Anda di halaman 1dari 7

Tutorial Pertanian Berlanjut Aspek Tanah

“Ringkasan Video Subak Bali”

Disusun oleh:
Novia Iga Mawarni NIM. 195040200111182
Kelas D
Program Studi Agroekoteknologi
Asisten Praktikum : Tommy Adjie Rahardiputra

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2021
“SUBAK BALI ”
https://www.youtube.com/watch?v=-mILFEr0E-c
Desa Jatiluwih di Tabanan, Bali memiliki keindahan sawah berundak
dengan sistem irigasi yaitu system “subak”. Subak atau sistem irigasi pertanian
di Bali sudah diterapkan sejak abad 11 dimana sistem ini menjamin pembagian
air secara adil dan merata dengan sistem terasering karena lokasi sungai yang
jauh dari lokasi persawahan. Kondisi ini membuat petani di Bali bergabung
dalam organisasi bernama Subak. Sebagai organisasi yang otonom dipimpin
oleh ketua Subak yang membahas permasalahan kekeringan hingga hama
penyakit yang menyerang, dan. aturan mengatur jadwal tanam

Menurut Bapak Wayan Wiryana sebagai Pekaseh Subak, Tabanan


mengatakan bahwa ada beberapa tugas dari pekaseh subak seperti
merangkum inspirasi yang ada di subak, mengatur jadwal penanaman, dan
pengairan. Subak juga perwujudan harmonisasi masyarakat agraris yang
religius, karena setiap kegiatan pertanian diawali dengan kegiatan ritual di Pure
Sawah yang biasa disebut pure ulun carik/bedugul sebagai persembahan untuk
Dewi Sri. Banyak penelitian terkait Subak, termasuk Guru Besar Universitas
Udayana, Wayan Windia yang menilai religius masyarakat dan konsep yang
digunakan seperti mengamalkan konsep Tri Hita Kirana (THK) yang diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari sebagai wujud harmonisasi antara manusia
dengan sang pencipta dan alam lingkungannya.

Pada 20 Juni 2012, UNESCO menetapkan subak sebagai salah satu


warisan dunia karena perannya sebagai kawasan pelindung hijau dan
ketahanan pangan. Menurut Dr. Alit Artha Wiguna, selaku Ketua Harian Dewan
Pengelola Warisan Budaya Dunia di Bali, menyampaikan dengan
berkembangnya destinasi wisata subak menjadikan subak bukan hanya sistem
irigasi, namun juga kebutuhan banyak pihak meliputi wisata, domestik, subak
sendiri, dan peternakan. Sehingga terjadi kompetisi yang mengakibatkan
masalah besar dalam pengelolaan sumber daya air di Bali.

