Anda di halaman 1dari 15

KEARIFAN LOKAL SISTEM IRIGASI SUBAK

Abstract
Subak is a traditional organization with unique cohesive and coercive
binding power at different level of hierarchy. An ethnomethodological approach
was employed in an attempt to understand the Balinese subak organization.
Regencies of Gianyar and Tabanan were selected as the study area. The objectives
of this research are to recognize institutional elements of the subak and to describe
the socio-institutional related variables within the organization. The expected
outcomes of the activity are: 1) institutional characteristics of the Balinese subak,
including technosocial characteristics and management style, 2) cohesion power
and pattern of the subak among its members, and 3) logical interpretation of
indexical expressions used in relation to subak’s routine operation. For the
purpose of this study, collection and analysis of indexical expressions,
conversational analysis and observation, and analysis on nonverbal interaction
were employed through the implementation of ethnomethodology. This paper
describes subak’s socio-religious existence, management style and cohesion
power highlighting the community’s indexical expressions and their relation with
farmer’s actual acts in the respective agro-socio-ecosystems.
Keywords: Social institutions, organization, participatory management, ritual
Abstrak
Subak adalah suatu organisasi tradisional yang memiliki kekuatan kohesif
dan koersif yang unik pada tiap hierarki. Suatu pendekatan etnometodologi
dilakukan untuk memahami kelembagaan subak di Bali. Kabupaten Gianjar dan
Tabanan terpilih sebagai wilayah pusat pendekatan etnometodologi tersebut.
Tujuan penelaahan ini adalah untuk memahami elemen-elemen kelembagaan
subak serta untuk menjabarkan kaitan berbagai peubah sosial kelembagaan dalam
organisasi tersebut. Keluaran yang diharapkan dari kegiatan ini adalah: 1)
karakteristik kelembagaan subak di Bali, termasuk karakteristik teknososial dan
gaya pengelolaan atau "management style", 2) pola kekuatan kohesif
kelembagaan subak dan antar anggota subak, dan 3) penjabaran logis terhadap
ekspresi indeksikal yang dijumpai dalam rutinitas subak. Untuk kepentingan
penelaahan ini, pengumpulan dan analisis ekspresi indeksikal, pengamatan dan
analisis percakapan, serta analisis interaksi nonverbal diterapkan dalam konteks
implementasi pendekatan etnometodologi. Makalah ini mengungkap kehadiran
kelembagaan sosial religius subak, pola pengelolaan dan kekuatan kohesif
kelembagaan yang mengungkap ekspresi indeksikal serta kaitannya dengan
tindakan praktis petani dalam lingkungan agro-ekosistem masing-masing.
Kata kunci: Kelembagaan sosial, organisasi, pengelolaan partisipatif,
upacara
PENDAHULUAN
Pulau Bali atau yang juga disebut sebagai pulau seribu pura merupakan salah
satu provinsi yang ada di Indonesia. Bali dikenal sebagai daerah tujuan wisata
yang sangat populer, tidak saja di Indonesia tetapi juga mancanegara. Citra dan
identitas Bali sebagai daerah tujuan wisata yang indah, agung, eksotis, lestari,
dengan perilaku masyarakatnya yang ramah dan bersahaja, ditopang oleh adat
istiadat dan budayanya yang mendasarkan pada prinsip keharmonisan dan
keseimbangan dengan bertumpu pada nilai-nilai Agama Hindu dan falsafah hidup
Tri Hita Karana. Kedua ajaran ini saling berkaitan di mana agama Hindu menjiwai
falsafah Tri Hita Karana, dan sebaliknya falsafah Tri Hita Karana mendasarkan
pada ajaran agama Hindu.
Terdapat banyak sekali kearifan lokal di Bali yang menarik untuk dikaji,
salah satu yang menarik untuk dikaji dari kearifan lokal Bali adalah Subak. Sistem
irigasi subak di Bali telah diakui dunia. Windia (2013: 138) UNESCO
menetapkan subak sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) dalam suatu sidang di
Pittsburg Rusia pada tanggal 29 Juni 2012. Label resmi yang diberikan
UNESCO untuk subak sebagai warisan budaya dunia adalah Cultural Landscape
of Bali Province: Subak as Manifestation of Tri Hita Karana Philosophy.
Pengakuan UNESCO itu mencerminkan beberapa hal, yaitu pengakuan
terhadapeksistensi lembaga subak sistem subak yang menerapkan konsep Tri Hita
Karana (THK), dan lanskap yang hadir di Bali dalam bentuk persawahan subak
adalah lanskap yang berisikan muatan aktivitas budaya. Sejak berabad-abad lalu,
secara faktual kita telah menerima berbagai teknologi dari belahan dunia lain.
Tetapi, kini dunia mengakui bahwa kita telah memberi kepada belahan dunia
lain dalam bentuk kebudayaan. Masalahnya adalah bagaimana kita harus dapat
menjaga kepercayaan dunia ini, agar subak dapat abadi dan berlanjut sepanjang
masa. Karena subak tidak saja menghadirkan kawasan sawah yang menghasilkan
bahan makanan untuk umat manusia, tetapi kini subak juga diakui sebagai
lembaga menghadirkan nilai-nilai kebudayaan.
PEMBAHASAN

