Anda di halaman 1dari 17

WALISONGO DALAM PERSPEKTIF

PERADABAN ISLAM
Kajian Genealogi Keilmuan, Seni dan Budaya


Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Genealogi Dan Pendekatan
Dalam Studi Peradaban Islam yang diampu oleh Bapak DR. Haryadi




Oleh:
Ahmad Iftah Sidik
Zakaria
Suhaili


PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA JAKARTA
PRODI SEJARAH PERADABAN ISLAM
KONSENTRASI KAJIAN ISLAM NUSANTARA
1
PENDAHULUAN


Latar Belakang
Hingga permulaan abad ke-21 ini Indonesia masih menjadi negara dengan penduduk
muslim terbesar di dunia. Fenomena ini bukanlah sesuatu yang tidak istimewa, mengingat negeri
ini, seribu tahun sebelumnya, pernah menjadi kerajaan Hindu dan Budha terbesar di Asia
Tenggara. Bahkan di masa itu, Kerajaan Sriwijaya pernah memiliki perguruan tinggi agama Budha
terbaik dan terbesar di seantero dunia, Universitas Nalanda.
Uniknya, dalam proses perubahan besar ini nyaris tidak ada setetespun darah tertumpah.
Semua berjalan dengan damai dan penuh kasih sayang. Tanpa paksaan sedikitpun proses
Islamisasi berjalan dengan mulus. Ini berbeda dengan proses Islamisasi di India yang dilakukan
secara besar-besaran melalui penaklukan dan tekanan --bahkan konon sedikit pemaksaan dengan
senjata.oleh para raja muslim seperti Sultan Mahmud Ghazna, Aurangzeb, Haidar Ali, Tipu
Sultan, dan sebagainya. Namun hingga saat ini India terlebih setelah terbagi tiga dengan
Pakistan dan Bangladesh yang muslim Islam tetap tidak berhasil secara massif menggeser
Hindu sebagai agama mayoritas masyarakat.
1

Dan sejarah mencatat, keberhasilan yang gemilang di Nusantara tersebut tidak lepas dari
kharisma para tokoh penyebar agama Islam ke Nusantara, khususnya Pulau Jawa sebagai pusat
Kerajaan Majapahit, yaitu Walisongo.
Meski banyak dikelilingi legenda yang kontroversial, Walisongo diyakini oleh para
sejarawan, baik lokal maupun mancanegara, adalah tokoh-tokoh nyata yang pernah menghiasi
sejarah nusantara. Dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan bersejarah, baik yang bersifat
artefak, berupa makam-makam yang hingga kini masih ramai di ziarahi, sisa keraton dan masjid-
masjid, serta karya seni berupa tembang (lagu) dan dolanan (permainan) rakyat, juga ajaran dan
sistem pranata sosial, maupun yang tersurat dan tersirat dalam babad, serat, kidung, suluk, dan
primbon. Baik yang ditulis di masa walisongo, maupun pada masa-masa berikutnya. Hanya
sayangnya berbagai peninggalan walisongo tersebut dianggap tak cukup banyak menyajikan data
yang argumentatif, ilmiah, dan terperinci yang bisa menjadi bahan otoritatif penulisan sejarah
walisongo yang benar-benar akurat.

1
Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah,
Pustaka Ilman, Depok, 2012, hlm. 42-43

Permasalahan
Makalah ini tentu tidak akan cukup dan mampu mengupas tuntas fakta seputar walisongo, karena
waktu, sumber penulisan dan keterbatasan kemampuan penulis. Namun demikian, ada beberapa
hal sederhana yang ingin kami kaji di sini untuk sebagai bahan diskusi kita mengenai Walisongo
dalam perspektif peradaban Islam Nusantara, yaitu:
1. Siapakah Walisongo, baik secara ketokohan, genealogi keturunan maupun keilmuan?
2. Apa saja karya Walisongo yang mempengaruhi peradaban Islam Nusantara?



