Anda di halaman 1dari 105

PRIMORDIALISME POLITIK DI INDONESIA PADA

PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009 DALAM


PERSPEKTIF POLITIK ISLAM

SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:
Ahmad Syihabudin
NIM: 1112045200013

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M/1438 H
SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemuadian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Maret 2016

Ahmad Syihabudin

iii
ABSTRAK

AHMAD SYIHABUDIN, NIM: 1112045200013. PRIMORDIALISME


POLITIK DI INDONESIA PADA PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009
DALAM PERSPEKTIF POLITIK ISLAM. Skripsi Program Studi Hukum
Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.

Primordialisme merupakan suatu prilaku ketidakadilan dalam sebuah


kelompok, baik berbentuk sebuah negara, organisasi masyarakat, bahkan sampai
kelompok kecil dalam sebuah keluarga.
Sungguhpun di dalam perundang-undangan tidak ada syarat harus bersuku
Jawa tapi jika kandidat ingin memenangkan kursi kepresidenan, maka latar
belakang kesukuan bagi seorang kandidat menjadi penting untuk diperhitungkan.
Karena itu, jika ada sosok lain di luar Suku Jawa yang mempunyai elektabilitas
tinggi, bersih, dan bisa memimpin, namun jika ada sosok yang berasal dari suku
Jawa dengan kualitas yang sama, maka masih akan tetap lebih potensial sosok
yang berasal dari Suku Jawa yang akan memenangkan pemilu Presiden. Buktinya
pada Pemilihan Presiden 2009 yang kala itu ada satu kandidat luar Jawa yang
mencalonkan diri merebut kursi kepresidenan, yaitu Jusuf Kala (JK), namun
karena bukan dari suku Jawa , beliau kalah dai pesaingnya yang berasal dari Suku
Jawa, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hal ini nampaknya tidak jauh berbeda dengan kursi kekhalifahan dalam
Islam yang selalu didominasi oleh satu suku yaitu Suku Quraisy. Meski demikian
tetap tidak luput dari perselisihan mengenai keharusan syarat kesukuan tersebut
dalam menduduki kursi kekhalifahan, baik dari ulama Tatanegara Zaman Klasik,
Pertengahan dan Kontemporer. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh prilaku primordialisme kesukuan pada Pilpres 2009 dan
dalam perspektif Politik Islam.
Dalam skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian Pustaka (Library
Research) yang dilengkapi dengan wawancara, dan dengan cara melakukan
pendekatan kualitatif. Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini
ada dua, yaitu sumber data primer dan sekunder. adapun metode yang di gunakan
adalah metode dan analisis deskriptif, yaitu suatu teknik analisis dengan
menjabarkan data yang telah diperoleh.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perspektif Politik Islam mengenai
kesukuan seorang kandidat kepala negara adalah syarat afdhaliyah, sementara
syarat seorang menjadi kepala negara terbagi menjadi dua, yaitu; Pertama,
syarat-syarat in'iqad (syuruth al-In'iqad), yaitu syarat-syarat yang menentukan
sah atau tidaknya pengangkatan seorang khalifah/kepala negara yang dijelaskan

iv
para ulama dari Nash. dan Kedua, syarat-syarat afdhaliyyah, yakni syarat-syarat
keutamaan yang apabila terpenuhi akan menambah bobot calon khalifah/kepala
negara, kan tetapi bila tidak terpenuhi tidak akan berpengaruh pada sah atau
tidaknya pengangkatan seseorang sebagai khalifah. Dan syarat ini dantaranya
adalah keturunan Suku Quraisy.
Sedangkan pengaruh primordialisme kesukuan pada Pilpres 2009 masih
memiliki peran besar bagi kadidat seorang calon presiden, dikarenakan penduduk
Pulau Jawa yang lebih banyak dan dominan dari jumlah penduduk pulau-pulau
lainnya di Indonesia. dan prilaku primordialisme kesukuan yang menjadi alasan
kekalahan suku non-Jawa pada Pilpres 2009, yaitu dikarenakan kecerobohan
pasanga non-Jawa tersebut (JK-Wiranto) yang mengusung selogan “Pasangan
Nusantara” sehingga memicu prilaku primordial yang lebih tinggi.

Kata Kunci: Primordialisme, Pilpres 2009, Politik Islam


Pembimbing: Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, SH, M.Ag

v
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan seluruh alam raya

ini. Berkat nikmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan judul “PRIMORDIALISME POLITIK INDONESIA PADA

PILPRES TAHUN 2009 DALAM PERSPEKTIF POLITIK ISLAM”.

Shalawat teriring salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan alam,

panutan seluruh umat, Rasulullah SAW yang telah membawa umatnya dari alam

jahiliyah ke alam yang penuh dengan hidayah Islamiyah.

Dalam rangka penyelesaian skripsi ini, terdapat banyak kesulitan dan

hambatan yang harus penulis hadapi. Ini disebabkan oleh keterbatasan ilmu dan

kekurangan pengalaman dalam penulisan skripsi, namun penulisan skripsi ini

pada akhirnya dapat penulis tuntaskan. Proses penyelesaian skripsi ini tidak

terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak.Karena itu pada kesempatan

ini penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya, terutama kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dra. Hj. Maskufa, M.A, dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, ketua dan

sekertaris Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), yang telah

memberikan arahan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

3. Bapak Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, SH, M.Ag, Dosen pembimbing yang

telah rela meluangkan waktunya, memberikan masukan, arahan dan

vi
kritikan yang konstruktif pada penulis sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

4. Pimpinan perpustakaan umum dan perpustakaan fakultas yang telah

memberikan fasilitas untuk mempermudah akses penulis dalam

melakukan studi kepustakaan berupa peminjaman buku dan literature

lainnya sehingga penulis dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan.

5. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas semua pengetahuan yang

telah diberikan kepada penulis selama masa pendidikan.

6. Terima kasih kepada Ayahanda H. Junaedi dan Ibunda Hj. Amah tercinta,

yang telah mengajarkan arti semangat hidup dan memberikan kasih

sayang serta doa tulus yang tiada henti-hentinya kepada penulis.

7. Serta terima kasih kepada K.H Johan Jazuli, al-Ust Adanag Jazuli, al-Ust

Niman, dan Abah K. Ahmad Ghozali, beliau semualah guru yang telah

mengajarkan ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat dan arti semangat hidup

serta doa tulus yang tiada henti-hentinya.

8. Kepada seluruh Pengurus SKAB (Sangar Kreatif Anak Bangsa) meski

sedih rasanya karena sanggar tempat anak-anak yang termarjinalkan

(anak-anak jalanan) dan penulis khususnya belajar mengenai siapa diri ini.

9. Teman-teman Hukum Tata Negara (Siyasah) dan Hukum Pidana Islam

angkatan 2012, yang telah penulis anggap sebagai keluarga sendiri yang

menjadi saksi perjuangan penulis selama di bangku kuliah.

10. Teman-teman seperjuangan terutama M. Faruq S.H, Sudirwan, S.H, Fdhel

Akhbar, Adi Supraja, Rafli Ali Yafi, Harist Aditya, Maruli, Eko Saputra,

vii
Sholihun (yang bersedia memberi bantuan akomodasi untuk penulis),

Imam Maulana, Ust. Imam Haditya, Ust. Arif Arpian, Wini Azhari, Siti

Syarifah Alawiyah, Rihan Juliana, Nur Romlah dan Nur Setianingsih

(Saudari perempuan penulis), serta teman-teman lainnya yang tidak bisa

penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan motivasi agar

penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Semoga segala bantuan, dukungan, motivasi dan do’a untuk penulis,

mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah swt, dan semoga skripsi ini

berguna untuk menambah literatur Politik Islam.

Jakarta, 15 Maret 2017

Ahmad Syihabudin

viii
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iii
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ......................................... 8
D. Tinjauan Pustaka .................................................................... 9
E. Metode Penelitian ................................................................. 10
F. Sistematika Pembahasan ...................................................... 13

BAB II ETNISITAS KANDIDAT KEPALA NEGARA DALAM


PERSPEKTIF POLITIK ISLAM ........................................ 15
A. Dasar Hukum Kesukuan Calon Kepala Negara ................... 15
B. Latar Belakang Kesukuan Kepala Negara Masa Rasulullah
Saw ...................................................................................... 18
C. Latar Belakang Kesukuan Kepala Negara Masa al-
Khulafau al-Rasidun ............................................................. 20
D. Latar Belakang Kesukuan Kepala Negara Pasca Masa al-
Khulafa al-Rasyidun ............................................................ 29

BAB III LATAR BELAKANG ETNISITAS KANDIDAT KEPALA


NEGARA DALAM PILPRES 2009 ...................................... 33
A. Etnisitas dalam Peta Perpolitikan di Indonesia ................... 33
B. Bentuk-Bentuk Primordialisme dalam Pilpres 2009 ........... 35

ix
C. Unsur Jawa Non-Jawa dalam Pilpres 2009 ......................... 40
D. Budaya Primordialisme Kesukuan ....................................... 42

BAB IV ETNISITAS KANDIDAT PRESIDEN RI PADA PILPRES


2009 PERSPEKTIF POLITIK ISLAM ................................. 45
A. Pendapat Para Ulama Mengenai Kesukuan Seorang
Kepala Negara ..................................................................... 45
B. Latar Belakang Jawa dan Quraisy Sebagai Etnisitas
Seorang Kepala Negara ....................................................... 53
C. Dasar-Dasar Terjadinya Prilaku Primordialisme
Pilpres 2009 ......................................................................... 56
D. Primordialisme Memberi Pengaruh Besar pada Pilpres
2009 ..................................................................................... 59

BAB V PENUTUP ................................................................................ 63


A. Kesimpulan .......................................................................... 63
B. Saran ................................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 66

LAMPIRAN ..................................................................................................... 68

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Primordial dapat berarti mula-mula, pokok, pertama. kesetiaan terhadap

unsur-unsur yang diperoleh dalam sosialisasi sejak dilahirkan. Primordialisme

pengelompokan manusia yang dilandasi dengan kesetiaan terhadap unsur-unsur

sejak lahir berupa unsur-unsur pokok dalam kehidupan manusia. Primordialisme

dalam masyarakat umumnya dilandasi faktor, seperti keyakman ideologi, adanya

kepentingan pribadi atau golongan, keturunan darah, dan kesamaan daerah.

Manurut istilah primordialisme berasal dari hahasa lattin primus yang artinya

pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Dengan demikian, kata

primordial(isme) dapat berarti ikatan-ikatan utama seseorang dalam kihidupun

sosial, dengan hai-hal yang dibawanya sejak lahir seperti suku bangsa, ras, klen.

asal usul kedaerahan, dan agama.1

primordialisme dalam masyarakat majemuk merupakan satu hal hampir

pasti selalu terjadi. Anda tentu sering mendengar atau melihat praktik-praktik

primordialisme dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam sebuah perusahaan

yang dipimpin oleh seorang dan suku bangsa tertentu menempatkan orang-orang

yang bersuku bangsa sama dengannya sebagai orang kepercayaannya.

Primordialisme dapat terjadi karena faktor-faktor berikut;

1
Kun Maryati, dan Juju Suryawati, Sosilologi (Jakarta, Erlangga: 2001), h.50

1
2

1) Adanya sesuatu yang dianggap istimewa oleh individu dalam suatu

kelompok atau perkumpulan sosial.

2) Adanya suatu sikap untuk mempertahankan keutuhan suatu kelompok atau

kesatuan sosial dari ancaman luar.

3) Adanya nilai-nilai yang berkaitan dengan sistem keyakinan, seperti nilai

keagamaan dan pandangan.

Primordialisme sebagai identitas suatu golongan atau kelompok sosial

merupakan faktor penting untuk memperkuat ikatan golongan atau kelompok

yang bersangkutan, terutama dalam menghadapi ancaman dari luar. Namun

seiring dengan itu, primordialisme juga dapat membangkitkan perasangka dan

permusuhan terhadap golongan atau kelompok sosial lain. Hal ini tentu

merupakan potensi konflik yang dapat menggangu integrasi sosial.2

Dalam konteks Indonesia, menguatnya sentimen identitas primordial yang

kemudian memicu sentimen kedaerahan dan kesadaran politik baru di era

demokrasi telah dimulai bahkan tak lama setelah indonesia memasuki era

reformasi. Dan format keetnisan, sentimen primordial tercermin mulai dari upaya

memasukan nilai-nilai primordial ke dalam peraturan daerah, memisahkan

wilayah administrasi pernerintahan, keinginan mendapatkan otonomi khusus,

sampai dengan munculnya gerakan sparatis.

Fenornena tersebut sejatinya menunjukan adanya sebuah tantangan internal

bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Penelitian ini melihat beberapa faktor

2
Kun Maryati, Juju Suryawati, Sosilologi, h.51
3

penyebab yang menjadi penting untuk di fahami. Hal ini tidak saja menjadi

sebuah pijakan awal bagi pembangunan sebuah sistem kebangsaan dan

pemerintahan dikemudian hari. Faktor-faktor tersebut adalah :

Pertama, masih berlangsungnya interpretasi yang kurang tepat akan hakikat

keindonesiaan. Kesalahan memahami makna keindonesiaan yang bercirikan

antara lain pluralisma, demokrasi, dan karakter republikan yang seharusnya

menjadi sendi pemerintahan Indonesia, pada gilirannya tidak saja memicu

kegagalan dalam mempertahankan makna kebangaan sebagaimana yang

disyaratkan oleh para pendiri bangsa, namun pula dalam konteks yang lebih

konkret menyebabkan salah urus pemerintahan yang berlarut-larut.3

Kedua, hadirnya sebuah negara yang memonopoli simbol-simbol

kebangsaan atas nama kesatuan geografis, modernitas, dan industrialisasi. Hal ini

disatu sisi memang merupakan salah satu konsekuensi dari prilaku negara dalam

mempertahankan entitas negara-bangsa, namun manakala cara penguatannya

menafikan egalitarianisme dan penghormatan terhadap beragam elemen etnis

pendukung bangun kebangsaan, hasilnya adalah justru kondisi menyesakkan bagi

sebagian kelompok primordial. Kondisi seperti inilah yang justru memicu

problematika bagi eksistensi negara- bangsa itu sendiri.

Ketiga, perubahan institusional pemerintahan. perubahan institusional, yang

berimplikasi pada berubahnya tatanan sosial, konstelasi kekuasaan dan pola

distribusi kesejahteraan, memicu kehawatiran sekaligus peluang terhadap

3
Pusat Penelitian Politik Year Book 2007, Democrazy Pilkada, UPI, h.59
4

kelompok-kelompok primordial. Kehawatiran itu muncul terutama terkait dengan

potensi berubahnya status kedudukan kelompok primordial tertentu. Dalam

konteks inilah kebangkitan sentimen primordial hadir sebagai uapaya

mempertahankan keduduakan politik, status sosial dan juga ekonomi yang mulai

terancam. Sementara dalam konteks terciptanya "peluang" terutama terkait dengan

relaksasi pemerintahan pusat. Dalam hal inilah perubahan institusional

memberikan peluang bagi bangkitnya sebuah kesadaran primordial sebagai respon

makin terbukanya kesempatan nilai-nilai primordial dalam memperngaruhi

kebijakan di daerah.

Keempat, ketimpangan keterwakilan politik dan budaya. Ketidak

proporsionalan politik dan budaya memainkan peran penting dalam menciptakan

sebuah frustasi politik, pengabaian keterwakilan budaya dan secara konkret

kelambanan memicu munculnya fragmentasi politik atas dasar primordial, yang

kemudian biasanya disusul dengan tumbulmya kesadaran primordial kelompok

yang mengalami marginalisasi.4

Meski faktor-faktor trsebut dalam batas-batas tertentu masih melekat kuat,

namun penelitian ini melihat adanya potensi bagi bangsa untuk mempertahankan

itu dari dua kecenderungan yang dapat cermati dari fenomena kebangkitan

sentimen primordial dibeberapa daerah. Kecenderungan pertama, adanya fakta

bahwa ekpresi kebangkitan primordial itu secara umum terjadi lebih sebagai

upaya "pemulihan keterwakilan" ketimbang upaya serius "melepaskan diri" dari

4
Pusat Penelitian Politik Year Book 2007, Democrazy Pilkada, h.60
5

NKRI. Kecenderungan Kedua, bahwa ekspresi kebangkitan sentimen primordial

itu secara umum masih disalurkan dengan cara-cara legal-formal atau masih

dalam batas aturan main bernegara, ketimbang melalui jalur-jalur inkonstutional

dan kekerasan. hal ini menunjukan bahwa sebagai penggiat kebangkitan sentimen

primordial itu masih mengakui institusi politik dan eksistensi pemerintah yang

sah.5

Survey and Polling Indonesia (Spin) merilis hasil penelitiannya terhadap

perilaku politik masyarakat berdasarkan etnisnya. Survei Spin menyebutkan hanya

pemilih di luar Jawa yang cenderung membuka ruang bagi calon presiden yang

berbeda etnis dengannya. "Adapun suku Jawa ada kecenderungan untuk memilih

calon pimpinan nasional yang berasal dari suku yang sama dengannya," ujar

Danny Indrianto, peneliti Spin saat memaparkan hasil surveinya di Hotel Mulia,

Senayan, Jakarta, Ahad, 23 Februari 2014.

Survei Spin digelar pada 1 Januari-15 Februari 2014 dengan 1.090

responden di seluruh Indonesia. Survei dilakukan dengan wawancara tatap muka

serta kuesioner. Survei yang menggunakan metode simple random sampling itu

diklaim memiliki margin of error 2,99 persen dengan tingkat kepercayaan 95

persen. Danny menguraikan secara akumulasi kombinasi calon presiden dan calon

wakil presiden Jawa dan Jawa dipilih 51,4 persen responden, Jawa dan non-Jawa

47 persen, non-Jawa dan Jawa 49,5 persen, serta non-Jawa dan non-Jawa 25,7

persen. "Tingginya kombinasi antara Jawa dan Jawa tak lepas dari jumlah pemilih

5
Pusat Penelitian Politik Year Book 2007, Democrazy Pilkada, h.61
6

di Jawa lebih banyak dari suku-suku lainnya serta tersebar di seluruh provinsi,"

katanya.

Menurut Danny, responden yang sangat setuju dengan komposisi Jawa dan

Jawa sebanyak 19,5 persen, menyatakan setuju 31,9 persen, sedangkan tidak

setuju 7,2 persen, serta sangat tidak setuju 13,6 persen. Adapun responden yang

menyatakan sangat setuju pada komposisi Jawa dan non-Jawa 12,4 persen,

menyatakan setuju 34,6 persen, tidak setuju 17,1 persen, dan sangat tidak setuju

11,2 persen.

