Anda di halaman 1dari 12

WARISAN BUDAYA DUNIA

SUBAK JATILUWIH
Oleh
I Nyoman Sutama
Pekaseh Subak Jatiluwih

I. PENDAHULUAN
Bahwa mulai antara tahun 2001 melalui berbagai penelitian dan
pertemuan, rapat-rapat maka ditetapkanlah kerangka acuan mengusulkan lansekap
Budaya Provinsi Bali terkait dengan tradisi lembaga Subak yang sampai hidup
sampai saat ini, situs Pura, dan lansekap lingkungan di daerah aliran sungai
termasuk sawah serta hutan sebagai resapan air juga danau sebagai sumber air
yang mengaliri sawah.
Lansekap Budaya Provinsi Bali meliputi aspek-aspek alam, budaya yang
adiluhung merupakan budaya dan tradisi masyarakat Bali yang dari sejak dulu
dikenal oleh masyarakat Internasional. Adapun lansekap Budaya Provinsi Bali
yang ditetapkan meliputi:
1. Situs Pura Ulun Danau Batur dan Danau Batur
2. Lansekap Subak Daerah Aliran Sungai Pakerisan
3. Pura Taman Ayun
4. Lansekap Subak Catur Angga Batukaru

Uraian singkat sebagai berikut:


1. Situs Pura Ulun Danau Batur dan Danau Batur
Situs Pura Ulun Danau Batur dan Danau Batur berada di lereng Gunung
Batur diatas danau kawah, Pura Ulun Danau Batur dianggap sangat
penting sebagai tempat memuja Dewa-Dewi terutama Dewi Danau dan
sungai yang memberi kemakmuran, kesejahteraan di wilayah itu. Situs ini
terletak di Kabupaten Bangli.
2. Lansekap Subak Daerah Aliran Sungai Pakerisan
Situs ini termasuk daratan dan sistem pengairan dua subak serta tiga Pura
Subak dengan beberapa peninggalan purbakala yang cukup penting dari
masa kerajaan dengan pertanian sawah. Situs ini berada di wilayah
Kecamatan Pakerisan Kabupaten Gianyar.
3. Pura Taman Ayun
Bahwa Pura Taman Ayun menggambarkan perkembangan sistem Subak
yang dapat dibuktikan dengan adanya pendirian berbagai bendungan dan
upacara-upacara terkait dengan Subak disepanjang aliran sungai, danau,
hingga ke laut. Situs ini berada di Kabupaten Badung.
4. Lansekap Subak Catur Angga Batukaru
Lansekap Subak Catur Angga Batukaru berada di Kabupaten Tabanan
hingga sampai ke wilayah hutan dan danau di Kabupaten Buleleng. Situs
ini mulai daerah tangkapan air turun hingga sawah terasering, dataran
tinggi dilereng sebelah atas sawah irigasi di Kabupaten Tabanan. Kawasan
ini merupakan kawasan terluas mencakup wilayah hutan, gunung berapi
tertinggi kedua di Bali yaitu Gunung Batukaru (2276 meter diatas
permukaan air laut) serta Danau Tamblingan di Kabupaten Buleleng
sebagai sumber air dengan sejumlah mata air dataran tinggi yang
mengaliri air pegunungan di Kabupaten Tabanan serta irigasi terasering.

