Anda di halaman 1dari 57

EKSISTENSI HUKUMAN CAMBUK BAGI NON-MUSLIM YANG

MELAKUKAN JARIMAH BERSAMA–SAMA DENGAN


ORANG ISLAM DI ACEH
(Studi Penelitian di Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh)

SKRIPSI

diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Hukum

Oleh
SPINTE BUGE KINPRALLA
18150023

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ABULYATAMA
ACEH BESAR
2022
HALAMAN PERSETUJUAN
SIDANG PENELITIAN SKRIPSI

EKSISTENSI HUKUMAN CAMBUK BAGI NON-MUSLIM YANG


MELAKUKAN JARIMAH BERSAMA–SAMA DENGAN
ORANG ISLAM DI ACEH
(Studi Penelitian di Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh)

Diajukan oleh

SPINTE BUGE KINPRALLA

18150023

Untuk memenuhi salah satu syarat penelitian skripsi


Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

JUMMAIDI SAPUTRA, S.H., M.H ANHAR NASUTION S.H., M.H.


PEMBIMBING I PEMBIMBING II

ii
ABSTRAK

EKSISTENSI HUKUMAN CAMBUK BAGI NON-MUSLIM YANG MELAKUKAN


JARIMAH BERSAMA–SAMA DENGAN
ORANG ISLAM DI ACEH
(Studi Penelitian di Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh)

Jarimah adalah perbuatan yang menyimpang dan kebenaran, keadilan, dan


jalan yang lurus (Agama). Sedangkan secara istilah, mengemukakan bahwa jarimah
adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ yang diancam dengan
hukuman had atau ta‘zir, Pengertian jarimah tersebut tidak berbeda dengan
pengertian tindak pidana, (peristiwa pidana, delik) dalim hukum pidana positif.
tujuan penelitian ini ialah Untuk mengetahui mekanisme penunduk diri bagi non-
muslim yang melakukan Jarimah bersama-sama dengan orang beragama islam
Untuk mengetahui efektifitas penundukan diri bagi non-muslim yang melakukan
Jarimah bersama-sama dengan orang islam.

Dalam penulisan skripsi ini, Jenis penelitian ini adalah penelitian empiris,
yaitu dengan cara pengumpulan data-data lapangan sebagai sumber data utama,
seperti hasil wawancara. penyusunan hasil penelitian ini dilakukan dengan
pendekatan kualitatif, adapun langkah untuk mendapat data menggunakan bahan
hukum primer yaitu bahan yang digunakan ialah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), Undang-Undang Hukum Pidana di luar KUHP, Qanun Aceh No.6
Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Dari hasil penelitian diketahui efektifitas pelaksanaan eksekusi hukuman


cambuk terhadap pelaku jinayat di Kota Banda Aceh dalam perspektif qanun hukum
acara jinayah belum berjalan secara optimal, dikarenakan setelah inkrahnya putusan
mahkamah syar’iyah terhadap pelaku jinayah tidak langsung dilakukannya
pencambukan sehingga para pelaku harus mendekam terdahulu kedalam penjara.

Diharapkan pemerintah Kota Banda Aceh lebih giat memberikan sosialisasi


kepada masyarakat, agar menyadari bahwa perbuatan jarimah dapat merusak moral
dan disarankan kepada Jaksa untuk melakukan evaluasi terhadap putusan-putusan
yang telah inkrahkan agar dapat segera dijalankan eksekusi.

iii
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadiran Allah SWT sang pemilik

dan penguasa sekalian alam yang telah melimpahkan rahmat, kasih dan sayangnya

kepada penulis, sehingga dengan petunjuk dan hidayahnya penulis telah dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Eksistensi Hukuman Cambuk Bagi Non-

Muslim yang Melakukan Jarimah Bersama–Sama Dengan Orang Islam Di Aceh

(Studi Penelitian di Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh)”. Shalawat dan salam

penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para

sahabatnya, yang mana berkat jasa beliaulah pada saat ini kita dapat merasakan

indahnya hidup di alam yang disinari dengan kilauan cahaya ilmu pengetahuan di

bawah panji agama islam Allah SWT.

Dalam penyelesaian skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan dan

bantuan dari berbagai pihak. Teristimewa kepada kedua orangtua yaitu Ayahanda

tercinta Irfan Syamri dan Ibunda tercinta Aini Nuzlita yang telah mendidik,

membesarkan, memberikan kasih sayang sehingga dapat menyelesaikan studi di

Fakultas Hukum Universitas Abulyatama Aceh. Pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan ribuan terima kasih kepada :

1. Bapak Jummaidi Saputra S.H., M.H selaku dosen pembimbing I dan Bapak

Anhar Nasution S.H., M.H selaku dosen pembimbing II, yang telah banyak

memberikan bimbingan dan arahan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

iv
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Abulyatama Bapak Wiratmadinata S.H.,

M.H dan Wakil Dekan Fakultas Hukum Abulyatama Bapak Anhar Nasution

S.H., M.H yang telah membantu penulisan untuk mengadakan penelitian yang

di perlukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak Jummaidi Saputra S.H., M.H selaku ketua Prodi Fakultas Hukum

Abulyatama beserta staf pengajar Fakultas Hukum Abulyatama yang telah

membekali penulisan dengan berbagai ilmu pengetahuan selama menempuh

pendidikan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh teman teman angkatan 2018 Fakultas Hukum Universitas Abulyatama.

Dan teruntuk Cut Meutia Huara, Rahmat Aminuddin, dan Muhammad Alwafi,

terima kasih banyak karena telah banyak memberikan bantuan dan dorongan

dalam menyelesaiakan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini telah diupayakan semaksimal mungkin, namun disadari

sepenuhnya bahwa masih terdapat berbagai kekurangan yang di sebabkan karena

keterbatasan ilmu yang di miliki. Akhirnya kepada Allah SWT dimohonkan Taufik

dan Hidayah nya semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak,

terutama bagi penulis sendiri. Aamiiin ya Rabbal `Alamin.

Aceh Besar, Maret 2022

SPINTE BUGE KINPRALLA

v
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .............................................................................................i


HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................ii
ABSTRAK ................................................................................................................iii
KATA PENGANTAR ..............................................................................................iv
DAFTAR ISI .............................................................................................................vi

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1


A. Latar Belakang .................................................................................1
B. Rumusan Masalah ............................................................................5
C. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian .............................................6
D. Manfaat Penelitian ...........................................................................6
E. Keaslian Penelitian ...........................................................................7
F. Metode Penelitian.............................................................................9
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian ...............................................9
2. Tahap dan Sumber/Bahan Penelitian ........................................9
3. Alat dan Teknik Pengumpulan Data .........................................10
4. Lokasi dan Populasi ..................................................................11
5. Analisis data ..............................................................................11
G. Sistematika Pembahasan ..................................................................12

BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG HUKUM JINAYAT BAGI


PELAKU JARIMAH NON ISLAM .....................................................13
A. Istilah dan Pengertian Jarimah.........................................................13
B. Unsur-Unsur Jarimah ......................................................................16
C. Qanun Jinayat di Aceh .....................................................................23

BAB III MEKANISME DAN EFEKTIFITAS PENUNDUKAN DIRI BAGI


NON MUSLIM YANG MELAKUKAN JARIMAH BERSAMA-SAMA
DENGAN ORANG BERAGAMA ISLAM .........................................30
A. Gambaran Umum Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh .....................30
B. Gambaran Umum kejaksaan Kota Banda Aceh ...............................31
C. Gambaran Umum Satpol PP dan WH Banda Aceh .........................33
D. Mekanisme Penundukan diri Bagi Non-Muslim yang Melakukan
Jarimah Bersama-Sama Dengan Orang Beragama Islam ................35
E. Efektifitas Penunduk Bagi Non-Muslim yang Melakukan Jarimah
Bersama-Sama Dengan Orang Islam ...............................................44

BAB IV PENUTUP ..............................................................................................47


A. Kesimpulan ......................................................................................47
B. Saran .................................................................................................49

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................50

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

membawa dampak perubahan terhadap sistem pemerintahan di Indonesia.

Salah satu perubahan yang mendasar yang dihasilkan adalah perubahan

dalam sistem pemerintahan daerah. Jika kita melihat sejarah, dalam

penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia, Undang-Undang No. 5

Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang cenderung bersifat

sentralistik digantikan dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah. Namun Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tidak

bertahan lama karena dibentuk dengan semangat kebebasan yang terlalu

tinggi, sehingga banyak peraturan yang tidak proporsional dan cenderung

mengarah pada otonomi yang kebablasan. Lebih lanjut Undang-Undang No.

22 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah sebagai perbaikan dan penyempurnaan dari kekurangan

yang terdapat dalam Undang-Undang sebelumnya.1

Hal yang mendasar dari adanya perubahan Undang-Undang tersebut

adalah memberikan kesempatan dan kekuasaan daerah untuk membangun

daerahnya dan lebih memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa

dan kreatifitas serta meningkatkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah. Daerah otonom diberikan hak pemerintahan dan kepentingan

1
Yohanis Anton Raharusun, Daerah Khusus dalam Perspektif NKRI, Jakarta, Konstitusi
Press, 2009, hlm 186.

1
2

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kewenangan ini adalah kewenangan bagi daerah untuk membentuk peraturan

daerah.

Pengakuan dan penghormatan atas satuan-satuan pemerintahan daerah

yang bersifat khusus dan istimewa di era pasca reformasi mendapat porsi

lebih daripada era sebelummnya. Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan hasil amandemen kedua

menyatakan:

1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah

yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-

Undang.

2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.2

Berangkat dari itu maka lahirlah Undang-Undang No. 18 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang kemudian diganti dengan Undang-

Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Provinsi Aceh, cita-cita penegakan syari’at Islam dengan cakupan

yang lebih luas (dibanding provinsi lain) tampaknya kian mendekati realitas.

Dibanding daerah-daerah lain yang juga berupaya memanfaatkan momentum

2
Ibid, hlm, 121
3

otonomi daerah, melalui status keistimewaannya, di Aceh tampak lebih

progresif dalam upaya membumikan syari’at.

Pemberlakuan syariat Islam yang telah berjalan hampir dua dekade

masih mengandung sejumlah kontroversi dalam masyarakat Aceh.

Kontroversi yang sangat tampak salah satunya menyangkut keberadaan non-

muslim sebagai subyek hukum Islam di Aceh. Implementasi QHJ sendiri

menunjukkan respons yang beragam oleh berbagai kalangan. Tulisan ini akan

membahas asas penerapan hukum Islam bagi non-Muslim yang berada di

Provinsi Aceh. Fokus kajian adalah Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014

tentang Hukum Jinayat dan hubungannya dengan eksistensi non-muslim.

Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang secara formal

menerapkan syariat Islam termasuk di dalamnya pengaturan tentang hukum

pidana. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang

berdasar atas hukum (rechtsstaat) sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UUD

1945 yang menegaskan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya

di depan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan

pemerintahan tanpa terkecuali. Adanya ketentuan dalam konstitusi ini

mengakibatkan segala tindakan yang dilakukan oleh negara harus dan wajib

berlandaskan pada peraturan perundang-undangan dan semua warga negara

dipandang kedudukannya sama di dalam hukum dan pemerintahan.3

Pemberlakuan hukum-hukum berdasarkan nilai-nilai syariat Islam

harus didukung oleh lembaga peradilan khusus syariat Islam. Hal ini, diatur
3
Al Yassa Abu bakar, Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma,
Kebijakan dan Kegiatan, Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Proninsi Nanggroe Aceh Darussalam
2006, hlm 14.
4

dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor. 18 Tahun 2001. Syari’at Islam yang

menjadi dasar dan nilai-nilai dalam Qanun merupakan peraturan umum yang

akan berlaku di Aceh bagi seluruh penduduknya. Dengan begitu mereka yang

non-muslim harus tunduk terhadap peraturan umum tersebut, kecuali dalam

hal ibadah.4

Terdapat contoh pada 2 (dua) kasus implementasi hukum jinayat

terhadap non-muslim yang melakukan jarimah di Aceh:

1. Putusan MS BANDA ACEH Nomor 9/JN/2021/MS.Bna Tanggal 3

Februari 2021 menyatakan Terdakwa Timothy Hanasmoro Bin Nur

Wahyudi Hanasmoro yang beragama Hindu secara sah dan meyakinkan

bersalah dengan sengaja minum khamar melanggar Pasal 15 ayat (1)

Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat sebagaimana

dalam Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Menjatuhkan Uqubat Hudud

terhadap Terdakwa berupa cambuk sebanyak 40 (empat puluh) kali

dengan perintah Terdakwa tetap ditahan, penahanan Terdakwa sejak

tanggal 22 Nopember 2020 sampai dijatuhkan hukuman cambuk dan

menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp

2.000.00 (dua ribu rupiah).56

2. Putusan MS Takengon Nomor 11/JN/2021/MS.TKN tertanggal 29

November 2021, menyatakan Terdakwa Yh secara sah dan meyakinkan

4
Ibid, hlm 16.
5
Alfath Asmunda, 2021, Tiga Non-muslim di Aceh Dihukum Cambuk,
https://m.kbr.id/nasional/022021/tiga_nonmuslim_di_aceh_dihukum_cambuk/104754.html, (diakses
18/12/2021)
6
Putusan_mahkamah_agung,2021,
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaeb6a01dd23b776b621313833363230.html
(diakses 18/12/2021)
5

bersalah dengan sengaja minum khamar melanggar Pasal 15 ayat (1)

Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat sebagaimana

dalam Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Menjatuhkan Uqubat Hudud

terhadap Terdakwa berupa cambuk sebanyak 40 (empat puluh) kali.7

Sejak pemberlakuan syariat Islam banyak kritik yang muncul

khususnya berkaitan dengan pemberlakuan syariat Islam bagi non-muslim

yang berada di Aceh. Terlebih lagi dalam implementasinya terdapat beberapa

orang non-muslim yang dicambuk karena beberapa kasus. Kondisi ini

selanjutnya menjadi sorotan para pegiat HAM baik di dalam negeri maupun

internasional.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul: “Eksistensi hukuman cambuk bagi non-muslim

yang melakukan Jarimah bersama-sama dengan orang islam di Aceh”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi

masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana mekanisme penundukan diri bagi non-muslim yang

melakukan Jarimah bersama-sama dengan orang beragama Islam?

2. Bagaimana efektifitas penunduk bagi non-muslim yang melakukan

Jarimah bersama-sama dengan orang Islam?

7
Karmiadi, 2021, Non-muslim di Aceh Tengah Terima 40 kali cambukan,
https://www.instagram.com/p/CXlEktpQeAOFJjwLlOK3GwxxtqeKyUdcMB300/?utm_medium=cop
y_link, (diakses 18/12/2021).
6

C. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian

Ruang lingkup penulisan dibatasi pada hukuman cambuk bagi non-

muslim yang melakukan jarimah bersama orang muslim di Aceh.

Berdasarkan ruang lingkup, maka yang menjadi tujuan penelitian ini ialah:

1. Untuk mengetahui mekanisme penundukan diri bagi non-muslim yang

melakukan Jarimah bersama-sama dengan orang beragama islam.

2. Untuk mengetahui efektifitas penundukan diri bagi non-muslim yang

melakukan Jarimah bersama-sama dengan orang islam.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

dalam perkembangan ilmu hukum pidana, khususnya pemahaman

tentang hukuman cambuk bagi non-muslim yang melakukan Jarimah

bersama-sama dengan orang islam.

2. Manfaat praktis, dapat dijadikan salah satu sumber bagi penegak

hukum atau pihak lain untuk memahami mekanisme penunduk bagi

non-muslim yang melakukan Jarimah bersama-sama dengan orang

beragama islam.
7

E. Keaslian Penelitian

Keaslian penelitian diperlukan sebagai bukti agar tidak adanya

plagiarisme antara penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan.

Kajian yang mempunyai keterkaitan dengan judul ini, ialah:

1. Sudirman Suparmin yang berjudul “Hukuman Cambuk Terhadap Non-

muslim Pelaku Jarimah Di Nanggroe Aceh Darussalam (Studi Putusan

No. 01/Jn/2016/Ms. Tkn)” masalah yang diteliti disini ialah bagimana

status non-muslim dalam Qanun Jinayah yang berlaku di Aceh, peneliti

menggunakan metode penelitian normatif, hasil dari penelitian ini

Pemberlakuan Qanun Jinayah meskipun terhadap non-muslim tentunya

hal ini sesuai dengan kemashlahatan bersama dan untuk menciptakan

ketentraman masyarakatanya, sehingga tujuan dalam penerapan qanun

jinayat dapat akan terlaksana dengan baik dan sempurna, Yang

membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya ialah metode

penelitian yang digunakan.8

2. Syarifah Rahmatillah yang berjudul “Formulasi Hukuman Cambuk

Dalam Qanun Provinsi Aceh Menurut Tinjauan Kebijakan Hukum

Pidana Dan Hak Asasi Manusia” masalah yang diteliti disini ialah

bagaimana justifikasi perumusan hukuman cambuk dalam qanun

Provinsi Aceh ditinjau dari perspektif kebijakan hukum pidana dan

HAM. Penelitian ini menggunakan metode normatif. Hasil dari

penelitian ini Bahwa hukuman cambuk tidaklah melanggar asas hak


8
Suparmin, Sudirman, Hukuman Cambuk Terhadap Non Muslim Pelaku Jarimah di
Nanggroe Aceh Darussalam (Studi Putusan No. 01/Jn/2016/Ms. Tkn), Jurnal Analytica Islamica, Vol.
6 No. 2, Juli-Desember 2017
8

asasi manusia, mengingat pasal 1 konvensi menentang penyiksaan dan

perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan

merendahkan martabat manusia, Yang membedakan penelitian ini

dengan penelitian sebelumnya ialah metode penelitian yang digunakan.9

3. Taryadi yang berjudul “Efektifitas Pelaksanaan Eksekusi Hukuman

Cambuk Terhadap Pelaku Jinayat Di Kabupaten Aceh Tamiang Dalam

Perspektif Qanun Hukum Acara Jinayah” Tujuan penelitian untuk

mengetahui pengaturan pelaksanaan eksekusi hukuman cambuk

berdasarkan Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2013, Penelitian ini

menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan Juridis normatif,

serta penelitian lapangan. Hasil penelitian bahwa pengaturan

pelaksanaan eksekusi hukuman cambuk berdasarkan Qanun Aceh

Nomor 7 Tahun 2013 diatur dalam Pasal 247, 252 dan 252 yaitu jaksa

penuntut umum memiliki kewenangan untuk melaksanakan

pencambukan dengan berkoordinasi dengan Dinas Wilayatul Hisbah

dalam pelaksanaan eksekusi.10

Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu dari segi

observasi penerapan hukum jambuk bagi Non-muslim yang berada di Aceh

khususnya. Yang lebih menekan kepada keefektifan pengimplementasian

9
Rahmatillah, Syarifah, Formulasi Hukuman Cambuk Dalam Qanun Provinsi Aceh Menurut
Tinjauan Kebijakan Hukum Pidana Dan Hak Asasi Manusia. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. 2012
10
Taryadi, Efektifitas Pelaksanaan Eksekusi Hukuman Cambuk Terhadap Pelaku Jinayat Di
Kabupaten Aceh Tamiang Dalam Perspektif Qanun Hukum Acara Jinayah, Jurnal Hukum Samudra
Keadilan Volume 15, Nomor 2, Juli-Desember 2020
9

hukuman cambuk bagi non-muslim yang melakukan jarimah bersama–sama

dengan orang islam di Aceh.

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian terhadap putusan hukuman

cambuk karena telah melanggar syariat islam. Penelitian ini berjenis

penelitian hukum emperis dengan pendekatan yuridis empiris, sumber data

yang digunakan ialah data primer dan lapangan yaitu dari responden atau

informan. Data sekunder yaitu peraturan perundang-undangan, putusan dan

dokumen hukum. Teknik pengumpulan data dengan cara wawancara dan

observasi. Data yang ada dikumpulkan secara sistematis dan dianalisis

kemudian diambil kesimpulan dari hasil analisis tersebut.

2. Tahap dan Bahan Penelitian

Tahapan penelitian adalah level atau tingkatan yang bisa juga disebut

tingkatan dalam suatu gerakan pemeriksaan. Dimana tahapan-tahapan

tersebut memiliki proses yang diselesaikan dengan cara yang terorganisir,

dapat dipahami, standar, konsisten dan efisien.11

Tahapan penelitian mencakup langkah-langkah pelaksanaan dari awal

sampai akhir, Adapun Langkahnya menggukan bahan hukum primer, yaitu

data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian dilapangan atau

dilokasi penelitian, baik dengan cara mengambil data maupun wawancara.12

11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press,
2004, hlm 51.
12
M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2002, hlm 11.
10

Bahan yang digunakan ialah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

Undang-Undang Hukum Pidana di luar KUHP, Qanun Aceh No.6 Tahun

2014 tentang Hukum Jinayat.