Adapun terhadap komposisi non-Jawa dan Jawa, responden yang

menyatakan sangat setuju 18,5 persen, setuju 30,8 persen, tidak setuju 18,8

persen, serta sangat tidak setuju 10,9 persen. Sedangkan terhadap komposisi non-

Jawa dan non-Jawa, yang sangat setuju 18,7 persen, setuju 29,2 persen, tidak

setuju 17,1 persen, dan sangat tidak setuju 11,2 persen. "Survei ini

dilatarbelakangi gagasan bahwa etnisasi dan politik identitas mendapatkan

perhatian penting dari berbagai kalangan yang beraneka ragam suku dan budaya

di Indonesia," ujarnya.6

Dalam Islam bentuk primordialisme juga menjadi perdebatan di kalangan

para ulama, baik ulama ahli tatanegara zaman klasik, pertengahan dan

kontemporer. Selain hadits yang di kemukakan Abu Bakar kepada kaum

Muhajirin beberapa riwayat juga menunjukan prilaku Primordial yang seolah itu

adalah memeang ajaran yang harus benar-benar ditaati.


6
Tri Suharman. Tempo.com https:// nasional. tempo. co/ read/ news/ 2014/ 02/ 23/
078556802/ survei-suku-jawa-cenderung-tolak-capres-non-jawa
7

Rasulullah pernah bersabda, "Sesungguhnya, Allah rnemilih dari Ibrahim:

Ismail dan mentilih dari Ismail: Bani Kinanah, dan memilih dari Bani Kinanah:

Quraisy, dan memilih dari Quraisy: Bani Hasyim, dan memilih aku dari Bani

Hasyim." Abbas ibn Abdul Muththalib meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,

"Sesungguhnya, Allah telah menciptakan makhluk dan menjadikanku dari

golongan terbaik mereka dan yang terbaik dart dua golongan. Kemudian Dia

memilih beberapa kabilah, lalu menjadikanku berasal dari kabilah terbaik mereka

Kemudian memilih beberapa keluarga lalu menjadikanku dari keluarga yang

terbaik. Karena itu, aku adalah manusia dan keluarga yang terbaik."7 Terlepas dari

itu nampaknya syarat Suku Quraisy bagi calon kepala Negara masih menjadi

perbincangan yang tiada habisnya untuk dibahas, terlebih dengan semakin

berkembangnya zaman yang dirasa syarat kesukuan tersebut terkesan hanya

sebagai dalil politik perebutan kursi jabatan Presiden dan Khalifahan.

Dari penjelasan penulis tersebut diatas merupakan suatu satu contoh bentuk

primordialisme yang pernah tejadi pada pemilihan presiden tahun 2009 maupun

dalam Islam, maka penulis tertarik membahas untuk menjadikan skripsi dengan

judul "Primordialisme Politik di Indonesia pada Pemilihan Presiden tahun 2009

dalam Prespektif Politik Islam"

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

7
Al-Mubarakfuri Syafiurrahman, Sirah Nabawiyah, terj. Faris Khairul Anam, dari Sirah
Nabawiyah. (Jakarta; Qisthi Press, 2014), h.23
8

Agar pembahasan dalam penelitian ini terarah dan tersusun secara

sistematis pada tema pembahasan yang menjadi tema titik sentral dan tidak

meluas, maka penulis perlu menulis uraian masalah. Untuk mendapatkan

pembahasan yang objektif maka dalam skripsi ini membatasinya dengan

pembahasan hanya sekitar mengenai Primordialism kesukuan Indonesia pada

pemilihan presiden 2009 dalam Perspektif Politik Islam

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada batasan masalah di atas dan dalam rangka mempermudah

penulis dalam menganalisa permasalahan, penulis menyusun suatu rumusan

masalah sebagai berikut:

a) Bagaimana perspektif Politik Islam tentang primordialisme kesukuan

seorang kepala negara ?

b) Seberapa besar pengaruh primordialisme terhadap Pemilihan Presiden

2009 ?

C. Tujuan dan Kegunan Penelitian

Tujuan penulisan skripsi ini antara lain:

a) Untuk mengetahui Perspektif Politik Islam tentang primordialisme

kesukuan seorang kandidat kepala negara.

b) Untuk mengetahui dampak Primordialisme terhadap Pemilihan

Presiden 2009.

Kegunaan dari penulisan skripsi ini antara lain:


9

1. Dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk menyumbangkan

pemikiran dalam rangka memberikan andil bagi perkembangan ilmu

pengetahuan terutama dalam bidang fiqh siyasah, sebagai bagian dari

mata kuliah yang diajarkan di Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Dapat merupakan salah satu sumbangan pemikiran untuk memperkaya

kepustakaan hukum Islam, umumnya dan Ilmu Hukum Tata Negara

Islam khususnya.

D. Tinjauan Pustaka

Untuk menghindari duplikasi karya tulis ilmiah serta untuk mcnunjukkan

keaslian penelitian ini, maka dirasa perlu mengkaji berbagai pustaka yang

berkaitan dengan penelitian dalam skripsi ini.

Karya Nawiruddin yang berjudul Etnisitas dalam politik: studi tenteng peran

KKSS ( Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan) terhadap Capres Jusup kala pada

Pilpres 2009. Fokus kajian ini ialah membahas mengenai peranan KKSS dalam

memberi dukungan penuh kepada capres dan cawapres JK-Wiranto pada Pilpres

2009 dengan berbagai cara, mulai dari melakukan kampanye secara gencar sampai

mecari dukungan dari berbagai macam lembaga-lembaga sosial.

Karya Dedi Firmansyah dengan judul Peran politik etnis dalam Pilkada

(Studi atas Pilgub Bengkulu tahun 2005). Fokus kajian ini tentu lebih

memfokuskan pada situasi politik primordial etnis dalam pemilihan Gubernur

bengkulu pada tahun 2005.


10

Karya Sugiprawaty dengan judul Etnisitas, Primordialisme, dan Jejaring

politik di Sulawesi Selatan (Pilkada Sulsel tahun 2007-2008). Fokus kajian ini

ialah ruang kontestasi yang terbuka bagi masyarakat Sulawesi Selatan yang

ditopang oleh etnis Bugis, Makasar. Toraja dan Mandan Namun tidak selalu

prilaku primirdial etnisitas dimunculkan kepermukaan setiap kali melakukan

pemilu, seperti pada pemilihan gubernur Sulawesi Selatans unsur stnisitas

semakin melemah meskipun tetap dimunculkan untuk mendapatkan dukungan

dari ikatan primordial.

Karya Salomo Panjaitan dengan Judul Primordiaiisme Elvis dan Agantia

dalam pemilu Kepala Daerah Gubernur Sumatera Utara. Fokus kajian Jurnal ini

penulis ingin membahas lebih mendalam mengenai sikap primordial masyarakat

dalam Pemilukada yang dilaksanakan di setiap kabupaten kota Sumatera utara

yang ada padanya menggambarkan plularisme dan multikulturalisme yang

dikatakan juga di beberapa kabupaten/kota tidak ditemukan sukuletnis yang

dominan.

Perbedaan dengan skripsi yang penulis teliti adalah dalam penelitian ini

penulis meneliti tentang primordialisme kesukuan kandidat kepala Negara dalam

perspektif Politik Islam dan untuk mengetahui seberapa besar dampak

primordialisme kesukuan terhadap Pilpres 2009.

E. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data dan penjelasan segala sesuatu yang berhubungan

dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian yang disebut


11

metodologi penelitian, 8 yang dimaksud dengan metodologi penelitian adalah cara

meluluskan sesuatu dengan menggunakan pikiran sesama untuk mencapai suatu

tujuan. Metode adalah pedoman cara seseorang ilmuan mempelajari dan

memahami langkah-langkah yang dihadapi.9

Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan

suatu sistematika, metodologi ilmiah dengan tujuan untuk memperoleh sesuatu

yang Baru atau asli dalam usaha memecahkan suatu masalah yang setiap saat

dapat timbul di masyarakat.10 Jenis penelitian skripsi ini adalah Penelitian Pustaka

(Library Research) yang dilengkapin dengan wawancara, dan dengan

menggunakan metode analisis deskriptif.

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Bodgan dan

Taylor mendefisinikan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan

data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

yang diamati.11 Karakter khusus penelitian kualitatif berupaya mengungkap

keunikan individu, kelompok, masyarakat atau organisasi tertentu dalam

kehidupannya sehari-hari. Dilihat dari segi tujuan dalam penelitian ini termasuk

8
Cholid Arboko, dan Abu Ahmadi, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Pustaka, 1999), h.1
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1989), h.6
10
Sukandar Rumidi, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Universitas Gadja Mada Press,
2004), h.111
11
Basrowi, dan Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif ( Jakarta Rineka cipta,2008),
h.21.
12

dalam metode penelitian yang bersifat deskriptif yaitu metode yang dapat

diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang sedikit dengan

menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek, obyek penelitian (seseorang

lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta

yang tampak, atau sebagaimana adanya.12

2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber data yang di gunakan merupakan bagian yang terpenting dalam

penelitian ini, maka pencarian data yang di pergunakan dari penelitian ini di

peroleh dari:

a) Sumber data primer.

Yang termasuk dalam data primer yaitu ayat-ayat al-Qur’an dan

Hadis Nabi yang berkaitan dengan pembahasan penulis. Termasuk juga

di antaranya buku-buku Politik Islam yang berkaitan dengan pembahasan

tema ini.

b) Sumber data sekunder.

Yang termasuk dalam sumber data sekunder yang digunakan

berupa buku-buku, tulisan-tulisan, makalah, surat kabar, artikel,

mengambil berdasarkan sumber yang dihimpun dari media masa maupun

dari laporan-laporan yang dapat mengetahui gambaran-gambaran secara

khusus yang mengkategorikan primordialisme perpolitikan di Indonesia,

serta berdasarkan sumber kepustakaan yang berasal dari buku-buku dari

12
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2007), h.68
13

berbagai narasumber dan dengan melalui wawancara terhadap para ahli

yang terkait dengan Primordialisme Pilpres 2009 Perspektif Politik Islam.

3. Teknik Pengumpulan Data.

Setelah memperoleh data, maka penulis akan mengolah data dengan memberikan

pemaparan dan penjelasan data yang ditemukan dalam penelitian secara logis dan

sistematis. Dengan menyajikan dan menggambarkan data secara alamiah dan tanpa

merubah apapun atau memanipulasi data-data.

4. Teknik penulisan

Dalam hal teknis penulisan, penulis mengacu pada buku pedoman penulisan

skrripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

F. Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi atas lima bab. Tiap-tiap bab terbia

dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi pembahasan tentang : Latar

Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan

Penelitian, Tinjauan Pustaka, metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

Bab II merupakan tinjauan mengenai etnisitas kandidat kepala negara dalam

perspektif Politik Islam. Pada bab ini diuraikan pembahasan tentang: dasar hukum

kesukuan calon kepala negara, latar belakang kesukuan kepala negara masa

Rasulullah saw, latar belakang kesukuan kepala negara masa al-Khulafau al-
14

Rasidun, dan latar belakang kesukuan kepala negara pasca masa al-Khulafa al-

Rrasidun.

Bab III merupakan bagian yang membahas tentang latar belakang etnisitas

kandidat kepala negara dalam pilpres 2009. dalam bab ini disajikan pembahasan

tentang: etnisitas dalam peta perpolitikan di indonesia, bentuk-bentuk

primordialisme dalam pilpres 2009, unsur jawa non jawa dalam pilpres 2009, dan

budaya primordialisma kesukuan.

Bab IV merupakan bab yang membahas tentang etnisitas kandidat presiden

RI pada pilpres 2009 perspektif Politik Islam. pada bab ini disajikan pembahasan

tentang: pendapat para ulama mengenai kesukuan seorang kepala negara, latar

belakang Jawa dan Quraisy sebagai estnisitas seorang kepana negara, dasar-dasar

terjadinya prilaku primordialisme pilpres 2009 dan primordialisme memberi

pengaruh besar pada pilpres 2009.

Bab V merupakan bab penutup. Pada bab ini dikemukakan kesimpulan yang

merupakan jawaban dari rumusan masalah pada bab I dan diakhiri dengan saran-

saran sebagai usulan follow up penulisan ini.


BAB II

ETNISITAS KANDIDAT KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF


POLITIK ISLAM

A. Dasar Hukum Prilaku Primordialisme

Yang lebih dekat dengan kajian primordialisme adalah syarat suku Quraisy

bagi kandidat kepala negara atau khalifah. Menurut Dr. Mujar Ibnu Syarif dalam

buku Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, terdapat dua pendapat mengenai

syarat keturunan Quraisy ini; Pertama, pendapat yang mengharuskan kepala

Negara berasal dri suku Quraisy. Pendapat ini didasarkan pada beberapa hadits

nabi;

Pertama, sabda Nabi Muhammad saw yang berbunyi sebagai berikut:

1
)‫االئمة مه قشٔش (سَاي احمذ‬

"Para imam (kepala negara ) itu (harus) dari( suku ) Quraisy". (H. R.Ahmad)

Kedua, sabda Nabi Muhammad saw lainnya berbunyi

2
)ْ‫ ان ٌزا االمش فّ قشٔش الٔعادٍٔم احذ االكبً هللا عهّ َجًٍ فّ انىاس ما اقامُا انذٔه (سَاي انبخاس‬...

“.. masalah ini (kepemimpinana) ada pada orang-orang Quraisy. Dan tidak
seorangpun yang menentangnya kecuali Allah akan melemparkan kedalam
neraka, selama mereka mereka (Orang Quraisy) berpegang kepada agama”.
(H.R. al-Bukhari)

1
Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Ash-Shaibanl, Musnad Imam Ahmad
Bin Hanbal, bandingkan juga dengan Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non-Muslim di Negara Muslim,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h.46
2
Imam al-Bukhari, Sahih Bukhari, bandingkan juga dengan Mujar Ibnu Syarif, Presiden
Non-Muslim di Negara Muslim, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h.59

15
16

Ketiga, sabda Nabi Muhammad saw bernada serupa ialah

3
)ِ‫ الٔزال ٌزا االمش فّ قشٔش ما بقٓ مىٍم اثىان (سَاي انبخاس‬...

“.. masalah ini (kepemimpinan negara) selalu berada pada orang-orang


Quraisy selama (generasi) mereka (masih ada minimal) dua orang”. (H.R. al-
Bukhari).

Syarat keturunan Quraisy ini, lanjut Dr. Mujar Ibnu Syarif bersifat tentatif,

sehubungan dengan hal tersebut ia menyatakan sebagai berikut:

"Syarat keturunan Quraisy ini adalah syarat yang bersifat tentatif (yang
dimajukan) sesuai dengan tuntutan kemaslahatan yang ada pada saat itu. (Syarat
ini dikemukakan mengingat pada masa lalu hanya) suku Quraisylah yang
memiliki solidaritas kelompok (yang paling) kuat serta (paling) berwibawa di
antara suku-suku Arab yang lainnya, sehingga (merekalah) yang paling
dipercaya untuk memangku jabatan khalifah. Akan tetapi, ketika suku Quraisy
sudah lemah, solidaritas kelompoknya pun sudah rapuh, dan tidak mampu lagi
mengemban (amanat) kekhalifahan, serta dominasinyapun berhasil dipatahkan
oleh suku-suku non-Quraisy, lantaran terbuai kemewahan dan kesenangan yang
berhasil mereka gapai, maka (pada saat seperti itu) sudah tidak ada maslahatnya
lagi mempertahankan syarat (keturunan Quraisy)".4

Lebih dari itu, tegas Dr. Mujar Ibnu Syarif, syarat keturunan Quraisy tidak

menjadi dasar naqliyah baik dari al-Qur‟an dan al-Sunnah, Sehubungan dengan

hal ini ia menyatakan sebagai berikut;

“.. sesungguhnya klaim Suku Quraisy (bawha) hak (untuk menjadi


Khalifah) ini hanyalah milik mereka saja, tidak punya dasar, baik dari Al-Qur‟an
maupun Al-Sunnah, (tetapi) hanya berdasarkan pendapat Abu Bakar saja ketika
berdebat dengan kaum Anshar di Saqifah bani Sa‟idah ..”5

3
Imam al-Bukhari, Sahih Bukhari, bandingkan juga dengan Mujar Ibnu Syarif, Presiden
Non-Muslim di Negara Muslim, h.59
4
Mujar Ibnu Syarif. Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, (Jakarta: Pusat Sinar
Harapan, 2006), h.55
5
Mujar Ibnu Syarif. Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, h.60
17

Kedua, pendapat yang tidak mengharuskan kepala negara berasal dari Suku

Quraisy. Pendapat ini didasarkan kepada ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadis Nabi

sebagai berikut;

Pertama, ayat al-Qur‟an yang dimaksud adalah sebagai berikut:

... ‫ٔاأٍا انىاس ان خهقىاكم مه ركش َاوثّ َجعهىاكم شعُبا َقبائم نتعاسفُا ان اكشمكم عىذ هللا اتقاكم‬

)٩٤/٣١:‫(انحجشات‬

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-


laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu …” (Q.S. 49: al-Hujurat : 13)

Kedua, sabda Nabi Muhammad saw sebagai berikut:


6
)ِ‫ (سَاي انبخش‬... ّ‫ اسمعُا َاطٕعُا َان استمم عهٕكم عبذ حبش‬...

“.. dengar dan lihatlah sekalipun yang diangkat menjadi pemimpinmu adalah
seorang budak Ethopia .. (H.R. al-Bukhari). 7
‫ٔاأٍا انىاس اال ان سبكم َاحذ َان اباكم َاحذ ال فضم نعشبّ عهّ اعجمّ َال نعجمّ عهّ عشبّ َال‬
8
)‫ألحمش عهّ اسُد َال ألسُد عهّ احمش اال بانتقُِ (سَاي احمذ‬

“Wahai manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhan kamu satu dan bapak kamu
juga satu (Adam). Ingatlah tidak ada keutaman orang Arab atas orang non-Arab,
orang non-Arab atas orang Arab, orang kulit merah atas orang kulit hitam, orang
kulit hitam atas orang kulit merah, kecuali karena (kualitas) takwanya”. (H.R.
Ahmad).9
6
Imam al-Bukhari, Sahih Bukhari, bandingkan dengan Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non-
Muslim di Negara Muslim, h.60
7
Mujar Ibnu Syarif. Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, h.60
8
Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Ash-Shaibanl, Musnad Imam Ahmad
Bin Hanbal, bandingkan dengan Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, h.61
9
Mujar Ibnu Syarif. Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, h.61
18

B. Latar Belakang Kesukuan Masa Rasulullah Saw

Masyarakat Arab khususnya di bagian tengah Semenanjung Arabia dalam

keadaan tidak bernegara (stateless). Mereka hidup berkelompok berdasarkan

ikatan dan fanatisme kekabilahan yang sangat bebas merdeka antara satu kabilah

dengan kabilah lainnya. Mereka selalu menegaskan kemerdekaan itu dengan

berbagai cara sehingga sangat rentan terhadap pertikaian atau bahkan perang antar

kabilah. Demikian kuat independensi dan fanatisme itu, sehingga kabilah besar

Quraisy yang mendominasi kota Mekkah, kota utama di wilayah itu, harus

mengendalikan kota itu secara kolektif melalui pembagian peran di antara cabang-

cabang kabilah Quraisy yang saling bermusuhan dan kadangkala saling berperang,

melalui mekanisme musyawarah di Dar al-Nadwah.10

Dalam konteks kehidupan orang Arab yang lebih luas, kelangsungan hidup

mereka di tengah kebebasan seperti ini dibangun melalui penghormatan dan

kepatuhan bersama kepada agama (penyembahan berhala) beserta seluruh ritusnya

dan kepada adat-istiadat, tanpa ada satu pun kabilah yang benar-benar dominan.

