Anda di halaman 1dari 14

KAIDAH AT-TABI’U TABI’

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah


Qawaid Fiqhiyyah
Dosen Pengampu: Fairuz ‘Ainun Na’im, Lc. MA

Disusun oleh Kelompok 2 (HES B / Semester 5):


1. Fanny Aulia Rahmasari ( 1908202040)
2. Hilly Silvia (1908202056)
3. Iin Inayah (1908202158)
4. Ira Aulia (1908202042)
5. Laila Husniyah Hidayat (1908202067)
6. Miranda Nursyafitri (1908202155)
7. Vona Charlina Suandi (1908202047)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.....................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR......................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................................3
A. Latar Belakang.......................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah..................................................................................................................3
C. Tujuan....................................................................................................................................4
D. Metode Penulisan...................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................................5
A. Pengertian kaidah At-Tabi’u Tabi’.........................................................................................5
B. Dalil kaidah At-Tabi’u Tabi’..................................................................................................6
C. Cabang kaidah At-Tabi’u Tabi’..............................................................................................8
D. Penerapan dan contoh kaidah At-Tabi’u Tabi’......................................................................10
BAB III PENUTUP........................................................................................................................11
A. Kesimpulan..........................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................13

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua sebagai umatnya, dan tidak lupa
juga kami panjatkan sholawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
kepada keluarganya, sahabatnya, serta kita sebagai umatnya hingga akhir zaman.
Pembuatan makalah ini disusun berdasarkan dari beberapa referensi buku serta
jurnal yang kelompok kami dapatkan. Penyusunan makalah ini dibuat dalam rangka
memenuhi tugas tersturktur Mata Kuliah Qawaid Fiqhiyyah dengan judul “Kaidah At-
Tabi’u Tabi’”.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritikan serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Cirebon, 21 Oktober 2021

Penyusun

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembahasan hukum Islam tidaklah hanya seputar fikih yang mana sudah tercantum
hukum-hukum yang sudah diproduksi (istinbath) melalui metode yang dinamakan
ushul fiqh. Salah satu perangkat ilmu penting yang dibutuh zaman modern ini adalah
al-qawaid al-fiqhiyyah atau kaidah-kaidah fikih. Uniknya, al-qawaid al-fiqhiyyah
muncul setelah massifnya karya-karya fikih yang dihasilkan oleh para mujtahid hukum
Islam. Kendati demikian, justru kaidah fikih tersebut merupakan ‘alat bantu’ yang
sangat mendukung dalam rangka menganalisis serta menggali hukum atas-atas isu-isu
kontemporer yang berkembang di masyarakat. Tentu saja, kaidah yang dirumuskan
tidaklah sembarang. Ia telah melewati proses panjang oleh para pakar hukum, sehingga
fungsi al-qawaid alfiqhiyyah sampai hari ini sangat bermanfaat terutama di bidang
ilmu fikih.1
Salah satu pengaplikasia nya di kehidupan sehari-hari misalnya pada sebuah
transaksi, yang mana objek transaksi adakalanya benda atau barang yang mempunyai
bagian yang dapat dipisahkan. Kadangkala juga sebagai satu kesatuan yang tak terpisah
dan benar-benar menyatu. Ragam objek transaksi ini memunculkan status hukum yang
berbedaa terkait bagian-bagian tersebut. Maka, dengan itu selaras kami tertarik
membahas mengenai pembahasan tersebut dengan tema “Kaidah AT-TABI’U TABI’”.

B. Rumusan Masalah
Dari penjelasam diatas, kami tertarik menarik rumusan masalah yang akan kami
bahas dalam pembahasan sebagai beikut :
1. Apa pengertian kaidah At-Tabi’u Tabi’?
2. Bagaimana dalil kaidah At-Tabi’u Tabi’?
3. Apa cabang kaidah At-Tabi’u Tabi’?
1
Abdul Muiz, “Landasan Dan Fungsi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Dalam Problematika Hukum Islam”,
Jurnal Al-Afkar, Vol. 3, No. 1 January 2020, 104.

