Anda di halaman 1dari 131

PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA

DALAM KONFLIK DI SURIAH

Skripsi

Oleh :

KARYONO
A01110072

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK
2017
PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA
DALAM KONFLIK DI SURIAH

Skripsi

Oleh :

KARYONO
A01110072

Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK
2017
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha

Pengasih dan Penyayang karena berkat limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pelanggaran Berat

Hak Asasi Manusia Dalam Konflik di Suriah” yang merupakan salah satu syarat

untuk mendapatkan gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini

masih banyak kesalahan maupun kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena

itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dari

berbagai pihak agar mengetahui kekurangan dari skripsi yang ditulis.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan dukungan serta

bantuan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimaka kasih kepada :

1. Prof. Dr. Thamrin Usman, DEA, selaku Rektor Universitas Tanjungpura


Pontianak;
2. Dr. Sy. Hasyim Azizurahman, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Tanjungpura;
3. Bapak Dr. Ahmad Zahari, SH., M.Kn, selaku Dosen Pembimbing Akademik
(P.A) yang senantiasa selalu memberikan motivasi serta dorongan kepada
penulis;
4. Bapak H. Azron Muflikin, SH., MH, selaku Dosen Pembimbing Utama yang
telah memberikan pemikirannya dalam bimbingan skripsi;
5. Ibu Ria Wulandari, SH., MH, selaku Dosen Pembimbing Pendamping yang
telah meluangkan waktunya untuk memberikan masukan dan petunjuk yang
bermanfaat kepada penulis;
6. Seluruh Dosen dan Tenaga Pendidik di Fakultas Hukum Universitas
Tanjungpura Pontianak khususnya Bagian Hukum Internasional yang telah
memberikan perkuliahan yang baik;
7. Seluruh Staf Administrasi dan Pendidikan di Fakultas Hukum Universitas
Tanjungpura Pontianak;
8. Seluruh Staf Unit Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura,
atas pelayanan dalam meminjam buku selama masa perkuliahan;
9. Yang terkhusus untuk kedua orang tua dan kedua saudara, yang tidak henti-
hentinya memberikan motivasi serta dorongan dalam menyelesaikan skripsi
ini;
10. Teman-teman se-angkatan 2010, terima kasih atas kebersamaan dan
bantuannya selama ini;
11. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang
telah memberikan bantuannya baik secara langsung maupun tidak langsung
atas penulisan skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi kita semua

khususnya bagi mahasiswa, mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan

inspirasi dan menjadi sumbangsih pemikiran bagi setiap yang membutuhkan, serta

dapat menambah Ilmu Pengetahuan Tentang Hukum Internasional. Kritik dan

saran penulis harapkan guna untuk penyempurnaan skripasi ini.

Pontianak, Januari 2017

Penulis

Karyono
A01110072
ABSTRAK

Skripsi ini menganalisa pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) yang
terjadi di Suriah dalam kurun waktu terjadinya Arab Spring 2011 hingga saat ini.
Kerusuhan antara pemerintah Suriah dan penduduk sipil di mana pemerintah
Suriah diidentifikasikan telah melakukakn pelanggaran berat hak asasi manusia
(HAM) berupa genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan cara
melakukan tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap penduduk sipil,
penyiksaan, pembunuhan, penangkapan, serta penggunaan senjata kimia.
Pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) dilakukan melalui Pasukan
Keamanan, unit-unit khusus Militer, Badan-badan Intelijen di bawah kendali
Pimpinan/Komando, hal ini dilakukan pemerintah Suriah disebabkan untuk
meredam kerusuhan yang terjadi. Akan tetapi upaya pemerintah Suriah tersebut
gagal mengantisipasi kerusuhan dan konflik yang lebih besar, sehingga timbul
kekerasan bersenjata antara pemerintah dan penduduk sipil yang kemudian
mengakibatkan terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM).
Tujuan dari penulisan ini pertama untuk mengetahui bentuk pelanggaran
berat hak asasi manusia (HAM) di Suriah, kedua untuk mengetahui mekanisme
penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) dalam konflik di
Suriah. Metode penelitian yang digunakan penulis bersifat yuridis normatif yaitu
penelitian yang dilakukakn dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
secara tidak langsung yang kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan
kualitatif.
Penyelesaian kekerasan bersenjata dan pelanggaran berat hak asasi
manusia (HAM) berupa penyelesaian secara damai dengan melakukan
perundingan maupun negosiasi (secara politik) antara pihak pemerintah Suriah
dan oposisi telah dilakukan melalui organisasi regional (Liga Arab) maupun
organisasi internasional (PBB). Upaya untuk menyelesaikan kekerasan bersenjata
dan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) nampak jelas ketika PBB
mengeluarkan beberapa resolusi terkait krisis di Suriah. Disamping hal tersebut,
perlu pula untuk mengadili pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) di
Suriah sebagai bentuk pertanggung-jawaban terhadap pelanggaran tersebut.

Keywords : Pelanggaran Berat HAM, Penyelesaian Pelanggaran HAM


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

ABSTRAK

DAFTAR ISI

DAFTAR LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 8
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 8
1.4 Kerangka Pemikiran .................................................................... 9
1.4.1 Tinjauan Pustaka ............................................................. 9
1.4.2 Kerangka Konsep ............................................................ 15
1.5 Metode Penelitian ....................................................................... 21
1.5.1 Jenis Penelitian ................................................................ 21
1.5.2 Jenis Pendekatan ............................................................. 21
1.5.3 Jenis dan Sumber Data .................................................... 23
1.5.4 Teknik Pengumpulan Data ............................................... 23
1.5.5 Analisis Data ................................................................... 24

BAB II HAK ASASI MANUSIA

2.1 Sejarah Hak Asasi Manusia Internasional .................................... 25


2.2 Konsep Dasar Hak Asasi Manusia Internasional ......................... 29
2.2.1 Hak Asasi Manusia di Inggris .......................................... 29
2.2.2 Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat ........................... 33
2.2.3 Hak Asasi Manusia di Prancis ......................................... 35
2.2.4 Hak Asasi Manusia oleh Liga Bangsa-Bangsa ................. 37
2.2.5 Hak Asasi Manusia oleh PBB .......................................... 38
2.3 Instrumen-Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia ............... 40
2.3.1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) ........ 42
2.3.2 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya (The International Covenant on Economic,
Social, and Cultural Rights atau ICESCR) ........................ 43
2.3.3 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (The
International Covenant on Civil and Political Rights atau
ICCPR) ........................................................................... 44
2.3.4 Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman
Lain yang Kejam dan Tidak Manusiawi atau
Merendahkan Martabat Manusia ...................................... 46
2.3.5 Protokol Opsional pada Kovenan Internasional Hak-Hak
Sipil dan Politik ............................................................... 47
2.3.6 Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Agains
Women) ........................................................................... 48
2.3.7 Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of
the Child) ........................................................................ 48
2.4 Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional ...... 49
2.4.1 Genosida (Genocide) ....................................................... 50
2.4.2 Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Against Humanity) ........ 52
2.5 Penyelesaia Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (HAM)
Menurut Hukum Internasional .................................................... 54
2.5.1 Mekanisme Berdasarkan Perjanjian Hak Asasi Manusia
(HAM) Internasional ....................................................... 59
2.5.2 Mekanisme Berdasarkan Piagam PBB ............................. 64
2.5.3 Di Luar Mekanisme ......................................................... 68

BAB III PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA DALAM


KONFLIK DI SURIAH
3.1 Bentuk Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (HAM) di Suriah 72
3.2 Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia
(HAM) Dalam Konflik di Suriah ................................................. 94
3.2.1 Penyelesaian Secara Damai ............................................. 95
3.2.2 Resolusi Dewan Keamanan (DK PBB) ............................ 100
3.2.3 Mengadili Pelaku Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia
(HAM) di Suriah ............................................................. 107

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan ................................................................................ 115


4.2 Saran .......................................................................................... 117

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak individu yang

paling fundamental yang mencangkup hak-hak atas hidup dalam bidang

politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya. Hak tersebut merupakan

kebutuhan mendasar yang harus dimiliki setiap individu dan kelompok

masyarakat tanpa membedakan suku, agama, jenis kelamin, dan

sebagainya.1 Hal tersebut tertuang dalam Pasal 2 Universal Declarationf of

Human Right (UDHR)2, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas

hak asasinya tanpa dibeda-bedakan :

Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang


tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian
apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau
kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.
Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan
politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau
daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang
merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau
yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.

Dewasa ini, tidak ada satu pun aspek kehidupan yang kita jalankan,

bisa keluar dari HAM. Maka pembahasan utama saat ini adalah

permasalahan HAM.3 Masalah perlindungan internasional Hak Asasi

1
HM. Suaib Didu, 2008, Hak Asasi Manusia : Perspektif Hukum Islam Internasional, Iris,
Bandung, Hal. 17
2
Lihat : Pasal 2 Universal Declaration of Human Right (UDHR) 1948
3
Hamid Awaludin, 2012, HAM : Politik, Hukum, dan Kemunafikan Internasional, Kompas,
Jakarta, Hal. 13
Manusia (HAM) ini sudah diatur secara baik dalam hukum internasional

Hak Asasi Manusia (HAM) yang secara khusus mengatur mengenai

perlindungan individu dan kelompok dari pelanggaran berat Hak Asasi

Manusia (HAM) yang dilakukan oleh aparat pemerintah.4

Dalam Hukum Internasional, Negara (aparat pemerintah) dianggap

melanggar berat Hak Asasi Manusia (Gross Violation of Human Rights)

apabila Negara tersebut melakukan :

1. Negara tidak berupaya untuk melindungi atau bahkan meniadakan

Hak Asasi Manusia (HAM) bagi masyarakat/warga Negara tersebut.

2. Negara membiarkan terjadinya pelanggaran terhadap Hak Asasi

Manusia (HAM) atau justru melakukan tindakan pelanggran melalui

aparat-aparat Negara seperti Kejahatan Internasional (Internasional

Crime), Kejahatan tehadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity),

Kejahatan Genosida (Crimes of Genocide), Kejahatan Perang (Crime

of War), dan Kejahatan Agresi (Agression).5

Berdasarkan pemaparan dua poin di atas dapat dipahami bahwa

setiap subjek hukum berkewajiban untuk melindungi dan menghormati Hak

Asasi Manusia (HAM). Disamping itu setiap subjek hukum juga berpotensi

melakukan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Pelanggaran

terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) bisa terjadi dibelahan bumi mana saja

4
Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, edisi ke-2, Alumni, Bandung, Hal. 672.
5
Adnan Buyung Nasution, A. Patra M. Zen, 2006, Instrumen Internasional Pokok Hak
Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
di dunia, baik di Negara kecil maupun besar, di Negara maju maupun

Negara berkembang.

Namun, fakta yang terjadi dewasa ini menunjukkan bahwa

pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) masih sering terjadi.

Intimidasi, ancaman, pembunuhan terhadap penduduk sipil, serangan

bersenjata menggunakan alat berat, dan hal-hal yang mengancam terhadap

individu ataupun kelompok masih saja terjadi. Pelanggaran-pelanggaran

tersebut terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat internasional yang

menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan dan martabat kehidupan manusia.

Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan kejahatan-

kejahan serius terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan masalah

bersama yang harus mendapatkan perhatian khusus, karena hal tersebut

berkaitan dengan keberlangsungan kehidupan manusia yang seharusnya

bebas dari rasa tidak aman dan segala bentuk ancaman. Hanya saja

tindakan-tindakan tidak manusiawi tersebut masih sering terjadi dan

diterima sebagian dari kita, khususnya terhadap penduduk sipil korban

konflik bersenjata akibat kepentingan politik di suatu Negara. Tulisan ini

khusus membahas mengenai pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM)

oleh pemerintah Suriah terhadap penduduk sipil yang terjadi dalam konflik

di Suriah.

Pada tahun 2011 telah terjadi kerusuhan antara pemerintah Suriah

dan penduduk sipil di Negara Suriah. Di mana diidentifikasi telah terjadi


pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan menimbulkan krisis

yang berkepanjangan hingga saat skripsi ini ditulis.

Kerusuhan antara pemerintah Suriah dan penduduk sipil bermula

pada tanggal 6 Maret 2011, di kota selatan Deraa ketika penduduk lokal

berkumpul untuk menyerukan tuntutan setelah 15 siswa berusia (10-15

tahun) yang ditangkap dan dilaporkan disiksa oleh Pasukan Keamanan

Suriah dengan dugaan mereka membuat coretan (Grafity) di dinding

sekolah. Siswa-siswa tersebut menuliskan kata-kata slogan revolusi yang

terkenal dari rakyat Tunisia, Mesir, dan Libya, “Orang-orang ingin

menjatuhkan rezim (As-shaab Yoreed Eskaat el Nizam)”, yang kemudian

membuat presiden Suriah Bashar al-Assad marah. Hal tersebut kemudian

membuat masyarakat kota selatan Deraa, Suriah, marah dan menuntut ke-15

siswa-siswa tersebut harus dibebaskan. Para demonstran juga menyerukan

demokrasi dan kebebasan yang lebih besar. Coretan, penangkapan,

penyiksaan, serta aksi protes dan unjuk rasa tersebut merupakan awal mula

terjadinya konflik di Suriah.6

Dalam hitungan hari, kerusuhan di Deraa telah berputar di luar

kendali pemerintah setempat. Pada akhir Maret, tentara dengan kendaraan

lapis baja di bawah komando Maher al-Assad diturunkan di kerumunan

pengunjuk rasa. Puluhan orang tewas, ketika tank-tank menembaki

pemukiman penduduk sipil dan pasukan menyerbu rumah-rumah serta

6
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/Awal-mula-Peristiwa-Arab-Spring-di-Suriah
Diakses 10 Februari 2016
menangkap penduduk sipil yang dianggap sebagai propokator. Rangkaian

tindakan refresif Pasukan Keamanan Suriah tersebut gagal menghentikan

kerusuhan di Deraa, namun justru memicu protes anti-pemerintah di kota-

kota lain di Suriah, diantaranya Baniyas, Homs, Hama dan pinggiran kota

Damaskus.

Pergolakan politik di Suriah telah berlangsung lebih dari setahun

dan menimbulkan berbagai macam masalah dan konflik. Serangkaian

tindakan kekerasan fisik maupun mental terjadi di Suriah, mulai dari

pembunuhan, pengeboman, penculikan, penembakan, pemerkosaan,

penyiksaan dan lain sebagainya. Situasi keamanan Suriah yang semakin

memburuk telah menyebabkan terjadinya tragedi kemanusiaan dan diduga

telah terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadi

perhatian dunia internasional.

Pada tahun 2012, jumlah kekerasan di Suriah meningkat. Pasukan

Keamanan Suriah mengisolasi daerah-daerah di mana partai oposisi

dominan, dengan menghambat pasokan makanan dan obat-obatan. Strategi

yang melemahkan ini disebut para korban sebagai “Tansheef al Bakhar”

atau mengeringkan lautan untuk menangkap ikan. Namun demikian,

pemerintah enggan menghentikan strategi ini. Dari tahun 2013 hingga saat

skripsi ini ditulis, banyak penduduk sipil dan kaum pemberontak menjadi

korban penangkapan, penyiksaan, perlakuan yang tidak manusiawi dan

sengaja dihilangkan, anak-anak direkrut sebagai tentara, wanita-wanita


diperkosa, penduduk sipil menjadi sasaran penembak jitu, dan petugas

medis juga dibunuh.7

PBB menyatakan bahwa dari tahun ke tahun pelanggaran Hak

Asasi Manusia (HAM) di Suriah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran

berat dan terus berulang.8 Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tidak

hanya dilakukan oleh Pemerintah/Pasukan Militer Suriah, melainkan juga

oleh pasukan Militan yang dipersenjatai oleh Negara yang disebut Shabiha,

pasukan oposisi anti pemerintah Free Syrian Army (FSA), Jabhal al-

Nushra, Islamic State of Iraq and Al-Sham (ISIS), People’s Protection Units

yang secara terang-terangan merekrut anak-anak sebagai tentara, dan

beberapa pelaku yang belum diketahui.9

Suriah yang dijuluki The Cradle of Civilazon atau tempat lahirnya

peradaban10, mengikuti enam instrument Hak Asasi Manusia (HAM)

Internasional, yaitu International Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR) atau Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik; International

Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (CESCR) atau Kovenan

Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; International

Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination

(CERD) atau Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Ras; Convention on The Elimination of All Forms of

7
United Nation Document 5 Februari 2015, Hal. 4
8
Ibid, Hal. 14
9
United Nation Documen, Op. Cit., Hal. 3-6.
10
Dina Y. Sulaeman, 2013, Prahara Suriah : Membongkar Persekongkokolan
Internasional, Pustaka Iman, Depok, Hal. 11-12
Discriminatio agains Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan; Convention Against

Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment on Punisment

(CAT) atau Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perbuatan Kejam Lain

dan Perlakuan dan Penghukuman Tidak Manusiawi; Convention on The

Right of The Childs (CRC) atau Konvensi Hak-hak Anak.

Disamping itu, hal ini selaras dengan fungsi Negara sebagai

pelindung Hak Asasi Manusia (HAM), sedangkan dalam konflik bersenjata

internal di Suriah, Negara maupun pemerintah diduga mengabaikan

perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan bahkan justru turut

melakukan pelanggaran.

Berdasarkan uraian singkat di atas, penulis tertarik untuk mengkaji

khususnya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan kejahatan

kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Suriah terhadap penduduk sipil

dalam konflik internal di Negara Suriah dengan membuat penulisan hukum

dalam bentuk skripsi dengan judul: “Pelanggaran Berat Hak Asasi

Manusia Dalam Konflik Di Suriah”.


1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan merupakan pernyataan yang menunjukkan adanya

jarak antara rencana dan pelaksanaan, antara harapan dan kenyataan, dan

juga antara das sollen dan das sein. 11 Dari pemaparan latar belakang di atas,

maka yang menjadi permaslahan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah bentuk pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM)

di Suriah?

2. Bagaimanakah bentuk penyelesaian Pelanggaran berat Hak Asasi

Manusia (HAM) dalam Konflik di Suriah?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitain merupakan upaya penulis untuk mengembangkan

ilmu hukum yang berkaitan dengan suatu permasalahan yang tidak pernah

habis untuk dikupas atas suatu peristiwa yang terjadi dilapangan. Adapun

tujuan peneliatiaan adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimanakah bentuk pelanggaran berat Hak

Asasi Manusia (HAM) yang terjadi terhadap penduduk sipil di

Suriah?

2. Untuk mengetahui bagaimanakah penyelesaian pelanggaran berat Hak

Asasi Manusia (HAM) dalam konflik di Suriah?

11
Ronny Hanitjo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,
Hal. 21.
1.4 Kerangka Pemikiran

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Hak Asasi Manusia (HAM) berkaitan dengan konsep dasar

tentang manusia dan hak. Konsep tentang manusia, dalam Bahasa

inggris disebut human being. Pada umumnya ketika kita

mendengar kata manusia, maka secara otomatis kita berfikir

tentang sosok makhluk yang memiliki cita rasa, akan budi, naluri,

emosi, dan seterusnya. Wujud konkret ini adalah orang.12

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar yang dimiliki

manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak Asasi Manusia (HAM)

dapat dirumuskan sebagai hak yang ada dan melekat pada diri

manusia yang apabila hak tersebut tidak ada, maka mustahilah

seseorang itu hidup sebagai manusia. Meskipun Hak Asasi

Manusia (HAM) sudah diakui secara universal, akan tetapi hal

ideal tidak selalu terwujud dalam kehidupan nyata masyarakat.

Palanggaran-pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM) dalam

segala bentuk dan macam tingkatannya mulai dari yang ringan

sampai yang terberat, masih saja dilakukan di dunia ini. Meskipun

secara kuantitatif peristiwa pelanggaran-pelanggaran itu hanya

sebagian kecil saja dibandingkan peristiwa penghormatan dan

perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), artinya masih banyak

12
Hamid Awaludin, 2012, HAM, Politik, & Kemunafikan Internasional, PT. Kompas Media
Nusantara, Jakarta, Hal. 60
yang menghormati dari pada melakukan pelanggaran terhadap Hak

Asasi Manusia (HAM).13

Secara etimologi, istilah Hak Asasi Manusia (HAM)

merupakan terjemahan dari gross violations of human rights yang

pada dasarnya merupakan tindak pidana sebagaimana tindak pidana

pada umumnya yang bersifat melawan hukum (Unlawfull) dan

sama sekali tidak ada alasan pembenarnya. Pelanggaran Hak Asasi

Manusia (HAM) yang berat terdapat beberapa unsur, yaitu:

1. Adanya abuse of power dalam kerangka asosiasi dengan


pemerintah;
2. Kejahatan tersebut dianggap merendahkan martabat manusia
dan pelanggaran asas-asas kemanusiaan yang mendasar;
3. Perbuatan tersebut tidak diakui secara internasional;
4. Dilakukan secara sistematis dan meluas.14
Menurut Sumaryo Suryokusumo 15 bahwa ada 3 (tiga) unsur

dalam menentukan sesuatu pelanggaran sebagai pelanggaran berat :

1. Maksud dan Rencana, yakni kejahatan mengenai Hak Asasi

Manusia (HAM) berat mengandung arti adanya maksud dan

rencana dari pihak berwenang. Berhubungan ada suatu

maksud, maka pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat

secara sistematik itu tidak dilakukan secara sembarangan,

13
I Wayan Parthiana, 2003, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya,
Bandung, Hal. 89
14
Harry Purwanto, Persoalan disekitar Hak Asasi Manusia yang Berat di Indonesia,
Mimbar Hukum, Yogyakarta, No. 38/VI/2001 UGM, Hal. 62
15
Sumaryo Suryokusumo, Yurisdiksi Pengadilan HAM Nasional, Makalah disampaikan
dalam kelas khusus Pidana Internasioal FH-UGM pada tanggal 8 Mei 2008, Hal. 7-8
tetapi sebaliknya hal itu merupakan tanggapan terhadap sikap

yang direncanakan.

