Anda di halaman 1dari 4

NAMA : BAYU ALAMSYAH

NIM : 11190007

Assessment atlet

Tes-tes Psikologis Dalam Olahraga

Dalam bidang olahraga, tes psikologis dapat dikelompokkan ke dalam dua domain besar,
yaitu: 1) tes yang mengukur konstruk yang general digunakan dalam asesmen psikologis; 2)
tes yang mengukur konstruk psikologis khas pada olahraga; dan 3) tsting yang mengukur
konstruk psikologis yang spesifik pada satu cabang olahraga saja.

Pertama, tes yang mengukur konstruk yang general dalam asesmen psikologis. Tes-tes yang
digunakan adalah tes-tes yang sudah testandar dan baku, yang digunakan secara umum
oleh khalayak luas. Contohnya adalah tes kepribadian, tes minat, tes inmtelegensi, tes
ketahanan kerja, dan sebagainya. Khususnya penggunaan tes-tes kepribadian banyak
dilakukan oleh psikolog olahraga di luar negeri, yang bahkan menjadi salahsatu
pertimbangan dalama seleksi atlet. Inventori-inventori keperibadian yang sering dipakai
antara lain 16 Personality Factor questionnaire, Minnesota Multiphasic Personality
Inventory (MMPI), BigFive Inventory, eynsenck personality questionnaire (EPQ), dan lain
sebagaimnya (LeUnes, 2002-236). Selain itu beberapa inventori lain yang umum digunakan
untuk mengukur kondisi mental (state) seseorang ketika tampil berolahraga antara lain
Profile of Mood States (POMS) yang mengukur kondisi mood seseorang; State-Trait
Anxienty Inventory (STAI) yang mengukur kecemasan; Test of Atentional and Interpersonal
Style (TAIS) yang menngidentifikasi tipe atensi seseorang sehingga dapat disesuaikan
dengan tipe atensi untuk cabang olahraga tertentu; Task and Ego Orientation Questionnaire
(TEOSQ) yang mengukur kemampuan mental mengarahkan diri pada tujuan; dan lain-lain.

Tujuan digunakannya testing-testing semacam ini agar pelatih dan psikolog olahraga
memiliki gambaran lengkap mengenai profil kepribadian atlit sehingga mereka dapat
menentukan metode mental training dan metode melatih yang tepat bagi atlit tersebut. Ini
berkaitan dengan prinsip individual dalam latihan (Harsono, 1996), dimana suatu latihan
haruslah menyesuaikan kapasitas fisik setiap atlit. Demikian pula dalam hal perbedaan
psikologis atlit seperti kepribadian, dengan adanya gambaran lengkap dari hasil tes
kepribadian, maka pelatih dalam memberikan motivasi atau reward-punisment yang lebih
efektif atau mengena terhadap atlit. Namun demikian, tes-tes ini sebenarnya adalah tes
psikologis yang bersifat general yang sampel standardisasinya adalah orang biasa dan bukan
atlit; sehingga interperestasinya pada subjek atlit haruslah memperhatikan konteks
situasional olahraga yang kondisinya selalu berubah-ubah (leUnes, 2002:251). Bapi para
psikolog olahraga, analisa interprestasi ini dianggap kurang efisien, terlalu umum dan tidak
praktis sehingga pada dua dasawarsa terakhir, para ahli psikologi olahraga mulai
mengembangkan tes-tes psikologi dari dan untuk kalangan olahragawan, yang juga disebut
sport-specific test (leUnes, 2002; 251).

Kedua adalah tes yang mengukur konstruk yang ditujukan spesifik pada olahraga saja, atau
sport specific test. Tes ini hanya digunakan dalam setting olahraga saja; sampel
standardisasinya dikembangkan dari sampel atlit atau orang-orang yang terlibat olahraga,
sehingga interprestasinya lebih memudahkan. Mereka yang terlibat secara langsung dalam
olahraga menemukan bahwa tes yang dikembangkan secara sepesifik untuk mengukur
kostruk dalam konteks olahraga jauh lebih praktis dan membantu dariapa tes-tes psikologi
yang umum digunakan (Smith et al, 1995 dalam Gill, 2000: 55), karena lebih focus mengukur
karakteristik yang dibutuhkan oleh pelaku olahraga. Testing psikologis pertama kali
dikembangkan adalah Athletic Motivation Inventory (AMI) oleh Ogilvie, lyon dan Tutko
(1969 dalam leUnes, 2002:251) untuk mengukur sikap, perilaku dan keterlibatan seseorang
dalam olahraga.

