Anda di halaman 1dari 71

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN GANGGUAN

JIWA DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM PIDANA

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat


Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)
Dalam Hukum Pidana Islam
Pada Fakultas Syari’ah

Oleh :
YASIR ARAFAT
NIM. SHP.612208

HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
1441 H / 2020
MOTTO

ۚ ‫از َرة ٌ ِو ْز َر أ ُ ْخ َر ٰى‬ َ ‫ِب ُك ُّل نَ ْف ٍس ِإ اَل‬


ِ ‫علَ ْي َها ۚ َو ََل ت َِز ُر َو‬ ُ ‫َو ََل تَ ْكس‬
Artinya: ‘’Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya

kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tidak akan

memikul dosa orang lain.’’ (Al-An’am (6):164).


PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
Ayah dan Ibu
Husnussapawi (alm) dan Darusiah
Yang slalu menjadi penyemangat hidupku. Semoga ketulusan Ayah dan
Ibu
Diridhoi oleh Allah SWT. Dengan balasan Surga-Nya

Bapak dan Ibu Guru (Ustadz dan Ustadzah)


Ust. H. Abu Mansyur AL-Maturidi, Ust. A. Farid Wajdi sebagai
orangtua dan guruku
Yang selalu menjadi inspirasi ku
Seluruh ustadz dan ustadzah Ma’had al-Jami’ah dan dosen UIN
tercinta
Jazakumullahu khairan katsiron

Kakak dan Adikku beserta keluarga besarku


Ayuk mun, Uni Min (alm) abang Affan, Ayuk Zahratul Hayat, uda Zul
fikar, abang angkatku M. Abbas, Adik Putri Novrianti Jannah, Adik
Umar Ibnu Khattab, Adik Ali Murtado, serta keluarga besar Bawah
Bukit

Sahabat-Sahabat Ku
Akhy dan Ukhty
Lembaga Pengurus Asrama Ma’had al-Jami’ah (La_PASMA)
Sahabat seperjuangan Demisioner 07 La_PASMA
Al-Akh2 (Yunus, Miftah, Yani, Rusly, Nov, Fahri, Halim, Naza,
Arnindio,Faisal, Andri, Seh, Hendri, Asnan, Ikhwal, Asep, Andrio dll)
Akhy Habibi, saudara Rendi Pratama (Tulen)
Sahabat seperjuangan Jurusan Hukum Pidana Islam ‘’16
Kanti-kanti dari Batang Asai
Sahabat KKN gelombang III posko 09 , serta yang terlibat dalam masa
perkuliahan
Semoga kalian diberikan kebahagian Dunia dan Akhirat

Amin Ya Rabbal ‘Alamin


ABSTRAK
Skripsi ini membahas pembunuhan oleh pelaku dengan gangguan jiwa alias gila
sering terjadi namun tidak semua orang mengetahui sanksinya baik dalam hukum
Islam maupun hukum pidana. Maka skripsi ini akan membahas permasalahan
tersebut, dengan tujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk gangguan jiwa, bentuk
pertanggungjawaban pidana serta pandangan hukum terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh penderita gangguan jiwa, menurut hukum Islam dan hukum
pidana. Berdasarkan penelitian tentang hukum pembunuhan oleh pelaku dengan
gangguan jiwa ditinjau dari hukum islam, maka pelaku pembunuhan dengan
gangguan jiwatidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena
akalnya tidak sehat danbebas dari hukum menurut Madzhab Hanafiyah dan
Malikiyah. Sedangkan menurut pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah, gila yang
muncul setelah seseorang melakukan jarimah, baik sebelum atau setelah proses
pengadilan, gila yang semacam ini tetap wajib dihukum. Dalam hukum pidana
maka pelaku pembunuhan dengan gangguan jiwa terbebas dari hukuman sebab
kegilaaannya.Sebagaimana yang tertera dalam pasal 44 ayat 1 dan 2 KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana). Dari hasil penelitian tersebut demi
terlaksananya asas-asas hukum pidana maka diperlukan satu pemahaman yang
mendalam bagi penegak hukum dalam menjalankan satu konsep
pertanggungjawaban pidana berkenaan dapat tidaknya dipidana seseorang yang
melanggar.

Key Word: Gangguan Jiwa, Pertanggungjawaban, Tindak Pidana

I
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah tuhan sekalian alam, karena berkat rahmat-Nya

penulis mendapat kekuatan dan kesempatan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Sholawat serta salam selalu dilimpahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad

SAW beserta keluarga, sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman..

Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-Nya hingga penulis dapat

menyelesaikan skpripsi ini. Adapun maksud penulisan skripsi ini untuk memenuhi

syarat guna mencapai gelar kesarjanaan Fakultas Syari’ah Jurusan Hukum Pidana

Islam UIN STS Jambi. Sebagai perwujudan dan ketetapan tersebut penulis

menyusun skripsi ini dengan judul. ”Tindak Pidana Pembunuhan Dengan

Gangguan Jiwa dalam Hukum Islam dan Hukum Pidana”.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa dengan adanya

bantuan, bimbingan, dorongan dan petunjuk dari semua pihak, maka penulisan

skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang

tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya terutama kepada yang

terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. H. Suaidi Asyari, Ph. D. Rektor UIN STS Jambi.

2. Bapak Dr. Sayuti Una, S.Ag.,MH Dekan Fakultas Syari’ah

3. Bapak Agus Salim, S.TH,I.,MA.,M.IR.,Ph.D. Selaku Wakil Dekan I

4. Bapak Dr. Ruslan Abdul Gani, SH.,MH. Selaku Wakil Dekan II

5. Bapak Dr. H. Ishaq, SH.,M.Hum. Selaku Wakil Dekan III

6. Ibu Dr. Robiatul Adawiyah SHI.,MHI Ketua jurusan dan bapak Devrian Ali

Putra, MA.Hk sekretaris Jurusan Hukum Pidana Islam

II
7. Bapak Dr. Ruslan Abdul Gani, SH.,MH Pembimbing I dan Ibu Nuraida

Fitrihabi, S.Ag.,M.Ag Pembimbing II

8. Bapak dan Ibu dosen, asisten dosen, dan seluruh karyawan/karyawati

Fakultas Syari’ah UIN STS Jambi.

9. Mahasiswa jurusan Hukum Pidana Islam dan mahasiswa Bidik Misi.

10. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini baik secara langsung

maupun tidak langsung.

11. Kedua orangtua dan keluarga penulis yang selalu memberikan semangat dan

do’a terbaik kepada penulis

Atas segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan, penulis

mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, semoga Allah SWT

membalasnya. Akhirnya penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi

kita semua.

Jambi, 25 Januari 2020


Penulis,

YASIR ARAFAT
NIM. SHP 162208

III
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERNYATAAN
PERSETUJUAN PEMBIMBING

PENGESAHAN PANITIA UJIAN


MOTTO
PERSEMBAHAN
ABSTRAK...............................................................................................................I
KATA PENGANTAR……………………………………………..……….........II
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….IV

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………….....1
B. Rumusan Masalah…………………………………………..….........5
C. Batasan Masalah……………………………………...……………..5
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian........................................................5
E. Kerangka Teori……………………………………………………...6
F. Tinjauan Pustaka… .................................................................. …..9
BAB II : METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian.......................................................................11
B. Jenis Penelitian..................................................................................11
C. Jenis dan Sumber Data......................................................................11
D. Metode Pengumpulan Data............... ………………………….…..12
E. Metode Analisis Data........................................................................13
F. Sistematika Penulisan........................................................................14
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN DAN GANGGUAN JIWA
A. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan .................................... ….16
1. Tindak Pidana………………………………………………….16
2. Pembunuhan……………………………………………………18

IV
B. Pengertian Gangguan Jiwa…………………………………………..24

BAB IV:ANALISIS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN


GANGGUAN JIWA MENURUT HUKUM ISLAM DAN
HUKUM PIDANA
A. Bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum Islam dan
hukum pidana……...…………. ... ………………….…………..….32
1. Bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum Islam.....................33

2. Bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum pidana…..…….... 34

B. Pandangan hukum Islam dan hukum pidana terhadap tindak


pidana yang dilakukan oleh orang yang gangguan jiwa……..............38
1. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pembunuhan dengan
Gangguan Jiwa……………………………………………..….….39
2. Pandangan Hukum Pidana Terhadap Pembunuhan Dengan
Gangguan Jiwa…………………………………….………..........42
C. Bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak
pidana pembunuhan dengan gangguan jiwa menurut hukum
Islam dan hukum pidana………………………………………..……44
1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana…….……………...........44
2. Hal-hal yang menimbulkan pertanggungjawaban pidan………....45
3. hal yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana………..….46
4. Bentuk pertanggungjawaban pidana dalam Hukum Islam ..…….47
5. Bentuk pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana…..….48

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………...52
B. Saran……………………………………………………………….54
C. Penutup…………………………………………………………….55

DAFTAR PUSTAKA
CURRICULUM VITAE

V
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembunuhan oleh orang gila merupakan penomena yang lumrah

terjadi di masyarakat dengan bermacam kasus dan karateristik. Pemberitaan

tentang hal tersebut kemungkinan membangkitkan emosi yang kuat dan

menimbulkan pertanyaan apakah disanksi ataukah tidak. Sebagai contoh kasus

yang terjadi pada awal 2018 yakni komandan Persatuan Islam (Persis) ustadz

Prawoto dianiaya Asep Maftuh yang tak lain tetangganya sendiri. Prawoto

meninggal dunia akibat insident tersebut.

Seiring dengan perkembangan zaman, kejahatan yang semakin

meningkat dan sering terjadi dalam kehidupan masyarakat tentu hal ini menjadi

permasalahan yang sangat perlu diperhatikan, sehingga pemerintah (negara)

sebagai pelindung dan pelayanmasyarakat menindaklanjuti kejahatan tersebut,

kemudian oleh negara dijadikan sebagai perbuatan pidana untuk ditindak.

Dalam Islam ada dikenal istilah Syari’at (aturan Allah) yaitu

hukumyang abadi dan berlaku sepanjang masa. Dalam kurun waktu yang panjang,

sejak dimulai diturunkannya agama Islam sampai akhir masa pemerintahan Turki

Usmani, syari’at Islam bagaikan cahaya yang menyinari dan menerangi jalannya

kaum muslimin, dan menunjukkan kepada mereka jalan kebenaran dan

keadilan.Pada saat itu syari’at Islam dipelajari dengan antusias, dan ditetapkan

oleh

1
2

pemerintah, sehingga tidak ada satu pun perundang-undangan didunia ini yang

mengunggulinya. 1

Dalam hukum Islam, kejahatan didefinisikan sebagai larangan-larangan

hukum yang diberikan Allah, yang pelanggarannya membawa hukuman yang

ditentukan-Nya. Larangan hukum berarti melakukan suatu perbuatan yang

dilarang atau tidak melakukan perbuatan yang tidak diperintahkan. Dengan

demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh syariat.

Dengan kata lain, melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang

membawa kepada hukuman yang ditentukan oleh syari’at adalah kejahatan.2Jadi

kejahatan ataupun tindakan kriminal sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam

maupun hukum pidana, seperti pencurian, perampokan, perkosaan, penipuan,

pemalsuan, pembunuhan dan lain sebagainya yang dapat merugikan oranglain.

Hukum pidana merupakan sarana yang penting dalam

penanggulangan kejahatan. Penanggulangan segala bentuk tindakan kriminal

dapat dilakukan dengan cara pencegahan (preventif) dan penindakan (represif).

