Anda di halaman 1dari 88

UNSUR-UNSUR DAN SANKSI TINDAK PIDANA CARDING DALAM

PASAL 32 DAN PASAL 48 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN


2008 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PERSPEKTIF HUKUM
PIDANA ISLAM

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Sandy Andriansyah
1183060072

JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2022
ABSTRAK

Sandy Andriansyah, NIM 1183060072, 2018, UNSUR-UNSUR DAN SANKSI


TINDAK PIDANA CARDING DALAM PASAL 32 DAN PASAL 48
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 JO UNDANG-UNDANG
NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM. Penelitian ini
memuat pembahasan mengenai permasalahan unsur-unsur dan sanksi tindak pidana
carding dalam pasal 32 dan pasal 48 UU ITE yang ditinjau berdasarkan konsepsi
hukum pidana islam atau fiqih jinayah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pandangan hukum pidana islam terhadap unsur-unsur dan sanksi tindak pidana
carding dalam kedua pasal tersebut. Jenis penelitian yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode penelitian deskriptif
analisis dengan penggambaran data sesuai dengan referensi/apa adanya tanpa ada
penambahan data atau pengurangan data yang dilakukan dengan pendekatan konten
analisis secara normatif terhadap isi dari Pasal 32 dan Pasal 48 UU ITE yang
ditinjau berdasarkan perspektif hukum pidana islam dengan merujuk pada sumber
data primer dan sekunder berupa kitab-kitab, buku-buku, jurnal-jurnal, peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa pasal 32 dan pasal 48 berkedudukan sebagai
undang-undang khusus yang dapat memberikan sanksi kepada pelaku tindak pidana
carding yang apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana dalam pasal 32 UU
ITE tersebut. Sedangkan hukum pidana islam memandang bahwa unsur-unsur dan
sanksi tindak pidana carding dalam pasal 32 dan pasal 48 UU ITE termasuk ke
dalam jarimah sariqah yang apabila syarat dan rukunnya terpenuhi maka pelakunya
dapat dijatuhi dengan sanksi hudud berupa potong tangan.

Kata Kunci : Carding, Tindak Pidana, Fiqih Jinayah

i
LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul :

“Unsur-Unsur dan Sanksi Tindak Pidana Carding dalam Pasal 32


dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik Perspektif Hukum Pidana Islam”

Penyusun :
SANDY ANDRIANSYAH
1183060072

Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. Aziz Sholeh, M.Ag Yuyu Wahyu, S.Sos., M.H


NIP. 196703161992031002 NIP. 195910101989031003

Mengetahui,
Ketua Jurusan Hukum Pidana Islam

Dr. Enceng Arif Faizal, M.Ag


NIP. 197212301999031002

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, zat yang Maha Kuasa
dan Maha Pengasih yang kekuasaan-Nya meliputi seluruh alam semesta. Maka puji
dan syukur dipanjatkan kehadirat-Nya yang atas karunia-Nya telah memberikan
kemudahan serta kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir
berupa skripsi yang menjadi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi tingkat
strata satu serta dapat memperoleh gelar sarjana di Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung. Shalawat dan salam semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
senantiasa mencurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam serta kepada keluarga, sahabat, tabi’in dan seluruh pengikutnya
hingga akhir zaman.

Dalam skripsi penulis yang berjudul “Unsur-Unsur dan Sanksi Tindak


Pidana Carding Dalam Pasal 32 Jo Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik Perspektif Hukum Pidana Islam” yang merupakan karya
tulis ilmiah yang disusun sebagai tugas akhir dalam jenjang strata satu di jurusan
Hukum Pidana Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung,
penulis mengambil pembahasan mengenai permasalahan tindak pidana carding
sebagai salah satu motif kejahatan dunia maya yang ditinjau melalui perspektif
hukum pidana islam dari segi unsur-unsur dan sanksinya yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan yang ada.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini
banyak terdorong oleh dukungan-dukungan dari orang-orang di sekitar penulis
yang begitu berpengaruh bagi diri penulis. Dukungan tersebut diberikan dalam segi
moral, materiil, intelektualitas, hingga spiritual sehingga penulis terdorong untuk
senantiasa memiliki semangat juang yang tinggi dalam semua proses yang ada
selama penyusunan skripsi ini sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan dengan

iii
baik. Maka dari itu, dengan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih secara
mendalam kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si., CSEE. , Rektor Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung.
2. Prof. Dr. H. Fauzan Ali Rasyid, M.Si. , Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
3. Dr. Enceng Arief Faizal, M.Ag. , sebagai Ketua Jurusan Hukum Pidana Islam
beserta jajarannya yang senantiasa memberikan arahan dan motivasi selama
proses perkuliahan penulis sehingga dapat menyelesaikan studi dengan baik
dan sungguh-sungguh.
4. Drs. H. Aziz Sholeh, M.Ag dan Yuyu Wahyu, S.Sos.,M.H., dosen pembimbing
yang senantiasa meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan, masukan, dan arahan terhadap penulisan skripsi ini.
5. Segenap Dosen di ruang lingkup Fakultas Syariah dan Hukum yang atas
dedikasinya dalam dunia pendidikan perguruan tinggi senantiasa memberikan
ilmu dan pengetahuan bermanfaat yang khususnya kepada penulis sebagai
mahasiswa di Fakultas Syariah dan Hukum yang diharapkan penulis mampu
menerapkannya bagi peningkatan kualitas pengetahuan diri pribadi serta
mampu mengimplementasikan dalam kehidupan masyarakat dan dunia kerja
atau dalam jenjang studi yang lebih tinggi.
6. Kedua orangtua tercinta Ayahanda Ade Koswara dan Ibunda Rini Herawati,
kepada adik tersayang Raissa Dhita Amelia dan anggota keluarga lain yang
senantiasa memberikan dukungan dari segi moral dan materiil bahkan doa yang
terus mengalir dan tidak ada habisnya terucapkan untuk kelancaran studi
penulis.
7. Rekan satu perjuangan di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Hukum Pidana
Islam periode 2019-2020 dan periode 2020-2021 yang juga mengiringi penulis
dalam setiap proses pengembangan diri selama menjalani perkuliahan dari segi
intelektualitas dan organisasi.
8. Rekan fun badminton Ananda Yoga Andreansyah, Muhammad Hanif Qori,
Teguh Hadi Prasetyo, Muhammad Rusydiansyah yang memberikan relaksasi

iv
kepada penulis melalui program badminton rutinan serta senantiasa berbagi
pengalaman dan pengetahuan sehingga penulis mampu menjaga daya pikir dan
mood yang baik dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Rekan-rekan KKN 306 Desa Mulyasari, Kabupaten Cianjur. Atas segala
pengalaman selama kegiatan KKN tersebut baik suka maupun duka yang
dilewati bersama, telah memberikan pelajaran yang begitu berharga bagi
kehidupan penulis. Semoga suatu hari nanti kita diberikan kesempatan untuk
bertemu kembali dalam kondisi telah menjadi pribadi yang lebih baik.
10. Ucapan terakhir ditujukan kepada kawan-kawan satu perjuangan Hukum
Pidana Islam Angkatan 2018 yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima
kasih atas perjalanan studi yang telah dilalui, menjadi sebuah kehormatan dapat
mengenal kawan-kawan HPI 2018 yang sangat luar biasa. Semoga segala ilmu
dan pengalaman yang didapatkan selama perkuliahan, dapat bermanfaat
terhadap diri sendiri, keluarga, hingga masyarakat luas.
Pencapaian ini tidak akan berarti jika tidak disertai keridhoan oleh Allah
Subhanahu wa Taala, maka ucapan syukur senantiasa penulis panjatkan selama
proses yang telah dilalui. Harapan besar bahwa skripsi ini dapat memberikan peran
dan manfaatnya bagi orang-orang yang membacanya dan semoga menjadi amalan
baik bagi penulis yang dapat menjadi bekal di akhirat kelak, Aamiin.

Bandung, Juli 2022


Penulis,

Sandy Andriansyah

v
DAFTAR ISI

ABSTRAK ........................................................................................................................ i

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI ...................................................................... ii

KATA PENGANTAR .................................................................................................. iii

DAFTAR ISI ...................................................................................................................vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................. 8

C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 8

D. Kegunaan Penelitian............................................................................... 9

E. Kerangka Berfikir ................................................................................... 9

F. Langkah-Langkah Penelitian ............................................................. 17

G. Hasil Penelitian Terdahulu ................................................................. 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG TINDAK PIDANA CARDING

A. Tindak Pidana Carding Dalam Hukum Positif .............................. 22

1. Pengertian, Ruang Lingkup, dan Dasar Hukum Tindak Pidana


Carding Dalam Hukum Positif ................................................. 22

2. Bentuk-Bentuk Pelaksanaan Tindak Pidana Carding............... 29

3. Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Pidana Carding ................... 32

B. Tindak Pidana Carding Dalam Hukum Pidana Islam ................. 39

1. Pengertian Hukum Pidana Islam .............................................. 39

2. Macam-Macam Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam .. 41

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam ....... 46

vi
4. Pengertian Carding Serta Kedudukannya Dalam Hukum Pidana
Islam ......................................................................................... 47

BAB III ANALISIS PASAL 32 DAN PASAL 48 TENTANG UNSUR-UNSUR


DAN SANKSI TINDAK PIDANA CARDING PERSPEKTIF
HUKUM PIDANA ISLAM

A. Unsur-Unsur dan Sanksi Tindak Pidana Carding Dalam Pasal 32


dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ............................................................................................... 50

1. Unsur-Unsur Tindak Pidana Carding Dalam Pasal 32 Undang-


Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ................................................................................. 50

2. Sanksi Tindak Pidana Carding Dalam Pasal 48 Undang-Undang


Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ................................................................................. 61

B. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Unsur-Unsur dan


Sanksi Tindak Pidana Carding Dalam Pasal 32 dan Pasal 48
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ............................................................................................... 65

1. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Unsur-Unsur Tindak


Pidana Carding Dalam Pasal 32 UU ITE ................................. 65

2. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Tindak Pidana


Carding Dalam Pasal 48 UU ITE ............................................. 71

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................................. 73

B. Saran ........................................................................................................ 75

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 77

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Era Globalisasi merupakan saat dimana tidak ada batasnya hubungan
interaksi setiap orang diseluruh dunia. Hal ini dikarenakan perkembangan
teknologi yang semakin kompleks menjadikan batas antar setiap negara di dunia
ini menjadi satu. Karena hal tersebut, maka yang disebut dengan kehidupan
sosial masyarakat pun bukan hanya ketika manusia secara individu dengan
individu lainnya berinteraksi secara langsung, bahkan interaksi melalui
pemanfaatan teknologi pun dapat dikatakan sebagai interaksi sosial. Teknologi
diciptakan manusia melalui akalnya, begitu pula dengan manusia menggunakan
teknologi karena akalnya. Akal manusia digunakan untuk menghadapi suatu
permasalahan dengan mencari solusi, maka teknologi hadir sebagai upaya
manusia dalam memberikan kemudahan dalam menghadapi permasalahan
kehidupannya sehari-hari.
Dalam konteks keislaman, Al-Quran tidak membatasi umat islam untuk
melakukan kemajuan dan modernisasi, justru islam sangat mengutamakan agar
manusia senantiasa melakukan research guna keperluan ilmu pengetahuan,
salah satunya dalam ranah pengetahuan dan pengembangan teknologi. Dalam
islam, teknologi merupakan bagian dari ayat-ayat Allah SWT yang perlu digali
dan dicari kebenarannya, salah satu ayat yang terkait dengan hal tersebut
terdapat QS Ali Imran ayat 190-191 :

ِ ‫ت ِْلُو ِلي ْاْل َ ْل َبا‬


‫ب‬ ٍ ‫ار ََل َيا‬ ِ ‫ف اللَّ ْي ِل َوال َّن َه‬
ِ ‫اخ ِت ََل‬ْ ‫ض َو‬ ِ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
ِ ‫س َم َاوا‬َّ ‫ق ال‬ ِ ‫ِإ َّن ِفي خ َْل‬
‫ت‬
ِ ‫س َم َاوا‬ َّ ‫ق ال‬ِ ‫علَ ٰى ُجنُو ِب ِه ْم َو َيتَفَ َّك ُرونَ ِفي خ َْل‬ َ َّ َ‫ الَّذِينَ َي ْذ ُك ُرون‬،
َ ‫َّللا ِق َيا ًما َوقُعُودًا َو‬
‫ار‬ َ َ‫عذ‬
ِ ‫اب ال َّن‬ َ ‫س ْب َحانَكَ فَ ِقنَا‬ ُ ‫اط ًَل‬ِ ‫ض َر َّبنَا َما َخلَ ْقتَ ٰ َهذَا َب‬ ِ ‫َو ْاْل َ ْر‬
Artinya :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda (Kebesaran Allah) bagi orang-orang yang
berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini

1
2

dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
-Ali Imran Ayat 190-191-1

Manusia saat ini dihadapkan dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat
yang merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, manusia dituntut untuk
mengikuti perkembangan teknologi setiap waktunya, karena teknologi pada saat
ini melalui kemudahan yang dijanjikan oleh teknologi tersebut seolah-olah
menjadi kebutuhan manusia dalam menunjang kehidupannya. Melalui
teknologi, manusia menemukan cara baru dalam menjalankan aktivitas, inovasi
yang dihadirkan melalui teknologi dapat dikatakan telah membawa manfaat
besar bagi manusia2. Dewasa ini, perkembangan teknologi sudah menggapai
berbagai aspek dalam kehidupan, dari mulai kehidupan sosial masyarakat
dengan maraknya penggunaan aplikasi-aplikasi sosial media yang memudahkan
seseorang untuk berkomunikasi satu sama lain, hingga aspek perekonomian
tidak luput dari efek yang diberikan oleh teknologi yang disuguhkan. Salah satu
realita yang terjadi adalah meningkatnya kegiatan jual beli yang dilakukan
secara online yang dimana seorang penjual menawarkan barang atau jasanya
melalui situs online dan pembeli dapat dengan mudah memilih barang atau jasa
yang disediakan oleh penjual melalui situs online dan antara penjual dan pembeli
tersebut menggunakan sistem komputer atau melalui E-Commerce sebagai
perantara atau wadah dalam melakukan kegiatan transaksi jual-beli secara online
tersebut. Di Indonesia, menurut hasil survey yang dilakukan oleh We Are Social
pada tahun 2021 yang dikutip dalam situs Katadata.co.id, negara Indonesia
menempati posisi tertinggi di dunia sebagai negara yang penduduknya paling
banyak menggunakan layanan e-commerce dengan persentase sebanyak 88,1%
penduduk3. Maraknya penggunaan layanan e-commerce dalam aktivitas
perdagangan membuat masyarakat merasa diberikan akses kemudahan karena

1
Kementerian Agama Republik Indonesia, Terjemah Quran Kemenag yang diakses melalui
https://quran.kemenag.go.id/sura/3 diakses pada tanggal 30 Desember 2021, Pukul 12.37 WIB.
2
Muhammad Ngafifi. (2012). Kemajuan Teknologi dan Pola Hidup Manusia Dalam Perspektif
Sosial Budaya , Jurnal Pembangunan dan Pendidikan : Fondasi dan Aplikasi Vol 2, Nomor 1 :
Wonosobo. hlm 34
3
Dikutip dalam website https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/06/04/penggunaan-e-
commerce-indonesia-tertinggi-di-dunia, diakses pada tanggal 30 Desember 2021 pukul 13.58 WIB.
3

mulai dari akses, pemilihan barang serta pembayaran barang dilakukan secara
virtual melalui layanan yang tersedia.
Perkembangan dunia teknologi memang dikatakan membawa manfaat besar
bagi manusia, namun di sisi lain, kemudahan yang dihadirkan melalui teknologi
tidak selamanya memberikan manfaat, dengan kompleksnya perkembangan
teknologi saat ini bahkan dapat menghadirkan musibah serta menjadi jalan baru
akan timbulnya kejahatan. Sebagaimana telah disebutkan di atas, dengan
kemajuan teknologi seperti saat ini, dikatakan bahwa hubungan antar individu
ataupun negara menjadi satu kesatuan, keterikatan, tidak adanya sekat yang
menghalangi melalui dunia internet. Dalam hal ini dapat diperhatikan, bahwa
walaupun kemajuan teknologi dalam ruang lingkup internet dapat memberikan
kemudahan akses, namun privasi serta keamanan seseorang harus tetap dijadikan
sebagai prioritas. Permasalahan yang timbul adalah ketika privasi seseorang ini
dapat diakses dengan mudah oleh siapapun yang kemudian menghadirkan motif
kejahatan baru dalam pemanfaatan teknologi alih-alih digunakan sebagai cara
untuk menghadapi masalah.
Penyalahgunaan terhadap teknologi melalui internet sudah menjadi hal yang
menyebar di tengah masyarakat sosial sebagai konsumen dari teknologi yang
disajikan tersebut, antara lain semakin mudahnya dalam mengakses situs-situs
terlarang seperti perjudian, situs pornografi yang barang tentu akan sangat
mempengaruhi terhadap intensitas penggunaan internet oleh masyarakat. Selain
daripada itu, melalui akses internet juga seseorang dapat menyalahgunakannya
sebagai motif terbaru kejahatan, salah satunya dalam kegiatan transaksi
perdangan secara online seperti melakukan kegiatan berbelanja melalui layanan
e-commerce yang pembayarannya dilakukan dengan membobol saldo rekening
milik orang lain tanpa sepengetahuan si pemilik atau disebut sebagai tindakan
Carding. Tindakan Carding merupakan tindakan dimana seseorang melakukan
transaksi online dengan kartu kredit milik orang lain tanpa sepengetahuan si
pemilik4. Orang yang melakukan tindakan carding disebut istilah carder. Modus

4
Sutarman. (2007). Cyber Crime : Modus Operandi dan Penanggulangannya, Laksbang PRESS
indo : Yogyakarta, hlm 10.
4

yang dilakukan Carder untuk mendapatkan informasi terhadap kartu kredit


seseorang yang kemudian dijadikan sebagai akses untuk membajak kartu kredit
tersebut biasanya sangat beragam. Variasi cara yang digunakan seorang carder
biasanya dilakukan dengan “melihat” secara langsung nomor pin seseorang
ketika berada di depan mesin ATM hingga membuat akun palsu sehingga
seorang carder dapat dengan mudah mendapatkan identitas kartu kredit milik
orang lain dan kemudian mempergunakannya untuk mendapatkan keuntungan
pribadi secara ilegal atau melawan hukum.
Dalam upaya penegakkan hukum terhadap para Carder yang melakukan
aksi ilegal tersebut, sebelum hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, pelaku kejahatan carding dapat dijerat oleh ketentuan dalam KUHP
melalui Pasal 362 yang dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian dan Pasal
378 yang dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan yang berbunyi :
Pasal 362 tentang pencurian :
“Barang siapa yang mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
denda paling banyak enam puluh rupiah”.5

Pasal 378 tentang penipuan :


“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat
(hoedanigheid) palsu; dengan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu kepadanya, atau supaya
memberi utang atau menghapuskan utang, diancam karena penipuan dengan
pidana penjara paling lama empat tahun”.6

Hingga pada akhirnya dibentuk undang-undang khusus sebagai Lex


Specialis terhadap ketentuan-ketentuan dan sanksi terhadap kejahatan-kejahatan
cyber yaitu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam

5
Moeljatno. KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan ke 20. PT Bumi Aksara :
Jakarta Timur. hlm 128.
6
Ibid, hlm 133.
5

peraturan perundang-undangan tersebut telah diatur mengenai ketentuan


penyalahgunaan dalam mengakses sistem komputer dan informasi elektronik
secara ilegal7, akses ilegal tersebut dilakukan untuk mendapatkan,
menghilangkan data pribadi yang tersimpan dalam sistem elektronik yang
dipergunakan untuk mendapatkan keuntungan. Hadirnya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik secara
khusus dapat dijadikan sebagai dasar dalam penanganan kejahatan carding yang
saat ini terjadi di tengah masyarakat, karena kejahatan carding merupakan
kejahatan yang mengandalkan perkembangan sistem informasi elektronik.
Dalam Hukum Pidana Islam, tindak pidana Carding tidak dikenal secara
khusus dalam pembahasannya, karena konsepsi Hukum Pidana Islam lahir pada
zaman teknologi belum berkembang seperti sekarang, namun teori-teori dalam
hukum pidana islam masih memungkinkan untuk dikaitkan dengan berbagai
persoalan-persoalan yang lahir pada saat ini karena hukum pidana islam bersifat
dinamis, mampu beradaptasi dengan perkembangan hukum yang semakin
kompleks. Mengenai tindak pidana, dalam Hukum Pidana Islam dikenal dengan
istilah Jarimah. Menurut Abdul Qadir Audah yang dimaksud dengan jarimah
adalah : “Larangan-larangan syar’i yang diancam Allah SWT dengan sanksi
hudud atau takzir, ada kalanya larangan-larangan ini berupa melakukan suatu
larangan atau meninggalkan suatu perintah”8. Maka pertanyaan yang muncul
adalah bagaimana dengan tindak pidana carding, apakah tindak pidana Carding
merupakan larangan-larangan syar’i yang apabila dilakukan maka mendapat
ancaman dari Allah SWT berupa hukuman hudud atau takzir. Apabila merujuk
pada ketentuan pasal dalam KUHP bahwa kejahatan carding dapat
dikategorikan sebagai bentuk tindak pidana pencurian atau penipuan. Maka
dalam pandangan Hukum Pidana Islam dikenakan 2 (dua) jenis sanksi yang
berbeda antara tindak pidana pencurian dan tindak pidana penipuan. Tindak
pidana pencurian dalam Hukum Pidana Islam dikategorikan sebagai Jarimah

7
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
8
Abdul Qadir Audah, (1963). At-Tasyri Al-Jinaai Al-Islami Muqaaranan bil Qanun Al Wadh’I,
Jilid ke 1, Darul Kutub : Beirut. hlm 66
6

Hudud yang ketentuan serta sanksinya ditentukan oleh Allah SWT dalam Al-
Quran dan Rasulullah SAW dalam hadis, sebagaimana dalam firman Allah SWT
Surat Al-Maidah ayat 38 :

Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah


tangan keduanya sebagai pembalasan terhadap apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Sedangkan tindak pidana penipuan dalam Hukum Pidana Islam tidak diatur
secara tegas mengenai bentuk dan sanksinya di dalam nash. Maka dari itu,
terhadap suatu kejahatan yang ketentuannya tidak diatur dalam nash, maka
bentuk kejahatan tersebut dikategorikan ke dalam Jarimah Takzir yang jenis
sanksinya bermacam-macam, sebagaimana dikutip dari M. Nurul Irfan dalam
bukunya Hukum Pidana Islam, macam-macam sanksi takzir adalah sebagai
berikut9 :
1) Hukuman Mati
2) Hukuman Cambuk
3) Hukuman Penjara
4) Hukuman Pengasingan
5) Peringatan Keras
6) Dihadirkan di hadapan siding
7) Nasihat
8) Celaan
9) Pengucilan
10) Pemecatan
11) Pengumuman kesalahan secara terbuka.
Dalam melakukan upaya kontekstualisasi kejahatan carding dengan kajian
Hukum Pidana Islam, maka hal tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut melalui

9
M. Nurul Irfan. (2016). Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika : Jakarta. hlm 96-110.
7

metode-metode penelusuran hukum di dalam hukum pidana islam, walaupun


tidak secara pasti disebutkan bahwa tindakan carding sebagai suatu tindak
pidana karena pada masa awal hukum islam berkembang teknologi masih belum
mengalami kemajuan dan zaman masih belum modern seperti sekarang, namun
penelusuran terhadap unsur-unsur dari tindakan carding diharapkan mampu
menemukan jawaban mengenai tinjauan hukum pidana islam terhadap sanksi
dari tindakan carding tersebut.
Sebagai seorang muslim dan sebagai seorang warga Negara Indonesia,
patutnya kita menganalisa secara bijak terhadap dampak dari perkembangan
teknologi. Bukan hanya sekedar menikmati keberagaman manfaat yang
disuguhkan oleh hadirnya teknologi. Namun sudah menjadi keniscayaan dibalik
besarnya manfaat yang diberikan, terdapat suatu celah yang dimanfaatkan dalam
bentuk tindakan penyalahgunaan teknologi. Dengan maraknya penyalahgunaan
teknologi sehingga menimbulkan motif kejahatan baru, kita dituntut untuk
memahami perkembangan yang ada serta mengambil tindakan bijak untuk
meminimalisir dampak kerugian yang dialami oleh masyarakat. Berdasarkan
latar belakang tersebut, penulis merasa tertarik untuk memperdalam
pengetahuan mengenai tindakan carding dilihat dari perspektif hukum pidana
islam dan hukum positif di Indonesia. Maka dari itu, penulis bermaksud untuk
melakukan penelitian Skripsi dengan judul : “Unsur-Unsur dan Sanksi Tindak
Pidana Carding Dalam Pasal 32 Jo Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik Perspektif Hukum Pidana Islam"
8

B. Rumusan Masalah

Pada penelitian ini hanya akan difokuskan terhadap permasalahan kejahatan


carding yang saat ini merupakan bentuk kejahatan baru yang terjadi di
masyarakat dilihat melalui unsur-unsur yang terdapat dalam aturan terkait serta
kedudukan sanksi kejahatan carding dalam kacamata hukum pidana islam yang
dikorelasikan dengan aturan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Maka
melalui latar belakang sebagaimana disebutkan sebelumnya serta berdasarkan
pernyataan masalah tersebut, dapat diuraikan rumusan masalah dalam penelitian
ini antara lain :

1. Bagaimana Unsur-unsur dan Sanksi Tindak Pidana Carding Menurut Pasal


32 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?
2. Bagaimana Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Unsur-Unsur dan
Sanksi Tindak Pidana Carding dalam Pasal 32 dan Pasal 48 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian yang akan dilakukan oleh penulis antara
lain adalah sebagai berikut :
1. Untuk Mengetahui Unsur-unsur dan Sanksi Tindak Pidana Carding dalam
Pasal 32 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
2. Untuk Mengetahui Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Unsur-unsur
dan Sanksi Tindak Pidana Carding dalam Pasal 32 dan Pasal 48 Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2008 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
9

D. Kegunaan Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis diharapkan dapat memberikan
manfaat antara lain adalah sebagai berikut :
a. Aspek Teoritis
1. Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan bagi mahasiswa,
dosen, praktisi hukum serta masyarakat pada umumnya mengenai
perkembangan hukum yang mengaur sistem informasi teknologi dan
transaksi elektronik yang berkembang saat ini.
2. Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan khususnya bagi
umat muslim mengenai konsepsi Hukum Pidana Islam serta bagaimana
relevansinya terhadap perkembangan hukum yang terjadi saat ini
terkhusus mengenai objek penelitian terkait yaitu mengenai kejahatan
Carding dalam kajian Hukum Pidana Islam.
b. Aspek Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan peran praktis dalam
perkembangan hukum di Indonesia, baik terhadap hukum positif yang
berlaku di Indonesia dan Hukum Pidana Islam.

E. Kerangka Berfikir

Pemberlakuan Hukum Pidana berupa sanksi pidana terhadap pelaku pada


dasarnya merupakan bentuk pengenaan penderitaan terhadap seseorang yang
telah terbukti melakukan suatu tindak pidana. Di dalam aturan hukum positif
yang berlaku di Indonesia, khususnya dalam ranah pidana, suatu perbuatan
hanya dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana dan dapat dikenai sanksi
pidana apabila didahului oleh aturan yang mengatur mengenai perbuatan
tersebut yang disertai dengan sanksi-sanksinya.

Dalam hal ini Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia menerapkan suatu
asas yang disebut dengan Asas Legalitas yang secara tegas disebutkan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia dalam
Buku Kesatu KUHP Pasal I ayat (1) yang berbunyi :
10

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”10.
Atau yang dalam Bahasa Latin disebut dengan bunyi :

“Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali”11 yang apabila
diterjemahkan kurang lebih adalah “Tidak ada suatu delik, tidak ada suatu pidana
tanpa adanya suatu peraturan terlebih dahulu”.

Sedangkan dalam kajian Hukum Pidana Islam juga diatur mengenai Asas
Legalitas dalam menerapkan sanksi terhadap seorang pelaku tindak pidana.
Sebagaimana tersurat dalam Al-Quran dalam Surat Al-Isra Ayat 15 :

Artinya : “Barangsiapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka


sesungguhnya itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa
tersesat maka sesungguhnya (kerugian) itu bagi dirinya sendiri. Dan seorang
yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan
menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.”

Pengaturan mengenai Asas Legalitas dalam kajian Hukum Pidana Islam


juga secara khusus diatur dalam satu kaidah yang berbunyi :

ِ ‫عقُ ْو ابةا ِإ اَل ِبالنا‬


‫ص‬ ُ ‫اَل اج ِر ْي امةا او اَل‬
“Tidak ada suatu Jarimah (delik) dan tidak ada hukuman kecuali dengan adanya
Nash”12.

Implementasi dari asas legalitas tersebut adalah terdapatnya berbagai


macam aturan yang dijadikan sebagai sumber atau dalil dalam menerapkan

10
Moeljatno, Op.Cit, hlm 3.
11
M. Nurul Irfan, (2016), Op.Cit. hlm 15.
12
Abdul Qadir Audah, (1963), Op.Cit. hlm 115.
11

sanksi pidana terhadap suatu perbuatan pidana berupa KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana) serta peraturan perundang-undangan pidana di luar
KUHP dalam bentuk undang-undang.

Salah satu bentuk perbuatan yang diatur dalam peraturan perundang-


undangan di Indonesia sebagai suatu tindak pidana adalah perbuatan Carding.
Tindakan Carding lahir sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi dan
informasi yang begitu pesat yang membuat terbentuknya celah baru untuk
melakukan modus kejahatan yang memanfaatkan media komputer dan akses
internet salah satunya adalah kejahatan yang berkaitan dengan akses illegal
terhadap kepemilikan kartu ATM/kredit seseorang yang dikenal dengan istilah
Carding. Tindakan Carding merupakan salah satu jenis kejahatan yang
tergolong ke dalam jenis dari Cyber Crime yang diartikan sebagai suatu jenis
kejahatan yang berkaitan dengan dunia maya (cyber space). Pelaku kejahatan
carding melakukan perbuatannya dengan melakukan akses ilegal terhadap
informasi mengenai kartu ATM seseorang untuk mendapatkan akses
penggunaan kartu tersebut yang kemudian digunakan untuk melakukan transaksi
secara online.

Upaya pemberantasan kejahatan Carding di Indonesia dapat dijerat


berdasarkan KUHP dengan Pasal 362 tentang Tindak Pidana Pencurian dan
Pasal 378 tentang Tindak Pidana Penipuan serta Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik sebagai perangkat peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia sebagai bentuk Hukum Materiil yang mengatur dan memuat
ketentuan terhadap segala macam aktivitas subjek hukum dalam ruang lingkup
Informasi dan Transaksi Elektronik. Berdasarkan UU ITE tersebut, seorang
carder atau pelaku tindak pidana carding dapat dikenakan Pasal 30, Pasal 31,
Pasal 32 dan Pasal 3513 UU 11/2008 jo UU 19/2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.

13
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
12

Cakupan batasan suatu tindakan yang termasuk ke dalam kategori kejahatan


carding dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 35 UU 19/2016 adalah
sebagai berikut :

Pasal 30
1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan
cara apa pun.
2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik.
3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem
pengamanan.

Pasal 31
1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik
tertentu milik Orang lain.
2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu
Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang
tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya
perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan
kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang
ditetapkan berdasarkan undang-undang.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 32
1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan
cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi,
merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik
publik.
2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan
cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau
13

Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak


berhak.
3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan
keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.

Pasal 35
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data
yang otentik.
Unsur-unsur larangan yang terdapat dalam keempat pasal tersebut apabila
terpenuhi dalam perbuatannya maka dapat dikenakan ketentuan pidana yang
terdapat dalam Pasal 46 untuk ketentuan dalam Pasal 30, Pasal 47 untuk
ketentuan dalam Pasal 31, Pasal 48 untuk ketentuan dalam Pasal 32 dan Pasal 51
Ayat (1) untuk ketentuan dalam Pasal 35. Dalam penelitian ini, Pasal yang akan
difokuskan dalam pembahasan skripsi ini adalah unsur-unsur yang terdapat
dalam Pasal 32 dan sanksi yang terdapat dalam Pasal 48.

Hukum Pidana Islam merupakan bagian dari hukum islam dalam kaitannya
mengenai pembahasan fiqih. Merupakan perangkat hukum yang memuat
ketentuan mengenai macam-macam bentuk tindak pidana beserta sanksinya.
Dalam kajian Hukum Pidana Islam, menurut Abdul Qadir Audah terdapat 3
(tiga) ruang lingkup unsur-unsur tindak pidana yaitu al-ruknul syar’i (unsur
formil) yang berkaitan dengan asas legalitas yang menyatakan bahwa seseorang
hanya dapat dinyatakan sebagai seorang pelaku tindak pidana, al-ruknul madi
(unsur materiil) yaitu ketentuan terhadap seorang pelaku kejahatan agar dapat
dikenakan sanksi apabila telah secara meyakinkan terbukti melakukan kejahatan
tersebut, dan al-ruknul adabi (unsur moril) yaitu berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana yang menyatakan bahwa seorang pelaku yang
melakukan tindak pidana merupakan subjek hukum yang dapat diberikan
tanggung jawab pidana serta dapat dipersalahkan14. Maka ketentuan tersebut

14
M. Nurul Irfan. (2016). Op.Cit, hlm 26-27.
14

merupakan objek inti dari pembahasan Hukum Pidana Islam yang merupakan
unsur-unsur yang menerangkan dalam hal apa saja seseorang dapat dikenakan
sanksi pidana apabila telah melakukan suatu kejahatan.

Dalam penelitian ini, tinjauan hukum pidana islam akan dikaitkan dengan
aspek Jarimah dalam fiqh jinayah beserta unsur-unsurnya yang menurut Abdul
Qadir Audah Jarimah didefinisikan sebagai “Larangan-larangan syar’i yang
diancam Allah SWT dengan sanksi hudud atau takzir, ada kalanya larangan-
larangan ini berupa melakukan suatu larangan atau meninggalkan suatu
perintah”15 .
Jarimah dapat diartikan dengan perbuatan yang dilarang secara syara’ yang
apabila seseorang melakukan perbuatan tersebut maka pelakunya diancam oleh
hukuman had atau hukuman takzir. Disisi lain, suatu perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagai jarimah bukan hanya dalam hal ‘melakukan sesuatu yang
dilarang’, namun dalam hal ‘meninggalkan sesuatu yang diwajibkan’ juga
merupakan suatu hal yang dapat dikategorikan ke dalam jarimah apabila
menyebabkan kemudharatan bagi orang lain16. Maka dari itu, istilah Jarimah
identik dengan pengertian istilah Tindak Pidana atau perbuatan pidana secara
umum. Dalam hukum pidana islam, pembahasan mengenai Jarimah meliputi
tiga permasalahan pokok.17
1. Jarimah Qishas
Yaitu jenis jarimah yang ketentuan sanksi hukumnya itu sama persis
dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban atau dapat
disebut dengan sanksi pembalasan seperti terhadap pelaku pembunuhan
maka pelaku diberi sanksi hukuman mati dan terhadap pelaku penganiayaan
maka pelaku juga dijatuhi sanksi berupa penganiyaan sesuai dengan organ
yang dianiaya oleh pelaku terhadap korban. Dalam jarimah ini terdapat 2
(dua) macam perbuatan yang dikategorikan sebagai jarimah qishas yaitu
tindak pidana atau jarimah pembunuhan dan jarimah penganiayaan.

