Anda di halaman 1dari 12

PERANAN TINGGALAN ARKEOLOGI DALAM KONSERVASI

TRADISIONAL SUMBER AIR


The Role of Archaeological Remains in Water Sources Traditional Conservation

Ni Putu Eka Juliawati


Balai Arkeologi Bali
Jl. Raya Sesetan No. 80 Denpasar, 80223
Email: putu.eka@kemdikbud.go.id

Naskah diterima: 13-04-2017; direvisi: 18-10-2017; disetujui: 25-10-2017

Abstract
Archaeological remains can be found everywhere. The archaeological remains in Pelaga and
Belok Sidan Village, Badung Regency, Bali found in several temples and near water sources.
The villagers utilize the water directly from the sources for their daily needs. Therefore, their
existences become so important that they need to be conserved. This article aims to know how
archaeoloical remains have a role in traditional water sources conservation. Data were collected
through observation, interviews and literature study. Then they were analyzed qualitatively. The
result was arranged descriptively in a text. The result shows that the variation of the archaeological
remains are lingga, lingga/yoni, figurine, stambha, and building components. The archaeological
remains have an important role in water sources conservation. They are one of the element of
community’s religious system from the past until today, which give positive effects to the water
sources conservation.
Keywords: Traditional conservation, archaeological remains, Pelaga, Belok Sidan, water sources.

Abstrak
Tinggalan arkeologi bisa ditemukan dimana saja. Tinggalan arkeologi di Desa Pelaga dan Desa
Belok Sidan, Kabupaten Badung, Bali ditemukan di beberapa pura dan di sekitar sumber air.
Masyarakat memanfaatkan air langsung dari sumbernya untuk kebutuhan sehari-hari sehingga
keberadaannya menjadi sangat penting dan perlu dikonservasi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana tinggalan arkeologi berperan dalam konservasi tradisional sumber air.
Setelah data dikumpulkan melalui metode observasi, wawancara dan studi pustaka, kemudian
dilakukan analisis secara kualitatif. Hasil analisis dirangkai dalam bentuk teks deskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan variasi tinggalan arkeologi yaitu berupa lingga, lingga/yoni, arca,
stambha dan komponen bangunan. Tinggalan arkeologi memiliki peran penting dalam konservasi
sumber air. Tinggalan arkeologi merupakan salah satu komponen dalam religi masyarakat dari
masa lalu hingga saat ini yang memberi dampak positif terhadap konservasi sumber air.
Kata kunci: konservasi tradisional, tinggalan arkeologi, Pelaga, Belok Sidan, sumber air

PENDAHULUAN kerusakan permanen pada hewan dan manusia.


Masalah lingkungan mulai menjadi Di sisi lain, salah satu masalah yang dihadapi
perhatian di tahun 1960-an ketika negara-negara negara berkembang, yaitu susahnya akses
di Eropa dan Amerika Serikat mulai merasakan terhadap air bersih. Sebagai tindak lanjut
efek industrialisasi, seperti pencemaran sungai dari permasalahan tersebut, PBB menggelar
yang dipicu limbah bahan bakar, hutan mati, konferensi internasional tentang lingkungan
dan zat kimia berbahaya yang menyebabkan hidup yang diadakan di Stockholm, Swedia

Peranan Tinggalan Arkeologi dalam Konservasi Tradisional Sumber Air 77


Ni Putu Eka Juliawati
pada tahun 1972. Konferensi tersebut bertujuan tradisi yang dilakukan masyarakat di mana
untuk melayani sebagai cara praktis untuk tradisi merupakan tinggalan yang bersifat
mendorong dan memberikan pedoman tindakan intangible atau tidak berupa benda. Dalam
oleh pemerintah dan organisasi-organisasi penelitian ini, pelestarian lingkungan dikaitkan
internasional yang dirancang untuk melindungi dengan tinggalan arkeologi yang bersifat
dan memperbaiki lingkungan manusia (Ivanova tangible yang masih dimanfaatkan oleh
2007, 338). masyarakat dan juga tradisi atau upacara yang
Akses yang sulit terhadap air bersih masih dilakukan. Bagus (2008, 83–88) juga
merupakan salah satu masalah lingkungan yang menyimpulkan bahwa keberadaan tinggalan
dihadapi manusia. Air merupakan kebutuhan arkeologi di sepanjang daerah aliran sungai
pokok makhluk hidup di bumi karena tanpa (DAS) Pakerisan, yakni candi tebing dan ceruk-
air, mustahil bagi makhluk hidup untuk dapat ceruk pertapaan, berdampak pada pelestarian
bertahan. Kendati bumi tampak memiliki lingkungan yang telah diupayakan sejak periode
persediaan air yang melimpah, jika tidak Bali Kuno. Penelitian tersebut mengaitkan
dikelola dengan baik, jumlah air bersih yang tinggalan arkeologi berupa candi tebing dan
dapat dikonsumsi akan berkurang dari waktu ceruk dengan pelestarian berdasarkan data
ke waktu (Juliawati 2014, 24). Menurut Stasiun prasasti, berupa upaya pelestarian lingkungan
Geofisika Sanglah, rata-rata curah hujan di Bali yang tercantum dalam prasasti. Di sisi lain,
adalah 1.593,0 mm selama tahun 2014 (BPS dalam penelitian ini, pelestarian lingkungan
Kota Denpasar 2015, 35). Jumlah penduduk di merupakan hal yang muncul kemudian, yaitu
Bali tahun 2015 mencapai 4.152,8 ribu jiwa. tinggalan arkeologi tersebut dimanfaatkan pada
Jumlah ini naik sebesar 1,17% dari jumlah masa lalu dengan pertimbangan lain di luar
sebelumnya, yaitu 4.104,9 ribu jiwa. Kebutuhan pelestarian lingkungan, tetapi pemanfaatannya
air bersih meningkat seiring meningkatnya berdampak pada pelestarian lingkungan.
jumlah penduduk pengguna air bersih, dari Bali memiliki banyak sumber air, namun
penggunaan sebelumnya 97.470 m3 menjadi seiring perkembangan ekonomi dan pola
145.376 m3 (BPS Kota Denpasar 2015, 284). hidup masyarakat yang semakin modern serta
Melihat data ini, pelestarian sumber air sangat kebutuhan akan lahan, jumlah sumber air di
penting untuk dilakukan terlebih lagi jika daerah urban semakin berkurang. Di beberapa
masyarakat bisa mandiri dalam menyediakan wilayah, khususnya daerah pedesaan di daerah
air bersih dari sumber mata air di sekitarnya. pegunungan, sumber air masih cukup mudah
Ada beberapa penelitian yang telah ditemukan. Sebagai contoh adalah di Desa
dilakukan berkaitan dengan konservasi Pelaga dan Belok Sidan, Kabupaten Badung,
tradisional sumber air. Sebagian besar Bali yang merupakan lokasi penelitian ini.
membahas tentang bagaimana tradisi sebuah Penduduk asli di Desa Pelaga dan Belok Sidan
komunitas penduduk pribumi atau penduduk adalah pemeluk Hindu dan masih menjalankan
lokal termasuk ritual yang mereka lakukan tradisi upacara dan ritualnya. Pelaga dan Belok
berpengaruh pada konservasi lingkungan. Sidan adalah desa yang berlokasi di ujung utara
Salah satunya adalah diakui bahwa beberapa Kabupaten Badung. Kedua desa tersebut berada
kawasan hutan suci di India dilestarikan di dataran tinggi yang kaya akan sumber air dan
masyarakat lokal yang merupakan penganut tinggalan arkeologi yang disimpan di beberapa
Hindu, di mana kepercayaan spiritual mereka pura. Dari hasil observasi, terdapat beberapa
memegang peranan penting dalam pelestarian jenis tinggalan arkeologi, khususnya dari masa
air dan tanah (Dabral dan Rao dalam Jaryan et Hindu-Buddha, yang ditemukan di beberapa
al. 2010, 102). Penelitian tersebut membahas pura atau sumber air, antara lain lingga, yoni,
keterkaitan pelestarian lingkungan dengan lingga dan yoni, arca atau fragmen arca,