Dari sumber di lereng bukit Tirta Empul, air turun menuju sungai
Parkisan. Sistem irigasi Subak hingga saat ini tidak berubah fungsinya, air
yang menuju hulu dimasukkan ke dalam bendungan Empelan yang kemudian
dialirkan ke saluran irigasi induk dan kolam pembagi tersier untuk diarahkan ke
petak-petak sawah. Dengan adanya organisasi tersebut maka dapat
mengurangi konflik dan juga memunculkan kebersamaan. Di Kawasan Catur
Angga Batu Karu, ada 10 organisasi subak yang ada. Bila organisasi subak ini
digabung dengan organisasi subak di sungai Pakrisan, Gianyar maka luas areal
persawahan mencapai 1000 ha.
Namun dengan banyaknya permasalahan seperti meningkatnya nilai
ekonomis sebagai kota pariwisata dan pendapatan petani yang tidak setara
dengan biaya operasional yang ada maka kelestarian Subak mulai terancam.
Secara perlahan areal pertanian saat ini mulai berkurang hingga Denpasar
sudah kehilangan 9 subak dengan masing-masing subak mengelola sawah di
luas lahan 50 ha. Total dalam 5 tahun terakhir, pulau Bali sudah kehilangan
1000 ha sawah, kini hanya tersisa 84118 ha sawah yang tersebar di 2345
subak.
Menurut Pak Wayan Wiryana yang menjadi kendala yaitu kendala panen
dimana banyak jenis penyakit yang menyerang tanaman. ditambahkan pula
pernyataan dari Bapak Wayan Windia bahwa tiap tahun 1000 ha sawah hilang
yang menunjukan bahwa sudah banyak petani yang tidak suka bertani. Disisi
lain menurut Bapak Alit mengatakan juga bahwa dengan banyaknya
kepentingan pihak luar terkait penggunaan air, sehingga secara tidak langsung
pemerintah kurang memperhatikan kawasan-kawasan konservasi yang
seharusnya dijaga. Sehingga untuk mengatasi banyaknya alih lahan
persawahan, pada tahun 2006, pemerintah Kota Denpasar memberikan subsidi
terkait pajak PBB kepada masyarakat di sekitar jalar hijau untuk
mempertahankan lahan untuk pertanian.
Bupati Gianyar, Ir Tjokorda Oka Artha Sukawati, Msi menyampaikan alih
fungsi lahan yang terjadi di Bali tidak bisa dihindari lagi, khususnya daerah
Bandung, Denpasar, dan Gianyar karena terjadi lonjatan dari agraris ke industri
jasa yang memberikan prospek lebih tinggi. oleh karena itu, beberapa hal yang
ditempuh seperti membuat peraturan bupati yang berisi pengendalian
pembangunan dimana golden coferage tidak boleh lebih dari 40 %, dimana
harus 60% merupakan daerah bukaan hijau meskipun bukan berbentuk sawah,
lalu Bali tidak akan dijual murah ke pariwisata. Ditambahkan dari pernyataan
A.A. Bagus Ari Brahmanta, S.E sebagai Kepala Dinas Pariwisata Gianyar
menyampaikan bahwa diberikan juga pengelolaan dan dana distribusi kepada
subak terutama petani, disamping petani mengelola sawahnya. Petani juga
mendapatkan insentif dari setiap upacara yang diadakan setiap 6 bulan sekali.
Realisasi dari perlindungan nyata yang dikerahkan pemerintah Bali kepada
subak dilakukan pada tahun 2013 dengan membuat proyek rintisan dimana
akan diresmikan kawasan subak abadi tanpa adanya kepentingan lain.
“KEAJAIBAN SUBAK BALI - MENCARI INDONESIA”
https://www.youtube.com/watch?v=mHDKb0UgH0Q
Sawah berundak yang berada di Desa Jatiluwih, Tabanan, Bali sudah
menjadi warisan budaya dunia dari UNESCO sejak tahun 2012. Di Desa
Tegalalang, Gianyar hamparan sawah menjadi cagar alam budaya Bali yang
tidak boleh berubah fungsi. Predikat warisan budaya Subak ini dikarenakan
sawah di Bali menggunakan sistem pengairan tradisional yang berlandaskan
prinsip keadilan dimana lahan dibagi rata oleh pemuka adat di Bali yaang
disebut Pekaseh. Sistem subak sudah ada sejak tahun 1072 hingga sekarang
yang tetap dipegang teguh oleh petani di Bali terutama ritual-ritual yang
berkaitan dengan subak. Konsep yang turun termurun diterapkan yaitu konsep
Tri Hatma Karana (THK) yang mengimplentasikan hubungan manusia dengan
manusia, alam, dan Tuhannya. Namun lahan Subak terus menyusut seiring
dibangunnya hotel dan villa di Kawasan Ubud dan Gianyar.
Penyusutan lahan sawah ini terus terjadi hingga 2014 tersisa 80.000
ha sawah saja. Sawah di lokasi wisata bernilai jual tinggi dengan pajak yang
mahal tentunya menjadi kendala dalam sistem pengairan dengan adanya
produksi rendah dan kekurangan air akibat pembangunan hotel dan villa
Selain itu, tingginya biaya produksi pertanian, pendapatan petani menurun,
dan mencari pupuk yang sulit menjadi permasalahan yang harus dihadapi
petani di Bali saat ini. Sehingga Akibat dari permasalahan tersebut para
komonitas sobat budaya mendata terkait subak mulai dari nilai budaya, dan
fakta lahan subak yang tersisa. Berharap upaya tersebut dapat menciptakan
budaya subak ini diperhatikan oleh pemerintah.
“AMBANG KEHANCURAN SUBAK”
https://www.youtube.com/watch?v=roZ1WRYx9jo
Pada kelompok subak bali selatan merasakan akibat dari
meningkatnya pembangunan pariwisata. Meningkatnya jumlah wisata pada
pulau Dewata Bali menyebabkan dampak pada lingkungan seperti
bertambahnya sampah pada pinggiran pantai. Meningkatnya para wisatawan
juga diikuti dengan meningkatnya kebutuhan air, dan mengancam
ketersediaan air bersih. Hal tersebut membuat banyaknya lahan sawah kering
akibat sumber irigasi atau subak yang biasanya selalu mengairi sawah mulai
tertahan karena tutupan sampah. Alih fungsi lahan, dan maraknya jual beli air
mengancam kelestarian subak di bali. Semakin langkanya air dapat membuat
hilangnya subak dan kebudayaan bali akan tumbang. Permasalahan tersebut
juga Karena pemerintah lambat dalam merumuskan system zonasi yang
memetakan sistem persawahan dan wisata membuat meningkatnya alih
fungsi lahan. Hal tersebut membuat predikat warisan budaya dunia pada
subak harus terus dijaga kelestariannya.
Meningkatnya pariwisata membawa dampak terhadap perubahan
lingkungan dengan adanya sampah yang menumpuk dan lonjakan hunian
wisatawan diikuti lonjakan kebutuhan air yang mengancam ketersediaan air
bersih. Sawah yang digarap oleh Bapak Made Sana seluas 500 m2 mulai
kering akibat sumber irigasi yang digunakan tersendat oleh tumpukan
sampah. Sistem perairan yang dikenal dengan Subak tidak mampu
membangkitkan sawah yang kini kering. Kini kelompok Subak di Bali mulai
merasakan adanya kerugian diantara pembangunan pariwisata yang semakin
meningkat. Selama 15 tahun terakhir terjadi konversi lahan sawah seluas
6000 ha beralih menjadi berbagai bentuk lahan. Rata-rata terjadi penurunan
lahan sawah seluas 500 ha/tahun. Dimana subak yang tersisa harus
berkompetisi dengan adanya villa. Berdasarkan informasi yang didapat untuk
mendapatkan air bersih, maka pipa penyedot air dimasukkan kedalam tanah
sedalam 70 meter. Sedangkan berdasarkan peraturan daerah Bali yang
sudah mengatur terkait perizinan pengambilan air tanah namun masih banyak
yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Selain pembangunan villa,
banyaknya jual beli air bersih dengan harga 15.000/tandon menjadikan
perebutan air bersih. Karena sanksi yang ringan menyebabkan semakin
banyaknya penjualan air bersih. Jika terus berlanjut, maka sawah dan air yang
digunakan untuk subak akan semakin hilang beriringan dengan hilangnya
kebudayaan Bali.

Anda mungkin juga menyukai