Kemudian juga berkembang tes-tes psikologis yang mengukur karakteristik-karakteristik


unggul yang diperlukan untuk berperforma maksimal dalam olahraga, antara lain Athletic
Coping Skills Inventory (ACSI) yang dikembangkan oleh Smith (1995) dan Psychological Skills
Inventory for Sports (PSIS) yang dikembangkan oleh Mahoney (1982). ACSI dan PSIS
mengukur konstruk-konstruk psikologis yang dibutuhkan seseorang untuk mencapai
performa olahraga yang unggul. Dalam ACSI, aspek yang diukur adalah konsentrasi, anxiety
control, kepercayaan diri, kesiapan mental, motivasi, dan team emphasis (Mahoney, 1987
dalam Gill, 2000:52). Sedangkan ACSI mengukur dimensi coping with adversity (mengatasi
hambatan), peaking under pressure (beraksi di bawah tekanan), goal – setting (penetapan
tujuan), concentration (konsentrasi), freedom from worry (bebas dari kekhawatiran),
confidence and achievement motivation (kepercayaan diri dan motivasi berprestasi), dan
coachability (kesediaan dilatih). Tes lain yaitu Test Of Performance Strategies (TOPS) Dari
Thomas, Murphy Dan Hardy (1999) yang merupakan pengembangan mutakhir dari PSIS dan
ACSI.

Setelah itu kemudian berkembang tes-tes yang mengukur kondisi mental pada situasi-
situasi khusus dalam olahraga, antara lain contohnya untuk mengukur kecemasan dalam
berkompetisi yaitu Sport Competition Anxiety Test (SCAT) dari Martens (1997 dalam Le
Unes, 2002:256); Maslach Burnout Inventory (MBI) yang mengukur kelelahan psikis bagi
atlit dan pelatih; Sport Cohesiveness Iventory (SCQ) untuk mengukur kekompakan tim;
Sports Inventory For Pain (SIP) yang mengukur persepsi terhadap rasa sakit dalam olahraga;
Exercise Beliefs Questionnaire (EBQ) yang mengukur ekspektasi seseorang dalam berlatih;
Bedermeier Athletic Agression Inventory (BAAGI) yang mengukur agresivitas dalam
olahraga; dan banyak lagi contoh lainnya.

Yang ketiga, tes psikologis dalam olahraga semacam ini ada juga yang bersifat sport-specific
context, yang mana tes psikologis tersebut hanya secara khusus mengukur suatu konstruk
psikologis yang spesifik pada satu cabang olahraga. Contohnya adalah Motivations of
Marathoners Scales (MOMS) yang mengukur motivasi pelari marathon; Tennis-Attentional
and Interpersonal Style Style (T-TAIS) untuk mengetahui tipe atensi yang spesifik dalam
cabang olahraga tenis; B-TAIS untuk mengukur tipe atensi untuk olahraga baseball; dan
mAsih banyak contoh-contoh lainnya.
Komponen keterampilan mental

- Self- confidence : perasaan dan konsep diri yang meyakinkan bahwa dirinya mampu
melakukannya dengan maksimal sehingga meencapai performa puncak dan mencapai
prestasi yang lebih baik dari sebelumnya
- Negative energy : kemampuan mengontrol energi negative yang diterima ( rasa takut,
marah, frustasi dsb) dan mencoba mengubahnya menjadi sebuah tantangan
- Attention control : menjaga daya tahan dan kosentrasi pada sebuah tugas yang
dibebankan kepada dirinya, menjaga prhatian kepada hal yang penting dan
mengalihkan dari hal yang tidak penting.
- Visual and imagery control : kemampuan berfikir positif , mudah dalam membayangkan
hal yang mampu memotivasi diri, mampu mningkatkan rasa senang berolahraga, dan
berfikir lebih spontan.
- Motivation level : mampu menentukan target penting, membuat program untuk
mengmbangkan diri serta mnjadikan kegagalan sebagai komponen penting untuk
meningkatkan motivasi diri.
- Positif energy : mampu mengembangkan energinya dari hal hal positif diterima
sehingga mampu mncapai penampilan puncak yang ditandai dengan rendahnya
ketegangan otot dan mampu menjaga konsentrasi.
- Attitude controlpola fikir yang displin serta mampu mengatur perilaku baik didalam dan
diluar arena sehingga memiliki kemampuan untuk mngontrol emosi, bersikap tenang
dan menghasilkan energi positive.

Anda mungkin juga menyukai