Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Membahas tentang Islam di nusantara, terkhusus di jawa, maka tidak akan pernah
lepas dengan nama “Wali Songo”. Karena dengan syariat merekalah Islam tersebar dan
meluas menjadi agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat di pulau jawa. Dari mereka
juga lahir para wali, ulama dan mubaligh yang menyebarkan Islam ke wilayah nusantara
lainnya, sehingga sampai sekarang agama Islam menjadi mayoritas yang dianut oleh
penduduk Indonesia.

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa
pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan
Cirebon di Jawa Barat.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya


Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran
Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan.
Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga
pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung,
membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.1

Pada waktu itu, Masyarakat pulau Jawa mayoritas beragama Hindu dan Budha,
dengan syariat perjuangan para wali, berbondong-bondong masuk Islam. uniknya, dalam
proses perubahan besar ini nyaris tidak ada setetespun darah tertumpah. Semua berjalan
dengan damai dan penuh kasih sayang. Tanpa paksaan sedikit- pun proses Islamisasi
berjalan dengan mulus. Ini berbeda dengan proses Islamisasi di India yang disiarkan lewat
penaklukan-penaklukan oleh Sultan Mahmud Ghazna, Dinasti Khijlia, Tughlaq, Lodia,
Aurangzeb, Haidar Ali, dan Tipu Sultan yang ditandai pembunuhan massal, kekerasan,
khitan paksan, dantindakan-tindakan kejam, ternyata tidak cukup kuat mendorong dakwah
Islam secara masif ditengah penduduk pribumi India. Sebab tidak sedkit kasus menunjukan

1
http://inet-komp.blogspot.co.id/2014/10/makalah-walisongo.html

1
setelah kelompok-kelompok penduduk diislamkan leat kekerasan, pada saat ada
kesempatan akibat melemahnya politik kekuasaan Islam, penduduk kembali pada
agamanya semula. 2

Keberhasilan Wali Songo dalam penyebaran agama Islam di Nusantara tersebut


sepatutnya dikaji dan dianalisis secara mendalam. Ajaran-ajaran dan jejak langkah
perjalanan hidup mereka perlu dipelajari secara seksama sehingga akan melahirkan
pemahaman yang komprehensif dan pelajaran yang berharga bagi kaum Muslimin yang
hidup sekarang dan generasi yang akan datang di nusantara tercinta ini. Maka sebelum
dipetik pelajaran dari ajaran-ajaran Wali Songo, dan dikecap sari buah dari perjalanan
hidup mereka sehingga menghasilkan teori yang mumpuni dalam bidang sosial budaya,
sudah semestinya dipelajari biografi serta langkah atau sepak terjang mereka dalam
memperjuangkan penyebaran Islam di nusantara.

B. Rumusan Masalah

Dari pemaparan diatas, maka dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas sebagai
berikut:

1. Apa kunci keberhasilan Wali Songo dalam penyebaran Islam di Nusantara?


2. Apa Nilai-nilai sosial budaya Nusantara yang dapat diambil dari kisah wali Songo?

C. Tujuan Pembahasan

Supaya difahami secara tepat dan komprehensif dari kisah perjalanan hidup Wali
Songo hal-hal berikut ini:

1. Mengetahui kunci keberhasilan Wali Songo dalam penyebaran Islam di Nusantara


2. Mengetahui nilai-nilai sosial budaya Nusantara yang dapat diambil dari kisah wali
Songo.

Selanjutnya, kita dapat mengambil pelajaran dan tauladan keberhasilan dan nilai-
nilai sosial budaya dari kisah-kisah Wali Songo tersebut.

BAB II
2
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo; Buku Pertama Yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah,
(Jakarta: Pustaka Ilman, 2013), Hal. 42-43.

2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wali Songo

Wali Songo secara etimologi berarti Wali Sembilan. Wali atau waliy berasal dari bahasa
Arab “waliya yawla” yang berarti dekat dengan, mengikuti dengan tanpa batas/terpisahkan,
menguasai, mengurus, menolong, memerintah mencintai. Sedangkan kata waliy itu sendiri arti
secara bahasanya banyak, diantaranya yang mencintai, teman, dan yang menolong. 3 Dalam bahasa
Arab, terkadang ada satu kata yang memiliki makna fa’il (subyek) dan Maf’ul (obyek)
sekaligus. Demikian pula dengan kata waliy yang memiliki kedua pengertian sekaligus
tersebut. Ia bisa berarti orang yang mencintai Allah, atau orang yang dicintai Allah, atau,
bahkan, orang yang mencintai dan dicintai Allah sekaligus. Sedangkan kata songo berasal
dari bahasa jawa yang berarti “sembilan”. Jadi, Wali Songo berarti Wali Sembilan, yakni sembilan
orang yang mencintai dan dicintai Allah. 4Maka walisongo secara umum diartikan sebagai
sembilan wali yang dianggap telah dekat dengan Allah SWT, terus menerus beribadah kepada-Nya,
serta memiliki kekeramatan dan kemampuan-kemampuan lain di luar kebiasaan manusia. 5

Menurut penemuan K.H.Bisyri Musthafa, sebagaimana diuraikan oleh Saifuddin


Zuhri, jumlah para wali itu tidak hanya sembilan, tetapi lebih dari itu. Agaknya sembilan
orang wali itu adalah mereka yang memegang jabatan dalam pemerintahan sebagai
pendamping raja atau sesepuh kerajaan di samping peranan mereka sebagai mubalig dan
guru. Oleh karena mereka memegang jabatan pemerintahan, mereka diberi gelar sunan,
kependekan dari susuhunan atau sinuhun, artinya orang yang dijunjung tinggi. Bahkan
kadang-kadang disertai dengan sebutan Kanjeng, kependekan dari kang jumeneng,
pangeran atau sebutan lain yang biasa dipakai oleh para raja atau penguasa pemerintahan
di daerah Jawa. Lebih lanjut dijelaskan oleh K.H.Bisyri Musthafa bahwa ketika Sunan
Ampel wafat, para wali yang berta’ziah sebanyak 16 orang. 6

