Anda di halaman 1dari 78

i

HAK-HAK POLITIK WARGA NEGARA NON-MUSLIM SEBAGAI


PEMIMPINDALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN
HUKUMPOSITIF

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh


gelar sarjana sastra (S1). Dalam
Ilmu Hukum Tata Negara

Oleh

RADEN SANDI M
NIM.SPI152168

PEMBIMBING :
H. Hermanto Harun, Lc., M.HI., Ph.D
Abdul Razak, S.Hi., M.IS

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARAFAKULTAS SYARIAH


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
1440H/2019
ii
ii
iii
iv
MOTTO

ََٰ َٰ ‫اخ ِر َوع َِم َل‬


ََٰ‫ص ِل ًحاف‬ َّ َٰ ‫ص َر َٰى َوٱل‬
ِ ‫ص ِبـِينَ َم ْن َءا َم َن ِبٱللَّ ِه َوٱ ْل َي ْو ِمٱ ْل َء‬ ۟ ‫وا َوٱلَّذِينَ َهاد‬
َ َٰ َّ‫ُوا َوٱلن‬ ۟ ُ‫ِإنَّٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬

َ ُ‫لَ ُه ْمأَجْ ُر ُه ْم ِعند ََربِ ِه ْم َو ََل َخ ْوفٌعَلَ ْي ِه ْم ََٰو ََل ُه ْميَحْ َزن‬
َٰ‫ون‬

Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi,orang- orang

Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-

benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka

akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada

mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S Al-Baqarah (2):62).1

1
Q.S Al-Baqarah (2):62

v
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja hak-hak politik yang
dimiliki warga negara non-Muslim sebagai pemimpin dalam pandangan hukum
Islam dan hukum positif dan status warga negara non-Muslim sebagai pemimpin.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Library Research dengan pendekatan
normative dan konseftual, adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan
kajian kepustakaan yang bersumber dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-
Undang, Al-Qur’an, Hadits serta pendapat ulama dan ahli hukum di Indonesia.
Dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data seperti pengumpulan data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan.Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan diantaranya hak politik non-Muslim dalam Islam yaitu hak
mengeluarkan pendapat dalam masalah politik, hak untuk berserikat dan
berkumpul, hak untuk menduduki jabatan umum dalam pemerintahan, adapun hak
politik non-muslim dalam hukum positif yaitu hak untuk memilih dan dipilih
untuk menduduki jabatan umum dalam pemerintahan, hak untuk memberikan
suara dalam pemilu, hak persamaan dimuka hukum. Dan status warga negara non-
Muslim sebagai pemimpin.Dalam hukum Islam Dan hukum positif keduanya
mengakui hak persamaan dan kebebasan bagi setiap manusia.

Kata kunci: Pemimpin, Politik, Warga Negara Non-Muslim

vi
PERSEMBAHAN

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan berkah dan

hidayahnyalah sehingga skripsi ini dapat diselesaikan, serta kepada jumjunganku

baginda besar Nabi Muhammad SAW yang telah membawa ku dari alam

kegelapan menuju alam yang terang menderang ini, dengan ketulusan dan

kerendahan hati penulis persembahkan skripsi ini kapada:

1. Kedua orang tua ku, Ayah Raden Sulaiman dan Ibu Rts Leni Marlina serta

kedua kakek dan nenekku yang tercinta dengan ketulusan doa dan kasih

sayang tanpa putus yang senantiasa memberikan dorongan untuk

keberhasilan penulis.

2. Keempat adik ku RD.Septian Dwi Putra, R.M. Hajri, Rd. Syahban al-

Syaraffi dan RTS. Syifa Qurratul A’in yang saya banggakan yang

senantiasa meberikan arahan dan motivasi sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

3. Kekasih atau calon Istri Hassanatunajjah yang tercinta dan tersayang

dengan ketulusannya tanpa mengenal rasa capek membantu/memberikan

solusi dan memotivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Teman-teman atau sahabat-sahabat ku seperjuangan (Hukum Tata

Negara) angkatan 2015. Andrean, Firna, iwan, Latifah, Ridwan, Irwan,

Akbar, Welly, Serli, Mas Rahman, Arif, Rizki, Ilham, panut atas

kebersamaannya dan kekompakannya selama menjadi mahasiswa.

5. Almamater Tercinta

vii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Allah SWT yang maha pengasih lagi maha

penyayang, yang telah banyak memberikan kenikmatan dan senantiasa

memberikan hidayahnya sehingga dengan atas izinnya skripsi ini dengan bejudul:

Hak-Hak Politik Warga Negara Non-Muslim Sebagai Pemimpin Dalam Padangan

Hukum Islam Dan Hukum Positif dapat diselesaikan.

Shalawat teriring salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi

yang Agung, Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman

jahiliyyah menuju zaman Islamiyyah dan semoga kita sebagai umat nya

mendapatkan syafaatnya kelak.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat diselesaikan dengan baik

tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena nya dalam kesempatan ini

penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. H. Su’adi Asy’ari, MA. Ph. DSelaku Rektor UIN Sultan Thaha

Saifuddin Jambi.

2. Dr. A.A Miftah, M.. Ag. Selaku Dekan Fakultas Syariah UIN STS Jambi.

3. H. Hermanto Harun, Lc., M.HI., Ph.D. selaku wakila dekan I Bidang

Akademik dan pengembangan Fakultas. Sekaligus pembimbing I skripsi.

4. Dr. Rahmi Hidayati, S.Ag., M.HI. selaku wakil Dekan II Bidang

Adminitrasi umum perencanaan dan keuangan.

5. Dr. Yuliatin, S.Ag., M.HI. Selaku Wakil Dekan III bidang kemahasiswaan

dan kerjasama.

viii
6. Abdul Razak, S.Hi., M.IS Selaku Ketua Jurusan Hukum Tata Negara

Sekaligus Pembimbing II Skripsi.

7. Ulya Fuhaidah, S. Hum., M.Si Selaku Sekretaris Jurusan Hukum Tata

Negara.

8. Seluruh Dosen Fakultas Syariah UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi yang

telah memberikan ilmu pengetahuan dan sumbangan pemikiran selama

penulit duduk dibangku kuliah sehingga selesai.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya disebabkan

keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang saya miliki, untuk itu para

pembaca kiranya dapat memberikan masukan dan saran-sarannya sehingga

laporan penelitian ini akan lebih baik dan sempurna.

Saya berharap semoga hasil penelitian ini betapapun kecil kiranya dapat

memberikan masukan dalam upaya praktek terhadap hak-hak politik non-Muslim

dalam pemerintahan sesuai dengan syariat Islam dan hukum positif yang berlaku

serta untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan amiin.

Jambi. Oktober 2019


Penulis

Raden Sandi M
NIM. SPI152168

ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………...…i
PERNYATAAN ORISINALITAS TUGAS AKHIR ......................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... iii
PENGESAHAN TUGAS AKHIR....................................................................... iv
MOTTO………………………………………….………….………………….v
ABSTRAK. ........................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI…………..………..………………………………….…………..... x
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………..…xii
BAB I :PENDAHULUAN
A. Lantar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 5
C. Tujuan dan kegunaan penelitian ............................................................. 6
D. Karangka teori ........................................................................................ 6
E. Tinjauan pustaka ................................................................................... 11
F. Metode penelitian ................................................................................. 13
G. Sistematika penulisan ........................................................................... 15
BAB II :WARGA NEGARA NON-MUSLIM DALAM HUKUM ISLAM
A. Definisi Warga Negara Non-Muslim ................................................... 17
B. Hak Dan Kewajiban Warga Non-muslim............................................. 20
C. Pendapat Ulama Terhadap Hak Politik Warga Negara Non-Muslim... 28
BAB III :STATUS KEWARGANEGARAAN NON-MUSLIM DALAM
HUKUM POSITIF
A. Definisi Warga Negara ......................................................................... 38
B. Hak dan Kewajiaban Warga Negara .................................................... 42
C. Pendapat Ahli Hukum Terhadap Hak Politik Warga Non-Muslim ...... 48
BAB IV :PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Hak Politik Warga Negara Non-Muslim Sebagai Pemimpin Menurut
Hukum Islam Dan Hukum Positif ……………………………………50

x
B. Adakah Pebedaan dan Persamaan Hak Politik Warga Negara Non-
Muslim Sebagai Pemimpin dalam Pandangan Hukum Islam Dan
Hukum Positif ....................................................................................... 57
BAB V :PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 59
B. Saran ..................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xi
DAFTAR SINGKATAN

1. DKI : Daerah Khusus Ibu Kota

2. H : Hijriah

3. HAM : Hak Asasi Manusia

4. HLM : Halaman

5. PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

6. Q.S : Qur’an Surah

7. RI : Republik Indonesia

8. SAW : Shallallahu Alahi Wasallam

9. SWT : Subhannahu wata’ala

10. STS : Sulthan Thaha Saifuddin

11. UIN : Universitas Islam Negeri

12. UU : Undang-Undang

13. UUD : Undang-Undang Dasar

14. UDHR : Universal Declaration Of Human Rightas

xii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Lantar Belakang

Dalam kehidupan bernegara masyarakat memiliki beberapa hak dan

kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Negara.Seperti hak untuk

mendapatkan perlindungan hukum, hak menyampaikan pendapat, hak beragama,

hak untuk membela Negara serta hak-hak lainnya.

Dalam pemerintahan warga Negara berperan penting demi berjalannya

pemerintahan yang baik.Karena itu masyarakat memiliki beberapa hak-hak dalam

pemerintahan yang berupa hak politik.Seperti memberikan suaranya ketika

pemilu, kemudian hak untuk memilih dan hak untuk dipilih sebagai kepala Negara

daerah, wakil rakyat atau memegang peranan dipemerintahan.2

Agar kehidupan dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik, tertib,

aman, damai, dan teratur, maka perlu dipilih seorang pemimpin yang akan

memandu rakyat menggapai segala manfaat sekaligus menghindarkan mereka dari

berbagai kerusakan. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi yang dilakukan

oleh seseorang terhadap orang lain untuk dapat bekerja sama dalam mencapai

tujuan yang telah ditetapkan.3

2
Dudi Badruzaman, Hak-Hak Politik Warga Negara Non-Muslim Sebagai Pemimpin
Dalam Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Volume 9, No.1,
Maret 2019, hlm 1
3
Dwi Apriani, “Hukum Mengangkat Non-Muslim Menjadi Pemimpin (Ditinjau Dari
hukum Islam dan Hukum Positif)”, Skripsi,Fakultas Syariah UIN Raden Fatah palembang,2017,
hlm 1
Kepemimpinan dalam islam adalah sesuatu yang niscaya karna ia

diperlukan untuk memastikan berlakunya hukum dan peraturan-peraturan al-

Qur’an sebagai salah satu aspek penting dalam syariat islam.

Pemimpin kaum muslimin haruslah seorang muslim yang taat kepada

Allah dan Rasulnya. Karena itu kaum Muslimin tidak dibenarkan mengangkat

seorang non Muslim untuk menjadi pemimpin mereka.Meskipun demikian,

sejarah Islam mencatat bahwa orang-orang non Muslim meperoleh jabatan di

beberapa pos pemintahan.4

Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat beberapa ayat yang melarang adanya

pemimpin berasal dari kalangan non-Muslim. Namun dalam ayat tersebut tidak

secara spesifik menyebutkan ciri-ciri seorang pemimpin, seperti dalam surat Al-

Maidah ayat 51 yang berbunyi sebagai berikut.

ٍ ‫ض ُه ْم أ َ ْو ِل َيا ُء َب ْع‬
‫ض َو َم ْن‬ ُ ‫ارى أ َ ْو ِل َيا َء َب ْع‬
َ ‫ص‬َ ‫َيا أ َ ُّي َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل تَتَّ ِخذُوا ْال َي ُهودَ َوال َّن‬
َ‫الظا ِل ِمين‬َّ ‫َّللا ََل َي ْهدِي ْالقَ ْو َم‬
َ َّ ‫َيت ََولَّ ُه ْم ِم ْن ُك ْم فَإِ َّنهُ ِم ْن ُه ْم ِإ َّن‬
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka
adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-
orang yang lalim”.5

Dalam ayat yang lain juga disebutkan bahwa terdapat larangan bagi non-

Muslim sebagai pemimpin. Yaitu dalam surat Al-Imran ayat 28.

4
Nanang Tahqiq, Politik Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm 123
5
Al-Maidah (5) : 51

2
َٰ
َ ‫ُون ْال ُمؤْ ِمنِينَ ۖ َو َم ْن َي ْفعَ ْل ذَلِكَ فَلَي‬
‫ْس‬ ِ ‫ََل َيتَّ ِخ ِذ ْال ُمؤْ ِمنُونَ ْال َكافِ ِرينَ أ َ ْو ِل َيا َء ِم ْن د‬
‫ير‬
ُ ‫ص‬ِ ‫َّللا ْال َم‬
ِ َّ ‫سهُ ۗ َو ِإلَى‬ َّ ‫ش ْيءٍ ِإ ََّل أ َ ْن تَتَّقُوا ِم ْن ُه ْم تُقَاة ً ۗ َويُ َحذ ُِر ُك ُم‬
َ ‫َّللاُ َن ْف‬ ِ َّ َ‫ِمن‬
َ ‫َّللا ِفي‬
Artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali(mu)”.6

Sebagian ulama menganggap bahwa non Muslim tidak boleh diangkat

sebagai pemimpin kaum Muslimin karena beberapa ayat dalam Al-Qur’an secara

jelas menyatakan demikian, seperti yang dijelaskan pada ayat diatas. Disisi lain,

adapula beberapa ulama yang memandang bahwa esensi perdebatan bukan

terletak pada apakah pemimpin harus orang islam atau tidak, namun yang

terpenting adalah apakah seorang pemimpin mampu untuk memimpin masyarakat

memperoleh kesejahteraan dan keadilan yang notabene merupakan perintah Al-

Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Salah satu statement Ibnu Taimaiyah yang paling

terkenal adalah: “lebih baik dipimpin oleh pemimpin yang kafir yang adil,

daripada dipimpin oleh pemimpin muslim yang dzalim”. Statement Ibnu

Taimiyah tersebut tampaknya secara tegas menyatakan bolehnya non-Muslim

(kafir) menjadi pemimpin dikalangan Islam selama ia adil.7

Indonesia adalah Negara yang mayoritas penduduknya Islam, namun

bukan berarti Indonesia adalah Negara Islam. Dengan kata lain, seharusnya hal ini

tidak menghambat apabila sosok calon pemimpin yang berasal dari agama selain

Islam. Karena dengan Negara Indonesia yang menggunakan system demokratis

6
Al-Imran (3) : 28
7
Abdul Tholib Kholik, Pemimpin Non-Muslim Dalam Perspektif Ibnu Taimiyah, Jurnal
Studi Keislaman, Vol. 14, No. 1, Juni 2014, hlm 60-61

3
seperti sekarang ini, siapapun yang memenuhi kriteria sebagai pemimpin dapat

mencalonkan dirinya sebagai pemimpin.8

Di Indonesia, dalam konteks syarat untuk menjadi seorang pemimpin

dalam hukum positif dan di dalam UUD 1945 tidak ada penjelasan secara eksplisit

yang menjelaskan bahwa syarat pemimpin di Indonesia haruslah beragama islam

dan melarang kepemimpinan non Muslim. Tidak ada satupun UU dan Pasal yang

secara jelas melarang kepemimpinan non Muslim di Indonesia, hanya saja

kandungan dalam pembukaan UUD 1945 mejelaskan bahwa tidak ada perbedaan

antara suku, agama, bahasa, budaya dan lain- lain.9

Di Indonesia didalam hukum positif hak-hak politik meliputi hak untuk

ikut serta dalam pemerintahan yaitu hak dipilih dan memilih, hak dipilih

merupakan bagian dari HAM yaitu hak politik, hak untuk dipilih dapat digunakan

untuk menentukan seseorang menduduki jabatan posisi public maupun non

public. Pengaturan mengenai hak untuk dipilih terdapat dalam pasal 21 UDHRC,

kemudian terdapat dalam pasal 24 kovenan internasional hak sipil dan politik,

pasal 27 ayat 1 dan pasal 28D ayat 3 Undang-Undang Negara RI tahun 1945,

pasal 43 ayat 1 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM.

