Anda di halaman 1dari 4

Nama : Dian Novitasari

Kelas : Agroekoteknologi - B

Mata Kuliah : Pertanian Berlanjut

TUGAS 3

Resume Video Subak Dengan Literatur

1. Subak Bali (Budaya Saya)


Desa Jatiluwih, Tabanan, Bali dengan sawah berundak dengan irigasinya yang
terus mengalir yang berada di lembah dan perbukitan gunung Batukarung. Subak
adalah sebuah organisasi yang dimiliki masyarakat petani di Bali yang khusus
mengatur manajemen sistem pengairan/irigasi sawah secara tradisional (Sanjaya et
al., 2019). Subak (organisasi yang mengurus sistem irigasi secara tradisional yang ada
di Bali) sudah diterapkan sejak abad 11, yang menjamin keadilan dalam pembagian
air irigasi. Sistem ini cocok diterapkan di Bali karena sistem tanah sawahnya yang
berundak serta lokasi yang curam dan cukup jauh dari area persawahan. Rata-rata
masyarakat bali banyak yang menerapkan sistem subak, subak sendiri memiliki
pemimpin yaitu “pekaseh” atau ketua subak. Pada wilayah Jatiluwih, Tabanan untuk
ketua subak sendiri dipimpin oleh Wayan Wiryana pada “Subak Yeh Benana”.
Pengurus subak “pekaseh” mempunyai tanggung jawab yang besar, diantaranya yaitu;
merangkum semua inspirasi yang ada di subak sendiri, mengatur dari jadwal
penanaman, serta mengatur jadwal pengairan. Pada setiap kegiatan pertanian
masyarakat juga selalu diawali dengan ritual khusus kepada Dewi Sri dewi
kemakmuran dan kesuburan di Pura Ulun Carik (Bedugul). Kegiatan ini memiliki
konsep yang berfilososfi kan “Tri Hita Karana” dimana hubungan tuhan dengan
manusia, hubungan antar manusia, dan hubungan manusia dengan alam. Subak
sendiri dijadikan warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 20 Juni 2012. Hal ini
sejalan dengan penelitian dari Sriartha dan Giyarsih (2015), yaitu model zonasi
spasial tipe keberlanjutan subak yang didasarkan pada analisis dimensi internal dan
eksternal pada 69 subak di tiga kecamatan di Kabupaten Badung. Dimensi internal
diukur dengan indeks kemampuan subak menerapkan filosofi Tri Hita Karana (THK).
Dimensi eksternal diukur dengan indeks 4 variabel, yaitu: kerapatan jalan, kepadatan
penduduk, fasilitas sosial ekonomi, dan jumlah keluarga nonpertanian.
Nah air sendiri merupakan sektor yang sangat menentukan sistem subak, maka
permasalahannnya sekarang dimana air merupakan kebutuhan beberapa sektor juga
(pariwisata, domestik, dan juga subak akan tetapi sub sektor pada peternakan juga
yang mulai berkembang). Sistem irigasi subak tidak pernah adanya perubahan, air
yang menuju hulu dimasukkkan ke bendungan empelan sebelum ke lahan petak
sawah, air harus melalui irigasi induk dan kolam pembagi tersier. Dalam sistem subak
petani terikat dalam sebuah wadah dan memungkinkan terjadi proses transformasi
nilai budaya, ekonomi dan teknologi. Keterkaitan memunculkan kebersamaan dan
menghindari konflik, bahkan terjadi saling pinjam air antar bendungan. Dan ada pula
yang memberlakukan sistem pelampias yaitu memberikan tambahan air bagi sawah
yang ada di hilir.

2. Keajaiban Subak Bali – Mencari Indonesia (RCTI Seputar iNews)


Di Desa Tegalarang Kabupaten Gianyar juga merupakan cagar budaya Bali
yang tidak diperbolehkan berubah fungsinya. Karena subak ini merupakan pengairan
tradisional yang berlandaskan keadilan, semua lahan dibagi rata oleh pemuka adat
yang disebut pekaseh. Sistem subak sudah ada sejak abad ke 11 atau sekitar tahun
1972, semua upacara adat yang berkaitan dengan subak masih dilakukan sampai saat
ini. Kegiatan ini memiliki konsep yang berfilososfi kan “Tri Hita Karana” dimana
hubungan tuhan dengan manusia, hubungan antar manusia, dan hubungan manusia
dengan alam. Sistem subak lama-kelamaan menyusut karena tanah digunakan untuk
pembangunan villa dan hotel seperti dikawasan Ubud dan Gianyar. Penyusutan sawah
sangat signifikan, mulai dari tahun 2010-2014 sisa sawah di Bali hanya 80.000 hektar
saja. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Lestari et al., (2021), berkembangnya
sektor pariwisata di Kabupaten Gianyar ini menyebabkan alih fungsi lahan di
kabupaten ini meningkat drastis. Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten
Gianyar luas lahan pertanian (sawah) mengalami penurunan dari tahun 2016-
2018. Pembangunan sektor wisata mengakibatkan pengairan menjadi terganggu,
sehingga membuat semakin tinggi biaya untuk pertanian. Hal ini sejalan dengan
pendapat dari Armini, (2013), tentang kondisi demikian terjadi di wilayah perkotaan
dan daerah-daerah yang menjadi kawasan pembangunan dan pengembangan fasilitas
pariwisata. Hal ini menyebabkan semakin menyempitnya wilayah subak, bahkan tidak
sedikit organisasi subak yang mati.