2
MENGENAL WALISONGO


Siapa Walisongo?
Walisongo, secara harfiah berarti sembilan orang wali. Penggunaan kata wali, untuk
menyebut para penyebar agama Islam di tanah Jawa, sendiri mengindikasikan keterkaitannya yang
erat dengan dunia tasawuf. Karena kata wali, yang sering diartikan kekasih Allah, merupakan
istilah dalam khazanah spiritualitas atau sufisme.
Wali atau waliy berasal dari akar kata waliya-yawla yang berarti dekat dengan sesuatu. Al-
Waliyyu mengandung arti orang yang memiliki kedekatan dengan Allah atau orang yang disayang
Allah. Dalam bahasa Arab, terkadang ada satu kata yang memiliki makna fail (subyek) dan Maful
(obyek) sekaligus. Demikian pula dengan kata waliy yang memiliki kedua pengertian sekaligus
tersebut. Ia bisa berarti orang yang mencintai Allah, atau orang yang dicintai Allah, atau, bahkan,
orang yang mencintai dan dicintai Allah sekaligus. Imam Al-Qusyairi mengatakan, Waliy memiliki
dua pengertian. Pertama, orang yang dengan sekuat tenaga berusaha menjaga hatinya agar tetap
hanya bergantung kepada Allah. Mereka ini yang seringkali juga disebut waliy salik. Kedua, orang
yang hatinya secara penuh berada dalam penjagaan Allah. Dalam dunia sufi, wali-wali kelompok
kedua ini dipercaya seringkali mengalami kefanaan kesadaran (jadzab), sehingga sering disebut
Waliy Majdzub.
2

Ibnu Arabi, dalam kitab Futuhat Makiyyah, menelusuri kriteria orang-orang yang dicintai
Allah, waliy, dalam Al Quran dan menemukan delapan kriteria kewalian. Pertama, orang yang
hanya mengambil Allah sebagai pelindungnya. Kedua, orang yang mencintai Allah dan berusaha
meniru sifat-sifat-Nya. Ketiga, orang yang senantiasa kembali kepada Allah, bertaubat. Keempat,
orang yang selalu berusaha mensucikan dirinya, lahir dan batin. Kelima, orang yang selalu
bersabar atas takdir yang ditetapkan Allah.
Keenam, orang yang selalu bersyukur atas nikmat Allah. Bagi para wali, musibah dan
anugerah adalah sama-sama nikmat, karena keduanya berasal dari Allah. Ketujuh, orang yang
selalu berbuat baik dan memperbaiki, muhsin. Kedelapan, orang yang selalu menghadirkan Allah
dalam hatinya, pada setiap detak jantung dan hembusan nafasnya.
3


2
Imam Qusyairi, Risalah Qusyairiyyah, .
3
Ibn Arabi, Futuhat Makiyyah, dikutip dalam Makalah Prof. DR. Cecep Saifudin, yang disampaikannya dalam
Halaqah Politik Walisongo, di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Desember 2005.
Walisongo, terlepas dari ada atau tidaknya kedelapan kriteria kewalian tersebuta, menurut
sebagian sejarawan, adalah sebutan untuk sebuah organisasi atau dewan yang secara terorganisir
berjuang mengislamkan tanah Jawa. Maka tidak mengherankan jika jumlah mereka tidak hanya
sembilan, sebagaimana makna harfiahnya. Kata songo, atau sanga yang bermakna sembilan,
dalam tradisi jawa kuno sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang banyak.
Sebagaimana ketika orang jawa menyebut sebuah komplek dengan puluhan candi di pegunungan
Ungaran Jawa Tengah dengan nama Candi Songo, atau pada nama Sumber Songo dan Gedong
Songo. Sementara Agus Sunyoto mengaitkan nama Walisongo dengan islamisasi konsep Hindu
Nawa Dewata (Sembilan dewa penjaga semesta) dengan sembilan martabat kewalian ala Syaikhu-
l-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi dalam Futuhat Makiyyah.
4

Sementara terkait keanggotaan Walisongo, banyak sumber yang menceritakannya, tentu
lengkap dengan berbagai perbedaannya. Agus Sunyoto, misalnya, membagi Walisongo dalam
periodisasi berikut
5
:
Periode pertama datang dari Asia Tengah dan Campa, terdiri dari :
1. Syeh Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Kashan Persia, dikenal sebagai ahli tata
negara dan menjadi penasihat para raja, pengeran dan menteri, wafat dan
dimakamkan di Desa Gapura, Gresik tahun 1419.
2. Maulana Ahmad Jumadil Kubra, asal Mesir atau Persia, berdakwah keliling dan
melakukan riyadhah di gunung-gunung, wafat dan dimakamkan di Troloyo -
Trowulan Mojokerto. Ada dua pendapat mengenai tokoh ini: berasal dari
Hadharamaut dengan nama asli Jamaludin Al-Akbar Al-Husayni, keturunan dari
Sayyid Muhammad Shahib Mirbath, melaui Alawi Ammil Faqih; dan dari Asia
Tengah dengan nama asli Najmuddin Al-Kubra yang dengan lidah jawa menjadi
Najumadinil Kubra lalu Jumadil Kubra, salah seorang tokoh tarekat Kubrawiyah.
6