A. Sejarah Subak di Bali


Mbete et al, (1998: 100) Subak merupakan suatu organisasi di Bali dalam
bidang pertanian yang telah ada sejak lama dan diwariskan secara turun temurun.
Guntoro (1996: 54) Subak juga merupakan organisasi pengairan tradisiolal
khas Bali yang sudah ada sejak sekitar abad yang bercorak sosio religius yang
didasarkan atas filosopi Tri Hita Karana, yang bermakna untuk menjaga
keselarasan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia
dengan manusia lainnya serta manusia dengan alam sekitarnya. Selain itu, dalam
implementasinya, sistem subak dilandasi oleh jiwa dan semangat gotong royong
yang tinggi dari pengelola dan para anggotanya (Suputra, 2008: 13).
Windia (2015: 37) Subak di Bali diketahui keberadaannya pada abad XI
(tahun 1071). Kemudian mengalami perkembangan pada abad ke-14 yang hingga
saat ini tetap berjalan dan bahkan terus berkembang.Kata subak dinilai sebagai
bentuk modern dari kata suwak. Suwak ditemukan dalam prasasti Pandak Badung
(1071) dan Klungkung (1072). Menurut setiawan suwak berasal dari dua kata
yaitu “su” yang berarti baik, dan “wak” untuk pengairan. Dengan demikian suwak
dapat diatrikan sebagai sistem pengairan yang baik.
Kehadiran Subak di Bali juga dilatar belakangi oleh lingkungan topografi dan
kondisi sungai-sungai di Bali yang curam. Hal ini menyebabkan sumber air pada
suatu komplek persawahan petani umumnya cukup jauh dan terbatas. Untuk dapat
menyalurkan air ke sebuah kompleks persawahan, mereka harus membuat
terowongan menembus bukit cadas. Kondisi inilah yang menyebabkan para petani
Bali menghimpun diri dan membentuk organisasi Subak.
Pada masa kerajaan sumberdaya lahan dan air adalah milik raja. Petani diberi
hak untuk mengelolanya dengan kewajiban-kewajiban tertentu yang jelas. Petani
hanyalah penggarap atau penyewa, bahkan petani adalah pekerja wajib bagi
rajanya. Hingga saat ini beberapa puri masih dihuni oleh keluarga keturunan raja
yang mendapat gabah “saren taun” dari petani sekitar atau memiliki hubungan
yang masih dekat dengan keluarga raja.
Pasca kemerdekaan, perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat
Bali relatif stabil. Sumber pendapatan sebagian besar bersumber dari sektor
pertanian, baik tanaman pangan, perkebunan, maupun peternakan. Kabupaten
Tabanan dengan persawahan yang luas sejak masa raja-raja menjadi andalan
sektor pangan karena mampu mencukupi kebutuhan sendiri, dan rata-rata
memiliki simpanan padi sebagai penjamin keamanan pangan keluarga. Sampai
awal era orde baru, Bali bahkan menjadi salah satu daerah andalan untuk pangan
beras dan peternakan sapi. Kelembagaan tradisional petani bersinergi dengan
rekayasa pembangunan yang diimplementasikan pemerintah berhasil
meningkatkan pertumbuhan ekonomi Bali.
Awal dekade 90-an terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam sumber
pencaharian utama masyarakat Bali, dari 70 persen penduduk yang hidup dari
sektor pertanian pada tahun 1989 menjadi tinggal 41,5 persen pada tahun 1995
(Wiguna dan Surata, 2008: 57). Komoditas utama yang dihasilkan adalah tanaman
pangan, perkebunan, hortikultura, hingga peternakan. Perubahan cepat dalam
kurun waktu enam tahun terjadi karena adanya perubahan arah kebijakan
pembangunan setempat yang berkomitmen membangun sektor pariwisata sebagai
sektor andalan pertumbuhan ekonomi Bali. Sektor ini secara cepat membuka
kesempatan dan lapangan kerja baru, peluang berusaha baru yang menjadi faktor
penarik kuat bagi penduduk untuk melakukan transformasi pekerjaan dan usaha.
Dimasa lalu pembinaan subak dilakukan oleh yang disebut Sedahan pada
tingkat kecamatan yang juga merupakan petugas pemungut pajak, sedangkan
ditingkat kabupaten pembinaan dilakukan oleh Sedahan Agung dan merupakan
pembina tertinggi dari subak, biasanya langsung dijabat oleh Kepala Dinas
Pendapatan Kabupaten. Salah satu peran yang paling menonjol dari Sedahan dan
Sedahan Agung adalah dalam mengatur pendistribusian air antar subak maupun
antar bangunan pengambilan air/bendung, umumnya para anggota subak sangat
mematuhi keputusan Sedahan dan Sedahan Agung dalam pengaturan air dan
