Anda di halaman 1dari 19

IMPLEMENTASI KONSEPSI DAN PRINSIP-PRINSIP ARSITEKTUR

PADA PURA TAMAN AYUN

MATA KULIAH ARSITEKTUR DAN BUDAYA BALI

Disusun Oleh :

Ni Luh Nariti (20200230024)

I Made Praditia Adi Kusuma (20200230030)

I Made Agus Wisnu Wisnawa (20200230034)

I Made Wiraputra (20200230042)

I Kadek Yuda Kurniawan (20200230050)

I Putu Bayu Dipasatria (20200230053)

Kadek Bagus Wira Adnyana (20200230056)

Dosen Pengampu :

Ir. Ketut Witarka Yudiata,MT.

NIP : 19670204 199303 1 005

Teknik Arsitektur

Universitas Ngurah Rai


Jl. Kampus Ngurah Rai No.30, Penatih, Kec. Denpasar Tim., Kota Denpasar, Bali 80238,
Indonesia Telp. (0361) +62 361 462617
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang maha Esa karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang membahas mengenai
arsitektur dan budaya bali yaitu “Implementasi Konsepsi dan Prinsip-prinsip Arsitektur
Tradisional Bali pada Desain Karya Arsitektur di Bali”. Dengan usaha serta doa yang
tiada henti, makalah ini dibuat dengan tujuan supaya dapat menambah wawasan serta
mengetahui arsitektur tradisonal bali pada masa itu. Selain itu, makalah ini juga sebagai tugas
pertama kami dalam menempuh mata kuliah arsitektur dan budaya bali.

Budaya tradisional Bali yang dilandasi agama Hindu, dalam kehidupan sehari-hari yang
berhubungan dengan Tatwa, Susila, dan Upacara untuk mecapai tujuan (Dharma), yaitu
“Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”, dimana harus tercapai hubungan yang harmonis
antara alam semesta yang merupakan Bhuana agung (makro kosmos) dengan manusia sebagai
Bhuana alit (Mikro kosmos). Dalam hal ini, perumahan (Bhuana agung) sedangkan manusia
(Bhuana alit) yang mendirikan dan menempati wadah tersebut.

Hubungan antara Bhuana agung dengan Bhuana alit yang harmonis dapat tercapai
melalui unsur-unsur kehidupan yang sama yatu “ Tri Hita Karana”. Perumahan atau bangunan
tradisional Bali sebagai wadah yang memiliki landasan Tatwa; yaitu lima kepercayaan agama
Hindu (Panca Srada), Susila; etika dalam mencapai hubungan yang harmonis, dan Upacara;
pelaksanaan lima macam persembahan (Panca Yadnya).

