Anda di halaman 1dari 18

MAKNA SIMBOL PANJAT JIMAT PENINGGALAN SUNAN GUNUNGJATI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam Jawa

Dosen Pengampu, Dra.Hj. Siti Nurlaili M, M.Hum

Disusun oleh:

Widya Nurkhasanah : 171121039

JURUSAN AQIDAH DAN FLSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SURAKARTA

2020

1
MAKNA SIMBOL PANJAT JIMAT PENINGGALAN

SUNAN GUNUNGJATI

Widya Nurkaanah
Institut Agama Islam Negeri
Jalan Pandawa Pucangan Kartasuro, Sukoharjo
Widiakhasanah19@gmil.com

Abstract

Sunan Gunung Jati or Syarif Hidayatullah is one of the guardians of songo who
has the task of spreading the teachings of Islam in western Java, namely Cirebon. Sunan
Gunung jati also provides relics to the people of Cirebon, namely Panjat Amulet.
Climbing Amulet is a Mauludan Tradition which is held every 12th of Early Robi'ul to
commemorate the birth of the Great Prophet Muhammad. The Long Amulet event is held
on the 11th of Mawlid at 9 pm or on the 12th Mawlid at the time of migration. The goal is
to commemorate the birth of a noble human being of the Prophet Muhammad who had
good deeds and had to be made a good role model and good deeds. In collecting data,
the author uses the method of library (Library Research), in which the data is obtained
from books, scientific papers, internet, related theses. Which later this research is
expected to be able to give a description of the Sunan Gunung Jati Talisman Climbing
and the Meaning of Symbols of the Talisman Climbing objects from the Sunan Gunung
Jati relics.
Keywords: Sunan Gunung Jati, Meaning of Symbols, Talisman Climbing.

Abstrak
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah merupakan salah satu wali songo
yang memiliki tugas menyebarkan ajaran Islam dipulau Jawa bagian barat yaitu Cirebon.
Sunan Gunung jati juga memberikan peninggalan pada masyarakat Cirebon, yaitu Panjat
Jimat. Panjat Jimat merupakan sebuah Tradisi Mauludan yang diadakan setiap tanggal 12
Robi’ul Awal untuk memperingati kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. Acara
Panjang Jimat dilakukan pada tanggal 11 Maulid jam 9 malam atau pada 12 Maulid
waktu hijrah. Tujuanya untuk memperingati lahirnya seorang manusia mulia Nabi
Muhammad saw yang memiliki akhlaqul karimah dan harus dijadikan suri tauladan yang
baik dan bena. Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan metode kepustakaan
(Library Research), yang mana data diperoleh dari buku, karya tulis ilmiah, internet,
skripsi yang berkaitan. Yang mana nantinya penelitian ini diharapkan dapat memberikan
gambaran Panjat Jimat Sunan Gunung Jati dan Makna Simbol dari benda Panjat Jimat
peninggalan Sunan Gunung Jati.
Kata Kunci: Sunan Gunung Jati, Makna Simbol, Panjat Jima

2
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan sosial, setiap bangsa atau suku bangsa memiliki
kebudayaannya masing - masing, dengan simbol-simbol yang mungkin hanya bisa
dimengerti oleh manusia dalam dunia dan lingkungannya sendiri. Karena
kebudayaan sendiri pada dasarnya merupakan respon manusia terhadap lingkungan
dan persoalan hidup yang dihadapi. Seperti halnya di Indonesia merupakan negara
yang memiliki keaneragaman suku, budaya, dan memiliki penduduk muslim
terbanyak di dunia.1 kemudian Islam masuk dan berkembang secara luas di
Indonesia, yang mana pada abad ke-15 atau 16 merupakan pengaruh dari Kerajaan
Demak yang mendirikan kerajaan Islam di Cirebon atas nama Raja Demak.
Penganut agama Islam di Jawa tingkat atas (kalangan para bangsawan)
terdapat sekelompok tokoh pemuka agama dengan sebutan Wali. Para wali itu dalam
tradisi Jawa dikenal sebagai “Wali Sanga” (Sembilan wali).2 Kata Walisongo
merupakan sebuah perkataan majemuk yang berasal dari kata Wali dan Songo. Yang
mana Wali berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk dari Waliyullah, yang berarti
orang yang mencintai dan dicintai Allah SWT. Sedangkan Songo berasal dari bahasa
Jawa yang berarti sembilan. Dengan demikian Walisongo berarti Wali Sembilan,
yakni sembilan orang yang mencintai dan dicintai Allah.3
Diantara walisongo tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel,
Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan
Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.4 Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
merupakan salah satu wali songo yang memiliki tugas menyebarkan ajaran Islam
dipulau Jawa. Ia mengabdikan seluruh kehidupannya untuk menyebarkan ajaran

1
Ahmad Yani, “Pengaruh Islam Terhadap Makna Simbolik Budaya Keraton-
Keraton Cirebon,” Holistik 12, no. 01 (2011): 16, file:///C:/Users/ACER/Downloads/82-
296-1-PB (2).pdf.
2
Aminullah, “Peranan Sunan Gunung Jati Dalam Islamisasi Di Kesultanan
Cirebon” (Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2015), http://repositori.uin-
alauddin.ac.id/13375/1/AMINULLAH_compressed.pdf .
3
Dewi Evi Anita, “Walisongo: Mengislamkan Tanah Jawa Suatu Kajian Pustaka,”
Wahana Akademika 1, no. 2 (2014): 243–66,
http://journal.walisongo.ac.id/index.php/wahana/article/viewFile/815/723.
4
Aminullah, “Peranan Sunan Gunung Jati Dalam Islamisasi Di Kesultanan
Cirebon.” H 10.