Tabanan terkenal luas sebagai Lumbung Padi di Provinsi Bali, dimana


tanahnya yang sangat subur sangat mendukung produksi beras merah, beras putih
dan beras hitam. Secara bersama-sama subak di wilayah ini disebut dengan Subak
Catur Angga Batukaru yang terdiri dari 14 subak berada di 9 Desa Dinas dan 11
Desa Adat. Disamping itu, lansekap Catur Angga Batukaru dikelilingi dan
didukung oleh lima Pura sebagai berikut:
1. Pura Luhur Batukaru yang berstatus sebagai Sad Khayangan.
2. Pura Luhur Pucak Petali
3. Pura Luhur Besi Kalung
4. Pura Luhur Tamba Waras
5. Pura Luhur Muncak Sari
II. Subak Jatiluwih Sebagai Warisan Budaya Dunia
Subak Jatiluwih merupakan salah satu bagian dari kawasan Subak Catur
Angga Batukaru yang terdiri atas tujuh Tempek Subak yang meliputi:
1. Tempek Telabah Gede
2. Tempek Besi Kalung
3. Tempek Kedamaian
4. Tempek Umaduwi
5. Tempek Kesambi
6. Tempek Gunung Sari
7. Tempek Gunung Sari Uma Kayu
Secara geografis, Subak Jatiluwih termasuk subak lainnya berada pada
kaki Gunung Batukaru. Dari empat gugusan gunung yaitu Gunung Batukaru,
Gunung Sanghyang, Buit Puhun dan Gunung Lesung serta dengan memiliki tiga
buah danau yaitu Danau Tamblingan, Danau Buyan dan Danau Bratan yang telah
memberikan berkah kehidupan bagi penduduk sebagai sumber mata air. Di
kawasan Subak Jatiluwih dialiri oleh empat buah sungai yaitu Sungai Yeh Baas,
Sungai Yeh Ho, Sungai Yeh Pusut dan Munduk Abangan. Subak Jatiluwih
terletak pada dataran yang relatif landai dan subur merupakan karya alam dan
anugrah Tuhan yang luar biasa. Tanah sejak berabad-abad yang lalu diolah
menjadi sawah berundak (terasering) seolah-olah menyempurnakan keindahan
alam Jatiluwih. Itulah sebabnya kawasan Jatiluwih sudah dikenal sejak zaman
penjajahan Belanda tepatnya pada tahun 1930. Terbukti di beberapa titik di
Gunung Sari pernah dipakai sebagai tempat peristirahatan orang Belanda dan
terdapat kolam renang yang sekarang disebut dengan Bet Gedong. Akan tetapi,
Jatiluwih dikenal bukanlah semata akan keindahan alamnya, melainkan karena
sistem subaknya yang sangat nyata membangun keharmonisan dengan alam
lingkungannya. Filsafat membina hubungan yang baik antara manusia, alam dan
Sang Pencipta demi kebahagiaan hidup benar-benar dilaksanakan. Aspek inilah
yang menjadi kekuatan lain bagi Subak Jatiluwih sampai sekarang. Jadi bukan
semata-mata karena keindahan alamnya, tanpa ada subak dengan segala sistemnya
maka Jatiluwih akan menjadi kawasan pertanian yang biasa-biasa saja.
Setelah melalui proses yang panjang yaitu hampir 12 tahun untuk
memperoleh nominasi melalui Komite Warisan Budaya Dunia, akhirnya,
UNESCO menetapkan sistem Subak sebagai manifestasi filosofi Tri Hita Karana
sebagai salah satu situs Warisan Budaya Dunia (WBD) pada bulan Juni 2012.
Kawasannya sendiri disebut sebagai Lansekap Budaya Provinsi Bali yang
mencakup 17 subak, 13 desa, 3 danau, 10 Pura dan 1 situs candi yang berada di
lingkup Kabupaten Badung, Tabanan, Buleleng, Gianyar dan Bangli. Tentunya
Subak Jatiluwih berada didalamnya. Dengan luas wilayah subak yaitu 2.372 Ha,
luas perkebunan 3.545 Ha, luas hutan 9.316 Ha, luas pemukiman penduduk