Telah kita ketahui bahwasannya sudah pernah terjadi orang non-Muslim

mejadi seorang pemimpin.Seperti pengangkatan wakil Gubernur DKI Jakarta

8
Lulu Nadziroh, “Pemimpin Non-Muslim Menurut Ibnu Taimiyah dan Relevansinya
dengan Kontoversi Pilkada di DKI Jakarta Tahun 2017”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum
UIS Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017, hlm 3
9
Amanda Rahmat Hidayat, “Kepemimpinan Non Muslim Menurut Fiqh Siyasah dan
Hukum Tata Negara Indonesia”, Skripsi, Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung, 2017, hlm
19-20

4
yaitu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang memiliki agama yang berbeda dengan

kebanyakan masyarakat DKI Jakarta. Wakil Gubernur itu dapat menjadi Gubernur

dikerenakan Gubernur Joko widodo di angkat menjadi Presiden RI, karena

terpilihnya Jokowi pada pemilu tahun 2014 tepatnya Jokowi menjabat sejak 20

Oktober 2014 ia terpilih bersama wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Sejak

itu pula yang semulanya Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta digantikan oleh

wakilnya yaitu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang beragama Kristen.

Ketika hal itu terjadi banyak pendapat masyarakat yang berbeda-beda

dalam pengangkatan pemimpin non-Muslim ini, banyak pendapat mengenai hal

ini membuat masyarakat bingung akan suatu kepemimpinan yang dipimpin oleh

Gubernur tersebut, ada yang berpendapat bahwasannya diperbolehkan untuk

memilih pemimpin yang tidak seagama dan adapula yang berpendapat bahwa hal

tersebut diharamkan dan dengan adanya hal ini pula dapat berdampak ajaran-

ajaran Islam yang berkurang.Berkaitan dengan isu kontroversi Pilkada DKI

Jakarta tahun 2017 yang menuai banyak pro dan kontra mengenai calon gubernur

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) maka penulis tertarik untuk mengangkat judul

skripsi yaitu “Hak-Hak Politik Warga Negara Non-Muslim Sebagai

Pemimpin Dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif”.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Apa saja hak-hak politik bagi warga Negara non muslim menurut hukum

Islam dan hukum Positif?

5
2. Bagaimanakah status warga Negara non muslim sebagai pemimpin di

Indonesia dalam pandangan hukum Islam dan hukum Positif?

C. Tujuan dan kegunaan penelitian

1. Tujuan penelitian

a. Untuk mengetahui hak-hak politik warga Negara non muslim menurut

hukum Islam dan hukum Positif

b. Untuk mengetahui status warga negara non muslim sebagai pemimpin

di Indonesia dalam pandangan hukum Islam dan hukum Positif.

2. Kegunaan penelitian

a. secara teoritis

sebagai berbagi ilmu pengetahuan kepada para pembaca untuk

mengetahui hak-hak warga Negara non muslim dalam Islam.

b. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi kepustakaan

dan bacaan khususnya bidang ilmu hukum ketatanegaraan.

c. Secara akademis

Untuk memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh Universitas dan

fakultas agar mendapat gelar sarjana strata satu (S1) pada jurusan

hukum tata negara fakultas syari’ah Universitas Islam Negeri Sultan

Thaha Saifuddin Jambi.

D. Karangka teori

1. Pengertian pemimpin dalam hukum Islam didalam bahasa arab dikenal

dengan istilah ‘Imam’ yang berarti ikutan bagi kaum, dan berarti setiap

6
orang yang dikuti oleh kaumyang sudah berada pada jalan yang benar

ataupun mereka yang sesat. Imam juga bisa diartikan sebagai pemimpin

seperti ketua atau yang lainnya. Kata imam juga digunakan untuk orang

yagn mengatur kemashlahatan sesuatu, untuk pemimpin suatu pasukan dan

untuk orang dengan fungsi lainnya.Menurut Al-Taftazani keimamahan

didefinisikan sebagai pemimpin umum dalam urusan dunia dan agama.10

2. Pengertian Pemimpin dalam Hukum PositifKepemimpinan dapat diartikan

sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan

terhadap pencapaian suatu organisasi. Sandang P Siagan menjelaskan

kepemimpinan sebagai kemampuan dan keterampilan seseorang yang

menduduki jabatan sebagai pemimpin satuan kerja untuk berfikir atau

bertindak sedemikian rupa sehingga melalui prilaku yang positif ia

memberikan sumbangsih dalam pencapaian organisasi.11

3. Politik adalah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakayat dengan

separangkat undang undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan

mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. Mangacu

pada pengertian tersebut politik yang berasal dari kata polis yang berarti

Negara bisa yang baik, karenanya setiap Negara harus memiliki suatu

aturan main yang disebut undang undang juga diartikan sebagai bentuk

kumpulan yang sengaja dibentuk untuk mendapatkan suatu atau hukum,

pemegang otoritas hukum yang kemudian disebut sebagai politicos atau

raja, dan melaksanakan aturan pemerintahan dalam hal ini semua lapisan
10
Umar Sidiq, Kajian Dalam Islam: Kajian Tematik AL-Qur’an Dan Hadist, Jurnal
Dialogia, Vol. 12 No. 1juni 2014, hlm 128-129
11
Dwi Apriani, Ibid. hlm 17

7
masyarakat yang mengakui kekuasaan seorang pemimpin. Gabriel A.

Almond mendefinisikan politik sebagai kegiatan yang berhubungan

dengan kendali pembuatan keputusan public dalam masyarakat tertentu di

wilayah tertentu, dimana kendali ini disokong lewat instrument yang

sifatnya otoriatif dan koersif.12

4. Hak Politik Warga Negara merupakan bagian dari hak-hak yang dimiliki

oleh warga negara dimana asas kenegaraannya menganut asas demokrasi.

Lebih luas hak politik itu merupakan bagian dari hak turut serta dalam

pemerintahan. Hak turut serta dalam pemerintahan dapat dikatakan sebagai

bagian yang amat penting dari demokrasi. Hak ini bahkan dapat dikatakan

sebagai pengejawantahan dari demokrasi, sehingga jika hak ini tidak ada

dalam suatu negara, maka negara tersebut tidak semestinya mengakui diri

sebagai negara demokratis. Negara-negara yang menganut demokrasi,

pada umumnya mengakomodir hak politik warga negaranya dalam suatu

penyelenggaraan pemilihan umum, baik itu bersifat langsung maupun

tidak langsung.AS Hikam dalam pemaparannya menyebutkan adanya

beberapa hak-hak dasar politik yang inti bagi warga negara diantaranya;

hak mengemukakan pendapat, hak berkumpul, dan hak berserikat. Dalam

UUD 1945, tercantum adanya keberadaan hak politik sipil dalam beberapa

pasal. Pada pasal 27 ayat 1 mengenai persamaan kedudukan semua warga

negara terhadap hukum dan pemerintahan; pasal 28 tentang kebebasan,

12
Gabriel A. Almond dalam Basri Seta, Pengantar Ilmu Politik, Jogjakarta: Indie Book
Corner, hlm 3

8
berkumpul dan menyatakan pendapat; dan pasal 31 ayat 1 tentang hak

setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan.13

5. Pengertian warga negara adalah semua penduduk di suatu negara atau

bangsa yang berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan sebagainya,

serta memiliki hak dan kewajiban penuh sebagai seorang warga negara di

negara tersebut.Ada juga yang menjelaskan pengertian warga negara

adalah semua orang yang secara hukum merupakan anggota resmi dari

suatu negara tertentu. Artinya, seorang warga negara memiliki hubungan

kuat dengan tanah air dan Undang-Undang negaranya, meskipun orang

tersebut berada di luar negeri dan terikat dengan ketentuan hukum

Internasional.Menurut Koerniatmanto S, pengertian warga negara adalah

anggota suatu negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap

negaranya, memiliki hubungan hak dan kewajiban yang sifatnya timbal-

balik terhadap negaranya.14

6. Pengertian Non-Muslim dalam pandangan islam diartikan dengan istilah

kafir karena tidak mempercayai dan tidak mengimani atau tidak memeluk

agama Islam. Menurut M Al- Quraish Shibab didalam litab tafsirnya,

makna kafir adalah orang-orang yang menutupi tanda-tanda kebesaran

Allah dan kebenaran yang terhampar dengan jelas di alam raya ini.15

13
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/2941-hak-politik-warga-negara-
sebuah-perbandingan-konstitusi.html, Diakses Pada Tanggal 22 Maret 2019, Pukul 22.50 WIB
14
https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-warga-negara.html,Diakses Pada
Tanggal 22 Maret 2019. Pukul 21.40 WIB
15
Rohmat Syaruffudin, Pengangkatan Pemimpin Non-Muslim Dalam Al-Qur’an (Studi
Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah), Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan
Humaniora UIN Walisongo Semarang, 2016, hlm 67

9
7. Hukum Islam adalah system hukum yang bersumber dari wahyu agama,

sehingga istilah hukum islam mencerminkankonsep yang jauh berbeda jika

dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Lazim

diartikan agama adalah suasana spiritualdan kemanusiaan yang lebih

tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam

pengertian biasa hanya menyangkut keduniaan semata. Sedangkan Joseph

Schachr mengartikan hukum Islam sebagai totalitas perintah Allah yang

mengatur kehidupan umat Islam dalam keseluruhan aspek menyangkut

penyembahan dan ritual, politik dan hukum.16

8. Hukum positif disebut juga ius constitutum yang berarti kumpulan asas

dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat

secara umum dan khusus dan ditegakkan oleh pemerintahan atau

pengadilan dalam Negara Indonesia.17 Secara terperinci dijelaskan oleh

situs resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia. Hukum islam adalah

kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang ada pada saat ini sedang

berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau

melalui pemerintah atau pengadilan dalam Negara Indonesia. Hukum

positif dapat diklasifikasi kedalam berbagai macam pengelompokan, yaitu

antara lain dilihat dari sumbernya, bentuknya, isi materinya dan lain

sebagainya.18

16
Nourzaman Shiddiqi, Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1993), hlm 603
17
I. Gede Pantja Astawa, Dinamika Hukum dan ilmu Perundang-Undangan di
Indonesia.(Bandung: PT. Alumni, 2008), hlm 56
18
http://perpustakaan.mahkamah.agung.go.id/, diakses pada tanggal 19 Maret 2016,
pukul 23.30 wib.

10
E. Tinjauan pustaka

Dalam melakukan sebuah penelitan perlu adanya tinjauan pustaka ataupun

sebuah penelusuran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan yang

akan diteliti agar dapat menambah wawasan penelitian dalam hal tersebut. Dalam

hal penelitian ini, peneliti melakukan tinjauan pustaka terhadap skripsi

mahasiswa/I terdahulu adapun yang ditemukan dari tinjauan pustaka adalah

sebagai berikut:

1. Skripsi Lulu Nadzirah yang berjudul “Pemimpin non-muslim menurut

Ibnu Taimiyah dan relevansinya kontroversi pilkada DKI Jakarta tahun

2017”, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas

Syariah dan Hukum, skripsi ini membahas tetantang pendapat Ibnu

Taimiyah dalam pilkada DKI Jakarta tahun 2017, dan boleh tidaknya

non-Muslim menjadi pemimpin menurut Ibnu taimiyah.19

2. Skripsi Rahmat Syariffudin yang berjudul “pengangkat pemimpin non-

Muslim dalam Al-Qur’an (studi penafsiran M. Quraish Shihab dalam

Tafsir Al-Misbah)” Unuversitas Islam Negeri Walisongo Semarang

fakultas Ushuluddin dan Humaniora, skripsi ini lebih mengutamakan

membahas mengangkat non-Muslim menjadi pemimpin dalam Al-

Qur’an dan menurut penafsiran M. Quraish Shihab boleh atau tidaknya

mengangkat pemimpin dari kalangan non-Muslim.20

19
Lulu Nadziroh, “Pemimpin Non-Muslim Menurut Ibnu Taimiyah dan Relevansinya
Dengan Kontrversi Pilkada Di DKI Jakarta Tahun 2017”, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, skripsi (Mei 2017), hlm 2
20
Rahmat Syariffudin, “Pengangkatan Pemimpin Non-Muslim Dalam Al-qur’an (Studi
penafsiran M.Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah)”, Mahasiswa UIN Walisongo
Semarang,Skripsi (Januari 2016), hlm 2

11
3. Skripsi Amanda Rahmat Hidayat yang berjudul “kepemimpinan Non-

Muslim menurut fiqih siyasah dan hukum tata negara Indonesia”

Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, skripsi ini lebih

mengutamakan membahas tentang bagaimana hukum, perbedaan dan

persamaan kepmimpinan non-Muslim menurut fiqih siyasah dan

hukum tata negara Indonesia.21

Sedangkan penelitian ini membahas tentang hak-hak politik warga negara

non-Muslim sebagai pemimpin, bagaimana hak-hak politik warga negara non-

Muslim sebagai pemimpin dalam hukum Islam dan hukum positif, status warga

negara non-muslim sebagai pemimpin di Indonesia dalam pandangan hukum

Islam dan hukum positif.

Setelah penulis melakukan tinjauan pustaka, penulis menemukan

persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang akan penulis lakukan.