3
islam di Jawa Bagian Barat yaitu di daerah Cirebon. Syarif Hidayatullah memiliki
cara tersendiri untuk menakhlukkan hati masyarakat agar dapat memeluk ajaran
Islam.5 Daerah-daerah yang dijelajahi oleh Sunan Gunung Jati ialah Ukur Cibaliung (
Kab. Bandung), Timbanganten ( Kab. Garut), Pasir Luhur, Batu Layang, dan
Pengadingan ( Wilayah Barat dan Selatan Sumedang Layang). Daerah-daerha lain
yang berhasil di-islamkan adalah Negara Talaga, Raja Galuh, Dermayu, Trusni,
Cangkuang, dan Kuningan.6
Keberhasilannya dalam menyebarkan ajaran islam terlihat dalam
peninggalannya baik dalam sosial budaya, bangunan infrastruktur, pendidikan,
bahkan politik. Selain itu kesuksesanya juga dapat dilihat dari pengaruh kehidupan
masyarakat kini yang masih mempertahankan peninggalan-peninggalan itu, baik
secara fisik maupun dari segi keyakinan. 7 salah satu peninggalan yang masih tegak
berdiri dan dilestarikan oleh keturunan Sunan Gunung Jati di Cirebon ialah Panjat
Jimat. Panjat Jimat merupakan sebuah Tradisi Mauludan yang diadakan setiap
tanggal 12 Robi’ul Awal untuk memperingati kelahiran Nabi Besar Muhammad
SAW. Acara Panjang Jimat dilakukan pada tanggal 11 Maulid jam 9 malam atau
pada 12 Maulid waktu hijrah.buku
Dalam penelitian ini, belum ada penelitian yang membahas Makna Simbol
Panjat Jimat peninggalan Sunan Gunung Jati. Namun ada beberapa penelitian
terdahulu yang membahas seputar Suanan Gunung Jati ditinjau dari perspektif lain,
Sebagaiamana dalam penelitian Aminullah, (2015), meneliti tentang Peranan Sunan
Gunung Jati Dalam Islamisasi Di Kesultanan Cirebon. Dengan adanya penelitian ini
dapat dijadikan sebagai rujukan untuk memperoleh informasi secara kompleks
tentang Sunan Gunung Jati dalam penyebaran agama Islam khususnya di daerah

5
Cecep Miftahul Hasani Mohd Roslan Mohd Nor, “Sumbangan Syarif
Hidayatullah Dalam Penyebaran Pendidikan Agama Islam Di Jawa Barat,” Jurnal At-
Ta’dib 12, no. 1 (2017): 175–91,
https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tadib/article/view/863/819.
6
Munadi Herlambang, Jejak Kiyai Jawa, ed. Jamsari, Cetakan 1, (Yogyakarta:
Buku Litera, Minggiran MJ II/ 1378, rt 63/17, 2013).
7
Mohd Roslan Mohd Nor, “Sumbangan Syarif Hidayatullah Dalam Penyebaran
Pendidikan Agama Islam Di Jawa Barat.” H 175-91.

4
Cirebon.8 Elis Mayangsari, Dkk (2017 ), meneliti tentang Tradisi Upacara Panjang
Jimat Keraton Kasepuhan Sebagai Aset Budaya Lokal Kota Cirebon Dalam
Pelestarian Budaya Bangsa. Penelitian ini dilakukan lebih ke prosesi Panjat Jimat
yang untuk memperingati lahirnya seorang manusia mulia Nabi Muhammad saw
yang memiliki akhlaqul karimah dan harus dijadikan suri tauladan yang baik dan
benar.9
Eva Nur Arovah, Dkk (2017), meneliti tentang Wèwèkas Dan Ipat-Ipat
Sunan Gunung Jati Beserta Kesesuaiannya Dengan Al-Qur’an. Penelitian ini
berusaha mengkaji bagian Pangkur naskah Cirebon yang berjudul Sejarah Peteng
(Sejarah Rante Martabat Tembung Wali Tembung Carang Satus-Sejarah Ampel
Rembesing Madu Pastika Padane).10 Nur Azizah Fitriyani, Dkk, (2019), meneliti
tentang “Makna Simbol Komunikasi dalam Upacara Panjang Jimat di Keraton
Kanoman (Studi Analisis Semiotika Roland Barthes pada Alat-Alat Ritual) hal ini
mengetahui pemaknaan denotasi, konotasi dan mitos dari alat-alat ritual dalam
Upacara Panjang Jimat.11
Melihat dari semua pemaparan penelitian terdahulu yang sudah ada, peneliti
tertarik membahas Makna Simbol Panjat Jimat Peniggalan Sunan Gunung Jati.
Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan metode kepustakaan (Library
Research), yang mana data diperoleh dari buku, karya tulis ilmiah, internet, skripsi
yang berkaitan dengan Makna Simbol Panjat Jimat Peninggalan Sunan Gunung Jati.
Yang mana nantinya penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran Panjat
8
Aminullah, “Peranan Sunan Gunung Jati Dalam Islamisasi Di Kesultanan
Cirebon”. H 1-64
9
Elis Mayangsari, Endang Danial, and Komala Nurmalina, “Tradisi Upacara
Panjang Jimat Keraton Kasepuhan Sebagai Aset Budaya Lokal Kota Cirebon Dalam
Pelestarian Budaya Bangsa” (UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG, 2014), file:///C:/Users/ACER/Downloads/2913-5184-1-SM (1).pdf.
10
Widyo Nugrahanto) Eva Nur Arovah, Nina H. Lubis, Reiza D. Dienaputra,
“Wèwèkas Dan Ipat-Ipat Sunan Gunung Jati Beserta Kesesuaiannya Dengan Al-Qur’an,”
Patanjala 9, no. 3 (2017): 375–90, https://media.neliti.com/media/publications/292017-
wewekas-dan-ipat-ipat-sunan-gunung-jati-e784b912.pdf.
11
M.Ikom. Nur Azizah Fitriyani, Catur Nugroho, “Makna Simbol Komunikasi
Dalam Upacara Panjang Jimat Di Keraton Kanoman Cirebon,” E-Proceeding of
Management 6, no. 2 (2019): 637915,
file:///C:/Users/ACER/Downloads/19.04.1716_jurnal_eproc (1).pdf .