Bangunan tradisional Bali selain menampung aktivitas kebutuhan hidup sehari-hari, juga
untuk menampung kegiatan upacara agama Hindu dan adat, memiliki landasan filosofi hubungan
yang harmonis antara Bhuana agung dengan Bhuana alit, konsepsi Manik Ring Cucupu, Tri Hita
Karana, hirarkhi tata nilai Tri Angga, Hulu-Teben, sampai melahirkan konsep Sanga Mandala
yang membagi ruang menjadi sembilan segmen berdasarkan tingkat nilai ke -Utamaannya.
Konsepsi-konsepsi ini juga berlaku untuk perumahan tradisional.
ABSTRAK
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Arsitektur tradisional merupakan salah satu bentuk kekayaan kebudayaan bangsa
Indonesia. Keragaman Arsitektur tradisional yang tersebar di bentang kawasan Nusantara
menjadi sumber ilmu pengetahuan yang tiada habis-habisnya. Arsitektur tradisional di
setiap daerah menjadi lambang kekhasan budaya masyarakat setempat. Sebagai suatu
bentuk kebudayaan arsitektur tradisional dihasilkan dari satu aturan atau kesepakatan
yang tetap dipegang dan dipelihara dari generasi ke generasi. Aturan tersebut akan tetap
ditaati selama masih dianggap dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat
setempat.
Bali yang memiliki keberagaman budaya dan tradisi juga memiliki arsitektur
tradisional yang menjadi pedoman dasar masyarakat Bali untuk membangun sebuah
rancang bangun. Arsitektur tradisional Bali merupakan arsitektur yang berlokasi di Bali,
dihuni atau digunakan oleh penduduk Bali yang berkebudayaan Bali, kebudayaan yang
berwajah natural dan berjiwa ritual. Bali dikenal dunia karena keunikannya. Dalam
penilaian unik terkandung suatu maksud bahwa Bali lain daripada yang lain. Bali
mempunyai sejumlah nilai khusus dan di daerah lain tidak dijumpai hal semacam itu.
Keunikan itu terutama terletak pada bidang kebudayaannya yang meliputi kesenian,
struktur sosial, struktur perumahan, struktur pertanian dan sebagainya. Khususnya
keunikan pada struktur dan pola perumahan arsitektur tradisional Bali adalah sejak
dahulu telah memiliki ketentuan tentang tata cara penggarapan bangunan – bangunan
Bali (Lontar Hasta Kosali) yang berlaku bagi undagi (arsitek tradisional Bali). Keunikan
lainnya adalah selalu diikuti dengan upacara agama mulai dari tahap persiapan sampai
selesainya bangunan (Nadia dan Prastika, 2008).
Kabupaten Badung memiliki salah satu cagar budaya yang terletak di Kecamatan
Mengwi. Adapun cagar budaya tersebut adalah Pura Taman Ayun merupakan salah satu
rancang bangun yang masih memegang erat kaedah kebudayaan tradisional Bali.
Meskipun seiring perkembangan dunia arsitektur terdapat perkembangan pada beberapa
elemen – elemen bangunan.

Berdasarkan Lontar Babad Mengwi, pura yang sekarang disebut Pura Taman
Ayun, dahulunya Ketika baru selesai disucikan pada tahun 1643 M dinamakan Pura
Taman Ahyun . Kata Ahyun dari akar kata “ Hyun “ yang berarti keinginan , sehingga
Ahyun berarti berkeinginan. Pura Taman Ahyun berarti sebuah pura yang didirikan pada
sebuah taman ( Kolam dengan kebun bunga yang indah ) yang dapat memenuhi
keinginan . Kata Ahyun itulah yang berubah jadi kata Ayun.
Dalam Lontar Dwijendra Tattwa, diuraikan bahwa Danghyang Nirartha dalam
perjalanannya di Bali pernah melakukan yoga disuatu daerah pada sebuah mata air yang
dikelilingi oleh taman bunga yang sedang mekar dan disebelah timurnya mengalir sebuah
sungai. Daerah tersebut kemudian dinamakan “Taman Sari atau Pura Taman Wulakan”,
sek4dangkan wilayah di sekelilingnya disebut “Mangapuri”. Kata Mangapuri inilah yang
diperkirakan berubah menjadi “Mangui”, dan sekarang menjadi “Mengwi”. Manga atau
mango mungkin berasal dari kata “Mangu” yang berarti “Merenung” atau “meditasi”.
Berdasarkan hal tersebut, maka mangupuri berarti “tempat yang baik untuk
melaksanakan yoga semadi”.
Pada masa sekarang dimana modernisasi serta globalisasi demikian kuat
mempengaruhi peri kehidupan dan merubah kebudayaan masyarakat, Adalah suatu
kondisi alamiah bahwa suatu kebudayaan pasti akan mengalami perubahan dari waktu ke
waktu. Namun perubahan yang diinginkan adalah perubahan yang tetap memelihara
karakter inti dan menyesuaikannya dengan kondisi saat ini. Sehingga tetap terjaga benang
merah masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang penulis ajukan adalah
sebagai berikut.

1. Bagaimana implementasi konsepsi dan prinsip arsitektur tradisional Bali yang terdapat
pada cagar budaya Pura Taman Ayun?
2. Apakah karya arsitektur Pura Taman Ayun merupakan karya arsitektur yang menerima
pola pengembangan arsitektur?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan laporan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Mengetahui implementasi konsepsi dan prinsip arsitektur tradisional Bali yang
terdapat pada cagar budaya Pura Taman Ayun .
2. Mengetahui apakah karya arsitektur Pura Taman Ayun merupakan karya arsitektur
yang menerima pola pengembangan arsitektur.