Wali Songo yang berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Sunan Gresik atau
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel atau Raden Rahmat, Sunan Bonang atau Raden
Maulana Makhdum Ibrahim , Sunan Drajat atau Raden Qosim Syarifudin, Sunan Giri atau
Raden Paku (Raden Ainul Yakin), Sunan Kalijaga atau Raden Mas Syahid, Sunan Muria
3
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Proressif, 1984),
hal. 1582.
4
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo ..................................... Hal. 109.
5
Tarwilah, peranan Wali Songo dalam pengembangan Dakwah Islam dalam Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah
XI Kalimantan, Volume 4 No.6 Oktober 2006. Hal. 82.
6
Tarwilah, Peranan Wali Songo ………………..Hal. 82-83.

3
atau Raden Said (R. Prawoto), Sunan Kudus atau Raden Ja’far Sadiq, dan Sunan Gunung
Djati atau Syarif Hidayatullah.7 Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan.
Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga
dalam hubungan guru-murid.8

B. Biografi Wali Songo

1. Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah
seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah
Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.9

Sunan Gresik diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal
abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti
pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy. Dalam cerita rakyat, ada yang
memanggilnya Kakek Bantal.10

Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada


umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan
Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi,
Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal,
Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib
Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan,
Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik
Ibrahim.11

Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama: 1. Siti Fathimah binti Ali Nurul
Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama:
Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah 2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4
anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad 3. Wan Jamilah binti Ibrahim
Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf. Selanjutnya

7
Lia Syukriah Sahroni dan faisol Hakim, Pendidikan Agama Islam Untuk SMP Kelas IX (Bogor: Rekatama,
2010), hal. 95.
8
Sudadi, Pengantar Studi Islam Untuk Mahasiswa dan Umum, (Yogyakarta: Mediatera, 2015), Hal. 77.
9
http://nakbarell.blogspot.co.id/2012/01/makalah-wali-songo.html
10
https://saripedia.wordpress.com/tag/penyebaran-islam-di-tanah-jawa/
11
http://nakbarell. ……………………

4
Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali
Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman
(Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji
(Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].12

Dari huruf-huruf Arab yang terdapat di batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh
Maulana Malik Ibrahim adalah si kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang dihormati
para Pangeran dan para sulthan ahli tata negara yang ulung, hal itu menunjukan betapa
hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan
juga pada golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin. Beliau juga seorang ahli
pertanian dan ahli pengobatan, sejak beliau berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik
meningkat tajam. Dan orang-orang yang sakit banyak yang disembuhkannya dengan daun-
daunan tertentu.13

Malik  Ibrahim  menetap  di  Gresik  dengan  mendirikan  masjid  dan pesantren
untuk  mengajarkan  agama  Islam kepada  masyarakat  sampai  ia  wafat. Maulana Malik
Ibrahim wafat pada hari Senin, 12 Rabiul Awal 822 H/ 1419 M, dan dimakamkan di
Gapura Wetan, Gresik. Pada nisannya terdapat tulisan Arab yang  menunjukkan  bahwa 
dia  adalah  seorang  penyebar  agama  yang  cakap  dan gigih.14

2. Sunan Ampel

Sunan Ampel adalah putra tertua Maulana malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah
Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, dimasa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia
lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama ampel sendiri diidentikan dengan nama tempat
dimana ia lama bermukim, yaitu di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini
menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).15

Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya.
Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat
penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang
bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga
dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi
12
https://saripedia......................
13
MB Rahimsyah AR, Kisah Wali Songo; Para Penyebar Agama Islam di Tanag Jawa (Surabaya: Mulia Jaya, 2008), Hal. 7.
14
Tarwilah, ......................., Hlm. 84
15
Sudadi, Pengantar Studi …………………… Hal. 80.

5
Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,Siti
Syari’ah,Sunan Drajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan Sunan
Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Asyiqah, Dewi
Murtasiyah, Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan
Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2). Makam Sunan Ampel
teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.16

Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit, karena isterinya


pun berasal dari bangsawan istana. Raden Fatah, putera Prabu Brawijaya, raja Majapahit,
menjadi murid beliau. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana membuat
penyebaran Islam di daerah kekuasaan Majapahit, khususnya di pantai utara Pulau Jawa
tidak mendapat hambatan yang berarti, bahkan mendapat restu dari penguasa kerajaan.
Sunan Ampel tercatat sebagai perancang kerajaan Islam pertama Demak di Pulau Jawa
dengan ibukota di Bintoro. 17

Sunan Ampel juga turut membantu mendirikan mesjid Agung Demak yang
didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu diantara empat tiang utama Mesjid itu hingga
sekarang masih diberi nama beliau. Sunan Ampel juga yang pertama kali menciptakan
Huruf Pegon atau tulisan Arab berbunyi bahasa Jawa, yang biasanya digunakan di
Pesantren.18

Beliau diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan disebelah
barat Masjid Sunan Ampel, Surabaya.19

3. Sunan Bonang

Sunan Bonang adalah anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik
Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir 1465 M dari seorang
perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang
belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana
untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang
mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia

16
https://saripedia.....................
17
http://anggabudibaskara192.blogspot.co.id/2014/12/makalah-perkembangan-islam-pada-zaman.html
18
MB. Rahimsyah AR, Kisah Wali Songo …………… Hal. 21.
19
Sudadi, Pengantar Studi ……………………………….. Hal. 82.

