SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Sandy Andriansyah
1183060072
i
LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI
Penyusun :
SANDY ANDRIANSYAH
1183060072
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui,
Ketua Jurusan Hukum Pidana Islam
ii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, zat yang Maha Kuasa
dan Maha Pengasih yang kekuasaan-Nya meliputi seluruh alam semesta. Maka puji
dan syukur dipanjatkan kehadirat-Nya yang atas karunia-Nya telah memberikan
kemudahan serta kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir
berupa skripsi yang menjadi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi tingkat
strata satu serta dapat memperoleh gelar sarjana di Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung. Shalawat dan salam semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
senantiasa mencurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam serta kepada keluarga, sahabat, tabi’in dan seluruh pengikutnya
hingga akhir zaman.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini
banyak terdorong oleh dukungan-dukungan dari orang-orang di sekitar penulis
yang begitu berpengaruh bagi diri penulis. Dukungan tersebut diberikan dalam segi
moral, materiil, intelektualitas, hingga spiritual sehingga penulis terdorong untuk
senantiasa memiliki semangat juang yang tinggi dalam semua proses yang ada
selama penyusunan skripsi ini sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan dengan
iii
baik. Maka dari itu, dengan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih secara
mendalam kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si., CSEE. , Rektor Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung.
2. Prof. Dr. H. Fauzan Ali Rasyid, M.Si. , Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
3. Dr. Enceng Arief Faizal, M.Ag. , sebagai Ketua Jurusan Hukum Pidana Islam
beserta jajarannya yang senantiasa memberikan arahan dan motivasi selama
proses perkuliahan penulis sehingga dapat menyelesaikan studi dengan baik
dan sungguh-sungguh.
4. Drs. H. Aziz Sholeh, M.Ag dan Yuyu Wahyu, S.Sos.,M.H., dosen pembimbing
yang senantiasa meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan, masukan, dan arahan terhadap penulisan skripsi ini.
5. Segenap Dosen di ruang lingkup Fakultas Syariah dan Hukum yang atas
dedikasinya dalam dunia pendidikan perguruan tinggi senantiasa memberikan
ilmu dan pengetahuan bermanfaat yang khususnya kepada penulis sebagai
mahasiswa di Fakultas Syariah dan Hukum yang diharapkan penulis mampu
menerapkannya bagi peningkatan kualitas pengetahuan diri pribadi serta
mampu mengimplementasikan dalam kehidupan masyarakat dan dunia kerja
atau dalam jenjang studi yang lebih tinggi.
6. Kedua orangtua tercinta Ayahanda Ade Koswara dan Ibunda Rini Herawati,
kepada adik tersayang Raissa Dhita Amelia dan anggota keluarga lain yang
senantiasa memberikan dukungan dari segi moral dan materiil bahkan doa yang
terus mengalir dan tidak ada habisnya terucapkan untuk kelancaran studi
penulis.
7. Rekan satu perjuangan di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Hukum Pidana
Islam periode 2019-2020 dan periode 2020-2021 yang juga mengiringi penulis
dalam setiap proses pengembangan diri selama menjalani perkuliahan dari segi
intelektualitas dan organisasi.
8. Rekan fun badminton Ananda Yoga Andreansyah, Muhammad Hanif Qori,
Teguh Hadi Prasetyo, Muhammad Rusydiansyah yang memberikan relaksasi
iv
kepada penulis melalui program badminton rutinan serta senantiasa berbagi
pengalaman dan pengetahuan sehingga penulis mampu menjaga daya pikir dan
mood yang baik dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Rekan-rekan KKN 306 Desa Mulyasari, Kabupaten Cianjur. Atas segala
pengalaman selama kegiatan KKN tersebut baik suka maupun duka yang
dilewati bersama, telah memberikan pelajaran yang begitu berharga bagi
kehidupan penulis. Semoga suatu hari nanti kita diberikan kesempatan untuk
bertemu kembali dalam kondisi telah menjadi pribadi yang lebih baik.
10. Ucapan terakhir ditujukan kepada kawan-kawan satu perjuangan Hukum
Pidana Islam Angkatan 2018 yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima
kasih atas perjalanan studi yang telah dilalui, menjadi sebuah kehormatan dapat
mengenal kawan-kawan HPI 2018 yang sangat luar biasa. Semoga segala ilmu
dan pengalaman yang didapatkan selama perkuliahan, dapat bermanfaat
terhadap diri sendiri, keluarga, hingga masyarakat luas.
Pencapaian ini tidak akan berarti jika tidak disertai keridhoan oleh Allah
Subhanahu wa Taala, maka ucapan syukur senantiasa penulis panjatkan selama
proses yang telah dilalui. Harapan besar bahwa skripsi ini dapat memberikan peran
dan manfaatnya bagi orang-orang yang membacanya dan semoga menjadi amalan
baik bagi penulis yang dapat menjadi bekal di akhirat kelak, Aamiin.
Sandy Andriansyah
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................................ i
BAB I PENDAHULUAN
D. Kegunaan Penelitian............................................................................... 9
vi
4. Pengertian Carding Serta Kedudukannya Dalam Hukum Pidana
Islam ......................................................................................... 47
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................................. 73
B. Saran ........................................................................................................ 75
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
-Ali Imran Ayat 190-191-1
Manusia saat ini dihadapkan dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat
yang merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, manusia dituntut untuk
mengikuti perkembangan teknologi setiap waktunya, karena teknologi pada saat
ini melalui kemudahan yang dijanjikan oleh teknologi tersebut seolah-olah
menjadi kebutuhan manusia dalam menunjang kehidupannya. Melalui
teknologi, manusia menemukan cara baru dalam menjalankan aktivitas, inovasi
yang dihadirkan melalui teknologi dapat dikatakan telah membawa manfaat
besar bagi manusia2. Dewasa ini, perkembangan teknologi sudah menggapai
berbagai aspek dalam kehidupan, dari mulai kehidupan sosial masyarakat
dengan maraknya penggunaan aplikasi-aplikasi sosial media yang memudahkan
seseorang untuk berkomunikasi satu sama lain, hingga aspek perekonomian
tidak luput dari efek yang diberikan oleh teknologi yang disuguhkan. Salah satu
realita yang terjadi adalah meningkatnya kegiatan jual beli yang dilakukan
secara online yang dimana seorang penjual menawarkan barang atau jasanya
melalui situs online dan pembeli dapat dengan mudah memilih barang atau jasa
yang disediakan oleh penjual melalui situs online dan antara penjual dan pembeli
tersebut menggunakan sistem komputer atau melalui E-Commerce sebagai
perantara atau wadah dalam melakukan kegiatan transaksi jual-beli secara online
tersebut. Di Indonesia, menurut hasil survey yang dilakukan oleh We Are Social
pada tahun 2021 yang dikutip dalam situs Katadata.co.id, negara Indonesia
menempati posisi tertinggi di dunia sebagai negara yang penduduknya paling
banyak menggunakan layanan e-commerce dengan persentase sebanyak 88,1%
penduduk3. Maraknya penggunaan layanan e-commerce dalam aktivitas
perdagangan membuat masyarakat merasa diberikan akses kemudahan karena
1
Kementerian Agama Republik Indonesia, Terjemah Quran Kemenag yang diakses melalui
https://quran.kemenag.go.id/sura/3 diakses pada tanggal 30 Desember 2021, Pukul 12.37 WIB.