5
Jimat Sunan Gunung Jati dan Makna Simbol dari benda Panjat Jimat peninggalan
Sunan Gunung Jati.

B. Biografi
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, merupakan salah satu wali
songo yang memiliki tugas menyebarkan ajaran Islam di pulai Jawa. Syarif
Hidayatullah mengabdikan seluruh kehidupannya untuk menyebarkan ajaran Islam di
Jawa Bahagian Barat. Beliau merupakan satu dari wali sanga yang dengan sebutan,
gurunya para orang-orang Jawa.12 Nama Gunung Jati yang menjadi gelarnya itu
diambil dari nama gunung (sebenarnya hanya sebuah bukit) bernama Gunung Jati di
kota Cirebon. Di puncak bukit tersebut beliau dimakamkan. Selain sebagai Wali
Sanga, Sunan Gunung Jati juga merupakan sultan pertama di Kesultanan Cirebon
yang didirikannya atas dukungan penuh dari Kesultanan Demak di tahun 1478 M.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah dari garis Ayah beliau
merupakan putra dari Syarif Abdullah bin Nur Alam (atau Nurul Alim) dari Bani
Hasyim. Sedangkan dari garis ibu, beliau merupakan putra dari Nyi Rara Santang
(Syarifah Muda’im) Binti Prabu Jaya Dewata atau Raden Pamanah Rasa atau Prabu
Siliwangi II.13 sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah
dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon.
Anaknya bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan
dan menyebarkan agama islam di Banten sehingga menjadi cikal bakal berdirinya
Kesultanan Banten. Cirebon dan Banten adalah bagian integral atas kekuasaan Sunan
Gunung Jati dalam perluasan agama Islam dan juga wilayah kekuasaan politik,
kepemimpinan, pemerintahan, hingga perlawanan terhadap kekuasaan portugis.14
Masa muda Sunan Gunung Jati dikisahkan bahwa dirinya mendalami ilmu
agama sejak usia 14 tahun dari para ulama Mesir. Menyusul berdirinya Kesultanan
Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kesultanan

12
Aufa Izzuddien, Mutiara Kisah Teladan Walisongo, Tim Redaks (Surabaya:
Aulia Surabaya, n.d.). H 147
13
Aminullah, “Peranan Sunan Gunung Jati Dalam Islamisasi Di Kesultanan
Cirebon.” H 1-64
14
Herlambang, Jejak Kiyai Jawa. H 101.

6
Cirebon yang juga dikenal sebagai Kesultanan Pakungwati. Sunan Gunung Jati
mewarisi kecenderungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Maulana Akbar
sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau
meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih
diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekkah dan Madinah karena kedua tempat itu
wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.
Ketika masa muda Sunan Gunung Jati ia merupakan seorang mubalig yang
dikenal dengan kedermawanannya karena dia salah satu pemimpin yang sangat bijak
dalam memimpin Kesultanan Cirebon, sehingga ia mampu untuk mengayomi
masyarakatnya di dalam kepemimpinannya. Dalam pendidikan, Sunan Gunung Jati
Pada saat itu ia dikisahkan sudah rajin belajar, membaca, mengaji, mempelajari ilmu
agama, bahkan sampai akhirnya membaca paling tinggi isinya dengan mengibaratkan
membaca buku yang sangat rahasia. Di dalam mencari hakikat Islam, Sunan Gunung
Jati berusaha keras untuk bertemu dengan Nabi Muhammad. Sebelum ia berguru
langsung kepada Nabi Muhammad, ia bertemu dengan Nabi Sulaiman dan Nabi
Khaidir. Meski hanya mitos. Akan tetapi, pernyataan tersebut membahas tentang
proses belajar Sunan Gunung Jati kepada Nabi Muhammad, Nabi Sulaiman dan Nabi
Khaidir. Sunan Gunung Jati berguru hanya berupa sifat-sifat, kepemimpinan dan
ketauhidan.15
Menurut beberapa sumber sejarah, setelah banten berhasil direbut oleh
pasukan gabungan Cirebon dan Demak, seketika itu juga menjadi bagian dari cirebon
dibawah penguasaan Sunan Gunung Jati. Kemudian untuk menjalankan
pemerintahan di Banten ia menyerahkan kepada puteranya Hasanuddin untuk
menjadi Dipati Banten. Walaupun Hasnuddin menjadi penguasa di Banten akan
tetapi keputusan-keputusan harus atas persetujuan Sunan Gunung Jati. Pada tanggal 8
oktober 1526 Syarif Hidayatullah memnindahkan pusat pemerintahan Banten dari
Banten Girang ke Banten dekat Pelabuhan yang kemudian dikenal dengan
“Surosowan”. Perpindahan pusat kekuasaan itu berhungan dengan situasi politik dan
ekonomi Asi Tenggara saat dimana Malaka telah jatuh dibawah kekuasaan Portugis

