Anda di halaman 1dari 28

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah menciptakan alam
semesta ini dengan segala kebesaraNya,dimana dengan melihat dan mengamati
ciptaaNya,manusia dapat berpikir dan mengembangkan pengetahuan yang
dimilikinya.Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah curahan kepada Nabi Muhammad
SAW,keluarga,sahabat dan pengikutnya pada akhir zaman.
Dengan dilandasi semangat sehingga makala ini dapat tersusun sebagai tugas Akhir
Semester dengan mata kuliah ARSITEKTUR ISLAM DAN MELAYU
Makala ini dibuat bertujuan supaya kita lebih memahami Sejarah dan Arsitektur pada
zaman dahulu dan perkembanganya pada masa sekarang.
Dan tidak lupa pula saya mengucapkan terima kasih kepada :
 Dosen Mata kuliah ARSITEKTUR ISLAM DAN MELAYU Yaitu
Ibu.Aditha M.Ratna ,ST MT.
Saya berharap semoga makala ini bermanfaat khususnya bagi saya selaku penyusun dan
umumnya kepada para pembaca.
Atas perhatianya saya ucapkan terima kasih.

Palembang,14 Juli 2016

DidyAribowo

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 01
Daftar Isi 02

BAB I PENDAHULUAN
1.1.LatarBelakang 03
1.2. RumusanMasalah 05
1.3.Tujuan Penulisan 05
1.4. Manfaat 05
1.5. Metode Penelitian 05

BAB II TINJAUAN TEORI


2.1. Arsitektur Islam 07
2.2. Arsitektur Melayu 08
2.3. Arsitektur Masjid 10

BAB III TINJAUAN UMUM OBJEK


3.1. Sejarah Masjid Besar Al-Mahmudiyah 13
3.2. Bagian Bangunan Masjid Besar Al-Mahmudiyah 16
3.3. Ornamen / Ragam Hias 17

BAB IV ANALISA 19

BAB V KESIMPULAN 23

DAFTAR PUSTAKA 24

2
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pada masa klasik Islam, masjid mempunyai fungsi yang jauh lebih besar dan bervariasi
dibandingkan fungsinya yang sekarang. Disamping sebagai tempat ibadah, masjid juga
menjadi pusat kegiatan sosial dan politik umat Islam. Lebih dari itu, masjid adalah
lembaga pendidikan semenjak masa paling awal Islam. Masjid pula yang menjadi pilar
utama pembangunan peradaban pada suatu negeri. Inilah yang dicontohkan Rasulullah
ketika pertama kali beliau menginjakan kakinya di Madinah.
Praktek Rasulullah ini menjadi panutan bagi khalifah dan penguasa muslim sesudahnya.
Pembangunan masjid terus berkembang di daerah-daerah kekuasaan Islam. Setiap kota
memiliki sejumlah masjid, sebab pembangunannya tidak saja dilakukan penguasa resmi,
tetapi juga oleh para bangsawan, hartawan dan swadaya masyarakat. Jumlah masjid terus
bertambah sejalan dengan meluas dan majunya peradaban Islam. Tidak mengherankan bila
pada abad ke-3 / 9 H, menurut catatan al-Ya'qubi, kota Baghdad saja memiliki tidak kurang
dari 3000 masjid. Di pihak lain pengelana terkenal, Ibnu Zaubair (614 H/1217 M)
memperkirakan bahwa kota Alexandria (Iskandariyah) mempunyai sekitar 12.000 masjid.
Al-Nu'aymi, sarjana Damaskus yang hidup pada abad ke-10 H/16 M, dalam bukunya ia
mencatat di Damaskus jumlah masjid saat itu ada 500. Observasi para sarjana tersebut
menunjukkan betapa banyaknya jumlah masjid di masa-masa awal kejayaan Islam, dan
dalam konteks ini berarti semaraknya pendidikan Islam di lakukan dalam masjid-masjid
tersebut.
Barangkali di tengah bayangan definisi pendidikan modern, orang bisa saja meragukan
apakah pada periode paling awal ini kita telah bisa menganggap masjid sebagai lembaga
pendidikan. Tapi sejarah membuktikan bahwa fungsi akademis masjid berkembang cukup
pesat. Pada masa Umarbin Khattab kita bisa menjumpai tenaga-tenaga pengajar yang resmi
diangkat oleh khalifah untuk mengajar di masjid-masjid, seperti di Kufah, Bashrah dan
Damaskus. Seiring dengan samakin pesatnya perkembangan islam yang mewarnai dunia,
hingga akhirnya sampailah ke indonesia.

