Wawancara yang saya lakukan pada tahun 2006 dengan orang Tuvalu yang
telah menghabiskan hidup mereka mengamati dan berinteraksi dengan
lingkungan.
Data difokuskan pada:
1. Pengamatan orang Tuvalu terhadap perubahan langit, laut, dan darat;
2. Respons lokal terhadap cuaca ekstrem seperti peristiwa badai, kekeringan,
dan banjir; dan tentang
3. Persepsi risiko dan harapan masa depan mereka (Lazrus 2015).
Masalah/problem penelitiannya:
Sejak tahun 2000-an orang Tuvalu sdh dianggap pengungsi akibat ancaman perubahan iklim
pertama di dunia.
Sementara efek yang meningkat dari perubahan iklim sudah tampak dan melahirkan bayang-
bayang ketidakpastian masa depan negara dan warganya, perubahan iklim tersebut belum
memotivasi pembicaraan di level nasional tentang migrasi di Tuvalu, baik pembicaraan dalam
pemerintahan maupun antar warga.
Sebaliknya, orang Tuvalu malah menolak asumsi standar bahwa naiknya permukaan laut akan
menyebabkan mereka menjadi pengungsi tanpa tanah.
Mengapa orang-orang di Tuvalu menolak gagasan tentang masa depan yang tak terhindarkan
bahwa mereka akan menjadi pengungsi (karena) iklim.
PERUBAHAN IKLIM DAN MIGRASI
Teori Klasi migrasi: push and pull factors (faktor pendorong dan penarik).
Migrasi adalah respon adaptif terhadap perubahan lingkungan dan juga pendorong manusia
menyebar di berbagai belahan dunia.
Dalam dunia global sekarang, faktor pendorong dan penarik migrasi sudah faktor
pendorong dan penarik yang mendorong mobilitas penduduk menjadi semakin beragam,
dan seringkali sulit untuk memisahkan motivasi sosial, politik, dan ekonomi dari
lingkungan (Dun dan Gemenne 2008; Hartmann 2010).
Bahkan, kerentanan (vulnerability) (seringkali menjadi faktor pendorong dalam keputusan
migrasi) terhadap bencana lingkungan sangat kompleks dan kerentanan tersebut
dikonstruksi secara sosial.
Kerentanan (vulnerability)
Ketimpangan
Kerentanan
sosial dlm akses
terhadap
dan pemilikan
Ancaman
sumberdaya, Migrasi
perubahan
kekayaan, dan
iklim
rasa aman.
Migrasi di Tuvalu
Di Tuvalu, migrasi adalah suatu hal biasa dalam kehidupan mereka baik itu migrasi permanen, migrasi
sementara, maupun migrasi sirkular (pulang-pergi).
Namun, orang Tuvalu sangat menolak migrasi dilihat sebagai tanggapan terhadap perubahan iklim,
seperti yang ditunjukkan oleh kurangnya perencanaan migrasi di tingkat nasional sebagai tanggapan
atas ancaman perubahan iklim.
Beberapa kutipan wawancara berikut menunjukan sikap orang Tuvalu:
“Saya hanya tidak ingin percaya bahwa saya harus meninggalkan negara itu suatu hari
nanti jika Tuvalu akan tenggelam. . . . Saya tidak ingin meninggalkan pulau asal saya. Saya cinta
Tuvalu. . . dan saya . . . ingin berada di sini sepanjang hidupku”. (Lina Timala di Horner dan le Gallic
2004).
“Jika yang terburuk menjadi yang terburuk, saya pikir saya lebih baik tinggal di sini dan
mati. Saya tidak ingin meninggalkan negara saya”. (Pejabat Lembaga Swadaya Masyarakat
dikutip dalam Farbotko, Stratford, dan Lazrus 2015).
Tampak orang Tuvalu sangat mencintai tanah airnya, pulaunya, sehingga tidak berkeinginan utk
bermigrasi walaupun jika suatu saat pulau mereka terancam ternggelam.
Kesimpulan
Orang-orang Tuvalu memisahkan diri dari Gilber Island melalui referéndum.
Migrasi sebagai pilihan terakhir.
Secara mencolok memprioritaskan identitas budaya dan rasa cinta pada negara pulau mereka
tersebut daripada ancaman lingkungan.
Orang Tuvalu bukan menolak bermigrasi. Bahkan migrasi sudah sering dipraktekan dalam
kehidupan mereka dengan alsan-alasan lain seperti bekerja dll.
Hal yang mereka tolak adalah bahwa migrasi dilakukan dengan alasan ancaman perubahan
iklim yang menyebabkan pulau atau negara mereka bisa tenggelam.
Mengapa mereka bersikap demikian? Karena mereka sangat mencintai tanah air mereka yang
mereka anggap diperjuangkan dengan upaya politik yang mendapat banyak tantangan.
Menurut penulis, sikap oranng Tuvalu dan pemerintahannya seperti itu sangat membahayakan
karena orang Tuvalu sesungguhnya dalam kondisi kerentanan sistematis yang membahayakan.