2
Muhammad Ngafifi. (2012). Kemajuan Teknologi dan Pola Hidup Manusia Dalam Perspektif
Sosial Budaya , Jurnal Pembangunan dan Pendidikan : Fondasi dan Aplikasi Vol 2, Nomor 1 :
Wonosobo. hlm 34
3
Dikutip dalam website https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/06/04/penggunaan-e-
commerce-indonesia-tertinggi-di-dunia, diakses pada tanggal 30 Desember 2021 pukul 13.58 WIB.
3
mulai dari akses, pemilihan barang serta pembayaran barang dilakukan secara
virtual melalui layanan yang tersedia.
Perkembangan dunia teknologi memang dikatakan membawa manfaat besar
bagi manusia, namun di sisi lain, kemudahan yang dihadirkan melalui teknologi
tidak selamanya memberikan manfaat, dengan kompleksnya perkembangan
teknologi saat ini bahkan dapat menghadirkan musibah serta menjadi jalan baru
akan timbulnya kejahatan. Sebagaimana telah disebutkan di atas, dengan
kemajuan teknologi seperti saat ini, dikatakan bahwa hubungan antar individu
ataupun negara menjadi satu kesatuan, keterikatan, tidak adanya sekat yang
menghalangi melalui dunia internet. Dalam hal ini dapat diperhatikan, bahwa
walaupun kemajuan teknologi dalam ruang lingkup internet dapat memberikan
kemudahan akses, namun privasi serta keamanan seseorang harus tetap dijadikan
sebagai prioritas. Permasalahan yang timbul adalah ketika privasi seseorang ini
dapat diakses dengan mudah oleh siapapun yang kemudian menghadirkan motif
kejahatan baru dalam pemanfaatan teknologi alih-alih digunakan sebagai cara
untuk menghadapi masalah.
Penyalahgunaan terhadap teknologi melalui internet sudah menjadi hal yang
menyebar di tengah masyarakat sosial sebagai konsumen dari teknologi yang
disajikan tersebut, antara lain semakin mudahnya dalam mengakses situs-situs
terlarang seperti perjudian, situs pornografi yang barang tentu akan sangat
mempengaruhi terhadap intensitas penggunaan internet oleh masyarakat. Selain
daripada itu, melalui akses internet juga seseorang dapat menyalahgunakannya
sebagai motif terbaru kejahatan, salah satunya dalam kegiatan transaksi
perdangan secara online seperti melakukan kegiatan berbelanja melalui layanan
e-commerce yang pembayarannya dilakukan dengan membobol saldo rekening
milik orang lain tanpa sepengetahuan si pemilik atau disebut sebagai tindakan
Carding. Tindakan Carding merupakan tindakan dimana seseorang melakukan
transaksi online dengan kartu kredit milik orang lain tanpa sepengetahuan si
pemilik4. Orang yang melakukan tindakan carding disebut istilah carder. Modus
4
Sutarman. (2007). Cyber Crime : Modus Operandi dan Penanggulangannya, Laksbang PRESS
indo : Yogyakarta, hlm 10.
4
5
Moeljatno. KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan ke 20. PT Bumi Aksara :
Jakarta Timur. hlm 128.
6
Ibid, hlm 133.
5
7
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
8
Abdul Qadir Audah, (1963). At-Tasyri Al-Jinaai Al-Islami Muqaaranan bil Qanun Al Wadh’I,
Jilid ke 1, Darul Kutub : Beirut. hlm 66
6
Hudud yang ketentuan serta sanksinya ditentukan oleh Allah SWT dalam Al-
Quran dan Rasulullah SAW dalam hadis, sebagaimana dalam firman Allah SWT
Surat Al-Maidah ayat 38 :
Sedangkan tindak pidana penipuan dalam Hukum Pidana Islam tidak diatur
secara tegas mengenai bentuk dan sanksinya di dalam nash. Maka dari itu,
terhadap suatu kejahatan yang ketentuannya tidak diatur dalam nash, maka
bentuk kejahatan tersebut dikategorikan ke dalam Jarimah Takzir yang jenis
sanksinya bermacam-macam, sebagaimana dikutip dari M. Nurul Irfan dalam
bukunya Hukum Pidana Islam, macam-macam sanksi takzir adalah sebagai
berikut9 :
1) Hukuman Mati
2) Hukuman Cambuk
3) Hukuman Penjara
4) Hukuman Pengasingan
5) Peringatan Keras
6) Dihadirkan di hadapan siding
7) Nasihat
8) Celaan
9) Pengucilan
10) Pemecatan
11) Pengumuman kesalahan secara terbuka.
Dalam melakukan upaya kontekstualisasi kejahatan carding dengan kajian
Hukum Pidana Islam, maka hal tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut melalui
9
M. Nurul Irfan. (2016). Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika : Jakarta. hlm 96-110.
7
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian yang akan dilakukan oleh penulis antara
lain adalah sebagai berikut :
1. Untuk Mengetahui Unsur-unsur dan Sanksi Tindak Pidana Carding dalam
Pasal 32 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
2. Untuk Mengetahui Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Unsur-unsur
dan Sanksi Tindak Pidana Carding dalam Pasal 32 dan Pasal 48 Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2008 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
9
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis diharapkan dapat memberikan
manfaat antara lain adalah sebagai berikut :
a. Aspek Teoritis
1. Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan bagi mahasiswa,
dosen, praktisi hukum serta masyarakat pada umumnya mengenai
perkembangan hukum yang mengaur sistem informasi teknologi dan
transaksi elektronik yang berkembang saat ini.
2. Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan khususnya bagi
umat muslim mengenai konsepsi Hukum Pidana Islam serta bagaimana
relevansinya terhadap perkembangan hukum yang terjadi saat ini
terkhusus mengenai objek penelitian terkait yaitu mengenai kejahatan
Carding dalam kajian Hukum Pidana Islam.
b. Aspek Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan peran praktis dalam
perkembangan hukum di Indonesia, baik terhadap hukum positif yang
berlaku di Indonesia dan Hukum Pidana Islam.