2. Kuantitas, unsur kedua ini berkaitan dengan banyaknya

korban dan banyaknya pelanggaran yang terjadi.

Sebagaimana dicamtumkan dalam di dalam Piagam Afrika

khususnya Pasal 58 misalnya, dinyatakan bahwa yang

dimaksud dengan pelanggaran berat adalah “pelanggaran

yang mengakibatkan terjadinya korban lebih dari satu dan

bisa juga melibatkan sejumlah tindakan pelanggaran”.

3. Jenis dan Hak yang dilanggar. Dalam definisi tentang

pelanggaran berat menyatakan bahwa pelanggaran terhadap

hak hidup, integritas atau kebebasan perorangan merupakan

syarat dalam menentukan suatu pelanggaran sebagai

pelanggaran berat. Sifatnya yang “berat” itu menunjukkan

sesuatu yang dipandang dari sudut moral merupakan patut

sekali dicela dan oleh karena itu akan tergantung hak mana

yang dilanggar, sifat pelanggaran dan kedudukan dari

pelanggaran itu sendiri.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam masa

perang (konflik) merupakan bentuk dari kejahan kemanusiaan

(Crimes Against Humanity). Kejahatan kemanusiaan merupakan

salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan

yang sistematik dan meluas yang diketahuinya bahwa serangan


tersebut ditujukan secara lansung terhadap penduduk sipil,

berupa:16

1. Pembunuhan;

2. Pemusuhan;

3. Perbudakan;

4. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

5. Memenjarakan atau perampasan berat atas kebebasan fisik

dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;

6. Penyiksaan;

7. Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi,

penghamilan paksa, pemaksaan strerilisasi, atau sesuatu

bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;

8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat

diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras,

nasional, etnis, budaya, agama, gender, atau atas dasar lain

yang secara universal diakui sebagai tidak diijinkan

berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan

setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap

kejahatan yang berada dalam Jurisdiksi Mahkamah;

9. Penghilangan paksa;

10. Kejahatan apartheid;

16
Ach. Tachir, Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia,
Supremasi Hukum, Vol. 2, No. 2, Desember 2013, Hal. 290-291
11. Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara

sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius

terhadap badan atau mental atau kekerasan fisik.

Setiap orang terlahir bebas dan sama, hal tersebut tertuang

dalam Pasal 1 Universal Declarations of Human Rights (UDHR),17

“Setiap manusia terlahir merdeka dan memiliki derajat dan hak

yang sama. Mereka di anugrahi dengan akal dan hati nurani dan

hendaknya ingin bergaul satu sama lain dalam persaudaraan”.

Pengembangan Hak Asasi Manusia (HAM) secara masif

dan global dimulai setelah Perang Dunia Kedua. Piagam Persatuan

Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan mandat kepada Negara

anggota untuk mempromosikan dan melaksanakan prinsip-prinsip

Hak Asasi Manusia (HAM) fundamental tanpa diskriminasi.

Setelah itu di tahun 1948 PBB memunculkan Universal

Declaration of Human Rights (UDHR) yang secara kongkret

memaparkan standar-standar Hak Asasi Manusia (HAM) yang

harus dijaga dan dilaksanakan. 18

Namun Universal Declaration of Human Rights (UDHR)

yang berbentuk deklarasi tidak memiliki daya ikat, Majelis Umum

Persatuan Bangsa-Bangsa (MUPBB) mengesahkan dua instrumen

Hak Asasi Manusia, yaitu : International Covenant on Economic,

17
Lihat : Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
18
Hamid Awaludin, Op. Cit., Hal. 11
Social, and Cultural Rights (ICESCR), dan International Covenant

on Civil and Political Rights (ICCPR).19 Seiring dengan

perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) di dunia, berbagai

konvensi dibentuk demi kepentingan untuk melindungi Hak Asasi

Manusia (HAM).

Tahapan selanjutnya bangsa-bangsa mulai membangun

institusi untuk kebutuhan praktis, mekanisme monitoring dan

implementasi Hak Asasi Manusia (HAM) juga mulai dibangun.

Peradilan ad-hoc serta Mahkamah Pidana Internasional

(International Criminal Court atau ICC) juga didirikan.20

Aktor-aktor non Negara dalam urusan Hak Asasi Manusia

(HAM) kemudian semakin terlegitimasi oleh masyarakat

internasional. Menegaskan bahwa urusan Hak Asasi Manusia

(HAM) adalah urusan kemanusiaan yang tidak ada kaitannya

dengan konsep kedaulatan Negara.21 Upaya-upaya yang dilakukan

bukan saja mencakup perlindungan atas kategori-kategori individu

tertentu tapi mempunyai sasaran yang lebih luas, yaitu melindungi

dan mengembangkan semua hak untuk semua orang.22

19
Achmad Romsan, dkk., 2003, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional : Hukum
Internasional dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Internasional, Sanic Offset, Bandung, Hal. 118-
119.
20
Hamid Awaludin, Op. Cit., Hal. 12
21
Ibid
22
Boer Mauna, Op. Cit., Hal. 671
1.4.2 Kerangka Konsep

Berbicara mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) tentunya

tidak dapat dipisahkan dengan Negara, karena individu-individu

bernaung dalam suatu wilayah pemerintahan yang disebut Negara.

Negara didirikan oleh individu-individu yang membentuk suatu

kelompok masyarakat karena adanya kebutuhan yang beraneka

ragam. Para filsuf mengatakan bahwa Negara berdiri atas dasar

kesepakatan dan perjanjian antara individu-individu. Oleh karena

itu, Negara dipegang oleh rakyat dan kepentingan rakyak harus

diutamakan. Dengan demikian Negara perlu menjamin,

melindungi, dan mementingkan hak-hak individu tersebut.

John Locke berpendapat bahwa Negara didasarkan pada

suatu kontrak sosial antara penguasa dan individu-individu yang

ada di dalamnya. Individu-individu wajib tunduk apabila Negara

menjamin dan melindungi hak-hak individu yang secara moral

lebih penting dan mengatasi tuntutan-tuntutan maupun

kepentingan-kepentingan Negara tersebut. Negara itu sah sejauh

apabila Negara tersebut secara sistematis melindungi dan

memajukan pemanfaatan hak-hak asasi manusia oleh rakyatnya.

John Locke mengatakan bahwa dengan adanya dominasi

Negara yang domain dalam mengatur kehidupan rakyat, hanya

akan menyebabkan hilangnya hak-hak rakyat. Dan apabila Negara

atau pemerintahan telah menyalahgunakan kekusaan yang


diberikan oleh rakyat, maka rakyat dapat memberikakn perlawanan

atau pemberontakan. Karena dengan menyalahgunakan kekuasaan,

apa lagi sampai melawan atau merampas hak asasi berdasarkan

hukum kodrati dari setiap individu-individu (rakyat). Oleh karena

itu, individu-individu berhak untuk membela diri dengan

mengadakan perlawanan.

John Locke menggungkapkan bahwa untuk mencegah

timbulnya Negara absolute dan terjaminnya hak asasi manusia,

maka diperlukan konstitusi dalam membatasi kekuasaan Negara.

Selain itu, John Locke juga menegaskan tentang pentingnya

memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yaitu

kekuasaan Legislatif (kekuasaan pembuatan undang-undang atau

peraturan hukum), kekuasaan Eksekutif (pelaksana undang-

undang), dan kekuasaan Federatif (kekuasaan mengambil

keputusan atau wewenang).

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu konsep etika

politik modern dengan gagasan pokok penghargaan dan

penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Gagasan ini

membawa tuntunan moral tentang bagaimana seharursnya manusia

memperlakukakan sesama manusia. Tuntunan moral tersebut

diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau

sekelompok orang yang lemah maupun yang terancam dari mereka

yang kuat dan berkuasa. Oleh karena itu, esensi dari konsep Hak
Asasi Manusia (HAM) adalah suatu penghormatan terhadap

kemanusiaan seseorang tanpa terkecuali berdasarkan apapun dan

untuk alasan apapun, serta pengakuan terhadap martabat manusia.

Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights (UDHR)23

menegaskan bahwa “Semua manusia dilahirkan merdeka dan setara

dalam martabat serta hak-hak. Mereka dikaruniai akal budi dan

suara hati dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat

persaudaraan”.

Adapun klasifikasi bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia

(HAM) berkaitan dengan kasus Suriah menurut perspektif hukum

internasional yaitu apabila Negara tidak berupaya melindungi atau

justru meniadakan hak-hak warganya yang digolongkan sebagai

Non-derogablle Rights.24 Selain itu, Negara juga dapat dikatakan

melakukan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) ketika

Negara membiarkan terjadinya atau melakukan melalui aparat-

aparatnya tindak-tindak kejahatan internasioanl yaitu kejahatan

genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan agresi, dan

kejahatan perang.

Pasal 28 Universal Declaration of Human Rights

(UDHR)25 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas suatatu

tatanan sosial dan internasional di mana hak-hak dan kebebasan-

kebebasan yang dinyatakan dalam deklarasi ini dapat dilaksanakan


23
Lihat : Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Op. Cit.
24
Dian Y. Sulaeman, 2010, Op. Cit., Hal. 86
25
Lihat : Pasal 28 Universal Declaration of Human Rights (UDHR).
sepenuhnya. Pasal ini memiliki peranan penting dalam

perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) secara internasional

hingga saat ini. Batas wilayah kedaulatan suatu Negara seharusnya

tidak bias menjadi suatu halangan penegakan Hak Asasi Manusia

(HAM) secara universal, sehingga pada BAB VII dari piagam PBB

memberikan kewenangan kepada Dewan Keamanan (DK) untuk

melakukan intervensi terhadap kedaulatan Negara jika terjadi

pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga dapat

mengganggu perdamaian dunia.26

Kasus yang terjadi di Suriah berkaitan erat dengan hak sipil

dan politik warganya, Pemerintah Suriah telah melanggar hak sipil

dan politik warganya yang dijamin oleh Negara, pada hal sebagai

salah satu anggota PBB, Suriah telah ikut meratifikasi ICCPR pada

tanggal 21 April 1969. ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan

mengenai pembatasan penggunaan kewenang dan kekusasaan

aparat represif Negara. Suriah seharusnya berkewajiban untuk

melindungi seluruh hak-hak asasi rakyatnya, akan tetapi pada

realitanya, banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang

dilakukan. Selain itu, Komite HAk Asasi Manusia (HAM) PBB

sudah seharusnya dapat ikut campur tangan dalam kasus

pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Suriah.

26
Patra Kulu Tandiderung, 2012, “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Pelanggaran
HAM Berat Dalam Konflik di Suriah”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
Makassar, Hal. 8
Upaya meningkatkan penegakan hukum dan pembentukan

standar Hak Asasi Manusia (HAM) di tingkat internasional, PBB

membentuk Dewan Hak Asasi Manusia atau United Nations

Human Rights Council (UNHRC) melalui resolusi A/RES/60/251.

Sebelum dibentuknya UNHRC terdapat Komisi Hak Asasi

Manusia PBB atau United Nations Commission for Human Rights

(UNCHR), yaitu suatu badan di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial

PBB atau United Nations Economic and Social Council yang

bergerak dalam bidang Hak Asasi Manusia. Sebagian besar

perjanjian internasional Hak Asasi Manusia (HAM) seperti

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

merupakan perjanjian yang dihasilkan oleh organ tambahan ini.

Kemudian, kedudukan UNCHR ini digantikan oleh United Nations

Human Rights Council (UNHRC) yang berada di bawah

kedudukan Majelis Umum PBB, dengan tugas utama untuk

menindak lanjuti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang

terjadi di dunia.27

International Covenant on Civil and Politic Rights

(ICCPR) bertujuan untuk mengukuhkan pokok-pokok Hak Asasi

Manusia (HAM) di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam

Universal Declaration of Human Rights (UDHR) sehingga menjadi

27
United Nation, Subsidiary Organs of the General Assembly, Diakses melalui
http://www.un.org/en/ga/about/sudsidiary/council.shtml Pada tanggal 10 Agustus 2016.
ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan

penjabarannya mencakup pokok-pokok lain yang terkait. Hak sipil

adalah hak kebebasan fundamental yang diperoleh sebagai hakikat

dari keberadaan seorang manusia, sedangkan hak politik adalah hak

dasar dan bersifat mutlak yang melekat di dalam setiap warga

Negara yang harus dijunjung tinggi dan di hormati oleh Negara

dalam keadaan apapun. 28

Menurut Hukum Internasional Tradisional, hanya Negara-

negara yang berdaulat (Organisasi-organisasi antar-Pemerintah)

yang dapat dimintai pertanggung-jawaban atas pelanggaran-

pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi. Para pelaku

non-Negara (seperti kelompok pemberontak, organisasi geriliya,

perusahaan transnasional, dan organisasi kriminal) atau perorangan

tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban. Saat pelaku non-Negara

diketahui telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia

(HAM), maka hanya Negara-negara terkait saja yang dapat

dikenakan tindakan hukum. Artinya, jika pelanggaran tersebut

dapat dituduhkan kepada mereka karena Negara menoleril ataupun

mendukung tindakan tersebut secara tidak langsung dan dapat

dikenakan kewajiban untuk mengakhiri pelanggaran-pelanggaran

terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut melalui tindakan-

tindakan nasional yang sesuai.

28
Ifdhal Kasim, 2011, Hak Sipil dan Politik, ELSAM, Jakarta, Hal. 2
1.5 Metode Penelitian

Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu reseach,

yang berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari).29 Penelitian

pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan bukan sekedar

mengamati dengan teliti terhadap suatu objek yang mudah terpegang.30

Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini meliputi jenis

penelitian, jenis pendekatan, sumber data, teknik pengumpulan data, dan

cara menganalisis data.

1.5.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat yuridis normatif yaitu penelitian yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

sekunder.31 Berdasarkan aturan atau perangkat hukum dalam

mengungkapkan permasalahan yang terjadi, penelitian ini

dilakukan dalam bentuk penelitian kepustakaan yaitu penelitian

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

sekunder.32

1.5.2 Jenis Pendekatan

Dalam tulisan ini penulis menggunakan jenis pendekatan

yang relevan dengan konsep hukum normatif. Adapun jenis

pendekatan yang digunakan adalah :

29
Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindio Persada,
Jakarta, Hal. 27
30
Ibid
31
Seorjono Soekamto dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindio Pustaka, Jakarta, Hal. 13
32
Ibid
1. Pendekatan Kasus (The Case Approach)

Pendekatan Kasus merupakakn pendekatan yang dilakukan

dengan melakukakan telaah pada kasus-kasus yang berkaitan

dengan isu hukum yang dihadapi. Pendekatan ini dilakukan

dengan cara melakukan pendekatan atau pengembangan

kasus yang akan dihadapi dengan kasus yang telah

mendapatkan putusan pengadilan sebelumnya yang

berkekuatan hukum tetap. Hal pokok yang dapat dikaji pada

setiap putusan tersebut adalah merupakan suatu pertimbangan

untuk sampai pada suatu keputusan sehingga dapat digunakan

sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang

dihadapi.

2. Pendekatan Sejarah (Historical Approach)

Pendekatan Sejarah merupakan pendekatan yang dilakukan

dalam kerangka untuk memahami filosofi aturan hukum dari

waktu ke waktu serta memahami perubahan dan

perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum

tersebut. Cara pendekatan ini dilakukan dengan menelaah

latar belakang dan perkembangan pengaturan mengenai isu

hukum yang dihadapi.


1.5.3 Sumber Data

Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh

dari bahan-bahan pustaka yang mencangkup33 :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang mengikat dan

terdiri dari norma dasar atau kaidah dasar yaitu: Peraturan

Dasar, Konvensi Internasional, Hukum Internasional,

Peraturan Perundang-undangan, Hukum Tidak Tertulis, dan

berbagai sumber lainnya.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberi

penjelasan mengenai bahan primer, seperti buku, jurnal

ilmiah, artikel dan berita di majalah, surat kabat, maupun

internet.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan

sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks

kumulatif dan seterusnya.

1.5.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis

adalah teknik pengumpulan data secara tidak langsung yang

dilakukan terhadap data sekunder. Alat pengumpulan data yang

digunakan adalah berupa pengumpulan artikel, jurnal atau

33
Ibid
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah

penelitian.

1.5.5 Analisis Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan

pendekatan kualitatif terhadap data hukum sekunder maupun data

hukum primer dan tidak menggunakan angka maupun rumus

statistik. Kemudian data yang sudah dikumpulkan dan diolah

tersebut, selanjutnya digunakan untuk merumuskan suatu

kesimpulan dalam penelitiaan ini.


BAB II

HAK ASASI MANUSIA

2.1 Sejarah Hak Asasi Manusia Internasional

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki manusia

semata-mata. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan

kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan

semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.34 Dalam hal ini,

Jack Donnely ingin menjelaskan bahwa walaupun setiap orang terlahir

dengan warna kulit, jenis kelamin, suku, agama, budaya, bahasa, dan

kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap memiliki hak-hak tersebut.

Menurut Santo Thomas Aquinas dalam tulisannya, menyatakan

bahwa asal usul mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) bersumber dari teori

hak kodrati (Natural Rights Theory). Teori kodrati mengenai hak itu

bermula dari teori hukum kodrati (Natural Law Theory), yang terakhir ini

dapat dirunut kembali sampai jauh ke belakang hingga ke zaman kuno

dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern. Dalam teori hukum

kodratinya, Thomas Aquinas berpijak pada pandangan thomistik yang

mempotulasi hukum kodrati sebagai bagian dari hukum Tuhan yang

sempurna dan dapat diketahui melalui penggunaan nalar manusia. 35

34
Jack Donnely, 2003, Universal Human Right In Theory and Practice, Cornell University
Press, Ithaca and London, Hal. 7-21
35
Rhona K.M.Smith, dkk. 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta,
Hal. 12
Secara definitif Hak merupakan unsur normatif yang berfungsi

sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta

menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan

martabatnya.36 Hak sendiri memiliki unsur-unsur sebagai berikut :37

1. Pemilik Hak,

2. Ruang lingkup penerapan Hak, dan

3. Pihak yang bersedia dalam penerapan Hak.

Bahwa ketiga unsur tersebut menyatu dalam suatu pengertian dasar

tentang Hak. Maka dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang

pada hakekatnya melekat pada diri setiap manusia yang dalam

penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan

yang terkait dengan interaksinya individu dengan instansi.

Hak merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Dalam kaitannya

untuk memperoleh hak ada dua teori yaitu yang pertama teori McCloskey

dan yang kedua teori Joel Feinberg. Menurut teori McCloskey dinyatakan

bahwa pemberian hak adalah untuk dilakukan, dimiliki, atau sudah

dilakukan. Sedangkan dalam teori Joel Feinberg dinyatakan bahwa

pemberian hak penuh merupakan kesatuan dari klaim yang absah

(keuntungan yang didapat dari pelaksanaan hak yang disertai pelaksanaan

kewajiban). Dengan demikian keuntungan dapat diperoleh dari pelaksanaan

36
Tim ICCE UIN Jakarta, 2003, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
Prenada Media, Jakarta, Hal. 199
37
Ibid
hak bila disertai dengan pelaksanaan kewajiban. Hal itu berarti bahwa antara

hak dan kewajiban merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam

perwujudannya. Karena itu ketika seseorang menuntut hak juga harus

melakukan kewajiban.38

John Locke menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah

hak-hak yang diberikan Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang

kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat

mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup

dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa lepas

dari dan dalam kehidupan manusia.39

Dalam pembukaan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia

(DUHAM) menyatakan bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-

hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga

manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia.

Kemudian deklarasi universal tersebut dijadikan sebagi suatu standar umum

untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan Negara, dengan tujuan agar

setiap orang dan setiap badan di dalam masyarakat untuk mengingat

deklarasi tersebut dan memperjuangkan hak-hak sebagai manusia yang utuh.

Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun

1948 pada Pasal 2 disebutkan bahwa :

38
Tim ICCE UIN Jakarta, Op., Cit., Hal. 200
39
Masyur Effendi, 1994, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum
Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 3
Pasal 2

“Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan


yang tercamtum dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian
apapun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pandangan lain, asal usul kebangsaan atau
kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain”.40
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tantang Hak Asasi

Manusia (HAM) Pasal 1 disebutkan bahwa :

Pasal 1

“Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat


pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia”.41
Berdasarkan beberapa rumusan pengertian Hak Asasi

Manusia (HAM) tersebut, dapat kita pahami bahwa hak asasi manusia

merupakan hak yang melekat pada setiap diri manusia yang bersifat kodrat

dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus

dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat ataupun

Negara. Maka dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan

hak asasi manusia ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara

utuh melalui aksi keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta

keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum.42

40
Lihat : Pasal 2 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights 1948
41
Lihat : Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
42
Tim ICCE UIN Jakarta, Op. Cit., Hal. 201
Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak

Asasi Manusia (HAM), menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama

antara individu, pemerintah, bahkan Negara. Jadi dalam memenuhi dan

menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus

dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak

boleh merusak kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Karena itu

pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia

(HAM) harus diikuti dengan kewajiban asas manusia dan tanggung jawab

asasi manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara.43

2.2 Konsep Dasar Hak Asasi Manusia Internasional

2.2.1 Hak Asasi Manusia di Inggris

Inggris sering disebut-sebut sebagai Negara pertama di

dunia yang memperjuangkan Hak Asasi Manusia. Tonggak pertama

bagi kemenangan hak-hak asasi terjadi di Inggris. Perjuangan

tersebut tampak dengan adanya berbagai dokumen kenegaraan yang

ditemukan dan berhasil disusun kemudian disahkan. Dokumen-

dokumen tersebut adalah sebagi berikut :

1. Magna Carta

Awal mula lahirnya konsep Hak Asasi Manusia (HAM) dalam

bentuk tertulis yang sering juga kali dirujuk dalam menjelaskan

perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM), yakni lahirnya

Magna Carta di Inggris pada tanggal 12 Juni 1215. Piagam

43
Robert Audi dalam Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi-
Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta, Hal. 50.
yang di keluarkan di Inggris, membatasi monarki Inggris, sejak

masa Raja John Lackland dari kekuasaan yang absolut. Magna

Carta adalah hasil dari perselisihan antara Paus, Raja John

Lackland dan baronnya atas hak-hak Raja. Magna Carta

mengahruskan Raja untuk membatalkan beberapa hak dan

menghargai beberapa prosedur legal, dan untuk menerima

bahwa keinginan Raja dapat dibatasi oleh hukum. Semangat

Magna Charta ini menjadi inspirasi munculnya undang-undang

dalam Kerajaan Inggris pada tahun 1689 yang dikenal dengan

Undang-undang Hak (Bill of Right).44 Munculnya undang-

undang ini menjadi awal munculnya adagium “manusia sama

di muka hukum” (equality before the law). Adagium ini

menjadi dasar berkembangnya Negara hukum dan demokrasi

yang mejamin asas persamaan dan kebebasan sebagai warga

Negara.45

Magna Carta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang

prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan Raja dan Hak

Asasi Manusia lebih penting dari kedaulatan Raja. Tak seorang

pun dari warga Negara merdeka dapat ditahan atau dirampas

harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun

dirampas hak-haknya, kecuali dengan berdasarkan

44
Hamid Awaludin, Op. Cit., Hal. 78
45
Fazrul Rahman, 2013, “Analisis Yuridis Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di
Indonesia (Studi Kasus di Mesuji Sumatera Selatan 2011)”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Selatan, Palembang, Hal. 10
pertimbangan hukum. Piagam Magna Carta itu menandakan

bahwa kemenangan telah diraih sebab hak-hak tertentu yang

prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah.

Piagam tersebut menjadi lambang munculnya

perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan

bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi

daripada kekuasaan Raja.

Isi Magna Carta adalah sebagai berikut :

1. Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati

kemerdekaan, hak, dan kebebasan Gereja Inggris.

2. Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk

memberikan hak-hak sebagai beriku :

a. Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan

menghoramati hak-hak penduduk;

b. Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang

tanpa bukti dan saksi yang sah;

c. Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan,

ditangkap, dinyatakan bersalah tanpa perlindungan

negara dan tanpa alasan hukum sebagai dasar

tindakannya;

d. Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah

terlanjur ditahan, raja berjanji akan mengoreksi

kesalahannya.
2. Petition of Rights

Pada dasarnya Petition of Rights berisi pernyataan-

pernyataan mengenai hak-hak rakyat beserta jaminannya. Petisi

ini diajukan oleh para bangsawan kepada Raja di depan

parlemen pada tahun 1628. Isinya secara garis besar menuntut

hak-hak antara lain sebagai berikut :

1. Pajak dan pungutan istimewa harus disertai persetujuan;

2. Warga negara tidak boleh dipaksakan menerima tentara di

rumahnya;

3. Tentara tidak boleh menggunakan hukum perang dalam

keadaan damai.

3. Hobeas Corpus Act

Hobeas Corpus Act adalah undang-undang yang

mengatur tentang penahanan seseorang dibuat pada tahun 1679.

Isinya adalah sebagai berikut :

1. Seseorang yang ditahan segera diperiksa dalam waktu 2

hari setelah penahanan;

2. Alasan penahanan seseorang harus disertai bukti yang sah

menurut hukum.

4. Bill of Rights

Bill of Rights merupakan undang-undang yang

dicetuskan tahu 1689 dan diterima parlemen Inggris, yang

isinya adalah mengatur tentang :


1. Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen;

2. Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat;

3. Pajak, undang-undang dan pembentukan tentara tetap

harus seizin parlemen;

4. Hak warga negara untuk memeluk agama menurut

kepercayaan masing-masing;

5. Perlemen berhak untuk mengubah keputusan raja.

2.2.2 Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat

Pemikiran filsuf John Locke (1632-1704) yang

merumuskan hak-hak alam, seperti hak atas hidup, kebebasan dan

milik (life, liberti, and property) mengalami sekaligus menjadi

pegangan bagi rakyat Amerika sewaktu memberontak melawan

penguasa Inggris pada tahun 1776. Pemikiran John Locke mengenai

hak-hak dasar ini terlihat jelas dalam Deklarasi Kemerdekaan

Amerika Serikat yang dikenal dengan Declaration of Independence

of United States.

Revolusi Amerika dengan Declaration of Independence-

nya tanggal 4 Juli 1776, suatu deklarasi kemerdekaan yang

diumumkan secara aklamasi oleh 13 negara bagian, merupakan pula

piagam hak-hak asasi manusia karena mengandung pernyataan

“Bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama derajat oleh

Maha Pencipta. Bahwa semua manusia dianugerahi oleh Penciptanya


hak hidup, kemerdekaan, dan kebebasan untuk menikmati

kebhagiaan.

John Locke menggambarkan keadaan status naturalis,

ketika manusia telah memiliki hak-hak dasar secara perorangan.

Dalam keadaan bersama-sama, hidup lebih maju seperti yang disebut

dengan status civilis, locke berpendapat bahwa manusia yang

berkedudukan sebagai warga negara hak-hak dasarnya dilindungi

oleh negara.

Declaration of Independence di Amerika Serikat

menempatkan Amerika sebagai negara yang memberi perlindungan

dan jaminan hak-hak asasi manusia dalam konstitusinya, kendatipun

secara resmi rakyat Perancis sudah lebih dulu memulainya sejak

masa Rousseau. Kesemuanya atas jasa presiden Thomas Jefferson

presiden Amerika Serikat lainnya yang terkenal sebagai “pendekar”

hak asasi manusia adalah Abraham Lincoln, kemudian Woodrow

Wilson dan Jimmy Carter.

Amanat Presiden Flanklin D. Roosevelt tentang “empat

kebebasan” yang diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat

tanggal 6 Januari 1941 yakni :

1. Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of

speech and expression);

2. Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan

kepercayaannya (freedom of religion);


3. Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear);

4. Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from

want).

Kebebasan- kebebasan tersebut dimaksudkan sebagai

kebalikan dari kekejaman dan penindasan melawan fasisme di bawah

totalitarisme Hitler (Jerman), Jepang, dan Italia. Kebebasan-

kebebasan tersebut juga merupakan hak (kebebasan) bagi umat

manusia untuk mencapai perdamaian dan kemerdekaan yang abadi.

Empat kebebasan Roosevelt ini pada hakikatnya merupakan tiang

penyangga hak-hak asasi manusia yang paling pokok dan mendasar.

2.2.3 Hak Asasi Manusia di Prancis

Perjuangan hak asasi manusia di Prancis dirumuskan dalam

suatu naskah pada awal Revolusi Prancis. Perjuangan itu dilakukan

untuk melawan kesewenang-wenangan rezim lama. Naskah tersebut

dikenal dengan Declaration des Droits de L’homme et du Citoyen

yaitu pernyataan mengenai hak-hak manusia dan warga negara.

Pernyataan yang dicetuskan pada tahun 1789 ini mencanangkan hak

atas kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan atau kesetiakawanan

(liberte, egalite, fraternite).

Lafayette merupakan pelopor penegakan hak asasi manusia

masyarakat Prancis yang berada di Amerika ketika Revolusi

Amerika meletus dan mengakibatkan tersusunnya Declaration des

Droits de I’homme et du Citoyen. Kemudian di tahun 1791, semua


hak-hak asasi manusia dicantumkan seluruhnya di dalam konstitusi

Prancis yang kemudian ditambah dan diperluas lagi pada tahun 1793

dan 1848. Juga dalam konstitusi tahun 1793 dan 1795. Revolusi ini

diprakarsai pemikir-pemikir besar seperti J. J. Rousseau, Voltaire,

serta Montesquieu. Hak Asasi yang tersimpul dalam deklarasi itu

antara lain :

1. Manusia dilahirkan merdeka dan tetap merdeka;

2. Manusia mempunyai hak yang sama;

3. Manusia merdeka berbuat sesuatu tanpa merugikan pihak lain;

4. Warga Negara mempunyai hak yang sama dan mempunyai

kedudukan serta pekerjaan umum;

5. Manusia tidak boleh dituduh dan ditangkap selain menurut

undang-undang;

6. Manusia mempunyai kemerdekaan agama dan kepercayaan;

7. Manusia merdeka mengeluarkan pikiran;

8. Adanya kemerdekaan surat kabar;

9. Adanya kemerdekaan bersatu dan berapat;

10. Adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul;

11. Adanya kemerdekaan bekerja,berdagang, dan melaksanakan

kerajinan;

12. Adanya kemerdekaan rumah tangga;

13. Adanya kemerdekaan hak milik;

14. Adanya kemedekaan lalu lintas;


15. Adanya hak hidup dan mencari nafkah.

2.2.4 Hak Asasi Manusia oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB)

Setelah berakhirnya Perang Dunia pertama, masyarat

internasional membentuk Liga Bangsa-Bansa (League of Nations)

melalui Perjanjian Versailles. Tujuan utama dibentuknya Liga

Bangsa-Bangsa (LBB) adalah untuk memjukan kerjasama

internasional, mencapai perdamaian, dan keamanan internasional.

Memang pada liga tersebut tidak disebutkan secara eksplisit

membuat ketetapan mengenai perlindungan Hak Asasi Manusia

(HAM). Namun dari dokumen pendiriannya, yang disebut

Convenant of the League Nations, setiap negara-negara anggotanya

diwajibkan untuk berupaya ke arah sasaran-sasaran kemanusiaan

seperti menetapkan kondisi kerja yang manusiawi bagi individu,

larangan perdagangan perempuan dan anak, pencegahan dan

pengendalian penyakit, serta perlakuan yang adil terhadap penduduk

pribumi dan wilayah jajahan. Liga Bangsa-Bangsa (LBB) memiliki

tiga organ utama, yaitu Dewan, Majelis, Sekretariat.46

Liga Bangsa-Bangsa (LBB) juga menjalankan fungsi

pengawasan yang berkaitan dengan “kewajiban-kewajiban yang

menjadi perhatian internasional”, sebuah prosedur dan mekanisme

yang memungkinkan perlindungan bagi kelompok-kelompok

minoritas. Dengan mekanisme ini, kelompok minoritas yang merasa

46
Rhona K. M. Smith, dkk. Op. Cit., Hal. 33
dilanggar haknya dapat mengadukan masalahnya kepada Dewan

Liga. Pada tanggal 18 April 1946 Liga Bangsa-Bangsa resmi

dibubarkan.47

2.2.5 Hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Setelah Perang Dunia kedua, perkembangan hukum Hak

Asasi Manusia (HAM) internasional modern melahirkan

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Badan dunia inilah yang pertama

kali membuat dokumen tertulis tentang Hak Asasi Manusia (HAM)

yang diakui dan diterima oleh seluruh bangsa.48 Sebagai sebuah

taraktat multilateral yang mengikat secara hukum semua anggota

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Piagam itu memuat Pasal-pasal

eksplesit mengenia perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam

mukadimah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) semua Negara

anggota agar “menyatakan kembali keyakinan pada Hak Asasi

Manusia (HAM), pada martabat dan nilai manusia”. Pasal 1 ayat (3)

mencantumkan bahwa salah satu tujuan PBB adalah memajukan dan

mendorong penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan

kebebasan dasar bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis

kelamin, bahasa dan agama. Dokumen tertulis pertama kali dibuat

oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) adalah Deklarasi Hak Asasi

Manusia (HAM) Universal tahun 1948.49

47
Ibid
48
Hamid Awaludin, Op. Cit., Hal. 81
49
Ibid
Mulai tahun 1946, disusunlah rancangan Piagam Hak-Hak

Asasi Manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang terdiri dari 18 anggota.

PBB membentuk Komisi Hak Asasi Manusia (commission of human

right). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah

pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10

Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana

Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut.

Karya itu berupa Universal Declaration of Human Right

atau Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia, yang

terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam Sidang

Umum tersebut, 48 Negara menyatakan persetujuannya, 8 Negara

abstain, dan 2 Negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal

10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia (HAM).

Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) antara lain mencantumkan,

Bahwa setiap orang mempunyai Hak :

1. Hak untuk Hidup;

2. Kemerdekaan dan keamanan badan;

3. Diakui kepribadiannya;

4. Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut

hukum untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana,


seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah

kecuali ada bukti yang sah;

5. Masuk dan keluar wilayah suatu Negara;

6. Mendapatkan Suaka;

7. Mendapatkan status kenegaraan/kebangsaan;

8. Mendapatkan hak milik atas benda;

9. Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan;

10. Bebas memeluk agama;

11. Mengeluarkan pendapat;

12. Berapat dan berkumpul;

13. Mendapat jaminan sosial;

14. Mendapatkan pekerjaan;

15. Berdagang;

16. Mendapatkan pendidikan;

17. Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat;

18. Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan

keilmuan. 50

Majelis umum memproklamirkan Pernyataan Sedunia tentang

Hak Asasi Manusia (HAM) itu sebagai tolak ukur umum hasil usaha

sebagai rakyat dan bangsa dan menyerukan semua anggota dan semua

bangsa agar memajukan dan menjamin pengakuan dan pematuhan

hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang termasuk dalam pernyataan

50
Lihat : Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, Loc., Cit
tersebut. Meskipun bukan merupakan perjanjian, namun semua

anggota PBB secara moral berkewajiban menerapkannya.

2.3 Instumen-Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia

Meskipun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)

telah diterima oleh masyaratkat internasional karena sifatnya sebagai

deklarasi, namun tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, sehingga

tujuan deklarasi sebagai pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)

sulit untuk diwujudkan dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, agar tujuan

deklarasi universal tersebut dapat menjadi kenyataan, maka diperlukan

instrumen atau alat dalam penerapannya secara internasional. Instrumen Hak

Asasi Manusia (HAM) internasional merupakan alat yang berupa standar-

standar pembatasan pelaksanaan dan mekanisme kontrol terhadap

kesepakatan-kesepakatan antar Negara tentang jaminan Hak Asasi Manusia

(HAM) yang instrumen hukum internasional Hak Asasi Manusia

(International Bill of Right).

Instrumen hukum internasional Hak Asasi Manusia tersebut

bentuknya berupa kovenan (perjanjian) dan protokol. Kovenan yaitu

perjanjian yang mengikat bagi Negara-negara yang menandatanganinya.

Istilah kovenan (Covenant) digunakan bersamaan dengan Kesepakatan

(Treaty) dan Konvensi (Convention). Sedangkan Protokol merupakan

kesepakatan-kesepakatan dari negara-negara yang penandatanganannya

memiliki fungsi untuk lebih lanjut mencapai tujuan-tujuan kovenan.


Ketika Majelis Umum PBB mengadopsi atau menyetujui sebuah

konvensi ataupun protokol, maka terciptalah standar internasional, dan

kemudian Negara-negara yang meratifikasi konvensi tersebut berjanji untuk

menegakkannya. Ada sekitar 30 Kovenan yang telah diratifikasi sejak

Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) dideklarasikan

50 tahun yang lalu. Negara yang melanggar standar yang telah ditetapkan

konvensi tersebut dapat digugat oleh PBB.

Bagaimana instrumen Hak Asasi Manusia yang berlaku secara

internasional, diantaranya adalah sebagai berikut :

2.3.1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) adalah

elemen pertama dari Peraturan Perundang-undangan Hak Asasi

Manusia Internasional (International Bill of Rights), yaitu suatu

tabulasi hak dan kebebasan fundamental.51 Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia (DUHAM) dibentuk pada tanggal 10 Desember 1948

ketika Majelis Umum PBB mencanangkan Pernyataan Umum

tentang Hak-hak Asasi Manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia (DUHAM) inilah yang menjadi tonggak dan napas dari

semua instrumen hukum internasional mengenai Hak Asasi Manusia

(HAM) yang lahir berikutnya.52 Deklarasi Universal tersebut

diterima oleh 49 Negara, tidak ada yang menentang, 9 abstein dan

51
Ibid, Hal. 58
52
Rhona K. M. Smith, dkk., Op. Cit., Hal. 87-88
berisikan hak-hak sipil dan politik tradisional beserta hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya. 53

Deklarasi ini dapat dikatakan merupakan tonggak sejarah

bagi pengembangan hak-hak asasi manusia, sebagai standar umum

untuk mencapai keberhasilan bagi semua rakyat dan semua bangsa.54

Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) terdiri dari

30 pasal yang mengumandangkan seruan agar rakyat menggalakkan

dan menjamin pengakuan yang efektif dan penghormatan terhadap

hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan yang telah

ditetapkan dalam DUHAM. 55

Hak dan kebebasan yang tercantum dalalm Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) mencangkup sekumpulan

hak yang lengkap baik itu hak sipil, politik, budaya, ekonomi, dan

sosial tiap individu maupun beberapa hak kolektif. Pasal 1 dan 2

DUHAM menegaskan bahwa :

Pasal 1 menyatakan :

“Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai


martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi
dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain
dalam semangat persaudaraan”.

Pasal 2 menyatakan :

“Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang


tercantum dalam Deklarasi ini tanpa pembedaan dalam
bentuk apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,

53
Ibid
54
Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional : Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung, Hal. 169.
55
Boer Mauna, Op. Cit., Hal. 679
agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, asal usul
kebangsaan dan sosial, hak milik, kelahiran atau status
lainnya. Selanjutnya pembedaan tidak dapat dilakukan atas
dasar status politik, hukum atau status internasional negara
atau wilayah darimana seseorang berasal, baik dari negara
merdeka, wilayah perwalian, wilayah tanpa pemerintahan
sendiri, atau wilayah yang berada dibawah batas kedaulatan
lainnya”.

2.3.2 Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

(The International Covenant on Economic, Social, and Cultural

Rigts atau ICESCR)

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya (The Internasional Covenant on Economic, Social and

Culture Rights). Kovenan ini lahir pada tahun 1966, diadopsi pada

16 Desember 1975, dan berlaku pada 3 Januari 1976, dan sampai

pada bulan Desember 2003 sudah diratifikasi 148 Negara.56 Pada

Pasal 22 sampai 27 Kovenan ini mengakui bahwa setiap manusia

memiliki hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak tersebut

mencangkup :

1. Hak atas pekerjaan,

2. Hak untuk membentuk serikat kerja,

3. Hak atas pensiun, hak atas tingkat kehidupan yang layak bagi

dirinya dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian dan

perumahan yang layak,

4. Hak atas pendidikan.

56
Ibid
2.3.3 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (The

International Covenant on Civil and Political Rights atau ICCPR)

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik

mengandung hak-hak demokratis yang esensial, kebanyakan terkait

dengan berfungsinya suatu Negara dan hubungannya dengan warga

negaranya.57 Kovenan ini lahir tahun 1966, diadopsi 16 Desember

1975 dan berlaku pada 1976. Dan sampai pada bulan Desember 2003

Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik telah diratifikasi oleh 151

Negara.58

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik

merupakan produk Perang Dingin yang merupakan hasil dan

kompromi politik yang keras antara kekuatan Negara Blok Sosialis

melawan Negara Blok Kapitalis. ICCPR merupakan hasil pemisahan

dari hak-hak sipil politik dengan hak-hak dalam kategori ekonomi,

sosial, dan budaya ke dalam dua kovenan atau perjanjian

internasional, yang biasa di kenal dengan International Covenan on

Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR).

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dalam

Pasal 3 sampai 21 telah menempatkan Hak-hak Sipil dan Politik

yang dijamin dan menjadi hak semua orang. Adapun dalam Kovenan

ini adalah :

57
Rhona K. Smith, dkk., Op. Cit., Hal. 93
58
Boer Mauna, Op. Cit., Hal. 628
1. Hak atas hidup,

2. Hak untuk menentukan nasib sendiri,

3. Kebebasan dan keamanan pribadi,

4. Bebas dari perbudakaan dan penghambaan,

5. Bebas dari penyiksaan ataupun perlakuan maupun hukum yang

kejam, tak berperikemanusiaan ataupun yang merendahkan

derajat kemanusiaan,

6. Hak untuk memperoleh pengakuan hukum di mana saja sebagai

pribadi,

7. Hak untuk pengampunan yang efektif,

8. Bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang

sewenang-wenang, dan lain sebagainya.59

2.3.4 Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuaan atau Hukuman lain

yang Kejam dan Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat

Manusia.