sebesar 317 Ha dan luas subak abian atau tegalan 475 Ha maka subak Catur
Angga Batukaru merupakan wilayah subak terluas di Bali.
Perjuangan pemerintah sampai berhak mendapatkan pengakuan dan
penetapan UNESCO melalui jalan yang panjang. Hal tersebut disebabkan karena
ketatnya kriteria yang ditetapkan oleh UNESCO dimana tertuang sebagai berikut:
1. Harus menunjukkan betapa penting dari nilai-nilai manusianya dalam
rentang waktu tertentu, dalam satu cakupan budaya atau perkembangan
dalam arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan kota
dan desain lansekap.
2. Harus melahirkan sebuah testimoni yang unik atau setidak-tidaknya
mempunyai ciri yang khas terhadap tradisi budaya atau terhadap sebuah
peradaban yang masih ada ataupun yang telah mati.
3. Harus menunjukkan sebuah contoh yang baik sebagai sebuah hunian
manusia atau penggunaan lahan yang representatif dari sebuah budaya
khususnya ketika terkena dampak yang kurang baik dari perubahan dan
akan susah mengembalikannya ke kondisi awal.
4. Harus secara langsung dan jelas berhubungan dengan berbagai aktifitas
dan tradisi juga ide-ide dan kepercayaannya, kesenian dan atau karya
sastra yang mengagumkan dan mempunyai nilai signifikan yang unik dan
universal.
Dalam hubungan ini, ada tiga jenis situs warisan dunia yang berbeda menurut
UNESCO yaitu:
1. Monumen tak hidup (unloving monument).
2. Cagar alam.
3. Lansekap budaya yang secara khas mewakili gabungan karya alam dan
karya manusia.
Menyadari betapa ketatnya kriteria yang telah digariskan oleh UNESCO
berkaitan dengan warisan dunia, maka menjadi kebanggan bagi Subak kawasan
Jatiluwih khususnya, begitu pula Indonesia. Subak Jatiluwih sebagai Warisan
Budaya Dunia merupakan lansekap suci dimana situs ritual yang berlangsung
berasal dari tradisi upacara yang berusia berabad-abad. Selalu berusaha untuk
mengharmoniskan kehidupan manusia, lingkungan dan Tuhan. Aspek inilah yang
menjadikan lansekap Subak begitu berharga sebagai Warisan Budaya Dunia.
Keadaan alam kawasan Subak Jatiluwih adalah suatu anugrah Tuhan yang luar
biasa. Gugusan gunung, hutan lindung, danau, sungai dan sejumlah mata air telah
membuat kawasan Jatiluwih subur dan menawan. Sekitar 1000 tahun yang lalu,
kawasan ini yang digunakan sebagai lahan pertanian dikelola oleh manusia
dengan sangat arif sesuai dengan keadaan alam, tanah yang miring digarap secara
terasering (undag), air yang mereka alirkan untuk sawah juga dilakukan dengan
cara yang alami. Mereka membuat sawah tanpa harus merubah topografi tanah.
Petani di Bali sebagai anggota Subak sejak dulu dituntun sebagaimana mestinya
mengerjakan sawah, sebagaimana tersurat dalam lontar Dharma Pemaculan yang
isinya sangat rinci, memberikan petunjuk bagi petani dari tata cara pembagian air,
memberantas hama sampai menyusun upacara dengan berbagai sanksi
pelanggaran berupa petunjuk yang diberikan atau kesepakatan bersama yang
tertuang dalam “Awig-awig” atau “Perarem”. Semua itu sampai saat ini masih
relatif ditaati oleh anggota Subak di Bali, kendatipun harus diakui bahwa petunjuk
yang bersifat luhur ada yang dilanggar ataupun diabaikan pada zaman serba
modern ini.