78 Forum Arkeologi Volume 30, Nomor 2, Oktober 2017 (77 - 88)


stambha, umpak, komponen bangunan, dan Silpasastra. Jika pertimbangan semacam itu
onggokan batu alam. Haribuana (2014, 139–40) tidak ada sama sekali, sebaran situs-situs itu
telah mendata persebaran tinggalan arkeologi akan cenderung berpola lain, misalnya tersebar
dan sumber mata air di kedua desa tersebut, secara merata tanpa memandang sumber daya
serta menunjukkan bahwa terdapat 109 artefak lingkungannya baik atau tidak, dan seakan-
dari masa Klasik atau Hindu-Buddha dan akan setiap situs mempunyai kesempatan yang
sejumlah onggokan batu alam atau bebaturan sama untuk terletak di mana saja (Mundardjito
di 11 lokasi pura yang merupakan kelanjutan 2002, 215). Dalam Kitab Manasara-Silpasastra
tradisi megalitik dari masa prasejarah. Lingga yang berisi aturan-aturan pembangunan kuil
merupakan tinggalan arkeologi yang paling di India, terdapat serangkaian keterangan
banyak ditemukan, yakni sebanyak 43 buah. rinci yang pada pokoknya menjelaskan bahwa
Sementara, sumber air yang didata ada di 15 sebelum suatu bangunan suci didirikan, arsitek
titik lokasi. pendeta (sthapaka) dan arsitek perencana
Sebaran tinggalan arkeologi dan sumber (sthapati) harus terlebih dahulu menilai kondisi
mata air yang cukup banyak di Desa Pelaga dan dan kemampuan lahan yang akan dijadikan
Belok Sidan memunculkan dugaan keterkaitan tempat berdirinya bangunan suci tersebut
antara keberadaan tinggalan arkeologi dan (Acharya 1934, 13–21). Selain penilaian atas
sumber air yang sampai saat ini masih lestari. tanah, Kitab Manasara-Silpasastra menjelaskan
Adapun, rumusan masalah dalam artikel juga bahwa letak bangunan kuil harus
ini adalah bagaimana tinggalan arkeologi berdekatan dengan air karena air mempunyai
berperan dalam konservasi sumber air. Tujuan potensi untuk membersihkan, menyucikan,
dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan dan menyuburkan. Bahkan, menurut Kitab
gambaran tentang peranan tinggalan arkeologi Silpaprakasa, suatu bidang lahan tanpa sungai
dalam konservasi sumber air. harus dihindari sebagai tempat berdirinya kuil
Mundardjito dalam disertasinya yang (Boner dan Sarma 1966, 10).
telah dibukukan mengatakan bahwa terdapat
hubungan yang erat antara variabel keletakan METODE
situs dan variabel sumber daya lingkungannya. Penelitian ini merupakan pengembangan
Kesimpulan ini dapat membawa kepada suatu dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai
penafsiran bahwa penempatan situs-situs masa Arkeologi Bali yang tertuang dalam Berita
Hindu-Buddha di daerah penelitian dilandasi Penelitian Arkeologi (BPA). Penelitian ini
oleh pertimbangan ekologi seperti yang dilakukan di Kecamatan Petang, Kabupaten
dinyatakan secara tegas dalam Kitab Manasara- Badung, Bali (gambar 1). Kabupaten Badung

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian.