3
4. Bagaimana penerapan dan contoh kaidah At-Tabi’u Tabi’?

C. Tujuan
Selaras dengan rumusan masalah, maka pembahasan makalah kami bertujuan
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian kaidah At-Tabi’u Tabi’
2. Untuk mengetahui dalil kaidah At-Tabi’u Tabi’
3. Untuk mengetahui cabang kaidah At-Tabi’u Tabi’
4. Untuk mengetahui penerapan dan contoh kaidah At-Tabi’u Tabi’

D. Metode Penulisan
Adapun metode yang kami lakukan dalam pembuatan makalah ini yakni Metode
Studi Kepustakaan (library research), yakni suatu metode penelitian atau menghimpun
informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang menjadi rumusan pembahasan.
Informasi tersebut diperoleh dari buku-buku, jurnal, dan sumber-sumber lainnya

BAB II

4
PEMBAHASAN

A. Pengertian kaidah At-Tabi’u Tabi’

‫التَّابع تابِ ٌع‬


Pengikut itu mengikuti
Maksud dari kaidah diatas adalah bahwa sesuatu yang pada zatnya mengikut kepada
yang lain, maka hukumnya pun mengikut kepada yang diikuti. Sebab pengikut itu adalah
merupakan bagian dari sesuatu yang diikuti, atau bagian tersebut memiliki kaitan dalam
proses kejadiannya. Seperti anak hewan yang dalam kandungan induknya, atau kunci
dengan anak kuncinya.

Secara sederhana makna kaidah ‫ التَّابع ت ابِ ٌع‬adalah segala sesuatu yang berstatus

sebagai pengikut (tabi’) secara hukum harus mengikuti pada sesuatu yang diikuti (matbu’).
Mengenai makna yang dikehendaki dalam qaidah ini tentang sesuatu yang mengikuti
(tabi’), perlu kiranya identifikasi sesuatu yang dianggap sebagai tabi’:
a. Menurut al-Zarq, tabi’ merupakan sifat dan bagian (juz’) dari matbu’ yang tidak
dapat dipisahkan.
b. Menurut al-Zarkashi, tabi’ diidentifikasi sebagai sesuatu yang bersambung yang
sangat sulit untuk dipisahkan dengan matbu’.
Dengan demikian, makna yang di kehendaki mengenai tabi’ adalah sesuatu yang
tersambung dan menjadi bagian dengan sesuatu yang diikuti dan sulit untuk dipisahkan.
Misanya, janin yang ada dalam kandungan merupakan sesuatu yang tersambung dan
menjadi bagian dari induknya. Oleh karenanya hukum penyembelihan janin hewan yang
masih dalam kandungan mengikuti hukum penyembelihan induknya. Begitu juga pohon
merupakan sesuatu yang tersambung dan menjadi bagain dari tanah.
Al-Tabi’ pun dapat didefinisikan sebgai sesuatu terpisah dengan matbu’, tetapi
keterpisahan tersebut tidak menghilangkan kriteria tersambung (ittishal) yang telah menjadi
identitasnya. Misalnya, hewan piaraan dan harta yang dimiliki seseorang secara lahiriah itu

5
tidak menghilangkan ketersambungan akibat dari hak kepemilikannya, sehingga hukum
hewan peliharaan dan harta tersebut hukumnya mengikuti pemiliknya.
Dari identifikasi dan penjelasan di ats, maka tabi’ merupakan sesuatu yang menjadi
bagian atau akibat yang ditimbulkan sehingga sangat wajar jika tabi’ tidak dapat berdiri
sendiri atau memiliki ketetapan hukum tersendiri yang tidak terikat dan tidak terkait dengan
hukum sesuatu yang diikuti. Makna itu berimplikasi pada kemunculan qaidah turunan yang
berbunyi :