1.4. Manfaat Penelitian


Manfaat yang ingin dicapai melalui penulisan laporan penelitian ini adalah untuk
memberi pengetahuan kepada pembaca mengenai bentuk implementasi konsepsi dan
prinsip arsitektur Bali yang diterapkan dalam arsitektur khusunya Pura Taman Ayun .
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Implementasi.
2.1.1 Pengertian Implementasi

Pelaksanaan atau implementasi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia


diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan. Sedangkan menurut
Fullan bahwa implementasi adalah suatu proses peletakan dalam praktik
tentang suatu ide, program atau seperangkat aktivitas baru bagi orang
lain dalam mencapai atau mengharapkan suatu perubahan.Implementasi
menurut Muhammad Joko Susila bahwa implementasi merupakan suatu
penerapan ide-konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suaru tindakan
praktis sehingga mendapatkan dampak, baik berupa perubahan
pengetahuan, keterampilan, maupun sikap.
METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemecahan Masalah


Kerangka pemecahan masalah merupakan serangkaian prosedur dan langkah-langkah dalam
penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan tahapan yang terstruktur secara sistematis,sehingga
penelitian dapat segera dilakukan efektif dan efisien.
Tahapan dari penelitian ini terdiri dari empat (4) yaitu tahapan pendahuluan,kajian
pustaka,tahapan pengambilan data,tahapan analisa data ,dan menarik kesimpulan penelitian.
Adapun tahapan-tahapan dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Tahapan Pendahuluan
a) Menentukan latar belakang, latar belakang pada karya ilmiah ini menjelaskan masalah
penelitian secara lengkap topik penelitian.
b) Perumusan masalah berdasarkan identifikasi masalah yang muncul dari latar belakang
yang ada.
c) Penentuan tujuan penelitian.Tujuan penelitian dilakukan untuk menjawab rumusan
masalah yang ada.
d) Penentuan batasan masalah berguna untuk membatasi ruang lingkup penelitian akan
dilaksanakan.
2. Tahapan Kajian Pustaka
a) Melakukan kajian pustaka merupakan daftar referensi dari semua jenis referensi seperti
buku,jurnal-jurnal terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilaksanakan
3. Pengambilan Data
a. Data sekunder diperoleh dari jurnal-jurnal penelitian terdahulu
b. Data primer berupa data yang dihasilkan dari kuesioner yang telah dijawab oleh
responden.Responden tersebut merupakan orang-orang yang membidangi pada
c. Menentukan lokasi penelitian.Lokasi yang dipilih adalah Pura Taman Ayun yang terletak
di Desa Mengwi,Kecamatan Mengwi,Kabupaten Badung.
d. Melakukan penyusunan alat ukur berupa kuesioner yang akan ditanyakan kepada
responden.
4. Analisa Data
Pengumpulan data yang dihasilkan oleh kuesioner tersebut kemudian diolah dengan
menggunakan

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.2.1 Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pura Taman Ayun,tepatnya Desa Mengwi, Kecamatan Mengwi,
Kabupaten Badung ,Provinsi Bali.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan sesuai jadwal penyusunan tugas mata kuliah arsitektur dan budaya Bali
pada kalender akademik tahun ajaran 2020/2021 Prodi Fakultas Teknik Arsitektur,Universitas Ngurah
Rai dengan waktu penelitian selama satu bulan,dari bulan desember sampai dengan bulan januari.
3.3 Sumber Data
Terdapat dua jenis data yang biasanya digunakan sebagai data dalam sebuah penelitian yaitu data
primer dan data sekunder.Pada penelitian ini data yang digunakan yaitu :
3.3.1 Data Primer
Data primer pada penelitian ini,didapatkan dari jurnal-jurnal dan penelitian terdahulu yang ada
kaitannya dengan penelitian ini.
3.3.2 Data Sekunder
Data sekunder pada penelitian ini, didapatkan dari pengisian kuesioner dengan pihak-pihak terkait
diantaranya guide lokal,dan penjaga Pura Taman Ayun.