mereka sangat berwibawa dan disegani oleh para anggota subak.
B. Mengenal Subak di Bali
1. Sistem Irigasi Subak
Sumber air untuk irigasi subak umumnya bersumber dari aliran sungai
atau mata air dialirkan melalui pengambilan bebas ke saluran (telabah) atau
terowongan (aungan). Untuk subak yang luas secara umum bangunan yang
terdapat pada sumber air irigasi subak adalah berupa bendung atau empelan,
pintu pemasukan, dan kebanyakan disetai terowongan yang dilengkapi lubang
pemantauan. Empelan adalah bendung tradisional yang dimiliki subak
dicirikan dengan konstruksinya tidak permanen dan tidak memiliki alat ukur
debit. Istilah bendung sudah cukup dikenal pada subak, walaupun bangunan
irigasi ini baru diperkenalkan sejak sekitar setengah abad yang lalu. Aktivitas
oprasional dan pemeliharaan oprasional pada sumber air irigasi khususnya
yang bersumber dari sungai meliputi pengaturan debit, dan pengurasan
lumpur. Manajemen pembagian air bisa diambil untuk masing-masing subak
umumnya proporsional dengan luasan subak tersebut.
Norken (2015: 8) Subak yang luas, atau beberapa subak yang sumber
airnya berasal dari satu bendung (empelan) dibagi menjadi 3 blok/bagian
(hulu, tengah dan hilir). Subak yang berada di bagian hulu mendapat air
paling dahulu (disebut ngulu), subak yang berada dibagian tengah
memperoleh air setelah bagian hulu selesai mengolah tanah (disebut
maongin), selanjutnya subak yang paling hilir memperoleh air setelah subak
bagian tengah selesai mengolah tanah (disebut ngasep). Perbedaan pemberian
air masing-masing bagian berkisar antara 2 sampai 4 minggu. Apabila subak
hanya memanfaatkan air tirisan/air buangan sisa dari subak-subak yang ada
dibagian hulunya, maka subak semacam ini dinamakan subak natak tiyis. Air
tirisan yang sudah dipakai oleh subak kemudian ditampung atau disalurkan
melalui saluran pembuangan (pengutangan). Saluran pembuangan subak ini
oleh subak dibagian hilirnya dimanfaatkan sebagai saluran pembawa
(telabah), kemudian dibangun bangunan bagi (tembuku) untuk mengalirkan
pada subak natak tiyis tersebut.
Saluran primer subak diistilahkan dengan telabah aya. Bangunan irigasi
yang terdapat pada saluran primer pada subak secara umum meliputi
bangunan bagi primer, saluan penguras lumpur yang sekaligus berfungsi
sebagai pembuang debit yang berlebih. Pada saluran primer kadang-kadang
juga tedapat terowongan yang dilengkapi dengan alat pemantaunya.
Manajemen distribusi air irigasi pada telabah umumnya dilakukan oleh
petugas bendung yang berkoordinasi dengan pekaseh.
Pada saluran skunder yang pada subak diistilahkan dengan telabah gede,
dan saluran tersier yang diistilahkan dengan telabah pemaron, secara umum
jenis bangunan irigasi yang ada hampir sama dengan yang ada pada saluran
primer dan skunder. Tapi pada lokasi ini juga dilengkapi dengan adanya
talang, spion, saluran individu. Pada lokasi ini reatif banyak bangunan bagi,
khususnya bangunan bagi untuk masing-masing petani yang dalam subak
diistilahkan dengan tembuku pengalapan. Manajemen distibusi air irigasi
pada lokasi ini dikoordinir oleh pekaseh dan pimpinan sub subak.
Pada petak tersier terdapat bangunan irigasi yang sifatnya menjadi milik
petani secara individu, sehingga pengelolaannya juga lebih banyak ditangani
secara individu oleh petani selaku pemilik lahan sawah pada lokasi tersebut.
Pada lokasi ini terdapat banyak aktivitas yang dilakukan terkait dengan
strategi pengelolaan air irigasi mulai dari olah tanah sampai panen. Banyak
ditemui istilah-istilah dalam bahasa daerah yang kadang-kadang bersifat
lokal, artinya istilah tersebut berbeda pada daerah lainnya walaupun
aktivitasnya sama.
Budiasa, (2010: 161) Terkait sarana dan prasarana dalam subak ketika
melakukan panen telah didukung dengan berbagai alat-alat modern untuk
membatu dan memudahkan para anggota subak dalam proses panen di sawah,
misalnya penggilingan padi yang sudah memadai dilengkapi dengan lantai
jemur, mesin penggilingan, mesin pengering gabah, ruang produksi, gudang
gabah, gudang beras, kantor, sarana transportasi serta ditunjang oleh SDM
yang memadai.

