Sejarah
Kesultanan Mataram yang kacau akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibu
kotanya oleh Susuhunan Amangkurat II dipindahkan di Kartasura. Pada
masa Susuhunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan, Mataram mendapat
serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari
orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742, dan Mataram yang berpusat di Kartasura saat
itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan
Adipati Cakraningrat IV, penguasa Madura Barat yang merupakan sekutu VOC, namun
keadaannya sudah rusak parah. Susuhunan Pakubuwana II yang menyingkir
ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala
sebagai ibu kota Mataram yang baru.
Setelah istana kerajaan selesai dibangun, nama Desa Sala kemudian diubah
menjadi Surakarta Hadiningrat. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan
kedaulatan Kesultanan Mataram oleh Susuhunan Pakubuwana II kepada VOC pada
tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan
istana resmi bagi Kasunanan Surakarta.
Gapura Gladhag.
Alun-alun Lor (Utara).
2. Arsitektur
Keraton (Istana) Surakarta merupakan salah satu bangunan yang eksotis di zamannya.
Salah satu arsitek istana ini adalah Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan
Hamengkubuwana I) yang juga menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena
itu tidaklah mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut
(Yogyakarta dan Surakarta) banyak memiliki persamaan umum. Keraton Surakarta
sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun serentak
pada 1744-1745, namun dibangun secara bertahap dengan mempertahankan pola
dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya. Pembangunan dan restorasi secara
besar-besaran terakhir dilakukan oleh Susuhunan Pakubuwana X yang bertahta 1893-
1939. Sebagian besar keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur
gaya campuran Jawa-Eropa.
Kompleks ini meliputi Gladag, Pangurakan, Alun-alun Lor, dan Masjid Agung
Surakarta. Gladag yang sekarang dikenal dengan Perempatan Gladag di Jalan Slamet
Riyadi Solo. Pada zaman dahulu, space area di sekitar Gladag dan gapura kedua dipakai
sebagai tempat menyimpan binatang hasil buruan sebelum digladag (dipaksa) dan
disembelih di tempat penyembelihan. Wujud arsitektur pada kawasan Gladag ini
mengandung arti simbolis ajaran langkah pertama dalam usaha seseorang untuk
mencapai tujuan ke arah Manunggaling Kawula Gusti (Bersatunya Rakyat dengan Raja).
Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang
melibatkan rakyat. Selain itu alun-alun menjadi tempat bertemunya Sri Sunan dan
rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah
alun-alun terdapat dua batang pohon beringin (Ficus benjamina; Famili Moraceae) yang
diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (harifah: beringin
yang dikurung) yang diberi nama Dewadaru dan Jayadaru.
Di sebelah barat alun-alun utara berdiri Masjid Agung Surakarta. Masjid raya ini
merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh Susuhunan Pakubuwana III pada
tahun 1750 (Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan Islam). Bangunan utamanya
terdiri dari atas serambi dan masjid induk. Di sebelah utara alun-alun terdapat bangsal
kecil yang disebut Bale Pewatangan dan Bale Pekapalan. Tempat ini pada jaman dahulu
dipergunakan oleh prajurit dan kudanya untuk beristiahat setelah berlatih. Beberapa
balai lain terdapat disekitar alun-alun yang dipergunakan untuk karyawan-karyawan
keraton menempatkan kudanya. Tempat menambatkan kuda sudah tidak dapat
dijumpai lagi saat ini. Bangunan-bangunan lain di sekeliling alun-alun sekarang
dipergunakan sebagai kios penjual cinderamata. Di sebelah barat daya Alun-alun Lor (ke
arah Pasar Klewer) dan sebelah timur laut (ke arah Pasar Beteng) terdapat dua gapura
besar yang berfungsi sebagai pintu keluar dari Alun-alun Lor yang bernama Gapura
Batangan dan Gapura Klewer.
Siti Hinggil merupakan suatu kompleks yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi
dari sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang disebut
dengan Kori Wijil dan satu disebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng. Pada
salah satu anak tangga Siti Hinggil sisi utara terdapat sebuah batu yang dahulu
digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala para tersangka yang menerima
hukuman mati, disebut dengan Sela Pamecat.
Di sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari Kori Brajanala sebelah dalam
terdapat Bangsal Wisamarta tempat jaga pengawal istana. Selain itu di timur gerbang
ini terdapat menara lonceng. Di tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman
kosong. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Dari
halaman ini pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan Panggung
Sangga Buwana (Panggung Songgo Buwono) yang terletak di kompleks berikutnya,
Kompleks Sri Manganti.
Bangsal Marcukundha.
Untuk memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui sebuah pintu gerbang yang
disebut dengan Kori Kamandungan. Di depan sisi kanan dan kiri gerbang yang
bernuansa warna biru dan putih ini terdapat dua arca. Di sisi kanan dan kiri pintu besar
ini terdapat cermin besar dan diatasnya terdapat suatu hiasan yang terdiri dari senjata
dan bendera yang ditengahnya terdapat lambang kerajaan. Hiasan ini disebut
dengan Gendera Gula Klapa. Di halaman Sri Manganti terdapat dua bangunan utama
yaitu Bangsal Smarakatha disebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur.
Pada zamannya Bangsal Smarakatha digunakan untuk menghadap para pegawai
menengah ke atas dengan pangkat Bupati Lebet ke atas. Tempat ini pula menjadi tempat
penerimaan kenaikan pangkat para pejabat senior. Sekarang tempat ini digunakan
untuk latihan menari dan mendalang. Kata asmarakatha sendiri memiliki arti
sebagai dawuh kang nengsemake atau perkataan yang menyenangkan.
e. Kompleks Kedaton
Bangsal Magangan.
Kori Brajanala Kidul.
3. Warisan Budaya
Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Surakarta juga memiliki suatu warisan
budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral,
musik, dan pusaka. Upacara adat yang terkenal adalah upacara Garebeg,
upacara Sekaten, dan upacara Malam Satu Sura. Upacara yang berasal dari zaman
kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya
Indonesia yang harus dilindungi.
a. Grebeg
Upacara Garebeg atau Grebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun
kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ketiga),
tanggal satu bulan Sawal (bulan kesepuluh) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan
kedua belas). Pada hari hari tersebut Sri Sunan mengeluarkan sedekahnya sebagai
perwujudan rasa syukur kepada Allah atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang
disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari gunungan
kakung dan gunungan estri (lelaki dan perempuan).
b. Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari
untuk memperingati kelahahiran Nabi Muhammad. Konon asal usul upacara ini
sejak Kesultanan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari
kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata sekaten berasal dari
istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua
perangkat Gamelan Sekati, Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari keraton untuk
ditempatkan di depan Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari, mulai hari keenam
sampai kesebelas bulan Mulud dalam kalender Jawa, kedua perangkat gamelan tersebut
dimainkan/dibunyikan (Bahasa Jawa: ditabuh) menandai perayaan sekaten. Akhirnya
pada hari ketujuh upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan Mulud. Saat ini selain
upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai
sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.
Referensi[sunting | sunting sumber]
Aart van Beek (1990). Images of Asia: "Life in the Javanese Kraton". Singapore:
Oxford University Press. ISBN 979-497-123-5.
Periplus Edition Singapore (1997). Periplus Adventure Guide "Java Indonesia".
Periplus Singapore.
Acara budaya dengan judul Pocung dalam episode Wewangunan Karaton
Surakarta Hadiningrat disiarkan oleh JogjaTV [1]
Bengawan Solo
Kecamatan dan kelurahan
Kecamatan Banjarsari
Kecamatan Jebres