Anda di halaman 1dari 5

Nama : Prabhadyota Fauzan Zhafran

NIM : 2105521006

Resume Arsitektur Bali

1. NILAI-NILAI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI (ATB) dan Penerapan pada


ARSITEKTUR MASA KINI (AMK)

Arsitektur tradisional adalah lambang ruang makro untuk dilestarikan, yang


karakternya diulang dari generasi ke generasi dengan sedikit atau tanpa perubahan,
berdasarkan norma agama dan adat istiadat setempat, dan seperti sebuah pulau, memiliki
jiwa dari lingkungannya sendiri. Bali. Arsitektur tradisional merupakan perwujudan
kehidupan secara makroskopis, yang karakternya diulang dari generasi ke generasi
dengan sedikit atau tanpa perubahan, berdasarkan norma agama dan adat istiadat
setempat, dan seperti sebuah pulau, memiliki jiwa lingkungan itu sendiri. Bali.. Sebagai
bagian dari budaya, arsitektur dan lingkungan permukiman tradisional Bali cenderung
berkembang, ada reformasi, perubahan yang menimbulkan dilema antara tradisi dan
perkembangannya, berusaha memperbaharui norma-norma dengan nilai-nilai baru.
Seiring berjalannya waktu, arsitektur Bali telah digunakan oleh berbagai kalangan
masyarakat bersama dengan masyarakat Bali. Pemahaman arsitektur Bali didasarkan
pada kesinambungan alam makrokosmos Bhuwana Agung dan manusia/mikrokosmos
(Bhuwana Alit) yang diatur oleh lima unsur dasar yang disebut Panca Maha Bhuta.

Perancangan pemukiman di Bali


memiliki pola Pemempatan Agung, disebut
juga Nyatur Desa atau Nyatur Muka. Dua
jalan utama yang melintasi pemukiman, timur-
barat dan utara-selatan, membentuk
persimpangan jalan di tengah kota
(persimpangan). Nilai sakral atau dalam
agama hindu sering dengan Taksu sangatlah
kuat pada pempatan agung karena terdapat
puri atau kerajaan pada sebuah pempatan
agung. Hingga kini, penerapan pola
catuspatha masih diterapkan. Salah satunya
pada Kabupaten Klungkung dengan kanda pat
sari sedangkan pada Denpasar yaitu adanya
catur muka. Nilai-nilai keramat atau Hindu
sering dengan Taksu sangat kuat dalam posisi
yang sangat baik karena di tempat yang sangat baik adalah puri atau kerajaan. Hingga
saat ini penerapan pola Catuspatha terus diterapkan. Salah satunya di Kabupaten
Klungkung dengan Kanda pat Sari sedangkan Denpasar ada catur tatap muka.

Namun, perkembangan zaman benar-benar menghilangkan arsitektur Bali dari


konsep dan nilai aslinya. Di era global yang ditandai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang saling terkait, sangat sulit untuk menerima dan
memahami hal-hal yang bersifat dogmatis dan misterius. Persoalannya sekarang adalah
pemikiran rasional telah mengabaikan rasa, rasa hanya dapat dirasakan secara individual
dan bersifat subyektif, sedangkan hubungan dapat dibuktikan kebenarannya secara
ilmiah. Kurangnya pemahaman ini berkontribusi pada penurunan kepercayaan terhadap
nilai dan makna di balik perwujudan fisik arsitektur. Belakangan, banyak warga yang
meninggalkan model tata ruang hunian tradisional dan berpindah ke model tata ruang
hunian nontradisional.

Dalam perkembangan saat ini, proyeksi dan prakiraan pergerakan penduduk


(Bali) cenderung merupakan pergerakan yang meningkat dari tahun ke tahun karena
peningkatan alami (kelahiran-kematian) dan peningkatan pergerakan (mobilitas/migrasi).
-Migrasi). Pertumbuhan populasi meningkat pesat dari tahun ke tahun dan, berkat
pertumbuhan alami, pertumbuhan populasi tampaknya lebih tinggi di daerah pedesaan
(rata-rata 1,5% per tahun selama dekade terakhir). Akibatnya, morfologi desa
berkembang sesuai dengan kebutuhan penyediaan perumahan, tempat ibadah dan
bangunan untuk perumahan/fungsi kegiatan adat/keagamaan (bale adat, bale delod, bale
dangin). , Pali Gede, dll.) Di sisi lain, kecenderungan untuk dipandang “baru”
membutuhkan ruang-ruang aktivitas atas nama aktivitas modernis.

