Anda di halaman 1dari 151

STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD

(Studi Perbandingan Fiqh dengan Hukum Islam Positif)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar


Sarjana Hukum Islam

Oleh
CHOERUL UMAM
NIM 21110004

JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM


PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2015

1
2
3
4
5
6
7
MOTTO

“Key to the success of a person in search of knowledge is the knowledge

that he gained when beneficial to the people, and being good to everyone.”

“Kunci kesuksesan seseorang dalam mencari ilmu adalah ketika ilmu

yang ia dapatkan bermanfaat bagi orang banyak, dan baik bagi semua

orang.”

“Cle de la reusitte personne a la connaissance est la connaissance qu’il a

gagne quand benefique pour le peuple, et etre bon a tous.”

8
PERSEMBAHAN

Persembahan penulis daripada terselesaikannya skripsi ini adalah ditujukan

kepada:

1. Untuk Orang tua penulis yang paling penulis sayangi, ibu Sumianah

dan bapak Mulyadi. yang tak pernah henti memberikan dorongan

baik materi maupun non-materi serta tak pernah lelah dan berhenti

memberikan semangat agar terselesaikannya skripsi ini.

2. Untuk kakak dan adik-adik penulis Nur Arifin dan pertama Arul

Mahmudah serta adik kedua Oka Lukman Toro yang selalu

memberikan semangat kepada penulis, terima kasih.

3. Untuk yang mahasiswi IAIN Walisongo Ika Devi Ratnasari “Nana”

yang telah membantu saya mengantarkan meminjan buku di

Perpustakaan IAIN Walisongo terima kasih untuk semuanya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Untuk Paman dan Tante penulis Ahmad Sobirin S.T dan Sri Janji

S.Pd yang selalu mendukung serta memberi motivasi untuk segera

menyelesaikan skripsi ini.

5. Untuk Teman-teman Nana Mahasiswa-Mahasiswi IAIN Walisongo

dan Teman sekelas penulis Kartini, Arwani, dan Ulya yang telah

meminjamkan bukunya guna menyelesaikan skripsi ini.

9
6. Untuk Hardhono Arya Irawan yang telah membantu menyelesaikan

skripsi ini.

7. Untuk sahabat-sahabat se-angkatan AS 2010 (Alfin, Danang, Lyna

“Nha”, Ietha, SoelQ, Khusen, Ari “Mbil”, Arya, Rita, Riezak, Budi

“Wah Ono”, Fariul, Hasan, Yusuf “Ucup”, Umam “Sembir”, Hanif,

Zend “Brow”, Andika, Ulya, Via “Nopy”, Leny, mb‟Alfy, mb‟Irma,

Pak Mujahidin, Pak Ibnu Hajar), terima kasih atas kebersamaan kita

selama ini dan jaga selalu tali silaturahmi diantara kita.

10
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telam memberikan kekuatan,


kesabaran dan ketelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang
berjudul “STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD (Studi
Perbandingan Fiqh Dengan Hukum Islam Positif)”. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program S-1 Syari‟ah dan
Ekonomi Islam.

Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak

yang telah berkenan meluangkan waktunya guna memberikan bimbingan dan

petunjuk berharga demi terselesaikannya skripsi ini. Sehingga pada kesempatan

ini penulis menghaturkan terima kasih kepada :

1. Kepada Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Ketua STAIN


Salatiga;
2. Kepada Bapak Benny Ridwan, M.Hum., selaku Ketua Jurusan
Syari‟ah dan Ekonomi Islam STAIN Salatiga;
3. Kepada Bapak Sukron Ma‟mun, M.Si., selaku Ketua Program Studi
Ahwal al-Syakhshiyyah;
4. Kepada Bapak H. M. Yusuf Khummaini, S.H.I., M.H., selaku
pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya
guna membimbing hingga terselesaikannya skripsi ini;
5. Kepada seluruh dosen STAIN Salatiga, yang selama beberapa
semester telah membagi ilmunya yang sangat bermanfaat;
6. Kepada Bapak Ibu penulis, Mulyadi, Sumianah dan kakak serta
adik-adik penulis Nur Arifin serta Arul Mahmudah, Oka Lukman
Toro yang telah memberi dukungan baik materi maupun non-materi;
7. Kepada Ika Devi Ratnasari yang Mengantar dan meminjamkan buku
di Perpustakaan UIN Walisongo serta selalu memberikan semangat
untuk menyelesaikan skripsi ini;

11
12
ABSTRAK

Umam, Choerul. 2015. STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD


(Studi Perbandingan Fiqh Dengan Hukum Islam Positif). Skripsi. Jurusan
Syari‟ah dan Ekonomi Islam. Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah.
Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : H. M. Yusuf
Khummaini, S.H.I., M.H.
Kata Kunci : Pernikahan, Murtad, Batal Pernikahan.

Dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk menjelaskan tentang status


pernikahan yang murtad dilakukan oleh suami atau istri dalam Fiqh dengan Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yang kemudian dibandingkan
atau dikomparasikan. Berdasarkan paparan latar belakang dan batasan masalah tersebut,
maka penelitian ini dimaksudkan untuk merumuskan 1. Bagaimana status pernikahan
apabila salah satu pasangan murtad berdasarkan fiqh? 2. Bagaimana status pernikahan
apabila salah satu pasangan murtad berdasarkan Undang-undang Perkawinan No 1 tahun
1974? 3. Bagaimana upaya penyelesaian pernikahan karena salah satu pasangan murtad
dalam fiqh dan Undang-undang perkawinan di Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penelitian ini menggunakan
pendekatan Yuridis Normatif, yaitu dengan menganalisis tentang perbandingan Hukum
Islam dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Sehubungan dengan jenis penelitian
yang digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan penulisan yang digunakan
dalam skripsi ini adalah Statute Approach (pendekatan perundang-undangan) dengan
metode Conceptual Approach (pendekatan konseptual). Instrumen Penelitian
menggunakan sumber data yang dipakai oleh penelitian ini adalah bahan hukum
primer,sekunder dan tersier yaitu Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan di
Indonesia. Dalam penelusuran bahan hukum ini melakukan langkah inventarisasi,
pemahaman, penafsiran, dan pengklasifikasian tentang murtad menjadikan fasakh
(pembatalan) dalam pernikahan. Dalam metode analisis ini yang digunakan adalah
metode deskriptif analitis. Metode deskriptif dalam penelitian ini, terdapat pada bab II
mengenai gambaran secara global fasakhnya suatu perkawinan karena murtad, kemudian
dilanjutkan pada bab III yang dideskripsikan dalam pandangan hukum Islam (fiqh)
dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, dalam bab IV
sebagai analisis dari bab III. Penulis melakukan analisis dan menuangkan dalam naskah
ini. Dalam melakukan analisis bahan hukum, penulis menggunakan teknik berfikir
induktif, deduktif, dan komparatif.
Hasil dari teori penelitian ini menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan
diatas, yaitu status pernikahan karena murtad yang kurang jelas dalam Undang-undang
No 1 Tahun 1974 yang mengatur pembatalan perkawinan karena perbuatan murtad yang
dilakukan pihak suami atau istri. Sehingga tidak sejalan dengan Hukum Islam yang
mengatur secara tegas tentang perbuatan murtad yang dilakukan oleh suami istri dalam
pembatalan perkawinannya.

13
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................. .................i

PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... ................ii

NOTA PEMBIMBING .......................................................................... ...............iii

SURAT UJIAN MUNAQOSAH ........................................................... ................v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .............................................. ...............vi

MOTTO .................................................................................................. ..............vii

PERSEMBAHAN .................................................................................. .............viii

KATA PENGANTAR ........................................................................... ................x

ABSTRAK ............................................................................................. ..............xi

DAFTAR ISI .......................................................................................... ............ xii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.............................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................................7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...............................................................8

D. Telaah Pustaka...........................................................................................9

E. Penegasan Istilah......................................................................................11

14
F. Metode Penelitian....................................................................................12

G. Sistematika Pembahasan..........................................................................15

BAB II STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD PERSPEKTIF FIQH

MAZHAB

A. Landasan Sumber Humum Fiqh.................................................................17

B. Biografi Imam-Imam Mazhab....................................................................19

1. Mazhab Hanafi....................................................................................19

2. Mazhab Maliki....................................................................................22

3. Mazhab Syafi‟i....................................................................................25

4. Mazhab Hanbali..................................................................................28

C. Fatwa Tentang Status Perkawinan Karena Murtad....................................31

1. Mazhab Hanafi....................................................................................36

2. Mazhab Maliki....................................................................................42

3. Mazhab Syafi‟i....................................................................................46

4. Mazhab Hanbali..................................................................................49

BAB III STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD DALAM

PERSPEKTIF UU No. 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Sejarah UU No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam...................56

1. Masa Kerajaan di Indonesia................................................................56

2. Masa Penjajahan di Indonesia.............................................................58

3. Masa Setelah Kemerdekaan................................................................73

4. Masa Lahirnya Kompilasi Hukum Islam............................................80

15
B. Landasan Sumber Hukum Perkawinan di Indonesia.................................83

1. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan Dalam UU No. 1/1974..........84

2. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan Dalam KHI...........................86

C. Status Perkawinan Karena Murtad Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 Dan

Kompilasi Hukum Islam............................................................................87

1. Tata Cara Pembatalan Perkawinan......................................................87

2. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan.............................................90

3. Alasan dan Putusnya Perkawinan.......................................................91

4. Pernikahan Yang Dilarang Untuk Dapat Diajukan Pembatalan.........94

5. Pihak Yang Berhak Melakukan Pembatalan Perkawinan...................95

BAB IV ANALISIS HUKUM FIQH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 1


TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS
PERKAWINAN KARENA MURTAD

A. Analisis Kitab-kitab Fiqh Mazhab Dengan UU No. 1 Tahun 1974 Dan

Kompilasi Hukum Islam............................................................................98

1. Kitab-Kitab Fiqh Mazhab....................................................................99

2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974..................................................104

3. Kompilasi Hukum Islam...................................................................107

B. Komparasi Kitab-Kitab Fiqh Mazhab Dengan UU No. 1 Tahun 1974 Dan

Kompilasi Hukum Islam..........................................................................111

1. Perbandingan Status Perkawinan Karena Murtad.............................115

2. Perbandingan Keputusan Murtad Dalam Perkawinan......................116

3. Perbandingan Waktu Batalnya Perbuatan Murtad............................117

BAB V PENUTUP

16
A. Kesimpulan..............................................................................................123

B. Saran-Saran..............................................................................................126

DAFTAR PUSTAKA............................................................................129

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

17
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada prinsipnya pernikahan adalah perbuatan yang menyatukan pertalian

sah “bertujuan untuk suatu akad yang menghalalkan pergaulan dan pertolongan

antara laki-laki dan wanita serta membatasi hak-hak serta kewajiban masing-

masing mereka” (Azzam dan Hawwas, 2009:37). Tujuan hidup berumah tangga

sebagai suami isteri yang sah dengan memenuhi syarat dan rukunnya yang telah

ditentukan oleh syariah. Sebab menurut Summa (2004:82) Perkawinan akan

semakin menjadi jelas dan sangat penting eksistensinya ketika dilihat dari aspek

hukum, termasuk di dalam hukum Islam.

Pandangan agama Islam terhadap perkawinan sangat diperhatikan dan

dianjurkan guna menghindarkan liang perzinaan bagi mereka yang mampu secara

lahir maupun batin. Sebagaimana firman Allah :

              

       

Artimya: “Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian


itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk
berzina”. (QS. An-Nisa‟ (4):24).

18
Sangat jelas ayat tersebut menggambarkan bahwa bahwa pernikahan

adalah perbuatan yang mulia. Namun bagaimana pernikahan tersebut dalam

perjalanan rumah tangganya yang menikah sah secara Islam, lalu salah satu

pasangan suami istri (pasutri) telah murtad dari agama Islam. Menurut “Ulama

Hanafiyah membedakan antara akad batil dan fasakh (rusak). Batil adalah suatu

yang tidak disyariatkan pokok dan sifatnya seperti menikahkan wanita yang

haram. Sedangkan fasakh adalah sesuatu yang disyariatkan pokoknya, tidak

sifatnya, yaitu sesuatu yang kehilangan satu dari beberapa syarat seperti akad

tanpa saksi, sehingga haram terhadap yang lain (mahram). Jadi, jika cacat terjadi

pada rukun akad maka disebut batil dan jika terjadi diluar rukun akad, disebut

fasakh (rusak), seperti mempersyaratkan sesuatu syarat yang tidak diperlukan

dalam akad nikah” (Azzam dan Hawwas, 2009:37).

Demikian pula jika pasangan suami istri yang mukmin menikah secara

Islam, lalu dalam perjalanan rumah tangganya salah satu keluar dari agama Islam,

maka perkawinannya menjadi batal” (Saifullah, Arifin, dan Izzuddin, 2005:148).

Sedangkan menurut Summa (2004:102-103) “fasakh adakalanya terjadi

disebabkan bencana di atas akad yang menghilangkan perkawinan itu sendiri, dan

adakalanya yang mengiringi akad itu sendiri tidak menghendaki daya ikat sejak

asalnya. Contoh fasakh karena sebab bencana ialah murtadnya seoarang istri”.

19
Keadaan tersebut akan menimbulkan pertanyaan, bagaimana status

pernikahan seseorang ketika salah satu pihak suami atau istri murtad, secara

teoritis hal ini sudah tidak sah menurut fiqh, hal tersebut telah dijelaskan oleh 4

mazhab dalam kitab-kitab fiqh mazhab. Namun di dalam Undang-undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak menyebutkan dalam pasal bahwa perbuatan

murtad seorang suami atau istri dapat memutuskan perkawinan yang sudah

berjalan, berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan kata

“murtad” dalam suatu kalimatnya.

Ironis memang bila hal ini secara agama sudah tidak sah lagi perkawinan

tersebut, namun hukum perkawinan di Indonesia sendiri tidak mengaturnya secara

jelas mengenai status perkawinan karena murtad. Maka akibat dari murtadnya

seseorang dapat memutuskan pernikahan, hal ini kemudian dalam Al Qur‟an juga

menjelaskan bahwa Allah telah berfirman:

             

                

           

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu


perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka

20
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka” (QS. Al Mumtahanah 60:10).

Ayat ini secara jelas memberikan gambaran bahwa seorang wanita yang

telah beriman maka tidak diperbolehkan kembali pada suaminya yang kafir, sebab

orang kafir tidak boleh berhubungan suami istri dengan orang mukmin dan orang

mukmin tidak boleh berhubungan suami istri dengan orang kafir.

Perkawinan seseorang yang murtad dalam status perkawinnya menurut

fiqh mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali seketika perkawinan tersebut

menjadi batal atau sudah tidak sah lagi perkawinan semacam ini, karena selain

perbuatan murtad sendiri dikategorikan sebagai dosa besar maka apabila

meninggal dunia pun masuk neraka tanpa hisab. Sejatinya dalam teori ini bahwa

sesungguhnya perbuatan murtad seorang suami atau istri secara tegas dalam fiqh

mengatakan batal, jadi status perkawinan tersebut tidak sah lagi menurut agama

Islam. Hal ini sangat penting karena perkawinan dalam sebuah pemelukan agama

dapat membawa seseorang setelah meninggal, sebab perkawinan dalam agama

Islam adalah sebuah ibadah yang mendatangkan banyak sekali pahala.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengenai murtad tidak menyinggung

hal tersebut, hanya saja dalam bahasa yang digunakan fasakh adalah pembatalan,

dan lebih jelasnya pembatalan perkawinan ini diatur pasal 22 UU No. 1 Tahun

1974.

Pasal 22

“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat


untuk melangsungkan perkawinan” (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:10).

21
Bila dilihat berdasarkan pasal 22 tidak bisa sepenuhnya dijadikan suatu

pedoman bagi umat Islam di Indonesia, karena kejelasan hukum mengenai

perbuatan murtad dalam statusnya tidak diatur bahkan tidak disinggung sama

sekali. Hanya saja dalam pasal tersebut menjelaskan perkawinan yang tidak

memenuhi syarat-syarat perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Sehingga hal

tersebut jika pada awal mula menikah dengan syarat keduanya harus beragama

Islam tapi setelah menikah menjadi tidak Islam lagi (murtad), maka akan timbul

permasalahan yang serius.

Agaknya berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam yang mengatur

perbuatan murtad, dalam KHI ini menyebutkan murtad dalam pasal 75 dan 116.

Berikut ini isi dari pasal 75 dan 116, yaitu:

Pasal 75

Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap;

a. “Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri murtad;
b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; Pihak ketiga
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum
keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap” (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:254).
Dalam pasal 75 ayat (a) menyebutkan pembatalan perkawinan tersebut

menyangkut tentang seorang pasangan suami istri yang bercerai karena murtad,

tetapi mereka tetap memiliki tanggung jawab terhadap anak yang mereka lahirkan

dari hasil perkawinannya tersebut.

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

22
b. Salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga;
g. Suami menlanggar taklik talak;
c. Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:268-
269).
Putusnya perkawinan karena alasan-alasan dalam pasal 116 ayat (h)

tersebut menjelaskan tentang perkawinan karena murtad yang menjadikan

perkawinannya tidak rukun, tetapi bagaimana jika hal tersebut menjadi

seabliknya. Maka hal ini menjadi suatu hal peraturan yang dilematis bagi kaum

muslim di Indonesia.

Miris memang jika perbuatan murtad dalam status perkawinan mereka

batal dalam fiqh tetapi dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi

Hukum Islam tidak mengatur secara jelas dan tegas. Wajar saja kalau tidak

banyak kasus semacam ini dilaporkan di Pengadilan, sebab peraturan yang

digunakan sebagai rujukan tidak jelas dan terinci.

Dalam hal ini pembatalan perkawinan di Indonesia harus dilakukan di

Pengadilan sesuai pasal 38 Undang-Undang Perkawinan diterangkan bahwa

perkawinan dapat diputuskan karena: a. Kematian, b. Perceraian, c. Atas putusan

pengadilan (Sosroatmodjo dan Aulawi, 1975:59). Kalimat ini menjelaskan

bagaimana putusnya perkawinan harus diputuskan di Pengadilan Agama.

23
Untuk itu dalam penulisan ini perlu adanya suatu analisis yang mendalam,

kemudian daripada itu dapat terlihat perbandingan hukum antara fiqh dengan

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilai Hukum Islam. Sebab penting

sekali dalam teori ini untuk mengetahui perbuatan murtad dalam perkawinan

dilihat dari segi-segi analisis sebagai berikut:

1. Analisis kitab-kitab fiqh mazhab.

2. Analisis Undang-undang No. 1 Tahun 1974.

3. Analisis Kompilasi Hukum.

Setelah analisis diatas dalam penulisan ini perlu adanya suatu

perbandingan hukum supaya adanya suatu penimbangan teori ini bila dilihat dari

segi perbandingan seperti dibawah ini:

1. Perbandingan status perkawinan karena murtad.

2. Perbandingan keputusan murtad dalam perkawinan.

3. Perbandingan waktu batalnya perkawinan karena murtad.

Dari beberapa uraian secara singkat diatas maka penulis ingin menambah

pembendaharaan pemikiran dengan mengangkat salah satu pemikiran besar yang

dihasilkan melalui Fiqh dan Hukum Islam Postif mengenai murtad yang

menjadikan fasakh (batal) dalam perjalanan dan kelangsungan perkawinannya,

penelitian ini berjudul: STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD (Studi

Perbandingan Fiqh dengan Hukum Islam Postif).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas ada beberapa permasalahan yang penting untuk

diangkat dalam penelitian ini:

24
1. Bagaiman status pernikahan apabila salah satu pasangan murtad berdasarkan

Fiqh?

2. Bagaimana status pernikahan apabila salah satu pasangan murtad dalam

Hukum Islam Positif?

3. Bagaimana upaya penyelesaian pernikahan karena salah satu pasangan

murtad berdasarkan fiqh dan Hukum Islam Positif?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, diantaranya adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui status pernikahan karena murtad dalam pandangan Fiqh.

2. Untuk mengetahui status pernikahan karena murtad dalam pandangan Hukum

Islam Positif.

3. Untuk mengetahui upaya penyelesaian pernikahan karena salah satu pasangan

murtad dalam pandangan Fiqh dengan Hukum Islam Positif.

Hasil penelitian ini bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis.

Pertama secara teoritis. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah informasi

mengenai STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD (Studi

Perbandingan Fiqh dengan Hukum Islam Positif) sebagai alasan,

pernikahannya sudah tidak sah lagi atau fasakh. Ini selanjutnya untuk lebih yang

belum terjangkau dalam penelitian ini.

Kedua, secara praktis. Hasil penelitain ini dapat dijadikan bahan informasi bagi

intansi-intansi yang berkaitan dengan pernikahan yang menjadikan seorang sadar

akan hukum Islam dan Undang-undang Indonesia.

25
D. Telaah Pustaka

Perkawinan yang batal karena murtad bukanlah sutu hal yang baru, hanya

saja dalam penelitiannya memiliki sudut pandang yang berbeda-beda. Seperti

halnya skripsi yang disusun oleh Skripsi Auwendi Fauzi yang berjudul

Perkawinan Campuran Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisi Terhadap

Pendapat Imam Syafi‟i Tentang Perkawinan Campuran) menjelaskan dua pokok

hal pendapat Imam Syafi‟i tentang perkawinan campuran. Pertama, perkawinan

antara perempuan muslin dengan laki-laki bukan muslim adalah haram

hukumnya. Kedua, laki-laki muslim diharamkan mengawini perempuan bukan

muslim. Pertimbangan ini lebih didasarkan pada pertimbangan menolak mafsadat

demi menjaga keutuhan agama Islam.

Skripsi oleh Maftuhul Fuadi yang berjudul Nikah Beda Agama Perspektif

Ulil Abshar Abdalla. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana

pandangan Ulil Abshar Abdalla tentang nikah beda agama. Menurut Fuadi, dalam

beragama, Ulil Abshar tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan

praktek keislaman yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai

umat Islam hanyalah “baju” dan formal, menurut yang pokok adalah nilai-nilai

yang terkandung di dalamnya. Setiap agama menunjukkan nilai keadilan, oleh

karena itu agama sama. Maka setiap agama sama maka halalkan nikah beda

agama.

Mustagfiroh, Cacat Biologis sebagai Salah Satu Alasan Peceraian (Studi

Kasus di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2001), dengan fokus penelitian

bagaimana pengaruh cacat boilogis yang diderita salah satu pihak baik suami

26
maupun istri dalam menjaga keharmonisan rumah tangga, bagaiaman jenis cacat

biologis yang dapat dijadikan sebagai alasan perceraian menurut hukum Islam dan

bagaimana sikap Pengadilan Agama Salatiga dalam menyelesaikan proses perkara

perceraian dengan alasan cacat badan. Hasil penelitian ini yaitu cacat biologis

dalam suatu pernikahan dapat mengakibatkan ketegangan suami istri dalam rumah

tangga sehingga dapat menimbulkan ketidakrukunan, dalam Islam cacat biologi

bagi istri dapat menyebabkan dibolehkannya suami beristri lebih dari seorang,

sikap hakim kemungkinan besar gugatannya tidak dikabulkan jika gugatannya

kurang kuat. Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis baik dari judul,

fokus penelitian dan hasil penelitiannya.

Siti Nakiyah, Kekerasan Terhadap Istri dalam Rumah Tangga sebagai

Alasan Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga tahun 1999-2001),

dengan fokus penelitian bagaimana bentuk kekerasan terhadap istri dalam rumah

tangga yang dapat dijadikan sebagai alasan perceraian, bagaimana motif tindakan

kekerasan suami terhadap istri dalam rumah tangga di Pengadilan Agama Salatiga

tahun 1999-2001 dan bagaimana sikap Pengadilan Agama Salatiga dalam

penyelesaian proses perkara perceraian dengan alasan kekerasan terhadap istri

dalam rumah tangga. Hasil penelitiannya yaitu: bentuk kekerasan terhadap istri

dalam rumah tangga dapat berbentuk fisik dan psikis, motifnya dikarenakan

masalah ekonomi, nilai budaya dan pemahaman agama yang kurang dan sikap

hakim sangat bijaksana dan memberi keadilan kepada kedua belah pihak.

Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis baik dari judul, fokus

penelitian dan hasil penelitiannya.

27
Mutabi‟in, Perceraian Akibat Salah Satu Pihak Pergi Keluar Negeri (Studi

Kasus di Pengadilan Agama Ambarawa tahun 2002), dengan fokus penelitian

bagaimana perceraian menurut pandangan islam, bagaimana penanganan kasus

perceraian di Pengadilan Agama Ambarawa dengan alasan pergi keluar negeri dan

bagaimana analisis terhadap putusan Pengadilan Agama Ambarawa. Hasil

penelitian ini yaitu perceraian menurut hukum Islam halal, akan tetapi merupakan

perbuatan yang dibenci Allah, hakim sangat bijaksana dalam menangani dan

memutus perkara tersebut mulai dari tahap pemeriksaan, persidangan, perdamaian

sampai dengan putusan hakim dan anlisa putusan ini sudah tepat dari tahapan

pemanggilan, persidangan dan putusan, akan tetapi dalam hal alasan kurang

sempurna. Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis baik dari judul,

fokus penelitian dan hasil penelitiannya.

E. Penegasan Istilah

Supaya mudah tidak terjadi beda penafsiran kata-kata dalam judul, antara

penulis dan pembaca, maka penulis perlu menjelaskan istilah yang terdapat pada

judul: STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD (Studi Perbandingan

Fiqh dengan Hukum Islam Positif).

1. Pernikahan

Ta‟rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi

hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan

seorang perempuan yang bukan mahram (Rasjid, 2010:374).

28
2. Fasakh

Kata fasakh berarti merusak atau membatalkan. Jadi, fasakh menjadi salah

satu sebab putusnya perkawinan karena merusak atau membatalkan

hubungan perkawinan yang telah berlangsung, (Basyir, 2000:85).

3. Murtad

Riddah secara harfiah berarti kembali. Riddah dalam pembahasan ini adalah

kembalinya seseorang muslim yang berakal dan baligh untuk memilih

keyakinan agama lain atas dasar pilihannya bukan atas paksaan, (Ali,

2007:78)

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis

Normatif, yaitu dengan menganalisis tentang perbandingan Fiqh dengan

Hukum Islam Positif. Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan

adalah yuridis normatif, maka pendekatan penulisan yang digunakan dalam

skripsi ini adalah Statute Approach (pendekatan perundang-undangan)

dengan metode Conceptual Approach (pendekatan konseptual).

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini diperlukan bahan hukum sebagai bahan analisis.

Bahan hukum yang diperlukan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum

29
sekunder dan bahan hukum tersier. Selanjutnya tentang jenis-jenis bahan

hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer :

1) Fiqh.