6
kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer
timur kota Rembang.20

Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk


Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan
tembang tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan
Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan
namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het
Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan
Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Beliau seorang dalang yang piawai
membius penontonnya. Kegemarannya adalah merubah lakon dan memasukan tafsir-tafsir
khas Islam. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.21

4. Sunan Drajat

Sunan Drajat merupakan putra dari Sunan Ampel yang terkenal sebagai anak yang
cerdas. Nama asli Sunan Drajat adalah Raden Qasim atau juga dikenal Raden Syarifudin.
Raden Qasim merupakan adik dari Sunan Bonang. Sejak kecil, Raden Qasim selalu
menghabiskan waktu bermainnya di daerah asalnya yaitu Ampeldenta. Saat menginjak
dewasa, Raden Qasim ingin seperti kakaknya yang telah dikirim ke Tuban untuk
berdakwah. Raden selalu mempelajari semua ajaran-ajaran Islam untuk dikuasai. Setelah
menguasai pelajaran Islam, Raden Qasim segera mencari tempat untuk berdakwah. Tempat
yang di ambil dan dijadikan pusat kegiatan dakwahnya adalah di desa Drajat, Kabupaten
Lamongan. Raden Qasim selain berdakwah juga menjadi pemegang kendali otonom
kerajaan Demak kurang lebih selama 36 tahun.22

Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan


kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai
pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai
wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang
macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Sunan Drajat dikenal sebagai seorang
bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga sangat rajin mencari rezki. Hal itu
disebabkan sifat beliau yang dermawan. Di kalangan rakyat jelata beliau bersikap lemah
20
https://dieragil.wordpress.com/2008/06/09/wali-songo/
21
http://agungputranepakmulyadi.blogspot.co.id/2013/09/sejarah-wali-songo.html
22
http://www.walisembilan.com/sunan-drajat-raden-qasim/

7
lembut dan sering menolong mereka yang menderita. Di pondok pesantrennya, ia banyak
memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.23 Ia wafat di Tuban pada tahun 1525.24

5. Sunan Giri

Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq, saudara kandung Maulana malik Ibrahim.
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di
Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka
Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh
keluarga ibunya-seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu-ke laut. Raden
Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).25

Sunan Giri memulai aktivitas dakwahnya di daerah Giri dan sekitarnya


dengan mendirikan pesantren, yang santrinya banyak berasal dari golongan
masyarakat ekonomi lemah. Ia mengirim juru dakwah terdidik ke berbagai
daerah di luar Pulau Jawa, yaitu Madura, Bawean, Kangean, Ternate dan Tidore.
Kegiatan-kegiatan ini menjadikan pesantren yang dipimpinnya menjadi terkenal
di seluruh nusantara. 26

Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad, merupakan murid dari
Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan
mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di
wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu
keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke
wilayah Lombok dan Bima.27

6. Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga terkenal karena menyebarkan agama Islam melalui metode budaya
Jawa atau disatu padukan ajaran-ajaran agama islam dengan budaya jawa, Sunan Kalijaga,

23
Sudadi, Pengantar Studi ……………………………….. Hal. 92.
24
http://inet-komp.blogspot.co.id/2014/10/makalah-walisongo.html
25
Sudadi, Pengantar Studi ………………………………… Hal. 82.
26
Tarwilah, Peranan Wali Songo ………………………. Hal.87.
27
http://sepengatahuanku.blogspot.co.id/2013/01/makalah-tentang-wali-songo.html

8
merupakan “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar
tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh
pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah
menganut Islam.Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah
nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden
Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang
disandangnya.Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun
Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat
erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini
untuk berendam (kungkum) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut
istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai ”
penghulu suci” kesultanan.Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga merupakan
keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah Shallallahualaihiwasallam.28

Masa hidupnya diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Ia mengalami masa
akhir Majapahit (1478), kesultanan Demak, kesultanan Cirebon dan Banten, kerajaan
pajang, hingga awal kehadiran kerajaan mataram dibawah pimpinan Panembahan
Senopati. Ia juga ikut merancang pembangunan Mesjid Agung Cirebon dan Mesjid Agung
Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama mesjid,
merupakan hasil kreasinya.29

Dalam berdakwah, sunan Kalijaga mempunyai pola yang sama dengan gurunya
yaitu sunan Bonang, Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
dakwah, karena itu Ia toleran dengan budaya lokal. Ia menggunakan seni ukir, wayang,
gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beliau wafat pada pertengahan
abad ke 15 dan dimakamkan didesa kadilangu Demak.30

7. Sunan Muria

Sunan Muria atau Raden Umar Said, nama kecilnya Raden Prawoto, adalah putra
Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi

28
http://anggabudibaskara192.blogspot.co.id/2014/12/makalah-perkembangan-islam-pada-zaman.html
29
Istirokhah, Sejarah Kebudayaan Islam Untuk MTs.Kls. IX,(Bandung: Rahma Media Pustaka, 2012), Hal. 46.
30
http://www-yusufblogspot.blogspot.co.id/p/makalah-perananan-wali-songo-dan.html

9
Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan
Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.31

Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil, pergi ke pelosok-
pelosok desa, dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Sunan Muria
seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak
(1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah
betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh
semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga
sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan
Kinanti .32 Beliau memusatkan kegiatan dakwahnya di Gunung Muria. Beliau wafat di
tempat tersebut diperkirakan pada abad ke-15.33

8. Sunan Kudus

Nama aslinya adalah Ja’far Sadiq, tetapi sewaktu kecil dipanggil Raden Undung.
Kadang-kadang ia dipanggil dengan Raden Amir Haji, sebab ketika menunaikan ibadah
haji ia bertindak sebagai pimpinan rombongan (amir). Ia putera Raden Usman Haji yang
menyiarkan Islam di daerah Jipang Panolan, Blora. Menurut silsilahnya, Sunan Kudus
masih mempunyai hubungan keturunan dengan Nabi Muhammad SAW. Silsilah
selengkapnya adalah : Ja’far Sadiq bin Raden Usman Haji bin Raja Pendeta bin Ibrahim
as-Samarkandi bin Maulana Muhammad Jumadal kubra bin Zaini al-Husein bin Zaini al-
Kubra bin Zainul Alim bin Zainul Abidin bin Sayyid Husein bin Ali R.A.34

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke


berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara
berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga, sangat toleran pada budaya
setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali – yang
mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh agama Hindu
dan Budha – menunjuknya.35

31
http://sepengatahuanku.blogspot.co.id/2013/01/makalah-tentang-wali-songo.html
32
https://dieragil.wordpress.com/2008/06/09/wali-songo/
33
http://anggabudibaskara192.blogspot.co.id/2014/12/makalah-perkembangan-islam-pada-zaman.html
34
Tarwilah, Peranan Wali Songo …………………. Hal. 93.
35
Sudadi, Pengantar Studi …………………………… Hal. 93.

