Anda di halaman 1dari 4

Nama : Fatma Baba

NPM : 06322211009

MK : Teori-teori Antropologi

Etnosains (Paradigma Antropologi Untuk Kearifan Lokal)

Sebagai sebuah paradigma, aliran pemikiran ini muncul di tahun 1950an secara tidak
disengaja, yaitu dari keseriusan sejumlah ahli antropologi yang menemukan fakta bahwa ribuan
etnografi dalam antropologi ternyata tidak memiliki standar atau patokan yang sama dalam
penulisannya. Dari berbagai defenisi etnografi yang selama ini digunakan oleh para ahli
antropologi akhirnya dapat disimpulkan bahwa kebudayaan ternyata sangat bervariasi dan juga
memberikan dampak yang luas dalam di siplin antropologi. Tiga dampak positif yang segera
terlihat adalah; a) munculnya corak penulisan etnografi yang baru (the new ethnography): b)
munculnya metode analisis baru dalam antropologi, dan c) munculnya paradigma baru dalam
antropologi: Etnosains.

a. Munculnya Etnografi Baru (The new Ethnography)

Sebelum munculnya defenisi kebudayaan baru, etnografi umumnya merupakan etnografi


campuran, yang berisi deskripsi (behavioural culture/ budaya perilaku), benda budaya (material
culture), dan nilai-nilai pandagan hidup (ideational culture). Dengan munculnya defenisi
kebudayaan sebagai perangkat penegtahuan maka etnografi tentunya tidak lagi bias sama dengan
etnografi-etnografi sebelumnya. Untuk itu para ahli antropologi harus dapat menciptakan sebuah
etnografi yang formal (formal ethnography). Dengan begitu, studi perbandingan yang lebih tepat
dan valid akan dapat dilakukan, dan generalisasi yang dihasilkan juga lebih dapat dipercaya.

b. Munculnya Metode Analisis Baru

Munculnya data budaya baru mencerminkan sistem klasifikasi tertentu, dengan


sendirinya menuntut cara analisis data yang baru pula, karena tujuan etnosains adalah
mengungkap isi pengetahuan suatu masyarakat serta isi pengetahuan tersebut.

Jika dilakukan dengan teliti metode-metode analisis baru ini akan membawa peneliti pada
hasil akhir yang dicarinya. Metode analisis etnosains atas data kebahasaan yang rinci dan rutut
mampu menghasilkan etnografi yang khas, yang mendalam dan sistematis.

c. Munculnya Paradigma Baru: Ethnosiciens (Etnosains)

Para ahli menyadari bahwa etnosains bukan hanya sebuah objek kajian baru, tetapi juga
sebuah paradigma baru (Keesing, 1972). Paradigma memiliki minimal Sembilan unsur pokok,
yaitu: (1) asumsi-asumsi dasar (besic assumptions); (2) etos, nilai (values); (3) model; (4)
masalah-masalah (research promblems); (5) konsep pokok (key words); (6) metode penelitian
(methods of research); (7) metose analisis (methods of analysis); (8) teori (theories) dan (9)
representasi (representations). Dalam perkembangan etnosains unsur-unsur ini semakin terlihat
jelas. Beberapa elemen dari etnosains memiliki persamaan dengan elemen yang lain, namun
tidak berarti etnosains kemudian sama dengan paradigma yang lain, dan tidak dapat berdiri
sendiri.

Dari berbagai asumsi dari para ahli tentang etnosais, dapat disimpulakan bahwa etnosains
kini telah menjadi salah satu paradigma antropologi yang terkokoh dan terluas jangkauannya,
karena para ilmuan telah memanfaatkan paradigma ini dalam penilitian mereka. Sebagimana
telah terlihat ranting-ranting baru dari etnosains seperti etnoekologi, etnobiologi, etnomedisin,
etnobotani, etnoastronomi, dan sebagiannya. Antropologi semakin terlihat menjembatani dua
ilmu pengetahuan yang selama ini terpisah jauh dengan yang lain.

1. Etnosains dan Kearifan Lokal

a. Kearifan Lokal

Kearifan lokal memiliki arti yang luas, berbagai peneliti memaknai dengan konsep yang
berbeda-beda. Secara frasa ‘kearifan lokal’ terdiri dari dua kata beda dan sifat. Kata lokal yang
seringkali disebut ‘setempat’ atau ‘tempatan’ biasanya dihubungkan atau dipertentangkan
dengan yang ragional, nasional, atau universal. Lokal menunjuk pada sebuah wilayah yang
relatif kecil, seperti sebuah daerah, sebuah kampung. Oleh karena itu ‘kearifan lokal’ secara
implisit, bersifat khusus pada suatu komunitas, dan tidak bersifat umum atau universal.

b. Etosains dan Kearifan Lokal

Kata ethnoscience (etnosains) berasaldari kata Yunani, ethnos yaitu bangsa, dan kata latin
scientia, pengetahuan (Werner dan Fenton,1970:537), ahli antropologi Wiliam Wiliam C.
Sturteven mendefenisikan sebagai pengetahuan yang dimiliki suatu bangsa, sukubagsa atau sub
kultur tertentu, atau “system of knowlage and coganitiontypical of a given culture”. Dari defenisi
ini kita dapat melihat bahwa etnosains tersebut memang tinggal di sebuah lokasi tertentu, yang
relative masih tertutup. Sehingga tidak ada sukubangsa lain di situ.

