suci.
Namun, mungkin saja bagi kebudayaan lain di luar masyarakat Indonesia belum tentu
memiliki makna yang sama dengan makna yang dimengerti oleh masyarakat Indonesia itu
sendiri. Dalam menyampaikan suatu konsepsi, simbol memiliki peranan yang sangat penting.
Simbol sendiri dapat berupa kata, angka, gestur tubuh yang bermakna, dan lain sebagainya.
Seperti layaknya kalimat, suatu simbol dapat langsung dibaca maknanya, namun simbol tidak
selalu berdiri sendiri sehingga maknanya dapat dibaca saat simbol tersebut muncul
bersamaan dengan simbol – simbol yang lain. Geertz dengan jelas telah mendefinisikan
bahwa kebudayaan merupakan suatu sistem makna dan simbol yang disusun … dimana
individu – individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya, dan memberika
penilaian – penilaiannya ; suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik yang
diwujudkan ke dalam bentuk – bentuk simbolik melalui sarana di mana orang – orang
mengomunikasikan, mengabadikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap – sikapnya
ke arah kehidupan ; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber
informasi yang ekstrasomatik. 9

Analisis Kedua Buku :

Jadi karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka dari itu proses
budaya harus lah dibaca, diterjemahkan, dimaknai, dan diinterpretasikan. Asumsi dari
kebudayaan sebagai sistem simbolik yaitu bahwa budaya terdiri atas simbol – simbol yang
dimiliki dan telah disepakati bersama oleh anggota suatu masyarakat, tergantung pada
persepsi seseorang dalam mengartikan atau menginterpretasikan makna dari simbol – simbol
tersebut.

9
Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer (Terjemahan oleh Samuel
Gunawan, dari judul asli: Cultural Anthropology, A Contempory Perspective. Jakarta : Erlangga
BAB VII : Komunitas Islam di Tengah Perubahan “Tradisi Lokal pada Komunitas
Islam Pesisir Tuban dalam Persepktif Simbolik Interpretatif”
Kontak kebudayaan antara pendatang yang sering singgah dengan masyarakat pesisir
menyebabkan adanya proses Tarik menarik antara budaya local dengan budaya luar . Yang
kemudian terjadilah asimilasi budaya, seperti jika di dalam tradisi islam puris disebut
sebagai bid’ah atau penambahan ajaran islam dari kerangka berpikir setempat yang tidak
diajarkan agama islam, contohnya yaitu tradisi manganan di tempat yang dianggap keramat
atau pemberian penghormatan kepada para wali melalui tradisi nyekar secara rutin, upacara
lingkaran hidup dan sebagainya. Perbedaan cara pandang dari perspektif little tradition dan
great tradition telah menyebabkan adanya perbedaan dalam menyikapi hal tersebut.
Ternyata masyarakat memiliki rasionalitasnya sendiri-sendiri. Meskipun usaha-usaha
pemurnian atau purifikasi terhadap ajaran Islam telah dilakukan, namun keterpengaruhan
tradisi local masih menonjol. Dengan demikian, yang menjadi masalah dalam obyek kajian
ini adalah :
1. Bagaimana realitas empiric di komunitas islam pesisir dalam mempertahankan
berbagai variasi tradisi local di dalam berhadapan dengan gerakan purifikasi yang
terus berlangsung
2. Dimensi sosial, budaya dan religious apakah yang menjadi dasar dan motif bagi
komunitas pesisir di dalam mempertahankan tradisi lokalnya di tengah berbagai usaha
gerakan purifikasi yg terus berlangsung?
3. Di antara berbagai perubahan yang terjadi, dimensi sosial, budaya, dan religious mana
yang tetap dipertahankan dan diensi mana yang ditinggalkan?

Hasil Studi :
1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di kecamatan Palang, Tuban, Jawa Timur, dengan desa-
desa di wilayah pesisir yaitu desa Panyuran, Tasikmadu, Kradenan, Gesikharjo, Palang,
Glodok, Leran Kulon, Karangagung dan Pliweran. Masyarakat Palang terdiri dari masyarakat
pertanian dan nelayan. Mereka terbagi menjadi dua golongan dalam perspektif sosio-
religiusnya yaitu kaum NU dan kaum Muhammadiyah. Di wilayah masyarakat yang
berpaham NU, tradisi upacara ritual dengan berbagai variasinya juga menonjol. Hal tersebut
berbeda dengan masyarakat yang berpaham Muhammadiyah, dimana upacara-upacara
keagamaan yang biasa dilakukan oleh orang NU tidak dilakukan.
2. Tempat sacral, upacara tradisi dan politik local