3. Alat dan Teknik Pengumpulan Data

Alat pengumpulan informasi yang digunakan adalah studi laporan

(perpustakaan), (penelitian) seperti Undang-Undang, karya logis, buku, dan

bahan lainnya yang relevan dengan topik penelitian.13

Teknik pengumpulan informasi merupakan tahapan penting dalam

mengarahkan pemeriksaan, karena informasi yang dikumpulkan akan

digunakan sebagai bahan penyelidikan dalam penelitian. Strategi yang

digunakan dalam pemeriksaan subjektif ini adalah triangulasi prosedur, yaitu:

a. Penelitian kepustakaan, yaitu dengan menelaah bahan hukum sekunder

berupa Undang-Undang, buku-buku, teori dan pendapat para sarjana.

b. Observasi atau pengamatan merupakan suatu cara mengumpulkan data

dengan mengadakan pengamatan terhadap kasus yang diteliti. Jadi dalam

observasi ini menggunakan data-data yang ada di instansi yang akan

menjadi lokasi penelitian.

4. Lokasi dan Populasi

a. Lokasi

Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Mahkamah

Syari’ah Aceh.

b. Populasi

13
Ibid, hlm 60.
11

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang

ingin meneliti secara keeluruhan yang ada dalam wilayah penelitian.

Sedangkan menurut Mauludi populasi adalah himpunan sebuah individu

atau objek yang menjadi sebuah bahan pembicaraan atau bahan penelitian.

Populasi yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Mahkamah syari’ah Banda Aceh

2) Satpol PP & WH Banda Aceh

3) Kejaksaan Negeri Banda Aceh

5. Analisis Data Pelaku Jinayah

Analisis yang digunakan dalam penelitian ulasan ini menggunakan

metode analisis yang bersifat kualitatif, khususnya dengan melakukan

interpretasi (pemahaman) terhadap bahan-bahan hukum yang telah ditangani.

Pemanfaatan teknik interpretasi (pemahaman) ini diharapkan dapat

menguraikan hukum.14

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika Pembahasan adalah suatu sistematika yang

menggambarkan antara pembahasan-pembahasan khusus yang merupakan

arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang digunakan dalam penulisan dan

penelitian atau apa yang di teliti.

1. Pengertian Jarimah tersebut tidak berbeda dengan pengertian tindak

pidana, (peristiwa pidana, delik) dalam hukum pidana positif.

Perbedaannya hanyalah bahwa hukum positif mengklasifikasikan

14
Ibid, hlm 74.
12

antara kejahatan dan pelanggaran melihat berat dan ringannya

bukuman, sedangkan syari'at Islam tidak membedakannya, semuanya

disebut Jarimah atau jinayat mengingat sifat pidananya.

2. Non-muslim ialah orang yang tidak memeluk agama islam sebagai

keyakinannya dalam beragama.

3. Hukuman cambuk ialah hukuman yang terdapat di dalam Qanun

Jinayat yang mengatur tentang perbuatan yang dilarang Syari’at Islam

dan tentang hukuman yang dijatuhkan hakim untuk pelaku.


BAB II

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HUKUM JINAYAT BAGI PELAKU


JARIMAH NON ISLAM

A. Istilah dan Pengertian Jarimah

Menurut bahasa kata Jarimah berasal dari kata jarama kemudian bentuk

masdarnya adalah jaramatan yang artinya perbuatan dosa, perbuatan salah, atau

kejahatan. Jarimah adalah perbuatan yang menyimpang dan kebenaran,

keadilan, dan jalan yang lurus (Agama). Sedangkan secara istilah,

mengemukakan bahwa jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh

Syara’ yang diancam dengan hukuman had atau ta‘zir, Pengertian jarimah

tersebut tidak berbeda dengan pengertian tindak pidana, (peristiwa pidana,

delik) dalim hukum pidana positif. Perbedainnya hanyaluh buhwa hukum

positif mengklasifikasikan antara kejahatan dan pelanggaran melihat berat dan

ringannya hukuman, sedangkan syari'at Islam tidak membedakannya,

semuanya disebut Jarimah atau jinayat. Pelakunya dinamakan dengan furim,

dan yang dikenai perbuatan itu adalah mujaram alaih Sedangkan yang

dimaksud dengan jarimah menurut istilah para fuqaha adalah Larangan-

larangan syara' yang diancamkan oleh Allah dengan hukuman hadd atau

ta’zir.15

Dalam istilah lain kata jarimah disebut juga jinayah mempunyai

beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan Abdul Qodir Audah pengertian

jarimah adalah Suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik

15
Mohammad Daun Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Ed. 6,
Rajawali Pers, Jakarta, 2005, hlm 59.

13
14

perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya. Imam al-Mawardi

memberikan definisi jarimah adalah perbuatanperbuatan yang dilarang oleh

agama (syara') yang diancam dengan hukuman hadd atau ta’zir

Para fuqaha sering kali memakai kata-kata jinayah untuk Jarimah.

Yang dimaksud dengan kata jinayah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara'

baik perbuatan itu mengenai (merugikan) jiwa atau harta benda atau pun lain-

lainnya. Akan tetapi, para fuqaha memakai kata-kata jinayah hanya untuk

perbuatan yang mengenai jiwa orang atau anggota badan Ada pula golongan

fuqaha yang membatasi pemakaian kata-kata jarimah kepada Jarimah hudud

dan gisha saja.16

Para ulama menggunakan istilah jarimah bisa dalam dua arti, yakni arti

luas dan arti sempit. Dalam arti luas, jarimah merupakan perbuatan-perbuatan

yang dilarang oleh Syara’ dan dapat mengakibatkan hukuman had (hukuman

yang ada ketentuan nashnya seperti hukuman bagi pencuri, pembunuh, dan

lainya), atau ta’zir (hukuman yang tidak ada ketentuan nashnya seperti

pelanggaran lalu lintas, percobaan melakukan tindak pidana dan lainnya).

Dalam arti sempit, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh

Syara’ dan dapat menimbulkan hukuman had, bukan ta’zir. Pengertian

"jinayah" atau "jarimah" tidak berbeda dengan pengertian tindak pidana

(peristiwa pidana); delik dalam hukum positif (pidana).

Tujuan Hukum Islam sejalan dengan tujuan hidup manusia serta potensi

yang ada dalam dirinya dan potensi yang datang dari luar dirinya, yakni

16
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Pustaka Setia, Bandung, 2000.
15

kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat, atau dengan ungkapan

yang singkat, untuk kemaslahatan manusia. Tujuan ini dapat dicapai dengan

cara mengambil segala hal yang memiliki kemaslahatan dan menolak segala

hal yang merusak dalam rangka menuju keridhaan Allah sesuai dengan prinsip

tauhid.

Dengan mengesampingkan perbedaan pemakaian kata-kata jinayah

dikalangan fuqaha, dapatlah pemales katakan bahwa kata-kata jinayah dalam

istilah fuqaha sama dengan kata-kata Jarimah Suatu perbuatan dianggap

Jarimah apabila dapat merugikan tata aturan masyarakat, atau kepercayaan-

kepercayaannya atau merugikan kehidupan masyarakat, baik berupa benda,

nama baik, atau perasaannya dengan pertimbangan-pertimbangan yang lain

yang harus dihormati dan dipelihara.17

Mengenai jenis ‘uqubat, di dalam Al-Qur`an sudah disebutkan beberapa

jenis seperti; ‘uqubat mati (qishash), ‘uqubat amputasi (potong tangan),

‘uqubat penjara (kurungan dalam rumah, diasingkan), ‘uqubat cambuk dan

‘uqubat diyat (semacam ganti rugi yang dibayarkan pelaku kepada korban

penganiayaan atau keluarga korban pembunuhan) dan ‘uqubat denda.

Suatu bakaran dibuat agar tidak terjadi Jarimah atau pelanggaran dalam

kehilapan masyarakat sebab dengan larangan-larangan. Meskipun hukuman itu

dirasakan kejam bagi pelaku, namun hukuman itu sangat diperlukan karena

dapat menciptakan ketenteraman dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat

17
Ibid, hlm 26.
16

karena dasar pelanggaran suatu perbuatan itu adalah pemelihatan kepentingan

masyarakat itu sendiri.

B. Unsur-Unsur Jarimah

Telah disebutkan di atas bahwa, Jarimah itu merupakan larangan-

larangan syara' yang diancamkan dengan hukuman hadd atau ta'zir. Dengan

menyebutkan kata-kata syara' dimaksudkan bahwa larangan-larangan harus

datang dari ketentuan-ketentuan (nash-nash) syam'. Dan berbuat atau tidak

berbuat baru dianggap sebagai Jarimah apabila diancamkan hukuman

kepadanya. Karena perintah perintah dan larangan-larangan tersebut datang

dari syara', maka perintah-perintah dan larangan-larangan tersebut hanya

ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat dan dapat memahami

pembebanan (taklif) dan orangnya disebut mukallaf. Mukallaf ialah seorang

muslim yang telah akil baligh (dewasa). Dalam Ushul Fiqih mukallaf disebut

juga al-mahkum alaihi (subyek hukum) yaitu orang yang telah dianggap

mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT

maupun dengan larangannya sebab pembebanan itu artinya panggilan, dan

orang yang tidak dapat memahami seperti hewan dan benda-benda mati tidak

mungkin menjadi obyek panggilan tersebut.18

Qanun Jinayat Aceh Nomor 6 Tahun 2014 pasal 67 menyebutkan

bahwa apabila anak yang telah mencapai umur 12 tahun tetapi belum mencapai

umur 18 tahun atau belum menikah melakukan jarimah, maka terhadap anak

tersebut dapat dikenakan uqubah paling banyak 1/3 (satu per tiga) dari uqubah

18
Ibid, hlm 35.
17

yang telah ditentukan bagi orang dewasa dan atau dikembalikan kepada

orangtuanya atau walinya atau ditempatkan di tempat yang disediakan oleh

pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten atau kota. Hukum pidana dalam

Islam terbagi atas tiga bagian:

1. Jarimah hudud.

Jarimah yang bentuknya telah ditentukan syara sehingga terbatas

jumlahnya, serta telah ditentukan hukuman bagi pelaku secara jelas,

baik melalui Al-Qur’an maupun As-sunnah. Jarimah ini termasuk

dalam jarimah yang menjadi hak Allah, pada prinsipnya adalah jarimah

yang menyangkut masyarakat banyak, yaitu untuk memelihara

kepentingan, ketenteraman, dan keamanan masyarakat.