Penyikasaan adalah salah satu pelanggaran Hak Asasi

Manusia (HAM) paling serius dan dalam kenyataannya

memperlihatkan sebuah serangan langsung terhadap harga diri

manusia. Pasal 1 dari Konvensi ini mendefinisikan penyiksaan berat

segala tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau penderitaan luar

biasa, baik secara fisik ataupun mental, dan secara sengaja dilakukan

pada seseorang untuk tujuan mendapatkan informasi atau pengakuan

59
Boer Manuna, Loc. Cit., Hal. 679-680
darinya atau orang ketiga, menghukum orang itu atau orang ketiga

yang melakukan atau diduga melakukan sesuatu, atau dengan

mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau semua

alsan berdasarkan diskriminasi dalalm segala bentuk, saat rasa sakit

atau penderitaan seperti itu dilakukan oleh atas dasar hasutan, atau

disetujui atas sepengetahuan aparat Negara atau orang lain yang

mempunyai kewenangan resmi. Hal itu tidak termsuk rasa sakit atau

penderiataan yang timbul hanya dari, melekat pada atau diakibatkan

sanksi hukum.60

Resolusi Majelis Umum terhadap Kovensi ini adalah GA

Res.39/46 pada tanggal 10 Desember 1984 dan mulai berlaku pada

tanggal 26 Juni 1987, dimana Konvensi tersebut sudah diratifikasi

oleh 134 Negara. Konvensi ini mengkategorikan penyiksaan sebagai

kejahatan internasional dan meminta Negara bertanggung jawab

untuk mencegah penyiksaan dan menghukum para pelakunya.

Konvensi Anti Penyiksaan yang bertugas bukan saja mempelajari

laporan Negara-negara mengenai pelaksanaan Konvensi, tetapi juga

dapat melakukan investigasi di Negara-negara yang diperkirakan

mempraktikkan penyiksaan secara sistematik.61

2.3.5 Protokol Opsional pada Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil

dan Politik

60
Lihat : Pasal 1 Konvensi Tentang Menentang Penyiksaan dan Perlakuaan atau
Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (CAT).
61
Boer Mauna, Op. Cit., Hal. 684
Protokol Opsional pada Kovenan Internasional Hak-Hak

Sipil dan Politik, Protokol ini, diadopsi pada 16 Desember 1975 dan

berlaku pada 23 Maret 1976. Protokol Opsional/pilihan berisikan

pemberian tugas pada komisi Hak Asasi Manusia. Manusia untuk

menerima dan mempertimbangkan pengaduan dari individu-individu

warga dalam wilayah kekuasaan Negara peserta Kovenan yang

menjadi peserta Protokol, yang mengaku telah menjadi korban

pelanggran terhadap salah satu hak yang dikemukakan dalam

Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Pengaduan itu dapat diajukan

secara tertulis kepada Komisi Hak Asasi Manusia, setelah semua

upaya domestik (dalam Negara warga yang bersangkutan)yang

tersedia telah ditempuhnya, tetapi tidak menampakkan hasil.

2.3.6 Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk

Diskriminasi terhadap Perempuan (Conventions on the

Elimination of All Forms of Discrimination Agains Women)

Konvensi internasional ini mulai berlaku pada 1981.

Dokumen ini meruakan alat hukum yang paling lengkap

(komprehensif) berkenaan dengan hak-hak asasi wanita, dan

mencangkup peranan dan status mereka. Denga demikian dokumen

tersebut merupakan dasar untuk menjamin persamaan wanita di

Negara-negara yang meratifikasinya.

2.3.7 Konvensi Hak-Hak anak (Convention on the Rights of the

Child).
Konvensi ini disepakati Majelis Umum PBB dalam siding

ke-44 pada Desember 1989. Menurut Konvensi ini bahwa pengertian

anak yaitu setiap orang yang masih berumur di bawah 18 tahun.

Kecuali, jika berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak

menentukan batas umur yang lebih rendah dari 18 tahun. Konvensi

ini dicetuskan karena di berbagai belahan dunia anak mendapatkan

perlaukuan yang dapat dikatakan melanggar Hak Asasi Manusia

(HAM) sebagai anak. Meskipun Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia (DUHAM) yang juga melindungi hak-hak anak sebagai

manusia, ternyata belum terlaksana dengan baik.

2.4 Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan bahwa :

“Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau


sekelompok orang termasuk aparat Negara, baik disengaja maupun
tidak tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum,
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi
seseorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh undang-
undang ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku”.

Titon Slamet Kurnia dalam bukunya berjudul Reparasi

(Reparation) Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di

Indonesia menyatakan bahwa konsep pelanggaran Hak Asasi Manusia

(HAM) menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 secara konseptual

tidak tepat, karena definisi tersebut secara teoritis tidak mengacu pada

konsep normatif Hak Asasi Manusia (HAM) yang melihat faktor kekuasaan
Negara sebagai masalah.62 Negara senantiasa menjadi ancaman bagi

keselamatan atau keamanan setiap manusia di bawah yuridiksinya karena

tidak seorang pun terbebas dari kekuasaan kursifnya.63

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sudah menjadi isu

internasional sejak lama. Semua Negara dan warganya berupaya keras untuk

menegakkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut. Pelanggaran

Hak Asasi Manusia (HAM) berat (The Most Serious Crime/Gross Violation

of Human Rights) dalam Hukum Internasional diatur dalam International

Criminal Court (ICC).

Menurut Pasal 5 International Criminal Court (ICC) dikenal 4

jenis pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang dapat dikatakan berat.

Dalam hal ini penulis akan memaparkan dua saja pelanggaran berat Hak

Asasi Manusia yang terjadi di Suriah, antara lain yaitu :

2.4.1 Genosida (Genocide)

Genosida terdiri dari dua kata, yakni geno dan cide. Geno

atau genos berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti ras, bangsa,

atau etnis. Sedangkan cide, caedere atau cidium berasal dari bahasa

Latin yang artinya membunuh.64 Istilah genosida kemudian

didefinisikan dalam Convention on the Prevention and Punishment

62
Titon Slamet Kurnia, 2005, Reparasi (Reparation) Terhadap Korban Pelanggaran HAM
di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Hal. 8
63
Ibid, Hal. 8
64
Eddy O. S. Hiariej, 2010, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap HAM,
Erlangga, Jakarta, Hal. 7
of the Crime of Genocide yang diterima oleh Resolusi Majelis

Umum PBB 260A (III), 9 Desember 1948.65

Dalam Convention on the Prevention and Punishment of

the Crime of Genocide Pasal 1 disebutkan bahwa genosida yang

dilakukan pada waktu damai atau pada waktu perang adalah

kejahatan menurut hukum internasional (genocide, whether

committed in time of peace or in time of war, is a crime under

international law). Sedangkan pengertian genoside dirumuskan

secara lengkap dalam Pasal 2 :

Pasal 2 menyatakan :

Dalam Konvensi ini, genosida berarti setiap perbuatan


berikut, yang dilakukan dengan tujuan merusak begitu saja,
dalam keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok
bangsa, etnis, ras, atau agama seperti :
1. Membunuh para anggota kelompok;
2. Menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para
anggota kelompok;
3. Dengan sengaja menimbulkan pada kelompok itu
kondisi hidup yang menyebabkan kerusakan fisiknya
dalam keseluruhan ataupun sebagian;
4. Mengenakan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk
mencegah kelahiran di dalam kelompok itu;
5. Dengan paksa mengalihkan anak-anak suatu kelompok
ke kelompok lain.66

Menurut Pasal 6 International Criminal Court (ICC)

Genosida merupakan salah satu atau lebih dari perbuatan yang

65
Ibid, Hal. 9
66
Adnan Buyung Nasution, A. Patra M. Zen, Op. Cit., Hal. 671-672
dilakukan dengan maksud untuk memusnahkan seluruh atau

sebagian kelompok bangsa, etnis, rasa tau agama seperti :

a. Membunuh anggota kelompok.

b. Menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap

anggota kelompok.

c. Sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan

mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau

sebagian.

d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah

kelahiran dalam suatu kelompok.

e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke

kelompok lain.67

2.4.2 Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity)

Dalam Pengadilan Nuremberg terdapat dua kategori utama

yaitu :

1. Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan

tindakkan tidak manusiawi lainnya yang diarahkan terhadap

penduduk sipil, sebelum atau selama perang.

2. Persekusi atas dasar politik, ras, dan agama.

Pengertian dan penjelasan Kejahatan terhadap

Kemanusiaan juga terdapat dalam International Criminal Court

(ICC). Menurut Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma menjelaskan bahwa

67
I Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana Internasional, Sebuah Pengantar, Hal. 166-167
kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu atau lebih dari

beberapa perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sebagai bagian

dari serangan yang sistematis dan meluas yang langsung ditujukan

terhadap penduduk sipil seperti:68

1. Pembunuhan,

2. Pemusnahan,

3. Perbudakan,

4. Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa,

5. Pengurungan atau pencabutan kemerdekaan fisik secara

sewenang-wenang dan melanggar aturan-aturan dasar hukum

internasional,

6. Penyiksaan,

7. Pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,

kehamilan secara paksa, sterilisasi secara paksa, atau berbagai

bentuk kekerasan seksual lainnya,

8. Penindasan terhadap suatu kelompok yang dikenal atau terhadap

suatu kelompok politik, ras, bangsa, etnis, kebudayaan, agama,

jenis kelamim, sebagaimana dijelaskna dalam Pasal 3 atau

kelompok-kelompok lainnya, yang secara universal tidak

diperbolehkakn dalam hukum internasional sehubungan dengan

perbuatan yang diatur dalam ayat ini atau kejahatan dalam

yurisdiksi mahkamah,

68
Mahrus Ali, Syarif Nurhidayat, 2011, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat In Court
System & Out Court System, Jakarta, Hal. 138
9. Penghilangan orang secara paksa,

10. Kejahatan rasial/apartheid,

11. Perbuatan tidak manusiawi lainnya yang serupa, yang dengan

sengaja mengakibatkan penderitaan yang berat, luka serius

terhadap tubuh, mental atau kesehatan fisik seseorang.69

Pada International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)

dinyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan sama sekali tidak

dihubungkan dengan situasi perang ataupun situasi damai. Akan

tetapi, pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan mensyaratkan

adanya serangan yang bersifat meluas atau sistematis dan serangan

tersebut ditujukan terhadap kelompok penduduk sipil atas dasar

kebangsaan, politik, dan etnis.70

2.5 Penyelesaian Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (HAM) Menurut

Hukum Internasional

Pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pada

dasarnya merupakan tindakan pidana sebagaimana tindak pidana pada

umumnya yang bersifat melawan hukum (Unlawfull) dan sama sekali tidak

ada alasan pembenarannya. Yang membedakan pelanggaran Hak Asasi

Manusia (HAM) dengan tindak pidana lainnya adalah pelanggaran berat

Hak Asasi Manusia (HAM) dilakukan oleh Pemerintah atau Aparatur

Negara terhadap penduduk atau warga sipil dengan cara melakukan sesuatu

69
Ibid, Hal. 178-180
70
Eddy O. S., Op. Cit., Hal. 22
secara langsung atau tidak melakukan sesuatu, artinya Negara membiarkan

terjadinya pelanggaran berat Hak Asasi Manusia tersebut terjadi.

Tindak pidana Hak Asasi Manusia (HAM) dibedakan menjadi dua

bagian, yang pertama kejahata biasa (Ordinary Crime), dan Kejahatan Luar

Biasa (Extra Ordinary Crime) yang meliputi kejahatan genosida dan

kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan Genosida adalah setiap

perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau

memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa atau ras, kelompok

etnis, kelompook agama. Sedangkan Kejahatan Kemanusiaan merupakan

salah satu tindakan yang dilakukna sebagian dari serangan yang meluas dan

sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut di tujukan secara

langsung terhadap penduduk sipil.

Setiap pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), baik itu

dapat dikatakan dalam kategori berat atau sebaliknya, hal tersebut selalu

memunculkan kewajiban bagi suatu Negara untuk mengupayakan suatu

penyelesaian. Penyelesaian tersebut bukan hanya penting bagi pemulihan

(Reparations) hak-hak korban, akan tetapi juga agar tidak terulangnya

pelanggaran yang sama di masa yang akan datang. Dengan demikian, usaha

penyelesaian pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) harus dilihat

sebagai bagian dari langkah memajukan dan untuk melindungi hak-hak asasi

manusia secara keseluruhan. Sekecil apapun langkah penyelesaian

pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM) yang ditempuh, hal tersebut harus

dilihat sebagai langkah kongkrit untuk melawan impunitas.


Penyelesaian dan penegakan hukum terhadap pelanggaran Hak

Asasi Manusia (HAM) oleh PBB dengan membentuk Badan-badan atau

Organ-organ yang berfungsi untuk menyelesaikan Pelanggaran Hukum Hak

Asasi Manusia (HAM) dan Pembentukan Standar Hak Asasi Manusia

(HAM) secara internasional. Badan-badan atau Organ-organ tersebut antara

lain adalah :

a) Majelis Umum PBB

Majelis Umum PBB merupakan salah satu organ utama dari PBB yang

setiap Negara anggota PBB terwakil di dalamnya. Kewenangan dari

Majelis Umum PBB yang terkait dengan masalah Hak Asasi Manusia

(HAM) adalah membuat rekomendasi dalam bentuk resolusi, yang

kemudian menghasilkan Resolusi A/RES/217 tentang Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia 1948 (DUHAM), dan kewenagan untuk

membuat organ tambahan (Subsidiary Organs) yang kemudian

membentuk Dewan Hak Asasi Manusia melalui Resolusi

A/RES/60/251.

b) Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (United Nations Economic and Social

Council)

Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, seperti halnya Majelis Umum PBB,

merupakan organ utama dari PBB. Tugasnya adalah memberikan

bantuan kepada Majelis Umum PBB untuk peningkatan kerjasama

dalam bidang ekonomi dan sosial. Salah satu badan di bawah Dewan
Ekonomi dan Sosial adalah Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB

(United Nations Commission for Human Rights) yang kemudian

digantikan oleh Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB.

Sebagian besar perjanjian internasional Hak Asasi Manusia (HAM),

seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International

Covenant on Civil and Political Rights) dan Kovenan Internasional Hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic,

Social dan Cultural Rights), merupakan perjanjian yang dihasilkan oleh

organ PBB ini.

c) Dewan Hak Asasi Manusia PBB (United Nations Human Rights

Council)

Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, merupakan organ PBB yang

dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/60/251,

yang menggantikan posisi dari Komisi Hak Asasi Manusia (HAM)

PBB. Tugas utamanya adalah melakukan tindak lanjut terhadap

pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di dunia.

Kedudukan Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sebagai badan

tambahan dari Majelis Umum PBB.

d) Sub Komisi Pengenalan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia (Sub-

Commission on Promotion and Protection of Human Rights)

Sub Komisi Pengenalan dan Perlindungan Hak Asasi manusia (HAM)

adalah badan dibawah Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang

bertugas melakukan penelitian atas perlakuan yang tidak adil dan


membuat rekomendasi bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) dapat

terlindungi secara hukum. Sub Komisi ini terdiri atas 26 ahli Hak Asasi

Manusia (HAM).

Mekanisme-mekanisme internasional jika terjadi pelanggaran

terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), terutama dalam ruang lingkup

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dapat dibedakan atas dua mekanisme.

Pertama adalah berdasarkan perjanjian Hak Asasi Manusia (HAM)

Internasional (Treaty Based). Kedua adalah berdasarkan Piagam

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Disamping itu terdapat mekanisme

yang menekankan pada pemidanaan pelanggaran Hak Asasi Manusia

(HAM) sebagai mekanisme Redress, yaitu Pengadilan Pidana Internasional

(International Criminal Court atau ICC). Hal tersebut khususnya untuk

pelanggaran Hak Asasi Manusia yang tergolong sebagai kejahatan

internasional.

2.5.1 Mekanisme Berdasarkan Perjanjian Hak Asasi Manusia (HAM)

Internasional (Treaty Based Mechanisme)

Mekanisme berdasarkan perjanjian Hak Asasi Manusia

(HAM) internasional adalah mekanisme pengaduan yang dibentuk

berdasarkan perjanjian atau konvensi Hak Asasi Manusia (HAM)

internasional. Seperti diketahui bahwa perjanjian internasional

mengikat Negara-negara dan berlaku ketika sejumlah Negara

menandatangganinya telah meratifikasi perjanjian internasional atau

konvensi tersebut. Kemudian Negara yang telah meratifikasi disebut


sebagai Negara pihak, dianggap terikat secara legal pada perjanjian

internasional atau konvensi tersebut.

Setidaknya terdapat tujuh (7) konvensi Hak Asasi Manusia

(HAM) penting yang memberi makanisme bagi penyelesaian

pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Mekanisme tersebut dapat

diputuskan pada Komite atau Badan-badan tertentu untuk

mempelajari sejauh mana Negara pihak telah menerapkan isi

perjanjian internasional atau konvensi tersebut.

Pada umumnya terdapat empat (4) penyelesaian atau

mekanisme utama pengaduan dan monitoring terhadap penerapan Hak

Asasi Manusia (HAM), meskipun tidak setiap mekanisme tersebut

terdapat dalam konvensi-konvensi atau perjanjian Hak Asasi Manusia

(HAM) internasional. Adapun ke-empat mekanisme tersebut antara

lain :

1) Mekanisme Pelaporan (Membahas Laporan Negara pihak setiap

2 samapai 5 tahun dan Membuat Concluding Observation atau

Pengamatan Umum)

Mekanisme ini dibangun oleh badan atau komite bersangkutan

untuk memnatau kemajuan penerapan kewajiban Negara

sebagaimana tertera dalam perjanjian. Hal ini dilakukan melalui

berbagai laporan yang wajib disampaikan oleh Negara dalam

periode tertentu pada Komite bersangkutan. Komite

mengadakan pertemuan secara periodik diantara mereka sendiri


dan pertemuan delegasi Negara pihak. Dalam pertemuan-

pertemuan tersebut Komite melakukan penilaian atas laporan

yang dibuat Negara dan mengajukan sejumlah pertanyaan

klarifikasi. Kemudian setelah itu Komite membuat kesimpulan

dan rekomendasi. Biasanya komite mengidentifikasikan hal-hal

positif yang telah dicapai, persoalan yang masih krusial dan

rekomendasi tertentu. Proses tersebut dilakukan dengan cara

bukan untuk mengadili Negara akan tetapi untuk mencari jalan

bagaimana Negara Pihak dapat lebih maju memenuhi

kewajibannya dalam konvensi.

Oleh karena itu laporan alternative masyarakat atau penduduk

sipil, yang biasanya mengambill bentuk Shadow Report sangat

penting. Laporan ini berguna untuk mendidik masyarakat,

memperkuat akuntabilitas pemerintah terhadap pelanggaran Hak

Asasi manusia (HAM) atau mengevaluasi strategi pemerintah

dalam usaha memenuhi hak asasi manusia warganya.

2) Mekanisme Pengaduan Individual

Beberapa diantara Konvensi memberi wewenang pada Komite

untuk menerima dan memeriksa pengaduan yang disampaikan

secara individual.71 Mekanisme ini berhubungan dengan

pengaduan dari individual atau kelompok yang percaya bahwa

hak-hak asasinya telah dilanggar. Adapun syarat-syarat umum

71
Pasal 77 UNHCHR, http://www.unhchr.ch/htm/menu2/6cmw
untuk menyampaikan pengaduan individual adalah sebagai

berikut :

a) Negara yang bersangkutan merupakan Negara Pihak dalam

perjanjian yang bersangkutan atau Protokol Pilihan I dari

ICCPR. Untuk itu Negara meratifikasi atau membuat

deklarasi yang mengakui yurisdiksi Komite.

b) Pengduan dilakukan dengan identitas yang jelas, tidak

menggunakan kata-kata menghina dan sesuai dengan traktat

bersangkutan.

c) Masalah yang diajukan tidak sedang diproses melalui

prosedur investigasi/penyelesaian internasional lainnya.

[Pasal 5 (2) (a) PP CCPR, ps. 22 (5) (a) dan ps 77 (3)

MWC]

d) Exhausted Domestic Remedy/sudah menempuh seluruh

penanganan domestic. Adapun cara untuk menguji sejauh

mana penanganan domestik sudah ditempuh secara

keseluruhan bukan sekedar pada ada tidaknya hukum yang

mengaturnya akan tetapi juga bahwa hukum itu dijalankan

dengan baik. Dengan kata lain harus ada niat dan

kemampuan. [Pasal 5 (2) (b) PP CCPR, ps. 22 (5) (b) CAT,

ps 14 (7) CERD dan ps 77 (3) MWC]

3) Pengaduan antar Negara


Pengaduan dilakukan oleh Negara pihak terhadap Negara pihak

lainnya yang dianggap melanggara kewajibannya dalam

perjanjian tersebut. Negara yang menerima komunikasi wajib

memberi tanggapan, jika tidak Negara pengadu dapat membawa

masalah ini kepada badan perjanijan yang berwenang. Badan itu

kemudian mencari pemecahan yang dapat diterima kedua belah

pihak.

4) Mekanisme Investigasi

Mekanisme yang hanya ada pada dua konvensi Hak Asasi

Manusia (HAM) yaitu CEDAW (ps.10 PP) dan CAT ps.20

memberi wewenang pada komite untuk melakukan investigasi

atas dugaan pelanggaran hak asasi dengan syarat pelanggaran

tersebut bersifat berat atau sistematis.