Menurut Islam Jawa, ada tiga lokus sacral dalam kehidupan , yaitu masjid, makam dan
sumur. Ketiga lokus itu dalam konsepsi kebudayaan disebut sebagai cultural sphere atau
ruang budaya yang mempertemukan berbagai kelompok sosial, yaitu kaum abangan dan
santri. Masjid adalah tempat bertemunya kaum santri yang berafiliasi sosial keagamaan NU
dan Muhammadiyah, sedangkan sumur dan makam adalah tempat bertemunya kaum abangan
dan santri NU. Medan budaya yang mempertemukan kaum abangan dengan NU. Pertemuan
budaya tsb difasilitasi oleh upacara-upacara keagamaan baik diluar rumah seperti sumur dan
makam maupun di dalam rumah yaitu berbagai upacara rumah tangga(lingkaran hidup, hari
baik atau hari lainnya) bertemali dengan semakin banyaknya kaum abangan yang menjadi
NU dalam makna keagamaannya.

Hubungan NU dengan Muhammadiyah adalah hubungan yang polaristik, terutama


dilihat dari amalan agama(keislaman) maupun afiliasi politiknya.

1. Keunikan Tradisi Lokal

Keunikan tradisi local masyarakat pesisir Palang,Tuban, Jawa Timur dapat terlihat dari
berbagai pelaksanaan upacara ritual yang diselenggarakan sejak dahulu hingga saat ini.
Dalam setiap upacara akan tampak sesuatu yang dianggap sacral atau suci. Dan juga perlunya
diberi persembahan. Dalam komunitas local, persembahan ini berupa pemberian sesaji dalam
berbagai variasinya. Seperti adanya tradisi “penyucian” dalam upacara kehamilan, melalui
ritus “bacaan doa”, bacaan ayat-ayat suci al-quran dan juga pembuatan symbol-simbol
kesucian seperti penulisan nama Maryam, Yusuf atau Muhammad. Upacara di kuburan orang
meninggal juga mengandung penghormatan kepada nenek moyang yang sudah meninggal.
Lambang penghormatan tersebut dijumpai dalam kegiatan bersujud di hadapan makam orang
yang diziarahi.

2. Tempat tempat suci

Tempat suci yang dimaksud adalah lebih terkait dengan tempat atau lokus dimana
terdapat unsur sacral dimaksud, seperti sumur, makam dan masjid. Sumur, makam dan masjid
adalah medan budaya atau cultural sphere yang mempertautkan berbagai segmen masyarakat
di dalamnya. Di dalam arena budaya ini tentunya akan mempertemukan berbagai segmen
masyarakat. Jika di golongkan ke dalam santri dan abangan, dan varian santri terpilah
menjadi dua, yaitu NU dan Muhammadiyah. Masjid akan mempertemukan kaum NU dan
Muhammadiyah. Hal ini berbeda dengan kaum abangan yang mendatangi masjid untuk
kepentingan beribadah. Sebaliknya, golongan abangan akan mendatangi sumur dengan
upacara ritual nyadran sebab mereka berkepentingan mengenai hal ini. Untuk lebih jelasnya
diberikan table medan budaya dari berbagai varian

Medan budaya Varian Keterangan


Sumur Abangan dan NU Upacara Nyadiran
Kuburan atau Makam Abangan dan NU Upacara Manganan
Masjid Muhammadiyah dan NU Beribadah kepada Allah
Dengan bertemunya abangan dan NU dalam medan budaya tersebut, perubahan-
perubahan pun dapat terjadi seiring semakin gencarnya proses islamisasi kultural yang
berlangsung. Perubahan dari tradisi nyadran dari festival kerakyatan sindiran, ke kegiatan
tahlilan atau yasinan adalah fenomena perubahan dalam tatanan system kognitif yang diikuti
dengan perubahan system tindakan dan hilangnya system symbol yang selama ini menjadi
acuan dalam tindakan mereka.