3. Ambang Kehancuran Subak (Wayang Berita)


Pesatnya perkembangan pariwisata di Bali menyebabkan banyaknya
penecemaran lingkungan khususnya pencemaran air yang disebabkan sampah-sampah
menumpuk dari lonjakan villa-villa para wisatawan, sehingga juga mengganggu
sistem pengairan yang ada di persawahan yang menyebabkan banyak sawah kering.
Sistem subak sendiri kini tidak mampu membangkitkan persawahan yang kering. Dari
data yang disebutkan selama periode 2005-2009 terjadi konversi lahan ke berbagai
bentuk lahan, bila dirata-rata terjadi penurunan lahan sawah seluas hampir 500
hektar/tahun. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan dari penelitian Eryani, (2020),
pada tahun 2013, Bali memiliki lahan sawah sekitar 81.165 ha dari total luas
penggunaan lahan, sedangkan pada 2017luas lahan sawah yang dimiliki Bali
hanya seluas 78.626 ha. Hasil tersebut menunjukkan terjadinya alih fungsi lahan
sawah di Bali pada tahun 2013 sampai tahun 2017 seluas 70,52ha. Yang terjadi
sekarang adalah banyak subak yang berebut air dengan villa-villa yang menawarkan
banyak fasilitas lengkap. Serta banyak villa-villa yang menyalahgunakan air yang
seharusnya bisa digunakan untuk sektor yang lain, tetapi seperti ingin digunakan
sendiri dengan pembangunan sumur air yang di bor sedalam 70 meter untuk
memfasilitasi para wisatawan yang ingin reservasi. Padahal pemerintah juga sudah
mengatur Undang-Undang pengambilan air tanah. Acaman kekurangan air juga
diakibatkan oleh pengambilan air dari sumber air yang diperjual belikan untuk
dikirimkan ke hotel, restoran, bahkan villa seluruh Bali. Padahal lagi-lagi Undang-
Undang juga sudah mengatur ancaman hukuman untuk pengambilan air secara ilegal
ini, namun lagi-lagi karena hukuman yang kecil semakin membuat orang tidak
menggubriskan lagi. Padahal subak sendiri adalah warisan dunia yang sudah
ditetapkan UNESCO, sehingga harus bisa dilestarikan dengan sistem zonasi yang
memetakan persawahan dan wisata. Permasalahan yang paling berpengaruh
terhadap subak akibat adanya pariwisata adalah pada aspek lingkungan. Salah
satu Subak yang mengalami masalah lingkungan adalah Subak Teges. Saluran
irigasi Subak Teges tersumbat akibat banyaknya sampah yang tersangkut pada
bendungan. Pembuatan akses jalan sering kali melewati saluranirigasi sehingga
sering menghambat aliran air saluran irigasi. Terganggunya saluran irigasi
akibat sampah plastik mengakibatkan permasalahan bagi Subak yang
diakibatkan oleh pihak pariwisata.Masalah yang dirasakan Subak Teges yaitu
pada limbah pariwisataberupa limbah cuci piring. yang. Pihak pariwisata membuang
bekas cuci piring ke saluran irigasi yang mengakibatkan air irigasi subak
berminyak dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Masalah lainnya yang
mengganggu selain limbah cuci piring yaitu material pembangunan. Material
pembangunan berserakan sehingga para petani terganggu. Limbah tersebut akan
berpengaruh terhadap kegiatan para petani di sawah dan hasil dari padi yang ditanam
oleh para petani (Eryani, 2020).
DAFTAR PUSTAKA

Armini, G. A. (2013). Toleransi masyarakat multi etnis dan multiagama dalam organisasi
subak di bali. Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research, 5(1), 38-52.

Eryani, I. G. A. P. (2020). Pengelolaan Air Subak Untuk Konservasi Air Dan


Lahan. Jayapangus Press Books, i-100.

Lestari, N. P. D. N., & Ginting, A. H. (2021). Upaya Penanggulangan Alih Fungsi Lahan
Pertanian Dengan Pemberdayaan Krama Subak. Jurnal Pemerintahan Dan Keamanan
Publik (JP Dan KP), 1-12.

Sanjaya, O. I., Giriantari, I. A. D., & Kumara, I. S. (2019). Perancangan Sistem Pompa Irigasi
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Untuk Pertanian Subak Semaagung. Jurnal
SPEKTRUM Vol, 6(3).

Sriartha, I. P., & Giyarsih, S. R. (2015). Spatial zonation model of local irrigation system
sustainability (a case of Subak system in Bali). The Indonesian Journal of
Geography, 47(2), 142.

Anda mungkin juga menyukai