15
Aminullah, “Peranan Sunan Gunung Jati Dalam Islamisasi Di Kesultanan Cirebon.” H
22.

7
sehingga para pedagang segan melakukan hubungan dagang dengan Protugis dan
memindahkan jalur perdagangannya dari Malaka ke Selat Sunda yaitu Banten.
Pemimpin pasukan yang memimpin penyerang terhadap Sunda Kelapa adalah
Fatahillah. Fatahillah mempunyai gelar Maulana Fadhilah Khan al-Pasey Ibnu
Maulana Mahdar Ibrahim Al-Gujarat. Ia dilahirkan pada masa abad tahun 1490.
Menurut salah satu sumber, sebelum penyerangan ke Sunda Kelapa, Fatahillah
tinggal d Demak. Yang mana di sini ia mempunya 2 orang isteri. pertama adalah
Nyai Ratu Ayu Puteri Sunan Gunung Jati janda dari Pangeran Sabrang Lor Sultan
Demakk. Isteri kedua ialah Nyai Ratu Pembayun, putei Sultan Demak Raden Patah
janda Pangeran Jaya Kelana putera Sunan Gunung Jati. Dengan demikian hubungan
antara Fatillah dengan Sunan Gunung Jati adalah menantu dari Perkawinan dengan
puterinya dan suami dari menantunya
Setelah merebut banten, Sunda Kelapa berganti menjadi Jayakarta, amak
Sunan Gunung Jati yang saat itu sudah tua menyerahkan kekuasaan Kesultanan
Islam Cirebon kepada Pageran Pasarean, kemudian Banten kepada Maulana
Hasanudin dan Jayakarta kepada Fatahillah. Karena itulah Sunan Gunung Jati adalah
seorang Negarawan dan Politis yang ulung dalam menyatukan wilayah kekuasannya
di Cirebon dan Banten. Ia seorang Teknorat Handal, yang mana mampu menyatu-
padukan antar pilar penguasa jawa: Demak, Cirebon, dan Banten dengan satu
komando dan kesepakatan. Hal ini terlihat ketika ia mengusir Portugis dalam rangka
mengamankan wilayah kekuasaan ekonomi yang terintegrasi anatara Demak,
Cirebon, dan Banten.16

C. Peninggalan Sunan Gunung Jati


Peninggalan Sunan Gunung Jati masih tegak berdiri dan dilestarikan oleh
keturunan Beliau di Cirebon. Yang mana masih kokoh berdirinya Kesultanan
Kanoman dengan rangkaian ritual sebagai peringatan hari besar Islam adalah
keberkahan tersendiri bagi umat Islam Indonesia yang ingin menapaki jejak Sunan
Gunung Jati atau Syech Syarif Hidayatullah. Saat ini yang memegang tata Ksultanan
Kanoman adalah Sultan Raja Muhammad Emirudin sebagai Sultan Ksultanan

16
Herlambang, Jejak Kiyai Jawa. H 104-106.

8
Kanoman XII. Beliau adalah pelestari adat, budaya dan barang-barang peninggalan
Sunan Gunung Jati atau Syech Syarif Hidayatullah dalam menyebarkan agama
Islam.
Di Kraton Kanoman, Pelestarian adat dan Budaya Sunan Gunung Jati
diadakan acara Panjang Jimat atau Pelal Ageng. Pada acara tersebut masyarakat
dapat melihat secara langsung adat, budaya dan barang-barang peninggalan Sunan
Gunung Jati atau Syech Syarif Hidayatullah dalam menyebarkan agama Islam
sehingga Islam diterima dengan baik dan lestari hingga kini.17

