Anda di halaman 1dari 82

PENGATURAN SKOR (MATCH FIXING) SEPAK BOLA INDONESIA

PERSPEKTIF HUKUM PIDANA POSITIF DAN


HUKUM PIDANA ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh


Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

MOCH. ANDI APRIYANTO


NIM : 11150450000032

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/ 2020
ABSTRAK

Mochamad Andi Apriyanto (11150450000032) “Pengaturan Skor


(Match Fixing) Sepak Bola Indonesia Perspektif Hukum Pidana Positif dan
Hukum Pidana Islam”. Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah), Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun
2020 M/1440 H.
Pembahasan utama dalam skripsi ini yaitu terkait pelanggaran pengaturan
skor yang terjadi dalam dunia sepak bola Indonesia. Menurut informasi terjadi
beberapa kasus pengaturan skor yang lolos dari jeratan hukum pidana. Tujuan dari
skripsi ini yaitu untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana faktor penyebab
perbuatan pengaturan skor di Indonesia, bagaimana penegakan hukum perbuatan
pengaturan skor dalam hukum Pidana Positif dan hukum Pidana Islam, dan
bagaimana penerapan sanksi bagi pelaku pengaturan skor sepak bola di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan
dengan metode kepustakaan dengan cara melakukan identifikasi secara sistematis
dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-
buku, dan sumber literasi lainya. Selain itu, penulis juga menggunakan cara
wawancara kepada peneliti olahraga dan akademisi Hukum Islam, sebagai data
tambahan untuk menganalisis objek kajian.
Hasil dari penelitian menunjukan bahwa perbuatan pengaturan skor (match
fixing) dalam hukum nasional berlaku UU Nomor 11 tahun 1980 tentang Tindak
Pidana Pengaturan Skor. Sehingga instrumen hukum pidana sebagai ultimum
remidium patut diterapkan dalam perbuatan pengaturan skor dengan ancaman
pidana penjara dan denda. Sedangakan, dalam hukum pidana islam, pengaturan
skor ini disamakan dengan perbuatan risywah, sehingga pengaturan skor dapat
dikategorikan jarimah ta’zir dengan berat atau ringanya sanksi ditentukan oleh
negara.

Kata Kunci : Pengaturan skor (match Fixing), Suap, Sepak bola


Pembimbing : 1. Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.
2. Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum.
KATA PENGANTAR

‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬


Segala puji bagi Allah dan syukur kehadirat Allah SWT. Penulis panjatkan
atas rahmat dan karunianya yang telah diberikan kepada penulis. Sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tidak lupa shalawat serta salam tetap
tercurahkan kepada Makhluk Istimewa yakni Nabi Muhamad SAW. Yang telah
membawakan cahaya kesempurnaan akhlak bagi umat manusia.
Skripsi yang berjudul “Pengaturan Skor (Match Fixing) Sepak Bola
Indonesia Perspektif Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam”
penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan mencapai gelar
sarjana Hukum (S.H) pada program studi Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan kerendahan hati, penulis bahwa tidak akan sanggup melewati segala
hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya penulisan skripsi ini, tanpa
adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karenanya dalam
kesempatan yang berharga ini perkenankan penulis untuk menyampaikan rasa
terima kasih yang tulus kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MA., M.H. Selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Qosim Arsadani, M.A. ketua Program Studi Hukum Pidana Islam dan
Mujibaturohmah S.H M.H, sekretaris Program Studi Hukum Pidana Islam.
Terima Kasih atas arahan dan bimbingan dalam keperluan akademik
maupun sosial
3. Prof. Abduh Abdul Malik selaku furu Besar UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Eko Noer Kristianto dari Badan Penelitian KEMENKUM HAM
RI, terima kasih atas kesempatanya untuk berdiskusi dalam memberikan
pandangan dan gagasanya dalam penelitian ini.
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang ikhlas memberikan
segala ilmu dan pengetahuan selama proses studi yang menjadi pengaruh
yang sangat berarti bagi perkembangan pemikiran dan wawasan penulis.

v
5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakartaatas pelayananan dalam menyediakan referensi buku-bukunya
6. Orang tua Penulis, Ayahanda Khaliri (Alm), meskipun tidak bisa menjadi
teman penulis sampai sedewasa ini, namun selama usianya telah mewarisi
segala keteladananya dan berhasil memberikan pendidikan bagaimana
hidup dan berteman dengan baik, dan Ibunda Khayatun, yang telah ikhlas
mendoakan dan memperjuangkan pendidikan penulis sampai di fase
sekarang ini, penuis haturkan terima kasih setulus-tulusnya.
7. Kepada Adik penulis Iqbal Maulana, Putri Natasya Rahmawati, dan Fidyan
Amali yang selalu mendoakan kesuksesan penulis. Semoga kita semua
menjadi anak yang selalu berbakti kepada orang tua dan senantiasa
membahagiakannya.
8. Kepada Sahabat– Sahabat Perjuangan Riza Priyadi, S.H., Mardani, Fahmi
Azis, S.H., Achmad Mansyur, S.H., Hariz Rizwan, S.H., Burhanudin, yang
memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
9. Kepada teman-teman jurusan Hukum Pidana Islam angkatan 2015
terimakasih atas bantuan, doa serta dukungan untuk penulis, terimakasih
atas kebersamaan dan waktu yang telah kita alami bersama di masa
perkuliahan, semoga di masa yang akan datang kita dapat meraih apa yang
kita harapkan.
10. Kepada Kanda-kanda LKB HMI, Dir. Onggi Sigma Utara, Syukrian, Fachru
Hamami, Hariri Lubis, dkk yang telah memberikan banyak pengetahuan.
11. Kepada kanda dan yunda seluruh anggota organisasi penulis yaitu
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat Fakultas Syari’ah dan
Hukum terutama Ketua Umum Khairan Abdul Mahmud, Onggi Sigma
Utara, Bachtiar Arkan, Sofia Azmi, Ayu widyawati, Syifa Ulkhair yang
telah bersama berproses untuk menjadi insan akademis, pengabdi, pencipta
yang diridhoi Allah SWT.
12. Kepada Keluarga Besar Paguyuban Beasiswa Karya Salemba Empat yang
sudah memberikan kesadaran akan sharing, networking, Developting.

vi
13. Kepada rekan FLAT UIN Jakarta terkhusus angkatan Shinjou dan ketum
Ilsyar Ridwan dan pasangan Heryanti Dewi S. MAT yang telah memimpin
dan belajar bersama tentang kepedulian, tanggung jawab, dan kedisiplinan
sehingga menjadi bekal berharga penulis dalam berproses.
14. Kepada Rekan KKN Internasional Pendekar, Ahsansanti Bazlina, Rafif
Litsa Hanfah S. Si, Fahmi Fauzi Abdillah, Deni Rahmad Akbar, Rifqi Ibnu
Masy, Hafiz Pragitya, Hilwa Nadya Supendi, Nurin Amanilah, Robiatul
Adawiah S. Hum, Nuraini S.Kom, L Ristu Satria Gunawan S. Hum, yang
menjadi keluarga saat berada di tanah orang.
15. Kepada pengurus Ikatan Mahasiswa Tegal Ciputat terkhusus Badan
pengurus Harian, Syifa Ardiansyah, Alif Nova Anugrah Pratama, Nur
Anisa, Rizqi Nur Falah, Sisti Damayanti, beserta Jajaran Pengurus yang
sedang berjuang mengabdikan diri dan berkarya di IMT Ciputat.
16. Kepada Stake Holder IMT Ciputat 2017/2018, Roza Arsita, Puji Wahyu
Astuti, Hamdan Khakiki S.H, Fadhilatur Rosyida, Dede Hidayatullah, yang
setia bermain bersama, momong dan membimbing adek-adek di IMT
Ciputat.
17. Kepada rekan IMT 2015, Riza Priyadi S.H, Wildan Ahdian, Fiqi Syafaati,
Khumaedi, Zaeza Affanien, Trini Diyani, dan lainya yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu
18. Kepada Kawan beskem IMT Ciputat, Robi Chul Baiz, Zain Al Maarif, Tomi
Fadzilah, Abduloh Mubarok, M. Umar Idrus Dede Hidayatullah, yang selalu
bersedia berbagi sandang dan pangan.
19. Kepada rekan Civitas politika, Moh. Zidni Hilma Hazmy, M. Tofik Umar,
M. Fikri Abdilah, M. Lutfi, Zidna Aenul, Ustufia Risqi, Sisti Damayanti,
Tuhfatul Mila, Naelatul Manziah, Selitusyifa, Nur Faiqoh, Izzul, dkk. yang
selalu berbagi kopi dan pengetahuan.
20. Kepada rekan Rekan Gemblong, Eka Nur Afiati, Elok Maulidah, Rizqi Nur
Falah, Isnaeni Nur Falah, M. Ali Mustofa, Alif Nova, Agam Alfiansyah,
Nurlaela Dkk.vyang selalu ngangeni.

vii
21. Kepada rekan baru IMT, Anam, Apip, Ilham, Malik, faris, Zila, Lutfi,
sukma, Iis, citra, Ica, Muafik dan teman lainya yang selalu semangat
mengikuti kegiatan di IMT.
22. Kepada rekan FORSADA, M. Nur Tamamuniam, Ulli Fahmi, Ade Lutfi
Anugrah Aji, Handito, Zamzami, Mukhlisin, Muji, Firman Sidqi yang selalu
menguatkan penulis untuk selalu taaluk pada pesantren.
23. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam kelancaran penyusunan
skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya tiada untaian kata yang berharga selain ucapan


Alhamdulillahirabbil ‘Alamiin. Besar harapan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya,
Aamiin. Sekian dan terimakasih.

Jakarta, 1 Januari 2020 M

Moch. Andi Apriyanto

viii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................. i


BAB I PENDAHUAN
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Identifikasi,Pembatasan dan Rumusan Masalah ........................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 7
D. Review Studi Terdahulu ............................................................. 8
E. Metode Penelitian....................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan .............................................................. 11
BAB II RUMUSAN TINDAK PIDANA DAN GRAFITASI
A. Konsep Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana ................................................. 13
2. Pengertian Tindak Pidana Perspektif Hukum Pidana
Islam ................................................................................... 16
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana............................................... 16
4. Unsur-Unsur Tindak Pidana Perspektif Hukum Pidana Islam
............................................................................................ 18
5. Jenis-Jenis Tindak Pidana .................................................. 18
6. Jenis-Jenis Tindak Pidana Perspektif Hukum Pidana Islam
.................................................................................................. 20
B. Gratifikasi Perspektif Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana
Islam
1. Pengertian Gratifikasi................................................... 22
2. Pengertian Gratifikasi Perspektif Hukum Pidana Islam
...................................................................................... 23
3. Sanksi Gratifikasi ......................................................... 24
C. Suap Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Suap ............................................................ 26
2. Pengertian Suap Perspektif Hukum Pidana Islam ........ 28

ix
BAB III Pengaturan Skor (Match Fixing) Sepak Bola Indonesia
A. Pengertian Pengaturan Skor (Match Fixing) .......................... 30
B. Modus Operandi Pengaturan Skor (match Fixing) ................ 35
C. Ketentuan Pidana Pengaturan Skor (Match Fixing)............... 38
BAB IV Penegakan Hukum Pengaturan Skor (Match Fixing) Sepak
Bola Indonesia Perspektif Hukum Pidana Positif dan
Hukum Pidana Islam
A. Pengaturan Skor Sepak Bola Indonesia .................................. 43
B. Penegakan Hukum Pengaturan Skor Sepak Bola Indoneisa
dalam Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam
1. Penegakan Hukum Pengaturan Skor ............................ 48
2. Kebijakan (Criminal Policy) Pemerintah ..................... 51
3. Mazhab sport law ......................................................... 53
4. Penyelesaian Perkara Pengaturan Skor (Match fixing)
Sepak Bola Indonesia Via ketentuan Hukum Pidana ... 56
5. Pengaturan Skor (Match fixing) perspektif Hukum
Pidana islam ................................................................. 59
C. Penerapan Sanksi terhadap pelaku Pelanggaran Pengaturan Skor
(Fixer) Dalam hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam
.................................................................................................. 61
BAB V Penutup
A. Kesimpulan .............................................................................. 65
B. Rekomendasi............................. ............................................... 65

x
1

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Banyak sekali pemberitaan yang timbul mengenai korupsi, dari tahun


ke tahun sejak tahun lima puluhan.1Sejarah korupsi bermula sejak awal
kehidupan bermasyarakat, yaitu pada saat organisasi masyarakat yang rumit
mulai muncul, manusia direpotkan oleh gejala korupsi paling tidak ribuan
tahun. Intensitas korupsi berbeda-beda pada waktu dan tempat yang berlainan
seperti gejala masyarakat lainya, korupsi ditentukan oleh beberapa faktor.
Catatan kuno tentang masalah ini menunjuk pada penyuapan para hakim dan
tingkah laku para pejabat pemerintah. Dalam sejarah Mesir, Babilonia,
Ibranim, India, China, Yunani dan Romawi kuno, korupsi seringkali muncul
kepermukaan sebagai masalah. Hammurabi dari Babilonia, yang naik tahta
pada tahun 1200 SM memerintahkan kepada seorang gubernur provinsi untuk
menyelidiki satu perkara penyuapan.2
Ibarat penyakit, korupsi di Indonesi telah berkembang dalam tiga tahap,
yaitu elitis, endemik, dan sistemik. Tahap yang paling kritis, ketika korupsi
menjadi sitemik setiap individu dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa.
Boleh jadi korupsi di bangsa ini telah sampai pada tahap sistemik.3 Bahkan,
disebutkan dalam media Kompas yang terbit 18 Februari 2019. Dituliskan
“Rasuah Adipati Brang Wetan” menjelaskan, praktik korup ternyata sudah ada
sejak berabad-abad silam. Pada zaman kerajaan mataram korupsi dilakukan
oleh petugas pajak yang menggelembungkan pungutan pajak pada masyarakat,
jelas ini menyengsarakan rakyat.4

1
Andi Hamzah, pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan
International, (jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. Ke , 2008) h. VII
2
Syed Husen Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, (Jakarta: LP3S, 1987), h. 1
3
Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberanta Korupsi),
(Balikpapan: Sinar Grafika, Edisi ke-2, 2008) h. 12
4
Kompas, Rusuah para “Adi Pati Brang Wetan”, Senin, 18 Februaru 2019
Korupsi dewasa ini sedang menjadi perhatian khusus pemerintah
Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang giat-giatnya dalam
mengungkap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, baik
kalangan eksekutif, yudikatif, legislatif maupun politisi. Korupsi merupakan
penyakit yang membebani negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Bahkan, banyak ahli menyatakan bahwa penyakit korupsi telah melebar ke
segala lapisan dalam struktur pemerintah.

Sedangkan menurut pandangan Islam, Sayyed Hussain Alatas salah


satu sebab musabab korupsi ialah bertambahnya pegawai negeri dengan cepat,
dengan akibat gaji mereka menjadi sangat kurang. Hal ini selanjutnya
mengakibatkan perlunya penghasilan tambahan. Dengan bertambahnya
pegawai negeri bertambah pula luasnya kekuasaan dan kesempatan birokrasi,
dibarengi lemahnya pengawasan dari atas dan pengaruh partai politik,
menyediakaan tanah subur bagi korupsi.5

Dengan demikian, gratifikasi sama dengan suap yang dalam bahasa


Arab disebut risywah. Secara etimologis, kata risywah berasal dari kata kerja
rasya-yarsyu dengan bentuk masdar, yaitu risywah, atau Ruswah yang berarti
al-Ja’lu (upah, hadiah, komisi, atau suap). Ibnu Manzhur juga mengungkapkan
penjelasan Abu Al-Abbas bahwa kata Risywah dibentuk dari kalimat rasya al-
farkh yang artinya anak burung merengek-rengek ketika mengangkat kepala
induknya untuk disuapi. 6

Perkembangan zaman, ternyata juga diikuti dengan perkembangan


kejahatan. Tindak pidana korupsi berkembang menjadi beberapa modus
pelaksanaanya. Dalam buku lakpesdam Tindak pidana korupsi menjadi tujuh
bagian.7

5
Syed Husen Alatas, Korpsi, sifat, sebab dan fungsi, Hal viii
6
M. Nurul Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual, dalam Hukum Pidana Islam
(Jakarta: Amzah, 2014) h. 10
7
Tim Lakpesdam, Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi, (Jakarta: Lakpesdam
PBNU, Cet. 3, 2017) h. 12

2
a. Merugikan Keuangan Negara
b. Suap menyuap
c. Penggelapan dalam jabatan
d. Pemerasan
e. Perbuatan curang
f. Penggelapan dalam jabatan
g. Gratifikasi
Tidak hanya pada sektor pemerintahan, kini korupsi juga menular pada
sektor olahraga sepakbola. Sepakbola yang mulanya hanya untuk kompetisi dan
rekreasi kini dijadikan mafia korupsi melancarkan tindakanya. Dalam sepakbola
terdapat beberapa modus kecurangan seperti, pemakaian doping, pemalsuan umur
pemain, dan pengaturan skor (match fixing). Indonesia juga salah satu negara yang
terkena dampak dari kasus pengaturan skor. Salah satu contoh, akhir tahun 2018
masyarakat diramaikan oleh acara “Mata Najwa” yang membedah tema “PSSI
Bisa apa?’. Di salah satu segmen terdapat pengakuan secara terang-terangan
menyebutkan Vigit Waluyo, pemilik Delta Sidoarjo sebagai mafia sepakbola
Indonesia (aktor pengaturan Skor).