E. Kerangka Berfikir
Dalam hal ini Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia menerapkan suatu
asas yang disebut dengan Asas Legalitas yang secara tegas disebutkan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia dalam
Buku Kesatu KUHP Pasal I ayat (1) yang berbunyi :
10
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”10.
Atau yang dalam Bahasa Latin disebut dengan bunyi :
“Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali”11 yang apabila
diterjemahkan kurang lebih adalah “Tidak ada suatu delik, tidak ada suatu pidana
tanpa adanya suatu peraturan terlebih dahulu”.
Sedangkan dalam kajian Hukum Pidana Islam juga diatur mengenai Asas
Legalitas dalam menerapkan sanksi terhadap seorang pelaku tindak pidana.
Sebagaimana tersurat dalam Al-Quran dalam Surat Al-Isra Ayat 15 :
10
Moeljatno, Op.Cit, hlm 3.
11
M. Nurul Irfan, (2016), Op.Cit. hlm 15.
12
Abdul Qadir Audah, (1963), Op.Cit. hlm 115.
11
sanksi pidana terhadap suatu perbuatan pidana berupa KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana) serta peraturan perundang-undangan pidana di luar
KUHP dalam bentuk undang-undang.
13
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
12
Pasal 30
1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan
cara apa pun.
2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik.
3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem
pengamanan.
Pasal 31
1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik
tertentu milik Orang lain.
2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu
Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang
tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya
perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan
kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang
ditetapkan berdasarkan undang-undang.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 32
1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan
cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi,
merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik
publik.
2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan
cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau
13
Pasal 35
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data
yang otentik.
Unsur-unsur larangan yang terdapat dalam keempat pasal tersebut apabila
terpenuhi dalam perbuatannya maka dapat dikenakan ketentuan pidana yang
terdapat dalam Pasal 46 untuk ketentuan dalam Pasal 30, Pasal 47 untuk
ketentuan dalam Pasal 31, Pasal 48 untuk ketentuan dalam Pasal 32 dan Pasal 51
Ayat (1) untuk ketentuan dalam Pasal 35. Dalam penelitian ini, Pasal yang akan
difokuskan dalam pembahasan skripsi ini adalah unsur-unsur yang terdapat
dalam Pasal 32 dan sanksi yang terdapat dalam Pasal 48.
Hukum Pidana Islam merupakan bagian dari hukum islam dalam kaitannya
mengenai pembahasan fiqih. Merupakan perangkat hukum yang memuat
ketentuan mengenai macam-macam bentuk tindak pidana beserta sanksinya.
Dalam kajian Hukum Pidana Islam, menurut Abdul Qadir Audah terdapat 3
(tiga) ruang lingkup unsur-unsur tindak pidana yaitu al-ruknul syar’i (unsur
formil) yang berkaitan dengan asas legalitas yang menyatakan bahwa seseorang
hanya dapat dinyatakan sebagai seorang pelaku tindak pidana, al-ruknul madi
(unsur materiil) yaitu ketentuan terhadap seorang pelaku kejahatan agar dapat
dikenakan sanksi apabila telah secara meyakinkan terbukti melakukan kejahatan
tersebut, dan al-ruknul adabi (unsur moril) yaitu berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana yang menyatakan bahwa seorang pelaku yang
melakukan tindak pidana merupakan subjek hukum yang dapat diberikan
tanggung jawab pidana serta dapat dipersalahkan14. Maka ketentuan tersebut
14
M. Nurul Irfan. (2016). Op.Cit, hlm 26-27.
14
merupakan objek inti dari pembahasan Hukum Pidana Islam yang merupakan
unsur-unsur yang menerangkan dalam hal apa saja seseorang dapat dikenakan
sanksi pidana apabila telah melakukan suatu kejahatan.
Dalam penelitian ini, tinjauan hukum pidana islam akan dikaitkan dengan
aspek Jarimah dalam fiqh jinayah beserta unsur-unsurnya yang menurut Abdul
Qadir Audah Jarimah didefinisikan sebagai “Larangan-larangan syar’i yang
diancam Allah SWT dengan sanksi hudud atau takzir, ada kalanya larangan-
larangan ini berupa melakukan suatu larangan atau meninggalkan suatu
perintah”15 .
Jarimah dapat diartikan dengan perbuatan yang dilarang secara syara’ yang
apabila seseorang melakukan perbuatan tersebut maka pelakunya diancam oleh
hukuman had atau hukuman takzir. Disisi lain, suatu perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagai jarimah bukan hanya dalam hal ‘melakukan sesuatu yang
dilarang’, namun dalam hal ‘meninggalkan sesuatu yang diwajibkan’ juga
merupakan suatu hal yang dapat dikategorikan ke dalam jarimah apabila
menyebabkan kemudharatan bagi orang lain16. Maka dari itu, istilah Jarimah
identik dengan pengertian istilah Tindak Pidana atau perbuatan pidana secara
umum. Dalam hukum pidana islam, pembahasan mengenai Jarimah meliputi
tiga permasalahan pokok.17
1. Jarimah Qishas
Yaitu jenis jarimah yang ketentuan sanksi hukumnya itu sama persis
dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban atau dapat
disebut dengan sanksi pembalasan seperti terhadap pelaku pembunuhan
maka pelaku diberi sanksi hukuman mati dan terhadap pelaku penganiayaan
maka pelaku juga dijatuhi sanksi berupa penganiyaan sesuai dengan organ
yang dianiaya oleh pelaku terhadap korban. Dalam jarimah ini terdapat 2
(dua) macam perbuatan yang dikategorikan sebagai jarimah qishas yaitu
tindak pidana atau jarimah pembunuhan dan jarimah penganiayaan.
15
Ibid, hlm 66
16
A. Djazuli, (1996). Fiqh Jinayah, PT Raja Grafindo Persada : Jakarta. hlm 1-3
17
M. Nurul Irfan, (2016), Op.Cit. hlm 28.
15
2. Jarimah Hudud
Merupakan kategori jarimah yang jenis, ketentuan, serta sanksinya
telah ditetapkan oleh Allah SWT di dalam al-quran dan oleh Nabi
Muhammad SAW melalui hadisnya18.
Adapun yang termasuk ke dalam jenis jarimah hudud yaitu ada 7
macam :
a) Jarimah Zina,
b) Jarimah Qadzaf (menuduh zina),
c) Jarimah Syarb’ khamr (meminum khamr),
d) Jarimah Sariqah (pencurian),
e) Jarimah Hirabah (perampokan),
f) Jarimah Riddah (murtad/keluar agama islam), dan
g) Jarimah Al-Bagyu (pemberontakan).