D. Panjat Jimat
Panjang Jimat merupakan Tradisi dalam masyarakat Cirebon. Tradisi
dilaksanakan pada tanggal 12 Rabiul Awal di lingkungan Keraton Kasepuhan
dengan tujuan memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Upacara Panjang
Jimat ini telah ada sejak zaman dahulu lebih tepatnya sejak para wali songo
memimpin dan sejak berdirinya keraton yakni kurang lebih sekitar tahun 1430 M.
Tradisi Upacara Panjang Jimat ini secara etimologis berasal dari kata “Panjang”
yang bermakna tanpa batas seumur manusia, dan “Jimat” sebuah singkatan dari
bahasa Jawa Cirebon yaitu “Ji” atau siji yang berarti satu dan “mat” atau dirumat
bermakna selalu dipelihara atau dijaga. Jadi, Panjang Jimat dapat diartikan bahwa
sebagai seorang muslim itu harus memiliki pegangan yaitu syahadat yang harus
dijaga dan dipelihara. Hal ini mengandung makna bahwa sebagai seorang muslim
harus selalu mengakui dan mengingat adanya Allah SWT sebagai Tuhan semesta
alam dengan selalu mengikuti perintahnya dan menjauhi segala larangannya dengan
cara taat beribadah.18
Adapun makna lainnya, Panjang Jimat berarti dawa (panjang) tak berujung,
sedangkan Djimat berarti Si (ji) kang diru (mat) artinya tulisan Syahadat yang
tertulis di piring yang di arak selama prosesi supaya selalu kita pegang selamanya

Izzuddien, Mutiara Kisah Teladan Walisongo. H 158-159.


17

Mayangsari, Danial, and Nurmalina, “Tradisi Upacara Panjang Jimat Keraton


18

Kasepuhan Sebagai Aset Budaya Lokal Kota Cirebon Dalam Pelestarian Budaya
Bangsa.”

9
sebagai umat muslim hingga akhir hayat.19 Dalam hal ini upacara Panjang Jimat
yang merupakan fragmen atau urut-urutan prosesi kelahiran Nabi Muhammad saw
yang memberi rahmat seluruh alam semesta, yang digambarkan melaui simbol-
simbol benda pusaka keraton yang memiliki nilai-nilai luhur. 20 Acara Panjang Jimat
ini dilakukan pada tanggal 11 Mulid jam 9 malam atau pada 12 Maulid waktu hijrah
(yang dihitung hari peratama setelah magrib). Pada 11 Maulid, acara dimulai sejak
jam 9 pagi di Bangsal lebet. Pukul 4 sore ada acara Gong Sekati, yakni merupakan
media dakwah Sunan Gunung Jati yang dimainkan di Bangsal Pangrawit atau Siti
Hinggil. Kemudian di waktu yang sama di Bangsak Kedaton Keraton Kanoman
diadakan Lamaran atau Panjang Mios.
Acara Gamelan Sekaten memiliki tempat pertunjukan yang khusus yaitu di
Bangsal Sekaten atau Siti Hinggil yang terletak di halaman depan keraton, dan
tempat tersebut hanya digunakan untuk mempertunjukkan Gamelan Sekaten saja.
Tidak sembarang waktu untuk menyajikan Gamelan Sekaten 21 Gamelan itu mulai
dimainkan pada 7 Maulud Malam (8 Rabiul Awal) sampai lima hari ke depan atau
mulai tanggal 8 – 12 Bulan Maulud. Pembunyian gong hanya berhenti pada waktu-
waktu shalat. Sebelum dimainkan, Sultan Kanoman akan memukul gong sekati
untuk pertama kali sebagai pertanda ritual muni (memainkan) gong sekati dimulai.
Sekati sendiri bermakna “Sesuka hati” atau “Serela hati”. Jadi, pembunyian gong
dilakukan dengan kerelaan hati. Dimana dalam budaya kesenian gamelan, beberapa
menit sebelum gong dibunyikan hadirin diwajibkan membaca dua kalimat Syahadat.
Hal ini merepresentasikan bentuk syiar Islam melalui budaya. Dan surak dilakukan
ketika gong dibunyikan bertujuan untuk mengamalkan rezeki kita.22

19
Herlambang, Jejak Kiyai Jawa. H 160.
20
Mayangsari, Danial, and Nurmalina, “Tradisi Upacara Panjang Jimat Keraton
Kasepuhan Sebagai Aset Budaya Lokal Kota Cirebon Dalam Pelestarian Budaya
Bangsa.”
21
Subhkan, “Gamelan Sekaten Kesultanan Kanoman Cirebon ( Kajian Sejarah,
Seni Dan Budaya Islam)” (Institut Agama Islam Negeri (Iain) Syekh Nurjati Cirebon,
2016), https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004.
22
Gevi Noviyanti, “Gamelan Sekaten Dalam Ritus Masyarakat Trusmi Cirebon,”
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta (Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2016),
https://doi.org/10.1016/j.chb.2016.05.008.