2. Organisasi Subak
Pengelolaan air irigasi subak adalah menyangkut organisasi pengelola
beserta seperangkat pengaturan operasional organisasi yang disebut awig-
awig. Pradnyawati (2013: 3) Organisasi subak dipimpin oleh seorang ketua
yang disebut pekaseh. Dalam operasional hariannya, ketua dibantu seorang
sekretaris yang disebut penyarikan. Selanjutnya, organisasi yang terbawah
merupakan anggota kelompok yang disebut kerama subak. Struktur
organisasi subak juga telah dilengkapi dengan pengurus yang lainnya seperti
bendahara yang disebut dengan petengen, dan pembantu umum atau
sebutannya adalah saye.
Adapun tugas dan fungsi dari masing-masing pengurus subak adalah
sesuai dengan hasil kesekapatan yang telah dituangkan di dalam awig-awig
subak. Kelihan Subak mempunyai tanggung jawab dalam melaksanakan tugas
sebagai berikut:
a. Selalu bertanggung jawab pada seluruh kegiatan internal subak yang
berdasarkan pada ketentuan awig-awig subak dan juga kebiasaan yang
berlaku di desa adat
b. Menyampaikan berbagai informasi dan melaksanakan kebijaksanaan
dari pemerintah kepada anggota subak yang berkaitan dengan kegiatan
subak baik di aspek pertanian, irigasi dan lain sebagainya;
c. Memimpin rapat subak dan selanjutnya mengambil dan menetapkan
keputusan subak dengan mengakomodasikan berbagai kepentingan
anggota subak
d. Mengkoordinasikan penyusunan perencanaan subak bersama dengan
anggota
e. Menjadi penghubung antar pihak subak dengan pihak luar (pemerintah).