15
Ibid, hlm 66
16
A. Djazuli, (1996). Fiqh Jinayah, PT Raja Grafindo Persada : Jakarta. hlm 1-3
17
M. Nurul Irfan, (2016), Op.Cit. hlm 28.
15

2. Jarimah Hudud
Merupakan kategori jarimah yang jenis, ketentuan, serta sanksinya
telah ditetapkan oleh Allah SWT di dalam al-quran dan oleh Nabi
Muhammad SAW melalui hadisnya18.
Adapun yang termasuk ke dalam jenis jarimah hudud yaitu ada 7
macam :
a) Jarimah Zina,
b) Jarimah Qadzaf (menuduh zina),
c) Jarimah Syarb’ khamr (meminum khamr),
d) Jarimah Sariqah (pencurian),
e) Jarimah Hirabah (perampokan),
f) Jarimah Riddah (murtad/keluar agama islam), dan
g) Jarimah Al-Bagyu (pemberontakan).
3. Jarimah Takzir
Merupakan salah satu jenis jarimah yang yang segala jenis tindak
pidananya tidak diatur secara tegas oleh Allah SWT melalui al-quran
ataupun oleh Nabi Muhammad SAW melalui hadisnya. Setiap jenis,
ketentuan pelaksanaan serta sanksinya ditentukan oleh otoritas penguasa
yang memiliki wewenang terhadap pemberlakuan takzir tersebut. Jenis
jarimah takzir dapat dikatakan tidak memiliki batas atau tidak ada
penentuan mengenai jumlahnya karena segala perbuatan kejahatan yang
berada di luar jarimah qisas dan hudud terdapat bermacam-macam
perbuatan.
Untuk mengakomodir sistematika pembahasan dalam penelitian ini, maka
penulis akan menggunakan Teori Tujuan Pemidanaan dalam Hukum Pidana
Positif dan Teori Mashlahah dalam Hukum Pidana Islam.
Teori Pemidanaan sebagai tujuan pemidanaan dan dasar pembenar secara
umum terbagi menjadi 3 (tiga) jenis : Teori Absolut/Retributif/Pembalasan

18
Ibid, hlm 47
16

(vergelding theorieen), Teori Relatif/Tujuan (utilitarian/doeltheorieen), dan


Teori Gabungan (vereni-gings theorieen).
1. Teori Absolut
Teori Absolut menyatakan bahwa penjatuhan sanksi pidana hanya
sebatas konsekuensi karena seseorang telah melakukan tindak pidana.
Dalam artian bahwa kejahatan diiringi dengan pidana atau dengan kata lain
teori absolut berarti teori pembalasan. Penganut Teori Absolut ini dibagi
menjadi 2 (dua) golongan yaitu penganut Teori Absolut Murni dan Teori
Absolut Tidak Murni19.
2. Teori Relatif
Teori Relatif menyatakan bahwa penjatuhan sanksi pidana tidak
semata-mata sebagai bentuk pembalasan karena seseorang melakukan
tindak pidana, namun dalam teori ini menyatakan bahwa dalam penjatuhan
pidana tersebut memiliki tujuan-tujuan. Maka menurut teori relatif, dasar
pembenar penjatuhan pidana terletak pada pada tujuannya yaitu supaya
orang tidak melakukan kejahatan, bukan karena orang telah melakukan
tindak pidana.
3. Teori Gabungan
Teori Gabungan yang merupakan gabungan antara teori absolut dan
teori relatif. Maka berdasarkan teori gabungan, pidana dijatuhkan pada
dasarnya sebagai pembalasan bagi pelaku tindak pidana, namun di sisi lain
diperhatikan juga manfaat dan tujuan dari pengenaan pidana tersebut secara
seimbang. Dalam teori gabungan ini terdapat 2 (dua) golongan yaitu teori
gabungan yang orientasinya lebih cenderung pada nilai pembalasannya dan
teori gabungan yang orientasinya lebih cenderung pada tujuan dan
perlindungan ketertiban umum20.
Ketentuan sanksi terhadap larangan dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32 dan
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 19

19
Dwidja Priyatno, (2006). Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama :
Bandung. hlm 24-25.
20
Adami Chazawi, (2002) Pelajaran Hukum Pidana I, cetakan I, Raja Grafindo Persada : Jakarta.
hlm 44.
17

Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berkaitan tentang
kejahatan carding merupakan bentuk perwujudan dari teori-teori tujuan
pemidanaan tersebut.
Teori Mashlahah sebagaimana dikemukakan oleh Al-Gazali bahwa al-
mashlahah merupakan prinsip untuk menggapai manfaat dan menolak madharat
terhadap makhluk sehingga makhluk merasa nyaman dan damai. Teori
Mashlahah juga memiliki tujuan untuk memelihara tujuan-tujuan ditetapkannya
syariat (maqashid al-syariah) yang meliputi 5 (lima) aspek yaitu memelihara
agama (hifzh al-din), memelihara keturunan (hifzh nasl), memelihara jiwa (hifzh
al-nafs), memelihara akal (hifzh al-aql), dan memelihara harta (hifzh al-mal)21.
Prinsip ini dipandang penting dalam kajian Hukum Pidana Islam yang
menjunjung tinggi tercapainya ketertiban umum dalam setiap penerapan sanksi-
sanksi pidananya, khususnya dalam hal kejahatan carding yang tidak secara
langsung disebutkan jenis kejahatan dan sanksinya, namun dalam penelusuran
mengenai ketentuan sanksinya berdasarkan tinjauan Hukum Pidana Islam, maka
ketentuan sanksi tersebut wajib memperhatikan prinsip mashlahah tersebut demi
tercapainya keamanan dan ketertiban secara umum.
Melalui kerangka teoritis tersebut, maka dalam penulisan skripsi ini penulis
akan menguraikan pembahasan mengenai objek penelitian yang dimulai dari
pengertian, unsur-unsur serta sanksi mengenai tindak pidana carding dalam
Pasal 32 Jo Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 yang kemudian akan dianalisis melalui tinjauan konsep
hukum pidana islam. Sehingga diharapkan akan menuju terhadap kesimpulan
yang dapat menjawab rumusan masalah sebagaimana yang telah disebutkan.
F. Langkah-Langkah Penelitian
Dalam melakukan pembahasan atau penelitian terhadap suatu
permasalahan, maka dibutuhkan suatu metode sebagai pendekatan ilmiah untuk
mengetahui hasil akhir dari suatu penelitian. Menurut Arief Subyantoro yang
dikutip oleh Anthon Susanto dalam bukunya, disebutkan bahwa Metode

21
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Gazali, (1983). Al-Mustasfa Fii Ilmu Al-Ushul,
Daarul Kutub : Beirut. hlm 286.
18

merupakan suatu prosedur untuk mengetahui sesuatu melalui langkah yang


sistematis22. Melalui metode ilmiah yang digunakan dalam suatu penelitian,
maka diharapkan akan membawa pada hasil akhir berupa kesimpulan yang
memuaskan. Adapun langkah-langkah yang akan penulis lakukan dalam
penulisan penelitian ini adalah :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah
dengan menggunakan metode penelitian deskriptif analisis dengan
penggambaran data sesuai dengan referensi/apa adanya tanpa ada
penambahan data atau pengurangan data yang dilakukan dengan pendekatan
konten analisis secara normatif terhadap isi dari Pasal 32 dan Pasal 48 dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 mengenai unsur-unsur dan sanksi tindak pidana carding yang
ditinjau berdasarkan konsep dalam kajian hukum pidana islam.
2. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan data
kualitatif karena tidak menggunakan data dalam bentuk angka-angka dan
statistik sebagai bahan dalam melakukan penelitian melainkan
menggunakan data yang disajikan dalam bentuk uraian informasi secara
deskriptif.
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dapat diklasifikasikan menjadi dua
sumber yaitu sumber primer dan sumber sekunder sebagai berikut :
a. Sumber Primer
Sumber data primer diperoleh dari sumber buku, Al-Quran dan As-
Sunnah, serta hasil penulisan ilmiah yang tema pembahasannya sesuai
secara langsung dengan objek penelitian dalam skripsi ini yaitu antara
lain Kitab-Kitab Fiqih Jinayah, Undang-Undang Nomor 11 Tahun

22
Anthon F. Susanto, (2015). Penelitian Hukum Transformatif-Partisipatoris Fondasi Penelitian
Kolaboratif Dan Aplikasi Campuran (Mix Method) Dalam Penelitian Hukum, Setara Press :
Malang. hlm 159 – 160.
19

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, KUHP (Kitab


Undang-Undang Hukum Pidana).
b. Sumber Sekunder
Sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari karya tulis ilmiah
berupa buku-buku, jurnal ilmiah serta dokumen lain yang
pembahasannya memiliki kaitan dengan objek penelitian dalam
penulisan skripsi ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan pengumpulan data, dalam penelitian ini penulis akan
menelusuri sumber data kepustakaan yang didapatkan melalui sumber data
primer yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, Kitab-Kitab Fiqih Jinayah, Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang ditunjang dengan data
pustaka yang diperoleh dari sumber sekunder yaitu karya tulis ilmiah berupa
buku-buku, jurnal ilmiah serta dokumen lain yang pembahasannya memiliki
kaitan dengan objek penelitian dalam penulisan skripsi ini.
5. Teknik Pengolahan Data
Adapun data yang telah terkumpul melalui data pustaka yang diperoleh
akan diolah menjadi sajian laporan dalam bentuk kualitatif yang kemudian
disampaikan secara analisis berdasarkan sumber data yang dianalisis yaitu
data primer dan sekunder.
6. Teknik Analisis Data
Adapun teknik yang digunakan dalam menganalisis data yang diperoleh
adalah dengan menggunakan metode analisis yuridis kualitatif yaitu dengan
menarik kesimpulan dari data yang terkumpul. Analisis secara yuridis
disebabkan karena data yang terkumpul dalam penelitian ini dititikberatkan
dari Peraturan Perundang-undangan sebagai hukum materiil. Sedangkan
analisis secara kualitatif disebabkan karena dalam menganalisis data yang
dikumpulkannya adalah untuk menemukan asas-asas hukum dari unsur-
unsur yang terdapat dalam objek penelitian dengan tidak menggunakan data
angka atau statistik.
20

G. Hasil Penelitian Terdahulu


Melalui hasil penelusuran, ditemukan beberapa hasil penelitian yang
memiliki relevansi dengan topik pembahasan yang akan diteliti oleh penulis
dalam penelitian ini antara lain :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Victor Ardi Asmara, mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Pancasakti Tegal dengan judul penelitian “Analisis
Kejahatan Carding sebagai bentuk Cyber Crime dalam Hukum Pidana
Indonesia”. Didalam penelitian tersebut, Victor Ardi Asmara menguraikan
mengenai aturan hukum yang berlaku dalam hukum positif yang berlaku di
Indonesia mengenai kejahatan Carding. Dalam penelitian tersebut
disinggung mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 mengenai
Informasi dan Transaksi Elektronik yang secara khusus menjadi aturan
diluar KUHP yang mengatur mengenai kejahatan Carding atau dapat
disebut sebagai Lex Spesialis. Namun menurut Victor selaku penulis dari
penelitian tersebut, tidak menutup kemungkinan juga majelis hakim dapat
menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan Carding menggunakan
pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP sebagai Lex Generalis.
Adapun persamaan antara penelitian tersebut dengan penelitian yang
akan penulis teliti dalam karya tulis ini adalah persamaan objek kajian yang
dibahas yaitu mengenai pengaturan hukum terhadap kejahatan Carding.
Kemudian persamaan dasar hukum yang dijadikan sebagai acuan aturan
yang dianalisis yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Adapun yang menjadi perbedaan
antara penelitian tersebut dengan penelitian yang akan penulis teliti adalah
bahwa Victor Ardi Asmara tidak menjadikan konsep Hukum Pidana Islam
sebagai bagian dari pembahasan terhadap objek kajian kejahatan Carding
tersebut, sedangkan penulis menjadikan konsep Hukum Pidana Islam
sebagai bagian dari pembahasan dalam menelusuri unsur-unsur kejahatan
Carding tersebut.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Nurma Octaviany, mahasiswa Program
Studi Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
21

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul penelitian “Sanksi Pidana


Terhadap Pelaku Tindak Pidana Carding dalam Kejahatan Cyber Crime
(Analisis Putusan Nomor : 1193/Pid.B/2013/PN.JktSel)”. Didalam
penelitian tersebut, Nurma Octaviany menguraikan mengenai sanksi pidana
terhadap tindak pidana Carding yang didasarkan dari analisisnya terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Nomor Putusan :
1193/Pid.B/2013/PN.JktSel.
Adapun persamaan antara penelitian tersebut dengan penelitian yang
dilakukan oleh penulis dalam karya tulis ini adalah dalam hal pembahasan
sanksi terhadap pelaku tindak pidana Carding. Namun yang menjadi
pembeda adalah bahwa Nurma Octaviany dalam penelitiannya menguraikan
sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana Carding berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, sedangkan penulis
dalam penelitian ini akan menguraikan sanksi mengenai tindak pidana
carding berdasarkan tinjauan Hukum Pidana Islam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA TENTANG TINDAK PIDANA
CARDING
A. Tindak Pidana Carding Dalam Hukum Positif
1. Pengertian, Ruang Lingkup, dan Dasar Hukum Tindak Pidana Carding Dalam
Hukum Positif
a. Pengertian Tindak Pidana Carding
Aktivitas internet sebagai dunia maya dengan segala bentuk
keberagamannya menjadikan kehidupan manusia dapat terakomodir
dengan lebih mudah serta menjadikan manusia dalam kehidupannya
bergantung terhadap segala bentuk aktivitas yang dihadirkan dalam
kehidupan dunia maya tersebut. Namun keberagaman tersebut juga
berdampak pada beragamnya bentuk kejahatan yang terjadi di dalam
aktivitas dunia maya tersebut, salah satunya adalah kejahatan atau tindak
pidana carding.
Dalam definisinya, carding merupakan suatu bentuk aktivitas
transaksi dalam berbelanja dengan menggunakan identitas dan informasi
nomor rekening dalam kartu kredit milik orang lain yang diperoleh secara
ilegal atau melawan hukum23. Segala aktivitas kehidupan masyarakat
modern saat ini dalam segi ekonomi telah berkaitan erat melalui transaksi.
Transaksi tersebut dapat melalui e-banking dan e-commerce sebab kedua
layanan tersebut sangat mudah digunakan dalam bertransaksi secara
online. E-banking adalah sistem aplikasi yang membuat penggunanya
mampu melakukan segala hal yang berkaitan dengan bank secara online
hanya dengan menggunakan smartphone. Sedangkan yang dimaksud e-
commerce adalah sistem layanan pemenuhan kebutuhan secara online
melalui situs website atau aplikasi yang dalam setiap transaksinya dapat

23
Nunuk Sulisrudatin, (2018). Analisa Kasus Cybercrime Bidang Perbankan Berupa Modus
Pencurian Data Kartu Kredit. Vol 9 Nomor I, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara : Fakultas Hukum
Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma : Jakarta. hlm 31.

22
23

menggunakan kartu kredit sebagai suatu metode dalam pembayarannya24.


Data identitas serta nomor rekening milik orang lain tersebut biasanya
diperoleh dengan memanfaatkan akses internet dengan menerobos sistem
keamanan komputer sehingga seorang pelaku dapat memperoleh data
kartu kredit tersebut atau dapat juga dengan “mengintip” nomor PIN kartu
kredit milik orang lain kemudian mengakses nomor PIN tersebut secara
ilegal untuk dapat memperoleh informasi yang terdapat di dalamnya
sehingga dapat digunakan untuk melakukan transaksi secara online.
Pelaku kejahatan carding dikenal dengan istilah Carder. Kejahatan
carding sebagai bentuk aktivitas transaksi secara ilegal dan melawan
hukum yang memanfaatkan sistem komputer dan elektronik juga dikenal
dengan istilah lain yaitu cyberfroud atau penipuan di dunia maya, karena
pada dasarnya tindakan carding adalah melakukan penipuan dalam
melakukan transaksi online dengan menggunakan identitas orang lain serta
merupakan tindakan pencurian karena telah mencuri data pribadi dalam
kartu kredit milik orang lain melalui akses internet. Dalam aspek dampak
sosial, kejahatan carding tidak secara murni menimbulkan kekacauan
sosial namun dengan semakin maraknya kejahatan carding ini tentu dapat
menimbulkan ancaman bagi kehidupan sosial.
b. Ruang Lingkup Tindak Pidana Carding
Sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan mengenai
pengertian dari tindak pidana carding, maka tindak pidana carding
merupakan suatu bentuk kejahatan yang berkaitan dengan kartu kredit
sebagai suatu bentuk infromasi elektronik dan juga sebagai suatu bentuk
kejahatan yang dalam pelaksanaannya memanfaatkan sistem jaringan
komputer dan jaringan internet, sehingga tindak pidana carding termasuk
ke dalam ruang lingkup kejahatan dunia maya atau dalam istilah lain
disebut dengan Cyberspace.

24
Indah Novitasari, (2020). Perspektif Tindak Pidana Kartu Kredit (Carding) Terhadap Putusan
Pengadilan. Bhirawa Law Journal Vol 1 Issue 1, Universitas Merdeka. hlm 22
24

c. Dasar Hukum Tindak Pidana Carding


Dalam sistem hukum yang berlaku di Negara Indonesia, dalam
menanggulangi suatu kejahatan perlu sekiranya untuk menentukan suatu
bentuk perbuatan yang dianggap sebagai kejahatan yang dikategorisasikan
sebagai tindak pidana dalam suatu perundang-undangan pidana. Tindak
pidana carding sebagai motif kejahatan kontemporer yang didukung
dengan fasilitas teknologi yang semakin berkembang setiap waktunya, dari
segi istilah memang belum ada peraturan khusus yang berdiri sendiri
dalam mengatur mengenai tindak pidana carding tersebut. Namun dari
segi modus operandi serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya,
kejahatan carding dapat memenuhi syarat yang terkandung dalam
beberapa peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga pelaku tindak
pidana carding dapat secara sah dijerat oleh ketentuan pidana yang berlaku
di Indonesia.
Tindak pidana carding termasuk ke dalam ranah kejahatan yang
dalam perbuatannya merampas kepemilikan orang lain secara melawan
hukum dengan menggunakan identitas orang lain atau identitas yang
dipalsukan, tindakan tersebut secara umum termasuk ke dalam kategori
pencurian dan penipuan. Sebelum dibentuknya Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang dikenal dengan UU ITE,
dalam menjerat pelaku tindak pidana carding seorang penegak hukum
dapat menerapkan Pasal 362 KUHP tentang Tindak Pidana Pencurian atau
Pasal 378 KUHP tentang Tindak Pidana Penipuan.

Dalam Pasal 362 KUHP yang dimaksud dengan Pencurian adalah25 :

“Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau Sebagian


kepunyaan orang lain, dengan maksud dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau denga paling banyak enam puluh rupiah”.

25
Moeljatno, Op.Cit, hlm
25

Sedangkan yang dimaksud dengan Penipuan menurut KUHP adalah26 :

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau


orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau
martabat (hoedanigheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian
kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang,
diancam karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat
tahun”.
Kedua pasal tersebut digunakan dalam menangani suatu kasus
carding karena dalam prakteknya, seorang carder berusaha mencuri
informasi kartu kredit milik orang lain dengan berbagai modus operandi.
Dengan informasi yang didapatkan, maka seorang carder akan melakukan
transaksi dalam platform dalam jaringan dengan berbekal informasi dari
kartu kredit yang didapatkan sebelumnya. Dalam melakukan transaksi,
informasi dari kartu kredit yang asli terlebih dahulu dipalsukan atau dibuat
seolah-olah bahwa data yang terdapat di dalamnya dan orang yang
melakukan transaksi merupakan data dan pemilik asli sehingga transaksi
dapat dilakukan oleh seorang carder.
Pada tanggal 21 April 2008, akhirnya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disahkan oleh
Presiden dan DPR RI saat itu. Hal ini menunjukan ketegasan pemerintah
dalam mengawasi berbagai macam perbuatan dalam ruang lingkup
informasi dan transaksi elektronik. Undang-undang tersebut juga
memberikan pengaturan untuk penanganan kejahatan kartu kredit dan
jenis kejahatan dalam hal pembobolan informasi elektronik yang termasuk
di dalamnya adalah carding. Dalam undang-undang tersebut pengaturan
mengenai sanksi bagi pelaku tindak pidana carding terdapat dalam pasal
30, pasal 31, pasal 33 dan pasal 35 UU ITE.
Pengaturan pertama terdapat dalam pasal 30 yang secara umum
mengatur mengenai ketentuan hacking, yaitu tindakan menemukan titik
entri yang mungkin terdapat dalam sistem komputer atau jaringan

26
Moeljatno, Ibid. hlm
26

komputer hingga berhasil diambil alih. Tindakan hacking dilakukan untuk


mendapatkan akses tidak sah ke dalam sistem elektronik atau sistem
komputer, baik untuk membahayakan sistem atau mencuri informasi
sensitif yang tersedia dalam sistem elektronik atau sistem komputer
tersebut27. Untuk memperoleh informasi suatu kartu kredit milik orang
lain, maka seorang carder berupaya dengan menerobos sistem keamanan
yang sudah terenkripsi oleh pihak bank penerbit kartu kredit.
Pasal 30 Ayat (1) : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik
Orang lain dengan cara apa pun”.

Pasal 30 Ayat (2) : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan
cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik”.

Pasal 30 Ayat (3) : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan
cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol
sistem pengamanan”28.

Pelanggaran terhadap pasal 30 tersebut dapat dijerat dengan ketentuan


sanksi dalam pasal 46 UU ITE dengan uraian sebagai berikut29 :
Pasal 46 Ayat (1) : “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah)”.

Pasal 46 Ayat (2) : “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00
(tujuh ratus juta rupiah)”.