3. Jarimah Takzir
Merupakan salah satu jenis jarimah yang yang segala jenis tindak
pidananya tidak diatur secara tegas oleh Allah SWT melalui al-quran
ataupun oleh Nabi Muhammad SAW melalui hadisnya. Setiap jenis,
ketentuan pelaksanaan serta sanksinya ditentukan oleh otoritas penguasa
yang memiliki wewenang terhadap pemberlakuan takzir tersebut. Jenis
jarimah takzir dapat dikatakan tidak memiliki batas atau tidak ada
penentuan mengenai jumlahnya karena segala perbuatan kejahatan yang
berada di luar jarimah qisas dan hudud terdapat bermacam-macam
perbuatan.
Untuk mengakomodir sistematika pembahasan dalam penelitian ini, maka
penulis akan menggunakan Teori Tujuan Pemidanaan dalam Hukum Pidana
Positif dan Teori Mashlahah dalam Hukum Pidana Islam.
Teori Pemidanaan sebagai tujuan pemidanaan dan dasar pembenar secara
umum terbagi menjadi 3 (tiga) jenis : Teori Absolut/Retributif/Pembalasan
18
Ibid, hlm 47
16
19
Dwidja Priyatno, (2006). Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama :
Bandung. hlm 24-25.
20
Adami Chazawi, (2002) Pelajaran Hukum Pidana I, cetakan I, Raja Grafindo Persada : Jakarta.
hlm 44.
17
Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berkaitan tentang
kejahatan carding merupakan bentuk perwujudan dari teori-teori tujuan
pemidanaan tersebut.
Teori Mashlahah sebagaimana dikemukakan oleh Al-Gazali bahwa al-
mashlahah merupakan prinsip untuk menggapai manfaat dan menolak madharat
terhadap makhluk sehingga makhluk merasa nyaman dan damai. Teori
Mashlahah juga memiliki tujuan untuk memelihara tujuan-tujuan ditetapkannya
syariat (maqashid al-syariah) yang meliputi 5 (lima) aspek yaitu memelihara
agama (hifzh al-din), memelihara keturunan (hifzh nasl), memelihara jiwa (hifzh
al-nafs), memelihara akal (hifzh al-aql), dan memelihara harta (hifzh al-mal)21.
Prinsip ini dipandang penting dalam kajian Hukum Pidana Islam yang
menjunjung tinggi tercapainya ketertiban umum dalam setiap penerapan sanksi-
sanksi pidananya, khususnya dalam hal kejahatan carding yang tidak secara
langsung disebutkan jenis kejahatan dan sanksinya, namun dalam penelusuran
mengenai ketentuan sanksinya berdasarkan tinjauan Hukum Pidana Islam, maka
ketentuan sanksi tersebut wajib memperhatikan prinsip mashlahah tersebut demi
tercapainya keamanan dan ketertiban secara umum.
Melalui kerangka teoritis tersebut, maka dalam penulisan skripsi ini penulis
akan menguraikan pembahasan mengenai objek penelitian yang dimulai dari
pengertian, unsur-unsur serta sanksi mengenai tindak pidana carding dalam
Pasal 32 Jo Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 yang kemudian akan dianalisis melalui tinjauan konsep
hukum pidana islam. Sehingga diharapkan akan menuju terhadap kesimpulan
yang dapat menjawab rumusan masalah sebagaimana yang telah disebutkan.
F. Langkah-Langkah Penelitian
Dalam melakukan pembahasan atau penelitian terhadap suatu
permasalahan, maka dibutuhkan suatu metode sebagai pendekatan ilmiah untuk
mengetahui hasil akhir dari suatu penelitian. Menurut Arief Subyantoro yang
dikutip oleh Anthon Susanto dalam bukunya, disebutkan bahwa Metode
21
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Gazali, (1983). Al-Mustasfa Fii Ilmu Al-Ushul,
Daarul Kutub : Beirut. hlm 286.
18
22
Anthon F. Susanto, (2015). Penelitian Hukum Transformatif-Partisipatoris Fondasi Penelitian
Kolaboratif Dan Aplikasi Campuran (Mix Method) Dalam Penelitian Hukum, Setara Press :
Malang. hlm 159 – 160.
19
23
Nunuk Sulisrudatin, (2018). Analisa Kasus Cybercrime Bidang Perbankan Berupa Modus
Pencurian Data Kartu Kredit. Vol 9 Nomor I, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara : Fakultas Hukum
Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma : Jakarta. hlm 31.
22
23
24
Indah Novitasari, (2020). Perspektif Tindak Pidana Kartu Kredit (Carding) Terhadap Putusan
Pengadilan. Bhirawa Law Journal Vol 1 Issue 1, Universitas Merdeka. hlm 22
24
25
Moeljatno, Op.Cit, hlm
25
26
Moeljatno, Ibid. hlm
26
Pasal 30 Ayat (2) : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan
cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik”.
Pasal 30 Ayat (3) : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan
cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol
sistem pengamanan”28.
27
Perbedaan Hacking dan Ethical Hacking Serta Jenis-Jenis Hacking, diakses melalui
https://www.course-net.com/perbedaan-hacking-dan-ethical-hacking/ pada tanggal 14 Mei 2022
pukul 15.30.
28
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
29
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
27
Pasal 32 Ayat (2) : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem
Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
30
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
31
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
28
32
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
29
33
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
34
Sigid Suseno, (2004). Kebijakan Pengaturan Carding dalam Hukum Pidana di Indonesia.
Volume 6 Nomor 3, Jurnal Sosiohumaniora. hlm 254.
30
b. Non-received Card
Modus ini dilakukan pelaku dengan cara menunggu pengiriman kartu
kredit seseorang sebagai pemilik sah yang telah disetujui oleh pihak Bank.
Pelaku terlebih dahulu mencari informasi mengenai orang yang
mengajukan pembuatan kartu kredit tersebut, terutama informasi data
pribadi pemohon kemudian memalsukan data tersebut dan juga untuk
mengetahui informasi mengenai alamat yang dituju ketika kartu kredit
tersebut dikirimkan. Ketika Kantor Pos atau jasa pengiriman barang
lainnya mengirimkan kartu kredit tersebut, maka pelaku mendatangi
alamat tersebut sebelum kurir datang. Ketika kurir kartu kredit tersebut
tiba di lokasi, maka pelaku akan berpura-pura seolah-olah dirinya yang
mengajukan permohonan pembuatan kartu kredit tersebut dan menerima
paket kartu kredit tersebut.
c. Lost or Stolen Card
Modus ini dilakukan oleh pelaku dengan menggunakan kartu kredit
asli milik orang lain yang hilang atau diperoleh melalui hasil curian.