2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

3) Kompilasi Hukum Islam.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai Fiqh dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam, serta hasil-hasil penelitian, atau pendapat

pakar hukum dan para ahli.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

seperti kamus (hukum), ensiklopedia dan wikipedia.

3. Metode Pengumpulan Data

Teknik penelusuran dalam penelitian ini menggunakan cara studi

kepustakaan penelusuran bahan hukum primer, sekunder, dan tersier,

kemudian bahan hukum primer, sekunder, dan tersier diperoleh melalui bahan

pustaka, media cetak, media elektronik, dan cyberspace (internet).

4. Instrumen Penelitian

Dalam penelusuran bahan hukum ini melakukan langkah inventarisasi,

pemahaman, penafsiran, dan pengklasifikasian tentang murtad menjadikan

fasakh (pembatalan) dalam pernikahan. Untuk itu, dalam penelusuran bahan

30
hukum ini penulis menyalin dalam buku, catatan penelitian, memfotokopi,

mengakses dari internet dan menyimpan dalam media harddisc atau flashdisc.

Bahan-bahan hukum yang sudah diperoleh tersebut digunakan sebagai

dasar untuk mengkaji dan menganalisis permasalahan dalam penelitian ini.

Setelah bahan-bahan hukum tersebut diperoleh, baik bahan hukum primer,

sekunder dan tersier, maka dihubungkan sedemikian rupa, dan selanjutnya

dianalisa menggunakan metode preskriptif dengan menggunakan teknik

penafsiran hukum gramatikal yang berkaitan dengan ketentuan pembatalan

perkawinan yang diatur pasal 22 dalam ketentuan perundang-undangan yang

ada.

Adapun teknik interpretasi gramatikal yang akan digunakan yaitu

dengan cara penafsiran dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan

kata atau bunyinya. Selain teknik interpretasi gramatikal, teknik interpretasi

yang digunakan dalam penelitian ini juga menggunakan teknik interpretasi

sistematis, yaitu teknik interpretasi dengan cara menghubungkannya dengan

peraturan perundang-undangan yang lain.

5. Analisis Data

Dalam metode analisis ini yang digunakan adalah metode deskriptif

analitis. Metode deskriptif dalam penelitian ini, terdapat pada bab II

mengenai gambaran secara global fasakhnya suatu perkawinan karena

murtad, kemudian dilanjutkan pada bab III yang dideskripsikan dalam

pandangan Fiqh dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dengan Kompilasi

Hukum Islam, dalam bab IV sebagai analisis dari bab II dan III. Penulis

31
melakukan analisis dan menuangkan dalam naskah ini. Dalam melakukan

analisis bahan hukum, penulis menggunakan teknik berfikir induktif,

deduktif, dan komparatif.

Sedangkan analitis induktif atau berpikir induktif merupakan

kebalikan dari analitis deduktif, yakni pengambilan kesimpulan dimulai dari

pernyataan atau fakta-fakta khusus menuju pada kesimpulan yang bersifat

umum. Kemudian teknik komparatif adalah membandingkan persamaan dan

yang ada dalam substansinya.

G. Sistematika Pembahasan

Demi mempermudah dalam memahami isi dari skripsi ini, penulis

berusaha untuk menguraikan pembahasan. Adapun sistematika pembahasan

skripsi ini terdiri dari lima bab dengan pembahasan sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, Penegasan Istilah,

metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II: Kajian Pustaka bab ini berisi tentang status perkawinan karena

murtad dalam perspektif fiqh. Kemudian dijelaskan perbuatan murtad dari pihak

suami atau istri dalam perkawinannya dalam pandangan kitab-kitab fiqh mazhab.

Bab III: Kajian Pustaka bab ini berisi tentang status perkawinan karena

murtad dalam perspektif Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi

32
Hukum Islam. Kemudian dijelaskan perbuatan murtad dari pihak suami atau istri

dalam perkawinannya dalam pandangan hukum perkawinan di Indonesia diatas.

Bab IV: Pembahasan mengenai analisis status perkawinan karena murtad

dalam pandangan kitab-kitab fiqh mazhab dengan Undang-undang No. 1 Tahun

dan Kompilasi Hukum Islam. Setelah itu dianalisis peraturan tersebut mengenai

perbuatan murtad dalam status pekawinannya. Sehingga terlihat perbedaan hukum

dalam mengatur hal tersebut.

Bab V: Penutup merupakan akhir dari kajian ini yang memuat

kesimpulan dan saran.

33
BAB II

STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD DALAM PERSPEKTIF

FIQH

A. Landasan Sumber Hukum Fiqh

Segala sesuatu harus didasarkan dengan landasan dan sumber yang jelas,

yang dimaksud dengan sumber adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar

pengembangan sebuah ajaran, gagasan, faham atau manivestasi lainnya dalam

kehidupan manusia. Jika terminologi “Sumber” dikaitkan dengan Islam, maka

dalam penulisan ini memiliki pengertian sebagai segala sesuatu yang dijadikan

dasar pengembangan ajaran Islam itu sendiri baik itu menyangkut hubungan

vertikal atau hubungan horizontal.

Dasar-dasar atau sumber ajaran agama Islam dalam teori penulian ini

berasal dari wahyu Allah yang berupa al-Qur‟an dan perilaku Nabi Muhammad

sebagai aplikasi dan contoh konkret pelaksanaan al-Qur‟an yang kemudian

disebut dengan Hadits Nabi. Secara dogmatis sumber ajaran Agama Islam hanya

ada dua yaitu al-Qur‟an dan al-Hadits selanjutnya untuk memudahkan

pemahaman, keduanya dikenal dengan “sumber pokok”. Sedangkan yang lainnya

merupakan pengembangan ajaran berdasarkan sumber pokok melalui proses

pemikiran dan penentuan hukum (ijtihad) selanjutnya dikenal dengan hukum atau

ajaran Istinbath.

Perkembangan metode penentuan hukum sebagaimana disebutkan tidak

menyebabkan kurangnya kesempurnaan al-Qur‟an dan al-Hadits, tetapi justru

34
menunjukkan kelebihan dan fleksibiltas ajaran Islam. Secara umum penjelasan

tentang penyebab munculnya tradisi Ijtihad dalam hukum Islam adalah :

1. Masyarakat Islam berkembang dengan pesat baik secara politik, sosial

maupun ekonomi yang membawa berbagai permasalahan hukum baru.

2. Ketika Rasulullah masih hidup, permasalahan hukum tersebut dapat

dikonsultasikan dan dapat diputuskan oleh Rasulullah. Setelah Rasulullah

meninggal, hukum suatu masalah diputuskan berdasarkan proses Ijtihad

dengan dasar al-Qur‟an al-Hadits.

3. Hukum-hukum Al-Qur‟an dan Al-Hadits sebagian besar bersifat global dan

bahkan hanya Isyarat atau simbolitas saja (Kontekstual).

4. Untuk mengantisipasi perkembangan dunia dengan meletakan kaidah-kaidah

fiqhiyah.

Tata urutan sumber hukum Islam terlepas dari peristiwa tersebut, dalam

kajian yurisprudensi Islam telah terjadi perbedaan pemikiran tentang sumber-

sumber hukum Islam yang layak dan diakui sebagai landasan penetapan hukum

Islam.

Menurut penyelidikan dapat dipastikan, bahwa dalil-dalil syar‟iyah yang

diambil daripadanya, hukum-hukum amaliyah berpangkal pada empat pokok,

yaitu:

1. Al-Qur‟an

2. As-Sunnah

3. Al-Ijma, dan

4. Al-Qiyas.

35
Keempat dalil tersebut telah disepakati oleh jumhur (mayoritas tokoh)

umat Islam sebagai dalil (Khallaf, 1991:18).

B. Biografi Imam-imam Mazhab

1. Mazhab Hanafi

a. Biografi Imam Abu Hanafi

Mazhab Hanafi merupakan merupakan mazhab yang paling tua

diantara keempat mazhab Ahlu Sunnah wal Jama‟ah yang populer.

Mazhab ini dinishabkan kepada imam besar Abu Hanifah An-Nu‟man

bin Tsabit bin Zutha At-Tamimi, dilahirkan di kota Kuffah tahun 80 H

dan wafat di Baghdad (Khalil, 2009:172).

Imam abu hanifah adalah seorang pedagang, selain itu juga Imam

Abu Hanifah mengutarakan bahwa ada juga orang yang taat beragama,

ketika itu ia pernah bertemu dengan ali bin Abi Thalib, lalu sang khalifah

mendoakan untuk keturunananya agar kebaikan dan keberkahan.

Kedudukannya dalam bermasyarakat ia mendapatkat posisi tertinggi

karena mampu menyelesaikan permasalahan dalam kehidupannya, Imam

Abu Hanafi di juluki Imam A‟zham (pemimpin terbesar), ia juga dikenal

sebagai fakih irak, dan imam Ar-Ra‟y (Imam Aliran Rasional).

b. Guru Imam Abu Hanafi

Imam Abu Hanifah mempunyai empat sahabat, diantara mereka

penulis menyebutkan: Anas bin Malik, Abdullah bin Abu Aufa, Sahl bin

Sa‟ad dan Abu Thufail, mereka adalah sahabat-sahabat yang paling akhir

wafat, namun abu Hanifah tidak berguru kepada mereka.

36
Guru Abu Hanafi antara lain „Atha bin Abi Rabah, Hisyam bin

Urwah, Nafi‟ Maula ibn Umar, tetapi guru yang paling banyak diambil

ilmunya adalah Hammad bin Sulaiman al-Asy‟ari (w. 120 H) yng

berguru pada Ibrahim an-Nakha‟i dan Amir bin Syura bil al-Sya‟bin

(Zuhri, 1997:95).

Hammad bin sulaiman adalah seorang yang kaya raya namun

ilmunya juga kaya raya. Ketika itu dia pernah berkata kepada Hanafi “

ilmuku sudah kau ambil semua Abu Hanafi, sehingga aku sudah lega”.

Hammad bin Sulaiman meyatukan fiqh An-Nakha‟i dengan fiqh

Asy Sya‟bi dan memberikan fiqh yang sudah disatukan itu kepada murid-

muridnya, diantara Abu Hanafi yang kemudian menggantikan gurunya

itu, sebagai pemegang kendali madrasahnya (Shiddieqy, 1974:136).

c. Murid-murid Imam Abu Hanafi

Adapun murid-murid Abu Hanafi yang bekerja sama di Madrasah

Kufah dan membukukan fatwa-fatwanya sehingga dikenal di dunia

Islam, adalah:

1) Abu Yusuf Ya‟qub ibn Ibrahim al-Anshari (113-182 H).

2) Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (132-189 H).

3) Zufar ibn Hudzail ibn Qais al-Kufi (110-145).

4) Al-Hasan ibn Ziyad al-Lu‟lu‟i (204 H) (Yanggo,1997:101).

37
d. Sumber Hukum Imam Abu Hanafi

Menerangkan bahwa dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah

dalam menegakkan fiqh adalah memegangi riwayat orang yang

terpercaya dan menjauhkan diri dari keburukan serta memperhatikan

muamalat manusia.

Maka dengan kita memperhatikan jalan-jalan yang ditempuh Abu

Hanafi untuk beristinbath, nyatalah bahwa dasar-dasar hukum fiqh dalam

mazhabnya, ialah:

1) Al-Qur‟an.

2) As-Sunnah.

3) Al-Ijma

4) Al-Qiyas.

5) Al-Istihsan (Shiddieqie, 1974:137).

Abu Hanifah tidak bersikap fanatik terhadap pendapatnya, berikut

dalam versinya menceritakan. Beliau selalu mengatakan, “Inilah

pendapat saya dan kalau ada orang yang membawa pendapat yang lebih

kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih benar.” Pernah ada orang yang

berkata kepadanya, “Apakah yang engkau fatwakan itu benar, tidak

diragukan lagi?”. Ia menjawab, “Demi Allah, boleh jadi ia adalah fatwa

yang salah yang tidak diragukan lagi”.

38
2. Mazhab Maliki

a. Biografi Imam Malik

Ia adalah Imam Malik bin Anas bin al-Ashbahi al-Madani,

lahir di Madinah pada tahun 93 H dan wafat pada tanggal 14 Rabi‟ul

Awal tahun 179 H. Ia tinggal di Madinah dan tidak pernah keman-

mana kecuali untuk beribadah haji di Mekkah (Zuhri, 1997:104-105).

Imam Malik juga merupakan seorang pembesar tabi‟in, banyak

meriwayatkan hadis dari sahabat, seperti Umar bin Khattab, Utsman

bin Affan, Thalhah bin „Ubaidillah, dan „Aisyah.

b. Guru-guru Imam Malik

Imam malik adalah seorang imam yang banyak ilmunya

mengenai hadist, bahkan Imam Malik menyusun kitab Hadist bernama

Muwaththa, khalifah Al Manshur pernah memintanya supaya bukunya

pegangan yang harus dianut isinya, namun Imam Malik menolaknya.

Al-Muwaththa' merupakan kitab yang disusun oleh Imam

Malik, yang beliau susun selama 40 tahun, dan telah ditunjukan

kepada 70 ahli fiqh kota Madinah. Kitab Al Muwaththa‟ berisi

100.000 hadits, yang diriwayatkan oleh lebih dari seribu orang dan

yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al

Andalusi al Mashmudi. Kitab Al-Muwaththa‟ berisikan hadits-hadits

serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabi‟in yang membahas

tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Imam Malik

menyeleksi dari 100.000 hadits yang beliau hafal, kemudian hanya

39
10.000 saja yang diakui sah dan dari 10.000 hadits tersebut, hanya

5.000 saja yang disahkan sahih oleh Imam Malik setelah diteliti

dengan seksama.

Imam malik yang terkenal sebagai pemuka fiqh di daerah

Hijaz menjadi guru Asy syafi‟, Imam malik mempelajari fiqh dari

Rabi‟ah ibn Abdirrahman, dan mempelajari hadist Nafi‟, Az zuhry,

Abi Zinad, Yahya ibn Sa‟id Al Anshari (Shiddieqi, 1974:141).

Percakapan secara singkat pada waktu itu antara Imam Ahmad

bin Hanbal dengan Imam as-Syafi‟i, ketika itu Ahmad bin Hanbal

berkata: "Jika engkau melihat seseorang yang membenci Imam Malik,

maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid'ah". Seseorang

bertanya kepada Imam Syafi'i "apakah anda menemukan seseorang

yang (alim) seperti Imam Malik?" as-Syafi'i menjawab "aku

mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku,

mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti

Malik, maka bagaimana kami (orang sekarang) menemui yang seperti

Malik", begitulah penulis dalam pengetahuannya menulis

perbincangan pada kala itu Ahmad Bin Hanbal dengan as-Syafi‟i

ketika ditanya tentang gurunya Imam Malik.

c. Murid-murid Imam Malik

Banyak murid Imam Malik yang menjadi ulama terkenal pada

masa sesudahnya. Berikut ini adalah murid-muridnya yang menjadi

fuqaha dan ahli hadits: Yang berasal dari Mesir antara lain:

40
1) Abu Abdillah bin Qosim Al-A‟taqi (w. 19 1 H).

2) Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim Al-Quraisyi

(w. 197 H).

3) Asyhab bin Abdul Aziz Al-Qoisy Al-A‟miry Al-ja‟dy (w. 204 H).

4) Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam bin A‟yun bin Al-

Laits (w. 314 H).

5) Ashbah bin Alfaraj Al-Amawi (w. 226 H).

6) Muhammad bin Abdul Hakam (w. 286 H).

7) Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad Al-Iskandari Al-Ma‟ruf bin

ibni Mawaz (w. 269 H).

Pelanjut berasal dari afrika dan Andalusia (spanyol) antara

lain:

1) Abu Abdillah Ziyad bin Abdurrahman Al-Qurthubi Al-Ma‟ruf

bisyabtun (w. 212 H).

2) I‟sa bin Dinar Al-Andalusi (w. 2142-217 H).

3) Yahya bin Yahya bin Katsir Al-Laitsi (w. 234 H).

4) Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As-Salami (w. 238 H).

5) Abu Marwan bin Abdul Malik bin Abu Salamah al-Majisyun (w.

212 H).

Ulama fiqh yang terkenal sesudahnya:

1) Abu al-Walid al-Bani (w. 304-474 H).

2) Abu al-Haan al-Lakhmi (w. 498 H).

3) Ibn Rusyd al-Hafidz (w. 520-595 H).

41
Ulama penulis ushul fiqh terkenal dalam mazhab ini adalah al-

Syathibi, Abu Ishaq Ibrahim al-Lakhmin al-Ghurnathi (w. 790 H).

Buku ushul fiqhnya yang terkenal al-Muwafaqat fi Ushul Fiqh al-

Ahkam dan al-I‟tisham (Zuhri, 1997:110-111).

d. Sumber Hukum Imam Malik

Bagi Imam Malik, sumber pengetahuan yang digunakan

untuk melakukan proses penalaran istinbath hukum adalah al-Qur‟an

sebagai sumber pengetahuan yang pertama, sedangkan al-Hadist yang

kedua, jika penyelesaian dari sumber hukum itu tidak dijumpai maka

praktik hukum merujuk pada penduduk madinah (amalu ahli al-

madinah) (Roibin, 2010:75).

Berdasarkan penulisan ini, sumber hukum sebagai landasan

dalam rujukan Imam Malik seperti tersebut diatas, adalah sebuah inti

pokok dasar al-Qura‟an, al-Hadis, dan amalu ahli al-madinah, selain

itu Imam Malik juga menggunakan Ijma dan Qiyas sekiranya dalam

penyelesaian masalah tidak terjawabkan.

3. Mazhab Syafi‟i

a. Biografi Imam Syafi‟i

Imam Syafi‟i dilahirkan di Gazah pada bulan Rajab tahun

150 H (767 M) ketika Imam Abu Hanafi wafat, beliau wafat di Mesir

pada tahun 204 H (819), Nama lengkap Imam Syafi‟i adalah Abu

Abdillah Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Syafi‟i Saib ibn

42
„Ubaid bin abd Yazid bin Hasyim bin abd Muthalib bin abdu Manaf

al-Qurasyi (Yanggo, 1997:120-121).

Dalam penulisan ini, Imam Syafi‟i kecil memiliki kecerdasan

yang mengagumkan serta kecepatan hafalan yang luar biasa, beliau

hafal al-Quran pada usia 9 tahun. Beliau pernah berkata: “Saat aku di

kuttab, aku mendengar guruku mengajar ayat-ayat al-Qur‟an, maka

aku langsung menghafalkan, apabila dia mendiktekan sesuatu.

Belum selesai guruku membacakannya kepada kami, aku telah

menghafal seluruh apa yang didiktekannya. Maka dia berkata

kepadaku suatu hari: Demi allah, aku tidak pantas mengambil

bayaran dari kamu sesen pun”.

Imam Syafi‟i amat gemar mengembara kala itu, khususnya

bertujuan menuntut ilmu. Beliau pindah ke Madinah untuk belajar

fiqh kepada Imam Malik, pada usia dua puluh tahun sampai Imam

Malik meninggal pada tahun 179 H. pada tahun 184 H, Khalifah

Harun Al-Rasyid memerintahkan Imam Syafi‟i didatangkan ke

Baghdad bersama sembilan orang lainnya atas tuduhan

menggulingkan pemerintahan. Namun beliau dapat lepas dari

tuduhan itu atas bantuan Muhammad Ibn al-Hasan Al-Syaibani,

murid dan teman Imam Hanafi, yang kemudian hari menjadi guru

Imam Syafi‟i. Tak lama berada di Baghdad, Imam Syafi‟i kembali

ke Mekkah al-Mukarramah, dengan membawa ilmu ahl ra‟yu, yang

43
dia peroleh dari Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, yang

bersinergi dengan ilmu ahl Hijaz, yang diperoleh dari Imam Malik.

Pada tahun 195 H, beliau kembali ke Baghdad yang bertujuan

untuk berdiskusi tentang fiqh. Tidak lama di Baghdad, beliau

melanjutkan perjalanan ke Mesir dan tiba di Mesir pada bulan Syawal

tahun 199 H. Tidak lama setelah tinggal di Mesir, tepatnya tahun 204

H, beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Konon beliau sebelum

wafat menderita penyakit wasir yang parah, hingga terkadang jika

naik kuda, darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai

pelana dan kaos kakinya. Beliau rela menanggung sakit demi

ijtihadnya yang baru di Mesir. Selain itu, beliau terus mengajar,

meneliti, dialog serta mengkaji baik siang maupun malam, sungguh

luar biasa perjuangan beliau dalam menuliskan perjalanan tersebut.

b. Guru-guru Imam Syafi‟i

Seperti penjelasaan diatas bahwa guru-guru Imam Syafi‟i

sudah tersebut, namun ada yang lainnya, di antaranya adalah:

1) Imam Malik.

2) Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani.

3) Isma‟il bin Ulaiyyah.

4) Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dll.

c. Murid-murid Imam Syafi‟i

Diantara pengikut yang terkenal di Mesir adalah:

44
1) Abu Ja‟qub ibn Yahya Al-Buwaithi.

2) Abu Ibrahim Ima‟il ibn Yahya Al-Muzani (w. 246 H).

3) Ar-Rabi‟ ibn Sulaiman Al-Jizi (w. 270 H).

Kemudian mazhab beliu ini dikembangkan oleh beberapa

orang ulama terkenal, di antaranya ialah:

1) Abu Ishaq Al-Fairuzabadi (476 H).

2) Abu Hamid Al-Ghazali (505 H).

3) Abul Qaim ar-Rafii (623 H) (Shiddieqy, 1974:145).

d. Sumber Hukum Imam Syafi‟i

Dalam pemikiran hukumnya, Syafi‟i berpegang pada lima

sumber yaitu al-Qur‟an, al-Hadist, Ijma atau Qiyas, pendapat

sebagian sahabat yang tidak diketahui perbedaan perselisihan mereka

di dalamnya, dan pendapat yang dalamnya terdapat perselisihan dan

Qiyas atau analogi (Ma‟arif, 2007:83).

Dalam penulisan ini juga menjelaskan salah satu karangan

Imam Syafi‟i adalah ar Risalah buku pertama tentang ushul fiqh dan

kitab Al Umm yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi‟i

adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia

mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz.

4. Mazhab Hanbali

a. Biografi Imam Ahmad Bin Hanbal

Riwayat tentang sejarah kehidupan Imam Ahmad bin Hanbal

banyak ditulis oleh banyak ulama di berbagai kitab mereka.

45
Keutamaan ilmu, kekuatan hafalan dan akhlak beliau menyinari

perjuangan Islam di sepanjang sejarah. Profil biografi Imam Ahmad

bin Hambal merupakan mutiara pelajaran besar yang dapat kita ambil

hikmahnya.

Namanya Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad

al-syaibani al-Marwazi, ia lahir pada tahun 164 hijriyah di Baghdad,

dibesarkan di sana, dan wafat di sana pada tahun 231 H (Zuhri, 1997:

122).

Berbeda engan Imam Syafi‟i, sebab Imam Syafi‟i yang hafal

al-Qur‟an sejak umur 9 tahun. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal

menghafal al-Qur‟an pada usia 15 tahun. Namun hal ini tidak

mengurangi kecerdasannya. Imam Ahmad bin Hanbal juga dikenal

sebagai orang yang terindah tulisannya. Imam Ahmad bin Hanbal

mempunyai hafalan yang kuat, bahkan beliau hafal satu juta hadits.

Banyak pujian dari para ulama terhadap Imam Ahmad bin Hanbal,

seperti yang dikatakan Imam As-Syafi‟i bahwa “Ahmad bin Hanbal

imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqh,

Imam dalam bahasa, Imam dalam al-Qur‟an, Imam dalam kefaqiran,

Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara‟ dan Imam dalam

Sunnah”.

b. Guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal

Guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal dalam berjumlah lebih

dari 280 ulama yang berasal dari berbagai tempat seperti Makkah,

46
Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan lainnya. Guru beliau

diantaranya:

1) Ismail bin Ja‟far.

2) Abbad bin Abbad Al-Ataky.

3) Umari bin Abdillah bin Khalid.

4) Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami.

5) Imam Syafi‟i.

6) Waki‟ bin Jarrah.

7) Ismail bin Ulayyah.

8) Sufyan bin „Uyainah.

9) Abdurrazaq.

10) Ibrahim bin Ma‟qil.

c. Murid-murid Imam Ahmad bin Hanbal

Berikut ini adalah murid Ahmad bin Hanbal, yaitu:

1) Al-Astram Abu Bakar Ahmad bin Bani al-Khurasani (w. 273 H).

2) Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Marwawi (w. 275 H).

3) Ibn Ishaq al-Harbi (w. 285 H).

4) Al-Qasim, Umar bin Ali al-Husein al-Khiraqi (w. 334 H).

5) Abdul Aziz ibn Ja‟far (w. 363 H).

Orang yang terkenal yang melanjutkan pemikiran Imam

Ahmad yang kurun waktunya agak jauh darinya adalah:

1) Ibn Qudamah Muwaffiquddin (w. 620 H) penulis al-Mughni.

47
2) Ibn Qudamah, Syamsuddin al-Maqdisi (w. 682 H) penulis al-

Syarh al-Kabir.

Selanjutnya, tokoh yang memperbaharui dan melengkapi

pemikiran mazhab Hanbali, terutama dibidang mu‟amalah adalah:

1) Syeikh al-Islam Taqiyuddin ibn Taimiyyah (w. 728 H).

2) Ibn al-Qayim al-Jauziyyah (w. 751 H) murid ibn Taimiyyah.

Mazhab Hanbali tadinya tidak begitu banyak, setelah

dikembangkan kedua terakhir ini tidak semarak, setelah

dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1206 H),

menjadi mazhab orang Nejeb, dan kini menjadi mazhab resmi

kerajaan Saudi Arabia (Zuhri, 1997, 125-126).

d. Sumber Hukum Imam Ahmad bin Hanbal

Dalam bukunya Roibin (2010:82) menurut Ibn Qayyim al-

Jauziyah bahwa fiqh Ahmad bin Hanbal dibangun di atas 5 pilar,

yaitu nash al-Qur‟an, al-Hadist, fatwa sahabat, Hadist dha‟if, dan

Qiyas.

C. Fatwa Tentang Status Perkawinan Karena Murtad

Bila suami atau istri murtad, maka hubungannya suami istri diantara

keduanya akan terputus secara otomatis. Putus hubungan suami istri ini

disebabkan perbedaan agama dan murtadnya salah satu dari mereka. Putusnya

hubungan diantara mereka ini dikategorikan fasakh (Sabiq, 2009:313).

48
Sedikit penjelasan apa itu murtad dan fasakh dalam istilah pernikahan,

karena dalam penulisan ini tidak lepas dari bagian istilah kedua itu, selanjutnya

agar lebih jelasnya penulis akan menerangkannya.