Namun, bisa juga etnosains lebih luascakupannya daripada kearifan lokal.Sebagai contoh
misalnya, etnosains sukubagsa Jawa, tidak hanya tinggal di Jawah tengah dan Jawa Timur, tetaoi
juga di banyak tempat Sumatera. Di situ dapat ditemukan komunitas-komunitas orang Jawa,
sehingga etnosains tidak dapat dikatakan kearifan lokal, karena etnosains Jawa tersebar
diberbagai tempat di Indonesia.

2. Etnosains Mengungkap Kearifan Lokal

Tolak ukur kepentigan membedakanetnosains yang merupakan “kearifan lokal” dengan


yang bukan adalah pada pemanfaatannya. Etnosains dapat dikatakan sebagai kearifan lokal
bilamana ia menjadi pengetahuan yang dapat menyelesaikan minimal dua masalah peristiwa, a)
pelestarian manusia dan kehidupannya, serta b) pelestarian alam.
a. Etnoekologi: Kearifan Lokal Tentang Lingkungan

Kajian etnoekologi terlihat pada artikel Ahimsa-Putra, Lestari dan Pangeran Nasution
megenai air dan sungai Ciliwung. Lestari dan Ahimsa-Putra mendeskripsikan pengetahuan
petani Mendak mengenai musim, yang sanagt berpengaruh pada aktivitas pertanian mereka,
sedang Nasution dan Ahimsa-Putra mendeskripsikan pengetahuan nelayan Belawan Bahari
menegenai situasi dan kondisi lautan yang menentukan pola-pola kegiatan mereka menangkap
ikan.

b. Etnoekologi: Kearifan Lokal Tentang Tanah

Etnoekologi adalah istilah yang dipakai untuk menyebut pengetahuan lokal atau suatu
etnis mengenai tanah yang ada di sekitar tempat tinggal mereka, atau jenis-jenis tanah yang
mereka kenal. Penelitian Iban dan Ahimsa-Putra mengenaikategori “tanah” di Kalimantan
menunjukanbahwa orang Dayak Ngaju memiliki pandangan tertentu tentang lahan dan
jenis”tanah”. Lahan-lahan tertentu mereka ketahui sebagai alahan yang cocok untuk pertanian,
karena tanahnya adalah tanah mineral.

c. Etnoekologi: Kearifan Lokal Tentang Teknologi

Penelitian Ahimsa-Putra dan Nasution menegnai penegtahuan nelayan tentang bot


(perahu) yang mereka yang mereka gunakan untuk melaut (menagkap ikan) merupakan contoh
penelitian teknologi penangkapan ikan dengan prespektif etnoteknologi.

3. PENUTUP

Sekarang kita tahu bahwa Etnosainsadalah sebuah paradigma baru yang muncul dalam
antropologi di penegtahuan abad yang lalu. Meskipun demikian etnosains, tidak selalu dikenal
sebagai sebuah paradigma, karena pada awalnya etnosains didefenisikan sebagai suatu
penegtahuan yang khas dari suatu masyarakat.

Sebagai sistem penegtahuan, etnosains dikatakan hamper sama dengan istilah “kearifan
lokal” yang banyak dipakai oleh peneliti sosial-budayadi Indonesia, sebagimana terlihat pada
hasil penelitian mereka.

Penelitian kearifan lokal yang tidak menggunakan paradigma etnosains umumnya


memiliki sejumlah kekurangan. Pertama, kerifan lokal tersebut tidak bisa disajadikan secara
sistematis, sehingga peneliti lain tidak mengerti atau tidak mudah menemukan keraifan di
dalamnya. Kedua, kearifan lokal tidak jelas isinya, tidak jelas butir-butir penegtahuannya dan
sering membingungkan. Ketiga, kearifan lokal disajikan sulit dimanfaatkan untuk studi
perbandingan denagn kearifan lokal yang lain, sehingga kurang terlihat manfaatnya untuk
perkembangan ditingkat lokal.
Sebagai sebuah paradigma, Etnosains merupakan paradigm yang telah utuh, karena
Sembilan unsur pokok paradigm telah terdapat di dalamnya. Oleh karena itu penelitian kearifan
lokal dengan menggunakan paradigm Etnosains, tidak banyak akan jelas dan rinci hasilnya,
karena jelas metode-metodenya, tetapi juga akan kokoh landasan filsafat ilmunya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra H.S 1985 “Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan”. Masyarakat


Indonesia. Th.XII (2): 103-133.

1989. “Dasar-dasar pendekatan Etnosains Dalam Antropologi”.

Buletin Antropologi 15.Th. V: 16-29

1997b “Air dan Sungai Sebuah Kajian Etnokologi”. Prisma 1, Thn. XXVI:51-72.

2002b. Etnosains dan Etnoteknologi: Wawasan Budaya Untuk Pembagunan Teknologi.


Makalah seminar “Pembagunan Berwawasan Budaya”.

Anda mungkin juga menyukai