Kemudian saat pelaku melakukan transaksi pembayaran, pelaku
menandatangani draf penjualan dengan meniru tanda tangan pada kartu
kredit sebagai tanda tangan kepemilikan yang sah. Saat melakukan
transaksi pembayaran, pelaku melakukan transaksi di bawah floor limit
atau batas minimum untuk menghindari otorisasi secara online oleh Bank
yang menerbitkan kartu kredit tersebut.
d. Altered Card
Modus pelaku dengan menggunakan kartu kredit asli milik orang lain
yang diperoleh dari hasil curian (stolen card), non-received card, atau
kartu yang hilang (lost card) yang datanya sudah diubah oleh pelaku.
Perubahan data dilakukan dengan cara menghilangkan data nasabah asli
dengan mengisi data baru yang dimuat dalam magnetic stripe atau pita
magnetik yang terdapat pada kartu kredit yang sudah dikodekan ulang (re-
encoded) yang diperoleh dari Point of Compromise (POC).
31
e. Totally Counterfeited
Modus yang dilakukan pelaku dalam Totally Counterfeited adalah
dengan menggunakan kartu kredit yang seluruhnya palsu. Pemalsuan ini
dilakukan pelaku dengan mencetak sebuah kartu tiruan yang datanya
menggunakan data nomor pemilik kartu kredit yang masih berlaku yang
diperoleh dengan cara re-encoded (pengkodean ulang).
f. White Plastic Card
Dalam modus ini, seorang carder dalam melakukan kejahatannya
menggunakan kartu plastik putih yang hanya memuat magnetic stripe atau
pita magnetik yang di dalamnya berisi data asli. Seorang carder
mencantumkan data kartu kredit dari pemilik yang sah pada kartu plastik
polos tanpa mencantumkan logo dari pihak penerbit yang datanya tersebut
diperoleh dengan menggunakan cara encoding.
g. Record of Charge Pumping
Modus ini dilakukan oleh pelaku dengan cara menggandakan draf
penjualan (sales draft) oleh merchant. Setelah digandakan, salah satu draf
penjualan tidak ditandatangani oleh pemilik kartu kredit yang sah
kemudian diserahkan kepada merchant lain lalu mengisikan data transaksi
fiktif pada draf penjualan tersebut.
h. Altered Amount
Merupakan modus yang dilakukan pelaku dengan cara mengubah
nilai transaksi yang dilakukan yang tercantum pada draf penjualan (sales
draft). Dalam modus ini, biasanya pelaku berasal dari pihak pedagang
(merchant) karena pihak tersebut merupakan sebagai pihak yang terlibat
langsung dalam suatu transaksi, sehingga memudahkan pelaku untuk
menggunakan cara ini untuk memperoleh keuntungan dari transaksi
tersebut secara ilegal.
i. Telephone or Mail Ordered
Modus ini dilakukan oleh pelaku dengan cara memesan suatu barang
melalui jaringan telepon atau pesan elektronik dengan menggunakan kartu
kredit milik orang lain. Dalam modus ini, pelaku terlebih dahulu
32
memperoleh data dari kartu kredit seseorang berupa nama dan nomor dari
kartu kredit tersebut kemudian melakukan pemesanan barang dengan
menggunakan kartu kredit tersebut.
j. Fictius Merchant
Dalam melakukan modus ini, pelaku berpura-pura menjadi seorang
pedagang yang dalam transaksinya juga menyediakan aplikasi untuk
melakukan pembayaran yang data-data di dalamnya merupakan data palsu.
Aplikasi tersebut didukung dengan skimmer (alat pendeteksi kartu kredit)
atau software untuk dapat memperoleh data dalam kartu kredit dengan
mudah. Modus ini biasanya dilakukan di tempat-tempat yang ramai dan
umumnya menjadi tempat yang sering terjadi transaksi jual-beli setiap
harinya seperti di restoran, store, dan lain-lain.
3. Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Pidana Carding
Faktor yang menjadi penyebab terjadinya tindak pidana carding yang
marak terjadi di tengah masyarakat saat ini dapat dibagi ke dalam 2 (dua)
kategori yaitu faktor internal dan faktor eksternal yang akan diuraikan
sebagaimana berikut :
a. Faktor Internal
Faktor Internal merupakan suatu sebab yang muncul dari dalam diri
pribadi yang berkaitan dengan keadaan serta latar belakang dari seorang
individu seperti usia, kondisi fisik, kondisi mental, latar belakang keluarga,
finansial, kecerdasan dan lain sebagainya. Berdasarkan penelusuran,
adapun faktor internal yang menyebabkan terjadinya tindak pidana carding
adalah sebagai berikut 35:
1) Faktor Kepercayaan Diri
Pelaku kejahatan carding atau disebut dengan carder cenderung
memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi karena merasa telah
memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup dalam melakukan
modus untuk melakukan carding sehingga mereka memiliki
35
Indah Novitasari, Loc.Cit, hlm 25-26
33
b. Faktor Eksternal
Faktor Eksternal merupakan suatu sebab yang berpangkal pada segala
hal yang berada di luar diri pelaku. Umumnya faktor eksternal berkaitan
dengan pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh lingkungan sekitar diri
pelaku dalam hal lingkungan sosial, ekonomi dan politik. Beberapa faktor
eksternal yang dapat mempengaruhi kejahatan kartu kredit (carding)
antara lain sebagai berikut :
1) Faktor Ekonomi
Kondisi ekonomi individu yang berada di bawah taraf hidup yang
ideal merupakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi individu
yang pada dasarnya memiliki hasrat untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya. Setiap individu mengharapkan kondisi hidup yang
berkecukupan dengan melakukan suatu pekerjaan yang akan
memberikan penghasilan terhadap dirinya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Namun lapangan pekerjaan yang tersedia tidak
sebanding dengan jumlah individu yang membutuhkan pekerjaan,
sehingga masih banyak individu yang tidak mendapatkan kesempatan
bekerja untuk meningkatkan kualitas ekonominya sehingga angka
kemiskinan dapat meningkat. Maka konsekuensinya adalah individu
tersebut akan memikirkan segala cara untuk mendapatkan penghasilan
yang layak serta tidak sedikit yang menempuh cara melalui
kriminalitas. Dalam kriminologi, keadaan tersebut merupakan hal
yang mendapatkan perhatian khusus karena kemiskinan merupakan
bentuk kekerasan struktural dalam ruang lingkup sosial36, serta
merupakan keadaan krisis ekonomi yang dapat menyebabkan
dorongan untuk melakukan kriminalitas.