“Murtad (riddah) adalah keluar dari agama Islam, baik pindah pada agama

yang lain atau menjadi tidak beragama” (Rasjid, 2010:445). Murtad (riddah) dari

segi bahasa berarti rujuk (kembali). Menurut istilah riddah adalah kembali dari

sesuatu ke sesuaqtu yang lain, atau keluar dari agama Islam ke agama yang lain,

dan pelakunya disebut murtad. Yakni ia secara berani menyatakan kafir setelah

beriman.

Dalam ketentuan Al Qur‟an Allah terlah berfirman:

            

           

       

Artinya: “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat)


mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka
sanggup. Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati
dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di
akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. ( Q.S Al
Baqarah : 217 ).

Dalam penulisan ini, murtad merupakan perbuatan yang dilarang Allah

yang diancam dengan hukuman di akhirat, yaitu dimasukkan ke neraka jahanam

selama-lamanya. Tegasnya di dalam Al Qur‟an soal murtad bukanlah hal yang

main-main, oleh sebab itu soal yang serius ini yang harus dipertimbangkan,

49
karena akibat yang timbul besar sekali terhadap pernikahan. Apabila tidak terjadi

perceraian atau perpisahan, dikhawatirkan akan berhubungan layaknya suami istri,

sehingga hal ini dapat dikatakan zina bila melakukannya, karena pasangan suami

istri yang melakukan murtad diantara dari salah satu atau secara bersamaan, sudah

rusak atau batal (fasakh) pernikahan tersebut.

Menurut Muslich, (2005:124-125) Seorang yang dianggap murtad apabila

ia berakal sehat. Dengan demikian, orang yang tidak berakal pernyataan

murtadnya tidak sah, seperti orang gila, tidur, sakit ingatan, mabuk karena barang

yang mubah, atau anak kecil yang belum tamyiz yang akalnya belum sempurna.

Akad yang sah pada awal mula menikah dan sudah tidak sah lagi dalam

pernikahannya. Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhi syarat-syarat ketika

berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan

membatalkan kelangsungannya perkawinan (Abidin dan Aminuddin, 1999:73).

Fasakh yang datang karena hal-hal setelah akad:

1. Bila salah seorang dari suami atau istri murtad, keluar dari Islam dan tidak

mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena murtad yang

terjadi.

2. Jika suami yang kafir tadinya masuk Islam, tetapi masih tetap dalam

kekafirannya yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh)

(Abidin, Slamet, dan Djaliel, 1999:73).

50
Ahli fiqh Imam Hanafi membuat rumusan umum untuk membedakan

pengertian pisahnya suami istri sebab talak dan sebab fasakh. Imam Hanafi

berkata, “Pisahnya suami istri karena suami, dan tidak ada pengaruh istri disebut

talak, dan pisahnya suami karena pengaruh istri disebut fasakh”. Mengenai

pelaksanaan fasakh terdapat perbedaan pendapat dari kalangan ulama, Imam

Syafi‟i berkata, “Harus menunggu selama tiga hari”, sedangkan Imam Malik

mengatakan, “Harus menunggu satu bulan”, dan Imam Hambali mengantakan.

“harus menunggu selama satu tahun” (Abidin dan Aminuddin, 1999:82).

Secara tidak langsung mengenai ketentuan hukumnya Allah telah

menjelaskan dalam surat al-Mumtahanah ayat 10 mengenai seorang suami atau

istri yang tidak boleh kembali kepada suami atau istri yang telah kafir. Berikut ni

adalah firman Allah SWT:

         

             

               

51
           

            

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu


perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah
mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta
mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah
mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu.
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al-Mumtahanah ayat
10).
Perkara murtad dalam perkawinan ini tidak pernah dibahas secara

langsung oleh al-Qur‟an maupun hadist. Boleh jadi beranggapan karena pada

waktu itu hampir tidak ada orang Islam yang murtad. Oleh karena tidak ada teks

al-Qur‟an maupun hadist yang mengatur masalah ini, maka masalah ini

merupakan lahan ijtihad.

Oleh karena itu, bahwa perkara ini termasuk lahan ijtihad, sehingga

dimungkinkan adanya beda pendapat di antara fuqaha. Oleh karena itu, tidak

heran kita menemukan beberapa pendapat dalam masalah ini.

Berikut ini penjelasan mengenai isi kitab fiqh yang memuat pendapat

fuqaha dalam masalah ini. Dengan paparan ini, siapa saja bisa melihat informasi

52
yang terkandung dalam masing-masing kitab secara apa adanya, khususnya yang

berkaitan dengan masalah ini.

1. Mazhab Hanafi

Imam Abu Hanafi dan Hanafiyah dalam kitab al-Athar dan kitab al-

Bada‟i al-Sana‟i mengenai perbuatan murtad seorang suami atau istri:

a. Al-Athar

‫ىٓ رٌه‬٠ ٌُٚ ، ِٕٗ ‫ج ػٓ اإلسالَ ببٔج اٌّشأة‬ٚ‫ إرا اسحذ اٌض‬: ‫فت لبي‬١ٕ‫إْ أبب د‬

. ُ١٘‫ي إبشا‬ٛ‫ ل‬ٛ٘ٚ ، ‫ طالق‬ٛٙ‫ ف‬: ‫ٌٕب‬ٛ‫ ل‬ٟ‫أِب ف‬ٚ . ‫طاللب‬

Al-Imam Abu Hanafi berkata, “Bila seorang suami murtad dari

agama Islam, seketika istrinya telah ba‟in. Tapi ba‟in yaitu bukan talak.”

(Muhammad, 2006:436).

Pendapat kami, ba‟in-nya itu adalah talak. Pendapat ini juga

merupakan pendapat Ibrahim (al-Nakha„i) (Muhammad, 2006:436).

Berdasarkan kitab ini dapat diambil kesimpulan, bahwa murtad

menjadi sebab putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan itu bersamaan

dengan terjadinya perbuatan murtad. Namun ada beda pendapat tentang

bagaimana putusnya perkawinan itu, antara fasakh atau talak ba‟in

b. Bada‟i al-Sana‟i

ٗ١ٌ‫ا سبب ِفض إ‬ٙٔ‫ث ؛ أل‬ٌّٛ‫ٓ ؛ ألْ اٌشدة بّخشٌت ا‬١‫ج‬ٚ‫ب سدة أدذ اٌض‬ِٕٙٚ

‫ فىزا‬، ‫ االبخذاء‬ٟ‫جض ٔىبح اٌّشحذ ألدذ ف‬٠ ٌُ ‫زا‬ٌٙٚ ، ‫ْ ِذال ٌٍٕىبح‬ٛ‫ى‬٠ ‫ج ال‬١ٌّ‫ا‬ٚ ،

53
‫ف‪ ٟ‬دبي اٌبمبء ؛ ‪ٚ‬ألٔٗ ال ػصّت ِغ اٌشدة ‪ٍِٚ ،‬ه إٌىبح ال ‪٠‬بم‪ِ ٝ‬غ ص‪ٚ‬اي اٌؼصّت‬

‫غ‪١‬ش أْ سدة اٌّشأة حى‪ ْٛ‬فشلت بغ‪١‬ش طالق بال خالف ‪.‬‬

‫‪ٚ‬أِب سدة اٌشجً ‪ ،‬ف‪ ٟٙ‬فشلت بغ‪١‬ش طالق ف‪ ٟ‬ل‪ٛ‬ي أب‪ ٟ‬دٕ‪١‬فت ‪ٚ‬أب‪ٛ٠ ٟ‬سف ‪.‬‬

‫‪ٚ‬ػٕذ ِذّذ فشلت بطالق ( ‪ٚ‬جٗ ) ل‪ ٌٗٛ‬ظب٘ش ؛ ألْ األصً أْ اٌفشلت إرا دصٍج‬

‫بّؼٕ‪ ِٓ ٝ‬لبً اٌض‪ٚ‬ج ‪ٚ ،‬أِىٓ أْ حجؼً طاللب حجؼً طاللب ؛ ألْ األصً ف‪ٟ‬‬

‫اٌفشلت ٘‪ٛ‬فشلت اٌطالق ‪.‬‬

‫‪ٚ‬أصً أب‪ٛ٠ ٟ‬سف ِب روشٔب أٔٗ فشلت دصٍج بسبب ‪٠‬شخشن ف‪ ٗ١‬اٌض‪ٚ‬جبْ ؛‬

‫ألْ اٌشدة ِٓ وً ‪ٚ‬ادذ ِٕ‪ّٙ‬ب سبب ٌثب‪ٛ‬ث اٌفشلت ‪ ،‬ثُ اٌثببج بشدح‪ٙ‬ا فشلت بغ‪١‬ش‬

‫طالق وزا بشدحٗ‬

‫‪ٚ‬ألب‪ ٟ‬دٕ‪١‬فت أْ ٘زٖ اٌفشلت ‪ٚ ،‬إْ وبٔج بسبب ‪ٚ‬جذ ِٓ اٌشجً ‪ٛ٘ٚ ،‬‬

‫سدحٗ إال أٔٗ ال ‪ّ٠‬ىٓ أْ حجؼً اٌشدة طاللب ؛ ألٔ‪ٙ‬ا بّخشٌت اٌّ‪ٛ‬ث ‪ٚ ،‬فشلت اٌّ‪ٛ‬ث ال‬

‫حى‪ ْٛ‬طاللب ؛ ألْ اٌطالق حصشف ‪٠‬خخص بّب ‪٠‬سخفبد ببٌٕىبح ‪ٚ ،‬اٌفشلت اٌذبصٍت‬

‫ببٌشدة فشلت ‪ٚ‬الؼت بطش‪٠‬ك اٌخٕبف‪ ٟ‬؛ ألْ اٌشدة حٕبف‪ ٟ‬ػصّت اٌٍّه ‪ِٚ ،‬ب وبْ طش‪٠‬مٗ‬

‫اٌخٕبف‪ ٟ‬ال ‪٠‬سخفبد بٍّه إٌىبح ‪ ،‬فال ‪٠‬ى‪ ْٛ‬طاللب بخالف اٌفشلت اٌذبصٍت بإببء اٌض‪ٚ‬ج‬

‫؛ ألٔ‪ٙ‬ا حثبج بف‪ٛ‬اث ِمبصذ إٌىبح ‪ٚ‬ثّشاحٗ ‪ٚ ،‬رٌه ِضبف إٌ‪ ٝ‬اٌض‪ٚ‬ج ‪ ،‬ف‪ٍ١‬ضِٗ‬

‫اإلِسبن ببٌّؼش‪ٚ‬ف ‪ٚ ،‬إال اٌخسش‪٠‬خ ببإلدسبْ ‪ ،‬فإرا اِخٕغ ػٕٗ أٌضِٗ اٌمبض‪ٟ‬‬

‫اٌطالق اٌز‪٠ ٞ‬ذصً بٗ اٌخسش‪٠‬خ ببإلدسبْ وأٔٗ طٍك بٕفسٗ ‪ٚ ،‬اٌذٌ‪ ً١‬ػٍ‪ ٝ‬اٌخفشلت‬

‫ب‪ّٕٙ١‬ب أْ فشلت اإلببء ال حذصً إال ببٌمضبء ‪ٚ ،‬فشلت اٌشدة حثبج بٕفس اٌشدة ٌ‪١‬ؼٍُ‬

‫أْ ثب‪ٛ‬ح‪ٙ‬ا بطش‪٠‬ك اٌخٕبف‪. ٟ‬‬

‫‪54‬‬
. ‫ اٌذبي ػٕذٔب‬ٟ‫ فخثبج ف‬، ‫ٓ حثبج بٕفس اٌشدة‬١‫ج‬ٚ‫ثُ اٌفشلت بشدة أدذ اٌض‬

Murtad adalah salah satu sebab putusnya perkawinan dengan

alasan sebagai berikut: Perbuatan murtad (riddah) sama dengan

datangnya kematian, mengingat hukuman yang harus diterima orang

yang murtad. Orang yang telah mati tidak layak untuk kawin. Oleh

karena itu, orang yang telah murtad tidak boleh melakukan perkawinan

(fi al-ibtida‟) maupun melanjutkan perkawinan (fi ahl al-baqa‟). Orang

yang murtad telah kehilangan al-„ishmah. Padahal hak atas perkawinan

tidak bisa dipertahankan dengan hilangnya „ishmah tersebut (Abu Bakr,

1986:337).

Dalam Mazhab Hanafi tidak ada beda pendapat, bahwa bila yang

murtad adalah pihak istri, putusnya perkawinan itu tanpa talak. Adapun

bila yang murtad adalah pihak suami, terjadi beda pendapat. Menurut

Abu Hanafi dan Abu Yusuf, perkawinan itu putus, juga tanpa talak.

Sedangkan menurut Muhammad, perkawinan itu putus dengan talak

(Abu Bakr, 1986:337).

Dasar pendapat al-Hanafiyah: Pada dasarnya, bila putusnya

perkawinan itu disebabkan dari pihak suami, dan dimungkinkan

terjadinya talak, maka ia putus dengan talak (Abu Bakr, 1986:337).

Dasar pendapat Abu Yusuf: Perbuatan murtad itu sama saja

ketika dilakukan oleh suami maupun istri. Sudah pasti, bahwa perbuatan

murtad yang dilakukan istri itu mengakibatkan putusnya perkawinan

55
tanpa talak. Maka demikian pula halnya ketika suami murtad (Abu Bakr,

1986:337).

Dasar pendapat Abu Hanafi: Meskipun putusnya perkawinan itu

disebabkan oleh pihak istri, namun putusnya perkawinan itu tidak bisa

dengan talak, karena perbuatan murtad itu sama dengan datangnya

kematian. Hal ini mengingat putusnya perkawinan karena kematian itu

tidak terjadi dengan talak. Sebagaimana dimaklumi, perbuatan talak itu

hanya bisa dilakukan selama ada ikatan perkawinan. Padahal putusnya

perkawinan karena perbuatan murtad itu disebabkan karena ketiadaan.

Karena perbuatan murtad itu meniadakan hak untuk memiliki („ishmah

al-milk). Selama putusnya perkawinan itu dengan jalan peniadaan, ia

terjadi tanpa talak. Berbeda dengan keengganan suami untuk masuk

agama Islam yang menyebabkan hilangnya tujuan perkawinan. Dan itu

diserahkan kepada suami, yang diharuskan memperlakukan istri dengan

baik. Bila tidak, maka harus bercerai dengan baik pula. Bila suami itu

enggan menceraikannya, maka hakim akan memaksa suami itu sehingga

terjadi perceraian, sehingga seakan suami itu sendiri yang

menceraikannya. Adapun dalil dibedakannya dua perkara itu,bahwa

putusnya perkawinan karena keengganan masuk Islam itu tidak terjadi

melainkan dengan putusan pengadilan (al-qada‟), sedangkan putusnya

perkawinan karena perkara murtad itu terjadi dengan terjadinya

perbuatan murtad tersebut, sehingga bisa dipahami, bahwa putusnya

perkawinan itu dengan jalan peniadaan (al-tanafi) (Abu Bakr, 1986:337).

56
Karena putusnya perkawinan karena murtadnya salah seorang

suami atau istri itu terjadi sejak terjadinya perbuatan murtad, maka

menurut kami putusnya perkawinan itu terjadi seketika itu juga (Abu

Bakr, 1986:337).

Berdasarkan kitab ini dapat diambil kesimpulan, Mazhab Hanafi

berpendapat, bahwa murtad menjadi sebab putusnya perkawinan.

Putusnya perkawinan itu dibedakan: (1) bila yang murtad pihak istri,

perkawinan itu putus dengan fasakh, (2) bila yang murtad pihak suami,

perkawinan itu putus dengan fasakh atau talak (Abu Bakr, 1986:337).

Selain al-Athar, juga terdapat al-Mabsut yang merupakan syarah

Kitab al-Kafi. Kitab al-Kafi adalah himpunan pendapat Muhammad yang

diriwayatkan oleh al-Hakim al-Shahid al-Muruzi. Kitab al-Kafi ini

merupakan kesimpulan dari kitab enam karya Muhammad, yaitu: al-

Jami„ al-Kabir, al-Jami„ al-Saghir, al-Siyar al-Kabir, al-Siyar al-Saghir,

al-Ziyadat, dan al-Mabsut (Muhammad, 2007:124).

Kitab al-Mabsut yang ditulis oleh Shams al-A‟immah al-Sarkhasi

adalah syarah terbaik dari al-Kafi. Demikian penting kedudukan kitab

ini,hingga ada ulama menyatakan, bahwa semua riwayat yang

bertentangan dengan kitab ini tidak bisa diterima (Muhammad,

2007:124-125).

Dari 2 kitab yang telah ditelurusi dalam Mazhab Hanafi diatas,

dapat diambil kesimpulan, bahwa perbuatan murtad yang dilakukan oleh

57
salah seorang suami istri itu mengakibatkan dampak yang serius terhadap

status perkawinan, yaitu:

1) Bila yang murtad adalah pihak istri

Bila yang murtad adalah pihak istri, Mazhab Hanafi sepakat,

perkawinan itu putus tanpa talak. Putusnya perkawinanitu terjadi

sejak dilakukannya perbuatan murtad. Putusnya perkawinan di sini

merupakan talak ba‟in, di mana suami tidak bisa merujuk istrinya,

meskipun istrinya sudah kembali masuk Islam.

2) Bila yang murtad adalah pihak suami

Bila yang murtad adalah pihak suami, terjadi beda pendapat.

Pendapat pertama, perkawinan itu putus dengan fasakh (pendapat al-

Imam Abu Hanafi dan Abu Yusuf). Pendapat kedua, perkawinan itu

putus dengan talak (pendapat Muhammad).Argumen pendapat

bahwa perkawinan itu putus secara fasakh. a)bahwa orang yang

murtad itu sama dengan orang yang telah mati. Orang yang telah

mati itu tidak memiliki hak untuk melanjutkan hubungan

perkawinan. b) perbuatan murtad itu sama dengan adanya hubungan

mahram, yang sama-sama melarang dipertahankannya perkawinan.

c) sebab putusnya perkawinan (perbuatan murtad) itu merupakan

sesuatu yang bisa terjadi dari kedua belah pihak suami dan istri,

sehingga tidak putus dengan talak.

58
2. Mazhab Maliki

Berikut penulis kutipkan pendapat-pendapat fuqaha dalam Mazhab

Maliki mengenai status perkawinan ketika suami atau istri murtad dalam

kitab-kitab Mazhab Maliki:

a. Al-Mudawwanah al-Kubra

‫ّب إرا اسحذ ِىبٔٗ أَ ال ؟‬ٕٙ١‫ّب ب‬١‫ أحٕمطغ اٌؼصّت ف‬، ‫ج اٌّشحذ إرا اسحذ‬٠‫ أسأ‬: ‫لٍج‬

. ‫ّب سبػت اسحذ‬ٕٙ١‫ّب ب‬١‫ حٕمطغ اٌؼصّت ف‬: ‫ لبي ِبٌه‬: ‫لبي‬

‫ إرا‬ٜ‫ أس‬ٟٔ‫ئب إال أ‬١‫ٗ ش‬١‫ ٌُ أسّغ ِٓ ِبٌه ف‬: ‫ فإْ اسحذث اٌّشأة ؟ لبي‬: ‫لٍج‬

. ‫ّب سبػت اسحذث‬ٕٙ١‫ّب ب‬١‫ضب أْ حٕمطغ اٌؼصّت ف‬٠‫اسحذحبٌّشأة أ‬

‫ إرا اسحذ‬: ‫ لبي ِبٌه‬: ‫جؼٍٗ ِبٌه طاللب أَ ال ؟ لبي‬٠‫ج إرا اسحذ أ‬٠‫ أسأ‬: ‫لٍج‬

. ‫ا‬ٙ‫ ػذح‬ٟ‫ج سجؼت إْ أسٍُ ف‬ٚ‫ْ ٌٍض‬ٛ‫ى‬٠ ‫ ال‬، ‫جىبٔج طٍمت ببئٕت‬ٚ‫اٌض‬

ٓ١‫بد‬ٙ‫ ألٔٗ لذ حشو‬: ‫ؼشف اٌببئٕت ؟ لبي‬٠ ‫ ال‬ٛ٘ٚ ‫ا ببئٕت‬ٙٔ‫ ٘زا إ‬ٟ‫ ٌُ لبي ِبٌه ف‬: ‫لٍج‬

. ‫ب‬ٙ‫ سجؼخ‬ٍٝ‫ٓ اسحذادٖ ػ‬١‫مذس د‬٠ ٓ‫ى‬٠ ٌُٚ ‫اسحذ‬

Aku (Sahnun) bertanya kepada Ibn al-Qasim, “Apa pendapatmu

bila seorang suami murtad, apakah al-„ishmah di antara suami istri putus

atau tidak?” Ibn al-Qasim berkata, “Malik berkata: Al-„ishmah di antara

keduanya putus, ketika suami itu murtad.” Aku bertanya, “Bila yang

murtad pihak istri?” Ibn al-Qasim berkata, “Aku tidak pernah mendengar

hal itu dari Malik. Menurut pendapatku, bila seorang istri murtad, al-

„ishmah diantara keduanya terputus pada saat murtad.”

59
Aku bertanya, “Apa pendapatmu, bila seorang suami murtad,

apakah Malik menjadikan putusnya perkawinan itu dengan talak atau

tidak?” Al-Qasim berkata, “Malik berkata: Bila seorang suami murtad,

maka itu talak ba‟in, di mana suami tidak berhak untuk rujuk, meskipun

suami itu kembali masuk Islam dalam masa iddah”.

Aku bertanya, “Mengapa Malik berkata, bahwa putusnya

perkawinan itu putus secara talak ba‟in, padahal ia tidak mengenal talak

ba‟in?” Al-Qasim menjawab, “Karena suami itu telah meninggalkan

istrinya ketika ia murtad, dan dalam masa murtad itu suami tidak berhak

untuk melakukan rujuk” (Sahnun, 1994:226).

Dalam kitab ini disebutkan, ketika suami atau istri murtad,

perkawinan mereka seketika putus, karena ia telah kehilangan al-

„ishmah. Mereka tidak berhak rujuk dalam masa iddah, meskipun

pihakyang murtad telah kembali memeluk agama Islam (Sahnun,

1994:226).

b. Al-Nawadir wa al-Ziyadat

ٓ‫ لبٌٗ اب‬. ‫ٓ ِٕٗ بطٍمت‬١‫ا حب‬ٙٔ‫إرا اسحذث ِسٍّت حذج ِسٍُ فإ‬ٚ : ‫لبي ِذّذ‬

َ‫ اإلسال‬ٌٟ‫ إْ سجؼج إ‬: ‫ضب‬٠‫ب فمبي أ‬ٙ‫ي أش‬ٛ‫اخخٍف ل‬ٚ , ‫ي‬ٛ‫بٗ أل‬ٚ . ‫ب‬ٙ‫أش‬ّٛ‫اٌمبس‬

. ‫ب‬١‫لبٌٗ ابٓ دب‬ٚ . ‫جت‬ٚ‫ج ٌٗ ص‬١‫بم‬

‫ أدك‬ٛٙ‫ ف‬, ‫ا‬ٙ‫ ػذح‬ٟ‫د اإلسالَ ف‬ٚ‫ج ثُ ػب‬ٚ‫ إرا اسحذ اٌض‬: ْٛ‫لبي ابٓ اٌّبجش‬

. ‫ا‬ٙ‫ ػذح‬ٟ‫ أسٍّج ثُ أسٍُ ف‬ٌٛ ‫ وّب‬, ٍٗ‫اببٌطالق و‬ٙ‫ب‬

60
Muhammad berkata, “Bila seorang istri murtad, ia telah talak

ba‟in dari suaminya dengan talak.” Pendapat ini sama dengan pendapat

Ibn al-Qasim dan Ashhab. Namun Ashhab menambahkan, bahwa bila

wanita itu kembali masuk agama Islam, ia tetap menjadi istri bagi

suaminya. Pendapat ini sama dengan pendapat Ibn Habib (Muhammad,

1999:591).

Ibn al-Majishun berkata, “Bila seorang suami murtad, kemudian

kembali masuk Islam dalam masa iddah istrinya, maka suami itu

memiliki hak atas istrinya secara keseluruhan termasuk hak talak, sama

seperti kasus ketika istrinya masuk Islam kemudian suaminya masuk

Islam (Muhammad, 1999:592).

Dalam kitab ini disebutkan, bahwa perbuatan murtad yang

dilakukan suami atau istri menyebabkan putusnya perkawinan.

Bila yang murtad itu pihak suami, perkawinan itu putus setelah

selesai masa iddah. Bila suami masuk Islam kembali sebelum masa iddah

selesai, maka perkawinan itu tetap utuh.

Bila yang murtad itu pihak istri, ada dua pendapat. Pendapat

pertama, seketika perkawinan itu putus. Pendapat kedua, perkawinan itu

putus setelah masa iddah (Muhammad, 1999:591-592).

Dari 2 kitab Mazhab Maliki, Kitab al-Mudawwanah al-Kubra

merupakan rujukan utama dalam mazhab Maliki. Kitab ini mencakup

pemikiran fiqh empat orang mujtahid, yaitu: al-Imam Malik, „Abd al-

Rahman b. al-Qasim, Asad b. al-Furat, dan Sahnun b. Sa„id. Maka tidak

61
heran banyak ulama menyusun syarah dan mukhtasar-nya

(Muhammad,162).

Dari 2 kitab itu, termasuk al-Mudawwanah al-Kubra, dapat

diambil kesimpulan umum, bahwa apabila salah seorang suami atau istri

murtad, terdapat beda pendapat dalam Mazhab Maliki mengenai status

perkawinan mereka. Berikut ini rincian pendapat-pendapat tersebut:

1) Bila yang murtad adalah pihak istri

Bila yang murtad adalah pihak istri, ikatan perkawinan

mereka putus seketika. Putusnya perkawinan itu dengan jalan talak

ba‟in. Ini adalah pendapat Ibn al-Qasim, Ashhab, dan al-Qayrwani.

Namun Ashhab memberikan pendapat tambahan, bahwa bila wanita

itu kembali masuk agama Islam, ia tetap menjadi istri bagi suaminya.

2) Bila yang murtad adalah pihak suami

Bila yang murtad adalah pihak suami, ikatan perkawinan

mereka putus seketika. Bagaimana putusnya perkawinan itu, ada dua

pendapat. Pendapat pertama, perkawinan itu putus dengan talak

ba‟in. Suami tidak diperbolehkan rujuk, meskipun pihak suami

kembali masuk Islam dalam masa iddah, karena suami itu telah

meninggalkan istrinya ketika ia murtad. Ini adalah pendapat al-Imam

Malik. Sementara itu, ada pendapat lain bahwa bila suami kembali

masuk Islam dalam masa iddah istrinya, maka suami itu memiliki

hak atas istrinya secara keseluruhan. Sama seperti kasus ketika

62
istrinya masuk Islam kemudian suaminya masuk Islam. Ini adalah

pendapat Ibn al-Majishun.