III. Warisan Budaya Dunia Sebagai Peluang dan Tantangan


Dengan ditetapkannya Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia
yang merupakan bagian dari Catur Angga Batukaru ini sebagai peluang bagi
subak untuk menarik perhatian dunia. Setidak-tidaknya pengakuan dunia tersebut
akan dapat membangun kekuatan sebagai daya tarik bagi Nusantara dan dunia
untuk mengenal dari dekat sehingga mereka datang ke kawasan Jatiluwih. Dari
dimensi pariwisata, peluang ini akan ikut memberikan kontribusi secara sosial
ekonomi pada subak. Subak sebagai objek bagi masyarakat luar (lingkungan luar)
bisa saja terbuka untuk ikut membangun dan memelihara subak tersebut. Seperti
membuat saluran irigasi, bendungan ataupun sarana dan prasarana lainnya
sehingga akan dapat memperkuat keberadaan subak baik untuk peningkatan
ekonomi maupun organisasi. Karena betapapun subak memiliki banyak
keunggulan yang berangkat dari filosofis dan sosiologis, karena selama ini subak
banyak dibantu oleh lingkungan luar atau pemerintah maupun swasta terutama
yang bersifat teknis (seperti teknologi) irigasi, embung, bendungan, proyek mikro
hidro yang merupakan bantuan hibah dari Toyana Jepang yang berada diluar
kemampuan anggota subak.
Adapun beberapa peluang yang bisa diuraikan berkenaan dengan adanya
Warisan Budaya Dunia untuk Subak Jatiluwih karena masih banyak sarana dan
prasarana yang perlu diperbaiki dikawasan Subak Jatiluwih, diantaranya:
a. Warisan Budaya Dunia sebagai Tantangan
Harus disadari bahwa pengakuan UNESCO kepada Subak kawasan
Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia adalah suatu tanggungjawab besar
karena pengakuan dunia tersebut adalah sebuah kehormatan sekaligus beban yang
harus dipikul dan kita pelihara bersama. Mengemban tugas memelihara situs
hidup bukanlah pekerjaan mudah. Disana penuh dengan tantangan dengan
berbagai dinamika kehidupan bermasyarakat yang dipengaruhi oleh perubahan
lingkungan, yang seterusnya selalu diikuti oleh perubahan tuntutan kehidupan
manusia. Lebih-lebih pada masa keterbukaan atau globalisasi, perubahan
kehidupan manusia begitu cepat sebagai dampak kemajuan teknologi.
Di satu sisi, kita sadar bahwa subak sebagai organisasi tradisional di Bali
yang secara turun temurun mengedepankan nilai-nilai yang cukup mendasar dan
penting bagi keharmonisan hidup antara Sang Pencipta yaitu Tuhan Yang Maha
Esa, manusia dan lingkungan. Adapun beberapa nilai dasar yang dipegang teguh
oleh subak adalah rasa kebersamaan (gotong royong), nilai keadilan, kejujuran,
kebenaran, kedamaian, kemandirian, asah, asih, asuh dan cinta kasih.
Selebihnya pada era globalisasi justru muncul nilai-nilai kehidupan
masyarakat yang penuh dengan gejolak persaingan, penuh dengan nilai kehidupan
yang fragmatis, individual, materialis yang mengarah pada perilaku merusak alam
atau tidak ramah dengan lingkungan. Barangkali dalam paham ini, munculnya
tantangan yang harus dihadapi oleh anggota Subak dalam hubungannya
mengemban misi Warisan Budaya Dunia. Anggota subak adalah manusia biasa,
sebagai petani yang pada umumnya tingkat kehidupan ekonominya marginal.
Maka mereka terhimpit dengan tuntutan hidup dan tuntutan untuk
mempertahankan nilai-nilai dasar yang ditanamkan secara turun temurun oleh
leluhurnya. Yang menjadi pertanyaan, mampukan petani anggota subak
melestarikan nilai dasar tersebut? Jawabannya sungguh ada di telapak tangan kita
semua! Untuk mempertahankan keberlanjutan Warisan Budaya Dunia dimaksud
adalah perlunya kesadaran pemahaman dan komitmen yang kuat dari semua
pihak.