Sekretaris atau penyarikan subak memiliki tugastugas sebagai berikut


a. Mencatatkan semua kegiatan yang bersifat administratif di subak
b. Mencatat semua permasalahan yang di bahas dalam setiap pertemuan
subak dalam bentuk notulen
c. Membuat inventarisasi terhadap semua barang inventaris yang dimiliki
oleh subak baik yang berupa bantuan dari pihak luar maupun milik
bersama subak dan
Bendahara atau petengen yang terkadang disebut juga juru raksa pada
subak memiliki tugas-tugas seperti di bawah ini:
a. Mencatatkan secara tertib segala kekayaan yang dimiliki oleh subak;
b. Mencatatkan aliran keuangan subak baik yang diperuntukan bagi
kepentingan anggota termasuk pembelian sarana dan prasarana subak
termasuk penerimaan/pemasukan kas subak

Saye subak memiliki beberapa tugas yang diamanatkan dalam Awig-


awignya, yaitu:
a. Membantu penyampaian segala perintah/ informasi dan pengurus subak
kepada seluruh anggota
b. Memiliki tanggung jawab kepada kelian subak atas segala perintah atau
informasi yang ditugaskan kepadanya.
Peraturan yang mengatur subak secara internal disebut awig awig. Awig-
awig yang mengatur berbagai kegiatan, organisasi, hak dan kewajiban
anggota para subak tersebut. Awig awig dapat diperluas dan ditambahkan
dengan aturan tambahan, disebut pasuara (aturan tambahan). Pasuara
biasanya dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan yang mungkin
terjadi untuk memenuhi tuntutan para petani sebagai anggota subak. Sebagai
aturan, awig awig terdiri dari Bab disebut Sarga dan Bagian disebut Palet,
dan Pasal disebut Pawos. Cakupan Awig Awig dari Subak meliputi: nama
dan tempat, prinsip-prinsip dasar, aturan keanggotaan, aturan aspek
keagamaan, aturan aspek irigasi (persubakan), pengaturan denda, perubahan
awig awig dan penutup. Awig awig biasanya dijelaskan dan ditulis dalam
bahasa dan huruf Bali, meskipun belakangan ada evolusi awig awig ditulis
dalam huruf Bali dan huruf Latin dan disahkan oleh Unsur Pemerintah
sebagai Pembina Subak di tingkat Pemerintah kabupaten/Kota.
Contoh Awig-awig yang telah disepakati misalnya Mahdalena (2016:
178) menyampaikan Pertama, subak berusaha menindak dengan tegas bila
terjadi alih fungsi lahan yang menyebabkan kerusakan. Kedua, subak
melarang anggotanya untuk menjual sawah yang akan dijadikan bangunan.
Sawah yang dijual kembali harus dijadikan lahan pertanian. Namun, bila
anggota subak menjual lahannya untuk fungsi lain, maka akan dikenakan
sanksi sekian persen dari harga jual tanah dan dikenakan kewajiban untuk
melakukan upacara permohonan maaf di khayangan Bedugul dan Tri
Khayangan.
Awig awig dapat ditambah dengan aturan tambahan yang disebut
pasuara, sebagai tambahan aturan dalam menyesuaikan dengan kondisi dan
situasi yang berkembang. Tidak semua awig awig subak dibuat secara tertulis
dan disahkan oleh pihak berwenang, sebagian subak mencatat awig-awig
secara sederhana atau bahkan tidak tertulis, namun demikian awig-awig
subak selalu dihormati dan diikuti oleh para anggota subak (Norken et al,
2015: 54).

C. Ritual dalam Subak di Bali


Agama Hindu di Bali sangat kental dengan berbagai ritual, banyak ritual-
ritual yang harus dilaksanakan tanpa terkecuali dalam ritual dalam subak. Windia
(2015: 31-32) beberapa ritual yang dilakukan dalam subak diantaranya yaitu:

No Nama Ritual Waktu Tujuan

1. Ngendagin/ Pada saat akan Permakluman kepada Tuhan


Memungkah/ memulai YME (Dewa-Dewi yang
Nuasen tedun kegiatan di bersemayam di sawah, sebagai
sawah untuk manifestasi Tuhan YME), bahwa
menanam petani akan memulai melakukan
aktivitas pertanian di sawah.
2. Pengwiwit/ Segera setelah Memohon kepada Tuhan agar
Ngurit benih di semai bibit yang disemai dapat tumbuh
dengan baik.