Pasal 46 Ayat (3) : “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling

27
Perbedaan Hacking dan Ethical Hacking Serta Jenis-Jenis Hacking, diakses melalui
https://www.course-net.com/perbedaan-hacking-dan-ethical-hacking/ pada tanggal 14 Mei 2022
pukul 15.30.
28
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
29
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
27

lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00


(delapan ratus juta rupiah)”.

Pengaturan selanjutnya yaitu terdapat dalam pasal 32 yang secara


umum mengatur mengenai tindak lanjut dari perbuatan hacking
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 30, yaitu pengaturan mengenai
perbuatan yang dilakukan pelaku ketika berhasil menerobos sistem
keamanan suatu jaringan elektronik. Tindakan seperti mengubah,
menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan,
memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik secara
melawan hukum merupakan jenis perbuatan yang dapat dilakukan oleh
seorang carder setelah ketika dia berhasil menerobos sistem keamanan
komputer yang melindungi informasi kartu kredit seseorang yang bukan
hak dari pelaku carding tersebut.
Pasal 32 Ayat (1) : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi,
melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan,
menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik milik Orang lain atau milik publik.

Pasal 32 Ayat (2) : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem
Elektronik Orang lain yang tidak berhak.

Pasal 32 Ayat (3) : Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh
publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya30.

Pelanggaran terhadap ketentuan dalam pasal 32 tersebut dapat


dikenakan sanksi sebagaimana yang diuraikan dalam pasal 48 UU ITE
sebagai berikut 31:
Pasal 48 Ayat (1) : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling

30
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
31
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
28

lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00


(dua miliar rupiah).

Pasal 48 Ayat (2) : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 48 Ayat (3) : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pengaturan mengenai carding dalam UU ITE yang selanjutnya
terdapat dalam pasal 33 yang mengatur tindakan seseorang secara
melawan hukum yang dapat mengakibatkan terganggunya suatu sistem
elektonik sehingga tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Terganggunya sistem elektonik tersebut akan berakibat pada tidak dapat
diaksesnya suatu informasi yang terdapat dalam sistem elektronik secara
sah. Dalam tindak pidana carding, akses terhadap sistem elektronik berupa
kartu kredit seseorang terganggu karena tindakan yang dilakukan oleh
carder yang menyebabkan kartu kredit tersebut tidak dapat digunakan
sebagaimana mestinya oleh pemilik kartu kredit yang sah.
Pasal 33 : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem
Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak
bekerja sebagaimana mestinya”.

Ketentuan sanksi terhadap pelanggaran pelanggaran Pasal 33 tersebut


terkandung dalam Pasal 49 UU ITE sebagaimana berikut :
Pasal 49 : “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah)”.32

Aturan terakhir dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008


tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dapat menjerat seorang
carder adalah ketentuan dalam Pasal 35 yang mengatur mengenai tindakan

32
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
29

melawan hukum dalam bentuk manipulasi, penciptaan, perubahan,


penghilangan, pengrusakan informasi elektronik yang dapat menjadikan
informasi elektronik tersebut terlihat seolah-olah menjadi data yang
otentik. Tindakan manipulasi yang dilakukan oleh seorang carder atau
pelaku carding terhadap informasi elektronik dalam kartu kredit seseorang
merupakan suatu bentuk tindakan melawan hukum yang dapat dijerat oleh
ketentuan dalam pasal 35 tersebut.
Pasal 35 : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan,
pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan
tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut
dianggap seolah-olah data yang otentik”.

Ketentuan sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 35 UU ITE


tersebut tercantum di dalam Pasal 51 ayat (1) sebagaimana berikut :
Pasal 51 ayat (1) : “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua
belas miliar rupiah)”.33

2. Bentuk-Bentuk Pelaksanaan Tindak Pidana Carding


Dalam menjalankan kejahatan carding, modus operandi yang dilakukan
seorang carder dapat dilakukan dengan berbagai macam bentuk, antara lain
adalah sebagai berikut 34:
a. Aplikasi Penipuan (Fraud Application)
Merupakan modus operandi yang dilakukan oleh seorang carder
dengan menggunakan kartu kredit asli milik orang lain kemudian untuk
memperoleh data kartu kredit tersebut maka pelaku melakukan pengajuan
klaim kepemilikan kartu kredit tersebut melalui sebuah aplikasi palsu
dengan menggunakan data-data yang dipalsukan yang meliputi tanda
kependudukan (KTP), pekerjaan, keterangan penghasilan, passport,
alamat, dan lain-lain.

33
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
34
Sigid Suseno, (2004). Kebijakan Pengaturan Carding dalam Hukum Pidana di Indonesia.
Volume 6 Nomor 3, Jurnal Sosiohumaniora. hlm 254.
30

b. Non-received Card
Modus ini dilakukan pelaku dengan cara menunggu pengiriman kartu
kredit seseorang sebagai pemilik sah yang telah disetujui oleh pihak Bank.
Pelaku terlebih dahulu mencari informasi mengenai orang yang
mengajukan pembuatan kartu kredit tersebut, terutama informasi data
pribadi pemohon kemudian memalsukan data tersebut dan juga untuk
mengetahui informasi mengenai alamat yang dituju ketika kartu kredit
tersebut dikirimkan. Ketika Kantor Pos atau jasa pengiriman barang
lainnya mengirimkan kartu kredit tersebut, maka pelaku mendatangi
alamat tersebut sebelum kurir datang. Ketika kurir kartu kredit tersebut
tiba di lokasi, maka pelaku akan berpura-pura seolah-olah dirinya yang
mengajukan permohonan pembuatan kartu kredit tersebut dan menerima
paket kartu kredit tersebut.
c. Lost or Stolen Card
Modus ini dilakukan oleh pelaku dengan menggunakan kartu kredit
asli milik orang lain yang hilang atau diperoleh melalui hasil curian.
Kemudian saat pelaku melakukan transaksi pembayaran, pelaku
menandatangani draf penjualan dengan meniru tanda tangan pada kartu
kredit sebagai tanda tangan kepemilikan yang sah. Saat melakukan
transaksi pembayaran, pelaku melakukan transaksi di bawah floor limit
atau batas minimum untuk menghindari otorisasi secara online oleh Bank
yang menerbitkan kartu kredit tersebut.
d. Altered Card
Modus pelaku dengan menggunakan kartu kredit asli milik orang lain
yang diperoleh dari hasil curian (stolen card), non-received card, atau
kartu yang hilang (lost card) yang datanya sudah diubah oleh pelaku.
Perubahan data dilakukan dengan cara menghilangkan data nasabah asli
dengan mengisi data baru yang dimuat dalam magnetic stripe atau pita
magnetik yang terdapat pada kartu kredit yang sudah dikodekan ulang (re-
encoded) yang diperoleh dari Point of Compromise (POC).
31

e. Totally Counterfeited
Modus yang dilakukan pelaku dalam Totally Counterfeited adalah
dengan menggunakan kartu kredit yang seluruhnya palsu. Pemalsuan ini
dilakukan pelaku dengan mencetak sebuah kartu tiruan yang datanya
menggunakan data nomor pemilik kartu kredit yang masih berlaku yang
diperoleh dengan cara re-encoded (pengkodean ulang).
f. White Plastic Card
Dalam modus ini, seorang carder dalam melakukan kejahatannya
menggunakan kartu plastik putih yang hanya memuat magnetic stripe atau
pita magnetik yang di dalamnya berisi data asli. Seorang carder
mencantumkan data kartu kredit dari pemilik yang sah pada kartu plastik
polos tanpa mencantumkan logo dari pihak penerbit yang datanya tersebut
diperoleh dengan menggunakan cara encoding.
g. Record of Charge Pumping
Modus ini dilakukan oleh pelaku dengan cara menggandakan draf
penjualan (sales draft) oleh merchant. Setelah digandakan, salah satu draf
penjualan tidak ditandatangani oleh pemilik kartu kredit yang sah
kemudian diserahkan kepada merchant lain lalu mengisikan data transaksi
fiktif pada draf penjualan tersebut.
h. Altered Amount
Merupakan modus yang dilakukan pelaku dengan cara mengubah
nilai transaksi yang dilakukan yang tercantum pada draf penjualan (sales
draft). Dalam modus ini, biasanya pelaku berasal dari pihak pedagang
(merchant) karena pihak tersebut merupakan sebagai pihak yang terlibat
langsung dalam suatu transaksi, sehingga memudahkan pelaku untuk
menggunakan cara ini untuk memperoleh keuntungan dari transaksi
tersebut secara ilegal.
i. Telephone or Mail Ordered
Modus ini dilakukan oleh pelaku dengan cara memesan suatu barang
melalui jaringan telepon atau pesan elektronik dengan menggunakan kartu
kredit milik orang lain. Dalam modus ini, pelaku terlebih dahulu
32

memperoleh data dari kartu kredit seseorang berupa nama dan nomor dari
kartu kredit tersebut kemudian melakukan pemesanan barang dengan
menggunakan kartu kredit tersebut.
j. Fictius Merchant
Dalam melakukan modus ini, pelaku berpura-pura menjadi seorang
pedagang yang dalam transaksinya juga menyediakan aplikasi untuk
melakukan pembayaran yang data-data di dalamnya merupakan data palsu.
Aplikasi tersebut didukung dengan skimmer (alat pendeteksi kartu kredit)
atau software untuk dapat memperoleh data dalam kartu kredit dengan
mudah. Modus ini biasanya dilakukan di tempat-tempat yang ramai dan
umumnya menjadi tempat yang sering terjadi transaksi jual-beli setiap
harinya seperti di restoran, store, dan lain-lain.
3. Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Pidana Carding
Faktor yang menjadi penyebab terjadinya tindak pidana carding yang
marak terjadi di tengah masyarakat saat ini dapat dibagi ke dalam 2 (dua)
kategori yaitu faktor internal dan faktor eksternal yang akan diuraikan
sebagaimana berikut :
a. Faktor Internal
Faktor Internal merupakan suatu sebab yang muncul dari dalam diri
pribadi yang berkaitan dengan keadaan serta latar belakang dari seorang
individu seperti usia, kondisi fisik, kondisi mental, latar belakang keluarga,
finansial, kecerdasan dan lain sebagainya. Berdasarkan penelusuran,
adapun faktor internal yang menyebabkan terjadinya tindak pidana carding
adalah sebagai berikut 35:
1) Faktor Kepercayaan Diri
Pelaku kejahatan carding atau disebut dengan carder cenderung
memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi karena merasa telah
memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup dalam melakukan
modus untuk melakukan carding sehingga mereka memiliki

35
Indah Novitasari, Loc.Cit, hlm 25-26
33

keyakinan bahwa melalui perbuatannya tersebut akan menghasilkan


keuntungan yang besar bagi diri pelaku.
2) Faktor Pendidikan
Tindak pidana carding merupakan kejahatan yang menggunakan
sarana teknologi komputer dan juga menggunakan jaringan komputer,
maka carding termasuk dalam salah satu jenis kejahatan yang dapat
dimasukkan dalam kejahatan dunia maya (cybercrime). Agar
kejahatan carding dapat terlaksana, seseorang perlu untuk
mempelajari pengetahuan tentang teknologi (internet, sistem
komputer) beserta seluk-beluknya, sehingga seorang carder termasuk
golongan orang-orang cerdas yang memahami teknologi sehingga
tidak semua orang dapat melakukan kejahatan tersebut.
3) Faktor Peluang
Dalam melakukan kejahatan carding, seorang pelaku melihat
keberadaan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya dari
kegiatan carding tersebut. Pemikiran untuk mendapatkan keuntungan
yang besar tersebut tidak dibarengi dengan pemikiran mengenai
dampak kerugian yang akan dirasakan oleh orang lain dan tidak
memikirkan bahwa tindakan tersebut termasuk ke dalam pelanggaran
pidana yang dapat dijerat oleh sanksi pidana.
4) Faktor Usia
Usia mempengaruhi seseorang dalam melahirkan motivasi bagi
dirinya untuk melakukan suatu kejahatan. Usia juga berpengaruh
terhadap daya tangkap dan daya ingat seseorang, mengingat kejahatan
carding merupakan kejahatan dunia maya yang memanfaatkan sarana
teknologi, maka dibutuhkan kemampuan daya tangkap dan daya ingat
yang kuat untuk mengimplementasikan pengetahuan mengenai cara-
cara yang dilakukan dalam kejahatan carding. Maka dari itu, rata-rata
usia seorang pelaku carding berada pada usia remaja dan usia dewasa
dalam rentang usia dari 17 hingga 40 tahun yang pada usia tersebut
masih memiliki kemampuan daya tangkap dan daya ingat yang baik.
34

b. Faktor Eksternal
Faktor Eksternal merupakan suatu sebab yang berpangkal pada segala
hal yang berada di luar diri pelaku. Umumnya faktor eksternal berkaitan
dengan pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh lingkungan sekitar diri
pelaku dalam hal lingkungan sosial, ekonomi dan politik. Beberapa faktor
eksternal yang dapat mempengaruhi kejahatan kartu kredit (carding)
antara lain sebagai berikut :
1) Faktor Ekonomi
Kondisi ekonomi individu yang berada di bawah taraf hidup yang
ideal merupakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi individu
yang pada dasarnya memiliki hasrat untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya. Setiap individu mengharapkan kondisi hidup yang
berkecukupan dengan melakukan suatu pekerjaan yang akan
memberikan penghasilan terhadap dirinya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Namun lapangan pekerjaan yang tersedia tidak
sebanding dengan jumlah individu yang membutuhkan pekerjaan,
sehingga masih banyak individu yang tidak mendapatkan kesempatan
bekerja untuk meningkatkan kualitas ekonominya sehingga angka
kemiskinan dapat meningkat. Maka konsekuensinya adalah individu
tersebut akan memikirkan segala cara untuk mendapatkan penghasilan
yang layak serta tidak sedikit yang menempuh cara melalui
kriminalitas. Dalam kriminologi, keadaan tersebut merupakan hal
yang mendapatkan perhatian khusus karena kemiskinan merupakan
bentuk kekerasan struktural dalam ruang lingkup sosial36, serta
merupakan keadaan krisis ekonomi yang dapat menyebabkan
dorongan untuk melakukan kriminalitas.
2) Faktor Kesadaran Hukum Masyarakat
Faktor kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dalam
konteks implementasi fungsi hukum dalam masyarakat. Maka perlu

36
Anang Priyanto, (2012). Kriminologi, Penerbit Ombak : Yogyakarta. hlm 77
35

dikemukakan mengenai fungsi hukum dalam masyarakat sebagai


acuan keberhasilan terbentuknya perilaku sosial yang sadar akan
urgensi diberlakukannya hukum dalam masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto, sebagaimana dikutip oleh Satjipto
Rahardjo dalam buku Hukum dan Masyarakat bahwa terdapat 2 (dua)
fungsi yang dapat dijalankan oleh hukum di dalam masyarakat, yaitu
sebagai sarana kontrol sosial (social control) dan sebagai sarana untuk
rekayasa sosial (social engineering)37.
a. Hukum Sebagai Sarana Kontrol Sosial (Social Control)
Hukum memiliki tugas untuk menjaga dan mengendalikan
setiap individu sebagai anggota sosial yang hidup dalam
masyarakat agar tetap berada di dalam pola-pola tingkah laku
yang telah diterima olehnya sebagaimana mestinya.
b. Hukum Sebagai Sarana Rekayasa Sosial (Social Engineering)
Hukum bertugas untuk melakukan perubahan sosial yang
nyata melalui penguasaan dan pengarahan terhadap kondisi sosial
masyarakat tersebut.
Kesadaran hukum masyarakat akan tercipta ketika fungsi hukum
dapat dilaksanakan secara efisien melalui berbagai peraturan yang
tegas dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebaliknya, ketika
fungsi hukum tidak dapat menyentuh lapisan masyarakat secara utuh
maka kesadaran hukum dari masyarakat tidak akan tercapai maka
konsekuensinya adalah sikap acuh masyarakat terhadap hukum
melalui tindakan kejahatan yang diperbuat.
Realita dalam kaitannya dengan kejahatan carding adalah bahwa
kesadaran hukum masyarakat akan fungsi tersebut dan dalam
merespon aktifitas kejahatan dunia maya masih dirasa sangat kurang.
Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan
masyarakat terhadap jenis kejahatan dunia maya. Hal ini merupakan

37
Satjipto Rahardjo, (1980). Hukum dan Masyarakat, Penerbit Angkasa : Bandung. hlm 117
36

kendala yang terjadi berkenaan dengan tatanan hukum dan proses


pengawasan masyarakat sehingga banyak masyarakat yang menjadi
korban dari kejahatan dunia maya.
3) Faktor Penegak Hukum
Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, terlaksananya
hukum di masyarakat bergantung pada kesadaran hukum dari
masyarakat tersebut. Di sisi lain, terlaksananya hukum di masyarakat
juga ditentukan oleh faktor dari aparat penegak hukum. Faktor
tersebut menjadi penting karena penegak hukum berfungsi sebagai
pelaksana peraturan terhadap seluk-beluk kehidupan masyarakat.
Maka maksimalnya pelaksanaan aturan hukum oleh aparat penegak
hukum akan memberikan dampak positif terhadap keadilan bagi
masyarakat. Serta sebaliknya, tidak terlaksananya aturan hukum
dengan baik oleh aparat penegak hukum, maka keadilan yang menjadi
hak bagi masyarakat tidak akan tercapai secara maksimal.
Masih terjadi beberapa peraturan hukum yang tidak dapat
diimplementasikan dengan baik oleh karena masih terdapat aparat
penegak hukum yang tidak mampu melaksanakan suatu ketentuan
hukum sebagaimana mestinya. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh
beberapa faktor seperti kredibilitas dari penegak hukum, integritas
dari penegak hukum, dan kompetensi dari penegak hukum yang
dipandang masih kurang sehingga hal tersebut akan memberikan
pengaruh terhadap pelaksanaan aturan hukum bagi masyarakat. Jika
pelaksanaan aturan hukum bagi masyarakat dipandang kurang, maka
juga akan berpengaruh terhadap pandangan masyarakat terhadap citra
lembaga penegak hukum di tengah masyarakat38.
Persoalan kejahatan dunia maya (cybercrime) menjadi tantangan
besar bagi aparat penegak hukum yang dituntut untuk meningkatkan
kompetensinya dalam penanganan kasus kejahatan dunia maya.

