Anda di halaman 1dari 9

TRADISI PAPADAK/HOHOLOK

(SEBUAH UPAYA MERAWAT LAUT/PESISIR DI PULAU ROTE)


GUNTUR ANDIKA ALAN ROH LANI
A. LATAR BELAKANG

Tanpa manusia, bumi tetap ada dengan segala isinya, tapi tanpa bumi dan isinya manusia
tidak ada. Karena itu, manusia perlu menyadari urgensi hubungannya dengan bumi. Bumi dan
isinya adalah anugerah dari Tuhan bagi manusia yang harus di nikmati dan di syukuri. Rasa syukur
dan nikmat ini disertai dengan tanggung jawab dalam memelihara bumi guna mendukung
keberlanjutan kehidupan di planet ini sebagai tanggapan atas kemurahan Tuhan telah diterima.1
Relasi antara manusia dan alam merupakan bagian integral dari relasi manusia dan Allah. Manusia
dan alam sebagai sesama ciptaan menerima kebaikan yang sama dari Allah, sehingga relasi
manusia dengan alam adalah relasi yang bersifat kontinu (bersambung), bukan diskontinu
(terputus).2 Oleh karena itu, semua ciptaan bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Mereka saling bekerja sama, mempengaruhi, dan berainteraksi satu dengan yang lain secara
harmonis dan berkesinambungan. 3

Namun banyak data yang menunjukkan bahwa manusia dengan perilakunya secara
perlahan-lahan sedang menghancurkan tempat tinggalnya sendiri. 4 Seorang Teolog yang bernama
Robet Borong mengatakan bahwa lingkungan hidup saat ini sudah sangat rusak dan terancam
binasa oleh ulah manusia. 5 Hal ini juga nampak di kawasan Laut dan Pesisir. Pada hal menurut
Elia Magang dalam artikelnya mengatakan bahwa secara umum laut memliki peran sangat
signifikan dalam sistem kehidupan yang diciptakan Allah ini. Dalam relasinya dengan manusia,
laut memberi dua jenis kebutuhan mendasar yaitu makanan (aspek ekologis) dan kerabat (aspek

1
Ira D. Mangilio dan Mesak A.P. Dethan, Spiritualitas Ekoteologi Kristen Kontekstual: Buku Penghormatan
Ulang Tahun Ke-70 Pdt. (Emr.) Dr. Junus Eliud Eduard Inabuy, M.Th., STM (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021),
XI
2
Robert Patanang Borrong, “Alam Sebagai Oikos Allah: Telaah Kritis Atas Relasi Manusia Dengan Alam
Menurut Kisah Penciptaan dan Relevansinya Bagi panggilan Ekologis Gereja, dalam buku “Berakar dan Bertumbuh
di dalam Dia: Buku Penghormatan Prof. Samuel Benyamin Hakh, D.Th, Peny. Besly J. T. Messakh, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2017), 159
3
Ekoteologi Islam: Studi Konsep Pelestarian Lingkungan Oleh Ahmad Zumaro, Tesis Doktoral, 2020, UIN
Yoyakarta.
4
Mesak A. P. Dethan, Bukan Dunia Yang Kiamat, Kamulah Yang Kiamat Jika Tidak Bertobat, dalam
Spiritualitas Ekoteologi Kristen Kontekstual: Buku Penghormatan Ulang Tahun Ke-70 Pdt. (Emr.) Dr. Junus Eliud
Eduard Inabuy, M.Th., STM, ed.Ira D. Mangilio dan Mesak A.P. Dethan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021), 128
5
Robert Borong, Kronik Ekoteologi: Berteologi Dalam Konteks Krisis Lingkungan, Stulos 17/2 Juli 2019
sosial). Untuk aspek ekologis, Ia mengutip Sylvia Earle yang memakai kata cornelstone (batu
penjuru) untuk menggambarkan peran fundamental laut. Menurutnya, laut adalah penyangga
utama kehidupan planet biru ini karena fungsinya menghasilkan oksigen, menjaga kesimbangan
iklim, dan memberi air melalui hujan kepada makhluk hidup di tanah. Laut juga memberikan
makanan, yaitu ikan dan lain-lain menjadi sumber protein bagi miliaran manusia di bumi. Bagi
Earle kehidupan di bumi ini tidak akan ada tanpa keberadaan laut. 6 Sementara itu, mengenai aspek
sosial, laut adalah penghubung yang membentuk karakter dan cara hidup tertentu atau budaya
maritim dari komunitas-komunitas pesir. Budaya maritim itu lahir dari perjumpaan orang-orang
pesisir dengan eksistensi dan kontribusi laut bagi mereka. 7