Berbeda dengan pengaduan individual, mekanisme ini tidak

mensyaratkan exhaustive remedies. Hasil dari penyelidikan

bersifat rahasia sampai proses penyelidikan berakhir. Komite

kemudian menyerahkan laporan itu kepada negara yang

bersangkutan melalui Sekretaris Jendral PBB. Enam bulan

setelah itu, komite dapat melakukan langkah-langkah untuk

menindak lanjuti hasil laporang itu bersama negara yang

bersangkutan.
2.5.2 Mekanisme Berdasarkan Piagam PBB (Charter Based

Mechanism)

Mekanisme ini merupakan prosedur penegakan Hak Asasi

Manusia (HAM) yang tidak dibentuk oleh konvensi-konvensi Hak

Asasi Manusia (HAM) akan tetapi berdasarkan piagam PBB itu

sendiri. Basis legalnya adalah pasal 55 dan 56 dari Piagam PBB serta

mandat yang dimiliki oleh Dewan Ekonomi dan Sosial yang antara

lain adalah ‘... mendorong penghormatan universal dan diterapkannya

hak asasi dan kebebasan dasar manusia’.

Mekanisme ini dilakukan melalui

a) Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB,

b) Sub Komisi Hak Asasi Manusia (HAM),

c) Prosedur 1503, dan

d) Mekanisme Tematis.

Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) dan sub komisinya

dibentuk untuk berurusan dengan pegaduan pelanggaran Hak Asasi

Manusia (HAM). Boleh dikatakan dalam keseluruhan prosedur ini,

Kantor Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, yang terletak di

Geneva menjadi jantungnya.

Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB setelah selesai

melakukan tugasnya merumuskan Deklarasi Umum Hak Asasi

Manusia (DUHAM) dan dua Kovenan Internasional Hak Asasi

Manusia (HAM), sejak tahun 1967 diberi mandat oleh ECOSOC


untuk menangani pengaduan-pengaduan pelanggaran hak asasi. 72

Komisi harus melaporkan hasilnya langsung pada ECOSOC.

Disamping itu dibentuk pula Sub Komisi Hak Asasi Manusia (HAM)

PBB yang sejak 1998 menjadi ’think tank’ dari Komisi Hak Asasi

Manusia (HAM) PBB.

Komisi ini merupakan badan utama yang menangani

masalah hak asasi dan hal lain yang berhubungan dengan hak asasi.

Dalam Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) ini NGO mempunyai

akses langsung (dalam status konsultatif dengan Dewan EKOSOB)

pada lembaga PBB. Komisi terdiri dari 43 Negara anggota yang

dipilih untuk masa 3 tahun berdasar kelompok regional dengan fungsi

utama: membangun standar hak asasi (standard setting), melakukan

monitoring atas penegakan standar Hak Asasi Manusia (HAM)

internasional dan melakukan kerjasama internasional untuk pemajuan

dan perlindungan hak asasi. Termasuk di dalamnya penyelidikan

terhadap dugaan pelanggaran hak asasi, penanganan pengaduan

(komunikasi) yang berhubungan dengan pelanggaran tersebut, dan

mengkoordinasi kegiatan yang berhubungan dengan Hak Asasi

Manusia (HAM) dalam sistem PBB. Saat ini dengan reformasi

lembaga PBB statusnya dinaikan sama seperti ECOSOC.

a) Mekanisme Tematis dan Negara.

72
UN Commission on Human Rights, http://www.unhchr.ch/html/menu2/2/chr.htm
Mekanisme yang dibentuk oleh Komisis Hak Asasi

Manusia (HAM) PBB untuk menyelidiki masalah Hak Asasi

Manusia (HAM) berdasarkan isu hak asasi tertentu misalnya hak

kebebasan berekspresi, atau Negara tertentu. Pada mekanisme ini

Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB dan Sub Komisi dapat

menugaskna beberapa ahli untuk melakukan investigasi atas isu

pelanggaran Hak Asasi Manusia tertentu pada sebuah Negara.

Sekelompok ahli tersebut dibentuk dalam bentuk Pelapor Khusus

atau Kelompok Kerja. Fungsi tim ahli tersebut antara lain :

1. Mengumpulkan informasi mengenai pelanggaran hak asasi

atau sejauh mana Negara memenuhi kewajibannya;

2. Menerima pengaduan dan menanyakan pada Negara yang

bersangkutan atas pengaduan tersebut;

3. Melaporkan sejauh mana pelanggaran tersebut terjadi dan

kemudian mendatangi Negara yang bersangkutan;

4. Merumuskan rekomendasi bagi perbaikan kebijakan.

Dalam mekanis tematis mereka juga dapat bertindak

langsung atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang

terjadi selambatnya 3 x 24 jam dari peristiwa kejadian tersebut.

Mereka akan melakukan penyelidikan kasus (melakukan

verifikasi pada pelapor dan pemerintah). Untuk itu mereka akan

mengirim nota keprihatinan dan meminta kunjungan lapangan.


Pelapor Khusus anti penyiksaan misalnya pernah meminta untuk

melakukan pemeriksaan lapangan terhadap pemerintah Indonesia.

b) Prosedur 1503

Prosedur 1503 merupakan prosedur penanganan masalah

Hak Asasi Manusia (HAM) secara tertutup. Bersifat tertutup

karena dilakukan dalam konteks sidang tertutup dan nama Negara

tidak dipublikasikan. Laporan tersebut dapat dikirim kepada

pelapor khusus maupun working group yang ada. Sebelum

menggunakan prosedur ini disyaratkan untuk melalui seluruh

mekanisme yang ada di dalam negeri.

Yang menjadi perhatian utama adalah pelanggaran Hak

Asasi Manusia (HAM) yang memiliki pola-pola konsisten. Yang

diperiksa kemudian ada situasi. Oleh kerena itu, yang diumumkan

biasanya adalah bahwa di Negara (x) terdapat suatu pelanggaran

berat Hak Asasi Manusia (HAM) dan bukan kasus-kasusnya atau

nama-nama korban.

Mekanisme berdasarkan Piagam PBB ini, tentunya bukan

satu-satunya mekanisme penyelesaina penegakan Hak Asasi Manusia

(HAM). Akan tetapi mekanisme PBB khususnya Komisi dan Sub

Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan satu-satunya forum

resmi tertinggi internasional yang menangani dan membahas

permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dihadiri oleh Negara-


negara peserta PBB, Organisasi non Pemerintah dan para ahli dari

belahan penjuru dunia.

Dari berbagai runtutan peristiwa pelanggaran Hak Asasi

Manusia (HAM), mekanisme Hak Asasi Manusia (HAM) PBB

berguna untuk membangun standar Hak Asasi Manusia (HAM) yang

berguna untuk memajukan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).

Sehubungan dengan hal tersebut, jalur yang dapat ditempuh antara

lain :

1. Melalui lembaga non pemerintah (internasional) yang telah

mendapatkan akreditasi dari PBB.

2. Mengirimkan sendiri laporan-laporan atau data-data pada instansi

terkait.

3. Mengirimkan langsung ke kantor Komisis Tinggi Hak Asasi

Manusia (HAM) PBB di mana terdapat :

a) Pelapor Khusus (seperti pelapor khusus untuk penyiksaan),

b) Kelompok Kerja (seperti Working Group untuk orang hilang

yang sekaligus merupakan mekanisme tematik.

4. Melakukan Intervensi di hadapan sidang Komisi atau Sub

Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB.

2.5.3 Di Luar Mekanisme

Penyelesaian pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia

(HAM) selain bisa diselesaikan berdasarkan Perjanjian Hak Asasi

Manusia (HAM) Internasional atau Konvensi dan Piagam PBB, juga


dapat diselesaikan melalui mekanisme International Human Rights

Tribunal atau Pengadilan Pidana Internasional (International

Criminal Court atau ICC). Jika pada mekanisme Perjanjian

Internasional atau Konvensi dan Piagam PBB menekankan pada

bagaimana Negara mentaati standar Hak Asasi Manusia (HAM)

berdasarkan sebagaimana yang tertuang pada instrument-instrumen

Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, dengan membangun opini

publik maka mekanisme Pengadilan Pidana Internasional

menekankan tentang bagaimana memerangi impunitas. Artinya,

bahwa pada mekanisme pidana internasional menekankan

penghukuman terhadap pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia

(HAM). Oleh karena itu, Pengadilan Pidana Internasional berorientasi

pada penuntutan dari pelaku (dalam hal ini termasuk perencana)

pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Dengan kata lain mekanisme Pengadilan Pidana

Internasional merupakan suatu proses kriminalisasi pelanggaran Hak

Asasi Manusia (HAM) di tingkat internasional. Secara historis dapat

dikatakan, bahwa hal tersebut dimulai sejak dibentuknya Pengadilan

Nuremberg dan Tokyo setelah Perang Dunia ke-II (PD). Keduanya

mengadili kejahatan-kejahatan untuk konflik bersenjata internasional.

Kemudia pada tahun 1993 juga dibentuk Pengadilan Pidana untuk

Negara bekas Yugoslavia (ICTY) dan pada tahun 1994 dibentuk

Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda (ICTR) berdasarkan


kewenangan yang dimiliki Dewan Keamanan PBB. Dengan demikian,

maka semakin memperkuat adagium bahwa pelanggaran Hak Asasi

Manusia (HAM) yang terjadi di suatu Negara adalah masalah

internasional dan semata-mata bukan masalah domestic (nasional).

Ada beberapa catatan khusus mengenai Pengadilan Hak

Asasi Manusia (HAM) Internasional, antara lain :

a) Memfokuskan pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

yang bersifat masif (luas) dan sistematik, seperti genosida,

kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, apartheid dan

penyiksaan.

b) Yurisdiksi Internasional.

c) Menuntut pertanggungjawaban individu atau perorangan (bukan

Negara).

d) Pengakuan atas tanggungjawab Komandan (Command

Responsibility).

e) Yurisdiksi Universal, yaitu Negara manapun dapat mengadili

pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tanpa perlu

memperhatikan :

1. Kebangsaan dari pelaku maupun korban,

2. Apakah pelanggaran tersebut dilakukan di luar wilayah

Negara pelaku/korban tersebut meskipun ide dasar yurisdiksi

universal adalah karena beratnya hak asasi manusia dan

pelanggaran tersebut langsung menyerang kepentingan


kemanusiaan semua orang sehingga setiap Negara dapat

mengadili pelaku kejahatan, meskipun pelaku dan korban

merupakan warga Negara lain serta tempat kejahatan di luar

Negara yang bersangkutan.


BAB III

PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA

DALAM KONFLIK DI SURIAH

3.1 Bentuk Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (HAM) di Suriah

Negara Suriah yang sejak tahun 2011 lalu sempat menjadi perhatian

dunia internasional karena terjadinya konflik antara kubu pemerintahan yang

sah yang dipimpin oleh Presiden Bashar al-Ashad dengan kubu oposisi yang

berusaha menuntut kebebasan bernegara dan demokrasi yang lebih besar,

yang kemudian pada akhirnya menyebabkan terjadinya kasus-kasus

kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh rezim pemerintah yang

berkuasa.

Konflik di Suriah pada awalnya dimulai ketika kekecewaan besar

dan penindasan rezim yang berkuasa terhadap rakyatnya sendiri, maka

kemudian timbulah perlawanan dari rakyat Suriah dan pada akhirnya

menjadi perlawanan dan perjuangan secara sistematis untuk mengakhiri

rezim berkuasa Bashar al-Assad. Hal tersebut sungguh sangat disayangkan

sebab ketika paham demokrasi makin berkembang di jazirah Arab yang

kemudian kerap disebut sebagai, “Arab Spring atau Musim Arab Semi”,

justru terjadi bersamaan dengan tragedi kemanusiaan yaitu pelanggaran

terhadap hak asasi manusia, dan Negara Suriah adalah yang paling

mengerikan karena terjadi begitu cukup lama, terhitung dari awal 2011
hingga saat skripsi ini ditulis konflik dan pelanggaran Hak Asasi Manusia

(HAM) di Suriah juga belum terselesaikan, sekalipun Dewan Keamanan

PBB dan Liga Arab sudah ikut ambil peran sebagai mediator antara pihak

pemerintah dan pihak oposisi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Liga Arab telah menunjuk

mantan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan sebagai utusan khusus untuk

Suriah pada 24 Februari 2012. Tujuannya adalah untuk menjadi mediasi

perundingan damai antara pihak pemerintah Suriah dengan pihak oposisi

yang mengedepankan solusi politik yang memprioritaskan

kepentinganrakyat Suriah. Namun sangat disayangkan kerena menjabat

selama 6 bulan, akhirnya Kofi Annan mengundurkan diri sebagai utusan

khusus PBB karena merasa tidak sanggup lagi. Hal tersebut diungkapkannya

dalam konferensi pers di Jenewa Agustus 2012.

“Pertumpahan darah berlajut, terutama disebabkan kerasnya

pendirian pemerintah Suriah, dan penolakannya malaksanakan rencana

enam pokok, dan juga karena peningkatan aksi militer oleh oposisi-

semuanya diperburuk dengan perpecahan di kalangan masyarakat

internasional”.73

Tugas Kofi Annan kemudian dilanjutkan oleh Lakhdar Brahimi

terhitung sejak 16 Agustus 2012. Pergantian utusan khusus PBB tersebut

73
http://www.internasional.kompas.com/read/2012/08/03/Kofi-Annan-Mundur-Sebagai-
Utusan-PBB Diakses 29 Februari 2016, Pukul 19.36
pun belum membawa perubahan yang signifikan terhadap konflik di Suriah

dan terkesan sama saja, hal tersebut terbukti dengan masih tetap

berlangsungnya konflik dan belum tampak adanya perubahan ke arah yang

diharapkan. Untuk lebih memahami persoalan tersebut, diperlukan analisis

secara mendalam dari aspek hukum agar bias mendapatkan suatu gambaran

yang jelas mengenai persoalan tersebut.

Lebih dari satu tahun agenda penyelesaian pelanggaran hak asasi

manusia di Suriah tidak kunjung tuntas. Komitmen penyelesaian

pelanggaran hak asasi manusia yang telah di fasilitasi oleh Dewan

Keamanan PBB dan Liga Arab, hanya tampak seakan percuma di tengah

arus besar konflik berdarah yang hingga saat ini masih berlangsung,

walaupun intensitasnya tidak seperti beberapa tahun yang lalu.

Dari data yang penulis temukan melalui laporan dan berita yang

membahas konflik Suriah, penulis menyimpulkan bahwa serangkaian

tindakan yang dilakukan oleh Pasukan Keamanan Suriah sejak Maret 2011

hingga bulan Desember 2011, data tersebut menunjukan bahwa serang-

serangan yang bersifat meluas dan sistematis. Tindakan-tindakan tersebut di

antaranya adalah melakukan pembunuhan, penyiksaan, dan penangkapan

sewenang-wenang terhadap penduduk sipil. Perbuatan-perbuatan tersebut

dilakukan oleh unit-unit Khusus Militer dan Badan-badan Intelijen di bawah

kendali pimpinan/komando masing-masing.


Fakta-fakta yang terjadi di lapangan yang bersumber dari warga

sipil dan para militer yang membelot yang kemudian penulis rangkum dari

media on-line serta laporan Amnesty International dan laporan Human Right

Watch merupakan bukti empirisnya.

Dalam BAB II laporan Amnesty International yang berjudul

“Deliberate Killings”, menggambarkan secara detail bahwa betapa tidak

berperikemanusiaan tindakan-tindakan dari pasukan keamanan Suriah

terhadap penduduk sipil yang mereka tangkap, siksa dan bunuh. Di kota

Idlib, setidaknya 10 orang dibunuh oleh tentara keamanan Suriah pada 16

April 2011 di bagian Timur-Laut dari pusat kota daerah tersebut. Semua

terbunuh ketika pertempuran antara pasukan militer dengan kelompok

oposisi, yang menjadi korban bukan merupakan oposisi tetapi penduduk

sipil setempat yang dalam hal ini harus dilindungi.74

Di kota Sarmin, 16 orang dibunuh oleh tentara selama penyerbuan

militer di Sarmin pada 22 dan 23 Maret 2012. Dari jumlah tersebut, 11

diantaranya merupakan penduduk sipil yang tidak terlibat dalam konfrontasi

bersenjata. Mereka ditangkap dan ditembak mati. Beberapa orang lainnya

telah dibunuh dengan sewenang-wenang selama serangan militer

berlangsung sebelumnya pada 27 Februari. Diantara mereka yang tewas

adalah tiga bersaudara, Yousef, Bilal dan Talal Haj Hussein.75

74
Lihat : Amnesty International : Deadly Reprisals, Hal. 16
75
Ibid, Hal. 17
Di Saraqeb, beberapa orang dilaporkan dibunuh oleh tentara selama

penyerbuan militer antara 24 hingga 28 Maret 2012. Mereka yang terbunuh

di antaranya adalah Uday Mohammed Al-‘Omar, seorang anak sekolah

berusia 15 tahun dan Mohammed Sa’ad Barish berusia 21 tahun yang

merupakan seorang mahasiswa jurusan Kimia di Universitas Aleppo,

Suriah.76

Di Taftanaz Amnesty International menemukan bukti pembunuhan

dalam skala besar oleh tentara Suriah pada tanggal 3 dan 4 April 2012.

Lebih dari 20 laki-laki dari anggota keluarga Ghazal, termasuk satu di

antaranya di bawah usia 18 tahun. Enam belas dari mereka dibawa dari

basement, di mana mereka berlindung bersama denga perempuan dan anak-

anak. Menurut beberapa wanita yang hadir pada saat itu, 16 orang tersebut

dibawa keluar oleh pasukan keamanan Suriah berpakaian seragam tentara

dan beberapa berpakaian preman, sore hari tanggal 3 April 2012. Kemudian

malam itu mayat mereka ditemukan di tiga tempat terpisah dekat ruang

bawah tanah.77

Di Hazzano : Oposisi sudah tidak melakukan perlawanan terhadap

tentara, namun tentara masih melakukan pelanggaran, termasuk setidaknya

satu pembunuhan. Abd al-Latif Lataouf, 72 tahun ayah dari 11 anak, tewas

ditembak di rumahnya pada tanggal 5 April 2012.

76
Ibid, Hal. 19-20
77
Ibid, Hal. 21
Di kawasan Jebel Al-Zawiyah : Di Bsamas, sebuah desa kecil

sebelah timur dari ihsem, seorang wanita menceritakan bagaimana

tetangganya, seorang ayah berusia 45 tahun dari delapan (nama korban

dirahasiakan), dibakar oleh tentara di dekat rumahnya pada tanggal 7 April

2012.78

Di kawasan Jebel Al-Wastani : Pada tanggal 8 April, tentara

meluncurkan serangan besar di Al-Bashiriya, sebuah desa di mana

demonstrasi protes telah berlangsung secara rutin sejak awal

pemberontakan. Kontak bersenjata antara tentara dan pejuang oposisi

bersenjata terjadi di perbukitan di luar desa. Sekitar 35 orang tewas di

sekitar desa selama bentrokan; beberapa di antaranya diyakini sebagai

pejuang bersenjata, sementara yang lain mungkin pejuang tetapi sudah tidak

bersenjata ketika mereka dibunuh. Beberapa adalah penduduk sipil,

termasuk sedikitnya tiga anak, yang tidak terlibat dalam konflik dan

mencoba melarikan diri ke tempat yang aman. Tiga anak laki-laki tersebut

adalah : Juma’a al-‘Issa 8 tahun, saudaranya Ibrahim 14 tahun, dan

sepupunya Noureddine ‘Ali al-‘Issa 11 tahun, dan saudaranya yang terakhir

‘Izzaddeen 21 tewas di desa Biftamoun, di mana mereka menggembalakan

domba tidak jauh dan yang bersembunyi ketika tentara mendekat

78
Ibid, Hal. 24
menggambarkan bagaimana tentara memaksa Izzaddeen serta tiga anak laki-

laki dan untuk berlutut di tanah dan menembak mati mereka.79

Di Aleppo : Angkatan bersenjata dengan sewenang-wenang

melakukan serangkaian pembunuhan dan tindakan kekerasan lainnya

terhadap penduduk sipil yang tidak menimbulkan ancaman bagi mereka. Di

kota kecil Tell Rif’at, di bagian utara Aleppo, setidaknya Sembilan laki-laki

dan seorang anak terbunuh pada tanggal 9 April 2012 selama serangan

dengan kekuatan militer skala besar selama satu hari penuh di kota itu.80

Serangkaian tindakan di atas adalah sebuah bukti empiris bahwa

serangan yang ditujukan langsung oleh pasukan militer Suriah terhadap

penduduk sipil benar-benar telah memenuhi unsur “meluas” baik dari segi

lokasi maupun jumlah korban.

Dari 63 pembelot yang diwawancarai oleh Human Rights Watch

mengatakan bahwa mereka diberi komando untuk menekan, menghentikan,

atau membubarkan pengunjuk rasa dengan cara apapun sebelum penempatan

di lapangan.81 Hal tersebut menunjukan bahwa unsur “sistematis” juga

terpenuhi, karena komando berasal dari tingkatan komandan tertinggi

sampai ke tingkatan komandan rendah dan terimplementasi dalam

serangkaian tindakan eksekusi oleh sejumlah pasukan di lapangan. Sebagian

bukti menunjukkan keterkaitan dengan Presiden Bashar al-Assad, yang

79
Ibid, Hal. 30
80
Ibid, Hal. 31
81
Laporan Human Rights Watch, Desember 2011, Hal. 29
merupakan panglima tertinggi dari angkatan bersenjata Suriah, dan rekan

terdekatnya, termasuk kepala Badan Intelijen dan Pimpinan Militer.