3
Masjid, merupakan suatu karya budaya yang hidup, karena ia merupakan
karya arsitektur yang selalu diciptakan, dipakai oleh masyarakat muslim secara luas, dan
digunakan terus-menerus dari generasi ke generasi. Karena itu, sebagai bangunan religius,
masjid adalah representasi dari komunitas umat Islam yang melahirkan dan
memakmurkannya. Sebagai suatu proses dan hasilan budaya yang hidup, masjid seringkali
tumbuh dan berkembang secara dinamis seiring dengan tumbuh dan berkembangnya
masyarakat itu sendiri. Ini kadang menjadi masalah dan sekaligus kelebihan tersendiri dalam
menelusurinya. Telah di bawah ini ingin menunjukkan dinamika perkembangan dan
perubahan arsitektur masjid di Indonesia, yang diperlihatkan dengan tradisionalitas dan
modernitas dalam transformasi bentuk dan ruang arsitektur sebagai karakteristik dominan.
Masjid di Indonesia pada zaman madya biasanya mempunyai ciri khas tersendiri,
diantaranya

1. Atapnya berbentuk “atap tumpang” yaitu atap bersusun. Jumlah atap tumpang itu
selalu ganjil, 3 atau 5 seperti di Jawa dan Bali pada masa Hindu.
2. Tidak adanya menara. Pada masa itu masjid yang mempunyai menara hanya
masjid Bantendan masjid Kudus.
3. Biasanya masjid dibuat dekat istana, berada di sebelah utara atau selatan. Biasanya
didirikan di tepi barat alun-alun. Letak masjid ini melambangkan bersatunya rakyat dan raja
sesama makhluk Allah. Selain di alun-alun, masjid juga dibangun di tempat-tempat keramat,
yaitu makam wali, raja atau ahli agama.

Akulturasi merupakan proses pembudayaan lewat percampuran dua kebudayaan atau


lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi. Percampuran dan perpaduan budaya
itu bisa berkenaan dengan wujud budaya yang monumental. Salah satu bentuknya terdapat
pada bidang seni bangun sebagai contoh penampilan arsitektur masjid Masjid Besar Al-
Mahmudiyah yang memperlihatkan adanya wujud akulturasi lokal, masjid-masjid jawa,Serta
peninggalan bersejarah Masjid Besar Al-Mahmudiyah ,Berdasarkan latarbelakang di atas,
maka penelitian ini akan dibatasi pada permasalahan tentang bentuk akulturasi budaya pada
Arsitektur Masjid Besar Al-Mahmudiyah.

4
1.2 Rumusan Masalah
Adakah pengaruh arsitektur melayu dan islam dalam bentuk arsitektur pada Masjid
Besar Al-Mahmudiyah,.sehingga Masjid bisa seperti sekarang.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui unsur budaya melayu dan islam yang
mempengaruhi arsitektur Masjid Besar Al-Mahmudiyah. Selain itu, tujuan penelitian
berikutnya adalah dapat di ketahuinya bentuk akulturasi pada arsitektur masjid tersebut.

1.4 Manfaat
Kegunaan penelitian ini pada dasarnya tetap terkait dengan tujuan penelitian ini
sendiri. Adapun kegunaannya sebagai berikut:
1.Secara teoritis untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mengenai sejarah
dan kebudayaan melayu dan Islam serta peninggalannya di Palembang yang harus
dilestarikan keberadaannya, khususnya Masjid Besar Al-Mahmudiyah yang merupakan
salah satu perwujudan seni budaya melayu dan Islam.
2.Secara praktis untuk menambah bahan informasi bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya yang ingin mengetahui sejarah Masjid Besar Al-Mahmudiyah dan
bentuk perpaduan budaya dari arsitektur Masjid Besar Al-Mahmudiyah

1.5 Metode Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field research) dan penelitian kepustakaan
(library research) yang bersifat kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode budaya dengan pendekatan historis. Untuk sampai kepada tujuan penelitian,
maka diperlukan se perangkat metode kerja yang komprehensif dan sistematis. Adapun
tahapan-tahapan penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut:

5
1. Pengumpulan Data
Tahap mengumpulkan data pada penelitian ini terdiri dari studi
kepustakaan dan studi lapangan,Serta sejarah Masjid Besar Al-Mahmudiyah
artikel,Jurnal serta arsip-arsip yang berhubungan dengan objek penelitian.

2. Pengujian Data
Untuk mendapatkan hasil yang otentitas dan kreadibilitas data-data tersebut dilakukan
dengan cara melakukan kritik wawancara untuk mencocokan keaslian sumber
tempat,waktu dari sumber tersebut.

6
BAB II TINJAUAN TEORI

2.1. Arsitektur Islam.


Gaya arsitektur Islam tidak terlepas dari bangunan rumah ibadah umat Islam, mesjid. Cikal
bakal dari arsitektur Islam itu sendiri berakar dari bangunan Ka'bah yang terletak di
Mekkah, Arab Saudi. Arsitektur Islam itu sendiri didefenisikan sebagai hasil karya seni
bangunan yang terpancar dari aspek fisik ( sesuatu yang nampak secara jelas oleh panca
indera) dan metafisik (sesuatu yang tidak tampak panca indera tapi dapat dirasakan hasilnya)
bangunan melalui konsep pemikiran islam yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah Nabi,
Keluarga Nabi, Sahabat, para Ulama maupun cendikiawan muslim.
Sementara ciri-ciri atau kaidah arsitektur Islam tentunya tidak terlepas dari Alquran, kitab
suci agama Islam, yaitu:

 unsur dekoratifnya banyak menggunakan seni kaligrafi atau ornamen yang


mengingatkan kepada sang pencipta jagat raya, Allah, SWT.

 melarang penggunaa simbol makluk hidup yang bernyawa seperti gambar atau
patung mnusia maupun binatang.