‫يفرد باحلُكم‬
ُ َ‫التَّابع أنّه ال‬
(Sesuatu yang mengikuti tidak dapat berdiri sendiri secara hukum)
Yaitu bahwa yang mengikuti tidak dapat memiliki hukum yang berdiri sendiri.
Misalnya, Menjual anak hewan yang masih dalam kandungan, tanpa menjual induknya
adalah bathal, karena anak hewan yang masih dalam kandungan mengikuti induknya.
Terdapat redaksi lain yang berkaitan dengan Qaidah ini dengan pengertian yang sama,

yakni ‫( بيثبت تبعا ما ال يثبت استقالال‬Sesuatu yang tetap karena menjadi pengikut, maka tidak
dapat ditetapkan secara mandiri). Selain itu, dalam al-Majallah al- ‘Adliyyah pasal 48
beserta kitab syarahnya terdapat qaidah yang maknanya sama tetapi redaksinya berbeda,

yakni ‫يفرد باحلُكم‬


ُ َ‫( التَّابع ال‬Perkara yang mengikuti tidak dapat ditetapkan hukumnya secara
mandiri). Berbagai redaksiyang berbeda tersebut pada dasarnya memiliki satu makna yang
dikehendaki, yakni sesuatu yang diidentifikasi sebgai pengikut (sesuatu yang mengikuti)
tidak dapat memiliki ketetapan hukum tersendiri yang tidak terikat dan tidak terkaitdengan
hukum sesuatu yang di ikuti.2

B. Dalil kaidah At-Tabi’u Tabi’


Dasar kaidah At-Tabi’u Tabi’ terdapat pada hadits Rasulullah SAW. Yang
diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Umar ra :3

2
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan
Kualitas Ummat (LPKU), 2015), 259.
3
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, 259.

6
‫ َن َهى َع ْن َبْي ِع َحبَ ِل احْلََبلَ ِة َو َكا َن َبْيعاً َيْبتَاعُهُ أ َْه ُل جْلَا ِهلِيَّ ِة َكا َن‬: ‫صلَّى اللَّهُ َعلَ ِيه َو َسلَّ َم‬ ِ
َ ‫َن َر ُس ْو ُل اللَّه‬
َّ ‫ابْ ِن عُ َمَر أ‬

َ‫ور إِىَل أَ ْن ُتْنتَ َج النَّا قَةُ مُثَّ ُتْنتَ ُج الَّيِت ْ يِف بَطْنِها‬
َ ‫الر ُج ُل َيْبتَا عُ اجلَُز‬
ّ

Dari Abdullah bin Umar ra. bahwasanya Rasulullah SAW melarang jual beli anak hewan
ternak yang masih dalam kandungan. Itu merupakan jual beli yang biasa dilakukan orang-
orang Jahiliyah. Seseorang biasa membeli unta masih dalam kandungan, hingga induk
unta melahirkan, kemudian anak unta itu melahirkan lagi.
Dalil yang kedua dari kaidah ini diantaranya adalah hadits Nabi kita Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

‫ذَ َكاةُ اجْلَنِنْي ِ ذَ َكاةُ أ ُِّم ِه‬


“Sembelihan janin itu mengikuti sembelihan induknya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Ketika kita menyembelih misalnya sapi dan ternyata ketika disembelih sapinya
dalam keadaan ada anaknya di dalam perutnya. Ketika kita sembelih dan anaknya ketika
keluar sudah mati, maka anak yang belum disembelih tersebut boleh kita makan walaupun
sudah mati. Justru ketika sudah mati itulah hukumnya mengikuti sembelihan ibunya. Kalau
induknya mati karena disembelih dengan cara yang syar’i, maka janin yang sudah mati
tersebut boleh kita makan. Hal ini karena sembelihannya tersebut mengikuti sembelihan
induknya. Berbeda kalau misalnya ketika induknya sudah disembelih, kemudian ketika kita
membuka perutnya ternyata janinnya masih hidup, maka itu membutuhkan sembelihan
yang lain lagi. Karena di sini seakan-akan dia sudah berdiri sendiri dan tidak mengikuti
ibunya. Kalau matinya mengikuti ibunya, maka hukumnya mengikuti ibunya. Ketika
induknya disembelih dan mati, akhirnya janinnya mati, maka sembelihan ibunya itu sudah
cukup sebagai sembelihan janinnya
Dalil yang ketiga yang menunjukkan benarnya kaidah sebagaimana hadits Nabi
Muhammad SAW :

