PENDAHULUAN
Pulau Bali atau yang juga disebut sebagai pulau seribu
pura merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Bali
dikenal sebagai daerah tujuan wisata yang sangat populer, tidak
saja di Indonesia tetapi juga mancanegara. Citra dan identitas
Bali sebagai daerah tujuan wisata yang indah, agung, eksotis,
lestari, dengan perilaku masyarakatnya yang ramah dan
bersahaja, ditopang oleh adat istiadat dan budayanya yang
mendasarkan pada prinsip keharmonisan dan keseimbangan
dengan bertumpu pada nilai-nilai Agama Hindu dan falsafah
hidup Tri Hita Karana. Kedua ajaran ini saling berkaitan di mana
agama Hindu menjiwai falsafah Tri Hita Karana, dan sebaliknya
falsafah Tri Hita Karana mendasarkan pada ajaran agama Hindu.
Terdapat banyak sekali kearifan lokal di Bali yang menarik
untuk dikaji, salah satu yang menarik untuk dikaji dari kearifan
lokal Bali adalah Subak. Sistem irigasi subak di Bali telah diakui
dunia. Windia (2013: 138) UNESCO menetapkan subak sebagai
Warisan Budaya Dunia (WBD) dalam suatu sidang di Pittsburg
Rusia pada tanggal 29 Juni 2012. Label resmi yang diberikan
UNESCO untuk subak sebagai warisan budaya dunia adalah
Cultural Landscape of Bali Province: Subak as Manifestation of Tri
Hita Karana Philosophy.
Pengakuan UNESCO itu mencerminkan beberapa hal,
yaitu pengakuan terhadapeksistensi lembaga subak sistem
subak yang menerapkan konsep Tri Hita Karana (THK), dan
lanskap yang hadir di Bali dalam bentuk persawahan subak
adalah lanskap yang berisikan muatan aktivitas budaya. Sejak
berabad-abad lalu, secara faktual kita telah menerima berbagai
teknologi dari belahan dunia lain. Tetapi, kini dunia mengakui
bahwa kita telah memberi kepada belahan dunia lain dalam
bentuk kebudayaan. Masalahnya adalah bagaimana kita harus
dapat menjaga kepercayaan dunia ini, agar subak dapat abadi
dan berlanjut sepanjang masa. Karena subak tidak saja
menghadirkan kawasan sawah yang menghasilkan bahan
makanan untuk umat manusia, tetapi kini subak juga diakui
sebagai lembaga menghadirkan nilai-nilai kebudayaan.
PENJELASAN
Difinisi Subak
Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem
pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, subak berarti sistem pengairan teratur yang
diselenggarakan oleh rakyat di Bali. Subak merupakan lembaga yang bersifat
sosioagraris-religius di mana dalam sistem subak ini ini diatur oleh seorang
pemuka adat, yang biasa disebut pekaseh dan berhak mengurus kepengurusan,
membuat awig-awig, mengatur keuangan serta memberikan sanksi terhadap
anggota subak yang melanggar peraturan.Subak ini biasanya memiliki pura yang
dinamakan Pura Uluncarik, atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para
petani dan diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan dewi Sri.
Dalam pengelolaan irigasi subak, masyarakat Bali mengusung konsep Tri
Hita Karana (THK) yang memiliki hubungan timbalBalik antara Parahyangan
yakni Hubungan yang harmonis antara anggota atau karma subak dengan Tuhan
Yang Maha Esa, Pawongan yaitu hubungan yang harmonis antara anggota
subaknya dimana yang disebut dengan Krama Subak, Palemahan yang merupakan
hubungan yang harmonis antara anggota subak dengan lingkungan atau wilayah
irigasi subaknya. Sistem irigasi subak diatur dalam peraturan daerah Pemda
provinsi Bali No.02/PD/DPRD/l972 tentang irigasi di daerah provinsi Bali.