10
Gamelan Sekaten dan Gong Sekati dicuci di Langgar Keraton. Sebelum
dicuci perangkat gamelan itu lebih dulu diarak dari Gedong Pejimatan menuju
Langgar Ke raton, kemudian do’a bersama. Do’a diikuti Pangeran Kumisi, Pangeran
Patih, Imam Langgar, dan abdi dalem Keraton. Makna ritual mencuci gamelan
sekaten dan gong sekati adalah untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad
Saw, harus dimulai dengan sesuatu yang suci dan bersih. Setelah bersih dan kering,
gamelan dibawa ke Bangsal Sekati (tempat untuk menyimpan gamelan dan gong
sekati)23
Sedangkan pada acara Lamaran atau Panjang Mios di Bangsal Kedaton,
Bendera Kaeraton atau Macan Ali di kembangkan. Pintu lawang Abang yang dibuka
setahun sekali pada waktu dibuka, masyarakat dapat masuk kedalam kedaton untuk
bertemu penasihat Keraton, atau berbasuh di Sumur Kadatuan atau sekedar melihat
Kedaton yang bersuasana sakral dan Agung. Acara puncak Panjat Jimat
dilaksanakan pada pukul 9 malam di Mesigit kenamon. Acara tersebut dimulai
dengan pembacaan babat Cirebon yaitu Sejarah berdirinya Cirebon. Acara Panjang
Jimat bukannlah ritual mistis tetapi merupakan wujud dari proses yang
mengingatkan kita kepada Allah SWT melalui perayaan Kelahiran Nabi Muhammad
SAW. Tujuan dan inti dari tradisi ini adalah sebagai penyemangat kaum muslim
untuk kembali kepada dua sumber kehidupan yaitu Al Qur’an dan Hadist
Rosulullah.24

E. Makna Simbol Panajat Jimat Peninggalan Sunan Gunung Jati


Manusia adalah makluk budaya, dan budaya manusia penuh dengan simbol-
simbol, yang mana dapat dikatakan bahwa manusia penuh diwarnai dengan
simbolisme, yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekan atau mengikuti
pola-pola yang mendasarkan diri kepada simbol-simbol.25 simbol-simbol yang ada
pada kebudayaan tidak hanya sebatas pada pengertian makna yang terlihat oleh

23
Subhkan, “Gamelan Sekaten Kesultanan Kanoman Cirebon ( Kajian Sejarah,
Seni Dan Budaya Islam).”
24
Izzuddien, Mutiara Kisah Teladan Walisongo. H 158-159.
25
Eka Agustini, “Makna Simbolis,” Universitas Indonesia (2009),
https://media.neliti.com/media/publicationsf.

11
mata, tetapi lebih dari itu, yaitu simbol dapat membawa seseorang atau masyarakat
membuat sesuatu pendirian, atau pegangan hidup dari simbol yang mereka temukan
disekeliling mereka.
Simbol secara etimologis, simbol berasal dari Yunani kata” symballein” yang
berarti, melemparkan, bersama suatu (benda, perbuatan) yang dikaitkan dengan
suatu ide. Ada pula yang menyebutkan “simbolos” yang berarti tanda atau ciri yang
memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Biasanya, simbol terjadi karena
pemaknaan kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias
atau persamaan.26
Menurut Herusatoto dalam bukunya Simbolisme dalam Budaya Jawa,
penggunaan simbol dalam budaya Jawa ternyata dilaksanakan dengan penuh
kesadaran, pemahaman, dan penghayatan yang tinggi, dan dianut secara tradisional
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam kehidupan sosial dan masyarakat
didalamnya terdapat gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil
dari hubungan interaksi individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan
hubungan kelompok dengan kelompok sehingga dapat muncul suatu kebiasaan
dalam tatanan kemasyarakatan yang disebut kebudayaan.27 Simbolis sangat
menonjol peranannya dalam tradisi atau adat istiadat. Simbolisme ini merupakan
warisan turun temurun dari nenek moyang mereka. Segala bentuk dan macam
kegiatan simbolik msyarakat merupakan pendekatan manusia kepada Tuhannya,
yang menciptakan, menurunkan kedunia, memlihara hidup dan menentukan
kematian.28
Sebagaiamana yang terjadi dalam sebuah peninggalan Sunan Gunung Jati
yaitu Panjat Jimat, yang menyimpan simbol dalam ritual yang dilakukannya.
Panjang Jimat disini memiliki arti tersendiri yaitu dawa (panjang) tak berujung,
sedangkan Djimat berarti Si (ji) kang diru (mat) artinya tulisan Syahadat yang

26
Nur Ngaifah, “Makna Simbolik Dalam Tradisi Sebaran Apem Keong Mas Di
Pengging, Banyudono, Boyolali” (Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2019),
http://eprints.iainsurakarta.ac.id/4747/1/skripsi nur ngaifah full teks pdf.pdf  .
27
A. Agustianto, “Makna Simbol Dalam Kebudayaan Manusia,” Jurnal Ilmu
Budaya Unilak 8, no. 1 (2011): 1–63, https://media.neliti.com/media/publications/98401-
ID-makna-simbol-dalam-kebudayaan-manusia.pdf.
28
Agustini, “Makna Simbolis.” H 1-11