‫إِمَّنَا ُجعِ َل ا ِإلماَُم لُِي ْؤ مَتَّ بِِه‬

7
Sesungguhnya imam tidaklah dijadikan sebagai imam kecuali untuk diikuti.” (Muttafaqun
‘alaih)

Sehingga makmum harus mengikuti imamnya. Tidak boleh makmum menyendiri.


Tidak boleh makmum mendahului. Makmum harus mengikuti imamnya. Misalnya
imamnya lupa namun makmumnya tidak lupa, maka tetap ketika imam bersujud sahwi
-walaupun makmum tidak lupa- makmum harus mengikuti imamnya dalam sujud sahwi.
Sebaliknya juga demikian. Apabila imam tidak lupa dan makmum lupa, maka pada keadaan
demikian makmum harus tetap mengikuti imam. Karena imannya tidak sujud sahwi, maka
makmumnya juga tidak sujud sahwi. Karena kaidah kita adalah bahwa sesuatu yang
mengikuti itu hukumnya mengikuti sesuatu yang dia ikuti.

C. Cabang kaidah At-Tabi’u Tabi’


Ada beberapa bagian (cabang), yaitu :

1. ‫ْر ُد بِ احلُ ْك ِم‬ ِ


َ ‫( التَّا ب ُع اَل َيف‬Perkara yang mengikuti tidak dapat ditetapkan hukumnya
secara mandiri). Berbagai redaksi yang berbeda tersebut pada dasarnya memiliki
satu makna yang dikehendaki, yakni sesuatu yang diidentifikasi sebagai
pengikut (sesuatu yang mengikuti) tidak dapat memiliki ketetapan hukum
tersendiri yang tidak terikat dan tidak terkait dengan hukum sesuatu yang
diikuti.4 Dengan ungkapan lain, hukum yang ada pada yang diikuti (matbu’)
diberlakukan juga pada yang mengikuti (tabi’). Dari kaidah di atas, maka dapat
dicontohkan misalnya; seandainya ada transaksi jual-beli binatang yang sedang
bunting, maka anak dalam kandungannya tersebut termasuk ke dalam akad jual
beli yang diadakan itu atau seandainya ada sembelihan hewan yang sedang
bunting, ternyata ditemukan anak yang telah mati dalam kandungannya. Dalam
hal ini, sembelihan anaknya tersebut sudah termasuk dalam penyembelihan
induknya.5

Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyya Muamalah, 263.


4

5
Duski Ibrahim, “Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih)”, (Palembang; CV. Amanah,
2019), 105.

8
2. ‫ط بِ ُس ُق ْو ِط الْ َمْبُت ْو ِع‬
ُ ‫( التَّا بِ ُع يَ ْس ُق‬Sesuatu yang mengikuti dinyatakan gugur dengan

gugurnya yang diikuti). Semua ulama sepakat dalam penggunaan qaidah ini
sekalipun terdapat redaksi yang berbeda dengan pengertian yang sama,

diantaranya menurut al-Zarqa : ‫إذا سقط األصل سقط الفرع‬. Misalnya, Apabila

seseorang dibebaskan dari utang, maka dibebaskan pula orang (pihak ketiga)
yang menanggung utang dari piutang.