2. Jarimah Qishash atau Diyat.

Jarimah qishash atau diyat terdapat keterbatasan atas hukuman yang

diterapkan yang tidak mengenal batasan tertinggi maupun terendah

karena hukuman untuk jarimah ini hanya satu untuk setiap jarimah.

Jarimah qishash atau diyat menjadi hak perseorangan atau hak adami

yang membuka kesempatan pemaafan bagi si pembuat atau pelaku

kepada orang yang menjadi korban, wali, atau ahli warisnya. Maka

korban atau ahli warisnya dapat memaafkan perbuatan si pelaku, yang

dapat meniadakan qishash, dan menggantinya dengan diyat atau

meniadakan diyat sama sekali. 19

3. Jarimah ta’zir,

19
Ibid, hlm 47.
18

Jaimah ta’zir merupakan ketentuan hukum yang diserahkan kepada hak

adami atau penguasa yang mengatur tentang larangan atau perintah

serta hukuman yang diberikan kepada pelaku, jarimah ini berkaitan

dengan perkembangan masyarakat serta kemaslahatannya.

Pada hakikatnya, di lihat dari karakter atau sifat dari pelanggaran dan

perbuatan pada ketiga pembagian jarimah tersebut, maka hanya jarimah

ta’zir yang dapat dianggap sesuai dengan delik-delik hukum pidana.

Sementara itu jarimah hudud dan jarimah qishash atau diyat lebih kepada

hak Allah yang tidak mungkin diubah atau dikurangi oleh manusia.

Suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-

unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang

khusus.Adapun yang termasuk dalam unsur-unsur umum jarimah adalah

sebagai berikut:

1. Unsur Formil (adanya undang-undang atau nash)

Unsur formil adalah nas yang melarang perbuatan dan

mengancamkan hukuman terhadapnya.Suatu perbuatan dapat disebut

pelanggaran terhadap syari’at manakalaperbuatan tersebut telah

terkandung pelanggaran terhadap ketentuanyang telah ditetapkan.

Ketentuan yang telah ditetapkan tersebut mencakup ketentuan syari’at

yang ditetapkan oleh Allah maupun ketetapan hukum yang dibuat

oleh manusia seperti perundang-undangan. Sebagaimana ditegaskan

oleh Allah dalam salah satu firman-Nya Q.S. Al-Isra’ ayat 15:
19

Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah

(Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan)

dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia

tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa

tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab

sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”20

2. Unsur Materiil (Sifat Melawan Hukum)

Unsur materiil adalah adanya tingkah laku yang membentuk

jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyata ataupun sikap tidak

berbuat. Unsur materiil meliputi perbuatan yang melawan hukum.

Secara sederhana, perbuatan dalam unsur materiil dapat disebut

sebagai tindak pidana (jarimah) manakala dalam perbuatan yang

dilakukan tersebut terkandung unsur melawan hukum. Aspek

melawan hukum dalam hukum pidana Islam dapat dinilai dari niat,

perbuatan, dan akibat yang dihasilkan dari perbuatannya. Meskipun

dalam berbuat untuk mewujudkan niatnya tersebut belum mencapai

hasil akhir sesuai niat, tidak selesainya perbuatan, namun jika dalam

perbuatan yang belum selesai tersebut telah menimbulkan akibat yang

dapat merugikan orang lain, baik karena sengaja maupun tidak

20
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, CV. Toha Putra,
Semarang, 2020, hlm 513.
20

sengaja, maka tindakan tersebut dapat disebut sebagai tindakan

melawan hukum.21

3. Unsur Moril (pelakunya mukallaf)

Unsur moril (rukun adabi) yakni pembuat, adalah seorang

mukallaf, orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap

jarimah yang diperbuatnya. Perbuatan yang dapat dikategorikan

sebagai tindak pidana (jarimah) adalah perbuatan yang dilakukan oleh

orang yang telah mukallaf. Secara garis besar, mukallaf adalah orang

yang telah mengetahui hukum dan memiliki tanggung jawab hukum.

Batasan mengetahui tidak hanya terbatas pada hakekat mengetahui

semata namun mencakup kemungkinan untuk mengetahui.

Maksudnya adalah apabila seseorang telah mukallaf dan tinggal di

sebuah wilayah Islam, maka ia tidak dapat mengajukan alasan tidak

mengetahui karena adanya kemungkinan untuk mengetahui hukum

tersebut. Seorang dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban dengan

sebab tidak mengetahui hukum manakala ia berada di wilayah

pedalaman dan tidak pernah bergaul dengan orang Islam atau

seseorang yang baru masuk Islam dan baru tinggal sebentar di

wilayah muslim.

Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa unsur-unsur Jarimah

secara umum yang harus dipenuhi dalam menetapkan suatu perbuatan Jarimah

yaitu:

21
Ahmad Wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika Offset,
Jakarta, 2004. Hlm 26.
21

1. Unsur formil (rukun syar') yakni adanya nash yang melarang

perbuatan dan mengancam hukuman terhadapnya

2. Unsur materil (rukun maddi) yakni adanya tingkah laku yang

membentuk Jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyata ataupun

sikap tidak berbuat.

3. Unsur moril (rukun adabi) yakni pembuat adalah seorang muallaf

(orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban terhadap Jarimah

yang di perbuatannya).22

Efektivitas tolak ukur dalam penegakan hukum dapat diukur

menggunakan lima hal yakni:23

1. Faktor Hukum
Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam
praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian Hukum
sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak
sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara
penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak
tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum
setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah
semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja.
2. Faktor Penegakan
Hukum Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian
petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan
sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Selama ini
ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk
mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya
hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak
hukum. Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul
persoalan karena sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui
wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan

22
Ibid, hlm 47.
23
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta,
2004, hlm 40.
22

wibawa penegak hukum. Hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah
dari aparat penegak hukum tersebut.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan
perangkat keras, Menurut Soerjono Soekanto bahwa para penegak
hukum tidak dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan
kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Oleh karena itu,
sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam
penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak
akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya
dengan peranan yang aktual.
4. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau
kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum. Persoalan
yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum
yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum
masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator
berfungsinya hukum yang bersangkutan.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum
yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsikonsepsi yang
abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa
yang dianggap buruk (sehinga dihindari). Maka, kebudayaan Indonesia
merupakan dasar atau mendasari hukum adat yang berlaku. Hukum
perundang-undangan tersebut harus dapat mencerminkan nilai-nilai
yang menjadi dasar dari hukum adat, agar hukum perundang-undangan
tersebut dapat berlaku secara aktif.
Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor penegakan

hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik

undang-undangnya disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun

dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga

merupakan panutan oleh masyarakat luas.


23

C. Qanun Jinayat di Aceh

Istilah Qanun sudah lama digunakan dalam bahasa atau budaya melayu.

“Kitab Undang-Undang Melaka" yang disusun pada abad ke XV atau dalam

budaya melayu digunakan semakna dengan adat dan biasanya dipakai untuk

membedakan antara hukum yang tertera dalam adat dengan hukum yang yang

tertera dalam kitab Fiqih. Dalam literatur melayu Qanun diartikan sebagai

aturan yang berasal dari hukum Islam yang telah menjadi adat.24

Dalam bahasa Aceh istilah Qanun relatif populer dan tetap digunakan

didalam masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa qanun merupakan suatu aturan

yang dipertahankan dan diberlakukan oleh seorang sultan dalam wilayah

kekuasaannya yang bersumber dalam hukum Islam. Dalam perkembanganya

qanun dapat juga disebut suatu istilah untuk menjelaskan aturan yang berlaku

ditengah masyarakat yang merupakan penyesuaian dengan kondisi setempat.

Sekarang ini qanun digunakan sebagai istilah untuk Peraturan “Daerah

Khusus" atau lebih tepatnya peraturan daerah yang menjadi peraturan

pelaksana langsung untuk Undang-Undang (dalam rangka otonomi khusus di

propinsi Aceh). Hal ini dijelaskan dalam pasal 1 No. 8 "ketentuan umum"

dalam Undang-Undang No 18 Tahun 2001. Dalam undang-undang ini qanun

dirumuskan sebagai berikut: Qanun Provinsi Aceh adalah peraturan Daerah

sebagai pelaksana Undang-Undang di wilayah Provinsi Aceh dalam rangka

peyelenggaraan otonomi khusus.25

24
Al Yasa’ Abubakar, Hukum Pidana Islam Di NAD, Dinas Syari’at Islam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, 2006, hlm 3.
25
Amirul Hadi, Aceh Sejarah, Budaya, dan Tradisi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
Jakarta, 2010, hlm 47.
24

Sejak dimulainya penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan

Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 sudah banyak Qanun yang disahkan .

Menurut sumber dari seketariat DPRD Propinsi Aceh, sampai Agustus 2004

telah dihasilkan 49 Qanun yang mengatur berbagai materi untuk

merealisasikan kewenangan khusus yang diserahkan pemerintah kepada

pemerintah provinsi Aceh dalam pelaksanaan syari'at Adanya Undang-Undang

No. 44 Tahun 1999 diberikan kewenangan untuk melakukan, menindak secara

hukum postif terhadap pelanggaran-pelanggaran jinayat tiga pelanggaran

syariat Islam, terutama dalam Qanun yang diberlakukan oleh pemerintah Aceh

saat ini berkaitan atas penindakan hukum jinayat. Pertama qanun perjudian,

kemudian qanun khamar dan disusul qanun khalwat.26

Dari ketentuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khsusus yang

berkaitan dengan kewenangan pemerintah pusat akan diatur dengan

peraturan pemerintah.

2. Undang-Undang telah menetapkan Qanun provinsi sebagai peraturan

pelaksana untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang menjadi

kewenangan pemerintah provinsi.