 Hasil dari design bangunan tidak untuk dipamerkan atau kesombongan.

 Pengaturan ruang-ruang ditujukan untuk mendukung menjaga ahlak dan prilaku.

 Posisi toilet tidak dibolehkan menghadap atau membelakangi kiblat.

 Keberadaan bangunan tidak merugikan tetangga disekitar.

 Pembangunan sampai berdirinya bangunan seminimal mungkin tidak merusak alam.

 Menggunakan warna yang mendekatkan kepada Allah, seperti warna-warna alam.

Selain itu ciri-ciri arsitektur Islam menggunakan motif yang mencolok dalam arsitektur
Islam hampir selalui mengenai pola yang terus berulang dan berirama, serta struktur yang

7
melingkar. Dalam hal pola ini, geometri fraktal memegang peranan penting sebagai materi
pola dalam, terutama, mesjid dan istana, seperti contoh gambar di sebelah kanan; Interior
salah satu Mesjid di Edirme
Gaya arsitektur Islam berkembang setelah kebudayaan muslim memadukannya dengan gaya
arsitektur dari Roma, Mesir, Persia dan Byzantium. Contoh awal yang paling populer
misalnya :

 Dome of The Rock (Masjid Qubbah as Sakhrah) / Kubah Batu , diselesaikan pada
tahun 691 terletak di Temple Mount (atau Gunung Moria) Jerusalem. Diperkirakan
dibangun pada 688 - 691 M oleh Kalifah Umayyah Abdul Malik bin Marwan,
bangunan ini lebih tepat disebut sebagai kuil daripada mesjid, karena bentuknya
yang segi delapan dan mengelilingi sebuah bentukan batu dan gua. Karena octagonal
bangunan ini tidak menghadap ke Mekkah dan mihrabnya (ceruk kiblat) terletak
diarah tenggara, dekat pintu selatan. Gaya arsitek yang mencolok dari bangunan ini
misalnya ruang tengah yang luas dan terbuka, bangunan yang melingkar, dan
penggunaan pola kaligrafi yang berulang. Bangunan ini yang pertama memakai
kubah. Pemakaian kubah pada arsitektur Islam muncul kembali sekitar abad ke-17.

 Mesjid Raya Samarra di Irak, bangunan berciri khas dengan adanya minaret. Masjid
Agung Samarra adalah masjid yang terletak di kota Samarra, Irak, dan dibangun
pada abad ke-9 (selesai pada tahun 847). Masjid ini dibangun oleh khalif Bani
Abbasiyah, Al-Mutawakkil, yang berkuasa (di Samarra) dari tahun 847 sampai tahun
861.
 Mesjid Hagia Sophia di Istanbul, Turki turut memengaruhi corak arsitektur Islam.
Ketika Ustman merebut Istanbul dari kekaisaran Byzantium, mereka mengubah
sebuah basilika menjadi mesjid (sekarang museum), yang akhirnya muslim pun
mengambil sebagian dari kebudayaan Byzantium kedalam kekayaan peradaban
islam, misalnya penggunaan kubah.

 Mesjid-mesjid Islam semasa kekaisaran Ustman, misalnya mesjid Sulaiman, dan


mesjid Rustem Pasha' yang dipengaruhi gaya Hagia Sophia juga menjadi model
untuk pembangunan

8
2.2. Arsitektur Melayu.

1. Arsitektur Melayu Awal

Rumah Melayu Awal berupa rumah panggung dengan bahan utama kayu, rotan, bambu,
daun-daun, akar pohon dan atau juga alang-alang. Rumah Melayu Awal ini menyumbang
atap yang tinggi dan sedikit miring pada bangunan Bangka Belitung. Selain itu, ia juga
dipermanis dengan beranda yang ada di depan rumah juga jendela atau bukaan yang banyak.
Adapun bagian dalam rumah terdiri atas rumah induk atau ibu dan juga rumah dapur.

Gambar 1.1 Rumah Melayu Awal

(sumber: http://zonabangkabelitung.blogspot.com/2014/03/rumah-adat-provinsi-bangka-
belitung.html)

Adapun pada bagian tiangnya, rumah adat Bangka Belitung dipengaruhi oleh falsafah 9
tiang. Bangunan tradisional hampir selalu dijumpai berdiri dengan 9 tiang. Tiang utama
bangunan terletak persis di bagian tengah rumah. Sementara itu bagian dinding lazim terbuat
dari pelepah kayu, kadang juga buluh atau bambu. Uniknya, dinding ini sama sekali tidak
dipermanis dengan cat dan semacamnya.

9
2. Arsitektur Melayu Bubung Panjang

Jika dicermati, rumah adat Bangka Belitung juga mengadopsi rumah Melayu Bubung
Panjang. Hal ini terlihat dari penambahan bangunan di sisi badan rumah utama.

Gambar 1.2 Denah, Tampak, dan Potongan Rumah Melayu Bubung Panjang

(sumber: http://buildingconservation.blogspot.com/2007/08/lukisan-terukur-rumah-melayu.html)

Penambahan sisi rumah ini konon merupakan hasil akulturasi kebudayaan non-Melayu
seperti Tionghoa. Adapun pengaruh Eropa atau kolonial terlihat pada tangga rumah yang
diletakkan pada batu dan bentuknya dibikin melengkung.