Kesimpulan

Mempertahankan tradisi local pada komunitas pesisir sebagai fenomena social-


religius ternyata tidak sebagaimana yang digambarkan oleh beberapa ahli di bidang
antropologi, misalnya, Geertz menyatakan bahwa ada arena konfliktual yang menonjol.
Sebenarrnya, ada proses akulturasi yang terjadi di antara Tarik menarik untuk saling
menerima dan memberi melalui medan budaya yang mempertemukan keduanya, santri (NU)
dan abangan. Tampak bahwa NU telah melakukan pemurnian agama dalam bentuk yang
berbeda dari Muhammadiyah. Muhammadiyah banyak kehilangan momentum untuk
melakukan pemurnian agama dari dalam, sehingga , banyak kaum abangan yang kemudian
menjadi NU, bukan Muhammadiyah. Keajegan dan perubahan itu , ternyata di fasilitasi oleh
pola bagi tindakan, yaitu ajaran agama dalam pengertian lokalitasnya. Selain oleh factor
social, yaitu kemampuan untuk melakukan interaksi dalam wadah budaya yang sama. Medan
budaya itu menjadi arena untuk melakukan perubahan dari dalam dan tidak penetrative.
Komunitas ini sedang berada dalam tahap kemajuan, namun tidak kehilangan aura
spiritualitasnya seperti yang dijelaskan oleh Weber. Karena di lapangan membuktikan bahwa
di tengah arus perubahan, kehidupan spiritualitas juga semarak dengan tetap diberlakukannya
upacara-upacara ritual.

Oleh karena itu, tidak ada sesuatu yang stagnan dalam kehidupan, kecuali
menngalami proses perubahan dan ternyata merupakan keniscayaan dalam kehidupan
manusia, termasuk komunitas pesisir dengan tradisi lokalnya.

Perbandingan Buku Lain dan Analisis Bab VII

Kajian agama secara empirik dapat diarahkan ke dalam dua aspek, yaitu manusia dan
budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi
keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empirik adalah
tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan
menjadi sempurna. Kemudian sebagai akibat dari pentingnya tentang kajian manusia, maka
mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga sangat penting. 10

Analisis Kedua Buku :

Dari Kedua buku tersebut yakni Kebudayaan sebagai sistem makna yang memberikan
arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat
dipisahkan dalam memahami manusia. Kedua, kajian antropologi juga memberikan fasilitas
kepada agama untuk melihat keragaman budaya dalam praktek keberagamaannya. Yakni
mengkaitkan sistem-sistem makna tersebut pada struktur sosial dan proses psikologis.
Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan sebuah kajian agama
yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross culture akan memberikan gambaran yang
variatif tentang hubungan agama dengan budaya. Peranan pemujaan kepada leluhur, upacara-
upacara kurban, peranan roh dalam praktek pertanian, peranan yang Illahi dalam kontrol
sosial, atau peranan ritus inisiasi dalam mendorong kedewasaan, bukanlah usaha-usaha yang
tidak penting, akan tetapi mengusahakan semua itu merupakan pandangan akal sehat yang
dapat menentukan nasib hidup mereka.

10
Bryan, Morris. 2013. Antropologi Agama Yogyakarta: AK Group. Hlm 126
BAB VIII : Tradisi Perempuan Meminang di Kabupaten Tuban
Meminang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Peran laki-laki
dalam proses awal terjadinya perkawinan lebih dominan. Terdapat variasi lain dalam tradisi
perkawinan, yakni meminang dilakukan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki.
Tradisi ini terjadi di daerah Tuban, sebagian Lamongan dan Bojonegoro. Dimana keluaerga
perempuan berhak menentukan siapa calon menantu yang akan dipilihhnya dan pihak
keluarga laki-laki berhak menolah pinangan. Dalam tradisi perkawinan ini, posisi laki-laki
lebih tinggi dibanding perempuan sehingga banyak laki-laki yang secara ekonomi bergantung
kepada perempuan.
Perempuan yang berasal dari keluarga kaya akan lebih mudah mendapatkan jodoh,
juga perempuan yang cantik dibandingkan dengan perempuan yang tidak cantik dan tidak
kaya. Untuk itu, terdapat semacam diskriminasi perlakuan terhadap keluarga tidak mampu.
Dalam tradisi tersebut, status keluarga perempuan turut berperan di dalam proses perkawinan.
Dalam wacana masyarakat pedesaan diungkap dengan pernyataan, larang bawang murah
lombok yang maksudnya adalah laki-laki mahal harganya, sedangkan perempuan murah
harganya. Hal tersebut menyebabkan perempuan seringjkali menolerir terhadap “kesalahan”
laki-laki sebagai akibat terhadap begitu pentingnya laki-laki dalam kehidupan dan menjadi
kelompok yang dibutuhkan.
Di samping itu, di kalangan masyarakat pedesaan juga terdapat semacam fenomena
ketakutan dimana keluarga perempuan terburu-buru untuk mengawinkan anaknya karena
takut tidak laku. Status atau posisi perempuan menjadi lebih rentan dibanding kaum laki-laki
dalam sebuah rumah tangga karena banyak anak perempuan yang belum cukup umur
dinikahkan karena “terpaksa”.
1. Upacara Perkawinan di dalam Kebudayaan Jawa
Secara teoritik-konseptional dalam budaya Jawa dikenal konsep meminang, yaitu pihak
keluarga laki-laki meminang terhadap perempuan. Dalam tradisi jawa, perkawinan selalu
didasarkan ataas kesepakatan awal yang disebut sebagai meminang atau lamaran, dimana
pihak keluarga laki-laki meminang kepada pihak keluarga perempuan.
Menurut Hildred Geertsz, pola pinangan secara formal yang benar menurut kejawen
terdiri atas tiga tahap :
 Pertama, semacam perundingan antara kedua belah pihak agar nantinya tidak ada rasa
malu ketika ditolak.
 Kedua, berupa kunjungan resmi pemuda kerumah si gadis disetai ayah dan sanak
saudaran. Kunjungan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan saling mengenal
antar keluarga satu sama lain.
 Ketiga, ialah pinangan resmi menentukan kapan hari perkawinan dilangsungkan.