(Sumber: Google earth)

Peranan Tinggalan Arkeologi dalam Konservasi Tradisional Sumber Air 79


Ni Putu Eka Juliawati
memiliki wilayah yang unik dengan bentuk menyederhanakan data yang telah didapat.
wilayah memanjang dari dataran tinggi di utara Pada tahap ini dilakukan pengklasifikasian
hingga daerah dataran rendah di selatan. Secara sesuai dengan fokus penelitian. Langkah kedua
akademis, lokus ini dipilih karena masih belum adalah menyederhanakan informasi yang
banyak penelitian yang membahas tinggalan tersedia ke dalam bentuk yang mudah dipahami
arkeologi di Kabupaten Badung yang berkaitan untuk menemukan hubungan antara tinggalan
dengan pelestarian lingkungan, khususnya arkeologi dan usaha pelestarian sumber air.
sumber air. Penelitian ini menjangkau dua desa, Langkah terakhir adalah menarik kesimpulan.
yakni Desa Pelaga yang meliputi Dusun Pelaga,
Bukian, Tiyingan, Kiadan, Nungnung, dan HASIL DAN PEMBAHASAN
Desa Belok Sidan yang meliputi Dusun Belok, Tinggalan Arkeologi
Bon, Lawak, Selantang, Sidan, Penikit. Selain Tinggalan arkeologi yang ditemukan
karena keterbatasan waktu penelitian, dua dalam penelitian ini, yakni berupa lingga,
desa tersebut menjadi prioritas utama karena yoni, lingga-yoni, arca perwujudan, stambha,
terletak pada kawasan hulu. Desa Pelaga dan arca Nandi, arca Ganesha, dan komponen
Belok Sidan memiliki tinggalan arkeologi dan bangunan (Juliawati 2014, 26–33). Semua
kaya akan sumber air, sehingga dianggap cukup tinggalan arkeologi tersebut tersebar di tujuh
untuk menemukan korelasi antara keberadaan belas pura dan di sekitar sumber air. Tinggalan
tinggalan arkeologi dan usaha pelestarian arkeologi di Bali sebagian besar merupakan
lingkungan, khususnya sumber air. living monument, yaitu tinggalan yang masih
Penelitian diadakan selama 14 hari dari difungsikan oleh masyarakat pendukungnya
tanggal 13-26 Maret 2014. Data dikumpulkan hingga masa kini, dengan kata lain berada
melalui observasi, wawancara, dan studi dalam konteks sistem. Konteks sistem sendiri,
pustaka. Sumber air dan tinggalan arkeologi menurut Schiffer (dalam Juliawati 2015, 51),
diamati secara langsung. Cara warga merupakan kumpulan benda (artefak, ekofak,
memperlakukan sumber air juga diobservasi. atau fitur) yang beroperasi dalam suatu sistem
Informan dipilih melalui teknik purposive tingkah laku masyarakat yang masih hidup.
sampling dan snowball sampling dengan Tinggalan arkeologi yang ditemukan di
mempertimbangkan pengetahuan informan lokasi penelitian ada yang masih utuh maupun
tentang objek penelitian. Kemudian, jumlah berupa fragmen. Tinggalan arkeologi tersebut
informan berkembang semakin banyak ditempatkan di sebuah tempat khusus yang
berdasarkan informasi yang diberikan oleh disebut pelinggih di dalam pura. Ada juga yang
informan sebelumnya. Metode studi pustaka terletak di tempat terbuka tanpa perlindungan
dilakukan dengan membaca literatur yang sama sekali, seperti lingga di sebuah mata air
relevan dan sesuai dengan penelitian. Penelitian di Petirtaan Taman Beji Pura Penataran Agung
ini menggunakan pendekatan ekologi budaya, Bukian dan sembilan buah lingga sederhana di
di mana ada perbedaan antara lingkungan- Pura Taman Puseh Lawak.
sebagaimana-adanya dengan lingkungan Dari sekian banyak tinggalan arkeologi
efektif. Yang dimaksud dengan lingkungan yang ditemukan, lingga merupakan artefak
efektif adalah lingkungan sebagaimana yang paling banyak ditemukan. Kata ‘lingga’
dikonseptualisasikan (Kaplan dan Manners berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti
2002, 107). Data dianalisis secara kualitatif tanda, perbendaan, kemaluan laki-laki. Lingga
yang kemudian hasil analisis dirangkai dalam terdiri atas tiga bagian, yakni bagian bawah
bentuk teks. Analisis data dilakukan dalam tiga berupa Brahma Bhaga yang berbentuk segi
tahap, yaitu reduksi data yang dilakukan dengan empat, bagian tengah merupakan Wisnu Bhaga