38
Sanyoto, (2008). Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Volume 8 No 3 :
Purwokerto. hlm 200
37

Kurangnya pengalaman serta keahlian dalam menggunakan teknologi


komputer dan internet secara mendalam menjadi faktor utama bagi
aparat penegak hukum terhadap tidak maksimalnya penanganan
kejahatan dunia maya khususnya dalam kejahatan yang berkaitan
dengan kartu kredit yaitu kejahatan carding. Konsekuensinya adalah
pembuktian terhadap perkara kejahatan dunia maya yang tidak
menyeluruh dan meyakinkan, sehingga pada akhirnya hukuman yang
dijatuhkan terhadap pelaku menjadi ringan serta tidak menimbulkan
efek jera bagi pelaku kejahatan dunia maya.
Sebagai upaya untuk meningkatkan pemberdayaan terhadap
lembaga penegak hukum di Indonesia, maka perlu untuk melakukan
langkah-langkah sebagai berikut39 :
a. Meningkatkan kualitas dan kemampuan aparat penegak hukum
yang lebih profesional, memiliki integritas yang baik,
berkepribadian, dan bermoral tinggi.
b. Melakukan berbagai upaya perbaikan pada sistem perekrutan dan
promosi aparat penegak hukum, sistem pendidikan dan pelatihan.
Serta memberikan peran yang lebih besar kepada masyarakat
dalam mekanisme pengawasan aparat penegak hukum.
c. Mengupayakan peningkatan kesejahteraan bagi aparat penegak
hukum yang sesuai dengan pemenuhan kebutuhan hidup.
4) Faktor Perkembangan Teknologi
Perkembangan teknologi memberikan perubahan yang signifikan
secara global. Berkembangnya teknologi mengubah cara pandang
manusia dalam persoalan kehidupan dalam bermasyarakat sehari-hari.
Manusia dengan naluri akalnya secara alamiah berusaha untuk
memanfaatkan segala hal yang diberikan oleh teknologi yang juga
akan memberikan manfaat lebih lanjut dalam kehidupan sosialnya.
Namun disamping itu, berkembangnya teknologi juga memberikan

39
Bagir Manar, (2005). Penegakan Hukum yang Berkeadilan, Varia Peradilan Nomor 245 : Jakarta.
hlm 7
38

jalan baru bagi seseorang untuk melakukan kejahatan. Faktor


perkembangan teknologi menjadi alasan utama terjadinya kejahatan
kartu kredit dalam modus kejahatan carding yang terjadi di tengah
masyarakat saat ini.
5) Faktor Lemahnya Sistem Pengawasan Bank
Lemahnya sistem pengawasan bank menunjukan bahwa sistem
keamanan dan pengawasan terhadap internal bank saat ini masih
tergolong rentan. Terjadinya kejahatan carding merupakan bukti
bahwa kualitas keamanan dan pengawasan bank yang masih lemah.
Lemahnya pengawasan terhadap internal bank menyebabkan pelaku
kejahatan dapat dengan mudahnya menerobos akses bank, bahkan
tidak sedikit yang melakukan kolusi dengan oknum internal bank
untuk melakukan tindak kejahatan di ruang lingkup perbankan. Faktor
tersebut menyebabkan munculnya fraud dan criminal perbankan yang
berpotensi merugikan bank secara financial dan reputasi.
6) Faktor Budaya Hukum
Budaya hukum dapat diartikan sebagai sikap manusia terhadap
hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai serta harapannya.
Budaya tidak hanya sekedar kumpulan bentuk tingkah laku dan
pemikiran yang saling terlepas akan tetapi budaya diartikan sebagai
keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum. Secara
umum terdapat 2 (dua) budaya hukum yang dikenal oleh masyarakat
antara lain40 :
a. Budaya Hukum Masyarakat Tradisional
Di dalam budaya hukum masyarakat tradisional yang
menjadi aturan hukum adalah kebiasaan dan norma yang jika
dilanggar maka sanksi yang diberikan adalah sanksi sosial yang
berlaku dalam komunitas masyarakat itu sendiri. Dengan

40
Taufik H Situmpang, (2016). Revitalisasi Kesadaran Hukum Masyarakat Dalam Rangka
Mendukung Perlindungan KI di Indonesia, Volume 10 Nomor 1, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum :
Jakarta. hlm 3
39

formalitas pengaturan melalui bentuk undang-undang dan


sebagainya tetap diberlakukan sebagaimana mestinya.
b. Budaya Hukum Masyarakat Industri
Dalam masyarakat industri, penerapan hukum cenderung
bersifat kompleks dan variatif yang ditandai dengan peraturan-
peraturan dalam bentuk tertulis.
Budaya hukum merupakan tanggapan yang bersifat penerimaan
atau penolakan terhadap suatu peristiwa hukum, yang menunjukkan
sikap perilaku manusia terhadap masalah hukum dan peristiwa hukum
yang terbawa kedalam masyarakat, maka hal ini dapat memungkinkan
menjadi penyebab munculnya kejahatan. Apabila penolakan terjadi di
kalangan masyarakat terhadap suatu peristiwa hukum, maka yang
menjadi konsekuensi adalah terjadinya kejahatan.
B. Tindak Pidana Carding Dalam Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Hukum Pidana Islam
Hukum Pidana Islam merupakan sebuah konsepsi yang diserap dari salah
satu istilah dalam hukum islam secara umum yaitu Fiqh Jinayah yang
merupakan cabang dari ilmu fiqih dalam hukum islam. Hukum Pidana Islam
yang merupakan terjemah dari istilah Fiqh Jinayah yang apabila diuraikan
terdiri dari 2 (dua) kata, yaitu kata fiqh dan kata jinayah.

Kata fiqh secara etimologis berasal dari Bahasa arab yaitu ُ‫ يا ْفقاه‬- ‫فا ِقها‬
(faqiha-yafqohu) yang berarti faham atau memahami ucapan dengan baik41.
Sedangkan secara terminologis. Abdul Karim Zaidan sebagaimana dikutip dari
definisi dari Asy-Syafi’i dan Al-Amidi mendefinisikan fiqh sebagai berikut :

‫ش ْر ِعيا ِة ْال اع ام ِليا ِة ْال ُم ْكت ا ا‬


ِ ‫سبا ِة ِم ْن أ ا ِدلاتِ اها الت ا ْف‬
‫ص ْي ِليا ِة‬ ‫ْال ِع ْل ُم ِب ْال احْ اك ِام ال ا‬
“Ilmu tentang hukum-hukum syariah yang bersifat amaliyah yang digali dari
dalil-dalil yang terperinci”42.

41
M. Nurul Irfan, (2016). Op.Cit. hlm 3
42
Abdul Karim Zaidan, (1985). Al-Wafiz Fii Ushul Al-Fiqh, Mu’assasah Ar-Risalah : Beirut.
hlm 8
40

Sedangkan menurut Abdul Wahab Khalaf, di satu sisi fiqh didefinisikan


sebagai ilmu, juga di sisi lain mendefinisikan fiqh sebagai materi hukum, yaitu
fiqh sebagai ketentuan-ketentuan hukum syara yang bersifat amali yang digali
dari dalil-dalilnya yang terperinci43.
Selanjutnya yaitu istilah jinayah yang juga merupakan istilah yang berasal

dari bahasa arab yaitu ‫ ِجنااياة‬- ‫( اجناا – ياجْ نِ ْي – اج ْنيا‬janaa-yajnii-janyan-


jinaayatan) yang memiliki makna berbuat dosa atau melakukan dosa44.
Kemudian secara terminologis, para ulama telah memberikan definisi terhadap
kata jinayah secara bermacam-macam, antara lain :
1) Menurut Ali bin Muhammad Al-Jurjani
Menurut Al-Jurjani, jinayah didefinisikan sebagaimana dalam
kitabnya At-Ta’rifat yang menyatakan bahwa jinayah adalah45 :

‫علاى ال ان ْف ِس أ ا ْو ا‬
‫غ ْي ِر اها‬ ‫ض ام ُن ا‬
‫ض اررا ا‬ ُ ْ‫ُكل فِ ْعل امح‬
‫ظ ْور ايتا ا‬
“Setiap perbuatan yang dilarang yang mengandung kemadhorotan
terhadap nyawa atau selain nyawa”.
2) Menurut Abdul Qadir Audah
Menurut Abdul Qadir Audah sebagaimana dikutip dalam kitabnya
yaitu At-Tasyri Al-Jinai Al-Islami, definisi dari jinayah adalah46 :

. ‫غ ْي ُر ذا ِلكا‬ ‫س اواء اوقا اع ْال ِف ْع ُل ا‬


‫علاى ان ْفس أ ا ْو امال أ ا ْو ا‬ ‫ش ْرعا ا‬
‫ِإ ْسم ِل ِف ْعل ُم اح ارم ا‬
“Nama bagi sebuah tindakan yang diharamkan secara syara’, baik
tindakan itu menyangkut jiwa, harta, atau selain daripada itu”.
Jadi dapat diartikan bahwa makna jinayah merupakan segala bentuk
perbuatan yang dilarang oleh syara yang berkaitan dengan jiwa, harta dan
menyangkut hal-hal lain dari seseorang. Dalam konsepsi ilmu hukum secara
umum, istilah Jinayah dapat disamakan dengan istilah delik atau tindak pidana.

43
Syahrul Anwar, (2010). Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Ghalia Indonesia : Bogor. hlm 13
44
M. Nurul Irfan, (2016). Op.Cit. hlm 4
45
Ali bin Muhammad Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Darul Hikmah : Jakarta. hlm 79
46
Abdul Qadir Audah, (1992). At-Tasyri Al-Jinai Al-Islami, Jilid I, Muassasah Ar-Risalah : Beirut.
hlm 67
41

Di dalam terminologi fiqih, terdapat suatu istilah disamping istilah Jinayah


yaitu istilah Jarimah yang oleh beberapa ahli fiqih dianggap sebagai istilah
yang sama dengan istilah Jinayah di dalam hukum pidana islam. Diantara ahli
fiqih yang menganggap sama antara istilah Jinayah dan Jarimah adalah
Wahbah Az-Zuhaili yang mengatakan bahwa :

ِ ‫ب أ ا ِو ْال ام ْع‬
‫ص اية أ ا ْو كل ما يجني المرئ‬ ‫ ِه ا‬: ‫ْال ِج انا ايةُ أ ا ِو ْال اج ِر ْي امة لُغاة‬
ُ ‫ي الذا ْن‬
‫من شر اكتسبه‬
“Jinayah atau Jarimah secara bahasa : yaitu dosa atau kemaksiatan atau
semua jenis perbuatan manusia berupa kejahatan yang dilakukan”47.
Dalam definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Az-Zuhaili tersebut
dikatakan bahwa jinayah dan jarimah memiliki makna yang sama karena
secara jelas digunakan kata penghubung “atau” di antara istilah Jarimah dan
Jinayah. Selanjutnya Abdul Qadir Audah juga secara tegas memisahkan
definisi jinayah dan jarimah, Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa yang
dimaksud jarimah adalah :

‫ع ْن اها ِب احد أ ا ْو تا ْع ِز ْير‬


‫ش ْر ِع اية زا اج ار للاُ ا‬ ُ ْ‫امح‬
‫ظ ْو ارات ا‬
"Larangan-larangan syara yang diancam oleh Allah dengan hukuman
hudud atau takzir”48.
Dengan Jarimah merupakan suatu bentuk kejahatan atau perbuatan yang
dilarang oleh syara yang apabila perbuatan tersebut dilakukan maka akan
diancam oleh sanksi berupa hukuman hudud (yang di dalamnya termasuk
qishas) atau takzir, konsep tersebut memiliki kesamaan dengan makna delik
atau tindak pidana yang juga merupakan suatu perbuatan terlarang yang
diancam oleh sanksi pidana.
2. Macam-Macam Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam
Konsepsi di dalamvHukum Pidana Islam membagi tindak pidana atau
jarimah ke dalam 3 (tiga) jenis yaitu Jarimah Qisas, Jarimah Hudud, dan
Jarimah Takzir yang akan diuraikan sebagai berikut :

47
M Nurul Irfan, (2016). Op.Cit, hlm 8
48
Abdul Qadir Audah, (1992). Op.Cit. hlm 66
42

1) Jarimah Qisas
Bagian pertama jarimah dalam fiqih jinayah adalah qisas. Secara

‫ ِق ا‬- ‫ ايقُص‬- ‫ص‬


etimologis, qisas berasal dari bahasa arab yaitu ‫صاصا‬ ‫قا ا‬
(qashsha-yaqushshu-qishashan) yang memiliki makna mengikuti atau
menelusuri jejak kaki. Makna qisas yang berarti menelusuri yaitu
bermaksud untuk menemukan kesamaan dalam penelusuran tersebut.
Korelasinya adalah dengan makna qisas secara terminologis yaitu
kesamaan antara tindak pidana dengan sanksi hukum yang dijatuhkan
kepada pelaku tindak pidana tersebut.
Maka secara terminologis, sebagaimana menurut M. Nurul Irfan yang
mengutip uraian dalam kitab Al-Mu’jamul Wasith bahwa jarimah qisas
adalah tindak pidana yang dijatuhi sanksi hukum kepada pelaku sama
persis dengan tindak pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan
anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh49. Bentuk hukuman yang
sama tersebut bermakna bahwa jarimah qisas merupakan tindak pidana
yang bentuk hukumannya itu merupakan pembalasan yang serupa
terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.
Jarimah Qisas dikategorikan ke dalam dua jenis jarimah yaitu :
a. Qisas yang berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan yang dibagi
ke dalam 3 (tiga) macam pembunuhan yaitu pembunuhan sengaja
(qatlu al-amdi), pembunuhan semisengaja (qatlu syibhu al-amdi), dan
pembunuhan tersalah (qatlu al-khaththa)50.
b. Qisas yang berkaitan dengan tindak pidana penganiayaan.
Dari kedua kategori jarimah qisas tersebut, maka pada dasarnya dalam
qisas berlaku konsep bahwa nyawa seorang pelaku pembunuhan dapat
dihilangkan karena pelaku telah menghilangkan nyawa orang lain atau
badan seorang pelaku dapat dianiaya karena pelaku telah menganiaya
orang lain.

49
M Nurul Irfan, (2016). Op.Cit. hlm 30
50
Abdul Qadir Audah, jilid 2, Op,Cit, hlm 10
43

2) Jarimah Hudud
Jenis jarimah selanjutnya adalah jarimah hudud. Kata hudud
merupakan bentuk jamak dari kata had yang pada dasarnya memiliki arti
pemisah antara dua hal atau dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang
membedakan sesuatu tersebut dengan yang lain. Secara etimologis, had
bermakna cegahan. Sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku jarimah
disebut dengan hudud, karena sanksi tersebut dimaksudkan untuk
mencegah pelaku jarimah tersebut tidak mengulangi kejahatannya tersebut
serta untuk mencegah agar masyarakat tidak melakukan kejahatan-
kejahatan yang telah dilarang oleh syara51.
Secara terminologis syara, hudud merupakan pemberian hukuman
dalam rangka hak allah. Maksud dari pemberian hukuman dalam rangka
hak allah adalah bahwa diterapkannya hukuman had tersebut semata-mata
adalah karena demi tercapainya kemaslahatan masyarakat dan demi
terpeliharanya ketertiban umum52. Artinya sifat dari hudud ini merupakan
bentuk hukum publik yang mengatur mengenai kepentingan umum dan
ketertiban masyarakat.
Sedangkan makna Jarimah Hudud merupakan suatu bentuk tindak
pidana yang bentuk dan sanksinya telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam
Al-Quran dan oleh Nabi Muhammad dalam sunnahnya53. Jarimah hudud
meliputi 7 (tujuh) macam bentuk jarimah antara lain adalah :
a. Jarimah Zina (tindak pidana perzinahan),
b. Jarimah Qadzaf (tindak pidana penuduhan zina),
c. Jarimah syarib al-khamr (tindak pidana meminum khamr),
d. Jarimah As-Sariqah (tindak pidana pencurian),
e. Jarimah Al-Hirabah (tindak pidana perampokan),
f. Jarimah Al-Bagyu (tindak pidana pemberontakan), dan
g. Jarimah Ar-Riddah (tindak pidana murtad).

51
Sayyid Sabiq, (1990). Fikih Sunnah, Terjemah Nabhan Husein, PT Al-Maarif : Bandung. hlm 13
52
Ibid, hlm 13
53
M Nurul Irfan, (2016). Op.Cit. hlm 47
44

Semua jenis jarimah tersebut merupakan suatu bentuk kesalahan,


yaitu kesalahan yang mengharuskan adanya hukuman. Terhadap pelaku
Jarimah Hudud, maka dapat dikenakan hukuman sebagaimana yang
ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya sesuai dengan kategori dari
masing-masing jarimah hudud di atas.
3) Jarimah Takzir
a. Pengertian Jarimah Takzir
Jenis jarimah dalam fiqh jinayah yang terakhir adalah Jarimah
Takzir. Secara bahasa, takzir memiliki arti menolak dan mencegah
serta dapat diartikan juga dengan makna mendidik54, karena
penjatuhan hukuman takzir adalah untuk mendidik agar pelaku dapat
menyadari kesalahan yang telah diperbuat. Secara istilah, jarimah
takzir adalah bentuk kejahatan dan sanksi yang tidak disebutkan
ketentuan hukumnya di dalam nash syara.
Jarimah takzir berbeda dengan jarimah qisas dan hudud. Dalam
jarimah takzir, jenis serta sanksinya tidak secara tegas ditentukan oleh
Al-Quran dan Hadis. Penentuan jenis jarimah serta sanksi dari takzir
dilimpahkan kepada wewenang penguasa setempat. Namun, dalam
penentuannya tetap harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam
hukum syara dan tidak boleh bertentangan dengan syara. Takzir terdiri
atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had
atau kafarat55.
Dalam menetapkan sanksi takzir, hakim atau penguasa setempat
memiliki wewenang untuk menentukan hukuman dengan
memperhatikan batas minimal dan maksimal terhadap jenis sanksi
yang akan diterapkan kepada pelaku jarimah takzir. Dengan ketentuan
tersebut, hukum syara memberikan kebolehan bagi hakim untuk
menentukan bentuk sanksi yang diterapkan sehingga penguasa atau

54
Ahmad Wardi Muslich, (2005). Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika : Jakarta. hlm 248
55
A. Djazuli, (2000). Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), Raja
Grafindo : Jakarta. hlm 165
45

hakim dapat mengatur ketertiban masyarakat serta memelihara


kepentingan individu dalam masyarakat dengan leluasa yang
disesuaikan dengan kondisi sosial yang terjadi. Kondisi tersebut
menegaskan bahwa pemberlakuan hukum pidana islam menjadi
sangat dinamis.
b. Tujuan Sanksi Takzir
Tujuan diberlakukannya sanksi takzir terhadap pelaku jarimah
takzir antara lain adalah sebagai berikut56 :
a) Tujuan Preventif, untuk mencegah orang agar tidak melakukan
jarimah,
b) Tujuan Represif, untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku
sehingga tidak mengulangi perbuatannya,
c) Tujuan Kuratif, membawa perbaikan sikap bagi pelaku, dan
d) Edukatif, memberikan pendidikan bagi pelaku sehingga dapat
melahirkan kesadaran dalam diri pelaku agar dapat memperbaiki
perbuatannya untuk kehidupan yang lebih baik.
c. Jenis-jenis Jarimah Takzir
Jenis-jenis jarimah takzir dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu 57:
a) Jarimah Takzir yang berkaitan dengan Hak Allah
Yaitu segala jenis perbuatan yang mengandung kepentingan
dan kemaslahatan umum, perbuatan-perbuatan tersebut
berdampak pada kehidupan sosial masyarakat luas. Seperti
penimbunan bahan-bahan pokok, membuat kerusakan di muka
bumi, dan lain-lain.
b) Jarimah Takzir yang berkaitan dengan Hak Manusia
Yaitu segala jenis perbuatan yang mengatur kepentingan
manusia secara individu, perbuatan-perbuatan tersebut
berdampak kerugian pada orang tertentu sebagai individu, bukan