Kehidupan masyarakat Arab mengalami perubahan fundamental ketika

Islam mulai didakwahkan oleh Rasulullah saw. Seruan Muhammad saw kepada

penduduk Mekkah untuk hanya menyembah Allah Tuhan Yang Esa, mengakui

Muhammad saw sebagai Rasul-Nya dan berakhlak mulia menumbuhkan suatu

figurasi baru dalam wujud dakwah Islamiyah.

10
Aziz Abdul, Chiefdom Madinah, Kerucut Kekuasaan Pada Zaman Awal Islam (Jakarta:
PT Pustaka Alvabet, 2016), h.343
19

Orang-orang Arab terbagi menjadi dua, yaitu Adnan dan Qahthan. Adnan

harus didahulukan daripada Qahthan karena kenabian diangkat dari kalangan

orang-orang Arab Adnan. Orang-orang Arab Adnan terdiri dari dua kabilah, yaitu

kabilah Rabitah dan kabilah Mudhar. Kabilah Mudhar harus didahulukan

daripada kabilah Rabitah karma kenabian diangkat dari kabilah Mudhar. Dalam

kabilah Mudhar terhimpun suku Quraisy dan suku non-Quraisy. Suku Quraisy

harus didahulukan daripada suku non-Quraisy karena kenabian diangkat dari suku

mereka.11

Suku Quraisy terdiri dari Bani Hasyim dan non-Bani Hasyim. Bani Hasyim

harus didahulukan daripada non-Bani Hasyim karena kenabian diangkat dari

kalangan mereka. Dengan demikian, Bani Hasyim merupakan sentral

pengelompokan. Pengelompokan kemudian dilanjutkan pada orang-orang yang

nasabnya paling dekat dengan nasab mereka hingga pengelompokan mencakup

semua orang Quraisy. Setelah itu, pengelompokan dilanjutkan pada nasab sesudah

mereka hingga mencakup semua orang Mudhar. Setelah itu, dilanjutkan pada

nasab sesudah mereka hingga mencakup semua orang Adnan. Silsilah nasab

orang-orang Arab dapat dibagi ke dalam enam tingkatan, yaitu; 1) sya'b, 2)

qabilah, 3)„imarah, 4)bathn, 5) fakhdz, dan 6) fashilah.

Sya'b adalah silsilah nasab yang paling jauh, seperti Adnan dan Qahthan.

Dinamakan sya'b karena semua kabilah merupakan tasya‟ub (cabang) darinya.

Selanjutnya, qabilah (kabilah), yaitu pecahan dari nasab orang-orang Arab seperti

Rabi'ah dan Mudhar. Dinamakan qabilah (kabilah) karena adanya taqabul

11
Aziz Abdul, Chiefdom Madinah, Kerucut Kekuasaan Pada Zaman Awal Islam, h.344
20

(pertemuan) nasab di dalamnya. Selanjutnya, „marah, yaitu pecahan dari nasab

kabilah, seperti Quraisy dan Kinanah. Selanjutnya, bathn, yaitu pecahan dari

nasab-nasab seperti Bani Abdu Manaf dan Bani Makhzum. Selanjutnya,fakhilz,

yaitu pecahan dari nasab-nasab bathn, seperti Bani Hasyim. Selanjutnya fashilahI

yaitu perpecahan dari nasab-nasab fakhdz, seperti Bani Abbas dan Bani Abdul

Muthalib.12

C. Latar Belakang Kesukuan Kepala Negara Masa al-Khulafa al-Rasyidun

1. Abu Bakar Ash-Shiddiq

Abu Bakar Ash-Shiddiq (nama lengkapnya Abu Bakar Abdullah bin Abi

Quhafah bin Utsman bin Amr bin Mas‟ud bin Taim bin Murrah bin Ka'ab bin

Lu'ay bin Ghalib bin Fihr Berarti silsilahnya dengan Nabi bertemu pada Murrah

bin Ka'ab). Dilahirkan pada tahun 573 M. Dia dilahirkan di lingkungan suku yang

sangat berpengaruh dan suku yang banyak melahirkan tokoh-tokoh besar.

Ayahnya bernama Utsman (Abu Kuhafah) bin Amir bin Amr bin Ka'ab bin Saad

bin Taym bin Mun'ah bin Ka'ab bin Lu'ay, berasal dari suku Quraisy, sedangkan

ibunya bernama Ummu Al-Khair Salmah binti Sahr bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taym

bin Murah. Garis keturunannya bertemu pada neneknya, yaitu Ka'ab bin Sa'ad.13

Hubungan Abu Bakar dengan Nabi saw semakin kuat setelah perkawinan

Nabi dengan Aisyah. Aisyah adalah seorang perempuan prandai yang berusaha

12
Al-Mawardi, Ahkam Sulthoniyah, Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, terj.
Khalifurrahman Fath & Fathurrahman, dari al-Ahkam al-Sulhaniyyah, (Jakarta:Qisthi Press 2014),
h.361
13
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam. (Bandung, Pustaka Setia 2008). h.67
21

untuk memiliki sebuah peran dalam semua perkembangan politis di masanya. Hal

ini cukup membantu untuk memperkuat posisi Abu Bakar. Kita telah mengatakan

sebelumnya bahwa Imam Ali as yakin bahwa Aisyah memainkan peran kunci

dalam seluruh ibadah-ibadah Abu Bakar.

Abu Bakar tidak memiliki tanggung jawab politis atau militer apapun

selama sepuluh tahun masa tinggalnya di Madinah, tetapi ia bisa memperoleh

kekuasaan dengan memahami situasi sayap-sayap internal dalam suku Quraisy

dan memanfaatkan rasa permusuhan suku Quraisy terhadap Imam Ali as maupun

kerja sama sayap-sayap tengah suku Quraisy, yakni mereka yang tidak termasuk

di antara Bani Umayah ataupun Bani Hasyim. Abu Bakar memperoleh

kesempatan yang sangat penting. Ketika ia mengambil alih kekuasaan, sebuah

gelombang kemurtadan dan perlawanan terhadap Islam meliputi Hijaz. Seluruh

umat Islam menyaksikan prinsip Islam dalam bahaya, dan menyadari bahwa

menentang Abu Bakar bukanlah kepentingan mereka.14

Menarik untuk diketahui bahwa segera setelah Abu Bakar memegang

kekuasaan, perpecahan muncul di antara kaum Anshar dan kaum Quraisy gara-

gara syair kasar yang dibuat Abu Bakar tentang kaum Anshar. Setelah itu, kaum

Anshar tetap menjaga jarak dengan Abu Bakar, dan Amr bin Ash, yang didorong

oleh kaum Quraisy berbicara menentang mereka. Di sisi lain, Fadhl bin Abbas dan

kemudian Imam Ali as memuji kaum Anshar. Hasan bin Tsabit menuliskan syair

untuk memuji Imam Ali as atas dukungannya kepada kaum Anshar, dan secara

14
Rasul Ja‟Fariyan, Sejarah Khilafah 11.H-35.H. terj. Anna Farida, at.all, dari The History
of The Caliphs, (Jakarta : Al-Huda 2006). Cetakan I, h.18
22

tersirat merujuk kepada upaya-upaya beberapa lelaki suku Quraisy yang ingin

mengambil alih kedudukan Imam Ali. Namun demikian, ketika oposisi semakin

memuncak, (perhatian) kaum Anshar beralih pada orang-orang yang mengaku-

ngaku kenabian dan kemurtadan-kemurtadan lain.15

2. Umar ibn Al-Khaththab

Umar ibn Al-Khaththab (583-644) yang memiliki nama lengkap Umar bin

Khaththab bin Nufail bin Abd AI-Uzza bin Ribaah bin Abdillah bin Qart bin

Razail bin „Adi bin Ka'ab bin Lu'ay, adalah khalifah kedua yang menggantikan

Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dia adalah salah seorang sahabat terbesar sepanjang

sejarah sesudah Nabi Muhammad SAW. Kebesarannya terletak pada

keberhasilannya, baik sebagai negarawan yang bijaksana maupun sebagai

mujtahid yang ahli dalam membangun negara besar yang ditegakkan atas prinsip-

prinsip keadilan, persamaan, dan persaudaraan yang diajarkan oleh Nabi

Muhammad SAW. Dalam banyak hal, Umar ibn A1-Khaththab dikenal sebagai

tokoh yang sangat bijaksana dan kreatif, bahkan genius.16

Umar berasal dari suku Bani `Adi, salah satu cabang suku Quraisy. Ibunya,

Hantamah, adalah putri Hasyim bin Mughirah dari klan Bani Makhzum. Bani

Makhzum adalah cabang lain dari suku Quraisy dan sekutu dari Bani Umayah di

zaman jahiliah. Tidak seperti Abu Bakar, Umar memeluk Islam bertahun-tahun

setelah disampaikan oleh Nabi saw. Banyak sumber menyatakan dia masuk Islam

15
Rasul Ja‟Fariyan, Sejarah Khilafah 11.H-35.H. h.19
16
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam. h.77
23

pada tahun ke-6 H. Mas'udi berkata bahwa ia masuk Islam empat tahun sebelum

Hijrah, yaitu tahun ke-9 Hijriah.

Ketika Abu Bakar menyerahkan sumpah khilafah kepada Umar dan

memintanya untuk membacanya kepada penduduk, seseorang bertanya

kepadanya, "Apa isi surat itu?" Dia menjawab, "Aku tak tahu pasti, tetapi aku

akan menjadi orang pertama yang akan menaatinya! " Orang itu berkata, "Tapi

aku tahu apa isinya. Tahun pertama kau pilih ia sebagai khalifah, dan tahun kedua,

ia menempat-kanmu sebagai khalifah umat Islam." 17

Kutipan di alas menunjukkan bahwa penduduk begitu sadar akan

keterikatan politik antara keduanya. Nampaknya, penduduk melihat satu

pemikiran sepanjang khilafah Abu Bakar dalam diri kedua orang ini. Dengan kata

lain, mereka yakin bahwa Khilafah Umar adalah kelanjutan dari khilafah Abu

Bakar, dan bahwa khilafah mereka adalah satu pengelolaan tunggal. Qais bin Abi

Hazim berkata, "Aku melihat Umar di dalam mesjid, dengan sebilah tongkat dan

batang kurma di tangannya, sedang berusaha menyuruh orang-orang untuk duduk.

Pelayan Abu Bakar, yang bernama Syudaid, datang ke mesjid dan membacakan

perintah dari Abu Bakar, dan kemudian, Umar naik ke mimbar." "Benar jika

dikatakan bahwa Abu Bakar tidak akan menjadi seorang khalifah jika bukan untuk

Umar. Ketika Abu Bakar ingin menunjuk Khalid bin Sa'id sebagai komandan

pasukan, Umar berhasil merubah pikirannya, karena Khalid barn bersumpah setia

kepada Abu Bakar setelah tiga bulan dari pertemuan Saqifah. Abu Bakar biasa

17
Rasul Ja‟Fariyan, Sejarah Khilafah 11.H-35.H. h.71
24

berkata dia mencintai Umar lebih dari yang lain-lainnya. Umar berkata kepada

Ibnu Abbas, "Sungguh, jika Abu Bakar tidak percaya kepadaku, dia akan

menyingkirkan bagianmu dalam pemerintahan, dan dengan demikian, orang-orang

di sukumu (Quraisy) akan membencimu."

Kepercayaan kepada Umarlah yang membuat Abu Bakar menulis sebuah

persetujuan yang menunjuk Umar sebagai penerusnya. Konsultasi yang dilakukan

oleh Abu Bakar dengan para bangsawan Quraisy sebelum menunjuk Umar.

Usman selalu hadir di sisi tempat tidur sang khalifah selama sakitnya. Abu Bakar

memintanya untuk menuliskan persetujuan suksesi atas namanya. Setelah

pendahuluan persetujuan itu dituliskan, Abu Bakar koma dan Usman yang tahu

tugasnya menyelesaikan sumpah (jabatan) itu dan menuliskan nama Umar di

dalamnya. Setelah sadar kembali, Abu Bakar meminta Usman membacakan apa

yang telah ditulisnya. Dia melakukannya, dan Abu Bakar menyetujuinya. 18

Tindakan Abu Bakar dalam menentukan umur khilafah dan prinsip

"suksesi" menjadi absah dalam fikih politik mazhab Sunni. Namun demikian,

menurut sumber-sumber Sunni, hal ini tidak memiliki dasar dari Nabi. Keterituan

suksesi itu memberikan dua pilar bagi pemerintahan yang turun temurun

(berdasarkan keturunan).

Dalam pemerintahan ini, pilar pertama adalah suksesi, dan pilar yang kedua

adalah keluarga dan keturunan. Pilar pertamanya dalam riwayat khilafah berkaitan

dengan suatu bentuk yang sah. Sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad

18
Rasul Ja‟Fariyan, Sejarah Khilafah 11.H-35.H. h.72
25

Rasyid Ridha, hal ini memunculkan khilafah turun temurun di masa Bali Umayah.

Pernyataan tertulis Abu Bakar secara praktis merujuk Umar sebagai khalifah.

Oleh karena itu, kesetiaan penduduk tidak berpengaruh dalam pemerintahannya.

Akhirnya, kita harus mengatakan bahwa sikap tidak setuju penduduk tidak lantas

berarti dia tidak bisa menjadi seorang khalifah. Ini benar-benar semacam sumpah

ketaatan dan kesetiaan kepada khalifah. Umar sendiri percaya bahwa pemilihan

Abu Bakar sebagai khalifah umat Islam adalah secara spontan dan bahwa

pemerintahan hares dilaksana-kan berdasarkan pertimbangan kaum beriman,

tetapi ia duduk di kursi khilafah berdasarkan sebuah pernyataan (Abu Bakar). Dia

mengritik cara terpilihnya Abu Bakar tetapi ia tidak berkata apapun mengenai

caranya yang aneh untuk memperoleh kekuasaan.19

3. Utsman bin Affan

Nama lengkap Utsman bin Affan adalah, Utsman bin Affan bin Abi AI-Ash

bin Umayyah bin Abd Al-Manaf dari suku Quraisy. Lahir pada tahun 576 M.,

enam tahun setelah penyerangan Ka‟bah oleh pasukan bergajah atau enam tahun

setelah kelahiran Rasulullah SAW. Ibu Khalifah Utsman bin Affan adalah Urwy

bin Kuraiz bin Rabiah bin Habib bin Abdi Asy-Syams bin Abd A1-Manaf.

Utsman bin Affan masuk Islam ada usia 30 tahun atas ajakan AbuBakar. Sesaat

setelah masuk Islam, ia sempat mendapatkan siksaan dari pamannya, Hakam bin

Abil Ash. Ia dijuluki dzun nurain, karena menikahi dua putri Rasulullah SAW.

19
Rasul Ja‟Fariyan, Sejarah Khilafah 11.H-35.H. h.75
26

secara berurutan setelah yang satu meninggal, yakni Ruqayyah dan Ummu

Kulsum.20

Menjelang Umar wafat, Umar diriwayatkan telah membentuk sebuah dewan

formatur yang beranggotakan: ibn Abi Thalib, 'Utsman ibn Affan, Zubayr ibn al-

Awwam, Thalhah ibn Abdullah, ibn Abi Waggish, dan 'Abd al-Rahman ibn Awe

dengan ketentuan bahwa anaknya tidak boleh dipilih sebagai penggantinya.

Pembentukan dewan yang disebut sebagai al-Syiara (permusyawarahan) ini,

yang meliputi para sahabat tertua dan terkemuka, memperlihatkan bahwa gagasan

Arab kuno tentang kepala suku telah mengalahkan gagasan tentang kerajaan turun

temurun. Senioritas kesukuan kembali menjadi penentu terpilihnya Utsman (644),

khalifah ketiga yang mengungguli Ali. Utsman mewakili aristokrat Umayyah,

berbeda dengan dua pendahulunya yang mewakili kalangan Muhajirin. Tidak

seorang pun dari ketiga khalifah ini yang mendirikan sebuah dinasti. 21

4. Ali bin Abi Thalib

Setelah 'Utsman wafat, Ali diangkat sebagai khalifah keempat di Masjid

Nabawi Madinah pada 24 Juni 656. Secara otomatis, seluruh dunia Islam

mengakui kekhalifahannya. Khalifah baru ini merupakan saudara sepupu

Muhammad, suami anak perempuan Nabi yang paling disayang, Fithimah, ayah

dua orang anak laki-laki, al-Jasan dan al-Jiusayn, serta merupakan orang kedua

atau ketiga yang beriman kepada Nabi. la adalah seorang yang ramah, bersahabat,

20
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam. h.86
21
Philip K Hitti. History of the Arabs. terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet
Riyadi (Jakarta: Serambi 2006), h.222
27

saleh, dan pemberani. Kelompok pendukungnya, ahl al-nashsh wa al-tajdn

(pengikut ketentuan dan keterapan Tuhan = kaum legitimis), dengan gigih

menegaskan bahwa sejak awal Allah dan Rasul-Nya telah dengan jelas

mengangkat Ali sebagai satu-sarunya penerus yang sah, tetapi tiga khalifah

sebelumnya telah mencuri kekhalifahan darinya.

Persoalan pertama 'Ali adalah menyingkirkan dua saingan utama

kekhalifahan yang baru ia duduki, Thalhah dan Zubayr, yang mewakili kelompok

Mekah. Keduanya, Thalhah maupun Zubayr memiliki pengikut di Hijaz dan Irak

yang tidak mau mengakui kekhalifahan Ali. A'isyah, seorang istri yang paling

disayang Nabi dan kini menjadi ibunda orang-orang beriman, yang tidak

mencegah tapi justru membantu pemberontakan terhadap 'Utsman, kini bergabung

dengan para pemberontak menentang 'Ali di Ba-shrah.22

Peperangan saudara memperebutkan kerajaan ini melemahkan sendi-sendi

Islam dari masa ke masa dan akhirnya menggoyahkan fondasi utama yang baru

dibangun. Langkah pertama yang dilakukan Ali adalah memindahkan pusat

pemerintahan ke Kufah. Kemudian untuk mengamankan kekhalifahannya ia

memberhentikan sebagian besar gubernur yang diangkat oleh pendahulunya dan

mengangkat pejabat-pejabat lain. Namun Ali tidak memperhitungkan Mu'awiyah,

gubernur Suriah dan kerabat Usman, karena kemudian Mu'aiwiyah bangkit

melawan dan menuntut kematian 'Utsman. Di masjid Damaskus, ia

mempertontonkan baju 'Utsman yang terkena bercak darah dan potongan jari

tangan istrinya, Nailah, yang putus ketika melindungi suaminya. Dengan taktik

22
Philip K Hitti. History of the Arabs, h.223
28

dan kecerdikannya, ia mempermainkan emosi umat Islam. Mu'awiyah tidak mau

menghormati Ali, dan menyudutkannya pada sebuah dilema: menyerahkan para

pembunuh 'Utsman, atau menerima status sebagai orang yang bertanggung jawab

atas pembunuhan itu, sehingga ia harus diturunkan dari jabatan khalifah.

Di dataran terbuka Shiffin, sebelah selatan Raqqah, di tepi barat sungai

Efrat, dua pasukan akhirnya saling berhadapan, Ali yang dikabarkan membawa

pasukan sebanyak 50.000 orang Irak, dan Mu'awiyah membawa tentara Suriah.