H. R. W. Gokkel dan N. Van De Wal, mengartikan Qanun dengan

“regel van canoniek recht”. Dari rumusan tersebut, Qanun merupakan regel

(peraturan) yang bersumber dari hukum kanonik. Tekanan kepada regel dari

hukum kanonik, memberi arti pula bahwa Qanun itu hanya dapat dikaitkan

26
Muhammad Ali, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh Problem Solusi dan Implementasi,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010, hlm 58-60.
25

kepada hukum kanonik. Yang dimaksud hukum kanonik di sini tidak lain dari

“Kerkelijk Recht”, perkataan kerkelijk Recht itu menunjukkan bahwa Qanun

berarti hukum Islam. Pengkaitan qanun kepada agama menunjukkan pula

bahwa Qanun itu merupakan aturan hukum yang tidak terikat pada suatu

wilayah Negara, akan tetapi semata-mata dikaitkan kepada agama.27

Syari’at Islam diberlakukan dan mendapat legalitas dalam wilayah

hukum Provinsi Aceh karena didukung oleh sosio-kultural dan historis

masyarakatnya, Syari’at bagi masyarakat Aceh merupakan peraturan agama

yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk kaum muslimin, baik yang ditetapkan

dengan Al-Qur’an maupun dengan Sunnah Rasul SAW. Syari’at Islam

merupakan keseluruhan peraturan atau hukum yang mengatur tata hubungan

manusia dengan Allah SWT, manusia dengan manusia, manusia dengan alam

(lingkungannya) dengan tujuan terciptanya kemaslahatan serta kebaikan hidup

umat manusia di dunia dan akhirat.

Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat

memperkenalkan hukuman hudud dan ta’zir, sedangkan qisahah-diyat tidak

diatur, karena Jarimah pembunuhan dan penganiayaan belum diatur dalam

Qanun Hukum Jinayah. Qanun Hukum Jinayat mengatur tentang perbuatan

yang dilarang Syari’at Islam dan tentang hukuman yang dijatuhkan hakim

untuk pelaku. Hukuman yang dikenakan kepada setiap orang yang melanggar

Qanun Jinayat adalah hukuman cambuk atau denda berupa emas atau penjara.

Banyaknya jumlah dera bagi hukuman cambuk tergantung dari tingkat

27
T. junet, Qanun Arti dan Perkembangannya, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala,
Banda Aceh, 1994, hlm 13.
26

kesalahan. Paling ringan sepuluh kali atau denda 100 gram emas atau penjara

10 bulan dan paling berat adalah 200 kali dera atau denda 2000 gram emas atau

penjara 200 bulan.28

Uqubah hudud berbentuk hukuman cambuk, sedangkan uqubah ta’zir

terdiri atas dua yaitu uqubah ta’zir utama dan uqubah ta’zir tambahan, uqubah

ta’zir utama terdiri atas cambuk, denda, penjara dan restitusi. Uqubah ta’zir

tambahan terdiri atas pembinaan oleh negara, restitusi oleh orang tua/wali,

pengembalian kepada orang tua, pencabutan hak, perampasan barang-barang

tertentu dan kerja sosial.29

Hukuman cambuk merupakan sejenis hukuman badan yang dikenakan

atas terhukum dengan cara mencambuk badannya. Pelaksanaan cambuk adalah

kewenangan dan tanggung jawab jaksa. Pencambukan dilakukan setelah

putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap yang berpedoman pada

ketentuan yang diatur dalam dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang diatur

dalam Qanun tentang hukum formil.

Terdapat beberapa perbedaan antara hukum acara jinayah/formil

dengan hukum acara pidana pada umumnya yang dimana diantaranya adalah:

a. Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu

perkara jinayat atas dasar permohonan si pelaku jarimah.

b. Penahanan yang dilakukan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan

dan pemeriksaan Mahkamah, hanya dapat dilakukan dalam hal adanya

28
Al Yassa Abu bakar, Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma,
Kebijakan dan Kegiatan, Dinas Syariat Islam Proninsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh,
2006, hlm 30.
29
Danial, Pelaksanaan Syariat Islam dan Kekerasan di Aceh, Jurnal Kajian Aceh, Vol 3
2007, hlm 60.
27

keadaan yang nyata-nyata menimbulkan kekhawatiran bahwa

tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan

barang bukti dan/atau mengulangi jarimah

c. Penggunaan kata atau lafazh sumpah diawali dengan “Basmallah” dan

“Wallahi”

d. Penyidik dapat menerima penyerahan perkara dari petugas Wilayatul

Hisbah

e. Adanya perbedaan alat bukti untuk beberapa jenis jarimah

f. Memperkenalkan penjatuhan ’uqubat secara alternatif antara penjara,

cambuk, dan denda dengan perbandingan 1 (satu) bulan penjara

disetarakan dengan 1 (satu) kali cambuk atau denda 10 (sepuluh)

gram emas murni.

Pada huruf (f) disebutkan bahwa 1 kali cambukkan disamakan/

digantikan dengan 1 bulan penjara atau denda 10 gram emas. Bermakna bahwa

terdapat multi sistem dalam pelaksanaan penjatuhan hukum terhadap pelaku

jinayah. Kemudian dalam Qanun jinayah menyebutkan juga hal sama yang

disebutkan bahwa:

a. Ketentuan “Uqubat Ta’zir” yang ada dalam qanun lain, sebelum

qanun ini ditetapkan, disesuaikan dengan ‘Uqubat dalam Qanun ini.

b. Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan

perhitungan, cambuk 1 (satu) kali disamakan dengan penjara 1

(satu) bulan, atau denda 10 (sepuluh) gram emas murni


28

c. Dalam hal ‘Uqubat dalam qanun lain sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) bersifat alternatif antara penjara, denda atau cambuk, yang

dijadikan pegangan adalah “Uqubat cambuk”

d. Dalam hal “Uqubat” dalam Qanun lain sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) bersifat alternatif antara penjara atau denda, yang

dijadikan pegangan adalah penjara.

Posisi non-muslim dalam Qanun Jinayat sudah disebutkan dalam

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan (UUPA). Pasal 126

UUPA menyebutkan bahwa “Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib

menaati dan mengamalkan syariat Islam” (ayat 1) dan “Setiap orang yang

bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat

Islam” (ayat 2).30

Pasal 129 UUPA tersebut lebih menegaskan lagi posisi non-muslim.

Dalam ayat (1) pasal ini menyatakan: “Dalam hal perbuatan jinayah yang

dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang diantaranya

beragama bukan Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih atau

menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah”. Dalam ayat (2)

dikemukakan: “Setiap orang yang beragama bukan Islam melakukan perbuatan

jinayah yang tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan pidana di luar KUHP

berlaku hukum jinayah”.

Ketentuan dalam UUPA ini kemudian diturunkan ke dalam Qanun

Jinayat. Dalam Pasal 5 dikemukakan bahwa Qanun Jinayat berlaku untuk:

30
Ali Abubakar, Kedudukan Non-Muslim Dalam Qanun Jinayat, Rumoh Cetak, Banda
Aceh, 2020, hlm 78.
29

1. Setiap Orang beragama Islam yang melakukan Jarimah di Aceh.

2. Setiap Orang beragama bukan Islam yang melakukan Jarimah di Aceh

bersama-sama dengan orang Islam dan memilih serta menundukkan diri

secara sukarela pada Hukum Jinayat.

3. Setiap Orang beragama bukan Islam yang melakukan perbuatan Jarimah

di Aceh yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) atau ketentuan pidana di luar KUHP, tetapi diatur dalam Qanun

ini.

Dengan kata lain orang non-Muslim yang melakukan tindak pidana

(Jarimah) bersama-sama dengan warga Aceh beragama Islam. Dalam kasus

seperti ini non-muslim itu memilih dan menyatakan tunduk sukarela pada

Qanun Jinayah. Untuk ketentuan ini dapat dipahami bahwa 10 (sepuluh) sanksi

atas Jarimah yang diatur dalam Qanun Jinayat dapat dikenakan kepada Non-

muslim jika pelaku menyatakan menundukkan diri kepada ketentuan Qanun

Jinayat.31

31
Ibid, hlm 79.
BAB III

MEKANISME DAN EFEKTIFITAS PENUNDUKAN DIRI BAGI NON-


MUSLIM YANG MELAKUKAN JARIMAH BERSAMA-SAMA DENGAN
ORANG BERAGAMA ISLAM

A. Gambaran Umum Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh

Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh adalah salah satu peradilan khusus

yang berdasarkan Syari’at Islam di Provinsi Aceh sebagai Pengembangan dari

Peradilan Agama. Mahkamah Syar’iyah terdiri dari Mahkamah Syar’iyah

Provinsi dan Mahkamah Syar’iyah (tingkat kabupaten dan kota). Kekuasaan

Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi adalah kekuasaan dan

kewenangan Peradilan Agama dan Peradilan Tinggi Agama ditambah dengan

kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat

dalam bidang ibadah dan syari’at Islam yang ditetapkan dalam Qanun.

Pada masa-masa Reformasi lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus, telah memberikan hak kepada Provinsi Aceh untuk

membentuk Peradilan Syari’at Islam yang dilaksanakan Mahkamah Syar’iyah

dalam menglengkapi dan mendukung pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh

secara lebih sempurna, kemudian diganti oleh Undang-Undang No 4 Tahun

2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 128 ayat 4 “yang memberikan

kewenangan kepada masyarakat Aceh mengenai bidang hukum keluarga,

hukum perdata, hukum pidana dan yang berhubungan dengan ketentuan hukum

materil maupun hukum formil khususnya tentang perdata Islam.

30
31

Mahkamah Syar’iyah juga menganut 3 tingkat peradilan yakni tingkat

pertama kabupaten/kota, tingkat banding dan tingkat kasasi ke Mahkamah

Agung. Peradilan Syari’at Islam (Mahkamah Syar’iyah) merupakan bagian dari

sistem peradilan nasional dalam lingkungan Peradilan Agama yang diresmikan

dalam satu upacara pada tanggal 1 Muharram 1424 H/ 4 Maret 2003 M, sesuai

dengan Kepres No. 1 Tahun 2003 yang merupakan pengadilan bagi setiap

orang yang beragama Islam dan berada di Aceh (kewengan relatif).

Mahkamah Syar’iyah memiliki kewenangan absolut yaitu kewengan

badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang mutlak dan tidak

dapat diperiksa oleh pengadilan lain. Oleh karena itu, sudah pasti kekuasaan

dan kewenagan yang dimiliki Mahkamah Syar’iyah lebih luas dari kekuasaan

yang dimiliki Peradilan Agama. Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006

tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama

ditegaskan bahwa tugas dan wewenang Peradilan Agama adalah memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan ditingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Infaq,

Sedekah dan Ekonomi Syariah.