Kesamaan tersebut sama-samaberpedoman pada Al-Qur’an dan pendapat para

ulama dan para ahli hukum dalam mengangkat non-Muslim sebagai pemimpin,

Sedangkan perbedaan terletak pada hukum pengangkatan non-Muslim sebagai

pemimpin, kemudian juga terdapat perbedaan yang cukup jelas yang mana

penelitian yang akan dilakukan, penulis menambahkan padangan hukum islam

dan hukum positif.

Amanda Rahmat Hidayat, “Kepemimpinan Non-Muslim Menurut Fiqih Siyasah dan


21

Hukum Tata Negara Indonesia”,Mahasiswa UIN Raden Intan Lampung, Skripsi,(oktober 2017),
hlm 2

12
F. Metode penelitian

Dalam setiap penelitian ilmiah, selalu menggunakan metode-metode

tertentu agar penelitian dapat berjalan secara terarah dan mencapai hasil yang

diharapkan. Adapun metode-metode yang digunakan dalam pembahasan skripsi

ini adalah:

1. Pendekatan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

konseftual dan normatif.Penelitian Normatif merupakan penelitian yang mengkaji

studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan

perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa

pendapat para sarjana.Penelitian jenis normatif ini menggunakan analisis kualitatif

yakni dengan menjelaskan data-data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan

bukan dengan angka-angka.Sedangkan penelitian konseftual adalah penelitian

yang berkaitan dengan beberapa gagasan atau teori abstrak.Penelitian konseftual

ini berfokus pada konsep atau teori yang menjelaskan atau menggambarkan

masalah atau fenomena yang sedang diteliti, dan menjalin atau menghubungkan

teori-teori terkait dengan fenomena yang sedang diteliti.

2. Jenis Dan Sumber data

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Ribrary Research yang mana

penelitian ini dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data skunder. 22Dalam

22
Juliansyah Noor, metode penelitian, Jakarta. Kencana prenada media grup, 2011,hlm 33

13
hal ini penulis membandingkan antara hukum islam dan hukum positif mengenai

hak warga Negara non muslim.

b. Sumber data

a) Sumber data primer yaitu data.23 Bahan hukum primer merupakan

bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.

Bahan-bahan hukum primer terdiri dari Al-Qur’an dan hadits,

Universal Decralation Of Humsn Right (UDHCR), undang-undang

dasar Negara Republic Indonesia tahun 1945, Undang-undang nomor

39 tahun 1999 tentang HAM.

b) Sumber skunder merupakan sumber yang diperoleh untuk memperkuat

data yang diperoleh dari data primer yaitu, buku-buku, makalah-

makalah, jurnal-jurnal, majalah, artikel, internet, dan sumber-sumber

yang berkenaan dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan data

Mengingat penelitian ini menggunakan studi kepustakaan (library

research). Maka teknik pengumpulan data melalui berbagai tahapan sebagai

berikut :

a. Mengumpulkan buku-buku atau bahan bacaan yang berkenaan dengan

masalah yang diteliti.

b. Mengklasfikasikan data-data yang ada pada buku-buku atau bahan

bacaan yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.

23
Kartini, Kartono, pengantar teknologi riset sosial, mandar maju, bandung, 1996, hlm 28

14
c. Membaca dan menelaah serta mengolah buku-buku atau bahan bacaan

yang ada kaitannya dengan bahan yang diteliti.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk

yang lebih mudah dibaca atau dipahamidan diinformasikan kepada orang

lain.24Pada tahapan analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa

hingga dapat menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk

menjawab prsoalan yang diajukan dalam penelitian ini.Adapun data-data tersebut

dianalisis menggunakan metode deduktif, induktif dan komparatif yaitu

membandingkan kedua hukum dengan memberikan suatu gambaran secara jelas

sehingga menemukan jawaban yang diharapkan.

G. Sistematika penulisan

Untuk mendapatkan pemahaman secara runtut, pembahasan dalam

penulisan skripsi mempunyai sistematika sebagai berikut :

Pembahasan diawali dengan Bab I Pendahuluan.Bab ini pada hakikatnya

menjadi pijakan bagi penulis skripsi.Bab ini berisikan tentang latar belakang

masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori, tinjauan pustaka, metode

penelitian, analisis data, dan sistematika penulisan.

Dalam Bab II berisi tentang tinjauan umum warga negara non-Muslim

dalam hukum Islam serta definisi, Hak dan kewajiban Warga Negara non-Muslim

dan pandangan ulama terhadap hak politik warga negara non-Muslim. Dalam

24
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif, Bandung, Alfabeta, 2004, hlm
244

15
babini menjelaskan Ketentuan Hak-hak politik warga negara non-Muslim dalam

hukum Islam

Selanjutnya dalam Bab III berisi tentang warga Negara non muslimdalam

hukum positif dengan sub Bab Hak dan Kewajiban warga Non Muslim serta

pandangan para ahli hukum terhadap hak politik warga negara non-Muslim.

Seterusnya dalam Bab IV berisi tentang pembahasan dan hasil penelitian,

hak politik warga negara non-Muslim sebagai pemimpin dan Adakah Perbedaan

dan Persamaan Hak-Hak Politik Warga Negara Non Muslim sebagai pemimpin

Dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif

Sementara Bab V penutup, berisikan mengenai kesimpulan dari hasil

penelitian dan berisikan saran-saran serta dilengkapi dengan daftar pustaka,

lampiran, dan curriculum vitae.

16
BAB II

WARGA NEGARA NON-MUSLIMDALAM HUKUM ISLAM


A. Definisi Warga Negara Non-Muslim

Secara umum waraga negara non Muslim dapat didefinisikan sebagai para

pnganut agama selain agama Islam yang menjadi warga negara non Muslim

komunitas Islam yang kuantitasnya lebih sedikit dibandingkan warga negara

mayoritas yang beragama Islam.25

Islam mengakui adanya pluralitas atau kemajemukan, baik dalam bidang

agama, ras, dan kultur sebagai kehendak Allah. Islam hanya tidak mengakui

paham pluralism yang memandang semua agama sama.

Dalam pandangan Islam, yang membedakan seseorang Muslim dengan

non Muslim adalah akidahnya yang termanifestasi kan dengan memeluk agama

Islam.perbedaan akidah merupakan perbedaan yang fundamental bagi Islam,

sehingga menjadikan Islam tidak mentolerir secara teologis bahwa agama-agama

lain sama dengan Islam. Meskipun kdemikian, Islam meyakini adanya pluralitas

dalam kehidupan ini sebagai kehendak Allah.

Menurut Nurcholis Madjid, tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang

luhur, seperti pluralism dan toleransi, termasuk didalamnya penghormatan dan

pengakuan terhadap hak-hak minoritas.26

25
Mujar Ibnu Syarif,Hak-Hak Politik Non Muslim dalam Komunitas Islam,(Bandung:
Angkasa, 2005). Hlm 30
26
Anas Urbaningrum, Islamo-Demokrasi Pemikiran Nurkholis Majid, Republika, Jakarta,
2004, hlm. 146

17
Adapun di dalam Al-Qur’an non Muslim disebut sebagai kafir, hal ini

dikarenakan mereka tidak beriman kepada Allah dan Rasuk-nya.Kata kafir sendiri

secara bahasa berarti menutupi sesuatu, melepaskan diri, menghapus dan

menyembunyikan kebaikan yang telah diterima, dan dari segi akidah, kafir berarti

kehilangan iman.Kafir terbagi menjadi tiga bagian yang pertama, kafir harbi yaitu

non-Muslim yang terlibat permusuhan dengan kaum muslimin. Mereka senantiasa

ingin memecah belah orang-orang mukmin dan bekerja sama dengan orang-orang

yang telah memerangi Allah Swt dan rasulnya sejak dahulu. Yang kedua kafir

Mu’ahad yaitu non-Muslim yang terikat komitmen dengan kaum muslimin untuk

tidak saling bermusuhan, kafir mu’ahad barasal dari darulharbi, tetapi mereka

telah mengadakan perjanjian damai dengan pemerintahan Islam. Hak dan

kewajiban mereka detentukan menurut Al-Qur’an, sunnah dan perjanjian yang

telah disepakati bersama. Oleh karena itu, mereka harus dilindungi hak-hak dan

kewajibannya.Ketiga kafir dzimmah yaitu non-Muslim yang berdomisili di negara

Islam.27

Atas dasar ini kedaulatan Negara Islam atas warga nya yang bukan Islam

yang tinggal dalam wilayah negara Islam dengan ketentuan bahwa ia mempunyai

hak dan kewajiban yang sama dengan Muslim. Kedudukan ini terjadi melalui

suatu perjanjian yang disebut perjanjian zimmah yang dibuat dengan penguasa

Muslim. (wali amri), yang kedua adalah Musta’min adalah seseorang yang masuk

ke negara Islam dengan tidak bermaksud berdiam selamanya, tetapi tebatas dalam

27
Rohmat Syariffudin, Ibid, hlm 35

18
waktu tertentu dan melalui suatu perjanjian yang dinamakan “perjanjian

keamanan” (akad aman) atau semata-mata diberi keamanan oleh penguasa.

Pembagian dunia menjadi dar-al-Islam, darl al-harb dan darl-al ahdi belum

dikenal baik pada masa nabi, maupun pada periode khulafa Al-Rasyidin.Kedua

istilah ini baru muncul sekitar abad kedua dan ketiga hijriyyah (sekitar abad ke 8

dan 9 M).28pada kedua abad inisering berkobar api peperangan antar kaum

Muslimin dengan rakyat negara-negara non-Muslim, karena itu, wilayah non-

Muslim yang sering terlibat perang dengan kaum Muslimin itu disebut dar al-harb

(wikayah perang). Jadi ijtihad yang berkenaan dengan pemberian nama tersebut

didasarkan konflik dan perang.

Berbeda dengan masa ketika teori tersebut dirumuskan, hubungan antar

negara (hubungan internasional) saat ini berdasarkan perdamaian dibawah

pengawasan PBB.

Definisi ahl al-dzimmah berasal dari dua kata yang terpisah yaitu ahl dan

dzimmah.Secara etimologis kata ahl berarti kabilah atau suku dan sanak keluarga

atau kerabat. Dalam lisa al-Arab, Ibn Manzur mendefinisikan kata al-ahl dengan

makna yang berbeda-beda sesuai dengan kata al-amr (ahl al-amr), berarti orang

yang mengurusi masalah tersebut. Jika disambungkan dengan kata al-rajun (ahl al-

rajun), berarti orang-orang terdekat di sekitar orang tersebut. Jika disambungkan

dengan nama nabi, maknanya adalah umatnya.29

28
Mujar Ibnu Syarif, Ibid, hlm 32
29
Syamsul H Adi Untung, Sikap Islam Terhadap Minoritas Non-Muslim, Volume 12,No
1, Maret 2014, hlm 33

19
Sedangkan secara terminology, ahl al-dzimmah memiliki makna khusus

yang telah dikenal dalam tradisi keilmuan Islam. Mereka adalah orang pemilik

perjanjian, pemilik tanggungan dan pemilik jaminan, yang disebut dalam hukum

fikih sebagai orang-orang yang mendapat jaminan Allah dan Rasulnya serta kaum

Muslim untuk hidup dengan aman dan tentram di bawah perlindungan Islam di

dalam lingkungan masyarakat Islam. Menurut al-Ghazali, ahl al-dzimmah adalah

ahli kitab yang telah baligh, berakal, merdeka, laki-laki, mampu berperang dan

membayar jizyah.Sa’id Hawa mengatakan ahl al-dzimmah merupakan

sekelompok orang-orang kafir yang mengadakan perjanjian untuk tunduk kepda

hukum dan kekuasaan Allah Swt sehingga masuk dalam perlindungan kaum

Msulimin.Dengan demikian ahl al-dzimmah merupakan orang-orangkafir yang

mengadakan perjanjian untuk patuh terhadap peraturan dan hukum Islam sehingga

memiliki ikatan dan menjadi bagian dari penduduk negara Islam yang mendapat

jaminan perlindungan.

B. Hak Dan Kewajiban Warga Non-muslim

Hak pokok pada warga Negara non-muslim pada islam klasik, melekatkan

hak dan kewajiban yang berbeda dari warga muslim pada umumnya. Mereka tidak

bisa menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan, mereka tidak boleh

menjadi pemimpin politik dan majelis permusyawaratan, mereka tidak

mempunyai hak suara, bahkan mereka diwajibkan membayar jizyah.30

30
Mary Silvita, “ Islam dan Kaum Minoritas Non Muslim dalam Piagam Madinah”
Jurnal Refleksi, Volume 13 No 3, 2012. Hlm 333

20
Dalam kitab fiqih klasik merupakan kalangan yang dituntut dengan

sejumlah kewajiban, tetapi tidak mendapatkan hak yang sejajar dan setara sebagai

mana komunitas Muslim.

Jika kita merujuk pada praktik kenegaraan islam yang dicontohkan oleh

Rasulullah sebelumnya maka akan kita dapati bahwa semangat yang diusung

dalam konsep adalah semangat perlindungan bukan semangat penindasan.

Didalam piagam Madinah disebutkan bahwa yahudi yang tinggal di Madinah

termasuk warga Negara.Mereka mempunyai hak dan kewajiban seperti kaum

muslimin diwilayahnya.Yahudi bebas menjalankan agamanya dan kaum

Muslimin bebas menjalankan agamanya dan memberikan hak warga Negara untuk

non-muslim dan menjamin mereka mendapatkan persamaan hak dan kewajiban.

Sengat jelas persamaan hak non-muslim dan muslim didalam konstitusional

seperti dalam sebutan Rasulullah untuk warga Negara daulah Islamiyyah dalam

undang-undang Madinah bahwa mereka semua adalah umat yang sama dengan

kaum mu’minin.31

Komunitas non-Muslim yang berada dalam tanggungan kaum Muslimin

(dzimmah al-Muslimin), mendapatkan status dan perlakuan yang baik sejauh

mereka masih menetap diwilayah islam dan tidak menghianati perjanjian-

perjanjian yang telah disepakati dengan kaum Muslimin. Perjanjian yang muara

pada jaminan mendapatkan hak dan kewajiban sebagai bagian dari warga Negara

Islam yang dilindungi tersebut akan berlaku selama ia hidup dan bagi anak

cucunya di hari kemudian. Bahkan jika mereka lalai dalam menjalankan

31
Farid Abdul Khalid, Ibid

21
perjanjian yang telah disepakati dan bukan karena berniat melakukan

penghianatan dan pemberontakan , Negara tidak serta memutuskan perjanjian

tersebut.

Secara umum, ahl al-dzimmah mendapatkan hak-hak yang sama dengan

yang diperoleh kaum Muslimin, hanya dalam masalah-masalah tertentu yang

menyangkut keamanan Negara saj mereka mempunyai hak yang sedikit terbatasi.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam ajaran-ajaran Islam dan dibuktikan secara

nyata oleh fakta sejarah bahwa mereka (ahl al-dzimmah) dijamin mendapatkan

hak-hak nya.