Luas lahan yang terbatas dan bertambahnya jumlah penduduk (jumlah rumah
tangga) menciptakan "rumah" di "umah", bukan "bale" di "umah". Untuk mengetahui
konflik-konflik dalam perkembangan model arsitektur permukiman (desa) di Bali,
dipandang perlu untuk melakukan kegiatan observasi dan menyelidiki permasalahan
pembangunan yang muncul dalam kerangka studi sastra bandingan. Memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai adaptif dengan masa kini. Untuk mengetahui konflik-konflik
dalam perkembangan model arsitektur permukiman (desa) di Bali, dipandang perlu untuk
melakukan kegiatan observasi dan menyelidiki masalah-masalah pembangunan yang
muncul dalam kerangka studi sastra bandingan.

2. Identifikasi Nilai-Nilai Arsitektur Tradisional Bali (ATB) Dan Penerapan Pada


Arsitektur Masa Kini (AMK)

Penerapan nilai-nilai arsitektur tradisional Bali pada arsitektur modern seringkali


menimbulkan nilai yang tidak ada bandingannya dalam perencanaan wilayah, orientasi,
penempatan massa dan juga dalam desain bangunan. Arsitektur masa kini cenderung
rasional, fungsional, materialistis dan mekanis, yang sangat berbeda dengan arsitektur
tradisional Bali dalam menciptakan rasa harmoni, keahlian dan keindahan melalui
ornamen dan dekorasi. Penerapan nilai-nilai arsitektur tradisional Bali pada arsitektur
modern seringkali menimbulkan nilai yang tidak ada bandingannya dalam perencanaan
wilayah, orientasi, penempatan massa dan juga dalam desain bangunan. Arsitektur
tradisional Bali harus berusaha mempertahankan nilai-nilai luhur dan sesuai dengan
perkembangan arsitektur saat ini dalam bentuk pembaharuan dan didukung oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perkembangan arsitektur Bali harus terus mengikuti landasan
politik berupa Desa, Kala Patra dan juga Catur Dresta. Desa, Kala, Patra artinya
arsitektur tradisional harus selaras dengan tempat, waktu dan situasi yang ada. Arsitektur
tradisional Bali harus berusaha mempertahankan nilai-nilai luhur dan sesuai dengan
perkembangan arsitektur saat ini dalam bentuk pembaharuan dan didukung oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perkembangan arsitektur Bali harus terus mengikuti landasan
politik berupa Desa, Kala Patra dan juga Catur Dresta. Desa, Kala, Patra artinya
arsitektur tradisional harus selaras dengan tempat, waktu dan situasi yang ada. Kemudian
Catur Dresta adalah pernyataan politik yang berisi aturan atau adat istiadat yang bersifat
kuno/berpengalaman (Kuna Dresta), Sastra Dresta (Adat atau aturan dalam sastra), Loka
Dresta (Adat atau aturan setempat di daerah), Desa Dresta (adat) atau peraturan daerah).

Patokan pendekatan arsitektur tradisional Bali pada arsitektur kontemporer terbagi


menjadi dua bagian, yaitu nilai visual dan nilai nirupa, yang terletak pada konsep dan
penataan, serta arah, akumulasi, dan ekspresi penataan bangunan, yang terdiri dari bentuk
bangunan, ornamen, ragam hias. . , dan penggunaan struktur dan material. Patokan
pendekatan arsitektur tradisional Bali pada arsitektur kontemporer terbagi menjadi dua
bagian, yaitu nilai visual dan nilai nirupa, yang terletak pada konsep dan penataan, serta
arah, akumulasi, dan ekspresi penataan bangunan, yang terdiri dari bentuk bangunan,
ornamen, ragam hias. Prinsip memadukan arsitektur Bali dengan arsitektur modern harus
tetap utuh menunjukkan potensi alam dan sosial budaya masyarakat Bali. Oleh karena itu,
gaya arsitektur tradisional Bali diterapkan sesuai dengan prinsip yang telah ditetapkan
untuk menggabungkan arsitektur tradisional Bali dengan arsitektur kontemporer.

3. Eksplorasi Arsitektur ''Pawongan''

Perkembangan arsitektur modern di Bali masih dalam tahap interpretasi


deskriptif. Karena sering terjadi masalah memadukan arsitektur tradisional Bali dengan
arsitektur modern. Arsitektur tradisional Bali terdiri dari tiga kelompok tipologi:
parhyangan (bangunan tempat suci), pawongan (bangunan tempat tinggal), palemahan
(bangunan ruang publik). Pawongan (bangunan rumah tinggal) merupakan tipologi yang
sering mengalami perubahan dan perkembangan. Perubahan dan perkembangan yang
sangat pesat pada kelompok tersebut karena referensi atau tipologi arsitektur tradisional
Bali masih terbatas pada perkembangan fungsi baru atau modern yang fungsinya tidak
terkait dengan kegiatan keagamaan dan adat. Faktor dan elemen desain terpenting dalam
memadukan arsitektur tradisional Bali dengan arsitektur modern adalah nilai ruang dan
orientasi, tata letak bangunan, dan tata letak dengan anotasi.