Cara preventif adalah cara penanggulangan dengan pola mencegah, seperti

himbauan atau penyuluhan. Cara represif adalah cara penaggulangan dengan pola

keras, seperti penagkapan dan pemenjaraan samapai dengan penembakan atau

pembunuhan. 3

Jenis-jenis sanksi yang diterapkan kepada pelaku tindak pidana dapat

dilihat dalam hukum pidana positif di Indonesia, dalam Pasal 10 KUHP yaitu:

1
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Al-Qur’an, Cet. 1, (Jakarta Timur:
Diadit Media, 2007), hlm. 1.
2
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press,
2003), hlm. 20.
3
Kun Maryati, Jujun Suryawati, Sosiologi Jilid3 ( ESIS, tanpa tahun ), hlm. 22
3

1). Pidana pokok, yang terdiri dari: Pidana mati, pidana kurungan, pidana penjara,

pidana dendadan pidana tutupan. 2). Pidana tambahan, yang terdiri dari :

pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang yang tertentu, dan

pengumuman keputusan hakim. 4

Berkaitan dengan hukuman, dalam hukum pidana Indonesia

pembunuhan diatur dalam KUHP Pasal 338-350. Pada Pasal 338 KUHP

menyatakan bahwa : Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam

karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.5

Adapun berkaitan dengan hukum pidana, dalam hukum pidana Islam dikenal

dengan nama jarimah. Jarimah (tindak pidana) dalam Islam diartikan yaitu

larangan-larangan syara‘ yang diancam oleh Allah dengan hukum hadd atau

ta‘zir.6 Dengan demikian, jarimah dapat dibagi menjadi dua macam yaitu hukum

had, dan hukum ta’zir. Sebagai suatu dasar hukum, didalam hukum pidana Islam

mengenai pembunuhan diatur dalam Al- Qur’an ditegaskan bahwa:

ِ ‫َّللاُ إِ ََّل بِ ْال َح‬


‫ق‬ َّ ‫س الَّتِي َح َّر َم‬
َ ‫َو ََل تَ ْقتُلُوا النَّ ْف‬
Artinya:“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah

(membunuh) nya, melainkan dengan suatu alasan yang haq”.7

Apabila diperhatikan dari sifat perbuatan seseorang dalam melakukan

pembunuhan, tindak pidana dalam syari’at islam dapat di klarisifikasi atau

dikelompokkan menjadi : Amd (disengaja) khata’ (tidak di sengaja), dan syibhu

4
Andi Hamzah, KUHAP Dan KUHP, Cet. Ke 19 (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hlm. 5
5
Ibid , hlm. 6
7
Al-Isra’ (17) : 33
4

amd (semi sengaja).8 Pembunuhan disengaja, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang dengan tujuan untuk membunuh seseorang dengan menggunakan alat,

yaitu benda atau situasi, yang dipandang layak untuk membunuh. Perbuatan yang

disengaja dilakukan seseorang dengan tujuan mendidik misalnya guru

memukulkan penggaris ke kaki seorang muridnya, tiba-tiba muridnya yang

dipukul itu meninggal, perbuatan guru tersebut dinyatakan sebagai pembunuhan

sybhu amdi (semi disengaja). Seseorang menebang pohon tiba-tiba pohon yang

ditebangnya tumbang menjatuhi orang yang lewat dengan tiba-tiba lalu

meninggalm perbuatan orang tersebut dikatakan sebagai pembunuhan yang tidak

disengaja.9

Dengan demikian tentang jarimah ini, ada suatu fenomena yang

menarik untuk dipelajari yaitu tindak pidana pembunuhan dalam keadaan

gangguan jiwa (gila). Sebenarnya bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum

pidana terhadap tindak kriminal, seperti pembunuhan, yang dilakukan oleh orang

gila. Apakah hukum Islam dan hukum pidana juga akan berlaku bagi orang gila

yang terbukti melakukan tindakan kriminal.

Dari uraian diatas terkait mengenai sanksi hukum pembunuhan yang

disebabkan oleh orang dengan gangguan jiwa perlu pemahaman yang mendalam,

apakah dikenakan sanksi atau tidak, maka penulis merasa tertarik untuk

melakukan penelitan ini dengan judul: ‘’Tindak Pidana Pembunuhan Dengan

Gangguan Jiwa Dalam Hukum Islam dan Hukum Pidana’’.

8
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), hlm. 125
9
Ibid., hlm. 126
5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang di masalah yang telah diuraikan

sebelumnya, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum Islam dan hukum

pidana?

2. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum pidana terhadap tindak

pidana yang dilakukan oleh orang yang gangguan jiwa?

3. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana

pembunuhan dengan gangguan jiwa menurut hukum Islam dan hukum pidana?

C. Batasan Masalah

Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, sempurna, dan

mendalam maka penulis memandang permasalahan penelitian yang diangkat

perlu dibatasi variabelnya. Oleh sebab itu, penulis membatasi diri hanya berkaitan

dengan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang gila dalam

pandangan hukum Islam dan hukum pidana saja.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya,

maka dalam penelitian ini ditetapkan beberapa tujuan penelitian, yaitu:

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukumIslam dan

hukum pidana.

2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan hukum pidana terhadap tindak

pidana yang dilakukan oleh orang yang gangguan jiwa.


6

3. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak

pidana pembunuhan dengan gangguan jiwa menurut hukum Islam dan hukum

pidana.

Sedangakan kegunaan atau manfaat dari penelitian ini secara umum

adalah untuk memberikan kontribusi kepada pihak-pihak terkait dalam

penyelesaian kasus pembunuhan dengan gangguan jiwa.

E. Kerangka Teori

Untuk menganalisis permasalahan yang ada dalam skripsi ini, maka

teori yang di pakai adalah teori pertanggungjawaban, teori unsur

pertanggungjawaban dan teori penyelidikan. Berikut penjelasannya dari masing-

masing ketiga teori tersebut.

1. Teori Pertanggungjawaban

Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus

hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas

yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang

bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara

aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang

menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal

yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan,

keterampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab

atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis,

istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat


7

akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility

menunjuk pada pertanggungjawaban politik. 10

Dalam hukum pidana terhadap seseoraang yang melakukan pelanggaran

atau suatu perbuatan tindak pidana maka dalam pertanggungjawaban diperlukan asas-

asas hukum pidana. Salah satu asas hukum pidana adalah asas hukum nullum

delictum nulla poena sine pravia lege atau yang sering disebut dengan asas legalitass,

asas ini menjadi dasar pokok yang tidak tertulis dalam menjatuhi pidana pada orang

yang telah melakukan perbuatan pidana “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.

Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan

yang telah dilakukannya. Artinya seseorang baru dapat diminta

pertanggunngjawabannya apabila seseorang tersebut melakukan kesalahan atau

melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Maksud

dari hal tersebut adalah seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban

apabila perbuatan itu memang telah diatur, tidak dapat seseorang dihukum atau

dimintakan pertanggungjawabannya apabila peraturan tersebut muncul setelah

adanya perbuatan pidana. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak

boleh menggunakan kata kias, serta aturan-aturan hukum pidana tersebut tidak

berlaku surut.

2. Teori Unsur Pertanggungjawaban

a) Mampu bertanggung jawab. Pertanggungjawaban (pidana) menjurus

kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana

10
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),
hlm. 335-337
8

dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-

undang.

b) Kesalahan dianggap ada, apabila dengan sengaja atau karena kelalaian

telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau akibat yang

dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan dengan mampu bertanggung

jawab.

c) Tidak ada alasan pemaaf. Hubungan petindak dengan tindakannya

ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari petindak. Ia

menginsyafi hakekat dari tindakan yang akan dilakukannya, dapat

mengetahui ketercelaan dari tindakan dan dapat menentukan apakah akan

dilakukannya tindakan tersebut atau tidak. Tiada terdapat “alasan

pemaaf”, yaitu kemampuan bertang gungjawab, bentuk kehendak dengan

sengaja atau alpa, tiada terhapus keselahannya atau tiada terdapat alasan

pemaaf, adalah termasuk dalam pengertian kesalahan. 11

3. Teori Penyelidikan

Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP bahwa

penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang.12

11
http://seputarpengertian.blogspot.com/2016/09/pengertian-dan-unsur-pertanggungjawaban-
pidana.html. Akses 6 Maret 2020
12
Andi Hamzah, KUHAP Dan KUHP, Cet. Ke 19 (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hlm. 230
9

F. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka adalah uraian hasil-hasil penulisan terdahulu

(penulisan-penulisan lain) yang terkait dengan penelitian ini pada aspek fokus/tema

yang diteliti. Dalam kajian pustaka ini, penulis akan memaparkan tentang beberapa

penulisan mengenai tindak pidana pembunuhan dalam keadaan gangguan jiwa

yang sebelumnya pernah diteliti. Diantaranya ialah sebagai berikut:

Pertama ialah Idham Suryansyah, yang berjudul ‘’Tinjauan Yuridis

Terhadapa Pelaku Kejahatan Yang Mempunyai Gangguan Kejiwaan’’. Dalam

tulisannya tersebut ia memaparkan tentang langkah-langkah yang dilakukan

penyidik untuk mengetahui pelaku kejahatan mempunyai gangguan kejiwaan dan

proses hukum setelah ditetapkan mempunyai gangguan kejiwaan 13 saja. Dalam

tulisannya tidak disebutkan tentang sanksi hukumnya menurut hukum Islam dan

hukum positifnya.

Kedua, ialah Adriesti Herdaethayang berjudul ‘’Pertanggungjawaban

Criminal Orang dengan Gangguan Jiwa.’’Dalam tulisannya tersebut ia

memaparkan tentang hubungan antara gangguan jiwa dan perilaku kriminal serta

meninjau kelapangan tentang seseorang yang gangguan jiwa. 14Namun dia tidak

membahas tentang sanksinya dalam hukum Islam dan hukum positif.

Ketiga, ialah Nike Rosdiyanti yang berjudul ‘’Status

Pertanggungjawaban Pelaku Pidana Bagi Penderita Gangguan Mental Kategori

Keprebadian Antisosial Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam,’’ tulisannya

13
Idham Suryansyah, ’Tijauan Yuridis Terhadapa Pelaku Kejahatan Yang Mempunyai
Gangguan Kejiwaan,’’ UIN Alauddin Makassar, (2017), hlm.67-68
14
Adriesti Herdaetha,’’ Pertanggungjawaban Criminal Orang Dengan Gangguan Jiwa’’,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, (2014), hlm.7
10

yaitu tentang pandangan hukum positif dan hukum Islam terhadap tindak pidana

bagi penderita gangguan mental kategori keprebadian antisosial serta perbedaan

dan persamaan status pertanggungjawabannya dalam hukum positif dan

islam. 15Dia hanya mengkaji gangguan mental anti social namun tidak secara

umum.

Keempat, ialah tulisan Rofi Irson yang berjudul ‘’Tindak Pidana

Pembunuhan Dalam Keadaan Mabuk Studi Komparatif Menurut Hukum Islam

dan Hukum Pidana’’dalam tulisannya tersebut, ia memaparkan tentang

pembunuhan oleh orang mabuk dalam hukum Islam dan hukum pidana16, yang

mana kajian ini sama-sama pembunuhan oleh orang yang hilang akalnya, namun

berbeda antara sebabnya yakni mabuk dan gila.

Perbedaan penelitian saya dengan penelitian di atas diantaranya

adalah, bahwa penelitian sebelumnya hanya membahas tentang langkah penyidik

mengetahui pelaku mempunyai gangguan jiwa, hubungan gangguan jiwa dengan

kriminal, pandangan hukum positif dan hukum Islam terhadap tindak pidana bagi

penderita gannguan mental kategori keprebadian antisosial serta membunuh

dalam keadaan mabuk (orang yang hilangakalnya), namun saya akan membahas

tindakan hukum Islam dan hukum pidana terhadap pembunuhan dengan gangguan

jiwa, serta bentuk-bentuk pertanggungggjawaban pidana dan gangguan jiwa yang

seperti yang dikenakan sanksi dalam hukum Islam dan hukum positif.

15
Nike Rosdiyanti‘’ Status Pertanggungjawaban Pelaku Pidana Bagi Penderita
Gangguan Mental Kategori Keprebadian Anti Social Perspektif Hukum Positif Dan Hukum
Islam’’, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, (2017), hlm. 96-97
16
Rofi Irson,’’Tindak PidanaPembunuhanDalam Keadaan Mabuk Studi Komparatif
MenurutHukum Islam Dan Hukum Pidana’’, UIN STS, Jambi, (2017), hlm.74
BAB II
METODE PENELITIAN

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan rangkaian kegiatan

ilmiah dalam rangka pemecahan suatu masalah. 17Setiap penulisan karya ilmiah

harus memakai suatu metode, karena metode merupakan suatu instrumen yang

penting agar suatu penelitian dapat terlaksana dan terarah sehingga tercapai hasil

maksimal.