Human Rights Watch dalam laporannya telah mengumpulkan

informasi tambahan yang menunjukkan pengetahuan langsung dan

keterlibatan presiden Bashar al-Assad, Kepala Badan Intelijen dan Petinggi

Militer dalam tindakam kekerasan dan pembunuhan terhadap penduduk

sipil. Adapun bukti empirisnya adalah sebagai berikut :

Ahmed, seorang tentara pengawal presiden Bashar al-Assad, yang

ditugaskan ke Douma pada bulan April, mengatakan bahwa : “Brigjen Talal

Makhlouf, Komandan Brigjen 105, Pengawal Presiden, memberi unitnya

perintah lisan untuk (menekan pengunjuk rasa dan menembakinya jika

menolak untuk bubar)”.82

Jamal, seorang anggota dari Brigade 105 mengatakan : “Pada

tanggal 27 Agustus kami berada di dekat sebuah Rumah Sakit Polisi di

Harasta. Sekitar 1.500 pengunjuk rasa datang ke sana, mereka meminta

pembebasan seorang pengunjuk rasa terluka yang berada di dalam Rumah

Sakit. Mereka memegang cabang zaitun. Mereka tidak mempunyai senjata.

Ada 35 tentara dan sekitar 50 personel Mukhabarat di pos pemeriksaan.

Kami juga memiliki sebuah Jip dengan senapan mesin mount. Ketika

pengunjuk rasa kurang dari 100 meter jauhnya, kami melepaskan tembakan.

Kami sebelumnya menerima perintah untuk melakukannya dari Brigadir

82
Ibid, Hal. 29
Jenderal. Lima pengunjuk rasa terkena, dan saya yakin dua dari mereka

mati”.83

Abdullah, seorang tentara dari Batalyon 409, 154 Resimen, dan

Divisi ke-4 Dia mengatakan bahwa dua komandan tingkat tinggi

memberikan perintah lisan kepada pasukan untuk menembak para

demonstran : “Kami diberitahu untuk menembaki jika penduduk sipil

berkumpul dalam kelompok lebih dari tujuh atau delapan orang. Komandan

Brigadir Jenderal Resimen 154, Jawbat Ibrahim Safi dan Komandan Divisi

Mayor Jenderal Mohamed Ali Durgham memberi kami perintah sebelum

kami pergi ke luar. Perintah adalah untuk menembak pada pertemuan

pengunjuk rasa serta pembelot, dan rumah-rumah badai dan penangkapan

orang yang sewenang-wenang”. 84

“Najib”, yang ditempatkan di Deraa dengan Batalyon 287, 132nd

Brigade, Divisi 5, mengatakan bahwa Komandan Brigade

mengkomunikasikan perintah secara lisan kepada pasukan sebelum operasi

militer besar pada tanggal 25 April, untuk mmenggunakan kekuatan

mematikan terhadap para demonstran. Dia mengatakan : Brigadir jenderal

Ahmed Yousef Jarad, Komandan Brigade, mengumpulkan kami di halaman

sebelum kami ditugaskan. Dia mengatakan kepada kami untuk

menghentikan kerusuhan dengan segala cara yang diperlukan. Dia

mengatakan bahwa Negara perlu dibersihkan dari pengunjuk rasa dan

83
Ibid,
84
Laporan Human Rights Watch, Desember 2011, Ibid, Hal. 30
mengatakan kita harus menembak yang mencurigakan. Dia memerintahkan

kami untuk memnggunakan senapan mesin PKT dan senjata anti-pesawat

DShK (Mobil Tank buatan Rusia). Perintah umum kami adalah untuk

membunuh, menghancurkan took, menghancurkan mobil di jalan, dan

menangkap orang-orang.85

Mohamed, seorang tentara dikerahkan dengan unit pertahanan udara

MD 1010 ke Bukamal pada awal Mei, mengatakan bahwa Komandan

Unitnya, Kolonel Issa Shibani menjelaskna pada unitnya bahwa, tugasnya

bukan untuk menangkap orang, tetapi untuk membunuh. Komandan mereka

memberikan instruksi secara lisan untuk “membunuh siapa pun resisten,

terlepas dari apakah mereka laki-laki, perempuan, atau anak-anak”.

Mohamed mengatakan bahwa 35 sampai 40 orang tewas selama hari

pertama operasi ketika unitnya masuk Bukamal.86

Ameen, seorang penembak jitu, ditugaskan bersama dengan

Pasukan Khusus ke Homs pada awal Mei, juga mengatakan bahwa dia diberi

perintah lisan juga kadang-kadang perintah secara tertulis. Menurut Ameen,

Kolonel Fasisal Bya’I, komandan Batalyon Pasukan Khusus 625,

memberikan perintah lisan “untuk membunuh atau membunuh” (membunuh

para demonstran atau membunuh pembelot yang tidak menaati perintah).87

85
Ibid, Hal. 30-31
86
Ibid, Hal. 32
87
Loc. Cit
Said, seorang tentara Batalyon 990, 134 Brigade, Divisi ke-18, yang

ikut serta dalam operasi di Talbiseh pada bulan Mei, mengatakan bahwa

Brigadir Jenderal Yousef Ismail, Komandan Brigade 134, berdiri mereka

perintah, dan colonel Fo’ad Khaddour juga sering memberi mereka perintah

langsung. Dia mengatakan bahwa pada awal Mei, Khaddour dan Ismail

memberi perintah lisan untuk membakar rumah dan orang-orang (yang

bersembunyi) di atap saat pemakaman beberapa demonstran yang tewas hari

sebelumnya di Talbiseh.88

Osama, yang bertugas di Resimen Utara 555, Divisi 4, mengatakan

bahwa Brigadir Jenderal Jamal Yunes, komandan Resimen 555, memberi

mereka perintah lisan untuk menembak demonstran selama penugasan

mereka ke Mo’ Adamiyeh, Damaskus. Osama mengatakan bahwa ia

kemudian mengetahui bahwa perintah datang dari Maher al-Assad,

komandan de facto dari Divisi 4 dan merupakan adik Presiden Bashar al-

Assad.

Amjad, yang dikirim ke Daraa dengan Resimen Pasukan Khusus 35,

mengatakan bahwa ia menerima perintah lisan langsung dari komandannya

untuk melepaskan tembakkan pada demonstran pada 25 April. Dia

mengatakan bahwa : Komandan Resimen kami, Brigadir Jenderal Ramadhan

Mahmoud Ramadhan, yang biasanya berada di garis belakang, tetapi kali ini

dia berdiri di depan dari Brigade keseluruhan. Dia berkata, “Gunakan

88
Ibid, Hal. 33
senjata berat, tak seorang pun akan meminta kalian untuk menjelaskannya,

gunakan peluru sebanyak yang kalian inginkan. Dan ketika seseorang

bertanya, apa yang kita seharusnya tembak? Katakan padanya, apa pun di

depan kalian”. Amjad mengatakan sekitar 40 pengunjuk rasa tewa hari itu.89

Dalam konflik Suriah ada bukti lain yang memberikan informasi

bahwa komandan satuan tidak hanya memerintahkan untuk membunuh

tetapi juga turun tangan lansung untuk membunuh penduduk sipil. Seperti

yang dijelaskan oleh Afif, seorang pegawai karir yang melayani Pengawal

Presiden dan ikut serta dalam unjuk rasa di Nawa, mengatakan bahwa

kekuatan baru kelompok militer diturunkan termasuk Batalyon 171 Brigade

112, ketika proses dimulai kembali di kota pada awal Agustus. Afif,

mengatakan ia melihat, Kolonel Ali Abdulkarim Sami, membakar

pengunjuk rasa dari Kalashnikov dan membunuh satu orang berumur 16

tahun, Omran Riad Salman. Human Rights Watch terakhir rekaman

diposting di You Tube yang dimaksudkan untuk menunjukkan tubuh

seorang pemuda yang kemudian diidentifikasi sebagai Omran Riad Salman

yang terbunuh pada 3 Agustus di Nawa.90 Rangkaian tindakan Pasukan

Keamanan dan militer Suriah tersebut jelas dan pasti tidak dapat diterima

akal sehat dan nurani kemanusiaan.

Penganiayaan sistematis yang dilakukan oleh tentara Suriah

terhadap penduduk sipil di Homs, termasuk suatu penyiksaan dan

89
Ibid, Hal. 37
90
Ibid, Hal. 38
pembunuhan. Hal tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan,

tegas Human Rights Watch dalam pernyataannya. Human Rights Watch

mengatakan bahwa tentara Suriah telah menewaskan sedikitnya 104 orang di

Homs sejak 2 November 2012. Pada hal saat itu pemerintah Suriah yang

dipimpinn oleh Presiden Bashar al-Assad seharusnya sudah menghentikan

aksi kekerasan tersebut, sesuai dengan Proposal Liga Arab yang telah

disepakatinya.91

Pasukan Keamanan Suriah menyerbu sebuah Asrama Mahasiswa di

Aleppo, pada hari Kamis 3 Mei 2012. Dalam serangan tersebut, sedikitnya

empat orang tewas. Pihak militer juga memaksa agar Universitas Negeri

tersebut ditutup. Pengepungan Asrama tersebt dimulai sejak Rabu malam

tanggal 2 Mei waktu setempat. Pengepungan itu terjadi setelah 1.500

Mahasiswa menggelar aksi protes terhadap rezim Presiden Bashar al-

Assad.92

Sebuah laporan yang baru dikeluarkan Human Rights Watch (HRW)

berdasarkan wawancara dengan puluhan desertir menunjukkan bahwa para

komandan militer Suriah memerintahkan tentara untuk menggunakan cara

apa pun untuk menghentikan aksi protes. Tidak jarang memberi perintah

langsung untuk membuka tembakan.93 Seorang penembak jitu di Homs

mengatakan komandannya memberi perintah jelas mengenai berapa persen

91
http://www.koran-jakarta.com/?id=75899&mode_beritadetail=1 Diakses pada 29 Februari
2016 pukul 20:29
92
http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/12/05/04/m3hbmw-militer-
suriah-serang-asrama-mahasiswa-empat-tewas Diakses pada 29 Februari 2016 pukul 20:40
93
Laporan Human Rights Watch., Op. Cit
demonstran yang harus tewas. "Dari 5000 pengunjuk rasa contohnya, target

tewas sekitar 15 hingga 20 orang," ujarnya kepada HRW.94 HRW

mengidentifikasi 74 komandan yang memerintahkan, memberi otoritas atau

menyetujui pembunuhan, penyiksaan, penangkapan tak berbasis selama

protes anti-pemerintah berlangsung. "Penyalahgunaan semacam ini

tergolong kekerasan terhadap kemanusiaan," demikian bunyi laporan HRW

yang mendesak DK PBB menyeret Suriah ke Mahkamah Pidana

Internasional (ICC). 95

Beberapa fakta yang telah digambarkan di atas memberikan

kesimpulan bahwa seluruh tindakan tersebut adalah tergolong sebagai

Kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam hukum internasional Kejahatan

terhadap Kemanusiaan merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap

Hak Asasi Manusia yang tergolong berat, sebagaimana telah diatur dalam

Pasal 7 International Criminal Court (ICC).96

Menurut Hukum Internasional bahwa hak asasi manusia berlaku

baik dalam situasi damai maupun situasi konflik, sehingga demikian secara

hukum memiliki kekuatan yang mengikat terhadap Negara termasuk

Angkatan Militernya. Suriah terikat secara hukum bahwa pada ketentuan

hukum internasional tersebut, dikarenakan Suriah merupakan Negara pihak

dari beberapa konvensi Hak Asasi Manusia Internasional. Diantaranya

Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Hak Ekonomi, Sosial,
94
Ibid
95
Ibid
96
Lihat : Pasal 7 International Criminal Court (ICC)
dan Budaya, the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or

Degrading Treatment or Punishment (CAT); the Convention on the

Eliminatio of All Forms of Diskrimination against Women (CEDAW); the

International Convention on the Eliminatio of All Forms of Racial

Diskrimination (ICERD); and the Convention of the Rights on the Child

(CRC) and it’s Optional Protocol on the involvement of children in armed

conflict, dan bahwa Suriah sebagai bagian dari masyarakat internasional

seharusnya ikut turut serta dalam mengkampanyekan, perlindungan dan

penegakan Hak Asasi Manusia. Hal ini menurut penulis bahwa sudah

seharusnya kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dipaparkan

dan yang telah digambarkan di atas dibawa ke International Criminal Court

(ICC) untuk dipertanggungjawabkan serta untuk diadili sesuai dengan

regulasi internasional yang berlaku.

Upaya mengentikan kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia

(HAM) di Suriah telah dilakukan, pada Sabtu 12 November 2011 Para

Menteri Liga Arab menggelar pertemuan khusus di Kairo, Mesir untuk

membahas situasi di Suriaih pada saat itu. Pertemuan digelar membahas

penyerbuan berdarah yang dilakukan oleh pemerintah Suriah.97 Perdana

Menteri Qatar, Hamad bin Jassem al-Thani yang membacakan pernyataan

mengatakan bahwa Liga Arab telah memutuskan menjatuhkan sanksi

ekonomi dan politik atas Damaskus.98 Hal tersebut berdasarkan fakta yang

97
http://www.dw.com/id/liga-arab-jatuhkan-sanksi-bagi-suriah/a-15528820, Edisi 12
November 2011, Diakses 15 November 2016 Pukul 08:45
98
Ibid
terjadi di Homs, Suriah ketika kekerasan terjadi pada Hari Jum’at 11

November 2011 ketika sedikitnya 23 orang tewas, sebagian besar adalah

penduduk sipil. Kekerasan adalah metode yang dipilih Presiden Bashar al-

Assad untuk mempertahankan kekuasaannya.

Tidak hanya itu, Uni Eropa juga mengupayakan menghentikan

kekerasan di Suriah. Para Menteri Luar Negeri Uni Eropa memutuskan

untuk membekukan sementara pengucuran pinjaman bank investasi Eropa.

Begitu juga dengan kontrak dukungan teknis berbagai proyek dibekukan.99

Pada akhir 2011, tepatnya pada tanggal 16 Desember 2011 Rusia

secara mengejutkan mengajukan rancangan atau draft Resolusi Suriah

kepada Dewan Keamanan PBB untuk mengakhiri kekerasan yang terjadi di

Suriah. Namun bagi perwakilan Negara-negara Barat mengangap rancangan

resolusi yang diajukan Rusia terlalu lemah. Itikad baik Rusia pun memecah

kebuntuan di Dewan Keamanan PBB, membuka kesempatan bagi resolusi

pertama yang mungkin dikeluarkan PBB terhadap kekerasan yang terjadi di

Suriah pada saat itu.100

Menurut PBB, 5000 orang warga sipil tewas dalam rangkaian

kekerasan yang dilancarkan rezim Presiden Bashar al-Assad di Damaskus,

Suriah. Namun, Bashar al-Assad membantah dirinya memerintahkan untuk

membunuh para demonstran dan mengatakakn bahwa kelompok bersenjata

99
http://www.dw.com/id/bergunakah-penjatuhan-sanksi-baru-bagi-suriah/a15532934, Edisi
15 November 2016, Diakses 15 November 2016 Pukul 09:29
100
http://www.dw.com/id/rusia-kejutkan-barat-dengan-draft-resolusi-suriah/a-15606798,
Edisi 16 Desember 2011, Diakses 15 November 2016 Pukul 10:11
(Oposisi) telah menewaskan 1100 orang tentara Suriah. Tingginya angka

korban jiwa mengindikasikan bahwa serangan terkoordinasi dan sistematis

dari Pemerintah Suriah maupun Tentara Pemberontak (Oposisi).101

Para Diplomat Barat menilai bahwa Resolusi DK PBB yang

didukung Rusia dapat benar-benar membawa perubahan. Mengingat bahwa

pada Oktober 2011 Rusia dan Tiongkok (Cina) memveto rancangan resolusi

Eropa Barat yang berisikan sanksi bagi Suriah. Namun, Negara-negara Barat

menilai Rusia berusaha menyalahkan pemerintah dan oposisi Suriah.102

Draft yang disebarkan Rusia pada Kamis, 15 Desember 2011, kalimat-

kalimat yang digunakan lebih tegas dan ada penambahan refrensi berbunyi

penggunaan kekerasan berlebihan oleh pemerintah Suriah. Dalam draft

resolusi tersebut Rusia juga mendesak pemerintah Suriah untuk mengakhiri

kekerasan terhadap warga yang berhak untuk berekspresi, berkumpul secara

damai, dan bersekutu.103

Pada Kamis, 26 September 2013 lima anggota tetap Dewan

Keamanan PBB telah mencapai kesepakatan tentang poin kunci resolusi

untuk Suriah, yaitu pembongkaran stok senjata kimia. Para diplomat PBB

mengatakan, Rusia dan Amerika Serikat masih melakukan negosisasi

tentang beberapa maslah yang belum dapat disepakati. Antaranya adalah

soal penghancuran senjata kimia. Wakil Menteri Luar Negeri Rusia,

Gennady Gatilov mengatakan, bahwa perundingan telah mengatasi


101
Ibid
102
Ibid
103
Ibid
rintangan utama dan setuju bahwa resolusi tersebut akan menyertakan

refrensi ke BAB 7 Piagam PBB. Resolusi tersebut memungkinkannya

dilakukan militer dan non-militer untuk mempromosikan perdamaian dan

keamanan.104

Selama berpekan-pekan kelima negara anggota tetap Dewan

Keamanan PBB membahas rancangan resolusi baru yang mengharuskan

senjata kimia Suriah diamankan dan dihancurkan. Semua perdebatan ini

masih terkait dengan temuan bukti penggunaan senjata kimia dalam

serangan di kawasan timur Damaskus, pada 21 Agustus 2013. Setelah Kerry

mengatakan kepada Presiden Suriah Bashar al-Assad bahwa aksi militer

Amerika dapat dicegah dengan menyerahkan setiap senjata kimia Suriah

pada pengawasan internasional, Rusia menyatakan persetujuan untuk

membuat resolusi. Kesepakatan tentang resolusi antara Amerika dan Rusia

ditandatangani di Geneva, Swiss, pada 13 September 2013.105

Pembahasan mengenai resolusi terus berlangsung di Dewan

Keamanan PBB berbarengan dengan pembahasan lain yang juga

berlangsung di Organisasi untuk Pelarangan Senjata Kimia (OPCW).

Resolusi PBB akan menyertakan teks deklarasi OPCW yang akan membuat

deklarasi tersebut mengikat secara hukum dan menjadikan organisasi itu

104
http://www.internasional.kompas.com/read/2013/09/27/0403407/Dewan.Keamanan.PBB.
Akhirnya.Bersepakat.Buat.Resolusi.soal.Suriah, Edisi 27 September 2013, Diakses 15 November
2016 Pukul 10.19
105
Ibid
sebagai pengambil tindakan pertama ketika resolusi disepakati di Dewan

Keamanan PBB.106

Upaya untuk menghentikan tindakan kekerasan di Suriah terus

bermunculan, pada 2014 Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat

menyetujui resolusi mengenai krisis kemanusiaan yang terjadi di Suriah.

Resolusi Nomor 2139 tersebut menuntut semua pihak untuk

bertanggungjawab, khususnya pihak berwenang Suriah, segera memberikan

akses kemanusiaan yang cepat, aman dan tanpa hambatan bagi badan-badan

kemanusiaan PBB dan mitra pelaksana mereka, termasuk lintas garis konflik

dan lintas batas untuk memastikan bantuan kemanusiaan dapat mencapai

orang yang membutuhkan melalui rute tercepat.107

Resolusi tersebut juga menuntut penghentian segala bentuk

kekerasan terhadap penduduk sipil, termasuk menggunakan pemboman

udara seperti bom barel yang digunakan Tentara Suriah untuk menargetkan

penduduk sipil tanpa pandang bulu. PBB juga menuntut semua pihak untuk

mendemilitarisasi fasilitas medis, sekolah dan fasilitas lainnya, dan

menyerukan kebebasan akses terhadap seluruh daerah konflik untuk tenaga,

peralatan, trasportasi, dan berbagai persediaan medis.

Sabtu, 22 Februari 2014, Dewan Keanaman PBB memutuskan

mengadopsi resolusi yang menuntut kedua belah pihak dalam konflik

106
Ibid
107
http://www.antaranews.com/berita/420540/pbb-setujui-resolusi-bantuan -untuk-suriah
Diakses 1 November 2016
mematikan di Suriah (Presiden Bashar al-Assad dan para Oposisi-

Pemberontak memberikan akses langsung ke seluruh Negara tersebut untuk

menyalurkan bantuan dari luar kepada jutaan orang yang membutuhkan.

Dalam penyelesaian konflik di Suriah, PBB telah berupaya keras

untuk menghentikan kekerasan yang terjadi dengan mengeluarkan resolusi.

Namun, Rusia dan Tiongkok (Cina) telah melindungi sekutunya di Suriah,

Bashar al-Assad. Selama konflik di Suriah terjadi, Dewan Keamanan PBB

terhitung telah mengeluarkan tiga resolusi yang mengutuk pemerintah

Suriah dan mengancancam untuk menjatuhkan sanksi kepada Presiden

Bashar al-Assad yang kemudian di veto oleh Rusia dan Tiongkok (Cina).