Sebab perbedaan pendapat itu: apakah perbuatan murtad itu

menimbulkan akibat atau tidak? Orang-orang yang memandang

bahwa perbuatan murtad itu menimbulkan akibat, mereka berbeda

pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa akibat

perbuatan murtad itu adalah terhapusnya status orang yang murtad,

hingga hilangnya al-„ishmah. Lalu orang-orang yang berpendapat

demikian berbeda pendapat lagi tentang bagaimana terputusnya al-

„ishmah. Di antara mereka ada yang memandang masih sahnya

perkawinan itu menjadikan terputusnya al-„ishmah sebagai talak.

3. Mazhab Syafi‟i

Berikut penulis kutipkan kitab fiqh dalam Mazhab Safi„i mengenai

status perkawinan ketika suami atau istri murtad dalam Mazhab Safi„i:

a. Al-Umm

ْ‫ا لبً أ‬ٙ‫جت فإْ أمضج ػذح‬ٚ‫ٓ اٌض‬١‫ب‬ٚ ٕٗ١‫ً ب‬١‫طئ د‬ٌٛ‫ج بؼذ ا‬ٚ‫فإْ اسحذ اٌض‬

‫ أدذّ٘ب‬ٚ‫ؼب أ‬١ّ‫ اسحذا ج‬ٚ‫إْ اسحذث اٌّشأة أ‬ٚ ‫ االسالَ أفسخ إٌىبح‬ٌٝ‫ج إ‬ٚ‫شجؼبٌض‬٠

‫ب‬ٙ‫ٓ فسخخ‬١ٍّ‫شا ِس‬١‫ص‬٠ ْ‫ اٌؼذة فإْ أمضج لبً أ‬ٌٝ‫ىزا أٔظش أبذا إ‬ٙ‫خش ف‬٢‫بؼب‬

. ‫ ثببخت‬ٝٙ‫ اٌؼذة ف‬ٟ‫إراأسٍّب لبً أْ حٕمض‬ٚ

‫ٔت فسخ بال طالق‬ٕٛ١‫اٌب‬ٚ ِٕٗ ‫ذخً ببٌّشأة فمذ ببٔج‬٠ ٌُٚ ٓ١‫ج‬ٚ‫إرا اسحذ أدذ اٌض‬ٚ

. ‫ب‬ٙ١ٍ‫الٔٗ ال ػذة ػ‬

63
"Apabila seorang suami murtad setelah persetubuhan, maka

terhalanglah dia dengan istrinya. Bila masa iddah habis sebelum suami

kembali ke pangkuan Islam, maka perkawinan pun fasakh. Bila yang

murtad adalah pihak perempuan, atau keduanya secara bersama-sama,

atau yang salah seorang di antara keduanya lalu disusul oleh

pasangannya, maka demikian pula. Selalu diberi waktu hingga

berakhirnya masa iddah. Bila masa iddah itu habis sebelum keduanya

kembali Islam, maka perempuan itu telah fasakh. Bila keduanya kembali

Islam sebelum masa iddah habis, maka perempuan itu tetap menjadi

istrinya.

"Apabila salah seorang suami istri murtad, dan suami belum

dukhul dengan istrinya, maka istri itu telah talak ba'in dari suaminya. Dan

ba'in di sini adalah fasakh, tanpa talak. Yang demikian itu karena tidak

ada iddah bagi istri tersebut (al-Thani & al-Shamilah).

b. Al-Muhazhzhab

‫ي‬ٛ‫إْ وبْ بؼذاٌذخ‬ٚ ‫لؼج اٌفشلت‬ٚ ‫ي‬ٛ‫ أدذّ٘ب فإْ وبْ لبً اٌذخ‬ٚ‫جبْ أ‬ٚ‫إرا اسحذ اٌض‬

‫ّب‬ٙ‫ اإلسالَ لبً أمضبء اٌؼذةف‬ٍٝ‫ أمضبء اٌؼذة فإْ اجخّؼب ػ‬ٍٝ‫لؼج اٌفشلت ػ‬ٚ

‫ّٕؼببخذاء‬٠ ٓ٠‫ د‬ٌٝ‫ٓ إ‬٠‫لؼج اٌفشلت ألٔٗ أخمبي ِٓ د‬ٚ ‫جخّؼب‬٠ ٌُ ْ‫إ‬ٚ ‫ إٌىبح‬ٍٝ‫ػ‬

. ٓ١١ٕ‫ث‬ٌٛ‫ أسٍُ أدذ ا‬ٌٛ ‫إٌىبح فىبْ دىّٗ وّب‬

Bila salah seorang suami atau istri murtad, bila murtadnya

sebelum dukhul, seketika terjadi furqah. Bila murtadnya setelah dukhul,

furqah terjadi setelah berakhirnya masa iddah. Bila mereka kembali

bersama dalam Islam sebelum berakhirnya masa iddah, mereka tetap

64
dalam perkawinan. Bila mereka belum juga bersama sampai berakhirnya

masa iddah, furqah pun terjadi. Karena perpindahan agama itu melarang

terjadinya perkawinan. Sama halnya dengan masuk Islamnya salah

seorang suami istri penyembah berhala (al-Shirazi, 1996:189).

Berdasarkan kitab ini, perkawinan itu furqah seketika, bila

perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul. Bila setelah dukhul, ditunggu

hingga masa iddah.

Kesimpulan dari 2 kitab itu, bahwa perbuatan murtad itu

dibedakan menjadi 2, yaitu perbuatan murtad yang dilakukan sebelum

dukhul dan perbuatan murtad yang dilakukan setelah dukhul:

1) Perbuatan murtad yang dilakukan sebelum dukhul

Bila perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul, perkawinan itu putus

seketika.

2) Perbuatan murtad yang dilakukan setelah dukhul

Bila perbuatan murtad itu terjadi setelah dukhul, perkawinan itud

itangguhkan hingga berakhirnya masa iddah. Bila pihak yang murtad

kembali masuk Islam sebelum berakhirnya masa iddah, perkawinan

itutetap utuh. Namun bila sampai masa iddah berakhir pihak yang

murtad belum juga kembali masuk agama Islam, perkawinan itu

putus.

65
‫‪4. Mazhab Hanbali‬‬

‫‪Berikut penulis kutipkan pendapat-pendapat fuqaha dalam Mazhab‬‬

‫‪Hanbali mengenai status perkawinan ketika suami atau istri murtad dalam‬‬

‫‪kitab-kitab Mazhab Hanbali:‬‬

‫‪a. Al-Mughni Syarh Mukhtasar al-Kharqi‬‬

‫إرا اسحذ أدذ اٌض‪ ٚ‬ج‪ ٓ١‬لبً اٌذخ‪ٛ‬ي ‪ ،‬أفسخ إٌىبح ‪ ،‬ف‪ ٟ‬ل‪ٛ‬ي ػبِت أً٘ اٌؼٍُ ‪ ،‬إالأٔٗ‬

‫دى‪ ٟ‬ػٓ دا‪ٚ‬د ‪ ،‬أٔٗ ال ‪ٕ٠‬فسخ ببٌشدة ‪ ،‬ألْ األصً بمبء إٌىبح ‪ٌٕٚ‬ب ‪ ،‬ل‪ٛ‬ي اٌٍ‪ٙ‬خؼبٌ‪ٝ‬‬

‫‪ٚ {:‬ال حّسى‪ٛ‬ا بؼصُ اٌى‪ٛ‬افش } ‪ٚ‬لبي حؼبٌ‪ { : ٝ‬فال حشجؼ‪ ٓ٘ٛ‬إٌ‪ ٝ‬اٌىفبسال ٘ٓ‬

‫دً ٌ‪ٚ ُٙ‬ال ُ٘ ‪٠‬ذٍ‪ٚ } ٌٓٙ ْٛ‬ألٔٗ اخخالف د‪ّٕ٠ ٓ٠‬غ اإلصببت ‪ ،‬فأ‪ٚ‬جبفسخ إٌىبح‬

‫‪ ،‬وّب ٌ‪ ٛ‬أسٍّج حذج وبفش ‪.‬‬

‫اخخٍفج اٌش‪ٚ‬ا‪٠‬ت ػٓ أدّذ ‪ ،‬ف‪ّ١‬ب إرا اسحذ أدذ اٌض‪ٚ‬ج‪ ٓ١‬بؼذ اٌذخ‪ٛ‬ي ‪ ،‬دسببخخالف‪ٙ‬ب‬

‫ف‪ّ١‬ب إرا أسٍُ أدذ اٌض‪ٚ‬ج‪ ٓ١‬اٌىبفش‪ ، ٓ٠‬فف‪ ٟ‬إدذاّ٘ب حخؼجً اٌفشلت ‪ٛ٘ٚ‬ل‪ٛ‬ي أب‪ٟ‬‬

‫دٕ‪١‬فت ‪ِٚ ،‬بٌه ‪ٚ .‬س‪ ٞٚ‬رٌه ػٓ اٌذسٓ ‪ٚ ،‬ػّش بٓ ػبذ اٌؼض‪٠‬ض ‪ٚ،‬اٌث‪ٛ‬س‪ٚ ، ٞ‬صفش‬

‫‪ٚ ،‬أب‪ ٟ‬ث‪ٛ‬س ‪ٚ ،‬ابٓ إٌّزس ؛ ألْ ِب أ‪ٚ‬جب فسخ إٌىبح اسخ‪ ٜٛ‬ف‪ّٙ١‬ب لبً اٌذخ‪ٛ‬ي‬

‫‪ٚ‬بؼذٖ ‪ ،‬وبٌشضبع ‪.‬‬

‫‪ٚ‬اٌثبٔ‪١‬ت ‪٠ ،‬مف ػٍ‪ ٝ‬أمضبء اٌؼذة ‪ ،‬فإْ أسٍُ اٌّشحذ لبً أمضبئ‪ٙ‬ب ‪ ،‬ف‪ّٙ‬ب ػٍىبٌٕىبح‬

‫‪ٚ ،‬إْ ٌُ ‪٠‬سٍُ دخ‪ ٝ‬أمضج ‪ ،‬ببٔج ِٕز اخخٍف اٌذ‪ٕ٠‬بْ ‪٘ٚ‬زا ِز٘ببٌشبفؼ‪ ٟ‬؛ ألٔٗ ٌفع‬

‫حمغ بٗ اٌفشلت ‪ ،‬فإرا ‪ٚ‬جذ بؼذ اٌذخ‪ٛ‬ي ‪ ،‬جبص أْ ‪٠‬مف ػٍىبٔمضبء اٌؼذة ‪ ،‬وبٌطالق‬

‫اٌشجؼ‪ ، ٟ‬أ‪ ٚ‬اخخالف د‪ ٓ٠‬بؼذ اإلصببت ‪ ،‬فال ‪ٛ٠‬جبفسخٗ ف‪ ٟ‬اٌذبي ‪ ،‬وإسالَ‬

‫اٌذشب‪١‬ت حذج اٌذشب‪. ٟ‬‬

‫‪66‬‬
Bila salah seorang suami istri murtad sebelum dukhul,

perkawinan mereka fasakh. Demikian menurut seluruh ahl al-„ilm.

Hanya saja ada riwayat dari Dawud, bahwa perkawinan itu tidak fasakh

dengan perbuatan murtad, karena yang asal adalah tetapnya perkawinan

(„Abd Allah, 1997:38-39).

Adapun dalil kami adalah firman Allah:

.‫افش‬ٛ‫ابؼصّبٌى‬ٛ‫الحّسى‬ٚ

Artinya: “Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)


dengan perempuan-perempuan kafir” (Q.S Al-Mumtahanah 60:10)

Dan firman Allah pula:

. ٌٓٙ ٍْٛ‫ذ‬٠ ُ٘‫ال‬ٚ ٌُٙ ً‫ اٌىفبس ال٘ٓ د‬ٌٟ‫٘ٓ إ‬ٛ‫فال حشجؼ‬

Artinya: “Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu
dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Q.S. Al
Mumtahanah 60:10)

Juga karena adanya perbedaan agama yang melarang terjadinya

percampuran. Oleh karena itu diharuskan fasakh, sama seperti halnya

seorang istri yang masuk Islam dalam perkawinan dengan suami yang

kafir („Abd Allah, 1997:38-39).

Terdapat beda pendapat tentang riwayat dari Ahmad bila

perbuatan murtad itu terjadi setelah dukhul. Pada salah satu riwayat,

furqah disegerakan. Ini juga pendapat Abu Hanafi dan Malik. Juga

diriwayatkan dari al-Hasan, „Umar b. „Abd „Aziz, al-Thawri, Zufar, Abu

Thawr, dan Ibn al-Mundhir. Karena apa yang mengharuskan fasakhnya

67
perkawinan itu sama saja antara sebelum dan setelah dukhul, seperti

kasus sepersusuan („Abd Allah, 1997:38-39).

Riwayat kedua, bahwa furqah itu ditangguhkan hingga

berakhirnya masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali masuk Islam

sebelum berakhirnya masa iddah, maka suami istri tetap dalam statusnya.

Namun bila belum juga kembali masuk Islam hingga berakhirnya masa

iddah, istri seketika ba‟in dimulai sejak terjadinya perbuatan murtad. Ini

juga mazhab as-Syafi„i. Karena ia merupakan lafadh yang dengan terjadi

furqah. Bila ia ada setelah dukhul, ia boleh menunggu hingga

berakhirnya masa iddah, sama dengan talak raj„i atau perbedaan agama

setelah dukhul, sehingga tidak diharuskan fasakh seketika, seperti

Islamnya seorang harbiyah yang dalam perkawinan dengan seorang harbi

(„Abd Allah, 1997:38-39).

b. Al-Muqni„

‫ي‬ٛ‫إْ وبٔج اٌشدة بؼذاٌذخ‬ٚ ... ‫ي أفسخ إٌىبح‬ٛ‫ٓ لبً اٌذخ‬١‫ج‬ٚ‫إْ اسحذ أدذ اٌض‬ٚ

. ٓ١‫خ‬٠‫ا‬ٚ‫ س‬ٍٝ‫ أمضبء اٌؼذة ؟ ػ‬ٍٝ‫ حمف ػ‬ٚ‫ً حخؼجً اٌفشلت أ‬ٙ‫ف‬

Bila salah seorang suami-isteri murtad sebelum dukhul,

perkawinan itu fasakh (Muhammad, Tt:35).

Bila perbuatan murtad itu terjadi setelah dukhul, apakah seketika

furqah atau ditangguhkan hingga berakhirnya masa iddah? Terdapat dua

riwayat (Muhammad, Tt:36)

Dari 2 kitab dalam Mazhab Hanbali di atas, terdapat al-Mughni

yang ditulis oleh al-Imam Muwaffiq al-Din al-Muqaddasi. Kitab ini

68
merupakan syarah yang paling besar dan paling masyhur atas Mukhtasar

al-Kharqi.

Mukhtasar al-Kharqi ini amat terkenal di kalangan Mazhab al-

Imam Ahmad, baik al-mutaqaddimin maupun al-mutawassitin. Tidak ada

kitab yang digunakan dalam mazhab ini melebihi kitab mukhtasar ini,

dan tidak ada kitab yang memperoleh perhatian ulama melebihi kitab ini.

Ia menerima lebih dari seratus syarah. Fuqaha mazhab ini berkata,

“Barangsiapa membaca kitab ini, ia akan memperoleh satu dari tiga hal:

menerima seratus dinar, menjadi hakim (Kadi), atau menjadi orang yang

shaleh” (Muhammad, Tt:223).

Berkaitan dengan masalah murtadnya seorang suami atau istri

dalam Mazhab Hanbali, dibedakan antara murtad yang belum dukhul dan

murtad yang telah dukhul.

Bila salah seorang suami atau istri murtad sebelum dukhul,

perkawinan mereka fasakh seketika.

Bila salah seorang suami atau istri murtad setelah dukhul,

terdapat beda riwayat dari Ahmad.

Riwayat pertama, furqah disegerakan. Karena apa yang

mengharuskan fasakhnya perkawinan itu sama saja antara sebelum dan

setelah dukhul, seperti kasus sepersusuan.

Riwayat kedua, furqah ditangguhkan hingga berakhirnya masa

iddah. Bila pihak yang murtad kembali masuk Islam sebelum

berakhirnya masa iddah, maka suami istri tetap dalam statusnya. Namun

69
bila belum juga kembali masuk Islam hingga berakhirnya masa iddah,

istri seketika ba‟in dimulai sejak terjadinya perbuatan murtad. Karena ia

merupakan lafadh yang dengannya terjadi furqah. Bila ia ada setelah

dukhul, ia boleh menunggu hingga berakhirnya masa iddah, sama dengan

talak raj„i atau perbedaan agama setelah dukhul, sehingga tidak

diharuskan fasakh seketika, seperti Islamnya seorang harbiyah yang

dalam perkawinan dengan seorang harbi.

Untuk mempermudah dan mempersingkat dari uraian penjelasan

diatas, maka dalam penulisan ini dibuat tabel kesimpulan berdasarkan isi

dari tiap kitab-kitab fiqh mazhab diatas sesuai pendapat para fuqahanya.

Tabel 1

Kesimpulan para fuqaha atas murtadnya salah satu pasangan

No Mazhab Status Perkawinan Keputusan Batal Waktu Batal


1 Hanafi Mazhab Hanafi Ada dua pendapat Waktu
sepakat bahwa perbuatan murtad, bila pembatalan
perbuatan murtad dilakukan pihak: perkawinan
memutuskan 1. Bila yang murtad dari terjadi setelah
perkawinannya pihak istri merupakan suami atau istri
seketika itu setelah talak bai‟in, dimana melakukan
murtad suami tidak bisa perbuatan
merujuk istrinya murtad.
kembali mesekipun
telah masuk Islam
lagi.
2. Bila yang murtad dari
pihak suami meiliki
pendapat sendiri
namun tujuannya
sama yaitu putus
dengan fasakh
2 Maliki Pihak suami atau Ada dua pendapat Suami istri yang
istri yang murtaddari perbuatan murtad, bila murtad dalam
perkawinannya dilakukan pihak: perkawinannya
mereka seketika 1. Bila yang murtad dari maka seketika

70
putus karena ia telah pihak istri merupakan putus karena
kehilangan al- talak bai‟in, Ini adalah telah kehilangan
ishmah pendapat Ibn al- al-ishmah
Qasim, Ashhab, dan
al-Qayrwani. Namun
Ashhab memberikan
pendapat tambahan,
bahwa bila wanita itu
kembali masuk agama
Islam, ia tetap
menjadi istri bagi
suaminya.
2. Bila yang murtad dari
pihak suami
merupakan talak
bai‟in, tidak dapat
merujuk istrinya
meskipun masih
dalam masa iddah.
3 Syafi‟i Bila perbuatan Bila perbuatan murtad itu
Jika perbuatan
murtad terjadi terjadi setelah dukhul,murtad
sebelum dukhul, perkawinan itu dilakukan
perkawinan itu putus ditangguhkan hingga sebelum dkhul
seketika. berakhirnya masa iddah.maka putus
Bila pihak yang murtad seketika itu.
kembali masuk Islam Namun bila
sebelum berakhirnya sebaliknya maka
masa iddah, perkawinan ditangguhkan
itu tetap utuh. Namun hingga sebelum
bila sampai masa iddah masa iddah
berakhir pihak yang maka utuh
murtad belum juga perkawinannya,
kembali masuk agama tetapi apabila
Islam, perkawinan itu sebaliknya dan
putus. tidak kembali
maka putus
perkawanin
tersebut.
4 Hanbali Bila pasangan suami bila pasangan suami istri Bila murtad
atau istri murtad murtad sesuduh dukhul dilakukan
sebelum dukhulmaka status perkawinan sebelum dukhul
seketika itu fasakh. mereka ada dua pendapat maka fasakh
Kemudian setelah antara Hanbali dan seketika itu.
dukhul riwayat Ahmad.Karena ia Namun jika
Hanbali dan Ahmad, merupakan lafadh yang murtad
furqah ditangguhkan dengannya terjadi furqah. dilakukan

71
hingga berakhirnya Bila ia ada setelah sesudah
masa iddah. Bila dukhul, ia boleh dukhulboleh
pihak yang murtad menunggu hingga ditunggu hingga
kembali masuk berakhirnya masa iddah, masa
Islam sebelum sama dengan talak raj„i berakhirnya
berakhirnya masa atau perbedaan agama iddah sehingga
iddah, maka suami setelah dukhul, sehingga tidak diharuskan
istri tetap dalam tidak diharuskan fasakhseketika.
statusnya. fasakhseketika, seperti
Islamnya seorang
harbiyah yang dalam
perkawinandengan
seorang harbi.

72
BAB III

STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD DALAM PERSPEKTIF UU

No. 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Sejarah UU No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam

Munculnya agama Islam di Indonesia adalah sebagai akar masuknya

hukum Islam dan dikodifikasikan sesuaikan syariat tanpa mengurangi hukumnya,

dalam penulisan ini penulis akan membagi periode-periode sejarah munculnya

hukum perkawinan di Indonesia, diantara periode itu dimulai pada:

1. Masa Kerajaan di Indonesia

Indonesia pertama kali dipengaruhi oleh agama Hindu, diantaranya

pulau Jawa, Sumatera, dan Bali, sedangkan yang lain disebut “Malaio

polynesia”, yaitu: Zaman yang memegang adat istiadat nenek moyang.

Hukum agama dipengaruhi Hindu-budha dari pedagang China (Kabah,

2004:202).

Pada masa kerajaan Majapahit, usaha patih Gajah Mada menjaga

hukum adat istiadat yaitu: bidang pemerintahan dan keamanan, perkawinan,

peralihan kekuasaan. Keputusan pengadilan disebut : Jayasong (Jayapatra),

serta mengeluarkan suatu kitab UU, yaitu : “Kitab Hukum Gajah Mada”

(Kabah, 2004:203).

Setelah kerajaan-kerajan bercorak hindu dan budha tersebut runtuh,

kemudian dalam penulisan ini di Nusantara berdiri kerajaan-kerajaan

bercorak Islam. Agama Islam masuk ke bumi Nusantara ini secara damai

pada abad ke – 7 masehi atau bertepatan dengan abad ke- 1 hijriah, ada juga

73
yang berpendapat pada tahun ke-30 hijriah atau bertepatan dengan tahun 650

masehi. Ketika wilayah Nusantara dikuasai oleh para sultan, hukum Islam

diberlakukan di dalam wilayah kekuasaanya dan sultan sendiri sebagai

penanggung jawabnya.

Sultan berperan aktif sebagai pinata agama Islam dengan cara

mengangkat penghulu sebagai kadi syariah dan pemberi fatwa-fatwa agama.

Manifestasi ini dapat dilihat dari bentuk pemerintahan pada waktu itu, yaitu

adanya alun-alun yang dikelilingi oleh pendopo kabupaten, Masjid Agung

dan Lembaga Pemasyarakatan (Manan, 2012:11).

Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu

kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan

Islam yang berdiri di Indonesia telah melaksanakan hukum Islam dalam

kekuasaannya masing-masing.

Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara menganut

hukum Islam Mazhab Syafi‟i (Hamka, 1976:53). Kemudian pada abad ke 15

dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan

Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel (Hamka, 1976:145).

Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para

pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang

peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga atau

perkawinan (Ahmad dkk, 1996:70).

Sementara itu, di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan-

kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam

74
di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi‟i

(Puponegoro, 1984:197).

2. Masa Penjajahan di Indonesia

Ketika Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596 melalui

Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), kebijakan yang telah

dilaksanakan oleh para sultan tetap dipertahankan pada daerah-daerah

kekuasaanya sehingga kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di

masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC.

Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan kemudahan dan fasilitas agar

hukum Islam dapat terus berkembang sebagaimana mestinya. Bentuk

kemudahan yang diberikan oleh VOC adalah menerbitkan buku-buku hukum

Islam sebagai pegangan para Hakim Peradilan Agama dalam memutus

perkara.

Kitab yang diterbitkan adalah “al-Muharrar” di Semarang,

“ShirathalMustaqim” ditulis Nuruddin ar- Raniry di Kota Raja Aceh dan

kitab ini diberi syarah oleh Syekh Arsyad al-Banjary berjudul “Sabilulal-

Muhtadin” yang digunakan Hakim di Kerapatan Kadi di Banjarmasin,

kemudian kitab “Sajiratal- Hukmu” digunakan oleh Mahkamah Syar‟iyah di

Kesultanan Demak, Jepara, Gresik dan Mataram (Manan, 2012:12).

Terakhir VOC menghimpun hukum Islam yang disebut dengan

Compendium Freijer, mengikuti nama penghimpunnya (Sosroatmodjo dan

75
Aulawi, 1975:11). Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan

kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan

Gowa) (Ali, 1982:101).

Pada awalnya Belanda melalui VOC masuk ke Indonesia dengan

membawa serta hukum negaranya utuk menyelesaikan masalah diantara

mereka sendiri. Untuk lebih memantapkan posisinya, mereka berupaya pula

untuk menundukkan masyarakat jajahannya pada hukum dan badan peradilan

yang mereka bentuk.

Pada kenyataannya badan peradilan bentukan Belanda ini tidak dapat

berjalan, maka Belanda membiarkannya, sehingga selama hampir 2 abad

masa VOC hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dalam

masyarakat muslim berjalan sebagaimana mestinya (Rofiq, 2006:49-50).

Masa VOC berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun1800- 1811,

setelah Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya kepada pemerintahan

Belanda, pemerintah kolonial Belanda kembali berupaya mengubah dan

mengganti hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Namun melihat

kenyataan yang berkembang pada masyarakat Indonesia, muncul pendapat

dikalangan orang Belanda pada waktu.

Pelopor tersebut adalah L.W.C. Van Den Berg bahwa hukum yang

berlaku bagi orang Indonesia asli adalah Undang-undang agama mereka,

yaitu Islam. Teori ini kemudian terkenal dengan nama teori “Recepcio in

Complexu” yang sejak tahun 1855 didukung oleh peraturan perundang-

76
undangan Hindia Belanda melalui pasal 75, 78 dan 109 RR 1854 (Stbl. 1855

No.2) (Rofiq, 2006:52).

Dalam perjalanannya ternyata Cristian Snouck Hurgronje tidak

sependapat dengan teori ini, menurutnya hukum yang berkembang di tengah-

tengah masyarakat Indonesia bukan hukum Islam, melainkan hukum adat.

Teori Hurgronje ini terkenal dengan nama teori “Receptie” (Rofiq, 2006:54).

Dampak dari teori ini, Pemerintah Kolonial Belanda tidak lagi

mengakui hukum Islam yang berlaku untuk masyarakat Indonesia, melainkan

hukum adatlah yang diakui. Dalam Indische Staatsregeling pasal 131 ayat 6

ditulis :

”sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam Undang-

undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku yang sekarang berlaku bagi

mereka, yaitu hukum adat” (Subekti, 1987:11).