Sebenarnya penyebutan ahl al-dzimmah tersebut memberikan isyarat

bahwa mereka (non-Muslim) mendapatkan jaminan dari Allah, Rasul-nya, dan

kaum muslimin untuk dapat hidup dan memiliki ikatan dibawah naungan Islam

dengan aman dan damai, mereka ini yang dalam istilah sekarang berststus warga

Negara dalam suatu Negara islam. Selanjutnya mereka yang telah mendapatkan

jaminan tersebut harus dilindungi dan diperlakukan sesuai dengan perjanjian yang

telah disepakati.

Adapun hak-hak yang diperoleh oleh non-muslim selama berstatus ahl al-

dzimmih adalah sebagai berikut:

1. Hak perlindungan atau keamanan, yang meliputi perlindungan dari segala

macam penindasan dan ancaman terhadap mereka, baik datangnya dari

luar maupun dari dalam wilayah islam. Ibn Hazm mengatakan: “sudah

merupakan Ijmak umat Islam, bahwa apabila kaum kafir datang kenegeri

kita untuk mengganggu orang yang berada dalam perlindungan, maka

22
wajib atas kita memerangi mereka dengan segala kekuatan dan senjata,

bahkan kita harus siap mati untuk itu demi menjaga keselamatan orang

yang berada dalam perlindungan Allah dan Rasul-nya”.

Menurut Yusuf Al-Qardawi, bahwa diantara hak-hak yang harus

diberikan terhadap ahl al-dzimmih adalah hak perlindungan dari ancaman

pihak luar dar al-Islam. Sehingga menjadi kewajiban bagi pemimpin kaum

Muslim untuk melindungi ahl al-dzimih, melepaskan tahanan mereka, dan

melindungi dari siapa saja yang bermaksud untuk menyakiti selama

mereka berada diwilayah Islam (dar al-Islam).Sebagaimana telah

dicontohkan Ibn Taimiyah ketika berhadapan dengan timur lenk, beliau

menyatakan agar seluruh tawanan yang ada dalam kekuasaan nya

dibebaskan.Kemudian timur lenk menawarkan untuk membebaskan

tawanan Islam saja kepada Ibn Taimiyah, namun beliau menolak kecuali

jika ahl al-dzimmih juga turut dibebaskan.32

2. Hak kebebasan beragama. Islam memberikan kepada umat beragama

untuk memeluk agama yang diyakini tanpa ada tekanan dan ancaman

dalam bentuk apapun. Menurut ajaran Islam, setiap orang yang berhak

memeluk sesuai dengan keyakinanya. Islam tidak pernah seidkitpun

membenarkan pemaksaan terhadap seseorang untuk meninggalkan

agamanya agar memeluk agama lain, apalagi untuk memeluk agama Islam.

Sebagaimana Allah berfirman:

32
Syamsul H Adi Untung, Sikap Islam Terhadap Minoritas Non-Muslim, Volume 12,No
1, Maret 2014. Hlm 39-40

23
Artinya: tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam

sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.

Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada

Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat

kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha

Mengetahui.33

Prinsip tentang kebebasan memeluk agama dalam Islam sangat

ditekankan dan dijaga, selain terkandung dalam ayat diatas hak tersebut

juga dapat ditemukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an lainnya. Diantaranya

ayat-ayat berikut:

Artinya: dan jikalau tuhanmu menghendaki, beriman semua orang


yang dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya.34

‫َارا‬ َّ ‫َوقُ ِل ْال َح ُّق ِم ْن َر ِب ُك ْم ۖ فَ َم ْن شَا َء فَ ْليُؤْ ِم ْن َو َم ْن شَا َء فَ ْل َي ْكفُ ْر ۚ إِ َّنا أ َ ْعتَ ْدنَا ِل‬
ً ‫لظا ِل ِمينَ ن‬
‫اب‬
ُ ‫ش َر‬ َ ‫س َرا ِدقُ َها ۚ َوإِ ْن َي ْستَ ِغيثُوا يُغَاثُوا ِب َماءٍ َك ْال ُم ْه ِل َي ْش ِوي ْال ُو ُجوهَ ۚ ِب ْئ‬
َّ ‫س ال‬ َ ‫أ َ َحا‬
ُ ‫ط ِب ِه ْم‬
‫ت ُم ْرتَفَقًا‬
ْ ‫سا َء‬
َ ‫َو‬
Artinya: dan katakanlah, "Kebenaran itu datangnya dari
Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman,
dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami
telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka
akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang

33
QS. Al-Baqarah : 256
34
QS. Yusuf : 99

24
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat
istirahat yang paling jelek.35
‫ِد ْينِ َو ِلىَ ِد ْينُ ُك ْملَ ُك ْْم‬
Artinya: untukmu lah agamamu, dan untukkulah agamaku.36

Seluruh ayat-ayat tersebut menerangkan bahwa tidak ada paksaan

untuk memeluk agama Islam.Mengenai sikap toleransi tersebut, dikatakan

oleh Al-Maududi merupakan prinsip yang ditanamkanoleh Islam kepada

pemeluknya.Meskipun tidak ada kebenaran dan kebaikan yang lebih baik

dari pada Islam, dan meskipun orang-orang Muslimin ditugaskan untuk

mengajak manusia untuk memeluk Islam, namun mereka (kaum

Muslimin) tidak dibenarkan untuk menyebarkan iman melalui

paksaan.Siapapun yang memeluk Islam adalah melakukannya atas

kesadaran dan pilihannya sendiri.Umat Islam harus menghormati

keputusan orang-orang yang tidak menerima Islam dan tidak ada tekanan-

tekanan moral, sosial, maupun politikyang dikenakan terhadap mereka

untuk mengubah keyakinannya.

3. Hak Bekerja dan Berusaha

Dalam hal ini kaum Dzimmi memiliki hak kedudukan yang sama

dengan kaum Muslimin dalam berbagai lapangan pekerjaan. Mereka dapat

menikmati kebebasan penuh dalam pandangan, industry, keterampilan,

pertanian, dan sebagainya. Dalam pemerintahan islam tidak dikenal

adanya keistimewaan lebih dari kaum Muslimin atas kaum Dzimmi atas

35
QS. Al-Kahfi : 29
36
QS. Al-Kafirun : 06

25
peluang, usaha dan pekerjaan. Non-Muslim tidak dihambat kesempatannya

hanya karena perbedaan keyakinan, semua pihak mendapatkan

kesempatan dan hak yang sama dalam bidang perekonomian.

4. Hak Jaminan hari tua dan kemiskinan

Hal ini di dasarkan atas ijmak para sahabat di masa al-khulafa al-

rasyidun, mereka mencontohkan sikap-sikap yang sangat toleran dan

peduli terhadap kaum dzimmi.Umar ibn Khattab RA membebaskan

kewajiban jizyah bagi kaum dzimmi yang tidak mampu lagi untuk bekerja.

Umar juga memberi tunjangan yang diambil dari bait al-mal.

5. Hak politik dan jabatan dalam pemerintahan

Dalam pemerintahan Islam, meskipun keberadaan ahl al-dzimmah

merupakan komunitas minoritas namun mereka juga mendapatkan hak-hak

politik untuk menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan seperti hal

nya kaum muslim, pengecualian diberikan hanya pada jabatan yang

bekenaan dengan corak keagamaan atau ideology negara, misalnya adalah

jabatan kepala negara. Dalam hal ini tidak dapat dipegang oleh mereka

karena menyangkut bidang keduniawian sekaligus bidang keagamaan,

yakni sebagai perwakilan Nabi SAW, dan jelas tidak mungkin seorang

non-Muslim mewakili kedudukan Nabi SAW. Maka batasan yang mereka

dapatkan dalam hak ini dapat diterima oleh akal sehat dan logis, karena

26
tidak mungkin tidak masuk akal seseorang yang bukan beragama Islam

akan melaksanakan hukum Islam dan memeliharanya dengan baik.37

Al-maududi menyatakan bahwa semua jabatan pemerintahan terbuka bagi

kaum dzimmi, kecuali sedikit jabatan kunci misalnya menjadi kepala Negara dan

majelis permusyawaratan.Kaum muslim tidak dibenarkan merampas hak-hak

mereka selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dengan kata lain hanya

orang Islam lah yang mempunyai hak untuk menduduki jabatan kepala dan

majelis syura, karena jabatan tersebut akan menjadi penentu lahirnya kebijakan-

kebijakan kunci dalam tatanan pemerintahan. Namun untuk posisi lainnya,

semisal badan administrasi Negara, maka kaum minoritas non-Muslim berhak

menduduki sesuai prosedur dan aturan dalam Negara Islam tersebut.

Hal demikian sangat sulit ditemukan dalam pemerintahan non-Muslim ini

menunjukan bahwa fakta sejarah telah banyak berbicara tentang sikap adil dan

toleran yang ditunjukan jika Islam berkuasa, hingga mereka (ahl al- dzhimmah)

merasa nyaman berada ditengah-tengah umat Islam. Terjadi penomena tersebut

dikarenakan Islam menempatkan prinsip keadilan sebagai cara pandang dalam

setiap prilaku dan tindakan pemeluknya hingga teraplikasi dalam pelaksanaan

pemerintahannya.

Dalam Islam sebelum warga menuntut hak nya warga Negara haruslah

melaksanakan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan. Adapun kewajiban-

kewajiban yang harus dilaksanakan non-Muslim adalah sebagai berikut:

37
Subehan Khalik, Hak-Hak Kaum Minoritas Dalam Hukum Islam, Jurnal al-daulah,
Volume. 5/No.2/Desember 2016, hlm 419-423

27
a. Mentaati peraturan-peraturan hukum umum yang berlaku yang tidak

berkaitan dengan hukum pribadi.

b. Mentaati perjanjian-perjanjian yang disepakati bersama.

c. Menbayar Jizyah (pajak)

d. Taat pada pemimpin yang sah dan adil

e. Melindungi yang lemah dan membela yang teraniaya.

Syekh Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa kewajiban non-Muslim adalah

membayar upeti dan pajak, berkomitmen dengan hukum undang-undang Islam

serta menghormati symbol-simbol dan perasaan kaum Muslim.38

C. Pendapat Ulama Terhadap Hak Politik Warga Negara Non-Muslim

1. Ulama Klasik

sebagian pakar dan peneliti kontemporer mengingkari atau tidak

membenarkan hak warga negara sempurna pada non-Muslim di dalam daulah

Islamiyah, sekalipun mereka tidak meletakan ketentuan atas hak-hak mereka

kecuali dalam batas-batas hak-hak politik saja.39

Hak-hak kewarganegaraan mereka terjamin sebagai mana kaum muslimin,

begitu juga dengan kebebasan pribadi, kebebasan menyampaikan pendapat, dan

jaminan keebutuhan-kebutuhan kemanusiaan yang lazim bagi setiap individu

warga negara, serta hak pada baytulmal dan jaminan baytulmal bagi para manula.

Demikianlah, Islam telah menjamin seluruh hak-hak politik bagi semua

rakyat daulah islamiyah tanpa ada perbedaan, mereka berbeda pendapat dalam dua

Yusuf Qardhawi as-Shalfatul Islamiyah Ru’yatu Muqadiyatu Minal Daahili,


38

Kebangkitan Islam Dalam Perbincangan para Pakar, Gema Insani Press, Jakarta, 1998, hlm 23
39
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Amzah,2005), hlm 167

28
masalah yaitu: pertama, berhubungan dengan kewenangan umum dan tugas-tugas

pemerintahan. Seorang pemerhati akan menemukan bahwa disana ada suatu

kesepakatan dan ada beberapa tugas-tugas tinggi yang tidak bisa dipegang oleh

kaum non-Muslim sebab harus adanya syarat Islam pada orang yang melakukan

tugas itu, seperti tugas pemimpin negara dan tugas pemimpin kementerian atau

tugas perdana menteri, juga tugas komandan meliter serta tugas pemimpin

wilayah atau Gubernur. Sama dengan pendapat Abu A’la al-Maududi mengatakan

kecuali sedikit jabatan kunci (kepala negara, kepala departemen, kepala

wilayah/Gubernur mahkamah Syari’ah, angkatan perang dan perdana menteri),

mereka tidak memiliki hak untuk menduduki jabatan tersebut.40Sedangkan tugas-

tugas lainnya, boleh saja non-Muslim memegangnya.Hal ini dapat diterima karena

dua alasan.Pertama karena jabatan-jabatan ini terikat dengan tujuan kewenangan

yang memerlukan ilmu agama dan hukum-hukum syariat.Kedua karena

mengamalkan dasar yang telah lama dikenal manusia dan dipraktikkan dinegara

bukan negara Islam, dahulu dan sekarang, yaitu bahwa dalam persamaan hak-hak

tidak menafikan bahwa hak administrative tinggi hanya untuk kelompok

mayoritas dan hak-hak minoritas tetap terjaga dan terpelihara.41

Kedua, Berhubungan dengan hak-hak politik tentang hak memilih dan

dipilih menjadi dewan parlemen: Abu al-A’la al-Maududi berkata: “sesungguhnya

pemimpin pemerintahan dalam Islam dan tugasnya adalah mengatur perkara-

perkara negara sesuai asas-asas Islam, dan tidak ada tugas lain untuk dewan

pemusyawaratan atau dewan parlementer kecuali membantu pemimpin

40
Abu A’la Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam,PT Bumi Aksara,
Jakarta,2008, hlm 307
41
Farid Abdul Khaliq, Ibid. hlm 167

29
pemerintahan melaksanakan system fundamental ini. Oleh karena itu orang-orang

yang tidak percaya atau mengimani asas-asas Islam tidak ada hak bagi mereka

untuk menduduki jabatan kepemimpinana pemerintahan atau anggota parlemen.

Sebagaimana mereka juga tidak sah ikut serta dalam memilih orang-orang yang

akan menduduki jabatan-jabatan itu seperti para pemilih lainnya.