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan normatif yuridis , karena

yang akan di teliti adalah aturan hukum bagi pelaku pembunuhan dengan

gangguan jiwa didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan aturan hukum

yang tercantum dalam kitab fiqh jinayah. Pendekatan perundang-undangan

(statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan

regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang di tangani. 18

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library

research), yaitu penelitian yang menekankan sumber informasi dari buku-buku

hukuk, jurnal, dan menelaah dari berbagai macam literatur-literatur dan pendapat

yang mempunyai hubungan relevan dengan permasalahan yang di teliti.

C. Jenis Dan Sumber Data

Dalam menyelesaiakan skiripsi ini, penulis melakukan penelitian

kepustakaan (library research), maka sumber data atau informasi yang menjadi

17
Saifuddin Azwar, Metode Penulisan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 1.
18
Ishaq, Metode Penelitian Hukum, (Bandung:Alfabeta, 2017) ,hlm. 250

11
12

data baku penulis, untuk diolah merupakan data yang berbentuk data primer, data

sekunder, dan data tersier.

1) Data primer

Data primer adalah data pokok yang diperlukan dalam penelitian,

yang yang diperoleh langsung dari sumbernya atau keseluruhan data hasil

penelitian yang diperoleh dilapangan. 19 Sumber utama adalah al-Qur’an dan

undang undang atau hukum pidana yang berkaitan dengan kaitannya dengan judul

penelitian.

2) Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber tidak langsung

yang biasanya berupa data dokumentasi dan arsip-arsip resmi. 20 Data inilah yang

nantinya akan menjadi sumber utama penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3) Data tersier

Data tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan lebih

lanjut terhadap bahan-bahan primer dan bahan sekunder yaitu berupa kamus

hukum, kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Arab, kamus bahasa Inggris dan

kamus-kamus yang lain.

D. Metode Pengumpulan Data

Ada beberapa jenis alat pengumpulan data, salah satunya yaitu studi

kepustakaan/studi dokumen. Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data

yang berguna bagi penulisan penelitian (skripsi/tesis/disertasi) berupa teori-teori

19
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi Edisi Revisi (Jambi:Syariah Press,2012),
hlm. 45.
20
Ibid., hlm. 46
13

hukum, asas-asas, doktrin dan kaidah hukum yang di dapat dari bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier.

Untuk memperoleh data sekunder adalah dengan melakukan

serangkaian kegiatan studi kepustakaan dengan membaca, mengutip buku-buku,

serta menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen, dan informasi yang ada

hubungannya dengan penelitian yang di lakukan.21

E. Metode Analisis Data

Analisis data menurut Sugiono adalah proses mencari dan menyusun

secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan

dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori,

menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola,

memilih mana yang penting dan yang akan dielajari, dan membuat kesimpulan

sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun oranglain. 22

Setelah semua data terkumpul, selanjutnya data-data tersebut

dianalisis. Untuk mengadakan penarikan kesimpulan dari suatu penelitian, harus

berdasar pada hasil pengolahan dan harus selaras dengan jenis data-data yang ada.

Dalam metode analisa data ini penulis menggunakan cara yaitu

analisa data kualitatif, oleh karenanya penelitian yang dilakukan adalah penulisan

kualitatif. 23

21
Ishaq..,hlm. 115
22
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung; Alfabeta,
2009), Cetakan ke 7, hlm. 244
23
Soejono, Metode Penelitan Hukum, (Jakarta: P.T Rineka Cipta, 1997), hlm. 23.
14

F. Sistematika Penulisan

Penyusun skripsi ini terbagi kepada lima bab, antar babnya ada yang

terdiri dari sub-sub bab. Masing- masing bab membahas permasalahan tersendiri,

tetapi tetap saling berkaitan antara sub bab dengan bab yang berikutnya. Untuk

memberikan gambaran secara mudah agar lebih terarah dan jelas mengenai

pembahasan skripsi ini penyusun menggunakan sistematika dengan membagi

pembahasan sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori,

tinjauan pustaka.

Bab dua, berisikan tentang metode penelitian, yakni mengenai

penedekatan penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, metode

analisis data, sistematika penulisan.

Bab ketiga,menguraikan tentang gambaran umum yang berisi tindak

pidana pembunuhan, pengertian tindak pidana pembunuhan, dasar hukum tindak

pidana pembunuhan menurut hukum islam, jenis-jenis tindak pidana

pembunuhan, pengertian gangguan jiwa menurut hukum Islam, pengertian

gangguan jiwa menurut hukum Pidana ( KUHP), ketentuan hukum bagi orang

yang gangguan njiwa.

Bab keempat, menguraikan analisis tindak pidana pembunuhan dengan

gangguan jiwa menurut hukum Islam yang berisikan, bentuk-bentuk mabuk yang

tidak dikenakan sanksi dalam hukum Islam dan hukum pidana, bentuk

pertanggungjawaban terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan


15

gangguan jiwa menurut hukum Islam dan hukum pidana, dan analisis

perbandingan.

Bab kelima penutup, pada bab ini diuraikan kesimpulan, saran, dan

penutup.
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
DENGAN GANGGUAN JIWA

A. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan

1. Tindak Pidana

Tindak pidana banyak sekali pengertiannya menurut beberapa ahli

hukum pidana, sebab mereka memandang dari sisi yang berbeda-beda sehingga

menimbulkan banyak pendapat. Salah satu buku yang mengemukakan pendapat

ahli hukum tentang tindak pidana adalah buku karangan Agus Rusianto yang

berjudul Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana. Ia mengutip beberapa

pendapat ahli hukum. Diantaranya pendapat ahli hukum tersebut adalah menurut

Ultrecht, tindak pidana adalah adanya kelakuan yang melawan hukum, ada

seseorang pembuat yang bertanggung jawab atas kelakuannya. Kemudian

menurut Simon bahwa tindak pidana mempunyai unsur unsur: Diancam oleh

pidana dengan hukum, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang

bersalah, dan orang itu dipandang bertangggungjawab atas perbuatannya. 24

Kemudian menurut Moeljatno, pada dasarnya tindak pidana

merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah

suatu pengertian yuridis seperti halnya untuk memberikan definisi atau pengertian

terhadap istilah hukum, maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan

definisi atau pengertian terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana

dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik,

24
Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana,Cet. Kesatu (Jakarta:
Kencana, 2016), hlm. 3

16
17

sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan

pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan.25

Kemudian Teguh Prasetyo mennjelaskan secara rinci lagi bahwa

Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-

gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak

berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak

pidana. Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat, yang didalam

undang-undang menentukan pada pasal 164 KUHP, ketentuan dalam pasal ini

mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila

akan timbul kejahatan, ternyata dia tidak melapor, maka dia dapat dikenakan

sanksi. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa tindak pidana adalah perbuatan

yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana

pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif ( melakukan

sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif

( tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum). 26Berkaitan

dengan tindak pidana (Jarimah dalam Islam diartikan sebagai suatu larangan

syara‘ yang diancam oleh Allah dengan hukum had (hukuman yang sudah ada

nash nya) atau ta‘zir (hukuman yang tidak ada nashnya).27

25
Moeljatno,Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta :Bina Aksara,1987), hlm. 37
26
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015),
hlm. 50.
27
A. Hanafi, Asaz-Asaz Hukum Pidana Islam, Cet. 5, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993),
hlm. 1
18

2. Pembunuhan

Pembunuhan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang

dan/ atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan/atau beberapa orang

meninggal dunia. Jarimah pembunuhan juga dapat diartikan sebagai suatu tindak

pidana yang melanggar syara’ karena pelanggaran hukum hadatau ta‘zir baik

didahului dengan unsur-unsur pembunuhan sengaja dengan suatu perencanaan

ataupun tidak didahuluisuatu perencanaan. 28Selain itu, pengertian jarimah

pembunuhan dapat pula diartikan sebagai tindak pidana pelanggaran terhadap

syara’ karena baikpelanggaran hukum had atau ta‘zir yang diberikan sanksi bagi

pembunuhan sengaja yaitu pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash.29

Berkaitan dengan jarimah pembunuhan, maka dapat ditegaskan

bahwa pengertian jarimah pembunuhan dapat diartikan sebagai suatu larangan

syara’yang diancam oleh Allah dengan hukum had (hukuman yang sudah ada

nash-nya) atau ta‘zir (hukuman yang tidak ada nashnya) baik didahului dengan

unsur-unsur pembunuhan dengan suatu perencanaan ataupun tidak didahului

suatu perencanaan dimana bagi pembunuhan sengaja pelakunya wajib dijatuhi

hukuman qishash. Tak ada agama di dunia ini yang memandang hidup manusia

sedemikian kudusnya sehingga membunuh satu orang dianggap membunuh

semua orang, dan siapapun yang menyelamatkan hidup seseorang seolah-olah

telah menyelamatkan hidup semua umat manusia. 30

28
Sofyan Maulana, Hukum Pidana Islam dan Pelaksanaan, (Jakarta: Rineka Cipta.
2004), hlm. 83.
29
Muhammad Rodhi, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Pidana Islam dan
HukumPidana, (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), hlm. 123.
30
Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, (Jakarta: R.Cipta,1992), hlm. 18.
19

Tindak pidana membunuh seorang muslim merupakan hal yang

sangat mengerikan, sehingga bahkan setelah dihukum had pun, si pelaku masih

akan disiksa dalam neraka, dimurkai dan dilaknat oleh Allah SWT. 31

Sebagai mana yang telah dijelaskan didalam al Qur’an sebagai berikut:

ُ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َولَعَنَه‬


َّ ‫ب‬ ِ ‫َو َم ْن يَ ْقت ُ ْل ُمؤْ ِمنًا ُمتَعَ ِمدًا فَ َجزَ ا ُؤهُ َج َهنَّ ُم خَا ِلدًا فِي َها َوغ‬
َ ‫َض‬
‫َوأَ َعدَّ لَهُ َعذَابًا َع ِظي ًما‬
Artinya:’’Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja

maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah

murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang

besar baginya.32

Dapat kita lihat bahwa al-quran sangat melarang dan mengancam

pelaku pembunuhan dengan ancaman neraka jahannam dan mereka kekal

didalamnya serta Allah menyediakan azab yang besar baginya.

a). Dasar Hukum Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Islam

Pembunuhan dalam Islam didasarkan pada beberapa keterangan nash

Al-Qur’an dan hadis di bawah ini :

1) Al-quran surah Al-Baqarah ayat 178

‫اص فِي ْالقَتْلَى ۖ ْال ُح ُّر بِ ْال ُح ِر‬ ُ ‫ص‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ْال ِق‬ َ ِ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُكت‬
ٌ‫َي ٌء فَاتِبَاع‬ ْ ‫ي لَهُ ِم ْن أَ ِخي ِه ش‬
َ ‫ع ِف‬ُ ‫َو ْال َع ْبدُ ِب ْال َع ْب ِد َو ْاْل ُ ْنثَ ٰى ِب ْاْل ُ ْنثَ ٰى ۖ فَ َم ْن‬
ۖ ٌ‫يف ِم ْن َر ِب ُك ْم َو َر ْح َمة‬ ٌ ‫ان ۖ ٰذَ ِل َك ت َْخ ِف‬ ٍ ‫س‬ َ ْ‫وف َوأَدَا ٌء ِإلَ ْي ِه ِبإِح‬ ِ ‫ِب ْال َم ْع ُر‬
ٌ َ‫فَ َم ِن ا ْعتَدَ ٰى َب ْعدَ ٰذَ ِل َك فَلَهُ َعذ‬
‫اب أَ ِلي ٌم‬
Artinya:’’Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu

qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang

31
Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam..., hlm. 20.
32
An-Nisa’ (4) : 93
20

merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan

wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat

suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang

memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah

(yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi

maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah

suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.

Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka

baginya siksa yang sangat pedih’’.33

2). Al-quran Surah An-Nisaa’ ayat 93

‫َّللاُ َعلَ ْي ِه‬


َّ ‫ب‬ ِ ‫َو َم ْن يَ ْقت ُ ْل ُمؤْ ِمنًا ُمتَ َع ِمدًا فَ َجزَ ا ُؤهُ َج َهنَّ ُم خَا ِلدًا فِي َها َوغ‬
َ ‫َض‬
‫َولَ َعنَهُ َوأَ َعدَّ لَهُ َعذَابًا َع ِظي ًما‬
Artinya:’’Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan

sengaja maka balasannya ialah jahanam, kekal ia di dalamnya

dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta

menyediakan azab yang besar baginya.’’34

3). Al-quran Surah Al-Maidah ayat 45

‫ف‬ِ ‫ف بِ ْاْل َ ْن‬ َ ‫س بِالنَّ ْف ِس َو ْال َعيْنَ بِ ْال َعي ِْن َو ْاْل َ ْن‬ َ ‫َو َكتَ ْبنَا َعلَ ْي ِه ْم فِي َها أَ َّن النَّ ْف‬
‫صدَّقَ ِب ِه فَ ُه َو‬ َ َ‫اصۖفَ َم ْن ت‬ ٌ ‫ص‬ َ ِ‫َو ْاْلُذُنَ ِب ْاْلُذُ ِن َوالس َِّن ِبالس ِِن َو ْال ُج ُرو َح ق‬
َ‫الظا ِل ُمون‬ َّ ‫َّللاُ فَأُو ٰلَئِ َك ُه ُم‬ َّ ‫ارة ٌ لَه ُ ۖ َو َم ْن لَ ْم َي ْح ُك ْم ِب َما أَ ْنزَ َل‬ َ َّ‫َكف‬
Artinya:’’Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At

Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan

mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi

33
Al-Baqarah (2) :178
34
An-Nisaa’(4) : 93
21

dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa

yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu

(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak

memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka

mereka itu adalah orang-orang yang zalim.’’ 35

4). Hadits riwayat Muslim

ُ ‫ َوالنَّ ْف‬،‫الزا ِني‬


‫س‬ َّ ‫ب‬ُ ِ‫ الثَّي‬:ٍ‫ئ ُم ْس ِل ٍم ِإَلَّ ِبإِحْ دَى ثَالَث‬ ٍ ‫َلَ َي ِح ُّل دَ ُّم ا ْم ِر‬
‫ار ُق ِل ْل َج َما َع ِة‬
ِ َ‫اركُ ِل ِد ْينِ ِه ال ُمف‬ِ َّ‫ َوالت‬،‫بِالنَّ ْف ِس‬
Artinya: ‘’Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena salah satu

dari tiga hal: janda yang zina, jiwa yang membunuh jiwa. Dan

orang yang meninggalkan agamanya yang memisahkan terhadap

jama’ah.36

Berdasarkan ayat-ayat dan hadits yang melarang menghilangkan

nyawa orang lain yang disebutkan di atas, membunuh tanpa alasan yang hak atau

membunuh dengan sengaja ulama sepakat menyatakan bahwa perbuatan

menghilangkan nyawa orang lain tersebut hukumnya haram.

b). Jenis-Jenis Tindak Pidana Pembunuhan

Pembunuhan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang

dan/ atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan/ atau beberapa

35
Al-Maidah (5) : 45
36
Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), hlm. 120
22

orang meninggal dunia. Apabila diperhatikan dari sifat perbuatan seseorang

dalam melakukan pembunuhan, tindak pidana dalam syari’at Islam dapat

diklafikasikan atau dikelompokkan menjadi tiga macam: Amdi (disengaja), khata’

(tidak sengaja), dan qathlu syibhu amdi (semi disengaja).37

1). Pembunuhan sengaja

Pembunuhan sengaja yaitu perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang dengan tujuan untuk membunuh seseorang dengan menggunakan

alat, yaitu benda atau situasi, yang dipandang layak untuk membunuh.

2). Pembunuhan tidak disengaja

Pembunuhan tidak disengaja (khata’) adalah perbuatan yang

dilakukan seseorang dengan tidak ada unsur kesengajaan yang

mengakibatkan oranglain meninggal dunia. Sebagai contoh Seseorang

menebang pohon tiba-tiba pohon yang ditebangnya tumbang menjatuhi

orang yang lewat dengan tiba-tiba lalu meninggal dunia.

3). Pembunuhan semi sengaja

Pembunuhan semi sengaja adalah perbuatan yang sengaja

dilakukan oleh seseorang kepada oranglain dengan tujuan mendidik.

Sebagai contoh seorang guru memukulkan penggaris kepada kaki seorang

muridnya, tiba-tiba muridnya yang dipukul itu meninggal dunia, perbuatan

guru tersebut dinyatakan sebagai pembunuhan sybhu amdi (semi

disengaja).38

37
Zainuddin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika Offset, 2013), hlm. 125.
38
Ibid
23

Menurut Syafi’iyah, yang di kutip oleh Abdul Qadir Audah

pembunuhan menyerupai sengaja adalah suatu pembunuhan di mana pelaku

sengaja dalam perbuatan, tetapi keliru dalam pembunuhan. Adapun menurut

Hanbaliah pembunuhan menyerupai sengaja adalah sengaja dalam melakukan

perbuatan yang dilarang, dengan alat yang pada gholibnya tidak akan mematikan,

namun kenyataannya korban mati karenanya. 39

Pembunuhan yang tidak dibenarkan oleh syara’ adalah yang

diharamkan oleh Allah dan Rasullul-Nya. Allah SWT berfirman:

ْ ‫ق َو َم ْن قُتِ َل َم‬
‫ظلُو ًما فَقَ ْد َجعَ ْلنَا‬ ِ ‫َّللاُ ِإ ََّل ِب ْال َح‬
َّ ‫س الَّتِي َح َّر َم‬َ ‫َو ََل تَ ْقتُلُوا النَّ ْف‬
‫ور‬ً ‫ص‬ ُ ‫ف ِفي ْالقَتْ ِل ِإنَّهُ َكانَ َم ْن‬ َ ‫س ْل‬
ْ ‫طانًا فَ َال يُس ِْر‬ ُ ‫ِل َو ِل ِي ِه‬
Artinya:“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah

(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benarkan, dan

barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah

memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris

itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang

yang mendapat pertolongan.”40

Menurut Hamka dalam Tafsir al-Azhar bahwa diri yang diharamkan

oleh Allah yaitu diri yang diberi hak asasi untuk dipelihara dan dijaga kehormatan

hidupnya oleh Allah. Jelas disini bahwa jaminan hidup atau hak asasi yang

diberikan oleh Allah, atas diri manusia sudah ada lebih dari 13 abad yang lalu.

Namun dalam ayat ini terdapat kata “Kecuali dengan alasan yang benar”.Yaitu

misalnya terjadi peperangan yang tidak dapat dielakkan lagi, niscaya terjadi

39
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam)..., hlm. 142.
40
Al-Isra’ (17) : 33.
24

bunuh membunuh sesama manusia, maka berlakulah hukum qisas, yaitu nyawa

dibayar dengan nyawa, atau dihukum dengan suatu hukum yang telah dijatuhkan

oleh hakim menurut undang-undang yang ada.41

B. Pengertian Gangguan Jiwa

Menurut Longhort dalam buku Supratiknya, stigma terhadap gangguan

jiwa adalah istilah yang sebenarnya sukar didefenisikan secara khusus karena

istilah meliputi aspek yang luas, akan tetapi disepakati mengangdung konotasi

kemanusiaan yang kurang. Istilah ini berarti suatu sikap jiwa yang muncul dalam

masyarakat, yang mengucilkan anggota masyarakat yang memiliki kelainan

jiwa. 42 Ganguan jiwa atau bisa disebut Psikopatologi dalam islam dapat di bagi

dalam dua kategori; yaitu beresifat duniawi dan ukhrawi. Macam-macam

psikopatologi yang termasuk dalam kategori bersifat duniawi berupa gejala-gejala

atau penyakit kejiwaan sebagamaimana disebutkan dalam psikologi kontemporer.

Sedangkan psikopatelogi bersifat ukhrawi, berupa penyakit akibat penyimpangan

terhadap norma-norma atau nilai-nilai moral, spiritual, dan agama. 43

Salah satu perspektif spiritual dan religius adalah sebagaimana yang

dikemukakan oleh al-Ghozali. Psikopatologi yang merusak sistem kehidupan

spiritualitas dan keagamaan seseorang oleh al-Ghozali disebut dengan al-akhlaq

al-khabisah, yaitu akhlak yang buruk merupakan penyakit hati dan penyakit jiwa.

41
Hamka, Tafsir al-Azhar, cetakan kedua(Surabaya: Yayasan Latimojong, 1982 ),
juzu’ XV, hlm. 60
42
Supratiknya, Mengenal Perilaku Abnormal,Kanisus,Yogyakarta, 2006, hlm.15
43
Iin Tri Rahayu, psikoterapi perspektif islam dan psikologi kontemporer, (Malang: UIN
Malang Press, 2009).h1m. 36-137
25

Senada dengan pernyataan di atas, al-Razi dalam al-Thibb al-Ruhaniyah,

menyatakan bahwa salah satu bentuk psikopatologi adalah prilaku (akhlak)

tercela, sedangkan akhlak (yang mahmudah) merupakan pengobatan ruhani.44

Al-Ghozali menyebutkan delapan kategori yang termasuk prilaku

merusak (al-muhlikat) yang mengakibatkan psikopatologi, yaitu;

a) bahaya syahwat perut dan kelamin (seperti memakan makanan syubhat

atau haram, atau hubungan seks yang dilarang);

b) bahaya mulut (seperti mengolok-olok, debat yang tidak berarti, dusta, adu

domba, dan menceritakan kejelekan orang lain);

c) bahaya marah, iri dan dengki;

d) bahaya cinta dunia;

e) bahaya cinta harta dan pelit;

f) bahaya angkuh dan pamer;

g) bahaya sombong dan membanggakan diri; dan;

h) bahaya penipu. 45

Hasan Muhammad al-Syarkawi mengemukakan Sembilan akhlak

buruk yang menjadi psikopatologi manusia, yaitu: al-riya, al-ghadab, al-ghaflah

wa al-nisyan, ak-wasawis, al-yais wa al-qunut, al-tama, al-ujub, al haqd wa al-

hasud.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengemukakan lima macam yang

menyebabkan psikopatologi yaitu:

44
Ibid.
45
Ibid,.hlm 137
26

a) banyak campur tangan dengan urusan orang lain, sehingga menyebabkan

perselisihan dan perpecahan (QS. al-Zukhruf: 67);

b) berarangan-angan pada sesuatu yang tidak mungkin terjadi, sehingga

menimbulkan kemalasan dan bisikan jahat;

c) bergantung kepada selain Allah, sehingga dirinya tidak memiliki

kebebasan dan kemerdekaan;

d) makan yang berlebihan, berlebihan terlebih lagi makanan haram, yang

dapat menimbulkan kemaslahatan beribadah; dan

e) banyak tidur, sehingga mengurangi tafakkur dan tadakkur, hanya

menggemukkan badan, dan menyianyiakan waktu.46

Abhidamma dari Psikologi Timur mengemukakan bahwa faktor

psikolopatologis sentral, yakni delusi, adalah perseptual. Delusi adalah kegelapan

jiwa yang menyebabkan persepsi mengalami kesalahan dalam menagkap obyek

kesadaran. Delusi merupakan ketidak tahuan dasar, pandangan yang salah, dan

pemahaman yang tidak tepat menjadi sumber utama penderitaan manusia.