Adapun dua aspek ini saling terkait satu sama lain. Secara sederhana, supaya makanan di
laut tetap tersedia di laut dan mudah di peroleh, masyarakat pesisir memiliki cara padang dan
perilaku (budaya) tertentu yang ramah terhadap laut sebagai kearifan lokal untuk menjaga
kelesatarian ekosistem Laut. Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan tentang makanan Laut
dan ketrampilan yang diperlukan untum mengumpulkan serta mengelolahnya. 8

Dengan melihat pentingnya laut bagi kehidupan manusia, serta realitas kerusakan yang ada
di depan mata, maka diperlukan upaya merahabilitasi dan cara baru memperlakukan laut dan
pesisir. Dalam upaya ini, kearifan lokal (Local Wisdom) menjadi salah satu alternatif untuk
mengatasi masalah ini. Salah satu kearifan lokal yang dipelihara dan dilakukan di Rote yaitu
Papadak/hohorok. Papadak/hohorok yang secara harfiah memiliki arti sama yaitu larangan. Kata
papadak digunakan oleh masyarakat di daerah Rote Tengah hingga ke wilayah timur (Pantai
Baru, Rote Timur dan Landu Leko), sedangkan kata hoholok digunakan oleh masyarakat di
daerah Kecamatan Lobalain hingga ke wilayah barat (Rote Selatan, Rote Barat Laut, Rote
Barat dan Rote Barat Daya). Aturan hoholok dan papadak lahir dari masyarakat, lalu bermitra

6
Elia Maggang, “Diakonia Biru: Sebuah Integrasi Ekoteologi Dan Diakonia Secara Kontekstual Unutk
Mengatasi Krisis Ekologi Laut”, dalam dalam Spiritualitas Ekoteologi Kristen Kontekstual: Buku Penghormatan
Ulang Tahun Ke-70 Pdt. (Emr.) Dr. Junus Eliud Eduard Inabuy, M.Th., STM, ed.Ira D. Mangilio dan Mesak A.P.
Dethan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021), 234-35
7
Elia Maggang, “Menampakkan Corak Biru Kekristenan Indonesia”, Indonesia Journal Of Theology 7, no.2
(2020), 170
8
Elia Maggang, “Diakonia Biru: Sebuah Integrasi Ekoteologi Dan Diakonia Secara Kontekstual Unutk
Mengatasi Krisis Ekologi Laut”, dalam dalam Spiritualitas Ekoteologi Kristen Kontekstual: Buku Penghormatan
Ulang Tahun Ke-70 Pdt. (Emr.) Dr. Junus Eliud Eduard Inabuy, M.Th., STM, ed.Ira D. Mangilio dan Mesak A.P.
Dethan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021), 234-35
dengan pemerintah dalam penyelesaian persoalan di pesisir dan laut. Penyelesaian
permasalahan pesisir dan laut tidak selalu dengan hukum formal, namun mempertimbangkan pula
hukum adat yang berlaku.9

B. SEKILAS TENTANG PULAU ROTE

Rote merupakan sebuah pulau yang terletak di bagian selatan Indonesia dan berada
di sebelah barat daya Timor-Leste dengan luas wilayah 1.200 km2. Menurut Gyanto (1958)dalam
Ingguoe (2015), secara geografis pulau Rote terletak di antara 10027’00”-10056’00”LS dan
122047’00”-123026’00”BT. Pada tahun 2002, pulau Rote dan pulau-pulau di sekitarnya
membentuk sebuah kabupaten yaitu Kabupaten Rote Ndao. Kabupaten Rote Ndao merupakan
daerah kepulauan yang memiliki 96 pulau dengan total luas wilayah 1.280,1 km2. Secara
geografis terletak di antara 10025’00”-11015’00”LS dan 121049’00”-123026’00”BT. Sebanyak
tujuh pulau sudah dihuni oleh masyarakat, sedangkan sisanya sebanyak 89 pulau masih belum
berpenghuni. Sebagian besar wilayah kabupaten ini merupakan batuan kapur dan berbukit, hanya
sedikit yang berupa dataran rendah (BPS Kabupaten Rote Ndao 2016). Kabupaten Rote Ndao
memiliki panjang garis pantai 330 km dan luas lautan 2.376 km2yang tersebar di semua
kecamatan. Kondisi ini membuat Kabupaten Rote Ndao memiliki potensi sumber daya
kelautan hayati maupun non hayati yang menjanjikan, terutama untuk mendukung perekonomian
masyarakat nelayan. 10