Dengan sikap setengah had, karena kedua belah pihak berusaha mereka-reka hasil

akhir, pertempuran berlangsung berlarut-larut selama beberapa minggu.

Pertempuran terakhir terjadi pada 28 Juli 657 yang dimenangkan kubu

Muawiyyah.23

Sebenarnya di bawah pimpinan Malik al-Asytar, pasukan 'Ali hampir

menang ketika Amr ibn al-'Ash yang cerdik dan licik, pemimpin pasukan

Muawiyyah, melancarkan siasat. Salinan Alquran yang dilekatkan di ujung

tombak tiba-tiba terlihat diacung-acungkan sebuah tanda yang diartikan sebagai

seruan untuk mengakhiri bentrokan senjata dan mengikuti keputusan Alquran.

Peperangan akhirnya berhenti. Karena desakan pan pengikutnya, Ali yang baik

hati itu menerima usulan Mu'awiyah untuk melakukan arbitrase dalam persoalan

mereka dan menyelamatkan jiwa umat Islam. Arbitrase itu tentu saja sesuai

dengan firman Allah apa pun makna yang tercerap darinya.Berdasarkan

pertimbangannya, khalifah mengangkat wakilnya, Abu Musa- al-Asy'ari, orang

yang terkenal saleh tapi tidak begitu loyal kepada 'Ali.Untuk menandinginya

23
Philip K Hitti. History of the Arabs, h.225
29

Mu'awiyah memilih 'Amr ibn al-'Ash, yang dikenal sebagai politisi ulung bangsa

Arab.

Keduanya memegang dokumen tertulis yang memberikan otoritas penuh

untuk mengambil keputusan.Lalu, dengan 400 orang saksi dui kedua pihak, kedua

arbitor (bahasa Arab hakam) mengadakan rapat umum pada bulan januari 659 di

Adhruh, jalan utama antara Madinah dan Damaskus dan separuh jarak antara

Ma‟an dengan Petra. Apa yang tepatnya rerjadi dalam perundingan bersejarah ini

sulit dipastikan. Berbagai versi muncul dalam berbagai sumber yang berbeda.

Riwayat yang ada menyebutkan bahwa kedua pihak sepakat untuk memecat kedua

pemimpin mereka, sehingga melapangkan jalan bagi “kuda hitam” tapi setelah

Abu Musa, yang Iebih tua, berdiri dan menegaskan bahwa is memecat 'Ali dari

jabatan kekhalifahannya, Amr mengkhianatinya dan menetapkan Mu‟awiyah

sebagai khalifah. 24

D. Latarbelakang Kesukuan Kepala Negara Pasca al-Khulafa al-Rasyidun

1. Daulah Umaiyah

Latar Belakang Daulah Umaiyah Nama Daulah Umaiyah berasal dari

nama Umaiyah bin Abdu Syams bin Abdul Manaf yaitu salah seorang daripada

pemimpin Kabilah Quraisy pada zaman jahiliah. Tertegaknya daulah ini bermula

pada 41 H-132 H, yaitu kira-kira 91 tahun yang terdiri daripada 14 orang khalifah,

yaitu;

24
Philip K Hitti. History of the Arabs, h.226
30

1) Muawiyah, 2) Yazid, 3) Muawiyah II, 4) Marwan, 5) Abdul Malik, 6)

al-Walid, 7) Sulaiman, 8) Umar Abd Aziz, 9) Yazid Abd Malik, 10) Hisyam

Abdul Malik, 11) al-Walid bin Yazid, 12) Yazid bin Walid, 13) Ibrahim al-Walid,

dan 14) Marwan Muhammad.

Urutan para pemimpin di atas menggambarkan kepada kita bahawa corak

pemerintahan Islam telah berubah dari corak bai'ah kepada corak sistem beraja.

Perubahan corak pemerintahan pada zaman Umaiyah ini sedikit sebanyak telah

memberi kesan kepada senario masya-rakat Islam pada waktu itu seperti

berlakunya pembunuhan Sayidina Hussein oleh tentera Yazid, peristiwa Abdullah

bin Zubair dan lebih jauh daripada itu timbulnya firqah-firqah di kalangan

masyarakat Islam seperti Syiah, Khawarij, Muktazilah, Murjiah dan Jabariah yang

berpegang teguh dengan pendapat masing-masing.25

2. Daulah Abbasiyah

Latar Belakang Daulah Abbasiah Nama Abbasiah diambil daripada

perkataan al-Abbas. Abbas as-Saffah adalah pembesar Bani Hasyim dan seorang

yang setia kepada junjungan besar Nabi Muhammad s.a.w. Daulah Abbasiah

adalah sebuah kerajaan yang besar, maju serta jangka masa kekuasaan yang

panjang iaitu selama kira-kira 600 tahun yaitu 656M-1258 M. Khalifah-khalifah

Abbasiah pada umumnya sangat giat memajukan negara terutamanya dalam

bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Mereka menggalakkan usaha

25
Ahmad Redzuwan, dan Muhammad Yunus, Sejarah Dakwah, Siri Islam Dalam
Masyarakat. (Kuala Lumpur : Canin Printing Corporation SDN BHD, 2001), h.342
31

pentetjemahan buku-buku asing dan kebudayaan luar ke dalam bahasa Arab untuk

dikaji dan dipelajari oleh orang-orang Islam. daulah ini terdiri daripada 37 orang

khalifah,26 yaitu;

1) Abu al 'Abbas Abdullah bin Muhammad, 2) Abu Jafar Abdullah bin

Muhammad Al Mansur, 3) Muhammad bin Mansur al-Mahdi, 4) Abu

Muhammad, Musa bin Al-Mahdi al-Hadi, 5) Harun Ar-Rasyid , 6) Muhammad

bin Harun al-Amin, 7) Al-Ma'mun ar-Rasyid, 8) Abu Ishaq al-Mu'tasim bin

Harun, 9) Watsiq bin Mu‟tasim, 10) Ja'far al-Mutawakkil bin al-Mu'tasim Billah

Al-Muntashir, 11) Al-Musta'in, 12) Al-Mu‟tadz, 13) Al-Muhtadi, 14) Al-

Mu‟Tamid, 15) Al-Mu'tamid Alallah, 16) Al-Mu'tadhid Billah, 17) Al-Muktafi,

18) Al-muqtadir, 19) Abu Manshur Muhammad Al-Qahir Billah, 20) Abu al-

Abbas Muhammad bin al-Muqtadir, 21) Ibrahim bin al-Muqtadir bin al-

Mu'tadhid, 22) Al-Mustakfi 944 sampai 946, 23) Al-Muthi' Lillahi, 24) Al-Qadir

Billah, 25) Abdullah bin al-Qadir, 26) Al-Muqtadi, 27) Al-Muqtadi, 28) Al-

Mustazhir, 29) Al-Mustarsyid, 30) Al-Mustarsyid Billah, 31) Al-Muqtafi

Liamrillah, 32) Al-Mustanjid, 33) Al-Mustadhi' Liamrillah, 34) An-Nashir

Lidinillah, 35) Az-Zahir, 36) Al-Muntashir, dan 37) Abdullah bin al-Mustanshir

Billah.

Kota Baghdad yang menjadi pusat pemerintahan ketika itu menjadi tumpuan

manusia dari serata pelosok dunia. Rakyat jelata yang terdiri daripada orang-orang

Arab dan Ajam bekerjasama untuk kepentingan negara. Oleh kerana masa

26
Ahmad Redzuwan, dan Muhammad Yunus. Sejarah Dakwah, Siri Islam Dalam
Masyarakat. h.343
32

pemerintahan Daulah Abbasiah yang lama banyak usaha dakwah yang mereka

lakukan.27

27
Ahmad Redzuwan, dan Muhammad Yunus. Sejarah Dakwah, Siri Islam
Dalammasyarakat. h.344
BAB III

LATAR BELAKANG ETNISITAS KANDIDAT KEPALA NEGARA

DALAM PILPRES 2009

A. Etnisitas dalam Peta Perpolitikan di Indonesia

Pergulatan mencari identitas etnis dan keagamaan ini (dalam konteks

masyarakat Indian sexing disebutkan bersama sebagai 'identitas komunal') merupakan

ciri yang paling menarik dari provinsi-provinsi Indonesia sejak akhir masa Orde

Baru. Dalam pembahasan dari bagian bab ini etnisitas dilihat sebagai ideologi

perjuangan politik. Namun, etnisitas temyata lebih dari sekadar ideologi. Etnisitas

memberi perasaan yang sangat mendalam. Sekelumit sejarah mungkin bisa

membantu menjelaskan hal ini sekaligus menunjukkan konteks yang lebih luas.1

Di bawah pemerintahan Orde Baru, etnisitas, agama, ras, dan kelas

(dirangkum dalam singkatan akronim SARA) secara politis merupakan wilayah

terlarang, dan menyiratkan bahwa segala macam wacana publik menyangkut topik-

topik ini akan diawasi oleh pemerintah. Meskipun demikian, masih saja ada wacana-

wacana tentang budaya, adat, agama, dan kesukuan, dan semua ini merupakan

penghalang yang kompleks bagi pembentukan identitas. Isu-isu menyangkut agama

dan adat benar-benar terus dimonitor oleh aparat negara, sementara fenomena tentang

kesenjangan ditutupi dengan paksa. Selain itu, kebudayaan dilembagakan dan

1
Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, Politik Lokal Di Indonesia,terj. Bernard
Hidayat, dari Local Politics In Post-Suharto Indonesia,(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia :
2007 ), h.29

33
34

dijadikan folklore. Etnisitas secara formal dianggap tabu karena potensinya untuk

meledak, sementara semboyan nasional - Bhinneka Tunggal Ika - tampak begitu

melegitimasi keberagaman. Namun, justru interpretasi mengenai artinya keberagaman

itu serta siapa yang dapat menentukannya yang kemudian menjadi soal pertengkaran.

Rita Smith Kipp (1993) menganalisis ambiguitas dan alasan diperebutkannya konsep-

konsep seperti `etnisitas', `agama' dan `kebudayaan' dalam era Orde Baru di

Indonesia. Dia melukiskan bagaimana sejak masa kolonial pemerintah telah

mendukung proses pemisahan yang menurutnya berarti tidak adanya kerancuan akan

identitas agama dan etnis (seperti di dunia Melayu kuno saat “masuk Melayu”

merupakan sinonim dengan “masuk Islam”). Berlawanan dengan pendapat lama

bahwa integrasi nasional dan hubungan yang semakin erat antara berbagai kelompok

yang berbeda akan mengikis identitas etnis, kebijakan pemerintah, migrasi, dan

mengintensifnya kompetisi untuk mendapatkan sumber-sumber daya yang langka

sejak tahun 1980-an semua itu justru telah meningkatkan kesadaran etnis. Orde Baru

yakin ia bisa mengatasi aneka perbedaan yang sesungguhnya mereka sendirilah

penciptanya. Perbedaan etnis mengurangi kesatuan agama, agama membuat

kelompok-kelompok etnis semakin plural, dan baik etnisitas maupun agama

meniadakan kelas.2

Jika peta perpolitikan Indonesia dikuasai oleh orang Jawa, maka dirasa wajar-

wajar saja, karena penduduk Jawa-Madura jumlahnya 50% dari jumlah penduduk

2
Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, Politik Lokal Di Indonesia,h.31-32
35

Indonesia. Sedangkan pembentukan daerah pemilihan pemilu baik pemilu legislatif

maupun pemilu presiden berdasarkan jumlah penduduk.

Kita bisa lihat hal tersebut dalam Lampiran UU no.8 tahun 2012 tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang baru diterbitkan bulan Mei

2012 lalu. Dalam pemilu 2014 nanti, dari total 560 orang anggota DPR, Sumatera

akan diwakili oleh 120 orang, Jawa 306, Bali, NTB dan NTT, 32, Kalimantan 35,

Sulawesi 47, Maluku dan Papua 20.

Sudah sejak lama populasi di pulau Jawa dan Madura padat. Sehingga untuk

menghindari ketidakterwakilan wilayah atau provinsi lain yang populasinya kecil,

sejak awal diselenggarakannya pemilu di Indonesia, dimunculkan kebijakan bahwa

setiap provinsi di Indonesia harus mempunyai wakil di DPR. Meskipun populasinya

kecil dan tidak mencukupi bilangan pembagi untuk pembentukan sebuah daerah

pemilihan.3

B. Bentuk-Bentuk Primordialisme dalam Pilpres 2009

Isu etnisitas dan agama dalam konteks kekuasaan atau kepresidenan kembali

mengemuka pada pemilihan presiden (selanjutnya disebut pilpres) 2009 ketika

pasangan Jusuf Kalla (selanjutnya disebut dengan JK) dan Wiranto menggunakan isu

tersebut sebagai advokasi politik. Isu etnisitas dilontarkan melalui slogan “Pasangan

3
Pipit Apriani. kompasiana.com.http://www.kompasiana.com/pipit-apriani/orang-jawa-
memang-sudah-ditakdirkan-memerintah-indonesia_5510a5a3a33311c739ba89e6Diakses pada Selasa,
27 Desember 2016. Pukul 12:27 WIb.
36

Nusantara”. Pasangan Nusantara yang dimaksud adalah perpaduan antara kandidat

yang berasal dari luar Jawa, yaitu JK berasal dari Makasar dan Wiranto berasal dari

Jawa. Isu agama dilontarkan melalui slogan Istri Muslimah' dan jilbab Loro. Slogan

ini diusung karena istri pasangan JK-Wiranto mengenakan jilbab dalam

kesehariannya. JK-Wiranto juga memiliki isu politik mengenai personality trait yang

dituangkan dalam slogan "Lebih Cepat Lebih Baik". Namun, studi ini hanya

membahas dua isu politik, yaitu etnisitas dan agama.

Etnisitas dan agama digunakan JK-Wiranto sebagai isu politik karena kedua

hal tersebut secara ideologis bisa digunakan oleh elit politik dalam melakukan

hegemoni ideologinya. `Pasangan Nusantara' bisa dimaknai sebagai sebuah simbol

dominasi. Melalui terminologi tersebut, dibangun sebuah kesadaran palsu seolah-olah

pasangan tersebut merupakan representasi dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Namun, `Pasangan Nusantara' bisa juga dibaca sebagai counter hegemony terhadap

sebuah kesadaran palsu yang selama ini berkembang bahwa hanya orang Jawa yang

berhak menjadi presiden. Melalui simbol-simbol agama: Istri Muslimah dan

“Loro",4terkandung makna bahwa pasangan JK-Wiranto merupakan representasi dari

umat Islam, agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indoneia. Kedua slogan

tersebut bisa juga dimaknai bahwa JK-Wiranto merupakan kandidat yang paling

Islami. Dengan demikian, agama dalam hal ini merupakan aparatus ideologis untuk

melanggengkan domininasi.

4
Nina Widyawati. Etnisitas dan Agama Sebagai Isu Politik, Kampanye JK-Wiranto dalam
Pilpres 2009. (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia 2014 ), h.13
37

Newman (dalam Kaid 2004: 22) mengatakan bahwa strategi pemasaran

diperlukan untuk menentukan posisi kandidat. Dalam strategi pemasaran, terdapat

beberapa variabel dalam menentukan posisi kandidat. Melalui slogan-slogan yang

digunakan, JK-Wiranto membidik pasar yang berbeda-beda. Pasar luar Jawa dibidik

melalui slogan yang mengandung isu etnisitas, yaitu 'Pasangan Nusantara'. Klaim

sebagai representasi Nusantara diungkap oleh Jawa Post News Network (18 Mei

2009) sebagai berikut: "Di antara pasangan yang ada, JK-Wiranto juga mengklaim

pasangan paling Nusantara. Pasangan Nusantara merupakan representasi Indonesia

Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur. JK asli Sulawesi dan Wiranto asal Jawa.

SBY dan Boediono sama-sama dari Jawa Timur, dan Mega-Prabowo yang sama-

sama dari Jawa. Jawa Pos menjelaskan tencang pentingnya bangsa ini memiliki

pasangan yang merepresentasikan Nusantara, bukan pasangan Jawa (yang disebut

oleh JK sebagai pasangan pilkada). Hal tersebut dikemukakan oleh JK sebagai

berikut5:

"Kami bukan pasangan pilkada. Karena apa? Banyak orang bicara harmoni

bangsa, tapi pada saar bangsa pecah semua diam. Saya minta maaf saya punya

kepemimpinan yang rudah menyelesaikan konllik di Poso, Ambon, dan Aceh Saya

selesaikan: Negri ini barus harmonis kepemimpinan, adil Bangsa barus diatur oleh

pasangan nasional bukan pilkada”.

5
Nina Widyawati. Etnisitas dan Agama Sebagai Isu Politik, Kampanye JK-Wiranto dalam
Pilpres 2009. h.14
38

Slogan yang berisi isu agama digunakan JK untuk membidik kalangan Islam.

Slogan "Jilbab Loro' (dua kerudung) digunakan JK untuk mendapatkan simpati dari

masyarakat Muslim Jawa yang berasal dari akar rumput. Untuk pasar perempuan

berpendidikan JK juga memiliki slogan Istri Muslimah". Satu bulan sebelum

pemilihan presiden, yaitu 7 Juni 2009 terbit buku yang berjudul "Istri Muslimah"

dengan sampul foto Mufidah Kalla dan juga Wiranto mengenakan jilbab. Slogan 'Istri

Muslimah" membuat beberapa organisasi massa yang berbasis Islam di Jawa Barat

mendukung JK. Demikian pula beberapa kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang

bersimpati terhadap pasangan ini. Selain itu, dalam pidato-pidatonya JK sering

mengatakan bahwa pasangan JK-Wiranto merupakan pasangan religius karena JK

berasal dari keluarga NU dan aktivis HMI, sementara Mufidah Kalla dari keluarga

Muhammadiyah. Untuk mengukuhkan bahwa JK merupakan pribadi yang religius,

pada masa kampanye JK berkunjung Pesantren Darussalam Gresik, Pesantren

Langitan Tuban, dan Pesantren Buntet Cirebon (6 Juli 2009).6

Etnisitas dan agama sebagai isu politik disampaikan oleh JK-Wiranto dalam

bentuk advokasi politik. Advokasi politik digunakan oleh politikus untuk mencari

dukungan rerhadap kebijakan yang dijanjikan oleh kandidat presiden. Etnisitas

sebagai sebuah advokasi politik biasa dilakukan apabila kandidat berasal dari etnis

minoritas. Isu etnisitas sebagai advokasi politik dipilih kandidat dari kelompok

minoritas untuk menarik segmen rational voters, yaitu voters yang memilih

6
Nina Widyawati. Etnisitas dan Agama Sebagai Isu Politik, Kampanye JK-Wiranto dalam
Pilpres 2009.h.15
39

berdasarkan isu yang ditawarkan; social voters, yaitu voters yang memilih

berdasarkan social imagery, yaitu stereotype kandidat melalui asosiasi dengan

segmen daerah asal; sena situational voters, yaitu voters yang ingin mengubah pilihan

ke kandidat lain.