2. Upacara di dalam Tradisi Perkawinan


Di dalam tradisi jawa, upacara yang terkait dengan kehidupan dikonsepsikan oleh para
ahli antropologi sebagai upacara lingkaran hidup ( rites of the life cycle ). Upacara
perkawinan disebut kepangggihan (pertemuan) dan selalu diselenggarakan di rumah
pengantin perempuan. Ketika terjadi upacar perkawinan, pihak laki-laki harus memberikan
kepada pihak perempuan, yaitu berupa peningset dan sasrahan. Peningset merupakan
seperangkat pakaian lengkap dan sasrahan biasanya berupa kerbau atau sapi yang akan
disembelih saat kegiatan upacara.
3. Hubungan suami istri antara Hak dan Kewajiban
Suami dan istri adalah konsep yang diakibatkan oleh adanya proses perkawinan antara
dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan yang telah bersepakat untuk mengikat dan
berserikat dalam sebuah lembaga keluarga yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban
dalam mengarubgi sebuah kehidupan bersama.
Kesimpulan
1. Tradisi peminangan di Tuban, Jawa Timur, ternyata memiliki perbedaan dengan
tradisi peminangan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada. Bentuk variasi tradisi
itu ialah peminangan yang dilakukan oleh keluarga perempuan kepada laki-laki
2. Ditengah perubahan sosial yang terus terjadi, dapat dilihat adanya fenomena terus
berlangssung (ajeg) dan ada fenomena yang berubah yang ajeg adalah pola
peminangan yang dilakukan oleh perempuan kepada laki-laki sedesa, luar desa, dan
luar kecamatan dengan peminangan yang memiliki kekhasan dengan variasi yang
mengalami perubahan, sedangkan yang berubah lebih nyata ialah akomodasi keluarga
laki-laki yang akan dijodohkan dengan perempuan yang memiliki tradisi berbeda.
3. Sebagai akibat peminangan yang dilakukan oleh keluarga perempuan, posisi
perempuan lebih membutuhkan terhadap laki-laki sehingga berakibat lebih lanjut,
yaitu secara ekonomis tanggung jawab perempuan lebih besar.
Perbandingan Buku Lain dan Analisis Bab VIII :

Peminangan Istilah meminang yang dalam bahasa Jawa disebut ngelamar berarti
permintaan yang menurut hukum adat berlaku dalam bentuk pernyataan kehendak dari satu
pihak kepada pihak lain untuk maksud mengadakan ikatan perkawinan. Peminangan dengan
maksud mengadakan ikatan prkawinan tidak hanya terjadi dalam hubungan muda mudi, akan
tetapi juga bisa terjadi karena adanya dorongan orang tua atau keluarga di antara mereka. Di
kalangan masyarakat adat Jawa ketika acara lamaran dilangsungkan biasanya diikutsertakan
membawa pemuda untuk diperkenalkan dengan keluarga mempelai wanita. Gadis keluar
dengan membawa suguhan atau jamuan untuk tamu-tamu. Acara seperti ini di Jawa biasanya
disebut “nontoni” atau “njaluk”. Selanjutnya jika lamaran itu diterima selang beberapa hari
kemudian dari keluarga mempelai pria datang lagi sambil membawa barang-barang, kue-kue
dan uang untuk diberikan kepada keluarga mempelai wanita, di Ponorogo Jawa Timur ini
disebut sebagai tugel dino, di Jawa Tengah disebut saserahan.11