56
M Nurul Irfan, (2016). Op.Cit. hlm 94
57
Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islami wa Adillatuhu, Jilid 7, Penerbit Gema Insani, Darul Fikr :
Damaskus. hlm 197
46

terhadap masyarakat banyak. Seperti pencemaran nama baik,


penghinaan, dan sebagainya.
d. Bentuk Sanksi Takzir
Bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan dalam jarimah takzir dapat
bermacam-macam, antara lain 58:
a) Sanksi takzir yang berkaitan dengan badan
Sanksi takzir yang berkaitan dengan badan yaitu hukuman
mati yang menurut mazhab maliki dan ulama hanabilah dianggap
sebagai hukuman takzir tertinggi, hukuman cambuk yang
jumlahnya ditentukan oleh penguasa sebagai pihak yang memiliki
wewenang tergantung dampak bagi masyarakat, kadar, jenis
kejahatan.
b) Sanksi takzir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang
Sanksi takzir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang
dapat berupa hukuman penjara, hukuman pengasingan.
c) Sanksi takzir yang berkaitan dengan harta
Sanksi takzir yang berkaitan dengan harta dapat berupa
penghancuran harta (al-itlaf), pengubahan harta (at-taghyir),
pemilikan harta atau disebut dengan hukuman denda (at-tamlik).
d) Sanksi takzir dalam bentuk lain
Sanksi takzir dalam bentuk lain antara lain : peringatan keras,
dihadirkan di hadapan siding, nasihat, celaan, pengucilan,
pemecatan, dan pengumuman kesalahan secara terbuka.
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam
Sebagaimana menurut Abdul Qadir Audah, unsur-unsur hukum pidana
islam terbagi ke dalam 3 (tiga) bagian yaitu59 :
1) Rukun Syar’I (Unsur Formil)
Unsur ini menyatakan bahwa untuk dapat dijadikannya seseorang
sebagai pelaku jarimah, maka sebelum perbuatan tersebut dilakukan harus

58
M Nurul Irfan, (2016). Op.Cit. hlm 95-110
59
Abdul Qadir Audah, jilid 2, Op.Cit. hlm 793-817
47

terdapat ketentuan nash atau peraturan yang secara tegas melarang


perbuatan tersebut dan terdapat ketentuan sanksi di dalamnya. Dalam
Rukun Syar’i terdapat keterkaitan dengan asas legalitas yang menyatakan
bahwa untuk dapat dipidananya seorang pelaku tindak pidana, maka harus
terlebih dahulu terdapat ketentuan pidana yang mengatur mengenai tindak
pidana tersebut.
2) Rukun Madi (Unsur Materiil)
Unsur ini menyatakan bahwa seorang yang diduga telah melakukan
suatu tindak pidana hanya dapat dijatuhi sanksi pidana apabila pelaku
benar-benar telah melakukan tindak pidana tersebut, baik yang bersifat
positif (aktif melakukan sesuatu) atau yang bersifat negatif (pasif/tidak
sampai melakukan sesuatu).
3) Rukun Adabi (Unsur Moril)
Unsur ini menyatakan bahwa seorang pelaku tindak pidana atau
jarimah harus sebagai subjek yang dapat dikenakan pertanggungjawaban
pidana atau sebagai subjek yang dapat dituntut atas perbuatan yang telah
dilakukan oleh pelaku. Dalam unsur ini, terdapat keterkaitannya dengan
konsep pertanggungjawaban pidana yang menerangkan bahwa pelaku
tindak pidana dapat dijatuhi sanksi apabila keadaan pelaku berada dalam
kondisi yang mampu mempertanggungjawabkan kesalahannya dengan arti
bahwa pelaku tidak dalam keadaan gila, anak di bawah umur, atau karena
keterpaksaan60.
4. Pengertian Carding Serta Kedudukannya Dalam Hukum Pidana Islam
Sebagaimana berdasarkan uraian mengenai pengertian tindak pidana
carding di atas, maka pada dasarnya carding merupakan suatu bentuk aktivitas
transaksi online dengan menggunakan identitas dan nomor rekening dalam
kartu kredit milik orang lain tanpa sepengetahuan pemilik rekening. Pada
umumnya dalam aktivitas transaksi online, saat seseorang bertransaksi artinya
melakukan pembayaran terhadap sesuatu dengan menggunakan saldo uang

60
M Nurul Irfan, (2016). Op.Cit. hlm 27
48

yang terdapat dalam rekeningnya. Namun dalam hal kejahatan carding,


seseorang melakukan transaksi dengan menggunakan saldo yang terdapat
dalam rekening milik orang lain tanpa sepengetahuan pemilik.
Dalam hukum pidana islam, tindak pidana carding tidak diuraikan secara
spesifik oleh para ahli fiqih jinayah dari segi definisi maupun jenis sanksinya.
Karena tindak pidana carding merupakan jenis kejahatan kontemporer yang
lahir sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi saat ini. Sedangkan
teknologi yang ada pada saat ini, masih belum berkembang secara signifikan
pada saat syariah diwahyukan pada zaman kenabian. Sehingga dalam
menetapkan sanksi bagi pelaku carding dalam perspektif hukum pidana islam,
perlu dilihat sifat-sifat kejahatan carding yang dikorelasikan dengan bentuk
jarimah dalam hukum pidana islam.
Agama islam mengajarkan kepada umatnya untuk melindungi harta,
karena harta merupakan penunjang dasar bagi kehidupan manusia. Agama
islam juga melindungi hak milik bagi individu, sehingga hak milik individu
tersebut benar-benar merupakan hak milik yang aman61. Maka dari itu, islam
mengharamkan bagi setiap orang yang melakukan tindakan merampas hak
milik yang menjadi hak orang lain dengan alasan apapun. Carding merupakan
bentuk perampasan terhadap hak milik seseorang yang sah, dengan tindakan
perampasan tersebut maka sesungguhnya pelaku carding telah melakukan
suatu perbuatan yang batal dengan memakan hak milik orang lain berupa harta
yang terdapat dalam rekening seseorang.
Pengambilan hak milik orang lain yang dilakukan oleh pelaku carding
dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan orang lain terutama
pemilik, sifat tersebut merupakan sifat dari pencurian yang merupakan
tindakan mengambil barang orang lain secara sembunyi-sembunyi. Menurut
Sayyid Sabiq, suatu perbuatan pencurian terdapat beberapa komponen yaitu :
1) Adanya pencuri,
2) Adanya barang yang dicuri, dan

61
Sayyid Sabiq, Op.Cit. hlm 200
49

3) Adanya tempat penyimpanan barang yang dicuri62.


Ketiga komponen tersebut memiliki kejelasan yang membuat nyata bahwa
perbuatan tersebut merupakan perbuatan mencuri yang dapat dijatuhi
hukuman. Dalam kejahatan carding, perbuatan tersebut dilakukan oleh seorang
pelaku pencuri, adanya barang yang dicuri berupa saldo yang terdapat dalam
rekening seseorang, serta adanya tempat penyimpanan barang yang dicuri
tersebut yaitu dalam informasi elektronik yang dibentuk oleh bank melalui
kartu debit atau kredit.
Tindakan pencurian telah disepakati oleh ulama bahwa tindakan tersebut
termasuk ke dalam salah satu dari tujuh jenis jarimah hudud karena secara
tegas dinyatakan oleh Al-Quran melalui Surat Al-Maidah ayat 38 yang
berbunyi :

Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah


tangan keduanya sebagai pembalasan terhadap apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

62
Ibid, hlm 206
BAB III

ANALISIS PASAL 32 DAN PASAL 48 TENTANG UNSUR-


UNSUR DAN SANKSI TINDAK PIDANA CARDING
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM

A. Unsur-Unsur dan Sanksi Tindak Pidana Carding Dalam Pasal 32 dan


Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
1. Unsur-Unsur Tindak Pidana Carding Dalam Pasal 32 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
a. Unsur-Unsur Delik Dalam Hukum Pidana
Dalam usaha untuk menjabarkan suatu rumusan delik atau tindak
pidana ke dalam unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, maka hal
permulaan yang dapat ditemukan adalah disebutkannya suatu
perbuatan manusia yang dengan perbuatan tersebut maka seseorang
dianggap telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Menurut ilmu
hukum pidana, sesuatu perbuatan tersebut dapat merupakan “een
doen” atau “een niet doen” yang memiliki makna “dalam hal
melakukan sesuatu” atau “dalam hal tidak melakukan sesuatu” atau
hal yang disebutkan terakhir tersebut juga di dalam doktrin dapat
disebut dengan istilah “een nalaten” yang memiliki makna “dalam hal
mengalpakan sesuatu yang diwajibkan (oleh undang-undang)”63.
Maka dari itu tindak pidana pada dasarnya merupakan suatu tindakan
dalam hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang
melanggar ketentuan pidana dalam suatu perundang-undangan serta
diancam oleh sanksi, sanksi tersebut secara umum dapat dijatuhkan

63
P.A.F Lamintang, (1997). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti :
Bandung. hlm 193

50
51

terhadap perbuatan yang memenuhi unsur-unsur dalam rumusan delik


yang bersangkutan.
Suatu delik atau tindak pidana yang diatur dalam KUHP yang
berlaku di Indonesia ataupun yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan di luar KUHP secara umum dapat dijabarkan ke dalam
unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua)
macam unsur, yaitu64 :
1) Unsur-Unsur Subjektif
Maksud dari unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang
terdapat dalam diri seorang pelaku tindak pidana atau yang
berhubungan dengan diri seorang pelaku tindak pidana, termasuk
di dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam maksud
yang terdapat di dalam hatinya. Maka unsur-unsur subjektif ini
menitikberatkan pada diri pelaku tindak pidana.
Unsur-unsur subjektif meliputi beberapa macam, yaitu :
a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa),
b) Maksud (voornemen) pada suatu percobaan (poging) seperti
yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
c) Macam-macam maksud (oogmerk) seperti dalam rumusan
tindak pidana pencurian, penipuan, pemalsuan, pemerasan,
dan lain-lain,
d) Merencanakan terlebih dahulu (voordebachte raad) seperti
dalam rumusan delik pembunuhan menurut Pasal 340
KUHP,
e) Perasaan takut (vrees) seperti dalam rumusan suatu delik
menurut Pasal 308 KUHP.
2) Unsur-Unsur Objektif
Maksud dari unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang
ada hubungannya dengan suatu keadaan-keadaan dalam tindakan

64
Ibid, hlm 193-194
52

yang dilakukan oleh seorang pelaku atau suatu keadaan yang


menyatakan tindakan dari pelaku tersebut harus dilakukan.
Unsur-unsur objektif meliputi beberapa macam, antara lain :
a) Adanya sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid),
b) Kualitas pelaku seperti “keadaan sebagai seorang pegawai
negeri” sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 415
KUHP,
c) Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai
penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
b. Penjabaran Unsur-Unsur Tindak Pidana Carding Dalam Pasal 32
Setelah diuraikan mengenai unsur-unsur dalam suatu tindak
pidana secara umum, maka sampailah kepada uraian mengenai
penjabaran unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 32 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai pasal yang
menjadi dasar dalam menjerat pelaku tindak pidana carding. Adapun
rumusan dalam Pasal 32 UU ITE tersebut berbunyi :
Pasal 32 Ayat (1) : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah,
mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan,
memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.

Pasal 32 Ayat (2) : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum dengan cara apapun memindahkan atau mentransfer
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem
Elektronik Orang lain yang tidak berhak.

Pasal 32 Ayat (3) : Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat
diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana
mestinya.

Dalam rumusan pasal 32 di atas, dapat diidentifikasi mengenai


unsur-unsur yang apabila terpenuhi dalam suatu perbuatan maka
perbuatan tersebut dapat dianggap sebagai perbuatan yang melanggar
53

ketentuan dalam pasal 32 tersebut. Maka seorang pelaku kejahatan


carding dapat dijerat oleh pasal 32 apabila memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut :
1) Setiap Orang,
2) Dengan Sengaja,
3) Tanpa Hak,
4) Melawan Hukum,
5) Dengan Cara Apapun,
6) Mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi,
merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan
suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik
Orang lain atau milik publik (ayat 1),
7) Memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang
tidak berhak (ayat 2),
8) Mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses
oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana
mestinya (ayat 3).
Berikut merupakan penjabaran dari setiap unsur yang terdapat dalam
Pasal 32 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik :
1) Unsur Setiap Orang
Unsur setiap orang merupakan unsur pelaku dari tindak
pidana, pelaku dalam tindak pidana merujuk pada manusia
sebagai subjek. Unsur setiap orang memiliki kedudukan penting
dalam pertanggungjawaban pidana. Secara umum, menurut
Mahrus Ali dikatakan bahwa dalam KUHP yang dapat menjadi
subjek dari tindak pidana adalah manusia “natuurlijk person”65,

65
Mahrus Ali, (2011). Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika : Jakarta. hlm 111.
54

hal ini dapat dilihat dari berbagai rumusan pasal yang biasanya
diawali dengan kata “barangsiapa” atau “setiap orang” yang
secara harfiah merujuk pada makna manusia perseorangan.
Sedangkan badan hukum belum diakui sebagai subjek tindak
pidana dalam KUHP. Pengecualiannya adalah badan hukum
dapat termasuk ke dalam subjek tindak pidana jika terdapat
ketentuan dalam undang-undang pidana di luar KUHP yang
menyatakan bahwa badan hukum termasuk ke dalam subjek
tindak pidana dan termasuk ke dalam makna dari “barangsiapa”
atau “setiap orang”66, sebagaimana makna dari unsur setiap orang
yang disinggung dalam Pasal 1 Ayat 21 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 Tentang Infromasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam pasal tersebut yang dimaksud dengan “orang” adalah
orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara
asing, maupun badan hukum.
Maka dari itu, unsur setiap orang yang dapat dianggap
sebagai subjek tindak pidana sebagaimana yang terdapat dalam
Pasal 32 Ayat 1 (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mencakup
manusia sebagai perseorangan (natuurlijk person) dan badan
hukum (rechtperson). Maka dapat diambil kesimpulan bahwa
yang dapat dianggap sebagai seorang pelaku tindak pidana
carding yang dapat dijerat oleh Pasal 32 UU ITE adalah apabila
kejahatan carding tersebut dilakukan oleh orang dalam artian
perseorangan maupun oleh badan hukum.
2) Unsur Dengan Sengaja
Unsur “dengan sengaja” merupakan unsur yang merupakan
penegasan dari konsep mengenai kesengajaan (opzet) dalam

66
Rony A. Walandouw, (2020). Unsur Melawan Hukum yang Subjektif Dalam Tindak Pidana
Pencurian Pasal 32 KUHP, Jurnal Lex Crimen Universitas Sam Ratulangi Vol IX No 3 : Manado.
hlm 252.
55

tindak pidana. Mengenai ”kesengajaan” tersebut, di dalam


Memory van Toelichting (MvT) atau penjelasan resmi dari KUHP
Belanda disebutkan bahwa yang dimaksud “kesengajaan” berarti
“menghendaki” dan “mengetahui” (willen en wetens)67. Makna
“willen en wetens” tersebut menunjukan arti bahwa seorang
pelaku tindak pidana dapat dianggap telah melakukan
perbuatannya dengan sengaja apabila dia memang benar-benar
menghendaki untuk melakukan kejahatan tersebut serta dia
mengetahui sebenar-benarnya mengenai maksud dari
perbuatannya tersebut68.
Maka yang dimaksud dengan unsur dengan sengaja
sebagaimana yang dicantumkan dalam rumusan Pasal 32 Ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik mengartikan bahwa untuk
dapat dianggapnya seseorang yang melakukan perbuatan
mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi,
merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan
suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik
orang lain atau milik publik (Ayat 1) serta perbuatan
memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik orang lain yang
tidak berhak (Ayat 2) sebagai pelaku tindak pidana carding yang
secara sah melanggar ketentuan dalam rumusan pasal tersebut
apabila perbuatan yang dilakukannya secara meyakinkan dalam
dirinya telah menghendaki untuk melaksanakan perbuatan
tersebut dan telah mengetahui mengenai maksud serta tujuan dari
perbuatan yang dilakukan oleh dirinya serta dia juga telah
menyadari bahwa melalui perbuatan yang dilakukannya tersebut
akan menimbulkan suatu akibat yang terlarang.

67
Leden Marpaung, (2005). Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika : Jakarta. hlm 44.
68
P.A.F Lamintang, (1997). Op.Cit, hlm 282.
56

3) Unsur Tanpa Hak


Frasa “hak” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan,
kekuasaan untuk berbuat sesuatu69. Artinya frasa “hak”
merupakan keadaan seseorang yang memiliki kekuasaan atau
kewenangan terhadap sesuatu hal.
Maka yang dimaksud dengan unsur tanpa hak yang terdapat
dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah unsur
yang menyatakan bahwa pada diri seseorang yang melakukan
tindak pidana carding, dia tidak memiliki kewenangan atau
kekuasaan dalam melakukan tindakan mengubah, menambah,
mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan,
memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik
(Ayat 1) dan tidak memiliki kewenangan atau kekuasaan dalam
memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik orang lain yang
tidak berhak (Ayat 2).
Namun, tindakan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 32
Ayat (1) dan (2) UU ITE di atas dapat dikatakan sebagai tindakan
yang dapat dibenarkan dan tidak melanggar ketentuan dalam
Pasal 32 UU ITE tersebut ketika seseorang berada dalam keadaan
“memiliki hak” atau disebut dengan keadaan memiliki
kewenangan dan kekuasaan terhadap suatu Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik seperti melalui bentuk
kepemilikan suatu informasi dan dokumen elekronik yang sah
atau atas dasar hak lainnya yang dapat membenarkan tindakan

69
Tim Penyusun Kamus Pusat, (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai
Pustaka : Jakarta. hlm 427
57

yang dilakukan seseorang terhadap suatu informasi atau dokumen


elektronik tersebut.
Dengan demikian, seseorang dapat dianggap sebagai carder
atau seorang pelaku tindak pidana carding yang dapat dijatuhi
sanksi pidana apabila telah melakukan tindakan sebagaimana
dalam Pasal 32 Ayat (1) dan (2) secara tidak didasari kewenangan
yang dapat membenarkan tindakannya tersebut.
4) Unsur Melawan Hukum
Dalam hukum pidana, ajaran mengenai sifat melawan
hukum memiliki kedudukan penting dalam membuktikan
kesalahan seseorang. Unsur melawan hukum atau dalam hukum
pidana dikenal dengan istilah “wederrechtelijkheid” memiliki arti
“in strijd met het recht” yang bermakna bertentangan dengan
hukum70. Bahkan menurut Profesor Simons sebagaimana yang
dikutip oleh Drs. P.A.F Lamintang dalam bukunya, makna
wederrechtelijk tidak hanya diartikan sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan hukum dalam artian sempit saja, namun sifat
bertentangan dengan hukum tersebut juga dalam pengertiannya
bermakna sebagai sesuatu yang bertentangan dengan hak
seseorang71.
Sifat melawan hukum mengandung arti bahwa seseorang
dapat dianggap sebagai seorang pelaku tindak pidana dan dapat
dijatuhi sanksi pidana apabila perbuatan yang dilakukannya telah
memenuhi semua unsur dalam suatu rumusan mengenai delik
pidana atau dalam artian lain bahwa dalam keadaan semua unsur
dalam suatu rumusan delik pidana telah terpenuhi oleh suatu
perbuatan, maka seseorang yang melakukan perbuatan tersebut
dianggap telah melanggar ketentuan pidana yang berlaku atau