Kesamaan konsep Abhidamma dengan para psikolog muslim ini disebabkan oleh

kesamaan pendekatan yang digunakan, yaitu dari pendekatan psikospiritual yang

didasarkan atas nilai agama jiwa dan penderitaan manusia. 47

Akhlak tercela dianggap sebagai psikopatologi, sebab hal itu

mengakibatkan dosa (al-itsm), baik dosa vertikal maupun dosa horizontal atau

sosial. Dosa adalah kondisi emosi seseorang yang dirasa tidak tenang setelah ia

melakukan suatu perbuatan (baik perbuatan lahiriah maupun batiniah) dan merasa

46
Ibid., hlm 138
47
Ibid.,hlm 139-140
27

tidak enak jika perbuatan itu diketahui oleh orang lain. Perbuatan dosa biasanya

dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sebab jika diketahui oleh orang lain maka

dapat menurunkan harga dirinya. Karena itu tidak diherankan apabila pelaku dosa

hidupnya selalu sedih, resah, bimbang gelisah dan dihantui oleh perbuatan

dosanya. Emosi negatif ini apabila terus-menerus dialami oleh individu maka

acapkali mendantangkan psikopatologi. 48

Baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, jenis-jenis psikopatologi

islami banyak sekali. Misalnya boros (al-israf), mengolok-olok (al-maan), pelit

(al-bakhil), mengadu domba (al-namimah), apa yang ditampakkan berbeda

dengan apa yang diyakini (al-nifaq), buruk sangka (su’ al-zhan), menyalahi janji

(al-ghadar), menceritakan keburukan orang lain (al-kufr), menyekutukan Tuhan

(al-syirk), dan sebagainya. Meskipun tidak terhingga banyaknya, namun setidak-

tidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) psikopatologi yang

berhubungan dengan akidah atau berhubungan dengan Tuhan (illahiyah), seperti

syirik, kufur, zindiq, dan sebagainya; (2) psikopatologi yang berhubungan dengan

hubungan kemanusiaan (insaniyah), seperti hasud, ujub, ghadab, su’ al-zhan, dan

sebagainya; dan (3) psikopatologi yang berkaitan dengan akidah dan hubungan

manusia, seperti riya, nifak, dan sebagainya. 49

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa ganguan jiwa dalam Islam

adalah semua prilaku batiniah yang tercela, yang tumbuh akibat menyimpang

(inkhiraf) terhadap kode etik pergaulan, baik secara vertical (illahiyah) maupun

horizontal (insaniyah). Penyimpangan perilaku batiniyah tersebut mengakibatkan

48
Ibid
49
Ibid., hlm.141
28

penyakit dalam jiwa seseorang, yang apabila mencapai puncaknya mengakibatkan

kematian.

Dalam hukum pidana, gangguan jiwa atau dikenal juga dengan istilah

skizofrenia. Menurut Julianto Simajuntak adalah penyakit dimana keprebadian

mengalami keretakan, alam pikir, perasaan, dan perbuatan individu terganggu.

Pada orang normal, alam pikiran, perasaan, dan perbuatan ada kaitannya atau

searah, tetapi pada pasien skizofrenia ketiga alam itu terputus, baik satu atau

semuanya.50Sedangakn menurut Dr. A. Supratiknya dalam bukunya yang berjudul

Mengenal Perilaku Abnormal, skizofrenia adalah gangguan psikotik berat yang

ditandai distorsi berat atas realitas, menarik diri dari interaksi sosial, disorganisai

dan fragmentasi persepsi, pikiran dan emosi. 51 Muhammad Vandestra dalam

bukunya Terapi Kesehatan Jiwa & Mental Dalam Islam, menyebutkan bahwa

penyakit jiwa adalah kelainan keprebadian yang ditandai oleh mental dalam

(profound-mental) dan gangguan emonsional yang mengubah individu normal

menjadi tidak mampu mengatur dirinya untuk menyesuaikan diri dalam

masyarakat.52Namun, dalam pandangan masyarakat umum (awam) skizofrenia

atau orang yang berpenyakit jiwa sudah di identikkan dengan gila atau orang gila.

Gangguan jiwa juga dikenal dengan istilah abnormal, beberapa istilah

tentang perilaku abnormal yaitu; perilaku maladatiptif, gangguan mental,

psikopatologi, gangguan emonsional, penyakit jiwa, gangguan perilaku, penyakit

mental, dan ketidakwarasan sering dipakai secara bergantian untuk, secara umum-

50
Julianto Simajuntak, Konseling Gangguan Jiwa (Jakarta: Percetakan PT Gramedia,
2008), hlm. 7
51
Supratiknya, Mengenal Perilaku Abnormal,Kanisus,Yogyakarta, 1995, hlm.71
52
Muhammad Vandestra, Terapi Kesehatan Jiwa &Mental Dalam Islam (Dragon
Pomedia, 2017) hlm. 2
29

kasar, menunjuk gejala yang sama. 53 Keabnormalan itu dapat dibagi atas dua

golongan yaitu: Gangguan jiwa (neurose) dan sakit jiwa (psychose). Gangguan

jiwa (neurose) dan penyakit jiwa (psychose) adalah akibat dari tidak mampunya

orang menghadapi kesukaran-kesukarannya dengan wajar, atau tidak sanggup ia

menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapinya. 54

Dari hasil berbagai penyelidikan dapat dikatakan bahwa gangguan

jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang

berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut tidak

disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-bagian anggota badan, meskipun

kadang-kadang gejala terlihat pada fisik.55

Adapun bentuk-bentuk gangguan jiwa dalam Islam terbagi menjadi

dua kategori, yaitu bersifat duniawi dan ukhrawi. Macam-macam psikopatologi

yang termasuk dalam kategori bersifat duniawi berupa gejala-gejala atau

penyakit kejiwaan. Sedangkan psikopatologi bersifat ukhrawi, berupa penyakit

akibat penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai-nilai moral, spiritual, dan

agama. Sedangkan dalam Al-Qur’an maupun al-Sunnah, jenis-jenis

psikopatologi islami dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Psikopatologi yang

berhubungan dengan akidah atau berhubungan dengan Tuhan (illahiyah),

psikopatologi yang berhubungan dengan hubungan kemanusiaan (insaniyah),

psikopatologi yang berkaitan dengan akidah dan hubungan manusia. Sedangkan

bentuk-bentuk gangguan jiwa dalam hukum pidana antara lain:

53
Supratiknya, Mengenal Perilaku Abnormal, (Yogyakarta: Kanisus, 1995), hlm. 14
54
Zakiah Daradjat..,hlm. 17
55
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2001), hlm, 26
30

1. Gangguan jiwa organik: gangguan jiwa (psikotik maupun non-psikotik) yang

diduga ada kaitannya dengan faktor organik spesifik (bisa penyakit/gangguna

sistemik tubuh atau gangguan pada otak sendiri). 56

2. Skizofrenia : salah satu gangguan jiwa berat yang dapat mempengaruhi

pikiran, perasaan, perilaku individu.

3. Gangguan skizotipal dan gangguan waham : Individu yang mengalami

gangguan keprebadian skizotipal (schizotypal personality disorder) memiliki

cirri-ciri khas skizofrenia jauh lebih banyak dibandingkan dengan orang

yang mengalami gangguan keprebadian skizoid, tetapi simtom-simtomnya

tidak begitu berat untuk membenarkan diagnosis skizofrenia.

4. Gangguan neurotic :sebagian besar dialami sebagai suatu gangguan fungsi

intrafiskik, dan gejalanya adalah egodistonik, sementara patologi

keprebadian sebagian besar dialami sebagai gangguan fungsi antarpribadi,

dan pola perilaku maladaptif seringkali dialami sebagai ego-sintonik.

5. Gangguan perilaku masa anak dan remaja:menunjukkan perilaku yang tidak

sesuaidengan permintaan, kebiasaan atau norma-norma masyarakat.

6. Gangguan Psikosomatik: komponen psikologik yang diikuti gangguan

fungsi badaniah. Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan

sebagian besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang

dikuasai oleh susunan saraf vegetatif.

7. Retardasi Mental: keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atautidak

lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya rendahnya daya

56
Moch.Baharudin. Neurologi Klinis (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. 2017),
hlm. 377
31

keterampilanselama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat

kecerdasan secara menyeluruh.


BAB IV

ANALISIS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN GANGGUAN

JIWA DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM PIDANA

A. Bentuk-Bentuk Gangguan Jiwa Menurut Hukum Islam dan Hukum

Pidana

Berdasarkan KUHP pasal 44 ayat (1) berbunyi: “Tiada dapat

dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit

berubah akal.”57 Pasal ini menunjukkan bahwa orang yang gangguan jiwa atau

gila terbebas dari pidana. Adapun menurut UU Nomor 18 Tahun 2014 pasal 1

ayat 3 tentang Kesehatan Jiwa, bahwa yang di maksud dengan orang dengan

gangguan jiwa adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku,

dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau

perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan

hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. 58

Pembahasan secara khusus tentang bentuk ataupun jenis gangguan

jiwa atau gila yang ada dalam buku-buku hukum pidana Indonesia ataupun

hukum pidana Islam sulit ditemukan, namun ada beberapa istilah-istilah yang

sering dipakai oleh para ahli gangguan jiwa ataupun penulis-penulis buku

gangguan jiwa dalam menyebutkan istilah gangguan jiwa.

57
Andi Hamzah, KUHAP Dan KUHP, Cet. Ke 19 (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hlm.
230
58
Undang-Undang N0. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa

32
33

1. Bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum Islam

Dalam pemahaman agama Islam qalbu atau jiwa merupakan pusat

dari diri manusia. Segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia berpangkal pada

qalbu. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa nafsu negatif (iri,dengki,

memaksakan kehendak, antisosial, dorongan berbuat kejehatan) dengan kata lain

mempunyai hati yang sakit. Hal ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad

SAW.Yang menyatakan bahwa dalam diri manusia ada ‘’segumpal daging’’

(menunjuk aspek fisik dari qalbu), yang jika ‘’daging’’ itu baik atau sehat maka

baiklah (sehatlah) seluruh diri manusia dan sebaliknya, ‘’daging itu adalah qalbu

(aspek rohani manusia). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berbagai

bentuk gangguan mental berpangkal pada aspek qalbu sebagai pusat dari diri

manusia.59

Gangguan jiwa atau bisa disebut Psikopatologi dalam islam dapat di

bagi dalam dua kategori; yaitu bersifat duniawi dan ukhrawi. Macam-macam

psikopatologi yang termasuk dalam kategori bersifat duniawi berupa gejala-gejala

atau penyakit kejiwaan sebagamaimana disebutkan dalam psikologi kontemporer.

Sedangkan psikopatologi bersifat ukhrawi, berupa penyakit akibat penyimpangan

terhadap norma-norma atau nilai-nilai moral, spiritual, dan agama. 60

Baik dalam Al-Qur’an maupun al-Sunnah, jenis-jenis psikopatologi

islami banyak sekali. Meskipun tidak terhingga banyaknya, namun setidak-

tidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) psikopatologi yang

59
Perdana Akhmad, Ruqyah Syari’ah Vs Ruqyah Gadungan (Adamssein Media, 2005),
hlm.13
60
Iin Tri Rahayu, psikoterapi perspektif islam dan psikologi kontemporer, (Malang: UIN
Malang Press, 2009). Hal 136-137
34

berhubungan dengan akidah atau berhubungan dengan Tuhan (illahiyah); (2)

psikopatologi yang berhubungan dengan hubungan kemanusiaan (insaniyah); dan

(3) psikopatologi yang berkaitan dengan akidah dan hubungan manusia.61

Jadi, bentuk-bentuk gangguan jiwa dalam Islam terbagi menjadi dua

kategori, yaitu bersifat duniawi dan ukhrawi. Macam-macam psikopatologi yang

termasuk dalam kategori bersifat duniawi berupa gejala-gejala atau penyakit

kejiwaan. Sedangkan psikopatologi bersifat ukhrawi, berupa penyakit akibat

penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai-nilai moral, spiritual, dan

agama. Sedangkan dalam Al-Qur’an maupun al-Sunnah, jenis-jenis

psikopatologi islami dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Psikopatologi yang

berhubungan dengan akidah atau berhubungan dengan Tuhan (illahiyah),

psikopatologi yang berhubungan dengan hubungan kemanusiaan (insaniyah),

psikopatologi yang berkaitan dengan akidah dan hubungan manusia.

2. Bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum pidana

Adapun bentuk-bentuk gangguan jiwa dalam hukum pidana antara

lain gangguan jiwa organik, skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan

waham, gangguan neurotik, gangguan perilaku masa anak dan remaja, gangguan

psikosomatik dan retardasi mental.62Berikut penjelasan dari berbagai macam

gangguan jiwa tersebut diatas.

61
Ibid.,hlm.134
62
MIF Baihaqi, dkk, Psikiatri Konsep Dasar dan Gangguan-gangguan,(Cet.II, Jakarta:PT
Refika Aditama, 2007),hlm.63
35

1. Gangguan jiwa organik

Gangguan jiwa organik atau gangguan mental oraganik adalah

gangguan jiwa (psikotik maupun non-psikotik) yang diduga ada kaitannya

dengan faktor organik spesifik (bisa penyakit/gangguna sistemik tubuh atau

gangguan pada otak sendiri).63

2. Skizofrenia

Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang dapat

mempengaruhi pikiran, perasaan, perilaku individu. Istilah Skizofrenia

berasal dari bahasa yunani yaitu schizo (split/perpecahan) dan phren (jiwa).

Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan terpecahnya atau

terfragmentasinya pikiran individu dengan gangguan ini. Istilah skizofrenia

tidak menunjukkan beragamnya keprebadian pada individu.64

3. Gangguan skizotipal dan gangguan waham

Individu yang mengalami gangguan keprebadian skizotipal

(schizotypal personality disorder) memiliki cirri-ciri khas skizofrenia jauh

lebih banyak dibandingkan dengan orang yang mengalami gangguan

keprebadian skizoid, tetapi simtom-simtomnya tidak begitu berat untuk

membenarkan diagnosis skizofrenia. Individu yang menderita gangguan

keprebadian skizotipal memiliki pola-pola pembicaraan yang aneh, yakni

opla-pola pembicaraan yang menyimpang dan tidak jelas, tetapi ia tidak

menderita distorsi-distorsi yang berat (misalnya gado-gado kata/word

salads) sepeti yang kelihatan pada orang yang menderita

63
Moch.Baharudin. Neurologi Klinis (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. 2017),
hlm. 377
64
Surya Yudhantara, Synopsis Skizofrenia (Malang: UB Press, 2018), hlm 1
36

skizofrenia. 65Sedangkan gangguan waham di definisikan sebagai gangguan

psikiatrik dimana gejala yang utama adalah waham. Gangguan ini

sebelumnya disebut ‘’paranoia’’ atau ‘’gangguan paranoid’’.Karena itu

dalam pedoman pengolongan gangguan jiwa di Indonesia I disebur Psikosis

Paranoid.66

4. Gangguan neurotik

Gangguan neurotik sebagian besar dialami sebagai suatu gangguan

fungsi intrafiskik, dan gejalanya adalah egodistonik, sementara patologi

keprebadian sebagian besar dialami sebagai gangguan fungsi antarpribadi,

dan pola perilaku maladaptif seringkali dialami sebagai ego-sintonik.

Contohya adalah seseorang dengan gangguan obsesif-komplusif akan

ketidakmampuannya untuk mengendalikan pikiran atau perilakunya

sendirinya, sementara keprebadian obsesif-kompulsif seringkali teriritasi

terhadap dan intoleran akan ketidaksempurnaan atau disorganisasi dari

orang lain. 67

5. Gangguan perilaku masa anak dan remaja

Anak dengan gangguan perilaku menunjukkan perilaku yang

tidak sesuaidengan permintaan, kebiasaan atau norma-norma masyarakat.

Anak dengan gangguan perilaku dapat menimbulkan kesukaran dalam

asuhan dan pendidikan. Gangguan perilaku mungkin berasal dari anak atau

mungkin dari lingkungannya, akan tetapi akhirnya kedua faktor ini saling

65
Yustinus Semiun, Kesehatan Mental (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm 21
66
Inu Wicaksana, Mereka Bilang Aku Sakit Jiwa (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm 172
67
Residen Bagian Psikiatri UCLA, Buku Saku Psikiatri (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran,
1997), hlm.319
37

mempengaruhi. Diketahui bahwa ciri dan bentuk anggota tubuh serta sifat

kepribadian yang umum dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya.

Pada gangguan otak seperti trauma kepala, ensepalitis, neoplasma dapat

mengakibatkan perubahan kepribadian. Faktor lingkungan jugadapat

mempengaruhi perilaku anak, dan sering lebih menentukan oleh karena

lingkungan itu dapat diubah, maka dengan demikian gangguan perilaku itu

dapat dipengaruhi atau dicegah. 68

6. Gangguan Psikosomatik

Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi

badaniah. Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan

sebagian besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh

yang dikuasai oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan psikosomatik dapat

disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena

biasanya hanya fungsi faliah yang terganggu, maka sering disebut juga

gangguan psikofisiologik.

7. Retardasi Mental

Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang

terhenti atautidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya

rendahnya daya keterampilanselama masa perkembangan, sehingga

berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya

kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial. 69

68
MIF Baihaqi, dkk, Psikiatri Konsep Dasar dan Gangguan-gangguan,(Cet.II, Jakarta: PT
Refika Aditama, 2007), hlm.114
69
Ibid.,hlm. 114
38

Dari uraian tersebut diatas dapat di pahami bahwa ganguan jiwa

dalam hukum pidana dapat disimpulkan secara umum bahwa semua keadaan

seseorang yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik maupun

mental. Sedangkan bentuk-bentuk gangguan jiwa dalam hukum pidana sangat

banyak sekali antara lain: Gangguan jiwa organik, skizofrenia, gangguan

skizotipal dan gangguan waham, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik,

gangguan somatoform, gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa,

retardasi mental, gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan

remaja.

B. Pandangan Hukum Islam dan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana

yang Dilakukan Oleh Orang yang Gangguan Jiwa

Sebagai perbuatan terlarang, pembunuhan merupakan tindakan

menghilangkan nyawa seseorang oleh seseorang atau sekelompok orang.

Berkenaan dengan masalah menghilangkan nyawa sebagai balasan bagi

pembunuh atau masalah hukuman karena meluasnya kebejatan di muka bumi,

maka hanya pengadilan dan hakim yang berwenang memutuskannya. Dalam

keadaan bagaimanapun, tidak seorangpun manusia berhak menghabisi hidup

orang lain sebagai pembalasan atau kerusakan. Oleh karena itu, kewajiban bagi

setiap manusia adalah saling menjaga dan melindungi hak hidup orang lain.

Kriminalitas merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan, baik

dari segi norma hukum, sosial, terlebih lagi agama. Namun, hari ini (terutama di

Indonesia) tak sedikit orang yang menutup mata akan hal tersebut, hal ini

dibuktikan dengan tingginya angka tindak kriminal yang terjadi di negara ini.
39

Namun terlepas berapa angka kriminal yang terjadi, dari deretan kasus, ada satu

kasus yang cukup menghebohkan publik Indonesia, yaitu kasus kejahatan dengan

dugaan penegak hukum pelakunya adalah orang gila.

1. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pembunuhan dengan Gangguan Jiwa

Dalam hukum Islam pidana sering di istilahkan

jarimah dan jinayah. Hanya saja dalam Islam lebih di perjelas bahwa

hukumannya atau pertanggung jawaban dari tindak pidana

berupa qishas dan hudud ataupun ta’zir. Gila dalam hal pembunuhan secara

umum terbagi dua, yaitu sebelum dan sesudah melakukan tindak pidana

pembunuhan. Gila yang muncul setelah seseorang melakukan jarimah, baik

sebelum atau setelah proses pengadilan. Adapun pertaggungjawaban orang gila

berkaitan dengan pidana ini berbeda-beda, perbedaan ini disebabkan dua aspek,

apakah gilanya menyertai jarimah atau terjadi sesudahnya. Adapun rinciannya

adalah sebagai berikut:

a). Gila yang menyertai jarimah (tindak pidana)

Apabila gila menyertai tindakan pidana (saat melakukan dalam

kondisi gila), maka pelakunya dibebaskan dari pertanggung jawaban pidana,

karena saat melakukan hal tersebut ia tidak mempunyai kemamuan idrak

(berfikir).70 Para ulama sepakat bahwa gila termasuk dari awaridhul

ahliyah (hal yang menghalangi jatuhnya beban hukum terhadap seseorang).

70
https://www.annursolo.com/pertanggunjawaban-orang-gila-dalam-kasus-pidana-menurut-
islam/, akses 14 November 2019
40

Dalam hal ini yang menjadi landasannya adalah hadits Rasulullah SAW

yang berbunyi:71

َ ‫ َو َع ِن النَّائِ ِم َحتَّى يَ ْستَ ْي ِق‬، ‫صبِي ِ َحتَّى يَ ْبلُ َغ‬


،‫ظ‬ َّ ‫ َع ِن ال‬: ‫ث‬ٍ ‫ُرفِ َع ْالقَلَ ُم َع ْن ثَال‬
ِ ُ‫َو َع ِن ْال َمجْ ن‬
َ‫ون َحتَّى يُفِيق‬
Artinya:“Pena diangkat dari tiga kelompok manusia: dari anak kecil

hingga dia baligh, dari orang tidur hingga dia bangun, dari orang

gila hingga dia sadar.” (HR Ahmad).72

Dari sini dapat disimpulkan bahwa apabila seorang yang mengidap

penyakit gila melakukan tindakan jarimah al-hudud atau tindak pidana yang

berkonsekunsi pada penegakan had, seperti berzina, mabuk, mencuri dan

sebagainya maka ia tidak terkena hukuman had alias gugur.

Adapun dalam tindak pidana yang berkonsekuensi qishash dan diyat.

Maka orang gila tidaklah diqishash. Melainkan hukuman diganti dengan uqubah

Maliyah, yaitu dengan membayar diyat. Hal tersebut dikarenakan kejahatan yang

berkaitan dengan hak hamba itu tidak bisa digugurkan seperti halnya hak Allah.

Sedang pembunuhan yang ia lakukan itu disamakan dengan al-qathl al-

khata’. Sebagaimana pendapat mayoritas ulama selain Syafi’i mengatakan

“(perbuatan) yang disengaja oleh orang gila itu (dianggap) khata”73

Jadi, apabila gila menyertai tindakan pidana (saat melakukan dalam

kondisi gila), maka pelakunya dibebaskan dari pertanggung jawaban pidana,

karena saat melakukan hal tersebut ia tidak mempunyai kemamuan, namun

71
Al-Hafidz Abu Daud bin Sulaiman bi al-Asy’ats al-Sinjistani, Sunan Abi Daud (Bierut:
;Dar al-Fikr) 4/194
72
Ibid
73
https://www.annursolo.com/pertanggunjawaban-orang-gila-dalam-kasus-pidana-menurut-
islam/, akses 14 November 2019
41

jikadalam tindak pidana yang berkonsekuensi qishash dan diyat. Maka orang

gila tidaklah di qishash. Melainkan hukuman diganti dengan uqubah Maliyah,

yaitu dengan membayar diyat.

b). Gila yang datang kemudian

Muncul setelah seseorang melakukan jarimah, baik

sebelum atau setelah proses pengadilan. Dalam masalah ini para ulama

berbeda pendapat: Menurut pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah, tidak

menghalangi dan menghentikan proses hukuman, artinya mereka tetap

diqishas dan dikenai had meskipun mereka dalam kondisi gila. Hal ini

dikarenakan menurut mereka dasar dari dilaksanakanya hukuman adalah

terpenuhinya syarat taklif ketika melakukan tindakan pidana, Madzhab

Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa seorang pelaku tindak pidana

yang kemudian mengalami kegilaan tidak dikenai had dalam jarimah

hudud hingga tersadar, dikarenakan penegakan had masuk juga dalam

perkara taklif yang dibebankan pada orang gila, sedangkan mereka bukan

lagi mukhatab ketika masa pengadilan ataupun masa eksekusi karena

kegilaannya. Serta karena syarat legal penegakan had menurut Hanafiyah

bukan hanya terpenuhinya syarat taklif ketika melakukan tindak pidana

saja, namun juga saat masa pengadilan dan eksekusi hukuman. 74

Maka menurut hukum Islam, gila dalam hal pembunuhan secara

umum terbagi dua, yaitu sebelum dan sesudah melakukan tindak pidana

pembunuhan. Jadi, apabila gila menyertai tindak pidana (saat melakukan dalam

74
Ibid.,
42

kondisi gila) ataupun disebut gila sebelum, maka pelakunya dibebaskan dari

pertanggungjawaban pidana. Namun jikadalam tindak pidana yang

berkonsekuensi qishash dan diyat. Maka orang gila tidaklah di

qishash. Melainkan hukuman diganti dengan uqubah Maliyah, yaitu dengan

membayar diyat. Sedangkan gila sesudah melakukan tindak pidana atau datang

kemudian baik sebelum atau setelah proses pengadilan, menurut pendapat

Syafi’iyah dan Hanabilah tetap diqishas dan dikenai had meskipun mereka dalam

kondisi gila. Sedangkan Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat tidak

dikenai had dalam jarimah hudud hingga tersadar.