Kebiasaan keluarga yang adat Jawanya sangat melekat atau mendarah daging, akan
menentukan hari pernikahan sangat memperhatikan weton (hari kelahiran) dari kedua calon
mempelai, apakah pada hari itu sebelumnya ada salah satu keluarganya.yang meninggal
dunia. Seandainya ada maka dicari hari lain, karena menurut kepercayaan mereka jika acara
resepsi tetap dilaksanakan pada hari tersebut akan menyebabkan hidup mereka sengsara (pati
sandang, pati pangan dan pati papan). Kepercayaan seperti itulah yang tidak dikehendaki oleh
ajaran Islam yang mengajarkan iman kepada takdir baik dan takdir buruk Allah. Mereka lebih
mendahulukan percaya kepada hari baik daripada takdir Allah. Terjadinya ikatan setelah
diterimanya lamaran dari pihak pria yang biasanya disebut pertunangan dapat diresmikan
dalam lingkungan keluarga dekat dan dapat pula diresmikan secara umum12

Analisis Kedua Buku :

Jadi dengan melihat aspek-aspek kemadaratan tradisi peminangan tersebut dalam


hukum Islam, sehingga dapat diketahui kejelasan atau status hukum dari pelaksanaan
peminangan tersebut. Penyusun berusaha memberikan solusi atau saran dalam rangka
penyempurnaan terhadap tradisi yang dirasa aneh atau berbeda dengan daerah-daerah lain
agar tidak terjadi ketimpangan sosial sehingga menyebabkan berkurangnya harga diri seorang

11
Amin, M Darori (ed). 2000. Sinkretisme dalam Masyarakat Jawa: Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta:
Gama Media.
12
Ibid.
perempuan di Desa Paciran. Berdasarkan pendekatan dan metode yang digunakan, terungkap
bahwa peminangan di Desa Paciran menurut pandangan ulama NU dan Muhammadiyah serta
masyarakat Paciran pada umumnya, pada dasarnya tidak menentukan keharusan siapa dari
salah satu pihak untuk melamar, oleh sebab itu tradisi peminangan tersebut tidak
bertentangan dengan syari'at Islam. Akan tetapi tradisi peminangan tersebut oleh masyarakat
dirasa adanya ketidak adilan gender bagi perempuan, karena dalam tradisi tersebut lebih
memberatkan dibanding dengan tardisi peminangan yang ada di daerah lain pada umumnya.
BAB IX : Saminisme di Tengah Perubahan Perspektif Perubahan Budaya
Samin merupakan sebutan yang diberikan oleh mereka sendiri untuk menandai adat
istiadat dan tindakan yang mereka nyatakan sebagai berbeda dengan masyarakat di
sekitarnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari tradisi, seperti upacara perkawinan, yang mereka
sebut sebagai adang akeh. Pada masa lalu, masyarakat Samin dapat diidentifikasi sebagai
masyarakat yang ingin membebaskan dirinya dari ikatan tradisi besar yang dikuasai oleh elit
penguasa dan kemudiaan membentuk persekutuan untuk melawan secara damai dengan
menggunakan tradisi rakyat jelata.
Seirama dengan perkembangan zaman, tradisi kecil Saminisme tersebut secara lambat
namun pasti bergerak ke tradisi besar, yang sekarang disebut sebagai tradisi Islam Jawa, yaitu
Islam yang di dalam tataran pemahaman, sikap, dan tindakan penganutnya berbeda dengan
Islam di tempat lain, atau dengan kata lain, Islam yang bernuansa lokal.
Komunitas Samin
Komunitas Samin adalah sekelompok orang yang mengikuti dan mempertahankan
ajaran Samin Surosentiko yang muncul pada masa kolonial Belanda, sekitar tahun 1890. Pada
mulanya, komunitas Samin hanyalah merupakan perkumpulan (sami-sami) orang yang
merasa senasib seperjuangan serta sama rat dan sama rasa. Di desanya, orang Samin
merupakan sekelompok orang yang tidak suka bergaul dengan lainnya kecuali dengan orang
Samin sendiri. Dalam rangka pelestarian ajaran Samin sebgai pedoman tingkah laku,
digunakanlah pewarisan nilai-nilai (inkulturasi) pada anak-anak kecil, bahkan kepada orang
dewasa. Namun demikian, tradisi tersebut semakin luntur disebabkan oleh faktor internal
yang berupa ketiadaan sarana pelestarian, seperti ketiadaan teks ajaran Samin, dan lain-lain.
Gerakan Samin: Perlawanan Terhadap Pemuka Agama dan Negara
Gerakan Samin sebenarnya adalah gerakan perlawanan terhadap pemerintahan dan
agama. Saminisme ialah sikap yang berupa ketidakadilan agraris, negara, dan pemerintah
yang secara resmi memungut uang. Mereka menolak kebenaran Allah, sebgai Tuhan orang
Islam yang dianggapnya sebgai rekayasa manusia atau timbul dari pemikiran manusia.
Pergeseran dari Tradisi Kecil ke Tradisi Besar
Pandangan hidup orang Samin tentunya tidak dapat dilepaskan dari tradisi besar
kebudayaan Jawa yang melingkupinya, yaitu tiga konsep dasar dalam pola hidup rukun,
harmoni dan selamet. Tradisi Saminisme sekarang sudah berubah. Artinya, Saminisme sudah
bukan lagi menjadi kebanggaan dalam struktur sosial dimana mereka hidup. Ditinjau dari
sistem nilai, Saminisme sudah tidak lagi menjadi aturan dalam pluralitas nilai yang berada di
tengah-tengah kehidupan mereka. Ditinjau dari kerangka makna, kerangka pengetahuan
tentang Saminisme telah semakin berkurang. Ditinjau dari tingkah laku, perubahan tradisi
tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa mereka, terutama generasi muda, telah berlaku
berbeda dengan generasi tuanya.
Studi Budaya dan Signifikansinya dalam Upaya Rekonstruksi Kebudayaan Nasional
Pascakrisis