70
P.A.F Lamintang, (1997). Op.Cit, hlm 347
71
Ibid, hlm 349
58

disebut dengan melawan hukum72. Bahkan, unsur melawan


hukum bukan hanya dalam hal suatu perbuatan bertentangan
dengan suatu rumusan delik secara tertulis saja, namun makna
unsur melawan hukum juga termasuk di dalamnya adalah
perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral yang
berlaku dalam suatu masyarakat.
Pencantuman unsur melawan hukum dalam rumusan delik
pidana yang salah satunya juga dicantumkan dalam Pasal 32 UU
ITE bukanlah tanpa maksud. Dalam Memory van Toelicting
(MvT), disebutkan bahwa penyebutan wederrechtelijk di dalam
beberapa rumusan delik pidana adalah dengan maksud agar
menghilangkan ketidakpastian bagi seseorang yang akan
melakukan suatu perbuatan berdasarkan hak yang mereka miliki
karena perbuatan tersebut telah dirumuskan dalam suatu undang-
undang pidana dan dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang
dilarang dan diancam oleh sanksi73. Sebagaimana halnya di dalam
rumusan Pasal 32 UU ITE bahwa perbuatan sebagaimana yang
tercantum dalam ayat (1) dan ayat (2) tersebut apabila dilakukan
oleh seseorang secara tidak melawan hukum, maka melakukan
perbuatan tersebut tidak akan dijatuhi oleh sanksi pidana, dan
melakukan perbuatan tersebut dianggap sah-sah saja. Maka unsur
melawan hukum dicantumkan untuk menyatakan secara tegas
bahwa melakukan perbuatan dalam pasal tersebut dapat dianggap
sebagai perbuatan yang melanggar rumusan delik dan dapat
dijatuhi sanksi pidana, apabila dilakukan secara melawan hukum.
Dengan demikian, unsur melawan hukum dalam rumusan
Pasal 32 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik mengandung arti bahwa

72
Idi Amin, (2018). Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Ilmu Hukum
Universitas Mataram Vol 33 No 1 : Mataram. hlm 4
73
P.A.F Lamintang, (1997). Op.Cit, hlm 381
59

perbuatan seseorang dalam melakukan transaksi secara online


dengan menggunakan kartu kredit dapat dianggap sebagai
perbuatan yang termasuk ke dalam kejahatan carding apabila
telah memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan pasal
tersebut yang berarti bahwa perbuatan tersebut telah melanggar
ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 32 UU ITE di atas
sehingga pelaku dapat dijatuhi dengan sanksi pidana.
5) Unsur Dengan Cara Apapun
Unsur ini berkaitan dengan cara atau modus yang dilakukan
oleh seorang carder dalam melakukan kejahatannya. Frasa
“dengan cara apapun” mengartikan bahwa perbuatan
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 32 UU ITE dalam hal
mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi,
merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan
suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik
Orang lain atau milik publik (ayat 1) dan memindahkan atau
mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak (ayat 2)
dilakukan dengan segala bentuk cara untuk dapat terlaksananya
kejahatan carding yang berakibat pada pelanggaran ketentuan
hukum dalam Pasal 32 UU ITE di atas. Hal tersebut telah
dibuktikan dengan berbagai macamnya cara yang dilakukan oleh
pelaku kejahatan carding sebagaimana yang telah diuraikan
dalam bab yang membahas tinjauan pustaka mengenai tindak
pidana carding sebelumnya.
6) Unsur Menambah, Mengurangi, Melakukan Transmisi, Merusak,
Menghilangkan, Memindahkan, Menyembunyikan Suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang
Lain atau Milik Publik (ayat 1)
Perbuatan-perbuatan sebagaimana yang terdapat dalam
Pasal 32 Ayat 1 UU ITE di atas termasuk ke dalam ruang lingkup
60

perbuatan yang dapat dijerat oleh Pasal 32 UU ITE Ayat (1)


tersebut. Kemudian yang dijadikan sebagai objek dalam
perbuatan-perbuatan tersebut adalah suatu informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau yang
informasi dan dokumen elektronik yang bersifat publik.
Terdapat pemahaman dalam ayat di atas bahwa mengenai
unsur perbuatan sebagaimana dalam Pasal 32 Ayat 1 UU ITE
tersebut tidak harus dipenuhi secara keseluruhan. Artinya
walaupun seseorang melakukan kejahatan dengan hanya berbuat
salah satu dari macam-macam perbuatan dalam ayat tersebut serta
yang menjadi objeknya hanya terhadap informasi dan dokumen
elektronik milik orang lain yang bersifat privat, maka dia tetap
dapat dianggap telah memenuhi unsur perbuatan sebagaimana
yang telah dimaksudkan. Sebagaimana dalam kejahatan carding,
yang menjadi objeknya adalah informasi dan dokumen elektronik
milik orang lain secara individu bukan dokumen yang bersifat
publik, namun rumusan ayat satu tersebut tetap dapat menjerat
seorang carder.
7) Unsur memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang
lain yang tidak berhak (ayat 2)
Unsur ini juga senada dengan unsur yang terdapat dalam
Pasal 32 Ayat (1) UU ITE dalam pembahasan sebelumnya yaitu
mengenai unsur perbuatan yang dilakukan oleh seorang pelaku
melalui perbuatan seperti memindahkan atau mentransfer
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem
elektronik orang lain yang tidak berhak. Memindahkan diartikan
sebagai suatu perbuatan meletakkan sesuatu hal ke tempat lain74.
Perbuatan memindahkan dapat dilakukan apabila diketahui

74
Diakses melalui https://kbbi.web.id pada tanggal 11 Juni 2022 Pukul 17.50 WIB.
61

terlebih dahulu keberadaan objek tersebut diletakkan,


pengetahuan mengenai tempat keberadaan objek sesuatu hal
tersebut dilakukan dengan berbagai cara. Dalam hal kejahatan
kartu kredit, kartu kredit serta rekening bank sebagai informasi
elektronik merupakan suatu tempat penyimpanan. Maka
perbuatan memindahkan atau mentransfer sesuatu hal yang
terdapat di dalam informasi elektronik tersebut termasuk ruang
lingkup perbuatan yang termasuk ke dalam kejahatan carding.
8) Unsur mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi
dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak
sebagaimana mestinya (ayat 3)
Unsur yang terdapat pada Pasal 32 Ayat (3) UU ITE ini
berkaitan dengan unsur akibat yang ditimbulkan dari perbuatan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 32 Ayat (1) UU ITE
yaitu terbukanya informasi elektronik atau dokumen elektronik
yang bersifat rahasia atau pribadi yang seharusnya data yang
terdapat pada suatu informasi atau dokumen elektronik tersebut
tidak boleh diketahui oleh orang lain, namun menjadi suatu
informasi yang dapat diakses oleh orang lain yang menimbulkan
adanya suatu perubahan terhadap keutuhan data yang terdapat
dalam suatu informasi atau dokumen elektronik berupa
penghilangan data atau sejenisnya.
2. Sanksi Tindak Pidana Carding Dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
a. Sanksi Dalam Hukum Pidana
Berdasarkan KUHP yang berlaku di Indonesia, dikenal beberapa
jenis sanksi yang dapat diberlakukan terhadap pelanggaran suatu delik
pidana. Tepatnya dalam rumusan Pasal 10 KUHP yang menyatakan
62

bahwa pidana terbagi ke dalam dua jenis yaitu Pidana Pokok dan
Pidana Tambahan75. Pidana Pokok terdiri dari :
1) Pidana Mati
Dalam KUHP dijelaskan bahwa pidana mati dilaksanakan
dengan cara digantung dengan menggunakan sebuah jerat di leher
terpidana serta mengikatkan jerat tersebut pada tiang gantungan.
Namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor
2/PNPS/Tahun 1964 yang dinyatakan sebagai Penetapan
Presiden yang sesuai dengan hati nurani rakyat dan oleh sebab itu
tetap dinyatakan berlaku dan menjadi undang-undang76, maka
metode pelaksanaan pidana mati di Indonesia dilaksanakan
dengan cara ditembak mati.
2) Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan jenis hukuman dalam bentuk
perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan bergerak
dari seorang terpidana dengan menempatkannya di Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas)77. Pidana penjara merupakan jenis
sanksi yang paling banyak dicantumkan baik dalam rumusan
tindak pidana KUHP atau dalam rumusan delik dalam undang-
undang di luar KUHP.
3) Pidana Kurungan
Pidana Kurungan merupakan salah satu jenis sanksi pidana
yang sejenis dengan pidana penjara berupa bentuk perampasan
kemerdekaan dan kebebasan seseorang namun sifatnya lebih
ringan dari pidana penjara. Perbedaannya dengan pidana penjara
adalah dalam pidana kurungan terdapat sifat yang disebut dengan

75
Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
76
Efryan R. T. Jacob, (2017). Pelaksanaan Pidana Mati Menurut Undang-Undang Nomor
2/PNPS/1964, Jurnal Lex Crimen Vol VI No 1, Universitas Sam Ratulangi : Manado. hlm 102
77
Dwidja Priyatno, (2009). Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Penerbit Refika
Aditama : Bandung. hlm 71-72
63

Custodia Simplex yang berarti suatu perampasan terhadap jenis


delik pelanggaran78.
4) Pidana Denda
Pidana denda merupakan salah satu jenis hukuman dengan
memberikan penderitaan atau nestapa terhadap terpidana melalui
harta benda yang dibayarkan kepada negara. Mayoritas
menganggap pidana denda merupakan sebuah solusi untuk
mengganti pidana badan yang sama halnya dapat mendorong
terciptanya ketertiban hukum bagi masyarakat.
Selain adanya pidana pokok bagi barangsiapa yang melanggar
ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHP atau yang
diatur di luar KUHP, juga diatur mengenai pidana tambahan, adapun
jenis-jenis pidana tambahan adalah sebagai berikut :
1) Pencabutan Hak-Hak Tertentu
2) Perampasan Barang-Barang Tertentu
3) Pengumuman Putusan Hakim
b. Penjabaran Sanksi Tindak Pidana Carding Dalam Pasal 48
Pengaturan sanksi pidana diperlukan untuk menyelesaikan dan
membulatkan sistem yang diatur serta merupakan komplemen yang
tidak digunakan dari pemberian wewenang kepada pemerintah. Maka
dari itu melalui perundang-undangan, pemerintah dan pembuat
undang-undang mengusahakan untuk merubah watak masyarakat agar
lebih terakomodir sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Sesuai
dengan perkembangan hukum nasional sejak abad ke-20 ini bahwa
negara telah sempurna menjadi government social control yang
berfungsi sebagai tool of social engineering79.
Maka terhadap kejahatan carding yang melanggar ketentuan
dalam Pasal 32 UU ITE, diberlakukan sanksi pidana sebagai bentuk

78
Farid A. Z dan Andi Hamzah, (2011). Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik, Rajawali Pers :
Jakarta. hlm 289
79
Syaiful Bakhri, (2002). Penggunaan Pidana Denda Dalan Perundang-undangan, Jurnal Hukum
Vol 9 No 21. hlm 50
64

penderitaan terhadap pelaku kejahatan carding atas perbuatannya


yang telah menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak korban dan juga
menimbulkan keresahan dan kekhawatiran bagi masyarakat, serta
sebagai bentuk kontrol sosial guna mencapai keteraturan dalam hidup
bernegara dan bermasyarakat. Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik bahwa bentuk hukuman yang dijatuhkan
terhadap pelaku kejahatan carding adalah sebagai berikut :
Pasal 48 Ayat (1) : “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”,

Pasal 48 Ayat (2) : “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”,

Pasal 48 Ayat (3) : “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.

Apabila diidentifikasi pada semua ayat yang terdapat dalam


rumusan Pasal 48 UU ITE tersebut, pembuat undang-undang
menentukan dua jenis sanksi yang dapat diterapkan yaitu pidana
penjara dan bersanding dengan pidana denda sebagai sanksi bagi
pelaku kejahatan carding yang melanggar ketentuan dalam Pasal 32
UU ITE. Namun yang menjadi perhatian khusus adalah bahwa pada
semua ayat dalam Pasal 48 tersebut, baik terhadap pidana penjara atau
pidana denda yang dirumuskan tersebut tidak diikuti dengan
pengaturan batas minimum pidana yang dapat dijatuhkan. Maka hal
tersebut mengindikasikan seorang hakim dapat bergerak bebas di
antara batas maksimal yang diatur dalam Pasal 48 UU ITE tersebut
dengan batas minimum yang diatur dalan undang-undang secara
65

umum yaitu minimum 1 (satu) hari untuk pidana penjara80 serta denda
Rp.250 untuk pidana denda. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai
sebuah kekurangan dalam pengaturan sanksi dalam pasal tersebut,
namun di sisi lain dengan fakta tersebut seorang hakim dituntut untuk
sadar akan pentingnya mencapai keadilan bagi masyarakat dengan
menilai batasan pidana yang sebanding dengan perbuatan yang
dilakukan.
B. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Unsur-Unsur dan Sanksi
Tindak Pidana Carding Dalam Pasal 32 dan Pasal 48 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik
Tindak pidana carding tidak dibahas secara khusus dalam pembahasan
fiqih jinayah, namun konsepsi dalam fiqih jinayah atau hukum pidana islam
dapat memungkinkan untuk menemukan jawaban serta kepastian hukum
terhadap permasalahan kejahatan carding yang saat ini marak terjadi.
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam hukum pidana
islam terdapat klasifikasi mengenai jenis-jenis jarimah yang terbagi ke dalam
tiga macam yaitu Jarimah Qisas, Jarimah Hudud, dan Jarimah Takzir. Apabila
unsur-unsur dan sanksi yang terdapat dalam Pasal 32 dan Pasal 48 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
ditinjau berdasarkan konsepsi jarimah dalam hukum pidana islam tersebut,
maka akan menghasilkan pembahasan sebagaimana yang akan diuraikan
sebagai berikut :
1. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Unsur-Unsur Tindak Pidana
Carding Dalam Pasal 32 UU ITE
Perbuatan carding pada dasarnya merupakan tindakan melawan
hukum yang dilakukan oleh seseorang yang menimbulkan kerugian bagi
pihak lain. Tindakan melawan hukum dalam carding dilakukan dalam hal
melakukan transaksi dengan menggunakan rekening dalam kartu kredit

80
Lihat Pasal 12 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
66

milik orang lain tanpa sepengetahuan pemilik. Artinya di dalam carding


terdapat perbuatan mengambil kepemilikan orang lain di dalam kartu
kredit dengan pemanfaatan akses internet untuk mendapatkan akses ke
dalam kartu kredit tersebut tanpa sepengetahuan pemilik. Perbuatan
mengambil kepemilikan orang lain tersebut pada dasarnya termasuk ke
dalam tindak pidana pencurian. Maka perbuatan carding yang termasuk ke
dalam kategori pencurian tersebut, dalam hukum pidana islam dapat
dikategorikan ke dalam salah satu bentuk jarimah hudud, yaitu jarimah
sariqah atau pencurian.
As-Sariqah atau pencurian didefinisikan sebagai tindakan mengambil
harta orang lain dari tempat penyimpanannya yang semestinya secara
diam-diam dan sembunyi-sembunyi81. Maka berdasarkan definisi tersebut
yang juga menurut Sayyid Sabiq bahwa yang dimaksud dengan perbuatan
pencurian adalah perbuatan seorang pelaku yang memenuhi unsur-unsur
antara lain adalah82 :
1) Mengambil Milik Orang Lain,
2) Cara mengambilnya dengan sembunyi-sembunyi,
3) Kepunyaan orang lain tersebut berada dalam tempat penyimpanan.
Apabila unsur-unsur tersebut diuraikan serta dihubungkan dengan
unsur-unsur tindak pidana carding dalam Pasal 32 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka
penjelasannya adalah sebagai berikut :
1) Unsur Mengambil Milik Orang Lain
Di dalam unsur mengambil milik orang lain tersebut memiliki dua
komponen sebagai suatu syarat, yaitu pelaku sebagai orang yang
mengambilnya dan harta sebagai kepunyaan orang lain yang diambil
oleh pelaku. Mengenai pelaku, seorang pelaku pencurian dapat
dijatuhi sanksi hudud dalam jarimah sariqah apabila memenuhi

81
Wahbah Az-Zuhaili, (1985). Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 7, Terjemah Penerbit Gema Insani,
Darul Fikir : Damaskus. hlm 369
82
Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm 203
67

syarat-syarat ahliyyah (kelayakan dan kepatutan) untuk dijatuhi sanksi


hudud. Menurut Wahbah Az-Zuhaili yang menjadi syarat-syarat
ahliyah seorang pelaku pencurian adalah berakal, baligh, melakukan
pencurian atas kehendak diri sendiri tanpa adanya intervensi dan
paksaan dari orang lain, dan mengetahui bahwa hukum mencuri
adalah haram83. Maka dari itu, terhadap pencurian yang dilakukan
oleh anak kecil dan orang gila tidak dapat dianggap memenuhi syarat
pelaku dalam jarimah sariqah. Sebagaimana dalam hadits nabi :

‫ع ِن ال امجْ نُ ْو ِن احتاى اي ْع ِق ال‬


‫ص ِبي ِ احتاى ايحْ تا ِل ام او ا‬
‫ع ِن ال ا‬ ‫ُرفِ اع ْالقالا ُم ا‬
‫ع ْن ثا اَلثاة ا‬
‫اء ِم احتاى اي ْستا ْي ِق ا‬
‫ظ‬ ِ ‫ع ِن ال ان‬
‫او ا‬
“Pentaklifan tidak diterapkan pada tiga orang, yaitu anak kecil
hingga ia baligh, orang gila hingga ia sembuh, dan orang yang tidur
hingga ia terbangun84”.
Kemudian menurut Sayyid Sabiq, mengenai “islam” tidak
menjadi syarat yang dapat dianggap sebagai pelaku pencurian85. Maka
terhadap orang kafir dzimmi atau orang murtad yang mencuri, mereka
tetap dapat dianggap memenuhi syarat pelaku yang memenuhi unsur
mengambil milik orang lain dalam jarimah sariqah.
Selanjutnya mengenai harta yang menjadi kepunyaan orang lain
yang diambil oleh pelaku. Maksud dari harta adalah sesuatu yang
memang dicari oleh manusia dan mereka menganggapnya sebagai
harta dan harta ini merupakan milik orang lain dan tidak ada unsur
syubhat di dalamnya, apabila pelaku memiliki hak syubhat dalam
harta tersebut, maka pelaku tidak termasuk ke dalam kategori jarimah
sariqah yang dijatuhi sanksi hudud. Islam memberikan beberapa
syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu untuk memenuhi unsur
mengambil milik orang lain yang termasuk dalam kategori jarimah
sariqah, antara lain :