10
Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan
Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid
Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa
dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa
Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalan -nya yang
terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan
Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.36

9. Sunan Gunung Djati

Sunan Gunung Jati adalah salah seorang dari walisongo yang banyak berjasa dalam
menyebarkan Islam di Pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Barat dan juga pendiri
Kesultanan Cirebon. Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah. Sunan Gunung Djati lahir
tahun 1448 M dan wafat pada 1568 M dalam usia 120 tahun. 37Dialah pendiri dinasti raja-
raja Cirebon dan Banten. Ia adalah cucu raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Dariperkawinan
Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang, lahirnya dua putera dan satu puteri, masing-
masing bernama Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang dan Raja Sengsara.38

Setelah Nyai Subang Larang wafat, Raden Walangsungsang keluar dari


keraton. Tidak lama setelah itu adik perempuannya menyusul. Keduanya belajar
agama Islam kepada Syekh Datu Kahfi (Syekh Nurul Jati) di Gunung Ngamparan
Jati. Setelah 3 tahun belajar, mereka diperintahkan gurunya untuk naik haji ke
Mekkah. Di Mekkah, Nyai Lara Santang mendapat jodoh, yaitu Maulana Sultan
Mahmud (Syarif Abdullah), seorang bangsawan Arab yang berasal dari Bani
Hasyim. 39

Setelah menunaikan ibadah haji, Raden Walangsungsang kembali ke Jawa dan


menjadi juru labuhan di Pasambangan, yang kemudian berkembang menjadi Cirebon.
Sementara itu, Nyai Lara Santang melahirkan Syarif Hidayatullah. Setelah dewasa, Syarif
Hidayatullah memilih berdakwah ke Jawa daripada menetap di tanah Arab. Dia kemudian
menemui Raden Walangsungsang yang sudah bergelar Pangeran Cakrabuana. Setelah
pamannya itu wafat, ia menggantikan kedudukannya dan kemudian berhasil meningkatkan

36
https://saripedia.wordpress.com/tag/penyebaran-islam-di-tanah-jawa/
37
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1993), Hal.
216.
38
Tarwilah, Peranan Wali Songo ………………..Hal. 93.
39
Ibid.

11
status Cirebon menjadi sebuah kesultanan. Ia kemudian terkenal dengan gelar Sunan
Gunung Jati.Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam yang bebas dari
kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan yang belum
menganut agama Islam itu. Dari Cirebon, ia mengembangkan agama Islam ke daerah-
daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa
dan Banten. Ia meletakkan dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan orang-orang
Islam di Banten pada tahun 1525/1526 M. Ketika ia kembali ke Cirebon, Banten
diserahkan kepada anaknya, Sultan Maulana Hasanuddin yang kemudian menurunkan raja-
raja Banten. Di tangan raja-raja Banten inilah kemudian Kerajaan Pajajaran dikalahkan.
Atas prakarsa Sunan Gunung Jati, penyerangan ke Sunda Kelapa dilakukan pada tahun
1527. Penyerangan ini dipimpin oleh Faletehan atau Fatahilah (w. 1570), panglima perang
Kerajaan Demak dan menantu Sunan Gunung Jati. Menurut Purwaka Caruban Nagari,
Sunan Gunung Jati, sebagai salah seorang walisongo mendapat penghormatan dari raja-
raja lain di Jawa, seperti kerajaan Demak dan Pajang. Karena kedudukannya sebagai raja
dan ulama, ia diberi gelar Raja Pandita. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, Cirebon
mengalami pasang surut. Sunan Gunung Jati wafat pada tahun 1568 dan dimakamkan di
Pasir Jati Bukit Sembung Cirebon.40

C. Kunci Kesuksesan Wali Songo Dalam Penyebaran Islam Di Nusantara

Berkata almarhum KH. Achmad Siddiq bahwa keberhasilan Walisongo dalam


menyebarkan agama Islam di tanah Jawa adalah berkat strategi dan methode da'wah yang
tepat dalam melaksanakan tugas, sesuai dengan petunjuk al-Qur'an,41 yang terjemahannya
sebagai berikut:”Hendaklah engkau ajak orang ke jalan Tuhanmu dengan hikmah
(kebijaksanaan) dan pengajaran yang baik dan dengan petunjuk-petunjuk yang baik (ramah
tamah) serta ajaklah mereka berdialog (bertukar pikiran) dengan cara sebaik-baiknya."
(QS. An-Nahl  ayat 125)

Prof. DR. Cecep Syarifudin, berpendapat, ada empat jurus utama yang digunakan
Walisongo yang menjadi kunci keberhasilannya dalam menyebarkan agama Islam. Empat

40
http://www.slideshare.net/chariezzfawzan/peranan-wali-songo-membangun-peradaban-islam-tanah-
jawa
41
http://matahati-aguskarianto-sumenep.blogspot.co.id/2013/03/kunci-keberhasilan-dawah-wali-
songo.html

12
jurus tersebut membuktikan universalitas nilai-nilai ideologi Walisongo yang sekaligus
sebagai bukti kebesarannya.42

Pertama, Tasamuh (toleran). Tanah Jawa, sebagai medan dakwah Walisongo waktu
itu, bukanlah sebuah kawasan bebas nilai dan keyakinan. Sebaliknya, ketika pendakwah-
pendakwah mulai masuk, Tanah Jawa adalah pusat dari lingkaran budaya Hindu dan
Budha terbesar di Asia Tenggara, di mana nilai-nilai keyakinan dan budaya telah mengakar
dengan kuat di hati masyarakat.