3. Syaikh Ibrahim Asmarakandi, berasal dari Samarkand, Uzbekistan, namun lama
bermukim di Campa dan diambil menantu oleh Raja Campa. Ia datang ke Jawa
bersama dua putranya (Raden Ali Rahmatullah dan Raden Ali Murtadla), setelah
sebelumnya singgah di Palembang mengislamkan Arya Damar, Adipati Palembang,
untuk menemui raja Majapahit, Brawijaya V yang memperistri adik iparnya, Dewi

4
Agus Sunyoto, loc.cit, hlm. 113
5
ibid, hlm. 64-85
6
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung, Cet. Ke-3, 1999, hlm. 235-245
Darawati. Meraka mendarat di perbatasan Tuban dan Lamongan, namun syaikh
Ibrahim lebih dulu wafat sebelum sempat menemui sang raja.
4. Syaikh Hasanuddin, asal Campa, ikut rombongan muhibah Laksamana Cheng Ho
lalu turun untuk berdakwah dan membuka pesantren di Tanjungpura, Karawang,
hingga wafatnya, yang lebih masyhur dengan julukan Syaikh Quro. Ia adalah guru
dari Dewi Subanglarang yang kemudian diperistri oleh Prabu Siliwangi dan
melahirkan Pangeran Walangsungsang, Dewi Lara Santang (ibu Sunan Gunung Jati)
dan Raden Kian Santang.
7

5. Syaikh Datuk Kahfi, berasal dari Samudra Pasai, saudara sepupu Syaikh Siti Jenar,
membuka pesantren dan wafat di Gunung Amparan Jati Cirebon. Ia adalah guru dari
Pangeran Walangsungsang dan Dewi Lara Santang.

Periode kedua
8
, terdiri dari :
1. Raden Ali Rahmatullah berasal dari Cempa, diangkat menantu oleh bupati Surabaya,
diberi tanah perdikan yang kemudian dibangun pesantren di Ampeldenta Surabaya,
dan dikenal sebagai Sunan Ampel (Surabaya)
2. Raden Paku atau Maulana Ainul Yaqin, kelahiran Blambangan, putra dari Syeh
Maulana Ishak, berjuluk Sunan Giri dan makamnya di Gresik
3. Raden Makhdum Ibrahim, putra Sunan Ampel yang bergelar Sunan Bonang,
berdakwah di pedalaman Jawa Timur (Kediri dan sekitarnya), Demak (Desa Bonang)
lalu pindah hingga wafat di Tuban.
4. Maulana Syarif Hidayatullah, bergelar Sunan Gunung Jati, putra dari Syarif Abdullah
di Mesir dengan Dewi Lara Santang (putri Prabu Siliwangi). Mendirikan Kerajaan
Cirebon, sambil berdakwah hinggawa wafatnya, Dimakamkan di Gunung Sembung,
Cirebon. Sunan Gunung Jati disebut-sebut dalam Serat Bale Rante-rante pernah
berguru tarekat Naqsyabandiyyah, Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke Timur Tengah.
9

5. Raden Usman Haji bergelar Sunan Ngudung, putra dari Sayyid Ali Murtadla (Kakak
Sunan Ampel), berdakwah di daerah Kudus, setelah gugur dalam perang Demak-