Boleh memberikan pada non-Muslim hak menjadi anggota dan hak

memberikan suara kepada dewan parlemen daerah, sebab dewan ini tidak

membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan system kehidupan, namun

tugas dewan ini adalah mengatur perkara-perkara untuk mewujudkan keperlua-

keperluan primer daerah.42

Al-Maududi menyadarka pendapatnya ini pada dalil Al-Qur’an:

‫َّللا َوالَّذِينَ َآو ْوا‬ َ ‫ِإ َّن الَّذِينَ آ َمنُوا َوهَا َج ُروا َو َجا َهدُوا ِبأ َ ْم َوا ِل ِه ْم َوأ َ ْنفُ ِس ِه ْم فِي‬
ِ َّ ‫س ِبي ِل‬
‫اج ُروا َما لَ ُك ْم ِم ْن‬ ِ ‫ض ۚ َوالَّذِينَ آ َمنُوا َولَ ْم يُ َه‬ ُ ‫ص ُروا أُو َٰلَئِكَ َب ْع‬
ٍ ‫ض ُه ْم أَ ْو ِل َيا ُء َب ْع‬ َ ‫َو َن‬
‫ص ُر ِإ ََّل‬
ْ ‫ِين فَعَلَ ْي ُك ُم ال َّن‬
ِ ‫ص ُرو ُك ْم فِي الد‬ ِ ‫ش ْيءٍ َحتَّ َٰى يُ َه‬
َ ‫اج ُروا ۚ َوإِ ِن ا ْستَ ْن‬ َ ‫َو ََل َي ِت ِه ْم ِم ْن‬
‫ير‬
ٌ ‫ص‬ِ ‫َّللاُ ِب َما تَ ْع َملُونَ َب‬ ٌ َ‫علَ َٰى قَ ْو ٍم َب ْي َن ُك ْم َو َب ْي َن ُه ْم ِميث‬
َّ ‫اق ۗ َو‬ َ

Artinya:“sesungguhnya orang-orang yang beriman yang berhijrah serta


berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan allah dan orang-orang yang
member tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin),
mereka itu satu sama lain saling melindungi, dan (terhadap) orang-orang yang
beriman tetapi belum berhijrah maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu
melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.(Akan tetapi) jika mereka meminta
pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib
memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara
kamu dengan mereka.Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.43

42
Inti Wulandari, “Studi Pemikiran Abu Al-A’la Al-Maududi Tentang Hak-Hak Politik
Non-Muslim Dalam Islam”, skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo,(Semarang:
2018),hlm 60
43
Q.S. Al-Anfal : 72

30
Menurut imam Al-Ghazali, tenteng pengawasan dan syarat-syarat

pengawas, non-Muslim tidak berhak melakukan pengawasan terhadap Muslim

dengan menyadarkan pendapatnya pada dalil dibawah ini:

ِ ‫َّللا قَالُوا أَلَ ْم نَ ُك ْن َم َع ُك ْم َو ِإ ْن َكانَ ل ِْلكَاف ِِرينَ ن‬


ْ‫َصيبٌ قَالُوا أَلَ ْم نَ ْستَحْ ِوذ‬ ُ َّ‫الَّذِينَ َيت ََرب‬
ِ َّ َ‫صونَ ِب ُك ْم فَإِ ْن َكانَ لَ ُك ْم فَتْ ٌح مِ ن‬

َ َ‫علَى ْال ُمؤْ مِ نِين‬


ً ‫س ِب‬
‫يل‬ َ َ‫َّللاُ ل ِْلكَاف ِِرين‬
َّ ‫اَّلل َي ْح ُك ُم َب ْينَ ُك ْم َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة ۗ َولَ ْن َي ْج َع َل‬
ُ َّ َ‫علَ ْي ُك ْم َونَ ْم َن ْع ُك ْم مِ نَ ْال ُمؤْ مِ نِينَ ۚ ف‬
َ

“(yaitu) orang-orang yang menunggu-menunggu (peristiwa) yang akan


terjadi pada dirimu. Apabila kamu mendapat kemenangan dari Allah mereka
berkata, “bukankah kami (turut berperang) bersama kamu?” dan jika oang kafir
mendapat bagian (kemenangan), mereka berkata:”bukankah kami turut
memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?”. Maka Allah
akan member keputusan diantara kamu pada hari kiamat. Dan Allah sekali-kali
tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan
orang-orang yang beriman”44
Dari ayat diatas menurut imam Al-Ghazali non-Muslim tidak berhak

memperhitungkan tindakan mungkar seorang Muslim apalagi yang

diperhitungkan itu adalah ulil amri, sebab hal itu sama saja meminta hukum

kepada non-Muslim terhadap Muslim, dan itu mengandung penghinaan bagi yang

dihukumkan. Hal ini dilarang menurut agama.45

Menurut Ibnu Qayyim, saat dia memaparkan pembahasan kesaksian non-

Muslim atas non-Muslim dan atas kaum muslimin. Ayat diatas tidak dapat

dijadikan petunjuk atas larangan menerima kesaksian non-Muslim atas kaum

Muslim. Karena menurut Ibnu Qayyim yang telah disimpulkan oleh Syaikh

Syaltut dalam kesimpulannya: “orang yang memperhatikan sumber perundang

undangan untuk masalah ini pasti menyimpulkan bahwa syariat Islam menerima

kesaksian non-Muslim atas non-Muslim, juga menerima kesaksiannya atas orang

Muslim dalam masalah-masalah maumalah (Interaksi). Sedangkan dalam masalah

44
Q.S. An-Nisa : 141
45
Inti Wulandary, Ibid. hlm 62

31
seperti rujuk, pernikahan, kesucian air dan najis, serta kehalalan sembelihan dan

keharamannya, itu semua termasuk urusan-urusan yang khusus ditangani oleah

kaum Muslimin.Setiap masalah yang disisi agamanya lebih dominan maka

kesaksian non-Muslim tidak bisa diterima.

Adapun dalam ayat diatas menunjukan bahwa didalam kata Al-Sabil tidak

termasuk kesaksian dan masalah putusan peradilan.Namum, kata Al-Sabil adalah

jalan untuk menghinakan dan menekandari orang-orang kafir terhadap orang-

orang yang beriman. Dalam realita, kesaksian dan putusan pengadilan ditegakan

untuk menetapkan kebenaran yang pasti akan jelas bagi hakim lewat cara apa saja,

bukan untuk kepentingan penuduh dalam menghukum tertuduh juga dalam

mengelabuhi hakim46

Muhammad Ali Jinnah dalam pidatonya, yang terkenal di depan majelis

perwakilan pada malam kemerdekaan (1948), mendukung pemisahan agama dari

kewarganegaraan. Ia berkata, “anda bebas pergi ketempat ibadah anada di Negara

Pakistan ini. Anda boleh menjadi pengikut agama apapun. Pilihan itu sama sekali

tidak ada hubungannya dengan urusan Negara. Kita akan memulai negara ini

dengan prinsip yang mendasar ini. Kita semua adalah warga negara yang setar.

Dia percaya bahwa: “seiring jalannya waktu, anda akan melihat orang Hindu yang

tidak lagi menjadi muslim, bukan dalam pengertian agama, karena itu merupakan

keyakinan pribadi masing-masing, melainkan dalam pengertian politik sebagai

warga negara yang sama dan setara.47

46
Farid Abdul Khalid, Ibid. hlm 173-174
47
Inti Wulandary, Ibid. hlm 65

32
2. Ulama kontemporer

Pendapat-pendapat para ulama kontemporer seputar hak-hak non-Muslim

dalam masyarakat Islam dalam memilih dan dipilih sebagai anggota dewan dari

sudut pandang Islam, Dr. Abdul Karim Zidan berkata dalam masalah yang

berhubungan dengan hak memilih dan dipilih, serta hak partisipasi dalam memilih

Presiden di negara Islam: “ menurut kami, hukum yang paling jelas adalah boleh,

sebab jabatan Presiden di masa sekarang tidak mempunyai bentuk kata

keagamaan sebagai mana dulu. Oleh karena itu, ia bukanlah kekhalifahan yang

banyak dibicarakan oleh para fukaha sekalipun masih ada sedikit makna yang

sama.”Jabatan presiden adalah jabatan kepemimpinan didunia dan buka

kekhalifahan yang diberikan oleh rasullullah Saw dalam memelihara agama dan

politik dunia.Ini adalah definisi kekhalifahan Al-Mawardi.

Jika demikian maka kami tidak berpendapat dengan melarang orang-orang

kafir dzimi untuk ikut memilih presiden, sebagai kiasan atas dilarangnya mereka

untuk memilih khalifah dimasa-masa yang telah lalu.

Berdasarkan hal ini orang-orang kafir dzimmi boleh berpartisipasi dalam

pemilihan umum sebab mereka tidak dilarang unutk ikut serta dalam urusan-

urusan duniawi. Sedangkan unutk memilih wakil-wakil mereka dalam majelis

pemusyawaratan rakyat dan pencalonan dirinya sebagai anggota dewan, kami juga

berpendapat boleh, sebab keanggotaan dalam majelis permusyawaratan rakyat

artiny memberikan ulasan juga memberikan nasehat kepada pemerinta dan

33
seumpamanya, dan ini adalah perkara-perkara yang tidak ada larangan bagi orang-

orang kafir dzimmi untuk melakukannya dan ikut serta didalamnya.48

Menurut Mohammed Arkoun, konsep dzimmi (yang terlindung) dalam

fiqih atau syari’ah tradisional adalah model toleransi tanpa peduli jika dilihat dari

kaca mata HAM. Alasannya, karena konsep ini dalam praktek disertai oleh

rekayasa untuk mengurangi peran kelompok lain dan menegaskan keunggulan

Islam atas yang lain, meskipun konsep ini masih lebih baik ketimbang kondisi

kaum Muslimin dalam masyarakat agama lain. Baginya problem hak-hak non-

Muslim di negara muslim lebih sebagai problem lingkungan. Kendati begitu,

Islam sebagai sebuah keyakinan masih tetap mengandung problem, yaitu problem

penafsiran warisan lama yang tidak dibaca dalam pengertian modern. Karenanya,

ia menyarankan adanya revolusi epitemologis dengan melakukan penafsiran Al-

qur’an yang menajdi rujukan syari’ah, termassuk teks-teks yang berkaitan dengan

non-Muslim, berdasarkan postulat-postulat ilmu humaniora dan ilmu sosial

modern yang telah diterapkan di barat.

Menurut Cak Nur (Nurcholish Madjid), hak-hak non-Muslim dalam Islam,

juga bisa dilihat dari konsep pluralism Islam. Baginya, penganut agama lain harus

dihormati hak-hak kebebasan beragama dan politiknya dengan meyakini adanya

unsure kebenaran dan kemungkinan keselamatan dalam agama mereka.

Menurut Amien Rais, sebagaimana kebebasan berbicara, beragama, bebas

berkehendak, bebas dari ketakutan dan seterusnya yang dijamin sepenuhnya

48
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2005) hlm, 178-179

34
dalam Islam, hak non-Muslim dalam Islam untuk menjadi menteri dan menduduki

jabatan-jabatan pemerintahan lainnya juga diakui. Namun Islam tidak

memberikan hak kepada non-Muslim untuk menjadi kepala negara.Perbedaan ini

menurutnya, hanya menunjukan bahwa Islam tidak munafik, sebagaimana negara-

negara demokrasi barat yang mempersamakannya secara konstitusi, tetapi tidak

dalam kenyataan.Karenanya, Islam memberlakukan syarat secara de jure dan de

facto bahwa kepala negara harus merupakan anggota dari mayoritas.49

Menurut Ibnu Taimiyyah system adalah hal penting, tetapi yang terpenting

adalah seseorang yang menduduki jabatan atau kekuasaan harus memenuhi syarat

pertama memperoleh dukungan mayoritas umat dalam Islam ditentukan dengan

konsultasi dan Bai’at, kedua memenangkan dukungan dari kalangan Ahl Asy-

Asyaukah atau unsur pemegang kekuasaan dalam masyarakat, dan yang ketiga

memiliki syarat kekuatan pribadi dan dapat dipercaya dengan sikap jujur, amanah,

adil, maka pemimpin akan memberikan kemaslahatan bersama kapada rakyatnya.

Atas dasar macam itu, maka kemudian Ibnu Taimiyyah mengatakan “lebih

baik dipimpin oleh pemimpin kafir yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin

yang Muslim yang dzalim”.50

Di negara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim bahwa hak

warga negara sama dalam memperoleh kesepkatan untuk meraih jabatan

pemerintahan (baik Yudikatif, Eksekutif, Legislatif), dengan di atur Undang-

Undang. Hal ini menurut Munawir Sjadzli disebabkan faktor, kepluralan, sejarah

49
Inti Wulandary, Ibid. hlm 68-69
50
Abu Tholib Kholiq, “PemimpinNon-Muslim Perspektif Ibnu Taimiyyah”, Jurnal Studi
Keislaman, Volume 14 NO.1 Juni 2014, h.83

35
dan geografis Indonesia, sehingga warga negara mempunyai hak yang sama. Dari

faktor sejarah bahwa kemerdekaan Indonesia diperoleh perjuangan warga negara

Indonesia baik Muslim maupun non-Muslim dan pada masa pembentukan

pemerintahan/pembuatan Undang-Undang dasar wilayah yang penduduk

mayoritas non-Muslim mengancam akan memisankan diri dari kesatuan negara

jika diterapkan negara islam.

Dari faktor geografis penduduk yang menganut agama Islam hanya

terletak dibagian barat dan sebagian lagi di bagian tengah Indonesia, sedangkan

timur Indonesia mayoritas berpenduduk non-Muslim dan sedangkan dari faktor

kepluralan masyarakat di Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama

(Islam, Protestan, Katolik, hindhu, Bhuda dan aliran kepercayaan).

Sehingga Munawir Sjadzali mengatakan: “alangkah tidak adilnya jika non-

Muslim tidak diberikan hak warga negara yang sama dengan warga negara

Muslim, mereka sama-sama berjuang dalam meraih kemerdekaan Indonesia dan

negara Indonesia adalah negara nasional kebangsaan yang disatukan oleh wilayah

jika terdapat diskriminasi yang disebabkan oleh faktor agama maka kesatuan

republic akan terpecah-pecah.51

Pendapat senada antara lain dianut oleh Abdurrahman Wahid yang dikutip

dalam buku Mujar Ibnu Syarif menyatakan bahwa warga negara non-Muslim

memiliki hak-hak, termasuk hak untuk menjadi pemimpin suatu negara Islam.

Adalah sesuatu hal yang sangat wajar tegasnya jika orang Islam memilih seorang

calon yang beragama Islam sebagai kepala negara.Akan tetapi, mereka haurs

51
Munawir Djadzali, Islam Dan Tata Negara, UI, Prees, Jakarta, 1992, hlm 66

36
menerima prinsip bahwa setiap warga negara, termasuk non-Muslim di negara

Islam, mempunyai hak untuk menjadi kepala negara. Dan Abdurrahman Wahid

tidak setuju apabila surat Ali Imran ayat 28 dijadikan sebagai alasan untuk tidak

membolehkan non-Muslim menjadi kepala negara dalam sebuah negara Islam.

Karena yang dilarang Allah adalah menjadikan mereke “awliya” yang berarti

teman atau pelindung, bukan “umara” yang berarti para penguasa.52

52
Http://Yahya-Ibrahim.blogspot.com/2010/06/Hak-Politik-Non-Muslim-Dalam-
Islam.Html?1, Diakses pada tanggal 22-09-2019. Pukul 20.30 Wib

37
BAB III

STATUS KEWARGANEGARAANNON-MUSLIM

DALAM HUKUM POSITIF

A. Definisi Warga Negara

Penduduk (ingezetenen) atau rakyat merupakan salah satu unsur untuk

memenuhi kriteria dari sebuah negara.Penduduk atau penghuni suatu wilayah

negara merupakan semua orang yang pada suatu waktu mendiami wilayah negara.