2. Pandangan Hukum Pidana Terhadap Pembunuhan dengan Gangguan


Jiwa
Pembunuhan yang dilakukan oleh orang gila jika dipandang dari

hukum pidana, maka pelaku akan terbebas dari jerat hukum sebab kegilaannya

tersebut. Sebagaimana yang tertera dalam pasal 44 ayat 1 KUHP (Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana) yang berbunyi: Barangsiapa melakukan perbuatan yang

tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam

pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

Kemudian, Pasal 44 ayat (2) KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana) yang berbunyi: Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat

atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang
43

itu dimasukkan kerumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu

percobaan.75

Kemudian dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus

pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP): Alasan penghapus pidana dapat terjadi karena

perbuatannya tidak dapat dipidana atau perbuatannya yang tidak dapat dipidana.

Dalam hubungan ini, maka alasan penghapus pidana, dapat dibedakan menjadi:

alasan pembenar&alasan pemaaf tidak mampu bertanggungjawab terdapat dalam

pasal 44 KUHP.

Disamping alasan penghapus pidana yang diatur dalam undang-

undang seperti diatas tersebut, schaffmeister, keijer dan sutorius mengatakan,

masih ada alasan penghapus pidana diluar undang-undang yaitu: a). izin dan

norma-norma jabatan yang sudah diterima (alasan pembenar); b). sesat (fakta dan

hukum), dan ketidakmampuan yang dapt dimaafkan (alasan pemaaf). 76

Maka jelaslah bahwa jika dihukumi lewat kacamata hukum pidana,

maka pelaku akan terbebas dari jerat hukum sebab kegilaannya tersebut.

Sebagaimana yang tertera dalam alasan pemaaaf point pertama yakni, tidak

mampu bertanggungjawab yang terdapat dalam pasal 44 ayat 1 dan 2 KUHP

(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

75
Andi Hamzah, KUHP DAN KUHAP, (Jakarta: Rineka C ipta,2015), hlm. 23
76
Suyanto, Pengantar Hukum Pidana, (Yogyakarta: Deepublish, 2018), hlm.114
44

C. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana


Pembunuhan dengan Gangguan Jiwa Menurut Hukum Islam dan
Hukum Pidana
Pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana menyangkut

pembahasan-pembahasan tentang arti dan dasar pertanggungjawaban pidana;

hal-hal yang menimbulkan pertanggungjawaban pidana; hal-hal yang

mempengaruhi pertanggungjawaban pidana.

1. Arti dan dasar pertanggungjawaban pidana

Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam ialah

pembebasan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak adanya

perbuatan) yang dikerjakannya dengan kamauan sendiri, di mana ia mengetahui

maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu. 77 Sementara dalam

hukum pidana pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya

celaaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang

ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya

perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya

pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana

hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan

pidana tersebut. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah

pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. 78

77
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta:Bulan Bintang, 1968), hlm. 154
78
Mahrus ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta:sinar grafika, 2012). Hlm.157
45

Dalam syari’at Islam pertanggungjawaban itu didasarkan kepada tiga

hal berikut:

a. ) Adanya perbuatan yang dilarang

b. ) Perbuatan itu dikerjakan dengan perbuatan sendiri

c.) Pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu.

Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula

pertanggungjawaban, dan kalau tidak terdapat maka tidak ada pula


79
pertanggungjawaban pidana. Maka dengan adanya tiga syarat yang disebutkan

diatas maka kita dapat mengetahui bahwa orang yang bisa dikenakan beban

pertanggungjawaban pidana hanyalah manusia yang berakal, dewasa dan

berkemauan sendiri.Kalau tidak terdapat syarat demikian maka tidak dapat pula

dikenakan pertanggungjawaban atasnya, sebab orang yang tidak berakal fikiran

tidak termasuk orang yang mengetahui dan dan bukan orang yang mempunyai

pilihan, demikian juga orang yang belum dewasa.Oleh karena itu, tidak ada

pertanggungjawaban bagi orang gila, kanak-kanak, orang yang sudah hilang

kemauannya dan orang yang dipksa atau terpaksa.

2. Hal-hal yang menimbulkan pertanggungjawaban pidana

Faktor yang mengakibatkan pertanggungjawaban pidana adalah

perbuatan maksiat yakni, perbuatan melawan hukum, yaitu mengerjakan

perbuatan (larangan) yang dianggap oleh syara’ atau sikap tidak berbuat yang

diharuskan oleh syari’at. Meskipun perbuatan melawan hukum menjadi sebab

adanya pertanggungjawaban pidana, namun diperlukan dua syarat bersama-sama

79
0pcit., hlm 154
46

yaitu, mengetahui dan pilihan. Kalau salah satu syarat tidak ada, maka tidak ada

pertanggungjawaban pidana. 80

3. Hal-hal yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pertanggungjawaban

pidana dalam hukum islam yaitu: Tidak tahu, lupa dan keliru. Berikut

penjelasannya masing-masing dari faktor tersebut.

1. Tidak tahu, salah satu aturan pokok dalam syariat islam ialah bahwa

pembuat tidak dihukum karena sesuatu perbuatan yang dilarang kecuali

kalau ia mengetahui (benar-benar) dengan kesempurnaan tentang

dilarangnya perbuatn tersebut. Kalau ia tidak tahu tentang dilarangnya

tersebut maka pertanggungjawaban pidana terhapus dari padanya.

2. Lupa, menurut Aam Imaduddin lupa adalah kondisi dimana kita terlepas

dari ingatan terhadap sebuah peristiwa , dan biasanya ini bersifat alami,

sesuai dengan sunnatullah bahwa ada ingat ada lupa. 81sedangkan

menurut Ahmad Hanafi lupa ialah tidak tersiapnya sesuatu pada waktu

dibutuhkan (diperlukan), dalam syariat islam di gandengakan dengan

keliru. 82

3. Keliru, ialah apabila terjadi bukan atas kehendak si pembuat. Dari segi

pertanggungjawaban pidana orang yang keliru dipersamakan dengan

orang yang sengaja berbuat, selama perbuatan yang terjadi daripadnya

diharamkan oleh syara’. Akan tetapi sebab adanya pertanggungjawaban

tersebut pada masing-masingnya berbeda-beda. Pada perbuatan sengaja

80
Ibid., hlm. 159
81
Aam Imaduddin, memahami arti perubahan, (tasikmalaya: edu publisher, 2018), hlm. 54
82
Opcit., hlm. 184
47

sebabnya ialah sengaja menyalahi (melawan) perintah syara’, dan pada

perbuatan karena keliru sebabnya ialah menyalhi syara’ bukan karena

sengaja, melainkan karena kelalaina dan tidak adanya hati-hati dan

ketelitian. 83

4. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Islam

Adapun yang menjadi faktor pertanggungjawaban dalam hukum

Islam yaitu: Adanya perbuatan yang dilarang, perbuatan itu dikerjakan dengan

perbuatan sendiri dan pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu. Jadi apabila

terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula pertanggungjawaban, dan kalau tidak

terdapat maka tidak ada pula pertanggungjawaban pidana. 84

Ketiga unsur tersebut, maka dapat diketahui bahwa yang bisa dibebani

pertanggung jawaban pidana hanyalah manusia, yakni manusia yang berakal

pikiran, dewasa dan berkemauan sendiri. Dalam kasus pembunuhan oleh orang

yang menderita gangguan jiwa, maka tidak dapat dijatuhi hukuman sebagaimana

yang dijelaskan dalam H.R. Bukhari, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, dan Daru

Qutni dari Aisyah dan Ali Ibnu Thalib.

َ ‫ص ِبي ِ َحتَّى َي ْبلُ َغ َو َع ِن النَّا ِئ ِم َحتَّى َي ْستَ ْي ِق‬


‫ظ‬ َّ ‫ َع ِن ال‬: ‫ث‬ ٍ ‫ُر ِف َع ْالقَلَ ُم َع ْن ثَال‬
ِ ُ‫َو َع ِن ْال َمجْ ن‬
َ‫ون َحتَّى يُفِيق‬
Artinya : Diangkat pembebanan hukum dari tiga (jenis orang); orang tidur

sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai

ia sembuh.85

83
Ibid. 186
84
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta:Bulan Bintang, 1968), hlm. 154
85
Muhammad Ibn Isma’il Al Buhari, Sahih Al-Bukhari, Vol. VII (Dar al-Fikr, Beirut, tt)
48

Keadaan gila ini tidak menjadikan suatu jarimah dibolehkan,

melainkan hanya menghapuskan hukuman dari pelakunya. Akan tetapi

pembebasan orang gila dari hukuman, tidak berarti ia dibebaskan juga dari

pertanggungjawaban perdata, sebab harta benda dan jiwa orang lain dijamin

keselamatannya oleh syara’ dan alasan-alasan yang sah tidak dapat

menghilangkan jaminan tersebut. Sebagaimana orang gila masih tetap memiliki

harta benda, ia juga dapat dibebani pertanggungjawaban perdata, yaitu

pertanggungjawaban yang berkaitan dengan harta.86

5. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana

Dalam sistem hukum pidana ada dua jenis sanksi yang keduanya

mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan.

Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan didalam

menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan

perbuatan pidana. Bentuk-bentuk sanksi inipun bervariasi, seperti pidana mati,

pidana seumur hidup, dan pidana berupa pencabutan hak-hak tertentu,

perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim yang

semuanya merupakan pidana tambahan. Sedangakan sanksi tindakan merupakan

jenis sanksi yang lebih banyak tersebar diluar KUHP, walaupun dalam KUHP

sendiri mengatur juga bentuk-bentuknya, yaitu berupa perawatan dirumah sakit

dan dikembalikan pada orangtuanya atau walinya bagi orang yang tidak mampu

bertanggungjawab dan anak-anak masih dibawah umur. 87

86
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy
Muqaranan bil Qanunil Wad’iy), Jilid II, h. 383.
87
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 194
49

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sanksi pidana bagi pelaku

pembunuhan diatur dalam pasal 338-350 KUHP, dimana hukuman terberatnya

adalah pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,

paling lama dua puluh tahun (pasal 340), sedangkan hukuman paling ringan

adalah dijatuhkan hak berdasarkan pasal 35 No. 1-5 (pasal 350). Namun semua

sanksi pidana tersebut tidak berlaku untuk orang gila atau tidak berakal

sebagaimana yang dijelaskan berikut ini.

Dalam KUHP yang sekarang berlaku, tidak mampu

bertanggungjawab yang terdapat dalam pasal 44 ditandai dari salah satu dua hal,

yaitu: jiwa yang cacat atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Tidak mampu

bertanggungjawab adalah ketidak normalan ‘keadaan’ batin pembuat, karena

gangguan jiwa atau penyakit jiwa, sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan

apakah patut dicela atau tidak karena perbuatannya. Dengan kata lain seseorang

dipandang mampu bertanggungjawab jika tidak ditemukan keadaan-keadaan

tersebut.88

Maka orang gila mendapatkan pembelaan dengan alasan penghapus

pidana. Alasan enghapus pidana dapat terjadi karena perbuatannya tidak dapat

dipidana atau perbuatannya yang tidak dapat dipidana. Dalam hubungan ini, maka

alasan penghapus pidana, dapat dibedakan menjadi:Alasan pembenar

(rehtsvaardigingsgrond), Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond), diantaranya

adalah tidak mampu bertanggungjawab yang terdapat dalam pasal 44 KUHP.

88
Choirul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 98.
50

Disamping alasan penghapus pidana yang diatur dalam undang-

undang seperti diatas tersebut, Schaffmeister, Keijer dan Sutorius mengatakan,

masih ada alasan penghapus pidana diluar undang-undang yaitu: a). Izin dan

norma-norma jabatan yang sudah diterima (alasan pembenar); b). Sesat (fakta dan

hukum), dan ketidakmampuan yang dapat dimaafklan (alasan pemaaf). 89

Tidak dapat dipertanggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat

dijatuhi pertanggungjawaban pidana. Berarti, ketika ditemukan tanda (sebab)

sesorang tidak mampu bertanggungjawab dan karenanya dipandang tidak dapat

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka proses

pertanggungjawabannya berhenti sampai disini. Orang itu hanya dapat dikenakan

tindakan, tetapi tidak dapat dikenakan pidana. Tidak pula perlu diperiksa apakah

ada salah satu bentuk kesalahan dan alasan penghapusan kesalahan pada dirinya.