10
Gambar 1.3 Rumah Melayu Bubung Panjang
(sumber: http://zonabangkabelitung.blogspot.com/2014/03/rumah-adat-provinsi-bangka-
belitung.html)

3. Arsitektur Melayu Bubung Limas

Sedangkan Arsitektur Melayu Bubung Limas bagian atap rumah berbentuk limas karena ada
pengaruh budaya dari palembang. Pada umumnya rumah bubung limas dibangun oleh
masyarakat Tionghoa.

Kebanyakan rumah limas luasnya mencapai 400 sampai 1000 meter persegi atau lebih, yang
didirikan diatas tiang-tiang dari kayu unglen atau ulin yang kuat dan tahan air. Dinding,
pintu dan lantai umumnya terbuat dari kayu tembesu. Sedang untuk rangka digunakan kayu
seru. Setiap rumah, terutama dinding dan pintu diberi ukiran.

11
Gambar 1.4 Rumah Melayu Bubung Limas
(sumber: http://zonabangkabelitung.blogspot.com/2014/03/rumah-adat-provinsi-bangka-
belitung.html)

1.3 Bangka Belitung ( Sumbagsel )

Propinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan propinsi pemekaran dari Propinsi Sumatera
Selatan pada tahun 2000. Ibukota propinsi adalah kota Pangkalpinang. Wilayah Propinsi
Kepulauan Bangka Belitung terbagi menjadi wilayah daratan dan wilayah laut dengan total
luas wilayah mencapai 81.725,14 km². Luas daratan lebih kurang 16.424,14 km² atau 20,10
persen dari total wilayah dan luas laut kurang lebih 65.301 km² atau 79,9 persen dari total
wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (ugm.ac.id)

Wilayah Bangka terbentuk oleh dominasi Kesultanan Palembang, setelah lepas dari
Kesultanan Banten karena anak perempuan Bupati Nusantara dari Banten yang menguasai
Bangka menikah dengan Sultan Palembang, Abdurrahman tahun 1659-1707. Dan Belitung
pada masa yang hampir sama dikuasai oleh Mataram yaitu Ki Gegedeh Yakob,
Cakraninggrat I tahun 1618-1661, setelah menikahi putrid Ki Ronggo udo, yaitu penguasa
Belitung sebelumnya.

12
Bangka Belitung hingga kejatuhan Imprium Melayu Malaka tahun 1511, masih belum
didominasi budaya Islam artinya kerajaan Islam seperti Demak tidak menancapkan
kekuasaan di dua pulau ini. Dominasi politis setelah Majapahit runtuh tahun 1478, masuklah
pengaruh Islam di Bangka Belitung dan membentuk sistem adat istiadat yang mengacu pada
keIslaman. Masuknya Islam di Bangka kita kenal misalnya Syech Abddurahman Sidik
ulama Banjar dari Kalimantan, masuk di wilayah Mendo Barat, beserta ulama Islam yang
lainnya.

Islam berpengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan Bangka Belitung.


Penghormatan terhadap Agama Islam oleh penganutnya dibuktikan dengan rasa syukur yang
begitu menonjol seperti kita lihat pada tradisi “ pesta lebaran” yang di rayakan secara
sukacita baik hari raya Idul fitri atau pun Idul adha. Sedangkan pada hari-hari menyangkut
peringatan Agama Islam seperti, Maulud Nabi juga di rayakan dengan “pesta lebaran” serta
juga digelar acara nganggung di tiap-tiap mesjid- mesjid hampir di seluruh pulau Bangka.
Tak hanya acara sakralnya bahkan acara karnaval Islami pun digelar di Desa Kemuja,
Mendo Barat. Begitupun pada acara ruahan menjelang puasa, bahkan acara ritual
kepercayaan guna menyambut puasa di daerah tempilang justru digelar di pantai yang lebih
terkenal dengan acara “Perang Ketupat”

Acara tradisi adat dan seremoni “pesta lebaran” memang memaknai hubungan sosial yang
tinggi dalam umat Islam di Bangka Belitung. Belitung sendiri memiliki pengaruh tersendiri
setelah Islam masuk. Masuknya Islam di Belitung langsung menyentuh kepada sistem
pemerintahannya, yaitu raja pada masa itu seperti Ki Ronggo Udo dari Geresik Jawa Timur
kemudian menguasai Kerajaan Hindu Badau yang sebelumnya di bawah Majapahit, Kyai
Massud atau Ki Gegedeh Yakob yang kemudian menjadi Raja Balok. Datuk Ahmad dari
Pontianak yang kemudian menjadi Ngabehi di wilayah Belantu. KA Siasip yang menjadi
penghulu Agama Islam pertama di Belitung. Serta sejumlah ulama seperti Syech Abubakar
Abdullah dari Pasai, dan lainnya. Ketika Islam menyentuh sistem maka secara politis
budaya tumbuh seiring dengan kebijakan tersebut.