80 Forum Arkeologi Volume 30, Nomor 2, Oktober 2017 (77 - 88)


yang berbentuk segi delapan, dan bagian sederhana, bentuk yang kaku dan kedua
atas berupa bulatan yang merupakan Siwa tangan di depan membawa bulatan (gambar
Bhaga (Mardiwarsito 1981, 321). Lingga 2). Penggarapan arca juga menyimpang dari
juga dikaitkan dengan kesuburan karena
lingga merupakan simbol kemaluan laki-laki.
Tinggalan arkeologi berupa lingga yang ada
di sekitar sumber air diperlakukan sebagai
benda yang suci, sesuai dengan keyakinannya
bahwa lingga adalah simbol Dewa Siwa. Di
Taman Beji Penataran Agung Bukian terdapat
lingga semu yang terletak di alam terbuka
tanpa perlindungan sama sekali. Kondisi yang
lembab menyebabkan badan lingga tertutup
lumut dan kerak. Selain itu ditemukan pula
lingga di beberapa pura yang ditempatkan di
tempat yang beratap atau pelinggih. Lingga
yang tersimpan di Pura Pengubengan, Pura
Puseh Desa Pakraman Bon, Pura Puseh Lawak,
dan Desa Belok Sidan mengalami kondisi
yang lebih baik karena diletakkan di pelinggih
beratap dengan kondisi kering.
Arca Ganesha yang ditemukan dalam
penelitian ini hanya satu buah, walaupun secara
umum arca Ganesha merupakan arca yang
cukup populer di masa lalu yang terlihat dari
tingginya frekuensi penemuannya (Sedyawati
1994, 6). Pengarcaan Ganesha sendiri memiliki Gambar 2. Arca Perwujudan di Pura Puseh Bon.
beberapa tanda-tanda umum, yakni berkepala (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Bali)
gajah, berbelalai, dan berbadan manusia.
anatomi, misalnya tangan atau kaki yang terlalu
Tanda-tanda khususnya yakni memiliki badan
besar. Salah satu pengerjaan arca perwujudan
yang gemuk, perut buncit, mata ketiga, taring
yang tergolong halus dan lebih anatomis
yang patah sebelah, dan memiliki sejumlah
adalah arca-arca perwujudan di Pura Pucak
laksana. Tanda khusus ini tidak terdapat di
Penulisan yang berangka tahun 1077 Masehi,
semua arca Ganesha (Sedyawati 1994, 65).
1074 Masehi, dan 1011 Masehi. Fungsi arca
Selain itu, jumlah tangan arca Ganesha yang
perwujudan adalah sebagai arca pemujaan atau
ditemukan di Bali juga bervariasi mulai dari
penghormatan kepada leluhur. Tinggalan arca-
2 hingga 18. Ganesha yang paling sering
arca perwujudan dapat dijumpai di beberapa
ditemukan memiliki empat tangan, sedangkan
pura yang tersebar di dari kawasan Bali Utara
Ganesha bertangan delapan belas ditemukan
bagian timur, Kabupaten Badung bagian timur,
di Pura Pingit Melamba, Bunutin, Kintamani
Bangli, Gianyar, dan Klungkung (Geria 2000,
(Bagus 2015, 26).
72). Budaya pengarcaan berdasarkan tradisi
Arca perwujudan banyak ditemukan
Bali berakhir pada masa Dalem Waturenggong
di Bali. Arca perwujudan yang ditemukan
di Bali sekitar tahun 1460-1550 M. Pembuatan
di lokasi penelitian yakni 16 arca utuh dan
pratistha permanen dalam bentuk arca ini sudah
sejumlah fragmen arca. Ciri yang tampak
dihapuskan oleh Dang Hyang Dwijendra dan
jelas terkesan dari pengerjaannya yang
diganti dengan puspasarira (Geria 2000, 75).

Peranan Tinggalan Arkeologi dalam Konservasi Tradisional Sumber Air 81


Ni Putu Eka Juliawati
Poulios dalam artikelnya menyebutkan heritage murni merupakan pendekatan berbasis
tentang tiga tipe pelestarian terhadap cagar komunitas. Penduduk lokal berperan utama
budaya, yakni pendekatan berbasis material, dalam proses pelestarian. Penduduk lokal tidak
berbasis nilai, dan berbasis living heritage hanya berpartisipasi di dalam proses, tetapi
(cagar budaya yang masih hidup atau juga diberdayakan. Mereka berhak mengatur
dimanfaatkan). Pendekatan berbasis material jadwal, mengambil keputusan, dan mengontrol
adalah tipe pelestarian yang hanya fokus pada keseluruhan proses (Poulios 2014, 21–23).
tinggalan arkeologinya saja. Pendekatan seperti Tinggalan arkeologi yang ditemukan
ini sering disebut pendekatan konvensional. di lokasi penelitian sampai saat ini masih
Dalam hal ini pelestarian dikendalikan dilestarikan dan dijaga keberadaannya,
oleh pemerintah dan kalangan profesional, meskipun tidak semua mendapatkan penanganan
sedangkan penduduk lokal sama sekali yang benar karena masih ada yang diletakkan di
tidak dilibatkan. Pendekatan berbasis nilai tempat terbuka tanpa perlindungan. Dilihat dari
menganggap pelestarian tidak hanya bertujuan konsep yang dikemukakan oleh Poulios, tampak
untuk pelestarian benda materialnya, tetapi juga jelas bahwa pelestarian tinggalan arkeologi
melestarikan nilai yang melekat pada tinggalan di lokasi penelitian merupakan pelestarian
tersebut yang dilakukan oleh beberapa grup dengan pendekatan living heritage di mana
atau stakeholders, termasuk penduduk lokal fungsi aslinya sebagai media pemujaan masih
(Poulios 2014, 17–21). Konsep living heritage berlanjut. Penduduk setempat melestarikan
terkait erat dengan konsep keberlanjutan, dan tinggalan arkeologi tersebut karena mereka
khususnya keberlanjutan fungsi asli dari cagar menghormati warisan leluhur dan perusakan
budaya tersebut. Keberlanjutan hubungan terhadap tinggalan arkeologi tersebut akan
antara penduduk dengan tinggalan tersebut, menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan
keberlanjutan pemeliharaan terhadap tinggalan mereka. Terlebih lagi adanya perlakuan yang
oleh penduduk yang tercermin melalui diberikan masyarakat terhadap artefak tersebut,
pengetahuan tradisional, sistem pengelolaan, seperti diletakkan di tempat khusus, tidak
praktik pemeliharaan, dan proses berlanjut boleh disentuh sembarangan karena bersifat
dalam mengembangkan tinggalan tangible dan suci, dibalut kain dengan warna tertentu,
intangible menanggapi perubahan keadaan, serta diberi persembahan atau diupacarai
dalam hal ini, perubahan diterima sebagai (gambar 3). Warna kain yang digunakan pada
bagian dari kontinuitas. Pendekatan living umumnya berwarna putih, kuning, hitam, atau

Gambar 3. Lingga di Pura Antapsai Pucak Bon


(Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Bali)