Budaya dalam konsepsi antropologi simbolis, terutama oleh Geertz, sinyatakan


mengandung pengertian sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem makna.
Kebudayaan, dengan demikia memiliki dua pola yang saling terkait, yaitu kebudayaan
sebagai pola bagi tindakan dan sebagai pola dari tindakan atau disebut sebgai model of
behaviour dan model for behaviour. Kebudayaan dalam artian ini tidak sama dengan
konsepsi kebudayaan oleh Koentjaraningrat sebagai aliran evolusionisme atau
adaptasionisme yang memandang kebudayaan sebagai kelakuan dan atau hasil kelakuan atau
cipta, rasa, dan karsa manusia. Didalam konteks global seperti dewasa ini konsepsi budaya
simbolik justru mendapat tempat yang relatif relevan.

Didalam kerangka membangun budaya yang adiluhung, konsepsi budaya simbolis


menawarkan seperangkat “kerjasama” sebab tidak ada yang mutlak baik dan juga tidak ada
yang mutlak jelek. Melalui analisis budaya simbolik, kita diajari bagimana melihat fenomena
budaya dengan memahami apa yang positif dan apa yang negatif, dan kemudian
menggunakan keduanya untuk membangun budaya yang lebih bersearah dengan persoalan
kemanusiaan.
Perbandingan Buku Lain dan Analisis Bab IX:
Dalam perspektif Antropologi, pembangunan adalah bagian dari kebudayaan.
Pembangunan adalah eksistensi dari sejumlah tindakan manusia. Sementara, kebudayaan
merupakan pedoman bagi tindakan manusia. Penerapan antropologi dalam pembangunan
masyarakat, perlu mempertimbangkan aspek keberbedaan dan potensi yang dimiliki masing-
masing masyarakat. Antropologi dapat menerapkan pengetahuan yang dimiliki dengan
melakukan penelitian dan proses analisis berperan dalam membantu pembuatan kebijakan
sesuai dengan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam pembangunan, masyarakat menjadi pelaku dan sekaligus objek dari aktivitas
pembangunan. Manusia menjadi fokus bagi proses pelaksanaan pembangunan. Salah satu
yang utama dari proses tersebut adalah terbentuknya mentalitas pembangunan yang dapat
mendorong secara positif gerak pembangunan. Mentalitas pembangunan ini terwujud karena
berbasiskan nilai budaya yang luhur positif dan inovatif bagi pemunculan ide-ide dan gerak
pembangunan.13

Analisis Kedua Buku:


Pembangunan dapat diartikan sebagai proses menata dan mengembangkan pranata-
pranata dalam masyarakat, yang didalam pranata tersebut berisi norma-norma untuk
mengatur dan memberikan pedoman bagi eksistensi tindakan masyarakat. Dengan kata lain,
pembangunan akan menyinggung isu pemeliharaan nilai dan norma masyarakat, namun
sekaligus membuka ruang bagi isu perubahan sosial.