Untuk dapat dikatakan bahwa seseorang mampu bertanggung jawab

yangmenentukan adalah faktor akalnya. Dalam hal tidak mampu

bertanggungjawab,keadaan akal pembuat tindak pidana tidak berfungsi normal.

Tidak normalnya fungsi akal, disebabkan karena perubahan pada fungsi jiwa yang

mengakibatkangangguan pada kesehatan jiwa.

Jadi pembuat tindak pidana tidak mampubertanggung jawab tersebut

karena sebab-sebab tertentu yang hanya dapatdijelaskan dari segi medis. Untuk

itu hakim wajib menghadirkan seorang saksi ahli yang dapat menjelaskan hal

tersebut, sehingga pelaku tindak pidana dipandang atau dinilai sebagai tidak

mampu bertanggung jawab. Menurut pasal 44 ayat 2 hakim dapat memasukkan ke

89
Ibid., hlm.114
51

rumah sakit jiwa selama satu tahun jika perbuatan itu tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepada terdakwa karna kurang sempurna akalnya atau

sakit berubah akalnya. Ini berarti hakim dapat memutuskan lepas dari tuntutan

hukum atau sebagai tindakan memerintahkan untuk dimasukkan ke rumah sakit

jiwa tersebut.90

90
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Reneka Cipta, 2010), hlm. 158.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan

oleh peneliti pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa

dalam perbandingan hukum Islam dengan hukum pidana tentang tindak pidana

pembunuhan dengan gangguan jiwa dapat disimpulkan sebagai berikut.

1). Bentuk-bentuk gangguan jiwa dalam Islam yaitu bersifat duniawi dan ukhrawi.

Sedangkan dalam Al-Qur’an maupun Al-Sunnah yaitu: Psikopatologi yang

berhubungan dengan akidah (illahiyah), kemanusiaan (insaniyah),

psikopatologi yang berkaitan dengan akidah dan hubungan manusia.

Sedangkan bentuk gangguan jiwa dalam hukum pidana dapat disimpulkan

antara lain: Gangguan jiwa organik, skizofrenia, gangguan skizotipal dan

gangguan waham, gangguan neurotik, gangguan perilaku masa anak dan

remaja, gangguan psikosomatik dan retardasi mental.

2). Pandangan hukum islam dan hukum pidana terhadap tindak pidana yang

dilakukan oleh orang yang gangguan jiwa. Gila dalam hal pembunuhan secara

umum terbagi dua, yaitu sebelum dan sesudah pembunuhan. Apabila gila

menyertai tindak pidana, maka pelakunya dibebaskan dari pertanggungjawaban

pidana. Namun jika dalam tindak pidana yang berkonsekuensi qishash dan

diyat. Maka orang gila tidaklah di qishash tetapi diganti dengan uqubah

Maliyah. Sedangkan gila sesudah melakukan tindak pidana, menurut pendapat

Syafi’iyah dan Hanabilah tetap diqishas dan dikenai had . Sedangkan Madzhab

Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat tidak dikenai had dalam jarimah

52
53

hudud hingga tersadar. Sedangkan jika dihukumi lewat kacamata hukum

pidana, maka pelaku akan terbebas dari jerat hukum sebab kegilaannya

tersebut. Sebagaimana yang terdapat dalam pasal 44 ayat 1 dan 2 KUHP (Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana).

3). Bentuk-bentuk pertanggungjawaban pembunuhan antara lain: 1) Hukuman

pokok. 2) Hukuman pengganti. 3) Hukuman tambahan. Namun bagi orang gila

yang melakukan tindak pidana pembunuhan maka ia terbebas dari ketiga

hukuman tersebut, tetapi dikenakan hukuman perdata. Sedangkan bentuk

pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana yaitu, sanksi pidana dan

sanksi tindakan. Namun jika pembunuhan dilakukan oleh orang gila, maka ia

gugur atau terbebas dari sanksi pidana melainkan dikenakan sanksi tindakan

yaitu dimasukkan kerumah sakit selama setahun oleh hakim berdasarkan pasal

44 KUHP.
54

B. Saran

Bertolak dan simpulan yang telah dipaparkan di atas, penelitimencoba

mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1) Hendaknya masyarakat muslim lebih menyadari bahwa hukum yang

diberlakukan Allah adalah untuk kemaslahatan dan bukan semata-mata

hanya untuk mengatur kepentingan manusia saja. Begitupun dengan

hukum positif yang berlaku di negara kita bukan semata-mata untuk

kepentingan pribadi.

2) Hendaknya masyarakat dapat memposisikan din berkaitan dengan dua

aspek hukum yang ada di Indonesia, yaitu aspek hukum Islam dan aspek

hukum positif, sehingga dalam menjalankan kedua-duanya tetap

berpegang teguh pada kemaslahatan ummat.

3) Hendaknya penegak hukum, bahwa tindak pidana berupa tindak pidana

pembunuhan dalam keadaan gangguan jiwa ini harus dengan teliti dan

secara adil.
55

C. Penutup

Alhamdulillahi rabbil ‘Alamiin penulis panjatkan syukur yang

sedalamnya atas nikmat, taufiq, hidayah dan inayah kepada Allah SWT

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Shalawat dan

salam penulis ucapkan keharibaan Nabi Muhammad SAW. Dengan ucapan,

tindakan, dan taqrir beliau sebagai pelengkap dan penjelas akan firman Allah

(Al-Qur’an) yang merupakan petunjuk bagi tata kehidupan manusia untuk

mencapai kebahagiaan sejati (fi daraini hasanah wa qina‘adzabannar).

Akhir kata, Semoga skripsi ini dapat memberikan kemanfaatan bagi

penulis khususnya dan khalayak umum pada umumnya. Namun sebagai insan

biasa, penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,

Karena kesempurnaan yang hakiki hanyalah milik Allah SWT. Oleh

karena itu saran, kritik atau gagasan-gagasan membangun kepada tujuan

mencapai “kebenaran” dari pihak manapun sangatlah penulis

harapkan.Wassalamualaikum Wr, Wb.

Jambi, 25 Januari 2020


Mahasiswa

YASIR ARAFAT
NIM.SHP.162208
DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Al-Qur’an dan terjemahannya, Departemen Agama RI. Bandung:Diponegoro, 2008

A. Hanafi, Asaz-Asaz Hukum Pidana Islam, Cet. 5, Jakarta: Bulan Bintang, 1993

Aam Imaduddin, Memahami Arti Perubahan, Tasikmalaya: Edu Publisher, 2018

Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, Jakarta: R.Cipta,1992

Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana, Cet. Kesatu

Jakarta: Kencana, 2016

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam Yogyakarta: Bulan Bintang, 1968

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Al-Qur’an, Cet. 1, Jakarta Timur:

Diadit Media, 2007

Al-Hafidz Abu Daud bin Sulaiman bi al-Asy’ats al-Sinjistani, Sunan Abi Daud,

Bierut: Dar al-Fikr 4/194

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Reneka Cipta, 2010

Didik Endro Purwolekso, Hukum Pidana, Surabaya: Airlangga University Press,

2016

Hamka, Tafsir al-Azhar, cetakan kedua Surabaya: Yayasan Latimojong, 1982

Iin Tri Rahayu, psikoterapi perspektif islam dan psikologi kontemporer, Malang:

UINMalang Press, 2009

Inu Wicaksana, Mereka Bilang Aku Sakit Jiwa, Yogyakarta: Kanisius, 2008

Ishaq, Metode Penelitian Hukum, Bandung:Alfabeta, 2017

Jakarta: Sinar Grafika, 2007Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, Jakarta: Toko

Gunung Agung, 2001

56
57

Julianto Simajuntak, Konseling Gangguan Jiwa, Jakarta: Percetakan PT Gramedia,

2008

Kun Maryati, Jujun Suryawati, Sosiologi Jilid 3, ESIS, tanpa tahun

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011

MIF Baihaqi, dkk, Psikiatri Konsep Dasar dan Gangguan-gangguan, Cet.II,

Jakarta: PT Refika Aditama, 2007

Moch.Baharudin. Neurologi Klinis, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

2017

Moeljatno,Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta :Bina Aksara,1987

Muhammad Ibn Isma’il Al Buhari, Sahih Al-Bukhari, Vol. VII, Dar al-Fikr, Beirut,

tt

Muhammad Rodhi, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Pidana Islam dan Hukum

Pidana, Jakarta: Bulan Bintang, 2006

Muhammad Vandestra, Terapi Kesehatan Jiwa &Mental Dalam Islam, Dragon

Pomedia, 2017

Perdana Akhmad, Ruqyah Syari’ah Vs Ruqyah Gadungan, Adamssein Media, 2005

Residen Bagian Psikiatri UCLA, Buku Saku Psikiatri, Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran, 1997

Rohidin, Pengantar Hukum Islam, Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016

Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015

Saifuddin Azwar, Metode Penulisan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013

Soejono, Metode Penelitan Hukum, Jakarta: P.T Rineka Cipta, 1997.


58

Sofyan Maulana, Hukum Pidana Islam dan Pelaksanaan, Jakarta: Rineka Cipta.

2004

Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung;

Alfabeta.2009

Supratiknya, Mengenal Perilaku Abnormal, Yogyakarta: Kanisus, 1995

Surya Yudhantara, Synopsis Skizofrenia, Malang: UB Press, 2018

Suyanto, Pengantar Hukum Pidana, Yogyakarta: Deepublish, 2018

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015

Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi Edisi Revisi Jambi:Syariah Press,2012

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Cet. I, Jakarta: Gema Insani

Press, 2003

Wahbah al-zuahili, Ilmu Ushul Al Fiqh Juz II, Beirut: dar al-fikr, 2001

Yustinus Semiun, Kesehatan Mental, Yogyakarta: Kanisius, 2006

Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia Jakarta:

Sinar Grafika, 2006

Zainuddin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:

Sinar Grafika Offset, 2013


59

B. Peraturan-Peraturan

Undang-Undang N0. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa

Andi Hamzah, KUHP DAN KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta, 2015

C. Lain-Lain

Adriesti Herdaetha,’’ Pertanggungjawaban Criminal Orang Dengan Gangguan

Jiwa’’, Universitas Muhammadiyah, Surakarta, 2014

Idham Suryansyah, ’Tijauan Yuridis Terhadapa Pelaku Kejahatan Yang

Mempunyai Gangguan Kejiwaan,’’ UIN Alauddin, Makassar, 2017

Nike Rosdiyanti‘’ Status Pertanggungjawaban Pelaku Pidana Bagi Penderita

Gangguan Mental Kategori Keprebadian Anti Social Perspektif Hukum

Positif Dan Hukum Islam’’, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017

Rofi Irson,’’Tindak PidanaPembunuhanDalam Keadaan Mabuk Studi Komparatif

Menurut Hukum Islam Dan Hukum Pidana’’, UIN STS, Jambi, 2017

https://www.annursolo.com/pertanggunjawaban-orang-gila-dalam-kasus-pidana-

menurut-islam/
60

CURICULUM VITAE
A. Identitas Diri
Nama : YASIR ARAFAT
Tempat Lahir : Bawah Tapus
Tanggal Lahir : 23 Oktober 1997
Agama : Islam
Alamat Asal : Bukit Sulah Kec.Batang Asai Kab.Sarolangun
Nama Ayah : HUSNUSPAWI
Nama Ibu : DARUSSIAH
No Hp : 082386348639

B. Riwayat Pendidikan
a. SDN 150/VII KASIRO II Tahun 2010
b. MTsS Nurul Falah Batang Asai Tahun 2010-2013
c. SMA Negeri 6 Sarolangun Tahun 2013-2016
d. UIN STS Jambi Tahun 2016-2020
C. Riwayat Organisasi
a. Sekretaris Bidang Pertamanan La_PASMA Tahun 2017-2018
b. Ketua Umum La_PASMA Tahun 2018-2019
c. Dewan Pembimbing (Demisioner) Tahun 2019-2020

Jambi, 25 Januari 2020


Mahasiswa

YASIR ARAFAT
NIM.SHP.162208

Anda mungkin juga menyukai