Sumber daya pesisir dan laut merupakan sumber daya milik bersama yang pemanfaatannya
terbuka bagi siapa saja. Sumber daya pesisir dan laut sering kali dieksploitasi secara berlebihan
tanpa memikirkan pelestarian dan keseimbangannya. Informasi dari tokoh masyarakat di
Kabupaten Rote Ndao, masyarakat pesisir di wilayah ini sering kali melakukan aktivitas yang
berdampak negatif bagi kelestarian sumber daya pesisir dan laut seperti melakukan penebangan
hutan bakau (mangrove), kegiatan perikanan yang destruktif (bom, potas, alat tangkap yang
merusak dan bahan beracun lainnya seperti akar tuba), pemburuan jenis fauna yang dilindungi
(penyu, lumba-lumba dan dugong), konflik lahan pesisir, aktivitas pariwisata, serta pengambilan

9
N C. Ketti, Peranan kearifan lokal papadak dalam pengelolaan pesisir dan laut di Desa Nggodimeda dan
Desa Siomeda, Kecamatan Rote Tengah, Jurnal Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan (2020), diakses pada tanggal
26 Oktober 20222, https://www.bkpsl.org/ojswp/index.php/jplb/article/view/80/61
10
N C. Ketti, Peranan kearifan lokal papadakdalam pengelolaan pesisir dan laut di Desa Nggodimeda dan
Desa Siomeda, Kecamatan Rote Tengah, Jurnal Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan (2020), diakses pada tanggal
26 Oktober 20222, https://www.bkpsl.org/ojswp/index.php/jplb/article/view/80/61,
pasir dan batu. Aktivitas-aktivitas tersebut menyebabkan terjadinya degradasi sumber daya alam
pesisir dan laut, serta menurunnya daya dukung lingkungan. Oleh sebab itu, upaya mengganggu
kelestarian fungsi wilayah pesisir dan laut perlu diminimalisir, agar potensinya dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan. 11

C. TRADISI PAPADAK/HOHOLOK

Salah satu kearifan lokal yang ada di Kabupaten Rote Ndao dan masih dilaksanakan hingga
saat ini adalah Hoholok/Papadak, yakni suatu kesepakatan adat/kearifan lokal yang berlaku di
darat maupun di laut pada suatu daerah yang memiliki kekayaan alam yang menurut
pemilik/pemerintah bisa berguna bagi banyak orang dan langkah, maka perlu dilindungi dengan
acara adat. Papadak sendiri adalah suatu organisasi yang ada di masyarakat dimana organisasi
adat ini memiliki ketua papadak yang disebut Manaholo yang memilki hak atas wilayah papadak
tersebut, biasanya wilayah/areal papadak diberi tanda oleh Manaholo dan hanya boleh mengambil
di luar areal papadak. Sedangkan untuk wilayah/areal papadak yang diberi tanda yang ada
didalamnya dilarang untuk mengambil hasilnya, kecuali ada jangka waktu tertentu yang sudah
ditentukan berdasarkan kesepakatan papadak untuk bisa diambil hasilnya. Waktu yang
diperbolehkan untuk mengambil hasil di dalam wilayah/areal papadak adalah 1 atau 2 tahun,
kemudian ditutup kembali sampai ada izin untuk dibuka kembali.12

C.1. Hoholok/Papadak Pesisir dan Laut

Penerapan kearifan Hoholok/Papadak di wilayah pesisir dan laut di Kab. Rote Ndao, yang
lebih dahulu dilaksanakan di darat dan memberikan efek terhadap keberlanjutan sumber daya,
maka dipandang perlu untuk diadopsi dan diterapkan di wilayah pesisir dan laut khususnya untuk
mendukung pengelolaan dan pengawasan TNP Laut Sawu. Penerapan Hoholok/Papadak di
wilayah pesisir dan laut diinisiasi oleh Forum komunikasi Tokoh Adat Peduli Budaya (FKTAPB)
Kab. Rote Ndao yang difasilitasi oleh Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN)
Kupang, merupakan lembaga pengelola kawasan konservasi perairan nasional TNP Laut Sawu dan