7
Selain ulasan panjang lebar di Atlas Walisongo-nya Agus Sunyoto, keterangan tentang Pesantren Karang yang
diasuh Syaikh Quro juga disebutkan di : Martin Van Bruinessen, loc.cit, hlm. 224
8
Ibid, hlm.185-332
9
Martin Van Bruinessen, Loc.cit., 224
Majapahit, kedudukannya digantikan putranya, Sayyid Jafar Shadiq yang bergelar
Sunan Kudus.
6. Raden Said atau Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban bernama Wilatikta, kakeknya
bernama Abdurrahman (Abdurrahim, menurut versi Van Berg) bin Kourames,
seorang muballigh dari Tanah Arab keturunan dari Sayyidina Abbas bin Abdul
Muthalib, paman Rasulullah SAW, yang setelah mengislamkan Bupati Tuban dan
diangkat menantu lebih dikenal dengan nama Aria Teja.
7. Raden Qosim atau Sunan Drajad, adik Sunan Bonang (putra Sunan Ampel), Lahir di
Ampel dan berdakwah di pegunungan Paciran, Lamongan.
8. Raden Umar Said atau Sunan Muria, putra Sunan Kalijaga, berdakwah di sekitar
Kudus, Rembang, Pati dan sekitarnya. Ketika wafat dimakamkan di puncak Gunung
Muria, Colo, Kudus, Jawa Tengah.
9. Raden Fatah, raja Demak pertama, putra dari Prabu Brawijaya V. Meski ;ebih dikenal
sebagai seorang Sultan, namun santri Sunan Ampel ini juga rajin berdakwah. Ia
dikenal sebagai Wali Nakbah, wali yang memiliki tugas dan kewenangan tertentu.
Raden Fatah melahirkan raja-raja Demak, mendirikan keratin dan Masjid Agung
Demak bersama para wali, dan ketika wafat dimakamkan di samping Masjid Agung
Demak.
Meski demikian banyak dan silih berganti, namun anggota walisongo yang paling akrab di
telinga masyarakat dan paling sering menjadi obyek ziarah tetap saja sembilan. Mereka adalah
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga
Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati.
Mereka inilah yang dianggap paling banyak meninggalkan jejak sejarah di tanah Jawa.
Termasuk beberapa tradisi keagamaan yang bercorak sunni dan bermazhab Syafii. Bahkan
Indonesia dan beberapa negara tetangganya kemudian menjadi basis mazhab yang berasal dari
Mesir tersebut.

Silsilah Walisongo : Nasab dan Keilmuan
Karena minimnya catatan sejarah yang dibuat pada masa hidup para anggota walisongo,
maka teori-teori tentang walisongo, terutama terkait silsilah nasab dan keilmuan mereka dibuat
oleh generasi-generasi sesudahnya. Bahkan kebanyakan penelitian secara mendalam dilakukan
pada masa penjajahan Belanda oleh para orientalis. Salah satu yang paling banyak didiskusikan
dan diperdebatkan adalah mengenai asal-usul walisongo. Sekurangnya ada dua teori besar
mengenai asal-usul para walisongo:
1. Teori Arab
10

Selain pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah),
Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan
jalur penyebaran para mubaligh
11
, bukan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah
kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir,
dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan
Hadramaut (Yaman):
- L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada
1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)

mengatakan: Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah
dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara
raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku
lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak
meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif)
adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).
- Van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204): Pada abad ke-15, di
Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa
kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk,
dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan
dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan
Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar

10
Mantan Mufti Johor Sayyid `Alw b. Thir b. `Abdallh al-Haddd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan
tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia
menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan
bangsa Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi
seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan
Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur
Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
11
Bukti bahwa Champa hanya transit dipaparkan oleh Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongonya di halaman 24-
27
mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab
Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang
diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik
kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih
awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum
Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab,
Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafii, sama seperti
mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia.
Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India
pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan
Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa
Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat,
Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafii Fathul Muin
yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya
memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut
mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber
pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf
dan pengutamaan Ahlul Bait.
Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan
Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar
yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu
cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang
anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini
terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan
mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti
Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
2. Teori keturunan Cina
Selain teori popular Gujarat dan Campa, ada juga teori kontroversial yang menyebutkan
bahwa walisongo adalah keturunan Tionghoa. Sejarawan Slamet Muljana mengundang
kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa
Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia. Pendapat tersebut mengundang reaksi
keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia.

Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau
keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang
dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang
merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada
seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang
belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila
dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg.

Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu
Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam
buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi. Salah satu ulasan atas
tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the
15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula
tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain,
seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam
tulisan Parlindungan.