13
Pengaruh Islam cukup kuat di Belitung setelah penghulu agama Islam berperan maka
pengaruh kepercayaan perdukunan di tiap-tiap kampung di seluruh Belitung juga
berintegrasi dengan ajaran tersebut, akulturasi tradisi kepercayaan dengan ajaran agama
Islam menjadi cukup signifikan, meskipun sistem ritual kepercayaan masih tetap dihormati
sampai sekarang. Misalnya tradisi selamatan kampung, acara syukuran pada anak yang lahir,
disambut dengan membaca doa islami dan pembacaan syair marhaban.

Tetapi tradisi di keluarga raja menjadi sedikit berbeda dengan yang di masyarakatnya,
misalnya pada acara ritual syukuran selamatan kelahiran anak, pada keluarga raja ada acara
tradisi ritual “Tangga Tebu” dengan mengedepankan simbolisasi kepercayaan sugestif yang
dibawa dari Budaya Raja-Raja Jawa. Namun bukan berarti Belitung adalah Jawanis, itu
hanya akuturasi yang muncul setelah kebijakan raja tertanam sekian abad yang kemudian
membentuk budaya sendiri di wilayah tersebut. Karena itu juga gelar turunan keluarga raja
di wilayah ii memiliki identitas tersendiri dari wilayah kerajaan lainnya di Nusantara.

Islam memang identik dengan melayu setelah tumbuh dan berkembang secara politis lewat
kesultanan. Tapi pada budaya Bangka Belitung dengan masyarakat mayoritas beragama
Islam, ia tumbuh membentuk budaya Islami tersendiri, seperti perkembangan tradisi
ngganggung misalnya. Sedangkan adat istiadatnya tidaklah melayu seutuhnya karena
pengaruh kebijakan raja, pemimpin wilayah, kepala suku, penghulu agamanya, serta tradisi
masyarakatnya telah membentuk adat-istiadat sendiri. Karena itulah Bangka Belitung
menjadi wilayah hukum adat pokok Bangka Belitung.

Bagaimana dengan bahasa dan adat istiadat melayu yang masuk Bangka Belitung? Kedua
aspek ini masuk dan membudaya di masyarakat Bangka Belitung secara gradual lewat
kedatangan penduduk dari beberapa wilayah sekitar Bangka Belitung. Untuk wilayah
Bangka geografisnya mudah dicapai lewat laut dari daratan Sumatera maka penyebaran
ragam penduduk lebih dominan dari wilayah ini; Melayu tua dari Sriwijaya dan Jambi sudah
lebih awal mendiami Bangka, ini dibuktikan adanya Prasasti Kota Kapur. Bahkan
diperkiraan sebelumnya sudah adanya penduduk yang lebih tua lagi seperti sudah mendiami
wilayah Air Abik yang disebut sebagai suku Urang Lom. Ragam masuknya penduduk ini

14
membawa bahasa ibunya, maka tak aneh jika Bangka memiliki kekayaan bahasa dengan
fonetis yang beragam.

Perbedaan fonetika inilah dapat menunjukkan identitas pribadi serta asal usul kelahirannya
maka budaya setiap insan akan tercermin lewat bahasa yang disebut dengan istilah budi-
bahasanya. Budi dan bahasa Bangka Belitung terkenal dengan budi yang ramah dengan
diiringi bahasa yang santun. Maka sampai kini pun, pada kunjunga ke rumah-rumah
masyarakat adatnya, tamu akan mendapat pelayanan yang baik, keterbukaan masyarakatnya
menjadikan kedua wilayah ini memiliki aura budaya hingga membuat para pendatang betah
untuk tinggal dan menetap.

2.3. Arsitektur Masjid

Sumber : Wikipedia / Masjid Nusantara / Foto koleksi KITLV/2014.


Gambar 2.3 : Masjid Indrapuri di Aceh

Bentuk
Bentuk masjid telah diubah di beberapa bagian negara Islam di dunia. Gaya masjid
terkenal yang sering dipakai adalah bentuk masjid Abbasi, bentuk T, dan bentuk kubah pusat
di Anatolia. Negara-negara yang kaya akan minyak biasanya membangun masjid yang
megah dengan biaya yang besar dan pembangunannya dipimpin oleh arsitek non-Muslim
yang dibantu oleh arsitek Muslim.

15
Sumber : Wikipedia / Masjid di Jepang
Gambar 2.3 : Masjid Kobe Jepang

Sumber : Wikipedia / Masjid Eropa


Gambar 2.3 : Masjid Agung Porto-Novo di Benin

Arab-plan atau hypostyle adalah bentuk-bentuk awal masjid yang sering dipakai dan
dipelopori oleh Bani Umayyah. Masjid ini berbentuk persegi ataupun persegi panjang yang
dibangun pada sebuah dataran dengan halaman yang tertutup dan tempat ibadah di dalam.
Halaman di masjid sering digunakan untuk menampung jamaah pada hari Jumat. Beberapa
masjid berbentuk hypostyle ayau masjid yang berukuran besar, biasanya mempunyai atap
datar diatasnya, dan digunakan untuk penopang tiang-tiang. Contoh masjid yang
menggunakan bentuk hypostyle adalah Masjid Kordoba, di Kordoba, yang dibangun dengan
850 tiang. Beberapa masjid bergaya hypostyle memiliki atap melengkung yang memberikan

16
keteduhan bagi jamaah di masjid. Masjid bergaya arab-plan mulai dibangun pada masa
Abbasiyah dan Umayyah, tapi masjid bergaya arab-plan tidak terlalu disenangi.