Pada saat itu walaupun wewenang Penghoeluegerecht

(PengadilanAgama) dalam bidang munakahat (perkawinan) tidak turut

dihapus, namun dengan lahirnya peraturan ini jelas sangat merugikan umat

Islam Indonesia. Seandainya ajaran Islam telah menjadi adat kebiasaan di

suatu daerah, maka tentu tidak terlalu banyak menjadi persoalan. Seorang

Muslim juga masih bisa melangsungkan pernikahan melalui Penghoelue

Recht. Namun bagimana dengan seorang muslim atau muslimah yang tinggal

di lingkungan yang tidak agamis atau tinggal di daerah yang mayoritas

penduduknya non muslim, maka apakah juga harus melangsungkan

77
pernikahan menurut adat daerah tersebut yang mungkin bertentangan dengan

hukum Islam?

Berdasarkan Indische Staatsregeling (IS) pasal 131 ayat 2 ditulis;

”Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing, jika ternyata

kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-

peraturan untuk bangsa Eropa (Burgerlijk Wetboek/ BW/ Kitab Undang-

undang Hukum Perdata) dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya

maupun dengan perubahan-perubahan.

Kemudian dalam ayat 4 disebutkan; ”Orang Indonesia asli dan orang

Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan

bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum

yang berlaku untuk bangsa Eropa” (Subekti, 1987:12).

Menurut peraturan ini siapapun bisa menundukkan diri terhadap

Undang-undang Eropa, baik karena kehendak mereka sendiri maupun secara

bersama. Ini artinya seorang muslim atau muslimah boleh menikah dengan

menggunakan BW sebagai landasan hukumnya, sementara BW/ KUH-

Perdata sendiri tidak mengatur tentang hukum nikah beda agama. Maka

dapat disimpulkan bahwa Undang-undang yang ada ketika itu tidak protektif

terhadap umat Islam, karena membuka peluang bagi terjadinya nikah beda

agama dan pemurtadan melalui pernikahan, baik untuk muslim maupun

muslimah.

Jika di amati secara seksama sebenarnya dari dua pasal di atas

nampak jelas bagaimana upaya kolonial Belanda berupaya menundukkan

78
masyarakat dengan hukum mereka, tidak bisa secara paksa karena

dikhawatirkan pemberontakan yang besar maka diupayakan jalan halus.

Walaupun wewenang Penghoeluegerecht (Pengadilan Agama) dalam

bidang munakahat (perkawinan) tidak turut dihapus, namun tidak ada

peraturan yang bersifat mengikat dan memaksa bahwa umat Islam harus

mengurus masalah pernikahannya melalui penghoeluegerecht. Yang ada

malah kelonggaran untuk menundukan diri pada hukum Belanda/BW/ KUH

Perdata sendiri adalah kitab undang-undang yang secara asal dibuat untuk

golongan warga negara bukan asli (Indonesia), yaitu untuk golongan warga

yang berasal dari Tionghoa dan Eropa yang mana perundang-undangannya

disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku di Negeri Belanda. Dalam

IndischeStaatsregeling pasal 131 diantaranya berbunyi; ”Untuk golongan

bangsa Eropa dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di Negeri

Belanda (asas konkordansi)”. Sementara Belanda sendiri mayoritas

penduduknya beragama Kristen, sehingga baik secara langsung maupun tidak

langsung, kebijakan hukumnya pasti terpengaruh atau mendukung dengan

ajaran Kristen.

Sebagai contoh kita bisa lihat dalam Bab IV (Tentang Perkawinan)

dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Bagian Kedua (tentang acara

yang harus mendahului perkawinan), pasal 53 berbunyi; “Pengumuman tidak

boleh dilangsungkan pada hari Minggu; dengan hari Minggu dalam hal ini

dipersamakan: hari Tahun Baru, hari Paskah dan Pantekosta kedua, kedua-

duanya hari Natal dan hari Mi‟raj Nabi”. Contoh lain adalah pada pasal 27

79
dalam bab yang sama pada bagian pertama (tentang syarat-syarat perkawinan)

yang intinya sama sekali melarang poligami.

Pada Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember

1928 di Yogyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera

disusun Undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan

mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah (Subadyo, 1981:9-10).

Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun

rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op

de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut:

Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah

satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian

yang diputuskan oleh hakim (Soewondo, 1992:77).

Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan

bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama

Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh

organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan

dengan hukum Islam. Suara perkumpulan-perkumpulan kaum Ibu yang setuju

ternyata tidak cukup kuat hingga rencana ordonansi tersebut tidak jadi

dibicarakan dalam Volksraad (Dewan Rakyat) (Soewondo, 1992:85).

Sampai berakhirnya masa penjajahan itu, Pemerintah Hindia Belanda

tidak berhasil membuat Undang-undang yang berisi hukum material tentang

perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Perturan hukum

materiil tentang perkawinan yang dibuat dan ditinggalkan oleh Pemerintah

80
Kolonial, hanyalah berupa perturan hukum perkawinan yang berlaku untuk

golongan-golongan tertentu yaitu:

“Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI) yang berlaku bagi orang-

orang Indonesia asli yang beragama Kristen, Kitab undang-undang Hukum

Perdata (BW) yang berlaku bagi warga keturunan Eropa dan Cina, kemudian

peraturan perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR”

(Syahuri, 2013:100).

Sedangkan peraturan hukum perkawinan bagi umat Islam yang

sempat ditinggalkan oleh Pemerintah Kolonial hanyalah berupa peraturan

hukum formal yang mengatur tata cara perkawinan sebagai mana terdapat

dalam kitab-kitab fiqh karangan oleh para ulama-ulama di kalangan umat

Islam pada waktu itu.

3. Masa Setelah Kemerdekaan.

a. Masa Orde Lama

Pemerintahan dimasa pasca kemerdekaan adalah pemerintahan

dalam kepemimpinan orde lama (1945 – 1965), di era orde lama ini

keinginan memiliki undang-undang perkawinan yang berlaku bagi

seluruh bangsa Indonesia, ternyata belum juga terwujud. Beberapa

peraturan hukum perkawinan peninggalan pemerintah kolonial Belanda

masih tetap diberlakukan bagi bangsa Indonesia menurut golongannya

masing-masing. Hukum perkawinan yang berlaku adalah sebagai berikut

1) Bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hukum Adat.

81
2) Bagi orang-orang Indonesia asli beragama Islam berlaku hukum

perkawinan Islam.

3) Bagi orang-orang Indonesia asli beragama Kristen berlaku

Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI).

4) Bagi warga Negara keturunan Eropa dan Cina berlaku Kitab

undang-undang Hukum Perdata (BW).

5) Bagi perkawinan campuran berlaku peraturan perkawinan Campuran

(Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR.

Karena golongan Kristen dan warga Negara keturunan (Eropa dan

Cina) telah memiliki kodifikasi hukum perkawinan, maka dalam peraktik,

jarang dijumpai permasalahan-permaslahan yang sulit dalam perkawinan

mereka. Ini berbeda dengan golongan Islam yang belum memiliki

kodofikasi hukum perkawinan. Hukum perkawinan yang dipedomani oleh

ummat Islam masih tersebar dalam beberapa kitab fiqh munakahat karya

mujtahid dari Timur Tengah seperti imam Syafi‟i misalnya. Pemahaman

ummat Islam Indonesia terhadap kitab-kitab fikih munakahat tersebut

sering tidak seragam, sehingga muncul kasus-kasus perkawinan seperti

misalnya, perkawinan anak-anak, kawin paksa, serta penyalah gunaan hak

talak dan poligami.

Pada tahun 1946 pemerintah Republik Indonesia menetapkan

Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan

Rujuk berlaku di daerah Jawa dan Madura, kemudian pemerintah darurat

82
RI di Sumatera dinyatakan berlaku juga untuk Sumatera (Soewondo,

1992:96).

Dalam pelaksanaan Undang-undang tersebut diterbitkan Instruksi

Menteri Agama No. 4 tahun 1947 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat

Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No.

22 Tahun 1946 juga berisi seperti buku yang berjudul “Kedudukan Wanita

Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat”, yaitu:

“Keharusan PPN mencegah perkawinan anak dibawah umur,

menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami,

mendamaikan pasangan yang bermasalah, dan apabila terpaksa bercerai,

selama masa idah PPN berusaha agar pasangan yang bercerai rujuk”

(Soewondo, 1992:78-79).

Kemudian pada tahun 1954 melalui Undang-undang No. 32 tahun

1954, UU No. 22 tahun 1946 tersebut dinyatakan berlaku untuk seluruh

Indonesia. Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen,

mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan

menyusun rencana undang-undang perkawinan.

Akhirnya karena desakan pemerintah RI, pada akhir tahun 1950

dengan Surat Perintah Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober

1950 dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan,

Talak dan Rujuk bagi umat Islam (Sosroatmodjo dan Aulawi, 1978:9).

Panitia menyusun suatu Rancangan Undang-undang Perkawinan

yang menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang

83
dalam masyarakat, selanjutnya hukum umum, hukum Islam dan Kristen

dari berbagai aliran diketuai oleh Tengku Hasan (Soewondo, 1992:176).

Tahun 1952 akhir, panitia telah membuat suatu Rancangan

Undang-Undang Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang

berlaku untuk semua golongan dan agama dan peraturan-perraturan khusus

yang mengatur hal-hal yang mengenai golongan agama masing-masing.

Pada tanggal 1 Desember 1952 panitia menyampaikan RUU

Perkawinan Umum kepada semua organisasi pusat dan lokal dengan

permintaan supaya masing-masing memberikan pendapat atau

pandangannya paling akhir pada tanggal 1 Februari 1953 (Soewondo,

1992:177).

Rancangan yang dimajukan itu selain berusaha kearah kodifikasi

dan unifikasi juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat

dengan menetapkan antara lain :

1) Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak,

untuk mencegah kawin paksaan ditetapkan batas-batas umur 18 bagi

laki-laki dan 15 bagi perempuan

2) Suami istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam

kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam

masyarakat.

3) Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama yang

berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian hingga

dapat memenuhi syarat keadilan;

84
4) Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi

milik bersama;

5) Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri, berdasarkan

alasan-alasan yang tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam

peraturan Hukum Islam;

6) Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan

mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak,

pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian (Soewondo, 1992:178-

179).

Tanggal 24 April 1953 diadakan hearing oleh Panitia Nikah, Talak

dan Rujuk dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang dalam

rapatnya bulan Mei 1953 panitia memutuskan untuk menyusun Undang-

undang Perkawinan menurut sistem yang berlaku:

1) Undang-undang Pokok yang berisi semua peraturan yang berlaku

bagi umum bersama-sama (uniform), dengan tidak menyinggung

agama.

2) Undang-undang Organik, yang mengatur soal perkawinan menurut

agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Kristen, Katolik,

dan golongan KristenProtestan;

3) Undang-undang untuk golongan netral, yaitu yang tidak termasuk

suatu golongan agama-agama (Jafizham, 1977:180).

Akhirnya pada tahun 1954 panitia berhasil membuat RUU tentang

Perkawinan Islam disampaikan Menteri Agama kepada Kabinet akhir

85
bulan September1957 tetapi masih ada amandemen yang menyusul,

hingga permulaan tahun1958 belum ada tindakan dari pemerintah

(Jafizham, 1977:180).

Pemerintah juga selama bertahun-tahun tidak memberikan

tanggapan sampai pada tahun 1958 beberapa anggota wanita parlemen

dibawah pimpinan Soemari, mengajukan rancangan inisiatif terpenting

diantaranya, setidak-tidaknya bagi dunia Islam Indonesia sebuah masalah

yang menggemparkan bahwa di dalam usul ini inisiatif itu telah

ditetapkan suatu keharusan untuk menjalankan monogami. Pemerintah

pada waktu itu menurut teori penulis seharusnya sudah memberikan

reaksi dengan mengemukakan suatu rancangan yang hanya mengatur

perkawinan Islam. Justru dari pihak Islam tradisional terdapat keraguan

apakah bagi orang-orang Islam diperlukan hukum perkawinan.

Peraturan-peraturan yang telah diberikan Tuhan sebagaimana

yang diwahyukan dalam syariat untuk segala zaman, negara, dan bahan-

bahan baru untuk didiskusikan yakni rencana-rencana tersebut tidak

pernah dibahas selanjutnya (Prins, 1982:19-20).

Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan, dalam bulan

Oktober 1959, RUU Soemari tersebut ditarik kembali oleh para

pengajunya, kendati memperoleh perhatian yang besar dari sejumlah

anggota DPR, rancangan tersebut sepertinya tidak bepeluang untuk

dibicarakan pada waktu itu menurut penulis.

86
Para anggota partai Islam mengadakan perlawanan, terutama

terhadap pasangan monogami yang ada dalam rancangan tersebut.

Sebagai organisasi kaum perempuan memprotes argumentasi yang

dipergunakan untuk membenarkan poligami (Supriadi, 2002:196-197).

Hal tersebutlah sebagai faktor internal yang menyebabkan

gagalnya RUU tersebut untuk diundangkan. Selain faktor tersebut, ada

pula faktor ekternal yang kemudian muncul, yaitu terjadinya perubahan

system ketatanegaraan RI akibat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (Jafizham,

1977:98).

Sampai pemerintahan orde lama berakhir, Undang-undang

perkawinan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia belum juga

terbentuk, kendatipun tuntutan untuk segera dibentuk Undang-undang

perkawainan terus bermunculan, baik yang dating dari pihak pemerintah

sendiri maupun yang datang dari organisasi kemasyarakatan seperti

misalnya:

“Kongres Wanita Indonesia, Musyawarah Nasional Untuk

Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), dan

Konferensi BP4 Pusat (1962)”(Sosroatmodjo dan Aulawi, 1978:9).

b. Masa Orde Baru.

Pada periode orde baru, dalam masa sidang 1967-1971

Parlemen (DPR-GR) membahas kembali RUU perkawinan (Soewondo,

1992:103), yaitu :

87
1) RUU Perkawinan Umat Islam berasal dari Departemen Agama,

yang diajukan kepada DPR-GR bulan Mei 1967.

2) RUU ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dari Departemen

Kehakiman, yang diajukan kepada DPR-GR bulan September

1968.

Pembahasan kedua RUU inipun pada akhirnya mengalami

kemacetan, karena Fraksi Katolik menolak membicarakan suatu RUU

yang menyangkut hukum agama (Noor, 1983:98).

Menurut fraksi Katolik dalam “pokok-pokok pikirannya

mengenai RUU Perkawinan” itu yang dimuat dalam harian Operasi

edisi (14 s/d 18 April 1969) (Rasjadi, 1974:34).“…..tjara pengaturan

perkawinan sebagaimana ditentukan oleh kedua Rantjangan undang-

undang adalah tidak sesuai dengan hakekat Negara Pantjasila, hal jang

demikian berarti bahwa ada perubahan dasar Negara. Negara tidak lagi

berdasar pantjasila tetapi berdasarkan agama ; hal mana tjotjok dengan

perinsip jang terkandung dalam Piagam Djakarta”.

Bakry (1970:122) dalam bukunya“Pengaturan Undang-undang

Perkawinan Ummat Islam” pendirian Fraksi katolik tersebut

mendapatkan tanggapan dari umat Islam, antaranya dari Hasbullah Bakry

(waktu itu bertugas sebagai Kepala PUSROH Islam POLRI) di harian

Pedoman (1-8-1969) sebagai berikut :

“Dan apabila Undang-undang ini tidak jadi, maka partai Katolik

88
tidaklah mencapai tujuan politiknya juga. Undang-undang jang mengatur

perkawinan dengan predikat agama jang dianut warganya itu memang

sudah ada sejak sebelum pancasila diresmikan dan telah diperkuat oleh

Negara Pancasila. Dan ini tidak perlu diartikan Republik Indonesia lalu

telah berubah menjadi Negara Agama. Sebalikyja dengan penolakan

partai Katholik itu, warga Indonesia jang berakal sehat, dapat

menganggap sikap itu akan menghianati kepentingan sosial bangsa

Indonesia, menentang perbaikan nasib kaum Ibu jang kebetulan

beragama Islam”.

Pada bulan Juli 1973, pemerintah melalui Departemen

Kehakiman telah merumuskan RUU Perkawinan, dan setelah itu

mengajukan kembali RUU kepada DPR hasil pemilu tahun 1971, yang

terdiri dari 15 bab dan 73 pasal.

Presiden Soeharto dengan amanatnya menarik kembali kedua

RUU perkawinan yang disampaikan kepada DPR-GR dalam tahun 1967

(Presiden RI,1973).

RUU perkawinan 1973 itu ternyata mendapat perlawanan dari

kalangan Islam. Segenap organisasi dan tokoh Islam yang lama

berkecimpung dalam soal-soal yang menyangkut bidang agama,

berpendapat bahwa RUU Perkawinan itu bertentangan dengan agama dan

karenanya bertentangan pula dengan Pancasila dan UUD 1945. Meskipun

pada waktu itu pemerintah dan DPR belum melakukan pembahasan

89
internal, baik membentuk pansus maupun panja.

Menurut Amak (1976:7), kalau dinilai dari segi komposisi

kekuatan fraksi-fraksi di DPR, dimana fraksi PPP yang merupakan satu-

satunya fraksi yang menentang RUU karena bertentangan dengan ajaran

Islam.

Gelombang penolakan dan reaksi terhadap RUU Perkawinan

berdatangan dari pelbagai komunitas, baik masyarakat, ulama dan

pemerintah sendiri. Reaksi yang menjadi sorotan datang dari ketua fraksi

PPP KH. Yusuf Hasyim (Pengasuh Ponpes Tebu Ireng).

Tercatat kekeliruan dalam RUU Perkawinan dan bertentangan

dengan Hukum Perkawinan, yaitu dalam negara yang berdasarkan

pancasila berketuhanan yang maha esa, maka perkawinan mempunyai

hubungan yang sangat erat dengan unsur-unsur keagamaan (Sugiarto,

1973).

Apa yang disampaikan KH. Yusuf Hasyim tersebut bukan tanpa

alasan, justru penolakan tersebut bersumber dari amanat Presiden RI

Nomor R.02/P.U/VII/1973 perihal penarikan draf RUU Perkawinan dari

DPR yang tujuannya lebih memperhatikan kemaslahatan umat. Sejalan

dengan pendapat KH. Yusuf Hasyim, Buya HAMKA juga menolak tegas

draf RUU Perkawinan tersebut yang dinilai bertentangan dengan ajaran

Islam. HAMKA menilai, pokok ajaran tasyriul Islamy bahwa yang

dipelihara dalam syariat itu lima perkara, yaitu memelihara agama, jiwa,

90
akal, keturunan dan harta.

Dalam konteks pemeliharaan keturunan, memelihara agar jenis

manusia tetap berkembang dan berketurunan, jangan sampai musnah

karena kesia-siaan manusia. Oleh sebab itu, nikah adalah sunah rasul dan

zina adalah perbuatan yang sangat keji. Meskipun dalam syariat Islam

diharamkan kawin dengan saudara sesusuan, tetapi kalau di dalam draf

RUU Perkawinan disahkan, maka perkawinan semacam itu disahkan

negara.

Anak yang dikandung di luar nikah gara-gara pertunangan dan

pacaran sebelum nikah, dengan draf RUU tersebut boleh menjadi anak

yang sah, walaupun Islam memandang anak itu adalah anak zina

(Hamka, 1976).

Suara dari perguruan tinggi Islam juga dominan dalam menyikapi

draf RUU Perkawinan, IAIN Sunan Kalijaga menyampaikan pendapat

akademisnya terkait proses penggodokan RUU Perkawinan inisiatif

pemerintah. Dalam penelitian Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, terdapat 14 pasal RUU Perkawinan yang dinilai

bertentangan dengan Hukum Islam, antara lain teori-teori penulisan ini

tentang definisi perkawinan, peluang poligami dan poliandri, tidak ada

penegasan pembatasan poligami, pembatasan izin pengadilan kepada

suami yang akan beristri lebih dari seorang, jangka waktu istri pergi

tanpa kabar.

91
Dari 73 Pasal RUU Perkawinan, terdapat sejumlah Pasal yang

dinilai bertentangan dengan ajaran Islam menurut sebagian Ulama pada

masa itu, sebenarnya dalam pengetahuan sejarah penulis secara hukum

negara tidak bertentangan mutlak karena masih melihat kemaslahatan

umat, antara lain penulis nukilkan pasal 2 ayat (1) RUU Perkawinan yang

sekarang menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat Indonesia, pasal

2 ayat (1) RUU Perkawinan berbunyi:

"Perkawinan adalah syah apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat


perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai
tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang ini
dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan
perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini.
Dalam pandangan para ulama, sahnya perkawinan adalah pada

saat akad nikah yang berupa ijab kabul oleh wali mempelai wanita

dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, Islam

tidak menolak adanya pencatat pernikahan yang fungsinya tidak lebih

dari sekedar menuruti kebutuhan administratif pemerintahan dan tidak

menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.

Kemudian, yang menarik untuk disimak adalah ketentuan Pasal

49 ayat (1), (2), dan (3) RUU Perkawinan yang berbunyi :

"1)Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan


perdata dengan ibunya. 2) Anak yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini,
dapat diakui oleh ayahnya. 3) Anak yang dimaksud dalam ayat 2 pasal
ini, dapat disyahkan dengan perkawinan” (Draf RUU Perkawinan versi
Pemerintah, 1973).
Menyikapi draf RUU Perkawinan inisiatif pemerintah tersebut,

dalam musyawarah para ulama tanggal 24 Rajab 1393 H/22 Agustus

92
1973 di Denanyar Jombang atas prakarsa KH. M. Bisri Sjansuri,

memutuskan usulan perubahan RUU Perkawinan.Suatu RUU yang sudah

nyata bertentangan dengan hukum Islam apabila tetap dipaksakan juga

menjadi Undang-undang, resikonya adalah Undang-undang tersebut sulit

untuk bisa berlaku efektif dalam masyarakat yang mayoritas beragama

Islam:

“sebab, bagi umat Islam menaati suatu Undang-undang yang

bertentangan dengan hukm Islam, sama artinya dengan melakukan

perbuatan haram”(Amak, 1976:17).

Selain itu bila dilihat dari segi huk ketatanegaraan, suatu Undang-

undang yang bertentangan dengan hukum (agama) Islam, merupakan

pengingkaran atas jaminan yang telah diberikan oleh UUD 1945 pada

Pasal 29, yaitu jaminan bagi bangsa Indonesia untuk menjalankan ajaran

agamanya masing-masing atas dasar inilah umat Islam menolak RUU

Perkawinan tersebut.

Penolakan umat Islam atas RUU tersebut, ternyata mendapat

perhatian dari pemerintah. Presiden Soeharto sendiri ketika menerima

delegasi partai / Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) yang dipimpin

oleh KH. Bisri Syamsuri (Ketua DPP-PPP) dan KH. Masykur (Ketua F-

PP), sebagaimana yang diberitakan dalam harian Abadi (26-11-1973),

memberikan perhatian terhadap pokok-pokok pikiran kelompok ini pada

masa itu berdasarkan deskripsi.

93
Serangkaian lobbying diselenggarakan oleh penguasa-penguasa

tingkat tinggi dengan Fraksi Persatuan Pembangunan (PP) bersama-sama

Fraksi ABRI bertemu dengan Presiden Soeharto tersebut, akhirnya

dicapailah suatu konsensus (Sosroatmodjo dan Aulawi, 1975:28).

Konsensus tersebut yang pada pokoknya memuat bahwa semua

hukum agama Islam tentang yang telah termuat dalam RUU tersebut

tidak akan dikurangi, kemudian sebagai konsekuensinya maka semua

peraturan pelaksananya juga tidak akan diubah, tidak hanya itu saja

semua hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin

disesuaikan dalam RUU tersebut dihilangkan. Dengan adanya Konsensus

tersebut maka draft RUU tidak mau hal itu diubah. Adanya perubahan

terhadap RUU tersebut sebagai pelaksanaan dari hasil Konsensus di atas,

ternyata kurang disukai oleh kelompok Nasrani.

Pandangan kelompok Nasrani berpendapat bahwa antara hukum

negara dan hukum agama harus dipisahkan atau dengan kata lain

kelompok ini tidak menyetujui pentransformasian norma hukum agama

menjadi norma perundang-undangan Negara (Tajuk Rencana Kompas,

1973).

Pandangan ini sesuai dengan doktrin Gereja, yang menganut

faham pemisahan antara urusan agama (gereja) dengan urusan Negara.

Urusan negara diatur oleh hukum Negara dan urusan agama (gereja)

diatur oleh hukum agama (gereja) (Ali, 1992:20).

94
Sedemikian alotnya perdebatan mengenai RUU perkawinan

tersebut, dimana pada saat itu pembicaraan mengenai RUU tersebut

merupakan topik yang sangat hangat, dari semua kalangan baik itu dari

Islam, Kristen, Organisasi Masyarakat, Organisasi Kepemudaan,

Organisasi Kewanitaan dan tokoh–tokoh tingkat tinggi menaruh

perhatian yang sangat besar sebelum RUU tersebut disahkan menjadi

Undang-undang.

Jika dilihat dari sejarahnya pada waktu itu, maka pembicaraan

RUU perkawinan 1973 di DPR sesuai dengan tata tertib, dilakukan

melalui empat tingkat dalam penulian ini. Tingkat pertama, merupakan

penjelasan pemerintah atas RUU tersebut. Tingkat kedua, merupakan

pemandangan umum masing-masing Fraksi atas RUU tersebut dan

tanggapan Pemerintah atas pandangan umum itu. Tingakat tiga, berupa

rapat Komisi (gabungan Komisi III dan Komisi IX) untuk membahas

RUU tersebut dalam hal ini diserahkan kepada suatu panitia yang diberi

nama panitia kerja RUU perkawinan. Tingkat empat, pengambilan

keputusan (pengesahan RUU perkawinan) dengan didahului pendapat

terakhir (stemmotivering) dari masing-masing Fraksi.

Setelah mengalami perubahan-perubahan atas amandemen yang

masuk dalam panitia kerja maka RUU tentang perkawinan yang diajukan

oleh pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 tersebut diteruskan

dalam Sidang Paripurna DPR-RI, sebagaimana pembicaraan tingkat

empat di atas, untuk disahkan menjadi Undang-undang. Dalam sidang

95
tersebut semua Fraksi mengemukakan pendapatnya, demikian juga

pemerintah yang diwakili menteri kehakiman memberikan kata akhirnya.

Pada hari itu juga RUU tentang perkawinan itu disahkan oleh DPR-RI

setelah memakan waktu pembahasan tiga bulan lamanya. Pada tangga 2

Januari 1974 diundangkan sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan.