Belum lagi tantangan berupa nilai-nilai lokal masyarakat Jawa, yang kemudian
berakulturasi dengan budaya Hindu Budha dan membentuk sebuah kearifan batiniah yang
unik. Maka, dibutuhkan sebuah kearifan tersendiri jika hendak mengadakan sebuah
revolusi kebudayaan. Walisongo, yang memang berasal dari kultur sunni dan sufi,
memahami betul pendekatan bagaimana yang dibutuhkan untuk merangkul masyarakat
Jawa. Perbedaan besar antara ajaran Islam dengan Hindu Budha tidak lantas menciptakan
jarak antara generasi awal Walisongo yang berasal dari Arab dengan masyarakat lokal.
Dengan tingkat toleransi yang tinggi, secara perlahan para wali meleburkan diri dalam
kehidupan bermasyarakat. Sehingga terjadilah akulturasi kebudayaan.

Kedua, Tawasuth (moderat atau non ekstrim). Ajaran Islam yang turun di tanah
Arab, tentu mempunyai kultur yang sangat berbeda dengan kultur masyarakat Jawa.
Namun perbedaan cara pandang tersebut tidak dengan serta merta dilawan dan diberangus
secara ekstrim. Sebaliknya, para wali justru ngemong dan membiarkan masyarakat
melakukan tradisi-tradisi yang sudah berabad-abad dilakoninya sambil perlahan-lahan
mewarnai dengan nuansa keislaman. Maka, di tanah Jawa –khususnya dan Indonesia pada
umumnya- dikenal ritual-ritual yang tidak terdapat di Timur Tengah. Tradisi peringatan
nelung dina (peringatan hari ketiga kematian), pitung dina (hari ketujuh), dan seterusnya,
misalnya, merupakan warisan dari budaya hindu Jawa. Oleh para wali tradisi ini tidak
ditentang, namun diwarnai dengan nuansa keislaman. Pembacaan mantra dan puja-puji
bagi roh leluhur digantikan dengan bacaan tahlil dan mendoakan orang yang meninggal
serta umat Islam secara keseluruhan. Dengan demikian, secara perlahan dan Non Violence
(tanpa kekerasan) ritus-ritus yang sarat kemusyrikan berganti alunan zikir dan doa.

42
Ahmad Iftah Sidik, Zakarbeliau dan Suhaili, “Wali Songo Dalam Perspektif Peradaban Islam” Makalah
ditulis Pada mata kulbeliauh Genealogi Dan Pendekatan Dalam Studi Peradaban Islam (Jakarta: STAINU,
Tanpa Tahun), Hal. 11-13.

13
Perubahan secara damai ini juga perlahan menumbuhkan Culture Of Peace di hati umat
Islam Jawa.

Ketiga, Tawazun (Keseimbangan atau Harmoni). Diantara ciri khas kultur


masyarakat Jawa –dan nusantara secara umum- adalah kecenderungan kepada harmoni.
Bagi orang Jawa, kultur harmoni atau keseimbangan sangat mendarah daging. Orang Jawa
sangat tidak menyukai gejolak sekecil apapun, terlihat dari kecenderungan untuk selalu
ngalah dan nerimo ing pandum. Maka, upaya perubahan terhadap masyarakat Jawa mau
tidak mau harus mempertimbangan harmoni tersebut. Dengan pola pendekatan sufistik,
yang lebih mengutamakan sisi esoteris dalam beragama ketimbang penegakan syariah,
proses islamisasi pun berjalan dengan damai, tanpa gejolak yang berarti.

Keempat, Iqtida’ atau I’tidal (Keberpihakan pada keadilan). Meski bangga menjadi
anggota masyarakat dari sebuah kerajaan besar, rakyat Majapahit yang menganut agama
Hindu tetap saja mempunyai ganjalan besar, yaitu sistem diskriminasi kultural yang di-
namakan kasta. Sistem kasta ini secara perlahan menciptakan kesenjangan sosial antar
masyarakat. Terlebih ketika pecah perang saudara antar keluarga kerajaan yang berujung
pada maraknya kerusuhan, kelaliman, kejahatan, dan kemiskinan.

Dalam situasi seperti itulah Walisongo masuk dan memperkenalkan ajaran Islam
yang egaliter. Prinsip kesetaraan dan keadilan yang diusung oleh agama baru tersebut
kontan saja meraih simpati masyarakat yang kemudian berbondong-bondong memeluk
agama Islam. Dalam Islam, masyarakat Jawa menemukan ketenangan yang dicari-cari
selama ini, perlindungan spiritual dan kultural.

Dalam sebuah “makalah” di internet dituliskan Keberhasilan Walisongo dalam


rangka mendakwahkan Islam karena disebabkan beberapa hal sebagai berikut:43

Pertama, karena para Wali itu dapat memenuhi tuntutan dakwah dari Al-Qur’an,
hadist, serta tuntutan dari ahli-ahli dakwah sebelumnya seperti keikhlasan yang murni,
bersatu dalam ukhwah yang kuat terorganisir, berpegang pada dasar musyawarah serta
factor-faktos sosial psikologis (kejiwaan dalam masyarakat) yang dimiliki oleh mereka.