Mereka secara sosiologis lazim dinamakan dengan rakyat dari negara tersebut,

yaitu sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan

bersama sama mendiami suatu wilayah tertentu.53

Penduduk yang mendiami suatu negara ditinjau dari segi hukum terdiri

dari warga negara (staatsburgers), dan orang asing.Penduduk adalah orang yang

dengan sah bertempat tinggal tetap dalam suatu negara sah artinya, tidak

bertentangan dengan ketentuan-ketentuan mengenai masuk dan mengadakan

tempat tinggal tetap dalam negara yang bersangkutan. Selain penduduk dalam satu

wilayah negara ada orang lain yang bukan penduduk (niet-ingezetenen), misalnya

seorang wisatawan yang berkunjung dalam suatu negara, dan orang asing yang

bekerja didalam wilayah negara tersebut.

Penduduk terbagi dengan warga negara asli dan orang asing. Warga negara

asli merupakan pemegang status kewarganegaraan yang diberikan oleh negara

tersebut, sedangkan orang asing adalah orang yang memiliki status

53
Prof. dr. Lintje Anna Marpaung, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Andi Offset, 2018), hlm 21

38
kewarganegaraan di negara lain yang berada diluar wilayah negaranya dan berada

dinegara tersebut, karena suatu kepentingan.

Setiap warga negara suatu negara diberikan status kewarganegaraan dari

negara tersebut.Status kewarganegaraan bukan hanya mengenai sebuah status

yang melekat pada persoalan kartu tanda penduduk ataupun untuk melengkapi

administrasi lainnya melainkan kewarganegaraan adalah segala hal ikhwal yang

berhubungan dengan warga negara.Maka dari itu konstitusi negara Indonesia

merumuskan siapa yang berhak memperoleh kewarganegaraan Indonesia.

Banyaknya jumlah penduduk Indonesia berpengaruh terhadap banyaknya

jumlah pemegang status kewarganegaraan Indonesia.Seorang warga negara

mempunyai kedudukan yang khusus yaitu hubungan timbale balik antara negara

dan warga negaranya.Kewarganegaraan membawa implikasi pada kepemilikan

hak dan kewajiban.Negara wajib menjamin kepemilikan hak seorang warga

negaranya yang mncakup hak sipil, hak politik, hak asasi ekonomi, sosial dan

budaya. Sedangkan kewajiban sebagai orang pemegang status kewarganegaraan

Indonesia sebagai juga telah ditetapkan didalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945 (UUD1945), sehingga pemerintahan negara

Indonesia dapat berjalan sesuai dengan cita-cita kemerdekaannya

Pasal 26 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi “yang menjadi warga negara

ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang

disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara”.54Dan pasal 26 ayat 3

setelah perubahan yang kedua yang berbunyi “Hal-hal mengenai warga negara

54
Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945

39
dan penduduk diatur dengan undang-undang”.Maka dibuatlah peraturan

perundang-undangan mengenai kewarganegaraan.

Negara Indonesia telah beberapa kali membuat peraturan perundang-

undangan mengenai warga negara dan kewarganegaraan yaitu UU No.3 tahun

1946 tentang warga negara dan penduduk Indonesia, UU No.62 Tahun 1958

tentang kewarganegaraan Indonesia dan UU No.3 Tahun 1976 tentang perubahan

pasal 18 undang-undang No62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan Republik

Indonesia. Karena undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan

perkembangan ketatanegaraan sehingga harus dicabut dan diganti dengan undang-

undang No.12 Tahun 2006.

Undang-undang No.12 Tahun 2006 berbeda dengan undang-undang

sebelumnya, undang-undang ini pada dasarnya menganut asas kelahiran

berdasarkan tempat negara kelahiran (ius soli) itu secara terbatas artinya asas ius

soli tersebut hanya dilakukan terbatas bagi anak-anak, jadi bukan berlaku apabila

keberadaan tersebut sudah terjadi jika yang ditemukan adalah seorang anak yang

dewasa.

UU No.12 Tahun 2006 juga mengatur kehilangan kewarganegaraan yang

menyebabkan seorang kehilangan kewarganegaraan Indonesia yang

dimilikinya.Hal tersebut bisa terjadi karena permohonan orang tersebut ataupun

tindakan yang menyebabkan hilangnya warga negara.Akan tetapi hilangnya

40
kewarganegaraan juga dapat diperoleh kembali melalui prosedur yang telah

ditetapkan oleh undang-undang ini.55

Tanggal 10 April 1946, diundangkan UU No.3 tahun 1946.Adapun yang

dimaksud dengan warga negara Indonesia menurut UU No.3 Tahun 1946

adalah.56

1. Orang-orang yang asli dalam wilayah daerah di Indonesia.

2. Orang yang tidak termasuk kedalam golongan tersebut diatas akan tetapi

turunan dari seseorang dari golongan itu dan lahir bertempat kedudukan

dan kediaman dalam daerah Indonesia, dan orang itu bukan turunan

seorang dari golongan termaksud yang lahir dan bertempat kedudukan dan

kediaman di selama sedikitnya 5 tahun berturut-turut yang paling akhir

didalam daerah negara Indonesia yang telah berumur 21 tahun atau telah

kawain.

3. Orang yang mendapatkan kewarganegaraan Indonesia dengan cara

Naturalisasi.

4. Anak yang sah, disahkan atau diakui dengan cara yang sah oleh bapaknya,

yang pada lahirnya bapaknya mempunyai kewarganegaraan Indonesia.

5. Anak yang lahir dalam waktu 300 hari setelah bapaknya yang mempunyai

kewarganegaraan Indonesia, meninggal dunia.

6. Anak yang hanya oleh ibunya diakui dengan cara yang sah yang pada

waktu lahirnya mempunyai kewarganegaraan Indonesia.

55
Mirza firmansyah, Kewarganegaraan RI dan Kehilangan Kewarganegaraan RI
Berdasarkan Undang-Undang No.12 Tahun 2006, Jurnal : Fakultas Hukum Universitas Sumatra
Utara Medan, 2013, hlm 4-5
56
Pasal 1 Undang-Undang No.3 Tahun 1946

41
7. Anak yang diangkat dengan cara yang sah oleh seorang warga negara

Indonesia.

8. Anak yang lahir di dalam daerah negara Indonesia yang oleh bapaknya

ataupun ibunya tidak diakui dengan cara yang sah.

9. Anak yang lahir didalam negara Indonesia, yang tidak diketahui siapa

orang tuanya atau kewarganegaraan kedua orang tuanya.

10. Badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum yang berlaku dalam

negara Indonesia dan bertempat kedudukan didalam daerah negara

Indonesia.

B. Hak dan Kewajiaban ketatanegaraan

Hukum positif merupakan aturan hukum yang sedang berlaku di suatu

negara. Hukum positif di suatu Negara tidaklah sama dengan hukum positif yang

berlaku di Negara lain. Perbedaan terletak dari pada konstitusi yang menjadi dasar

dan sumber pembuatan hukum positif yang dimaksud hukum positif itu dapat

berwujud peraturan perundang-undangan.

Di Indonesia konstitusi dimaksud telah mengalami beberapa penggantian,

jika selama kurang lebih 4 tahun setelah kemerdekaan dilakukan UUD 1945 maka

selama kurun waktu sekitar 8 bulan berlaku konstitusi RIS hampir di seluruh

Indonesia, akan tetapi konstitusi ini diganti dengan UUDS 1950 yang kemudian

dekrit 5 juli 1959 dinyatakan tidak berlaku sekaligus memberlakukan kembali

UUD 1945.

Ketiga konstitusi ini berbeda satu sama lain. UUD 1945 yang sangat

singkat itu hanya mencantumkan pada pasal 28 tentang HAM dengan penanaman

42
hak warga negara, sedangkan konstitusi RIS dan UUDS 1945 merinci HAM

secara detail dalam 30 pasal yang ternyata cenderung memiliki kesamaan dengan

Universal Declaration of Human Rights.57

Pembukaan UUD 1945 yang mejiwai pengaturan HAM dalam batang

tubuh UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lain sebagai hukum positif,

pada setiap alenia mencerminkan adanya persamaan dibidang politik, ekonomi,

hukum, sosial, dan budaya. Ini berarti subtansi HAM di pembukaan UUD 1945

amat luas tetapi disayangkan kurang mndapatkan penjabaran yang lebih rinci

dalam batang tubuh UUD 1945 oleh karenanya MPR melalui penetapan Nomor :

XVII/1998 maupun perubahan kedua UUD 1945 pasal 28 sampai dengan pasal

28J lebih memperjelas dan merinci mana yang meruoakan HAM, kewajiban

warga Negara.

Pengaturan HAM dan kewajiban asasi manusia secara bersama dalam

hukum positif bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara keduanya. Individu

memang memiliki hak-hak yang fundamental sebagai hak-hak asasi nya tetapi

harus dituntut untuk dapat menghargai, menghormati dan menjujung tinggi hak

asasi Individu yang lain, hal itu berarti dalam menjalankan hak asasinya setiap

individu tidak dapat mengabaikan apalagi melanggar hak asasi individu yang lain.

Berkaitan dengan hak kemanusiaan, Al-Banna telah menegaskan bahwa

hak asasi manusia adalah tuntutan Islam. Dalam menegaskan hakikat

penghormatan hak-hak ini, cakupan hak kemanusiaan ini meliputi:

57
Johan Yasin, Hak Asasi Manusia dan Hak Serta Kewajiban Warga Negara Dalam
Hukum Positif Indonesia, Jurnal. Hlm 8-9

43
A. Hak kemerdekaan

Hak kemerdekaan merupakan suatu kuasa untuk membebaskan diri dari

kesewenang-wenang yang di lakukan otoritas tertentu.Hak kemerdekaan selalu

terkait dengan keselamatan pribadi.Hak kemerdekaan mungkin berbeda persis

setelah hak hidup. Dalam hal ini hak hidup tidak dapat dipaparkan secara rinci,

diberbagai literature yang pernah dibuatnya, akan tetapi hak kemerdekaan menjadi

poin pertama dalam pembahasan hak asasi manusia.

Setiap orang mempunyai hak untuk bebas dari penangkapan dan

penahanan sewenang-wenang, dan hanya dapat dilakukan atas dasar yang

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.Korban penangkapan dan

penahanan sewenang-wenang dan melanggar ketentuan hukum memilki hak untuk

mendapat pemulihan, khususnya konpensasi.Hak ini di anut dengan tegas dalam

konvenan internasional hak asasi manusia.58

B. Hak Politik (Politik Right)

1. Kebebasan memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan

Hak dipilih dalam hukum positif sebagai pemenuhan hak asasi manuisa,

ketentuan ini diatur dalam pasal 43 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang

hak asasi manusia (HAM) menyebutkan bahwa:59

a. Setiap warga Negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pilihan

umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang

58
Umi Din Nurzanah Br. Sembiring, “Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hasan Al-
Banna”, Jurnal Al-Lubb, Vol. 2, No.1, 2017, hlm 248-249
59
Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tahun 1999,
pasal 43

44
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan

ketentuan peraturan perundangan-undangan.

b. Setiap warga Negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan

langsung atau dengan perantara wakil yang dipilihnya dengan bebas,

menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

c. Setiap warga Negara dapat diangkat dalam setiap jabatan

pemerintahan.

C. Hak persamaan didepan hukum

Mendapatkan perlakuan, pelayanan dan perlindungan yang sama dalam

hukum. Hak persamaan dalam hukum adalah hak memperoleh perlakuan yang

sama dan adil dalam keadilan hukum dan pemerintahan. Hukum merupakan suatu

bentuk upaya yang kemudian berbentuk tatanan yang mencerminkan kehendak

dari segenap masyarakat umtuk mencapai suatu keadaan yang ideal, dan upaya

tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk pengaturan. Pengaturan disni meliputi

segala bentuk regulasi dan deregulasi. Melalui pengaturan ini pula diharapkan

akan terciptanya ketertiban dalam masyarakat sesuai dengan yang dicita-citakan

oleh masyarakat itu sendiri. Singkatnya hukum hadir untuk membimbing manusia

pada keadaan yang diinginkan oleh para pembuatan hukum.60

Hak warga Negara adalah suatu kewenangan yang dimiliki oleh warga

Negara guna melakukan sesuatu sesuai peraturan perundang-undangan. Dengan

kata lain hak warga Negara merupakan suatu keistimewaan yang menghendaki

agar warga Negara diperlakukan sesuai keistimewaan tersebut. Sedangkan

60
Umi Din Nurzanah Br. Sembiring, Ibid. hlm 259

45
kewajiban warga Negara adalah suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan

oleh warga Negara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.Kewajiban

warga Negara dapat pula diartikan sebagai suatu sikap atau tindakan yang harus

diperbuat oleh seseorang warga Negara sesuai dengan keistimewaan yang ada

pada warga lainnya.

Dari pengertian di atas tersirat suatu makna bahwa hak dan kewajiban

warga Negara itu timbul atau bersumber dari Negara.Maksudnya negaralah yang

memberikan atau membebankan hak dan kewajiban itu kepada

warganya.Pembrian dan pembebanan yang dimaksud dituangkan dalam peraturan

perundang-undangan sehingga warga Negara maupun penyelenggaraan Negara

memiliki peranan yang jelas dalam pengaplikasian dan penegakan hak serta

kewajiban tersebut.

Di dalam UUD 1945 tidak ada perbedaan hak dan kewajiban bagi muslim

dan non-muslim karna didalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi “Negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-

masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.61

Kebebasan beragama sesuai keyakinan dan keprcayaan menjadi salah satu

hak asasi manusia yang tegas dan diatur di dalam UUD RI 1945, pernyataan

jaminan dalam pasal tersebut mengindikasi bahwa Negara memiliki kepentingan

yang wajib untuk dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan.

61
Undang-Undang Dasar RI Pasal 29 ayat 2

46
Adapun hak warga negara menurut UUD 1945 adalah :

1. Hak warga negara untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6

ayat 1)

2. Hak warga negara untuk memiliki kedudukan sama dalam hukum (Pasal

27 ayat 1)

3. Hak atas penghidupan yang layak. (Pasal 27 ayat 1)

4. Hak dalam upaya pembelaan negara. (Pasal 27 ayat 3)

5. Hak berserikat dan berkumpul. (Pasal 28E ayat 3)

6. Hak mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan. (Pasal 28)

7. Hak untuk memperoleh kesempatan dalam pemerintahan. (28D ayat 3)

8. Hak untuk memeluk agama masing-masing. (Pasal 29 ayat 2)

9. Hak fakir miskin dan anak terlantar depelihara negara. (Pasal 34 ayat 1)

10. Hak warga negara untuk mendapatkan rasa aman atas apa yang

dimiliki.(Pasal 28G ayat 1)62

Sebaliknya warga negara mempunyai berbagai kewajiban sebagaimana

dalam UUD 1945 antara lain:

1. Menjunjung hukum dan pemerintahan. (Pasal 27 ayat 1)

2. Turut serta dalam upaya pembelaan negara. (Pasal 27 ayat 3)

3. Menghormati hak asasi orang lain. (Pasal 28J ayat 1)

4. Menjunjung tinggi moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban

umum.(Pasal 28J ayat 2)

5. Ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. (Pasal 30 ayat 1).