Untuk terlaksananya UU tersebut maka pemerintah mengeluarkan

PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana dari UU

perkawinan tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya ternyata Pengadilan

Agama sebagai lembaga yuridis yang menangani masalah perkawinan

antara orang-orang Islam ternyata dalam putusannya banyak yang

disparitas dalam menerapkan hukum, oleh karena ada hal-hal yang tidak

tercover dalam UU perkawinan dan PP peraturan pelaksananya, untuk

menghendel hal tersebut maka melaui Inpres Nomor 1 Tahun 1991

tentang pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam sebagai acuan baku bagi

para Hakim Peradilan Agama dalam memutus perkara.

c. Masa Reformasi.

Dalam daripada itu pemerintah sebagai penggagas sejak enam

tahun yang lalu telah mengusulkan RUU tentang Hukum Materiil

Peradilan Agama bidang Perkawinan dan baru dimasukkan dalam

Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010. RUU tentang

Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA) terdiri dari 25 BAB

dan 156 pasal, yang pada pokoknya mengatur tentang Perkawinan,

96
dalam RUU ini akan terjadi perubahan yang cukup signifikan karena ada

beberapa hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 jo PP Nomor 9 tahun 1975 tetapi diatur dalam RUU tersebut.

4. Masa Lahirnya Kompilasi Hukum Islam

Ide awal pembentukan KHI itu sebenarnya ada pada tahun 1970-an,

yaitu setelah lahirnya UU No.14 Tahun 1970, terutama mengenai maksud

pasal 10 ayat (1) (Pagar, 1995:12).

Pasal ini mengamanatkan tentang adanya kedudukan Pengadilan

Agama yang kuat dalam sistem nasional, juga mempunyai kesetaraan dengan

tiga pengadilan lainnya di Indonesia, juga ditentukan bahwa aspek

organisatoris, administratif, dan finasial berada dibawah kekuasaan

Departemen Agama, sedang aspek yudikatif berada di bawah kekuasaan

Mahkamah Agung.

Maka pihak Departemen Agama dan Mahkamah Agung merasa

berkepentingan untuk mempersiapkan tugas masing-masing terutama

menyangkut hukum acara dan hukum materilnya. Khususnya menyangkut

hukum materilnya direncanakan melahirkan kitab pedoman hukum yang

sifatnya unifikatif, yaitu adanya satu pedoman hukum yang seragam untuk

semua Pengadilan Agama, dan kodifikatif, yaitu kitab pedoman hukum

tersebut bersifat tertulis, dan terhimpundalam satu kitab hukum formal. Kitab

tersebut adalah KHI (Pagar, 2007:44).

KHI sebagai kitab hukum formal yang unifikatif dan kodifikatif

tersebut sangat diperlukan dan sifatnya segera mengingat pada masa

97
sebelumnya tidak terdapat keseragaman keputusan antar Pengadilan Agama,

karena para hakim senantiasa berbeda pendapat dalam mengambil

kesimpulan meskipun dalam kasus yang sama. Kenyataan seperti ini terjadi

hampir merata pada setiap persoalan.Dengan kenyataan ini maka prinsip

kepastian hukum kurang terealisasi dengan baik (Departemen Agama RI,

1998:128).

Meskipun keinginan untuk melahirkan KHI ini cukup kuat, dan

dilakukan dengan penuh keseriusan namun hal ini bukanlah pekerjaan

sederhana yang segera dapat diselesaikan.

Lahirnya kitab hukum materil semacam KHI bersifat khusus bagi

orang Islam tentunya akan dapat mengundang banyak pemikiran yang bersifat

pro dan kontra, karenanya tidak heran kalau proses lahirnya KHI tersebut

memakan waktu sampai 30-an (tiga puluh) tahun (Departemen Agama RI,

1998:127-174).

Dalam rangka mencapai keseragaman tindakan antara Mahkamah

Agung dan Departemen Agama dalam pembinaan Badan Peradilan Agama

sebagai salah satu langkah menuju terkaksananya UU No 14 1970 tentang

ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, serta untuk menghindari

perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan Undang Undang perkawinan No. 1/

1974, pada tanggal 16 september1976 telah dibentuk Panitia Kerjasama

dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 04/KMA/1976

yang disebut PANKER MAHAGAM (panitia kerja sama Mahkamah

Agung/Departemen Agama).

98
Setelah adanya kerja sama dengan Mahkamah Agung, maka kegiatan

Departemen Agama dalam mewujudkan kesatuan hukum dan menciptakan

hukum tertulis bagi umat Islam (kendatipun sudah berlaku dalam masyarakat,

namun sebagiannya masih mempunyai status sebagai hukum tidak tertulis),

mulai menampakkan diri dalam bentuk seminar, simposium, dan lokakarya,

serta penyusunan Kompilasi hukum Islam bidang hukum tertentu, antara lain:

a. Penyusunan Buku Himpunan dan Putusan peradilan Agama, tahun

1976.

b. lokakarya tentang Pengacara dan Pengadilan Agama, tahun 1977.

c. seminar tentang Hukum Waris islam, tahun 1978, dan lain sebagainya

(Arifin, 1996:159).

Sementara itu pertemuan antara ketua Mahkamah Agung RI dengan

Menteri Agama RI tanggal 15 Mei 1979 menghasilkan kesepakatan

penunjukan enam orang Hakim Agung dari Hakim Agung yang ada untuk

berrugas menyidangkan dan menyelasaikan permohona kasasi yang berasal

dari lingkungan Peradilan Agama.

Upaya perumusan KHI tersebut mulai lebih konkret setelah tahun

1985, yaitu sejak ditanda tanganinyasurat Keputusan Bersama Ketua

Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI. Tentang penunjukan Pelaksa

Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi No. 07/KMA/1985

dan Nomor 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 di Yogyakarta.

99
Hasil penelitian bidang kitab, yurisprudensi, wawancara, studi

perbandingan diolah dengan Tim Besar Proyek Pembinaan Hukum Islam

melalui yurisprudensi.

Hasil rumusan Tim Besar tersebut dibahas dan diolah lagi dalam

sebuah Tim Kecil yang merupakan tim inti. Akhirnya setelah 20 kali

pertemuan, Tim Kecil ini menghasilakan tiga buah buku naskah Rancangan

Kompilasi Hukum Islam, yang terdiri dari:

a. Hukum perkawinan

b. Hukum kewarisan

c. Hukum perwakafan

Proses selanjutnya setelah Tim Besar melakukan penghalusan redaksi

naskah Kompilasi Hukum Islam tersebut di Ciawi BOGOR maka naskah

tersebut disampaikan oleh Menteri Agama kepada Presiden, oleh Menteri

Agama dengan surat tanggal 14 Maret 1988 Nomor: MA/123/1988 Hal:

Kompilasi Hukum Islam dengan maksud untuk memperoleh bentuk yuridis

untuk digunakan dalam praktekdi lingkungan Peradilan Agama, maka oleh

Presiden lahirlah Instruksi Presiden RI. Nomor 1 tahun 1991 seperti apa yang

ada dan masih berlaku sekarang ini (Pagar, 2007:50).

B. Landasan Sumber Hukum Perkawinan di Indonesia

Indonesia sebagai negara yang dengan penduduk yang majemuk tentu

memerlukan aturan yang komplek sehingga seluruh etnis dan multi kepercayaan

mendapat rasa aman, nyaman, dan berkeadilan (Khummaini, 2013:1).

100
Penulis ini dari beberapa pengetahuannya bahwa negara Indonesia adalah

negara yang berbentuk republik yang demokratis dan berasas kedaulatan rakyat.

Pancasila sebagai dasar hukum negara yang memuat pokok dari Undang-undang

Dasar Tahun 1945, untuk ketentuan hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam

Undang-undang No. 1 Tahun 1974, UU No. 1/1974 diperuntukan bagi warga

negara Indonesia yang beragama Islam, mengingat hal ini Indonesia mayoritas

beragama Islam dan menduduki tingkat beragama penduduk muslim terbanyak di

dunia.

Selanjutnya menurut, Khummaini (2013:1) dalam perkembangan yang

lebih rinci yakni Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi hukum Islam (KHI)

yang mengatur tentang Perkawinan, Waris, dan Wakaf.

Untuk lebih jelas dalam mengetahui landasan hukum pembatalan hukum

perkawinan di Indonesia, dalam teori penulisan ini terbagi atas dasar huku

pembatalan perkawinan, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan Kompilasi

Hukum Islam, berikut penjelasannya:

1. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan Dalam UU No. 1/1974

Perkawinan dapat diajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan

tidak mengurangi ketentuan pasal 1 ayat (2) dan pasal 4. Hal tersebut

menunjukkan kuatnya dasar hukum pembatalan perkawinan dalam Undang-

undang perkawinan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-undang No.1

Tahun 1974 tentang perkawinan.

Perihal pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang No.l Tahun

1974 pengaturannya termuat dalam Bab VI, pada Pasal 22 sampai dengan

101
Pasal 28 yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya Peraturan

Pemerintah No.9 Tahun 1975 dalamBab VI Pasal 37 dan 38. Adapun

Pengadilan yang berkuasa untuk membatalkan perkawinan yaitu: Pengadilan

yang daerah kekuasaannya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau

di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri. Bagi mereka yang

beragama Islam dilakukan di Pengadilan Agama sedangkan bagi mereka yang

beragama non Islam di Pengadilan Negeri.

Saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 28

ayat 1 Undang- Undang No.l Tahun 1974 yang menyatakan bahwa:

“Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan

mempunyai kekuatan hukum dimulai setelah keputusan pengadilan

mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat

berlangsungnya perkawinan”. Keputusan ini tidak ada upaya hukum lagi

untuk naik banding atau kasasi. Akibatnya kembali ke posisi semula sebelum

terjadinya perkawinan atau perkawinan dianggap tidak pernah ada.

Sehubungan dengan pelaksanaan pembatalan perkawinan bahwa

perkawinan dalam Islam mungkin “putus demi hukum” artinya: “Apabila ada

atau terjadi suatu kejadian, kejadian mana menurut hukum Islam

mengakibatkan lenyapnya keabsahan perkawinan itu. Kejadian yang

mengakibatkan lenyapnya keabsahan perkawinan itu, misalnya si suami atau

istri murtad dari agama Islam dan kemudian memeluk agama atau

kepercayaannya bukan kitabiyah. Maka perkawinannya putus demi hukum

Islam” (Abdurrahman dan Syahrani, 1978:42).

102
2. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan Dalam KHI

Kompilasi Hukum Islam sebagai sebuah kitab hukum yang dijadikan

pegangan hakim di Pengadilan Agama, juga mengambil permasalahan

pembatalan perkawinan ini. Hal ini terlihat dalam bab XI tentang batalnya

perkawinan diatur pasal 70-76 yang dirumuskan secara lengkap dan terinci.

Batalnya suatu perkawinan dapat terjadi baik ketika akad perkawinan

dilakukan ataupun setelah terjadinya perkawinan yang kemudian para pihak

mengajukan pembatalan terhadapnya.

Sebagaimana yang telah di atur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal

70 mengenai perkawinan batal apabila :

a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad

nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah

satudari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj‟i.

b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah diliannya.

c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak

olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain

yang kemudian bercerai lagi ba‟da al dukhul dari pria tersebut dan telah

habis masa iddahnya.

d. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri

atau isteri-isterinya (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:251-252).

103
Dalam praktek di Pengadilan Agama, sebagaimana yang telah kita

ketahui bahwa pembatalan perkawinan dilakukan terhadap perkawinan yang

cacat hukum atau kurang syarat dan rukunnya, sebagaimana yang telah

disyari‟atkan dalam syari‟at Islam, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam. Pembatalan perkawinan dapat terjadi apabila

berdasarkan atas alasan yang dikemukakan, dan dari alasan tersebut

pembatalan perkawinan tidak dapat disamakan dengan perceraian karena

alasan yang digunakan dalam perceraian tidak sama dengan alasan pembatalan

perkawinan. Begitu pula para pihak yang berhak menggunakan atau

mengajukan pembatalan tidak terbatas pada suami atau istri saja.

C. Status Perkawinan Karena Murtad Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 Dan

Kompilasi Hukum Islam

1. Tata Cara Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan dapat dimohonkan kepada Pengadilan Agama

di wilayah hukum tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan

dilangsungkan. Perkawinan batal dimulai setelah putusan Pengadilan Agama

yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat

berlangsungnya perkawinan.

Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan mengenai

pemanggilan, pemeriksaan, dan putusannya dilakukan sesuai dengan tatacara

pengajuan gugatan perceraian. Diatur dalam ketentuan Pasal 20 sampai

dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, sepanjang dapat

104
diterapkan dalam pembatalan perkawinan. Prosedur yang harus dilakukan

untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yaitu antara lain:

a. Pengajuan Gugatan.

Surat permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada

Pengadilan Agama yang meliputi:

1) Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan.

2) Pengadilan dalam daerah hukum di tempat tinggal keduasuami istri.

3) Pengadilan dalam daerah hukum di tempat kediaman suami.

4) Pengadilan dalam daerah hukum di tempat kediaman istri.

Surat permohonan tersebut dibuat secara tertulis atau lisan,

pemohon bisa datang sendiri atau diwakilkan kepada orang lain yang akan

bertindak sebagai kuasanya. Surat permohonan yang telah dibuat oleh

pemohon disertai lampiran yang terdiri dari:

1) Fotocopy tanda penduduk.

2) Surat keterangan atau pengantar dari kelurahan bahwa pemohon

benar-benar penduduk setempat.

3) Surat keterangan tentang hubungan pihak yang dimohonkan

pembatalan perkawinan dengan pihak Pemohon.

4) Kutipan akta nikah.

b. Penerimaan Perkara.

Surat permohonan harus didaftar terlebih dahulu oleh panitera,

SKUM atau Surat Kuasa untuk membayar yang di dalamnya telah

105
ditentukan berapa jumlah uang muka yang harus dibayar, lalu pemohon

membayar panjar biaya perkara setelah itu pemohon menerima kuitansi

asli. Surat permohonan yang telah dilampiri kuitansi dan surat-surat yang

berhubungan dengan permohonan tersebut diproses dan dilakukan

pencatatan dan diberi nomor perkara. Pemohon tinggal menunggu

panggilan sidang.

c. Pemanggilan.

Panggilan sidang secara resmi disampaikan kepada pribadi yang

bersangkutan atau kuasa sahnya, bila tidak dijumpai disampaikan melalui

Lurah/Kepala Desa yang bersangkutan. Panggilan selambat-lambatnya

sudah diterima oleh pemohon 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. Dalam

menetapkan tenggang waktu antara pemanggilan dan diterimanya

panggilan tersebut perlu diperhatikan. Pemanggilan tersebut harus

dilampiri salinan surat permohonan.

d. Persidangan.

Hakim harus sudah memeriksa permohonan pembatalan

perkawinan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya

berkas/surat permohonan tersebut. Pengadilan Agama akan memutuskan

unruk mengadakan sidang jika terdapat alasan-alasan seperti yang

tercantum dalam ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab IV

Pasal 22 sampai dengan Pasal 27. Setelah dilakukan sidang, Ketua

Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya pembatalan

106
perkawinan yang ditujukan kepada Pegawai Pencatat untuk mengadakan

pencatatan pembatalan perkawinan.

2. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan

Akibat hukum yang ditimbulkan karena adanya pembatalan

perkawinan diatur dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 jo Pasal 75 dan Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam yang mempunyai

rumusan berbeda. Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No.l Tahun 1974

menyebutkan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap:

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.


b. Suami atau isteri yang bertindak dengan beritikad baik, kecuali terhadap
harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas dasar adanya
perkawinan lain yang lebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang
mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan
tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap (Undang-Undang
Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam, 2011:12).

Pasal 75 kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa keputusan

pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau isteri murtad.
b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad
baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan
hukum tetap(Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:254).

Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa:

Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum


antara anak dengan orang tuanya. Seharusnya di dalam perkawinan ini yang
berhak menikahkan bertindak sebagai wali nikah merupakan abang kandung
dari calon mempelai wanita.

107
3. Alasan dan Putusnya Perkawinan

Ketika menjalankan suatu bahtera perkawinan tidak terlepas dari

permasalahan yang timbul bukan hanya dari pihak intern namun juga dapat

berasal dari pihak ekstern yang dimungkinkan akan berakhir dalam suatu

perceraian. Namun di samping dari berakhirnya perkawinan dengan jalan

perceraian, dikarenakan beberapa hal putusnya hubungan perkawinan juga

dapat di sebabkan adanya pembatalan perkawinan. Baik di dalam hukum

islam maupun hukum negara terjadinya suatu pembatalan perkawinan

dibenarkan sebagai suatu bentuk berakhirnya hubungan antara suami atau

istri. Terdapat beberapa alasan-alasan yang dibenarkan menurut hukum untuk

melaksanakan suatu pembatalan perkawinan. termuat di dalam UU No.1

Tahun 1974 dalam pasal 26-27 adalah:

a. Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai Pencatatan

Perkawinan yang tidak berwenang.

b. Wali Nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah.

c. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi.

d. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

e. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami

atau istri.

Bilamana ada salah satu pelanggaran perkawinan, maka

perkawinannya merupakan perkawinan batal atau perkawinan difasidkan.

Perkawinan yang batal dianggap tidak ada perkawinan dari permulaannya,

yakni mulai akad nikah, sedangkan perkawinan fasid dianggap putus mulai

108
hari diputus oleh pengadilan. Menurut Kompilasi Hukum Islam suatu

perkawinan dapat dibatalkan apabila :

a. Suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri

pria lain yang mafqud.

c. Perempuan yang dikawini teryata masih dalam iddah dari suami lain.

d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana

ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974.

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang

tidak berhak.

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan seseorang.

Dalam hal pengajuan pembatalan perkawinan terdapat pula hal-hal

yang membatalkannya atau gugur. Maksud gugurnya pembatalan ialah

menghindari hak penuntutan kedua kalinya karena satu perbuatan juga

(Projohamidjojo, 2001:39). Hak mengajukan pembatalan gugur, disebabkan :

a. Dalam hal pelanggaran prosedural jika mereka telah hidup bersama

sebagai suami istri dan mempelai dapat memperlihatkan akta perkawinan

dibuat oleh pegawai pencatat pihak yan berwenang yang telah

diperbaharui.

b. Dalam hal pelanggaran materiil jika ancaman telah berhenti atau jika salah

sangka diantara suami istri telah disadari keadaannya, tetapi dalam tempo

6 (enam) bulan setelah perkawinan itu ternyata masih tetap sebagai suami

istri.

109
Bab XVI dalam KHI yang mengatur mengenai ketentuan putusnya

perkawinan dalam KHI diatur dipasal 116, berikut isinya:

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga;
g. Suami menlanggar taklik talak;
h. Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:268-
269).

Hukum perceraian dengan alasan murtad dalam KHI tersebut adalah

sama halnya dengan perceraian dengan alasan yang lain. Perkawinan yang

telah batal dengan alasan murtad terdapat pada pasal 116 huruf h “Peralihan

agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga”.

Kalimat ini sudah cukup jelas, kalau murtad itu menyebabkan ketidakrukunan

dalam berkeluarga, karena hal tersebut sudah tidak sejalan dan sependapat

dalam hal pembinaan rumah tangga, bahkan tidak cocok lagi karena adanya

uatu perbedaan agama dan melanggar perjanjian suci, sehingga harus ada ilmu

agama yang memperkokoh keluarga untuk tidak terjerumus dari murtad.

110
4. Pernikahan Yang Dilarang Untuk Dapat Diajukan Pembatalan

Perspektif Fiqh, UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam

(KHI) Secara garis besar larangan perkawinan antara seorang pria dan

seorang wanita menurut syara‟ terdiri dari dua halangan, yaitu halangan abadi

dan halangan sementara yang mana di dalam hukum islam dan juga

perundang-undangan perkawinan telah diatur di dalamnya, diantaranya

sebagai berikut:

a. Pelanggaran larangan nikah mut‟ah.

b. Pelanggaran larangan nikah syighar.

c. Pelanggaran larangan nikah muhrim.

d. Nikah wanita yang sedang iddah, nikah seperti itu jika sempat

berhubungan intim setelah masing-masing mengetahui bahwa nikahnya

batal, maka perbuatannya dianggap zina.

e. Nikah wanita muslim dengan laki-laki non-muslim, wanita muslimah tidak

halal menikah dengan laki-laki non-muslim.

f. Derajat mempelai laki-laki lebih rendah daripada derajat mempelai wanita.

g. Seorang suami yang telah beristri empat nikah dengan istri kelima.

h. Seorang istri bersuami nikah lagi dengan laki-laki lain.

i. Oleh agama atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Bila salah satu dari larangan tersebut dilanggar, maka perkawinan batal

sejak semula atau perkawinan fasid. Bilamana ada salah satu pelanggaran

perkawinan, maka perkawinannya merupakan perkawinan batal atau

perkawinan difasidkan. Perkawinan yang batal dianggap tidak ada perkawinan

111
dari permulaannya, yakni mulai akad nikah, sedangkan perkawinan fasid

dianggap putus mulai hari diputus oleh pengadilan.

5. Pihak Yang Berhak Melakukan Pembatalan Perkawinan

Dalam suatu proses pembatalan perkawinan yang dilaksanakan antara

suami atau istri di atur oleh syarat-syarat yang secara tegas termuat di dalam

Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam baik yang

menyangkut pihak-pihak, kelengkapan administrasi, maupun prosedur

pelaksanaannya. Syaratnya yaitu: sesuatu yang mesti ada yang menentukan

sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk

dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat atau

menurut Islam calon pengantin laki-laki atau perempuan itu harus beragama

Islam. Persyaratan yang berkaitan dengan orang atau pihak yang berhak

mengajukan pembatalan perkawinan diatur di dalam Undang-Undang

Perkawinan yakni UU No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut :

a. Para anggota keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau

dari istri.

b. Suami atau istri itu sendiri.

c. Pejabat yang berwenang, tetapi hanya selama perkawinan belum putus.

d. Pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang berkepentingan hukum secara

langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan

itu putus.

e. Mereka yang dirinya masih terikat perkawinan dengan salah satu dari

kedua calon mempelai, tanpa mengurangi Hak Pengadilan untuk dapat

112
memberi izin seorang suami beristri lebih dari seorang dan tanpa

mengurangi hak suami yang akan beristri lebih dari seorang mengajukan

permohonan kepada pengadilan untuk kawin lagi (pasal 24 UU no.1

Tahun 1974) Memiliki syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada yang

menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu

tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk

shalat atau menurut Islam calon pengantin laki-laki atau perempuan itu

harus beragama Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam pembatalan

perkawinan tersebut akan diangap sah apabila pembatalan tersebut

dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kompetensi di hadapan hukum

untuk mengajukannya, yakni :

1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari

suami atau istri.

2) Suami atau istri.

3) Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut

Undang-undang.

4) Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam

rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan

Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak menjelaskan mengenai murtad yang

dapat membatalkan perkawinan, bahkan tidak ada satu katapun yang

menyinggung murtad di dalam kalimat tiap pasal-pasalnya, hanya saja dalam

113
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 memberikan penjelasan mengenai

pembatalan karena tidak terpenuhi syarat-syarat (pasal 22-28 Undang-undang

No. 1 Tahun 1974). Pembatalan perkawinan diputuskan oleh pengadilan,

sehingga mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan perkawinan tersebut

sudah tidak sah atau dianggap perkawinan tersebut sudah tidak ada.

Kompilasi Hukum Islam mengenal kata murtad dalam pasal 75 ayat

(a) “Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau isteri murtad”

dan 116 ayat (h) “Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidak rukunan dalam rumah tangga”, namun dalam bab yang berbeda-beda

mengenai murtad yang disinggung dalam perkawinan tersebut. Pasal 75

terdapat dalam BAB XI tantang Pembatalan Perkawinan, Hal ini

dapatdikaitkan dengan teori penulisan ini, karena Undang-undang No. 1

Tahun 1974 keterkaitan mengenai pembatalan perkawinan mengenai murtad

tidak cukup jelas tetapi dapat digunakan. Selanjutnya BAB XVI tentang

Putusnya Perkawinan dipasal 116 ayah (h) ini cukup jelas karena murtad

adalah penyebab ketidak rukunan dalam rumah tangga, karena perbedaan

agama dapat membedakan setiap keputusan dan pandangan dalam seseuatu

hal apapun.

Pihak yang mengalami sesuai teori ini sebaiknya memberitahukan

akan bahaya pernikahan murtad yang tidak dibatalkan. Hal ini dikhawatirkan

akan berbuat layaknya suami istri karena mereka tidak membatalkannya,

sesungguhnya orang yang murtad akan memberikan dampak yang buruk di

dunia maupun akhirat.

114
BAB IV

ANALISIS HUKUM FIQH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN

1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS

PERKAWINAN KARENA MURTAD

A. Analisis Kitab-kitab Fiqh Mazhad Dengan UU No. 1/1974 Dan KHI

Berdasarkan penulisan ini penulis hanya fokus penelitian terhadap

perbuatan murtad yang dilakukan oleh seorang suami atau istri yang

mengakibatkan dampak sangat serius terhadap status perkawinan, sehingga

penelitian ini butuh kecermatan dalam penulisannya, karena perkawinan suatu hal

yang serius. Kemudian perkawinan tersebut akan membawa seseorang bahagia

dunia akhirat atau hanya ternodai perbuatan yang seketika namun kemudian

muncul kemadharatan dunia akhirat.

Menurut Siddik (1986:23) juga menjelaskan, bagi orang Islam yang

sungguh-sungguh beriman, hal yang sedemikian ini tidak mungkin terjadi, dan

jika terjadi juga, maka betul-betul ia telah menjadi kafir, oleh karena itu syariat

Islam ketentuan bahwa perkawinan yang telah ada itu bubar dengan sendirinya.

Selanjutnya penulis akan membandingkan kitab-kitab fiqh mazhab dengan

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, karena penulis

rasa ada yang perlu dan penting untuk dibahas, supaya tidak menimbulkan

pertanyaan sebagai dugaan yang pasti terhadap hukum yang berlaku dan

digunakan sesuai keyakinan.

115
Apabila salah seorang suami istri menjadi murtad, maka seluruh fuqaha

berpendapat, bahwasannya murtad itu membatalkan akad perkawinan yang terjadi

antara keduanya, dan kemurtadtan itu menjadi sebab terjadinya perceraian (as-

Shiddieqy:199).

Humaidhy (1992:53) juga berpendapat dalam bukunya Ahkamu Nikahil-

kuffar Alal-madzahibil-Arba‟ah bahwa, Jumhur ulama berpendapat bahwa bila

suami istri murtad bersama-sama maka keduanya harus diceraikan.