12
tertulis di piring yang di arak selama prosesi supaya selalu kita pegang selamanya
sebagai umat muslim hingga akhir hayat. Upacara Panjang Jimat ini memiliki
beberapa pesan diantara nya doa atau harapan untuk seorang anak yang baru
dilahirkan dari seorang ibu, seperti doa semoga menjadi anak yang diberkahi, dan
semoga hidup nya diberikan penerangan. Selain itu Upacara Panjang Jimat juga
memiliki pesan yang berkaitan dengan bagaimana manusia harus bersikap kepada
bumi, misalnya harus memiliki rasa rendah diri, karena setiap apapun yang manusia
miliki semua berasal dari bumi. Upacara Panjang Jimat juga mengungkapkan
tentang syiar agama, seperti di benda-benda pusaka terdapat tulisan-tulisan yang
berkaitan dengan syiar agama Islam.
Oleh karena dalam hal ini, terdapat sebuah benda penting yang benar-benar
dijaga dalam acara Panjat Jimat. Dalam hal ini tidak mengupas ritual-ritual yang
dilakukan pada saat Tradisi Panjat Jimat. Namun tetapi lebih mengupas benda
penting peninggalan Sunan Gunung Jati. Benda tersebut ialah Piring Besar sebanyak
7 buah yang disebut dengan Piring Panjang, yang terbuat dari porselen yang mudah
pecah. Makna simboliknya, piring ini memuat sebuah ilmu yang disebut dengan Aji
Jaya Sempurna, yaitu system tata nilai yang bercita-citakan untuk memperoleh
kejayaan yang paripurna atau sempurna/mutlak. 7 piring di dalam bhasa arab ini
memiliki banyak makna simbol.
1. Piring pertama
Adalah sebuah piring yang bertuliskan surat al ikhlas secara melingkar
(temu gelang) serta keempat penjuru mata angina bertuliskan sebuah ayat dari
surat yasin yaitu : salamun kaulan mirrobin rohim. Ucapan selamat sejahtera dari
tuhan yang maha penyayang, yang dimaksud sejahtera disini, adalah sejahtera dari
segala macam bencana terutama bencana akhirat yakni neraka, diselamatkan oleh
Allah memasuki surga. Motivasi utama dari seorang pemimpin adalah keikhlasan
untuk sebuah harapan bertemu dengan tuhannya, untuk memperoleh ridho Nya.
Inilah motivasi yang dicontohkan sebagai seorang pimpinan di dalam
lapisan masyarakat dan dicontohkan oleh rasulullah Muhammad SAW, karena
piring ini diperingati hari besar hari lahir rasulullah (muludan) diatas piring
terdapat nasi yang berasal dari para petani, terdapat sayur dari petani sayur,

13
terdapat daging dari peternak, terdapat ikan dari nelayan, terdapat tahu tempe dll
dari kaum industry dari kaum industry, kesemuanya itu disatukan oleh satu piring
yaitu pimpinan negara. Piring yang berisi lauk-pauk pecah, karena piring
kepemimpinan mudah pecah dan tumpah, diangkat oleh dua orang, dipanggul
oleh panggul dua orang, yang mana merupakan makna tanggung jawab, antara
pemimpin dan wakilnya atau dipegang oleh kedua belah tangan dengan poisisi
berdoa.
Berdoa untuk kepentingan masyarakat yang dipimpinnya, bukan sekedar
dirinya sendiri. Motivasi kepemimpinan seperti ini sungguh berbeda dengan
motivasi untuk memperoleh dunia yaitu uang, jabatan, pangkat, nama baik,
kehormatan dunia dll.
2. Piring kedua
Adalah piring porselen yang berisi shalawat nabi. Maksudnya adalah
memohon kepada Allah, agar Allah memberikan kemulian kepada Muhammad,
sahabat, dan pengikutnya.mulia sebagai rasul dan pemimpin, artinya orang yang
pengikut Muhammad, adalah yang menjunjung.
3. Piring ketiga dan keempat
Dalam piring ini tidak ada tulisan apa-apa, hanya berupa bunga-bunga
saja, terjemahannya adalah hablu minallah dan hablu minannas, atau hubungan
dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia.
4. Piring 5, 6, 7
Adalah merupakan piring polos/porselen putih, artinya perlambang
pemimpin yang bersih, dengan pemimpin bersih muncullah kebiwaan, lahirnya
pemimpin yang bersih dan berwibawa itu di angka tujuh (banyak).29
Makna simbol dari piring peninggalan Sunan Gunung Jati ini ialah memuat
sebuah ilmu yang disebut dengan Aji Jaya Sempurna, yaitu system tata nilai yang bercita-
citakan untuk memperoleh kejayaan yang paripurna atau sempurna/mutlak. Makasudnya
disini diharapkan semua umat Nabi Muhammad SAW dapat mencapai pada sesuatu yang
sempurna yaitu dapat menauladani sifat Nabi Muhammad SAW. Kemudian dalam benda

29
Yani, “Pengaruh Islam Terhadap Makna Simbolik Budaya Keraton-Keraton Cirebon.”
190-191

14
penting ini terdapat pengaruh islam didalamnya, yang mana terlihat dari teks atau tulisan
yang ada. Teks tersebut terlihat dalam Al-Qur’an yaitu Surat Al-Ikhas yang melingkari
piring besar tersebut.