Pada rupa, terdapat langgam yang menunjukkan suatu ekspresi yang sesuai
dengan tata ruang dan orientasi, tata letak atau setting masa, dan tata bangunan (sosok
atau wujud, bentuk, proporsi, penggunaan struktur dan bahan, serta dekorasi berupa
ornamen (ragam hias). Sedangkan pada nilai nirupa, terdapat penggunaan langgam
berupa ide atau filosofis yang menghadirkan norma, konsep, dan juga prinsip. Nilai-nilai
konsep tata ruang Arsitektur tradisional bali berada pada tingkat agama, yaitu nilai
hulu( Utama atau atas), tengah ( madya), teben (Nista atau bawah) baik secara arah
horizontal maupun vertikal dengan kesetaraan tri loka dan tri angga. Penyengker,
Paduraksa, dan juga angkul merupakan identitas umah, sehingga bale yang terdapat pada
penyengker disetarakan dengan ruangan ( bilik) bukan karena fungsinya, melainkan tata
letak dan nilai guna pada bale. Skala dan proporsi ruang dan bangunan tradisional bali
menggunakan dimensi dari manusia, dikenal dengan sikut dewek yang menggunakan
modul dasar (rai) dari penghuni rumah ( anangga ayah).

Struktur dan bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional bali memiliki sifat
yang ekologis dan natural untuk menunjukkan rasa menghormati alam dan lingkungan.
Hal ini dikarenakan memberikan keamanan bangunan pada penghuni, dan tetap berlaku
sebuah prinsip tektonika untuk penyelesaian konstruksi sehingga menambah nilai
estetika. Penggunaan sistem konstruksi ini jauh lebih mudah untuk dibongkar pasang,
memiliki umur yang terbatas karena berasal dari bahan yang organis. Ornamen dan
dekorasi pada arsitektur tradisional bali merupakan ekspresi yang dibuat untuk
menunjukan sebuah rasa terima kasih kepada alam dan sang pencipta atas keindahan
yang telah diberikan.

a) Nilai- Nilai tata bangunan :


 Tri angga adalah filosofi Hindu yang diterapkan pada arsitektur tradisional
Bali yang mengubah bangunan menjadi sosok manusia. Tiga angga terdiri atas
kepala (atap), badan (dinding, tiang), kaki (batur, pondasi).

 Proporsi antropometri sosok manusia (Wirama, Wiraga, Wirasa) agak mirip


dengan penerapan rasio emas.

 Struktur dan material saat ini sangat mendukung bentuk dan bentuk arsitektur
tradisional Bali

b) Nilai-nilai tata ruang dan orientasi


 Arsitektur tradisional bali memiliki hirarki pencapaian : Nista, Madya, Utama,
yang dapat diterapkan pada arsitektur masa kini sebagai ruang publik, semi
publik, dan privat.

 Pola perempatan agung yang diterapkan pada arsitektur masa kini berupa pola
menyilang

c) Tata letak atau setting massa :


 Pada Arsitektur Tradisional Bali, pengukuran sebuah dimensi bangunan
menggunakan skala manusia. Namun, penggunaan dimensi skala manusia
sudah digantikan dengan satuan baku pada zaman sekarang ( Arsitektur masa
kini )
Arsitektur tradisional Bali terintegrasi dengan baik dengan adat dan agama
Hindu, sehingga diwujudkan dalam bentuk nilai visual dan Nirupa. Dalam
penampilan adalah gaya yang menunjukkan ekspresi yang konsisten dengan
penataan dan arah ruang, tata letak atau massa dan tata letak bangunan (pola atau
bentuk, bentuk, proporsi, penggunaan struktur dan bahan dan ornamen) bentuk
Dekorasi). Sebaliknya, nilai-nilai Nirupa menggunakan corak berupa gagasan atau
filosofi yang merepresentasikan norma, konsep dan juga prinsip. Nilai-nilai
konsep ruang dalam arsitektur tradisional Bali berada pada tataran religi yaitu
nilai hulu (utama atau atas), tengah (middle), teben (rendah atau rendah), serta
horizontal dan vertikal. tiga wilayah dan tiga angga.

Anda mungkin juga menyukai