11
N C. Ketti, Peranan kearifan lokal papadakdalam pengelolaan pesisir dan laut di Desa Nggodimeda dan
Desa Siomeda, Kecamatan Rote Tengah, Jurnal Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan (2020), diakses pada tanggal
26 Oktober 20222, https://www.bkpsl.org/ojswp/index.php/jplb/article/view/80/61
12
https://kkp.go.id/djprl/bkkpnkupang/artikel/3570-dukungan-kearifan-lokal-hoholok-papadak-dalam-
pengelolaan-taman-nasional-perairan-laut-sawu-di-kabupaten-rote-ndao, diakses 25 Oktober 2022
The Nature Conservancy (TNC), suatu lembaga swadaya masyarakat internasional yang bergerak
dalam konservasi.

Adopsi kearifan lokal Hoholok/Papadak ke wilayah pesisir dan laut di Kab. Rote Ndao
dilatarbelangi oleh makin maraknya pengrusakan terhadap ekosistem pesisir dan laut, serta
semakin meningkatnya pemanfaatan kawasan ini dengan merusak, seperti penggunaan alat
tangkap yang merusak, penggunaan bom dan racun, penebangan pohon bakau, penambangan pasir
laut, penangkapan jenis yang dilindungi seperti penyu dan lumba-lumba, serta semakin banyaknya
aktivitas pariwisata yang tidak terkendali. Upaya penerapan ini dilakukan dengan berbagai proses
yang melibatkan Stakeholders terkait di Kab. Rote Ndao, antara lain Pemerintah Desa, tokoh adat,
tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, nelayan dan perwakilan profesi. Sehingga
Stakeholders tersebut dapat memahami maksud dan tujuan program, serta mendukung
Papadak/hoholok untuk dapat diterapkan di wilayah pesisir dan laut dengan menunjuk Manaholo
(pengawas papadak/hoholok) dan perlu penetapan larangan dan sanksinya. 13

C.2. Larangan dan Sanksi Kearifan lokal

Papadak/Hoholok ini juga dilengkapi dengan larangan-larangan dan sanksi-sanksi yang


sudah disepakati oleh semua Stakeholders terkait di 3 Nusak. Selanjutnya, FKTAPB Kab. Rote
Ndao membentuk Manaholo (pengawas) di 3 Nusak yang bertugas untuk mengawasi wilayah
Papadak/Hoholok yang sudah ditetapkan. Larangan dan sanksi Papadak/Hoholok disosialisasikan
kepada semua lapisan masyarakat di Kab. Rote Ndao dengan melibatkan semua pihak antara lain
pemerintah desa, jemaat gereja dan forum lainnya. Pelarangan terhadap aktivitas merusak di
wilayah pesisir dan laut di 3 Nusak ini antara lain pelarangan menebang mangrove, pelarangan
destructive fishing, pelarangan merusak terumbu karang, pelarangan membuang sampah di laut,
serta pelarangan penangkapan penyu dan paus. 14

C.3. Tantangan Kedepan

Dengan adanya perkembangan zaman yang semakin cepat dan besarnya ketergantungan
terhadap sumber daya alam pesisir dan laut bagi keberlangsungan hidup masyarakat di wilayah

13
https://kkp.go.id/djprl/bkkpnkupang/artikel/3570-dukungan-kearifan-lokal-hoholok-papadak-dalam-
pengelolaan-taman-nasional-perairan-laut-sawu-di-kabupaten-rote-ndao, diakses 25 Oktober 2022
14
https://kkp.go.id/djprl/bkkpnkupang/artikel/3570-dukungan-kearifan-lokal-hoholok-papadak-dalam-
pengelolaan-taman-nasional-perairan-laut-sawu-di-kabupaten-rote-ndao, diakses 25 Oktober 2022
pesisir, maka tantangan penerapan kearifan lokal ini juga akan menjadi besar. Kurangnya
pemahaman masyarakat dalam pengelolaan SDA yang berkelanjutan dengan melakukan aktivitas
yang merusak, serta minimnya kualitas SDM akan menjadi suatu tantangan bagi semua
Stakehoders terkait dalam penerapan Hoholok/Papadak di wilayah pesisir dan laut Kab. Rote
Ndao. Dukungan dari semua pihak terutama pengambil kebijakan serta dukungan masyarakat
dalam pengelolaan SDA pesisir dan laut untuk tetap menjaga keseimbangan lingkungan meskipun
tantangan yang semakin besar.