62
Undang-Undang Dasar RI dan Perubahannya, Penabur Ilmu, Jakarta, hlm 8-27

47
6. Wajib mengikuti pendidikan dasar

7. Wajib membayar pajak sebagai kontrak utama negara dengan warga

negara dan membela tanah air.63

C. Pendapat Ahli Hukum Terhadap Hak Politik Warga Non-Muslim

Dalam konteks hukum positif menurut Abdurrahman Wahid tidak setuju

dengan pendapat yang menyatakan bahwa non-Muslim tidak bisa menjadi

Presiden di Indonesia yang mayoritas beragama Islam.Sehubungan dengan ini

beliau menyatakan, mempertentangkan agama seseorang dengan jabatan tertentu,

lebih-lebih jabatan kepresidenan adalah merupakan sesuatu yang naïf, sebab hal

tersebut tidak hanya bertentangan dengan UUD 1945, tapi juga melukai hati

rakyatnya.64

Adapun menurut ahli hukum di Indonesia mantan ketua konstitusi (MK)

Mahfud M.D menilai tidak ada persoalan perbedaan agama dikalangan

masyarakat Indonesia saat ini.“Saya melihat ditingkat rakyat tidak ada masalah

perbedaan agama”.Kata Mahfud saat menjadi pembicara dalam Dialog bertajuk

“kepemimpinan bangsa yang bermartabat dan berkeadilan” di Jakarta, Senin 17

April 2017.

Mahfud M.D menyampaikan kebebasan memilih kepala daerah ini sejalan

dengan pernyataan bung karno kala menetapkan Indonesia sebagai negara

pancasila yang berketuhanan dan berkeadilan. Negara pancasila itu berketuhanan,

mengakui dan melindungi semua agama. Bung karno bilang kalau orang Islam

ingin Indonesia negara yang Islami ya pilih pemimpin Islam, begitu juga kalau

63
Mirza firmansyah, Ibid, hlm 13
64
Mujar Ibnu Syarif, ibid. h.35

48
ingin gedung-gedungber-letter Kristen ya pilih pemimpin non-Muslim, itu semua

aspirasi, tidak boleh rebut karena itu.65

Adapun pendapat Todung Mulya Lubis sebagaimana di kutip dalam

bukunya In search of Human Right legal political Delemmas Of Indonesia’s New

Order bahwa dengan hilangnya hak memilih dan dipilih sebagian warga

negara,secara tidak langsung negara telah melanggar hak-hak asasi manusia yang

pada saat ini sedang gencar-gencarnya didengungkan oleh sebagian besar negara-

negara didunia berupa hak dipilih dan hak untuk memilih.66

Dan menurut Jimly Asshiddiqie mengatakan tidak mempermasalahkan

apabila ada calon presiden dari kalangan non-Muslim.Percalonan presiden

darikalangan non-Muslim tidak berbenturan dengan hukum yang ada.“ Ya boleh

secara hukum tidak boleh di munafikan. Boleh-boleh saja dari segi hukum67

65
http://www.opinibangsa.id/2017/ mahfud-md-persoalan-di-masyarakat-
bukan.html?m=l, diakses pada 25/7/2019 jam 21.45
66
http://digilib.unila.ac.id/98495/4/PEMBAHASAN.pdf, di akses pada 25/7/2019 jam
22.00
67
http://www.merdeka.com/politik/al-az...non-muslim.html, di akses pada 26/7/2019 jam
23.15

49
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Hak Politik Warga Negara Non-Muslim Sebagai Pemimpin Menurut

Hukum Islam Dan Hukum Positif

Mengenai hak politik warga negara non-Muslim didalam hukum Islam

para ulama klasik memandang bahwa orang-orang non-Muslim memiliki seluruh

hak politik tersebut, kecuali hak dipilih atau mencalonkan diri sebagai kepala

negara Islam.

Menurut ulama kontemporer berpendapat orang-orang non-Muslim

memiliki seluruh hak politik termasuk hak untuk memilih dan dipilih atau

mencalonkan diri sebagai kepala negara.

Mengenai bisa atau tidaknya seorang non-Muslim yang menjadi warga

negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam semisal

Indonesia, menjadi seorang pemimpin negara, dikalangan intelektual Muslim

terjadi kontroversi pendapat sebagai berikut.

Pertama, kelompok yang masih mempertahankan konsep dzimmi-harbi

semisal al-maududi, menyatakan bahwa semua jabatan pemerintahan, kecuali

sedikit jabatan kunci, semisal kepala negara, terbuka bagi kaum dzimmi, dengan

kata lain, hanya orang Islam lah yang punya hak untuk menduduki jabatan kepala

negara.

Dengan alasan mengapa kaum dzimmi tidak bisa menjadi pemimpin

negara dalam sebuah negara Islam adalah disebabkan karena negara Islam,

menurut al-Maududi, adalah negara yang berdasarkan ideologis Islam.Oleh karena

itu, orang-orang Islam sajalah yang berhak menjadi kepala negara.Disetiap negara

50
ideologis, tegas al-Maududi, posisi-posisi penting dalam negara pastilah hanya

diberikan kepada orang-orang yang memiliki kepercayaan sepenuhnya kepada

ideologisnya dan mampu menyelenggarakan sesuai dengan isi dan jiwa ideology

itu sendiri.

Sebagaimana al-Maududi, Yusuf Qardhawi juga berpendapat bahwa ahl

dzimmah (kaum dzimmi) memiliki hak untuk menduduki jabata-jabatan dalam

pemerintahan seperti halnya kaum muslimin, kecuali jabataban-jabatan yang

memiliki warna keagamaan seperti jabatan sebagai imam/kepala negara, panglima

tentara, hakim untuk kaum muslimin.68

Adapun kelompok ulama yang membolehkan adalah imam al-Mawardi

yang mengatakan bahwa umat non-Muslim berhak menduduki jabatan wazir

tanfidzsama dengan jabatan menteri pembantu kepala negara dalam menjalankan

tugas-tugas pemerintahan.

Di dalam konteks Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim bahwa

hak warga negara sama dalam memperoleh kesempatan untuk meraih jabatan

pemerintahan, hal ini menurut Munawir Sjadzli disebabkan faktor kepluralan,

sejarah dan geografis Indonesia, sehingga Munawir Sjadzli mengatakan alngkah

tidak adilnya jika non-Muslim tidak diberikan hak warga negara yang sama

dengan warga negara Muslim.

Pendapat senada antara lain dianut oleh Abdurrahman Wahid yang

menyatakan bahwa orang-orang non-Muslim memiliki hak-hak penuh, termasuk

hak menjadi kepala negara di dalam negara Islam, dan belian tidak setuju apabila

Abu Al’la Maududi, Ibid, hlm 307


68

51
surat al-imran ayat 28 dijadikan sebagai alasan untuk tidak membolehkan non-

Muslim menjadi pemimpin dalam sebuah negara Islam. Karena yang dilarang

Allah adalah menjadikan mereka Awliya yang berarti teman atau pelindung buka

Umara yang berarti para penguasa.69

Adapun didalam hukum positif hak politik warga negara non-Muslim telah

diatur dalam UUD 1945 dan Undang-undang dimana Indonesia mengakui adanya

pluralitas yang terdiri dari berbagai keyakinan membuat kebebasan beragama

sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan dan kepercayaan menjadi salah satu

hak asasi manusia yang tegas dan diatur dalam UUD RI 1945 pasal29 ayat 2

berbunyi “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan

kepercayaannya itu”.

Sementara itu hak dipilih secara rinci diatur dalam UUD 1945 mulai dari

pasal 27 ayat 1 yang berbunyi “segala warga negara kedudukannya sama didalam

hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 28D ayat 3 yang

berbunyi, “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan. Dan pasal 43 ayat 1 Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang

HAM, yang berbunyi, “ setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih

dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara

yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

69
Http://Yahya-Ibrahim.blogspot.com/2010/06/Hak-Politik-Non-Muslim-Dalam-
Islam.Html?1, Diakses pada tanggal 22-09-2019. Pukul 20.30 Wib

52
Dan selanjutnya didalam International Convenant On Civil and Political

Rightberkaitan dengan hak politik warga negara menegaskan dalam pasal 25

bahwa setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan yang sama

tanpa perbedaan apapun dan tanpa pembatasan yang tidak wajar untuk

berpartisipasi dalam menjalankan segala urusan umum baik secara langsung

maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas.

Pengaturan tentang hak dipilih dalam peraturan-peraturan tersebut

menunjukan bahwa, setiap orang sebagai warga negara memiliki hak untuk dipilih

tanpa melihat perbedaan fisik, ras, agama, dan jenis kelamin.Hak untuk dipilih

merupakan hak yang berlaku bagi setiap warga negara non-Muslim. Semua

peraturan diatas menyebutkan bahwa untuk ikut serta dalam pemerintahan baik

untuk memilih dan dipilih merupakan hak seluruh warga negara Indonesia secara

keseluruhan asalkan ia memenuhi persyaratan.

Berdasarkan uraian diatas, di dalam hukum positif seorang non-Muslim

mempunyai hak dipilih karena tidak ada satu aturan yang menghalangi non-

Muslim dipilih dalam pemilihan umum.

Pernyataan yang sama disampaikan oleh ahli hukum Indonesia Mahfud

M.D, Todung Mulya Lubis, Jimly Asshiddiqie yang mengatakan bahwa secara

hukum percalonan non-Muslim tidak berbenturan dengan hukum yang ada karena

dengan hilangnya hak memilih dan dipilih sebagai warga negara, secara tidak

langsung negara telah melanggar hak-hak asasi manusia yang ada pada saat ini

53
sedang didengungkan oleh sebagian besar negara-negara di dunia berupa hak

dipilih dan hak untuk memilih.70

Pada hakikatnya di dalam Islam umat manusia antara satu sama lain tidak

ada perbedaan, mereka semua sama, yakni sama-sama keturunan adam. Selain itu

di dalam Islam umat manusia seluruhnya, tanpa memandang lantar belakang etnis,

ras, bahasa, gender, jenis kelamin, dan lain-lain, termasuk agama dan keyakinan

semua sama karena Al-Qur’an mengakui prinsip kemuliaan manusia dalam

sebuah ayat:

‫ت َوفَض َّْلنَا ُه ْم‬ َّ َ‫َولَقَ ْد َك َّر ْمنَا َب ِني آدَ َم َو َح َم ْلنَا ُه ْم فِي ْال َب ِر َو ْال َبحْ ِر َو َرزَ ْقنَا ُه ْم ِمن‬
ِ ‫الط ِي َبا‬
‫يل‬ ً ‫ض‬ ِ ‫ير ِم َّم ْن َخ َل ْقنَا تَ ْف‬
ٍ ‫ع َل َٰى َك ِث‬َ

Artinya : Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak adam, kami


angkut mereka di daratan dan lautan, kami beri mereka rizki dari yang bai-baik
dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
makhluk yang telah kami ciptakan.71

Ayat tersebut diatas dengan jelas mengakui prinsip kemulian manusia

yang didalam teks Al-Qur’an disebut karamah (kemuliaan).Hal itu mengandung

prinsip pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia sebagai hak dasar

yang dikaruniakan Allah kepadanya. Pengakuandan perlindungan hak-hak

tersebut ditekankan pada tiga hal, yaitu: persamaan manusia, martabat manusia,

dan kebebasan manusia. Berdasarkan ayat diatas yang dimaksud keturunan adam

adalah seluruh umat manusia yaitu Muslim maupunnon-Muslim, oleh karena itu

70
http://www.opinibangsa.id/2017/ mahfud-md-persoalan-di-masyarakat-
bukan.html?m=l, diakses pada 25/7/2019 jam 21.45
71
QS. Al-Isro, ayat. 70

54
maka tidak ada larangan non-Muslim yang merupakan warga negara yang

memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan warga negara Muslim.

Namun disisi lain mengenai larangan mengangkat orang-orang non-

Muslim sebagai pemimpin dalam Al-Qur’an yakni surat Ali-Imran ayat 28, Al-

Maidah ayat 51, Ali-Imran ayat 118.

‫طا َنةً ِم ْن دُو ِن ُك ْم ََل َيأْلُو َن ُك ْم َخ َب ًاَل َودُّوا َما َع ِنتُّ ْم قَ ْد‬
َ ‫َيا أ َ ُّي َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل تَتَّ ِخذُوا ِب‬
ِ ‫ور ُه ْم أ َ ْك َب ُر ۚ قَ ْد َب َّي َّنا لَ ُك ُم ْاْل َيا‬
‫ت ۖ ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم‬ ُ ُ ‫صد‬ َ ‫ت ْال َب ْغ‬
ُ ‫ضا ُء ِم ْن أ َ ْف َوا ِه ِه ْم َو َما ت ُ ْخ ِفي‬ ِ َ‫َبد‬
َ‫تَ ْع ِقلُون‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil


menjadi teman kepercayaan orang-orang yang diluar kalangan mu
(karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagi
mu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sesungguh telah kami
terangkan kepada mu ayat-ayat (kami), jika kamu memahaminya.72

ٍ ‫ض ُه ْم أ َ ْو ِل َيا ُء َب ْع‬
‫ض َو َم ْن‬ ُ ‫ارى أ َ ْو ِل َيا َء َب ْع‬
َ ‫ص‬َ ‫َيا أ َ ُّي َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل تَتَّ ِخذُوا ْال َي ُهودَ َوال َّن‬
َّ ‫َّللا ََل َي ْهدِي ْالقَ ْو َم‬
َ‫الظا ِل ِمين‬ َ َّ ‫َيت ََولَّ ُه ْم ِم ْن ُك ْم فَإِ َّنهُ ِم ْن ُه ْم إِ َّن‬

Artinya: Hai orang-orang beriman, janganlah kam mengambil


orang-orang yahudi dan nasrani menjadi pemimpin-pemimpin mu:
sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebgaian yang alin. Barang siapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka.Sesungguhnya Allah tidak member
petunjuk kepada orang-orang zalim.73

72
Q.S Ali-Imran : 118
73
Q.S Al-Maidah: 51

55
َٰ
َ ‫ُون ْال ُمؤْ ِمنِينَ ۖ َو َم ْن َي ْفعَ ْل ذَلِكَ فَلَي‬
‫ْس‬ ِ ‫ََل َيتَّ ِخ ِذ ْال ُمؤْ ِمنُونَ ْال َكافِ ِرينَ أ َ ْو ِل َيا َء ِم ْن د‬
‫ير‬
ُ ‫ص‬ِ ‫َّللا ْال َم‬ َّ ‫ش ْيءٍ ِإ ََّل أ َ ْن تَتَّقُوا ِم ْن ُه ْم تُقَاة ً ۗ َويُ َحذ ُِر ُك ُم‬
َ ‫َّللاُ َن ْف‬
ِ َّ ‫سهُ ۗ َو ِإلَى‬ ِ َّ َ‫ِمن‬
َ ‫َّللا فِي‬

Artinya: janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang


kaifr menjadi wali dengan meningkatkan orang-orang mu’min. barang
siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah
kecuali karena (siasat) memelihara diri dari suatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) nya.Dan
hanya kepada Allah kembali (mu).74

Ayat ini lah yang dipakai sebagai argument bahwa orang-orang Muslim

dilarang mengambil orang-orang non-Muslim untuk menjadi wakil kepercayaan

dan mejadi pemimpin orang-orang Muslim, dimana pada ayat tersebut turun

sering berkobar peperangan antara non-Muslim dan Muslim.