2) Faktor Kesadaran Hukum Masyarakat
Faktor kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dalam
konteks implementasi fungsi hukum dalam masyarakat. Maka perlu
36
Anang Priyanto, (2012). Kriminologi, Penerbit Ombak : Yogyakarta. hlm 77
35
37
Satjipto Rahardjo, (1980). Hukum dan Masyarakat, Penerbit Angkasa : Bandung. hlm 117
36
38
Sanyoto, (2008). Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Volume 8 No 3 :
Purwokerto. hlm 200
37
39
Bagir Manar, (2005). Penegakan Hukum yang Berkeadilan, Varia Peradilan Nomor 245 : Jakarta.
hlm 7
38
40
Taufik H Situmpang, (2016). Revitalisasi Kesadaran Hukum Masyarakat Dalam Rangka
Mendukung Perlindungan KI di Indonesia, Volume 10 Nomor 1, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum :
Jakarta. hlm 3
39
Kata fiqh secara etimologis berasal dari Bahasa arab yaitu ُ يا ْفقاه- فا ِقها
(faqiha-yafqohu) yang berarti faham atau memahami ucapan dengan baik41.
Sedangkan secara terminologis. Abdul Karim Zaidan sebagaimana dikutip dari
definisi dari Asy-Syafi’i dan Al-Amidi mendefinisikan fiqh sebagai berikut :
41
M. Nurul Irfan, (2016). Op.Cit. hlm 3
42
Abdul Karim Zaidan, (1985). Al-Wafiz Fii Ushul Al-Fiqh, Mu’assasah Ar-Risalah : Beirut.
hlm 8
40
علاى ال ان ْف ِس أ ا ْو ا
غ ْي ِر اها ض ام ُن ا
ض اررا ا ُ ُْكل فِ ْعل امح
ظ ْور ايتا ا
“Setiap perbuatan yang dilarang yang mengandung kemadhorotan
terhadap nyawa atau selain nyawa”.
2) Menurut Abdul Qadir Audah
Menurut Abdul Qadir Audah sebagaimana dikutip dalam kitabnya
yaitu At-Tasyri Al-Jinai Al-Islami, definisi dari jinayah adalah46 :
43
Syahrul Anwar, (2010). Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Ghalia Indonesia : Bogor. hlm 13
44
M. Nurul Irfan, (2016). Op.Cit. hlm 4
45
Ali bin Muhammad Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Darul Hikmah : Jakarta. hlm 79
46
Abdul Qadir Audah, (1992). At-Tasyri Al-Jinai Al-Islami, Jilid I, Muassasah Ar-Risalah : Beirut.
hlm 67
41
ِ ب أ ا ِو ْال ام ْع
ص اية أ ا ْو كل ما يجني المرئ ِه ا: ْال ِج انا ايةُ أ ا ِو ْال اج ِر ْي امة لُغاة
ُ ي الذا ْن
من شر اكتسبه
“Jinayah atau Jarimah secara bahasa : yaitu dosa atau kemaksiatan atau
semua jenis perbuatan manusia berupa kejahatan yang dilakukan”47.
Dalam definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Az-Zuhaili tersebut
dikatakan bahwa jinayah dan jarimah memiliki makna yang sama karena
secara jelas digunakan kata penghubung “atau” di antara istilah Jarimah dan
Jinayah. Selanjutnya Abdul Qadir Audah juga secara tegas memisahkan
definisi jinayah dan jarimah, Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa yang
dimaksud jarimah adalah :
47
M Nurul Irfan, (2016). Op.Cit, hlm 8
48
Abdul Qadir Audah, (1992). Op.Cit. hlm 66
42
1) Jarimah Qisas
Bagian pertama jarimah dalam fiqih jinayah adalah qisas. Secara
49
M Nurul Irfan, (2016). Op.Cit. hlm 30
50
Abdul Qadir Audah, jilid 2, Op,Cit, hlm 10
43
2) Jarimah Hudud
Jenis jarimah selanjutnya adalah jarimah hudud. Kata hudud
merupakan bentuk jamak dari kata had yang pada dasarnya memiliki arti
pemisah antara dua hal atau dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang
membedakan sesuatu tersebut dengan yang lain. Secara etimologis, had
bermakna cegahan. Sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku jarimah
disebut dengan hudud, karena sanksi tersebut dimaksudkan untuk
mencegah pelaku jarimah tersebut tidak mengulangi kejahatannya tersebut
serta untuk mencegah agar masyarakat tidak melakukan kejahatan-
kejahatan yang telah dilarang oleh syara51.
Secara terminologis syara, hudud merupakan pemberian hukuman
dalam rangka hak allah. Maksud dari pemberian hukuman dalam rangka
hak allah adalah bahwa diterapkannya hukuman had tersebut semata-mata
adalah karena demi tercapainya kemaslahatan masyarakat dan demi
terpeliharanya ketertiban umum52. Artinya sifat dari hudud ini merupakan
bentuk hukum publik yang mengatur mengenai kepentingan umum dan
ketertiban masyarakat.
Sedangkan makna Jarimah Hudud merupakan suatu bentuk tindak
pidana yang bentuk dan sanksinya telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam
Al-Quran dan oleh Nabi Muhammad dalam sunnahnya53. Jarimah hudud
meliputi 7 (tujuh) macam bentuk jarimah antara lain adalah :
a. Jarimah Zina (tindak pidana perzinahan),
b. Jarimah Qadzaf (tindak pidana penuduhan zina),
c. Jarimah syarib al-khamr (tindak pidana meminum khamr),
d. Jarimah As-Sariqah (tindak pidana pencurian),
e. Jarimah Al-Hirabah (tindak pidana perampokan),
f. Jarimah Al-Bagyu (tindak pidana pemberontakan), dan
g. Jarimah Ar-Riddah (tindak pidana murtad).
51
Sayyid Sabiq, (1990). Fikih Sunnah, Terjemah Nabhan Husein, PT Al-Maarif : Bandung. hlm 13
52
Ibid, hlm 13
53
M Nurul Irfan, (2016). Op.Cit. hlm 47
44
54
Ahmad Wardi Muslich, (2005). Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika : Jakarta. hlm 248
55
A. Djazuli, (2000). Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), Raja
Grafindo : Jakarta. hlm 165
45
56
M Nurul Irfan, (2016). Op.Cit. hlm 94
57
Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islami wa Adillatuhu, Jilid 7, Penerbit Gema Insani, Darul Fikr :
Damaskus. hlm 197
46
58
M Nurul Irfan, (2016). Op.Cit. hlm 95-110
59
Abdul Qadir Audah, jilid 2, Op.Cit. hlm 793-817
47
60
M Nurul Irfan, (2016). Op.Cit. hlm 27
48
61
Sayyid Sabiq, Op.Cit. hlm 200
49
62
Ibid, hlm 206
BAB III
63
P.A.F Lamintang, (1997). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti :
Bandung. hlm 193
50
51
64
Ibid, hlm 193-194
52
Pasal 32 Ayat (2) : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum dengan cara apapun memindahkan atau mentransfer
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem
Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
65
Mahrus Ali, (2011). Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika : Jakarta. hlm 111.