Peran serta masyarakat dalam proses penerapan Hoholok/Papadak ini sangat penting mulai
dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, untuk pengelolaan dan pengawasan yang
berkelanjutan. Penerapan Hoholok/Papadak ini hendaknya dapat mendukung kesejahteraan
masyarakat pesisir di 3 Nusak, melalui upaya pemanfaatan yang berkelanjutan dengan mematuhi
aturan adat yang sudah disepakati. Upaya pemanfaatan yang tidak merusak diantaranya penerapan
perikanan yang ramah lingkungan baik tangkap maupun budidaya, pengembangan pariwisata alam
pesisir dan laut, konservasi berbasis masyarakat lokal. Dukungan pemerintah sangat diperlukan
dalam memperkuat kearifan lokal yang berpihak kepada masyarakat dan keberlangsungan sumber
daya alam.15

REFLEKSI TEOLOGIS

Dalam Pokok-Pokok Eklesiologi GMIT di jelaskan bahwa Berhadapan dengan fakta


kerusakan lingkungan hidup (tanah, air, hutan, laut, udara) yang semakin parah pada zaman ini,
GMIT dipanggil untuk merawat alam semesta ciptaan Allah, yang diciptakan-Nya baik bahkan
sangat baik. Karena masalah lingkungan hidup adalah masalah bersama, maka sebagaimana kita
adalah bagian dari masalah, kita pun adalah bagian dari jalan keluarnya. Alam semesta adalah
ciptaan Allah dan manusia harus menghargai batas-batas yang diletakkan oleh Allah sendiri dalam
mengelola dan memanfaatkan alam untuk kepentingannya. Untuk itu GMIT perlu melahirkan dan
mengembangkan pemikiran-pemikiran teologis yang kontekstual mengenai lingkungan
(ekoteologi) yang menjadi dasar pendorong bagi perhatian jemaat dan masyarakat. Dengan
ekoteologi kontekstual ini diharapkan akan ada sumbangan jemaat dan masyarakat lokal terhadap
upaya dunia mengatasi krisis lingkungan, sekaligus perawatannya demi keberlanjutan

15
.https://kkp.go.id/djprl/bkkpnkupang/artikel/3570-dukungan-kearifan-lokal-hoholok-papadak-dalam-
pengelolaan-taman-nasional-perairan-laut-sawu-di-kabupaten-rote-ndao, diakses 25 Oktober 2022
(sustainability), baik bagi manusia maupun lingkungan alam 16 yang oleh Karer Phil Erari disebut
sebagai pendekatan baru ke arah paradigma solidaritas gereja terhadap terhadap alam yang telah
menderita karena dibinasakan oleh manusia. 17

Papadak/hohorok merupakan kearifan lokal sebagai bentuk kesadaran masyarakat pesisir


terhadap peran laut bagi kehidupan mereka dan itu diresponi dengan tepat. Kearifan ini juga
menunjukan keterakitan antara demensi ekologis dan sosial sebagai kontribusi laut bagi kehidupan
manusia, dalam hal ini komunitas-komunitas pesisir. Tradisi ini juga dapat dijadikan sebagai upaya
ekoteologi kontekstual GMIT dalam merawat Laut dan Pesisir dalam bingkai solidaritas gereja.

Dalam tradisi Papadak/hohorok setidaknya menunjukan dua fenomena penting yang dapat
menjadi bahan refleksi bagi upaya GMIT dalam mengembangkan ekeoteologi Kontekstual dalam
bingkai solidaritas bersama antara lain:

a. Papadak/hohorok dan kehidupan bersama

Papadak/hohorok merupakan pengejewantaan dari kehidupan bersama di tengah pengaruh


indivudualtas. Pelarangan mengambil hasil di wilayah Papadak/hoholok menjadi bukti bahwa
dalam kehidupan bersama harus ada hukum/aturan yang mengatur agar terwujudnya visi hidup
bersama.Sama halnya seperti tradisi SASI di Maluku, dalam skema Papadak/hoholok apa yang
dipertentangkan antara komunalitas dan individualitas terjembatani. Bahwa komunalitas berfungsi
bukan hanya menjaga harmoni yang membuat komunalitas menjadi satu-satunya rujukan dasar
dan tujuannya, namun membuat individu dapat mengekpresikan keterlibatannya yang
menguntungkan baik dirinya maupun komunitas. 18