3. Nuasen nandur Pada saat akan Memohon kepada tuhan agar


menanam benih proses penanaman bibit dapat
padi di sawah berjalan dengan lancar

4. Ngulapin Setelah selesai Memohon kepada Tuhan, agar


menanam padi bibit padi yang ditanam dapat
dan ada tanaman tumbuh dengan baik, dan tidak
padi yang rusak mengalami kerusakan

5. Ngeroras Setelah padi Memohon kepada TYE agar


berumur 12 hari tanaman padi dapat tumbuh
dengan baik

6. Mubuhin Setelah padi Idem


berumur 15 hari

7. Neduh/ Setelah padi Idem


Ngebulanin berumur satu
bulan 35 hari

8. Nyungsung/ Setelah padi Idem


Ngiseh/ berumur 42 hari
Ngelanus/
Dedinan

9. Biukungkung/ Setelah padi Idem


miseh/ ngiseh berumur dua
bulan (70 hari)

10. Nyiwa sraya Setelah padi Memohon kepada Tuhan YME


berbunga di agar tanaman padi tetap dapat
hamparan sawah tumbuh dan menghasilkan padi
yang baik

11. Ngusaba/ Saat menjelang Memohon kepada TYE agar


ngusaba nini/ panen panen padi berhasil dengan baik
mantenin Dewi
Sri

12. Mebanten manyi Pada saat panen Memohon kepada TYE agar
pelaksanaan panen dapat berjalan
dengan baik

13. Ngerasakin Setelah panen Menyampaikan rasa syukur


kepada Tuhan YME bahwa panen
telah berjalan dengan baik, dan
bersiap untuk melakukan
persiapan tanam pada musim
berikutnya
14. Mantenin Setelah padi Menyampaikan rasa syukur
berada di kepada Tuhan YME, karena padi
lumbung atau telah dapat disimpan dengan baik.
tempat
penyimpanan
padi

15. Ngerestiti/ Jika tanaman Memohon kepada Tuhan YME,


nangluk merana padi diserang agar hama dan penyakit tidak
penyakit merusak tanaman padi.

16. Mendak toya Pada saat akan Memohon kepada Tuhan agar air
menjemput air irigasi cukup untuk
dari sumbernya pertanamannya

Upacara tingkat subak dilakukan oleh semua anggota subak secara


bersamaan, pada hari tertentu yang disepakati oleh subak yang bersangkutan.
Upacara yang umum dilaksanakan di tingkat subak, adalah : (i) upacara mendak
toya (menjemput air) yang dilaksanakan pada sumber air dari subak yang
bersangkutan (dam, bangunan-bagi, atau mata air); (ii) upacara piodalan/ngusaba
di Pura Subak (Pura Ulun Sui atau Pura Bedugul).Selanjutnya, ada juga upacara
piodalan yang diselenggarakan pada beberapa pura di Bali yang dipercaya oleh
subak memiliki kaitan dengan sumber air. Misalnya, upacara piodalan pada pura
yang berkait dengan eksistensi danau (Pura Ulun Danu Batur di Danau Batur,
Kintamani, Bangli; Pura Beratan di Danau Beratan, Tabanan).
Contoh lain yaitu tradisi subak dalam masyarakat Muslim di Pegayaman.
sebagian besar warga Pegayaman Sukasada Buleleng Bali Utara bekerja
sebagai petani padi, kopi, maupun cengkeh. Sebagai anggota subak, mereka
juga melakukan upacara-upacara dalam urutan pertanian, terutama untuk
padi, mulai dari menanam sampai panen. Bedanya tradisi ini dilakukan
dengan mengaji di mushala-mushala dekat sumber mata air atau sawah.
Tiap selesai panen misalnya petani Pegayaman melaksanakan tradisi Abda‟u,
syukuran dengan membuat sate gempol dari daging sapi serta membuat
ketupat. Sebelum bersantap menikmati makanan ini, petani terlebih dahulu
membaca puji-pujian dalam bahasa arab. Suharto (wawancara)dalam
melaksanakan ritual subak jika masyarakat hindu bali menggunakan banten,
umat islam bali di daerah pegayaman menggunakan syariat islam.
Contohnya dalam melaksanakan selamatan tahunan di bendungan, krama
subak (anggota subak) melaksanakan selamatan air dengan membaca Abda‟u,
kemudian tahlilan dan membaca Asrakalan, lalu disanamereka juga
mengadakan acara makan-makan membawa ketupat,dansate gempol yang
dahulunya menggunakan daging Kijang, namun karna sekarang daging Kijang
sudah langka maka menggunakan daging Sapi. Sistem pengairan subak di
Pegayaman sama saja dengan sistem yang ada di Bali contoh sistem
ngampel dalam tradisi hindu bali yaitu anggota subak yang tidak ikut bekerja dan
harus membayar tahunan, hal itu juga dilakukan oleh masyarakat Islam di
Pegayaman.
Petani yang tidak beragama Hindu (dalam hal ini beragama Islam) dapat
menjadi anggota Subak dan terjadi afinitas (daya gabung) antara petani yang
berbeda agama dalam organisasi Subak. Afinitas antar nilai-nilai agama terjadi
pada nilai-nilai yang mengatur hubungan antar manusia (petani dengan petani),
sedangkan untuk nilai-nilai yang mengatur hubungan manusia dengan alam
gaib (Tuhan Yang Maha Esa) tidak terjadi afinitas. Sedangkan terhadap
perbedaan keyakinan terjadi saling menyesuaikan (accomodation) dalam
bentuk toleransi antar agama.