Disamping itu, Pemerintah Suriah juga diduga kuat telah menggunakan

senjata kiamia untuk melawan pihak Oposisi-Pemberontak. Penggunaan

senjata kimia dalam konflik di Suriah jelas merupakan pelanggaran terhadap

hukum internasional dan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam hukum

internasional, penggunaan senjata nuklir biologi kimia (Nubika) sangat

dilarang sebab bertentangan dengan kemanusiaan.

Laporan badan PBB menyimpulkan bahwa senjata kimia memang

telah digunakn dalam konflik di Suriah. PBB mencatat, senjata kimia

digunakan sebanyak lima kali sepanjang konflik Suriah yang berlangsung

sejak 2011 hingga saat skripsi ini ditulis. Laporan tersebut menyebutkan

adanya bukti-bukti yang kredibel dan konsisten dengan penggunaan senjata

kimia. PBB menyebutkan lima lokasi penggunaan senjata kiamia tersebut,


antara lain adalah Ghouta, Khan Al-Asal, Jobar, Saraqueb, dan Ahsrafieh

Sahnaya. Untuk dua lokasi lainnya adalah Bahhariyeh dan Sheik Masqood

tidak terdapat cukup bukti soal penggunaan senjata kimia.

Menurut laporan tersebut, ada penggunaan senjata kimia dalam

skala besar di wilayah Ghouta, dekat Damaskus pada 21 Agustus 2013.

Untuk wilayah tersebut, PBB menemukan adanya penggunaan gas sarin

yang mematikan. Banyak warga sipil, termasuk anak-anak yang ikut

menjadi koroban. Senjata kimia juga digunakan di wilayah Khan Al-Asal

pada 19 Maret lalu terhadap tentara Suriah dan juga penduduk sipil.

Kemudian di Jobar, tercatat penggunaan senjata kimia dalam jumlah yang

kecil terhadap tentara Suriah pada 24 Agustus. Di wilayah Saraqueb,

penggunaan senjata kimai tercatat digunakan pada 29 April 2013, dan ada

korban sipil yang turut menjadi korban senjata kimia tersebut.

Pada akhir 2015, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa

(DK PBB) menyatakan setuju pada resolusi terhadap perdamaian di Suriah.

Persetujuan ini diungkapkan kala beberapa Negara besar bersatu membahas

caranya menghentikan perang sipil ini. Negara-negara besar yang

membicarakan perang di Suriah ini antara lain Amerika Serikat, beberapa

Negara besar di Eropa dan Arab, Rusia, dan yang terakhir, Iran. Dari

pertemuan yang dilakukan di Negeri Paman Sam ini, dihasilkan dua poin

kerangka resolusi. Poin pertama, yaitu gencatan senjata nasional. Sementara

poin kedua adalah pembicaraan damai selama enam bulan antara jajaran
pemerintah Presiden Bashar al-Assad dan oposisi untuk membentuk

pemerintahan yang bersatu.108 Meskipun demikian, dalam perbincangan

tersebut beberapa Negara besar masih berselisih paham atas kelompok

oposisi mana yang nantinya bakal diundang untuk berdiskusi. Mereka juga

masih bingung bagaimana nantinya posisi Bashar al-Assad di Suriah.

Resolusi tertanggal 18 Desember 2015 ini berisikan 26 poin yang

sebagian merupakan adopsi dari kesepakatan di pertemuan Vieanna tanggal

30 Oktober lalu. Resolusi itu antara lain mendesak semua pihak untuk

segera menghentikan kegiatan tembak-menembak atas sasaran sipil dan

menargetkan perundingan damai antara pemerintah Suriah dengan oposisi

pada awal Januari 2016.109 Kesepakatan ini dimaknai sebagai genjatan

senjata antar pihak yang bertikai. Namun disebutkan juga bahwa

kesepakatan gencatan senjata ini tidak berlaku bagi kelompok teror seperti

ISIS, NIIS, Front al Nusra, dan individu atau kelompok lain yang terkait

kelompok teror tersebut.

Selain itu disebutkan juga rencana untuk mendirikan pemerintahan

transisi enam bulan sesudah perundingan dimulai dan menyelenggarakan

pemilu pada 18 bulan sejak itu. Pemerintahan transisi yang dibentuk

108
http://www.merdeka.com/read/dk-pbb-setujui-resolusi-perdamaian-di-suriah, Edisi 20
Desember 2015, Diakses 15 November 2016 Pukul 11.15
109
http://www.merdeka.com/read/resolusi-dk-pbb-untuk-perdamaian-syria-disetujui, Edisi
19 Desember 2015, Diakses 15 November 2016 Pukul 11:28
haruslah bersifat “inklusif dan tidak sektarian” dengan tugas menyusun

konstitusi baru untuk kemudian menyelenggarakan pemilu yang adil.110

Pada 9 Oktober 2016, Dewan Keamanan PBB menggelar pertemuan

di New York, Amerika Serikat. Pertemuan Dewan Keamanan PBB tersebut

membahas dua resolusi yang diajukan Prancis dan Rusia. Dalam pertemuan

tersebut terjadi beda pendapat antara Prancis dan Rusia. Perseteruan bermula

saat Rusia memveto resolusi yang diajukan Prancis. Resolusi itu berisi

desakan kepada seluruh negara untuk menghentikan serangan di Aleppo,

Suriah. Al Jazeera mengungkapkan bahwa ini adalah kali kelima Rusia

memveto resolusi di Dewan Keamanan PBB sepanjang lima tahun konflik di

Suriah berlangsung. Dalam empat veto sebelumnya, Rusia mendapat

dukungan dari Tiongkok. Tapi kali ini Tiongkok mengambil sikap abstain,

atau tidak memilih.111

Rusia memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang diusulkan

Prancis setelah resolusi yang diajukan Rusia tidak mendapat cukup banyak

dukungan. Resolusi rancangan Rusia minimum harus memperoleh Sembilan

suara untuk mendukungnya. Rancangan Prancis mendapatkan sebelas suara

dukungan, sedangkan Tiongkok (Cina) dan Angola abstain. Venezuela

mengikuti Rusia dengan memberikan dukungan suara menentangnya.

110
Ibid
111
http://www.internasional.sindonews.com/read/1145764/42/perang-rusia-dan-barat-pecah-
di-dk-pbb-1476008408, Edisi 9 Oktober 2016, Diakses 15 November 2016 Pukul 11:33
Hingga saat ini berbagai cara telah ditempuh oleh PBB untuk

menyelesaiakan konflik yang terjadi di Suriah. Mulai dari embargo terhadap

ekspor dan impor barang-barang di Suriah, blokade, pembekukan aset

Bashar al-Assad, pengutusan mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan

untuk membawa proposal damai, hingga dikeluarkannya Resolusi PBB

mengenai pelucutan senjata kimia dan Resolusi bantuan kemanusiaan di

Suriah, namun konflik yang terjadi belum menemui titik akhir perdamaian.

Sebagai badan organisasi internasional seharusnya PBB dapat

memberikan solusi yang tepat dan efektif sesuai dengan ketentuan dalam

hukum internasional terhadap konflik sehingga pelanggaran Hak Asasi

Manusia (HAM) di Suriah dapat dihentikan dengan segera. Intervensi yang

merupakan salah satu cara penyelesaian konflik yang dianggap ampuh untuk

menghentikan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam konflik

Suriah juga mengalami kendala hal tersebut dikarenakan tidak adanya

persetujuan dari Dewan Keamanan PBB.

3.2 Upaya Penyelesaian Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (HAM)

dalam Konflik di Suriah

Hingga saat ini berbagai cara telah ditempuh untuk menyelesaikan

maupun upaya mengatasi konflik dan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia

(HAM) di Suriah. Mulai dari negosiasi antara kedua belah pihak (melakukan

pembicaraan damai di Jenewa, Swiss), embargo bidang ekonomi baik

terhadap ekspor dan impor barang-barang dan juga embargo senjata


terhadap Pemerintah Suriah, pembekuan aset Bashar al-Assad dan jajaran

pemerintah Suriah berupa transaksi keuangan, pengutusan mantan Sekjen

PBB Kofi Annan untuk menawarkan dan membawa proposal damai, hingga

dikeluarkannya resolusi Dewan Keamanan PBB, namun semua upaya

tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan demi tercapainya

perdamaian di Suriah. Intervensi yang merupakan salah satu cara

penyelesaian konflik yang dianggap ampuh untuk menghentikan

pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dalam konflik Suriah juga

mengalami kendala. Hal tersebut disebabkan tidak adanya persetujuan dari

Dewan Keamanan PBB.

Untuk menyelesaikan konflik, kekerasan, dan pelanggaran

terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dapat ditempuh dengan beberapa cara,

antara lain adalah sebagai berikut :

3.2.1 Penyelesaian Secara Damai

Gagasan mengutamakan penyelesaian sengketa secara damai

ketimbang penggunaan kekerasan sudah dimunculkan sejak lama

sekali. Namun demikian secara formal, usaha pembentukan lembaga,

instrument hukum juga pengembangan teknis penyelesaiannya baru

memperoleh pengakuan secara luas sejak dibentuknya PBB tahun

1945.112

Konflik yang terjadi di Suriah sejak 2011 lalu, seharusnya

telah tercapainya perdamaian. Mengingat bahwa konflik internal yang

112
John Merrils, The means of Dispute Settlement, dalam Evans, Malcolm D, 2003,
International Law, Oxford University Press, First Edition, Hal. 530
terjadi di Suriah sudah cukup lama. Peristiwa tersebut terus menjadi

pehatian publik internasional karena dampak konflik yang

ditimbulkan sangat-sangat memprihatinkan, bahkan terindikasi telah

terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan

Kejahatan Kemanusiaan. Peristiwa tersebut membuat organisasi

regional dan internasional mengambil langkah untuk mengakhiri

konflik yang terjadi di Suriah.

Liga Arab yang merupakan organisasi regional berusaha

mengambil langkah-langkah kongkrit secara diplomatis untuk

menyelesaikan konflik yang terjadi. Namun langkah-langkah yang

dilakukan Liga Arab tersebut belum dapat dikatakan signifikan,

meskipun Liga Arab telah mendesak secara terus menerus namun

pihak otoritas Suriah bergeming. Liga Arab yang mempunyai

pengaruh terhadap daerah kawasan mendesak semua pihak untuk

menghentikan kekerasan serta mengirimkan proposal damai yang

tujuannya adalah untuk menghentikan konflik yang terjadi.

PBB yang merupakan organisasi internasional mempunyai

tanggung jawab besar menjaga keamanan dan perdamaian dunia, telah

berupaya keras untuk menyelesaiakan konflik yang terjadi. Namun

seperti halnya Liga Arab, PBB juga mengalami kesulitan untuk

mendamaikan kedua belah pihak. Pihak oposisi sering kali menuding

pihak-pihak yang menjadi mediator/sponsor mempunyai kepentingan

terhadap perdamaian Suriah. Sejauh ini upaya damai untuk


menghentikan konflik di Suriah tidak bias dilakukan, dikarenakan

pihak otoritas Suriah dan oposisi tidak melakukan komunikasi yang

baik serta tidak berupaya untuk berdamai.

Dalam hukum internasional, kewajiban-kewajiban pihak

yang bersengketa adalah menyelesaikan sengketa dengan cara damai.

Kegagaglan para pihak untuk memperoleh penyelesaian secepat

mungkin mewajibkan mereka untuk tetap melanjutkan upaya

penyelesaian damai, berkonsultasi satu sama lain dengan cara yang

telah disepakati bersama. Negara harus senantiasa menahan diri dari

segala tindakan yang dapat memperburuk keadaan, memperbesar

masalah, mengancam perdamaian keamanan, serta mempersulit upaya

penyelesaian damai.

Kewajiban ini mengharuskan kedua belah pihak untuk

menggunakan cara-cara damai, seperti negosisasi, diplomasi, mediasi,

Good Offices dan inquiry. Jika permasalahan tidak dapat diselesaikan

melalui jalur damai, Negara dan pihak oposisi dapat me-manage dan

mengontrol masing-masing pihak untuk tidak semakin memperburuk

situasi yang dapat menimbulkan ancaman terhadap perdamaian

nasional, regional, dan internasional.

Pada 24 Januari 2014 upaya negosiasi antara Pemerintah

Suriah di bawah rezim Bashar al-Assad dan Kelompok Oposisi

dijadwalkan akan bertemu dalam pembicaraan damai di bawah

naungan PBB dan sejumlah Negara kekuatan dunia di Jenewa, Swiss.


Seperti dikabarkan Al Jazeera, negosiasi tersebut adalah diperkirakan

akan berlangsung selama seminggu di markas besar PBB.

Bembicaraan damai tersebut momentum di mana untuk pertama

kalinya kedua belah pihak yang bertikai melakukan pertemuan dan

membahas masa depan perdamaian Suriah.113

Dalam negosiasi damai yang dilakukan kedua belah pihak,

PBB menekankan kepada pihak Pemerintah Suriah dan Oposisi

mengankat pembicaraan mengenai masalah-masalah kemanusiaan

yang menimpa masyarakat Suriah akibat konflik. PBB juga mendesak

kedua belah pihak untuk memikirkan nasib masyarakat Suriah agar

bantuan baik berupa makanan ataupun obat-obatan yang diperlukan

dapat mereka terima.114

Pada Januari 2015, upaya damai Pemerintah Suriah dan pihak

Oposis terus diusahakan. Negosiasi berlangsung di Moscow, Rusia.

Pembicaraan antara pihak Pemerintah Suriah dan oposisi diinisiasi

oleh Rusia yang menginginkan kedua belah pihak berdamai untuk

menghentikan kekerasan bersenjata dan konflik yang terjadi. Namun

pihak Oposisi mengatakan bahwa mereka hanya akan ikut

pembicaraan jika Bashar al-Assad turun dari pemerintahan.115

113
http://www.internasinal.sindonews.com/read/141180/perundingan-damai-suriah-dimulai-
pbb-tekan-isu-kemanusiaan, Edisi 24 Januari 2014, Diakses 28 November 2016 Pukul 21:09
114
Ibid
115
http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur/tengah/15/01/30/niya5w/pemerinta
h-dan-oposisi-suriah-sepakat-adakan-negosiasi-lanjutan, Edisi 30 Januari 2015, Diakses 28
November 2016 Pukul 21:20
Pada Februari 2015 pihak Oposisi Suriah menyatakan

kesediaan untuk melakukan negosiasi. Diskusi intra-Suriah yang

diselenggarakan di Moscow tersebut juga mendapat dukungan dari

PBB untuk mencari segala solusi atas situasi politik di Suriah.

Sekretaris Jenderal PBB saat itu, Baan Ki-Moon mengatakan bahwa

PBB tetap menjaga komunikasi dengan Rusia terkait “upaya penting”

yang dilakukan.

Pada 20 April 2016, pemerintah Suriah dan Komite Negosiasi

Oposisi Suriah (HNC) melakukan perundingan damai di Jenewa,

Swiss berupaya untuk menghentikan kekerasan bersenjata dan konflik

di Suriah. Negosiator dari kelompok Oposisi, Komite Tinggi

Negosiasi Suriah (HCN) menghentikan pembicaraan damai dengan

pemerintah Suriah setelah menuduh pemerintah melakukan

melanggar kesepakatan gencatan senjata meskipun pembicaraan

sedang berlangsung. Sebelumnya pada hari itu pasukan Tentara

Suriah dan pesawat tempur Rusia melakukan serangkaian serangan

terhadap Oposisi.116 Hingga saat ini, upaya damai untuk

menyelesaikan kekerasan bersenjata dan konflik di Suriah terus

diusahakan.

116
http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur/tengah/15/01/30/niya5w/pemerinta
h-dan-oposisi-suriah-sepakat-adakan-negosiasi-lanjutan, Edisi April 2016, Diakses 28 November
2016 Pukul 22:15
3.2.2 Resolusi Dewan Keamanan (DK PBB)

Upaya PBB untuk menyelesaikan kekerasan dan pelanggaran

terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Suriah terus diusahakan. Hal

tersebut terlihat dengan dikeluarkanya resolusi oleh Dewan

Keamanan (DK PBB). Resolusi merupakan suatu bentuk pernyataan

yang resmi mengenai suatu pendapat atau kehendak dari suatu badan

yang resmi atau suatu mejelis yang bersifat umum serta disahkan

melalui pemungutan suara serta dinyatakan bahwa suatu resolusi

tersebut merupakan sebagai suatu bentuk penyelesaian secara

legislatif.

Resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan (DK PBB)

merekomendasikan dan memutuskan merupakan kesepakatan Negara-

negara anggota PBB. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam suatu

bentuk perjanjian yang mengikat secara hukum terhadap Negara-

negara anggota. Resolusi atau keputusan tersebut bukan hanya berlalu

untuk Negara anggota (Intern), tetapi juga terhadap Negara-negara

non-anggota.

Untuk menanggapi krisis tindak kekerasan dan pelanggaran

terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Suriah, Dewan Keamanan

(DK PBB) mengeluarkan resolusi-resolusi terhadap pihak otoritas

Suriah dan kelompok oposisi untuk melakukan upaya damai,

menghentikan kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

di Negara Suriah.
1) Resolusi DK PBB No. 2118

Resolusi DK PBB 2118 merupakan resolusi pertama

yang dikeluarkan menanggapi kekerasan di Suriah pada 2013.

Resolusi ini menyatakan tentang pemusnahan senjata kimia milik

rezim berkuasa Presiden Bashar al-Assad. Selain itu, resolusi

tersebut juga menegaskan dan mengecam dengan keras

penggunaan senjata kimia di Republik Arab Suriah, khususnya

serangan pada 21 Agustus 2013 sebagai pelanggaran terhadap

hukum internasional. Serangan di pinngiran Damaskus tersebut

menewaskan lebih dari 1.400 orang. Namun otoritas Suriah

membantah tindakan tersebut, dan menyebutkan kelompok

pemberontaklah yang melakukannya akan bertanggung jawab

terhadap serangan senjata kimua tersebut.

Dalam resolusi tersebut tidak dicantumkan mengenai

sanksi atas serangan senjata kimia yang terjadi di Suriah. Namun

resolusi tersebut menyebutkan aka nada voting dari DK PBB

mengenai langkah-langkah yang harus diambil.

2) Resolusi DK PBB No. 2139

Resolusi DK PBB 2139 merupakan resolusi kedua yang

dikeluarkan untuk menangani krisis kemanusiaan di Negara

Suriah dengan melakukan bantuan dengan catatan DK PBB harus

menghormati kedaulatan Negara Suriah.


Resolusi No. 2139 menyerukan konvoi bantuan

kemanusiaan untuk diizinkan masuk ke seluruh wilayah Suriah

yang dilanda konflik. Namun Kementerian Luar Negeri Suriah

menyatakan akar penyebab krisis kemanusiaan di Negara

tersebut adalah karena aksi terorisme yang didukung pihak asing

dan sanksi-sanksi yang dijatuhkan Negara Barat kepada

Pemerintahan Presiden Bashar al-Assad.

Pemerintah Suriah juga siap melakukan kerja sama

dengan PBB serta organisasi-organisasi kemanusiaan

internasional dalam mengimplementasikan Resolusi DK PBB

No. 2139. Suriah juga menyatakan bahwa resolusi harus

dilaksanakan dengan menghormati prinsip-prinsip yang tercatum

dalam Piagam PBB, hukum internasional dan fondasi dasar

kemanusiaan, khususnya kedaulatan Negara dan peran Negara

serta prinsip-prinsip netralitas, transparansi, dan bantuan yang

tidak dipolitisir.

Resolusi No. 2139 tersebut menekankan pentingnya

bantuan kemanusiaa dan menuntut semua pihak, khususnya

pemerintah Suriah segera memberikan akses kemanusiaan yang

cepat, aman dan tanpa hambatan bagi badan-badan kemanusiaan

PBB dan mitra mereka, termasuk lintas garis konflik dan lintas

batas untuk memastikan bantuan kemanusiaan dapat mencapai

orang yang membutuhkan melalui rute cepat.


Resolusi tersebut juga menuntut semua pihak yang

terlibat untuk membuka blokade pemukiman penduduk, termasuk

daerah yang termaktub dalam resolusi. Selain itu juga menuntut

penghentian segala bentuk kekerasan terhadap penduduk sipil,

termasuk penggunaan pemboman udara seperti bom barel. PBB

juga menuntut pihak-pihak yang bersengketa mendelimitarisasi

fasilitas medis, sekolah dan fasilitas lainnya, dan menyeruka

kebebasan akses terhadap seluruh area untuk tenaga, peralatan,

transportasi, dan persediaan medis.

PBB juga menuntut kedua belah pihak untuk

bertanggung jawab atas pelanggaran hukum internasional dan

Hak Asasi Manusia (HAM) dan menuntut diakhirinya kekebalan

hukum bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran tersebut.

Resolusi No. 2139 ini secara keseluruhan mengecam lebih keras

terhadap rezim Suriah dari pada resolusi sebelumnya yang diveto

Rusia dan China.

Ada beberapa poin yang menarik dalam Resolusi No.