3
WALISONGO DALAM PERSPEKTIF PERADABAN
ISLAM


Metode Dakwah Walisongo
Jika ditanyakan, apa warisan terbesar Walisongo untuk Nusantara? Maka jawaban yang
paling mudah dan kongkrit adalah metode dakwah mereka yang secara massif berhasil mengubah
agama mayoritas masyarakat Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan NTB.. Metode dakwah, gaya
komunikasi dan budaya yang terbangun darinya itu belakangan menjadi ciri khas kaum muslim
tradisional Indonesia yang diyakini akan menyumbang peradaban damai bagi dunia masa depan.
Namun, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, menggali kearifan metode dakwah ini
bukan hal yang mudah. Figur Walisongo, sebagaimana dikisahkan dalam babad dan
kepustakaan tutur, terlanjur sering dihubungkan dengan kekuatan gaib yang dahsyat. Seperti
kemampuan berjalan sangat cepat atau yang lazim disebut ilmu lempit bumi yang sejak kecil
dimiliki oleh Raden Paku atau Sunan Giri, ilmu menembus bumi yang dipraktikkan oleh Sunan
Kalijaga, dan sebagainya.
Namun, sebagaimana dibahas secara mendalam dalam Halaqah Politik Walisongo, di
Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Desember 2005, kesaktian sebenarnya dari Walisongo adalah
kearifan dan kebijaksanaannya dalam menerpakan pola dakwah. Prof. DR. Cecep Syarifudin,
misalnya, berpendapat, ada empat jurus utama yang digunakan Walisongo yang menjadi kunci
keberhasilannya dalam menyebarkan agama Islam. Empat jurus tersebut membuktikan
universalitas nilai-nilai ideologi Walisongo yang sekaligus sebagai bukti kebesarannya
12
.
Pertama, Tasamuh (toleran). Tanah Jawa, sebagai medan dakwah Walisongo waktu itu,
bukanlah sebuah kawasan bebas nilai dan keyakinan. Sebaliknya, ketika pendakwah-pendakwah
mulai masuk, Tanah Jawa adalah pusat dari lingkaran budaya Hindu dan Budha terbesar di Asia
Tenggara, di mana nilai-nilai keyakinan dan budaya telah mengakar dengan kuat di hati
masyarakat.