Kedua, disebabkan karena factor dalam ajaran Islam itu sendiri, karena agama Islam
memang merupakan agama yang mempunyai daya penetrasi (penyerapan) yang kuat,

43
http://ramdhanisuper.blogspot.co.id/2012/09/dakwah-walisongo.html

14
berdaya difusi/osmosi yang cepat melebihi agama mana pun. Di samping itu agama Islam
itu sangat sederhana, luwes, mudah dan menarik, dapat diterima siapa pun dan bagaimana
taraf kecerdasannya. Oleh sebab itu barang siapa yang mau mengikrarkan kalimat yang
sederhana “Laa Ilaaha Illallah, Muhammadar Rasulullah” saja sudah dapat dianggap orang
Islam.

Ketiga, disebabkan karena situasi kondisi masyarakat Jawa dewasa itu. Kesuksesan
dakwah Walisongo dewasa itu karena dipengaruhi oleh kondisi yang bersamaan dengan
kacaunya kerajaan Majapahit dan akhirnya runtuh sama sekali. Dalam kondisi seperti itu,
akhirnya orang mulai gelisah dan rindu kepada pembaharuan, dan kerinduan ini ternayata
bisa dipenuhi oleh Walisongo yang membawa Islam sebagai alat pembaharuan.

Keempat,  Islam memberi aspirasi baru dan memperluas pandangan rakyat Jawa.


Islam memberikan optimism (harapan baik) setelah lama diikat dalam suasana pesimisme
(harapan hampa) dan himpitan budaya Hindu, Budha, feodalisme budaya Jawa kuno.

Dalam sebuah “makalah” di media sosial dikatakan ada tiga kunci kesuksesan Wali
Songo dalam penyebaran Islam di pulau nusantara, wabilkhusus di Jawa. 44
Tiga kunci
tersebut sama dengan sebuah artikel dengan judul “Mabadi ‘Asyrah Islam Nusantara” yang
ditulis oleh Prof. Dr. M. IsomYusqi, Direktur Pascasarjana STAINU Jakarta; Faris Khoirul
Anam, pengurus Aswaja NU Center Jatim.45 Ketiga hal tersebut adalah amputasi, asimilasi
dan minimalisasi. Untuk jelasnya, akan diterangkan sebagai berikut.

Amputasi yaitu memotong atau menghilangkan bagian tertentu. Dalam hal ini
tradisi yang yang menyimpang tersebut harus dihilangkan, meskipun metode yang
dijalankan para Wali secara bertahap-tahap. Sebelum Islam datang, masyarakat Jawa
kebanyakan menjadikan batu dan pohon sebagai sesembahannya. Sebagaimana masyarakat
jahiliyah yang menyembah berhala pada zaman nabi. Para wali songo meniru dan
menggunakan metode Rosulullah untuk memberantas tradisi ini. Tidak bisa ditolelir lagi
bahwa tradisi semacam itu harus dibabat habis.

44
http://www.elhooda.net/2014/04/audio-video-kajian-islam-inilah-3-kunci-kesuksesan-dakwah-walisongo-
di-nusantara/
45
http://stainujakarta.ac.id/mabadi-asyrah-islam-nusantara

15
Kunci dakwah yang kedua adalah Asimilasi. Cara ini menjadi kunci terbesar
keberhasilan dakwah Islam di manapun berada. Asimilasi artinya membelokkan dari segala
sesuatu yang tidak baik menjadi baik. Mereka masyarakat Jawa yang masih kukuh dengan
tradisi yang tidak sesuai agama Islam secara bertahap, tanpa sadar dan sedikit-demi sedikit
diubah tradisinya sesuai syariat Islam. Ketika masa-masa panen, orang orang Jawa
sebelumnya memiliki tradisi larung sesaji ke laut atau sungai. Sesaji itu mereka
persembahkan ke leluhurnya yang sudah meninggal. Ketika menghadapi hal semacam ini,
para wali songo lantas tidak menyalahkannya secara terang-terangan. Secara bertahap
mereka membelokkan tradisi tersebut dengan menjadikan sesaji tersebut untuk tidak
dilarung ke laut namun dijadikannya tumpeng besar. Mereka mengarak tumpeng tersebut
dan mengundang warga sekitar untuk diajak makan bersama. Bentuk rasa syukur inilah
yang sesuai dengan syariat Islam. Sesuai dengan hadits nabi tentang sedeqah: “Sedeqah itu
bisa memadamkan kemurkaan Allah subhanahu wata’ala”.

Minimalisasi adalah metode yang juga berpengaruh besar terhadap tradisi


masyarakat jawa kala itu. Minimalisasi artinya mengurangi dampak suatu tradisi yang
buruk dan sulit dihilangkan. Sebagai contoh, saat ini masih terdapat tradisi masyarakat
pesisir melarung kepala kerbau ke laut ketika waktu-waktu tertentu. Ini merupakan proses
dakwah yang belum selesai dan masih perlu terus diminimalisasi oleh para pendakwah saat
ini. Asal mula dari tradisi tersebut adalah tradisi melarung kepala gadis perawan.
Kemudian para wali songo meminimalisasi hal tersebut dengan menggantinya dengan
kepala kerbau. Cara dakwah seperti ini juga pernah dilakukan oleh ulama’-ulama
terdahulu.

Dari para pendapat diatas, diketahui bahwa Wali Songo telah berhasil mengajarkan
kepada bangsa Indonesia, bahwa kesuksesan penyebaran Islam tidak harus menggunakan
kekerasan atau jihad perang. Akan tetapi, kesuksesan dakwah juga bisa dilakukan dengan
pendekatan budaya atau pendekatan sosial kemasyarakatan. Walisongo telah berhasil
meng-Islam-kan masyarakat di kawasan Asia Tenggara terutama Indonesia. Walisongo
telah memberi banyak jasa dan peninggalan penting berupa pesan-pesan moral kepada
masyarakat Nusantara tentang pentingnya ramah dan santun dalam beragama.46

D. Nilai Sosial Budaya Yang Luhur Dari Kisah Wali Songo

46
http://www.fimadani.com/walisongo-dan-islam-nusantara/

16
Apabila dikaji dari kisah perjalanan hidup Wali Songo dalam dari berbagai sumber
pustaka dan non pustaka, maka dapat dianalisis bahwa terdapat nilai-nilai sosial budaya
yang luhur yang ditinggalkan mereka. Nilai-nilai sosial budaya tersebut diantaranya
religiusitas/spritualitas, moralitas, egalitas, solidaritas dan sensitivitas sosial, edukatif dan
kaderisasi, akulturatif, toleransi, dan harmonisasi.