Jadi Ijtihad yang berkenaan dengan pemberian nama tersebut didasarkan

pada keagamaan yang pada waktu itu umumnya berdasarkan konflik dan perang,

berbeda dengan masa ketika teori tersebut dirumuskan, hubungan antar negara

(hubungan internasional) saat ini berdasarkan perdamaian dibawah pengawasan

PBB.

Padahal jika kita merujuk pada praktik kenegaraan Islam yang

dicontohkan oleh Rasulullah sebelumnya maka akan kita dapati bahwa semangat

yang diusung dalam konsep adalah semangat perlindungan bukan penindasan.

Berdasarkan sudut pandang tokoh-tokoh Islam kontemporer bahwa hak

Muslim dan non-Muslim, mereka dipandang sebagai warga negara yang disatukan

oleh tanah air dan memiliki hak politik penuh, setiap warga negara berhak untuk

dipilih dan memilih untuk menjadi pemimpin negara dan wakil rakyat didalam
74
Q.S Ali-Imran: 28

56
system politik modernisasi cendrung memisahkan antara masalah urusan

keagamaan dengan kenegaraan, menurut pendapat ini bahwa pengaturan

mengenai system politik. Muhammad diutus Allah hanyalah sebagai seorang nabi

seperti nabi-nabi sebelunya.Masalah kenegaraan adalah masalah duniawi terserah

masyarakat yang menghendaki sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat.

B. Adakah Pebedaan dan Persamaan Hak Politik Warga Negara Non-

Muslim Sebagai Pemimpin dalam Pandangan Hukum Islam Dan Hukum

Positif

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa berdasarkan hukum Islam dan

hukum positif sama-sama mengakui hak persamaan dan kebebasan karna pada

hakikatnya umat manusia itu dilihat dari hakikat penciptaanya, tidak ada

perbedaan satu sama lain, mereka semua sama, yakni sama-sama keturunan

Adam. Adapun di dalam hukum Islam semua manusia mempunyai persamaan hak

tanpa memandang warna kulit, suku, maupun agama.

Adapun didalam hukum positif tidak ada satu pun aturan yang

menghalangi hak politik non-Muslim karena didalam hukum positif memandang

setiap warga negara berkedudukan sama didepan hukum dan pemerintahan

berdasarkan pasal 27 ayat 1. Kemudian didalam UDHCR pasal 2 dijelaskan

bahwa setiap orang mempunyai hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang

tercantum didalam deklarasi ini tanpa perbedaan apapun seperti perbedaan

ras,warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama.

Baik di dalam hukum Islam atau pun hukum positif keduanya mengakui

hak persamaan dan kebebasan bagi setiap manusia,akan tetapi ada perbedaan dari

57
keduanya. Jika hukum Islam memberikan argument tersebut berdasarkan Al-

Qur’an dan sunnah yang menjadi Undang-Undang tertinggi bagi kaum Muslimin,

yang mana Undang-Undang tersebut berasal dari Allah danRasulnya. Tidak ada

seorang Muslim pun yang berhak menetapkan suatu hukum dalam suatu perkara

yang hukum nya telah ditetapkan.

Sedangkan hukum positif yang dianut oleh negara Indonesia (UDHR)

yang dilahirkan PBB.Hukum yang dianut oleh negara Indonesia merupakan

buatan manusia, karena itu segala sesuatunya berpusat kepada manusia sebagai

tolak ukur segala sesuatu. Meskipun keduanya sama-sama menganut konsep

kesentaraan, hak persamaan dan kebebasan bagi seluruh manusia akan tetapi

sumber dari kedua hukum ini berbeda. Jika hukum Islam bersumber dari Al-

Qur’an dan sunnah yang mana hukum tersebut dari Allah dan Rasulnya yang

menentukan, sedangkan hukum positif bersumber dari barat dan manusialah yang

membuat dan menentukan hukum tersebut.

58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil uraian diatas, maka penulis mengambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. hak politik kaum non-Muslim yang menjadi warga negara Islam atau

negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam didalam hukum

Islam dan hukum positif mempunyai hak politik sebagaimana kaum

Muslimin yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat dalam masalah-

masalah politik, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk

menduduki jabatan umum dalam pemerintahan, hak untuk memilih

dan dipilih untuk menduduki jabatan umum dalam pemerintahan, hak

untuk memberikan suara dalam pemilu. mengenai hak dipilih dalam

hukum positif tidak ada aturan yang melarang non-Muslim untuk

dipilih dalam menduduki jabatan umum dalam pemerintahan.

2. Berdasarkan hukum Islam dan hukum positif sama-sama mengakui

hak persamaan dan kebebasan karna pada hakikatnya umat manusia itu

dilihat dari hakikat penciptaannya, tidak ada perbedaan satu sama lain,

mereka semua sama, yakni sama-sama keturunan Adam baik di dalam

hukum Islam ataupun hukum positif keduanya mengakui hak

persamaan dan kebebasan bagi setiap manusia, akan tetapi ada

perbedaan dari keduanya. Jika hukum Islam member argumen tersebut

berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah yang menjadi Undang-Undang

tertinggi bagi kaum Muslimin, yang mana Undang-Undang tersebut

59
berasal dari Allah dan Rasulnya. Tidak ada seorang Muslim pun yang

berhak menetapkan suatu hukum dalam suatu perkara yang hukumnya

telah ditetapkan, sedangkanhukum positif yang dianut oleh negara

Indonesia (UDHR) yang dilahirkan PBB. Hukum yang dianut oleh

negara Indonesia merupakan buatan manusia, karena itu segala

suatunya berpusat kepada manusia sebagai tolak ukur segala sesuatu.

Meskipun keduanya sama-sama menganut konsep kesetaraan, hak

persamaan dan kebebasan bagi seluruh manusia akan tetapi sumber

dari kedua hukum ini berbeda. Jika hukum Islam bersumber dari Al-

Qur’an dan sunnah yang mana hukum tersebut dari Allah dan

Rasulnya yang menentukan. Sedangkan hukum positif bersumber dari

barat dan manusialah yang membuat dan menentukan hukum tersebut.

B. Saran

Berdasarkan permasalahan yang telah diutarakan dalam skripsi ini, penulis

mencoba untuk memberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Masyarakat

Masyarakat Indonesia mayoritas Muslim masih menganggap bahwa non-

Muslim merupakan kaum minoritas dimana mengenai hak dipilih sebagai

pemimpin masih menjadi perbedaan pendapat antara ulama Muslim dan

kontemporer. Dengan adanya perbedaan pendapat dari berbagai ulama masyarakat

harus menyikapi dengan sikap toleransi sesame Muslim maupun non-Muslim

sehingga diskriminasi terhadap kaum non-Muslim bisa terhindarkan karna hukum

60
Islam dan hukum positif mengusung persamaan hak dimana setiap warga negara

mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

2. Pemerintah

Pemerintah pada dasarnya Indonesia mengakui hak asasi manusia berupa

hak politik seperti hak memilih dan dipilih baik Muslim maupun non-Muslim

maka dari itu pemerintah dihimbau selalu menumbuhkan dan mempertahankan

sikap saling memahami dan penuh toleransi terhadap sesame penganut agama,

sehingga pluralisme agama tidak menyebabkan timbulnya peperangan,

pertumpahan darah, dan di sintegrasi bangsa dan negara indonesia.

61
1

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya

Abu A’la Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam,PT Bumi Aksara,

Jakarta,2008.

Abdul Tholib Kholik, Pemimpin Non-Muslim Dalam Perspektif Ibnu Taimiyah,

Jurnal Studi Keislaman, Vol. 14, No. 1, Juni 2014.

Amanda Rahmat Hidayat, Skripsi Kepemimpinan Non Muslim Menurut Fiqh

Siyasah dan Hukum Tata Negara Indonesia, Lampung, 2017.

Anas Urbaningrum, Islamo-Demokrasi Pemikiran Nurkholis Majid, Republika,

Jakarta, 2004

Choirun Nisa, Skripsi Hak-hak Politik Warga Negara Non Muslim Sebagai

Pemimpin Dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif, Lampung,

2017

Dwi Apriani,Hukum Mengangkat Non Muslim Menjadi Pemimpin (Ditinjau Dari

Hukum Islam dan Hukum Positif), Palembang, 2017.

Dudi Badruzaman, Hak-Hak Politik Warga Negara Non-Muslim Sebagai

Pemimpin Dalam Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif, Jurnal

Ilmiah Ilmu Hukum, Volume 9, No.1, Maret 2019.

Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Amzah,2005).

I.Gabriel A. Almond dalam Basri Seta, Pengantar Ilmu Politik, Jogjakarta: Indie

Book Corner.

http://digilib.unila.ac.id/98495/4/PEMBAHASAN.pdf, di akses pada 25/7/2019

jam 22.00
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/2941-hak-politik-warga-negara-

sebuah-perbandingan-konstitusi.html, Diakses Pada Tanggal 22 Maret

2019, Pukul 22.50 WIB

https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-warga-negara.html,Diakses

Pada Tanggal 22 Maret 2019. Pukul 21.40 WIB

http://www.merdeka.com/politik/al-az.non-muslim.html, di akses pada 26/07/

2019 jam 23.15 Wib

http://www.opinibangsa.id/2017/mahfud-md-persoalan-di masyarakat bukan. html

?m=l, diakses pada 25/7/2019 jam 21.45

http://perpustakaan.mahkamah.agung.go.id/, diakses pada tanggal 19 Maret 2016,

pukul 23.30 wib.

Http://www.santricendikia.com/2012/04/Sikap-Muslim-Terhadap-Non-Muslim.

diunduh pada tanggal 22-09-2019 Pukul 20.00 Wib.

Http://Yahya-Ibrahim.blogspot.com/2010/06/Hak-Politik-Non-Muslim-Dalam

Islam.Html?1, Diakses pada tanggal 22-09-2019. Pukul 20.30 Wib

I.Gede Pantja Astawa, Dinamika Hukum dan ilmu Perundang-Undangan di

Indonesia.(Bandung: PT. Alumni, 2008).

Inti Wulandari, Skripsi Studi Pemikiran Abu Al-A’la Al-Maududi Tentang Hak-

Hak Politik Non-Muslim Dalam Islam, (Semarang: 2018).

Johan Yasin, Hak Asasi Manusia dan Hak Serta Kewajiban Warga Negara Dalam

Hukum Positif Indonesia, Jurnal.

Juliansyah Noor, metode penelitian, Jakarta. Kencana prenada media grup,

2011.

2
J.moelang, Metode Penelitian Kualitatif, bandung, remaja Rosada Karya, 1997.

Kartini, Kartono, pengantar teknologi riset sosial, mandar maju, bandung, 1996.

Lulu Nadziroh, Skripsi Pemimpin Non-Muslim Menurut Ibnu Taimiyah dan

Relevansinya dengan Kontoversi Pilkada di DKI Jakarta Tahun 2017.

Mary Silvita,” Islam dan Kaum Minoritas Non Muslim dalam Piagam Madinah”

Jurnal Refleksi, Volume 13 No 3, 2012.

Mirza firmansyah, Kewarganegaraan RI dan Kehilangan Kewarganegaraan RI

Berdasarkan Undang-Undang No.12 Tahun 2006, Jurnal : Fakultas Hukum

Universitas Sumatra Utara Medan, 2013.

Mujar Ibnu Syarif, Hak-Hak Politik Non Muslim dalam Komunitas

Islam,(Bandung: Angkasa, 2005).

Munawir Djadzali, Islam Dan Tata Negara, UI, Prees, Jakarta, 1992

Nanang Tahqiq, Politik Islam, Prenada Media, Jakarta: Kencana, 2004.

Nourzaman Shiddiqi, Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1993).

Pasal 1 Undang-Undang No.3 Tahun 1946

Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945

Prof. dr. Lintje Anna Marpaung, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Andi Offset, 2018),

Rohmat Syaruffudin, Pengangkatan Pemimpin Non-Muslim Dalam Al-Qur’an

(Studi Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-

Misbah),Semarang,2016.

Subehan Khalik, Hak-Hak Kaum Minoritas Dalam Hukum Islam, Jurnal al-

daulah, Volume. 5/No.2/Desember 2016.

3
Sugiyono, metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D, (Alfabeta,Bandung,

2017).

Syamsul H Adi Untung, Sikap Islam Terhadap Minoritas Non-Muslim, Volume

12,No 1, Maret 2014.

Umi Din Nurzanah Br. Sembiring, “Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hasan

Al-Banna”, Jurnal Al-Lubb, Vol. 2, No.1, 2017.

Umar Sidiq, Kajian Dalam Islam: Kajian Tematik AL-Qur’an Dan Hadist, Jurnal

Dialogia, Vol. 12 No. 1juni 2014.

Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tahun

1999, pasal 43

Undang-Undang Dasar RI Pasal 29 ayat 2

Undang-Undang Dasar RI dan Perubahannya, Penabur Ilmu, Jakarta.

4
LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

Nama : Raden Sandi M

Tempat/Tanggal Lahir : Jambi, 12 Maret 1996

Email : Radensandi424@gmail.com

No Telepon/Hp :089515412886

Alamat : Jl. Raden Suhur Rt. 02 Kel. Penyingat Rendah


Kec. Telanaipura Kota Jambi

Pendidikan Formal :

1. SD/MI : SD N 208 Kota jambi

2. SMP/MTS : MTS AS’AD Olak Kemang Kota Jambi

3. SMA/MA/SMK : SMK N 03 Kota Jambi

Motto Hidup :Tidak Ada Batasan Dari Perjuangan, Selalu ada Allah Untuk Orang

yang Sabar.

Jambi, 28 Oktober 2019

Raden Sandi M
SPI152168

Anda mungkin juga menyukai