12
Cecep Syarifuddin, Prof. DR., Kesaktian Walisongo: Empat Jurus Dakwah Islamisasi Jawa, disampaikan
dalam Halaqah Politik Walisongo, Desember 2005, di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya. Laporan mengenai acara
dan materi halaqah tersebut juga dimuat di Majalah Alkisah, edisi 01/2006 yang terbit pada bulan Januari
2006.
Belum lagi tantangan berupa nilai-nilai lokal masyarakat Jawa, yang kemudian
berakulturasi dengan budaya Hindu Budha dan membentuk sebuah kearifan batiniah yang unik.
Maka, dibutuhkan sebuah kearifan tersendiri jika hendak mengadakan sebuah revolusi
kebudayaan.
Walisongo, yang memang berasal dari kultur sunni dan sufi, memahami betul pendekatan
bagaimana yang dibutuhkan untuk merangkul masyarakat Jawa. Perbedaan besar antara ajaran
Islam dengan Hindu Budha tidak lantas menciptakan jarak antara generasi awal Walisongo yang
berasal dari Arab dengan masyarakat lokal. Dengan tingkat toleransi yang tinggi, secara perlahan
para wali meleburkan diri dalam kehidupan bermasyarakat.
Para wali menjadi tempat mengadu bagi masyarakat yang tengah dalam kesulitan besar
akibat perang saudara di Kerjaan Majapahit yang tak kunjung usai. Tanpa memandang perbedaan
agama dan keyakinan, para wali dengan caranya sendiri- turun tangan membenahi dan
melindungi masyarakat kecil. Empati dan keberpihakan ini yang kemudian menimbulkan simpati
masyarakat terhadap para wali, dan belakangan pada ajaran yang dibawanya.
Kedua, Tawasuth (moderat atau non ekstrim). Ajaran Islam yang turun di tanah Arab,
tentu mempunyai kultur yang sangat berbeda dengan kultur masyarakat Jawa. Namun perbedaan
cara pandang tersebut tidak dengan serta merta dilawan dan diberangus secara ekstrim.
Sebaliknya, para wali justru ngemong dan membiarkan masyarakat melakukan tradisi-tradisi yang
sudah berabad-abad dilakoninya sambil perlahan-lahan mewarnai dengan nuansa keislaman.
Maka, di tanah Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya- dikenal ritual-ritual yang
tidak terdapat di Timur Tengah. Tradisi peringatan nelung dina (peringatan hari ketiga kematian),
pitung dina (hari ketujuh), dan seterusnya, misalnya, merupakan warisan dari budaya hindu Jawa.
Oleh para wali tradisi ini tidak ditentang, namun diwarnai dengan nuansa keislaman. Pembacaan
mantra dan puja-puji bagi roh leluhur digantikan dengan bacaan tahlil dan mendoakan orang
yang meninggal serta umat Islam secara keseluruhan.
Dengan demikian, secara perlahan dan Non Violence (tanpa kekerasan) ritus-ritus yang
sarat kemusyrikan berganti alunan zikir dan doa. Perubahan secara damai ini juga perlahan
menumbuhkan Culture Of Peace di hati umat Islam Jawa.
Ketiga, Tawazun (Keseimbangan atau Harmoni). Diantara ciri khas kultur masyarakat
Jawa dan nusantara secara umum- adalah kecenderungan kepada harmoni. Bagi orang Jawa,
kultur harmoni atau keseimbangan sangat mendarah daging. Orang Jawa sangat tidak menyukai
gejolak sekecil apapun, terlihat dari kecenderungan untuk selalu ngalah dan nrimo ing pandum.
Maka, upaya perubahan terhadap masyarakat Jawa mau tidak mau harus
mempertimbangan harmoni tersebut. Dengan pola pendekatan sufistik, yang lebih
mengutamakan sisi esoteris dalam beragama ketimbang penegakan syariah, porses islamisasi pun
berjalan dengan damai, tanpa gejolak yang berarti.
Keempat, Iqtida atau Itidal (Keberpihakan pada keadilan). Meski bangga menjadi anggota
masyarakat dari sebuah kerajaan besar, rakyat Majapahit yang menganut agama Hindu tetap saja
mempunyai ganjalan besar, yaitu sistem diskriminasi kultural yang dinamakan kasta. Sistem kasta
ini secara perlahan menciptakan kesenjangan sosial antar masyarakat. Terlebih ketika pecah
saudara antar keluarga kerajaan yang berujung pada maraknya kerusuhan, kelaliman dan
kemiskinan.
Dalam situasi seperti itulah Walisongo masuk dan memperkenalkan ajaran Islam yang
egaliter. Prinsip kesetaraan dan keadilan yang diusung oleh agama baru tersebut kontan saja
meraih simpati masyarakat yang kemudian berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dalam
Islam, masyarakat Jawa menemukan ketenangan yang dicari-cari selama ini, perlindungan
spiritual dan kultural.
Strategi lain yang dipandang para sejarawan cukup efektif dalam proses Islamisasi Jawa
adalah dakwah politik. Dalam menjawab pertanyaan sarjana Amerika, Marshal Hodgon,
pengarang buku The Venture of Islam, mengapa proses Islamisasi di Jawa begitu berhasil
sempurna. Mark Woodward, dalam bukunya Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the
Sultanate of Yogyakarta menjawab bahwa Islam oleh para penyebarnya, khususnya Wali Songo,
telah berhasil dipeluk oleh kraton Jawa, sehingga seluruh rakyat mengikutinya.
Melalui tokoh Raden Fatah (putra Prabu Brawijaya V), Sunan Ampel (kemenakan
permaisuri Majapahit), Sunan Giri (cucu Raja Blambangan), Sunan Kalijaga (putra Adipati
Wilwatikta) dan lainnya, Islam masuk ke lingkungan kerajaan. Ini berbeda dengan di Asia Selatan,
di mana proses Islamisasi mengalami benturan hebat karena berhadapan dengan para bangsawan
secara frontal.
Budaya dan Tata Nilai Warisan Walisongo untuk Peradaban Nusantara
Selain metode dakwah masih banyak warisan lain dari Walisongo yang turut membentuk
peradaban Islam Nusantara. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Pranata Sosial dan Nilai
Seperti lazimnya dakwah Islam di tempat lain, Islamisasi di Jawa juga mendorong perubahan
tata nilai di wilayah yang dimasukinya. Salah satu tata nilai yang paling mendasar yang
disusung oleh Islam adalah kesetaraan setiap manusia di hadapan Allah, dan hanya
ketakwaan yang menjadi tolok ukur kemulyaan. Sebagai daerah yang semula menganut
agama Hindu, masyarakat Jawa telah terbiasa dengan sistem Kasta yang mengotak-kotakan
mereka. Sekurangnya ada empat kasta yang hidup di tengah masyarakat: Brahmana
(agamawan), Ksatria (bangsawan), Waisya (warga biasa) dan Sudra (budak).
Bukan hal mudah mengikis tradisi kasta ini, terutama di kalangan bangsawan. Perjuangan
penyetaraan umat manusia dan penghapusan perbudakan yang dilakukan walisongo pun
akhirnya masih harus menerima kompromi dalam beberapa hal. Misalnya meski sudah tidak
terlalu tajam, namun sisa tradisi kelas masih terlihat dalam strata sosial muslim Jawa dengan
pembagian : Ulama (agamawan), Ningrat (Bangsawan) dan Rakyat jelata.
13

Kelas ini kembali terbagi ketika penjajahan dimulai. Rakyat jelata yang baru saja menikmati
hilangnya strata sudra di masyarakat kembali menjadi seperti budak di tangan para penjajah.
Bedanya kali ini ulama dan sebagian bangsawan berada di pihak mereka, menjadi pengayom
dan pelindung mereka dari kekejaman penjajah, sekaligus motor perlawanan melawan
penjajah..
b. Tradisi Keagamaan Champa
Bersamaan berdatangannya kalangan agamawan dan migrasi besar-besaran umat islam dari
Champa ke Nusantara, saat negeri Champa diinvasi oleh Vietnam, ikut terbawa pula tradisi
keagamaan dan budaya Champa ke tanah air. Baik yang masih bercorak timur tengah,
maupun yang sudah berasimilasi dan berakulturasi dengan budaya lokal. Di antara tradisi
yang terbawa tersebut itu adalah
14
:
- Tradisi peringatan harike-3, 7, 10, 30, 40, 100 dan 1000 kematian yang diisi dengan
berdoa bersama.
- Kepercayaan terhadap hantu, dan alam jin
- Panggilan emak untuk ibu, Kak dan Dik untuk saudara kandung, eyang kepada
harimau.

13
Agus Sunyoto, loc.cit., hlm. 347
14
Ibid, hlm. 370
- Acara selamatan atau kendurian pada momen-momen yang dianggap penting atau sakral

c. Kesenian dan budaya
15

Peninggalan Walisongo paling banyak, barangkali, dalam khazanah kesenian dan
kebudayaan, yang selain merupakan asimilasi dari budaya lokal juga sangat kental diwarnai
tradisi tasawuf. Di antara peninggalan-peninggalan tersebut antara lain seni wayang purwo
yang lakonnya telah diislamisasi, tembang dolanan anak, bedug di masjid, gamelan dan
sebagainya.
Jejak tradisi sufistik juga terlihat dalam kesenian Debus di Banten, sekatenan di Solo dan
Jokja, dan berbagai serat, suluk, tembang serta primbon Jawa yang diadaptasi dari berbagai
kitab tasawuf. Juga dalam seni bangunan, yang menggabungkan tradisi arsitektur jawa
dengan member filosofi islami, seperti Masjid Demak yang atapnya berundak tiga, dan tata
letak bangunan utama pemerintahan yang terdiri dari alun-alun, masjid agung dan pendopo.
d. Sistem Pendidikan Pesantren
Sering muncul pertanyaan dari mana asal sistem pendidikan pesantren? Puluhan bahkan
mungkin ratusan peneliti, baik orientalis barat maupun timur dan lokal, mendatangi
pesantren untuk mencari jawabannya. Kalangan sendiri tidak banyak yang mampu menjawab
secara tepat dan terperinci mengenai jalur pewarisan sistem pendidikan dan keilmuannya.
Banyak versi yang dikemukakan para peneliti dan penulis kepesantrenan, tentang asal muasal
bentuk pendidikan ala pesantren. H.J. De Graaf dan Th.G. Pegeaud, misalnya, menduga
pesantren merupakan islamisasi dari dua bentuk pendidikan kuno di Jawa oleh Walisongo,
yakni Mandala dan Ashram
16
. Belakangan pendapatan yang sama juga dikemukakan Ahmad
Baso, penulis serial Pesantren Studies yang mendasarkan pendapatnya pada Kitab Tantu
Panggelaran.
17