82 Forum Arkeologi Volume 30, Nomor 2, Oktober 2017 (77 - 88)


hitam-putih. Perlakuan-perlakuan seperti ini dipuja adalah Dewa Wisnu. Pada hari
menimbulkan kesan suci dan sakral terhadap tertentu diadakan persembahyangan pada
tinggalan arkeologi. Hal tersebut akan pelinggih dan masyarakat menghaturkan
mencegah terjadinya tindakan perusakan. persembahan. Mereka menyucikan sumber air
dengan tidak mengotori tempat tersebut dan
Perilaku Masyarakat terhadap Sumber Air tidak memanfaatkan tempat tersebut untuk
Sumber air yang ditemukan di Desa kepentingan profan, misalnya kegiatan rumah
Pelaga dan Desa Belok Sidan yaitu sebanyak tangga seperti mencuci dan mandi. Air dari
lima belas titik lokasi. Sumber air tersebut oleh sumber mata air tersebut dimanfaatkan untuk
penduduk lokal disebut pesiraman yang berarti air suci saat upacara agama, minum, dan
permandian atau disebut juga beji. Adapun mandi suci atau yang biasa disebut melukat.
sumber air tersebut yaitu Pesiraman Ida Batara Perempuan yang sedang datang bulan tidak
Bukit Sari, Pesiraman Penataran Pucak Antap diperbolehkan memasuki area sumber air
Sai lan Kahyangan Tiga, Pesiraman Pura Subak karena dianggap sedang berada dalam keadaan
Giri Sari, Pesiraman Pura Bun Tangiang, Beji ‘kotor’ atau cuntaka. Di beberapa sumber air
Kupis, Beji Sudamala, Pesiraman Pura Bukit yang memiliki pancuran dengan ketinggian
Peninjoan Pelaga, Taman Beji Pura Penataran yang berbeda, penduduk memanfaatkan
Agung Bukian, Pesiraman Pura Anyar Tiyingan, pancuran yang posisinya lebih tinggi untuk air
Pesiraman Pura Desa Bale Agung Lawak, suci dan pancuran di bawahnya untuk kegiatan
Pesiraman Pura Puseh Kiadan, Pesiraman rumah tangga. Pipa-pipa disambung untuk
Pura Penataran Pucak Mangu, Pesiraman Pura mengalirkan air menuju rumah-rumah warga.
Luhur Gegelang, Pesiraman Pura Jugul, dan Selain pemanfaatan untuk kegiatan
Pesiraman Pura Puseh Penikit. keagamaan dan rumah tangga, air juga digunakan
Masyarakat di sekitar lokasi penelitian untuk mengairi sawah. Sistem pengairan sawah
adalah penganut Hindu yang sangat menjaga diatur oleh organisasi tradisional subak. Subak
keberadaan sumber mata air. Mereka membuat dibagi menjadi dua, yakni subak yeh (subak
tempat yang disebut dengan pelinggih untuk air) yaitu subak yang mengurus pengairan di
menghaturkan sesajen atau persembahan sawah basah dan subak abian yaitu subak yang
(gambar 4). Pada umumnya, dewa yang mengurus pengairan di ladang. Upacara ritual

Gambar 4. Sumber Mata Air di Pura Penataran Beji Bukian


(Sumber: Balai Arkeologi Bali)

Peranan Tinggalan Arkeologi dalam Konservasi Tradisional Sumber Air 83


Ni Putu Eka Juliawati
dilakukan pula berkaitan dengan pemuliaan Sementara itu, Ramakrishnan (dalam
air dalam fungsinya untuk mengairi sawah, Torri dan Herrmann 2011, 181) menyatakan di
sebagai ungkapan rasa syukur. Ritual dilakukan beberapa hutan suci di India, yang masyarakat
dalam beberapa tahap, mulai dari persiapan di sekitarnya juga merupakan pemeluk Hindu,
menanam padi hingga panen. Salah satu ritual upacara dan ritual masih rutin dilakukan di
yang dilakukan berkaitan dengan pemuliaan air hutan tersebut. Semua penggunaan sumber
yaitu ritual magpag/mendak toya yang secara daya alam di hutan tersebut dilarang karena
harfiah berarti ‘menjemput air’ yang akan kepercayaan bahwa tindakan tersebut akan
digunakan untuk mengairi sawah sehingga padi membuat para dewa marah. Masyarakat juga
dapat tumbuh dengan baik. Berkaitan dengan dilarang memasuki hutan kecuali pada saat
pemuliaan air dalam pengairan sawah, Lansing diadakan upacara agama dan ritual kurban. Akan
dan de Vet (2012, 8) mengatakan bahwa petani tetapi di beberapa hutan suci, mengumpulkan
di Bali memperlakukan air irigasi sebagai kayu bakar masih boleh dilakukan, namun
anugerah yang diberikan oleh Dewi Danau. menebang kayu sangat dilarang. Di sini, hutan
Sebagai gantinya, subak melakukan ritual suci merupakan salah satu cara efektif untuk
tahunan ke pura di danau dan menghaturkan melindungi keanekaragaman hayati lokal.
persembahan. Subak menerima persembahan Jaryan et al. (2010, 102) mengungkapkan hal
air suci yang merupakan simbol anugerah yang sama mengenai sebuah hutan suci bernama
untuk panen berikutnya. Demikian masyarakat Shivbari di India yang diadakan acara tahunan
mengkonsepkan air sebagai suatu anugerah dan pada hari Shivaratri yang biasanya digelar
simbol berkah. Menurut Kaplan dan Manners pada bulan Maret saat orang-orang dari tempat
(2002, 107), cara suatu budaya memanfaatkan yang jauh sekalipun datang ke Hutan Shivbari
lingkungannya merupakan suatu fungsi untuk melakukan pemujaan kepada Dewa
dari cara budaya tersebut menyerap serta Siva. Hal ini menunjukkan bagaimana manusia
mengkonseptualisasikan lingkungan itu. menghargai lingkungan yang telah memberi
Sumber air berada di lokasi yang banyak manfaat, baik dengan cara melakukan
bervegetasi lebat dengan pohon-pohon besar kegiatan yang bersifat ritual maupun tindakan
dan rerumputan. Penebangan pohon pantang nonritual.
dilakukan oleh penduduk. Mereka mengetahui Tinggalan arkeologi yang ditemukan di
bahwa akar-akar pohon tersebut sangat sekitar sumber air di Desa Pelaga dan Belok
mempengaruhi keberlangsungan sumber air. Sidan sangat erat kaitannya dengan aktivitas
Mitos-mitos berkembang dalam masyarakat, religi masyarakat. Religi mengalami evolusi
misalnya adanya “penunggu” yang berada di dalam perjalanan hidup manusia. Menurut
sekitar kawasan sumber air sehingga masyarakat Spencer (dalam Koentjaraningrat 1987, 35), asal
tidak berani untuk mengotori dan menebang mula religi pada semua bangsa di dunia adalah
sembarangan pohon yang ada. Penduduk di karena manusia sadar dan takut akan maut dan
sekitar Hutan Sariska India mengenal Mata bentuk religi tertua adalah penyembahan kepada
sebagai dewi penguasa Hutan Sariska yang roh-roh yang merupakan personifikasi dari
bertanggung jawab atas keberlangsungan jiwa-jiwa orang yang telah meninggal. Bentuk
kehidupan di hutan dan makhluk hidup di religi ini kemudian berevolusi ke bentuk religi
dalamnya. Masyarakat percaya bahwa tindakan yang lebih kompleks dan berdiferensiasi, yaitu
merusak hutan tidak hanya berpengaruh penyembahan kepada dewa-dewa, seperti dewa
terhadap kehidupan manusia, tetapi juga kejayaan, dewa kebijaksanaan, dewa perang,
membuat Mata marah dan menghukum mereka dewi kecantikan, dewa maut, dan sebagainya.
melalui penyakit, kecelakan, atau serangan Menurut Koentjaraningrat (1987, 81), religi
hewan buas (Torri dan Herrmann 2011, 179). terdiri dari lima komponen, yaitu (1) emosi