Sumber : Wikipedia / Penyebaran Masjid


Gambar 2.3 : Masjid El Rahman di Aljazair

Kesultanan Utsmaniyah kemudian memperkenalkan bentuk masjid dengan kubah di tengah


pada abad ke-15 dan memiliki kubah yang besar, dimana kubah ini melingkupi sebagian
besar area salat. Beberapa kubah kecil juga ditambahkan di area luar tempat ibadah. Gaya
ini sangat dipengaruhi oleh bangunan-bangunan dari Bizantium yang menggunakan kubah
besar.
Masjid gaya Iwan juga dikenal dengan bagian masjid yang dikubah. Gaya ini diambil dari
arsitektur Iran pra-Islam.

17
BAB III TINJAUAN UMUM OBJEK

3.1. Sejarah Masjid Besar Al-Mahmudiyah

Sumber : Wikipedia / Masjid Al-Mahmudiyah


Gambar 3.1 : Masjid Besar Al-Mahmudiyah

Masjid Al Mahmudiyah Kota Palembang

Pernah dikenal dengan nama Masjid Suro berlokasi di Simpang jalan Suro,
Kelurahan 30 Ilir, Barat II, Kota Palembang. Masjid ini dibangun diatas tanah wakaf Kiagus
H. Khotib M. Saman oleh K.H. A. Rahman Delamat dan selesai tahun 1320 H atau 1891 M.
Bangunan tambahan berupa sumur untuk wudlu yang disempurnakan pada tahun 1928 M.
dan pembangunan menara masjid pada tahun 1932 M.

Sumber : Google Maps / JL.Gede ing Suro


Gambar 3.1 : Lokasi Masjid Besar Al-Mahmudiyah

18
Dari Kota Palembang, lokasi masjid ini berjarak sekitar satu kilometer. Nama ini
dulunya diberikan oleh KH Abdurrahman Delamat bin Syarifuddin, bersama dengan
sahabatnya Kiai Ki Agus H Mahmud Usman (Kiai Khotib). Namun, seiring dengan
perkembangan zaman dan perubahan kepengurusan masjid, akhirnya pada 2001, masjid ini
diberi nama Masjid Besar Al-Mahmudiyah.
Masjid Suro ini didirikan oleh KH Abdurrahman Delamat pada 1889, dan selesai
pada 1891 Masehi. Sebagaimana fungsi masjid pada umumnya, masjid ini juga didirikan
dengan tujuan untuk memudahkan masyarakat melaksanakan ibadah kepada Allah.
Besarnya minat masyarakat untuk menimba ilmu agama, membuat penjajah Belanda
merasa khawatir kegiatan keagamaan tersebut akan berkembang menjadi sebuah upaya
menentang dan memberontak melawan Belanda. Karena itu, pemerintah Hindia Belanda
tidak menghendaki hal tersebut terjadi. Kepala Residen Belanda waktu itu, meminta agar
kegiatan tersebut dihentikan. Namun, Kiai Delamat tetap melaksanakan tugasnya
menyampaikan dakwah Islam pada masyarakat setempat.
Akhirnya, Kiai Delamat dipanggil oleh Kepala Residen dan diperingatkan untuk
tidak lagi menyebarkan Islam. Bersama itulah keluar larangan menyelenggarakan shalat
Jumat di masjid tersebut. Dan Kiai Delamat diperintahkan untuk meninggalkan Kota
Palembang karena dianggap membahayakan Pemerintah Hindia Belanda. Kuatnya desakan
Pemerintah Hindia Belanda, dengan terpaksa Kiai Delamat harus meninggalkan masjid ini
dan berpindah ke lain tempat.
Kiai Delamat akhirnya menetap di Dusun Sarika hingga wafatnya dan dimakamkan
di Masjid Babat Toman, Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan. Namun, oleh anaknya, KH
Abdul Kodir dan KH Muhammad Yusuf, jenazah Kiai Delamat dipindahkan kembali ke
Palembang dan dimakamkan di belakang mimbar khatib. Tetapi, karena tidak disetujui oleh
pemerintah kolonial, akhirnya jenazahnya dipindahkan kembali ke Pemakaman Jambangan
di belakang Madrasah Nurul Falah, Kelurahan 30 Ilir, Palembang.

19
3.2. Bagian Bangunan Masjid Besar Al-Mahmudiyah

Tidak seperti masjid-masjid masa kini yang dibangun semegah dan semewah
mungkin, Masjid Suro yang kini bernama Al-Mahmudiyah itu, masih tetap tampak klasik
dan tradisional dengan atap layaknya bangunan rumah-rumah penduduk.
Begitu juga dengan bangunan menaranya yang tampak kokoh berbentuk lancip pada
ujungnya. Bentuk menara yang demikian itu, menambah kesan klasik masjid ini.
Bahkan, bila masjid-masjid lainnya menggunakan kubah berbentuk bundar dan
pipih, kubah Masjid Besar Al-Mahmudiyah ini justru berbentuk tajuk limas. Simbol ini
menandakan arsitektur masjid ini terpengaruh oleh arsitektur melayu,yang perkembangan
atap limas dari arsitektur melayu.