B. Gambaran Umum Kejaksaan Kota Banda Aceh

Kejaksaan Tinggi adalah Kejaksaan di Ibukota Propinsi dengan daerah

hukum meliputi wilayah Propinsi yang bersangkutan. Kepala Kejaksaan Tinggi

dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang Wakil Kepala Kejaksaan

Tinggi dan dibantu oleh beberapa orang unsur pembantu pimpinan dan unsur

pelaksana. Melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di


32

daerah hukum Kejaksaan Tinggi yang bersangkutan sesuai dengan peraturan

perundangan-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa serta

tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. Fungsi dari kesajaksaan

tinggi ialah untuk merumusan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijaksanaan

teknis pemberian bimbingan dan pembinaan serta pemberian perijinan sesuai

dengan bidang tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan

kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. Menyelengaraan dan

pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana, pembinaan manajemen,

administrasi, organisasi dan tatalaksanaan serta pengelolaan atas milik negara

menjadi tanggung jawabnya. Melaksanakan penegakan hukum baik preventif

maupun yang berintikan keadilan di bidang pidana. Melaksanakan pemberian

bantuan di bidang intelijen yustisial, dibidang ketertiban dan ketentraman

umum, pemberian bantuan, pertimbangan, pelayanan dan penegaakan hukum

di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan hukum dan tugas lain,

untuk menjamin kepastian hukum, kewibawaan pemerintah dan penyelamatan

kekayaa negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan

yang ditetapkan Jaksa Agung. Menempakan seorang tersangka atau terdakwa

di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak

berdasarkan penetapan Hakim karena tidak mampu berdiri sendiri atau

disebabkan hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau

dirinya sendiri. Memberikan pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah,

penyusunan peraturan perundang-undangan serta peningkatan kesadaran

hukum masyarakat. Mengkoordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk


33

teknis serta pengawasan, baik di dalam maupun dengan instansi terkait atas

pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan

dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. Saat ini Kepala

Kejaksaan Negeri ialah Erwin Desman, S.H., M.H. Kejaksaaan Tinggi Aceh

beralamat di Jl. Tgk. Mohd. Daud Beureueh No. 18 Banda Aceh, telp. 0651-

21270, piket: 0651- 22240/0651.

C. Gambaran Umum WH dan Satpol PP Banda Aceh

Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah mempunyai tugas

melaksanakan Urusan Pemerintahan bidang penegakan Qanun dan Syariat

Islam, Ketenteraman, Ketertiban Umum, Perlindungan Masyarakat serta

hubungan antar lembaga yang menjadi kewenangan Kota dan Tugas

Pembantuan yang diberikan kepada Kota. Untuk melaksanakan tugas

sebagimana dimaksud, Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah

mempunyai fungsi yaitu menyusunan program dan pelaksanaan penegakan

Qanun dan Syariat Islam serta penyelenggaraan ketertiban umum dan

ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat, melaksanaan

kebijakan penegakan Qanun dan Syariat Islam serta Peraturan Walikota,

melaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman

masyarakat, melaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat, melaksanakan

koordinasi penegakan Qanun, Peraturan Walikota dan Syariat Islam serta

penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah,

dan/atau aparatur lainnya, mengawasi masyarakat, aparatur, atau badan hukum


34

agar mematuhi dan menaati Qanun dan Peraturan Walikota dan pelaksanaan

tugas lainnya yang diberikan oleh Walikota.

Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud, Satuan Polisi

Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah mempunyai kewenangan untuk

melakukan tindakan penertiban non yustisial terhadap warga masyarakat,

aparatur atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas peraturan

perundang-undangan daerah dan peraturan perundang-undangan di bidang

Syariat Islam, menindak warga masyarakat, aparatur atau badan hukum yang

mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dan pelanggaran

Syariat Islam, memfasilitasi pengembangan kapasitas sarana dan prasarana

pengembangan SDM, pelatihan anggota Satuan Polisi Pamong Praja dan

Wilayatul Hisbah serta penyelenggaraan perlindungan masyarakat, melakukan

tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap warga masyarakat, aparatur

atau badan hukum yang diduga telah melakukan pelanggaran atas peraturan

perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan di bidang Syariat

Islam, melakukan tindakan administrasi terhadap warga masyarakat, aparatur

atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas peraturan perundang-

undangan daerah dan peraturan perundang-undangan dibidang Syariat Islam,

melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, mengambil sidik jari dan

memotret seseorang, memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa

sebagai tersangka atau saksi, mendatangkan saksi dan ahli yang diperlukan

dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, menghentikan penyidikan

setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
35

tersebut bukan merupakan pelanggaran ketenteraman, ketertiban umum dan

syariat Islam dan memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum,

penyidik polisi, tersangka sendiri atau keluarganya, dan melakukan tindakan

lain sesuai dengan ketentuan hukum secara bertanggungjawab.

Saat ini Kasat Pol PP WH ialah Ardiansyah, S.STP, M.SI dan

Sekretaris Satpol PP dan WH ialah Mardansyah, S.Sos, ST, MM. Satpol PP

dan WH Banda Aceh beralamat di Jl. Tgk.Abu Lam U No.7, Banda Aceh,

23115

D. Mekanisme Penundukan diri Bagi Non-Muslim Yang Melakukan Jarimah

Bersama-Sama Dengan Orang Beragama Islam

Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh yang memeriksa dan mengadili

perkara Jinayat dengan acara pemeriksaan biasa pada peradilan tingkat pertama

telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara maisir terhadap 5

Terdakwa.

1 Nama Lengkap : Terdakwa X


Tempat Lahir : Banda Aceh.
Umur / Tanggal Lahir : 75 Tahun / 03 April 1945.
Jenis Kelamin : Perempuan.
Kebangsaan / : Indonesia.
Kewarganegaraan
Tempat Tinggal : Jalan TWK M Daud Syah No 63 Desa
Peunayong Kec. Kuta Alam Kota Banda
Aceh.
Agama : Budha.
Pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga.
Pendidikan : SD (Tidak Tamat).

2 Nama Lengkap : Terdakwa X.


Tempat Lahir : Banda Aceh.
Umur / Tanggal Lahir : 67 Tahun / 06 Juni 1963.
Jenis Kelamin : Perempuan.
Kebangsaan / : Indonesia.
36

Kewarganegaraan
Tempat Tinggal : Jalan Cinta Kasih 9 No. 34 Desa Panteriek
Kec. Lhueng Bata Kota Banda Aceh.
Agama : I s l a m.
Pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga.
Pendidikan : SD (Tidak Tamat).

3 Nama Lengkap : Terdakwa X


Tempat Lahir : Banda Aceh.
Umur / Tanggal Lahir : 47 Tahun / 23 November 1972.
Jenis Kelamin : Perempuan.
Kebangsaan / : Indonesia.
Kewarganegaraan
Tempat Tinggal : Jalan Tanoh Abee No. 25 Dusun Pocut
Meurah Inseun Desa Mulia Kec. Kuta Alam
Kota Banda Aceh.
Agama : Kristen.
Pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga.
Pendidikan : SMA (Tamat).

4 Nama Lengkap : Terdakwa X.


Tempat Lahir : Banda Aceh.
Umur / Tanggal Lahir : 57 Tahun / 24 Agustus 1963.
Jenis Kelamin : Perempuan.
Kebangsaan / : Indonesia.
Kewarganegaraan
Tempat Tinggal : Jl. Aneuk Galong GG Buntu No.01 Ds.
Kampung Mulia Kec. Kuta Alam Kota
Banda Aceh.
Agama : Budha.
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga.
Pendidikan : SD (Tamat).

5 Nama Lengkap : Terdakwa X.


Tempat Lahir : Banda Aceh.
Umur / Tanggal Lahir : 59 Tahun / 18 Juli 1960.
Jenis Kelamin : Perempuan.
Kebangsaan / : Indonesia.
Kewarganegaraan
Tempat Tinggal : Komplek Cinta Kasih Desa Panteriek Kec.
Lueng Bata Kota Banda Aceh.
Agama : Kristen.
Pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga.
Pendidikan : SD (Tamat).
37

Para terdakwa secara bersama-sama pada pada hari Jum’at tanggal 05

Juni 2020 sekira pukul 16.00 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain

masih dalam tahun 2020, bertempat Lantai II Toko Banda Motor di Jalan

TWK. Daudsyah Peunayong Kota Banda Aceh atau setidak-tidaknya pada

suatu tempat lain masih dalam wilayah hukum Mahkamah Syar’iyah Kota

Banda Aceh yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, yang

dengan sengaja melakukan Jarimah Maisir dengan nilai taruhan dan/atau

keuntungan paling banyak 2 (dua) gram emas murni (perbuatan yang

mengandung unsur taruhan dan/atau unsur untung-untungan yang dilakukan

antara 2 (dua) pihak atau lebih, di sertai kesepakatan bahwa pihak yang

menang akan mendapat bayaran/ keuntungan tertentu dari pihak yang kalah

baik secara langsung atau tidak langsung), Perbuatan para terdakwa

sebagaimana diatur dan diancam ‘Uqubat dalam Pasal 18 jo. Pasal 1 angka 22

Qanun Aceh Nomor : 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Terdakwa menyatakan telah mengerti akan isi dan maksud dakwaan

Penuntut Umum dan para Terdakwa menyatakan tidak mengajukan

keberatannya (eksepsi) atas dakwaan tersebut. Menimbang bahwa untuk

membuktikan dalil-dalil yang diuraikan dalam dakwaannya, Penuntut Umum

telah menghadirkan saksi-saksi yang masing-masing telah memberikan

keterangan dibawah sumpahnya.

Menimbang, bahwa terhadap semua keterangan saksi-saksi, para

Terdakwa membenarkannya. Menimbang, bahwa saksi bernama Imran bin

Marzuki yang turut melakukan penangkapan terhadap para Terdakwa tidak


38

dapat hadir karena tugas negara sebagai anggota Polisi, karena itu keterangan

saksi yang termuat dalam BAP penyidik dibacakan oleh penuntut umum di

persidangan, dan atas keterangan saksi yang dibacakan di persidangan tersebut

para Terdakwa membenarkannya. Menimbang, bahwa Jaksa Penuntut Umum

telah memperlihatkan barang bukti berupa:

1. 3 (tiga ) set kartu Joker yang sudah digunakan merk Full House.

2. Uang sejumlah Rp. 1.165.000,- (Satu juta seratus enam lima ribu

rupiah).

3. 1 (satu) buah meja bundar.

4. 5 buh kursi pelastik warna hijau.

Barang-barang bukti yang diperlihatkan di persidangan oleh penuntut

umum tersebut, para Terdakwa membenarkan dan mengakui bahwa barang-

barang bukti tersebut adalah barang-barang yang digunakan untuk sarana

melakukan jarimah maisir yaitu untuk bermain kartu Joker tersebut yang disita

petugas dari tempat kejadian perkara.