54
hal ini dapat dilihat dari berbagai rumusan pasal yang biasanya
diawali dengan kata “barangsiapa” atau “setiap orang” yang
secara harfiah merujuk pada makna manusia perseorangan.
Sedangkan badan hukum belum diakui sebagai subjek tindak
pidana dalam KUHP. Pengecualiannya adalah badan hukum
dapat termasuk ke dalam subjek tindak pidana jika terdapat
ketentuan dalam undang-undang pidana di luar KUHP yang
menyatakan bahwa badan hukum termasuk ke dalam subjek
tindak pidana dan termasuk ke dalam makna dari “barangsiapa”
atau “setiap orang”66, sebagaimana makna dari unsur setiap orang
yang disinggung dalam Pasal 1 Ayat 21 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 Tentang Infromasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam pasal tersebut yang dimaksud dengan “orang” adalah
orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara
asing, maupun badan hukum.
Maka dari itu, unsur setiap orang yang dapat dianggap
sebagai subjek tindak pidana sebagaimana yang terdapat dalam
Pasal 32 Ayat 1 (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mencakup
manusia sebagai perseorangan (natuurlijk person) dan badan
hukum (rechtperson). Maka dapat diambil kesimpulan bahwa
yang dapat dianggap sebagai seorang pelaku tindak pidana
carding yang dapat dijerat oleh Pasal 32 UU ITE adalah apabila
kejahatan carding tersebut dilakukan oleh orang dalam artian
perseorangan maupun oleh badan hukum.
2) Unsur Dengan Sengaja
Unsur “dengan sengaja” merupakan unsur yang merupakan
penegasan dari konsep mengenai kesengajaan (opzet) dalam
66
Rony A. Walandouw, (2020). Unsur Melawan Hukum yang Subjektif Dalam Tindak Pidana
Pencurian Pasal 32 KUHP, Jurnal Lex Crimen Universitas Sam Ratulangi Vol IX No 3 : Manado.
hlm 252.
55
67
Leden Marpaung, (2005). Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika : Jakarta. hlm 44.
68
P.A.F Lamintang, (1997). Op.Cit, hlm 282.
56
69
Tim Penyusun Kamus Pusat, (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai
Pustaka : Jakarta. hlm 427
57
70
P.A.F Lamintang, (1997). Op.Cit, hlm 347
71
Ibid, hlm 349
58
72
Idi Amin, (2018). Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Ilmu Hukum
Universitas Mataram Vol 33 No 1 : Mataram. hlm 4
73
P.A.F Lamintang, (1997). Op.Cit, hlm 381
59
74
Diakses melalui https://kbbi.web.id pada tanggal 11 Juni 2022 Pukul 17.50 WIB.
61
bahwa pidana terbagi ke dalam dua jenis yaitu Pidana Pokok dan
Pidana Tambahan75. Pidana Pokok terdiri dari :
1) Pidana Mati
Dalam KUHP dijelaskan bahwa pidana mati dilaksanakan
dengan cara digantung dengan menggunakan sebuah jerat di leher
terpidana serta mengikatkan jerat tersebut pada tiang gantungan.
Namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor
2/PNPS/Tahun 1964 yang dinyatakan sebagai Penetapan
Presiden yang sesuai dengan hati nurani rakyat dan oleh sebab itu
tetap dinyatakan berlaku dan menjadi undang-undang76, maka
metode pelaksanaan pidana mati di Indonesia dilaksanakan
dengan cara ditembak mati.
2) Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan jenis hukuman dalam bentuk
perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan bergerak
dari seorang terpidana dengan menempatkannya di Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas)77. Pidana penjara merupakan jenis
sanksi yang paling banyak dicantumkan baik dalam rumusan
tindak pidana KUHP atau dalam rumusan delik dalam undang-
undang di luar KUHP.
3) Pidana Kurungan
Pidana Kurungan merupakan salah satu jenis sanksi pidana
yang sejenis dengan pidana penjara berupa bentuk perampasan
kemerdekaan dan kebebasan seseorang namun sifatnya lebih
ringan dari pidana penjara. Perbedaannya dengan pidana penjara
adalah dalam pidana kurungan terdapat sifat yang disebut dengan
75
Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
76
Efryan R. T. Jacob, (2017). Pelaksanaan Pidana Mati Menurut Undang-Undang Nomor
2/PNPS/1964, Jurnal Lex Crimen Vol VI No 1, Universitas Sam Ratulangi : Manado. hlm 102
77
Dwidja Priyatno, (2009). Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Penerbit Refika
Aditama : Bandung. hlm 71-72
63
78
Farid A. Z dan Andi Hamzah, (2011). Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik, Rajawali Pers :
Jakarta. hlm 289
79
Syaiful Bakhri, (2002). Penggunaan Pidana Denda Dalan Perundang-undangan, Jurnal Hukum
Vol 9 No 21. hlm 50
64
umum yaitu minimum 1 (satu) hari untuk pidana penjara80 serta denda
Rp.250 untuk pidana denda. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai
sebuah kekurangan dalam pengaturan sanksi dalam pasal tersebut,
namun di sisi lain dengan fakta tersebut seorang hakim dituntut untuk
sadar akan pentingnya mencapai keadilan bagi masyarakat dengan
menilai batasan pidana yang sebanding dengan perbuatan yang
dilakukan.
B. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Unsur-Unsur dan Sanksi
Tindak Pidana Carding Dalam Pasal 32 dan Pasal 48 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik
Tindak pidana carding tidak dibahas secara khusus dalam pembahasan
fiqih jinayah, namun konsepsi dalam fiqih jinayah atau hukum pidana islam
dapat memungkinkan untuk menemukan jawaban serta kepastian hukum
terhadap permasalahan kejahatan carding yang saat ini marak terjadi.