84 Forum Arkeologi Volume 30, Nomor 2, Oktober 2017 (77 - 88)


keagamaan, (2) sistem keyakinan, (3) sistem diungkapkan oleh Mundardjito (2002, 286),
ritus dan upacara, (4) peralatan ritus dan upacara, bahwa kedekatan terhadap sumber air, baik
dan (5) umat agama. Tinggalan arkeologi yang mata air maupun sungai, adalah salah satu
disebutkan di atas termasuk dalam komponen pertimbangan ekologis penempatan situs
keempat, yaitu peralatan atau sarana yang Hindu-Buddha. Hal tersebut sesuai dengan
digunakan dalam ritus dan upacara, sama halnya prinsip yang disebutkan dalam kitab India
dengan tempat atau gedung pemujaan, patung kuno Manasara-Silpasastra dan Silpaprakasa.
dewa, patung orang suci, alat bunyi-bunyian Berdasarkan teori tersebut, penempatan lingga
suci, dan pakaian pelaku upacara yang dianggap dan arca lainnya tidak begitu saja tanpa alasan.
mempunyai sifat suci. Tinggalan arkeologi yang Lingkungan di sekitar Desa Pelaga dan Belok
ditemukan di lokasi penelitian serta upacara Sidan sangat mendukung hal tersebut. Sumber
ritual yang digelar oleh penduduk merupakan air di dua desa tersebut ditemukan di lima belas
komponen religi peralatan ritus dan upacara. titik.
Penduduk menghargai tinggalan arkeologi Nilai-nilai yang terdapat dalam sistem
sebagai peninggalan leluhur yang patut dijaga religi masyarakat merupakan respon masyarakat
dan dilestarikan. Secara khusus, penduduk terhadap lingkungannya. Masyarakat sangat
tidak mengetahui arca-arca perwujudan menghormati gunung sehingga arah mata angin
tersebut adalah perwujudan siapa. Di sisi lain, di mana gunung berada dianggap sebagai arah
penduduk sangat mengenal tinggalan arkeologi yang suci sebagai tempat bangunan suci seperti
yang bersifat Siwaistis, seperti arca Ganesha pelinggih, sanggah, dan merajan saat ini.
dan lingga-yoni, karena merupakan dewa yang Liefrinck (dalam Goris 2012, 5) mengatakan
masih dipuja hingga sekarang, sesuai dengan “setiap gunung dihuni oleh dewata, setiap
keyakinan mereka sebagai pemeluk Hindu. danau mempunyai dewinya, tak ada satu
Tinggalan arkeologi yang berada di tempat pun di atas tanah yang dapat lepas dari
sekitar sumber air memberi petunjuk tentang pengaruhnya. Mereka tidak tampak, namun
keterkaitan keduanya yang tidak dapat ada di mana-mana”. Fenomena-fenomena yang
diabaikan. Hingga saat ini, masyarakat Bali terjadi berkaitan dengan hubungan masyarakat
sangat menghormati keberadaan air, karena dengan lingkungan tersebut kemudian menjadi
dipercaya sebagai wujud Dewa Wisnu, salah satu kesatuan dalam sistem religi masyarakat.
satu manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang Tinggalan arkeologi yang ditemukan,
dipercaya sebagai pemelihara kehidupan seperti lingga, merupakan simbol Siva yang
dunia. Makna air bagi masyarakat Bali, yaitu merupakan dewa tertinggi dalam agama Hindu.
makna kesuburan, penyembuhan, penyucian, Lingga dan arca-arca lain yang ditemukan
keabadian, siklus, kesejahteraan, dan pelestarian merupakan peralatan ritus dan upacara dalam
(Rema 2013, 112). Oleh sebab itu, masyarakat komponen sistem religi. Demikian pula dengan
Bali sangat menjaga keberadaan sumber air, kepercayaan, pandangan hidup, dan mitos
tidak hanya karena air sangat penting bagi adalah sistem keyakinan yang merupakan
kelangsungan hidup, tetapi juga karena makna- komponen dalam sistem religi menurut
makna lainnya. Koentjaraningrat (1987, 81).
Manusia timur yang pada mulanya
Peranan Tinggalan Arkeologi dalam identik dengan ketradisionalannya memandang
Konservasi Sumber Air bahwa manusia tidak dapat memisahkan diri
Lokasi ditemukannya berbagai tinggalan dari sistem biofisik di sekitarnya, seperti
arkeologi di daerah penelitian dekat dengan hewan, tumbuhan, sungai, dan gunung. Mereka
sumber mata air dan juga bangunan suci yang merasa ada hubungan fungsional dengan
dibangun kemudian. Sebagaimana yang telah faktor-faktor biofisik itu sehingga membentuk