b. Pelestarian Subak vs Pengembangan Pariwisata


Kalau saja semua pihak memiliki mindset (kerangka berpikir) sesuai
dengan skema Warisan Budaya Dunia dan UNESCO, maka pastilah tidak ada
pemikiran yang bisa menyebabkan kesalahan arah pelestarian subak.
Persoalannya adalah ketika Subak Jatiluwih dengan Catur Angga Batukaru
ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia, banyak pihak memiliki persepsi
bahwa penetapan sebagai Warisan Budaya Dunia tersebut adalah sama dengan
“brand Pariwisata”. Sebagai pengakuan dunia terhadap Jatiluwih sebagai Daerah
Tujuan Wisata (DTW), apakah pemikiran itu semata-mata karena kurangnya
referensi informasi yang mereka terima atau karena ada kepentingan tertentu.
Perkembangan dilapangan seolah-olah membenarkan persepsi tersebut, karena
semenjak ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia, kedatangan wisatawan ke
Jatiluwih meningkat pesat kurang lebih 165.144 orang di tahun 2014, 164.358
orang di tahun 2015 dan 213.509 orang di tahun 2016. Wisatawan yang datang
berasal dari kalangan akademisi, ahli pertanian dan lain-lain. Para produsen film
dari berbagai TV Nasional maupun Asing juga datang ke Jatiluwih. Singkatnya
subak benar-benar mendunia.
Hasilnya berupa uang dan retribusi maupun dari kegiatan lainnya telah
meningkat tajam. Jatiluwih bagaikan kue yang sangat enak, sehingga banyak
pihak ingin menikmatinya. Dari kenyataan ini, lalu konsekuensinya muncul
hambatan berupa tempat parkir, hotel, restaurant dan sarana pariwisata lainnya
termasuk pengembangan objek pariwisata. Dari keadaan ini, mulai muncul
pikiran-pikiran dari orang yang memiliki kepentingan untuk bermain-main
dengan Awig-awig atau “Perarem” subak dengan segala cara. Diam-diam mulai
terjadi konflik kepentingan antara pelestarian subak dengan pengembangan
pariwisata. Di satu sisi, subak harus tetap berpegang pada skema Warisan Budaya
Dunia sebagaimana yang dengan tegas dan ketat digariskan oleh UNESCO bahwa
subak yang berada dalam cakupan kawasan Warisan Budaya Dunia “HARUS
DILESTARIKAN”. Subak dengan sistemnya harus diabadikan, dipelihara
sebagaimana adanya alias tidak boleh diotak-atik. Beberapa sumber makalah
mengatakan bahwa “kalau Warisan Budaya Dunia tidak mau dikelola
sebagaimana digariskan oleh UNESCO maka bukan mustahil penetapan Warisan
Budaya Dunia oleh UNESCO bisa dicabut”. Bisa kita bayangkan apa artinya
pernyataan tersebut.