Sumber : Google / Masjid Suro Palembang Sumber : Google / Atap Limas Melayu
Gambar 3.2 : Masjid Besar Al Mahmudiyah Gambar 3.2 : Rumah Melayu di Babel

Dari luar, masjid ini tampak biasa-biasa saja. Bahkan, menurut warga setempat,
masjid ini seperti kurang terawat. Namun demikian, pada bagian dalam, masjid ini tampak
begitu indah, kendati dinding-dindingnya masih berupa beton semen. Luas bangunan masjid
yang berukuran 40 X 30 meter persegi ini, mampu menampung jamaah hingga sekitar 1.000
orang.
Dan keunikan lain dari masjid Al-Mahmudiyah yaitu terdapat kolam yang berada
dibelakang masjid yang berfungsi sebagai tempat wudhu,dan uniknya lagi kolam inii tidak
pernah kering walaupun musim kemarau,sekarang kolam ini sudah mengalami
pemugaran ,dimana kolam ini sudah bibuat menggunakan keramik tetapi air dikolam ini

20
sendiri masih berasal dari mata air yang masuk melalui celah-celah keramik.dan dikolam
dikembang biakan ikan yang berfungsi untuk membersikan lumut yang ada pada kolam ini.

Sumber : Dokumentasi Pribadi


Gambar 3.2 : Kolam Masjid Besar Al Mahmudiyah

3.3. Ornamen / Ragam Hias


Setiap pintu atau jendela dimasjid ini juga terdapat ukiran yang berbahan dasar
kayu,dengan bentuk melengkung diatas pintu atau jendela seperti gambar dibawah ini.

Sumber : Dokumentasi Pribadi


Gambar 3.3 : Ukiran Masjid Besar Al Mahmudiyah

Jendela pada masjid ini memiliki 2 daun yang lumayan lebar dengan pola pembuka
seperti kipas.dan dibatasin dengan kayu-kayu yang disusun secara vertikal sebagai
pembatas.jendela sendiri memiliki ketinggian dari lantai setinggi + 60 cm.

21
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 3.3 : Jendela Masjid Besar Al Mahmudiyah

Masjid Al-Mahmudiyah sendiri memiliki 4 tiang utama seperti masjid-masjid


nusantara lainya sebagai penopang utama masjid yang disebut soko guru.dan memiliki 12
tiang lainya.

Sumber : Dokumentasi Pribadi


Gambar 3.3 : Soko Guru Masjid Besar Al Mahmudiyah

22
BAB IV ANALISA

Masjid Al-Mahmudiyah mempunyai berbentuk tajuk limas. Simbol ini menandakan


arsitektur masjid ini terpengaruh oleh arsitektur melayu,yang perkembangan atap limas dari
arsitektur melayu.

Sumber : Google / Masjid Al Mahmudiyah Sumber : Google / Atap Limas Melayu


Gambar IV: Masjid Besar Al Mahmudiyah Gambar 3.2 : Rumah Melayu di Babel

Bentuk menara masjid ini sendiri mendapatkan pengaruh dari islam ini bisa dilihat dari
menara yang memiliki 8 persegi yang sering dikaitan dengan simbol ranggam islam.

Tentang kapan menara mesjid yang paling pertama dibangun, ada dua pendapat di antara
para sejarawan. Yang pertama mengatakan hal tersebut terjadi sejak di jaman dinasti
Umayad, yaitu dinasti pertama Islam yang diakui sebagai suatu kekuasaan politik dan negara
dengan pusat kekuasaannya di Damaskus dan Kairo. Dan jenis menara yang dibangun
adalah bentuk sawma’ayang berdenah persegi empat. Pandangan yang kedua mengatakan
menara mesjid yang difungsikan juga sebagai tempat menyerukan adzan, terjadi di jaman
dinasti Abbasid yang pengaruh kekuasaan politiknya yang dikendalikan dari Baghdad,
meliputi wilayah yang sangat luas meliputi dari Irak, ke Iran terus ke Barat Laut dan ke
Barat sampai ke wilayah di mana para Sultan di Andalus dari dinasti Umayad berkuasa.
Secara politik, Negara Muslim di Barat (Andalus) menolak pengaruh Baghdad, namun
arsitektur bangunan mesjid bermenara gaya ‘Negara Muslim di Timur” dikagumi, dan ditiru.
Gaya menara mesjid yang diawali di jaman dinasti Abbasid adalah yang denahnya
berbentuk lingkaran (manara) .

23
Sumber : Google / Masjid Suro Sumber : Google / Masjid Agung Umayyah
Gambar IV: Menara Gambar IV: Menara

Jendela pada masjid Al-Mahmudiyah memiliki pengaruh dari Melayu ini terlihat dari
bukaan pintu yang lebar yang seperti kipas,dan dibatasi susunan kayu yang disusus secara
vertikal dan memiliki ketinggian dari Lantai itu lebih dari 60cm.
Seperti gambar dibawah ini,

Sumber : Dokumentasi Pribadi Sumber : Google/Rumah Melayu


Gambar IV : Jendela Masjid Al Mahmudiyah Gambar IV : Jendela khas Melayu

Sumber : Google/Rumah Melayu


Gambar IV : Red Square Malaka
24
Pada setiap pintu dan jendela di masjid Al-Mahmudiyah memiliki ornamen
berbentuk lengkung yang mana ukiran tersebut memiliki motif asli palembang,ini bisa
dilihat dari motif ukiran yang memiliki kesamaan dengan motif songket palembang. Dan
lengkungan sendiri kemungkinan pengaruh dari kolonial ini bisa dilihat bangunan kolonial
memiliki ciri khas dengan lengungan.