Isu etnisiras dan agama disampaikan JK-Wiranto dalam bentuk advokasi

politik melalui media konvensional (billboard, media cetak, radio, dan televisi) dan

media baru. Bentuk-bentuk advokasi politik JK-Wiranto melalui media baru adalah

advokasi politik resmi yang dibuat oleh rim kampanye JK-Wiranto maupun yang

dibuat oleh relawan pendukungnya, antara lain, "Facebook Jk for President",

"Facebook JK-Wiranto Pasangan Nusantara", "Facebook Pray for Indonesia" Selain

itu, terdapat advokasi politik yang dibuat oleh penentang JK-Wiranto, sebagai contoh

"Say no to JK", dan "Say „Now!!!‟ to Jusuf Kalla".7

Advokasi politik melalui media baru berkembang seiring dengan

perkembangan teknologi media baru. Berkembangnya media baru diikuti oleh

berkembangnya komunitas baru yang disebut dengan netters, bloggesr, facebookers,

yaitu komunitas yang menggunakan dan mengembangkan Blog dan facebook sebagai

forum untuk mendiskusikan berbagai masalah termasuk politik.

7
Nina Widyawati. Etnisitas dan Agama Sebagai Isu Politik, Kampanye JK-Wiranto dalam
Pilpres 2009. h.16-17
40

C. Unsur Jawa Non-Jawa dalam Pilpres 2009

Pada hasil akhir pemilihan presiden 2009 menunjukan bahwa perolehan suara

JK-Wiranto adalah 12,41%. Angka ini jauh lebih rendah dibanding angka perolehan

partai yang mengusung mereka, yaitu Partai Golkar (14,45%) ditambah dengan Partai

Hanura (3,77%). Rendahnya perolehan suara JK-Wiranto menunjukkan bahwa

afiliasi politik tidak berbanding lurus dengan dukungan terhadap talon presiden yang

diusung sebuah partai. Apabila dikaitkan dengan isu etnisitas sebagai advokasi

politik, maka isu tasebut cukup berpengaruh. Hal ini bisa dilihat dari perolehan suara

JK-Wiranto di beberapa daerah Indonesia Bagian Timur memang cukup bagus. JK-

Wiranto memperoleh suara 64,41% di Sulawesi Selatan, 41,12% di Sulawesi Tengah,

46,38% di Sulawesi Tenggara, 44,62 di Sulawesi Barat, dan 40,72% di Maluku Utara.

Angka-angka tersebut memiliki arti bahwa advokasi politik yang mengusung isu

etnisitas sukses untuk pasar Indonesia Bagian Timur. Namun, di beberapa daerah

Indonesia Bagian Barat perolehan suara JK kurang bagus, sebagai contoh, perolehan

suara JK-Wiranto di Sumatera Barat, yaitu kampung halaman Mufidah Kalla hanya

14, 18%.8

Kajian tentang Etnisitas, Agama dan Perilaku Memilih

Hubungan antara etnisitas dan agama terhadap perilaku memilih memang

berkaitan. Di Indonesia terdapat dua kajian tentang etnisitas dan agama terhadap

8
Nina Widyawati. Etnisitas dan Agama Sebagai Isu Politik, Kampanye JK-Wiranto dalam
Pilpres 2009. h.20
41

perilaku memilih. Pertama adalah Suryadinata et.al (2003) yang melakukan kajian

dengan menggunakan data agregat yang bersumber dari data Badan Pusat Statistik

(BPS). Hasilnya menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat hubungan antara

dukungan terhadap partai politik oleh etnisitas tertentu, sebagai contoh mayoritas

penduduk Jawa memiliki loyalitas terhadap PDIP dan PKB. Dukungan partai

menurut dikotomi etnisitas sebagaimana bisa dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1.1. Partai &sal. dan Sedang menurut Dukungan Etnik: Indonesia, Pemilihan

Umum 1999

Partai Ketua Umum Dukungan Etnik

PDIP Megawati Jawa/Bali

Golkar Akbar Tanjung Sumatera/Bugis/ Makasar

PKB Matoridi Abdul Jalil Jawa

PPP Hamzah Haz Etnik di Luar Jawa

PAN Amien Rais Etnik di Luar Jawa

PBB Yusril Ihza Mahendra Etnik di Luar Jawa

Kajian kedua, yang dilakukan oleh Liddle dan Murjani melalui survei,

menunjukkan bahwa variab1 etnisitas bukanlah variabel penting dalam menjelaskan

pilihan seseorang terhadap partai dan kandidat karena tidak ada perbedaan tegas

pilihan seseorang pada partai atau kandidat berdasarkan pada etnisitas. Pemilih yang
42

berasal dari etnik Jawa dan non-Jawa tidak terlihat punya pilihan partai atau kandidat

presiden tertentu. Perbedaan hasil kedua kajian tersebut dimaknai oleh Eriyanto

bahwa pengaruh etnisitas dan agama terhadap perilaku memilih dalam pemilu

maupun Pilkada sangatlah kontekstual pengaruhnya, bergantung pada daerah dan

karakterisrtik sosial budaya masyarakatnya.

Setelah reformasi 1998, politik dan demokrasi di Indonesia menunjukkan

beberapa perkembangan yang menunjukan bahwa terdapat beberapa tokoh yang

berasal dart etnik minoritas yang menang dalam pilkada. Zakina (2008) menuturkan

bahwa minoritas sehagai pemenang pilkada menarik untuk dikaji karena ada asumsi

bahwa dominasi politik di Indonesia dan negara lain biasanya dilakukan oleh

kelompok mayoritas.9

Dalam pertimabangan sebuah partai politik dalam mengusung calon lebih

cenderung melihat sosok figur yang akan diusung, dan yang menjadi sebuah

pertimbangan penting adalah trekrekor figur itu sendiri, seberapa mahal harga jual di

kalangan masyarakat, dan seberapa unggul dibandingkan calon-calon lainnya,

sehingga parpol dan tim sukses bisa mengemas ituuntuk kemudian dtawarkan kepada

masyarakat umum. Seperti halnya SBY yang kala itu adalah mantan presiden periode

sebelumnya,kemudian megawati yang berdarah proklamator Indonesia Ir. Soekarno,

didukung lagi dengan Prabowo sorang jendral TNI yang sudah tidak diragukan.

9
Nina Widyawati. Etnisitas dan Agama Sebagai Isu Politik, Kampanye JK-Wiranto dalam
Pilpres 2009. h.21
43

Kemudian JK disandingkan dengan lawan yang seperti itu, secara otomatis JK tidak

begitu kuat yang hanya sebatas mantan wakil presiden di periode sebelumnya.10

D. Budaya Prilaku Primordialisme Kesukuan

Primordialisme adalah rasa, kedekatan, dan aspek tertentu yang diesebut

emosional atau dalam bahasa weber lebih dikenalmekanik, jadi aspek primordial, atau

aspek dukungan kedekatan seseorang diangap wajar. Seperti, orang sunda dekat

dengan orang sunda, orang jawa dekat dengan orang jawa, orang islam dekat dengan

orang Islam itu suatu adalah masalah yang wajar dalam hal antropologi karena

manusia itu mempunyai ikatan, atau juga marga-marga dan lainnya.

Primordialisme dalam masyarakat terbentuk melalui proses sejarah, dan juga

melalui sosiologis,sehingga itu menguat dalam asumsi masyarakat. Seperti halnya

dengan kepresidenan, entah faktor suku menjadi sesuatu bagian yang diyakini karena

mungkin dikarenakan suku tersebut dianggap pantas karena lebih tua, atau mungkin

juga karena suku tersebut yang lebih banyak masyarakatnya, sehinga diluar kelompok

sukunya dianggap suku-suku yang marginal, kecil atau teraleniasi.11

Budaya prilaku primordialisme yang terbentuk di masyarakat merupakan

kebiasaan persepsi masyarakat tentang kepemimpinan. Pemicu tersebarnya isu SARA

10
Wawancara dengan Hafiz Abdullah, (Dewan Pengurus Cabang PPP) Kota Tangerang
Selatan. pada jum‟at, 21 April 2017. Pukul 21:00 Wib.
11
Wawancara dengan Asep Saepudin Jahar, (Dekan Fakultas Syariah dan Hukum) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Senin, 13 Maret 2017. Pukul 12:13Wib.
44

pada setiap kali Pilpres hanya spontanitas masyarakat dari apa yang mereka rasakan.

Menurut Khamami Zada,selain dari jumlah penduduk, tidak ada kelompok yang

memicu terjadinya prilaku primordialisme, itu hanya sebatas persepsi masyarakat saja

di karenakan pada saat ini yang lebih rasional dan muncul tokoh-tokoh yang memiliki

pengalaman maka itulah yang dipilih, secara kebetulan itu dari Suku Jawa. Lihat saja

sosok yang muncul di Pilpres 2014, keduanya sama-sama berasal dari Suku Jawa.

Namun akhirnya Jokowi yang terpilih, bukan karena faktor kesukuannya namun

karena dianggap memiliki pengalaman kepemimpinan yang bagus dari semenjak

menjadi Gubernur Solo hingga di Jakarta meskipun tidak begitu lama.12

Meski tidak ada kelompok atau perseorangan memicu menguatnya budaya

prilaku primordialisme namun nampaknya hal ini masih menguat pada setiap lapisan

masyarakat, “Secara keseluruhan di Indonesiabisa hal-hal yang terkait dengan

primordialisme masih kuat baik dari primordialisme agama, primordialisme suku, dan

dari segi primordialisme lain-lainnya itu masih kuat karena 70% lebih peduduk

Indonesia itu di desa, dan ciri masyarakat desa itu selalu melihat sisi kedekatan

(primorsial), baik kedekatan suku dan lain sebagainya”.13

12
Wawancara dengan Khamami Zada, (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Senin, 13 Maret 2017. Pukul 11:30 Wib.
13
Wawancara dengan Asep Saepudin Jahar, (Dekan Fakultas Syariah dan Hukum) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Senin, 13 Maret 2017. Pukul 12:13Wib.
BAB IV

ETNISITAS KAND1DAT PRESIDEN RI PADA PILPRES 2009

PERSPEKTIF POLITIK ISLAM

A. Pendapat Para Ulama Mengenai Kesukuan Seorang Kepala Negara

Syarat-syarat kepala Negara yang dirumuskan oleh para ahli tata negara islam

yang hidup di zaman klasik (650-1250M), pertengahan (1250-1800M), maupun

kontemporer (1800M-sekarang). Mewakili para ahli tata Negara Islam zaman klasik,

pada pembahasan berikut ini disajikan pendapat tujuh orang ulama, yakni:

1) Ibn Abi Rabi (218-227 H / 833-841 M);

2) al-Farabi (257-339 H/ 870-950 M);

3) al-Baqilani (w. 403 H / 1013 M);

4) al-Baghdadi (w. 429 H / 1037 M);

5) al-Mawardi (364-450 H / 975-1059 M);

6) Abu al-Ma'ali / Imam Haramain al- Juwaini (419-478 H / 10281 087 M), dan

7) al-Ghazali (450-505 M).1

Sementara untuk zaman pertengahan H /1058-1111 dikemukakan pendapat

dua orang ulama yakni:

1. Ibn Taimiyah (661-728 H/1262-1328 M), dan

1
Mujar Ibnu Syarif. Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2006), h.47

45
46

2. Ibn Khaldun (732-808 H/ 1332-1406 M).

Sedangkan untuk zaman kontemporer terdapat enam orang ulama, yakni :

(1) Hasan Ismail Hudaibi, ketua umum al-lkhwan al-Muslimin (1948-1954M)

(2) al-Maududi (1903-1979 M),

(3) Muhammad Abdul Qadir Abu Faris,

(4) Muhammad Dhiya al-Din al-Rayis,

(5) Abdul Wahab Khallaf. dan

(6) Taqi al-Din al-Nabhani.

Dariketujuh ahli tata Negara di zaman klasih lima ulama mensyaratkan

kesuskuan (Quraisy) menjadi syarat sebagai kepala negara, sedangkan sebagian yang

lain tidak manjadikan syarat suku dalam menduduki kursi kekuasaan kepala negara.

Dari ulama yang tidak mensyaratkan Suku Quraisy menjadi kepala Negara ialah2 :

1. Ibn Abi Rabi (218-227 H / 833-841 M)

Suatu hal yang cukup menarik, bahwa berbeda dengan kebanyakan

pemikir-pemikir politik Muslim yang lain, dia tidak menjadikan keturunan

Quraisy sebagai salah satu syarat untuk dapat menduduki jabatan khalifah

atau kepala negara. Baginya cukup kalau calon raja itu seorang anggota

keluarga dekat dengan raja sebelum dia. Sikap "lunak" Ibn Abi Rabi' ini

mungkin disebabkan oleh karena dinasti Abbasiyah semasa pemerintahan

2
Mujar Ibnu Syarif. Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, h.48
47

khalifah Mu'tashim masih sedemikian kokoh, sehingga tidak terbayangkan

jabatan kepala negara dapat jatuh ke pihak lain di luar keturunan Abbas yaitu

salah satu cabang dari Bani (keturunan) Hasyim, salah satu komponen

terkemuka dari suku Quraisy".3

2. al-Farabi (257-339 H/ 870-950 M)

senada dengan Ibn Abi Rabi yang tidak mensyaratkan Suku Quraisy

bagi kandidat kepala negara,al-Farabi menjelaskan bahwa yang diangkat

menjadi kepala negara seorangsaja, sedangkan yang lain menanti gilirannya.

Tetapi kalau misalnya tidak terdapat seorang pun yang memiliki secara utuh

dua betas atribut yang ia syaratkan, pimpinan negara dapat dipikul secara

kolektif antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.

Misalnya "presidium" negara itu diketuai oleh seorang yang memiliki

kebijaksanaan dan kearifan, dan beranggotakan seorang pencinta keadilan,

seorang pemikir yang tangguh, seorang pembicara ulung, seorang ahli ilmu

perang dan sebagainya, dengan catatan bahwa kalau terdapat cukup jumlah

warga negara yang memiliki tiap kualitas tadi, tetapi tidak ada seorang pun

yang memiliki kearifan, maka negara itu tetap tidak mempunyai raja, padahal

suatu negara tanpa raja tidak akan tahan lama dan akan mengalami

kehancuran.Bagi Farabi kepala yang memimpin negara yang utama atau

bahagia itu adalah sekaligus seorang guru, penuntun dan pengelola, karena
3
Mujar Ibnu Syarif. Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, h.49
48

tidak semua orang secara fitri mengetahui tentang cara mencapai

kebahagiaan, dan tidak semua orang mengerti tentang hal-hal yang harus atau

perlu diketahui, maka dibutuhkan adanya guru dan penuntun dengan rincian

yang berbeda.4

Sedangkan lima ulama lain yang menjadikan Suku Quraisy sebagai syarat

menduduki jabatan kepala Negara ialah :

1. al-Baqilani (w. 403 H / 1013 M).

2. Al-Baghdadi (w. 429 H / 1037 M).

3. al-Mawardi (364-450 H / 975-1059 M).

4. Abu al-Ma'ali / Imam Haramain al- Juwaini (419-478 H / 10281 087 M), dan

5. al-Ghazali (450-505 M).

Meskipun memang dari ulama-ulama tesebut diatas memiliki jumlah

syarat yang berfariasi dan menempatkan syarat keturunan Quraisy yang

berbeda, namun kelimanya menyebutkan bahwa Suku Quraisy adalah syarat

mutlak bagi seseorang yang akan menduduki jabatan seorang kepala negara.5

Tidak jauh berbeda dengan tujuh orang ahli tata negara Islam zaman klasik,

dari kedua ulama di zaman pertengahan (Ibn Taimiyah & Ibn Khaldun), keduanya

berbeda pendapat mengenai persyaratan seorang calon kepala Negara dari suku

Quraisy.

4
Mujar Ibnu Syarif. Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, h.50
5
Mujar Ibnu Syarif. Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, h.51
49

1. Ibn Taimiyah (661-728 H/1262-1328 M)

Ibn Taimiyah menyatakan bahwa seorang calon kepala negara Islam

itu hanya harus memenuhi dua syarat saja, yaitu dapat dipercaya (amanah) dan

memiliki kecakapan (quwwah), tidak ada dari salah satunya menyatakan dari

keturunan Quraisy.

Pendapat ini didasarkan pada dua ayat al-Qur'an. Pertama, ayat 26

surat al-Qashash yang berbunyi sebagai berikut :

)٨٢/ ٨٢:‫ ان خير مه استجرت القوى االمــــــــيه (القصص‬...

". . Sesungguhnya orang yang paling balkyang kamu ambit untuk bekerja

(pada kita) ialah orang yang kuat (al-a - iy) lagi dapat dipercaya (alamin)".

(Q.S. 28 : al-Qashash :263).6

Kedua, ayat 54 surat Yusuf yang berbunyi sebagai berikut :

)٤٥/٦٢:‫ اوك اليوم لديىا مكيه امــــــيه (يوسف‬...

.. Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan

tinggi lagi dipercaya (amin) pada sisi Kami". (Q.S. Yusuf : 54).

2. lbnu Khaldun (732-808 H/ 1332-1406 M).

6
Mujar Ibnu Syarif. Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, h.52
50

Berbeda dengan Ibn Taimiyah, lbnu Khaldun yang juga hidup di

zaman pertengahan, dari semua syarat salah satunya ia mewajibkan dari

keturunan Quraisy. Syarat tersebut merupakan syarat yang bersifat tentatif

yang hanya Khusus mengenai syarat keturunan Quraisy, Ibn Khaldun

menyatakan bahwa cocok diterapkan di masa lalu, yakni di saat suku Quraisy

masih eksis sebagai suku yang paling kuat solidaritasnya dan paling

berwibawa di antara suku-suku Arab yang lainnya.

Tidak jauh berbeda dengan ahli tata negara Islam zaman klasik dan pertengahan

yang pandangannya dikutip di muka, dari enam ulama di zaman kontemporer ini juga

masih memiliki perbedaan pendapat mengenai syarat bagi kepala negara, namun

ulama yang menyepakati syarat Keturunan Quraisy tidak menghukumi wajib syarat

itu.

Dari ulama yang tidak mensyaratkan Suku Quraisy menjadi kepala Negara ialah7:

1. Hasan Ismail Hudaibi.

2. al-Maududi.

3. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris

Dari ketiga ulama Ahli tatanegara tersebut diatas memang tidak

mewajibkan syarat Keturunan Quraisy, mereka lebih menekankan pada syarat

beragama Islam karena di samping mengatur soal-soal politik, kepala negara

jugs bertugas menangani masalah-masalah keagamaan, seperti menjadi imam


7
Mujar Ibnu Syarif. Presiden Non-Muslim Di Negara Muslim, h.56
51

shalat, menerapkan syari'at, dan menyebarkan Islam. Karena tidak rnungkin

bila non-Muslim dipilih sebagai kepala negara Islam yang notabene tidak

shalat dan tidak memeluk Islam.

Dan adapun ulama lain yang menjadikan Suku Quraisy sebagai salah satu syarat

bagi seorang kandidat kepala negara,namun tidak menghukumi wajib ialah :

1. Muhammad Dhiya al-Din al-Rayis

Muhammad Dhiya al-DM al-Rayis membedakan syarat-syarat kepala

negara Islam menjadi dua macam. Pertama, syarat-syarat yang telah

disepakati (al-syuruth al-muttafaq 'alaiha), dan Kedua, syarat yang belum

dsepakati atau masih diperselisihkan (fihi khilaf/mukhtalaf fih)8

keabsahannya, yang hanya terdiri dari satu syarat, yaitu syarat keturunan

Quraisy.