Peranan Tinggalan Arkeologi dalam Konservasi Tradisional Sumber Air 85


Ni Putu Eka Juliawati
satu kesatuan sosio-biofisik. Pandangan seperti kebersihannya. Sampah plastik hanya tampak di
ini disebut dengan pandangan holistik atau sekitar permukiman penduduk. Sampah plastik
imanen. Di sisi lain, pandangan transenden tampaknya memang tidak bisa dihindari karena
merupakan cara pandang di mana manusia merupakan kemasan yang banyak digunakan
terpisah dari lingkungannya, meskipun saat ini, baik untuk makanan maupun produk
manusia adalah bagian dari lingkungan secara rumah tangga (Juliawati 2014, 43). Selain
ekologi (Soemarwoto dalam Iskandar 2001, berdampak terhadap kelestarian sumber air,
11). Namun demikian, Ivanova (2007, 338) kelestarian vegetasi juga terjaga (gambar 5).
menyatakan di negara berkembang yang
memperoleh kemerdekaannya sekitar tahun
1960-an, pemerintahnya lebih memperhatikan
pertumbuhan ekonomi sebagai cara untuk
memastikan kedaulatan politik dan otonominya.
Masalah lingkungannya merupakan akibat dari
kemiskinan seperti kurangnya akses air bersih
dan sanitasi, makanan, energi, dan hunian.
Indonesia juga termasuk salah satu
negara berkembang, namun masyarakat
Desa Pelaga dan Belok Sidan percaya jika
manusia memperlakukan lingkungan dengan Gambar 5. Vegetasi di Pura Pucak Rinjani
(Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Bali)
baik, lingkungan juga akan memberikan yang
terbaik. Menjaga keharmonisan hubungan Pohon-pohon besar yang berumur puluhan
antara manusia dengan lingkungan tertuang bahkan ratusan tahun dilarang untuk ditebang.
dalam filosofi hidup masyarakat, yakni Tri Masyarakat paham akan fungsi pohon-
Hita Karana. Tri Hita Karana berarti tiga pohon tersebut dalam menjaga tanah dari
penyebab kebahagiaan, yang terdiri dari erosi dan untuk menjaga cadangan air. Selain
hubungan harmonis antara manusia dengan itu, lingkungan sumber air yang disucikan
Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan membuat tempat tersebut terlindung sehingga
manusia dengan lingkungan. Cara masyarakat secara tidak langsung memberi manfaat yang
Desa Pelaga dan Belok Sidan memperlakukan baik bagi lingkungan. Keanekaragaman
lingkungannya adalah implementasi dari hayati, di luar kegunaannya, sangat dilindungi
Tri Hita Karana itu sendiri, yakni berusaha melalui tradisi-tradisi budaya lokal. Beberapa
menjaga harmonisasi hubungan manusia tradisi tersebut mungkin tidak berimbas pada
dengan lingkungan. konservasi, namun secara simbolis merupakan
Agama Hindu juga mengenal bentuk penghargaan atas kehidupan dan cinta,
konsep dharma yang menyajikan model serta rasa hormat pada alam (Ramakrishnan
keseimbangan antara alam kosmik dan sosial dalam Torri dan Herrmann 2011, 170). Hal
yang menggambarkan prinsip preservasi ini menunjukkan bahwa ideologi memegang
atau pelestarian. Dharma menjaga dan dijaga peranan penting dalam beberapa kasus
melalui usaha manusia; mengikuti ajaran pelestarian lingkungan. Ideologi yang berkaitan
dharma akan menuntun menuju pengembangan dengan sesuatu yang bersifat suci, bahkan dapat
duniawi dan pemenuhan spiritual (moksa) (Rao menyelamatkan ratusan aset lingkungan yang
2000, 24–25). sangat berharga untuk kelangsungan hidup
Kondisi lingkungan di lokasi penelitian manusia dan hewan-hewan di alam bebas.
tergolong cukup baik, terutama di sekitar Pada mulanya, penempatan bangunan
sumber air yang sangat dijaga kesucian dan suci dan komponen-komponen di dalamnya,