Mengingat agama Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia,

sehingga tidak salah lagi penulis bila menganalisis masalah ini, agar terjawab

suatu permasalahannya. Selanjutnya dalam penelitian analisis ini dimulai dari:

1. Kitab-Kitab Fiqh Mazhab

a. Kitab Fiqh Mazhab Hanafi

Dalam penelusuran penulis dalam2 kitab Mazhab Hanafi diatas,

penulisdapat mengetahui perbuatan murtad yang dilakukan seorang

suami atau istri yang akan timbul setelah melakukan murtad dalam

perjalanan perkawinannya, berikut tinjauan dilihat berdasarkan status

perkawinan bila murtad dilakukan oleh:

1) Bila yang murtad adalah pihak istri

Bila yang murtad adalah pihak istri, Mazhab Hanafi

sepakat,perkawinan itu putus tanpa talak, alias fasakh. Putusnya

perkawinan itu terjadi sejak dilakukannya perbuatan murtad.

116
Putusnya perkawinan di sini merupakan ba‟in, di mana suami tidak

bisa merujuk istrinya, meskipun istrinya sudah kembali masuk Islam.

2) Bila yang murtad adalah pihak suami

Bila yang murtad adalah pihak suami, terjadi beda pendapat.

Pendapat pertama, perkawinan itu putus dengan fasakh (pendapat al-

Imam Abu Hanafi dan Abu Yusuf). Pendapat kedua, perkawinan itu

putus dengan talak.

b. Kitab Fiqh Mazhab Maliki

Dalam kitab fiqh Mazhhab Maliki, termasuk al-Mudawwanah al-

Kubra, penulis dapat mengambil kesimpulan, bahwa apabila salah

seorang suami atau istri murtad, terdapat beda pendapat dalam Mazhab

Maliki mengenai status perkawinan mereka. Berikut ini rincian pendapat-

pendapat status perkawinan karena murtad bila dilakukan oleh:

1) Bila yang murtad adalah pihak istri

Bila yang murtad adalah pihak istri, ikatan perkawinan

mereka putus seketika. Putusnya perkawinan itu dengan jalan talak

ba‟in. Ini adalah pendapat Ibn al-Qasim dan Ashhab, namun Ashhab

memberikan pendapat tambahan, bahwa bila wanita itu kembali

masuk agama Islam, ia tetap menjadi istri bagi suaminya.

2) Bila yang murtad adalah pihak suami

Bila yang murtad adalah pihak suami, ikatan perkawinan

mereka putus seketika. Bagaimana putusnya perkawinan itu, ada dua

pendapat juga. Pendapat pertama, perkawinan itu putus dengan talak

117
ba‟in. Suami tidak diperbolehkan rujuk, meskipun pihak suami

kembali masuk Islam dalam masa iddah, karena suami itu telah

meninggalkan isterinya ketika ia murtad. Ini adalah pendapat al-

Imam Malik.

Sementara itu, ada pendapat lain bahwa bila suami kembali

masuk Islam dalam masa iddah istrinya, maka suami itu memiliki hak

atas istrinya secara keseluruhan. Sama seperti kasus ketika istrinya

masuk Islam kemudian suaminya masuk Islam. Ini adalah pendapat

Ibn al-Majishun. Sebab perbedaan pendapat itu: apakah perbuatan

murtad itu menimbulkan akibat atau tidak? Orang-orang yang

memandang bahwa perbuatan murtad itu menimbulkan akibat, mereka

berbedapendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa

akibat perbuatan murtad itu adalah terhapusnya status orang yang

murtad, hingga hilangnya al-„ishmah. Lalu orang-orang yang

berpendapat demikian berbeda pendapat lagi tentang bagaimana

terputusnya al-„ishmah. Di antara mereka ada yang memandang masih

sahnya perkawinan itu menjadikan terputusnya ishmah bagai talak.

Adapun orang yang memandang dampak perbuatan murtad itu

adalah terhalangnya al-„ishmah, bukan terputusnya al-„ishmah, ia

menghukumi talak raj‟i.

Adapun orang yang memandang bahwa perbuatan murtad

tidak menimbulkan dampak pada perbuatan yang telah lalu, maka ia

118
memandang bahwa hukum bagi perbuatan murtad itu terhapus dengan

taubat, sehingga ia memiliki kesempatan untuk mendapat kembali apa

yang menjadi haknya sebelumnya. Orang yang berpendapat demikian

memberikan hukum bahwa ia tetap bersama istrinya, sama dengan ia

tetap memiliki hak atas hartanya, sebagaimana pendapat mazhab ini

dalam masalah harta orang yang murtad ini.

c. Kitab Fiqh Mazhab Syafi‟i

Dalam penulisan ini dari 2 kitab dalam Mazhhab Shafi‟i, bahwa

status perkawinan karena perbuatan murtad itu dibedakan menjadi dua,

yaitu perbuatan murtad yang dilakukan sebelum dukhul dan perbuatan

murtad yang dilakukan setelah dukhul.

1) Perbuatan murtad yang dilakukan sebelum dukhul

Bila perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul, perkawinan

itu putus seketika, hal ini menurut penulis untuk melindungi suami

atau istri agar terjaga kehormatan kemaluannya. Demi keseriusan

seseorang dalam menikah untuk ikatan perjanjian yang suci sesuai

syariat Islam dan tidak merusaknya dengan murtad dari agama

Islam.

2) Perbuatan murtad yang dilakukan setelah dukhul

Bila perbuatan murtad itu terjadi setelah dukhul, perkawinan

itu ditangguhkan hingga berakhirnya masa iddah. Bila pihak yang

murtad kembali masuk Islam sebelum berakhirnya masa iddah,

perkawinan itu tetap utuh. Namun bila sampai masa iddah berakhir

119
pihak yang murtad belum juga kembali masuk agama Islam,

perkawinan itu putus.

d. Kitab Fiqh Mazhab Hanbali

Berkaitan dengan masalah status perkawinan karena murtadnya

seorang suami atau istri dalam Mazhab Hanbali, dibedakan antara murtad

yang belum dukhul dan murtad yang telah dukhul.

Bila salah seorang suami atau istri murtad sebelum dukhul,

perkawinan mereka fasakh seketika.

Bila salah seorang suami atau istri murtad setelah dukhul,

terdapat beda riwayat dari Ahmad.

Riwayat pertama, furqah disegerakan. Karena apa yang

mengharuskan fasakhnya perkawinan itu sama saja antara sebelum dan

setelah dukhul, seperti kasus sepersusuan.

Riwayat kedua, furqah ditangguhkan hingga berakhirnya masa

iddah. Bila pihak yang murtad kembali masuk Islam sebelum

berakhirnya masa iddah, maka suami istri tetap dalam statusnya. Namun

bila belum juga kembali masuk Islam hingga berakhirnya masa iddah,

istri seketika ba‟in dimulai sejak terjadinya perbuatan murtad. Karena ia

merupakan lafadh yang dengannya terjadi furqah. Bila ia ada setelah

dukhul, ia boleh menunggu hingga berakhirnya masa iddah, sama dengan

talak raj„i atau perbedaan agama setelah dukhul, sehingga tidak

120
diharuskan fasakh seketika, seperti Islamnya seorang harbiyah yang

dalam perkawinan dengan seorang harbi.

Sabiq (2009:313) juga berpendapat, bila suami atau istri murtad,

maka hubungannya suami istri diantara keduanya akan terputus secara

otomatis. Putus hubungan suami istri ini disebabkan perbedaan agama

dan kemurtadtan salah satu dari mereka. Putusnya hubungan diantara

mereka ini dikategorikan fasakh.

Dapat diambil kesimpulan penjelasan diatas jelas bahwa murtad

sangat banyak madharatnya. Dalam perbuatan murtad yang dilakukan

oleh sumi atau istri adalah dapat membatalkan perkawinannya. Walaupun

memiliki perbedaan dalam pemutusan perkawinan dalam perbuatan

murtad, tetapi memiliki tujuan yang sama kalau perbuatan murtad

tersebut membatalkan perkawinannya yang sedang berjalan.

Selain itu bekas seorang suami tidak berhawk menjadi wali oleh

anak-anaknya. Kemudian murtad juga dapat menghilangkan warisan dari

keluarga atau pihak yang akan mewariskan hartanya untuk pelaku

murtad.

2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Penulis dalam penelitian ini tidak menemukan kata murtad dalam

Undang-undang No. 1 Tahun 1974, penulis hanya menemukan istilah

pembatalan perkawinan.

121
Istilah “batal” nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham,

karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut.

Batal berarti nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak

ada nilai). Dapat dibatalkan berarti nietig verklraad, sedangkan absolute

nietig adalah pembatalan mutlak (Nuruddin dan Tarigan, 2006:106-107).

Perkawinan dapat dibatalkan, dalam perspektif Undang-undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 berdasarkan kajian dalam bab diatas menurut

penulis yang menyebutkan, yaitu:

a. Perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat

perkawinan (pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974). “ini berarti bahwa

perkawinan itu dilarang karena tidak memenuhi syarat-syarat, sedangkan

perkawinan semacam itu sudah (terlanjur) terlaksana, dapat dibatalkan”

(Sosroatmodjo dan Aulawi, 1975:67).

b. Suami atau istri yang masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan

perkawinan tanpa seijin dan sepengetahuan pihak lainnya (pasal 24 UU

No. 1 Tahun 1974).

c. Perkawinan yang dibatalkan dapat dilakukan di Pengadilan dalam daerah

hukum dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami

istri, suami atau istri (pasal 25 UU No. 1 Tahun 1974).

d. Perjanjian perkawinan dalam pasal 29 adalah perjanjian yang dibuat

berdasarkan kesepakatan berdua, sehingga persyaratan awal perkawinan

yang sesuai syarat-syarat dalam Undang-undang No. 1 1974 dianggap

sah dan dijadikan perjanjian yang kekal.

122
Penjelasan diatas sudah cukup jelas sesuai dengan Undang-undang

No. 1 Tahun 1974, namun penulis hanya bisa membuktikan berdasarkan pasal

22 sebagai penetapan teori penelitian ini, sebab dalam pasal-pasal tersebut

tidak menyebutkan kemurtadtan sebagai alasan pembatalan perkawinan,

karena hal tersebut belum bisa menjawab penelitian ini yang akan berakibat

pada status seorang suami atau istri yang murtad terhadap perkawinannya

yang sedang berjalan.

Sebenarnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sebagai Undang-

undang pokok perkawinan agama Islam di Indonesia selain Kompilasi

Hukum Islam, tetapi Undang-undang perkawinan tersebut yang dianggap

sebagai pokok peraturan demi kemaslahatan masyarakat Indonesia tidak

mengatur secara rinci, sehingga apabila terjadi kasus semacam ini akan sulit

menentukan hukumnya. Padahal kasus perbuatan murtad seorang suami atau

istri berakibat fatal bila tidak diceraikan, baik dimasa sekarang dan masa

selanjutnya.

Kejanggalan ini menurut penulis harus ditegaskan kembali sebagai

tujuan yang baik untuk memberi manfaat dalam keluarga Islam di Indonesia,

karena setiap keluarga menginginkan keluarga yang sakinah, mawadah,

warahmah. Untuk itu konsep Undang-undang perkawinan yang seperti ini

setiap individu harus kritis dan komprehensif terhadap hukum yang ada,

supaya tidak terjadi kemurtadtan suami atau istri dalam berkeluarga Islam.

123
3. Kompilasi Hukum Islam

Penelitian penulis dalam Kompilasi Hukum Islam cukup memuaskan,

sebab penulis menemukan perbedaan kalimat yang menyinggung kata

“murtad”, karena di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sama sekali

tidak menyinggung kata murtad, dan sebaliknya dalam KHI, kata murtad itu

terdapat pada Pasal 75 dan 116. Maka pasal ini penulis gunakan sebagai

analisis secara mendalam yang kemudian dapat dibandingkan dengan kitab-

kitab mazhab fiqh maupun Undang-undang No. 1 Tahun 1974,untuk itu

langsung saja bahas demi mengetahui lebih lanjut pasal 75 dan 116 dalam

KHI.

Penulis akan menganalisis dan menjelaskan secara singkat pasal 75

dan 116 secara prioritas dan fokus dalam pasal tersebut, karena hal tersebut

bersinggungan dalam pembahasan penelitian berdasarkan teori penulis.

Berikut ini adalah analisis penulis dalam pasal 75 dan 116, diantaranya yaitu:

a. Pasal 75

Pasal pertama yang mengatur masalah murtadnya seorang suami

atauistri adalah Pasal 75, yang menyebutkan:

Pasal 75

Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

a. “perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad.
b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan
ber`itikadbaik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan
hukum yang tetap”(Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:254).

124
Murtad sebagai Sebab Batalnya Perkawinan karena status suami

atau istri membuat penulis sangat tertarik, bahwa Pasal 75 ayat (a) itu

tidak menggunakan redaksi, “...dapat dibatalkannya...” Pasal itu

menggunakan redaksi,“... batalnya...” Jadi Pasal 75 itu memberikan

pengertian, bahwaperkara murtad merupakan salah satu sebab batalnya

perkawinan.

Melihat lebih lanjut bahwa ayat selanjutnya menurut pengertian

penulis, pembatalan perkawinan dalam pasal 75 karena sebab murtad

menerangkan bahwa anak yang mereka lahirkan tetap menjadi tanggung

jawab mereka berdua.

Secara eksplisit Pasal 75 di atas menyebutkan,bahwa meskipun

sebuah perkawinan batal karena perkara murtad, tapi putusan itu tidak

sampai membatalkan akad perkawinan. Dengan demikian, perkawinan

itu tetap diakui keberadaannya secara hukum, sampai ia dinyatakan batal.

Ia tetap diakui sebagai perkawinan yang pada mulanya sah, lalu harus

dihentikan. Namun batalnya perkawinan itu harus melalui putusan

Pengadilan Agama, dan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama

mempunyai kekuatan hukum yang tetapdan berlaku sejak saat putusan

tersebut.

Murtad dijadikan alasan perceraian artinya jika salah pihak keluar

dari agama Islam, maka suami atau istri dapat mengajukan permohonan

cerai kepada Pengadilan ( Nuruddin,2006: 222).

125
b. Pasal 116

Pasal kedua yang mengatur masalah murtadnya seorang suami

atau istri adalah Pasal 116, yang menyebutkan:

Pasal 116
a. “salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain;
e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga;
g. suami melanggar taklik talak;
h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga” (Undang-Undang Republik
Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam, 2011:268-269).

Menarik untuk analisis lebih lanjut, UUP tidak memuat murtad

sebagai salah satu sebab atau alasan perceraian. Ironis, ada kesan KHI

kendati ada meneyebut murtad sebagai alasan perceraian, namun alasan

tersebut dikaitkan dengan adanya kalimat (Nurruddin dan Tarigan,

2006:227).

Dalam Pasal 116 ini Tim Penyusun Kompilasi Hukum Islam sudah

menyusun alasan-alasan perceraian dengan cukup baik. Apa yang menjadi

alasan perceraian itu memang bersesuaian dengan tujuan perkawinan yang

dirumuskan oleh KHI sendiri.

126
Berkaitan dengan perkara murtad, Pasal 116 itu memberikan

pemahaman, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan apabila peralihan

agama atau murtad itu menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam

rumah tangga. Dengan kata lain, bila perkara murtad itu tidak

menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga, maka

perceraian tidak dapat dilakukan. Sungguh penulis tidak habis pikir,

bagaimana mungkin Tim Penyusun menjadikan perbuatan zina, mabuk,

madat dan judi sebagai contoh perbuatan buruk yang bisa menjadi alasan

perceraian, tapi tidak memasukkan perbuatan murtad dalam bagian ini?

Mengapa misalnyamereka tidak menambahkan klausul “... yang

menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga” dalam

alasan-alasan ini? Apakah mereka menganggap perzinahan itu lebih berat

dampaknya daripada murtad? Allahu a‟lam bis-shawab.

Namun dengan begitu penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa

pasal 75 ayat (a) dan pasal 116 ayat (h) secara tersurat dalam Kompilasi

Hukum Islam menjadi sebuah hukum yang tetap dan diakui

keberadaannya, sehingga pedoman ini bisa dijadikan referensi penulis

sebagai teori dalam penelitian ini.

Jadi jika dilihat berdasasarkan analisis diatas bahwa perbuatan

murtad dalam status perkawinnya, dapat diambil kesimpulan bahwa

perkawinan yang dijalaninya tersebut dikatakan batal berdasarkan kitab-

kitab fiqh mzhab. Kemudian dalam pandangan Undang-undang No. 1

Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam perkawinan tersebut belum

127
batal, kecuali jika suami atau istri bahkan anggota keluarga berdasarkan

garis keturunan keatas melaporkan serta mengajukannya ke pihak yang

berwajib, dengan lebih tepatnya dibatalakn di Pengadilan. Namun apabila

hal tersebut tidak dibatalkan negara tetap mengakui perkawinan tersebut

sedangkan fiqh mazhab mengatakan hal itu sudah batal.

B. Komparasi Kitab-Kitab Fiqh Mazhab Dengan UU No. 1 Tahun 1974 Dan

Kompilasi Hukum Islam

Penelitian sadar bahwa analisis diatas banyak sekali kejanggalan yang

tidak sesuai hukum dan kenyataan yang ada, dari tiga hukum yang digunakan

penulis ini, dalam skripsi ini memiliki perbedaan yang mencolok. Sebenarnya

hukum itu seharusnya dibuat sesuai kasus dan masalah yang berkembang

dimasyarakat, agar menjadi suatu hukum yang pasti dan tidak menimbulkan

pertanyaan. Dengan adanya hal tersebut maka jawaban hukum dari kasus yang

ada perlu dijawab sebagai perkembangan hukum yang diperbarui.

Perbedaan dan persamaan hukum ini telah ada di diatas, tetapi penulis

tidak hanya asal berpendapat dalam penulisan ini, lihat saja hukum dalam kitab-

kitab fiqh mazhab, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan Kompilai Hukum

Islam telah ada perbedaan dan persamaan di dalamnya.

Berkaitan dengan masalah murtadnya suami atau istri ini, kitaperhatikan

dari tiap kitab-kitab mazhab fiqh dengan Undang-undang dan Kompilasi Hukum

Islam satu persatu.

Kitab fiqh mazhab Hanafi ke 2 diatas penulis meringkas bahwa mereka

sepakat bahwa perkawinan seketika ba‟in terhitung sejak terjadinya perbuatan

128
murtad.Mereka beda pendapat berdasarkan pelaku murtad dalam status

perkawinan tersebut:

1. Bila pelaku pihak istri, mereka sepakat perkawinan putus dengan fasakh.

2. Bila pelaku pihak suami, mereka berbeda pendapat, antara fasakh dan talak

ba‟in.

Kitab fiqh mazhab Maliki ke 2 diatas penulis meringkas bahwa mereka

sepakat, bahwa perkawinan itu putus. Mereka beda pendapat tentang bagaimana

putusnya dalam status perkawinanny, baik sebelum dukhul maupun setelah

dukhul, dengan perincian:

1. Sebelum dukhul, perkawinan seketika putus, tapi ada beda pendapat antara

talak ba‟in atau fasakh.

2. Setelah dukhul, perkawinan putus, tapi ada beda pendapat antara talak raj‟i,

talak ba‟in atau fasakh.

Kitab fiqh mazhab Syafi‟i ke 2 diatas penulis meringkas bahwa mereka

sepakat bahwa perkawinan dapat dibatalkan.Tidak ada beda pendapat tentang

putusnya perkawinan itu, hanya saja mereka membedakan dalam status

perkawinannya antara murtad sebelum dukhul dan setelah dukhul.

1. Sebelum dukhul: seketika perkawinan batal.

2. Setelah dukhul: fasakh ditangguhkan hingga masa iddah. Bila pihak yang

murtad kembali sebelum masa iddah selesai, perkawinan bisa diselamatkan.

Bila pihak yang murtad belum atau tidak juga kembali hingga habisnya

iddah, perkawinan pun fasakh, terhitung sejak terjadinya murtad.

129
Kitab fiqh mazhab Hanbali ke 2 diatas penulis meringkas bahwa mereka

sepakat bahwa perkawinan itu dapat dibatalkan (fasakh). Status perkawinan

dalam perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul seketika perkawinan batal

(fasakh). Bila perbuatan murtad terjadi setelah dukhul, ada dua riwayat:

1. Seketika perkawinan batal (fasakh).

2. Pembatalan perkawinan ditangguhkan hingga habisnya masa iddah. Bila

pihak yang murtad kembali sebelum masa iddah selesai, perkawinan bisa

diselamatkan. Bila pihak yang murtad belum atau tidak juga kembali hingga

habisnya iddah, perkawinan pun fasakh, terhitung sejak terjadinya murtad.

Penulis mengambil kesimpulan bahwa ke 4 mazhab diatas sepakat bahwa

perbuatan murtad membatalkan perkawinan, dengan waktu pembatalan yang

berbeda namun tujuan mereka sama.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak menyatakan murtad sebagai

alasan pembatalan, hanya saja dalam pasal 22, 24, 25, dan 29. Ketetapan yang

menyebutkan bahwa “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan” (pasal 22),

selanjutnya perkawinan yang dibatalkan dapat dilakukan di pengadilan dimana

suami istri melangsungkan perkawinan, (pasal 25) menyatakan “Permohonan

pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum

dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami istri, suami atau

istri”.

130
Memang menjadi dilematis masalah murtad bagi orang yang sudah

menikah, namum tidak menjadi masalah lagi bila kita melihat hukum

perkembangan yang ada dan mampu mengkritisinya. ”Suatu hukum bila

dikuatkan oleh dalil yang mempertegas atau disertai suatu penekanan yang kuat

maka hukum itu tidak bisa dinasakh” (Al Jabry, 1988:63).

Kompilasi Hukum Islam pasal 75 ayat (a) dan pasal 116 ayat (h) terdapat

sebuah kalimat yang menyangkut mengenai murtad, dalam pasal 75 (a)

“perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad” pengertian

dalam pasal ini penulis memberikan pendapatnya bahwa perbuatan murtad

membuat batal perkawanin. Kemudian dalam pasal 116 ayat (h) “peralihan

agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah

tangga” pemahaman pasal ini menurut penulis bahwa perbuatan murtad suami

atau istri menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangganya, karena

penyebab tersebut berakibat perbedaan pendapat dalam keluarga bila kesenjangan

tersebut tidak sejalan sesuai keyakinan. Mengapa demikian,? Suami istri yang

pada mulanya beragama Islam kemudian murtad keluar dari agama, dianggap

sudah tidak cocok lagi.

Menurut Nuruddin dan Tarigan (2006:107-108), Sampai disini suatu

perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh Pengadilan, secara

sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan, pertama,

pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap materi

perkawinan. Contoh pertama, tidak terpenuhi syarat-syarat wali nikah, tidak

131
dihadiri para saksi dan alasan prosedural lainnya. Kedua, perkawinan dilakukan

dibawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai calon suami istri.

Demi memperjelas perbandingan perbuatan murtad dalam status

perkawinan baik pihak suami atau istri, penulis akan menentukan hal-hal

terpenting dalam pembahasan ini, untuk itu penulis akan mulai dari:

1. Perbandingan Status Perkawinan Karena Murtad

Sesuai dengan kitab-kitab fiqh mazhab diatas penulis membandingkan

bahwa dalam 4 mazhab diatas sepakat berdasarkan kitab fiqhnya masing-

masing mengemukakan bahwa perkawinan yang dinodai dengan murtadnya

salah satu pihak suami atau istri, bahkan bersama-sama. Maka status

perkawinan tersbut menjadi batal, dengan kata lain sudah tidak sah lagi

menjadi suami istri dalam rumah tangganya.

Berbeda dengan hukum perkawinan di Indonesia antara Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 dengan Kompilasi Hukum Islam, dalam peraturan

ini status perkawinan karena murtad tidak membatalkan perkawinannya.

Kedua hukum perkawinan tersebut menyebutkan bahwa perkawinan dapat

dibatalkan di pengadilan dengan mengajukan pembatalan.

Ironis sekali hal ini apabila terjadi dalam teori ini, sebab perkawinan

yang mereka jalani sudah tidak sah lagi menurut hukum agama Islam, tetapi

mereka masih berjalan bila tidak diceraikn di pengadilan. Padahal agama

dalam kehidupan ini yang akan membawa kita nantinya dikehidupan yang

kekal, begitupun juga dalam perkawinan agama akan membawa kita

dikehidupan yang selamanya.

132
2. Perbandingan Keputusan Murtad Dalam Perkawinan

Kitab-kitab mazhah hanafi diatas memberikan pengertian bahwa

mereka sepakat bahwa perbuatan murtad dapat membatalkan perkawinan,

dengan keputusan hukum yang berbeda namun meliki tujuan yang sama,

kemudian dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sendiri tidak

mengatur perbuatan murtad sebagai alasan pembatalan perkawinan, hanya

saja terdapat pasal 22 yang mengatur tentang pembatalan perkawinan bukan

karena murtad, melainkan tentang persyaratn perkawinan yang tidak

memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.

Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum pokok

kedua dalam perkawinan di Indonesia menyebutkan 2 pasal yang menyatakan

kata murtad sebagai alasan pembatalan dalam perkawinan, pasal ini sejalan

dengan kitab-kitab fiqh mazhab diatas, meskipun tidak sedetail kitab-kitab

fiqh mazhab, namun dapat dibanding bahwa dalam pasal 75 dan 116 tersebut

memiliki persamaan dengan kitab-kitab fiqh mazhab.

Persamaan tersebut adalah perbuatan murtad dapat membatalkan

perkawinan, dengan tujuan yang sama ini memiliki perbedaan cara dan

kalimat yang ditetapkan sebagai bentuk penetapan hukum, kemudian hukum

tersebut digunakan dan dijadikan sebuah pegangan atau pokok hukum bagi

yang mengikutinya. Apalagi kompilasi Hukum Islam ini hanya digunakan

bagi orang-orang yang beragama Islam di Indonesia saja, dan penulis

menganggap ini adalah bentuk keistimewaan bagi umat muslim di Indonesia.

Begitu juga dengan Imam-imam mazhab yang digunakan hukumnya ditiap-

133
tiap negara, setiap negara pasti memiliki mazhab yang mereka anut sebagai

pedoman dari hukum-hukum yang dibuat oleh imam-imam mazhab dalam

ijtihadnya.

3. Perbandingan Waktu Batalnya Perbuatan Murtad

Setiap mazhab diatas memberikan pendapat yang berbeda, mengenai

hal perbuatan murtad yang dilakukan suami atau istri dalam kitab-kitab fiqh

mazhab diatas memiliki perbedaan waktu batalnya perkawinan akibat dari

perbuatan murtad.

Dalam Ijtihad imam Abu Hanafi sepakat bahwa waktu pembatalan

perkawinan mereka sepakat bahwa perkawinan seketika ba‟in terhitung sejak

terjadinya perbuatan murtad. Sebagai mazhab tertua urutan no. 2 ini, mazhab

Maliki berijtihad bahwa mereka sepakat, bahwa perkawinan itu putus.

Mereka sepakat bahwa perkawinan dapat dibatalkan, menurut Mazhab

Syafi‟i tidak ada beda pendapat, hanya saja dibedakan antara murtad sebelum

dukhul dan setelah dukhul.