ُ ‫( التَّا بِ ُع اَل َيَت َق د‬Sesuatu


3. ‫َّم َعلَى الْ َمْبُت ْو ِع‬ yang mengikuti tidak boleh mendahului

sesuatu yang diikuti). Qaidah ini menandaskan bahwa yang menjadi panutan
senantiasa harus di dahulukan dan diprioritaskan, sedangkan pengikut harus
harus setelahnya. Aplikasi qaidah ini sangat banyak dalam kitab fiqh yang ada,
di antaranya hukum utang piutang dengan syarat gadai diperbolehkan dengan
syarat dalam pengucapan akad harus mendahulukan lafazh utang piutang dan
mengakhirkan lafazh gadai. Karena persyaratan gadai merupakan tabi’ dari
utang piutang.6

4. ‫( التَّا بِ ُع اَل يَ ُك ْو ُن لَهُ تَابِ ٌع‬sesuatu yang mengikuti tidak memiliki pengikut). Artinya
bahwa sesuatu yang menjadi pengikut tidak dapat dijadikan sebagai sesuatu
yang diikuti.

5. ‫( يُ ْغَت َف ُّر يِف ْ الت ََّوا بِ ِع َم ااَل يُ ْغَت َف ُر يِف ْ َغرْيِ َها‬Dapat dimaafkan dalam hal-hal yang

mengikuti, tidak dimaafkan pada yang lainya). Kaidah ini sejalan dengan

kaidah: ‫( يُ ْغَت َف ُّر يِف ْ الت ََّوا يِن ْ َم ااَل يُ ْغَت َف ُر يِف ْ ااْل َ َوائِ ِل‬Dapat dimaafkan bagi yang meniru,
tidak dimaafkan bagi yang memulai). Dari kaidah tersebut dapat dicontohkan:
1) misalnya serambi masjid adalah bagian yang tak terpisahkan dari masjid,
namun dalam hal I’tikaf tidak termasuk sebagai masjid, sehingga tidak
sah I’tikaf di sana.
2) 1 syawal yang berdasar ru’yat harus ditetapkan dengan kesaksian dua
orang saksi. Tetapi bila berpuasa Ramadhan dengan dasar ru‟yat setelah
6
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyya Muamalah, 264.

9
tiga puluh hari berpuasa, maka keesokan harinya harus berhari raya
walaupun tanpa ru’yat.7

D. Penerapan dan contoh kaidah At-Tabi’u Tabi’


a. Hukum barang yang menjadi jaminan hutang merupakan pengikut dari hutang, oleh
karenanya jika si pemberi hutang meredhakan hutang itu, maka jaminan tersebut
ikut gugur dan harus dikembalikan pada orang yang berhutang.
b. Dalam perjanjian jual beli ada ketentuan, bahwasanya termasuk dalam penjualan
dengan tanpa penyebutan barang yang turut serta dalam barang yang dijual itu, baik
karena hubungannya dalam gambaran yang tetap seperti kunci yang terpaku dalam
jual beli rumah atau karena keadaannya menurut hukum termasuk bagian
daripadanya seperti hak lalu lintas, dan semua hak-hak di dalamnya. Seseorang
membeli sebuah rumah maka ia memiliki juga jalan yang menghubungkan ke
rumah itu.
c. ketika kesepakatan aman (damai) antara muslim dengan non muslim terjadi, maka
wanita dan anak kecil merupakan tabi’ dari laki-laki sebagai pelaku akad aman.8

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

7
Duski Ibrahim, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih), 109.
8
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyya Muamalah, 264-165.