Motivasi dari pelaku pengaturan skor ini dapat dikategorikan dalam 2 tipe
yaitu mencari keuntungan ekonomi secara langsung dan tidak langsung. Mencari
keuntungan secara langsung biasanya dilakukan oleh pelaku yang terlibat aktivitas
perjudian. Di beberapa negara, para pelaku pengaturan memperoleh keuntungan
secara langsung karena hasil akhir yang sudah ditebak. Sedangkan mencari
keuntungan secara langsung dilakukan oleh pelaku olahraga itu sendiri.
Tujuannya adalah agar suatu tim dapat memenangkan pertandingan atau
kompetisi, tidak terdegradasi dari kompetisi atau mendapat kesempatan promosi
ke kasta kompetisi yang lebih tinggi. Jika suatu tim dapat bertahan tidak
terdegradasi dari suatu kompetisi atau dapat menjuarai kompetisi maka akan
berdampak pada keuangan tim tersebut.8

8
http://ec.europa.eu/assets/eac/sport/library/studies/study-sports-fraud-final-
version_en.pdf dikunjungi pada 21 Mei 2019

3
Sedangkan menurut Eko Kristiyanto Motif utama pengaturan skor adalah
uang, sindikat judi bermodal besar berani membuat skenario terkait suatu hasil
pertandingan karena mereka memiliki banyak uang untuk bermain dibanyak titik.
Namun yang perlu dipahami adalah bahwa selama tak memenuhi unsur-unsur
tertentu yang diatur secara pidana maka suatu pengaturan skor yang motifnya
bukan uang tetapi murni strategi untuk menghindari/memilih lawan dan
sebagainya. Kejelasan motif menjadi sangat penting dalam pengusutan
pengaturan skor, karena sepanjang tak memenuhi unsur delik pidana maka urusan
sanksi hanya sebatas ada ditangan Komisi Disiplin (Komdis), Komisi anding
(Komding) dan komisi etik PSSI. Begitupun sebaliknya, ketika proses
penyelidikan dan penyidikan menemukan fakta lain yang melibatkan pihak diluar
sepakbola maka federasi tak dapat menjangkaunya dan harus menggandeng aparat
hukum (Baca:Negara) untuk memberantasnya. 9

Seperti keterangan diatas, bahwa sindikat judi adalah peran utama dalam
tindak pidana ini, yang jelas pelaku menitikberatkan pada keuntungan finansial.
Namun, fakta lain ditemukan berbeda, bahwa pengaturan skor juga dilakukan
untuk meloloskan tim semata. Beberapa kasus dugaan pegaturan skor terjadi pada
pertandingan Madura FC melawan PSS Sleman di Pentas Liga 2 2018. Manajer
Madura FC, januar Herwanto, mendapat telepon dari salah satu oknum yang
mengaku anggota Komite Eksekutif PSSI bernama Hidayat. Skenarionya Madura
diminta mengalah dari PSS Sleman, namun hal itu ditolak Januar, meski pada
akhirnya Madura FC tetap kalah 0-1 dari PSS Sleman.10

Tertangkapnya Johan Ibo saat mencoba untuk menyuap pemain pusmania


Borneo FC agar memenangkan Persebaya, seolah membuka tabir bagaimana
sepakbola Indonesia masih dibayang-bayangi atmosfer suap dan judi. Menurut
cerita dari manajer Borneo FC, Dahri Dauri, awlanya Johan Ibo mengirimkan
pesan pendek kepada tiga pemain Borneo FC. Ketiganya diminta untuk

9
Eko Noer Kristianto, pengaturan skor Sepak Bola dan Ketidakmampuan Penegak
Hukum, Rechvinding online, Jurnal Hukum nasional
10
https://www.bola.com/indonesia/read/3854906/3-skandal-match-fixing-yang-
menghebohkan-sepak-bola-indonesia, dibuka terakhir tanggal 21 Mei 2019

4
memenangkan Persebaya dalam laga QNB League 2015, Rabu (8/4) ini di stadion
Gelora Bung Tomo. Selasa (7/4) Johan Ibo juga mendatangi langsung tiga pemain
itu di hotel Inna Simpang. Dua dari tiga pemain yang coba disuap akhirnya
melapor ke manajemen. Lalu di rancanglah sebuah perangkap untuk memancing
pemain binaan pellita jaya tersebut. Pada malam itu Johan langsung dibawa ke
Mapolsek Gubeng. Saat diperjalanan menuju Mapolsek, Johan Mengakui
perbuatanya. 11

Namun kesokan harinya Johan Ibo diberitakan dibebaskan dari Mapolsek


Gubeng.12 Maka dari itu, Dalam teori hukum pluralis mengenal istilah sistem
hukum transnasional selain hukum nasional dan internasional. Sistem hukum
transnasional dijadikan pedoman oleh komunitas-komunitas di dunia ternyata
sesuai dengan sistem hukum olahraga yang diterapkan oleh federasi-federasi
olahraga Internasional untuk menjalankanya.13 Dalam hal ini, Indonesia patuh
terhadap aturan FIFA yang kemudian diatur oleh organisasi Persatuan Sepakbola
Indonesia (PSSI).

Otoritas negeri ini seakan menganggap pemecatan, skorsing dan sanksi-


sanksi administratif saja sudah cukup untuk menindak pelaku pengaturan skor,
padahal terkait suap menyuap sebenarnya diatur juga dalam KUHP (kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) dan yang lebih spesifik yaitu dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1980 Tentang Pidana Suap. Singkatnya dalam pasal 2
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kewenangan dan kewajiban” termasuk
kewenangan dan kewajiban yang ditentukan oleh kode etik profesi atau yang
ditentukan oleh organisasi masing-masing14.

11
https://www.bola.net/indonesia/terlibat-skandal-suap-ini-kronologis-penangkapan-
johan-ibo-29cb41.html dikunjungi tanggal 19 Juli 2019
12
https://www.merdeka.com/sepakbola/johan-ibo-dibebaskan-pusamania-borneo-fc-
kecewa.html diakses pada Tanggal 19 Juli 2019
13
Eko Noer Kristianto, peranan Hukum Nasional dalam Penyelenggaraan Kompetisi
Sepak Bola di Indonesia, Rechtvinding online, jurnal Hukum nasional
14
Eko Noer Kristianto, pengaturan skor Sepak Bola dan Ketidakmampuan Penegak
Hukum, Rechvinding online, Jurnal Hukum nasional

5
Pengaturan skor (Match Fixing) merupakan tindakan yang berbahaya bagi
kegiatan olahraga termasuk sepakbola, bahkan menurut Jacques Rogge, Presiden
International Olimpic Comitte (IOC) ”Doping affects one Individual athlete, but
the impact of match fixing the whole competion. It is much bigger”. Menurut
Rogge, pengaturan skor merupakan “penyakit kanker” dan berdampak lebih buruk
daripada penggunaan dopping.

Hal demikian sangat tidak diharapkan pada kompetisi sepakbola di


Indonesia. Undang-undang Nomor 11 tahun 1980 tentang suap untuk menjerat
pelaku pengaturan skor. Perkara hanya berhenti pada sanksi administrasi yang
diberlakukan PSSI. Maka dari itu penulis tertarik untuk menjadikan isu tindak
pidana pengaturan skor sebagai kajian Skrpsi dengan Judul;”Pengaturan Skor
(Match Fixing) Sepak BolaIndonesia Perspektif Hukum Pidana Positif dan
Hukum Pidana Islam”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan perumusan masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari uraian diatas, dapat didentifikasi permasalahan pada pelaksanaan UU


No. 11 Tahu 1980 tentang suap dalam kasus Pengaturan Skor:

a. Maraknya pemain judi dalam dunia sepakbola Indonesia


b. Peraturan Komisi Disiplin dan Komisi Banding Persatuan Sepakbola
Indonesia tidak mampu menindak pelaku Pengaturan skor yang bukan
anggota PSSI.
c. Perlu adanya pembaharuan peraturan perundang-undangan tentang suap
pihak swasta.
2. Pembatasan Masalah

Pembahasan tindak pidana korupsi dalam ranah hukum memiliki


dimensi yanag sangat luas, oleh karena itu pembahasan dibatasi yaitu mengkaji
gratifikasi/suap dalam bidang sepak bola Indonesia. Maka dari itu permasalahan
yang akan dibahas penulis membatasi pada pengkaijian mengenai bagaimana

6
fakor penyebab dan penegakan hukum tindakan pengaturan skor dalam konteks
hukum pidana Islam dan Hukum pidana positif.

3. Perumusan Masalah

Adapun masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Apa saja yang menjadi faktor-faktor penyebab tindakan pengaturan skor


sepakbola Indonesia?
b. Bagaimanakah penegakan Hukum pelanggaran pengaturan Skor dalam
Hukum Pidana Islam dan Pidana Positif?
C. Tujuan dan manfaat penelitian

Penelitian ini penulis bertujuan guna memperoleh gelar akademik


sarjana Hukum, selain itu penelitian ini juga memilikii tujuan, yaitu sebaagai
berikut:

1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan menjelaskan secara eksplisit peneyebab dan
faktor tindakan pengaturan skor sepak bola Indonesia
b. Untuk mengetahui dan menjelaskan penegakan hukum terhadap pelaku
tindakan pengaturan skor sepak bola Indonesia dalam hukum pidana
islam dan hukum pidana positif
2. Manfaat penelitian

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara


teoritis dan praktis bagi penegak hukum maupun masyarakat, manfaat
tersebut antara lain:

a. Sebagai media menambah wawasan dan ilmu pengetahuan


b. menjadi pelengkap penelitian-penelitian sebelumnya
c. menjadi salah satu yang menjadi sumbangan pengembangan hukum
khususnya hukum terkait tindakan pengaturan skor sepak bola Indonesia.
d. Menjadi bahan rujukan penelitian lanjutan berkaitan dengan tindakan
pengaturan skor sepak bola Indonesia

7
D. Review Studi Terdahulu

Penulisan skripsi ini, penulis mencoba melakukan tinjauan (Review)


studi terdahulu guna mengetahui kajian terhadap beberapa penelitian yang
pembahasanya hampir memiliki kesamaan dengan pembahasan dengan penulis
kaji, dalam hal ini penulis menemukan beberapa skripsi, diantaranya yaitu
sebagai berikut:

1. Skripsi karya Mochamad Reza Fahmianto, Mahasiswa Fakultas Hukum


Airlangga Surabaya tahun 2016, yang berjudul “Aspek Pidana Terkait
Pengaturan skor (Match Fixing) dalam pertandingan Sepakbola”,
Skirpsi ini membahas bagaimana kedudukan hukum tindakan pengaturan
skor sepak bola Indonesia sedangkan di skripsi saya membahas faktor dan
penegakan hukum pengaturan skor sepak bola Indonesia.
2. Jurnal karya Eko Noer Kristiyanto, Peneliti Hukum Olahraga di Badan
pembinaan Hukum Nasional-Kementrian ukum dan Ham RI tahun 2017,
yang berjudul “Aspek Pidana Terkait Pengaturan skor (Match Fixing)
dalam pertandingan Sepakbola”, jurnal ini membahas tentang aturan
yang berlaku untuk menindak pengaturan skor.
3. Jurnal karya Eko Noer Kristiyanto, Peneliti Hukum Olahraga di Badan
pembinaan Hukum Nasional-Kementrian ukum dan Ham RI tahun 2016,
yang berjudul “Pengaturan Skor Bola dan ketidakmampuan Penegak
hukum”, jurnal ini membahasa tentang keadaan proses penegakan hukum
tentang tindakan pengaturan skor sepak bola Indonesia.
4. Buku Alfero Setiawan, berjudul “Dasar-Dasar Pengaturan Skor Dalam
Sepak Bola:Posisi Hukum Pidana dan Statuta FIFA”, buku ini
membahas bagaimana kedudukan hukum sepakbola Indonesia dalam
hukum pidana dan statuta FIFA.

E. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode


penelitian kualitatif, dalam metode ini instrumentnya adalah human

8
instrumen.15 sehingga dalam skripsi ini penulis juga sebagai instrumen yang
menganalisis, memotret dan mengontruksi objek yang diteliti menjadi lebih
jelas dan bermakna. Maka metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan
sebahai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan normatif dengan
gabungan antara pendekatan perundang-undangan (statute aproach)
dan pendekatan kasus (case approach).16 Sehingga penulis melakukan
pendekatan fakta dengan mecari informasi kondisi sepak bola Indonesia
dalam hal ini pengetaruan skor kemudian mengaitkanya dengan UU
No. 11 Tahun 1980 tentang Suap.
2. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu
penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan perundang-
undangan dan pendekatan kasus.sehingga penulis mengaitkan antara
kondisi pengaturan skor sepak bola Indonesia dengan sumber hukum
primer berupa UU No. 11 Tahun 1980 Tentang Suap dan norma-norma
yang berlaku terhadap tindakan pengaturan skor sepak Indonesia.17
3. Sifat penelitian
Penelitian ini bersifat induktif artinya pengembangan konsep
atas data yang ada, mengikuti desain penelitian yang fleksibel sesuai
dengan konteksnya.18

15
Soejono Soekamto, pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1986), h. 5
16
Jonaedi efendi, Johny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Depok: Prenadamedia Grup, 2016),h. 131
17
Wawancara merupakan metode yang digunakan untuk mengumpulkan data atau
keterangan lisan dari seseorang yang disebut responden melalui suatu percakapan yang sistematis
danterorganisasi. (Lihat, metode penelitian sosial, Bandung: PT Refika Aditama, Cet. Ketiga.
2012) h. 312
18
Fahmi Muhamad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode penelitian Hukum, (Tangerang Selatan:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010) h. 59

9
4. Sumber dan Data penelitian
Sumber dan data yang digunakan penulis dalam skripsi ini yaitu
sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer penelitian ini diperoleh dari Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

b. Data Sekunder
Data Sekunder diperoleh dari wawancara kepada Eko Noer
Kristianto S.H., M.H Peneliti Olahraga Kemenkum HAM RI dan
Prof. Abduh Malik Mantan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan buku, koran, majalah, Jurnal, Maupun melalui media
Internet yang berkaitan dengan penelitian.
5. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini, dalam pengumpulan data penulis menggunakan
teknik penelaahan dokumentasi, dengan bentuk dokumentasi publik
seperti informasi yang tercantum dalam media masa, yaitu dengan
mendapatkan sumber data dari UU. No 11 Tahun 1980 Tentang suap
dan melakukan wawancara kepada Eko Noer Kristiyanto S.H., M.H
Peneliti Olahraga Kemenkum HAM RI dan Prof. Abduh, Malik mantan
Dosen Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan data pada skripsi ini menggunakan tipe analisis
utama/primer seringkali dikenal dengan analisis data primer (primery
analisys) yang merupakan anilisi asli yang dilakukan penulis yang
menghasilkan temuan tentang topik spesifik.19 Bahan-bahan yang sudah
dikumpulkan tersebut dianalisis dengan berpedoman pada metode
kualitatif, yaitu cara penelitian yang menghasilkan informasi deskriptif
analitis, dan terkumpul untuk kemudian menguraikan fakta yang telah

19
Fahmi Muhamad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode...,

10
ada dalam skripsi ini kemudian ditarik kesimpulan dan saran dengan
memanfaatkan cara berpikir deduktif.
Dari hasil penelitian Korupsi dari aspek hukum pidana positif dan
hukum pidana Islam, kemudian penulis menganalisis keterkaitan Pidana
Pengaturan skor dari kedua aspek hukum tersebut dengan mencari faktor
penyebab dan penegakan hukum tindakan pengaturan skor sepak bola
Indonesia yang disandingkan dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 1980
Tentang Tindak Pidana Suap.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan membantu untuk mempermudah memahami


isi dari penulisan skripsi tersebut. Dimana dalam sistematika penulisan
tersebut dari empat bab, yaitu:
BAB 1 PENDAHULUAN
Merupakan bab pendahuluan, didalamnya penulis mengurai
mengenai Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan
Masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Review Studi terdahulu
dan sistematika penulisan.
BAB II RUMUSAN TINDAK PIDANA GRATIFIKASI/SUAP
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai konsep tindak pidana
pada pengaturan skor, pertama yaitu Konsep tindak Pidana terdiri
dari; Pengertian Tindak pidana, pengertian tindak pidana perspektif
Hukum Pidana Islam, Unsur-unsur tindak pidana, unsur-unsur
tindak pidana perspektif hukum pidana islam, jenis tindak Pidana,
dan jenis tindak pidana perspektif hukum pidana islam. Yang kedua
yaitu mengenai gratifikasi dalamhukum pidana positif dan hukum
pidana islam, terdiri dari; pengertian gratifikasi, pengertian
gratifikasi menurut hukum pidana islam, dan sanksi gratifikasi, yang
ketiga yaitu Suap perspektif hukum pidana positif dan hukum pidana
islam yang terdiri dari; Pengertian suap dan pengertian suap presptif
hukum pidana islam.

11
BAB III PENGATURAN SKOR SEPAK BOLA DI INDONESIA
Pengertian pengaturan skor, Modus Operandi pengaturan skor dan
ketentuan pidana terkait pengaturan skor.
BAB IV PENEGAKAN HUKUM PENGATURAN SKOR SEPAK
BOLA INDONESIA PERSPEKTIF HUKUM PIDANA
POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
Pengaturan skor sepak bola di Indonesia, penegakan hukum
perbuatan pengaturan skor sepak bola Indonesia perspektif Hukum
Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam, dan penerapan sanksi
terhadap pelaku pengaturan skor dalam Hukum Pidana Positif dan
Hukum Pidana Islam.
BAB V PENUTUP
Merupakan akhir dari seluruh rangkaiam pembahasan dalam
penulisan Skripsi yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.

12
13

BAB II

RUMUSAN PIDANA DAN GRATIFIKASI


A. Konsep Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana atau dalam bahasa Belanda disebut Strafbaar feit


kadang-kadang juga disebut delict yang berasal dari bahasa Latin delictum.
Hukum pidana negar-negara Anglo-Saxon memakai istilah Offence atau
criminal act untuk maksud yang sama.20 Meskipun pembentuk undang-
undang Indonesia menggunakan perkataan Strafbaar feit untuk
menyebutnya apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan penjelasan
mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan strafbaar feit
tersebut.21

Penyebutan perbuatan pidana ada beberapa perbedaan pandangan,


dalam KUHP, misalnya, Menggunakan istilah stafbaar feit, meskipun
dalam penerjemahanya terdapat perbedaan pandangan. Roeslan Saleh dan
Moeljatno menggunakan perbuatan pidana, meskipun tidak untuk
menerjemahkan stafbaar feit. Utrech, menyalin istilah stafbaar feit menjadi
peristiwa pidana. Ternyata Utrech menerjemahkan secara harfiah feit
peristiwa. Sama dengan Utrech dalam UUD Sementara 1950 juga memakai
istilah peristiwa Pidana.22

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan


hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga
dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aliran

20
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana”, (Jakarta, Rineka Cipta, 2008) h. 94
21
Lamintang, Franciscus Laminating, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2014) h. 79
22
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana”, (Jakarta, Rineka Cipta, 2008) h. 94
hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada waktu itu diingat
bahwa larangan ditunjukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman
pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.23 Dalam
penulisan ini penulis menggunakan istilah “Tindak Pidana” karena akan
lebih umum dan mendukung tema penelitian penulis tentang pengaturan
skor.

Tindak pidana, dalam buku Dasar-Dasar Hukum Pidana Di


Indonesia, Drs. P.A.F lamintang S.H dan Fracisius Theojunior Lamintang
menuliskan bahwa terjadi perbedaan pendapat terkait apa sebenarnya yang
dimaksud dengan strafbaar feit.

Hezewinkel-Suringa misalnya, mereka telah membuat suatu


rumusan yang bersifat umum dari strafbaar feit sebagai ”suatu perilaku
manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan
hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh
hukum pidana dengan dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat
memaksa yang terdapat didalamnya.24

Menurut Pompe, Tindak pidana secara teoritis dapat dirumuskan


sebagai suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang
dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh pelaku, di mana
penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya
tertib hukum dan terjaminya kepentingan umum.25

Hal di atas semakin menegaskan bahwa di masyarakat umum


tentang pengertian tindak pidana memang sulit untuk dipahami. Sementara
dalam berbagai perundang-undangan sendiri digunakan berbagai istilah

23
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana”, (Jakarta, Rineka Cipta, 2009) h. 59
24
Lamintang, Franciscus Laminating, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, h. 180
25
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi (edisi kedua),(Jakarta, Sinar Grafika, 2008) Cet.
Ke 2, h. 6

14
untuk menunjukan pada pengertian kata Strafbarfeit. Istilah yang digunakan
dalam undang-undang tersebut antara lain:

a. Peristiwa Pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam undang-undang


Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 khususnya dalam pasal 14.
b. Perbuatan Pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara pengadilan-pengadilan sipil.
c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam
Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang perubahan
Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen.
d. Hal yang diancam dengan hukum. Istilah ini digunakan dalam undang-
undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang perselisihan peraturan
perubahan.
e. Tindak Pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang
misalnya:
a. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan
Umum.
b. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang pengusutan,
penuntutan, dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
c. Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1953 tentang Kewajiban Kerja
Bakti dalam rangka pemasyarakatan bagi terpidana karena
melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan.