c. Pelestarian Subak vs Penghasilan Petani


Dalam hubungan lingkungan hidup dalam arti yang sebenarnya maka
usaha dari berbagai pihak untuk bersama-sama ikut menjaga keberadaan subak
menjadi sangat penting. Penting untuk menjaga kualitas hidup manusia itu sendiri,
sejahtera, makmur, damai dan harmonis. Singkatnya agar kehidupan manusia
ideal dengan Sang Pencipta dan alamnya. Sebagaimana yang telah diuraikan
diatas bahwa kewajiban untuk melestarikan subak adalah sebuah tantangan,
terutama kalau kita berangkat dari nilai filosofis yang menjadi Roh-nya sistem
subak itu sendiri. Singkatnya konsep-konsep pelestarian subak itu adalah usaha
untuk menjaga agar subak dengan sistemnya tetap ada sepanjang jaman.
Sawah tetap terjaga, air tetap tersedia, pola tanam tetap ajeg, sistem
visualnya tetap berjalan, sarana dan prasarana kerja petani anggota subak tetap
dipertahankan pemakaiannya. Kalau selama ini petani membajak sawahnya
memakai sapi atau kerbau, dengan alat bajak yang tradisional tetapi situasi
sekarang ini sudah mulai tergeser dengan adanya traktor. Penyebabnya karena
adanya berbagai tuntutan kebutuhan hidup yang meningkat, jumlah penduduk
bertambah, dan lain sebagainya. Kalau dulu menanam padi lebih banyak
dilakukan dengan gotong royong, tetapi sekarang hampir semua petani anggota
subak menanam padinya dengan sistem “Pajegan” atau menyewa tenaga. Semua
itu terjadi karena memang berubahnya keadaan jaman.
Saat ini petani berusaha sesingkat mungkin menghemat waktu yang
digunakan untuk mengerjakan sawahnya, dengan harapan mereka dapat mencari
atau melakukan pekerjaan lain untuk memperoleh uang. Perkembangan teknologi
ternyata sangat mendukung kondisi ini seperti mulai dipergunakannya traktor,
mesin pemotong rumput, dan lain sebagainya. Dari segi efektifitas dan efisiensi
waktu, mempergunakan teknologi modern ini sangat membantu petani. Tetapi
disisi lain petani tidak bisa meninggalkan alat-alat pertanian tradisional yang
dalam jaman kekinian justru menjadi daya tarik tersendiri. Dengan perhitungan
para petani sekarang adalah jika mengolah lahan tetap menggunakan alat-alat
pertanian tradisional dalam konsep pelestarian subak, maka petani tidak akan
dapat menghidupi keluarganya. Catatan dari berbagai sumber menyatakan bahwa
luas sawah yang digarap oleh petani di Subak kawasan Jatiluwih adalah rata-rata
30 are/KK dengan hasil panen rata-rata 5,5 – 6 ton per hektar, dengan harga padi
saat ini Rp 1.400.000,- per kwintal.
Berangkat dari perhitungan sederhana terhadap penghasilan petani, tiap
musim panen maka petani tidak mungkin bisa menghidupi keluarganya dengan
penghasilan seperti ini. Jalan keluarnya adalah petani berusaha mencari lapangan
pekerjaan lainnya yang menjamin hasil yang lebih baik. Dalam hal ini, tidak
jarang pekerjaan pertanian khususnya di sawah dijadikan pekerjaan sampingan.
Akibat lain lagi adalah pekerjaan di sawah tidak menarik generasi muda.
Ketika kita berbicara tentang usaha-usaha pelestarian subak, maka salah
satu mata rantai masalahnya disini. Dimensi permasalahan yang lain lalu muncul
seperti petani terdorong untuk alih profesi secara total dengan didahului menjual
sawah-sawah mereka. Pemerintah selama ini terlambat mengambil langkah-
langkah yang konkret untuk mengatasi masalah ini. Hal ini menyebabkan usaha-
usaha pelestarian subak hanya sebatas wacana yang ramai di media. Kenyataan
dilapangan kehidupan dan pelestarian subak sudah sangat mengkhawatirkan.
Kalau pemerintah dan lembaga Perbankan sungguh ada niat untuk melestarikan
subak maka sudah waktunya memberikan subsidi kepada petani, membangun
sarana dan prasarana pertanian termasuk proteksi harga pasca panen,
pendampingan, pelatihan terhadap para petani dalam rangka pemberdayaan para
petani. Termasuk juga didalamnya kredit usaha tani dengan bunga terjangkau
(murah) serta syarat-syarat lunak tanpa meninggalkan prinsip-prinsip Perbankan.