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Pada penelitian kali ini kami menggunakan teknik pengumpulan data, berupa
studi literature,wawancara,observasi.Acuan primer kami berupa jurnal ilmiah dan acuan
sekunder kami berupa buku sumber yang berkaitan dengan Pura Taman Ayun.
Wawancara kami lakukan kepada beberapa narasumber yang mengetahui tentang sejarah
berdirinya Pura Taman Ayun. Kami juga melakukan observasi lapangan untuk
memastikan makalah yang kami buat sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan.
BAB IV

PEMBAHASAN

3.1. Sejarah Berdirinya Pura Taman Ayun


Pura Taman Ayun merupakan Pura lbu (Paibon) bagi kerajaan Mengwi. Pura ini
terletak di desa Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, sekitar 18 km sebelah
utara kota Denpasar. Pura ini dibangun oleh Raja Mengwi, I Gusti Agung Putu, pada
tahun 1556 Saka (1634 M). Pada mulanya, I Gusti Agung Putu membangun sebuah pura
di utara Desa Mengwi untuk tempat pemujaan leluhurnya. Pura tersebut dinamakan
Taman Genter. Ketika Mengwi telah berkembang menjadi sebuah kerajaan besar, I Gusti
Agung Putu memindahkan Taman Genter ke arah timur dan memperluas bangunan
tersebut. Pura yang telah diperluas tersebut diresmikan sebagai Pura Taman Ayun pada
hari Selasa Kliwon-Medangsia bulan keempat tahun 1556 Saka.
Berdasarkan Lontar Babad Mengwi, pura yang sekarang disebut Pura Taman
Ayun, dahulunya Ketika baru selesai disucikan pada tahun 1643 M dinamakan Pura
Taman Ahyun . Kata Ahyun dari akar kata “ Hyun “ yang berarti keinginan , sehingga
Ahyun berarti berkeinginan. Pura Taman Ahyun berarti sebuah pura yang didirikan pada
sebuah taman ( Kolam dengan kebun bunga yang indah ) yang dapat memenuhi
keinginan . Kata Ahyun itulah yang berubah jadi kata Ayun.
Dalam Lontar Dwijendra Tattwa, diuraikan bahwa Danghyang Nirartha dalam
perjalanannya di Bali pernah melakukan yoga disuatu daerah pada sebuah mata air yang
dikelilingi oleh taman bunga yang sedang mekar dan disebelah timurnya mengalir sebuah
sungai. Daerah tersebut kemudian dinamakan “Taman Sari atau Pura Taman Wulakan”,
sek4dangkan wilayah di sekelilingnya disebut “Mangapuri”. Kata Mangapuri inilah yang
diperkirakan berubah menjadi “Mangui”, dan sekarang menjadi “Mengwi”. Manga atau
mango mungkin berasal dari kata “Mangu” yang berarti “Merenung” atau “meditasi”.
Berdasarkan hal tersebut, maka mangupuri berarti “tempat yang baik untuk
melaksanakan yoga semadi”.
Latar belakang sejarah pura Taman Ayun dapat diketahui berdasarkan data
arkeologi yang terdapat di Pura Taman Ayun dan data yang ada dalam Lontar Babad
Mengwi.
Data Arkeologi .Dibagian kiri depan pintu masuk menuju halaman pertama ( jaba
sisi ) dari Pura Taman Ayun terdapat 2 bangunan yang disebut “Batu Aya” dan Bedugul
Krama Carik, terdapat peninggalan dari masa tradisi megalitik berupa kelompok batu
“Menhir” yang disusun makin atas makin mengecil berbentuk teras pyramid.
Berdasarkan adanya peninggalan tersebut, dapt diketahui bahwa pada lokasi Pura Taman
Ayun telah digunakan sebagai tempat kegiatan ritual yang berhubungan dengan upacara
“kesuburan” dalam pertanian semenjak masa berkembangnya tradisi megalitik sekitar
tahun 500 SM.
Data dalam Babad Mengwi. Tersebutlah I Gusti Agung Putu merintis
kekuasaannya berawal dari hadiah sebidang tanah hutan dan rakyak pilihan sebanyak 200
orang dari seorang penghulu wilayah desa Marga Yaitu I Gusti Bebalang. Tanah hutan
dirabas dan kemudian I Gusti Agung Putu mendirikan istana dengan nama “Puri Pala
Ayu” sekarang menjdai Belayu.
Setelah berhassil mempersatukan wilayah para “Anglurah” didaerah sekitar Bala
Ayu, maka I Gusti Agung Putu memindahkan Kratonnya ke Bekak dengan nama Puri
Kaleran. Selain itu beliau juga mendirikan tempat pemujaan yang terletak di sebelah
barat laut Puri Kaleran yang disebut “Pura Taman Ganter” bersamaan dengan pendirian
Pura Taman Ganter, beliau juga melaksanakan peresmian pendirian kerajaan “Raja Suya”
dengan upacara kebesaran pendirian sebuah kerajaan tersebut maka berdirilah dengan
resmi kerajaan “Mangu Puri” dengan I Gusti Agung Putu sebagain pendiri dan raja
pertama.
Selanjutnya tersebutlah I Gusti Agung mendirikan tempat pemujaan di pinggir
danau Beratan yang sekarang bernama “ Pura Ulun Danu Beratan “ untuk memuja
“Hyangiang Parwata“ yang beristana di Gunung Mangu . Pendirian pura tersebut
dimaksudkan sebagai ungkapan rasa “ angayu bagia “ (tanda syukur).
Pura Taman Ahyun" dan sekarang ini disëbut Pura Taman Ayun. Pura selesai
dibangun dan disueikan Pada hari Anggara KliWon Medangsia, sasih Kapat tahun Saka
Yaksa Dewa". Tahun Saka rangkaian kalimat itu namanya Chandrasangkala yang
mempunyai arti dan nilai tertentu, yaitu: sad 6, bhuta 5, yaksa 5 dan dewa kemudian
dinilai dari belakang, lalu menjadi tahun Saka 1556 atau 1634 M.

3.2. Fungsi Pura Taman Ayun


Fungsi Pura Taman Ayun dapat diketahui berdasarkan isi Babad dan keberadaan
struktur bangunan atau pelinggih beserta masingmasing fungsinya, terutama yang terletak
di halaman ketiga (jeroan).

a. Pemujaan Terhadap Dewa


Dewa utama sebagai Istadewata yang dipuia di Pura Taman Ayun adalah
manifestasi Tuhan sebagai Dewa Wisnu yang beristana di puncak Gunung Mangu,
yang dalam Babad Mengwi disebut “Hyanging Parwata Gunung Mangu" atau
Bhatara Hyang Danawa, dalam lontar Usana Bali, yaitu salah satu Dewa Catur
Lokapala yang menjaga tetap ajegnya Bali, khususnya kerajaan Mengwi pada
masanya. Sebagai media pemujaannya adalah "Meru Pucak Pangelengan" sebuah
palinggih meru tumpang yang terletak pada deretan timur, di sebelah kiri dari meru
tumpang II pesimpangan dari Bhatara Gunung Agung.
Pada deretan pelinggih yang terletak di utara terdapat sebuah bangunan
prasada setinggi kurang lebih 4 meter dan disebut sebagai "candi cili gading" sebagai
sthana dari "Dewi Cili Gading". Tampaknya yang dimaksud sebagai "Dewi Cili
Gading" adalah sebu tan Iain untuk "Dewi Cili" atau Dewi Sri atau Dewi Laksrru,
sakti (isteri) dari Dewa Wisnu. Dewi Sri dipandang sebagai penguasa pertaniana
khususnya sebagai "Dewi Padi" atau "Dewi Nini
Sementara itu, Dewi Laksmi dipandang sebagai Dewi Bumi (Bhudewi),
penguasa kesuburan tanah dan tanaman pertanian. Dewa Wisnu bersama saktinya
Dewi Sri-Laksmi itulah, yang merupakan "Istadewata" dari Pura Taman Ayun dalam
kapasitas atau statusnya sebagai warisan dari Pura Kerajaan Mengwi
Berdasarkan data tersebut, maka pada saat ini dapat dikatakan bahwa, Pura
Taman Ayun adalah sebagai " Dang Khayangan”.
b. Pemujaan Terhadap Dewa Pitara
Dewa Pitara adalah dewa roh suci leluhur yang juga disebut dengan nama Iain
Dewa Hyang Pitara atau Dewa HyangDewa Pitara wajib dipuja oleh pewaris
keturunan (prati sentana) berupa Piodalan yang sama maknanya dengan piodalan
yang dilakukan terhadap Dewa.Keberadaan pemujaan terhadap Dewa Pitara di Pura
Taman Ayun dapat dicari dan dibuktikan berdasarkan adanya bangunan yang
terletak .pada deretan di timur yang disebut “paibon".
Paibon merupakan "pelinggih utama” dari Pura Taman Ayun dalam kapasitas
atau statusnya sebagai tempat pemujaan khusus bagi dan untuk keluarga keraton dari
Puri Mengwi atau sebagai sebuah "Merajan Agung” dari keluarga raja-raja Mengwi,
khususnya untuk leluhur dari pendiri kerajaan Mengwi yaitu leluhur dari I Gusti
Agung Putu.
Pemujaan khusus untuk roh suci ”Ki Pasek Badak", seorang yang disebut
memiliki kekuatan sakti, namun dengan kerelaan menyerahkan jiwa dan raganya
demi pengabdiannya terhadap kekuasaan raja Mengwi, dilakukan melalui sebuah
bangunan ”Gedong Tumpang ”. Gedong itu juga disebut "Gedong Sari" terletak pada
deretan sebelah timur, yaitu deretan teben. Ki Pasek Badak tidak dipuja oleh raja-raja
Mengwi serta keturunannya, akan tetapi disembah oleh keturunan Ki Pasek Badak
dan keturunan raja Mengwi yang diangkat sebagai keturunan "Pineras" berdasarkan
widiwidana atau atas dasar upacara .

3.3. Perkembangan Budaya Taman Ayun


Kerajaan Mengwi kini masuk wilayah kabupaten Badung, pernah menguasai
hampir seluruh daratan Pulau Bali, bahkan sampai Blambangan, Banyuwangi, Jawa
Timur. Namun, kejayaan dinasti Mengwi itu sirna, tatkala Raja Mengwi kesepuluh, I
Gusti Made Agung, kalah dan gugur ketika berhadapan dengan raja Badung tahun 1890
masehi.
Meskipun kerajaan Mengwi jatuh di bawah kekuasaan Raja Badung (Pamecutan
kini di wilayah kota Denpasar), hingga akhirnya Indonesia merdeka, namun sisa-sisa
kejayaan itu masih kokoh dan tegar hingga sekarang. Salah satu saksi bisu kejayaan
kerajaan Mengwi yang kini berubah nama menjadi Puri Agung Mengwi, 18 km barat laut
Denpasar adalah Pura Taman Ayun, yang dulunya adalah tempat suci khusus anggota
keluarga besar kerajaan Mengwi.
Sejarah asal-usul Pura Taman Ayun erat kaitan dengan berdirinya kerajaan
Mengwi pada tahun 1627. Pura besar itu dibangun waktu pemerintahan Raja Mengwi
yang pertama, I Gusti Agung Ngurah Made Agung yang kemudian bergelar Ida Tjokorda
Sakti Blambangan. Pura “Paibon” atau Pedarman dari keluarga raja Mengwi untuk
memuja roh leluhur yang tetap kokoh hingga sekarang, meskipun beberapa kali pernah
mengalami perbaikan, kini disungsung oleh 37 desa adat (Pekraman) sekecamatan
Mengwi. Kawasan Pura Taman Ayun, Mengwi, kabupaten Badung bersama dua kawasan
lainnya di Bali masing-masing Catur Angga Batukaru Kabupaten Tabanan dan kawasan
daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar yang merupakan satu kesatuan
telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani pendidikan,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) sebagai warisan budaya dunia. Bupati
Badung Anak Agung Gede Agung yang juga keturunan dari Puri Mengwi (yang dulunya
kerajaan Mengwi) bersama  Bupati Gianyar Cokorda Oka Artha Ardana Sukawati dan
delegasi Indonesia menghadiri langsung sidang pleno UNESCO tersebut. Ia mengatakan
delegasi  Indonesia merasa bangga karena saat situs budaya Bali dipresentasikan para
peserta sidang menyimaknya dengan serius dan delegasi peserta negara lain memberikan
apresiasi yang luar biasa pada sistem pengairan subak yang sudah teruji keberhasilannya
sejak abad ke-12.
Tim UNESCO setelah mendengarkan penjelasan tentang sistem pengairan
tradisional Pulau Dewata itu, langsung memutuskan dan mengukuhkan hamparan lahan
sawah yang menghijau, dengan lokasi berundag-undang kawasan Catur Angga Batukaru
Kabupaten Tabanan bersama Taman Ayun (Badung) dan Pakerisan (Gianyar) sebagai
warisan budaya dunia.
Penetapan UNESCO merupakan bentuk apresiasi sebagai representasi masyarakat
dunia atas nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Bali yang telah mengimplementasikan Tri
Hita Karana, hubungan yang harmonis dan serasi sesama umat manusia, manusia dengan
lingkungan dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa dengan baik, salah satunya
tercermin pada situs Pura Taman Ayun.
Pura Taman Ayun yang juga menjadi salah satu objek wisata menarik karena
setiap harinya ramai dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri itu, selain kawasannya
tertata rapi tetap menjaga keaslianya seperti zaman kerajaan dulu. Warisan kejayaan
zaman kerajaan Mengwi itu hingga sekarang masih lestari dan kokoh antara lain berupa
puluhan tempat suci dan meru (bangunan suci) bertingkat tiga, lima, tujuh, sembilan dan
sebelas, disamping bangunan kuna dengan ukiran dan arsitektur tradisional
Bali.Sedikitnya ada 50 buah pelinggih dan bangunan suci di kawasan suci Pura Taman
Ayun, yang hingga sekarang kondisinya terglong baik, yang berlokasi sekitar 17 km utara
Kota Denpasar.
Situs Indonesia yang ditetapkan oleh UNESCO terdapat pada kelompok situs budaya
satu-satunya diwakili oleh Provinsi Bali, dengan tema “Cultural Landscape of Bali
Province: The Subak System as a  Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy”. Tim
UNESCO sebelumnya telah beberapa kali melakukan  kunjungan ke Bali yang meliputi
Kawasan Pura Taman Ayun, Kabupaten Badung,  Catur Angga Batukaru Kabupaten
Tabanan dan kawasan daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar. Ketiga
kawasan itu mengusung tema sistem subak sebagai implementasi filosofi Tri Hita
Karana, Menurut Humas Pemkab Badung Anak Agung Raka Raka Yuda, penetapan
Taman Ayun sebagai WBD bukan sekadar untuk kepentingan kepariwisataan. Nilai 
strategisnya adalah pengakuan UNESCO sebagai representasi negara-negara di dunia
terhadap nilai-nilai kearifan lokal Bali, yakni  Tri Hita Karana, yang salah satunya
diwujudkan melalui sistem subak.
Dengan adanya pengakuan dunia terhadap WBD di Bali akan semakin
menggugah kepedulian semua pihak untuk benar-benar melestarikan
danmengimplementasikan nilai-nilai warisan leluhur. Kawasan suci Pura Taman Ayun
merefleksikan nilai-nilai Tri Hita Karana, dengan fungsi sosial ekonomi dan religius. 
Dari aspek sosial ekonomi berfungsi sebagai estuari dam, sehingga pada saat musim
kemarau kebutuhan air irigasi persawahan dapat disuplai dari lokasi itu. Kawasan Pura
Taman Ayun dengan didukung 12 subak dengan ratusan ribu hektare hamparan sawah di
kawasan  daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar dan  subak di
kawasan Catur Angga Batukaru Kabupaten Tabanan menjadi satu kesatuan sebagai
warisan budaya dunia.
1 Candi Padmasana Pelinggih Hyang Siwa Raditya
2 Meru tumpang 11 Pelinggih Hyang Gunung Batukau
3 Tugu Pelinggih Batara Dugul - dewata bagi padi di sawah
4 Gedong Pelinggih Batara Puncak Padangdawa
5 Gedong Pelinggih Dewan Gusti
6 Meru tumpang 11 Pelinggih Batari Ulunsuwi (Dewi Sri)
7 Candi Kuning Pelinggih Dewi Ciligading
8 Meru tumpang 11  
9 Bale Saka 9  
10 Candi Pelinggih Hyang Pura Sada
11 Gedong Pelinggih Ibu Pelinggih Paibon leluhur penguasa puri Mengwi
12 Bale Panggungan  
13 Bale Pepelik  
14 Meru Tumpang 9 Pelinggih Hyang Gunung Batur
15 Meru Tumpang 11 Pelinggih Hyang Gunung Agung
16 Meru Tumpang 9 Pelinggih Hyang Pengelengan Pucak Mangu
17 Gedong Pelinggih Batara Wawu Rauh
18 Bale Pawedan Tempat Sulinggih memimpin upacara
19 Bale Saka 8  
20 Bale Saka 9 Bale Gong
21 Meru Tumpang 7 Pelinggih Ida Betara Kawitan
22 Meru Tumpang 5 Pelinggih Batu Ngaus
23 Meru Tumpang 3 Pelinggih Sang Hyang Pasurungan
24 Meru Tumpang 2 Pelinggih Ratu Pasek Badak
25 Bale Piyasan Tempat menghias pratima
26 Bale Murda Tempat untuk para sesepuh
27 Gedong Gedong Pesimpenan
28 Kori Agung  
29 Segaran

Pura Taman Ayun dibagi menjadi 3 daerah. Daerah pertama yang disebut Nista Mandala
atau Jaba Pisan. Di sisi kanan, ada sebuah bangunan besar yang disebut Wantilan. Tempat ini
sering digunakan untuk pertemuan dan pertunjukan seni. Ada juga air mancur yang mengarah ke
9 penjuru mata angin. Daerah kedua disebut Madya Mandala atau Jaba Tengah. Disini terdapat
balai pertemuan yang disebut Aling-aling Pengubengan. Dan bagian terakhir (ketiga) disebut
Utama Mandala atau Jeroan. Bagian ini adalah tempat pura-pura utama (meru) yaitu pagoda
dengan atap bertingkat-tingkat khas bangunan pura di Bali, dan hanya dibuka saat adanya
upacara piodalan.
Tiga bagian di kompleks Pura adalah simbol dari tiga tingkat dunia kosmik. Yang
pertama adalah tempat bagi manusia, yang kedua adalah tempat roh atau atma, dan halaman
utama adalah tempat dimana Tuhan, yaitu suatu simbol surga. Dalam sebuah kisah kuno berjudul
Adhiparwa, dikatakan bahwa seluruh kompleks Pura menggambarkan Gunung Mahameru yang
mengapung di lautan susu.
Puas menikmati keindahan taman, pada pelataran utamanya anda bisa menyaksikan
kemegahan pura dengan pahatan-pahatan seni dari jaman kerajaan. Sedikitnya ada 10 bangunan
meru, yang tertinggi sampai tumpang sebelas. Para pengunjung bisa menikmati areal sekeliling
pura dari ketinggian dengan menaiki bale kulkul yang berada di sebelah kiri pintu gerbang. Bagi
Anda yang gemar berfoto-foto, kori agung (gapura utama) yang berdiri megah adalah objek yang
sangat cocok untuk dijadikan latar. Sedangkan bagi Anda yang gemar berbelanja, di seberang
pura terdapat beberapa pedagang yang menjual makanan ataupun cendramata.
Daya tarik lain yang dapat Anda nikmati di tempat ini adalah peninggalan Kerajaan
Mengwi yang berada sekitar 300 m dari pura itu, serta Museum Manusa Yadnya. Dalam museum
tersebut, wisatawan bisa menyaksikan upacara-upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan
manusia, mulai dari dalam kandungan sampai meninggal. Bagi Anda yang ingin menginap, di
sekitar kawasan wisata ini terdapat banyak penginapan dengan berbagai tipe. Mulai dari wisma,
hotel kelas melati, hingga hotel berbintang. Warung makanan kecil dan restoran juga sangat
mudah dijumpai. Menu yang ditawarkan bervariasi dengan harga yang terjangkau.

Anda mungkin juga menyukai