PENUTUP
Subak merupakan suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakter
sosio-agraris-religius yang merupakan perkumpulan petani dan masyarakat yang
mengelola air irigasi dilahan sawah. Dengan perkembangan jaman yang begitu
pesat diharapkan petani atau masyarakat tidak melupakan subak sebagai sistem
pengairan tradisional dan merupakan salah satu kebudayaan yang terdapat di Bali.
Pada awalnya sistem subak hanya mengelola air irigasi untuk kepentingan
anggotanya. Namun, sesuai dengan perkembangan jaman dan dengan adanya
kegiatan bersifat ekonomi maka dalam perkembangannya sistem subak juga
mengelola keuangan organisasi. Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan petani
mampu mengelola dirinya sendiri dan membentuk organisasi mandiri.

DAFTAR PUSTAKA
Budiasa, I., W. (2010).Peran Ganda Subak Untuk Pertanian Berkelanjutan Di
Provinsi Bali. Jurnal AGRISEP, Vol. 9 No.2
Guntoro, S. (1996).Wisata Agro Di Bali Majalah Warta Pemda. Diterbitkan
Untuk HUT Pemda Bali ke-38 14 Agustus.
Mahdalena, N. (2016). Nilai Kearifan Lokal “Subak” Sebagai Modal Sosial
Transmigran Etnis Bali. Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL. Vol. 7
No. 2
Mbete, A., M., et al. (1998).Proses & Protes Budaya Persembahan Untuk Ngurah
Bagus. Denpasar: PT. Offset BP Denpasar.
Norken I., N., I., K., S. dan I.G.N.Kerta Arsana (2015). Aktivitas Aspek
Tradisional Religius Pada Irigasi Subak:Studi Kasus Pada Subak Piling,
Desa Biaung, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Laporan
Penelitian Program Magister Teknik Sipil. Program Pascasarjana
Universitas Udayana Denpasar.
Pradnyawathi, N., L., M. & Adnyana, G., M. (2013). Pengelolaan Air Irigasi
Sistem Subak. Jurnal DwijenAGRO. Vol. 3 No. 2.
Suputra, I., K. (2008). Efektivitas Pengelolaan Sumber Air Untuk Kebutuhan Air
Irigasi Subak di Kota Denpasar. Tesis Program Pascasarjana Universitas
Udayana.Denpasar
Windia. W. (2013). Penguatan Budaya Subak Melalui Pemberdayaan Petani.
Jurnal Kajian Bali Vol. 3 No. 2.
_________., Sumiyati., Sudana, G. (2015). Aspek Ritual Pada Sistem Irigasi
Subak Sebagai Warisan Budaya Dunia. Jurnal Kajian Bali Vol. 5 No. 1
Wiguna A., A. dan Surata. (2008). Multifungsi Ekosistem Subak dalam
Pembangunan Pariwisata. Yogyakarta: Aksara Indonesia

Anda mungkin juga menyukai