Sehingga pekerjaan petani menjadi suatu pekerjaan yang menarik, hanya dengan
jalan seperti itu subak kawasan Jatiluwih yang masuk Warisan Budaya Dunia bisa
dilestarikan
.
IV. Setelah Lima (5) Tahun menjadi Warisan Budaya Dunia
Tidak terasa sudah lima (5) tahun berjalan yaitu Juni 2012, Subak
Jatiluwih ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia. Hal ini tentu menjadi
kebanggaan bagi bangsa Indonesia dan masyarakat Bali. Bagi masyarakat yang
mengikuti dan memahami apa makna dari pengakuan dunia terhadap kearifan
lokal seperti subak di Bali tentu berbagai harapan-harapan yang terjadi. Dalam
angan-angan dari perbaikan infrastruktur sampai pada betapa subak kawasan
Jatiluwih barangkali akan dimanjakan dengan berbagai fasilitas dan perlakuan.
Setelah setahun berjalan, yaitu tahun 2013 kita ingin melihat program apa yang
akan diarahkan khususnya untuk subak kawasan Jatiluwih yang Nampak hanya
peneliti di bidang pertanian dan perbaikan saluran irigasi serta sebagaian pupuk
bersubsidi sebagai apresiasi terhadap Warisan Budaya Dunia. Berkat peranan
media, Subak Jatiluwih benar-benar mendunia, di berbagai media khususnya
televisi muncul berbagai gambar yang memuji dan mengagumi keindahan alam
Jatiluwih dengan sistem subaknya. Sementara itu kehidupan dan aktifitas petani
sebagai anggota subak berjalan seperti biasa. Karena kebanyakan dari mereka
tidak tahu makna dari Warisan Budaya Dunia bagi kehidupan subak, tidak ada
sama sekali sesuatu yang istimewa yang berkaitan dengan Warisan Budaya Dunia.
Menjelang tahun ketiga yaitu tahun 2015 keadaan sedikit berubah, dari
pihak UNESCO bekerjasama dengan kementerian terkait meluncurkan program
Pariwisata Berkelanjutan sebagai tindak lanjut petunjuk yang ditetapkan oleh
UNESCO. Dalam program Pariwisata Berkelanjutan dimaksud akan mungkin bisa
diterapkan seperti tracking, home stay, camping site, wisata religi, kegiatan
mengolah sawah dan lain-lain. Namun secara terstruktur, kiranya perlu dibentuk
otoritas pengelola Warisan Budaya Dunia melalui kelompok kerja sehingga dapat
menindaklanjuti program aksi yang mengarah pada usaha-usaha pelestarian subak
dengan budayanya, pelestarian ekosistem dan lingkungan, pengunjung wisatawan
dan pendidikan, pengembangan pertanian yang terintegerasi, pembangunan sosial
dan infrastruktur, pengaturan dan pengelolaan. Sehingga prioritas strategis
sedapat mungkin dilaksanakan, prioritas strategis yang dimaksud adalah:
1. Perlindungan dan peningkatan penghidupan.
2. Pelestarian dan promosi jasa ekosistem.
3. Pelestarian budaya dan pengembangan pariwisata terarah.
4. Pembangunan infrastruktur dan fasilitas.
Disamping prioritas program Pariwisata Berkelanjutan, melalui kerjasama
antara pemerintah Kabupaten Tabanan beserta Subak Jatiluwih dengan Toyama
Jepang dalam rangka meningkatkan mutu petani dengan bantuan hibah proyek
mikrohidro yang saat in, pengerjaannya sedang berlangsung.

V. Kesimpulan
Berdasarkan paparan diatas dan sesuai dengan keadaan dilapangan, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Terhadap pengakuan dan penetapan UNESCO pada Subak Jatiluwih
sebagai kawasan inti dari Catur Angga Batukaru ternyata ada sikap yang
salah persepsi dan belum adanya komitmen yang sama.
2. Pengakuan UNESCO terhadap Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya
Dunia dipahami sebagai bentuk pengakuan dan penetapan Daerah Tujuan
Wisata.
3. Petani dan anggota subak sebagian besar belum memahami makna dari
Warisan Budaya Dunia.
4. Setelah berjalan lima tahun, subak di kawasan Jatiluwih secara signifikan
baru tersentuh program aksi Warisan Budaya Dunia seperti Pariwisata
Berkelanjutan dan bantuan hibah mikro hidro Toyama Jepang.
5. Subak kawasan Catur Angga Batukaru termasuk Jatiluwih didalamnya
perlu mendapatkan sentuhan dari lembaga perbankan dalam
mengembangkan sarana Pariwisata Berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai