Anda di halaman 1dari 89

TINJAUAN FIKIH AL-DAULAH TERHADAP PENANGANAN GENOSIDA

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000


TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syariah Sebagai salah satu
Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum

Oleh:
RONI PASLA
1413040739

JURUSAN JINAYAH SYIASAH FAKULTAS SYARIAH


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
2019 M/1440 H
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul Tinjauan Fikih Al-Daulah Terhadap Penanganan
Genosida Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Ditulis oleh Roni Pasla BP 1413040739.
Jurusan Jinayah Siyasah. Fakultas Syari’ah, UIN Imam Bonjol Padang.
Penelitian ini dilatar belakangi oleh beberapa factor pertama, peristiwa
tindak kejahatan genosida Timor Timur dan genosida Tanjung Priok. Kedua,
Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hukum HAM nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tersebut kasus HAM berat dilakukan
dilingkungan peradilan umum. Ini merupakan wujud kepedulian negara
terhadap warga negaranya. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah bagaimana tinjauan fikih al-daulah terhadap penanganan genosida
menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak
Asasi Manusia. Penelitian ini bersifat penelitian pustaka (library research)
dalam arti penelitian ini menggunakan motode penelitian hukum normatif.
pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat serta menganalisis bahan
penelitian dengan cara mengumpulkan referensi buku yang terkait dengan
pembahasan ini. Dalam mengelola data penulis telah menganalisis dengan
menggunakan teknik analisis isi (content analysis). Dari penelitian ini penulis
dapat menyimpulkan: 1) Pengusiran penduduk perspektif fikih al-daulah.
Pengusiran penduduk dalam pandangan fikih al-daulah tidak dibolehkan
dalam ajaran Islam, dalam siyasah al-daulah hidup berdampingan dengan
damai baru terlakasana apabila didasarkan pada keadilan antara manusia
maupun antara bernegara, meskipun manusia ini berbeda suku berbangsa-
bangsa berbeda warna kulit, berbeda tanah air bahkan berbeda agama
merupakan satu kesatuan karena sama-asama makluk Allah. 2) Perampasan
harta dalam pandangan fikih al-daulah Islam mengakui dan menghormati
hak asasi manusia dalam masalah harta oleh karena itu harta harus
dilindungi dari segala bentuk pelanggaran yang termasuk kedalam kejahatan
genosida dengan sengaja menghilangkan sumber-sumber kelangsungan
hidup oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain baik itu air bersih
makanan dan tempat tinggal. 3) pencegahan kelahiran terhadap suatu etnis
dalam pandangan fikih Al-daulah mencegah kelahiran pengguguran (aborsi)
yang dilakukan dengan paksaan, larangan untuk melakukan perkawinan
memisahkan antara kaum pria dan wanita dengan maksud mencegah
perkawinan dengan tujuan mencegah kelahiran dalam pandangan fikih Al-
daulah dilarang membunuh anak-anak karena takut miskin, bertambah
populasi dan kepentingan tertentu lainnya.
KATA PENGANTAR

‫ﺑﺳم ﷲ اﻟر ﺣﻣن اﻟر ﺣﯾم‬

‫ﺍﳊﻤﺪ ﺍﷲ ﺭﺏ ﻟﻌﻠﻤﲔ ﻭﺑﻪ ﻧﺴﺘﻌﲔ ﻋﻠﻰ ﺃﻣﻮﺭ ﺍﻟﺪ ﻧﻴﺎ ﻭﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﺷﻬﺪﺃﻥ ﻻﺇﻟﻪ ﺇﻻﺍﷲ ﻭﺃﺷﻬﺪﺃﻥ ﳏﻤﺪ ﺍﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ‬
‫ﺍﳍﻢ ﺻﻞ ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪ ﻧﺎ ﳏﻤﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻟﻪ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﺃﲨﻌﲔ‬

Tiada ucapan yang pantas penulis ucapkan selain Puji dan syukur
kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan Rahmat dan Karunia-Nya
sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul
Tinjauan Fikih Al-daulah Terhadap Penanganan Genosida Menurut
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, sebagai bagian dari tugas akhir dalam menempuh studi Sarjana
Strata Satu (S1) di Fakultas Syari’ah Universitas Negeri Imam Bonjol Padang.
Shalawat beriringan salam penulis doakan kepada Allah SWT semoga selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beliaulah yang membawa umat
manusia dari zaman Jahiliyah kepada zaman Islamiyah, dari alam yang
biadab kepada alam yang beradab serta penuh dengan ilmu pengetahuan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan berkat


bantuan dan dukungan dari segenap keluarga tercinta terutama Ayahanda
Bustami dan Ibunda Nurmawati yang tidak pernah berhenti dalam
mendoakan, memberikan dukungan baik moril maupun materil, dan motivasi
untuk segera menyelesaikan studi penyusunan. Serta saudara-saudara
penulis terkasih yaitu Fajar Budiman, Mahdalena dan Muhammad Arif. Kalian
adalah pendukung dan sumber motivasi penyusunan skripsi ini.

Penulis berterima kasih kepada semua pihak yang secara langsung


ataupun secara tidak langsung memberikan kontribusi dalam penyelesaian
skripsi ini, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga
kepada:

1. Bapak Rektor Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang beserta


bapak wakil Rektor.
2. Bapak Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Imam Bonjol
Padang beserta wakil dekan
3. Bapak/ibu Ketua dan Sekrektaris Jurusan Jinayah Siyasah,.
4. Ibu Masna Yunita, SH.,M.Hum selaku Pembimbing Akademik penulis.
Sehingga penulis bisa membahas masalah yang terdapat dalam skripsi
ini.
5. Ibu Dr. Salma, M.Ag selaku Pembimbing I dan ibu Masna Yunita,
SH.,M.Hum selaku Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu dan
dengan sabar memberikan pengarahan dan bimbingan sampai
selesainya penyusunan skripsi ini. Semoga kebaikan dan keikhlasan
ibuk berikan, diberikan balasan oleh Allah SWT.
6. Kepala dan staf akademik Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang
7. Pimpinan Perpustakaan UIN Imam Bonjol Padang dan Perpustakaan
Fakultas Syari’ah beserta karyawan/i yang telah membantu
menyelasaikan skripsi dengan pemamfaatan sarana dan prasarana
yang tersedia. Serta seluruh Staf Akademik Fakultas Syariah UIN
Imam Bonjol Padang.
8. Terimakasih juga kepada sahabat dan teman-teman terdekat penulis.

Penulis menyadari bahwa masih bnyk kekurangan yang perlu


disempurnakan dalam skripsi ini. Oleh karena itu penulis meminta kritik
dan saran yang membangun untuk kesempurnaan karya ilmiah ini
kedepanya.

Padang, 03 Agustus 2019


Penulis,

Roni Pasla
NIM: 1413040739
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI
KATA PENGANTAR ................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
ABSTRAK .................................................................................................. iii
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 8
1.3 Pertanyaan Penelitian ................................................................. 8
1.4 Tujuan Penelitian ....................................................................... 8
1.5 Kegunaan Penelitian .................................................................. 9
1.6 Studi Literatur ............................................................................ 9
1.7 Metode Penelitian ...................................................................... 12
BAB II: KONSEP FIKIH AL-DAULAH
2.1 Pengertian Fikih Al- Daulah ................................................................ 13
2.2 Dasar Hukum Penyelenggaraan Fikih Al-Daulah ........................ 14
2.3 Jenis-Jenis Penduduk dalam suatu Wilayah Pemerintahan ... 20
2.4 Hak Kewajiban Negara dan Masyarakat ......................................... 25
BAB III: GENOSIDA PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG
UNDANGAN NOMOR 26 TAHUN 2000
TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
3.1 Pengertian Genosida................................................................................ 32
3.2 Jenis - Jenis Genosida .............................................................................. 35
3.3 Perbuatan yang Dapat Dihukum dalam Genosida .................... 41
3.4 Penanganan Genosida menurut Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 ........................................................................... 44
BAB IV: ANALISIS FIKIH AL-DAULAH TERHADAP PENANGANAN
KEJAHATAN GENOSIDA
4.1 Pengusiran Penduduk Perspektif Fikih Al-Daulah....................... 51
4.2 Perampasan Harta Perspektif Fikih Al-Daulah ............................... 57
4.3 Pencegahan Kelahiran Terhadap suatu Etnis Perspektif
Fikih Al-Daulah ............................................................................................. 60
BAB V :PENUTUP
5.1 Kesimpulan.................................................................................................. 74
5.2 Saran .............................................................................................................. 75
DAFTAR KEPUSTAKAAN
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Islam sebagai agama komprehensif dan bertujuan menjamin
kemashalatan hidup manusia di dunia dan akhirat, merespon kebutuhan
terhadap perlindungan hak asasi manusia dengan menyediakan
perlindungan yang memadai. Seluruh aturan syariat Islam pada
hakikatnya berorientasi untuk menjamin kemashalatan hidup manusia
dimana hak asasi manusia merupakan inti dari permasalahan tersebut.
Dengan demikian, dapat dikatakan salah satu tujuan utama syariat Islam
adalah menghormati dan melindungi hak asasi manusia. Islam
melindungi hak-hak keagamaan, seperti memeluk suatu agama atau
keyakinan, hak beribadah, dan hak kehormatan dan kesucian agama.
Dalam konteks bentuk perlindungan pertama, Islam memerintahkan
untuk mengamalkan ajaran dalam agama menjadikannya sebagai
pedoman hukum, berdakwah untuk agama dan berjihad dalam
menegakkan dan membela agama. Sedangkan dari bentuk perlindungan,
hukum Islam melarang perbuatan melecehkan, mengkhianati, merusak,
dan menodai agama. (Ikhwan 2010; 82)
Islam mengakui hak-hak yang berkaitan dengan jiwa, seperi hak
hidup, mempertahankan hidup dan sebagainya. Oleh sebab itu, ajaran
Islam memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak jiwa
setiap manusia tanpa memandang jenis kelamin, ras, bangsa, agama, dan
sebagainya. Untuk melindungi hak jiwa tersebut hukum Islam
menetapkan kewajiban menyediakan kebutuhan-kebutuhan untuk
menjaga eksistensi jiwa dan kehidupan. Hukum Islam juga menetapkan
beberapa aturan dan instrumen hukum untuk memelihara dan
memberikan perlindungan terhadap hak-hak jiwa. Islam mengakui dan
menghormati hak-hak keturunan dan kehormatan manusia. Oleh karena

1
2

itu, hukum Islam memberikan perlindungan terhadap hak-hak


tersebut.(Ikhwan,2010; 87)
Islam membuat berbagai ketentuan yang mengatur hubungan
antara manusia, sesama muslim sendiri maupun non-muslim. Dengan
berlandasan pada agama yang diyakini seseorang, mempertimbangkan
negara yang menjadi tempat tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan
perjanjian dengan pemerintah Islam. Para ulama fikih mengelompokkan
kewarganegaraan seorang muslim dan non-muslim. Orang non muslim
terdiri dari al-dzimi, musta’min dan harbiyiyun. Penduduk dalam dar al-
Islam terdiri dari Muslim, ahl al-dzimi dan musta’min, sedangkan
penduduk dar al-harb terdiri dari Muslim dan harbiyun. Kata alh al-dzimi
atau ahl al dzimmah merupakan perjanjian atau jaminan kamanan,
disebut demikian karena mereka mempunyai jaminan perjanjian (‘ahd)
Allah dan Rasul-Nya serta kaum muslim untuk hidup dengan rasa aman
dibawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat islam.
(Ikbal,2004;258)
Dalam pandangan al–Gazali (w.505H/1111M), ahl al-dzimmi
adalah setiap ahli kitab yang telah baliqh, berakal, merdeka, laki-laki,
mampu berperang, dan membayar jizyah. Sedangkan Ibnu al-Juza’i al-
Malik memberikan definisi yang hampir sama dengan al-Gazali bahwa al-
zimmi adalah orang kafir yang merdeka, baligh, laki-laki menganut agama
yang bukan Islam, mampu membayar jizyah dan tidak gila. al-Unqari
mempertegas pendapat di atas dengan menyimpulkan bahwa ahl al-
zimmi adalah orang non-muslim yang menetap di dar al-Islam dengan
membayar jizyah. Sebagai orang yang telah mengikat perjanjian untuk
tunduk kepada pemerintah Islam, ahl al-dzimmah juga mempunyai hak-
hak dan kewajiban terentu secara seimbang. Di antara hak mereka
adalah, perlindungan dari segala bentuk pelanggaran baik dari luar
maupun dalam negeri, perlindungan terhadap jiwa, harta benda, keluarga
dan kehormatannya. Mereka pun berhak memperoleh jaminan hari tua.
3

Kalau ternyata mereka miskin, maka mereka berhak mendapatkan


tunjangan finansial serta tidak diwajibkan membayar jizyah.
(Ikbal,2004;271)
Musta’min menurut ahli fikih, adalah orang yang memasuki
wilayah lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah
setempat, baik ia Muslim maupun harbiyun. Istilah musta’min juga dapat
digunakan untuk orang-orang Islam dan ahl al dzimmi yang memasuki
wilayah dar al harb dengan mendapatkan izin dan jaminan keamanan
dari pemerintah setempat. Hal ini diakui selama mereka hanya menetap
sementara ditempat tersebut dan kembali ke dar al Islam sebelum izinya
habis. Jaminan keamanan untuk mereka berlaku sesuai dengan masa yang
ditetapkan dalam perjanjian dengan dar al-Islam. Namun mazhab syafi’i
membatasi masa aman tidak melebihi empat bulan, selama muta’min
tersebut bukan kafir dan utusan politik. Berakhirnya masa aman bagi
mereka terkait dengan berakhirnya kepentingan atau urusan musta’min
itu sendiri. Pembatasan masa aman ini hanya bagi laki-laki, sedangkan
bagi perempuan tak dikaitkan dengan waktu tertentu. (Ikbal 2004;276)
Harbiyun menurut syi’ah Immaiyah, istilah tersebut dipakai untuk
non- muslim selain ahl al-kitab, pandangan ini berawal dari asumsi antara
Islam dengan ahl al- kitab memiliki kesamaan, yaitu sama-sama agama
samawi yang berasal dari Allah. Orang-orang harbiyun tidak terjamin
keamananya bila memasuki dar al-Islam, karena terwujudya rasa aman
bagi mereka adalah berdasarkan salah satu dari dua hal yaitu beriman
memeluk agama Islam, atau melalui perjanjian damai. (Ikbal, 2004;278)
Dengan adanya hidup berdampingan antara umat muslim dan
non-muslim di dunia banyak timbul permasalahan-permasalahan yang
terjadi yakni pelanggaran HAM berat salah satunya tindak kejahatan
genosida, genosida merupakan sebuah kejadian tragis yang sangat
menarik perhatian para masyarakat dunia. Genosida merupakan sebuah
4

usaha suatu etnis untuk menghancurkan suatu etnis lainnya dengan cara
pembunuhan massal. (Aziz,2003;55)
Segala ketentuan hukum yang berkaitan dengan perbuatan atau
tindakan yang terkategori pelanggaran berat atas Hak Asasi Manusia
diatur dalam:
a. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(selanjutnya ditulis: UU No.39 Tahun 1999).
b. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
manusia (selanjutnya ditulis UU No.26 Tahun 2000).
Secara definitif, dalam UU No 26 tahun 2000 yang dimaksud
dengan Hak Asai Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makluk Tuhan yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlidungan harkat dan martabat manusia.
(Adnan,200;.671)
Merujuk pada ketentuan pasal 7 UU No.26 Tahun 2000 yang
dikategorikan sebagai Pelanggaran HAM yang berat meliputi, Kejahatan
genosida, kejahatan terhadap manusia. Pasal 8 UU No. 26 tahun 2000
lebih jauh dijelaskan, kejahatan genosida berarti tindakan apapun
berikut ini yang dilakukan untuk menghancurkan, seluruhnya atau
sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama, seperti
membunuh anggota kelompok, menyebabkan kerusakan fisik atau
mental yang serius terhadap anggota kelompok, menciptakan kondisi
kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara
fisik baik seluruh ataupun sebagiannya, menerapkan tindakan-tindakan
yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok
masyarakat, secara paksa memindahkan anak-anak dari suatu
kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya.
Pasal 9 juga menjelaskan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagaimana dimaksud pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan
yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau
sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, yang berupa:
a. Pembunuhan
b. Pemusnahan
c. Perbudakan
5

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa


e. Penyiksaan
f. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain
secara sewenag-wenag yang melangar asas-asas ketentuan pokok
hukum internasional.
g. Pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulana atau sterilisasi secara paksa
atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara.
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang disadari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain
yang telah di akui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional.
i. Penghilangan secara paksa, atau
j. Kejahatan apartheid ( Undang-undang NO. 24 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM)
Yang di maksud dengan pemusnahan sebagaimana diatur dalam
pasal 9 huruf b meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang
dilakukan dengan sengaja, antara lain merupakan perbuatan yang
menghambat pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat
menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk.
Yang di maksud dengan pengusiran atau pemindahan penduduk
secara paksa yang di ataur dalam pasal 9 huf d dengan cara mengusir
atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah mana mereka bertempat
tinggal secara sah, tanpa didasari alas an yang diijinkan oleh hukum
internasional.
Yang dimaksud dengan penghilangan orang secara paksa yang di
atur dalam pasal 9 huruf e yakni penangkapan, penahanan, atau
penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa dukungan atau
persetujuan dari Negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh
penolakan untuk tentang nasib atau keberadaan orang tersebut, dengan
maksud untuk melepaskan dari perlindungan hukum dalam jangka
waktu yang panjang.
Dari rumusan itu, dapat ditentukan adanya dua unsur kejahatan
genosida pertama, tindakan sengaja untuk menjadikan kelompok warga
6

negara, etnis, ras dan agama sebagai sasaran. Kedua tindakan sengaja itu
bermaksud untuk menghancurkan seluruh atau sebagian dari kelompok
sasaran. Jadi faktor kesengajaan itu menghancurkan /memusnahkan
sangat penting
Fakta tindak kejahatan genosida yang telah terjadi di Indonesia
adalah genosida Timor Timur, yang terjadi pada tahun 1957 kejadian
tersebut berkelanjutan dan berakhir pada tahun 1999, dalam peristiwa
tersebut diperkirakan korban tewas 100.000 sampai 300.000 jiwa. Tidak
hanya itu di Indonesia juga terjadi tindak kejahatan seperti kasus
Tanjung Priok dari kerusuhan yang terjadi di perkirakan 169 warga sipil
ditahan tanpa surat perintah dan beberapa dilaporkan disiksa, para
pemimpin di tangkap dan diadili karena tuduhan subversif kemudian di
beri hukuman panjang. Laporan awal menyebutkan 20 orang tewas,
catatan resmi memberikan total 24 korban tewas dan 54 terluka
(termasuk militer) sementara korban selamat melaporkan lebih dari
seratus orang tewas. Masyarakat Tanjung Periok memperkirakan total
400 orang terbunuh atau hilang, sementara itu laporan lainnya
menyarankan hingga 700 korban dalam insiden tersebut. (J.Febian 2008)
Dari latar belakang masalah di atas maka maka skripsi ini ini
ditulis untuk mengetahui bagaimanakah tinjauan fikih al-daulah
terhadap penanganan tindak kejahatan genosida. Dengan demikian
untuk mengetahui lebih mendalam mengenai penaganan tindak genosida
maka dalam skripsi ini penulis mengambil sebuah judul: “Tinjauan Fikih
Al-Daulah Terhadap Penanganan Genosida Menurut Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut
di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan ini
adalah Bagaimana Tinjauan Fikih Al-Daulah Terhadap Penanganan
7

Genosida Menurut Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang


Pengadilan Hak Asasi Manusia?
1.3 Pertanyaan Penelitian
1.3.1 Bagaimanakah pengusiran penduduk perspektif fikih al- daulah?
1.3.2 Bagaimanakah perampasan harta milik masyarakat perspektif fikih
al-daulah?
1.3.3 Bagaimanakah pencegaan kelahiran terhadap suatu etnis
perspektif fikih al-daulah?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Untuk mengetahui pengusiran penduduk perspektif fikih al-daulah
1.4.2 Untuk mengetahui perampasan harta milik masyarakat perspektif
fikih al-daulah
1.4.3 Untuk mengetahui pencegahan kelahiran terhadap suatu etnis
perspektif fikih al-daulah.
1.5 Kegunaan Penelitian
1.5.1 Sebagai sumbangan ilmu pengetauan dan informasi untuk
dijadikan pedoman oleh para pakar hukum atau para hakim dan
masyarakat pada umumnya mengenai permasalahan tentang
penaganan Genosida dan pelanggaran HAM Berat.
1.5.2 Sebagai subangan pemikiran bagi umat islam untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi ditengah masyarakat.
1.5.3 Sebagai motivasi bagi peneliti yang tertarik dengan permasalahan
genosida serta tinjuan fikih al-daulah terhadap penanganan
genosida menurut undang-undang.
1.6 Studi literatur
Pembahasan mengenai tinjuan fikih al-Daulah terhadap
Penanganan genosida menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Peradilan HAM belum pernah diangkat untuk dijadikan judul
skripsi pada Fakultas Syriah UIN Imam Bonjol Padang, meskipun
8

demikian ada beberapa penelitian yang pempunyai hubungan dengan


penelitian yang penulis tulis ini berapa penelitian tersebut adalah:
1. Doortje d. Turangan dengan judul Tindakan Kejahatan Genosida
Dalam Ketentuan Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Hasil dari penelitian tersebut adalah:
a) Akar penyebab tindakan kejahatan genosida dapat meliputi latar
belakang suku dalam memperjuangan hak minoritas; latar
belakang agama yang dimanifestasikan dengan fanatisme dan latar
belakang rasial yang diwujudkan melalui diskriminasi kultural.
b) Larangan kejahatan-kejahatan genosida diatur, baik melalui
hukum internasional (perjanjian-perjanjian dan putusan-putusan
Mahkamah Internasional), maupun oleh ketentuan hukum
nasional undang-undang dasar, undang-undang dan keputusan
Presiden.
2. Sabrina Putri Pratama Amritsjar BP 111 09 287 Tinjauan Hukum
Internasional Terhadap Tindakan Pelanggaran HAM Pemerintah
Myanmar Atas Etnis Rohingya
Hasil dari penelitian tersebut adalah :
a) Di Negara Bagian Arakan Utara, kelompok etnis Rohingya
menghadapi tindakan-tindakan tidak manusiawi. Pemerintah
Myanmar baik pusat maupun lokal telah gagal untuk memenuhi
hak asasi mereka. Hal-hal yang dihadapi oleh orang-orang
Rohingya. Kerja paksa yang diikuti dengan penyiksaan bahkan
pembunuhan di Arakan Utara, pengusiran dan pemindahan paksa
orang-orang Rohingya, penahanan yang sewenang-wenang, dan
pemerkosaan wanita-wanita Rohingya memenuhi unsur-unsur
kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur dalam Statuta Roma
Pasal 7. Sehingga tindakan-tindakan penguasa lokal dalam hal ini
NaSaKa merupakan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan
Pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintahan pusat Myanmar
9

adalah dalam kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap


Etnis Rohingya dan tindakan pembiaran atas tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh NaSaKa.
b) Pelanggaran terhadap HAM orang-orang Rohingya merupakan
hasil dari penyangkalan kewarganegaraan mereka oleh
Pemerintah 91 Myanmar. Bahkan, penyangkalan terhadap
kewarganegaraan itu sendiri merupakan tindakan pelanggaran
HAM. Pemerintah Myanmar telah melanggar ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam konvensi mengenai status orang yang tidak
berkewarganegaraan yang mengatur mengenai perlakuan-
perlakuan terhadap orang-orang tanpa kewarganegaraan.
Penyangkalan kewarganegaraan dari Pemerintah Myanmar yang
didasarkan pada Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar
Tahun 1982, merupakan tindakan yang diskriminatif yang
melanggar nilai Pasal 15 UDHR mengenai hak setiap orang untuk
mendapatkan kewarganegaraan tanpa pembedaan atas ras,
warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, ataupun pendapat
yang berbeda. Tindakan penyangkalan ini juga bertentangan
dengan upaya masyarakat internasional untuk menghapus
keadaan tanpa kewarganegaraan yang menjadi tujuan dari
Konvensi tentang pengurangan ketiadaan kewarganegaraan.
3. Roni Efendi BP 305002 dengan judul: Sanksi Pelaku Kejahatan
Genosida Perspektif Hukum Pidana Islam. Hasil dari penelitian
tersebut adalah:
a. Adapun kejahatan- kejahatan yang terkandung kedalam kejahatan
genosida tersebut adalah jarimah pemunuhan sengaja dan tindak
pidana terhadap selain jiwa atau penganiayaan dengan tujuan
untuk menghilangkan hak hidup orang lain dan membuatnya
musnah serta mengakibatkan penderitaan baik secara fisik
maupun penderitaan yang serius terhadap mental orang lain.
10

Maka dalam hal ini kejahatan genosida dalam persfektif hukum


pidana Islam sanksinya sama dengan hukuman terhadap jarimah
pembunuhan sengaja berupa qishas.
b. Kejahatan genosida dalam hukum pidana internasional atau direct
enforcement system yang menjadi yurisdiksi Internasional Criminal
court dalam pasal 77 Statuta Roma pelaku kejahatan genosida di
ancam dengan pidana penjara maksimal 30 ( tiga puluh) tahun
penjara atau pidana penjara seumur hidup. Sedangkan dalam
lingkup hukum pidana internasional atau indirect enforcement
system, bahwa kejahatan genosida merupakan salah satu bentuk
dari tindak pidana khusus maka berlaku asas lex specialis derogate
lex generalis. Adapun sumber hukum materil dan sumber hukum
formil merujuk pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Bagi para pelanggarnya di
jerat pasal 36 undang-undang tersebut dengan ancaman pidana
terberat adalah piadana mati atau penjara se umur hidup atau 25
(dua puluh lima) tahun dan paling singkat adalah 10 (sepuluh)
tahun penjara.
1.7 Metode Penelitian
Metode pada dasarnya berarti cara yang dipergunakan untuk
mencapai tujuan dari suatu penelitian. Langkah-langkah yang akan di
tempuh agar relevan dengan masalah yang telah dirumuskan, maka
penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1.7.1 Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian
kepustakaan atau library research atau metode penelitian normative
yang artinya motode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
membaca karya-karya terkait dengan persoalan yang dikaji. Tahapan
pertama penelitian hukum normative (norma hukum) yaitu dengan
mengadakan penelitian terhadap masalah hukum.pendekatan yang
11

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif analisi.


(soerjono 2003,1)
1.7.2 Sumber Data
` Untuk mengumpulkan data pada skripsi ini, penulis
menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder adalah data yang
berkenaan secara tidak langsung dengan persoalan yang tidak
dibahas. Dalam penelitian ini sumber data yang penulis gunakan
adalah Udang-undang nomor 26 tahun 2000. buku, Hukum Pidana
Internasional, Hukum Pidana Islam, Hak Asasi Manusia, Pengadialan
Hak asasi Manusia, Pelanggaran HAM berat, Fikih siyasah, Fikih
daulah Hukum pidana Internasional Serta buku-buku yang berkaitan
dengan genosida, dan buku penunjang lainya.
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam upaya pengumpulan data, ada beberapa teknik yang
penulis gunakan yaitu :
a. Kepustakaan yaitu mencari buku-buku penunjang yang
berhubuangan dengan masalah genosida, pelanggaran HAM,
hukum pidana Internasional.
b. Penesurian situs yang berkaitan dengan genosida, fikih al-daulah
melaui internet.
c. Mencari data-data yang ada di internet yang berkaitan dengan
genosida kemudian digabungkan data tersebut. (Sugiyono,2008;
137)
1.7.4 Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, tahap selanjutya yang dilakukan
adalah tahap analisis data. Hal ini berfungsi untuk menyampaikan
kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab
permasalahan.
12

Penelitian ini menggunakan konten analisis data yang bersifat


kompratif. Analisis kompratif adalah teknik analisi yang dilakukan
dengan membuat perbandingan.
Penyatuan data dengan mensinergikan buku-buku dan data
yang didpatkan di internet sebagai penunjang tanpa terkecuali
pendekatan normatif. diperlukan mengingat dalam penelitan ini
orintai akhir adalah menciptakan sebuah hukum. (Sugiyono,2008;
147)
BAB II
KONSEP FIQH AL-DAULAH

2.1 Pengertian Fiqh Al- Daulah


Menurut istilah daulah didefenisikan sebagai sebuah sistem
kekuasaan yang terdapat unsur-unsur kepemimpinan, perundang-
Undangan, wilayah tertentu, warga masyarakat, dan ideologi yang dianut
sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Jika kata daulah di
gabungkan dengan kata Islam, maka menjadi daulah Islam. Artinya
sebuah bentuk kekuasaan yang dilaksanakan dengan sistem Dinul Islam.
Islam adalah suatu sistem ideologi yang berdasarkan kepada keterangan
ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. (Qardhawy, 2010: 119)
Dari defenisi tersebut Daulah Islam menjadi sebuah istilah yaitu
Negara Islam. Jadi Negara Islam adalah Negara yang sistem
kepemimpinannya dan sistem kekuasaannya berasaskan kepada hukum
Islam. Para ahli fiqih berpendapat bahwa daulah Islamiyah merupakan
makna yang dikandung oleh negara Islam, merupakan tempat yang
berada ditangan kaum muslim. Penjelasan tersebut menonjolkan unsur
kekuasaan dan unsur tempat serta memendam unsur negara lainnya,
seperti unsur penduduk dan unsur peraturan, kewajiban kaum muslim
jika mereka menetapkan hukum adalah melaksanakan undang-undang
Islam. (Qardhawy, 2010: 119)
Ar-Rafi’I berkata adanya kaum muslim bukanlah syarat berdiri
negara Islam, tetapi cukuplah negara tersebut dipegang oleh kepala
negara muslim. Negara menurut Islam yang rasional ditegakkan di atas
sendi akidah Islam dan hukum serta peraturan yang di tumbuhkannya.
Jadi bukanlah negara kedaerahan yang dibatasi oleh suku, jenis, atau ras.
Namun negara rasional yang terbentang hingga atas yang dapat dicapai
oleh akidah Islam. Oleh karena itu tak ada tempat bagi keistimewaan
berdasarkan pada warna kulit, jenis atau daerah. Karakter negara Islam

13
14

memungkinkan menjadi negara dunia yang mencakup dari berbagai ras


dan bangsa. (Qardhawy, 2010: 120)
Jadi daulah Islamiyah dapat diartikan bahwa suatu daerah yang
tanpa batasan ras, suku atau jenis dan agama. Tetapi, wilayah tersebut
tetap dipegang oleh kepala wilayah muslim. Seperti halnya yang telah
dilakukan oleh Rasulullah SAW, saat berdirinya negara Madinah.

2.2 Dasar Hukum Terbentuknya Daulah


Para pakar politik Islam klasik menjadikan dasar hukum
pembentukan daulah dalam arti pemerintahan Allah swt dalam firman-
Nya:

                 

           

Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manu sia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi (Q.S. an-Nisa’:58)

          
     

                


Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(Q.S. an-Nisa : 59)

Para pakar politik Islam klasik (konservatif-tradisional)


menjadikan kedua ayat ini sebagai landasan terbentuknya daulah, karena
15

kedua ayat itu mengandung unsur-unsur yang dapat mewujudkan atau


merealisasikan sasaran atau tujuan yang diinginkan terbentuknya suatu
daulah. Munawir Sjadzali ahli fikih siyasah Indonesia, berpendapat
bahwa kedua ayat itu mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia
dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Ia berpendapat bahwa ayat
di atas menjelaskan bagaimana proses hubungan yang komunikatif dan
harmonis antara pemimpin dan yang dipimpin dalam rangka mencapai
tujuan yang saling memberi manfaat bagi kedua belah pihak. (Djazuli,
2003: 122)
Rais (pemimpin), sebagai pemegang amanah dan mar’us (yang
dipimpin) merupakan komponen yang harus ada dalam pemerintahan
suatu daulah. Pemimpin dan perangkatnya yang ada dalam suatu
daulah merupakan motor penggerak dan pelaksana jalannya roda
pemerintahan. Adapun mar’us harus mematuhi dan melaksanakan
sistem dan aturan yang telah digariskan atau diprogramkan oleh rais.
Ayat pertama ditujukan kepada penguasa agar bertindak adil. Ayat
kedua ditujukan kepada warga sipil, agar mematuhi Allah, Rasulullah,
dan ulil amri (penguasa). Keharusan adanya pemimpin berlandaskan
pada sabda Rasulullah SAW: ”Jika tiga orang bepergian, hendaklan
mereka menjadikan salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin”
(HR. Abu Daud). Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa kemashalatan dan
keadilan tidak bisa ditegakkan tanpa adanya penguasa yang berwenang
menetapkan hukum berdasarkan al-Qur’an dan Sunah Rasulullah SAW.
Hukum tidak bisa berjalan dengan baik tanpa didukung rakyat yang
memenuhi hukum. Harus ada kerjasama antara penguasa dan rakyat.
Kemashlahatan bisa berjalan dengan baik apabila telah terbentuk
daulah. (Djazuli, 2003: 122)
Dasar –dasar yang dijadikan landasan dalam siyasah dauliah dan
dijadikan ukuran apakah siyasah dauliah berjalan sesuai dengan
semangat al- Islam adalah:
16

2.2.1 Kesatuan Umat Manusia

Meskipun manusia ini berbeda suku berbangsa-bangsa, berbeda


warna kulit, berbeda tanah air bahkan berbeda agama, akan tetapi
merupakan satu kesatuan manusia karena sama-sama makluk Allah,
sama bertempat tingggal di muka bumi, sama-sama mengharapkan
kehidupan yang bahagia, dan damai sama-sama dari Adam. Dengan
demikian, maka perbedaan-perbedaan di antara manusia harus disikapi
dengan pikiran yang positif untuk saling memberikan kelebihan masing-
masing. Al –Qur’an mengisaratkan kesatuan dalam surah ar-Rum :22

        


   
    

 

Artinya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi
dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang
demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
mengetahui (Q.s ar-Rum 22)

2.2.2 Al- a’dalah


Di dalam siyasah dauliyah, hidup berdampingan dengan
damai baru terlaksana apabila didasarkan kepada keadilan antar
manusia maupun berbagai antar bernegara, bahkan perang pun
terjadi karena salah satu pihak merasa diperlakukan tidak adil.
Oleh karena itu ajaran Islam mewajibkan penegakan keadilan
baik terhadap diri sendiri, keluarga, tetangga, bahkan terhadap
musuh sekalipun kita wajib bertindak adil. Ayat yang
membicarakan tentang keadilan QS an- Nahl : 90

         


  
     

     


17

Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran. (QS An- Nahl : 90)

2.2.3 Al-musawah (Persamaan)


Manusia memiiki hak-hak yang sama, untuk mewujudkan keadilan
adalah mutlak mempersamakan manusia di hadapan hukum. kerjasama
internasional sulit dilaksankan apabila tidak dalam kesederajatan antar
negara dan antar bangsa. Demikian pula setiap manusia adalah subjek
hukum, penanggung hak dan kewajiban yang sama. Semangat dari Al-
Qu’an dan Hadis Nabi serta prilaku para sahabat yang membebaskan
budak adalah untuk mewujudkan persamaan kemanusiaan ini. Karena
perbudakan menunjukan adanya ketidak sederajatan kemanusiaan. Hak
hidup dan hak memiliki dan kehormatan kemanusiaan harus sama-sama
dihormati dan dilindungi. (Djazuli, 2003: 124)
2.2.4 Karomah insaniyah (Kehormatan Manusia)
Karena kehormatan manusia inilah, maka manusia tidak boleh
merendahkan manusia lainnya dari suatu kaum tidak boleh menghina
kaum lainnya. Kehormatan kemanusiaan ini berkembang menjadi
kehormatan terhadap suatu kaum dan komunitas dan bisa dikembangkan
menjadi suatu kehormatan suatu bangsa atau negara. Kerja sama
internaional tidak mungkin dikembangkan tanpa landasan saling
menghormati. Kehormatan manusia inilah pada gilirannya
menumbuhkan harga diri yang wajar baik pada individu maupun pada
komunitas, muslim atupun non-musalim tanpa harus jatuh kepada
kesombongan individual atau nasionalisme yang ekstrim.( Djazuli, 2003:
125)
Dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an surah al-Hujurat 11
18

      


           

       


          
   

          


Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan
lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka
mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
sesudah iman dan lebih zalim. (QS.Al- Hujurat: 11)

2.2.5 Tasamuah (Toleransi)


Dasar ini tidak mengandung arti harus menyerah pada kejahatan
atau memberi peluang kepada kejahatan. Allah mewajibkan menolak
permusuhan dengan tindakan yang lebih baik, penolakan dengan yang
lebih baik ini akan menimbulkan persahabatan bila dilakukan pada
tempatnya.
Dijelakan dalam ayat Al-Qur’an surah Fusilat :34

              

   


Artinya:
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS.Fusilat
: 34)

Kehidupan ini tidak bisa dikembangkan atas dasar dendam,


kebencian dan paksaan, kehidupan sesama bisa dibina dan
dikembangkan atas dasar pemaaf, kasih sayang dan dialog. Hal semacam
ini telah diprakktikan oleh nabi antara lain pada waktu membebaskan
kota Mekkah terhadap penduduk Mekkah Nabi berkata: Pada hari ini,
tidak ada cercaan terhadap kamu mudah-mudahan Allah mengampuni
19

kamu, pergilah kamu semua bebas. Tasamuh dalam Islam adalah


toleransi yang berangkat dari ajaran agamanya, bukan tsamuh karena
kebutuhan teporal atau kepentingan sesaat.( Djazuli, 2003: 126)
2.2.6 Kebebasan, Kemerdekaan / Al Huriyah
Kemerdekaan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri
dari pengaruh hawa nafsu serta pengendaliannya dibawah bimbingan
keimanan dan akal sehat. Dengan demikian, kebebasan bukan kebebasan
mutlak, akan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab terhadap Allah,
terhadap keselamatan dan kemashalatan hidup manusia di muka bumi
ini, kebebasan ini bisa dirinci lebih jauh :
a. Kebebasan berfikir
b. Kebebasan beragama
c. Kebebasan menyatakan pendapat
d. Kebebasan menuntut ilmu
e. Kebebesan memiliki harta( Djazuli, 2003: 128)
2.2.7 Prilaku Moral yang Baik (Al Aklak al-Karimah)
Perilaku yang merupakan dasar moral di dalam hubungan antara
manusia, antara umat dan antara bangsa di dunia ini, selain itu prinsip ini
pun diterapkan terhadap seluruh makluk Allah di muka bumi. Inilah
dasar-dasar siyasah di dalam hubungan internasonal atau siyasah
dauliyah. Dasar-dasar tersebut semuanya mengacu kepada manusia
sebagai satu kesatuan umat manusia, atau dengan kata lain dasar-dasar
tersebut dalam rangka hifzu al- Ummah dalam ruang lingkupnya yang
paling luas yaitu seluruh manusia yang diikat oleh rasa uhwah insamiyah
disamping umat dalam arti komunitas agama baik muslim maupun non-
muslim. Untuk komunitas muslim diikat oleh ukhuwah insaniyah
sedangkat akar dari umat dalam arti komunitas adalah keluarga sakinah.
Tentang dunia ini fuqaha membaginya kepada dar Islam dan Dar-al harbi
sudah mulai ditinggalkan, pembagian Darul Islam dan dar al-Harb
memang tepat sekali sesuai dengan stuasi dan kondisi waktu para fuqaha
20

masih hidup yang dihadapkan dengan ancaman-ancaman dari dunia luar.


Walaupun demikian ada ulama yang membagi dunia ini kepada tiga
kelompok , yaitu dar Islam , dar al-Ahdi, dan dar al- harbi. Dar al-ahdi
adalah negara-negara yang berdamai dengan dar islam. dengan perjanjian
tersebut, maka semua penduduk dar al-ahdi tidak boleh diganggu
jiwanya, hartanya, dan kehormatan kemanusiaanya. Meskipun
penduduknya tidak beragama Islam, mereka diperlakuan seperti orang
Islam dalam arti dilindungi hak-haknya. (Djazuli, 2003: 131)

2.3 Jenis-Jenis Penduduk Dalam Suatu Wilayah Pemerintahan


Islam adalah agama yang mementingkan kemashalatan dan
kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun diakhirat. Ajaranya tetap
aktual bagi manusia dan segala zaman dan tempat. Islam tidak hanya
merupakan rahmat bagi manusia, tetapi juga bagi alam semesta. Islam
memerlakukan manusia secara adil tanpa membeda-bedakan
kebangsaan, warna kulit, dan aagamanya berdasarkan prinsip ini, maka
Islam membuat berbagai ketentuan yang mengatur hubugan antar
sesama manusia, baik sesama muslim sendiri maupun non-muslim
(Iqbal, 2014: 269)
Dengan berlandaskan pada agama yang diyakini seseorang
mempertimbangkan negara yang menjadi tempat tinggalnya dan ada
atau tidaknya perjanjian dengan pemerintah islam, para ulama fikih
membagi kewarganegaraan seseorang muslim dan non muslim. Orang
non muslim terdiri dari al-zimi, musta’min dan harbiyyun. Penduduk dar
Islam terdiri dari muslim ahlul al- adzimi dan musta’min sedangkan
penduduk dar al harb terdiri dari Muslim dan harbiyun. (Iqbal, 2014:
270)
2.3.1 Muslim
Istilah muslim merupakan nama yang diberikan bagi orang yang
menganut agama Islam. Seorang muslim meyakini dengan sepenuh hati
kebenaran agama Islam dalam akidah, syri’ah dan aklak sebagai
21

aturannya. Disamping itu, ia menentang segala bentuk penentangan yang


dapat mengubah identitas seseorang dari muslim. Kata muslim berasal
dari bahasa Arab yang berarti orang yang selamat. Ini seakar dengan kata
Islam yang berarti menyelamatkan. Kedua istilah ini banyak terdapat
dalam Al-Qur’an sebagai mana yang terdapat dalam surah al- Hajj 22:78

                 

             

             

     

Artinya:
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.
Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia
(Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan
(begitu pula) dalam (al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu
dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia
adalah Pelindungmu, maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik
penolong. (Q.S al- Hajj 22:78)

Seorang dapat disebut muslim tidak hanya sekedar menganut dan


meyakini islam agamanya. lebih dari itu, keyakinan tersebut harus
dibuktikan dalam perbuatan konkrit. Berdasarkan tempat penetapanya
muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Pertama
,mereka yang menetap di dar al-Islam dan mempunyai komitmen yang
kuat untuk mempertahankan dar Islam. Termasuk dalam kelompok ini
adalah orang Islam yang menetap sementara waktu di dar al-Islam sebagai
musta’min dan tetap komitmen pada Islam serta mengakui pemerintahan
Islam. Kedua muslim yang menetap di dar al harb dan tidak berkeinginan
hijrah ke dar al-islam, status mereka menurut Imam Malik, Syafi’I dan
Ahmad sama dengan muslim lainya di dar al-Islam. Harta benda dan jiwa
mereka tetap terpelihara, Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus
22

sebagai penduduk Harbiyun karena berada di negara yang tidak dikuasai


Islam. Kosekuensinya harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin. (Iqbal,
2014: 271)
2.3.2 Ahl al –Dzimmi
Kata ahl al- dizimi atau ahl al- dzimmah merupakan bentuk takrib
idafi (kata majemuk) yang masing- masing katanya berdiri sendiri. Kata
“ahl” secara bahasa berarti keluarga atau sahabat. Adapun kata
dzimmi/dzimmmah berarti janji jaminan atau keamanan. Seorang yang
mempunyai janji disebut rajulun dzamiyyun. Dalam pandangan Al-Gazali
(w.505 H/1111M), ahl al dzimmi adalah setiap ahli kitab yang telah
baligh, berakal, merdeka, laki-laki, mampu berperang dan membayar
jizyah. Ibnu al juza’I al-Maliki memberikan definisi yang hampir sama
dengan Al-Gazali bahwa al-dzimmi adalah orang-orang kafir yang
merdeka, baligh, laki-laki menganut agama yang bukan Islam, mampu
membayar jiziyah dan tidak gila. Al- Unqari (w.1383H) mempertegas
pendapat di atas dengan menyimpulkan bahwa ahl al-dzimmi adalah
orang non muslim yang menetap di dar al-Islam dengan membayar jizyah.
(Iqbal, 2014: 271)
Dari ketiga defenisi di atas, maka unsur penting untuk
menentukan status seorang sebagai dzimmi adalah non-muslim, baligh,
berakal, bukan budak, laki-laki, tinggal di dar-al Islam dan mampu
membayar jizyah kepada pemerintah Islam. Sataus dzimmi dapat
diperoleh seeorang melalui perjanjian (akad dzimmah) dengan
pemerintah Islam. Akad tersebut dibenarkan dalam Islam sehingga secara
langsung mereka menyaksikan ajaran Islam yang diamalkan oleh
umatnya. Dengan demikian mereka akan tertarik dengan cara-cara
kehidupan umat islam. Selain itu, dari segi materi keberadaan mereka di
dar al-Islam dapat menjadi sumber keuangan negara, karena mereka
diwajibkan membayar pajak (jizyah). (Iqbal, 2014: 272)
23

Pemerintah Islam boleh melakukan perjanjian akad dzimmah


dengan non-muslim yang ingin menetap di dar al- Islam. Namun dalam
menentukan non-muslim mana yang termasuk ahl al-dzimmi ini. Ulama
berbeda pendapat menurut kesepakatan ulama, ahl al-dzimmi adalah
mereka yang termasuk kedalam kategori ahl al kitab, yaitu Yahudi dan
Nasrani serta Majusi. Sebagai orang yang telah mengikat perjanjian untuk
tunduk pada pemerintah Islam, ahl al-dzimmah juga mempunyai hak-hak
dan kewajiban tertentu secara seimbang. Di antara hak mereka adalah,
perlindungan dari segala bentuk pelanggaran, baik dari luar maupun
dalam negeri, terhadap jiwa, harta, benda, keluarga dan kehormatanya.
Merekapun berhak memeperoleh jaminan hari tua. Kalau ternyata
mereka miskin, maka mereka berhak memperoleh tunjangan financial
serta tidak diwajibkan membayar jizyah. Selain itu, ahl al-dzimmi berhak
pula memperoleh kebebasan menjalakan agamanya, bekerja dan
berusaha pula serta memperoleh jabatan tertentu dalam pemerintahan
tanpa sikap diskriminatif terhadap mereka. (Iqbal, 2014: 274)
2.3.3 Musta’min
Secara bahasa “musta’min” merupakan bentuk isim fa’il (pelaku)
dari kata kerja ista’mana. Mengandung pengertian meminta jaminan
keamanan, dan orang yang meminta jaminan tersebut disebut musta’min.
menurut pengertian ahli fikih, musta’min adalah orang yang memasuki
wilayah lain dengan mendapat jaminan keaman dari pemerintah
setempat, baik ia muslim ataupu harbiyun. Menurut al-Dasuki (w.1230 H)
antara musta’mi dan mu’ahid mempunyai pengertian yang sama. Mu’ahid
adalah orang non-muslim yang memasuki wilayah dar al-harb. Musta’min
adalah orang yang memasuki wilayah dar al-Islam sebagai utusan
perdamaian. (Iqbal, 2014: 276)
Istilah musta’min juga dapat digunakan untuk orang-orang Islam
dan ahl al-dzimmi yang memasuki wilayah dar al-harb dengan mendapat
izin dan keamanan dari pemerintah setempat. Hal ini diakui selama
24

mereka hanya menetap sementara di tempat tersebut dan kembali ke dar


al-Islam sebelum izinya habis. Status yang bersangkutan masih tetap
muslim, selama ia tidak murtad. Bila murtad, maka ia menjadi harbiyun.
Sementara itu, ahl al-dzimmah menetap lama di dar al-harb berubah
status mejadi harbiyun. (Iqbal, 2014: 276)
Ajaran Islam membolehkan dar al-Islam menerima permohonan
non–muslim untuk meminta jaminan keamanan berdasarkan surah at-
Taubah, 9:6:

    


            

           

Artinya:
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum
mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan
tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-
orang yang beriman. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan
(Q.S At-taubah :6)

Jaminan keamanan untuk mereka berlaku sesuai masa yang


ditetapkan dalam perjanjian dengan dar al-Islam. Namun mazhab Syafi’I
membatasi masa aman tidak melewati empat bulan, selama musta’min
tersebut bukan mufasir atau utusan politik. Berakhirnya masa aman bagi
mereka terkait dengan berakhirnya kepentinga atau urusan musta’min itu
sendiri. Pembatasan masa aman ini dikhususkan hanya bagi laki-laki,
sedangkan bagi perempuan tidak dikaitkan dengan waktu tertentu.
(Iqbal, 2014: 276)

Menurut mazhab Maliki, keamanan yang tidak dibatasi oleh waktu


dengan sendirinya berakhir setelah melewati masa empat bulan, adapun
keamanan yang dibatasi waktu tertentu berakhir sesuai masanya selama
perjanjian tersebut tidak di batalkan. Mazhab Hanafi dan syi’ah Zaidiah
membatas masa aman maksimal selama setahun. Bila lewat masa setahun,
maka musta’min wajb membayar jizyah kepada pemerintah Islam,
25

sebagaimana halnya ahl al-dzimmi. Sementara mazhab Hanbali memberi


batasan waktu yang lebih luas dan lama, yaitu empat tahun. Ahmad ibn
Hanbal merujuk pendapatnya berdasarkan pada kenyataan sejarah bahwa
para anggota koprs diplomatika memperoleh jaminan selama tiga hingga
empat tahun.(Iqbal, 2014: 277)

2.3.4 Harbiyun
Kata “harbiyun berasal dari harb, berarti “perang”. Kata ini di
gunakan untuk pengertian warga negara dar al harb yang tidak menganut
agama Islam dan antara agama Islam dengan dar al-harb tersebut tidak
menganut hubungan diplomatik. Menurut Syia’ah Imamiyah, istilah
harbiyun dipakai untuk non-muslim selain ahl al-kitab. Pandangan ini
berawal dari asumsi bahwa antara Islam dengan ahl al kitab memiliki
kesamaan, yaitu sama-sama agama samawi yang berasl dari Allah. Orang
–orang harbiyun tidak terjamin keamananya bila memasuki dar al Islam
karena terwujudnya rasa aman bagi mereka adalah berdasarkan salah
satu dari dua hal, yaitu beriman memeluk agama Islam, atau melalui
perjanjian damai. (Iqbal, 2014: 278)
2.4 Hak Kewajiban Negara dan Masyarakat
Sebagaimana diketahui, tidak ada suatu defenisi yang dispekati
tentang negara. Namun , secara umum dapat dapat dijadikan pegangan
sebagaimana lazim dalam hukum internasional bahwa suatu negara
memiliki tiga unsur pokok yaitu (1) rakyat atau sejumlah orang (2)
wilayah tertentu dan (3) pemerintahan yang berwibawa dan berdaulat.
Sebagai unsur komplementer dapat ditambahkan pengakuan oleh
masyarakat internasional atau negara-negara lain. Dalam kaitan dengan
penelitian ini penulis cendurung memahami negara sebagai suatu
kehidupan berkelompok manusia yang mendirikannya bukan saja atas
dasar perjanjian bermasyarakat (kontrak sosial), tetapi juga atas dasar
fungsi manusia sebagai khalifah allah di bumi yang mengemban
kekuasaan sebagai amanah-Nya, karena itu manusia dalam menjalin
26

hidup ini harus sesuai dengan perintah–perintah-Nya dalam rangka


mencapai kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat. Dengan
demikian, secara umum dapat dikatakan, bahwa manusia harus selalu
memperhatikan dan melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar,
sebagaimana diajarkan dalam islam. Penulis memahami istilah negara
hukum merupakan pengertian umum yang dapat dikaitkan dengan
berbagai konotasi. Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan negara
hukum, bukan saja konsep negara hukum sebagaimana dipahami di Barat
yaitu reschsstaat dan rule of low tetapi juga nomokrasi islam. (Azhary,
2003: 17)
2.4.1 Konsep Al-Din Al-Islam Menurut Al-Qur’an
Islam adalah al- din the religion, Istilah al-din hanya ada dalam al-
Qur’an. Ayat tersebut dengan tegas menyatakan bahwa islam adalah al-
din pernyataan ini tercantum dalam surat Ali Imran ayat 19 yang
berbunyi:

    


         
     

              

Artinya:
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka
Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (Q.S Ali imran : 19)

Perkataan al-din dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan


perkataan agama. Sesungguhnya seacara konsepsiaonal perkataan al-din
dan agama mengandung konotasi masing-masing yang sangat berbeda.
Perkataan agama yang suda lazim digunakan dalam bahasa Indonesia.
Konsep al-din dalam al-Qur’an memiliki dua demensi baik legius,spritual,
maupun kemasrakatan, maka wahyu Allah telah dibukukan dalam suci al-
Qur’an dan diperjelas oleh sunah Rasul berisi seperangkat kaidah yang
27

mengatur bagaimana seharusnya manusia sebagai makluk Allah dan


khalifahnya. Melaksanakan hubunganya dengan Allah yang
menciptakannya maupun dengan sesama manusia dalam suatu
masyarakat atau negara, bahkan hubungan antar negara dan hubungan
manusia dengan lingkungan hidupnya. (Azhary, 2003: 26)
2.4.2 Negara Madinah
Negara Madinah yaitu suatu negara yang didirikan oleh nabi
Muhammad saw. Berdasarkan perjanjian al-Aqabah I dan II sertakonsitusi
Madinah. Semua wilayah negara itu adalah kota Yatrib (Madinah) dan
kemudia berkembang selama masa khulafa Rasyidin. Perjanjian Aqabah
adalah perjanjian antara nabi Muhammmad SAW. Dengan degelasai
penduduk Madinah yang telah memilih nabi baik sebagai pemimpin
politik maupun sebagai pemimpin keagamaan. Perjanjian Aqabah I terjadi
pada tahun 620 M, sedangkan perjanjian al-Aqabah II terjadi pada tahun
621 M. Konsitusi Madinah adalah Undang-Undang Dasar negara Madinah
yang terutama mengatur kewajban-kewajiban dan hak-hak warga
negaranya. (Azhary, 2003 :18)
2.4.3 Kedudukan, Hak-hak dan Kewajiban Rakyat
Dalam hal ini, rakyat dalam suatu negara terdiri dari muslim dan
non muslim, yang non muslim ada yang disebut dzimmi dan musta`în.
Kafir dzimmi adalah warga non muslim yang menetap selamanya, serta
dihormati tidak boleh diganggu jiwanya, kehormatannya dan hartanya.
Sedangkan musta`in adalah orang asing yang menetap sementara dan
juga harus dihormati jiwanya, kehormatannya dan hartanya. Kafir dzimmi
memiliki hak-hak kemanusiaan, hak-hak sipil, dan hak-hak politik.
Sedangkan musta`in tidak memiliki hak-hak politik. Mengenai hak-hak
rakyat, menurut Abu al-A`la al-Maududi meliputi perlindungan terhadap
hidupnya, hartanya dan kehormatannya, perlindungan terhadap
kebebasan pribadi, kebebasan menyatakan pendapat dan berkeyakinan,
serta terjamin kebutuhan pokok hidupnya, dengan tidak membedakan
28

kelas dan kepercayaan. Akibat hak-hak yang diterima oleh rakyat, maka
warga negara mempunyai tugas tertentu atas hak- hak negara. Tugas
warga negara yang harus dan wajib ditunaikan menurut Abu al-A`la al-
Maududi adalah patuh dan taat kepada pemerintah dalam batas yang
tidak bertentangan dengan agama, setia kepada negara, rela berkorban
untuk membela negara dari bermacam ancaman, dan bersedia memenuhi
kewajiban materil yang dibebankan padanya oleh negara. Demikian
kewajiban rakyat dan menyerahkan pelaksanaannya pada negara untuk
menjamin keseimbangan antara dua pihak, yakni rakyat dan negara agar
masing-masing hak tidak terlanggar atau mendominasi pihak lainnya.
(Hasan, 2008: 91)
Pertama wilayah atau negara yang di dalamnya tidak terpenuhi
unsur pokok sebagai darul Islam, yaitu pemberlakuan hukum Islam dan
kekuasaan politik yang berada di tangan non-muslim. Kedua, wilayah
atau negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok untuk disebut
sebagai darul Islam meskipun tidak utuh. Wilayahnya dikuasai oleh non-
muslim dan hukum yang berlaku pun bukan hukum Islam. Namun, umat
Islam yang menetap di negara tersebut diberi kelonggaran untuk
melaksanakan sebagian hukum Islam, sehingga dapat disebut Darul Islam
menurut Abu Hanifah, Negara dalam bentuk ini dapat berupa:
a. Darul Harbi yang dipimpin dan dikuasai non muslim, namun umat Islam
di negara ini diizinkan melaksanakan kewajiban agamanya dan sebagian
syiar Islam, seperti salat, zakat, haji, pernikahan dan kewarisan. Kondisi
inilah yang dijadikan alasan oleh al-Mawardi (w.450 H) untuk
mengelompokkannya ke dalam Darul Islam. Muhammad Rasyid Ridha
memperkuat pendapat ini. Berdasarkan pengamatannya terhadap
negara-negara Eropa dan Amerika, ia melihat umat Islam di wilayah ini
dapat dengan aman menjalankan kewajiban agamanya.
b. Wilayah atau negara yang pada mulanya dikuasai umat Islam, tetapi
kemudian diambil alih oleh orang-orang non muslim (kafir), sehingga
29

umat Islam setempat terpaksa tunduk pada mereka, tetapi sesuai dengan
kemampuan dan kondisi yang mereka hadapi. Mereka tetap berjuang
untuk memperoleh hak-hak mereka dari orang-orang kafir tersebut.
Termasuk dalam kategori ini adalah negara-negara di Asia Tengah yang
pernah dicaplok oleh Uni Soviet. Setelah negara Beruang Merah ini bubar
pada akhir 1980-an, negara-negara muslim tersebut, seperti Uzbekistan,
Turkmenistan, Kazakhstan, Tajikistan dan Azerbaijan bangkit kembali
menunjukkan identitas keIslamannya.
c. Wilayah atau negara yang dipimpin oleh orang-orang ahli bid’ah yang
menyatakan secara langsung dan tidak langsung keluar dari barisan
umat Islam yang berpegang kepada al-Quran dan Sunah. Dalam bentuk
lain wilayah ini dipimpin oleh orang-orang fasik, Mereka masih mengaku
sebagai muslim, tetapi tidak menjadikan hukum Islam dalam
pemerintahannya. Mereka menempatkan hukum ciptaan manusia
sebagai aturan yang berlaku. Pemerintahan darul harbi ketiga ini
membiarkan orang-orang Islam menjalankan hukum Islam yang
berhubungan dengan masalah ahwâl al-syakhshiyah (pernikahan,
perceraian, dan kewarisan). Ibn Taimiyah (w.729 H) mengidentikkan
negara ini dengan dâr al-fasiq, karena dipimpin dan didiami oleh orang-
orang fasik. (Hasan, 2008: 93)
2.4.4 Kewajiban Negara dan Pemerintahan
Penyelengaraan mekanisme pemerntahan negara, al-Qur’an
mengemukakan empat prinsip pengguaan kekuasaan politk yang dapat
dipadang sebagai asas-asas pemerintahan dalam sistem politik. Keempat
asas tersebut adalah, (1) asas amanat, (2) asas keadilan, (3) asas ketaatan
(4) asas musyawarah dengan referensi al-Qur’an dan sunah. (Salim, 2002:
298)
Asas pertama mengandung makna bahwa kekuasaan politik yang
dimiliki oleh pemerintah adalah amanat Allah dan juga amanat dari
rakyat yang telah memberikan melaui bai’at. Karena itu asas ini
30

menghendaki agar pemerintah melaksanakan tugas-tugasnya dengan


memenui hak-hak yang diatur dan dilindungi oleh hukum allah, termasuk
didalamnya amanat yang di bebankan oleh agama dan di bebankan oleh
masyarakat dan perorangan sehingga tercapai masyarakat yang sejahtera
dan sentosa. (Salim, 2002:299)
Asas kedua mengandung arti bahwa pemerintah berkewajiban
mengatatur masyarakat dengan membuat aturan-aturan hukum yang adil
berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak diatur secara rinci atau
didiamkan oleh hukum allah. Dengan begitu penyelenggaan
pemerintahan berjalan di atas hukuman bukan atas dasar kehendak
pemerintah atau pejabat. Adanya kreteria adil dalam pembuatan hukum
perundang-undangan menghendaki agar hukum yang dibuat itu
beorientasi kepada fitrah atau kodrat manusia. (Salim, 2002: 299)
Asas ketiga mengandung makna wajibnya hukum-hukum yang
terkandung dalam al-Qur’an dan sunah di taati. Demikian pula hukum
perundang-undangan dan kebijakan pemerintah wajib ditaati. Kewajiban
taat ini tidak hanya dibebankan kepada rakyat, tetapi juga dibebankan
kepada pemerintah. Oleh karena itu, hukum perundang-undangan dan
kebijakan politik yang diambil pemerintah harus sejalan dan tidak boleh
bertentangan dengan hukum agama. Jika tidak demikian, maka kewajiban
rakyat kepada hukum dan kebijakan yang bersangkutan telah gugur
karena agama melarang ketaatan pada kemaksiatan. (Salim, 2002: 299)
Sedangkan asas keempat menghendaki agar hukum-hukum
perudang-undangan dan kebijakan politik ditetapkan melaui
musyawarah diantarara mereka yang berhak. Masalah yang
diperselisihkan antara peserta musyawarah harus diselesaikan dengan
menggunakan ajaran-ajaran dan cara-cara yang terkandung dalam al-
Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Untuk maksud tersebut diperlukan
rumusan metode pembinaan hukum perundang-undangan dan tatacara
31

atau mekanisme musyawarah yang bersumber dari ajaran-ajaran al-


Qur’an dan sunnah. (Salim, 2002: 300)
BAB III
GENOSIDA PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NOMOR
26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

3.1 Pengertian Genosida


Kejahatan genosida adalah sebuah kejahatan pembantaian secara
besar-besaran dan sistematis terhadap suatu suku bangsa atau
kelompok, dengan maksud memusnahkan bangsa tersebut. Kejahatan
genosida dapat dilakukan pada masa damai ataupun di masa perang,
ketika anggota kelompok suatu bangsa, etnis, ras atau agama dibunuh,
atau luka serius atau menciptakan suatu keadaan yang dapat
memusnahkan kelompok tersebut sebagian atau seluruhnya. Genosida
juga dapat terjadi apabila anggota kelompok dicegah untuk melahirkan,
atau anak-anak kelompok tersebut dipidahkan secara paksa kekelompok
lain. (Efendi 2009,1)
Seperti yang dijelaskan oleh Enny Seoprato yang menulis kutipan
makalahnya yang berjudul Kejahatan Terhadap Kemanuasiaan dan
Kejahatan genosida Menurut Insrumen –Insrumen Hukum Internasional
dan Menurut Undang-undang No 26 tahun 2000. Beliau mengatakan
bahawa : kejahatan genosida telah dideklarasikan oleh majelis umum
PBB pada tahun 1946 sebagai kejahatan menurut hukum internasional di
tataran nasional, penjelasan undang- undang 39 tahun 1999 sudah
menyatakan bahwa “pembunuhan massal (genosida) adalah salah satu
kejahatan yang merupakan pelanggaran HAM berat, pernyataan ini
ditegaskan dalam Undang-undang No 26 Tahun 2000 yang menetapkan
genosida di samping kejahatan terhadap kemanusiaan dan sebagai
pelanggaran HAM berat. (Efendi 2009,2)
Di dalam literatur bisa ditemukan berbagai variasi definisi
tentang genosida. Namun, apabila diperhatikan secara cermat, dapat
diketahui adanya benang merah diantara defenisi-defenisi yang pernah
dikemukakan tentang genosida. Berikut ini dikemukakan beberapa
defenisi tentang genosida. (Siswanto,2015; 27)

32
33

Kejahatan genosida merupakan bentuk kejahatan yang


mempunyai tujuan untuk pemusnahan etnis (ethnical cleasing) dengan
melakukan penyerangan terhadap kaum lain. Menurut Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa juga memberikan pernyataan mengenai
kejahatan genosida bahwa kejahatan tersebut mencakup terhadap
kelompok- kelompok politik (political groups), kerena dalam pandangan
komite PBB adalah kelompok-kelompok politik yang tidak dengan
mudah didefenisikan (non- readly identifiapble ) dalam hal kelompok
politik yang menyebabkan gangguan internasional dalam permasalahan
politik dalam negri suatu negara (Widyawati, 2014; 58)

Pengertian genosida secara yuridis yaitu sebagai suatu tindakan


dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, etnis atau agama. Definisi tersebut
merupakan penjelasan yang tertuang di dalam Convention On The
Prevention and Punishment of The Crime of Genoside (Konfensi tentang
Pencegahan dan Pengukuhan terhadap Kejahatan Genosida) pada tahun
1948. Kenfensi genosida tersebut menjadi dasar pengaturan yang
kemudian di jadikan pedoman untuk melakukan pengadopsian, defenisi
dari genosida oleh Statuta Roma tahun1998 dan juga undang-undang
Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Selain itu,
secara umum kejahatan genosida adalah tindakan yang terencana yang
ditunjukkan untuk menghancurkan eksistensi dasar dari bangsa atau
kelompok sebuah entitas, yang diarahkan pada individu- individu yang
menjadi anggota kelompok bersangkutan, pada tanggal 11 Desember
1946 dimana Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa dengan suara
bulat mengeluarkan resolusi yang mengatakan bahwa kejahatan
genosida adalah penyangkalan atas eksistensi kelompok manusia secara
keseluruhan yang menguncang nurani masyarakat. (Widyawati, 2014;
59)
34

Konvensi genosid tahun 1948 memberi batasan genosida dengan


memuat dua kategori unsur, yaitu unsur tujuan dan unsur deskripsi
tindakan. Unsur tujuan dari formulasi kalimat bahwa genosida dilakukan
dengan tujuan menghancurkan keseluruhan atau sebagian dari
kelompok kebangsaan, etnik, ras, atau agama tertentu (committed with
intent to destroy, in whole or in part, a national,etnical racial or religious
group) unsur deskripsi tindakan terlihat dari formulasi kalimat yang
merinci jenis-jenis perbuatan yang jika digabungkan dengan unsur
tujuan merupakan tindakan genoida. (Siswanto,2015;29)

Pengertian yang tercantum dalam Statuta Roma tahun 1998 terdapat


di dalam pasal 6 yang memberikan pengertian mengenai genosida,
bahwa :
For the porpuse of this tatute, “genocide” means any of the following
acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national,
athical, racial or religious group, as such :
1. killing members of the group
2. causing serious bodily or mental harm to members of the group
3. delibrateli inflicting on the group condition of life calculated to bring
about its physical destruction in within in whole or in part
4. imposing measures intended to prevent births within the group
5. forcibly transferring children of the group to another
group.(Widyawati, 2014; 60)

Penjelasan dari pengaturan pasal 6 Statuta Roma tahun 1998 di


atas memberi pengertian bahwa genosida berarti tindak kejahatan
dengan maksud untuk menghancurkan secara keseluruhan ataupun
sebagian suatu kelompok berdasarkan bangsa, ras, etnik, atapun agama.
Perbuata penghancuran yang dimaksud tersebut dapat dilakukan dengan
berbagai bentuk kejahatan yaitu:
a. Membunuh aggota kelompok
b. Menyebebkan luka parah atau merusak mental anggota kelompok
c. Dengan sengaja mengancam jiwa anggota kelompok yang
menyebabkan luka fisik baik sebagian maupun keseluruhan
35

d. Melakukan tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran


dalam kelompok
e. Memindahkan anak-anak secara paksa dari suatu kelompok ke
kelompok lain (Widyawati, 2014; 60)

Dalam Undag-Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2000


tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dijelaskan bahwa genosida
sebagai salah satu dari kejahatan pelanggaran HAM berat di samping
kejahatan kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 7 Undang-
Undang Nomor 26 tahun 2000 sebagai berikut :

Pasal 7 : pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:


a. Kejahatan genosida
b. Kejahatan terhadap kemanusiaan
Sedangkan yang dimaksud dengan kejahatan genosida dalam undang-
undang ini dijelaskan dalam Pasal 8 sebagai berikut :
Pasal 8 : Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam pasal 7
huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara :
a. Membunuh anggota kelompok
b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat
terhadap anggota-anggota kelompok
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh ataupun
sebagiannya
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah
kelahiran di dalam kelompok
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu
kekelompok lain. (Widyawati, 2014; 60)

3.2 Jenis-Jenis Genosida


Dari pasal 6 statut Roma tentang kompetensi mahkamah pidana
internasional dalam mengadili kejahatan genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi serta beranjak dari pasal 8
36

undang- undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2000 tentang


pengadilan hak asasi manusia, yang mengatur tentang kejahatan genosida
yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, maka jenis-jenis kejahatan
genosida adalah sebagai berikut:
1. Pembunuhan terhadap anggota kelompok
Pembunuhan di rumuskan dengan sengaja menghilangkan nyawa
orang lain secara sistematis dan berkaitan dengan ada atau tidaknya
suatu kebijakan atau rencana mendasari terjadinya serangan tersebut.
Serangan sistematik juga tercakup dalam pengertian sistematik itu
adalah persiapan penggunaan atau pengerahan sumber-sumber
fasilitas negara, baik militer maupun lainnya dalam melakukan
penyerangan. Berdasarkan fakta-fakta yang di temukan dalam
penyelidikan, unsur sistematik dari penyerangan pada ketiga
rangkaian peristiwakan fakta-fakta yang di temukan dalam
penyelidikan, unsur sistematik dari penyerangan pada ketiga
rangkaian peristiwa itu sangat nyata terpenuhi pada kontak fisik
kedua. Secara formil dan materil bahwa telah tersusun rapi memang
di tunjukkan untuk memusnahkan suatu kelompok. (Widyawati, 2014;
61)
Selain terpenuhinya unsur sistematik pada ketiga rangkain
peristiwa tersebut juga memenuhi unsur meluas ( widespread). Dari
berbagai praktik selama ini dan mengacu pada hukum hak asasi
manusia internasional, yang di maksud dengan meluas mengacu
kepada frekuensi penyerangan yang terus berulang (frequent), skala
dari suatu perbuatan, baik dari segi sebaran tempat maupun jumlah
korban. Kendati demikian, pengertian meluas, tidak selalu menunjuk
pada adanya rentetan tindak kejahatan yang berlangsung secara
komulatif dan terjadi di berbagai tempat secara bersamaan. Tetapi
37

besaran (magnitude) yang luar biasa dari sebuah tindak kejahatan


yang terjadi sudah cukup (sufficient) mengatakan kejahatan terhadap
kemanusiaan. (Widyawati, 2014; 61)
Berdasarkan hasil penyelidikan pada ketiga rangkaian peristiwa
itu, unsur meluas terpenuhi dengan nyata dari frekuensi serangan
yang terus menerus dilakukan dengan skala perbuatan yang terjadi di
sana. Pada peristiwa kontak fisik pertama dan kedua penyerangan ke
pusat kelompok, penyerangan pengungsi, serta penyerangan kereta
api, penyerangan yang dilakukan berlangsung berulang-ulang, dengan
melakukan penembakan secara memababi buta (indiscriminate
shooting) dan pembunuhan terhadap warga sipil (sebagian kelompok)
kegiatan yang berulang ini tidak pernah di koreksi, tetapi di benarkan
dengan alasan pengamanan. Sekala perbuatan yang di temukan di
sana dapat dikatakan sangat luas, yakni bukan hanya tindakan
pembunuhan dan penganiayaan yang terjadi, tetapi juga mencakup
perbuatan-perbuatan kejam dan tidak manusiawi lainnya berlangsung
pada lima rangkaian peristiwa tersebut. Selain itu, terpenuhinya
unsur-unsur meluas juga terlihat pada besarnya jumlah warga sipil
yang mejadi korban dari rangkaian perbuatan pada lima peristiwa
tersebut, yang bukan hanya terbatas pada kelompok tetapi
masyarakat pada umumnya (direted against a multicipily ofvictim).
(Efendi 2009,48)
Unsur dari pembunuhan kelompok tersebut adalah : pelaku
secara sengaja membunuh satu atau lebih anggota kelompok, tanpa
ada kebutuhan untuk perencanaan yang di lakukan dan korban
tersebut termasuk dalam kelompok etnis, ras, kebangsaan, atau agama
yang menjadi target.
Statuta yang diadopsi dari ketentuan dalam Konvensi Genosida,
mengacu pada istilah meurtre dalam versi prancis dan killing dalam
vesi Inggris. Dalam pandangan sidang istilah killing mencakup baik
38

pembunuhan yag bersifat sengaja maupun tidak sengaja. Sedangkan


meurtre mencakup pembunuhan yang dilakukan dengan niat untuk
menyebabkan kematian. Pembunuhan yang dimaksudkan bahwa
pembunuhan yang dilakukan dengan niat untuk menyebabkan
kematian harus di anggap sebagai pembunuhan. Jadi kedua istilah
meutre dan killing di hubungkan pada tujuan untuk menghancurkan
secara keseluruhan maupun untuk sebagian. Keduanya harus
mengacu pada pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja tetapi
tidak harus pembunuhan berencana. (Efendi 2009,49)
2. Penganiayaan Terhadap Fisik dan Mental
Kejahatan genosida tersebut mengakibatkan luka fisik atau
mental yang serius seperti penyiksaan, baik secara fisik atau mental,
perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan dan penganiayaan
luka fisik yang serius dan luka mental yang serius harus di tentukan
berdasarkan kasus perkasus dengan menggunakan pendekatan sesuai
pemikiran sehat. (Widyawati, 2014; 62)
Pengertian menimbulkan luka fisik yang serius umumnya sudah
jelas dengan sendirinya, dan dapat ditafsirkan menyebabkan cacat
atau menyebabkan luka serius terhadap organ eksternal, internal,
atau pikiran sehat. Menimbulkan luka mental yang serius harus
diinterpretasikan berdasarkan kasus-perkasus sesuai dengan
yurisprudensi yang relevan. Luka fisik atau mental yang serius
termasuk juga di dalamnya adalah tindakan-tindakan penyiksaan
terhadap fisik atau mental, perlakuan tidak manusiawi atau
merendahkan, pemerkosaan, kekerasan seksual, dan penganiayaan.
( Efendi 2009,49)
Luka fisik yang ditimbulkan tanpa syarat bersifat permanen atau
tidak dapat di sembuhkan. Pemerkosaan atau kekerasan seksual
lainnya dapat menyebabkan penderitaan yang berat terhadap fisik
dan mental dari anggota kelompok. Kematian pada saat diintrogasi
39

dilakukan, baik disertai dengan pemukulan atau tidak dapat


menyebabkan penderitaan yang berat terhadap fisik dan mental dari
anggota kelompok tersebut. (Efendi 2009,50)
3. Rekayasa Secara Sistematis Terhadap Penghancuran Fisik
Frase ini berarti bahwa metode penghancuran yang di pakai oleh
pelaku adalah metode yang tidak secara langsung membunuh anggota
kelompok, tetapi pada akhirnya menuju kehancuran anggota
kelompok itu secara fisik, termasuk di antaranya adalah dengan
membuat anggota kelompok hidup pas-pasan atau sekedarnya, secara
sistematis mengusir anggota kelompok dari rumah kediaman mereka,
dan mengurangi pelayanan kesehatan hingga di bawah syarat
minimum yang di butuhkan. (Widyawati, 2014; 62)
Selain itu, secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas
kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menimbulkan
kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian, termasuk
keadaan-keadaan yang akan menimbulkan kematian secara perlahan
misalnya kurangnya fasilitas tempat berteduh yang layak, pakaian
bersih, obat-obatan, atau di paksa melakukan pekerjaan berat baik
secara fisik maupun mental dan metode-metode penghancuran yang
tidak secara langsung menimbulkan kematian terhadap anggota
kelompok. Kondisi-kondisi kehidupan yang di gambarkan tersebut di
atas termasuk tindakan-tindakan pemerkosaan, menyebabkan
kelaparan bagi sekelompok orang, dan tidak memberikan akomodasi
kehidupan yang cukup dalam periode waktu yang cukup. ((Efendi
2009,51)
4. Pencegahan reproduksi dan pemaksaan kontrasepsi
Memaksakan tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mencegah
kelahiran dalam kelompok mencakup aborsi, stelisasi, pemaksaan
kontrasepsi, pemisahan berdasarkan jenis kelamin, dan menghambat
perkawinan. Tindakan-tindakan tersebut dapat mengakibatkan
40

penderitaan secara mental maupun fisik. Sebagai contoh pemerkosaan


merupakan tindakan perempuan yang hamil karna diperkosa
akhirnya menolak untuk melahirkan. (Widyawati, 2014; 62)
Kejahatan ini sebagai salah satu jenis kejahan yang tujuannya
adalah untuk memusnahkan suatu kelompok dengan berbagai cara, di
antaranya adalah pemaksaan stelisasi, pemaksaan strelisasi berkaitan
dengan perampasan daya reproduksi biologis seseorang, yang selain
tidak di benarkan oleh pengobatan medis atau rumah sakit orang yang
bersangkutan, juga tidak dilaksanakan berdasarkan persetujuan yang
sejati atau sesungguhnya dari orang tersebut yang sebagaimana dapat
di simpulkan dari elemen-elemen kejahatan ini. Perampasan daya
reproduksi biologis seperti ini selain tidak dibenarkan secara
kedokteran tentunya bertentangan pula dengan prinsip-prinsip dan
hukum lainnya. Pemaksaan strelisasi secara khusus merupakan suatu
bentuk dari pemaksaan tindakan yang dimaksud untuk mencegah
kelahiran di dalam kelompok tersebut. Selain itu stelisasi tanpa
persetujuan ini adalah sebagai bagian dari kejahatan genosida. (Efendi
2009,51)
5. Pemindahan Anak-anak Secara Paksa
Pengertian kejahatan ini sebagai perpindahan orang-orang yang
bersangkutan secara paksa dengan pengusiran atau tindakan-
tindakan pemaksaan lainnya dari daerah dimana mereka hidup
(tinggal) secara sah. Deportasi atau pemindahan populasi secara
paksa yang secara jelas menggambarkan suatu perbedaan antara
deportasi-deportasi dan pemindahan-pemindahan populasi sah dan
tidak sah. (Efendi 2009,52)
Selanjutnya bahawa kata pemindahan populasi secara paksa
( forcible transfer of population) ditambah sebagai suatu alternatif bagi
deportasi agar mencakup pergerakan dengan skala besar di dalam
batas-batas negara. Larangan terhadap deportasi termasuk
41

pemindahan penduduk adalah pemindahan secara paksa (force


removal) orang dari suatu negara ke negara lain, sedangkan
pemindahan populasi penduduk berlaku untuk gerakan orang atau
rakyat yang diwajibkan (compulsory movement of people) dari suatu
daerah ke daerah lainnya di dalam negara yang sama. Sanksi yang
diberikan tidakhanya ditujukan kepada tindakan berupa pemindahan
fisik secara paksa, tetapi juga terhadap tindakan berupa pemindahan
anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain seacara paksa dan
di bawah ancaman yang mana tindakan tersebut dapat menyebabkan
trauma.(Efendi 2009,52)
3.3 Perbuatan-Perbuatan yang Dapat Dihukum dalam Genosida
a. Persekongkolan Kejahatan Genosida
Persekongkolan kejahatan genosida adalah defenisi sebagai
sebuah perjanjian antara dua orang atau lebih untuk melakukan
kejahatan genosida. Unsur perjanjian ini mensyaratkan adanya sebuah
perjanjian yang menegaskan terhadap unsur kejahatan
persekongkolan. Means rea dari kejahatan konspirasi untuk
melakukan kejahatan genosida terletak pada tujuan yang di
selenggarakan bersama untuk melakukan kejahatan geonosida, yaitu
menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian suatu kelompok
kebangsaan, etnis, atau agama tertentu. Syarat niat untuk konspirasi
dalam melakukan kejahatan genosida adalah niat yang disyaratkan
untuk kejahatan genosida yaitu dolus specialis dari kejahatan
genosida. (Efendi 2009,53)
Kejahatan persekongkolan untuk melakukan kejahatan genosida
dapat dihukum walaupun kejahatan tersebut gagal mencapai hasil,
bahkan bila perbuatan yang sesungguhnya pada kenyataanya tidak
dilakukan. Persekongkolan untuk melakukan kejahatan genosida
dapat disimpulkan dari tindakan-tindakan terkoordinasi oleh individu
yang memiliki kesamaan tujuan dan bertindak dalam rangka yang
42

sama. Persekongkolan untuk melakukan kejahatan genosida dapat


terdiri dari tindakan individual dalam kapasitas internasioanal atau
bahkan secara independen berdasarkan hubungan personal yang satu
dengan yang lain. (Efendi 2009,53)
Persekongkolan adalah delik permulaan, dan dengan demikian
memiliki sifat berkelanjutan yng memuncak pada kejahatan tersebut
sebagaimana yag dimaksud dalam persekongkolan. Delik
persekongkolan masyarakat adanya perjanjian yang merupakan unsur
yang menentukan dari kejahatan persekongkolan. (Efendi 2009,53)
b. Penghasutan Publik Secara Langsung untuk Melakukan Genosida
Penghasutan publik secara langsung diartikan sebagai secara
langsung memprovokasi para pelaku untuk melakukan kejahatan
genosida baik melaui pidato, teriakan atau ancaman yang
dikemukakan ditempat-tempat publik atau pertemuan publik,
melalui penjualan atau penyebaran penawaran untuk memamerkan
materi di ditempat-tempat publik atau dengan pertunjukan plakat
atau poster terhadap publik atau melalui cara komunikasi
audiovisual. (Efendi 2009,54)
Dalam sistem hukum common law penghasut didefenisikan
sebagai tindakan yang mendorong atau membujuk orang lain untuk
melakukan suatu perbuatan, dan bahwa ancaman atau bentuk-bntuk
tekanan lain merupakan bentuk penghasutan. Sedangkan sistem
hukum civil law menghukum penghasutan publik yang dilakukan
secara langsung dengan mengasumsikan bahwa provokasi
merupakan sebuah tindakan(Efendi 2009,54)
c. Penyertaan dalam Kejahatan Genosida
Penyertaan didefenisikan sebagai perbuatan persekongkolan,
penghasutan atau penyediaan. Penyertaan untuk melakukan
kejahatan genosida mengacu pada semua bentuk tindakan dalam
bentuk bantuan atau mendorong secara substansial berkontribusi
43

pada timbulnya akibat yang substansial pada kejahatan genosida.


(Efendi 2009,55)
Selain itu penyertaan didefenisikan sesuai dengan hukum
pidana Rwanda dan mendaftar unsur-unsur di bawah ini sebagai
penyertaan dalam kejahatan genosida:
a. Penyertaan melalui alat-alat seperti senjata, alat-alat atau benda
dalam bentuk apapun yang digunakan untuk melakukan
kejahatan genosida.
b. Penyertaan dengan mengetahui, membantu atau menggerakkan
pelaku kejahatan genosida dalam perencanaan atau membuat
tindakan tersebut berkemungkinan terjadi.
c. Penyertaan dengan menganjurkan, dengan mana seorang
bertanggung jawab walaupun tidak secara langsung dalam
kejahatan genosida, memberikan instruksi untuk melakukan
kejahatan genosida melalui pemberian hadiah, janji, ancaman,
penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan, akal bulus atau
kelicikan yang dapat dipersalahkan kepadanya, atau secara
langsung menghasut untuk melakukan kejahatan gonosida.
(Efendi 2009,55)
Penyertaan dalam kejahatan genosida tidak mensyaratkan
niat khusus genosida, tujuan dari para pelaku adalah untuk
membantu atau menggerakkan satu atau beberapa orang untuk
melakukan kejahatan genosida. Oleh karena itu, penyertaan dalam
kejahatan genosida tidak membutuhkan dolus speciais, misalnya
tujuan khusus untuk menghancurkan secara keseluruhan atau
sebagian kelompok kebangsaan, etnis, atau agama tertentu. Karena
itu terdakwa bertanggungjawab sebagai pelaku dalam kejahatan
genosida apabila ia mengetahui ia membantu atau menghasut atau
menggerakkan satu orang atau lebih untuk untuk melakukan
kejahatan genosida, walaupun terdakwa tidak memiliki tujuan
44

khusus untuk menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian


kelompok nasional, etnis, ras, atau agama. (Efendi 2009,56)
Penyertaan hanya dapat terlakasana ketika ada tindakan pokok
yang dapat dihukum dari perbuatan di mana pelaku melibatkan
dirinya. Dengan demikian, penyertaan mengimplikasikan perbuatan
dasar yang dilakukan oleh seorang yang bukan pelaku. Untuk
menyatakan bahwa terdakwah bersalah dalam penyertaan ini, yang
pertama harus dibuktikan adalah bahwa kejahatan genosida
memang sudah dilakukan. (Efendi 2009,56)
3.4 Penanganan Genosida menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2000
Dalam Undang-undang nomor 26 tahun 2000 penanganan tentang
tindak pidana genosida dan pelanggaran hak asasi manusia disebutkan
sebagai beriku:
Penangkapan
Pasal 11
(1) Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan
untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan
bukti permulaan yang cukup.

(2) Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan
memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan
penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
dipersangkakan.

(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud


dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya segera
penangkapan dilakukan

(4) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat


perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera
menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada
penyidik.
(5) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan untuk
paling lama 1 (satu) hari.
45

(6) Masa penangkapan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.

Penahanan
Pasal 12
(1) Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang
melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan
penyidikan dan penuntutan.
(2) Hakim Pengadilan HAM dengan penetapannya berwenang melakukan
penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.
(3) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan pelanggaran
hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang cukup, dalam
hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi pelanggaran hak
asasi manusia yang berat.
Pasal 13
(1) Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling
lama 90 (Sembilan puluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh
Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis
dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat,
diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua
Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

Pasal 14
(1) Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling
lama 30 (tiga puluh)hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperpanjang untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua
Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis
dan penuntutan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat
diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadlilan
HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

Pasal 15
(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan
HAM dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
46

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat


diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh
Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

Bagian Kelima
Penyidikan
Pasal 21
1. Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dilakukan oleh Jaksa Agung.
2. Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk
kewenangan menerima laporan atau pengaduan.
3. Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas
unsur pemerintah dan atau masyarakat.
4. Sebelum melaksanakan tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan
sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing.
5. Unsur dapat diangkat menjadi penyidik ad hoc harus memenuhi
syarat :
a. warga negara RI;
b. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan
paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
c. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang
mempunyai keahlian dibidang hukumi
d. sehat jasmani dan rohani
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakukan tidak tercela;
f. setia kepada Pancasila dan undang-Undang Dasar 1945;
dan
g. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi
manusia.
Pasal 22
(1) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3)
wajib diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung
sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh
penyidik.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh
Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis
dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat
diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan
HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat
47

(1) dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib
dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa
Agung.

(2) Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan,


penyidikan hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila
terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan
untuk dilakukan penuntutan.

(3) Dalam hal penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam


ayat (4) tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka
korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas
atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan
praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah
hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Dalam penanganan genosida menurut undang-undang nomor 26


tahun 2000 ini pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa
memutuskan perkara tersebut. Dalam penanganan tindak genosida ini
menurut Undang-undang nomor 26 tahun 2000 dalam menangani perkara
genosida ini sudah dijalankan sesuai tatacara mengadili tindak pidana yakni
hakim melakukan penangkapan, penahanan, penyidikan dan penuntutan.

Diundangkanya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang


Pengadilan Hak Asasi Manusia menjadi tonggak baru penegakan hak asasi
manusia di Indonesia. Jelas bahwa nafas yang dibawa dalam undang-undang
tentang pengadilan hak asasi manusia adalah suatu rezim hukum pidana
internasional yang dikontruksikan untuk menangani suatu kejahatan yang
luar biasa. Rumusan- rumusan dalam Statuta Roma, meskipun tidak diadopsi
secara penuh, menjadi acuan dalam penyusunan undang-undang tentang
pengadilan hak asasi manusia. Setidaknya di Indonesia telah di jalankan
mekanisme pengadilan kriminal melaui tiga pengadilan hak asasi manusia
untuk mengadili kejahatan kemanusiaan, yakni kasus Timor Timur, kasus
Abeputra dan kasus Tanjung Priok.
BAB IV
ANALISIS FIKIH AL-DAULAH TERHADAP KEJAHATAN GENOSIDA

4.1 Pengusiran Penduduk Perspektif Fikih al-Daulah


Pengusiran penduduk menurut undang-undang nomor 26 tahun
2000 tentang pengadilan hak asasi manusia dalam pasal 9 huruf d
dijelaskan bahwa yang di maksud dengan pengusiran atau pemindahan
penduduk secara paksa dengan cara mengusir atau tindakan pemaksaan
yang lain dari daerah mana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa
didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional. (Undang-
Undang nomor 26 tahun 2000)
Kejahatan tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7
huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan
tersebut di tunjukan secara langsung terhadap penduduk sipil. (Undang-
Undang nomor 26 tahun 2000)
Seperti yang telah di jelaskan dalam undang-undang nomor 26
tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia dapat penulis
simpulkan pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa adalah
perbuatan pemimpin Negara yang mengusir penduduk dari daerah mana
mereka tinggal secara sah, tindakan tersebut dilakukan secara langsung
terhadap penduduk sipil. Tindak kejahatan genosida tentang pengusiran
penduduk ini Negara mengusir penduduk yang bertempat tinggal dari
daerah mana mereka tinggal secara sah tanpa didasari dengan alasan
yang jelas dan tanpa didasari alas an yang diijinkan oleh hukum
internasioal.
Ketentuan pidana dalam undang-undang nomor 26 tahun 2000
tentang pengadilan hak asasi manusia yakni setiap orang yang
melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam dalam pasal 9
huruf a b c d atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun

48
49

atau paling singkat 10 ( sepuluh ) tahun. (undang-undang nomor 26


tahun 2000)
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, hal ini sangat
dilarang dalam Islam. Bahkan Allah SWT akan menistakan orang-orang
atau kelompok tertentu yang melakukan pengusiran tersebut didunia
serta memberikan siksaan yang sangat pedih kelak di hari kiamat.
Sebagaimana firman-Nya:

             

    


   
      

          

           
  

               

    

Dan ingatlah, ketika Kami mengambil janji dari kamu yaitu kamu tidak
akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan
mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu,
kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu
mempersaksikannya. Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu
(saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan dari pada kamu dari
kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan
membuat dosa dan permusuhan. tetapi jika mereka datang kepadamu
sebagai tawanan, kamu tebus mereka, Padahal mengusir mereka itu
(juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al
kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? tiadalah
balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa
yang kamu perbuat (Q.S Al-Baqarah 84-85)

Ayat tersebut menegaskan bahwa pengusiran dan pemindahan


penduduk secara paksa sudah jelas dilarang, Islam dalam pandangan
fikih daulah memandang dan memberikan kebebasan bagi orang non-
muslim menetap di dar al-islam selama orang tersebut membayar jizyah
50

baik itu harbiyun, must’amin dan azimmah mereka memiliki hak dan
kewajiban di negara Islam selama mereka menetap di negara Islam,
orang non- muslim yang hidup berdampingan dengan orang Islam wajib
dilindungi dan di berikan rasa aman oleh pemerintahan Islam itu sendiri.
Orang –orang non muslim diperbolehkan tinggal di negara Islam
selama mereka tunduk dan mematuhi peraturan di negara Islam, dan
mereka tidak boleh di usik kemanannya dan menciptakan rasa tidak
aman bagi mereka, mereka berhak untuk di lindungi dan memeliki hak
yang sama dinegara Islam itu sendiri, baik di kalangan politik dan lain
sebagainya, sebagaimana yang telah di jelaskan dalam bab 2 di atas
tentang hak-hak dan kewajiban non-musllim di negara islam cara- cara
memberlakukanya apabila berdampingan dengan orng islam.
Memindahkan anak secara paksa dari suatu kelompok kekelompok
lain yaitu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan melaui paksaan
untuk memindahkan kelompok anak-anak yang sebelumnya mendiami
daerah tertentu dengan maksud untuk memisahkan kekelompok lain.
Korban yang dimaksudkan anak yang belum berumur 18 tahun.
Tindakan yang dilakukan itu menimbulkan rasa ketakutan dengan
bentuk kekerasan, pemaksaan secara fisik, penangkapan, tekanan
pisikologi kepada anak-anak tersebut yang akan di pindahkan ketempat
lain dengan paksaan. Karena perbuatan pemindahan anak yang
dilakukan secara paksa dapat mengakibatkan gangguan yang serius di
dalam kelangsungan hidup anak di masa depan dan perkembangan suatu
kelompok tertentu.
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu
bentuk pengusiran penduduk dalam pengertian tindak kejahatan
genosida adalah memindahkan anak secara paksa dari suatu kelompok
ke kelompok lain dengan tujuan menimbulkan rasa ketakutan, dengan
bentuk kekerasan, pemaksaan secara fisik, pemindahan perbuatan
pemindahan penduduk secara paksa dapat mengakibatkan gangguan
51

serius dalam kelangsungan hidup anak, dan kelangsungan hidup


kelompok tertentu.
4.1.1 Kesatuan Umat Manusia
Meskipun manusia ini berbeda suku berbangsa-bangsa, berbeda
warna kulit, berbeda tanah air bahkan berbeda agama, akan tetapi
merupakan satu kesatuan manusia karena sama-sama makluk Allah,
sama bertempat tingggal di muka bumi, sama-sama mengharapkan
kehidupan yang bahagia dan damai. Dengan demikian, maka perbedaan-
perbedaan di antara manusia harus disikapi dengan pikiran yang positif
untuk saling memberikan kelebihan masing-masing. Al–Qur’an
mengisaratkan kesatuan dalam surah ar-Rum :22

        


   
    

 

Artinya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi
dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang
demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
mengetahui (Q.s ar-Rum 22)

4.1.2 Al-A’Dalah
Di dalam siyasah dauliyah, hidup berdampingan dengan
damai baru terlaksana apabila didasarkan kepada keadilan antar
manusia maupun berbagai antar bernegara, bahkan perang pun
terjadi karena salah satu pihak merasa diperlakukan tidak adil.
Oleh karena itu ajaran Islam mewajibkan penegakan keadilan
baik terhadap diri sendiri, keluarga, tetangga, bahkan terhadap
musuh sekalipun kita wajib bertindak adil. Ayat yang
membicarakan tentang keadilan QS an- Nahl : 90
52

         


  
     

     

Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran. (QS An- Nahl : 90)

4.1.3 Al-Musawah (Persamaan)


Manusia memiiki hak-hak yang sama, untuk mewujudkan keadilan
adalah mutlak mempersamakan manusia di hadapan hukum. kerjasama
internasional sulit dilaksankan apabila tidak dalam kesederajatan antar
negara dan antar bangsa. Demikian pula setiap manusia adalah subjek
hukum penanggung hak dan kewajiban yang sama. Semangat dari Al-
Qu’an dan Hadis Nabi serta prilaku para sahabat yang membebaskan
budak adalah untuk mewujudkan persamaan kemanusiaan ini. Karena
perbudakan menunjukan adanya ketidak sederajatan kemanusiaan. Hak
hidup dan hak memiliki dan kehormatan kemanusiaan harus sama-sama
dihormati dan dilindungi. (Djazuli, 2003; 124)
Dalam konsep siyasah dauliyah dapat diambil kesimpulan bahwa
pengusiran penduduk dalam pandangan fikih dauliyah tidak di bolehkan
dalam ajaran islam. Dalam siyasah dauliyah, hidup berdampingan dengan
damai baru terlaksana apabila didasarkan kepada keadilan antar
manusia maupun antar bernegara. Bahkan perang pun terejadi karena
salah satu pihak merasa di perlakukan tidak adil, meskipun manusia ini
berbeda suku berbangsa-bangsa, berbeda warna kulit, berbeda Tanah Air
bahkan berbeda agama, akan tetapi merupakan satu kesatuan manusia
karena sama-sama makluk Allah. sama bertempat tingggal dimuka bumi,
sama-sama mengharapkan kehidupan yang bahagia, dan damai sama-
sama dari Adam. Dengan demikian, maka perbedaan-perbedaan diantara
53

manusia harus disikapi dengan pikiran yang positif untuk saling


memberikan kelebihan masing-masing

4.1.4 Tasamuah (Toleransi)


Dasar ini tidak mengandung arti harus menyerah pada kejahatan atau
memberi peluang kepada kejahatan. Allah mewajibkan menolak
permusuhan dengan tindakan yang lebih baik, penolakan dengan yang
lebih baik ini akan menimbulkan persahabatan bila dilakukan pada
tempatnya.
Dijelakan dalam ayat Al-Qur’an surah Fusilat :34

              

   


Artinya:
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS.Fusilat :
34)

Kehidupan ini tidak bisa dikembangkan atas dasar dendam,


kebencian dan paksaan, kehidupan sesama bisa dibina dan
dikembangkan atas dasar pemaaf, kasih sayang dan dialog. Hal semacam
ini telah diprakktikan oleh nabi antara lain pada waktu membebaskan
kota Mekkah terhadap penduduk Mekkah Nabi berkata: Pada hari ini,
tidak ada cercaan terhadap kamu mudah-mudahan Allah mengampuni
kamu, pergilah kamu semua bebas. Tasamuh dalam Islam adalah
toleransi yang berangkat dari ajaran agamanya, bukan tsamuh karena
kebutuhan teporal atau kepentingan sesaat.( Djazuli, 2003; 126)
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan Islam
mengajarkan sifat toleransi antar sesama umat beragama baik itu
berlainan agama, manusia yang terdiri dari berbagai macam perbedaan
warna kulit, ras, suku, menurut islam itu adalah satu kesatuan, bahkan
Islam itu sendiri memberikan toleransi terhadap orang kafir yang ingin
54

tinggal dan hidup berdampingan dengan orang muslim selama orang


kafir itu mematuhi aturan yang ada di negara Islam serta membayar
Jizyah.
4.2 Perampasan Harta, kemerdekaan Perspektif Fikih Daulah
Menurut Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan
hak asasi manusia perampasan harta pasal 9 huruf e cukup jelas di
jelaskan dalam Undang-undang huruf e tersebut. Perampasan
kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lainnya secara
sewenang-wenang yang melanggar ketentuan pokok hukum
Internasional. Ketentuan pidana dalam undang-undang nomor 26 tahun
2000 tentang pengadilan hak asasi manusia yakni setiap orang yang
melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam dalam pasal 9
huruf a b c d atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun
atau paling singkat 10 ( sepuluh ) tahun. (undang-undang nomor 26
tahun 2000)
hal ini sangat dilarang dalam Islam. Bahkan Allah SWT
memerintahkan hamba-Nya untuk berperang apabila ada pihak lain yang
sengaja memerangi sebagai upaya untuk mempertahankan diri. Islam
mengakui dan menghormati hak asasi manusia dalam masalah harta,
oleh karena itu harta harus di lindungi secara maksimal dari segala
bentuk pelanggaran. Sebagaimana perlindungan terhadap hak lainnya,
hak yang berkaitan dengan harta yang dilindungi dari dua arah dari segi
perwujudan dari segi penjagaannya dan dari kerusakan.(Ikhwan,2010;
87)
Dengan sengaja menciptakan keadaan kehidupan yang bertujuan
mengakibatkan kelompok tersebut musnah secara fisik baik sebagian
ataupun sebagian lainnya yaitu suatu perbuatan dengan sengaja
menghilangkan sumber-sumber yang di gunakan untuk kelangsungan
kehidupan oleh suatu kelompok seperti air bersih, makanan, pakaian dan
55

tempat tinggal (perlindungan) tindakan yang dilakukan dengan maksud


menghilangkan sumber-sumber kelangsungan hidup manusia dari
berbagai bentuk misalnya perbuatan perbuatan yang dilakukan melaui
pengambilan hasil panen, pemblokiran bahan makanan ataupun
perumahan-perumahan yang digunakan untuk tempat tinggal suatu
kelompok tertentu, termasuk juga pemindahan dan pengusiran
kelompok secara paksa. Perbuatan lain yang dilakukan dengan maksud
membuat kelaparan, tidak terdapatnya fasilitas tempat perlindungan
yang aman, di paksa melakukan pekerjaan berat baik fisik maupun
mental. (Widyawati.2014;61)
Berdasarkan kutipan diatasi dapat penulis disimpulkan Islam
mengakui dan menghormati hak asasi manusia dalam masalah harta,
oleh karena itu harus di lindungi dari segala hal betuk pelanggaran. Yang
termasuk kedalam kejahatan genosida adalah dengan sengaja
menghilangkan sumber-sumber kelangsungan hidup oleh suatu
kelompok terhadap kelompok lain, baik itu air besih, makan dan tempat
tinggal.

4.2.1 Prilaku Moral yang Baik (Al Aklak al-Karimah)


Prilaku yang merupakan dasar moral di dalam hubunga antara
manusia, antara umat dan antara bangsa di dunia ini, selain itu prinsip ini
pun diterapkan terhadap seluruh makluk Allah dimuka bumi. Inilah
dasar-dasar siyasah didalam hubungan internasonal atau siyasah
dauliyah, dasar-dasar tersebut semuanya mengacu kepada manusia
sebagai satu kesatuan umat manusia, atau dengan kata lain dasar-dasar
tersebut dalam rangka hifzu al- Ummah dalam ruang lingkupnya yang
paling luas yaitu seluruh manusia yang diikat oleh rasa uhwah insamiyah
disamping umat dalam arti komunitas agama baik muslim maupun non-
muslim. Untuk komunitas muslim diikat oleh ukhuwah insaniyah
sedangkat akar dari umat dalam arti komunitas adalah keluaraga
sakinah. Tentang dunia ini fuqaha membaginya keapada darul islam dan
56

Dar-al harbi sudah mulai ditinggalkan, pembagian darul Ialam dan Dar
al-Harb memang tepat sekali sesuai dengan stuasi dan kondisi waktu
para fuqaha masih hidup yang dihadapkan dengan ancaman-ancaman
dari dunia luar. Walaupun demikian ada ulama yang membagi dunia ini
kepada tiga kelompok , yaitu darul islam , Dar al-Ahdi, dan Dar al- Harbi.
Dar al-Ahdi adalah negara-negara yang berdamai dengan dar islam.
dengan perjanjian tersebut, maka semua penduduk Dar al-Ahdi tidak
boleh diganggu jiwanya, hartanya, dan kehormatan kemanusiaanya.
Meskipun penduduknya tidak beragama Islam, mereka diperlakuan
seperti orang islam dalam arti dilindungi hak-haknya. (Djazuli,2003;131)
Agama Islam mengajarkan setiap umatnya untuk nanamkan
prilaku moral yang baik dalam diri manusia , umat islam di ajarkan
dalam Al-qur’an bagaimana memperlakukan antar sesama manusia baik
itu dari segi berpakaian berinteraksi antar sesamanya menghormati,
menghargai. Prilaku moral yang baik adalah yang paling utama yang
tertanam dalam diri umat islam baik itu hubungan manusia dengan
manusia maupun hubungan manusia dengan penciptanya.
4.2.2 Kebebasan, Kemerdekaan / Al Huriyah
Kemerdekaan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri
dari pengaruh hawa nafsu serta pengendaliannya dibawah bimbingan
keimanan dan akal sehat. Dengan demikian, kebebasan bukan kebebasan
mutlak, akan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab terhadap Allah,
terhadap keselamatan dan kemashalatan hidup manusia dimuka bumi
ini, kebebsan ini bisa dirinci lebih jauh :
a. Kebebasan berfikir
b. Kebebasan beragama
c. Kebebasan menyatakan pendapat
d. Kebebasan menuntut ilmu
e. Kebebesan memiliki harta (Djazuli,2003;131)
57

Jadi dapat disimpulkan perampasan kemerdekaan, harta atau


perampasan kebebasan fisik dalam pandangan fikih dauliyah sangat di
larang karena agama Islam sangat mentoleransi hubungan antar sesama
manusia sebagaimana yang di jelaskan dalam ruang lingkup fiqh al-
daulah prilaku moral yang baik sangat di terapakan dalam ajaran islam
prinsip itu di terapkan kepada seluruh makluk allah di muka bumi ini.
Dalam ruang lingkup fikih daulah manusia di padang seluruh manusia
diikat dengan rasa uhwah Islamiyah, di samping umat baik dalam arti
komunitas maupun non –muslim. dalam Islam itu sendiri mengakui dan
menghormati hak manusia dalam masalah harta oleh karena itu harta
harus di lindungi dalam bentuk pelanggaran apapun.
Jadi non-muslim yang tinggal di negara Islam wajib di lindungi jiwa,
hak-hak nya bersamaan dengan harta benda yang di milikinya. Dengan
syarat orng non-muslim yang tinggal di dharul al-islam tersebut
bembayar jizyah, dan tunduk kepada aturan negara Islam. Hidup
berdampingan dengan damai bersama dengan orang Islam, karna agama
Islam itu sendiri tidak membedakan bentuk, ras, warna kulit dan lain
sebagainya. Ajaran islam itu sendiri adalah ajaran yang menerapkan
prilaku moral yang baik antar sesama manusia

4.3 Pencegahan Kelahiran Terhadap suatu etnis Perspektif Fikih Daulah


Menurut Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan
hak asasi manusia dalam pasal 8 huruf d dinyatakan cukup jelas,
Memaksa tindaka-tindakan yang bertujan mencegah kelahiran dalam
kelompok tertentu, makna lain dari pemaksaan tindakan yang bertujuan
mencegah kelahiran dalam kelompok adalah mencegah hadirnya
anggota baru dalam suatu kelompok, tindakan ini biasa berbentuk aborsi
atau pembunuhan seorang bayi ketika baru dilahirkan. Ketentuan pidana
dalam undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak
asasi manusia yakni setiap orang yang melakukan perbuatan
sebagaimana yang dimaksud dalam dalam pasal 8 huruf a b c d atau e
58

dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun atau paling singkat
10 ( sepuluh ) tahun. (undang-undang nomor 26 tahun 2000)
Berbagai alasan yang mendasari tindakan ini, misalnya untuk
mencegah bertambahnya populasi penduduk, untuk mengurangi anggka
kemiskinan, maupun berbagai dalih lainya yang di gunakan
menjastifikasi perbuatan mencegah kelahiran. Hal ini sangat di kecam
allah SWT dalam firma-Nya:

            
    

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.


kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (Q.S Al
–Isra’ :31)

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa Allah sangat sayang


kepada hamba-hamba-Nya, lebih dari kasih sayang orang tua kepada
anaknya, karena Dia telah melarang umat manusia membunuh anak-
anak mereka. Sebagaimanapula Allah mewasiatkan kepada orang tua
terhadap anak-anaknya dalam pembagian waris. Dulu, orang-orang
jahiliyah tidak memberikan warisan kepada anak perempuan. Bahkan
ada salah seorang di antara mereka yang membunuh anak perempunya
dengan tujuan tidak semakin banyak beban hidupnya. Lalu Allah
melarang perbuatan tersebut seraya berfirman “dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut miskin
Memaksakan tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mencegah
kelahiran dalam kelompok mencakup aborsi, stelisasi, pemaksaan
kontrasepsi, pemisahan berdasarkan jenis kelamin, dan menghambat
perkawinan. Tindakan-tindakan tersebut dapat mengakibatkan
penderitaan secara mental maupun fisik. Sebagai contoh pemerkosaan
merupakan tindakan perempuan yang hamil karna diperkosa akhirnya
menolak untuk melahirkan. (Widyawati, 2014; 62)
59

jadi dapat disimpulkan tindakan pencegahan kelahiran terhadap


suatu etnis dalam pandangan fikih daulah sebagaimana yang di jelaskan
dalam ayat di atas manusia di larang membunuh anak-anak karna takut
miskin,takut bertambah populasi dan kepentingan tertentu lainya karna
itu sama saja dengan perbuatan membunuh dan dalam al’Qur’an di
sebutkan perbuatan dosa besar. Dalam dharul al-islam tindakan
mencegah kelahiran sangat di larang.
Kejahatan ini sebagai salah satu jenis kejahan yang tujuannya
adalah untuk memusnahkan suatu kelompok dengan berbagai cara, di
antaranya adalah pemaksaan stelisasi, pemaksaan strelisasi berkaitan
dengan perampasan daya reproduksi biologis seseorang, yang selain
tidak di benarkan oleh pengobatan medis atau rumah sakit orang yang
bersangkutan, juga tidak dilaksanakan berdasarkan persetujuan yang
sejati atau sesungguhnya dari orang tersebut yang sebagaimana dapat di
simpulkan dari elemen-elemen kejahatan ini. Perampasan daya
reproduksi biologis seperti ini selain tidak dibenarkan secara kedokteran
tentunya bertentangan pula dengan prinsip-prinsip dan hukum lainnya.
Pemaksaan strelisasi secara khusus merupakan suatu bentuk dari
pemaksaan tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran di dalam
kelompok tersebut. Selain itu stelisasi tanpa persetujuan ini adalah
sebagai bagian dari kejahatan genosida. (Efendi 2009,51)
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan, bahwa kejahatan
genosida dengan maksud mencegah kelahiran pengguguran (aborsi)
yang di lakukan dengan paksaan. larangan untuk melakukan perkawinan
serta memisahkan antara kaum pria dengan wanita dengan maksud
mencegah terjadinya hubungan perkawinan, bertujuan mencegah
kelahiran dalam kelompok dan mencegah hadirnya anggota baru dalam
suatu kelompok termasuk kedalam tindak pidana genosida.
Dalam pengadilan HAM Ad hoc untuk kasus Timor Timur, tuduhan
yang digunakan terhadap para pelaku ialah kejahatan terhadap
60

kemanusiaan yang rumusannya terdapat dalam pasal 9 UU No. 26 Tahun


200 yang berbunyi : Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 7huruf b adalah salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik
yang di ketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil.
Pelanggaran-pelangaran hak asasi manusia yang berat yang di
atur dalam pasal 7,8 dan 9 UU No.26 Tahun 2000 dapat termasuk
kategori tindak pidana internasional sebagai mana defenisi di atas, pasal
7 mengatur kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Kedua
macam kejahatan tersebut merupakan tindak pidana internasional yang
di atur dalam ketentuan statuta Roma 1999. Statuta Roma mengatur
tentang pengadilan tindak pidana internasional yang di kenal dengan
ICC. Rumusan tindak pidana genosida sebagai mana yang dimaksud
dalam pasal 7 huruf a adalah setiap pebuatan yang dilakukan dengan
maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan
cara membunuh anggota kelompok mengakibatkan penderitaan fisik
atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok serta
mencegah kelahiran. (Wahjoe, 2010: 167)
Tindak pidana genosida pada tanggal 7 Desember 1975 Indonesia
melakukan invasi militer ke Timor Timur. Saat itu ada suatu konsensus
umum di dunia internasional bahwa invasi itu hanya akan menjadi
persoalan singkat. Angkatan bersenjata gerakan kemerdekaan Timor
Timur yang kecil dan kurang di persenjatai sama sekali bukan tandingan
militer Indonesia. Oleh dunia internasional, Indonesia dilihat sebagai
sekutu sangat penting, terutama bagi negara-negara industri maju. Di sisi
lain, Timor Timur tidak memiliki dukungan internasional yang penting,
dan akan sangat mudah diisolasi secara ekonomi, politik dan diplomasi
oleh Indonesia. Pada tahun 1974, jumlah penduduk Timor Timur pun
61

hanya 688,771 jiwa. Alhasil hampir tidak ada ribut-ribut dunia


internasional tentang invasi tersebut. Apabila invasi berhasil mulus
tanpa terlalu banyak korban, dunia internasional akan menganggapnya
sebagai sekedar korban yang tak bisa dihindarkan dari sebuah operasi
militer. Invasi itu pun akan diakui sepenuhnya. Akan tetapi Indonesia
gagal menciptakan suatu penaklukan singkat tanpa skandal.
Pembunuhan besar-besaran terjadi. Diperkirakan sepertiga penduduk
Timor Timur binasa, sehingga kemudian digolongkan sebagai genosida.
(Sucipto 2015)
Indonesia dan Timor Timur adalah negeri yang terbentuk akibat
kolonialisme Eropa. Indonesia yang memproklamasikan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, dan memperoleh
kedaulatan penuh pada tahun 1949 melalui Konferensi Meja Bundar di
Den Haag, merupakan bekas wilayah Hindia Belanda. Sedangkan Timor
Timur adalah bekas wilayah kolonial Portugis. Kuku Portugis
ditancapkan di Timor Timur sedini tahun 1702, saat pertama kali
mendirikan koloni di sana. Sejak saat itu, selama dua abad berikutnya
mereka berkali-kali bertempur melawan Belanda dalam upaya saling
rebut pulau Timor. Perjanjian damai akhirnya ditandatangani keduanya
pada tahun 1913, yang membagi pulau Timor menjadi dua bagian: Timor
Timur menjadi wilayah Portugis, dan Timor Barat menjadi wilayah
Belanda. (Sucipto 2015)
Pada tahun 1949, Timor Barat menjadi wilayah Indonesia,
sedangkan Timor Timur tetap dipertahankan Portugal. Meskipun
bertetangga, hampir tidak ada perhatian Indonesia terhadap wilayah itu
selama bertahun-tahun. Saat Presiden Soekarno mengumumkan gerakan
melawan kolonialisme pada tahun 1960-an, yang dimaksudkannya
adalah kolonialisme Inggris di Brunei dan Malaysia. Tidak ada perhatian
diberikan pada Timor Timur. Mungkin hal itu karena wilayahnya yang
kecil, terisolasi, dan miskin. (Sucipto 2015)
62

Pada tanggal 25 April 1974, seiring kejatuhan diktator Marcelo


Caetano di Portugal, rejim baru memutuskan untuk melepaskan negeri-
negeri koloninya, yakni Angola, Mozambique, Guinea-Bissau, dan Timor
Timur. Partai-partai gerakan kemerdekaan pun bermunculan di Timor
Timur. Dua partai besar yang paling mendapat dukungan adalah Fretilin
(Front for an Independent East Timor) dan UDT (Timorese Democratic
Union). Keduanya menjadi pemain kunci dalam dinamika politik di
Timor Timur. Pada bulan Januari 1975, UDT dan Fretilin bersatu
membentuk koalisi untuk mempersiapkan kemerdekaan penuh bagi
Timor Timur yang akan dicapai dalam tiga tahun ke depan. (Sucipto
2015)
Kekuatiran bahwa kemerdekaan Timor Timur bisa memicu upaya
pemerdekaan kelompok etnik lain di wilayah sekitarnya, seperti Ambon
dan Timor Barat, mendorong pemerintah Indonesia untuk memikirkan
skenario pengintegrasian Timor Timur ke dalam Indonesia. Obsesi akan
gerakan komunisme ikut memperkuat keputusan untuk menginvasi
Timor Timur. Mereka kuatir Timor Timur menjadi basis komunisme.
Selain itu, diduga ketertarikan terhadap cadangan minyak di Celah
Timor, yang pada tahun 1970-an ditemukan, menjadi faktor lain yang
menentukan. Pada saat itu dipercaya kalau Celah Timor menyimpan
cadangan minyak terbesar di dunia, bahkan melebihi negara-negara
teluk. Baru pada dekade belakangan diketahui kalau cadangan yang ada
tidak sebesar yang diduga semula dan pengeborannya sangat sulit
dilakukan. (Sucipto 2015)
Pada bulan-bulan awal tahun 1975, militer Indonesia membujuk
UDT untuk mengadakan kudeta dengan menyodorkan alasan bahwa
kaum muda radikal dalam tubuh Fretilin diduga akan mengadakan
kudeta secepatnya. Kudeta untuk mendahului Fretilin pun dilancarkan
UDT pada bulan Agustus 1975. Gubernur Koloni Portugis beserta para
pegawai administrasinya melarikan diri ke kepulauan Atauro dan tidak
63

pernah kembali. Akan tetapi Fretilin lebih siap menghadapinya. Banyak


tentara kolonial desersi dari militer Portugal dan bergabung dalam
Fretilin, lalu bersama-sama mematahkan kudeta UDT. Para pemimpin
UDT lantas melarikan diri ke perbatasan Timor Barat dan memasuki
wilayah Indonesia. Mereka menandatangani dokumen yang menyerukan
pengintegrasian Timor Timur dengan Indonesia, yang kemudian
digunakan sebagai justifikasi invasi Indonesia. (Sucipto 2015)
Sampai dengan September 1975, Fretilin menguasai sebagian
besar wilayah Timor Timur. Para pemimpinnya berulangkali meminta
Portugal kembali untuk menyelesaikan sepenuhnya proses dekolonisasi.
Akan tetapi Portugal menolak, sehingga Fretilin menjadi pemerintahan
de fakto. Pada saat yang sama, sejumlah besar personel militer Indonesia
mulai berdatangan ke perbatasan Timor Barat. (Sucipto 2015)
Dengan harapan adanya sokongan dari PBB, pada tanggal 28
November 1975, di tengah adanya tekanan militer Indonesia di
perbatasan, Fretilin mengumumkan kemerdekaan Timor Timur.
Seminggu kemudian, pada tanggal 7 Desember 1975, Indonesia
melancarkan invasi penuh berkekuatan sekitar 30,000 tentara yang
disebut sebagai “Operasi Komodo.” Operasi tersebut direncanakan oleh
Letnan Jenderal Ali Moertopo, Mayor Jenderal Benny Moerdani dan
Letnan Jenderal Yoga Sugama. Tujuannya mengambil alih Timor Timur
apapun ongkosnya. Pada bulan Juli 1976, wilayah itu secara resmi
dijadikan provinsi ke 27 Indonesia. (Sucipto 2015)
Invasi dilakukan melalui jalan udara dan laut, dengan tulang
punggung pasukan terjun payung dan marinir. Hampir tanpa kesulitan
berarti mereka berhasil menguasai kota Dili. Banyak yang menduga, bila
militer masuk dengan cepat serta tidak menunjukkan tindakan brutal,
invasi militer itu akan disambut di Timor Timur karena sebagian pihak
memberikan dukungan pada pengintegrasian Timor Timur yang
wilayahnya menyempil kecil di sudut wilayah Indonesia yang besar.
64

Sebelumnya, dunia internasional pun sepertinya memberikan lampu


hijau bagi invasi. Amerika Serikat menyatakan kalau hendak melakukan
invasi dipersilakan asal tidak menggunakan senjata dari Amerika Serikat.
Australia juga menyiratkan bahwa pengintegrasian sesuatu yang bisa
diterima. Sayangnya, resistensi di kalangan orang Timor terhadap invasi
yang semestinya diimbangi dengan pengambilan simpati, direspons
dengan pembersihan ala militer yang brutal. Mereka yang dianggap
menjadi penghalang pengintegrasian dibunuh. (Sucipto 2015)
Minggu pertama invasi telah menelan ribuan korban. Berbagai
tindak kekejaman dilakukan. Penangkapan dan penyiksaan terjadi.
Laporan-laporan menunjukkan kalau pembunuhan banyak sekali terjadi
di mana-mana. Pada beberapa desa, seluruh penduduk dewasanya di
bunuh. Korban dalam jumlah besar pun berjatuhan. Gara-gara kekejaman
itu sekelompok bersenjata di bawah Fretilin melakukan perang gerilya.
Alhasil, sampai tiga bulan kemudian kekuasaan militer Indonesia
terbatas di wilayah pantai dan perbatasan, serta sedikit wilayah yang
bisa dicapai oleh jalan raya yang sangat sedikit kala itu. Ribuan Orang
Timor yang merasa terancam mengungsi ke belakang garis Fretilin.
Setelah dua tahun berlalu, Fretilin masih bisa mempertahankan diri
berkat adanya dukungan penduduk. Didorong oleh lambatnya
perkembangan, militer Indonesia mulai meneror penduduk di luar
wilayah Fretilin. Desa-desa dihancurkan, panen dibakar dan
penduduknya dibunuh. Pembunuhan pada tahap ini terjadi secara
spontan, tidak terorganisir dan reaktif. (Sucipto 2015)
Pada bulan September 1977 operasi militer besar-besaran
dimulai. Wilayah-wilayah yang diduga menjadi basis Fretilin
dibombardir. Semua yang dicurigai simpatisan Fretilin diburu, ditangkap,
dan sebagian dibunuh. Sebagian dibawa ke kamp-kamp pengungsian
yang hanya mendapatkan suplai sangat seidkit dari pihak militer sedikit
sehingga memicu kelaparan. Pada tahun 1979, USAID memperkirakan
65

sekitar 300,000 orang berada dalam kamp-kamp semacam itu, atau


hampir separuh dari total populasi Timor Timur. Sampai dengan akhir
70-an, Fretilin masih terus memberikan perlawanan. Sebagai respons,
Operasi Keamanan dilaksanakan. Pria berusia 8 sampai 50 yang diambil
dari kamp dan desa-desa dipaksa berjalan dalam formasi panah di depan
unit militer yang mencari anggota Fretilin. Mereka lalu dipaksa
menyerah atau jika bertempur terpaksa harus menembaki orang-orang
Timor sendiri. (Sucipto 2015)
Berbagai tindak kekerasan dilakukan militer Indonesia selama
pendudukan, mulai dari penyiksaan, pemenjaraan hingga pembunuhan
langsung, sebagai bagian dari upaya melenyapkan Fretilin. Teror
dilakukan. Di mana-mana berdiri penjara. Setiap ada kepala polisi, di
sana ada penjara; setiap ada kelompok marinir, di sana juga ada penjara.
Asal dicurigai ada kaitan dengan Fretilin, seseorang akan dipenjara.
Beragam metode penyiksaan dijalankan oleh militer Indonesia, dari
cabut kuku sampai ditenggelamkan di laut. Pembunuhan menjadi hal
lazim. Dalam pembersihan ke desa-desa, selain lelaki dewasa, tak jarang
wanita dan anak-anak ikut dibunuh. Kekerasan demi kekerasan terus
menerus berlanjut pada tahun-tahun kemudian. (Sucipto 2015)
Adam Malik, menteri luar negeri Indonesia menyatakan bahwa
korban terbunuh sejak invasi hingga April 1977 diperkirakan antara
50,000 sampai 80,0000. Kelompok gereja mengklaim jumlah korban
mencapai 100,000 orang pada saat yang sama. Setelah itu korban masih
terus berjatuhan dalam berbagai operasi militer. Laporan Amnesti
Internasional menunjukkan bahwa operasi militer Indonesia telah
membawa korban hingga 200,000 orang. Itu artinya hampir sepertiga
penduduk Timor Timur binasa. (Sucipto 2015)
Setelah terungkapnya politisida dengan korban komunal di Timor
Timur dan kekerasan terus menerus yang dilakukan militer Indonesia,
dukungan dunia internasional menjadi berkurang. Tekanan internasional
66

menghampiri Indonesia. Uskup Bello dan Jose Ramos Horta yang terus
menerus berusaha menyadarkan dunia internasional akan adanya
kekerasan berkelanjutan di Timor Timur dianugerahi nobel perdamaian
pada tahun 1996. Titik kulminasinya terjadi pada tahun 1999 ketika
Presiden Indonesia, Habibie, menawarkan referendum bagi warga Timor
Timur untuk tetap bergabung dengan Indonesia atau memilih keluar dari
Indonesia. Hasilnya sudah bisa ditebak, lebih dari 76% suara
menghendaki Timor Timur lepas dari Indonesia. Sulit dibantah bahwa
kegagalan Indonesia mengintegrasikan Timor Timur merupakan akibat
tindakan kejam militernya. (Sucipto 2015)
Hal senada juga terjadi di Tanjuk Priok tindak pidana genosida
tersebut bermula setelah dua hari pasca penangkapan, ulama Islam
Abdul Qodir Jaelani memberikan sebuah khotbah menentang asas
tunggal Pancasila di masjid As Saadah. Setelah itu, Biki memimpin
sebuah demonstrasi ke kantor Kodim Jakarta Utara, di mana keempat
tahanan tersebut ditahan. Seiring waktu, massa kelompok tersebut
meningkat, dengan perkiraan berkisar antara 1.500 orang. Selama
kerusuhan tersebut, sembilan anggota keluarga Muslim Tionghoa
Indonesia yang dipimpin oleh Tan Kioe Liem dibunuh oleh para
pemrotes dan ruko-ruko hangus dibakar. (Setiono 2008)
Protes dan kerusuhan tidak berhasil menuntut pembebasan
tahanan tersebut. Sekitar pukul 11 malam waktu setempat, para
pemrotes mengepung komando militer. Personel militer dari Batalyon
Artileri Pertahanan Udara ke-6 menembaki para pemrotes. Sekitar
tengah malam, saksi mata melihat komandan militer Jakarta Try Sutrisno
dan Kepala Angkatan Bersenjata L. B. Moerdani yang mengawasi
pemindahan korban; mayat-mayat itu dimasukkan ke dalam truk militer
dan dikuburkan di kuburan yang tidak bertanda, sementara yang terluka
dikirim ke Rumah Sakit Militer Gatot Soebroto. (Setiono 2008)
67

Setelah kerusuhan tersebut, militer melaporkan bahwa mereka


dipicu oleh seorang pria berpakaian militer palsu yang membagikan
selebaran anti-pemerintah bersama dengan 12 komplotannya dilaporkan
dari orang yang ditahan. Jenderal Hartono Rekso Dharsono ditangkap
karena diduga menghasut kerusuhan tersebut. Setelah menjalani
persidangan empat bulan, dia divonis bersalah dia akhirnya dibebaskan
pada bulan September 1990, setelah menjalani hukuman penjara lima
tahun. (Setiono 2008)
Setelah kerusuhan tersebut, setidaknya 169 warga sipil ditahan
tanpa surat perintah dan beberapa dilaporkan disiksa. Para pemimpin
ditangkap dan diadili karena tuduhan subversif, kemudian diberi
hukuman panjang. Yang lainnya, termasuk Amir Biki, termasuk di antara
mereka yang terbunuh. (Setiono 2008)
Laporan awal menyebutkan 20 orang tewas. Catatan resmi saat
ini memberikan total 24 korban tewas dan 54 terluka (termasuk militer),
sementara korban selamat melaporkan lebih dari seratus orang tewas.
Masyarakat Tanjung Priok memperkirakan total 400 orang terbunuh
atau hilang, sementara laporan lainnya menyarankan hingga 700 korban.
Gencarnya gerakan hak asasi manusia pasca lengsernya Suharto pada
tahun 1998, beberapa kelompok dibentuk untuk mengadvokasi hak-hak
korban, termasuk Yayasan 12 September 1984, Solidaritas Nasional
untuk Peristiwa Tanjung Priok 1984, dan Keluarga Besar untuk Korban
Insiden Tanjung Priok didirikan oleh janda Biki Dewi Wardah dan putra
Beni. Kelompok-kelompok ini mendorong Dewan Perwakilan Rakyat dan
Komnas HAM untuk menyelidiki lebih lanjut tragedi tersebut di DPR,
perwakilan A.W. Fatwa dan Abdul Qodir Jaelani, yang pernah ditangkap
setelah tragedi tersebut, mendesak penyelidikan lebih lanjut. Pada tahun
1999, Komnas HAM sepakat untuk menyelidiki insiden tersebut,
membentuk Komisi Investigasi dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM di
Tanjung Priok (KP3T). (Setiono 2008)
68

KP3T terutama terdiri dari tokoh politik dari rezim sebelumnya,


termasuk mantan jaksa agung Djoko Sugianto. Laporan yang dihasilkan,
yang dirilis pada awal Juni 2000, menemukan bahwa tidak ada
pembantaian sistematis dalam insiden tersebut. Ini tidak diterima
dengan baik oleh masyarakat umum. Pada tanggal 23 Juni 2000, sekitar
300 anggota Front Pembela Islam (FPI) menyerang markas Komnas HAM
saat mengenakan pakaian Islami dan syal hijau. Mereka memecahkan
jendela dengan batu dan batang rotan, melebihi jumlah dan banyak
pasukan keamanan. FPI marah atas laporan tersebut dan beranggapan
telah terjadi praktik kolusi dengan militer, dengan alasan bahwa
tindakan tersebut diabaikan oleh militer dan bersikeras agar Komnas
HAM dihapuskan. (Setiono 2008)
Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza
Mahendra menulis bahwa Komnas HAM telah menerapkan standar
ganda saat menyelidiki masalah tersebut, dia mengatakan bahwa mereka
tampak lebih enggan untuk menyelidiki insiden Tanjung Priok dan lebih
memilih menyelidiki krisis Timor Leste tahun 1999. Pemimpin Partai
Bulan Bintang Ahmad Sumargono menyebut keputusan tersebut
mengecewakan kaum Muslim di mana-mana. (Setiono 2008)
Pada bulan Oktober 2000, Komnas HAM mengeluarkan laporan
lain yang menunjukkan bahwa 23 orang, termasuk Sutrisno dan
Moerdani, harus diselidiki atas keterlibatan mereka, Ia meminta
pengadilan ad hoc untuk menyelidiki masalah ini lebih lanjut. Presiden
Abdurrahman Wahid juga meminta penyelidikan lebih lanjut pada
pengadilan yang akan datang. Beberapa pejabat militer membuat surat
pengampunan (islah) dengan keluarga korban meski islah tidak
mengandung pengakuan bersalah, korban menerima kompensasi
sejumlah Rp. 1,5-2 juta. Islah pertama meliputi 86 keluarga, seperti yang
diwakilkan oleh Rambe, sedangkan untuk keluarga Biki terjadi pada islah
kedua. Pada tanggal 1 Maret 2001 sejumlah islah telah dibuat. Hasil islah
69

tersebut, beberapa korban atau keluarga mereka menyarankan kepada


penyidik M.A. Rachman bahwa tuntutan harus dijatuhkan. Investigasi
baru berlanjut pada bulan Juli 2003. (Setiono 2008)
Di bawah tekanan internasional, pada tahun 2003 DPR
menyetujui penggunaan undang-undang hak asasi manusia tahun 2000
untuk membawa pelaku pembantai ke pengadilan atas kejahatan
terhadap kemanusiaan persidangan dimulai pada bulan September tahun
itu. Mereka yang dibawa ke pengadilan termasuk Kolonel Sutrisno
Mascung, pemimpin Peleton II Batalyon Artileri Pertahanan Udara saat
itu, dan 13 bawahannya. Pejabat berpangkat tinggi saat itu, termasuk
komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan Kepala Angkatan Bersenjata
L. B. Moerdani, dibebaskan dari tuntutan, seperti mantan Presiden
Soeharto dan mantan Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Penuntutan
dipimpin oleh Widodo Supriyadi, dan Wakil Ketua DPR A.M. Fatwa
bertugas sebagai saksi penuntutan. Beberapa petugas yang diadili
divonis bersalah, sementara Sriyanto dan Pranowo dibebaskan. Pada
tahun 2004 kantor Kejaksaan mengajukan banding atas pembebasan
Sriyanto dan Pranowo, namun ditolak. Keputusan tersebut kemudian
dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI. (Setiono 2008)
Undang –undang ini lahir dari satu sisi karena menimbang bahwa
hak asasi manusia hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Di sisi lain lahirnya Undang-
undang pengadilan Hak Asasi Manusia untuk ikut serta memelihara
perdamaian dan menjamin hak asasi manusia yang telah di upayakan
oleh pemerintah berdasarkan peraturan pemerintah pengganti Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
yang di nilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan
70

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang –undang. (Efendi


2009,44)
Tindak pidana genosida sebagaimana yang di atur dalam pasal 7
dan 8 di simpulkan keduanya persis sama. Artinya kedua rumusan yang
di atur dalam pasal 9 UU No 26 Tahun 2000 adalah rumusan tindak
pidana internasional. Namun demikian khususnya untuk rumusan delik
kejahatan terhadap kemanusiaan UU No 26 tahun 2000 memasukan
apartheid sebagai bentuk kejahatan tersebut.
Dalam menerapkan pasal-pasal yang didakwahkan dan teknik
penyusunan pasal yang didakwahkan, JPU pada pengadilan ad Hoc
mencampuradukkan pasal dari undang-undang No. 26 tahun 2000
dengan pasal 55 KUHP tentang penyetaan. Hal ini menunjukkan bahwa
jaksa penuntut umum tidak cermat dan tidak memahami makna
pembentukan undang-undang No. 26 Tahun 2000. Undang –undang
No.26 Tahun 2000 mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa dan
mengadili pelanggaran HAM berat, yang sebelumnya tidak diatur dalam
KUHP atau ketentuan perundang-undangan pidana lainnya.Tindak
pidana ini berbeda baik formil maupun materil dengan tindak pidana
biasa sehingga untuk pendakwahannya tidak dapat menggunakan
ketentuan tenteng tindak pidana biasa dengan pelanggaran HAM berat.
(Wahjoe, 2010: 167-168)
Perlu diketahui undang-undang No 26 tahun 2000 adalah sebuah
peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang seluk
beluk pengadilan HAM di Indonesia. Undang-undang ini merupakan
salah satu undang-undang yang unik, mengikuti pendahulunya, yaitu
undang –undang No. 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi.
Undang-undang ini bukan hanya mengatur tentang hukum pidana
materil saja, namun juga mengatur hukum acara. Pada pasal 7, 8 dan 9
undang-undang tersebut dijelaskan bahwa perbuatan-perbuatan yang
71

dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yaitu genosida dan


kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dari uraian di atas dapat di ketahui bahwa tindak pidana genosida
sebagaimana di ataur dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah tindak pidana
internasional yang penegakannya merupakan tanggung jawab negara.
Baik sebagai bagian masyarakat internasional maupun anggota PBB
terlebih lagi sebagai peserta dari Statuta Roma 1999.
Dalam praktik pengadilan, penggunaan KUHP sebagai hukum
acara dalam pengadian HAM Ad hoc ternyata tida di jalankan
sebagaimana mestinya. Sebagai contoh terhadap persoalan tersebut
adalah mengenai pembuktian di hadapan sidang pengadilan.
Sebagaimana kita ketahui keterangan saksi merupakan alat bukti yang
penting untuk menguatkan dakwaan JPU, terutama dalam upaya
pembuktian unsur-unsur pasal-pasal yang didakwakan kepada
terdakwah di suatu persidangan. Pada pemeriksaan keterangan saksi di
pengadilan HAM Ad hoc dengan terdakwa Abilio Soares, mantan
gubernur Timor Timur, saksi-saki yang di dihadirkan justru kebanyakan
dari kalangan militer, walaupun jaksa penuntut umum pada awalnya
berniat menghadirkan saksi korban dari Timor Timur, pada
kenyataannya dipersidangan, jaksa penuntut umum mengalami kesulitan
dalam menghadirkan saksi korban. Menurut jaksa penuntut umum, saksi
korban tersebut belum bisa hadir ke Jakarta karena mengalami kesulitan
transportasi dan jaksa tidak mempunyai dana yang cukup untuk
menghadirkan saksi dari Timor Timur ke Jakarta. Hal ini seharusnya
bukan menjadi kenadala dan sudah menjadi kewajiban negara atau
pemerintahan RI untuk menyediakan dana yang cukup. Untuk mencari
keadilan dan kebenaran materiil sauatu persidangan memang di
perlukan dana yang memadai untuk melangsungkan persidangan yang
layak. (Wahjoe, 2010: 173)
72

Apabila berbicara mengenai hukum pida materil dari pengadilan


HAM berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2000, pengadilan HAM
hanya berwenang mengadili perkara pelanggaran HAM berat berupa
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sesuai dakwaan pada
perkara ini jakasa penuntut umum mendakwa para terdakwa dengan
dakwaan pelanggaran kejahatan terhadap kemanusiaan. Jika kita
membicarakan fungsi dan tujuan peradilan HAM, berarti kita
membicarakan proses penegakan hukum terhadap pelanggaran berat
HAM yang terjadi di Indonesia berdasarkan pranata hukum yang ada dan
sesuai dengan tujuan dan ukuran proses peradilan yang berlaku secara
universal. (Wahjoe, 2010: 173-174)
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dan di sebutkan dalam
Pasal 1 angka 3 UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi
Manusia, pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, pelanggaran HAM yang berat
meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dengan kata lain, pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus
terhadap kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sebagaimana diketahui bahwa jenis kejahatan tersebut, baik menurut
ketentuan Statuta Roma maupun hasil putusan beberapa pengadilan
internasional ad hoc, merupakan tindak pidana internasioanal. (Wahjoe,
2010: 174)
Di samping pengadilan HAM, dalam sestem penegakan hukum
pidana internasional di kenal pula adanya pengadilan HAM Ad Hoc
menurut Pasal 43 ayat 1 UU No.26 tahun 2000, pengadilan HAM Ad Hoc
adalah pengadilan yang memeriksa, mengadili dan memutuskan
pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No.26s
tahun 2000. Dengan demikian, Undang-undang pengadilan HAM berlaku
surut atau retoraktif. Pelanggaran HAM berat mempunyai sifat khusus
dan di golongankan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary
73

crime). Oleh karena itu pasal 28 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945


dalam hukum internasional menentukan bahwa asas retoraktif berlaku
dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Asas
retroaktif merupakan dasar yang membolehkan suatu peraturan
perundang-undangan dapat berlaku surut kebelakang. Hal ini berbeda
dengan kejahatan biasa yang perbuatannya baru dapat dihukum setelah
ada hukumannya atau undang-undangnya terlebih dahulu. Asas yang
berlaku dalam penanagan kejahatan biasa adalah asas legalitas. (Wahjoe,
2010: 175)
Dari penjelasan di atas dapat di dimpulkan Diundangkanya
undang-undang ini juga sebagai salah satu upaya penegakan terhadap
hukum pidana internasional indirect enforcement system yaitu dengan
menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional melalui
pengadilan nasional. Dengan kata lain pelaku di adili berdasarkan sistem
hukum nasional suatu negara, baik itu negara tempat tindak pidana di
lakukan atau negara lain yang berkepentingan terhadap tindak pidana
yang telah terjadi. Selain itu, penegakan hukum pidana internasional
secara tidak langsung merupakan prinsip yang mendasar dari statuta
roma bahwa ICC merupakan pelangkap bagi yurisdiksi pidana nasional
(pasal 1) berarti bahwa mahkamah harus mendahulukan sistem
nasional, kecuali jika sistem nasional yang benar-benar tidak mampu
(unable) atau tidak bersedia (unwilling) untuk melakukan penyelidikan
atau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, maka akan diambil alih
menjadi yurisdiksi Mahkamah (pasal17).
Dalam penanganan tindak pidana genosida diindonesia
sebagaimana genosida yang telah terjadi di Timor Timur dan tanjung
priok telah di adili dengan semestinya sesuai dengan undang-undang
Nomor 26 tahun 2000 hakim telah menjalankan tugasnya dengan baik
dalam mengadili kasus genosida tersebut kemudian apabila di tinjau
dari kosep fikih daulah di negara Indonesia masih terlaksana hidup
74

saling menghormati serta menghargai perbedaan antar sesama manusa,


baik itu kesatuan umat manusia, Al-a’dalah, musyawarah, toleransi,
kebebasan berpendapat, serta prilaku moral yang baik.
Di negara Indonesia ini masih masih berjalan konsep siyasyah
dauliah karena negara islam mayoritas penduduknya adalah penganut
agama islam, meskipun negara Indonesia bukan negara islam tetapi
masyarakat islam yang tinggal di Indonesia mematuhi aturan atau
ajaran-ajaran yang ada dalam agama islam baik itu tentang negara serta
toleransi dan hidup berdampingan dengan non-muslim.
Jadi apabila di tinjau dari Fikih daulah terhadap penanganan
genosida menurut undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak
Asasi manusia dari peristiwa Timur Timor dan Tanjung periok sudah di
jalankan dengan baik, serta dengan di bentuknya undang-undang ini
membawa dampak baik bagi negara Indonesia. Hal itu di sebabakan
karena bagi yang melakukan pelanggaran HAM baik itu tindak pidana
genosida maupun tindak pidana kemanusiaan telah di ataur dalam
undang-undang nomor 26 tahun 2000, undang-undang ini menciptakan
kehidupan yang rukun dan damai serta beribadah sesuai kepercayaan
masing-masing. Undang undang ini juga menjamin tentang hak dan
merasa aman bagi rakyat Indonesia kebebasan berpendapat dan lain
sebagainya.
BAB V
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Berdasarkan kajian yang telah penulis lakukan, sebagaimana yang
telah di uraikan pada bab sebelumnya, maka dapat di simpulkan sebagai
berikut:

1.1.1 Dalam pasal 9 huruf d dijelaskan bahwa yang di maksud dengan


pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa dengan
cara mengusir atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah
mana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan
yang diijinkan oleh hukum internasional. Pengusiran penduduk
perspektif Fikih al-daulah tindakan tersebut tidak dibolehkan
dalam ajaran Islam, meskipun manusia ini berbeda suku,
berbangsa-bangsa berbeda warna kulit, berbeda tanah air
bahkan berbeda agama merupakan satu kesatuan manusia
karena sama-sama makluk Allah. Islam memberikan kebebasan
terhadap orang non-muslim yang menetap di dar al-islam selama
orang tersebut membayar jizyah baik itu harbiyun, must’amin dan
azimmah mereka memiliki hak dan kewajiban di negara Islam
selama mereka menetap di negara tersebut.
1.1.2 Perampasan harta pasal 9 huruf e cukup jelas di jelaskan dalam
Undang-undang huruf e tersebut. Perampasan kemerdekaan atau
perampasan kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang
yang melanggar ketentuan pokok hukum Internasional.
Perampasan harta perspetif Fikih al-daulah perampasan
kemerdekaan, harta atau perampasan kebebasan fisik dalam
pandangan Fikih al-daulah sangat di larang karena agama Islam
sangat mentoleransi hubungan antar sesama manusia
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ruang lingkup Fikih al-
daulah prilaku moal yang baik sangat di tetapkan dalam ajaran
Islam prinsip itu di terapkan kepada seluruh makluk Allah
75
76

1.1.3 dimuka bumi ini. Islam itu sendiri mengakui dan menghormati
hak manusia dalam masalah harta adalah wajib, oleh karena itu
harta harus dilindungi dalam bentuk pelanggaran apapun.
1.1.4 Tindakan pencegahan kelahiran perspektif Fikih al-daulah
manusia di larang membunuh anak-anak mereka karena takut
miskin, takut bertambah populasi dan kepentingan tertentu
lainnya
1.2 Saran-saran

Berdasarkan dengan persoalan ini ada menjadi fokus saran


penulis, yaitu :

1.2.1 Kepada umat manusia di dunia ini, pemimpin negeri marilah


saling menghormati, menghargai dan saling toleransi terhadap
setiap perbedaan yang ada, hindarilah perbuatan
mendiskriminasi, melakukuan tindakan pengusiran penduduk
secara paksa, merampas harta milik masyarakat, dan perbuatan
mencegah kelahiran terhadap suatu etnis.
1.2.2 Kepada para penegak hukum tegakan hukuman dengan adil dan
berlaku adil lah, jalankan aturan sesuai dengan yang telah di
tetapkan. Setiap manusia memiliki hak untuk hidup, hak
berpendapat hak memeluk agama dan lainnya.
1.2.3 Kepada umat muslim kuhususnya setiap kehidupan di dunia ini
telah di atur dalam al-qur’an dan sunah, baik itu tatacara
menghargai perbedaan, dan hidup bertoleransi antar sesama
serta saling menghormati dan menghargai atar setiap perbedaan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Qur’an dan Terjemahan, Deperteman Agama Republik Indonesia Jakarta


Semarang :CV Toha Putra 1999.

Adnan Nasution, Internasional human Rights instrumen: jakarta 2006

Aziz Syamsuddin ,Tindak Pidana khusus :jakarta2003

Arie Siswanto, Hukum Pidana Internasional; Yogyakarta: perpustakaan


internasional, 2015

Ali Zainuddin, Hukum Pidana Islam,Jakarta:Sinar Grafika,2012

Azhary Muhammad Tahir, Negera Hukum, jakarta:Kencana, 2003

Anis widyawati, Hukum Pidana Internasional; Jakarta: perpustakaan nasional,


2014

Djazuli. Hukum Pidana Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2000

Diantha Pasek, Hukum Pidana Internasional, Jakarta:Kencana, 2014

Djazuli, implementasi kemashalatan umat dalam rambu-rambu syaria,


jakarta:kencana, 2003

Efendi, Roni.2009. Sanksi Pelaku Kejahatan Genosida Perspektif Hukum Pidana


Islam:Analisis kepustakaan.Sripsi.Jurusan jinayah siyasah Fakultas
Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang

http://id.wikipedia.org/wiki/Genosida,( Diakses tanggal 31 Agustus 2018).

http;//id.wikipedia.org/wiki/Genocide. ( Diakses tanggal 31 Agustus 2018).


http://id.wikipedia.org/wiki/genosida, ( Diakses tanggal 31 Agustus 2018).

http://aminharis2008.multiply.com/,keberlakuan-konvensi-genosida--1948.htl,
( Diakses tanggal 31 Agustus 2018).

http://id.m.wikipidea.org/wiki/peristiwa_tanjung_pirok
(di akses pada tanggal 8 November 2018)

https://kisahtimortimur.wordpress.com/2015/04/09/genosida-timor-timur/

https://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Tanjung_Priok

Insani Gema,Demokrasi Barbar Ala Amerika:Jakarta2007

Ikhwan,Pengadilan Hak Asasi Manusia Di indonesia dalam presfektif hukum


islam,Jakarta:Badan Litbang dan Diklat Depertemen Agama RI,2010

Istanto Sugeng,Perlindungan Penduduk Sipil:jakarta1992

IkbalMuhammad,kontekstualisasi doktrin politiki slam, Jakarta:perpustakaan


internasional, 2004

Ikhwan, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Jakarta:Logos Wacana ilmu, 2004

Mustofa Hasan: Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih

Patrikia,Genocide And Crigfer:Jakarta2007

Pranoto, Etika Bagi Era Globalisasi:Jakarta, 2002


QomarNurul, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Jakarta: Sinar
Grafika, 2013
Ridwan Zaynur, Novus Ordo Seciorum:Jakarta, 2010
Sujat Andrey Moko, Tanggung jawab Negara Atas Pelanggaran Berat
HAM:jakarta, 2005

Santoso Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam:Jakarta, 2003

Salim Abdul Mu’in,Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, Jakarta :PT


RajaGrafindo Persada, 2002

Undang –undang Republik Indonesia nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan


Hak Asasi Manusia, Surabaya : 2007

Wahjoe Oentoeng, Hukum Pidana Internasional;Perkembangan tindak Pidana


Internasional & Proses Penegakannya; Jakarta: PT GELORA AKSARA PRATAMA,
2010

Anda mungkin juga menyukai