Sumber : Dokumentasi Pribadi Sumber : Google / Songket Sumber : Google /

Gambar IV : Ornamen Masjid Gambar IV : Songket Palemabng JendelaKoloniaal

Al Mahmudiyah Gambar IV :
Lengkungan Kolonial

Masjid Al-Mahmudiyah juga memiliki 4 tiang saka guru,dan dalam bahasa jawa disebut
soko guru yang berarti :
 Soko = Tiang Penyangga
 Guru = Utama
Dalam kamus besar bahasa indonesia saka guru berarti sesuatu yang menjadi penegak atau
pengukuh
Jadi dalam lingkup masjid Tiang soko guru berati tiang utama sebagai struktur bangunan
utama masjid.

Tiang soko guru dalam pembangunan masjid di jawa sendiri merupakan ciri khas masjid di
jawa salah satunya masjid Demak yang memiliki 4 tiang soko guru juga.

25
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Sumber : Google / Soko guru masjid Demak
Gambar IV : Soko Guru Masjid
Gambar IV : Soko Guru Masjid
Al Mahmudiyah
Agung Demak

Masjid ini menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki.
Atap limas ini berbeda dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang lebih terbiasa
dengan bentuk kubah. Ternyata model atap limas bersusun tiga ini mempunyai makna, yaitu
bahwa seorang beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya:
iman, Islam, dan ihsan.

Sedangkan Limasan merupakan bentuk atap yang memiliki sudut berjumlah 5 yang
menggambarkan 5 rukun Islam yaitu Syahadad, Sholat, Puasa, Zakat dan Haji yang menjadi
hal wajib bagi yang mampu. Selain itu bisa di artikan 5 sudut ini adalah jumlah sholat wajib
yang harus dilaksanakan oleh umat muslim.
Pintu masjid ini memiliki 5 buah yang bisa di artikan sama dengan limasan tadi.
Pada esesnsinya pintu adalah jalan masuk, begitu pula maksud dari 5 pintu di masjid
Demak ini adalah pintu yang akan membawa umat manusia pada kedamaian.

Sumber : Google / Masjid Al Mahmudiyah Sumber : Google / Masjid Agung Demak


Gambar IV : Masjid Besar Al Mahmudiyah Gambar IV : Masjid Agung Demak

26
BAB V KESIMPULAN

Perkembangan masjid dinusantara mengalami perkembangan dan pengaruh dari luar


nusantara seperti Arab,Cina,Melayu,Jawa,Kolonial dan Palembang ,sehingga banyak masjid
dinusantara mengalami akulturasi yang berpengaruh terhadap Arsitektur Masjid-masjid di
nusantara, termasuk juga Masjid Al-Mahmudiyah yang mengalami akulturasi dari segi
Tampak,Ornamen,Ragam hias.
Masjid Al-Mahmudiyah merupakan salah satu masjid tertua di palembang yang secara
keseluruhan masih dipertahankan bentuk aslinya dan ada beberapa perbaikan dan
renovasi ,masjid ini juga mengalami pengaruh Budaya Cina,Melayu,Jawa,Kolonial dan
Palembang dari segi Arsitektur, ini bisa dilihat dari ornamen dan fasade masjid al-
mahmudiyah.
Dari data yang dijelaskan di atas ada kesamaan dari kolonian dan melayu dari bentuk
jendela serta ukuran dengan skala yang besar, jika di tinjau dari sejarah perkembangan
melayu sendiri itu, meliputi daerah jawa pesisir dan sumatera,dari data di atas unsur
Arsitektur melayu juga mengalami kulturisasi dengan kolonian ketika kolonian masuk ke
Indonesia dari segi bangunan sendiri,ini terlihat dari bentuk jendela,yang mempunyai
kesamaan dari motif dan bentuk.
Untuk pengaruh islam sendiri terlihat dari menara yang berbentuk segi 8 yang di kaitankan
dengan ranggam Islam, serta dari Ornamen interio masjid menggunakan Kaligrafi dan motif
yang abstrak tidak mencerminkan makhluk hidup,

27
DAFTAR PUSTAKA

I. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/06/28/m6bysk-masjid-
besar-almahmudiyah-palembang-klasik-dan-tradisional-3

II. http://log.viva.co.id/news/read/379553-wisata-religi-masjid-agung-demak-kota-wali
III. http://www.visitjawatengah.com/in/what-to-experience-in-jawa-tengah/categories/
culture-and-heritage/item/masjid-agung-demak-dan
IV. http://id.wikipedia.org
V. http://www.google.co.id/rumah-melayu-sumbagsel-babel

28

Anda mungkin juga menyukai