2139, antara lain adalah :

a) Negara anggota mendesak Rusia harus menghadapi

keputusan apakah akan memveto atau tidak resolusi

kemanusiaan tersebut. Mengingat bahwa Rusia dan

Tiongkok telah memveto beberapa resolusi yang ditawarkan

Negara-negara angoota terhadap situasi di Suriah.


b) Tidak ada pebahasan mengenai sanksi dan penggunaan

kekuatan militer untuk menunjukan keseriusan resolusi

tersebut. Resolusi No. 2139 hanya merekomendasikan

Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon pada saat itu untuk

melaporkan pelaksanaan resolusi setiap 30 hari dan

menyatakan bahwa DK PBB akan mengambil langkah lebih

lanjut jika terjadi ketidakpatuhan terhadap resolusi tersebut.

c) Satu-satunya kelompok teroris yang dirujuk dalam teks

Resolusi No. 2139 adalah Al-Qaidah dan afiliasinya. Selama

proses negosiasi tidak memasukan mitra teroris rezim

Suriah, Syiah Hizbullah dan Pasukan Quds, Iran telah

dihapuskan.

d) Resolusi tersebut tidak menyebutkan rekomendasi agar para

pemimpin rezim Suriah diadukan ke Mahkamah Pidana

Internasional (ICC) untuk kemungkinan penuntutan atas

kejahatan kemanusiaan dan tindak kekerasan pelanggaran

Hak Asasi Manusia (HAM), seperti yang diinginkan Negara-

negara anggota PBB.

Namun ada satu kekurangan dari Resolusi No. 2139

ialah terkait transfer senjata dalam konflik tersebut. Hal ini

memungkinkan telah melayani kepentingan beberapa Negara

anggota DK PBB dalam konflik yang terjadi di Suriah, terlepas

dari pihak mana yang memberikan dukungannya. Usulan


amandemen terhadap rancangan (Draft) yang disebutkan akan

mengakhiri transfer senjata kepada Presiden Bashar al-Assad dan

pihak oposisi-pemberontak telah ditolak. Hal ini memunculkan

spekulasi bahwa Negara-negara anggota DK PBB setengah hati

untuk melakukan penyelesaian konflik yang terjadi di Suriah.

Namun yang patut diapresiasi adalah usaha DK PBB

mengambil langkah-langkah sederhana dalam arah yang benar.

Resolusi ini telah menyerukan tindakan nyata untuk membantu

meringankan penderitaan warga sipil Suriah yang terperangkap

dalam konflik.

3) Resolusi DK PBB No. 2254

Resolusi Dewan Keamanan (DK PBB) No. 2254

menyatakan dan mendukung proses perdamaian di Suriah. Dalam

resolusinya DK PBB menyinggung tentang masa depan Presiden

Bashar al-Assad, menyerukakn gencatan senjata dan

dilakukannya pembicaraan formal tentang transisi politik yang

akan dilakukan pada awal 2016. Terkait dengan gencatan senjata,

Sekretaris Jenderal PBB pada saat itu, Ban Ki-Moon akan

memberikan pengarahan tentara cara memantau gencatan senjata

pada 18 Januari 2016.

Resolusi juga memuat pembicaraan damai yang akan

dilakukan tanpa mengikutsertakan kelompok yang diidentifikasi


sebagai kelompok teroris, termasuk ISIS dan Front al-Nusra.

Resolusi tersebut juga menyatakan bahwa pemerintahan transisi

yang kredibel, inklusif, dan non-sekretarian akan didirikan dalam

waktu enam bulan, dengan melakukan pemilihan umum dalam

waktu 18 bulan di bawah pengawasan PBB.

Ada pun isi Resolusi Dewan Keamanan (DK PBB) No.

2254 adalah sebagai berikut :

a) Menyerukan gencatan senjata dan perundingan formal

mengenai transisi politik yang dimulai pada awal Januari

2016.

b) Kelompok yang dipandang teroris tidak diikutsertakan

dalam perundingan atau negosiasi.

c) Aksi defensif dan ofensif terhadap kelompok-kelompok

tersebut dalam resolusi yang mengacu pada serangan udara

koalisi pimpinan Amerika Serikat dan Rusia akan berlanjut.

d) Tata pemerintahan yang kredibel, inklusif, dan non-

sekretarian akan dibentuk dalam kurun 6 bulan.

e) Pemilihan umum yang adil dan bebas dibawah kewenagan

PBB akan diselenggarakan dalam waktu 18 bulan.

f) Transisi politik harus dipimpin oleh Suriah.

Namun upaya PBB untuk mengakhiri kekerasan dan

pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Suriah dengan

mengeluarkan resolusi-resolusi tidak membuahkan hasil yang


signifikan. Hal tersebut dikarenakan pihak Pemerintah Suriah

dan Oposisi tidak melaksanakan resolusi dengan baik, bahkan

resolusi yang digagas oleh Dewan Keamanan (DK PBB) tersebut

dilanggar secara terang-terangan.

3.2.3 Mengadili Pelaku Pelanggaran Berat HAk Asasi Manusia (HAM)

di Suriah

Tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap Hak Asasi

Manusia (HAM) dalam hukum internasional dipandang sebagai

kejahatan serius dan tergolong sebagai pelanggaran berat. Mahkamah

Pidana Internasional (ICC) mengklasifikasikan pelanggaran terhadap

Hak Asasi Manusia (HAM) meliputi Kejahatan Genosida (Crimes of

Genocide), Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime of Against

Humanity), Kejahatan Perang (Crimes of War), dan Kejahatan Agresi

(Crimes of Agretion).

Individu yang merupakan subjek hukum internasional.

Menurut hukum internasional, individu secara pribadi dapat dianggap

bertanggung jawab terhadap kejatan genosida, kejahatan

kemanusiaan, kejatan perang, dan kejahatan agresi. Mahkamah

Pidana Internasional (ICC) secara eksplisit menegaskan bahwa para

pelaku pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) yang

menyangkut perhatian publik internasional secara keseluruhan, tidak

seharusnya dibiarkan begitu saja, tetapi harus diadili. Penghukuman


secara efektif harus dilakukan melalui tindakan-tindakan pada tingkat

nasional dan melalui peningkatan kerjasama internasional.

Salah satu prinsip dasar yang dianut dalam Statuta Roma

1998 adalah bersifat komplementer. Artinya, terjadinya kejahatan

yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (ICC), maka

pengadilan terhadap pelaku kejahatan terlebih dahulu diserahkan

kepada hukum nasional suatu Negara di mana kejahatan tersebut

dilakukan. Apabila Negara yang bersangkutan tidak mau (Unwilling)

atau tidak dapat (Unable) mengadili pelaku kejahatan tersebut, maka

pengadilan terhadap pelaku dapat dilakukan oleh Mahkamah Pidana

Internasiona (ICC).117

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) bersifat pelengkap

terhadap yurisdiksi pengadilan nasional di suatu Negara. Dapat

dipahami bahwa Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memiliki

yurisdiksi terhadap pelanggaran-pelanggaran internasional yang

paling serius seperti genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan-

kejahatan serupa yang dipandang sebagai pelanggaran berat terhadap

Hak Asasi Manusia (HAM) dan Mahkamah Pidana Internasional

(ICC) sebagai pelengkap sistem pengadilan pidana nasional, ketika

sistem pengadilan nasional tidak berjalan efektif atau tidak tersedia,

maka Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dapat melaksanakan

117
Eddy Hiariej, 2009, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta, Hal. 72
yurisdiksinya dalam menuntut dan mengadili pelaku kejahatan

internasional dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Prinsip pelengkap tersebut merupakan suatu mekanisme

pendekatan yang seimbang yang tujuannya adalah memberikan

kesempatan terlebih dahulu kepada Negara-negara untuk melakukan

dan memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam mengatur dan

menjalankan organisasi Negara sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku serta mempunyai otoritas yang tidak terikat

atau tidak tunduk pada ketentuan lain kecuali berdasarkan atas

ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa tidak ada kedaulatan Negara yang dilanggar, justru

asas komplementer tersebut selaras dengan prinsip kedaulatan

Negara.

Pasal 17 Satuta Roma 1998 menyatakan bahwa Mahkamah

Pidana Internasional (ICC) tidak berfungsi untuk menggantikan

pengadilan nasional suatu Negara melainkan ketika Negara tidak mau

(Unwilling) dan tidak mampu (Unable) melaksanakan yurisdiksi dan

kewajiban-kewajibannya untuk mengadili pelaku kejahatan yang

termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (ICC),

maka Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dapat melaksanakan

yurisdiksinya. Hal tersebut merupakan jaminan bahwa Mahkamah

Pidana Internasional (ICC) bertujuan untuk mengefektifkan

pengadilan nasional di suatu Negara.


Mekanisme Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengadili

pelaku kejahatan serius dilaksanakan dan dilakukan oleh Jaksa

Penuntut Independen ketika Negara peserta Statuta Roma 1998

menyerahkan yurisdiksi kejahatan kepada Dewan Keamanan (DK

PBB) atau kepada Jaksa Penuntut itu sendiri. Namun yang menjadi

perhatian dalam hal ini adalah jika suatu Negara di mana terjadinya

kejahatan serius terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut tidak

bersedia menyerahkan pelaku atau tidak mau memberikan informasi

kepada Dewan Keamanan (DK PBB) dan Jaksa Penuntut, yang

disebabkan adanya doktrin kedaulatan Negara, karena urusan Negara

tersebut tidak mau dicampuri oleh Negara lain, terlebih menyerahkan

pelakunya kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk

diadili. Pada umumya para pelaku adalah mereka yang memiliki

kekuasaan dan eksistensinya cukup kuat untuk mempengaruhi

kebijakan nasional Negara tersebut.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memiliki kemampuan

dan yurisdiksinya untuk mengadili individu-individu yang

bertanggung jawab terhadap terjadinya kejatan terhadap Hak Asasi

Manusia (HAM), menurut Statuta Roma 1998 Pasal 7 kejahatan yang

dimaksud adalah setiap tindakan pembunuhan, pemusnahan,

perbudakan, atau perbuatan-perbuatan sejenis dilakukan sebagai

bagian dari serangan yang meluas dan sistematis yang di tujukan

kepad kelompok populasi sipil secara disengaja.


Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dalam

mengadili individu-individu yang bertanggung jawab atas terjadinya

pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan terhadap

Kejahatan Kemanusiaan didasarkan pada Statuta Roma 1998, Pasal 5

ayat (1), Pasal 4 dan Pasal 7, sebagai dasar legalitas formal

internasional dan selain itu, Jus Cogens, hukum kebiasaan

internasional yang relevan kontruktif bagi penegakan hukum Hak

Asasi Manusia (HAM).

Untuk kasus pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia

(HAM) yang sedang berlangsung saat ini di Negara Suriah, seperti

pembunuhan terhadap penduduk sipil dengan menggunakan senjata

kimia, pembantaian, penyiksaan, intimidasi, penculikan,

pemerkosaan, dan perbuatan sejenis lainnya yang tidak dapat

dibenarkan dengan alasan apapun. Tidak menuntup kemungkinan

bahwa Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk melaksanakan

kompetensi dan yurisdiksinya terhadap kasus di Suriah, mengingat

bahwa faktanya kejahatan-kejahatan di Suriah telah memenuhi unsur-

unsur materiil yang ditetapkan dalam Statuta Roma 1998.

Berdasarkan hukum internasional, kasus yang terjadi di

Suriah telah memenuhi syarat-syarat untuk diadili. Pengambilalihan

maupun intervensi Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk

mengadili pelaku kejahatan di Suriah tidak melanggar prinsip-prinsip

fundamental hukum internasional.


Dalam hal ini menurut penulis bahwa Pasal 13 Huruf (b)

Statuta Roma 1998 dapat dijadikan landasan yuridis yang cukup kuat

dan mempunyai legalitas untuk melegitimasi Dewan Keamanan (DK

PBB) dalam mengambil kebijakan untuk menyerahkan kasus

pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) di Suriah kepada

Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Alasan yuridis lainnya adalah

bahwa Negara Suriah merupakan Negara pihak (State Party) dari

beberapa konvensi Hak Asasi Manusia (HAM) internasional yang

berdasarkan asas hukum Pacta Sun Servanda. Sehingga dengan

demikian, maka secara teoritis terjadinya impunitas bagi pelaku

pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) dapat diminimalisir

dan diadili.

Menurut penulis bahwa ini merupakan cara tepat yang

ditempuh untuk menyelesaikan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia

(HAM) dan mengadili para pelaku kejahatan dalam konflik di Suriah.

Mengingat bahwa kebijakan serupa pernah diambil Dewan Keamanan

(DK PBB) terhadap kasus Darfur, Sudan pada tahun 2005. Dewan

Keamanan (DK PBB) mengeluarkan resolusi tertanggal 31 Maret

2005 dengan Resolusi No. 1593 tentang penyerahan situasi di kota

Darfur, Sudan, kepada Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana

Internasional (ICC). Sehingga pada tanggal 6 Juni 2005 Jaksa

Penuntut, Luis Moreno Ocampo secara resmi membuka penyelidikan

atas kejahatan-kejahatan di Darfur, Sudan.


Setelah melalui serangkaian koordinasi dengan Dewan

Keamanan (DK PBB) akhirnya pada tanggal 27 Februari 2007 Jaksa

Penuntut Mahkamah Pidana Internasional menyerahkan kapada

Kamar Pra Peradilan I (Pre Trial Chamber) yang dipimpin oleh

Majelis Hakim, Akua Kueyehia, Anta Ucaka, dan Sylvia Steiner.

Surat pengadilan terhadap Ahmad Harun (mantan Menteri Dalam

Negeri Sudan) dan Ali Muhammad Ali Abdal-Rahman (pemimpin

Milisi yang dikenal dengan nama Ali Kushyab), untuk menghadiri

pemeriksaan awal di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Pada tanggal 2 Mei 2007 Majelis Hakim PT C I

mengeluarkan surat perintah untuk penangkapan atas nama Ahmad

Harun dan Ali Kushyab. Pada tanggal 14 Juli 2008 Jaksa Luis

Moreno Ocampo meminta kepada PT C I untuk mengeluarkan surat

perintah penangkapan Omar Hasan Ahmad Al-Bashir. Mereka

dinyatakan bertanggung jawab atas kekerasan dan pelanggaran

terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Darfur, Sudan, serta diadili.

Dengan gambaran singkat kasus Darfur, Sudan, tersebut di

atas, maka penulis meyakini bahwa Dewan Keamanan (DK PBB)

juga dapat menerapkan hal yang sama terhadap Pemerintah Suriah

yang dipimpin Bashar al-Assad, mengingat bahwa konflik, kekerasan

dan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) di Suriah sejak

awal 2011 hingga saat ini telah menelan banyak korban jiwa

penduduk sipil, karena perbuatan Presiden Bashar al-Assad tidak


dapat dibenarkan dengan alasan apa pun. Sesungguhnya hak asasi itu

lebih tinggi dari pada hak pengguasa ataupun Raja.


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari pemaparan yang telah diuraikan pada BAB I

sampai BAB III penulis menarik kesimpulan adalah sebagai berikut :

1. Bahwa bentuk pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia (Gross

Violation of Human Rights) yang dalam hal ini dilakukan Pemerintah

Suriah maupun pihak Oposis terhadap penduduk sipil (Civil

Populations) berupa Kejahatan Genosida (Crimes Genocide) dan

Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity) berupa

tindakan-tindakan seperti pembunuhan massal, penangkapan dan

penahanan sewenang-wenang terhadap penduduk sipil, penyiksaan,

penggunaan senjata kimia pada 2013 yang menewaskan 1.400

penduduk sipil. Perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan oleh unit-unit

khusus Militer dan Badan-badan Intelijen di bawah kendali

Pimpinan/Komando masing-masing.

2. Bahwa Negara Suriah tidak berupaya melindungi warga sipilnya dan

justru membiarkan terjadinya pelanggaran berat terhadap Hak Asasi

Manusia (HAM) melalui Pasukan Keamanan dan Tentara Negara

Suriah dengan cara melakukan penembakan, pengeboman, dan tindakan

kekerasan lainnya.

3. Bahwa Negara Suriah telah melanggar enam instrument Hak Asasi

Manusia (HAM) internasional yang diikutinya, di antaranya adalah :


a) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik;

b) Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya;

c) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Ras;

d) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Perempuan;

e) Konvensi Internasional tentang Penyiksaan dan Perbuatan Tidak

Manusiawi Lain, dan Perlakuan atau Penghukuman Tidak

Manusiawi;

f) Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak.

4. Bahwa penyelesaian pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM)

berupa penyelesaian secara damai dengan melakukan perundingan

maupun negosiasi (secara politik) antara kedua belah pihak baik yang

digagas oleh Liga Arab, PBB serta Negara-negara anggota PBB.

Disamping itu PBB juga telah mengeluarkan beberapa resolusi terkait

kekerasan bersenjata, konflik dan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia

(HAM) di Suriah.

5. Bahwa para pelaku pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) dan

Kejahatan Kemanusiaan dalam konflik di Suriah, wajib untuk diadili

berdasarkan ketentuan hukum perjanjian Hak Asasi Manusia (HAM)

internasional.
4.2 Saran

Dalam penulisan skripsi ini, penulis merasa perlu memberikan

sedikit saran terkait dengan konflik, kekerasan dan pelanggaran berat

terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Suriah, antara lain :

1. Mengingat bahwa serangkaian tindakan Pasukan Keamanan, Tentara,

dan Intelejen dalam konflik Suriah yang kemudian diindikasikan

sebagai pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kejahatan

Kemanusiaan yang bersifat meluas dan sistematis, baik dari segi korban

maupun tempatnya maka penulis menyarankan kepada PBB untuk

membentuk Tim Pencari Fakta (Inquiry) serta melakukan penyelidikan,

sebagaimana yang telah dilakukan oleh Jaksa Penuntu Mahkamah

Pidana Internasional (ICC), Human Right Watch, dan Amnesty

Internasional.

2. Bahwa berhubungan karena Suriah bukan merupakan Negara Pihak

(State Party) dalam Mahkamah Pidana Internasional (ICC), maka

Dewan Keamanan (DK PBB) wajib mengeluarkan satu Resolusi untuk

menyerahkan Pengajuan para pelaku pelanggaran berat Hak Asasi

Manusia (HAM) dan Kejahatan Kemanusiaan ke Mahkamah Pidana

Internasional (ICC) oleh Jaksa Penuntut.

3. Agar seluruh Negara anggota PBB dapat mendesak Dewan Keamanan

(DK PBB) untuk secepanya mengambil keputusan sehungan dengan

poin 2 di atas.
4. Agar PBB dan Liga Arab yang merupakan organisasi regional kawasan

melakukan komunikasi secara intensif guna percepatan penyelesaian

konflik di Suriah.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Achmad Romsan dkk., 2003, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional :


Hukum Internasional dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Internasional,
Sanic Offset, Bandung.

Adnan Buyung Nasution, A. Patra dan M. Zein, 2006, Instrumen Internasional


Pokok Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindio


Persada, Jakarta.

Dina Y. Sulaeman, 2013, Prahara Suriah : Membongkar Persekongkolan


Internasional, Pustaka Iman, Depok.

Eddy O. S. Hiariej, 2010, Pengadilan Atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap


HAM Di Indonesia, Erlangga, Jakarta.

Harry Purwanto, Persoalan Disekitar Hak Asasi Manusia Yang Berat Di


Indonesia, Mimbar Hukum, Yogyakarta.

HM. Suaib Didu, 2008, Hak Asasi Manusia : Perspektif Hukum Islam
Internasional , Iris, Bandung.

I Wayan Parthiana, 2003, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama


Widya, Bandung.

Ifdhal Kasim, 2011, Hak Sipil dan Politi, Elsam, Jakarta.

Jack Donnely, 2003, Universal Human Right In Theory and Practice, Cornell
University Press, Ithaca and London.

Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, 2011, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
In Court System & Out Court System, Jakarta.

Masyur Effendi, 1994, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum
Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Rhona K. M Smith dkk., 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII,
Yogyakarta.

Ronny Hanitjo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,


Jakarta.
Soerjono Soekamto dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, PT. Raja Garfindio Pustaka, Jakarta.

Titon Slamet Kurnia, 2005, Reparasi (Reparation) Terhadap Korban


Pelanggaran HAM DI Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti.

WalterCalrnaes dkk., Handbook : Hubungan Internasional, Nusa Media,


Bandung.

Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan, dan Fungsi


Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung.

Hamid Awaludin, 2012, HAM : Politik, Hukum, dan Kemunafikan Internasional,


PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Jurnal Hukum :

Ach. Tachir dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Berat Hak Asasi
Manusia, Jurnal Supremasi Hukum, 2013.

Robert Audi dalam Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi-
Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005.

Skripsi :

Fazrul Rahman dalam Analisis Yuridis Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
di Indonesia (Studi Kasus di Mesuji Sumatera Selatan 2011). Jurnal
Skripsi Hukum Internasional, 2013.

Patra Kulu Tandiderung dalam Tinjauan Hukum Internasional Terhadap


Pelanggaran HAN Berat di Suriah. Jurnal Skripsi Hukum Internasional,
Universitas Hasanuddin Makassar 2012.

Artikel :

Human Rights Watch, Edisi Desember 2011.

Amnesty Internasional.

United Nation Document 5 Februari 2015.

Tim ICCE Jakarta Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
Prenada Media, Jakarta, 2003.

Konvensi Internasional :
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human
Rights (UDHAR) 1948.

Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.

Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam dan
Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.

Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap


Perempuan.

Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child).

Protokol Opsional pada Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.

Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC).

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

Website :

http://www.bbc.com

http://www.un.org

http://www.internasional.kompas.com

http://www.koran-jakarta.com

http://www.republika.co.id

http://www.dw.com

Anda mungkin juga menyukai