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam hukum pidana
islam terdapat klasifikasi mengenai jenis-jenis jarimah yang terbagi ke dalam
tiga macam yaitu Jarimah Qisas, Jarimah Hudud, dan Jarimah Takzir. Apabila
unsur-unsur dan sanksi yang terdapat dalam Pasal 32 dan Pasal 48 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
ditinjau berdasarkan konsepsi jarimah dalam hukum pidana islam tersebut,
maka akan menghasilkan pembahasan sebagaimana yang akan diuraikan
sebagai berikut :
1. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Unsur-Unsur Tindak Pidana
Carding Dalam Pasal 32 UU ITE
Perbuatan carding pada dasarnya merupakan tindakan melawan
hukum yang dilakukan oleh seseorang yang menimbulkan kerugian bagi
pihak lain. Tindakan melawan hukum dalam carding dilakukan dalam hal
melakukan transaksi dengan menggunakan rekening dalam kartu kredit
80
Lihat Pasal 12 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
66
81
Wahbah Az-Zuhaili, (1985). Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 7, Terjemah Penerbit Gema Insani,
Darul Fikir : Damaskus. hlm 369
82
Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm 203
67
83
Wahbah Az-Zuhaili, (1985). Op.Cit, hlm 378
84
Ibid
85
Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm 207
68
a. Milik orang lain yang diambil oleh pelaku tersebut adalah berupa
harta yang memiliki nilai (mutaqawwim)86
Maksud dari harta yang bernilai adalah sesuatu yang
memiliki nilai yang apabila orang melakukan pelanggaran
terhadapnya dengan merusakannya maka hal tersebut harus
ditanggung untuk diganti. Dalam tindak pidana carding, maka
uang yang menjadi objek yang diambil oleh pelaku dari rekening
dan kartu kredit seseorang merupakan suatu harta yang memiliki
nilai (mutaqawwim). Imam Sayyid Sabiq juga menambahkan
bahwa harta yang bernilai tersebut juga harus dapat dipindah
milikkan kepada orang lain.
b. Harta yang dicuri harus mencapai nishab pencurian
Terdapat beberapa pandangan dari fuqaha dalam menentukan
nishab dari pencurian. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
kadar nishab pencurian adalah sesuatu yang senilai dengan 10
dirham atau satu dinar, hal ini berdasarkan hadits dari Abdullah
bin Umar sebagaimana yang disabdakan nabi bahwa :
86
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Juzay Al-Kalbi, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, Maktaba Assrya,
hlm 359
87
Al-Haitsami, (1988). Majma’ Al-Zawaid, Juz 6, Darul Fikr. hlm 273
69
88
Wahbah Az-Zuhaili. Op.Cit, hlm 381
89
Diakses melalui https://kbbi.web.id/ambil.html pada tanggal 18 Juni 2022 Pukul 20.23 WIB
70
90
Ibnu Rusyd Al-Qurtubi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz 2, Darul Kitab Al-
Ulumiyah, hlm 440
91
Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm 215-216
71
92
Ibid, hlm 200
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan dalam pembahasan pada bab
sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Pasal 32 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
atau yang disebut dengan UU ITE, dapat dijadikan aturan Lex Specialis
untuk menjerat pelaku tindak pidana carding atau kejahatan dalam
melakukan transaksi secara online dengan menggunakan kartu kredit milik
orang lain. Di dalam Pasal 32 terkandung mengenai unsur-unsur tindak
pidana carding yang apabila terpenuhi maka pelaku dapat diancam sanksi
pidana sebagaimana yang dirumuskan di dalam Pasal 48 UU ITE.
Adapun unsur-unsur tindak pidana carding yang teridentifikasi dalam
ketentuan Pasal 32 UU ITE adalah sebagai berikut :
1) Setiap Orang,
2) Dengan Sengaja,
3) Tanpa Hak,
4) Melawan Hukum,
5) Dengan Cara Apapun,
6) Mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik
publik (ayat 1),
7) Memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak
berhak (ayat 2),
8) Mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh
publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya (ayat 3).
73
74
Maka dari itu, apabila ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 32 UU ITE
mengenai unsur-unsur tindak pidana carding dapat memenuhi unsur-unsur
dalam jarimah sariqah, maka konsepsi hukum pidana islam meninjau
bahwa sanksi yang dapat dijatuhkan adalah sanksi had berupa potong
tangan, bukan berupa sanksi penjara atau denda sebagaimana yang terdapat
di dalam Pasal 48 UU ITE.
Adapun ketentuan sanksi potong tangan terhadap pelaku pencurian dalam
hukum pidana islam tersebut didasarkan pada dalil al-quran yang mengatur
mengenai sanksi jarimah sariqah yaitu Q.S Al-Maidah (38) :
B. Saran
1. Pengaturan pidana di Indonesia terhadap kejahatan dunia maya adalah
melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, salah satunya juga dapat menjerat pelaku tindak
pidana carding. Namun seiring perkembangan zaman yang begitu pesat
yang memberikan dampak perubahan secara massif terhadap segala aspek
kehidupan yang salah satunya juga memberikan dampak terhadap
munculnya modus kejahatan baru, perlu kiranya bagi pemerintah untuk
membentuk peraturan yang mengatur secara khusus mengenai kejahatan
kartu kredit sehingga terdapat peraturan yang lebih jelas dan memberikan
kepastian hukum yang khusus bagi para pelaku tindak pidana kartu kredit
(carding).
2. Negara Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah
muslim. Namun sebagai negara yang memiliki heterogenitas tinggi yang
76
salah satunya adalah dalam hal budaya dan agama, negara Indonesia tidak
menganut sistem hukum islam secara menyeluruh. Terutama dalam ranah
hukum pidana yang tidak diterapkan dan diberlakukan bagi seluruh wilayah
di Indonesia. Namun sebagai seorang muslim dan kaum pelajar muslim,
perlu kiranya untuk senantiasa mempelajari dan memahami konsepsi hukum
islam secara menyeluruh, salah satunya dalam ranah pidana walaupun di
Indonesia tidak menerapkan ketentuan dalam hukum pidana islam. Hal
tersebut dipandang perlu untuk menambah wawasan dan kemampuan
analisis kita terhadap segala bentuk kejahatan baru yang salah satunya
adalah tindak pidana carding, serta dikaitkan dengan konsepsi dalam hukum
pidana islam guna menemukan jawaban terhadap permasalahan carding
tersebut melalui persepsi hukum pidana islam.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Abdul Karim Zaidan, (1985). Al-Wafiz Fii Ushul Al-Fiqh, Mu’assasah Ar-
Risalah : Beirut.
Abdul Qadir Audah, (1992). At-Tasyri Al-Jinai Al-Islami, Jilid I, Muassasah Ar-
Risalah : Beirut.
Ahmad Wardi Muslich, (2005). Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika : Jakarta.
77
78
Leden Marpaung, (2005). Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika :
Jakarta.
Syahrul Anwar, (2010). Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Ghalia Indonesia : Bogor.
Tim Penyusun Kamus Pusat, (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga, Balai Pustaka : Jakarta.
B. Jurnal-Jurnal
Idi Amin, (2018). Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal
Ilmu Hukum Universitas Mataram Vol 33 No 1 : Mataram.
C. Peraturan Perundang-Undangan
D. Website Internet
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/06/04/penggunaan-e-commerce-
indonesia-tertinggi-di-dunia, diakses pada tanggal 30 Desember 2021.