Nilai religiusitas/spritualitas terlihat dari tugas WaliSongo dalam menyebarkan


agama Islam. Mereka mempunyai landasan keimanan, keislaman, keihsanan dan keilmuan
yang mumpuni. Wali Songo belajar keagamaan dan mengasah spritual mereka di Pondok
Pesantren, bahkan ada yang belajar ke Timur Tengah. Diantara mereka ada yang belajar
dan mengikuti serta mendalami thariqat, yaitu Sunan Kali Jaga yang mempelajari tasawuf
salafi, dan Sunan Gunung Djati yang bertahariqat Kubrawiyah dan syattariyah. Nilai
spritualitas inilah yang terjewantahkan dalam kehidupan masyarakat, sehingga Wali Songo
mempunyai sikap dan dan sifat yang disenangi penduduk nusantara pada waktu itu.

Nilai Moralitas, terdeteksi dari keseharian tingkah laku atau akhlaq Wali songo
yang menyebarkan Islam dengan penuh sopan santun, ramah tamah, dan penuh dengan
kebijaksanaan. Bagaimana mungkin penduduk Jawa pada waktu itu tidak akan tertarik
untuk masuk agama Islam, ketika Wali Songo dan santri-santri mereka bersifat dan
bersikap yang mengandung etika yang baik atau berbudi luhur. Jejak Wali Songo masih
terlihat dalam nilai-nilai moral yang dianut masyarakat Jawa seperti nilai kesabaran,
keikhlasan, andap asor (tawadhu), keadilan, guyub rukun (ukhuwah), kerelaan,
kesederhaaan, nrimo (qana’ah), eling (dzikr), ngalah (tawakal), pasrah (Lillah) yang
menunjukan pada nilai-nilai sufistik.47

Nilai egalitas, hal ini tercermin dengan sikap Wali Songo yang tidak membedakan
kasta-kasta yang ada sebelumnya di masyarakat Jawa yang menganut agama Hindu-Budha.
Para Wali mengajarkan persamaan sebagai manusia dihadapan Allah SWT, tidak ada
perbedaan golongan kaya dan papah, golongan ternama dan jelata, golongan ningrat dan
melarat, kecuali ketaqwaannya. Hal ini juga yang membuat simpati penduduk pulau Jawa,
sehingga mereka dapat mengembangkan nilai dan kreasi hidup untuk menjadi orang
bertaqwa, tanpa terkungkung oleh kasta dan tingkatan buatan manusia di dunia.

47
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo ........................... Hal. 378.

17
Nilai solidaritas dan Sensitivitas sosial, 48 ini dapat disaksikan bagaimana Wali
Songo memberi makanan kepada penduduk yang lapar, memakaikan pakaian pada
masyarakat yang telanjang, dan membantu pada orang yang membutuhkan. Para Wali akan
beriba hati dan peka pada penderitaan penduduk Jawa, yang pada saat itu sedang terjadi
kekacauan politik yang berdampang pada krisis ekonomi; kekurangan sandang, papan dan
pangan. Sehingga ketika Wali Songo yang datang dari kaum Agamawan dan bangsawan
(kasta Brahmana dan ksatria dalam Hindu) memberi bantuan dengan penuh cinta dan kasih
sayang, hati mereka tersentuh dan tertarik pada ajaran agama Islam yang dianut dan
disebarkan oleh Wali Songo tersebut.

Nilai edukatif dan kaderisasi , ini dapat dikaji dari kisah Wali Songo, tatkala mereka
mendirikan tempat pendidikan yang eksis sampai sekarang; yang disebut Pondok
Pesantren. Para Wali jaman dulu dan Ulama jaman sekarang menjadikan pesantren sebagai
penggemblengan ilmu agama dan umum kepada para santri, serta kaderisasi ulama,
mubaligh dan ustadz sebagai pengemban dan penerus risalah kenabian. Disamping ha itu,
juga dalam perilaku dan tata laku para Wali mengandung pendidikan serta sauri tauladan
bagi masyarakat dulu, dan umat saat sekarang.

Nilai akulturatif terbukti dengan metode dakwah Wali Songo, yang membiarkan
tradisi dan budaya masyarakat Jawa pada waktu itu terjaga dan lestari dengan memasukan
keyakinan Tauhid padanya dan nilai-nilai Islami. Jadi, para wali yang Mulia tidak secara
prontal dan radikal merubah tradisi sosial budaya yang ada, tapi menyaring yang baik
diambil yang buruk ditinggalkan secara perlahan, tetapi yang paling pokok dimasuki
aqidah tauhid dan nilai-nilai keislaman yang agung. Sebagai contoh, wayang kulit
dibiarkan lestari sampai kini, tapi kepercayaan kepada banyak Tuhan (polytheisme) diganti
dengan ajaran Tauhid Islam (monotheisme), serta merubah cerita dengan disusupi nilai-
nilai keislaman.

Nilai toleransi, 49 dapat tergambar dalam kisah walisongo yang tenggang rasa kepada
kepercayaan setempat, diantaranya kepercayaan masyarakat kudus yang kuat pada agama
meraka, yaitu Hindu pada waktu itu, yang mengharamkan menyembelih sapi, ditolerir oleh
Sunan Kudus yang tidak membolehkan menyembelih sapi pada waktu idul adha tetapi

48
Agus Sunyoto, Wali Songo ............................... Hal. 44.
49
Agus Sunyoto, Wali Songo ............................... Hal. 44.