1) Sebelum dukhul: seketika perkawinan batal.

2) Setelah dukhul: fasakh ditangguhkan hingga masa iddah. Bila pihak yang

murtad kembalisebelum masa iddah selesai, perkawinan bisa

diselamatkan. Bila pihak yang murtad belumatau tidak juga kembali

hingga habisnya iddah,perkawinan pun fasakh, terhitung sejak terjadinya

murtad.

134
Mazhab Hanbali sepakat bahwa perkawinan itu dapat dibatalkan

(fasakh). Mereka berpendapat bila perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul,

seketika perkawinan batal (fasakh). Bila perbuatan murtad terjadi setelah dan

sebelum dukhul mereka tidak ada perbedaan.

Waktu pembatalan perkawinan menurut Undang-undang No. 1

Tahun1974 dapat dilakukan di pengadilan, dimana tempat suami atau istri

yang bersangkutan melaksanakan perkawinan (pasal 25). Batalnya

perkawinan disertai keputusan pengadilan, dan seketika itu putusan

dibacakan oleh hakim, maka perkawinan tersebut batal atau diceraikan.

Pada dasarnya waktu pembatalan perkawinan Undang-undang No.

Tahun 1974 dengan Kompilasi Hukum Islam sama, karena di Indonesia

perkawinan hanya dapat dibatalkan dimuka hukum atau di Pengadilan

Agama bagi agama Islam dan Pengadilan Agama bagi non muslim.

Sehingga apabila perkawinan tersebut melanggar pasal 75 ayat (a)

dan pasal 116 ayat (h) tidak diajukan atau dilaporkan kepada pihak yang

berwenang, maka perkawinan tersebut tetap dianggap sah keberadaannya.

Namun secara agama Islam perkawinan tersebut sudah tidak sah lagi,

sehingga perlu kekuatan iman dan ilmu agama yang dapat menjaga maupun

senantiasa meluruskan jalan ibadah melalui perkawinan.

Peneliti akan meringkas dan menyimpulkan guna mempermudah

dalam membandingkan hukum perbuatan murtad tentang status

perkawinnya, baik pihak suami atau istri. Penulis akan membuat tabel

135
perbandingan kitab-kitab fiqh mazhab dengan Undang-undang No. 1 Tahun

1974 dan Kompilasi Hukum Islam, berikut tabelnya:

Tabel 1

No Hukum Status Keputusan Hukum Waktu Batal


Perkawinan
1 Mazhab Status Mereka berpendapat Waktu pembatalan
Hanafi perkawinan bahwa Perbuatan perkawinan dilakukan
karena murtad dapat seketika itu waktu
murtad membatalkan suami atau istri
dalam perkawinan. apabila menjadi murtad.
kesepakatan murtad dilakukan
mazhab oleh pihak istri
maliki dinamakan fasakh
perkawinan dan sebalikanya
tersebut apabila dilakukan
batal. oleh pihak suami
fasakh dan talak
bai‟in.
2 Mazhab Status Mereka berpendapat Ada 2 waktu
Maliki perkawinan bahwa sepakat, pembatalan
karena bahwa perkawinan perkawinan dengan
murtad itu putus.Mereka perincian: a) Sebelum
dalam beda pendapat dukhul, perkawinan
kesepakatan tentang bagaimana seketika putus, tapi
mazhab putusnyaperkawinan ada beda pendapat
maliki itu, baik sebelum antara talak ba‟in atau
perkawinan dukhul fasakh. b) Setelah
tersebut maupunsetelah dukhul, perkawinan
batal. dukhul. putus, tapi ada beda
pendapat antara talak
raj‟i, talak ba‟in atau
fasakh.

3 Mazhab Mazhab Syafi‟i Waktu pembatalan


Syafi‟i sepakat bahwa dibedakan antara
perbutan murtad murtad sebelum
dalam perkawinan dukhul dan setelah
dapat dibatalkan. dukhul: a) Sebelum
dukhul: seketika
perkawinan batal. b)
Setelah dukhul: fasakh
ditangguhkan hingga

136
masa iddah. Bila
pihak yang murtad
kembali sebelum masa
iddah selesai,
perkawinan bisa
diselamatkan. Bila
pihak yang murtad
belum atau tidak juga
kembali hingga
habisnya iddah,
perkawinan pun
fasakh, terhitung sejak
terjadinya murtad.

4 Mazhab Status Mazhab Hanbali Bila perbuatan murtad


Hanbali perkawinan sepakat bahwa terjadi setelah dukhul,
karena perkawinan itu dapat adadua riwayat: a)
murtad dibatalkan (fasakh). Seketika perkawinan
dalam Mereka berpendapat batal (fasakh). b)
kesepakatan bila perbuatan Pembatalan
mazhab murtad terjadi perkawinan
maliki sebelum dukhul, ditangguhkan hingga
perkawinan seketika perkawinan habisnya masa iddah.
tersebut batal (fasakh). Bila pihak yang
batal. murtad kembali
sebelum masa iddah
selesai, perkawinan
bisa diselamatkan.
Bila pihak yang
murtad belum atau
tidak juga kembali
hingga habisnya
iddah, perkawinan pun
fasakh, terhitung sejak
terjadinya murtad.

5 UU No. Status Pembatalan Perkawinan dapat


1/1974 perkawinan perkawinan dibatalkan apabila
karena disebabkan karena melanggar hukum
murtad tidak memenuhi yang ada dalam pasal
tidak batal, syarat-syarat dalam yang diajukan sesuai
hanya dapat perkawinan, permohonan dalam
dibatalkan sehingga perkwainan perceraian, sehingga
apabila tersebut dapat apabila tidak diajukan
diajukan dibatalkan (pasal 22) di Pengadilan maka
pembatalan perkawinan tersebut

137
ke tetap diakui
Pengadilan. keberadaannya,
hingga pengadilan
dapat memutuskan
perkara tersebut.
6 Kompilasi Status Dalam kompilasi Sama halnya dengan
Hukum perkawinan Hukum Islam Undang-undang No. 1
Islam karena terdapat dua pasal Tahun 1974 dan
murtad yang menyatakan Kompilasi Hukum
tidak batal, kata murtad, yaitu Islam, hukum in
hanya dapat dalam pasal 75 ayat adalah hukum
dibatalkan (a) “perkawinan perkawinan yang
apabila yang batal karena digunakan di
diajukan salah satu suami atau Indonesia, sehingga
pembatalan istri murtad” dan waktu pembatalan
ke pasal 116 ayat (h) perkawinan memiliki
Pengadilan. “peralihan agama kesamaan, dengan
atau murtad yang mengajukan
menyebabkan permohonan
terjadinya ketidak perceraian di
rukunan dalam pengadilan, tempat
rumah tangga” dilaksanakan
perkawinan.

Perbandingan hukum diatas sangat banyak perbedaan, kemudian

penulis juga tidak menemukan persamaan dalam hukum-hukum tersebut.

Terlihat dalam perbuatan murtad dalam Kitab-kitab fiqh mazhab dengan

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 saja sudah memiliki perbedaan, di dalam

Kitab-kitab fiqh mazhab diatas secara jelas dan tegas perbuatan murtad

seorang suami atau istri membatalkan perkawinan, sedangkan Undang-

undang perkawinan tidak mengatur perbuatan seseorang yang murtad dalam

perkawinannya dapat membatalkan perkawinannya.

Kompilasi Hukum Islam yang menyinggung perbuatan murtad juga

tidak secara jelas dalam kalimatnya, bahwa perbuatan murtad dapat

138
membatalkan perjalanan perkawinannya. Padahal perbuatan murtad

seseorang yangmelakukan perbuatan dosa itu harus mendapatkan pelajaran

sebagai salahsatu alat mengembalikannya kepada jalan yang benar. Namun

anehnya, selama ini penulis sangat kesulitan menemukan bahasan yang

memadai tentang masalah murtadnya suami atau istri ini.

Apabila kejadian di sekitar kita di mana seorang suami atau istri

murtad dari agama Islam. Di sinilah masyarakat mengalami kebingungan,

karena hukum perkawinan di Indonesia tidak secara jelas mengaturnya. Di

dalam kitab-kitab fiqh mazhab dijelaskan bahwa perkawinan itu harus

berakhir, tetapi hukum yang berlaku di negeri kita tetap memungkinkan

kedua suami atau istri itu untuk terus hidup bersama, bahkan beranak-pinak.

Hal ini amat memprihatinkan.

Apakah kita akan terus memberikan kesempatan kepada masyarakat

senantiasa diliputi perasaan berdosa? Mereka tetap mempertahankan

hubungan suami istri, termasuk di dalamnya hubungan seksual. Kemudian

lahirlah anak-anak dalam hubungan suami istri yang telah berbeda agama,

sehingga kasus ini akan membuat daftar masalah yang semakin panjang sebab

perbuatan murtad orang tuanya sudah putus secara agama Islam. Sungguh

memprihatinkan bila teori-teori ini masih ada kasus berdasarkan penelitian

penulisan ini.

139
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis menganalisis dan membandingkan hukum dalam kitab-

kitab fiqh mazhab dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 serta Kompilasi

hukum Islam, maka dapat disimpulkan teori-teori sebagai berikut:

1. Bagaiman status pernikahan apabila salah satu pasangan murtad berdasarkan

fiqh.

Para imam mazhab khususnya mazhab Hanafi, mazhab Maliki,

mazhab Syafi‟i dan mazhab Hanbali. Mereka berpendapat sama dalam kitab-

kitab fiqhnya, bahwa status perkawinan karena perbuatan murtad yang

dilakukan oleh seorang suami atau istri dapat membatalkan perkawinannya.

Walaupun memiliki keputusan pembatalan yang berbeda, namun memiliki

tujuan yang sama kalau murtadnya tersebut dapat membatalkan perkawinan

seketika itu juga.

Empat mazhab diatas berpendapat tentang perbuatan murtad seorang

suami atau istri. Mereka tidak ada perbedaan mengenai perbuatan murtad

dalam perkawinan. Mereka sama-sama mengatakan kalau perbuatan murtad

suami istri batal, mengenai waktunya mazhab Hanafi sepakat bahwa

perbuatan tersebut memutuskan perkawinannya sektika itu dengan keputusan

talak ba‟in. Mazhab Maliki sendiri juga memiliki kesapakatan murtadnya itu

140
sebelum berjima‟ langsung putus, tetapi bila belum jima‟ dengan talak ba‟in

dan raj‟i.

Mazhab Syafi‟i waktu pembatalan dibedakan antara murtad sebelum

jima seketika perkawinan batal, setelah jima fasakh ditangguhkan hingga

masa iddah, apabila pihak yang murtad kembali sebelum masa iddah selesai,

perkawinan bisa diselamatkan tetapi jika pihak yang murtad belum atau tidak

juga kembali hingga habisnya iddah, perkawinan pun fasakh, terhitung sejak

terjadinya murtad. Mazhab Hanbali sepakat tentang perbuatan murtad terjadi

sebelum jima‟ seketika perkawinan batal, kemudian pembatalan perkawinan

ditangguhkan hingga habisnya masa iddah, pihak yang murtad kembali

sebelum masa iddah selesai, perkawinan bisa diselamatkan. Jika pihak yang

murtad belum atau tidak juga kembali hingga habisnya iddah, perkawinan

pun fasakh, terhitung sejak terjadinya murtad.

2. Bagaiman salah satu pasangan murtad dalam Undang-undang Perkawinan No

1 tahun 1974.

Peraturan yang seharusnya mengatur masyarakat banyak terutama

penduduk muslim di Indonesia tidak mengatur secara jelas tentang perbuatan

murtad yang dilakukan suami atau istri. Sehingga mengenai hal ini penulis

tidak menemukan pasal tentang pembatalan perkawinan karena murtad.

penulis hanya menemukan pembatalan perkawinan dalam pasal 22,

tetapi pasal ini bertolak belakang dengan teori materi yang dibutukan

penelitian ini. Wajar saja apabila penulis sukar menentukan peraturan dalam

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 terhadap status seorang suami atau istri

141
yang murtad dalam perkawinannya. Secara hukum fiqh mazhab diatas hal

tersebut sudah batal perkawinan semacam ini.

Peneliti sebenarnya telah menemukan Undang-undang lain tentang

status seorang suami istri yang batal perkawinannya karena murtad, yaitu di

dalam kompilasi Hukum Islam. Ada 2 pasal dalam KHI mnyebutkan kata

murtad dalam kalimatnya, namun lagi-lagi kejelasan pembataln tersebut

belum sepenuhnya batal. Mengingat pasal 75 ayat (a) dan pasal 116 ayat (h)

ini tidak mengatakan secara gamblang bahwa perbuatan murtad pelaku

perkawinan dapat diputuskan secara tegas.

Peraturan dalam pasal KHI ini seharusnya lebih mendekati fiqh,

karena peraturan yang ada setiap pasalnya mengadopsi hukumu Islam.

Terlebih KHI diperuntukan bagi seluruh masyarakat Indonesia yang

beragama Islam, akan tetapi hal ini yang justru berdampak sangat luas akibat

perbuatan murtad dalam perkawinannya tidak diatur secara rinci.

3. Bagaimana upaya penyelesaian pernikahan karena salah satu pasangan

murtad dalam fiqh dan Undang-undang perkawinan di Indonesia.

Dalam fiqh perbuatan murtad dalam perkawinan mengakibatkan batal,

dan dalam pembatalannya putus dengan sendirinya tanpa melalui putusan di

pengadilan. Pandangang imam mazhab Hanafi dan Maliki sam berpendapat

bahwa perbuatan murtad dapat membatalkan perkawinannya seketika itu juga

dan putusan pembatalan dengan talak ba‟in. Sedangkan mazhab Syafi‟i dan

Hanbali sama berpendapat bahwa perbuatan murtad putus seketika sebelum

dukhul, tetapi apabila sesudah dukhul maka ditunggu hingga masa iddah,

142
apabila suami kembali masuk Islam maka perkawinan tersebut utuh dan

sebaliknya.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tidak

dapat dijadikan sebuah rujukan sebagai hukum pengatur perbuatan murtad.

Pembatalan perkawinan di Indonesia harus dilakukan di Pengadilan Agama

bagi yang muslim dan Pengadilan Negeri bagi non muslim. Jika teori ini

terjadi dalam masyarakat dapat diajukan ketugas yang berwenang agar diadili

sesuai keputusan hakim yang lebih menguasai hukum perkawinan Islam di

Indonesia.

B. Saran

Setelah menguraikan kitab-kitab fiqh mazhab dengan Undang-undang No.

1 Tahun 1974 dan Kompilasi hukum Islam dalam penelitian ini pada bab-bab

sebelumnya, penulis ingin memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Departemen Agama

Indonesia sebagai negara hukum seharusnya mampu membuat

peraturan yang jelas tentang hukum perkawinan Islam, kejelasan mengenai

peraturan tersebut adalah pelaku murtad dalam status perkawinannya, karena

bila ditinjau dari fiqh perkawinan tersebut sudah batal atau putus. Apabila

tidak ada pembatalan dalam perkawinan ini, maka dikhawatirkan akan

berbuat zina, sebab pernikahan mereka sudah tidak sah menurut agama Islam,

padahal hukum perkawinan tersebut juga digunakan bagi masyarakat muslim

di Indonesia. Sebab teori-teori ini penulis gunakan sebagai penelitian yang

143
mampu memberikan kontribusi terhadap hukum perkawinan Islam di

Indonesia.

Melalui penulisan ini pemerintah Indonesia diharapkan meninjau

kembali, merivisi, dan mengamandemen Undang-undang No. 1 Tahun 1974

serta Kompilasi Hukum Islam mengenai pembatalan perkawinan terhadap

perbuatan murtad dalam status perkawinannya. Penulis perlu menggaris

bawahi bahwa apabila dalam teori ini terjadi di dalam kehidupan masyarakat

Indonesia, kemudian kasus tersebut tidak diputuskan sampai mempunyai

anak, maka pemerintahlah yang harus bertanggung jawab terhadap kasus

tersbut, sebab peraturan ini sangat dibutuhkan demi keluarga Islam Indonesia,

dan menyangkut masyarakat banyak umat muslim di Indonesia.

2. Masyarakat Umum

Indonesia adalah negara hukum, setiap warga Indonesia diharuskan

taat kepada hukum Negara dan agama. apabila terjadi pelanggaran suatu

hukum maka diharapkan melaporkan kepada pihak yang berwenang, supaya

hukum dapat berjalan dengan baik dan berkeadilan. Sesuai dengan teori-teori

ini penulis mengingatkan terhadap pasangan suami istri yang sedang

mengalami teori-teori diatas dapat melakukan terlebih dahulu dengan

mengingatkan masing-masing pasangannya, dengan belajar ilmu-ilmu agama

dan memperkuat iman melalui ibadah, sehingga senantiasa keluarga yang

seperti itu akan tercipta keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah.

Pada dasarnya dengan bekal ilmu agama dan semakin mendekatkan

diri bersama-sama dalam keluarga, dengan begitu pasangan suami istri

144
(pasutri) dapat melakukan tujuan perkawinan yang bahagia dunia akhirat. Jika

sebaliknya dalam teori-teori ini terjadi dalam masyarakat dengan kasus

dangkalnya agama membuat salah satu murtad dari pihak suami atau istri

bahkan keduanya murtad.

Penulis juga memberikan saran supaya pasutri dari salah satu pihak

yang murtad supaya dinasehati dan diberikan pengarahan terhadap perbuatan

tersebut dapat membatalkan perkawinannya, serta dampak di dunia maupun

akhirat. Apabila pengarahan tersebut tidak dihiraukan maka garis keturanan

keatas dapat melaporkan atau mengajukannya ke pengadilan yang berwenang,

supaya pihak yang berwajib dapat mengadili dan melakukan mediasi atas

perbuatan murtad tersebut.

Penulis mengharapkan kemakluman banyaknya kekurangan dalam

teori-teori penelitian ini, dalam setiap penelitian pasti ada kekurangan dan

kelebihannya. Namun banyaknya rintangan dalam mencari referensi-referensi

yang sulit didapatkan, penulis berterima kasih kepada pihak yang membantu

dalam mencarikan referensi-referensi yang diinginkan, karena atas

bantuannya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian ini sesuai

dengan harapan.

Banyaknya kekurangan dalam penulisan ini, maka atas kesadaran

penulis menginginkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca,

demi menyempurnakan teori-teori dalam penulisan ini.

145
DAFTAR PUSTAKA

„Abd Allah, Muwaffaq al-Din Abu Muhammad b. Ahmad b. Muhammad b.


Qudamah al-Maqdisi al-Jamma„ili al-Dimashqi al-Salihi al-Hanbali (541-
620 H.) (Tahqiq: „Abd Allah b. „Abd al-Muhsin al-Turki dan„Abd al-
Fattah Muhammad al-Hilw). 1997. al-Mughni. Riyad: Dar„Alam al-Kutub.
Abiddin dan Aminuddin. 1999. FIQIH MUNAKAHAT II. Bandung: CV
PUSTAKA SETIA.
Al Jabry, Abdul Mutaal Muhammad. 1988. PERKAWINAN CAMPURAN
Menurut Pandangan Islam.Jakarta: PT Bulan Bintang.
Ali, Muhammad Daud. 1-10 Februari 1992. “Perkawinan Campuaran” dalam
majalah Panji Masyarakat, No.709. hal. 20.
Ali, Muhammad Daud. Maret 1982. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Indonesia, dalam Pembangunan no 2 Tahun ke XII. hal. 101.

Ali, Zainuddin. 2007. HUKUM PIDANA ISLAM. Jakarta: Sinar Grafika.

Al-Imam „Ala‟ al-Din Abu Bakr bin Mas„ud al-Kasani al-Hanafi. 1986. Bada‟i„
al-Sana‟i„. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah.

Al-Maktabah al-Shamilah, al-Isdar al-Thani, Kitab al-Umm.

Al-Shirazi, Abu Ishaq (Tahqiq: Muhammad al-Zuhayli). 1996. al-Muhazhzhab fi


Fiqh al-Imam al-Shafi„i. Damaskus/Beirut: Dar al-Qalam/al-Dar al-
Shamiyyah.
Amak FZ. 1976. "Proses Undang-Undang Perkawinan." Bandung : PT. Al-
Maarif.
Amanat Presiden No. R.02/P.U/VII/1973 tanggal 31 Juli 1973 perihal RUU
tentang perkawinan.
Amrullah Ahmad SF dkk. 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, Jakarta: Gema Insani Press.
As Shiddieqy, Hasby. Hukum Antar Golongan: Dalam Hukum Fiqh Islam. Bulan
bintang.

As-Subki, Ali Yusuf. 2010. Fiqh Keluarga. Jakarta: AMZAH.

Azzam & Hawwas. 2009. Fiqh Munakahat. Jakarta: AMZAH.

Bakry, Hasbullah. 1970. Pengaturan Undang-undang Perkawinan Ummat Islam.


Jakarta : Bulan Bintang.

146
Basyir, Ahmad Azhar. 1996b. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press.
Basyir, Ahmad Azhar. 2000a. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji.
2002. Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, Direktorat Urusan
Agama Islam, Jakarta: Departemen Agama RI.
Draf RUU Perkawinan versi Pemerintah, Tahun 1973.

Hamka. 1976. Sejarah Umat Islam Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang.

Humaidhy. 1992. Kawin Campur dalam Syari‟at Islam. Jakarta: PUSTAKA AL


KAUTSAR.
Jafizham, T. 1977. Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan
Islam, Medan : Mestika.
Ka‟bah, Rifyal. 2004. Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta : Khairul
Bayan.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1991. Kaidah-kaidah Hukum Islam: (Ilmu Ushul Fiqh).
Jakarta: Rajawali Pers.
Khummaini, Muhammad Yusuf. 2013. Nikah dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam.
Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i. 2007. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarkata:
Safira Inania Press.
Manan, Abdul. 2012. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta
: Kencana.
Mawarti Djoned Poesponegoro dkk. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III,
Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan.
Muhammad, „Ali Jum„ah. al-Madkhal ila Dirasah al-Madhahib al-Fiqhiyyah.
Muhammad, Abu bin „Abd Allah bin „Abd al-Rahman Abu Zayd al-Qayrawani.
1999. al-Nawadir wa al-Ziyadat „ala Ma fi al-Mudawwanah min ghayriha
min al-Ummahat. Beirut: Dar al-Gharb al-Islami.
Muhammad, Ali Jum„ah. 2007. al-Madkhal ila Dirasah al-Madhahib al-
Fiqhiyyah. Kairo: Dar al-Salam.
Muhammad, Ali Jum„ah. al-Madkhal ila Dirasah al-Madhahib al-Fiqhiyyah.
Muhammad, Al-Imam al-Hafidh Abu „Abd Allah bin al-Hasan Al-Saibani. 2006.
Kitab al-Athar: Tahqiq dan ta„liq. Kairo: Dar al-Salam.

147
Muhammad, Muwaffaq al-Din Abu b. „Abd Allah b. Ahmad b. Muhammad b.
Qudamah al-Maqdisi (541-620 H.) Tahqiq: „Abd Allah b. „Abd al-Muhsin
al-Turki. al-Muqni„. Gizah: Hjr li al-Tiba„ah wa al-Nashr wa al-Tawzi„
wa al-I„lan. Dicetak bersama: al-Muqni„, al-Sharh al-Kabir dan al-Insaf.

Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarat: Sinar Grafika.

Noor, Deliar. 1983. Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta : Rajawali.

Nuruddin, Amiur & Tarigan, Azhari Akmal. 2006. HUKUM PERDATA ISLAM
DI INDONESIA: STUDI KRITIS PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
DARI FIKIH, UU NO. 1/1974 SAMPAI KHI.Jakarta: Kencana
Prins, J. Hukum Perkawinan Di Indonesia, Terjemahan oleh G.A. Ticoalu. 1982.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Projohamidjojo, Martiman. 2002. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Center
Publishing.
Raharjo, Sajtipto. 1979. Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni.

Rasjadi, H.M. 1974. Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan
Kristen, Jakarta : Bulan Bintang.

Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Rofik, Ahmad. 2006. “Hukum Islam di Indonesia”, Jakarta: PT. Raja Grafindo.
RUU Perkawinan Yang Menggoncangkan. Artikel. Media Dakwah, Jakarta.tt.

Sabiq, Sayyid. 2009. Fikih Sunnah 4. Jakarta: Cakrawala Publishing.

Sahnun, al-Imam bin Sa„id al-Tanuji „an al-Imam „Abd al-Rahman bin Qasim.
1994. al-Mudawwanah al-Kubra. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah.
Saifullah, Arifin, & Izzuddin. 2005. Hukum Islam Solusi Permasalahan Keluarga.
Yogyakarta: UII Press.
Siddik, Abdullah. 1986. HUKUM PERKAWINAN ISLAM. Jakarta: Tintamas.
Sosroatmodjo & Aulawi. 1975a. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan
Bintang.
Sosroatmodjo & Aulawi. 1978b. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan
Bintang.
Suara Institut." Harian Kami. Jakarta, 28 Agustus 1973 .

148
Subadyo, Maria Ulfah. 1981. Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang
Perkawinan, Jakarta: Yayasan Idayu.
Subekti. 1987. “Pokok-Pokok Hukum Perdata” .Jakarta: PT. Intermasa.

Summa, Muhammad Amin. 2004. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam.Jakarta:


PT Raja Grafindo Persada.
Supriadi, Wila Chandrawila. 2002. Hukum Perkawinan Indonesia Dan
Belanda, Mandar Maju, Bandung.
Suwondo, Nani. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992.
Syahuri, Taufiqurrahman. 2013. Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia,
Jakarta : Kencana.

Tajuk Rencana Kompas, 17 Desember 1973.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perkawinan


dan Kompilasi Hukum Islam. 2011. Bandung : Citra Umbara.
www.vivanews. com. anak hasil zina harus dipertanggung jawabkan diakses
Jum‟at 17 Pebruari2012, 11.10 WIB
Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta:
Logo Wacana Ilmu.

149
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi
Nama : Choerul Umam
Tempat/Tanggal Lahir : Semarang, 31 Agustus 1989
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Lingk. Merakrejo RT O2 RW 08 Kel. Harjosari,
Kec. Bawen, Kab. Semarang.
Nomor Telepon : +62-899-0755 797
Email : choenana@gmail.com
Riwayat Pendidikan : SD Al Husain
SMPN 1 Bawen
SMA Islam Sudirman Ambarawa

Data Orang Tua


Nama Ayah : Mulyadi
Tempat/Tanggal Lahir : Boyolali, 20 Februari 1965
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Nama Ibu : Sumiyanah
Tempat/Tanggal Lahir : Boyolali, 02 Oktober 1962
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Lingk. Merakrejo RT O2 RW 08 Kel. Harjosari,
Kec. Bawen, Kab. Semarang.

150
151

Anda mungkin juga menyukai