86 Forum Arkeologi Volume 30, Nomor 2, Oktober 2017 (77 - 88)


termasuk juga arca, dilakukan untuk memenuhi memberikan dampak buruk bagi lingkungan.
kebutuhan religius manusia. Semuanya Sekelompok masyarakat dengan tradisinya yang
dilakukan sesuai dengan pakem dan aturan yang mengandung nilai-nilai pelestarian lingkungan
telah ditentukan. Seiring berjalannya waktu, bagaikan oase di tengah gurun pasir.
budaya pun berubah hingga sampai pada masa
sekarang, ketika masalah lingkungan merupakan DAFTAR PUSTAKA
salah satu hal yang menjadi perhatian dunia, Acharya, Prasanna Kumar. 1934. Indian
terutama sejak digelarnya konferensi PBB Architecture: According to Manasara-
Silpasastra. London: Oxford University
tentang lingkungan hidup di Stockholm tahun
Press.
1972. Banyaknya bencana seperti banjir, erosi, Bagus, A. A. Gde. 2008. “Pelestarian Daerah Aliran
dan berkurangnya sumber air bersih merupakan Sungai Pakerisan: Perspektif Lingkungan.”
contoh bencana alam yang disebabkan oleh Forum Arkeologi, no. III: 62–91.
kerusakan lingkungan. Hubungan keberadaan ———. 2015. “Arca Ganesa Bertangan Delapan
tinggalan arkeologi dan konservasi sumber air di Belas di Pura Pingit Melamba Bunutin,
lokasi penelitian adalah hubungan yang terjadi Kintamani, Bangli.” Forum Arkeologi 28 (1):
lintas dimensi waktu. Penempatan tinggalan 25–34. http://forumarkeologi.kemdikbud.
arkeologi di masa lalu yang dilakukan untuk go.id/index.php/fa/article/view/77/65.
menaati pakem atau aturan-aturan tertentu Boner, Alice, dan Sadasiva Rath Sarma. 1966.
seperti yang tertuang dalam Kitab Manasara- Silpaprakasa: Medieval Orissan Sanskrit
Text on Temple Architecture. Leiden: E. J.
Silpasastra, saat ini selain masih digunakan
Brill.
sebagai media pemujaan oleh masyarakat, juga
BPS Kota Denpasar. 2015. Bali dalam Angka 2015.
membawa dampak baik yang terkait dengan Denpasar: BPS Kota Denpasar.
konservasi sumber air di wilayah Desa Pelaga Geria, I Made. 2000. “Benang Merah Persebaran
dan Belok Sidan. Arca Perwujudan di Bali.” Forum Arkeologi,
no. 1: 71–81. http://forumarkeologi.
KESIMPULAN kemdikbud.go.id/index.php/fa/article/
Konservasi secara tradisional telah view/128/92.
terbukti berhasil menjaga keberadaan sumber air Goris, Roelof. 2012. Sifat Religius Masyarakat
dan lingkungan di Desa Pelaga dan Belok Sidan Pedesaan di Bali. Denpasar: Udayana
karena dilakukan berdasarkan kepercayaan dan University Press/Pusat Kajian Bali
Universitas Udayana.
keyakinan atau religi. Sistem religi merupakan
Haribuana, I Putu Yuda. 2014. “Harmoni Sumber
elemen paling sulit berubah atau tergantikan Daya Arkeologi dan Hidrologi Petang:
dari waktu ke waktu. Tinggalan arkeologi yang Identifikasi Sebaran Tinggalan Arkeologi dan
terdapat di beberapa pura dan di sekitar sumber Sumber Mata Air.” Forum Arkeologi 27 (2):
air merupakan elemen yang nyata atau tangible 135–44.
yang memperkuat sistem religi selain filosofi Iskandar, Johan. 2001. Manusia, Budaya, dan
hidup, legenda, dan mitos yang merupakan Lingkungan: Kajian Ekologi. Bandung:
elemen yang bersifat intangible. Perpaduan Humaniora Utama Press.
kedua elemen tangible dan intangible tersebut Ivanova, Maria. 2007. “Designing the United
menyempurnakan kekuatan sistem religi Nations Environment Programme: A
masyarakat yang merupakan dasar atas perilaku Story of Compromise and Confrontation.”
International Environmental Agreements:
mereka terhadap lingkungannya. Konservasi
Politics, Law and Economics 7 (4): 337–61.
terhadap lingkungan khususnya sumber air doi:10.1007/s10784-007-9052-4.
merupakan tantangan yang dihadapi masyarakat
saat ini, ketika industri pada umumnya telah

Peranan Tinggalan Arkeologi dalam Konservasi Tradisional Sumber Air 87


Ni Putu Eka Juliawati
Jaryan, Vikrant, Sanjay Kr. Uniyal, Gopichand, Poulios, Ioannis. 2014. “Discussing Strategy in
R.D. Singh, Brij Lal, Amit Kumar, dan Heritage Conservation: Living Heritage
Varun Sharma. 2010. “Role of Traditional Approach as An Example of Strategic
Conservation Practice: Highlighting Innovation.” Journal of Cultural
the Importance of Shivbari Sacred Heritage Management and Sustainable
Grove in Biodiversity Conservation.” Development 4 (1): 16–34. doi:10.1108/
The Environmentalist 30 (2): 101–10. JCHMSD-10-2012-0048.
doi:10.1007/s10669-009-9249-x. Rao, K.L. Seshagiri. 2000. “The Five Great
Juliawati, Ni Putu Eka. 2014. “Penelitian Elements (Panca Mahabhuta): An Ecological
Hidroarkeologi di Desa Pelaga dan Belok Perspective.” Dalam Hinduism and Ecology,
Sidan, Kecamatan Petang, Badung.” Berita The Intersection of Earth, Sky, and Water,
Penelitian Arkeologi. (Balai Arkeologi disunting oleh Christopher Chapple dan Mary
Denpasar). Evelyn Tucker, 23–38. Massachusetts: The
———. 2015. “Proses Pembentukan Budaya President and Fellows of Harvard College.
Tinggalan Arkeologi di Kabupaten Badung.” Rema, Nyoman. 2013. “Makna Air bagi Masyarakat
Forum Arkeologi 28 (1): 47–56. Bali.” Forum Arkeologi 26 (2): 109–24.
Kaplan, David, dan Robert A. Manners. 2002. Teori Sedyawati, Edi. 1994. Pengarcaan Gaṇeṡa Masa
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kaḍiri dan Siŋhasāri: Sebuah Tinjauan
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi. Sejarah Kesenian. Jakarta: Lembaga Ilmu
Volume 1. Jakarta: Penerbit Universitas Pengetahuan Indonesia dan Rijksuniversiteit
Indonesia (UI-Press). te Leiden.
Lansing, J. Stephen, dan Thérèse A. de Vet. 2012. Torri, Maria Costanza, dan Thora Martina Herrmann.
“The Functional Role of Balinese Water 2011. “Spiritual Beliefs and Ecological
Temples: A Response to Critics.” Human Traditions in Indigenous Communities
Ecology 40 (3): 453–67. doi:10.1007/s10745- in India: Enhancing Community-Based
012-9469-4. Biodiversity Conservation.” Nature and
Mardiwarsito, L. 1981. Kamus Jawa Kuno- Culture 6 (2): 168–191. doi:10.3167/
Indonesia. Ende: Nusa Indah. nc.2011.060204.
Mundardjito. 2002. Pertimbangan Ekologis
Penempatan Situs Masa Hindu-Buddha di
Daerah Yogyakarta. Jakarta: Wedatama
Widya Sastra/École Française d’Extrȇme
Orient.

88 Forum Arkeologi Volume 30, Nomor 2, Oktober 2017 (77 - 88)

Anda mungkin juga menyukai