13
Pujileksono, Sugeng. 2015. Pengantar Antropologi (Memahami Realitas Sosial Budaya). Malang : Intrans
Publishing.
BAB X : Tradisi Arab di Tengah Indonesia yang Multikultural.
Dalam bab ini membahas mengenai pluralitas dan multikulturalitas yang merupakan
sunatullah. Pluralitas diartikan sebagai kehidupan yang warna-warni, heterogen dan
mengakui adanya manusia dan umat lain yang berbeda, tapi hidup dalam suatu lokus dan
habitus sosial dan kultural yang dinamis bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan sunnah
Allah yang meniscayakan adanya pluralitas tersebut. Multikulturalitas menandakan bahwa di
dunia ini dalam suatu lokus dan habitus kultural yang eksis akan selalu ada corak variatif
yang tidak bertentangan dari sunatullah.
Di dalam masyarakat Indonesia, ungkapan pluralisme dan multikulturalisme bukan
sesuatu yang aneh karena keduanya merupakan realitas yang telah memperoleh sentuhan
objektivasi dan menjadi bagian dalam dunia relasi antar masyarakat. Berbagai konflik di
berbagai belahan dunia hakikatnya di pandu oleh keinginan satu atau lebih kelompok untuk
menjadi dominan di dalam kehidupan sosial yang sebenarnya lebih menginginkan keteraturan
sosial daripada konflik.
Partikularitas di Tengah Universalitas
Islam memiliki ajaran yang universal. Universalitas islam tersebut dapat dilihat dalam
syahadat (pengakuan). Doktrin keesaan Tuhan dan kerasulan Muhammad adalah bukti bahwa
islam bercorak universal. Di dalam ajaran islam, selain doktrin yang berada di dalam
kawasan tafsir atau interpretasi para penganutnya. Orang bisa memilih secara rasional-
doktriner terhadap yang dianggapnya sesuai. Di Indonesia para ulama ada yang memilih
mazhab Syafi’i, mazhab Hambali bahkan yang Syi’ah. Pemilihan ini bukan bukan sesuatu
yang datang tiba-tiba, melainkan melaui proses sejarah yang panjang. Semua itu dilakukan
untuk mendekati islam yang orisinal sesuai dengan penafsirannya. Tidak ada islam yang
tunggal melainkan islam yang variatif sesuai dengan tafsiran ulama-ulamanya.
Islam adalah sesuatu yang menyejarah. Persoalan syariah, kekhalifaan, kalam, dan
fiqih adalah sesuatu yang telah mengalami penyejerahan yang artinya telah menjadi bagian
tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat dan islam sesuatu yang telah menyatu dengan
kebudayaan masyarakat. Islam yang kuat adalah ketika islam menjadi basis kebudayaan.
Sebab ketika islam menjadi basis kekuasaan maka akan terjadi proses dialetika jatuh bangun.
Kata kunci islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, kiranya adalah menempatkan islam sebagai
banguna yang menyangga terhadap dan menjawab tantangan kehidupan masyarakat yang
butuh kedamaian.
Menjadi Islam tidak Sama dengan Menjadi Arab
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab karena rasul yang dipilih Allah adalah dari
belahan bumi yang berbahasa arab. Nabi Muhammad dalam kerasulannya tidak membabat
habis tradisi Arab tetapi memberi spririt dengan ajaran islam. Jika budaya arab bertentangan
dengan islam maka Nabi Muhammad memberikan tata cara baru. Islam fundamental memang
berasal dari keturunan arab. Hampir semua tokoh atau pemimpin organisasi islam adalah
keturunan arab dan memiliki genealogi dengan gerakan salafi di Timur Tengah. Keinginan
yang kuat untuk menjadikan syari’at islamsebagai aturan formal dalam negara, sistem
kekhalifahan dan bahkan tradisi-tradisi Arab yang di transplanted untuk menjadi tradisi
masyarakat Indonesia. Di dalam upaya menjadikan islam sebagai agama formal sering
menggunakan cara-cara yang dalam pandangan orang lain justru kontraproduktif.
Islam yang disebarkan dengan kekerasan bukan akan menghadirkan ketertarikan
orang melainkan akan menghasilkan trauma berkepanjangan. Contohnya yaitu dampak
pengeboman terhadap orang islam atau orang non islam akan menyisakan efek sosial-
psikologis yang luar biasa dan orang yang non muslim akan beranggapan bahwa islam
identik dengan kekerasan aktual. Islam adalah agama untuk manusia, artinya islam memang
harus dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan tindakan untuk bertingkah laku dalam
kehidupan dalam multicultural dan plural sehingga citra islam rahmatan lil’alamin akan tetap
eksis dan terjaga.
Perbandingan Buku Lain dan Analisis Bab X :
Menurut Suparlan, secara konseptual diskursus masyarakat multikultural sebenarnya
relatif baru. Sekitar tahun 1970-an, dan gerakan multikultural itu muncul pertama kali di
Kanada. Kemudian menyebar ke Australia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan negara-
negara lainnya jugaa termasuk Indonesia. Kanada pada waktu itu didera konflik yang
berkepanjangan dan disebabkan masalah hubungan antarwaga negara. Masalah itu meliputi
hubungan antar suku bangsa, agama, ras, dan aliran politik yang terkungkung dalam dominasi
dan hegemoni. Berakhirnya konflik itu dengan digagasnya konsep masyarakat multikultural
yang mengusung kesetaraan, menghargai hak budaya komunitas dan demokrasi. Gagasan itu
ternyata efektif dan bahkan menjadi produk global.14