Namun, menurut Tongat, penggunaan berbagai istilah tersebut pada


hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaanya disesuaikan
dengan konteksnya dan dipahami maknanya, karena itu dalam tulisanya
berbagai istilah tersebut digunakan secara bergantian, bahkan dalam
konteks yang lain juga disebutkan istilah kejahatan untuk menunjukan
maksud yang sama.26

26
Ismu Gunadi & Junaedi Efendi, Cepat dan mudah Memahai Hukum Pidana, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), h. 36

15
2. Pengertian Tindak Pidana perspektif Hukum Pidana Islam

Abdul Qodir Audah dalam kitab Al- Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami


memberikan definisi tentang tindak pidana (jarimah) , sebagai berikut:

‫تعريف الجرائم في الشريعة االءسالمية باءنها محظرات شرعية زجر هللا‬


‫ والمحظرات هي إما إتيان فعل منهي عنه أوترق مآموربه‬,‫عنها بحد أوتعزير‬
Artinya: “dalam syatiat islam, yang dimaksud dengan jarimah
adalah larangan-larangan syar’i yang diancam oleh Allah dengan hukuman
hudud atau takzir. Larangan-larangan ini ada kalanya berupa melakukan
larangan atau meninggalkan perintah”.27
Dalam istilah lain jarimah juga disebut dengan jinayah. Adapun
pengertian jinayah adalah sebagai berikut:

‫ سواء وقع الفعل على نفس أو مال أوغير‬،‫فالجنية إسم لفعل محرم شرعا‬
.‫ذلك‬

Artinya: jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang


oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainya.”28
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana atau
Jarimah menurut hukum pidana islam adalah melakukan setiap perbuatan
yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan, atau
melakukan dan meninggalkan perbuatan yang telah ditetapkan hukum islam
atas keharaman dan diancamkan hukuman terhadapnya.
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut Prof Moeljatno, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari


unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat
yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam
lahir (dunia). Disamping kelakuan dan akibat adanya perbuatan pidana,

27
Abdul Qodir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’I Fil-Islami Muqoronan Bi Al-Qonuni Al-Wad’i
Juz I, (Beirut: Al-Resalah, 1998), h. 66
28
Abdul Qodir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’I Fil-Islami Muqoronan Bi Al-Qonuni Al-
Wad’i,..), Juz 1, h. 67

16
biasanya diperlukan juga adanya hal ihwal atau keadaan tertentu yang
menyertai perbuatan.
Unsur perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut.29
a. Unsur Subjektif

Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang
berhubungan dengan diri pelaku termasuk yang terkandung dalam hatinya.
Unsur subjektif dari tindak pidana terdiri dari:

a. Kesengajaan atau kelalaian (Dolus atau Culpa);


b. Maksud dari suatu percobaan (Poging);
c. Macam-macam Maksud (Oogmerk;
d. Merencanakan terlebihh dahulu;
e. Perasaan takut;
b. Unsur Obyektif

Unsur obyektif adalah unsur yang ada hubunganya dengan


keadaan-keadaan ketika tindakan-tindakan dari pelaku itu dilakukan.
Unsur obyektif terdiri dari:
a. Sifat melawan hukum;
b. Kualitas dari pelaku;
c. Kualitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan suatu kenyataan sebagai akibat.30

Maka dari itu dalam setiap aturan pidana harus memenuhi unsur-unsur
yang telah disebutkan diatas. Apabila kita melihat ke dalam undang-undang,
maka kita akan mengetahui bahwa undang-undang sendiri telah memberikan
suatu penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan perkataan-perkataan

29
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: CV. Armico, 1984), Cet.
Ke-I, h. 184
30
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: CV. Armico, 1984), Cet.
Ke-I, h. 184

17
“maksud” (Oogemerk), “menguasai” (Zich Toeeigenen atau melawan hukum
(wederrechdelict).31
4. Unsur-unsur Tindak Pidana Perspektif Hukum Pidana Islam

Berbeda dengan Hukum pidana positif, dalam hukum Islam unsur-


unsur jarimah atau tindak pidana dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Al-rukn al-syar’i atau unsur formil merupakan unsur yang menyatakan
bahwa seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada
undang –undang yang secara tegas melarang dan menjatuhakan sanksi
kepada pelaku tindak pidana.
b. Al-rukn al-madi atau unsur materil ialah unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti
melakukan sebuah jarimah, baik yang bersifat positif (aktif dalam
melakukan sesuatu) maupun yang bersifat negatif (pasif dalam
melakukan sesuatu).
c. Al-rukn al-adabi atau unsur moril adalah unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat tersalahkan jika ia bukan orang gila, anak dibawah umur,
atau sedang berada di bawah ancaman.32
5. Jenis-Jenis Tindak pidana

Jenis-jenis tindak pidana ini, para guru besar membuat suatu pembagian
dari tindakan-tindakan melawan hukum itu kedalam dua macamm Onrecht,
yaitu yang mereka sebut crimineel onrecht dan dalam apa yang mereka sebut
policie onrecht. Crimineel onrech adalah setiap tindakan melawan hukum yang
menurut sifatnya adalah bertentangan dengan rechtcode atau “tertib hukum”
dalam arti yang lebih luas daripada sekadar “kepentingan-kepentingan”, dan
yang dimaksud sebagai politie onrecht itu adalah bertentangan dengan
“kepentingan-kepentingan yang terdapat dalam masyarakat”. 33

31
Lamintang, Franciscus Laminating, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia) h. 205
32
M. Nurul Irfan dan Masyofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta;Amzah, 2013), h. 2-3
33
Lamintang, Franciscus Laminating, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia) h. 208

18
Sedangkan perbuatan pidana menurut KUHP kita bagi atas kejahatan
(misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini, tidak
ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP tetapi sudah dianggap
demikian adanya, dan ternyata antara lain dari pasal 4, 5, 39, 45, dan 53 buku ke-1.
Buku II melulu tentang kejahatan dan buku III tentang pelanggaran.34
Selain daripada dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya
dalam teori dan praktik dibedakan pula antara lain:35
a. Delik dolus dan Delik culpa, bagi delik dolus diperlukan adanya kesengajaan;
misalnya pasal 338 KUHP: “dengan sengaja menyebabkan matinya orang
lain”, sedangkan delik culpa, orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahanya
itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut pasal 359 KUHP dapat dipidananya
orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaannya.
b. Delik Commisionis dan delikta commisionis, yang pertama adalah delik yang
terdiri dari melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan
pidana, misalnya, mencuri pasal (362) menggelapkan (372). Yang kedua
adalah delik yang terdiri dari tidak melakukan sesuatu padahal mestinya
berbuat. Misalnya delik pasal 164: mengetahui suatu pemufakatan jahat
(samensplaning)untuk melakukan kejahatan tidak segera melaporkan kepada
instansi yang berwajib atau orang yang terkena. Adapula yang dinamakan
delikta commissionis peromissionem commissa, yaitu delik-delik yang
umumnya terdiri dari berbuat sesuatu padahal mestinya berbuat, misalnya
seorang ibu merampas nyawa anaknya dengan jalan: tidak memberi makan
pada anak itu.
c. Delik biasa dan delik yang dikualifikasi (dikhususkan) yaitu delik biasa
ditambah dengan unsur yang memberatkan ancaman pidananya. Adakalanya
unsur-unsur lain itu mengenai cara yang khas dalam melakukan delik biasa,
ada kalanya objek yang khas, ada kalanya pula mengenai akibat yang khas dan
perbuatan yang merupakan delik biasa tadi. Contoh; pasal 362 adalah
pencurian biasa, ddan pasal 363 adalah pencurian yang dikualifikasi, yaitu

34
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana”, (Jakarta, Rineka Cipta, 2009) h. 78
35
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana”, (Jakarta, Rineka Cipta, 2009) h. 82-84

19
karena cara melakukanya di waktu ada kebakaran atau dengan beberapa orang,
maupun karena objeknya hewan.
d. Delik menerus dan tidak menerus, dalam delik menerus perbuatan yang
dilarang menimbulkan keadaan yang berlangsung terus. Misalnya, pasal 333
KUHP, yaitu orang yang merampas kemerdekaan orang lain secara tidak sah.

Sedangkan menurut Andi Hamzah dalam “Bunga Rampai Hukum Pidana


dan Acara Pidana”, menurut macam perbuatanya, tindak pidana aktif (positif),
perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk
mewujudkanya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh yang berbuat, misalnya
pencurian Pasal 362 KUHP, tindak pidana pasif dibedakan tindak pidana murni dan
tindak pidana tidak murni. Tindak pidana murni adalah tindak pidana yang
dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatanya
pasif, misalnya diatur dalam pasal 224, 304 dan 552 KUHP. Tindak pidana tidak
murni adalah tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau
tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tapi dilakukan dengan tidak
berbuat, misalnya diatur dalam pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya
sehingga anak tersebut meninggal.
6. Jenis-Jenis Tindak Pidana Perspektif Hukum Pidana Islam

Dalam Hukum Pidana Islam, M. Nurul Irfan dalam bukunya “Hukum


Pidana Islam”, menyebutkan bahwa ruang lingkup Pidana Islam terbagi menjadi
tiga bidang pokok, yaitu tindak pidana qishos, hudud, dan takzir. namun
menurutnya bahwa hudud adalah semua jenis tindak pidana yang secara tegas diatur
dalam al qur’an dan hadist baik sifat perbuatan pidananya maupun sanksi
hukumnya, sehingga tindak pidana qishos masuk dalam ranah hudud.36
Namun dalam hal ini penulis akan menjelaskan ketiga pembagian macam
tersebut. Karena pembagian yang paling penting adalah pembagian jarimah dari
segi hukumnya yaitu; Jarimah hudud, Jarimah Qishosh, dan Jarimah ta’zir.
a. Jarimah Hudud

36
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016) h. 24

20
Jarimah Hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Pengertian
hukuman had , sebagaimana dikatakan oleh abdul Qodir Audah adalah:

‫والحد هو العقوبة المقدرة حقا هللا تعالى‬


“Hukuman Had adalah hukuman yang telah ditentukan syara’ dan merupakan
hak Allah”.37 Oleh karena hukuman had itu merupakan hak Allah, maka hukuman
tersebut tidak bisa digugurkan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau
keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. Adapun jarimah
Hudud ini terbagi menjadi tujuh macam, yaitu:
1. Jarimah zina
2. Jarimah Qodzof
3. Jarimah syurb al-khamr
4. Jarimah sariqoh
5. Jarimah hirabah
6. Jarimah riddah
7. Jarimah al-baghyu38
b. Jarimah Qishas dan Diyat

Jarimah Qishosh dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman
qishosh atau diyat. Baik qishosh maupun diyat kedua-duanya adalah hukuman yang
sudah ditentukan syara’. Perbedaanya dengan hukuman had adalah bahwa
hukiuman had merupakan hak Allah, sedangkan qishos dan diyat merupakan hakk
manusia. disamping itu, perbedaan lain adalah karena hukuman qishos dan diyat
merupakan hak manusia maka hukuman tersebut bisa dimaafkan atau digugurkan
oleh korban atau keluarganya, sedangkan hukuman had tidak bisa dimaafkan atau
digugurkan.
Jarimah qishsos dan diyat ini secara umum ada dua macam, yaitu pembunuhan
dan penganiayaan. Namun, jika diperluas jumlahnya ada lima macam, yaitu;
a. Pembunuhan sengaja

37
Abdul Qodir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’I Fil-Islami Muqoronan Bi Al-Qonuni Al-Wad’i,
(Beirut: Al-Resalah, 1998), Juz 1, h. 76
38
Abdul Qodir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’I Fil-Islami Muqoronan Bi Al-Qonuni Al-Wad’i,
(Beirut: Al-Resalah, 1998), Juz 1, h. 79

21
b. Pembunuhan menyerupai disengaja
c. Pembunuhan karena kesalahan
d. Penganiayaan sengaja
e. Penganiayaan tidak disengaja
c. Jarimah Ta’zir

Jarimah Tazir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Pengertian
tazir menurut menurut bahasa adalah ta’dib, artinya hukuman yang memberikan
pelajaran. Ta’zir juga diartikan dengan ar-raddu wal Man’u. Yang artinya menolak
dan mencegah. Sedangkan pengertian tazir menurut istilah, sebagaimana
dikemukakan oleh Al-Mawardi adalah:

‫والتعزير تأديب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود‬


“Tazir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum
ditentukan hukumanya oleh syara”.
Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman yang
belum ditetapkan oleh syara’ dan wewenang untuk menetapkanya diserahkan
kepada ulil amri.
B. Gratifikasi Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Gratifikasi

Secara etimologis kata gratifikasi dalam kamus Besar Bahasa Indonesia,


Gratifikasi diartikan sebagai uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telash
ditentukan, Gratifiksi berasal dari bahasa Belanda yaitu “fraticatie” yang berarti
tunjangan atau gratifikasi.39 Dalam kamus hukum gratifikasi diartikan sebagai
pemberian upah/gaji/hadiah dengan maksud mendapat keuntungan dibidang lain
atau hadiah sebagai tada balas jasa.40

Gratifikasi yang disebutkan dalam pasal 12B dan 12C Undang-Undang No. 20
tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana korupsi adalah pemberian dalam arti luas, bukan

39
Wojo Wasito, Kamus Umum Belanda Inonesia, (Jakarta: Pusaka Sinar Harapan, 2006),
h. 87
40
B.N Marbun, Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtar Baru VaN Hoeve, 1997), h. 244

22
hanya berbentuk uang, melainkan pemberian terhadap barang, rabat (diskon),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-Cuma, dan fasilitas lainya.41
Menurut Febri Diansyah, Staf Direktorat Gratifikasi Komisi Pemberantasa
Korupsi, dalam hasil wawancara yang dituliskan dalam Skripsi Jajat Hidayat
(UIN,21014) bahwa gratifikasi terdiri dari dua jenis, yakni gratifikasi ilegal dan
gratifikasi ilegal (terlarang) dan gratifikasi legal (tidak terlarang).42
Gratifikasi legal adalah pemberian yang dimaksudkan dalam pasal 31 tahun
2001 tentang Tipikor, seperti yang dituliskan diatas yaitu pemberian dalam arti luas
bahwa pemberian bukan sekedar dalam bentuk uang, melainkan meliputi
pemberian barang dan lain sebagainya. Sedanhgkan Gratifikasi ilegal adalah
gratifikasi yang tidak dimaksudkan dalam penjelasan undang-undang tersebut.
Gratifikasi legal dilakukan untuk menjalankan hubungan baik, menghormati
martabat seseorang, memenuhi tuntutan agama, dan mengembangkan berbagai
bentuk perilaku simbolis (diberikan karena alesan yang dibenarkan secara sosial).43
Sebutan pemberian suatu kepada petugas atau pegawai diluar gajinya, seperti
suap, hadiah, bonus, fee dan sebagainya. Dalam syaria’at islam sebagian ulama
empat pemasukan seorang pegawai, yaitu gaji, bonus, hadiah dan uang suap.44
2. Pengertian Gratifikasi perspektif Hukum Islam

Adapun Gratifikasi sama dengan suap yang dakam bahasa Arab disebut
risywah. Secara etimologis, kata risywah berasal dari kata kerja rasya-yarsyu
dengan bentuk masdar, yaitu risywah, rasywah, atau rusywah yang berarti al-ja’lu
(upah, hadiah, komisi, atau suap). Menurut Ibnu Manzhur dalam buku “gratifikasi
seks” karya M. Nurul Irfan, mengemukakan penjelasan Abu Al-Abbas bahwa kata
risywah dibentuk dari kalimat rasya al-farkh yang artinya anak burung merengek-
rengek ketika mengangkat kepala induknya45.

41
M. Nurul Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual”,...) h. 9
42
Jajat Hidayat, Gratifikasi sekd menurut Hukum pidana Islam dan Hukum pidana Positif”,
(Skripsi, Fakultas Syariah Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014) h. 36
43
Doni Muhardiansyah, dkk, Buku Saku Memahami Gratifiaksi, h. 3
44
Subulussalam, Shan’ani, Vol. IV h. 1/26
45
M. Nurul Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual”, ...) h. 10

23
Dalam istilah syara’ hadiah atau pemberian disebut sebagai Hibah yang artinya
memberikan sesuatu kepada orang lain selagi hidup sebagai hak miliknya, tanpa
mengaharapkan ganti atau balasan. Apabila mengharapkan balasan semata karena
Allah Swt. Hal itu dinamakan shodaqoh, dan jika pemberian tersebut ditujukan
untuk memuliakanya maka pemberian tersebut dinamakan hadiah.46
Memberi dan menerima hadiah itu diperbolehkan, tetapi hadiah yang sebaiknya
ditolak ialah “hadiah-hadiah yang diberikan sebagai sogokan (risywah) karena ada
kaitanya dengan pekerjaan atau jabatanya. Rasulullah SAW bersabda:
‫ لعنه هللا على الراشي والمرتشي(رواه‬: ‫ قال رسول هللا صلى عليه وسلم‬:‫وعن عبدهللا ابنعمر وقال‬
)‫الخمسة اإللنسا ئ وصحيه الترمزي‬
Dari Abdullah bin ‘Amr ia berkata: Rasuluulah saw. Bersabda: “laknat Allah akan
menimpa orang yang menyuap dan menerima suap.” (H.R. Lima Imam, kecuali
Nasai dan disahkan oleh Tirmidzi).

Hadist di atas mengisahkan hakim dan amil zakat, syarih berkata: menurut
Ibnu Ruskan, risywah (suap) ini meliputi hakim dan amil zakat risywah ini haram.
Menurut Ijma’ Ulama’. Sementara Abu Wail mengatakan: apabila seorang hakim
menerima hadiah, maka sampai pada kufur. Syarih (syaukani) mengatakan
zhahirnya bahwa hadiah kepada hakim tersebut adalah suatu bentuk risywah. Sebab
seorang yang memberi hadiah kalau belum merupakan kebiasaan kepada hakim
sebelum dia diangkat sebagai hakim, sudah pasti hadiahnya itu ada tendensi
tertentu, mungkin untuk memperkuat kebatilanya atau sebagai upaya untuk mencari
kemenangan, semuanya adalah haram.47
3. Sanksi Gratifikasi

Berdasarkan peraturan peruundang-undangan dalam pasal 12B UU No.


31/1991 jo. UU. 20/2001, yaitu ancaman pidananya penjara seumur hidup atau
paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.

46
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Mazhab Syafi’i, cet ke-1, buku II(Bnadung:
Pustaka Setia, 2000), h. 159.
47
Anggota IKAPI, Terjemahan Nailul Author jilid 6, ( surabaya: PT Bina Ilmu Offset, cet,.
Keempat, 2001), h. 3189-3190

24
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000, 00 (satu
miliar rupiah). 48
Namun, menurut hasil wawancara Jajat Hidayat kepada Febri Diansyah
yang telah dikutip diatas menyatakan bahwa gratifikasi terbagi menjadi dua yaitu
gratifikasi terlarang dan gratifikasi tidak terlarang atau ilegal tidak dikenakan sanksi
pidana, karena perbuatanya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan. Tambahnya, contohnya pemberian orang tua pada anaknya yang
menjabat sebagai PNS semata-mata karena kasih sayang, ini merupakan gratifikasi
yang tidak terlarang. Gratifikasi yang terlarang terjadi ketika dia terkait dengan
jabatnya atau tugasnya. Jadi gratifikasi itu jangan disamakan, kalau disama artikan,
berarti semua pemberian secara adat itu terlarang. Gratifikasi yang terlarang itu
terkait dengan jabatan atau kewajibanya.
Sementara dalam hukum Islam Pidana menyariatkan sanksi gratifikasi
(risywah) dikenai hukuman ta’zir49. Takzir ialah hukuman yang dilakukan terhadap
suatu kemaksiatan atau kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman had
(hukuman yang ditentukan dalam al-qur’an atau hadist) dan tidak pula kifarat.
Bentuk hukuman ta’zir dalam hal gratifikasi risywah ini tergantung pada putusan
hakim. Untuk menentukan jenis sanksi yang sesuai dengan kaidah-kaidah hukum
islam dan sejalan dengan prinsip untuk memelihara stabilitas hidup bermasyarakat
sehingga berat dan ringanya sanksi hukum harus disesuaikan dengan jenis tindak
pidana yang dilakukan, disesuaikan dengan lingkungan di mana pelanggaran itu
terjadi.50 Bentuk sanksi takzir bagi perbuatan gratifikasi bisa berupa hukuman mati
(tindak pidana yang berulang-ulang), hukuman cambuk, penjara, pengasingan,
perampasan barang, pemecatan dan sanksi moral berupa diumumkan kepada
masyarakat.51

48
UU No. 20 tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi
49
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, fiqh Jinayah..., h. 194
50
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Islam..., h. 103
51
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, fiqh Jinayah..., h. 147-160

25
C. Suap Dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif
1. Pengertian Suap

Suap (bribery)bermula dari asal kata briberie (perancis) yang artinya


‘begging’ (mengemis) atau ‘vagrancy’ (penggelandangan). Dalam bahasa Latin
disebut briba, yang aritnya ‘a piece of bread given to beggar’ (sepotong roti yang
diberikan kepada pengemis). Dalam perkembangan bribe bermakna sedekah
(alms), blackmail, atau extortion (pemerasan) dalam kaitanya dengan gift recieved
or given in order to influence corruptly (pemberian atau hadiah yang diterima atau
diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi secara jahat atau korup).52
Secara umum dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, memeberikan pengertian suap adalah sama halnya perbuatan
tindak Pidana Korupsi, bahwa korupsi merupakan tindakan memperkaya diri
sendiri atau orang lain dengan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara atau perbuatan menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta dapat
merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.53
Sedangkan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana Korupsi, penyuapan seperti diamanatkan oleh
Undang-Undang sebelumnya. Bagi penyuap (active omkooping) telah diatur pada
pasal 5 dan pasal 6 yang mengakomodir pasal 418 KUHP, 419 KUHP, 420 KUHP
Pasal 423 KUHP, pasal 425 KUHP dan Pasal 435 KUHP. 54

Kriminalisasi terhadap tindak pidana suap mempunyai alasan yang sangat kuat
sebab kejahatan tersebut tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional,
melainkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), karena karakter suap

52
Andi Hamzah, pemberantasan Korupsi ditinjau dari Hukum Pidana, Pusat study hukum
Pidana, Jakarta, 2001) h. 32
53
Evi hartanti, Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua), (Bandung: sinar Grafika, 2007) h.
23
54
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan
masalahnya, (Alumni Bandung, 2007) h. 45

26
yang sangat kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin
(secara potensial dapat merugikan pelbagai dimensi kepentingan).55

Perbuatan suap dilakukan oleh seorang kepada pihak lain baik pegawai negeri,
pejabat negara maupun kepada pihak lain yang mempunyai kewenangan /pengaruh.
Pemberi suap memperoleh hak-hak, kemudahan atau fasilitas tertentu. Perbuatan
suap pada hakikatnya bertentangan dengan norma sosial, agam dan moral. Selain
itu juga bertentangan dengan kepentingan umum serta menimbulkan kerugian
masyarakat dan membahayakan keselamatan negara.56

Dalam undang-undang, kriminalisasi terhadap tindak pidana suap secara


mendasar sudah dilakukan melalui pasal 209 KUHP yang mengatur penyuapan
aktif (active omkoooping atau Active bribery) terhadap pegawai negeri. Pasangan
dari pasal ini adalah pasal 419 KUHP yang mengatur tentang penyuapan pasif
(passive omkooping atau passive bribery), yang mengancam pidana terhadap
berbagai yang menerima hadiah atau janji tersebut diancam pidana oleh pasal 420
KUHP.

Tindak pidana penyuapan termasuk dalam bagian korupsi dimana dalam UU


Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan bahwa “penyuapan meliputi janji, menawarkan
atau memberikan sesuatu keuntungan yang seharusnya tidak pantas untuk
mempengaruhi tindakan atau keputusan seorang pejabat publik. Penyuapan itu
sendiri tidak terjadi pada pejabat publik semata, tetapi juga dapat meliputi anggota
masyarakat yang melayani komisi pemerintah. Penyuapan itu dapat terdiri dari
uang, saham, atau pemberian lainya hadiah, janji-janji, pekerjaan dan lain-lain.57

55
Pendahuluan dalam kompendium pidana suap, diketuai oleh Antonius P.S. Wibowo S.H.
M.H
56
K. Wantjik, Tindak Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002) h. 28
57
Fransisca Novita Eleanora, Pembuktian Unsur sifat Melawan Hukum Dalam Tindak
Pidana Penyuapan, (Hukum Dinamika Masyarakat Vol. 9, April 2012) h. 203

27
2. Pengertian Suap Dalam Hukum Islam

Sedangkan dalam hukum pidana islam suap sama halnya dengan gratifikasi
yang disebut riswah. Risywah secara etimologis berasal dari bahasa Arab (rosa-
yursi) yang masdar roswah huruf ra nya kasroh, fathah atau dhomah berarti al jal’u
yaitu upah, hadiah, komisi atau suap.58

Ahmad Jurdin Harahap dalam Jurnalnya yang berjudul “Risywah dalam


perspektif hadist” menuliskan tentang makna Risywah, bahwa menurut Ibnu
Manzhur, kata risywah terbentuk dari kalimat (rosful farakh) anak burung
merengek-rengek ketika mengangkat kepalanya kepada induk untuk disuapi59
sedangkan menurutnya dalam kitab kitab Al Mu’jam Al wasith disebutkan bahwa
rasya al farkhu artinya anak puyuh itu menjulur kepalanya pada kepada induknya.60

Secara etimologis Ahmad Jurdin Harahap menuliskan dari beberpa sumber


kitab diantaranya antara lain:

a. Yusuf Al Qordlowi mengatakan Risywah adalah “Uang yang diberikan


kepada penguasa atau pegawai, supaya penguasa atau pegawai tersebut
menjatuhkan hukuman yang menguntungkannya
b. Abdullah bin Muhsin mengatakan risywah adalah suatu yang diberikan
kepada seorang dengan syarat orang yang diberi tersebut dapat menolak orang
yang memberi.
c. Sayyid Abu Bakr mendefinisikan risywah sebagai “memberikan sesuatu agar
hukum diputuskan secara tidak benar/tidak adil, atau untuk mencegah putusan
secara benar/adil

58
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2012) h. 95
59
Ahmad Jurin Harahap, Riswah dalam Perspektif Hadis, (Bandung: UIN Sunan Gunung
Jati, 2018) h. 2
60
Ahmad Jurin Harahap, Riswah dalam Perspektif Hadis, (Bandung: UIN Sunan Gunung
Jati, 2018) h. 3

28
d. Nurul Irfan menyebutkan risywah adalah suatu yang diberikan dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka
membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar

Setelah dikemukakan berbagai versi definisi suap maka dapat digaris bawahi
bahwa unsur bahwa unsur-unsur itu adalah sebagai berukut:

a. Penerima suap, yaitu orang yang menerima sesuatu dari orang lain baik
berupa harta atau uang maupun jasa supaya mereka melaksanakan permintaan
penyuap, padahal tidak dibenarkan oleh syara’, baik berupa perbuatan atau
justru tidak berbuat apa-apa.
b. Pemberi suap, yaitu orang yang menyerahkan harta atau uang atau jasa untuk
mencapai tujuanya.
c. Suapan, yaitu harta atau uang atau jasa yang dibeikan sebagai sarana untuk
mendapatkan seuatu yang diidamkan, diharapkan, atau diminta.

29
30

BAB III
PENGATURAN SKOR SEPAKBOLA INDONESIA
A. Pengertian Pengaturan Skor

Tindak korupsi yang paling lazim dalam olahraga sepakbola adalah (1) judi
melalui pengaturan skor akhir, (2) permainan terkait transfer pemain dari satu klub
ke klub lain, dan (3) khusus untuk sepakbola tingkat international, korupsi dalam
menentukan tuan rumah pertandingan akbar Piala Dunia dan ajang pemilihan
presiden FIFA.61 Pengaturan skor (Match Fixing) telah menjadi masalah pada
baberapa cabang olahraga. PertandinganBaik itu pertandingan kompetisi level
amatir maupun profesional, telah menjadi objek pengaturan skor. Beberapa kasus
pengaturan skor memiliki hubungan dengan perjudian. Sehingg pelaku pengaturan
skor mengatur hasil akhir skor guna memenangkan perjudianya.
Di Pola ndia, tiga wasit nasional pada Oktober 2011 ditahan pihak berwajib
karena terlibat dalam pengaturan hasil pertandingan.62 Mereka berasal dari
kompetisi divisi utama (dua wasit) dan Divisi dua (satu). Mereka dituduh
melakukan pengaturan skor pertandingan pada laga divisi tiga musim kompetisi
2004-2005.
Menurut Whannel (1992;in Mason, 1999:405):
Like other forms of entertainment, sport offers utopia, a world where everythink
is simple, drmatic and exiting, and euphoria is always a possibility. Sport
entertaints, but can also frustreate, annoy and depress. But it is this very
uncertainty that gives its unpredictable joys their characteristic intensity.
Jika pertandingan olahraga kehilangan karakter “tidak menentu” dan “tidak
dapat diduga” hasil akhir pertandinganya maka penonton akan berhenti menonton
pertandingan olahraga. Tanpa perhatian yang besar dari penonton olahraga akan
kehilangan perhatian dari media dan kehilangan perusahaan-perusahaan yang
menjadi sponsor tidak dapat menjual produk atau jasa yang ditawarkan kepada
penonton olahraga.

61
Tjipta Lesmana, Bola Politik dan Politik Bola, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2013) h. 188
62
www.mediaindonesia.com (7/10/2011) dilihat pada tanggal 25 september 2019
Selain pada sepakbola pengaturan skor juga terjadi di sektor olahraga lain,
sperti;
a. Pengaturan Skor Dalam Olahraga Bola Basket

pada bulan april 2011, sepuluh orang, termasuk dua mantan pemain dan mantan
asisten pelatih di Universitas San Diego, didakwa karena berencana mengatur
pertandingan bola basket pada kompetisi San Diego Toreros dengan cara menyuap
pemain dan bertaruh pada pertandingan tersebut di Las Vegas. Las Vegas
merupakan salah satu tempat di Amerika Serikat yang memperbolehkan perjudian
di bidang olahraga.
b. Pengaturan Skor Dalam Olahraga Tenis

Pertandingann antara pemain Nikolay Davydenko melawan melawan petenis


Argentina, Martin Vassalo Argello diduga sudah diatur skornya. Rumahjudi asal
Inggris, betfair membatalkan taruhan pertandingan tersebut yang bernilai 7 juta
pounsterling karena banyak petaruh yang menempatkan uangnya untuk
kemenangan Martin Vassalo. Meskipun pada akhirnya Nikoaly Davydenko
dibersihkan dari segala tuduhan dan dianggap tidak bersalah di mata hukum.
Sebelumnya ia telah dikaitkan dengan Alimzhan Tokhtakhounov, yang pada tahun
2002 dituduh FBI karena melakukan penyuapan pada juri ice skating dalam
olimpiade musim dingin di salt Lake city.
Berdasarkan pandangan FIFA bahwa pengaturan skor yang terjadi dalam
dunia si kulit bundar biasanya telah direncanakan secara kriminal dan berada pada
tingkattransn asional yang termasuk dalam kejahatan judi, maupun korupsi secara
personal atau bahkan kelembagaan. Biasanya hal semacam ini lebih sering
menyerang klub yang bermain di liga suatu negara tertentu ketimbang event-event
besar yang diselenggarakan oleh FIFA sendiri dan melibatkan tim nasional.63
Pengaturan skor (Match Fixing)memiliki definisi sebagai berikut:

63
Lutvihi Avian Ananda, Match Fixing dalam sepakbola Indonesia ditinjau dari perspektif
Hukum Pidana, https://www.kompasiana.com/luthfyavian/5693d48e119773750970f220/match-
fixing-dalam-sepakbola-indonesia-ditinjau-dari-perspektif-hukum-pidana, Dilihat pada tanggal 21
September 2019

31
Memanipulasi hasil pertandingan meliputi perubahan yang tidak biasa adri
jalanya atau hasil dari kompetisi olahraga atau peristiwa tertentu (contohnya
pertandingan, perlombaan) untuk mendapatkan keuntungan finansial untuk dirinya
sendiri atau orang lain dan menghapus seluruh atau sebagian ketidakpastian hasil
akhir sebuah kompetisi.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengaturan skor (match Fixing)
merupakan perbuatan curang yang dilakukan dalam pertandingan atau perlombaan
yang dalam hal ini untuk mengatur siapa yang akan menang dan mendapatkan juara
pada sebauah kompetisi. Sehingga pihak-pihak yang terlibat dapat meraup
keuntungan dari hasil mengatur skor pertandingan tersebut.
Maka dari itu sepakbola sebagai Olahraga paling populer di Dunia juga terkena
dampak dari tindakan pengaturan skor. Hal ini dapat dibuktikan dengan kasus-kasus
pengaturan skor yang ada dalam pertandingan sepakbola. Beberapa contoh kasus
tersebut antara lain;
a. Pengaturan Skor di Bochum

Seorang mafia bernama Ane Spetia dikirim ke penjara dengan tuntutan


melakukan tindak pidana korupsi sepakbola. Sebelum kasus tersebut, pada tahun
2005 dia bersama saudara laki-laki di penjara selama tiga tahun karena menjadi otak
dalam skandal melibatkan wasit Robert Hoyzer, Robert Hoyzer sendiri diberi sanksi
larangan memimpin laga sepakbola seumur hidup di Jerman. Setelah bebas dari
penjara, Ane Sapina memulai kembali jaringan kriminalnya dengan
menghubungkan ke lingkaran judi ilegal di Asia. Sapina dipenjara setelah mengakui
peranya terkait pengaturan skor pada sekitar 20 pertandingan antara tahun 2008
hingga 2009. Liga yang menjadi target Sapina adalah liga-liga diluar jerman dimana
pemain liga tersebut mendapat bayaran yang sedikit.64
Salah satu pertandingan yang diatur Sapina adalah laga kualifikasi piala
dunia 2010 antara Leichtenstein dan Finlandia pada bulan september 2009, Sapina
bersaksi bahwa ia bertemu dengan wasit asal Bosnia, Novo Panic di tempat parkir

64
Match Fixing in Football TNA, (www.egba.eu/pdf/Report-Final.PDF, h. 10 dikunjungii
pada tanggal 7 Oktober 2019

32
Sarajevo. Ia menyuap wasit tersebut dengan uang sebesar 40.000 euro untuk
mengatur hasil pertandingan kualifikasi piala dunia tersebut dengan memastikan
agar terjadi dua gol yang dicetak di babak kedua. Pertandingan antara Leichtein
melawan Finlandia berakhir imbang dengan skor 1-1 dan semua gol dicetak pada
babak kedua, salah satu gol dicetak babak kedua melalui tendangan penalti yang
dapat dipertanyakan. Sapina adalah anggota dari kelompok kejahatan antar negara
yang mempunyai jaringan yang berpengalaman menjalankan banyak operasi
pengaturan skor. Modus operandi dalam kasus ini sangat metodis dan bervariasi,
yang melibatkan pemain secara individu atau seluruh klub, pendanaan yang berasal
dari sindikat perjudiann kriminal di Asia dan Organisasi yang menyelenggarakan
pertandingan persahabatan yang “berhantu”.65 Maksud dari persahabatan berhantu
adalah pertandingan yang dibuat dengan jadwal, statistik dan hasil pertandingan
yang palsu.
b. Pengaturan Skor Oleh Wilson Raj Perumal

Pihak berwenang di Zimbabwe membuka penyelidikan terhadap serangkaian


terhadap serangkaian pertandingan persahabatan internasional yang dimainkan oleh
timnas mereka di Asia antara tahun 2007 sampai 2009. Pada pertandingan tersebut
pemain Zimbabwe di beri uang untuk kalah. Pihak yang menjadi penyelenggara
pertandingan adalah Wilson Raj Perumal yang bekerja sama dengan CEO dari
asosiasi sepakbola Zimbabwe dan beberapa pejabat tinggi lainya. Hasil dari
penyelidikan tersebut, 93 pemain dan offisial mendapat sanksi berkisar 6 bulan
hingga sanksi seumur hidup.
Puncaknya bulan September 2010, sebuah laga persahabatan yang dimainkan
oleh Togo melawan Bahrain terduga terdapat tindakan pengaturan skor. Bahrain
menang dengan skor 3-0. Namun pelatih Bahrain mempertanyakan kualitas dari
timnas Togo yang mereka hadapi. “mereka tidak cukup fit untuk bermain selama
90 menit pertandingan” kata pelatih bahrain. 66
Federasi sepakbol Togo
memberitahukan bahwa timnas sepakbola bahwa timnas Togo tidak pergi ke

65
Match Fixing in Football TNA..., h. 13
66
Match Fixing In Football TNA..., h. 13

33
Bahrain untuk melakukan pertandingan persahabatan. Pemain yang di gunakan
Togo dalam pertandingan tersebut adalah pemain gadungan. Hal itu dibenarkan
oleh mantan pelatih timnas Togo. Ia mengakui bahwa ia terlibat dalam pengaturan
pertandingan tersebut dan ada satu pertandingan lagi yang serupa dilakukan di
Mesir.
Terkait dengan pengaturan skor di Indonesia, tentunya hal ini bukan barang
baru dalam olahraga kita, kehadiranya nyata dan dapat dirasakan namun
pembuktianya begitu sulit. Dalam hubungan ini motif utama terkait pengaturan skor
adalah uang. Sindikat judi bermodal besar berani membuat skenario karena mereka
memiliki banyak uang untuk bermain dibanyak titik. Namun harus dipahami bahwa
selama tak memenuhi unsur-unsur tertentu yang diatur secara pidana suatu
pengaturan skor tidak dapat dimasukan dalam kategori kejahatan/kriminal namun
tetap saja menciderai fairplay, karena ada juga pengaturan skor yang motifnya
bukan uang tetapi murni strategi untuk menghindari atau lebih memilih lawan dan
sebagainya.67
Dalam praktinya skor diatur demi kepentingan bandar judi, masyarakat resah,
kehormatan dan sportfitas pun tergadai. Langkah maju negera dengan menerbitkan
undang-undang Nomor 11 tahun 1980 tentang tindak pidana Suap sebenarnya
sudah bisa menjadi terobosan untuk menjerat semua tindak pidana suap disektor
swasta (non-goverment) namun karena kondisi politk rezim orba melindung swasta
kolega penguasa dan euforia reformasi yang menempatkan suap menjadi populer
dalam konteks tipikor maka UU yang sebenarnya masih eksis dan berlaku ini
menjadi terlupakan. Meskipun bisa saja karena strategi seperti memilih lawan di
babak berikut misalnya, namun fakta menyatakan bahwa motif utama terkait
pengaturan skor adalah uang.68
Dari hal diatas diperkuat dengan argumentasi peneliti Olahraga Kemenkum
HAM RI, Eko Kristiyanto yang menyebutkan bahwa pengaturan skor merupakan
suap di bidang swasta. Kondisinya, bahwa penegak hukum sekarang saat melihat

67
Alexzander Rinaldy, Kriminalisasi match Fixing dalam pertandingan sepakbola di
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Suap, Universitas
Tarumanegara, h. 3
68
Alexzander Rinaldy, Kriminalisasi match Fixing dalam pertandingan..., h. 4

34
kasus pengaturan skor pasti langsung memandang UU 11 Tahun 2001 tentang UU
tipikor, sedangkan dalam undang-undang tersebut tidak diatur pidana suap di
Bidang swasta. Menurutnya, UU No. 11 tahun 1980 seharusnya bisa di gunakan
untuk menjerat pelaku pengaturan skor. Namun karena undang-undang ini tidak
populer dan jarang digunakan, sering kali dalam penegakan pengaturan skor
undang-undang ini terlupakan dan pelaku pengaturan skor lolos dari jeratan
pidana.69
B. Modus Operandi Pengaturan Skor Sepakbola

Pengaturan skor (Match Fixing) dalam melakukanya terdapat modus yang


dijalankan pelaku pengaturan skor (match Fixer), interpol memberikan penjelasan
mengenai modus operandi yang dilakukan pihak-pihak tertentu untuk mengatur
suatu pertandingann sepakbola.70 Untuk melakukan pengaturan skor (match
Fixing) suatu pertandingan, maka harus ada pihak yang disuap. Idealnya adalah
perangkat pertandingan dan/atau pemain kunci club yang akan diatur
pertandinganya. Pengaturan pertandingan akan memantau pemain tertentu untuk
disuap. Biasanya pemain yang disuap adalah pemain yang mendapat gaji sedikit,
pemain muda yang baru memulai karirnya dan pemain senior yang menjelang masa
pensiun. Pengatur pertandingan biasanya menggunakan pihak ke-tiga untuk
mendekati dan berhubungan dengan perangkat pertandingan yang hendak disuap.
“Pihak ketiga” yang dimaksud adalah mantan pemain, pemain senior yang akan
pensiun , agem pemain atau penjahat yang menyamar sebagai penggemar.
Adapun modus operandinya dapat berupa:
a. Meminta kepada pemain atau official pertandingan untuk melakukan tindakan-
tindakan diluar dari kebiasaan. Pada awalnya permintaan diajukan terkesan
permintaan yang biasa saja, seperti informasi tentang pemain satu tim yang
cidera kemudian informasi tersebut ditukar dengan uang.
b. Membayar uang kepada pemain muda, atau memberi hadiah untuk
dia/keluarganya. Pada saat ini, pemian muda yang menerima pemberian uang

69
Hasil wawancara Eko Noer Kristiyanto, Deputi Penelitian Balitbang Kementrian Hukum
dan HAM Republik Indonesia, pada tanggal 14 Oktober 2019

35
atau hadiah tidak perlu melakukan apa-apa. Namun dimasa yang akan datang
“pihak ketiga” akan meminta bantuan untuk membalas pemberian hadiah/uang
yang telah mereka lakukan.
c. Memberikan kenikmatan secara seksual, obat-obatan terlarang, membeli
beberapa barang. Pemberian tersebut ditukar dengan tindakan mengatur
pertandingan.
d. Mengidentifikasi dan menciptakan peluang untuk mengancam pemain atau
perangkat pertandingan karena melakukan penyalahgunaan obat-obatan
terlarang atau alkhohol, hutang akibat perjudian, perselingkuhan, dan lain-lain.
e. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap pemain atau
keluarga pemain

Selain itu, Bandar-bandar judi kelas kakap tidak jarang mempunyai kemampuan
mengatur skor akhir dengan cara “menjinakan” wasit. Jika wasit bisa diatur, skor
pertandingan pun bisa diatur, bisa diprediksi sejak awal. 71 Terkadang dalam contoh
kasus pengaturan skor lain, pelaku pengaturan skor tidak menggunakan pihak
ketiga sebagai perantara untuk menyuap pemain. Pelaku kejahatan dapat membeli
sebuah klub sepakbola yang mengalami masalah keuangan sehingga pemain,
pelatih dan manager club harus melakukan pengaturan skor.
Seperti diketahui bersama, wasit adalah penguasa yang memiliki
kewenangan omniponent di pertandingan sepakbola. Semua pihak harus tunduk
pada setiap keputusan wasit. Pelatih dan manajer klub yang yang duduk ditepi
lapangan pun bisa diusir wasit. Beberap contoh modus operandi yang dijalankan
“wasit kotor” adalah sebagai berikut; 72
a. Memberikan hukuman keras –kartu merah- kepada pemain kesebelasan yang
hendak dikalahkan, padahal pelanggaran yang dilakukanya tidak berat. Kalau
pemain kesebelasan yang mau diunggulkan melakukan pelanggaran serupa
hukumanya jauh lebih ringan.

71
Tjipta Lesmana, Bola Politik dan Politik Bola, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2013) h. 189
72
Tjipta Lesmana, Bola Politik dan Politik Bola..., h. 189

36
b. Meniup peluit offsides kepada pemain kesebelasan yang nyaris saja
menghujamkan goal ke gawang lawan. Atau sebaliknya,membiatkan lawan
menyarangkan gol ke gawang lawan, padahal posisinya ketika itu jelas-jelas
offside
c. Mengahadiahkan tendangan penalti kepada pemain yang terjatuh diganjal
lawan, padahal; posisinya belum di dalam kotak pinalti
d. Membiarkan pemain leluasa melancarkan serangan ke gawang lawan ketika
ia sebenarnya melakukan handball atau pelanggaran lain; wasit pura-pura
tidak melihat
e. Memberikan perpanjangan waktu tidak sesuai ketika kesebelasan yang
diunggulkan mencetak gol yang membawanya menang.

Sebenarnya dalam buku Bola politik dan Politik Bola dituliskan bagaimana
hasil wawancara dengan berbagai pihak terkait –pengurus pusat PSSI, bandar,
anggota komite di lingkungan omite pusat, pengurus provinsi (pengprov) dan
seorang pemain nasional yang kini menjadi pelatih, namun penulis akan
mencantumkan beberapa yang kira-kira relevan dengan penelitian ini, diantaranya
yaitu:73
1) Pelaku/subjek Hukumnya
a. Pengurus pusat PSSI, apakah oknum yang berada di executive comittee (Exco),
pengurus Harian, Badan Liga Indonesia (BLI), maupun liga amatir
b. Oknum-oknum yang memang hidup dan profesinya adalah makelar sepakbola.
c. Untuk proyek penanganan sebuah klub, oknum tersebut sudah mempunyai
kolega dari unsur perangkat pertandingan yang terdiri dari wasit utama, wasit
I, wasit II, wasit cadangan, dan pengawas pertandingan.
2) Modus Operandi Mafia
a. Menjelang pelaksanaan kompetisi para pengurus klub/manajer mulai
berkeliaran mencari siapa oknum yang akan diminta bantuan mengawal
perjalanan ketika berkompetisi ; ada yang langsung deal DP atau sekadar

73
Tjipta Lesmana, Bola Politik dan Politik Bola..., h. 171

37
pemberian awal dalam jumlah tertentu. Umumnya nilai kesepakatan cukup
besar, ratusan juta hingga miliaran rupiah
b. Setelah dilakukan pembagian grup, di antara peserta kompetisi biasanya ada
pembicaraan tentang siapa wasit yang akan dipakai oleh klub yang
bersangkutan
c. Oknum yang akan mengawal klub biasanya secara intensif berkunjung ke
daerah yang menggunakan jasanya selaku mafia, atau kumjungan baru
dilakukan pada saat pertandingan agak krusial, karena lawan tergoliong berat
atau wasit belum bisa dipastikan memihak.
d. Permainan curang yang paling sering terjadi pada saat klub tersbut bertindak
sebagi tuan ruma. Bila klub sedang tandang (away) dan tuan rumah agak
lemah koneksinya, biasanya ada istilah “dicuri poinya”.
e. Bila wasitnya nekat, ia siap menanggung berbagai risiko seperti dipukuli
massa, pemain, maupupn dikeroyok pengurus yang merasa dikerjain.
f. Salah satu bentuk pemberian hadiah wasit kepada tuan rumah adalah pemain
lawan diberi hukuman pinalti karena handball atau pelanggaran di kotak
pinalti.
g. Bentuk servis lainya dari klub tuan rumah kepada perangkat pertandingan
(wasit, pengurus PP) adalah hiburan malam seperti cafe, diskotik, messege,
atau hiburan wanita (PSK). Artinya, sebelum pertandingan digelar, wasit dan
PP dibawa ke kafe dan tempat hiburan malam dan servis “habis”, termasuk
dengan perempuan-perempuan cantik
h. Umumnya pe;aksanaan pemberiaan dana dari klub/manajer kepada pelaku
mafia melalu transaksi cash; tetapi tidak sedikit pula melalui transfer bank.
C. Ketentuan Pidana Terkait Pengaturan Skor

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 1 disebutkan bahwa tiada


pidana tanpa ada aturan yang menuliskanya.74 Hal ini menunjukan bagaimana
berlakunya asaz legalitas berlaku di Indonesia, yang menurut Von feurbach

74
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi, (Bandung: PT. Rineka Cipta) h. 25

38
“Nullum Delictum Nulla Poena sine praevige lage” (tidak ada delik, tidak ada
pidana tanpa peraturan terlebih dahulu.75
Kasus pengaturan skor (Pengaturan Skor), salah satu cara untuk melakukan
tindakan tersebut adalah dengan melakukan tindakan penyuapan kepada pihak-
pihak terkait dalam pertandingan sepakbola seperti pemain, pelatih, wasit, manajer
dan pihak lainya. Tertangkapnya Johan Ibo di Surabaya ketika akan menyuap
pemain Borneo FC, seharusnya menjadi pintu masuk untuk memberantas tindakan
pengaturan skor (Match Fixing) di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi Jo. Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi tidak mengatur
mengenai penyuapan di sektor swasta. Sejatinya jika klub sepakbola di Indonesia
masih mendapat dana dari APBD pemain sepakbola dapat dikategorikan pada
pegawai negeri. Dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentan pemberantasan
Tindak pidana korupsi yang dimaksud dengan pegawai Negeri adalah:
a. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang
kepegawaian
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab undang-undang Hukum
Pidana
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah
d. Orang yang pernah menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan
modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Awalnya, tahun 2012 setiap klub sepakbola di Indonesia dapat dipastikan akan
mendapat dana anggaran pendapatan belanja Daerah (APBD) kabupaten dan kota
dimana klub itu berasal. Contohnya dana hibah dari PBD Kota Surabaya untuk klub
persebaya Surabaya pada tahun 2010 sebesar Rp. 10,7 Milyar.76 Namun dengan

75
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana..., h. 25
76
Anang Zakaria, http://bola.tempo.co/read/news/2009/08/06/099191099/bonek-demo-
dukung-bantuan -apbd-untuk-persebaya dikunjungi 26 September 2019

39
adanya permendagri Nomor 1 tahun 20011, maka dana hibah yang berasal dari
APBD Kabupaten/kota dilarang diberikan kepada klub sepakbola profesional dan
dana hibah tersebut hanya boleh diberikan untuk pembinaan sepakbola amatir.77
Maka dari itu saat ini klub-klub profesional di Indonesia dan Organisasi PSSI
tidak mendapat dana dari APBD atau dana bantuan dari pemerintah, maka jika
terjadi penyuapan yang melibatkan pemain atau wasit, mereka tidak dapat dijerat
dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang tentang pemberantasan
Korupsi.
Untuk menjerat pelaku penyuapan sektor swasta, ada aturan Pidana yang dapat
dikenakan. Undang-Undang Nomor 11 tahun 1980 tentang tindak pidana Suap
dapat digunakan untuk menjerat pelaku penyuapan di luar Undang-Undang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 11
Tahun 1980 berbunyi:
Yang dimaksud dengan tindak pidana suap dalam undang-undang ini adalah
tindak pidana suap diluar ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah
ada.
Aturan dalam pasal 1 dapat digunakan untuk pelaku penyuapan yang tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada maksud dari “di luar
ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada” adalah peraturan
diluar78:
1. Kitab Undang-undang hukum pidana Jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971
Nomor 10, Tambahan Lembaga Negara Nomor 2958; dan
2. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 jo Undang-undang Nomor 4 Tahun
1975 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang pemilihan Umum
Anggota Badan Permusyawaratan/perwakilan rakyat.

77
http://www.net/indonesia/penggunaan-apbd-untuk-sepakbola-resmi-dilarang-
d5f294.html dikunjungii 26 September 2019
78
UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang tindak pidana Suap (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1980 Nomor 58, tambahan Lembaran Negara Nomor 3178) Penjelasan pasal 1

40
Pada saat ini undang-undang nomor 3 tahun 1971 telah dicabut dan digantikan
dengan undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sedangkan undang-undang nomor 15 tahun 1969 jo Undang-undang Nomor 4
tahun 1975 jo Undang-undang Nomor 2 tahun 1980 tentang anggota badan
permusyawaratan/perwakilan rakyat dicabut diganti dengan undang-undang
pemilihan umum anggota badan permusyawaratan/perwakilan rakyat, undang-
undang yang terbaru adalah undang-undang Nomor 8 tahun 2012 tentang pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat daerah.
Perbuatan yang termasuk dalam memeberi suap diatur dalam pasal 2 Undang-
Undang Tindak Pidana Suap. Bunyi pasal tersebut adalah:
Barang siapa memeberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan
maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau
kewajibanya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi
suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima)tahun dan denda sebanyak-
banyaknya Rp. 15.000.000,- (lima juta rupiah).

Dalam penjelasan pasal tersebut dituliskan bahwa yang dimaksud dengan


“kewenangan dan kewajiban” termasuk juga kewenangan dan kewajiban yang
ditentukan oleh kode etik profesi atau ditentukan masing-masing.79 Organisasi yang
berwenang untuk menerbitkan Kode Etik terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam
pertandingan sepakbola di Indonesia adalah PSSi. Peraturan mengenaikode etik dan
fair play dituangkan dalam peraturan organisasi PSSI tahun 2009 Nomor 06/PO-
PSSI/X/2009. Kode etik untuk pelanggaran official pertandingan menerima suap
diatur dalam Pasal 14 yang berbunyi:
Official tidak boleh menerima suap, dengan kata lain setiap hadiah maupun
keuntungan lain ditawarkan, dijanjikan atau dikirimkan pada mereka
dengan tujuan menghasut ofisial agar mengabaikan pekerjaanya ataupun
berlaku tidak jujur untuk keuntungan pihakk ketiga harus ditolak. Ofisial
dilarang untuk menyuap pihak ketiga ataupun pihak lainya untuk
mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri atau orang lain.

79
UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang tindak pidana Suap (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1980 Nomor 58, tambahan Lembaran Negara Nomor 3178) Penjelasan pasal 2

41
Ofisial yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah setiap orang kecuali
pemain, yang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan sepakbola baik di
lingkungan PSS maupun di luar lingkungan PSSI, tabpa memandang jabatanya,
jenis kegiatan (administrasi, olahraga atau lainya) dan lamanya kegiatan tersebut;
manajer, pelatih, dan staf medis adalah ofisial.80 Namun bukan berarti pemain yang
menerima suap tidak melanggar kode etik dan fair play yang telah dibuat oleh PSSI.
Pemain tetap harus tunduk pada aturan tentang kode etik dan fair play karena
mereka terlibat dalam pelaksanaan sepakbola di Indonesia.81 aturan mengenai
bermain secara fair play dijelaskan dalam peraturan organisasi PSSI tahun 2009
nomor 06/PO-PSSI/X/2009 pasal 2. Terdapat

80
Peraturan Organsasi PSSI tahun 2009 Nomor 06/PO-PSSI/X/2009 tentang kode etik fair
play pasal 1 huruf g
81
Peraturan Organsasi PSSI tahun 2009 Nomor 06/PO-PSSI/X/2009 tentang kode etik fair
play pasal 5 ayat (2)

42
43

BAB IV
PENEGAKAN HUKUM PENGATURAN SKOR SEPAK BOLA
INDONESIA PERSPEKTIF HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM
PIDANA ISLAM
A. Pengaturan Skor Sepak Bola Indonesia

Kompetisi sepak bola saat ini telah berubah karena mulai disusupi oleh
pelaku kriminial secara terorganisir, terutama dalam manipulasi pertandingan dan
pengaturan skor. Pengaturan skor dan manipulasi pertandingan sebagai ancaman
global , ibarat seperti virus kanker yang terus menyebardan tidak melihat ada tempat
yang aman dari match fixing dan match manipulating di dunia ini. Semua wilayah
di dunia ada ancaman yang sama. Setiap kegiatan sepakbola di bawah federation of
International Football Assosiation (FIFA), selalu ada upaya infiltrasi dari kejahatan
yang terorganisir.82
Salah satu penyebab terjadinya pengaturan skor adalah penyuapan yang
dilakukan oleh mafia bola kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pertandingan
sepakbola. Untuk diperlukan upaya penegakan hukum agar tindak pidana
pengaturan skor dapat dihilangkan dari dunia olahraga Indonesia. Hingga saat ini
memang belum ada kasus pengaturan skor yang diputuskan di pengadilan. Hal
tersebut terjadi karena proses pembuktian dalam mengungkap tindak pidana
pengaturan skor sulit, sehingga aparatur penegakan hukum di Indonesia hingga saat
ini belum dapat menjerat pelaku pengaturan skor dengan sanksi pidana.
Ruang korupsi di dunia sepak bola untuk para pemain, praktis, sangat
sempit. Tindakan yang lazim dilakukan dalam sepakbola adalah salah satunya judi
bola melalui pengaturan skor.83 Namun dalam pelaksanaan aksinya mafia judi
mengajak secara melawan hukum para pemain, pelatih, wasit atau perangkat
pertandingan lain untuk melancarkan pengaturan skor.

82
Ali, FIFA: sepakbola telah disusupi kejahatan terorgansir”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5270ce5840661/fifa--sepakbola-telah-disusupi-
kejahatan-terorganisir di kunjungi pada tanggal 7 Oktober 2019
83
Tjipta Lesmana, Bola Politk dan Politik Bola (Kemana arah tendanganya?), (jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013)
Faktor-faktor Suburnya mafia Sepakbola, diantaranya yaitu:84
a. Kebutuhan suatu klub/pengurus/manajer untun naik peringkat/level dengan
cara apa pun. Khususnya karena desakan suporter.
b. Manajer kebetulan seorang pejabat daerah yang menggunakan sarana
sepakbola sabagai kampanye, atau calon incumbent. Dia menghalalkan segala
cara. Yang penting klubnya naik peringkat; pejabat mendapat pujian dari para
calon pemilih dalam suatu pilkada, misalnya, nama calon menjadi harum
karena klub dibawah asuhanya menjadi terkenal, atau menjadi juara atau naik
level. Contoh ketika sukawi Sutarip menjabat walikota semarang, padahal dana
untuk PSIS (Semarang) berasal dari APBD.
c. Ketidaktahuan/tidak profesionalnya para pengurus daerah dalam mengelola
klub, sehingga mereka dijadikan sapi perahan oleh pengurus pusat.
d. Dari sisi perangkat pertandingan, bila wasit atau PP (Pengawas pertandingan)
tidak mau mengikuti atau tidak mau diatur dalam penentuan skor maupun
penentuan pemenang oleh tokoh-tokoh diatas, maka mereka akan mengalami
kesulitan untuk mendapat tugas selanjutnya. Bisa juga, wasit sulit naik tingkat.
e. Ada juga pelatih yang sengaja menjual poin/klub asuhanya (dikalahkan)
semata-mata karena permintaan klub lawan karena kepentingan atau imbalan
tertentu.

Berdasarkan keterangan diatas, Maka dapat disimpulkan bahwa maraknya


korupsi bola di Indonesia disebabkan; 85
a. Kegentingan pengurus lebih diutamakan daripada prestrasi sepakbola
b. Menjadi pengurus dianggap ststus kekuasaan. Dan status kekuasaaan bisa
dikomersialisasikan.
c. Lemahnya posisi tawar perangkat pertandingan, sehingga Assosiasi wasit pun
tidak memiliki kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri.

Lebih lanjut, Alfero Setiawan dalam buku Dasar-Dasar pengaturan skor


dalam sepak bola “posisi hukum pidana terhadap statuta FIFA”, menuliskan,

84
Tjipta Lesmana, Bola Politk dan Politik Bola..., h. 192
85
Tjipta Lesmana, Bola Politk dan Politik Bola..., h. 193

44
Terry Steans mencoba menguraikan tentang bagaimana pertandingan bisa diatuir,
yang ia bagi ke dalam beberapa tahapan, yakni naiknya tingakat kejahatan,
“ekploitasi” bagian rentan, mendapatkan akses ke sport people, dan “mengontrol”
organisasi olahraga. Lebih jelasnya seperti berikut;86
a. Naiknya Tingkat kejahatan

Penyebab naiknya tingkat kejahatan terhadap sepak bola diperkirakan karena


meningkatnya penggunaan internet dan komunikasi yang berbasis teruhan secara
global, yang saat ini sebagian besar merupakan taruhan dalam level Internasional.
b. Ekspoitasi Bagian Yang “Rentan”

Pelaku pengaturan skor terkadanag mengguanakan cara “todong senjata”


dengan cara mendekati seorang pemain atau wasit. Namun seringnya mereka
mempelajari terlebih dahuku “target” mereka dan mencari kelemahan. Contohnya,
kebiasaan kebiasaan target dengan suatu jenis obat-obatan atau seorang atlet yang
memiliki masalah keuangan, atau hanya faktor keserakahan sehingga pelaku
pengaturan skor dapat memanfaatkanya.
Wasit menjadi salah satu pihak yang rawan, sekurang-kurangnya dikarenakan
dua sebab. Pertama, wasit adalah pejabat paling berkuasa dalam pertandingan dan
putusan wasit berdasarkan peraturan FIFA tidak bisa dilawan oleh siapa pun,,
kecuali jika putusanya terbukti “ngawur” berdasarkan investigasi pasca
pertandingan. Kedua, wasit mempunyai banyak kepentingan, salah satunya yaitu
kepentinmgan untuk naik peringkat FIFA.
c. Mendapatkan Akses Kepada Anggota Olahraga

Dalam hal ini, para fixer menggunakan hubungan yang sudah ada, seperti
mantan pemain yang tahu “siapa-siapa” dalam suatu tim, sehingga dapat diajak
berbuat koruptif. Biasanya agen pemain selalu bisa diandalkan, selain itu para
pengurus organisasi seperti anggota-anggota panel untuk seleksi wasit, juga
menjadi pintu masuk. Poin penting di sini adalah, ketika pengurus organisasi
olahraga bisa dikontrol maka tentu dapat dengan mudah menentukan siapa yang

86
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., (Yogyakarta: deepulisher,
2016) h. 47

45
akan bermain, kapan dan di mana mereka bermain dan yang paling penting “hasil
akhirnya”.
d. Mengontrol Organisasi Olahraga

Pelaku kejahatan juga dapat mengatur permainan dengan cara mengambil


alih sebuah organisasi olahraga, dengan mengendalikan orang yang menunjuk wasit
dan dapat memutuskan kapan dan dimana wasit yang di tunjuka akan “bekerja”,
sudah dapat dip astikan, hal tersebut dapat mempengaruhi permainan dan
dipastikan, hal tersebut dapat mempengaruhi permainan dan keputusan yang
penting.

Faktor lain bahwa para penjahat merasa “nyaman” dengan infiltrasi di sepak
bola dan olahraga pada umumnya adalah keuntungan yang didpatkan jumlahnya
sampai berlipat-lipat, yakni.87
a. Pertama, organisasi olahraga umumnya tidak memiliki aturan yang memadai
dan defenses (pertahanan) yang praktis terhadap kriminalitas, dan bahkan
sering menghindari tanggung jawab untuk masalah seperti ini.
b. Kedua, penyidikan dan penuntutan global terhadap penjahat transnasional yang
terlibat jalanya judi ilegal diluar dari framework aturan-aturan yang tidak
terkordinasi dengan baik.
c. Ketiga, taruhan di tingkat global secara umum cara pengaturanya tidak diatur
yang kemudian bergantung pada peraturan nasional yang ada dan mimim.

Maka dari itu dapat disimpulakan menyimpul;kan bahwa maraknya korupsi


bola, khususnya di Indonesia disebabkan:88
a. Kepentingan pengurus lebih diutamakan daripada prestasi olahraga;
b. Menjadi pengurus dianggap status kekuasaan. Dan status kekuasaan bisa
dikomersialisasi. Ingat: Power is Money
c. Wasit pun tidak memiliki kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri

87
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h.47
88
Tjipta Lesmana, Bola Politk dan Politik Bola (Kemana arah tendanganya?), h. 192

46
Forest menyimpulkan bahwa pengaturan skor dapat terjadi pada saat kondisi
seperti berikut:89
a. Bursa taruhan dengan kuantitas dan kualitas yang tinggi.
b. Atlet dibayar dengan bayaran rendah.
c. Pengaturan skor merupakan tindakan individu dari pada hubungan yang
kompleks dari sebuah event atau kegiatan.
d. Pengawasan terhadap kompetisi yang kurang intensif, misalkan pertandingan
dimainkan pada divisi yang rendah atau kasta rendah dari suatu kompetisi.
e. Pengaturan pertandingan tidak berpengaruh pada posisi/klasemen akhir dari
sebuah kompetisi.
f. Pengatur pertandingan tidak menyebabkan kekalahan dari suatu tim.
g. Tingkat gaji yang dianggap tidak adil.
h. Ada tingkat korupsi yang umumnya cukup tinggi di masyarakat

Selain faktor internal atau sering disebut Family football, pengaturan skor juga
dipengaruhi faktor eksternal atau diluar family football. Menurut Eko Noer
Kristiyanto, Motif pelaku pengaturan skor selain faktor kepentingan, juga ada motif
Judi.90 Menurutnya motif utama dalam tindakan pengaturan skor adalah uang.
Sindikat judi bermodal besar berani membuat skenario terkait suatu hasil
pertandingan karena mereka memiliki banyak uang untuk bermain dibanyak titik.
Namun harus dipahami bahwa selama tak memenuhi unsur-unsur tertentu yang
diatur secara pidana maka suatu pengaturan skor tak dapat dimasukan kategori
kejahatan/kriminal namun tetap saja menciderai fairplay, karena ada juga
pengaturan skor yang motifnya bukan uang tetapi murni strategi untuk
menghindari/memilih lawan dan sebagainya. Kejelasan motif menjadi kejelasan
motif menjadi sangat penting dalam pengusutan pengaturan skor, karena sepanjang
tak memenuhi unsur pidana maka urusan sanksi hanya ada di tangan komisi disiplin
(komdis), komisi banding (komding) dan komisi betik PSSI. Begitupun sebalinya,
ketika proses penyelidikan dan penyidikan menemukan fakta lain yang melibatkan

89
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h.43
90
Hasil Wawancara Eko Noer Kritiyanto, Peneliti Olahraga Kemenkum HAM, Di Kantor
KemenKum HAM, Tanggal 14 Oktober 2019

47
pihak-pihak luar football family seperti bandar judi, mafia dan lain-lain maka
federasi tak dapat menjangkaunya dan harus menggandeng aparat penegak hukum
(baca;negara) untuk memberantasnya.91
Michael Pride juga meneliti ”How Bets are laid to exploid fixing”, dan
dilanjutkan meneliti karakteristik gambling market dari yang white Market, Gray
market, dan black Market dan cara yang digunakan oleh kelompok-kelompok
kejahatan untuk memanfaatkan kegiatan taruhan untuk melakukan kecurangan.92
Berikut penelitian yang dilakukan oleh Michael Pride, mengenai hubungan
atau kaitan betting dengan pengaturan skor, seperti bisnis taruhan, jalanya taruhan,
aksi (taruhan), taruhan ilegal dalam pengaturan skor, pada penjelasan terkait
taruhan ilegal pada pengaturan pertandinghan, Michael Pride menerangkan
bagaimana taruhan ilegal mempengaruhi hasil akhir pertandingan. Sehubungan
dengan manipulasi pertandingan, taruhan di tenpatkan sedemikian rupa terhadap
individu atau kelompok. Untuk membuat suatu pendeteksian nyaris mustahil.
Kompleksitas operasi sindikat taruhan ilegallah ynag memungkinkan hal ini terjadi.
Sindikat biasanya memanfaatkan gejolak (maksudnya even yang banyak momen)
untuk mengatur taruhan, sehingga taruhan tidak menarik perhatian. 93
B. Penegakan Hukum Pengaturan Skor sepak bola Indonesia dalam Hukum
Pidana dan Hukum Pidana Islam
1. Penegakan Hukum Pengaturan Skor Dalam Sepak Bola Indonesia Dalam
Hukum Positif

Ruslan Saleh menyebutkan bahwa perundang-undangan dan pemerintah


memegang peranan dalam pelbagai bidang pengaturan penghidupan sehari-hari,
dan semakin hari semakin besar pula. Proses sosial ekonomi tidak lagi dibiarkan
kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyratakat. Pemerintah

91
Eko Noer Kristiyanto, pengaturan skor sepak bola dan ketidakmampuan penegak
hukum”, Jurnal Rechvinding, 2015
92
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h.52
93
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h.53

48
mencampuri hal-hal ini dengan cara memeliharanya, mengaturnya, bahkan
membagi-bagi diantara mereka.94
Tidak seorang pun meragukan bahwa pemerintah mempunyai fungsi
mengatur yang paling penting, dan bahwa ia melindungi kesehatan dan lingkungan
hidup, bahwa dia harus menjaga agar terjadi pembagian yang baik atas barang-
barang. Tetapi adalah penting pula untuk diketahui bagaimanakah dia melakukan
segala sesuatunya ini, dan kenapa dia menetapkan prioritas-prioritas atas hal-hal
tertentu. Apakah peranan pemerintah yang telah berubah itu memang dapat
menimbulkan perubahan-perubahan yang mendalam memngenai hubungan
kekuasaan yang bersifat sosial ekonomi, adalah suatu pertanyaan yang tidak dapat
secara positif dijawab degan sama. Politik pemerintah dalam bidang sosial ekonomi
pasti bukan hanya hasil dari suatu usaha yang bersifat kolektif, yang motif satu-
satunya adalah keadilan. Campur tangan pemerintah adalah untuk membantu sistem
sosial ekonomi yang keseimbanganya tidak dapat lagi dijamin oleh pasar bebas dari
barang-barang dan jasa-jasa. Ekspoloitasi modal hanya dapat dipertahankan jika
pemerintah menjalankan politik sosial dan ekonomi dan yang dapat menstabilkan
jalan ekonomi itu.95
Upaya hukum adalah mekanisme yang diberikan undang-undang kepada
setiap subjek hukum, baik orang ataupun badan hukum, untuk melawan sesuatu
keputusan hukum yang dinilai merugikan subjek hukum. Dalam ilmu hukum,
dibedakan antara upaya hukum yang biasa dan upaya huykum yang bersifat luar
biasa. Upaya hukum biasa dapat menangguhkan eksekusi keputusan yang
sebelumnya, sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan keputusan
yang sebelumnya .96
Dalam ilmu hukum, biasa dikenal adanya istilah court of law versus court
of justice untuk menggambarkan adanya dua aliran pemikiran dalam upaya
penegakan hukum dan keadilan. Court of justice adalah pengadilan keadilan yang

94
Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam persprktif, (Jakarta; penerbit
Aksara Baru, 1983) h. 63
95
Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana..., h. 64
96
Jimly Asshidiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi (perspektif Baru tentnang Rule Of
ethics & Consyitusional Law and Constitutional Ethicsj , (Jakarta: Sinar Grafika, 2015) h. 13

49
berusaha menegakan keadilan dalam arti yang substantif, bukan sekadar pengadilan
hukum dalam arti substantif, bukan sekadar pengadilan hukum dalam arti formal
yang hanya berusaha menegakan hukum dari perspektifnya bersifat formalistik dan
prosedural semata.97
Dalam sumber lain, Jimly Asshiddiqie, menyebutkan bahwa penegakan
hukum adalah proses dilakukanya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-
norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau
hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.98
Penegakan hukum dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat
dilakukan oleh subjek hukum yang terbatas atau sempit. 99 jika ditinjau dari subjek
yang luas, penegakan hukum adalah proses penegakan hukum yang melibatkan
seluruh subjek hukum setiap hubungan hukum. Siapa saja yang melakukan atau
tidak melakukan penegakan hukum. Sedangkann ditinjau dari subjek hukum ysng
sempit, penegakan hukum hanya dilakukan oleh aparatur penegakan hukum
tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan atau hukum berjalan
bagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila
diperlukan, aparatur hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Tujuan dari penegakan hukum sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri adalah
untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan dan tujuan hukum merupakan
upaya mewujudkan tercapainya ketertiban dan keadilan.100
Dalam perspektif sistem peradilan pidana, proses penegakan hukum di
bidang hukum pidana adalah mencakup seluruh kekuasaan
kehakiman/kewenangandalam menegakan hukum pidana yang dilakukan melalui
kekuasaan penyidikan oleh kepolisian, kekuasaan penuntutan oleh kejaksaan,
kekuasaan mengadili oleh pengadilan, kekuasaan permasyarakatan oleh lembaga
pemasyarakatan. Dengan kata lain, kekuasaan kehakiman dalam bidang hukum

97
Jimly Asshidiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi..., h. 1
98
Jimly Asshiddiqie, penegakan Hukum,
www.jimly.com/makalah/.../penegakan_hukum.pdf h. 1 dikunjungi 7 Oktober 2019
99
Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum..., h.2
100
Chaerudin Dkk, strategi pencegahan & penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi,
(Jakarta: PT. Refika Aditama, 2011) h. 88

50
pidana tidak hanya diwujudkan dalam kekuasaan mengadili teteapi juga
diwujudkan dalam tahap-tahap kekuasaan tersaebut diatas.101
Sedangkan, menurut Hikmawanto, di Indonesia secara tradisional institusi
hukum yang melakukan penegakan hukum adalah kepolisian, kejaksaan, badan
peradilan dan advokat.102 Kepolisian dikatakan sebagai aparat penegak hukum
karena memiliki fungsi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.103
2. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Pemerintah

Suatu teori berguna untuk mencari dan menerangkan tentang suatu hal.
Alvero setiawan menggunakan untuk menerangkan bagaimana suatu tindak pidana
dapat di tanggulangi dengan cara pelaksanaan pertauran perundang-undangan
pidana oleh sistem peradilan pidana (criminal justice System) yang dibentuk oleh
negara.104
Kebijakan kriminal (criminal policy) juga dapat diartikan sebagai kebijakan
pemerintah dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan,105 di sini
dimaksudkan untuk menanggulangi kejahatan pengaturan skor. Selain itu,
kebijakan hukum pidana merupakan hal yang penting, karena dapat membentuk
pola pemikiran para pembentuk undang-undang untuk menyesuaikan aturan-aturan
hukum agar sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat yang semakin
kompleks.106 Dengan dinamisnya perkembangan sosial budaya, sosial, budaya,
pendidikan dan lainya dalam Masyarakat, ternyata juga telah memunculkan
beragam jenis kejahatan. Penmgaturan skor dapat dipahami merupakan ancaman

101
Tolib Efendi, sistem peradilan pidana: perbandingan komponen dan proses sistem
peradilan Pidana di beberapa Negara, (Yogyakarta: Tim Pustaka Yustisia, 2013) h. 147
102
Sanyoto, penegakan Hukum Di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 8 No.3
September 2008, http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/74/226, h. 199
103
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian negara Republik
Indonesia(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 No. 2, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4168) pasal 2
104
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h. 96
105
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (jakarta: Sinar Grafika, 2008) h. 90
106
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahtan, (jakarta:Kencana, 2008) h. 19

51
terbesar dalam dunia olahraga, karena ia menyebabkan olahraga tidak hanya
sandiwara semata. Selain itu, ia juga menghancurkan integritas dan prinsip yang
seharusnya dijunjung tinggi dalam olahraga, seperti fair play. oleh karena itu,
Indonsia melalui R-KUHP mencoba mengkriminalisasi pengaturan skor dalam
olahraga sebagai bagian dari tindak pidana, tepatnya sebagai tindak pidana
korupsi.107
Sebelumnya, dikenal pula beberapa pengertian yang saling berkaitan, yaitu
dan penalisasi. Selain itu, hal tersebut juga dapat dimaknai sebagai usaha untuk
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.108
Muladi berpendapat bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan hukum pidana (saran penal) pada hakikatnya dilakukan melalui
beberapa tahapan sebagai berikut:109
a. Tahapan Formulasi

Merupakan tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-


undang, tahap ini disebut juga sebagai tahap kebijakan legislatif.
b. Tahapan Aplikasi

Tahap penerapan hukum pidana oleh parat-aparat penegak hukum mulai dari
kepolisian sampai pengadilan, tahap ini disebut juga sebagai tahap kebijakan
yudikatif.
c. Tahap Eksekusi

Tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana


pidana, tahap ini disebut juga sebagai kebijakajn eksekutif atau adminitrasi.

Pada kasus pengarturan skor ini, Indonesia melalui R-KUHP sedang


mencoba merumuskan atau tahap formulasi. Sampai saat ini, belum ada
perkembangan lebih lanjut tentang proses legislasi tersebut. Yang sedikit

107
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h. 97
108
Barda Nawai Arief, kebijakan Hukum Pidana (penal Policy), (Semarang: FH-UNDIP)
H. 9
109
Muladi, Kapita SelektaSistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan penerbit
Universitas Diponegoro, 1995) h. 9

52
mengherankan, justru mengapa ia ditetapkan sebagai bagian dari tindak pidana
korupsi. Menurut mantan jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khsus Muhamad
Amari, kriminalisasi dalam pengaturan skor ini diharapkan bisa memperbaiki
kondisi persepakbolaan di tanah air. Selain itu, ia menambahkan dimasukanya
pengaturan skor berdasarkan konvenan PBB (UNCAC).110
Menurut Muladi dimasukanya ke dalam R-KUHP dikarenakan berbagai
negara di dunia melakukan hal yang sama. Memang benar, tidak hanya di Indonesia
saja yang mengkriminalisasi pengaturan skor sebagai tindak pidana korupsi, Belgia
Ceko, Finlandia, Prancis, Luxemburg, Rumania, Slokavia dan Swedia juga
melakukan hal yang sama., dengan mengkriminalisasi pengaturan skor sebagai
tindak pidana korupsi. Akan tetapi, sutrasi Fitriasih kepada Alfero Setiawan
mengatakan “bukankah masih banyak perbuatan yang lain yang mungkin lebih
tepat untuk dimasukan sebagai bagian dari tindak pidana korupsi?”. Sehingga
menurutnya lebih baik pengaturan skor tidak dimasukan dalam tindak pidana
korupsi.111
3. Madzhab Sport law

Buku Alfero Setiawan menuliskan bahwa mencari definis sport law


semakin lanjutv semakin kompleks dan terus menerus diperdebatkan. Ada yang
berpendapat bahwa sport law tidak lebih dari fenomena yang apabila diamati
hanyalah prinsip-prinsip suatu hukum dasar yang aplikasikan ke dalam sengketa
olahraga.112 Di sisi lain terdapat perkembangan, di dalam sengketa olahraga yang
terang-terangan mempertimbangkan konteks olahraga untuk membenarkan
bagaimana dan mengapa hukum berlaku berbeda terhadap hukum berlaku berbeda
terhadap olahraga.113
Tambahnya, dalam tulisan Topo Santoso berjudul prosecuting Sports
Violence: The Indonesia Football Case mengatakan, bahwa penting untuk
mengetahui bagaimana olahraga mengembangkan dirinya untuk diatur oleh hukum

110
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h. 99
111
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h. 99
112
Hinca IP Pandjaitan, Kedaulatan negaravs kedaulatan FIFA, bagaimana menundukan
masalah PSSI dan Negara (pemerintah Indonesia), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011) h. 128
113
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h. 105

53
dan bagauimana hukum menyediakan berbagai aspek bagi olahraga untuk mengatir
hal-hal yang terkait dengan bidangnya secara efektif dan menyelesaikan berbagai
sengketa yang muncul dalam bidang bersangkutan.114 Olahraga tidak akan pernah
akan ada tanpa regulasi yang mengaturnya. Misalnya, dalam rangka membuat
aturan fair dengan cara menbandingkan dari sudut fisik setiap individu atau tim
yang harus membutuhkan ukuran umum dan sama. Inilah yang disebut aturan dan
norma (law). oleh karena itu, tidak ada aktivitas manusia yang diatur lebih ketat dan
lebih lengkap daripada olahraga dan tidak ada gerakan tubuh maupun ritual yang
diukur secara lebih teliti daripada gerkan tubuh dalam olahraga.115
Berikut beberpa pandangan terkait sport law: 116
a. Pandangan Konvensional: Sport Law Does Not Exist

Sebuah pandangan konvensional merepresentasikan sport law tidak lebih dari


gabungan berbagai bidang hukum yang relevan dalam konteks olahraga. Berdasar
perspektif ini, istilah sport law hanya sebuah representasi bentuk dari aktifitas dan
hiburan yang di atur oleh sistem hukum. C Woodhouse dalam simon gardiner
menyatakan:
Tidak ada hal yang disebut Sport law, sebaliknya itu hanya bagian hukum yang
diaplikasikan ke berbagai situasi dalam olahraga dari berbagai disiplin ilmu,
seperti hukum asministrasi, hukum persaingan, HKI, pencemaran naman baik
dan hukum ketenaga kerjaanm oleh karenanya, tidak ada yang namanya sport
law.
b. The Moderate position: ”Sport Law”

Para komentator lainya semakin mempertanyakan pandangan konvensional,


yang menyatakan bahwa tidak ada batang tubuh (corpus) hukum yang ada, yang
bisa dikategorikan sebagai bidang hukum yang independen yang disebut sport law.
diantara para pengkritik sudut pandang konvensional, ada beberapa yang
menawarkan konsep “jalan tengah” (middle ground). Profesor Kenneth Shrophire

114
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h. 105
115
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h. 106
116
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h. 107-110

54
salah satunya, ia mengakui bahwa perkembangan seperti undang-undang negara
bagian dan federal berdampak pada olahraga (misalnya, undang-undang negara
yang mengatur agen olahraga), hal ini menunjukan adanya perkembangan batang
tubuh dalam olahraga. Ia menyimpulkan, bahwa organisasi olahraga hanya belum
mencapai titik tersebut. Oleh karenanya, sport dan law lebih tepat daripada sport
law.
c. Sport Law; A Separate Field Of Law

Penganut pandangan ini menekankan pertumbuhan organisasi dan statury law


yang khusus terhadap industri olahraga, sebagai bukti keberadaan bagian dari
hukum yang diidentifikasi secara terpisah. Seorang pengacara terkemuka dari
perspektif ini adalah simon Gardiner dari Inggris, yang juga menunjukan bahwa
perdebatan sport law atau sport dan law merujuk ke peningkatan badan hukum
yudikatif dan legislatif tertentu untuk olahraga, Prof Garniner berpendapat
bahwa:117
Memang benar untuk mengatakan bahwa sport law adalah campuran dari
disiplin ilmu hukum yang saling terkait, termasuk kontrak, pajak, pekerjaan,
kompetisi dan hukum pidana, tetapi undang-undang yang khusus dan kasus hukum
memiliki perkembangan dan akan berlanjut seperti itu. Sebagai bagian dari study
akademik dan keterlibatan praktisi yang luas, ini waktu yang tepat untuk menerima
sebuah bagian hukum baru yang lahir, yakni, sport law.
Berbicara penegakan hukum pengaturan skor, terdapat dua pandangan Sport
law yang melihat bagaimana hukum diberlakukan dalam bidang olahraga, yang
terdiri dari Domestic Sprot law dan Global sport Law dan International Sports law.
kelompok tersebut di satu sisi memeperbolehkan dan di sisi lainya menolak hukum
negara masuk ke sektor olahraga. Mereka menolak hukum negara masuk,
menunjukan keinginan dari organisasi untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang
timbul pada cabang olahraga mereka dan mengklaim bahwa melalui mekanisme ini
mereka telah mengembangkan sebuah cabang baru dari hukum, yang kemudian
disebut sebagai lex sportiva. Lex sportiva merupakan sebuah bentuk lex spesialis

117
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h. 171

55
yang dapat diterapkan dalam dunia olahraga internasional., karena ia bersumber
secara langsung dari konstitusi yang dibentuk oleh federasi olahraga untuk
menjalankan olahraga yang bersangkutan. Mudahnya, kalau ingin di tafsirkan
secara sederhana, lex Sportiva adalah peraturan yang dibuat oleh induk organisasi
olahraga.118
4. Penyelesaian Perkara Pengaturan Skor (Match Fixing) Sepakbola
Indonesia Via Ketentuan Hukum Pidana

Seperti yang disebut dalam mazhab sport law diatas, bahwa ada dua pandangan
yang berbeda tentang bagaimana cara hukum memandang sengketa yang terjadi
dalam olahraga. Maka, apabila yang sebelumnya sengketa olahraga bisa
diselesaikan melalui badan organisasi sepak bola (yang dalam hal ini FIFA(di
Indonesia PSSI)) itu sendiri. Berdasarkan alasan lex spotiva maka penyelesaian via
ketentuan hukum dari suatu negara bersumber dari pendapat national sport law. 119
dalam hal Indonesia bereti Komdis, Komding milik PSSI.
Menurut Indriyanto Seno Adji hal itu tidak menghalangi suatu negara untuk
menjalankan law enforcementa-nya. Oleh karena itu, tetap dapat dituntut melalui
pidana, begitu juga dengan sanksi disiplin, yang belum tentu menjadi dasar untuk
menjakankan hukum pidana.120 Satu hal yang pasti, FIFA maupun PSSI tidak dapat
menjangkau orang yang berkecimpung diluar sepak bola (family footbal). Maka
peran negara melalui hukum pidana diperlukan.
Terdapat tiga tahapan yang ditetapkan oleh pasal 88 Undang-undang Nomor
3 Tahun 2005 Tentang Keolahragaan Nasional dalam menyelesaikan sengketa
olahraga, yaitu;121
a. Mekanisme Musyawarah mufakat
b. Mekanisme Arbitrasi atau alternatif penyelesaikan sengketa, dan
c. Mekanisme sistem peradilan umum yang berlaku

118
Alexzander Rinaldy, Kriminalisasi Match Fixing dalam pertandingansepakbola Di
Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 Tentang tindak Pidana Suap,
(Universitas Tarumanegara, 2014)
119
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h.155
120
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h. 156
121
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h. 156

56
Maka dari tiu, dalam hukum pidana dikenal dengan asa lex spesialis derpgate
legi generalis, oleh karena itu sebelum masuk kepada ketentuan pidana di
Indonesia, menurut pandangan Indriyanto Seno Adji sebagai ahli hukum pidana,
tentang apakah statuta FIFA melalui kode disiplinya itu bisa disebut sebagai lex
spesialis dari hukum pidana untuk family footbal? Jawabanya adalah “tidak”,
karena norma disiplin bukanlah merupakan norma hukum di Indonesia, selama
belum menjadi norma hukum. Karena alasan itulah, maka hukum pidana tidak perlu
menyerahkan kewenanganya, dipandang dari kacamata asas ini. Setelah melihat
bagian diatas maka, berikut ketentuan-ketentuan hukum pidana yang dapat
diterapkan di Indonesia.122
Dalam pengaturan skor ini, setidaknya ada dua ketentuan hukum pidana yang
dapat diterapkan di Indonesia, ketentuinini yaitu KUHP pasal 303 tentang judi dan
UU tipikor(dalam Hal ini UU Suap). Namun dalam tulisan kali ini penulis akan
membahas bagaimana ketentuan hukum pidana berdasarkan UU Tipikor atau suap.
Mengenai suap, yang dilakukan baik orang di luar sepak bola atau family
football hal ini yang menjadi pembahasan apakah pengaturan skor masuk dalam
UU tipikor atau tidak? Sedangkan menurut Eko Noer Kristianto, bahwa pengaturan
skor ini termasuk dalam Suap sektor swasta, sehingga tidak masuk dalam UU
Tipikor, menurutnya ketentua pidana yang bisa di pakai untuk menjerat pelaku
pengaturan skor (fixer) adalah UU Nomor 11 tahun 1980 tentang suap.123
Sebelumnya, yang dinamakan penyuapan sebagai istilah sehari-hari yang
dituangkan dalam undang-undang sebagai sebuah hadiah atau janji (Giften atau
beloften) yang diterima atau diberikan meliputi penyuapan aktif dan penyuapan
pasif. Dimuatlah kesemuanya itu dalam pasal-pasal 209 KUHP Pidana dan Pasal
(5) UU No. 31 tahun 1999 jo dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan
Korupsi. Yang menyatakan pemidanaan terhadap mereka yang “memberi” atau
menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakanya untuk

122
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h. 157
123
Hasil Wawancara dengan Eko Noer Kristiyanto..., tanggal 14 Oktober 2019

57
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatnya yang bertentangan dengan
kewajibanya.124
Lebih lanjut, megenai subjek hukum berupa penyelenggara negara, maka jelas
pemain sepak bola ataupun family football bukanlah penyelanggara negara. Maka,
jikalau menggunakan undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
sebagai dasar langkah hukum terhadap para olahragawan, mereka tidak dapat
dikategorikan sebagai pegawai negeri, selama mereka tidak menerima gaji atau
upah dari badan/badan hukum yang mempergunakan modal dari negara. Karena
family football bukanlah pegawai negeri maupun pejabat ataupun penyelenggra
negara yang dilihat dari berbagai ketentuan (statuta FIFA dan PSSI maupun UU
SKN: tidak ada satu katapun yang menyebut pegawai negeri atau penyelenggara
maka family football dalam sepak bola tidak bisa dijerat dengan ketentuan Tindak
Pidana Korupsi mengenai penyuapan. Kecuali klub atau official klub mendapat
dana dari APBD maupun PSSI/Official PSSI mendapatkan dana dari APBN maka
ketentuan Tipikor bisa dipakai.125
Maka, untuk menyikapi penyuapan terkait pengaturan skor dalam sepak bola
Indonesia, kalau diperhatikan lebih lanjut, ada ketentuan dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap. Namun
yang menjadi catatan disini adalah pasal 2 dan 3:126
Pasal 2 “Barangsiapa memeberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang
dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau
kewajiban yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap
dengan pidana pemjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-
banyaknya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).”
Pasal 3 “barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui
atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan
supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang

124
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h. 167
125
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h. 168
126
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h. 156

58
berlawanan dengan kewenangan atau kewajibanya yang menyangkut kepentingan
umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3
(tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta
rupiah)”.
Memperhatikan penjelasan dalam pasal 2, tentu dalam sepak bola suap
merupakan hal yang sangat dilarang. Dengan demikian Alfero Septiawan stadion
dan olahraga di dalamnya termasuk sepak bola adalah kepentingan umum, dan oleh
karenanya ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang tindak
Pidana Suap.127
Eko Noer Kristiyanto menjelaskan bahwa dalam pasal 11 Tahun 1980 tertulis
“yang dimaksud dengan tindak pidana suap di dalam undang-undang ini adalah
tindak pidana suap di luar ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah
ada”. Jadi seharusnya pasal ini masih bisa digunakan unuk menjerat suap di sektor
swasta dalam hal ini pengaturan skor sepak bola Indonesia.128
5. Pengaturan Skor (match fixing) perspektif Hukum Pidana Islam

Dalam hukum pidana islam tidak membedakan suap sektor maupun suap
sektor pemerintahan, menurut Prof. Dr. Abduh Malik saat diskusi di rumahnya,
penulis memgilustrasikan bahwa Pengaturan skor merupakan suap di sektor swasta,
sehingga dalam ketentuan hukum nasional pun dibedakan dengan suap yang di atur
dalam UU Tipikor, karena dalam UU Tipikor tidak terdapat aturan terkait suap di
sektor swasta. Bagaimana dalam hukum pidan islam? Jawabanya sama saja, dalam
islam tidak ada perbedaan suap sektor swasta maupun sektor pemerintahan.129
Risywah adalah sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan atau yang diberikan dalam rangka membenarkan yang batil/salah dan
sebaliknya, menyalahkan yang benar. Di dalamnya mencakup tiga unsur utama,
yaitu pihak pemeberi (al-rasyi), pihak penerima pemberian (al-murtasyi) dan
barang bentuk jenis pemberian yang diserah terimakan. Namun, biasanya lebih dari

127
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h. 156
128
Hasil Wawancara dengan Eko Noer Kristiyanto..., tanggal 14 Oktober 2019
129
Hasil diskusi dengan Prof. Abduh Malik, di rumahnya, Komp. Kemenag, Kedoya,
Jakarta Barat, Tanggal 21 Oktober 2019

59
tiga unsur itu, dengan penambahan broker, yaitu perantara antara pihak pertama dan
kedua, bahkan bisa ke empat unsur yaitu sebagai pihak mencatat peristiwa.130
Mansyur bin yunus Al-bahturi menjelaskan bahwa tindakan risywah boleh
saja dilakukan jika tindakan tersebut dilakukan oleh pihak pertama dengan
memberikan sesuatu kepada pihak untuk mencegah perbuatan munkar atau
kezaliman dan agar pihak kedua mau melakukan kewajibanya maka pemberian
semacam ini tidak dilarang berdasarkan agama.131 Dalam hal ini imam syaukani
memberikan komentar bahwa risywah itu diharamkan atas hadist rasul yang
berbunyi, “Allah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap”. Menurutnya
upaya takhsis terhadap hadist tersebut dengan menyuap hakim agar menuntut
perkara yang benar, ia tidak tahu metode dan jenis apa yang digunakan, yang jelas
hukumnya haram dan masuk dalam risywah yang ada dalam hadist tersebut. Jadi
jika dalil dan alasanya kuat untuk melakukan risywah maka diterima, namun nika
tidak ada dalil yang maqbul, maka takhsisnya ditolak, karena pada dasarnya harta
seorang muslim itu haram untuk diganggu.132
Dalam hukum pidana islam sebelumnya telah dijelaskan bahwa gratifikasi
adalah perbuatan yang dilakukan oleh Allah, hal ini didasarkan atas hadist Nabi
Saw. Sebagai berikut:
‫قال رسول هللا صلى هللا الراشى والمرتشى والرانشى بينهما‬
“Nabi Bersabda: Allah melaknat orang yang memberi suap dan orang yang
menerima suap, dan orang yang berada diantara keduanya”
Sangat penting bagi para pejabat dan pegawai yang bekerja mengumpulkan
sedekah, zakat, dan bentuk-bentuk pajak tahunan lainya yang ditentukan oleh
pemerintah. Agar mereka tidak menerima bantuan dalam bentuk apa pun karena hal
demikian ini merupakan bentuk perbuatan mengarah kepada suap atau risywah,
yang bertujuan untuk mendapatkan bantuan, baik karena membayar pajak penuh
atau karena mendapat hasil tambahan di luar yang telah ditentukan. Rasulullah
SAW. Mengutus Abdullah bin Al-Luthbiyyah Azdi untuk mengumpulkan zakat

130
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana..., h. 81
131
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana... ,h. 8
132
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al Syaukani, nayll al-autar, jilid 9 (Beirut:Dar Ar-
fikr, tt) h. 172

60
dari suku Bani Sulaim. Ketika pembayaran sudah diserahkan, Abdullah berkata:
Jumlah sebanyak ini sudah terkumpul sebagai zakat dan sisanya yang lain diberikan
dalam bentuk sedekah. Mendengar ini, Rasulullah SAW. Bersabda “apabila engkau
duduk di rumah orang tuamu sampai datang seseorang memberimu sedekah, bila
kamu benar-benar jujur”.133
‘Abdullah Muhsin al-Tariqi menjelaskan bahwa sanksi pidana risywah tidak
disebutkan dalam al-qur’an dan hadist secara jelas, mengingat sanksi tindak pidana
suap masuk dalam kategori takzir yang kompensasinya di tangan hakim.134
Maka daari itu pengaturan skor ini sama dengan riswah, penyuap atau fixer
sama hukumnya dengan Al ursy, dan yang menerima suap sama dengan Al-Murtasy.
Sehingga pengaturan skor dalam hal ini sama saja dengan perbuatan risywah.
C. Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Pelanggaran Pengaturan Skor (match
fixing) perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam

Secara umum hukum pidana berfungsi megatur dan menyelenggarakan


kehidupan masyarakat agar tercipta dan terpeliharanya kepentingan umum,
manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan, antara satu
kebutuhan dan kebutuhan lain tidak saja berlainan, tetapi terkadang saling
bertentangan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingan ini, manusia
bersikap dan berbuat, agar perbuatanya tidak merugikan rambu-rambu berupa
batasan-batasan tertentu, sehingga manusia tidak dapat sebebas-bebasnya berbuat
dan bertingkah laku dalam rangka mencapai dan memenuhi kepentingan itu.135
Filosofi penjatuhan hukuman menurut montesque, setiap hukuman yang tidak
lahir dari kebutuhan mutlak bersifat lalim, sehingga dalil yang lebih umum adalah
“setiap tindakan kekuasaan dari seorang manusia terhadap manusia lainya, tanpa
dasar kebutuhan yang mutlak, bersifat lalim”. Atas dasar inilah, hak yang berkuasa
untuk menghukum dibangun, yaitu atas kebutuhan untuk membela kebutuhan

133
A. Rahman I. Doi, penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, Syariah, (Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada, 2001), h. 505
134
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al Syaukani, nayll al-autar, jilid 9 (Beirut:Dar Ar-
fikr, tt) h. 172
135
Adami Chazawai, Hukum Pidana dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang,
Bayumedia, 2003) h. 15

61
publik yang dipercayakan kepadanya, dari perampasan individu dan hukuman itu
bersifat adil seperti yang ada dalam dalil, seperti juga kebebasan yang dipelihara
oleh yang berkuasa bersifat keramat dan berharga.
Sebelumnya, menurut Mardjono Reksodiputro dalam bukunya, pertama-tama
yang harus dipahami bahwa dalam memberikan sanksi-sanksi pidana (yang berarti
bahwa suatu perbuatan adalah suatu tindak pidana atau delik), maka pedoman
sebagai berikut harus dipegang: 136
a. Hanya diberikan apabila cara-cara pengendalian sosial (social Control) lain
(seperti: sanksi ad ministratif dan sanksi perdata) tidak cukup atau tidak
sesuai.Harus jelas pula kesalahan jenis apa yang akan berakibat adanya
pertangungjawaban pidana (criminal liability)

Dalam kaitanya pengaturan skor ini, sebelumnya diketahui bahwa alternatif


untuk mencerat pelaku, kira-kira terdapat dua alternatif ketentuan, yaitu Judi dan
suap. Namun, kali ini penulis akan membahas bagaimana berlakunya sanksi pidana
pengeturan skor menurut undang-undang suap yaitu UU No. 11 Tahun 1980 dan R-
KUHP.
Eko Noer Kristiyanto menambahkan, bahwa motif dari pengeturan skor ini
beragam, bisa motif uang atau mungkin menghindar dari lawan berat, bisa juga
untuk kepentingan naik level kompetisi. Namun kali ini akan membahas tentang
motivasi uang atau suap. 137
Namun, seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa pengaturan skor
merupakan suap di sektor swasta, sehingga seringkali tidak menjeratnya karena
hanya melihat UU 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang pmberantasan
korupsi. Memang untuk aturan pengaturan skor sudah diatur dalam R-KUHP yang
sampai sekarang belum disahkan. Seharussnya penegak hukum bisa menggunakan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. Karena UU

136
Mardjono Reksodiputro, pembaharuan hukum Pidana, Kumpulan Karangan Buku
Keempat, (Jakarta: Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007),
h. 12
137
Hasil wawancara, Eko Noer Kristiyanto..., Tanggal 14 Oktober 2019

62
ini jarang digunakan sehingga seringkali dilupakan, padahal tepat digunakan untuk
menjerat pengaturan skor.
Maka penulis akan mencoba menganalisis kedua ketentuan ini. Pertama
pada R-KUHP, jika subjek hukum terkait memenuhi unsur “menjanjikan,
menawarkan atau memberikan” maka sanksinya yaitu maksimal 2 (dua) tahun dan
denda maksimal Rp. 30.000.000,00 bentuknya kumulatif alternatif. dan jika pelaku
terbukti memenuhi unsur “meminta atau menerima sebuah tawaran atau janji,...,
mempunyai keepakatan terhadap keuntungan yang ditawarkam, dijanjikan atau
diberikan,..” maka sanksinya yaitu maksimal 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp.
30.000.000,00 dengan bentuk alternatif. 138
Yang kedua, jika menurut UU Nomor 11 Tahun 1980 maka apabila pelaku
terbukti memenuhi unsur “ menerima atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang
dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanandengan kewenangan atau kewajiban yang
menyangkut kepentingan umum” maka sanksinya adalah penjara maksimal 5 (lima)
tahun dan denda sebanyak maksimal Rp. 15. 000.000,00. Dan apabila pelaku
terbukti dan memenuhi unsur “mengetahui atau patut dapat menduga bahwa
pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau
kewajibanya yang menyangkut kepentingan umum” sanksinya adalah pidana
penjara maksimal 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
15.000.000,00.139
Dalam hukum Islam, pengaturan skor termasuk dalam kategori risywah,
sehingga masuk dalam kategori Jarmiah Takzir. ‘Abdullah Muhsin al-Tariqi
menjelaskan bahwa sanksi pidana risywah tidak disebutkan dalam al-qur’an dan
hadist secara jelas, mengingat sanksi tindak pidana suap masuk dalam kategori

138
Alfero Setiawan, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola..., h. 207
139
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana
Suap

63
takzir yang kompensasinya di tangan hakim. Untuk berat dan ringanya takzir
tersebut ditentukan dengan lingkungan di mana pelanggaran itu terjadi.140
Di sisi lain, hukum nasional tentang Pengaturan skor juga diatur tentang apa
yang kiranya patut dapat dicurigai sebagai suap. Dalam hukum islam juga
dianjurkan untuk hati-hati dalam menerima hadiah. Ibnu At-tin mengatakan
“hadiah yang diterima pejabat adalah suap, bukan hadiah karena bukan karena
jabatanya itu ia tidak diberi hadiah. Hadiah yang diterima hakim adalah haram dan
bukan miliknya.” Riwayat lainya Rabiah mengatakan, “hati-hati dalam menerima
hadiah karena hadiah itu perantara menuju suap!” satu pendapat mengatakan
“Hadiah memadamkan cahaya hikmah.” Hadiah mirp dengan suap.141
Oleh karena itu, penulis sepakat dengan pendapat M. Nurul Irfan yang
menyatakan bahwa hadiah yang disampaikan sebagaimana dalam konteks diatas
adalah suap yang diharamkan. Hukum hadiah juga berbeda-beda, tergantung jenis
wewenang, tugas atau jabatan yang dimiliki penerimanya. Jadi, penulis
menyimpulkan bahwa Pelaku pengaturan skor dikategorikan sebagai jarimah
Takzir, dan sangsinya adalah hakim (negara) yang menentukan.
Jika pelaku suap juga dikategorikan sebagai koruptor, dengan demikian
bentuk hukuman ta’zirnya dapat berupa pidana pemecatan, pidana penjara, pidana
seumur hidup, dan bahkan bisa berupa pidana mati.142

140
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al Syaukani, nayll al-autar, jilid 9 (Beirut:Dar Ar-
fikr, tt) h. 172
141
M. Nurl Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual, dalam hukum Pidana Islam, Cet.1
(jakarta: Amzah, 2014) h. 30
142
Tim Lakpesdam NU, Jihad Nahdlatul Ulama Melawn Korupsi”, (Jakarta: Lakpesdam
NU, 2016) H. 92

64
65

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Fakor penyebab terjadinya pengaturan skor adalah penyuapan yang
dilakukan oleh mafia bola kepada pihak-pihak yang terlibat dalam
pertandingan sepakbola. aparatur penegakan hukum di Indonesia hingga
saat ini belum dapat menjerat pelaku pengaturan skor dengan sanksi pidana.
mafia judi mengajak secara melawan hukum para pemain, pelatih, wasit
atau perangkat pertandingan lain untuk melancarkan pengaturan skor. Para
fixer menggunakan hubungan mantan pemain yang dapat diajak berbuat
koruptif.
2. Terdapat perbedaan pandangan untuk melihat hukum bidang olahraga, ada
kelompok yang memeperbolehkan hukum negara mencampuri olahraga dan
di sisi lainya menolaknya. Dalam hal ini, muncul cabang baru dari hukum
yaitu lex sportiva, cabang ini menunjukan keinginan dari organisasi untuk
menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul pada cabang olahraga mereka.
Di Indonesia berlaku UU Nomor 11 tahun 1980 tentang suap. Hukum islam
tidak membedakan suap swasta maupun suap pemerintahan, Pengaturan
skor termasuk kategori riswah, penyuap atau fixer sama hukumnya dengan
Al ursy, dan yang menerima suap sama dengan Al-Murtasy. Sanksinya
adalah penjara dan denda dalam pidana positif dan sanksi ta’zir dalam
hukum Pidana Islam.
B. Rekomendasi
1. Bagi pemerintah dan juga instansi terkait sepakbola dalam hal ini PSSI,
Sudah kiranya untuk segera mempertegas dan memperkuat aturan hukum
terkait pengaturan skor. Mengetahui bahwa industri sepak bola nasional
dijadikan sebagai “lahan basah” para mafia menunjukan bahwa law sport
sudah tidak mampu mengakomodir permasalahan pengaturan skor, kiranya
memang sudah diperlukan hukum pidana sebagai ultimum remidium,artinya
pemerintah selayaknya pemerintah menggunakan instrumen hukum pidana
untuk menangani permasalahan pengaturan skor.
2. Konvensi PBB melalui UNCAC tentang regulasi suap di sektor swasta
kiranya harus segera di ratifikasi pihak legislatif. Tak dipungkiri bahwa
pelaku pengaturan skor seringkali lolos dari jeratan hukum. Beberapa kasus
terjadi dengan alasan tidak adanya aturan yang mengatur tentang suap di
sektor swasta. Bagi penegak hukum, baik itu jaksa, hakim, maupun
kepolisian untuk lebih jeli dalam menentukan undang-undang untuk
perbuatan pengaturan skor. Beberapa informasi, terjadi lolosnya pelaku
pengaturan skor karena aparat penegak hukum tidak menemukan aturan
yang pas untuk menjerat pengaturan skor. Maka dari itu aparat perlu lebih
jeli dalam menemukan pasal. Sehingga saat melihat kasus pengaturan skor,
aparat tidak hanya memakai UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 11 tahun
2001 tentang pemberantasa Tindak Pidana Korupsi, tetapi menggunakan
UU No 11 Tahun 1980 tentang tindak Pidana Suap.

66
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku :
Agustino, Leo, dan Indah Fitriani, Korupsi: Akar, dan locus, Yogyakarta: Pustaka
Belajar, Cet. Pertama, 2017
al Syaukani, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad, nayll al-autar, jilid 9
(Beirut`:Dar Ar-fikr, tt)
Alatas, Syed Husen, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, Jakarta: LP3S, 1987
Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di
Indonesia, Jakarta: Raih Asa Sukses (penebar Swadaya Grup), cet. Ke-IV,
2014
---------, Modus Operandi pidana khusus di luar KUHP; Korupsi, Money
Loundering, dan Trafficking, Jakarta: Raih Asa sukses(penebar Swadaya
Group), 2014
Anggota IKAPI, Terjemahan Nailul Author jilid 6, ( surabaya: PT Bina Ilmu Offset,
cet,. Keempat, 2001)
Arief, Barda Nawawi, kebijakan Hukum Pidana (penal Policy), (Semarang: FH
UNDIP)
---------------, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahtan, (jakarta:Kencana, 2008)
Asshidiqie, Jimly, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi (perspektif Baru tentnang
Rule Of ethics & Consyitusional Law and Constitutional Ethicsj , (Jakarta:
Sinar Grafika, 2015)
Audah, Abdul Qodir, Al-Tasyri’ Al-Jina’I Fil-Islami Muqoronan Bi Al-Qonuni Al
Wad’i, (Beirut: Al-Resalah, 1998)
Chaerudin Dkk, strategi pencegahan & penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi,
(Jakarta: PT. Refika Aditama, 2011)
Chazawai, Adami,
Djaja, Ermansyah, Korupsi Bersama KPK ,Jakarta: Sinar Grafika , Cet. Kedua,
2009
------------------- Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberanta
Korupsi),Balikpapan: Sinar Grafika, Edisi ke-2, 2008

67
Doi, A. Rahman I., penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, Syariah,
(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2001)
Efendi, Tolib, sistem peradilan pidana: perbandingan komponen dan proses sistem
peradilan Pidana di beberapa Negara, (Yogyakarta: Tim Pustaka Yustisia,
2013)
Eleneora, Fransisca Novita, Pembuktian Unsur sifat Melawan Hukum Dalam
Tindak Pidana Penyuapan, (Hukum Dinamika Masyarakat Vol. 9, April
2012)
Gunadi, Ismu & Junaedi Efendi, Cepat dan mudah Memahai Hukum Pidana,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2014)
Hamzah, Andi, Asas-asas Hukum Pidana”, (Jakarta, Rineka Cipta, 2008)
------------------ pemberantasan Korupsi ditinjau dari Hukum Pidana, Pusat study
hukum Pidana, Jakarta, 2001)
----------------- pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan
International, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. Ke, 2008
Harahap, Ahmad Jurin, Riswah dalam Perspektif Hadis, (Bandung: UIN Sunan
Gunung Jati, 2018)
Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi (edisi kedua),(Jakarta, Sinar Grafika, 2008)
Positif”, (Skripsi, Fakultas Syariah Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014)
Irfan, M. Nurul dan Masyofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta;Amzah, 2013)
Irfan, M. Nurul Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Edisi Kedua, Hal 78
Mas’ud, Ibnu dan Zainal Abidin, Fiqh Mazhab Syafi’i, cet ke-1, buku
II (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
--------------------, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual” (Jakarta: Amzah, 2014)
Iskandar, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Gaung persada press, 2009
Lamintang, Franciscus Laminating, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2014)
Lamintang, P.A.F, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: CV. Armico, 1984)
Lesmana, Tjipta, Bola Politik dan Politik Bola, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2013)
Marbun, B.N, Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtar Baru Van Hoeve, 1997)

68
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi, (Bandung: PT. Rineka Cipta)
Muhardiansyah, Doni, dkk, Buku Saku Memahami Gratifiaksi,
Muladi, Kapita SelektaSistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan penerbit
Universitas Diponegoro, 1995)
Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik
dan masalahnya, (Alumni Bandung, 2007)
Pandjaitan, Hinca IP, Kedaulatan negaravs kedaulatan FIFA, bagaimana
menundukan masalah PSSI dan Negara (pemerintah Indonesia), (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2011)
Reksodiputro, Mardjono, pembaharuan hukum Pidana, Kumpulan Karangan Buku
Keempat, (Jakarta: Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
Universitas Indonesia, 2007)
Saleh, Roeslan, Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam persprktif, (Jakarta; penerbit
Aksara Baru, 1983)
Seno Adji, Indriyanto, Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta, Diadit media, Cet.
Pertama, 2009
Setiawan, Alfero, Dasar-Dasar pengaturan skor Sepak Bola “posisi Hukum
Pidana Terhadap Statuta FIFA”,
Soekamto, Soejono, pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia,
1986
Tim Lakpesdam NU, Jihad Nahdlatul Ulama Melawn Korupsi”, (Jakarta:
Lakpesdam NU, 2016)
Wantjik, K, Tindak Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002)
Wasito, Wojo, Kamus Umum Belanda Inonesia, (Jakarta: Pusaka Sinar
Harapan, 2006)

B. Artikel:
Kompas, Rusuah para “Adi Pati Brang Wetan”, Senin, 18 Februaru 2019
Eko Noer Kristiyanto, pengaturan skor sepak bola dan ketidakmampuan penegak
hukum”, Jurnal Rechvinding, 2015
Match Fixing in Football TNA

69
Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum,
www.jimly.com/makalah/.../penegakan_hukum.pdf h. 1 dikunjungi 7
Oktober 2019
Rinaldy, Alexzander, Kriminalisasi match Fixing dalam pertandingan sepakbola
di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang
Suap, Universitas Tarumanegara
Sanyoto, penegakan Hukum Di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 8 No.3
September2008
,http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/artcle/view/74/226
C. Aturan Perundang-Undangan :

UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang tindak pidana Suap (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1980 Nomor 58, tambahan Lembaran Negara Nomor 3178)
UU No. 20 tahun 2001
Peraturan Organsasi PSSI tahun 2009 Nomor 06/PO-PSSI/X/2009 tentang kode
Etik fair play
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian negara Republik
Indonesia(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 No. 2,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168)
D. Wawancara :
Eko Noer Kristiyanto, Deputi Penelitian Balitbang Kementrian Hukum dan
HAM Republik Indonesia, 14 Oktober 2019
Prof. Abduh Malik, di rumahnya, Komp. Kemenag, Kedoya, jakarta barat, 19
Oktober 2019
E. Internet :
Ali, FIFA: sepakbola telah disusupi kejahatan terorgansir”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5270ce5840661/fifa--sepakbola-
telah-disusupi-kejahatan-terorganisir di kunjungi pada tanggal 7 Oktober 2019
Anang Zakaria,
http://bola.tempo.co/read/news/2009/08/06/099191099/bonek-demo-dukung-
bantuan -apbd-untuk-persebaya dikunjungi 26 September 2019

70
http://www.net/indonesia/penggunaan-apbd-untuk-sepakbola-resmi-
dilarang-d5f294.html dikunjungii 26 September 2019
Lutvihi Avian Ananda, Match Fixing dalam sepakbola Indonesia ditinjau
dari perspektif Hukum Pidana,
https://www.kompasiana.com/luthfyavian/5693d48e119773750970f220/match-
fixing-dalam-sepakbola-indonesia-ditinjau-dari-perspektif-hukum-pidana, Dilihat
pada tanggal 21 September 2019
www.mediaindonesia.com (7/10/2011) dilihat pada tanggal 25 september
201093

71

Anda mungkin juga menyukai