Ada juga pendapat orientalis lain seperti F. Fokken dan B.J.O. Schrieke yang menduga
pesantren berasal dari desa-desa perdikan yang oleh raja dibebaskan dari pajak dengan
kompensasi tugas mandat tertentu seperti menjaga makam keramat atau mengajarkan

15
Ibid, hlm. 374
16
Martin Van Bruinessen, loc.cit., hlm 24.
17
Lihat catatan kaki Ahmad Baso dalam buku Pesantren Studies seri 2a, Pustaka Afid, Jakarta 2012, halaman
61-62
agama
18
. Namun pendapat terakhir diragukan oleh Martin mengingat dari 211 desa perdikan
di Jawa pada abad 19, hanya ada empat desa yang di dalamnya terdapat pesantren yang
dihidupi oleh penghasilan desa. Sementara sebagian besar pesantren lainnya tidak terkait
dengan status desa perdikan tersebut.
Para peneliti barat menduga lembaga pesantren seperti yang ada di abad 19-20 belum ada di
awal-awal masuknya islam di Nusantara, bahkan hingga abad ke-17 di Jawa dan abad 18 di
Kalimantan dan Sulawesi. Pesantren pertama yang paling lengkap perangkat, besar dan
representatif yang tercatat oleh orientalis adalah Pesantren Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur.
Pesantren inilah yang diyakini menelurkan alumni yang kemudian menduplikasi sistem
pesantren Tegalsari di berbagai tempat, baik daerah asalnya maupun daerah lain tempat
mereka berhijrah mendakwahkan agama.
19

Mungkin yang dimaksud oleh para peneliti barat tersebut adalah pesantren dalam bentuk dan
perangkat pengajaran yang komplit dengan standar minimal Pesantren Tegalsari Ponorogo,
Jawa Timur di abad 18-19. Sebab Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo-nya sudah
menyebut-nyebut Pesantren Syaikh Quro di Karawang yang hidup di abad 14 dan Pesantren
Syaikh Datuk (Datul) Kahfi di sekitar Gunung Jati dan Gunung Sembung Cirebon pada awal
abad 15, yang diantara santrinya antara lain Pangeran Walangsungsang dan Dewi Lara
Santang, putri Prabu Siliwangi dari Putri Subanglarang (santri Syaikh Quro), Pesanren
Ampeldenta-nya Sunan Ampel dan sebagainya.
20





18
Martin Van Bruinessen, op.cit.
19
ibid
20
Ibid, hlm. 224 dan Agus Sunyoto, loc.cit. 78-85
4
PENUTUP

Kesimpulan
a. Walisongo tidak merujuk pada Sembilan nama, tetapi merupakan dewan pendakwah yang
hidup di abad 14-16. Mereka diyakini berasal dari Timur Tengah dan Asia Tengah,
sebagian langsung ke Jawa dan sebagian besar transit di kerajaan Champa untuk waktu
yang cukup lama.
b. Dengan gaya dakwah yang sejuk dan penuh toleransi Walisongo berhasil melakukan
sebuah Revolusi Peradaban di tanah Jawa, mengubah agama mayoritas masyarakat dan
mengubah tatanan sosial.


Referensi :
Sunyoto, Agus, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo sebagai
Fakta Sejarah, Pustaka Ilman, Depok, 2012
Imam Qusyairi, Risalah Qusyairiyyah, Dar-fikr, Beirut, tt
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung, Cet. Ke-3,
1999
www. Wikipedia.org/walisongo/
Cecep Syarifuddin, Prof. DR., Kesaktian Walisongo: Empat Jurus Dakwah Islamisasi Jawa,
disampaikan dalam Halaqah Politik Walisongo, Desember 2005, di Asrama Haji
Sukolilo, Surabaya
Baso, Ahmad, Pesantren Studies seri 2a, Pustaka Afid, Jakarta 2012,

Anda mungkin juga menyukai