Pertemuan agama dengan budaya adalah salah satu akar konflik yang terjadi di tengah
masyarakat. Realitas masyarakat yang majemuk menginginkan manajemen konflik yang

14
Dermawan, Andy. 2009. Dialektika Islam dan Multikulturalisme Islam di Indonesia. Yogyakarta : PT. Kurnia
Kalam Semesta. Hlm. 68.
lebih canggih daripada hanya mengembalikan penyelesaian masalah kepada ajaran agama.
Semua agama memang mangajarkan kebaikan dan kedamaian akan tetapi aktor-aktor agama
inilah yang justru harus dipertanyakan kembali peran mereka. Ajaran agama yang sudah pas
pada porsinya untuk menebarkan kebaikan dan kedamaian justru diselewengkan menjadi
perilaku - perilaku keberagamaan berdasarkan kepentingan.

Analisis Kedua Buku :

Dengan demikian, masyarakat Indonesia harus memiliki sikap multikultural. Sikap


multikultural merupakan sikap yang terbuka terhadap perbedaan, baik perbedaan agama,
suku, maupun bahasa. Bagi mereka yang memiliki sikap multikultural meyakini bahwa
apabila perbedaan tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan konflik. Begitu juga
sebaliknya, apabila perbedaan ini mampu dikelola dengan baik, maka perbedaan justru akan
memperkaya dan berpotensi lebih produktif.
DAFTAR PUSTAKA
1) Pearson 1974:1, bdk. juga Barnouw 1979:1-2, The New Encyclopaedia Britannica
1980, Vol 1: 968-969.
2) Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru . hlm.
15-16
3) Saifuddin, Fedyani Ahmad. 2016. Logika Antropologi : Suatu Percakapan (Imajiner)
Mengenai Dasar Paradigma. Jakarta : Kencana
4) Maslow, H Abraham. Teori Motivasi dengan Ancangan Hirarki Kebutuhan Manusia.
ppm
5) Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer
(Terjemahan oleh Samuel Gunawan, dari judul asli: Cultural Anthropology, A
Contempory Perspective. Jakarta : Erlangga
6) Bryan, Morris. 2013. Antropologi Agama Yogyakarta: AK Group. Hlm 126
7) Amin, M Darori (ed). 2000. Sinkretisme dalam Masyarakat Jawa: Islam dan
Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
8) Pujileksono, Sugeng. 2015. Pengantar Antropologi (Memahami Realitas Sosial
Budaya). Malang : Intrans Publishing.
9) Dermawan, Andy. 2009. Dialektika Islam dan Multikulturalisme Islam di Indonesia.
Yogyakarta : PT. Kurnia Kalam Semesta. Hlm. 68.
10) Husen,Ida Sundari dan Rahayu Hidayat (ed.) . 2001. Meretas Rumah Bahasa,
Semiotika dan Budaya . Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya.

Anda mungkin juga menyukai