Sejarah Subak
Kapan timbulnya sistem subak di Bali untuk pertama kalinya, tidak
diketahui dengan pasti. Sejarah subak dapat dilihat secara tidak langsung dari
prasasti-prasasti yang menggambarkan abad kesembilan. Jadi sudah sekitar seribu
tahun yang lampau.Prasasti sukawana yang dibuat pada tahun 882 masehi
menunjukan bahwa sistem pertanian sawah dan tegalan yang teratur telah ada di
Bali pada tahun 882 masehi. Hal ini terbukti bahwa dalam prasasti itu telah di
sebut kata-kata “Huma” yang berarti sawah dan kata “Parlak” yang berarti
tegalan. Kenyataan ini diperkuat lagi oleh adanya prasasti bebetin yang dibuat
pada tahun tahun 896 masehi. Prasasti ini diantaranya menyebut kata-kata
“Undagi Lancang”(tukang membuat perahu), “Undagi Batu”(tukang mencari
batu) dan “Undagi Pangarung “ (tukang membuat terowongan air). Pada masa itu
sudah ada ukuran pembagian air untuk persawahan yang disebuat “Kilan”
(sekarang di sebut tektekan yeh). Yakni ukuran air untuk persawahan. Kemudian
pada prasasti trunyan yang diciptakan pada tahun 891 masehi, terdapat kata
“Serdanu” yang berarti kepala urusan air dan, dalam hal ini danau batur yang
terdapat di daerah tarunyan (Bangli). Diduga kata “Ser” inilah yang berubah
menjadi “Pekaseh” (pemimpin subak) yang berarti orang yang bertugas megatur
pemanfaatan dan pembagian air irigasi untuk persawahan dalam suatu wilayah
subak.
Dengan telah dikenalnya pembuatan trowongan air pada tahun 896
masehi, pertanian sawah dan tegalan pada tahun 882 masehi, serta telah pula
dikenal suatu ukuran pembagian air untuk sawah-sawah pada masa itu di Bali.
Secara faktual, pada tahun 1071 masehi, di Bali telah dikenal adanya subak. Hal
ini tidaklah berarti subak muncul pertama kali pada tahun tersebut. Tidak tertutup
kemungkinan subak sudah ada jauh sebelumnya, mengingat tahun 882 masehi
sudah ada pembuatan trowongan air untuk kepentingan pertanian. Didalam
prasasti pandak bandung yang berangka tahun 1071 masehi di jumpai untuk
pertama kalinya kata “Asuwakan” yang sekarang menjadi kata “Kasubakan Atau
Subak”. Juga dalam prasasti klungkung tahun 1072 masehi terdapat kata
“Kasuwakan Rawas” yang artinya “Kasubakan Atau Subak Rawas”. Kata subak
adalah suatu perubahan fonim dari kata “Suwak” mengikuti aturan perubahan
fonim p-b-m-w, sehingga menjadi subak yang artinya suatu pengatur air
persawahan yang baik. Suatu keterangan legendaris mengenai terbentuknya subak
di Bali, ada disebutkan dalam lontar markandya purana. Didalam lontar itu
disebut bahwa rsi markandya dari gunung raung (Jawa Timur) di iringi oleh 800
orang merabas hutan di pedalaman pulau Bali, lantas membuat sawah dan desa
yang disebuat “Desa Sarwada”. Desa inilah yang sekarang bernama desa Taro di
kecamatan Tegalalang (Gianyar). Sawah-sawah yang dibuat disebuat “Puwakan”
yang letaknya tidak jauh dari desa Taro. Didalam lontar itu disebutkan pula bahwa
rsi markandya membangun desa adat dan subak. Tapi keterangan legendaris ini
nampaknya lebih dari fakta sejarah yang lainnya. Sebab Rsi Markandya dikatakan
adik dari rsi trinawindhu yang hidup pada zaman kerajaan kediri di jawa timur
abad 12-13. Ini berarti Rsi Markandya datang ke Bali sekitar abad 12-13, dimana
di Bali saat itu telah ada subak.
Bali banyak dipengaruhi budaya luar, diantaranya : Sriwijaya (Sumatra)
pada permulaan abad ke 10, lemah tulis (Jawa Timur) sekitar tahun 1172 masehi,
pengaruh budaya Singasari (Jawa Timur) sejak tahun 1343 masehi dan juga
pengaruh budaya Kediri (Jawa Timur) yang dibawa oleh Dang Hyang Nirartha
sekitar tahun 1489 masehi. Berbagai budaya tersebut menyebabkan perubahan
sosial di Bali, lebih-lebih lagi setelah Bali berada dibawah naungan majapahit.