Kesimpulan

Panjang Jimat merupakan salah satu tradisi dalam masyarakat Cirebon dari
sekian banyak tradisi yang ada. Tradisi tersebut dilaksanakan pada tanggal 12 Rabiul
Awal di lingkungan Keraton Kasepuhan dengan tujuan memperingati kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Secara etimologi Panjang Jimat berasal dari kata “Panjang” yang
bermakna tanpa batas seumur manusia, dan “Jimat” sebuah singkatan dari bahasa Jawa
Cirebon yaitu “Ji” atau siji yang berarti satu dan “mat” atau dirumat bermakna selalu
dipelihara atau dijaga. Jadi, Panjang Jimat dapat diartikan bahwa sebagai seorang muslim
itu harus memiliki pegangan yaitu syahadat yang harus dijaga dan dipelihara. Adapun
makna yang lain iaialah dawa (panjang) tak berujung, sedangkan Djimat berarti Si (ji)

15
kang diru (mat) artinya tulisan Syahadat yang tertulis di piring yang di arak selama
prosesi supaya selalu kita pegang selamanya sebagai umat muslim hingga akhir hayat
Dalam Tradisi Panjat Jimat terdapat sebuah benda penting yang masih dan ters
dijaga dan dilestarikan dalam kebudyaan setempat. Benda tersebut ialah Piring Besar
sebanyak 7 buah yang disebut dengan Piring Panjang, yang terbuat dari porselen yang
mudah pecah. Makna simboliknya, piring ini memuat sebuah ilmu yang disebut dengan
Aji Jaya Sempurna, yaitu system tata nilai yang bercita-citakan untuk memperoleh
kejayaan yang paripurna atau sempurna/mutlak Makna yang terkadung dalam tradisi
upacara panjang jimat ialah untuk mengingatkan kita kembali untuk senantiasa selalu
mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw yang memiliki akhlaqul karimah atau suri
tauladan yang baik.

Referensi

A. Agustianto. “Makna Simbol Dalam Kebudayaan Manusia.” Jurnal Ilmu Budaya


Unilak 8, no. 1 (2011): 1–63. https://media.neliti.com/media/publications/98401-ID-
makna-simbol-dalam-kebudayaan-manusia.pdf.

Agustini, Eka. “Makna Simbolis.” Universitas Indonesia, 2009.


https://media.neliti.com/media/publicationsf.

Aminullah. “Peranan Sunan Gunung Jati Dalam Islamisasi Di Kesultanan Cirebon.”


Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2015. http://repositori.uin-

16
alauddin.ac.id/13375/1/AMINULLAH_compressed.pdf .

Anita, Dewi Evi. “Walisongo: Mengislamkan Tanah Jawa Suatu Kajian Pustaka.”
Wahana Akademika 1, no. 2 (2014): 243–66.
http://journal.walisongo.ac.id/index.php/wahana/article/viewFile/815/723.

Eva Nur Arovah, Nina H. Lubis, Reiza D. Dienaputra, Widyo Nugrahanto). “Wèwèkas
Dan Ipat-Ipat Sunan Gunung Jati Beserta Kesesuaiannya Dengan Al-Qur’an.”
Patanjala 9, no. 3 (2017): 375–90.
https://media.neliti.com/media/publications/292017-wewekas-dan-ipat-ipat-sunan-
gunung-jati-e784b912.pdf.

Herlambang, Munadi. Jejak Kiyai Jawa. Edited by Jamsari. Cetakan 1,. Yogyakarta:
Buku Litera, Minggiran MJ II/ 1378, rt 63/17, 2013.

Izzuddien, Aufa. Mutiara Kisah Teladan Walisongo. Tim Redaks. Surabaya: Aulia
Surabaya, n.d.

Mayangsari, Elis, Endang Danial, and Komala Nurmalina. “Tradisi Upacara Panjang
Jimat Keraton Kasepuhan Sebagai Aset Budaya Lokal Kota Cirebon Dalam
Pelestarian Budaya Bangsa.” UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG, 2014. file:///C:/Users/ACER/Downloads/2913-5184-1-SM (1).pdf.

Mohd Roslan Mohd Nor, Cecep Miftahul Hasani. “Sumbangan Syarif Hidayatullah
Dalam Penyebaran Pendidikan Agama Islam Di Jawa Barat.” Jurnal At-Ta’dib 12,
no. 1 (2017): 175–91.
https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tadib/article/view/863/819.

Ngaifah, Nur. “Makna Simbolik Dalam Tradisi Sebaran Apem Keong Mas Di Pengging,
Banyudono, Boyolali.” Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2019.
http://eprints.iainsurakarta.ac.id/4747/1/skripsi nur ngaifah full teks pdf.pdf .

Noviyanti, Gevi. “Gamelan Sekaten Dalam Ritus Masyarakat Trusmi Cirebon.” UPT
Perpustakaan ISI Yogyakarta. Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2016.

17
https://doi.org/10.1016/j.chb.2016.05.008.

Nur Azizah Fitriyani, Catur Nugroho, M.Ikom. “Makna Simbol Komunikasi Dalam
Upacara Panjang Jimat Di Keraton Kanoman Cirebon.” E-Proceeding of
Management 6, no. 2 (2019): 637915.
file:///C:/Users/ACER/Downloads/19.04.1716_jurnal_eproc (1).pdf .

Subhkan. “Gamelan Sekaten Kesultanan Kanoman Cirebon ( Kajian Sejarah, Seni Dan
Budaya Islam).” Institut Agama Islam Negeri (Iain) Syekh Nurjati Cirebon, 2016.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004.

Yani, Ahmad. “Pengaruh Islam Terhadap Makna Simbolik Budaya Keraton-Keraton


Cirebon.” Holistik 12, no. 01 (2011): 16. file:///C:/Users/ACER/Downloads/82-296-
1-PB (2).pdf.

18

Anda mungkin juga menyukai