2. Abdul Wahab Khallaf

Dengan uraian yang berbeda Abdul Wahab Khallaf juga membedakan

syarat-syarat kepala negara ke dalam dua kategori. Pertama, syarat-syarat

yang telah disepakati (al-syuruth al-muttafaq 'alaiha), dan Kedua, syarat yang

masih belum disepakati atau masih diperselisihkan (mukhtalaf fih)

keabsahannya, yang hanya terdiri dari satu syarat jugs, yaitu syarat keturunan

Quraisyw Yang menjadi akar kontroversi seputar syarat keturunan Quraisy.

8
Mujar Ibnu Syarif. Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, h.57
52

Yang menjadi akar kontroversi seputar syarat Keturunan Quraisy

adalah karena tidak ada dalil yang qath'i mengenai hal itu. Pada satu sisi ada

dalil yang mengharuskannya, dan pada sisi lain ada pula dalil yang tidak

mengharuskan atau menentangnya. Dalil yang paling populer mengenai syarat

keturunan Quraisy adalah hadis Nabi yang dulu pernah dilontarkan Abu Bakar

al-Shiddiq untuk mencairkan ketegangan suasana saat pemilihan khalifah atau

pengganti Nabi di Saqifah Bani Saidah, yang berbunyi sebagai berikut : 9

10
)‫االئمة مه قريش (رواي احمد‬

"Para imam (kepala negara) itu (harus) dari (suku) Quraisy". (H.R. Ahmad)

3. Taqi al-Din al-Nabhani

Taqi al-Din al-Nabhani juga membedakan syarat-syarat kepala negara

Islam ke dalarn dua kategori.1Pertama, syarat-syarat in'iqad (syuruth al-

in'iqad), yaitu syarat-syarat yang menentukan sah atau tidaknya pengangkatan

seorang khalifah/kepala negara. dan Kedua, syarat-syarat afdhaliyyah (syuruth

afdhaiimh), yakni syarat-syarat keutamaan yang apabila terpenuhi akan

menambah bobot calon khalifah/kepala negara. Akan tetapi, bila tidak

terpenuhi, tidak akan berpengaruh pada sah atau tidaknya pengangkatan

seseorang sebagai khalifah. Dengan kata lain, pengangkatan seorang sebagai

9
Mujar Ibnu Syarif. Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, h.58
10
Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Ash-Shaibanl, Musnad Imam Ahmad Bin
Hanbal, bandingkan juga dengan Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, h.46
53

khalifah tetap sah meskipun tidak memenuhi arat-syarat afdhaliwah ini, dan

syarat ini salah satunya adalah Keturunan Suku Quraisy, syarat ini

bukansyarat sehingga seorang yang bukan keturunan Quraisy tetap sah

sebagai khalifah.11

B. Latar Belakang Jawa Dan QuraisySebagai EtnisitasSeorang Kepala Negara

Jika berbicara tentang suku yang mendominasi jabatan kursi seorang kepala

negara, maka yang akan muncul adalah Suku Jawa dalam konteks Indonesia, dan

Suku Quraisy dalam Kehalifahan Islam. Kedua suku tersebut memang masing-

masing mempunyai alasan kenapa selalu di unggulkan menduduki tahta seorang

kepala Negara. Seperti Suku Quraisy misalnya selain berdasarkan hadits“Pemimpin

itu harus dari Suku Quraisy”, ada alasan-alasan lain yang lebih spesifik kenapa

diutamakan menduduki jabatan khalifahan. Seperti yang dijelaskan oleh Khamami

Zada, “substansi mengapapengkhususan (kehalifahan bagi Suku Quraisy) ini bukan

saja pada kesukuannya, melainkan karena Rasulullah itusendiri yang berasal dari

Suku Quraisy.Jadi jika dilihat dari sisi Suni maka Muhammadnya, sementara jika

dilihat dari sisi Syiah itu Ahl al-Bait.Dan karena suku Quraisy itu yang melindungi

Haramaen.Ada tempat-tempat sakrall yang mana ketika ada orang Islam datang maka

11
Mujar Ibnu Syarif. Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, h-64
54

merekalah yang melayani, dan itu adalah symbol keagamaanya, ini berbicara juga

soal sejarah”.12

Senada dengan apa yang di sampaikan Khamami Zada, lanjut Asep Saepudin

Jahar dalam keterangannya menjelaskan bahwa “Suku Quraisy memang tidak bisa

diabaikan bahwa kelompok suku itulah yang sudah melahirkan generasi yang ulung,

yang berpendidikan, sehingga keberpihakn itu selalu kepada Suku Quraisy, meskipun

dalam Islam mencoba mereduksi itu, bahwa bukan sebatas melihat pada suku dan

kelompok masyarakat tertentu. Tapi seseorang yang akan menjadi pemimpin itu

dilihat lihat substansinya”13

Adapun jika presiden Indonesia selalu berlatar balakang jawa itu mestinya

tidak menjadi persoalan, walaupun memang banyak masyarakat bahkan tokoh yang

mewajibkan kesukuan kandidat presiden itu penting, itu hanya berbicara adat, “al-

adatu muhakama” (suatu adat kebiasaan menjadi hokum), kalaupun memang benar

toh tidak mesti di gembor-gemborkan, pada nyatanya praktek dari masyarakat itu

sendirilah mang memustuskan.

Dan jika kita menarik benang merah apa yang terjadi di Indonesia dengan

sistem khilafah pada Islam maka kondisinya berbeda, mereka memiliki landasan

12
Wawancara dengan Khamami Zada, (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Senin, 13 Maret 2017. Pukul 11:30 Wib.
13
Wawancara dengan Asep Saepudin Jahar, (Dekan Fakultas Syariah dan Hukum) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Senin, 13 Maret 2017. Pukul 12:13Wib.
55

teori, meskipun memang pada hadis tersedbut tidak ada “amr” (kalimat perintah)

hanya sebatas menjadi qoidah Negara “fadhlul amal” (keutamaan pelaksanaan).

Dalam Islam sebenarnya keharusan latar belakang suku tersebut kurang bisa menjadi

landasan bernegara, karena justru itu malah menjadi sebuah pemecah belah, dalam

Islam sendiri yang dilihat bukan keturunannya siapa, jabatannya apa dan lain

sebagainya, justru Islam hanya melihat seseorang dari ketakwaannya saja.14

Tapi akhirnya kenapa Suku Jawa masih bisa terus eksis karena memiliki

keutamaan diantaranya;

Pertama,Karena suku yang paling awal dan banyak terlibat dalam kekuasaan

nsaional sehingga terus secara pertumbuhan demokrasi maka Jawa akan merapat

kekuasaan disbanding suku yang lain.Kedua, dari sisi militer, hampir dikuasai oleh

suku jawa,terlebih kekuasaan kepemimpin (presiden) terdahulu dikuasai oleh para

tentara yang berlatar belakang Jawa.Ketiga, jika dilihat dari sisi sejarah, ini memiliki

kemungkinan besar karena kerajaan Jawa yang terakhir berdiri hingga era

kemerdekaan, seperti kesultanan Yogyakarta itu bahkan sampai zaman

kemerdekaanpun masih ada dibanding dengan kesultanan Sumatra, Sulawesi,

Kalimantan dan lain sebagainya seakan sudah hilang diawal zaman kemerdekaan.

Sementara itu di Jawa masih ada sultan Yoyakarta”15

14
Wawancara dengan Abdul Muin Basuni, (Sekretaris Cabang Rabithah Ma’ahid Islamiyah
(RMI) NU) Kota Tangerang Selatan. pada kamis, 20 April 2017. Pukul 13:20 Wib.
15
Wawancara dengan Khamami Zada, Senin, 13 Maret 2017.Pukul 11:30 Wib.
56

Dalam masyarakat Indonesia tidak bisa mengabaikan kelompok masyarakat

yang sudah memiliki karakter dan ciri ketangguhannya.Contoh, Ketika anda

menanyakan tentang petarung laut yang ulung maka kita berbicara tentang

Masyarakat Bugis, itu tidak bisa diabaikan karena mereka kesehariannya hidupnya di

laut. Sama halnya ketika anda akanberbicara tentang keuletan, maka tidak lain adalah

masyarakat Suku Jawa, demikian juga Suku Quraisy yang telah melahirkan

pemimpin-pemimpin tanguh bahkan dari sebelum hadirnya Islam dengan sistem

Khalifah”.16

Selanjutnya, tegas Dr. Mujar Ibnu Syarif dalam bukunya Presiden Non-Muslim

di Negara Muslim bahwa, dalam konteks Indonesia, ikatan etnik masih cukup kuat

dalam menentukan siapa yang menjadi pemimpin. Di Amerika Srikat calon presiden

biasanya berasal dari kelompok mayoritas: Kulit putih, Anglo Saxon, dan pemeluk

Agama Protestan.

Demikian juga Indonesia sama dengan Amerika Serikat, yakni calon

presidennya berasal dari kelompok mayoritas. Bedanya menurut Nurcholis Majiid,

mayoritas yang melahirkan calon presiden di Indonesia adalah Jawa dan

Islam.sebabnya ialah karena hingga detik ini, kedua kelompok inilah yang

mendominasi community culture atau keumuman pola budaya.17

16
Wawancara dengan Asep Saepudin Jahar, Senin, 13 Maret 2017. Pukul 12:13Wib.
17
Mujar Ibnu Syarif. Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, h.212
57

C. Dasar-Dasar Terjadinya Prilaku Primordialisme Pilpres 2009

Latar belakang yang ingin mencalonkan diri menjadi presiden di Indonesia

nampaknya masih dipandang sebagai sebuah keharusan dan hal tersebut dipegang

teguh oleh banyak Masyarakat Indonesia. beberapa alasan mengapa Presiden

Indonesia masih berkutat dipimpin dari satu suku yaitu Suku Jawa pun di ungkapkan

Dr. Khamami Zada M.A “Jawa Itu Penting karena sistem pemilihan kita itu

pemilihan langsung, dimana penduduk terbanyak itu penduduk jawa maka ada

kaitannya bahwa jawa itu selalu menang dalam pilpres karena tidak berdasarkan

proporsi tapi berdasarkan individu seperti legislative dan sebagainya. Jadi orang jawa

yang ada dimanapun memiliki keterikatan dan kemungkinan besar akan memilih

yang dari jawa, karena jawa itu memang punya dampak bagi orang dan pasangan dari

jawa. Tapi teori ini tidak mesti bersifat absolut, karena bukan tidak mungkin orang

jawa memilih non jawa.Dan alas an orang melakukan primordialisme (memilih

pemimpin) berdasarkan etnik itu hal yang wajar, tidak ada yang salah”18

Dalam tradisi literer, terdapat semacam pandangan bahwa masyarakat Jawa

adalah masyarakat yang secara mistik eksotis, yang tidak sama dengan masyarakat

mana pun juga. Literatur dari masa kolonial penuh dengan pemitosan dan prasangka

semacam itu. Pada masa itu, Belanda sering kali menyebut masyarakat Jawa sebagai

"masyarakat yang paling lemah-lembut di muka bumi" sementara beberapa penulis

18
Wawancara dengan Khamami Zada, Senin, 13 Maret 2017.Pukul 11:30 Wib.
58

modern terseret dalam godaan serupa untuk meromantisasi mereka, untuk me-

mandang masyarakat Jawa sebagai kaum yang tinggal di negeri "magis dan mistis"

yang tiada mengenal rentang waktu.19

Demikian juga yang disampaikan Dr, Asep Saepudin Jahar, MA. Ph.D dalam

sela-sela wawancara mengatakan bhawa mengapa Suku Jawa lebih diunggulkan

mendominasi Kursi Kepresidenan di Indonesia, “Kalau Jawa itu kan relatif bisa

didengar atau bisa mengayomi suku lain luar Jawa karena ini secara karakter mereka

lembut dan bisa didengarkan, sementara itu beum bisa ketika jika misalnya kelompok

luar Jawa dengan karakter yang keras memimpin Indonesia, dan juga orang-orang

Jawa yang sudah tersebar di mana-mana akan timbulketidak nyaman di sisi itu”.20

Sementara dari sisi jumlah penduduk, Masyarakat suku Jawa berjumlah sekitar

100 juta jiwa, 40 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia yang jumlahnya

hampir mencapai 250 Juta.Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar

keempat di dunia, bangsa dengan jumlah penduduk mayoritas Muslim terbesar di

dunia, dan juga negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Pulau Jawa tidak hanya

merupakan tempat beradanya ibukota negara, Jakarta, dan kawasan-kawasan urban

penyokong yang sangat luas di sekitarnya dengan segala signifikansi politis, budaya,

sosial, dan ekonomi yang menyertainya tetapi juga beberapa kota besar dan penting

19
M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa.terj. FX Dono SUnardi dan Satrio Wahono, dari
Islamisation And Its Opponents In Java (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, Cetakan I, 2013). h-22
20
Wawancara dengan Asep Saepudin Jahar, Senin, 13 Maret 2017. Pukul 12:13Wib.
59

lain di Indonesia. Di jantung kebudayaan dari masyarakat yang berbahasa Jawa di

Jawa Tengah dan Jawa Timur, terdapat kota Surabaya, Semarang, dan Malang serta

dua pusat budaya Jawa yang adiluhung, Surakarta dan Yogyakarta. Di luar kota-kota

tersebut, mulai dari kawasan pesisir hingga daerah pegunungan, terdapat banyak kota

kecil serta desa yang lebih kecil lagi di mana jutaan masyarakat Jawa terus bekerja

keras untuk meningkatkan taraf hidup kerabat mereka.21

Tidak berbeda dengan apa yang diungkapkan Dr. Khamami Zada, M.A bahwa

factor keunggulan suku Jawa dalam pentas Politik di Indonesia bukan semata karena

latar balakang mereka yang kental akan tradisi-trasi leluhur, namun juga Jumlah

Penduduk menjadi peran penting dalam setiap hasil suara diadakannya Pesta Politik

terlebih pada Konteks Pilpres, “Jawa memiliki populasi penduduk paling banyak di

Indonesia, dari sana juga akhirnya memiliki SDM (Sumber Daya Masyarakat) yang

banyak diabanding dengan etnik yang lain sehing ajawa menguasai partai-partai

politik.Begitu juga soal tumbuhnya kepemimpinan nasional, itu juga semua dari jawa,

jadi mengapa selama ini belum ada pemimpin yang terpilih selaindari suku jawa”.22

D. Primordialisme Memberi Pengaruh Besar Pada Pilpres 2009

Lika liku perjalanan perpolitikan di Indonesia memang tidak bisa dirka dengan

hanya hitungan Matematika ataupun ketenaran seseorang, rasionalitas yang selalu

21
M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa, h-23
22
Wawancara dengan Khamami Zada, Senin, 13 Maret 2017.Pukul 11:30 Wib.
60

menjadi yang selalu diungulkan berdasarkan perasaan masyarakat masih terbilang

lebih kuat dan tidak bisa dipaksa.23

Kahadiran JK (Jusup Kala) pada Pemilihan Presiden 2009 memangcukup

menjadi sorotan masyarakat terlebih latar belakang JK yang non-Jawa. Macam-

macam spekulasi muncul tentang ketidak mungkinan JK memenangi pertarungan

merebutkan kursi jabatan Indonesia 1 karena ia berasal dari Sulawesi (non-Jawa).

Meski memang tidak ada teori bahkan konstitusi yang mengatur tentang syarat

kesukuan seseorang yang akan mencalonkan diri menjadi Presiden Indonesia namun

rupanya hal tersebut masih menjadi acuan yang tidak boleh di abaikan bagi siapapun

yang akan maju dalam memperebutkan kursi RI 1. “bagimayarakat

Indonesiaprimordialisme kesukuan memang masih kuat, hal itu

dikarenakankedekatan faktor kedekatan, bahwa terjadi rasionalitas itu urusan lain dan

tidak memilih itu hal lain. tapi di beberapa belahan Indonesia, tingkatan emosional itu

tetap kuat, bahwa soal primordialisme itu hukum dari sebuah masyarakat, merekalah

yang memberi justifikasi”.24

Bukan saja mengenai persyaratan Suku Jawa karena menjaga kebiasaan yang

sudah melekat. Tapi juga rupanya ada faktor lain mengapa JK kalah dari SBY (Susilo

Bambang Yudhoyono) seperti;

23
Wawancara dengan Asep Saepudin Jahar, Senin, 13 Maret 2017. Pukul 12:13Wib.
24
Wawancara dengan Asep Saepudin Jahar, Senin, 13 Maret 2017. Pukul 12:13Wib.
61

Pertama, Faktor kepemimpinan, pada pemilihanpresiden 2009 JK dihadapkan

dengan (SBY) sebagai lawannya, yang mana pada periode sebelumnya mereka

berpasangan sebagai Presiden dan wakil presiden. SBY kalaitu diangap memiliki

kepemimpinan yang lebih bagus sehingga lebih diungguljan dari JK.Jadi bukan hanya

karena SBY berlatar belakan Suku Jawa saja namun juga karena kepemimpinannya

yang diangap baik maka SBY lebih di unggulkan dari JK. 25Dan Kedua, Faktor

dukungan politik atau gerakan-gerakan politik dari masing-masing pasangan itu

sendiri, entah itu halnya JK sendiri ataupun juga SBY dan lain sebagainya.

Lalu berkaca dari permasalahan-permasalahan suku tersebut diatas tentu tidak

akan berkelanjutanbahwa dengan semakin berkembangnya zaman dan karakter

masyarakat Indonesia kedepanmungkin saja persyaratan suku (Jawa dan non-Jawa)

tidak lagi dipermasalahkan seperti saat ini.

“Tentu Presiden Indonesia tidak harus selalu bersukuJawa, keharusan itu hanya

mitos belaka yang belum terbukti seperti apa kebnarannya. mungkin saja jika hadir

sosok dari luar suku jawa yang popular, dan brilliant, seperti sosok M. Jusuf26 yang

dulu digadang-gadang mampumemimpin Indonesia walaupun bukan berasal dari

Suku Jawa,namun dilihat dari trackrekor kepemimpinannya tentu faktor kesukuan

25
Wawancara dengan Khamami Zada, Senin, 13 Maret 2017.Pukul 11:30 Wib.
26
Jendral TNI Angkatan Darat (Masa Dinas 1945-1983) (Purn) Andi Muhammad Jusuf Amir
(Bone, Sulawesi Selatan). Pada masa kepresidenan Soekarno menjabat sebagai; Menteri Perindustrian
Ringan Indonesia (1964), Menteri Perindustrian Dasar Indonesia (1966), Menteri Perdagangan
Indonesia (1967). Dan pada masa Soeharto; Menteri Pertahanan dan Keamanan Indone sia (1978),
Mentri Perindustrian Indonesia ( 1968).
62

nampaknya tidak jadi masalah untuk menjadi Presiden Indonesia, walaupun mungkin

akan menimbulkan sedikit perselisihan karena suku Jawa yang dominan merasa lebih

emosional”.27

“Jika berbicara kemungkinan non-Jawa menduduki Kursi Presiden Indonesia

untuk konteks di zaman sekarang tentu mungkin saja, yang penting memiliki

kemampuan, track rekor yang bagus dan baik dalam hal pengalaman memipin, dan iu

tidak mesti dari Suku Jawa. Saat ini banyak sosok non-Jawa yang memiliki

kepemimpinan yang bagus, seperti Gubernur NTB28 yang dipandang bagus namun

hanya bagus dalam pandangan Umat Islam, belum dipandang bagus secara nasional

dandiakui orang lain karena tidak punya terobosan yang membuatnya diunggulkan

dari sosok pemimpin bagus lainnya, hanya biasa saja”.29

Namun hingga saat ini dalam konteks Indonesia jabatan seorang presiden

belum bisa diduduki seorang non-Jawa, apa lagi non-muslim. Tegas Dr. Mujar Ibnu

Syarif, bahwa bagi seorang yang ingin mencalonkan diri menjadi Presiden Indonesia,

maka haruslah berlatar belakang Suku Jawa dan Agama Islam. karena jika berbicara

kesempurnaan seorang kandidat Khalifahitu Suku Quraisy, tentunya bagi kandidat

Presiden Indonesia adalah Suku Jawa.