18
diganti dengan daging kerbau. Dengan sikap toleransi inilah justru masyarakat kudus
tertarik untuk menganut agama Islam.

Nilai harmonisasi, dapat teranalisis dari langkah Wali Songo yang menyeimbangkan
atau pengharmonisan cara dakwah mereka sebagai pembawa risalah Islam dengan kondisi
sosial budaya penduduk pulau Jawa. Bagaimana para Wali secara cerdas dan lugas
berusaha menyebarkan Islam dengan penuh keramah-tamahan, kedamaian dan kesalehan
sosial lainnya. Hal tersebut dilakukan tanpa mengusik terlalu berisik keadaan sosial dan
tradisi budaya masyarakat setempat.

Nilai musyawarah ini dicerminkan dari banyaknya sidang-sidang yang dilakukan


Wali Songo dalam memutuskan masalah-masalah yang terjadi dan berkembang di
masyarakat untuk penyebaran Islam dan kemaslahatan umat. sebagai Contoh,
memusyawarahkan tentang pembangunan Mesjid Demak, mengeksekusi Syekh Siti Jenar
dan lain-lain.

BAB III
KESIMPULAN

Wali Songo secara etimologi berarti Wali Sembilan. walisongo secara umum diartikan
sebagai sembilan wali yang dianggap telah dekat dengan Allah SWT, terus menerus beribadah
kepada-Nya,serta memiliki kekeramatan dan kemampuan-kemampuan lain di luar kebiasaan

19
manusia. Mereka adalah Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel atau
Raden Rahmat, Sunan Bonang atau Raden Maulana Makhdum Ibrahim , Sunan Drajat atau
Raden Qosim Syarifudin, Sunan Giri atau Raden Paku (Raden Ainul Yakin), Sunan
Kalijaga atau Raden Mas Syahid, Sunan Muria atau Raden Said (R. Prawoto), Sunan
Kudus atau Raden Ja’far Sadiq, dan Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah.

KH. Achmad Siddiq berpendapat, Kunci kesuksesan Wali Songo dalam penyebaran
Islam di Nusantara karena mereka melaksanakan dakwah sesuai dengan petunjuk al-
Qur'an, yakni dengan hikmah (kebijaksanaan) dan pengajaran yang baik dan dengan
petunjuk-petunjuk yang baik (ramah tamah) serta ajaklah mereka berdialog (bertukar
pikiran) dengan cara sebaik-baiknya. Menurut Prof. DR. Cecep Syarifudin, berpendapat,
ada empat jurus utama yang digunakan Walisongo yang menjadi kunci keberhasilannya
dalam menyebarkan agama Islam yakni tasamuh (toleransi), tawasuth, tawazun dan I’tidal.

Dalam sebuah makalah kunci kesuksesan Wali Songo dalam penyebaran Islam ada
empat faktor. Pertama, karena para Wali itu dapat memenuhi tuntutan dakwah dari Al-
Qur’an, hadist, serta tuntutan dari ahli-ahli dakwah sebelumnya, Kedua, disebabkan karena
factor dalam ajaran Islam itu sendiri, karena agama Islam memang merupakan agama yang
mempunyai daya penetrasi (penyerapan) yang kuat, berdaya difusi/osmosi yang cepat
melebihi agama mana pun, Ketiga, disebabkan karena situasi kondisi masyarakat Jawa
dewasa itu, dan Keempat,  Islam memberi aspirasi baru dan memperluas pandangan rakyat
Jawa. Dalam sumber yang lain kunsci kesuksesan Wali Songo dalam penyebaran Islam di
Jawa dengan cara amputasi, asimilasi dan minimalisasi.

Dari kisah perjalanan hidup Wali Songo dalam dari berbagai sumber pustaka dan
non pustaka, maka dapat dianalisis bahwa terdapat nilai-nilai sosial budaya yang luhur
yang ditinggalkan mereka. Nilai-nilai sosial budaya tersebut diantaranya
religiusitas/spritualitas, moralitas, egalitas, solidaritas dan sensitivitas sosial, edukatif dan
kaderisasi, akulturatif, toleransi, dan harmonisasi.

20
DAFTAR PUSTAKA

Sunyoto,Sunyoto. 2013.

Atlas Wali Songo; Buku Pertama Yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta
Sejarah, Jakarta: Pustaka Ilman.

AR, MB Rahimsyah . 2008.

Kisah Wali Songo; Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa,Surabaya: Mulia Jaya.

Sudadi, 2015.

Pengantar Studi Islam Untuk Mahasiswa dan Umum,Yogyakarta: Mediatera.

Sahroni, Lia Syukriah dan faisol Hakim, 2010.

Pendidikan Agama Islam Untuk SMP Kelas IX, Bogor: Rekatama.

Yatim, Badri . 1993.


Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

21
Istirokhah, 2012.
Sejarah Kebudayaan Islam Untuk MTs.Kls. IX, Bandung: Rahma Media Pustaka.
Sidik, Ahmad Iftah., Zakaria dan Suhaili, Tanpa Tahun.

“Wali Songo Dalam Perspektif Peradaban Islam” Makalah ditulis Pada mata kuliah
Genealogi Dan Pendekatan Dalam Studi Peradaban Islam , Jakarta: STAINU.

Tarwilah, 2006.

peranan Wali Songo dalam pengembangan Dakwah Islam dalam Ittihad Jurnal
Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 4 No.6 Oktober 2006.

Munawwir, Ahmad Warson. 1984.

Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Proressif.

Sumber Internet:

http://inet-komp.blogspot.co.id/2014/10/makalah-walisongo.html

http://nakbarell.blogspot.co.id/2012/01/makalah-wali-songo.html
https://saripedia.wordpress.com/tag/penyebaran-islam-di-tanah-jawa/

http://anggabudibaskara192.blogspot.co.id/2014/12/makalah-perkembangan-islam-pada-
zaman.html

22
23

Anda mungkin juga menyukai