83
Wahbah Az-Zuhaili, (1985). Op.Cit, hlm 378
84
Ibid
85
Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm 207
68

a. Milik orang lain yang diambil oleh pelaku tersebut adalah berupa
harta yang memiliki nilai (mutaqawwim)86
Maksud dari harta yang bernilai adalah sesuatu yang
memiliki nilai yang apabila orang melakukan pelanggaran
terhadapnya dengan merusakannya maka hal tersebut harus
ditanggung untuk diganti. Dalam tindak pidana carding, maka
uang yang menjadi objek yang diambil oleh pelaku dari rekening
dan kartu kredit seseorang merupakan suatu harta yang memiliki
nilai (mutaqawwim). Imam Sayyid Sabiq juga menambahkan
bahwa harta yang bernilai tersebut juga harus dapat dipindah
milikkan kepada orang lain.
b. Harta yang dicuri harus mencapai nishab pencurian
Terdapat beberapa pandangan dari fuqaha dalam menentukan
nishab dari pencurian. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
kadar nishab pencurian adalah sesuatu yang senilai dengan 10
dirham atau satu dinar, hal ini berdasarkan hadits dari Abdullah
bin Umar sebagaimana yang disabdakan nabi bahwa :

‫ع ْش ارةِ دا ارا ِه ام‬ ْ ‫اَل قا‬


‫ط اع فِ ْي اما د ُْونا ا‬
“Tidak ada potong tangan dalam kasus pencurian yang masih di
bawah sepuluh dirham” H.R Ahmad87.
Sementara itu, jumhur ulama berpendapat bahwa nishab
pencurian adalah seperempat dinar syar’i atau tiga dirham syar’i.
Bagi ulama Malikiyyah dan Hanabilah, penaksiran nilai untuk
barang curian selain emas dan perak adalah dengan menggunakan
patokan tiga dirham, sedangkan penaksiran menurut Ulama
Syafi’iyyah adalah menggunakan patokan seperempat dinar.
Pendapat jumhur ulama ini berdasarkan hadits dari Aisyah r.a :

86
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Juzay Al-Kalbi, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, Maktaba Assrya,
hlm 359
87
Al-Haitsami, (1988). Majma’ Al-Zawaid, Juz 6, Darul Fikr. hlm 273
69

‫ط ُع ْال ايدُ ف ْي ُرب ِْع ِد ْيناار فا ا‬


‫صا ِعدا‬ ‫ت ُ ْق ا‬
“Tangan seorang pencuri dipotong dalam kasus pencurian
seperempat dinar ke atas” H.R Ahmad, Bukhari, Muslim88.
Maka dari itu, dalam unsur mengambil milik orang lain dalam
jarimah sariqah, terdapat persamaan sifat dengan beberapa unsur
sebagaimana dalam Pasal 32 UU ITE yaitu unsur setiap orang sebagai
unsur pelaku yang berbuat mengambil milik orang lain, unsur dengan
sengaja karena pelaku menghendaki perbuatannya dan mengetahui
maksud dari perbuatannya tersebut, unsur tanpa hak karena harta yang
diambil merupakan milik orang lain yang berarti pelaku tidak
memiliki hak terhadapnya, dan unsur perbuatan atau cara yang
dilakukan oleh pelaku yaitu sebagaimana dalam Pasal 32 Ayat (1) dan
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik karena frasa “mengambil” dalam unsur
mengambil milik orang lain di atas memiliki makna memegang
sesuatu lalu dibawa (diangkat, digunakan, disimpan, dan
sebagainya)89 yang juga termasuk bahwa perbuatan seperti
mentransfer, memindahkan, mengurangi, dan lain-lain merupakan
perbuatan yang didahului oleh perbuatan “mengambil”.
2) Unsur Cara Mengambilnya Dengan Sembunyi-Sembunyi
Dalam jarimah sariqah, pengambilan harta milik orang lain
tersebut dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi sehingga pemilik
harta (korban) tidak mengetahui perbuatan dari pelaku dan tidak
mampu menjaga barangnya tersebut. Perbuatan yang dilakukan
dengan cara sembunyi-sembunyi tersebut merupakan perbuatan
melawan hukum karena pengambilan barang dilakukan tanpa
sepengetahuan dan tanpa izin dari pelaku.

88
Wahbah Az-Zuhaili. Op.Cit, hlm 381
89
Diakses melalui https://kbbi.web.id/ambil.html pada tanggal 18 Juni 2022 Pukul 20.23 WIB
70

Maka dalam tindak pidana carding, unsur ini senada dengan


unsur melawan hukum karena memang perbuatan yang dilakukan
oleh pelaku yaitu perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
3) Unsur Kepunyaan Orang Lain Tersebut Berada Dalam Tempat
Penyimpanan
Tempat penyimpanan secara syariat disebut dengan istilah al-
hirzu yang secara bahasa bermakna tempat penyimpanan dan menjaga
sesuatu. Sedangan secara istilah, al-hirzu adalah sesuatu yang
biasanya didirikan untuk menjaga dan menyimpan harta90. Untuk
menentukan apakah tempat penyimpanan atau penjagaan itu sudah
semestinya atau belum, maka ini dikembalikan kepada kebiasaan,
syara’ dan bahasa tidak menguraikannya. Hal tersebut senada dengan
kaidah ushul :
ُ‫ْالعااداة ُ ُم اح اك امة‬
“Kebiasaan menjadi hukum”
Tempat penyimpanan dan penjagaan itu berbeda-beda menurut
jenis barangnya, untuk mengetahui itu perlu untuk kembali kepada
kebiasaan. Karena terkadang ada sesuatu yang pantas dan layak
menjadi tempat penyimpanan pada suatu saat dan tidak pantas pada
suatu saat yang lain91. Jika merujuk pada penjelasan dalam kitab fikih
sunnah tersebut, maka perkembangan teknologi saat ini menjadi
sebuah kebiasaan yang perlu untuk dimaklumi.
Sehingga saat ini sangat memungkinkan untuk menjadikan kartu
kredit atau rekening seseorang yang menjadi suatu informasi atau
dokumen elektronik sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 32
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik sebagai tempat penyimpanan suatu barang yaitu
uang yang memenuhi unsur al-hirzu.

90
Ibnu Rusyd Al-Qurtubi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz 2, Darul Kitab Al-
Ulumiyah, hlm 440
91
Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm 215-216
71

2. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Tindak Pidana Carding


Dalam Pasal 48 UU ITE
Dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa yang menjadi
sanksi pelaku tindak pidana carding yang melanggar ketentuan dalam
Pasal 32 adalah :
Pasal 48 Ayat (1) : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).

Pasal 48 Ayat (2) : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 48 Ayat (3) : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Sedangkan sebagaimana yang telah diuraikan mengenai tinjauan
hukum pidana islam terhadap unsur-unsur carding dalam Pasal 32 UU
ITE, maka terlihat nyatalah bahwa pelaku tindak pidana carding yang
memenuhi unsur dalam Pasal 32 dapat dikategorikan terhadap jarimah
sariqah yang dapat dijatuhi sanksi hudud. Jika sudah meyakinkan bahwa
perbuatan mencuri telah dilakukan oleh seseorang, maka menjadi wajib
sanksi hudud ditegakkan terhadap pelaku. Sanksi hudud dalam jarimah
sariqah adalah tangan dari pelaku pencurian tersebut dipotong,
sebagaimana firman Allah SWT :

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan


keduanya sebagai pembalasan terhadap apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.
72

Terdapat perbedaan yang nyata antara sanksi yang diberlakukan


dalam Pasal 48 UU ITE dengan sanksi dalam hukum pidana islam. Karena
pencurian atau sariqah merupakan tindak pidana yang disebutkan secara
jelas jenis dan sanksinya dalam nash, maka sanksi yang telah ditetapkan
tersebut tidak dapat berubah, yaitu dipotongnya tangan seorang pelaku
pencurian. Agama islam memberikan hukuman berat terhadap perbuatan
mencuri, yaitu hukum potong tangan. Dalam hukuman tersebut terdapat
hikmah yaitu bahwa tangan yang berkhianat dan mencuri itu adalah organ
yang sakit. Maka dari itu, tangan tersebut harus dipotong agar tidak
menular ke organ lainnya sehingga jiwa seseorang dapat selamat.
Pengorbanan salah satu organ demi keselamatan jiwa merupakan suatu hal
yang dapat diterima oleh akal dan agama92.

Hukuman potong tangan terhadap pelaku tindak pidana carding juga


dapat dijadikan sebagai peringatan bagi orang yang memiliki niat untuk
melakukan perbuatan tersebut supaya mengurungkan niatnya. Demikian
juga harta manusia dapat senantiasa terlindungi dari perbuatan carding
yang merampas harta milik orang lain tersebut. Hal ini tentu sejalan
dengan tujuan dari syariat islam dan juga memperhatikan aspek
kemaslahatan demi terciptanya ketertiban umum sehingga kehidupan
masyarakat menjadi sejahtera.

92
Ibid, hlm 200
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan dalam pembahasan pada bab
sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Pasal 32 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
atau yang disebut dengan UU ITE, dapat dijadikan aturan Lex Specialis
untuk menjerat pelaku tindak pidana carding atau kejahatan dalam
melakukan transaksi secara online dengan menggunakan kartu kredit milik
orang lain. Di dalam Pasal 32 terkandung mengenai unsur-unsur tindak
pidana carding yang apabila terpenuhi maka pelaku dapat diancam sanksi
pidana sebagaimana yang dirumuskan di dalam Pasal 48 UU ITE.
Adapun unsur-unsur tindak pidana carding yang teridentifikasi dalam
ketentuan Pasal 32 UU ITE adalah sebagai berikut :
1) Setiap Orang,
2) Dengan Sengaja,
3) Tanpa Hak,
4) Melawan Hukum,
5) Dengan Cara Apapun,
6) Mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik
publik (ayat 1),
7) Memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak
berhak (ayat 2),
8) Mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh
publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya (ayat 3).

73
74

Kemudian di dalam Pasal 48 UU ITE yang mengatur mengenai ketentuan


sanksi terhadap pelaku tindak pidana carding yang melanggar ketentuan
Pasal 32 UU ITE dapat diidentifikasi sebagai berikut :
Pasal 48 Ayat (1) : “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah)”,

Pasal 48 Ayat (2) : “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah)”,

Pasal 48 Ayat (3) : “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah)”.

2. Konsepsi Fiqih Jinayah sebagai pembahasan hukum pidana dalam agama


islam, telah mengatur ketentuan pidana secara jelas di dalam nash al-quran
maupun di dalam sunnah nabi. Konsepsi tersebut perlu dikembangkan
sebagai bentuk penyesuaian dengan keadaan zaman modern yang ditandai
dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, salah satunya yaitu
pengembangan pemahaman dalam menjawab permasalahan pidana
kontemporer yaitu tindak pidana carding.
Berdasarkan ketentuan unsur-unsur dan sanksi tindak pidana carding dalam
Pasal 32 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, maka konsepsi fiqih jinayah atau hukum pidana islam meninjau
bahwa unsur-unsur tersebut memenuhi unsur-unsur jarimah sariqah atau
pencurian dalam hukum pidana islam, adapun unsur-unsur pencurian dalam
hukum pidana islam yaitu :
1) Mengambil Milik Orang Lain,
2) Cara mengambilnya dengan sembunyi-sembunyi,
3) Kepunyaan orang lain tersebut berada dalam tempat penyimpanan.
75

Maka dari itu, apabila ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 32 UU ITE
mengenai unsur-unsur tindak pidana carding dapat memenuhi unsur-unsur
dalam jarimah sariqah, maka konsepsi hukum pidana islam meninjau
bahwa sanksi yang dapat dijatuhkan adalah sanksi had berupa potong
tangan, bukan berupa sanksi penjara atau denda sebagaimana yang terdapat
di dalam Pasal 48 UU ITE.
Adapun ketentuan sanksi potong tangan terhadap pelaku pencurian dalam
hukum pidana islam tersebut didasarkan pada dalil al-quran yang mengatur
mengenai sanksi jarimah sariqah yaitu Q.S Al-Maidah (38) :

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan


keduanya sebagai pembalasan terhadap apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.

B. Saran
1. Pengaturan pidana di Indonesia terhadap kejahatan dunia maya adalah
melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, salah satunya juga dapat menjerat pelaku tindak
pidana carding. Namun seiring perkembangan zaman yang begitu pesat
yang memberikan dampak perubahan secara massif terhadap segala aspek
kehidupan yang salah satunya juga memberikan dampak terhadap
munculnya modus kejahatan baru, perlu kiranya bagi pemerintah untuk
membentuk peraturan yang mengatur secara khusus mengenai kejahatan
kartu kredit sehingga terdapat peraturan yang lebih jelas dan memberikan
kepastian hukum yang khusus bagi para pelaku tindak pidana kartu kredit
(carding).
2. Negara Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah
muslim. Namun sebagai negara yang memiliki heterogenitas tinggi yang
76

salah satunya adalah dalam hal budaya dan agama, negara Indonesia tidak
menganut sistem hukum islam secara menyeluruh. Terutama dalam ranah
hukum pidana yang tidak diterapkan dan diberlakukan bagi seluruh wilayah
di Indonesia. Namun sebagai seorang muslim dan kaum pelajar muslim,
perlu kiranya untuk senantiasa mempelajari dan memahami konsepsi hukum
islam secara menyeluruh, salah satunya dalam ranah pidana walaupun di
Indonesia tidak menerapkan ketentuan dalam hukum pidana islam. Hal
tersebut dipandang perlu untuk menambah wawasan dan kemampuan
analisis kita terhadap segala bentuk kejahatan baru yang salah satunya
adalah tindak pidana carding, serta dikaitkan dengan konsepsi dalam hukum
pidana islam guna menemukan jawaban terhadap permasalahan carding
tersebut melalui persepsi hukum pidana islam.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

A. Djazuli, (1996). Fiqh Jinayah, PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.

A. Djazuli, (2000). Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam


Islam), Raja Grafindo : Jakarta.

Abdul Karim Zaidan, (1985). Al-Wafiz Fii Ushul Al-Fiqh, Mu’assasah Ar-
Risalah : Beirut.

Abdul Qadir Audah, (1963). At-Tasyri Al-Jinaai Al-Islami Muqaaranan bil


Qanun Al Wadh’I, Jilid ke 1, Darul Kutub : Beirut.

Abdul Qadir Audah, (1992). At-Tasyri Al-Jinai Al-Islami, Jilid I, Muassasah Ar-
Risalah : Beirut.

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Gazali, (1983). Al-Mustasfa Fii


Ilmu Al-Ushul, Daarul Kutub : Beirut.

Adami Chazawi, (2002) Pelajaran Hukum Pidana I, cetakan I, Raja Grafindo


Persada : Jakarta.

Ahmad Wardi Muslich, (2005). Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika : Jakarta.

Al-Haitsami, (1988). Majma’ Al-Zawaid, Juz 6, Darul Fikr.

Ali bin Muhammad Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Darul Hikmah : Jakarta.

Anang Priyanto, (2012). Kriminologi, Penerbit Ombak : Yogyakarta.

Anthon F. Susanto, (2015). Penelitian Hukum Transformatif-Partisipatoris


Fondasi Penelitian Kolaboratif Dan Aplikasi Campuran (Mix Method)
Dalam Penelitian Hukum, Setara Press : Malang.

Dwidja Priyatno, (2005). Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia,


Penerbit Refika Aditama : Bandung.

77
78

Farid A. Z dan Andi Hamzah, (2011). Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik,


Rajawali Pers : Jakarta.

Ibnu Rusyd Al-Qurtubi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz 2,


Darul Kitab Al-Ulumiyah.

Leden Marpaung, (2005). Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika :
Jakarta.

M. Nurul Irfan. (2016). Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika : Jakarta.

Moeljatno. KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan ke 20. PT


Bumi Aksara : Jakarta Timur.

Muhammad Ibn Ahmad Ibn Juzay Al-Kalbi, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, Maktaba


Assrya.

P.A.F Lamintang, (1997). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra


Aditya Bakti : Bandung.

Satjipto Rahardjo, (1980). Hukum dan Masyarakat, Penerbit Angkasa :


Bandung.

Sayyid Sabiq, (1990). Fikih Sunnah, Terjemah Nabhan Husein, PT Al-Maarif :


Bandung.

Sutarman. (2007). Cyber Crime : Modus Operandi dan Penanggulangannya,


Laksbang PRESS indo : Yogyakarta.

Syahrul Anwar, (2010). Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Ghalia Indonesia : Bogor.

Tim Penyusun Kamus Pusat, (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga, Balai Pustaka : Jakarta.

Wahbah Az-Zuhaili, (1985). Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 7, Terjemah


Penerbit Gema Insani, Darul Fikir : Damaskus.
79

B. Jurnal-Jurnal

Bagir Manar, (2005). Penegakan Hukum yang Berkeadilan, Varia Peradilan


Nomor 245 : Jakarta.
Efryan R. T. Jacob, (2017). Pelaksanaan Pidana Mati Menurut Undang-Undang
Nomor 2/PNPS/1964, Jurnal Lex Crimen Vol VI No 1, Universitas Sam
Ratulangi : Manado.

Idi Amin, (2018). Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal
Ilmu Hukum Universitas Mataram Vol 33 No 1 : Mataram.

Indah Novitasari, (2020). Perspektif Tindak Pidana Kartu Kredit (Carding)


Terhadap Putusan Pengadilan. Bhirawa Law Journal Vol 1 Issue 1,
Universitas Merdeka.

Muhammad Ngafifi. (2012). Kemajuan Teknologi dan Pola Hidup Manusia


Dalam Perspektif Sosial Budaya , Jurnal Pembangunan dan Pendidikan :
Fondasi dan Aplikasi Vol 2, Nomor 1 : Wonosobo.

Nunuk Sulisrudatin, (2018). Analisa Kasus Cybercrime Bidang Perbankan


Berupa Modus Pencurian Data Kartu Kredit. Vol 9 Nomor I, Jurnal Ilmiah
Hukum Dirgantara : Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal
Suryadarma : Jakarta.

Rony A. Walandouw, (2020). Unsur Melawan Hukum yang Subjektif Dalam


Tindak Pidana Pencurian Pasal 32 KUHP, Jurnal Lex Crimen Universitas
Sam Ratulangi Vol IX No 3 : Manado.

Sanyoto, (2008). Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum


Volume 8 No 3 : Purwokerto.

Sigid Suseno, (2004). Kebijakan Pengaturan Carding dalam Hukum Pidana di


Indonesia. Volume 6 Nomor 3, Jurnal Sosiohumaniora.

Syaiful Bakhri, (2002). Penggunaan Pidana Denda Dalan Perundang-


undangan, Jurnal Hukum Vol 9 No 21.

Taufik H Situmpang, (2016). Revitalisasi Kesadaran Hukum Masyarakat Dalam


Rangka Mendukung Perlindungan KI di Indonesia, Volume 10 Nomor 1,
Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum : Jakarta.
80

C. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

D. Website Internet

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/06/04/penggunaan-e-commerce-
indonesia-tertinggi-di-dunia, diakses pada tanggal 30 Desember 2021.

https://kbbi.web.id diakses pada tanggal 11 Juni 2022.

https://kbbi.web.id/ambil.html diakses pada tanggal 18 Juni 2022.

Kementerian Agama Republik Indonesia, Terjemah Quran Kemenag yang


diakses melalui https://quran.kemenag.go.id/sura/3 diakses pada tanggal
30 Desember 2021.

Perbedaan Hacking dan Ethical Hacking Serta Jenis-Jenis Hacking, diakses


melalui link website https://www.course-net.com/perbedaan-hacking-
dan-ethical-hacking/ pada tanggal 14 Mei 2022.

Anda mungkin juga menyukai