27
Wawancara dengan Asep Saepudin Jahar, Senin, 13 Maret 2017. Pukul 12:13Wib.
28
Muhammad Zainul Majdi, Gubernur Nusa Tenggara Barat (Selong, Lombok Timur) Menjabat
Periode 2008-2013 dan 2013-2018.
29
Wawancara dengan Khamami Zada, Senin, 13 Maret 2017.Pukul 11:30 Wib.
BAB V
P E N U T U P

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah penulis bahas dari bab-bab terdahulu, penulis

dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Primordialisme kesukuan seorang kepala negara dalam perspektif Politik

Islam menjadi salah satu syarat, namun tidak menjadi syarat wajib hanya

sebatas afadhaliyah (kesempurnan) saja. adapun syarat seorang Khalifah

terbagi menjadi dua. Pertama, syarat-syarat in'iqad (syuruth al-in'iqad), yaitu

syarat-syarat yang menentukan sah atau tidaknya pengangkatan seorang

khalifah/kepala negara yang dijelaskan para ulama dari Nash. dan Kedua,

syarat-syarat afdhaliyyah, yakni syarat-syarat keutamaan yang apabila

terpenuhi akan menambah bobot calon khalifah/kepala negara. Akan tetapi,

bila tidak terpenuhi, tidak akan berpengaruh pada sah atau tidaknya

pengangkatan seseorang sebagai khalifah. Dan syarat ini adalah Keturunan

Suku Quraisy.

2. Pengaruh primordialisme kesukuan pada Pilpres 2009 masih memiliki peran

besar bagi kadidat seorang calon presiden, dikarenakan penduduk Pulau

Jawa yang lebih banyak dan dominan dari jumlah penduduk pulau-pulau

lainnya di Indonesia. Sehingga, seorang yang berasal dari Suku Jawa dan

maju mencalonkan diri dalam perebutan Kursi Kepresidenan Indonesia

63
64

berpotensi besar menjadi Pemenang di banding pesaing lainnya yang berasal

dari luar Jawa. Tidak jauh berbeda bahwa, jika berbicara kesempurnaan

seorang kandidat Khalifah itu Suku Quraisy, maka bagi seorang yang ingin

mencalonkan diri menjadi Presiden Indonesia, haruslah berlatar belakang

Suku Jawa dan Agama Islam.

B. SARAN

Dalam skripsi ini penulis menambah beberapa saran, yang bertujuan untuk

mencobah memberikan wawasan keilmuan mengenai Primordialisme politik

Indonesia pada Pemilihan Presiden 2009 dalam perspektif Hukum Islam, yang

diharapkan wawasan keilmuan ini bisa terus dikembangkan, adapun sarannya sebagai

berikut:

1. Kepada seluruh jajaran Pemerintah Republik Indonesia khususnya Bapak

Jusuf Kala dan Bapak Wiranto yang menjadi pokok kajian skripsi agar tidak

menganggap kajian ini sebagai suatu kajian yang final, tetapi sebagai kajian

yang secara teoritis terus-menerus berubah dan tumbuh mengikuti

perkembangan masyarakat Indonesia sehingga bisa dijadikan acuan oleh para

penulis lainnya yang akan mengangkat kajian seputar etnisitas seorang kepala

negara.

2. Kepada para mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah yang mempelajari Hukum Ketatanegaraan Islam (Siyasah) agar


65

kajian ini bisa dijadikan suatau referensi wawasan keilmuan bagi para

mahasiswa untuk menambah ilmuan pengetahuan dibidang Siyasah pada

umumnya dan khusunya dibidang primordialisme perpolitikan di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU DAN KITAB

al- Qur’an al-Karim

al-Bukhari, Imam, Sahih Bukhari,Saudi Arabia: Darussalam, 1997, Jilid IX.

al-Mawardi, Ahkam Sulthoniyah, Sistem Pemerintahan Khilafah Islam. terj.


Khalifurrahman Fath dan Fathurrahman, dari al-Ahkam al-Shultaniyyah.
Jakarta: Qisthi Press, 2014.

Aziz, Abdul, Chiefdom Madinah, Kerukut Kekuasaan Pada Zaman Awal Islam
Jakarta: PT Pustaka Alvabet, 2016.

Basrowi, dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rineka cipta,2008.

Bin Hanbal Ash-Shaibanl, Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad, Musnad Imam
Ahmad Bin Hanbal, Saudi Arabia: Maktaba Darussalam, t.th, Jilid II.

Arboko, Cholid dan Ahmadi, Abu, Metode Penelitian, Jakarta: Bumi Pustaka, 1999.

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press, 2007.

Hitti, Philip K. History of the Arabs. terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet
Riyadi dari History of the Arabs., Jakarta: Serambi 2006.

Ja’Fariyan, Rasul. Sejarah Khilafah 11.H-35.H. terj. Anna Farida, at.all, Jakarta : Al-
Huda 2006, Cetakan I.

Maryati, Kun dan Suryawati, Juju, Sosilologi imprint Erlangga: 2001.

Nordholt, Henk Schulte dan Klinken, Gerry van, Politik Lokal Di Indonesia, terj.
Bernard Hidayat, dari Local Politics In Post-Suharto Indonesia. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2007.

Pusat Penelitian Politik Year Book 2007, Democrazy Pilkada, UPI,

Redzuwan, Ahmad dan Yunus, Muhamad. Sejarah Dakwah, Siri Islam dalam
masyarakat. Kuala Lumpur : Canin Printing Corporation SDN BHD, 2001.

66
67

Ricklefs, M.C. Mengislamkan Jawa, terj. FX Dono Sunardi dan Satrio Wahyono, dari
Islamisation And Its Opponents In Java. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta 2013,
Cetakan I.

Rumidi, Sukandar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Universitas Gadja Mada


Press, 2004.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia


Press, 1989.

Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung, Pustaka Setia 2008.

Syafiurrahman, Al-Mubarakfuri. Sirah Nabawiyah, terj. Faris Khairul Anam, dari


Sirah Nabawiyah. Jakarta; Qisthi Press, 2014.

Syarif, Mujar Ibnu. Presiden Non Muslim Di Negara Muslim, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2006.

Widyawati, Nina. Etnisitas dan Agama Sebagai Isu Politik, Kampanye JK-Wiranto
dalam Pilpres 2009. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2014.

WAWANCARA DAN INTERNET

Apriani, Pipit. kompasiana.com. http://www.kompasiana.com/pipit-apriani/orang-


jawa-memang-sudah-ditakdirkan-memerintah-
indonesia_5510a5a3a33311c739ba89e6 Diakses pada Selasa, 27 Desember
2016. Pukul 12:27 WIb.

Suharman, Tri. Tempo.com https://nasional.tempo.co/read/news/2014/02/


23/078556802/survei-suku-jawa-cenderung-tolak-capres-non-jawa Diakses
pada Senin, 24 April 2017. Pukul 10:52 Wib.
Wawancara dengan Asep Saepudin Jahar, (Dekan Fakultas Syariah dan Hukum) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. pada senin, 13 Maret 2017

Wawancara dengan Khamami Zada, (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. pada senin, 13 Maret 2017

Wawancara dengan Abdul Muin Basuni, (Sekretaris Cabang Rabithah Ma’ahid


Islamiyah (RMI) NU) Kota Tangerang Selatan. pada kamis, 20 April 2017

Wawancara dengan Hafiz Abdullah, (Dewan Pengurus Cabang PPP) Kota


Tangerang Selatan. pada jum’at, 21 April 2017
LAMPIRAN I

TRANSKRIP WAWANCARA DEGAN Dr. KHAMAMI ZADA

(DOSEN FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF


HIDAYATULLAH JAKARTA)

1. Kenapa Suku Jawa bagi seorang Calon Presiden Indonesia itu Penting ?

Jawab : sistem pemilihan di Indonesia yakni menggunakan sistem pemilihan

langsung, dimana penduduk terbanyak adalah penduduk pulau Jawa, maka tentu ada

kaitannya bahwa suku Jawa itu selalu memenangkan pemiilihan presiden, dan itu

tentunya karena tidak berdasarkan proporsi melainkan berdasarkan individu seperti

legislative dan sebagainya. Jadi orang Jawa yang ada dimanapun memiliki keterikatan

dan cenderung akan memilih yang berlatar belakang sama dengannya, yaitu Jawa,

dan itu memiliki berdampak bagi pasangan yang berasal dari Suku Jawa. Tapi teori

ini tidak mesti bersifat absolut, karena bukan tidak mungkin orang Jawa memilih

non-Jawa. Hemat saya ketika masyarakat melakukan primordialisme berdasarkan

etnik itu hal yang wajar, tidak ada yang salah dengan itu.

2. Kenapa Suku Jawa selalu diunggulkan dan mempunyai peluang besar

menduduki kursi kepresidenan ?

Jawab : Dari segi kependudukan suku Jawa memiliki penduduk paling banyak.

Kemudian dari penduduk yang banyak itulah akhirnya melahirkan Sumber daya

manusia (SDM) lebih banyak pula diabanding dengan etnik lain, sehinga Jawa

68
69

menguasai partai-partai politik. Begitu juga soal tumbuhnya kepemimpinan nasional,

itu juga semua dari Jawa, oleh karenanya selama ini belum ada pemimpin yang

terpilih selain dari suku Jawa.

Selain dari segi kependudukan dan SDM, dari faktor awal kebangkitan

nasionalpun banyak orang Jawa yang terlibat penuh, seperti Soekarno yang menjadi

Presiden pertama yang jelas-jelas berlatar belakang Jawa. Dan dari sisi Militer hampir

dikuasai suku Jawa, terlebih kursi kepemimpin (presiden) terdahulu dikuasai oleh

para tentara yang berlatar belakang Jawa. dan juga disamping soal Jawa dengan

kependudukannya, ada pula soal siapa yang mendominasi sumber strategis di Negara

ini baik dipemerintahan maupun di tentara.

Demikian juga dari sisi sejarah kerajaan, dimana sistem kerajaannya Jawa

yang terakhir kali masih berdiri, seperti kesultanan Yogyakarta yang bahkan sampai

zaman kemerdekaan diabanding dengan kesultanan Sumatra, Sulawesi, Kalimantan

dan lain sebagainya, yang seakan sudah hilang diawal semenjak zaman pra-

kemerdekaan. Sedangkan jika dibandingkan dengan Jawa, yaitu kesultan Yoyakarta

masih ada bahkan hingga saat ini.

3. Dilihat dari segi perjalanan kepemimpinan baik dalam kursi Keprisidenan

Indonesia dan Khalifahan dalam Islam keduanya hampir memiliki kesamaan,

jika di Indonesia selalu dipimpin oleh Suku Jawa, maka sistem Kehafahan Islam

selalu dipimpin oleh Suku Quraisy. Apa perbedaan dari keduanya ?


70

Jawab : Jika dalam kursi kehalifahan ada suatu teori yang bahkan menjadi

persyaratan bagi kandidat seorang khalifah yakni, “pemimpin harus dari suku

Quraisy”, sementara di Indonesia tidak ada teori “pemimpin harus dari Suku Jawa”,

jadi hal itu tidak punya destifikasi teoritis dan tidak punya destifikasi teologis bagi

Suku Jawa menjadi pemimpin Nasional di Indonesia, itu semua tumbuh dengan

sendirinya secara rasional bukan karena agama, melainkan faktor tradisi betapa orang

Jawa itu lebih lues dibanding orang di luar Jawa yang kurang lues bahkan cenderung

agak keras, sedangkan orang-orang dari suku Jawa lebih lunak dan lebih akomodatif

sehingga bias berdiri di atas banyak kaki. Kemudian yang menjadi persoalan

selanjutnya mengapa Suku Jawa ini bisa terus eksis ialah, karena mereka (suku Jawa)

yang lebih banyak terlibat dalam awal kekuasaan nsaional, sehingga terus secara

pertumbuhan demokrasi, Jawa akan merapat kekuasaan dibanding suku yang lain.

Terlepas dari itu, jika berbicara tentang kehalifahan yang memiliki teori

khusus dibanding Indonesia, pastinya memiliki dampak pengkotakan. namun maksud

substansinya bukan semata pada Quraisy, melainkan karena Rasulullah itu sendiri

yang berasal dari Suku Quraisy. Jadi jika dilihat dari sisi Suni, maka dilihat dari sisi

Muhammadnya, sementara jika dilihat dari kacamata Syiah, maka dilihat dari sisi

Ahli Bait. Perbedan suku Quraisy dengan suku lainnya itu dari tugas turun temurun

yang mereka emban, yaitu sebagai pelindun Haramaen. Dan selain itu ada tempat-

tempat sakral lain yang mana ketika ada orang Islam datang maka merekalah yang
71

melayani. Itu dilihat dari sisi simbol keagamaan, sementara Jawa tidak memiliki itu

semua, Ini hanya soal Sejarah.

4. Adakah kelompok yang memicu terjadinya prilaku primordialisme ?

Jawab : Menurut saya tidak ada, itu hanya dari kebiasaan persepsi masyarakat

tentang kepemimpinan, karena pada saat ini yang lebih rasional dan muncul tokoh-

tokoh yang memiliki pengalaman maka itulah yang dipilih, dan secara kebetulan

mereka berasal dari Suku Jawa. Seperti sosok yang muncul di Pilpres 2014 yang

keduanya berasal dari suku yang sama yaitu Jawa. Namu akhirnya Jokowi yang

terpilih, itu bukan karena Jawanya, tapi karena dia dianggap memiliki pengalaman

kepemimpinan yang bagus dari semenjak menjadi Gubernur Solo, hingga di Jakarta

meskipun tidak begitu lama. Itulah faktor yang membuat Jokowi lebih unggul dan

akhirnya memenangkan jabatan kursi kepresidenan di Indonesia. dan kembali saya

tegaskan bahwa jumlah penduduk yang banyak juga berperan besar sehingga

mengapa calon presiden dari suku Jawa mudah terpilih.

5. Apakah mungkin kursi kepresidenan nanti dikuasai Suku Non-Jawa ?

Jawab : Untuk konteks zaman sekarang tentu mungkin saja presiden Indonesia

dipimpin suku non-Jawa, yang terpenting dia adalah orang yang memiliki

kemampuan, track rekor yang baik dalam hal sejarah pengalaman memipin dengan

bagus dan baik, dan iu tidak mesti dari Suku Jawa. Karena banyak sosok Non-Jawa

yang bagus, seperti Gubernur NTB yang dipandang bagus namun tidak bagus secara
72

nasional tapi bagus dalam pandangan Umat Islam dan tidak pernahdi akui orang lain

karena tidak punya terobosan bagusnya biasa saja.

Factor kekalahan JK di pilpres 2009 diantaranya bukan hanya berasal dari

Suku Jawa. ada faktor lain seperti sisi kepemimpinan mereka, yang kala itu lawan

dari JK adalah SBY diangap memiliki kepemimpinan yang bagus disbanding JK,

terlebih saat itu adalah Periode ke 2 SBY, yang mana sosok SBY dilihat dari trac

krekor sebelumnya dipandang bagus. Jadi bukan juga karena sosok SBY yang berasal

dari Suku Jawa, tapi juga karena kepemimpinannya yang diangap baik maka SBY

lebih di unggulkan di banding JK.


LAMPIRAN II

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN Dr. ASEP SAEPUDIN JAHAR

(DEKAN FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF


HIDAYATULLAH JAKARTA)

1. Dilihat dari kursi Kepresidenan di Indonesia, faktor Apa Yang Membuatnya

Suku Jawa Selalu Diunggulkan ?

Jawab : Saya tidak tahu kenapa rasionalitas itu selalu diunggulkan itu kan perasaan

masyarakat perasaan memasyarakatkan tidak bisa kita paksa pilihan masyarakat kan

tidak bisa kita manipulasi Selamaa demokrasi ada ya mereka memilih apa yang

mereka rasa dia suku yang dominan misalnya yang unggul mungkin bahasa lainnya

kemudian yang teruji yang santun sabar mungkin bisa begitu. Tapi kan politik itu kan

tidak bisa berspekulasi yang ideal politik itu kan spekulasinya pragmatis karena

mereka juga tidak berani menawarkan calon-calon yang di luar itu kira-kira sehingga

mereka mengusung itu.

Kalau Jawa itu kan relatif bisa didengar atau bisa mengayomi juga orang luar

Jawa karena ini secara karakter mereka mungkin lembut didengarkan sementara

ketika misalnya kelompok lain memimpin orang luar Jawa dengan karakter yang

keras kemudian orang luar Jawa merasa sudah ada di mana-mana juga tidak nyaman

juga itu mungkin dari sisi itu. Tapi kan kedepan semakin modern ya memang

masyarakat-masyarakat kita akan berubah akan melihat kepada kualitas Walaupun

71
72

mungkin misalnya Ketika anda hadapkan dua orang berkualitas yang relatif sama

antara dua suku yang berbeda Saya yakin yang akan menang Suku yang mayoritas itu

karena ada kedekatan emosional dari masyarakatnya dan yang akan menonjol ya

orang suku itu dan itu hal yang wajar apalagi masyarakat masyarakat kita kan yang

dominan masih ikatan sosialnya primordialisme tinggi berikatan emosionalnya

kedekatan kesukuan kedekatan keagamaan kedekatan rasa itu lebih besar itu saya

pikir

2. Mengapa Masyarakat Indonesia masih melihat latar belakang suku kandidat

Presiden Indonesia ?