10
Dari pembahasan mengenai pemahaman kaidah At-Tabi’u Tabi’ dapat

disimpulkan pertama, secara sederhana makna kaidah ‫ التَّابع تابِ ٌع‬adalah segala sesuatu
yang berstatus sebagai pengikut secara hukum harus mengikuti pada sesuatu yang
diikuti . Mengenai makna yang dikehendaki dalam qaidah ini tentang sesuatu yang
mengikuti , perlu kiranya identifikasi sesuatu yang dianggap sebagai tabi’: a.) Menurut
al-Zarq, tabi’ merupakan sifat dan bagian dari matbu’ yang tidak dapat dipisahkan. b.)
Menurut al-Zarkashi, tabi’ diidentifikasi sebagai sesuatu yang bersambung yang sangat
sulit untuk dipisahkan dengan matbu’. Yaitu bahwa yang mengikuti tidak dapat
memiliki hukum yang berdiri sendiri. Misalnya, Menjual anak hewan yang masih
dalam kandungan, tanpa menjual induknya adalah bathal, karena anak hewan yang
masih dalam kandungan mengikuti induknya.
Kedua, ketika kita menyembelih misalnya sapi dan ternyata ketika disembelih
sapinya dalam keadaan ada anaknya di dalam perutnya. Kalau induknya mati karena
disembelih dengan cara yang syar’i, maka janin yang sudah mati tersebut boleh kita
makan. Hal ini karena sembelihannya tersebut mengikuti sembelihan induknya. Karena
di sini seakan-akan dia sudah berdiri sendiri dan tidak mengikuti ibunya. Kalau
matinya mengikuti ibunya, maka hukumnya mengikuti ibunya.

Ketiga, cabang kaidah yang pertama yaitu ‫ْر ُد بِ احلُ ْك ِم‬ ِ


َ ‫( التَّا ب ُع اَل َيف‬Perkara yang
mengikuti tidak dapat ditetapkan hukumnya secara mandiri), ‫ط‬
ُ ‫يَ ْس ُق‬ ‫بِ ُع‬ ‫التَّا‬

‫( بِ ُس ُق ْو ِطالْ َمْبُت ْو ِع‬Sesuatu yang mengikuti dinyatakan gugur dengan gugurnya yang

diikuti), ُ ‫( التَّا بِ ُع اَل َيَت َق د‬Sesuatu


‫َّم َعلَى الْ َمْبُت ْو ِع‬ yang mengikuti tidak boleh mendahului

sesuatu yang diikuti), ‫( التَّا بِ ُع اَل يَ ُك ْو ُن لَ هُ تَ ابِ ٌع‬sesuatu yang mengikuti tidak memiliki

pengikut), ‫( يُ ْغَت َف ُّر يِف ْ الت ََّوا بِ ِع َم ااَل يُ ْغَت َف ُر يِف ْ َغرْيِ َها‬Dapat dimaafkan dalam hal-hal yang

mengikuti, tidak dimaafkan pada yang lainya) kaidah ini sejalan dengan kaidah: ‫يُ ْغَت َف ُّر‬

11
‫( يِف ْ الت ََّوا يِن ْ َمااَل يُ ْغَت َفُر يِف ْ ااْل َ َوائِ ِل‬Dapat dimaafkan bagi yang meniru, tidak dimaafkan bagi
yang memulai).
Keempat, penerapan dan contoh kaidah seperti hukum barang yang menjadi
jaminan hutang merupakan pengikut dari hutang, oleh karenanya jika si pemberi
hutang meredhakan hutang itu, maka jaminan tersebut ikut gugur dan harus
dikembalikan pada orang yang berhutang. Dalam perjanjian jual beli ada ketentuan,
bahwasanya termasuk dalam penjualan dengan tanpa penyebutan barang yang turut
serta dalam barang yang dijual itu, baik karena hubungannya dalam gambaran yang
tetap seperti kunci yang terpaku dalam jual beli rumah atau karena keadaannya
menurut hukum termasuk bagian dari padanya seperti hak lalu lintas, dan semua hak-
hak di dalamnya. Seseorang membeli sebuah rumah maka ia memiliki juga jalan yang
menghubungkan ke rumah itu.

DAFTAR PUSTAKA

12
Azhari, Fathurrahman. Qawaid Fiqhiyya Muamalah. Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan
Kualitas Ummat, 2015.
Ibrahim, Duski. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih). Palembang; CV.
Amanah, 2019.
Muiz, Abdul. “Landasan Dan Fungsi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Dalam Problematika
Hukum Islam”. Jurnal Al-Afkar. Vol. 3, No. 1 January 2020.

13

Anda mungkin juga menyukai