Oleh karena itu Majelis Hakim berkesimpulan bahwa unsur taruhan

atau untung-untungan yang nilai taruhannya paling banyak 2 gram emas murni

sebagaimana Pasal Pasal 1 angka 22 jo. Pasal 18 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun

2014 tentang Hukum Jinayat telah terpenuhi.

Pasal 1 angka 22 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum

Jinayat sebagai berikut;

“Maisir adalah perbuatan yang mengandung unsur taruhan dan/atau


unsur untung-untungan yang dilakukan antara 2 (dua) pihak atau lebih, disertai
kesepakatan bahwa pihak yang menang akan mendapat bayaran /keuntungan
tertentu dari pihak yang kalah baik secara langsung atau tidak langsung”.
39

Pasal 18 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat

sebagai berikut;

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah maisir dengan


nilai taruhan dan/ atau keuntungan paling banyak dari 2 (dua) gram emas
murni, diancam dengan ’Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 12 (dua belas)
kali atau denda paling banyak 120 (seratus dua puluh ) gram emas murni atau
penjara paling lama 120 (seratus dua puluh ) bulan”.
Dari kedua Pasal tersebut jika dipahami secara kombinasi maka Unsur-

unsur yang terdapat dalam dua pasal tersebut yaitu :

1. Unsur Setiap Orang

Unsur ini menghendaki kepada subjek hukum, sesuai ketentuan

Pasal 1 angka 38 jo. Pasal 5 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 dari kedua pasal

tersebut jika dipahami secara komulasi bahwa yang dimaksud unsur

“Setiap Orang” adalah orang perseorangan atau setiap orang beragama

Islam yang melakukan jarimah (tindak pidana) di Aceh, sehingga terhadap

orang tersebut dapat dimintakan pertanggung jawaban terhadap suatu

jarimah yang dilakukan. para Terdakwa dihadapan persidangan telah

membenarkan identitasnya sebagai Terdakwa sebagaimana yang tercantum

dalam surat dakwaan Penuntut Umum, demikian pula saksi-saksi juga

telah mengenali identitas para Terdakwa dalam perkara ini dan

dihubungkan pula dengan surat-surat berupa Fotokopi Kartu Tanda

Penduduk atas nama para Terdakwa (Terdakwa X). Dengan demikian

dakwaan Jaksa Penuntut umum tersebut telah didukung paling kurang dua

alat bukti yang sah sesuai ketentuan Pasal 180, Pasal 181 Qanun Nomor 7

Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, maka telah terbukti secara sah
40

dan meyakinkan bahwa para Terdakwa adalah orang dewasa (mukallaf)

yang dapat dibebani pertanggung jawaban hukum, beragama Islam, dan

dua orang beragama Budha dan dua orang beraga Kristen telah

menyatakan tunduk kepada Hukum Jinayah yang berlaku di Aceh. Dengan

demikian yang dimaksud dengan unsur "setiap orang" disini adalah para

Terdakwa (Terdakwa X) yang beragama Islam serta dua orang Budha dan

dua Kristen dan telah melakukan tindak pidana (jarimah maisir) di Aceh.

Berdasarkan uraian diatas, maka unsur “ setiap orang“ telah terpenuhi.

2. Dengan Sengaja Melakukan Jarimah Maisir.

Berdasarkan keterangan 3 orang saksi (Terdakwa X dan Imran bin

Marzuki) dimana keterangan-keterangannya saling berhubungan dan

menguatkan satu sama lainnya, dikaitkan dengan keterangan/ pengakuan

para Terdakwa di persidangan, dikaitkan pula dengan barang-barang bukti

yang diperlihatkan dipersidangan, dengan demikian dakwaan Penuntut

Umum telah didukung paling kurang dua alat bukti yang sah sesuai Pasal

180, Pasal 181 Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat,

karena itu dakwaan tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bahwa para Terdakwa (Terdakwa X) dengan sengaja, sadar dan tanpa

paksaan telah melakukan jarimah Maisir (permainan judi Tek Tek), unsur

tersebut terlihat dari para Terdakwa bahwa sebelum melakukan permainan

judi Tek tek mereka telah sepakat mengenai teknik permainan dan

besarnya nilai taruhan. Dengan demikian Majelis berkesimpulan unsur

sengaja melakukan perbuatan Maisir juga telah terpenuhi.


41

3. Unsur taruhan dan/ atau untung-untungan dengan nilai taruhan dan/atau

keuntungan paling banyak 2 (dua) gram emas murni.

Dari keterangan tiga orang saksi yang keterangannya berhubungan

satu dengan yang lainnya, dihubungkan dengan keterangan/pengakuan

para Terdakwa dihubungkan pula dengan barang-barang bukti, Terdakwa

I, Terdakwa II, Terdakwa III telah melakukan jarimah maisir (permainan

Judi Tek Tek) dengan cara:

a. Para Terdakwa duduk melingkar meja dari salah seorang pemain

mengocok kartu joker dan membagi kepada masing-masing pemain

sebanyak 5 (empat) lembar dan siapa yang mendapat angka yang

tertinggi jumlah 10 (empat satu) maka pemain tersebut dinyatakan

menang, yang kalah harus membayar kepada yang menang sesuai

kesepakatan yang dibuat dan telah bermain lebih kurang selama 1

(satu) jam atau 15 (lima belas) kali putaran, kemudian ditangkap

oleh petugas kepolisian.

b. Sebelum permainan dimulai terlebih dahulu para pemain membuat

kesepakatan apabila salah seorang pemain sudah menutup Kartu

jokernya mendapat angka 10 yang kalah hanya membayar sebesar

Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) kepada yang menang dan kalau yang

menutup Kartu joker mendapat kartu tutp warna yang sama yang

kalah dan harus membayar sebesar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah)

kepada yang menang pada setiap putaran permainan.


42

c. Bahwa, lebih kurang selama 1 (satu) jam atau 15 (lima belas) kali

putaran para Terdakwa melakukan permainan judi Tek tek,

kemudian Sekira pukul 17.30 Wib, saat para Terdakwa sedang asik

bermain Judi Tek tek dengan taruhan uang senilai seperti tersebut di

atas tiba-tiba petugas kepolisian datang dan mengamankan para

Terdakwa dan barang-barang bukti berupa uang sejumlah Rp.

1.165.000,- (Satu juta seratus enam puluh lima ribu rupiah), tiga set

kartu joker, 1 (satu) meja bundar, dan 5 (lima) buah kursi pelastik

warna hijau.

Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan

jarimah Maisir/Judi, maka sepatutnya Majelis Hakim menjatuhkan

hukuman atas para Terdakwa, namun terlebih dahulu akan

mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan maupun yang merigankan

bagi para Terdakwa.

Hal yang memberatkan terdakwa ialah Perbuatan para terdakwa

telah mencemarkan nama baik daerah Aceh sebagai daerah yang

menegakkan Syariat Islam dan Perbuatan para terdakwa tidak mendukung

pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Aceh.

Hal yang meringankan terdakwa ialah karena para terdakwa berterus

terang dipersidangan dan mengakui perbuatnnya, para terdakwa menyesal

dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut dan terdakwa I,

II, IV, V belum pernah dihukum sedangkan terdakwa III telah pernah

melakukan perbuatan yang sama dan sudah pernah dihukum. Terdakwa


43

terbukti bersalah melakukan tindakan yang didakwakan kepadanya, maka

Terdakwa dihukum pula untuk membayar ongkos perkara, hal ini sesuai

dengan ketentuan Pasal 222 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang KUHAP.

Para terdakwa telah dituntut oleh Penuntut Umum dengan surat

tuntutan tanggal 23 September 2020 NO. REG. PERKARA : PDM-

40/B.Aceh/07/2020 yang dibacakan dalam sidang pada hari Rabu 16 Juni

2020 bahwa para Terdakwa telah dituntut bersalah melakukan tindak pidana

Maisir sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 18 jo Pasal 1

angka 22 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat:

1. Terdakwa Terdakwa X telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah telah melakukan tindak pidana/jarimah maisir

sebagaimana diatur Pasal 1 angka 22 dan Pasal 18 Qanun Aceh

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat

2. Menghukum Terdakwa Terdakwa X, dengan ‘uqubat cambuk di

depan umum sebanyak 5 (lima ) kali cambuk.

3. Memerintahkan barang bukti berupa uang sejumlah Rp.

1.165.000,- (satu juta seratus enam puluh lima ribu rupiah)

dirampas untuk Negara Cq. Baitul Mal Kota Banda Aceh.

4. 1 (satu) buah meja bundar, 3 (tiga) set kartu Joker yang sudah

digunakan merk Full House dan 5 (lima )buah kursi plastik warna

hijau dirampas untuk dimusnahkan


44

5. Membebani para Terdakwa membayar biaya perkara masing-

masing sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah)

Mekanisme penundukan diri bagi non muslim yang melakukan

jarimah bersama - sama dengan orang islam , mereka melakukan penundukan

di polres dalam sebuah perkara kepolisian melakukan BAP terhadap

tersangka dan di dalam rincian BAP mereka dikasih pilihan untuk memilih

tunduk terhadap qanun atau kuhap, dan untuk mereka memilih itu dalam

bentuk lisan, ketika tersangka memilih tunduk terhadap qanun penyidik

melimpah perkara ke jaksa dan dibuat rancangan tuntutan kemudian ke

mahkamah syariah untuk mendapatkan putusan32.

E. Efektifitas penundukan diri bagi non-muslim yang melakukan Jarimah

bersama-sama dengan orang Islam

Sebelum kita berbicara mengenai efektif atau tidak efektifnya

penerapan sanksi pidana cambuk dalam menekan tindak pelanggaran Qanun di

bidang Syariat Islam, ada baiknya kita mengetahui apakah yang ingin dicapai

dengan pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah di Propinsi Aceh.

Sekurang kurangnya ada empat jawaban untuk pertanyaan ini:

1. Tujuan dengan alasan psikologis, bahwa masyarakat akan merasa lebih

aman dan tentram karena apa yang berlaku disekitar mereka, kegiatan

yang mereka jalani dalam pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari dan

seterusnya sesuai dan sejalan dengan kesadaran dan kata hati mereka

sendiri.

32
Erwin Desman selaku kepala kejaksaan Banda Aceh, wawancara, pada tanggal 30 februari
2022
45

2. Tujuan dengan alasan hukum, masyarakat akan hidup dalam tata aturan

yang lebih sesuai dengan kesadaran hukum, rasa keadilan dan nilai–

nilai yang tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat.