Kitab nagara kerthagama menyebutkan, bahwa Bali sepenuhnya menerapkan tata
cara yang berlaku di majapahit (sekitar tahun 1343) masehi), sistem pengolahan
pertanian di Bali mengalami suatu perkembangan. Sejak masa tersebut di Bali di
angkat seorang “Asedahan” yang bertugas mengorganisasikan beberapa subak.
Asedahan yang sekarang disebut “Sedahan”, memperoleh kepercayaan untuk
mengurus pungutan pajak (Upeti Atau Tigasana) pertanian. Pada masa
pemerintahan belanda di Bali, dibentuk “Sedahan Agung” pada setiap
“Landschap” (sekarang disebuat kabupaten). Sedahan agung bertugas untuk
mengorganisasikan seluruh sedahan yang berada di wilayah kabupaten yang
bersangkutan dalam konteks pembinaan subak dan pungutan pajak pertanian.
Pada masa itu ada 2 macam sedahan yaitu : sedahan sawah (dibeberapa daerah
disebuat “Panglurah”) dan sedahart. Tegal yang juga di sebut “Sedahan D”.
Selanjutnya dalam rangka menetapkan besar kecilnya pajak pertanian (yang
dikenal dengan istilah “Tigasana Atau Sawinih”), pemerintah belanda menempuh
langkah –langkah kebijaksanaan :
1. Mengadakan pengklarifikasikan sawah-sawah menurut tingkat
keseburannya.
2. Mengadakan pengukuran luas tanah secara pasti (klassier), yang untuk
pertama kalinya dilakukan pada tahun 1925 di Bali selatan.
Berdasarkan hasil kedua kebijaksanaan itu pemerintah belanda dapat
menetapkan secara lebih tepat besar kecilnya pajak yang harus di bayar oleh
pemilik tanah (pertanian). Selain itu, untuk menjamin kontinuitas persediaan air
irigasi bagi pertanian sawah, pemerintah belanda pada masa penjajahannya juga
telah membuat empangan-empangan air primer (Dam) secara permanen dan dam-
dam sekunder serta tersier yang menggantikan temuku dan empangan-
empanganair yang sering rusak. Sejak masa kemerdekaan republik indonesia
hingga sekarang, pertanian sawah sistem subak di Bali tampak dengan nyata baik
secara kuantitatif maupun kualitatif. Pada tahun 1971 jumlah subak di Bali
sebanyak 1.193 subak, hingga tahun 1978 menjadi sebanyak 1.283 subak, dan
sampai tahun 1984 jumlah tersebut tetap tidak mengalami perubahan.
Perkembangan secara kualitatif terlihat dalam tubuh subak itu sendiri, diantaranya
struktur organisasinya semakin rapi, peraturan-peraturannya senantiasa
menyesuaikan situasi dan kondisi menuju kearah peningkatan produksi pertanian,
sehingga menjadi wahana yang baik bagi pemerintah menuju swasembada
pangan.
7. Kekuasaan (power)
Kekuasaan didefinisikan sebagai suatu kesanggupan untuk menguasai
orang atau pihak lain, seperti menggerakan, mengendalikan dan
mengambil keputusan / kebijakan). Kekuasaan mempunyai banyak
komponen, tetapi ada dua komponen yang penting yaitu wewenang
(authority) dan pengaruh (influence). Wewenang adalah hak yang
dibenarkan (legitimate right) kepada seseorang untuk mempengaruhi orang
atau pihak lain. Sedangkan pengaruh adalah kesanggupan untuk
mengontrol orang atau pihak lain dengan tidak menggunakan wewenang.
Implementasi kekuasaan pada subak dilihat dari empat indikator sebagai
berikut:
a. kekuasaan seorang anggota subak sesuai dengan kedudukannya.
b. kemampuan pemimpin menggerakan anggota subak.
c. kemampuan pemimpin mengontrol / mengendalikan anggota subak.
d. kemampuan pemimpin mengambil keputusan atau menentukan
kebijakan.