Jawab : Kalau kita masih kuat masih kuat primordialisme nya yang memilih Ahok

saja itu mayoritas diatas 90% adalah non muslim atau Kristen Cina dan lain

sebagainya, Kemudian dari kelompok Islam yang mayoritas artinya masih terbagi itu

Oke jadi Sisi Kenapa kedekatan pasti ada bahwa terjadi rasionalitas itu urusan lain

bahwa tidak memilih itu hal lain. tapi di Indonesia di beberapa belahan tingkatan

emosional itu tetap kuat primordialisme buah itu kuat dan itu hukum masyarakat yang

memberi justifikasi, Ketika saya bertemu orang kemudian memberikan beberapa

calon berimbang kemudian juga berimbang kemudian ada namanya Sunda juga

kedekatan Saya mungkin memilih Sunda itu karena kedekatannya sama tapi kecuali

Mungkin ini yang rendah banget tapi ada kelompok lain dan perilakunya oke ya Bisa

saja. tapi mayoritas di masyarakat kita primordialisme masih kuat ditambah lagi hal-

hal pragmatis dalam urusan politik. Nah kalau dalam Islam memang tidak melihat itu
73

tidak melihat primordialisme tadi karena Islam sudah menetapkan karena dia sebagai

pokok pondasi untuk menjadi pengembangan kedepan makanya dia tidak melihat itu

tapi kepada kualitas kepada karakter kepada hal-hal yang memberikan keunggulan.

3. Dilihat dari apa yang terjadi di Indonesia, kita juga melihat bahwa persbedaan

pendapat tentang syarat kesukuan pada system kekhalifahan Politik Islam. apa

yang membedakan dari keduanya ?

Jawab : Jadi memang dalam masyarakat itu kita tidak bisa mengabaikan juga ada

kelompok masyarakat yang sudah berkarakter sudah punya ciri, ciri ketangguhannya

contoh Ketika anda menanyakan tentang petarung laut yang ulung itu kan Bugis itu

kan tidak bisa diabaikan karena mereka adalah keseharian hidupnya di laut Kemudian

Anda akan menanyakan tentang keuletan tidak lain adalah orang suku Jawa jadi

ketika kita menghubungkan dengan misalnya suku-suku di Arab ada Quraisy ada

suku apa karena memang tidak bisa diabaikan bahwa kelompok suku itulah yang

sudah melahirkan generasi yang ulung yang berpendidikan yang juga mungkin

disebut kelompok-kelompok yang bangsawan dan sepertinya sehingga pihaknya ke

situ walaupun di dalam Islam Islam mencoba mereduksi itu bahwa kesukuan itu

Lafadz laa Ya Robbi na la Azami him jadi ingin melihat bukan suku lho bukan

kelompok masyarakat tertentu yang menjadi pemimpin tapi lihat substansinya itu

rasionalnya dan maka tidak lepas itu kan Bahasa masa lalu di India pun sama ada

kasta ada kasta Brahma ada kasta Sudra dan ada kasta-kasta lainnya kast lombok itu
74

pun dibangun karena pendekatan atau pendekatan emosional yang dikatakan

primordialisme tadi.

4. Apakan kekalahan JK pada pilprea 2009 dikarenakan faktor suku ?

Jawab : Yang disebut dengan primordialisme itu kan rasa, kedekatan, aspek tertentu

yang dianggap lebih kepada emosional atau kalau dalam bahasa weber lebih kepada

mekanik, jadi aspek primordial, atau aspek dukungan kedekatan seseorang itu kan

wajar, orang sunda dekat dengan orang sunda, orang jawa dekat dengan orang jawa,

orang islam dekat dengan orang Islam itu suatu masalah yang wajar dalam hal

antropologi karena manusia itu kan punya ikatan yang demikian itu, seperti juga

marga dan lain-lain.

Ketika hal itu terbentuk dalam masyarakat kan terbntuk melalui proses

sejarah, lalu juga melalui sosiologis,sehingga itu menguat dalam asumsi masyarakat.

Seperti halnya dengan kepresidenan, apakah memang factor suku menjadi sesuatu

bagian yang diyakini karena mungkin suku yang lebih tua, atau suku yang lebih

banyak masyarakatnya, sehinga ketika suku itu diluar kelompok ini dianggap suku-

suku yang marginal, suku kecil atau teraleniasi.

Ketika kita membicarakan primordialisme dalam konteks suku Jawa, bisa saja asumsi

itu betul. Karena primordialisme dalam semua lini kehidupan itu selalu ada, Seperti

halnya ketika di luar negeri sisi primordialisme tetap tumbuh, dan itu biasanya dilihat

dari 2 faktor, dari segi keagamaan dan keindonesiaan. Ketika kita tidak menemukan
75

keterikatan agama maka dari segi keindonesiaan itu biasanya yang terkuat, dan itu hal

yang wajar untuk mencari teman, kesetiakawanan, ataupun juga kedekatan apapun.

Ketika anda menyebut dari factor kesukuan (primordialisme) JK tidak didukung,

maka jangan lupa juga ada factor dukungan politik atau gerakan-gerakan politik itu

sendiri entah itu halnya JK sendirj ataupun juga SBY dan lain sebagainya. Ataupun

ketika itu gencar munculnya sosok Abu Rizal Bakri (ARB) kemudian banyak yang

mengatakan “anda jangan berani-berani mencalonkan diri dalam pemilihan presiden,

anda kan orang Palembang (sumatera), kalaupun dijagokan paling hanya bisa

menduduki kursi wakil saja”. Tapi saya pikir kedepan Indonesia tidak lagi demikian,

kalaupun memang ada sosok non-Jawa yang popular, brilliant, tokoh, bersih, harapan

bangsa, maka kebiasaan prilaku primordial dan kelompok masyarakat yang mayoritas

merasa sosok ini yang lebih pantas saya rasa akan memilih tokoh ini meski bukan

dari kalangannya.

Contoknya sekarang kasus Ahok dari kelompok rasional di Jakarta, jika dilihat dari

segi primordial tidak kurang-kurang dengan dia dari etnis China, beragama Kristen,

dan perangkainya seperti demikian, tapi masih menjadi nomor satu dari hasil

pemilihan saat ini. Mungkin memang hubungan primordisl dengan kelompok-

kelompok tertentu masih terjalin kuat karena aspek rasionalnya masih rendah. Tapi

jika kita ambil kesimpulan secara keseluruhan di Indonesiabisa maka hal hal yang

terkait dengan primordialisme masih kuat baik dari primordialisme agama,

primordialisme suku, dan dari segi primordialisme lain-lainnya itu masih kuat karena
76

70% lebih peduduk Indonesia itu di desa, dan ciri masyarakat desa itu selalu melihat

sisi kedekatan (primorsial), baik kedekatan suku dan lain sebagainya.

5. Apakah mungkin Suku Non-Jawa memegang kekuasaan Presiden Indonesia ?

Jawab : Tidak selalu presiden Indonesia harus jawa, itu kan hanya mitos yang belum

terbukti seperti apa, coba saja hadirkan sosok dari luar suku jawa yang popular,

brilliant, seperti dulu ada sosok M. Jusuf yang dulu sudah digadang-gadang mampuh

walaupun dia non-Jawa tapi kalau dia menonjol mungkin oke, tapi mungkin suku

Jawa yang dominan juga merasa lebih emosional bisa saja mereka lebih

memperhatikan itu.

Saya pikir tingkat primordialisme mengenai paradigma masyarakat yang

menyatakan bahwa presiden Indonesia harus selalu dari Suku Jawa tidak sampai

sejauh itu jika ada calon tandingan yang menonjol, katakanlah sekarang ini seperti

Irwandi di Aceh, ketakutan yan g kedua bukan hanya menonjol karena non-Jawanya,

tapi mungkin karena dia mantan GAM misalnya itu bisa juga, walaupun sekarang dia

kembali Memimpin Aceh dan menonjol lagi. Kemudian dalam good kontes Indonesia

dan berhadapan dengan Jawa karena masyarakat kita masih dominan dalam hal

kedekatan primordialismenya itu tinggi


LAMPIRAN III
TRANSKRIP WAWANCARA DEGAN H. ABDUL MUIN BASUNI, MM.
(SEKRETARIS RABITHAH MA’AHID ISLAMIYAH (RMI) NU

KOTA TANGERANG SELATAN)

1. Bagaimana pendapat anda tentang etnisitas seorang kandidat presiden ?

Jawab: menenai hal itu tentunya sudah jelas diatur dalam undang-undang, lalu

persoalannya berkembang dalam paradigm masyarakat, seperti muncul kemudian

persyaratan harus Islam, bersuku Jawa, dan Pribumi, itu konsep normative. Tetapi

sebagai warga Negara Indonesia tentunya kita tidak boleh mempersoalkan itu, agar

menja akesatan dan persatuan NKRI. Yang terpenting adalah eseninya, bahwa

pemimpin itu harus jujur, adil, amanah dan lain sebagainya, karena itulah memang

yang di ajarkan oleh Islam seperti sifat Rasulullah Muhammad saw , ada tablegh,

amanah, fathanah dan sebagainya.

2. Apakah benar kekalahan JK pada Pilpres 2009 dikarenakan kesukuannya yang

non-Jawa ?

Jawab: itu menurut saya hanya kebetulan saja, dan lebih kepada ilusi, bahwa itu

pemahaman khas orang jawa, bahkan dari sisi mitos mereka sangat kuat, seperti

ramalan-ramalan di antaranya yang msyhur adalah ramalan Joyoboyo “Notonogoro”.

Namun terlebih dari itu, itu semua hanya sebatas ramalan, dalam Islam itu tidak

dibenarkan, meskipun terkadang itu benar terjadi atau dalam istilah masyarakat itu
menyebut “kirata” (kira-kira nyata). Seperti “Notonogoro” itu tadi yang menyebutkan

pemimpin Indonesia terdiri dari potongan suku kata didalamnya “SoekarNO,

SoeharTO, YudhoyoNO, Jokowi Dhodo, terputus di GO ?”, dan itu tidak selamanya

benar.

Jika berbicara kekalahan JK pada Pilpres 2009, menurut saya itu sebatas

kebetulan saja, walaupun ada masyarakat yang memandang dari sisi itu tapi tentunya

tidak semuanya. Namun terlepas dari itu, jika dilihat dari jumlah suara orang Jawa

tentunya lebih mendominasi hasil pada setiap Pilpres, karena jumlah orang-orang di

pulau jawa mencapai 50% keseluruhan dari orang Indonesia, dan mungkin lebih

kapada faktor itu kenapa orang berlatar belakang suku Jawa selalu lebih diungulkan.

Kemudian secara kultural Indonesia dikenal juga dengan sebutan Jawa, seperti

banyak orang Arab yang menyebut Indonesia dengan sebutan al-Jawi. Untuk

kedepan, bukan tidak mungkin ada non-Jawa yang akan terpilih maju menjadi

presiden Indonesia, bahkan bisa saja non-pribumi, karena mungkin masyarakat lebih

melihat dari sisi kejujurannya, kemudian dia adil, dan lain sebagainya, dan itu

mungkin adanya karena konstitusi tidak mengatur itu.

3. Melihat realita presiden Indonesia yang selalu berasal dari satu suku (Jawa),

bagaimana pendapat anda ?

Adapun jika presiden Indonesia selalu berlatar balakang jawa itu mestinya

tidak menjadi persoalan, walaupun memang banyak masyarakat bahkan tokoh yang
mewajibkan kesukuan kandidat presiden itu penting, itu hanya berbicara adat, “al-

adatu muhakama” (suatu adat kebiasaan menjadi hokum), kalaupun memang benar

toh tidak mesti di gembor-gemborkan, pada nyatanya praktek dari masyarakat itu

sendirilah mang memustuskan. Sama halnya dengan pembagian ketenaga kerjaan di

perusahaan, mereka tidak menentukan klasifikasi tenaga yang akan mereka

pekerjakan, tapi pada prakteknya masyarakat pribumi dimana perusahaan itu ada pasti

mendapatkan ruang untuk mereka bekerja.

4. Lalu jika apa yang terjadi di Indonesia dikaitkan dengan latar belakang suku

Quraisy pada system kehalifahan di Islam, apakah keduanya memiliki dasar

yang sama ?

Jawab: jika melihat pada apa yang terjadi di Islam saat itu maka kondisinya berbeda,

mereka memiliki landasan teori, meskipun memang pada hadis tersedbut tidak ada

“amr” (kalimat perintah) hanya sebatas menjadi qoidah Negara “fadhlul amal”

(keutamaan pelaksanaan). Dalam Islam sebenarnya keharusan latar belakang suku

tersebut menurut saya kurang bisa menjadi landasan bernegara, karena justru itu

malah menjadi sebuah pemecah belah, dalam Islam sendiri yang dilihat bukan

keturunannya siapa, jabatannya apa dan lain sebagainya, justru Islam hanya melihat

seseorang dari ketakwaannya saja. jadi jika mengatakan bahwa “khalifah harus

berlatar belakang suku Quraisy” menurut saya kurang tepat jika itu menjadi sebuah

keharusan. Adapun banyak ulama yang menjadikan itu sebagai syarat seorang

kandidat kepala Negara , menurut saya itu hanya sebatas keutamaan beramal saja.
5. Apakah ada kesamaan dari konteks latar belakang suku pada seorang

pemimpin negara baik dari sistem kepresidenan Indonesia dan sistem Khilafah

pada Negara Islam ?

Jawab: Jelas berbeda, pada kita tdk ada istilah khilafah & kholifah, daula, atau

konsep kerajaan sekalipun, itu hanya sebatas mempermudah konsep bernegara, yang

ada dalam Islam hanyalah konteks khilafah untuk diri sendiri, bahwa setiap kita

adalah khilafah (pemimpin) untuk diri kita sendiri, konsep kenegaraan itudilihat dari

bagaimana keadaan masyarakatnya, bahwa kemudian di arab menerapkan konsep

khilafah sebagai acuan bernegara dan muncul hadis yang berbunyi “al-Aimah min

Quraisin” itu ditinjau dari kebutuhan masyarakat Arab saat itu. Lain haknya dengan

Indonesia yang awal kemerdekaannya diraih dengan kerja keras bersama melawan

penjajah, kemudian bermusyawarah menentukan arah Negara melihat masyarakat

dari segala kalangan, kemudiantercetuslah konsep Pancasila dan NKRI. Maka jika

dilihat dri kesamaannya jelas berbeda, adapun latar belakang suku bagi seorang

pemimpin negara yang realitanya sama-sama satu suku itu lain konteks jika harus

disamakan.
LAMPIRAN IV

TRANSKRIP WAWANCARA DEGAN Ust. HAFIZ ABDULLAH


(DEWAN PENGURUS CABANG PPP KOTA TANGERANG SELATAN)

1. Bagaimana pendapat anda mengenai latar belakang kesukuan bagi Seorang

Presiden Indonesia?

Jawab: tidak ada klasifikasi khusus dalam undang-undang yang menyatakan latar

belakang kesukuan maupun agama, siapapun berhak dan boleh mencalonkan diri

menjadi seorang presiden, termasuk pada pilpres tahun 2009 Jusuf Kalla maju

menjadi kandidat , yang kita tahu bahwa dia bukan berasal dari Jawa, melainkan

Sulawesi (Makasar), tapi karena dominasi pemilih yang lebih sedikit di banding

lawannya dari suku Jawa yang sudah pasti pendukungnya lebih banyak akhirnya

tidak mampu mengalahkan lawannya yang berasal dari suku Jawa. ini berbicara soal

persaingan dalam sebuah pesta politik, tidak ada keharusan dia berlatar belakang

apapun, hanya saja kebetulan presiden kita selalu berlatar belakang suku Jawa.

2. Apakah faktor kekalahan JK pada Pilpres 2009 dikarenakan latar belakang

suku ?

Jawab: kesuksesan atau kemenangan seorang yang maju mencalonkan diri menjadi

presiden tidak terlepas dari pengaruh partai pengusung, kebetulan pada saat

itu(pilpres 2009) partai-partai besar lebih cenderung mendukung Megawati dan SBY

yang berasal dari suku Jaewa. Kemudian kualitas tim sukses menjadi salah satu
kekuatan untuk memenangkan seorang calon yang mereka ususng, mungkin juga

kemungkinan besar dari sanalah kenapa akhirnya JK tidak bisa memenangkan pilpres

2009, itu lebih karena dukungan politik yang akhirnya mengapa JK tumbang dari

pertarungan politik kala itu.

3. Seberapa penting pertimbangan latar belakang kandidiat presiden yang akan

diusung oleh partai politik ?

Jawab: untuk seorang figur yang akan diusung oleh sebuah partai politik, sebetulnya

yang menjadi sebuah pertimbangan penting adalah trac rekor figur itu sendiri,

seberapa mahal harga jual di kalangan masyarakat, dan seberapa unggul

dibandingkan calon-calon lainnya,sehiongga parpol dan tim sukses bisa mengemas

ituuntuk kemudian dtawarkan kepada masyarakat umum. Seperti halnya SBY yang

kala itu adalah mantan presiden periode sebelumnya,kemudian megawati yang

berdarah proklamator Indonesia Ir. Soekarno, didukung lagi dengan Prabowo sorang

jendral TNI yang sudah tidak diragukan. Kemudian JK disandingkan dengan lawan

yang seperti itu, secara otomatis JK tidak begitu kuat yang hanya sebatas mantan

wakil presiden di periode sebelumnya. Selain pertimbangan figur, di partai juga ada

yang disebut “mahar politik”, entah itu dimaksudkan ucapan terimakasih belaka, atau

bahkan lebih dari itu, yang jelas itu dimaksudkan untuk kebutuhan kampanye sebuah

partai mempromokan sosok yang mereka calonkan dan lain sebagainya.


Partai politik tentunya memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk

menuntukan sosok yang akan diusung menjadi presiden, dan yang paling penting

adalah kefiguran itu tadi, adapun jika melihat faktor latar belakang suku itu hanya

sebatas tambahan semata, bahwa ketikaberbicara siapa dan dari mana maka kita juga

berbicara seberapa besar basis dukungan bagi calontersebut.

4. Mengapa suku Jawa lebih berpotensi besar menduduki kursi kepresidenan ?

Jawab: sebetulnya siapapun dan dari latar belakang suku apapun semuanya

mempunyai kesempatan, tapi kultur yang ada di Indonesia adalah tradisi turun

temurun, dan itu dikarenakan faktor kepercayaan, seperti halnya kita secara naluri

akan lebih percaya kepadaorang-orang terdekat kita dibandingkan orang lain. Salah

satunya karena pusat pemerintahan (ibu kota) Indonesia berada di pulau Jawa yakni

Jakarta, maka bagi mereka yang memiliki jabatan akan menyerap orang-orang

sekitarnya, itu memang prilaku primordialisme yang masih berlaku hinga sekarang,

bahwa jika mereka mebutuhkan tenaga kerja atau untuk mengisi kekosongan kursi

pada sebuah lembaga, maka yang akan mereka tempatkan terlebih dahulu adalah

orang terdekat yang berada di sekitar mereka. Dari sanalah akhirnya mengapa

akhirnya Jawa memiliki sumber daya manusia di kalangan pemerintahan lebih

banyak dan mendominasi, sehingga akhirnya siapapun kandidat presiden Indonesia

yang berasal dari suku Jawa akan lebih di unggulkan disbanding suku-suku lainnya

yang ada di Indonesia.


Namun tidak menutup kemungkinan kedepan Indonesia akan memiliki presiden yang

berasal bukan dari suku Jawa, karena saat ini Indonesia semakin berkembang baik

dari peraturan perundang-undangan yang terus din perbaharui, juga dari pola fikir

masyarakat yang semakin terbuka wawasannya, maka tidak menutup kemungkinan

non-Jawa akan menduduki kursi kepresidenan.

Anda mungkin juga menyukai