3. Tujuan dengan alasan ekonomi dan kesejahteraan sosial, bahwa nilai

tambah pada kegiatan ekonomi, serta kesetia kawanan sosial dalam

bentuk tolong menolong baik untuk kegiatan ekonomi atau untuk

kegiatan sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid. Anggota

masyarakat di harapkan akan lebih rajin bekerja, akan lebih hemat dan

juga lebih bertanggung jawab.

Pelaksanaan hukuman cambuk merupakan implementasi disahkannya

sistem pemerintahan Syariat Islam di provinsi Aceh. Hukuman cambuk

dijatuhkan bagi pelanggaran tertentu yang diatur dalam Qanun Nomor 12

tentang Minuman Khamar (minuman keras) dan sejenisnya, Qanun Nomor 13

tentang Maisir (perjudian), dan Qanun Nomor 14 tentang Khalwat (mesum)

saat ini Qanun itu semua telah di rangkap dalam Qanun yang baru yaitu Qanun

Jinayat Nomor 6 Tahun 2014.

Pemerintah Kota Banda Aceh menggalakkan hukuman cambuk adalah

bertujuan untuk membuat jera para pelaku pelanggar syari’at islam. Jera yang

dimaksud disini bukanlah karena telah mendapat penyiksaan badan. Melainkan

karena si terhukum dan keluarga terhukum tersebut telah merasa sangat malu.

Rasa malu yang di dapat ini lah yang selanjutnya diharapkan si terhukum

tersebut benar-benar bertaubat, dan berjanji untuk mengikuti hukum yang

terdapat di Aceh.
46

Rasa malu yang didapatkan oleh para pelaku sudah cukup besar

pengaruhnya, sehingga para pelaku dapat berubah menjadi lebih baik.

Pelaksanaan hukuman seperti ini menekan keinginan kotor dan moral yang

buruk masyarakat, serta secara alamiah mempunyai pengaruh pada jiwa dan

juga ketaatan. Akan tetapi mungkin juga sangat mengejutkan, kerasnya

hukuman-hukuman dalam hukum pidana Islam sangat jarang dijatuhkan karena

ketatnya hukuman pembuktian yang melindungi hak-hak manusia33.

Pada Pasal 29 ayat 2 huruf e jelas disebutkan bahwa pelaksanaan

uqubat paling lama 5 (lima) hari sejak diputuskan oleh Mahkamah Syar`iyah

Kabupaten/Kota. Namun Pelaksanaan yang terjadi adalah pelaksanaan uqubat

bagi pelaku jinayah tidak seperti yang telah diatur dalam pasal tersebut. Dari

beberapa fakta dilapangan setelah putusan mahkamah syar’iyah terhadap

pelaku jinayah tidak langsung dilakukan eksekusi oleh jaksa, karena jaksa juga

menunggu kesiapan dari instansi terkait.

Pada saat ini pelaksanaan hukuman cambuk tidak dilakukan pada setiap

minggu, sehingga para pelaku jinayah yang telah memiliki kekuatan hukum

tetap harus mendekam dulu di dalam penjara. Sistem penahanan tersangka

masa kurungan dikurangi masa cambuk, 30 hari pengurangan 1 kali

cambukan34.

33
Erwin Desman selaku kepala kejaksaan Banda Aceh, wawancara, pada tanggal 30 februari
2022
34
Erwin Desman selaku kepala kejaksaan Banda Aceh, wawancara, pada tanggal 30 februari
2022
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh yang memeriksa dan mengadili perkara

Jinayat dengan acara pemeriksaan biasa pada peradilan tingkat pertama telah

menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara maisir terhadap 5

Terdakwa. Menimbang, bahwa terhadap semua keterangan saksi-saksi, para

Terdakwa membenarkannya. Menimbang, bahwa saksi bernama Imran bin

Marzuki yang turut melakukan penangkapan terhadap para Terdakwa tidak

dapat hadir karena tugas negara sebagai anggota Polisi, karena itu keterangan

saksi yang termuat dalam BAP penyidik dibacakan oleh penuntut umum di

persidangan, dan atas keterangan saksi yang dibacakan di persidangan

tersebut para Terdakwa membenarkannya. barang-barang bukti yang

diperlihatkan di persidangan oleh penuntut umum tersebut, para Terdakwa

membenarkan dan mengakui bahwa barang-barang bukti tersebut adalah

barang-barang yang digunakan untuk sarana melakukan jarimah maisir yaitu

untuk bermain kartu Joker tersebut yang disita petugas dari tempat kejadian

perkara. Oleh karena itu Majelis Hakim berkesimpulan bahwa unsur taruhan

atau untung-untungan yang nilai taruhannya paling banyak 2 gram emas

murni sebagaimana Pasal Pasal 1 angka 22 jo. Pasal 18 Qanun Aceh Nomor

6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat telah terpenuhi.

2. Pelaksanaan hukuman cambuk merupakan implementasi disahkannya sistem

pemerintahan Syariat Islam di provinsi Aceh. Hukuman cambuk dijatuhkan

47
48

bagi pelanggaran tertentu yang diatur dalam Qanun Nomor 12 tentang

Minuman Khamar (minuman keras) dan sejenisnya, Qanun Nomor 13 tentang

Maisir (perjudian), dan Qanun Nomor 14 tentang Khalwat (mesum) saat ini

Qanun itu semua telah di rangkap dalam Qanun yang baru yaitu Qanun

Jinayat Nomor 6 Tahun 2014. Pada saat ini pelaksanaan hukuman cambuk

tidak dilakukan pada setiap minggu, sehingga para pelaku jinayah yang telah

memiliki kekuatan hukum tetap harus mendekam dulu di dalam penjara. Pada

Pasal 29 ayat 2 huruf e jelas disebutkan bahwa pelaksanaan uqubat paling

lama 5 (lima) hari sejak diputuskan oleh Mahkamah Syar`iyah Kota Banda

Aceh. Namun Pelaksanaan yang terjadi adalah pelaksanaan uqubat bagi

pelaku jinayah tidak seperti yang telah diatur dalam pasal tersebut. Dari

beberapa fakta dilapangan setelah putusan mahkamah syar’iyah terhadap

pelaku jinayah tidak langsung dilakukan eksekusi oleh jaksa, karena jaksa

juga menunggu kesiapan dari instansi terkait. efektifitas pelaksanaan eksekusi

hukuman cambuk terhadap pelaku jinayat di Kota Banda Aceh dalam

perspektif qanun hukum acara jinayah belum berjalan secara optimal,

dikarenakan setelah inkrahnya putusan mahkamah syar’iyah terhadap pelaku

jinayah tidak langsung dilakukannya pencambukan sehingga para pelaku

harus mendekam terdahulu kedalam penjara. Sistem penahanan tersangka

masa kurungan dikurangi masa cambuk, 30 hari pengurangan 1 kali

cambukan.
49

B. Saran.

Diharapkan pemerintah Kota Banda Aceh lebih giat memberikan

sosialisasi kepada masyarakat, agar menyadari bahwa perbuatan jarimah dapat

merusak moral masyarakat serta memberikan contoh buruk bagi masyarakat

lainya, sosialisasi dilakukan kepada warga local maupun warga asing baik

beragama islam atau non muslim.

Diharapkan pemerintah Kota Banda Aceh agar dapat melakukan

pelaksanaan uqubat sesuai dengan qanun Pasal 29 ayat 2 huruf e jelas disebutkan

bahwa pelaksanaan uqubat paling lama 5 (lima) hari sejak diputuskan oleh

Mahkamah Syar`iyah Kota Banda Aceh.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abubakar, Ali. Kedudukan Non-Muslim Dalam Qanun Jinayat, Banda Aceh:


Rumoh Cetak. 2020.

Ali, Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh Problem,Solusi dan


Implementasi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2010.

Anton, Yohanis Raharusun. Daerah Khusus dalam Perspektif NKRI, Jakarta:


Konstitusi Press. 2009.

Bakar, Abu, Al Yassa. Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam


Paradigma, Kebijakandan Kegiatan, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2006.

Daun, Mohammad Ali. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Ed. 6, Jakarta: Rajawali Pers. 2005.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya.


Semarang: CV. Toha Putra. 2020.

Hadi, Amirul. Aceh Sejarah, Budaya, dan Tradisi, Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia. 2010.

Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung: Pustaka Setia.
2000.

Iqbal, M. Hasan. Pokok-pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya.


Bogor: Ghalia Indonesia. 2002.

Junet, T,. Qanun Arti dan Perkembangannya, Banda Aceh: Fakultas Hukum
Universitas Syiah Kuala. 1994.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia


Press. 2004.

Wardi Muslih, Ahmad. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar
Grafika Offset. 2004.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di


Daerah

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

50
51

Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi


Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Aceh

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat

C. Jurnal/Karya Ilmiah

Danial. Pelaksanaan Syariat Islam dan Kekerasan di Aceh, Jurnal Kajian Aceh,
Vol 3. 2007.

Rahmatillah, Syarifah. Formulasi Hukuman Cambuk Dalam Qanun Provinsi


Aceh Menurut Tinjauan Kebijakan Hukum Pidana Dan Hak Asasi Manusia.
Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta. 2012.

Suparmin, Sudirman. Hukuman Cambuk Terhadap Non Muslim Pelaku Jarimah


di Nanggroe Aceh Darussalam (Studi Putusan No. 01/Jn/2016/Ms. Tkn).
Jurnal Analytica Islamica: Vol. 6 No. 2. 2017.

Taryadi. Efektifitas Pelaksanaan Eksekusi Hukuman Cambuk Terhadap Pelaku


Jinayat Di Kabupaten Aceh Tamiang Dalam Perspektif Qanun Hukum
Acara Jinayah. Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 15, Nomor 2.
2020.

D. Website

Alfath Asmunda, 2021, Tiga Non-muslim di Aceh Dihukum Cambuk,


https://m.kbr.id/nasional/022021/tiga_nonmuslim_di_aceh_dihukum_cam
buk/104754.html, (diakses 18/12/2021)

Karmiadi, 2021, Non-muslim di Aceh Tengah Terima 40 kali cambukan,


https://www.instagram.com/p/CXlEktpQeAOFJjwLlOK3GwxxtqeKyUdc
MB300/?utm_medium=copy_link, (diakses 18/12/2021).

Putusan mahkamah agung, 2021,


https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaeb6a01dd23b7
76b621313833363230.html (diakses 18/12/2021)

Anda mungkin juga menyukai