Dalam paradigma masyarakat modern yang cenderung indvidulistik yang bermuara pada
pemenuhan kepentingan diri sendiri, namun dalam papadak/hohorok, kepentingan bersama
haruslah terutama. Larangan yang ada dalamnya bukan untuk menghentikan mata pencaharian

16
“Pokok-pokok Eklesiologi Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), (Kupang: GMIT, 2015), 46
17
Karel Phil Erari, Gereja Di Tengah Abad Ecocida: sebuah Respon Dalam Rangka Membangun Teologi
Bencana di Indonesia”, dalam “Teologi Bencana: Pergumulan Iman Dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana
Sosial, Ed. Zakaria J. Ngelow,dkk (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), 259
18
Nanci Novita Sousisa, “SASI: Menghargai Hidup Bersama, Mengelolah Lingkungan Berkelanjutan”,
dalam Teologi Tanah, dalam “Teologi Tanah: Perspektif Kristen Terhadap Ketidakadilan Sosio-ekologis di Indonesia,
ed. Zakaria J. Ngelow dan Lady Paula R. Mandalika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2022), 69
masyarakat pesisir, tetapi sebagai upaya untuk membiarkan kawasan papadak/hohorok untuk
berpulih secara mandiri. Hal ini bertujuan agar kehidupan bersama tetap terpelihara.

b. Papadak/hohorok dan keadilan makanan

Dalam bingkai kehidupan bersama, harus ada keadilan makanan. Dalam konteks Rote,
sebagaimana ditulis oleh Tom Terik yang kemudian dikutip oleh Elia Magang, mengatakan bahwa
meramu makanan laut merupakan aktivitas orang-orang kecil yang hidupya sangat bergantung
kepada ketersediaan bahan makanan di Laut. 19 Selanjutnya Therik mengatakan

“Para Peramu ini adalah orang-orang yang tidak memiliki bagan dan karean itu lebih
banyak menggantungkan diri pada tenaga dan peralatan serba sederhana. Mereka tergolong
orang miskin dalam masyarakatnya. Dalam bahasa ritual, orang Rote menyebeut orang
miskin, orang kecil dan tak berpunya termasuk para pendulang laut sebagi “janda” (ina
Falu) dan “anak yatim” (anak Mak). Kedua ungkapan ini (ina Falu/ana mak) selalu
dipasangkan dalam syair-syair adat. Karena itu, “makanan laut” ini dinggap sebagai
makanan para janda dan anak yatim piatu. Hasil tangkapan mereka hanya cukup untuk
dikonsumsi sendiri. 20

Kutipan ini menegaskan betapa penting laut dan Pesisir bagi kaum lemah yang sering
termarjinalkan. Mereka menggantungkan hidup sepenuhnya pada hasil laut. Oleh karena tradisi
papadak/hohorok menjadi jalan tengah bagi upaya ketersediaan makanan di laut.

19
Elia Maggang, “Diakonia Biru: Sebuah Integrasi Ekoteologi Dan Diakonia Secara Kontekstual Unutk
Mengatasi Krisis Ekologi Laut”, dalam dalam Spiritualitas Ekoteologi Kristen Kontekstual: Buku Penghormatan
Ulang Tahun Ke-70 Pdt. (Emr.) Dr. Junus Eliud Eduard Inabuy, M.Th., STM, ed.Ira D. Mangilio dan Mesak A.P.
Dethan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021), 236
20
Ibid, 236-37
Daftar Pustaka

Ira D. Mangilio dan Mesak A.P. Dethan, Spiritualitas Ekoteologi Kristen Kontekstual: Buku
Penghormatan Ulang Tahun Ke-70 Pdt. (Emr.) Dr. Junus Eliud Eduard Inabuy, M.Th.,
STM (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021

Besly J. T. Messakh “Berakar dan Bertumbuh di dalam Dia: Buku Penghormatan Prof. Samuel
Benyamin Hakh, D.Th, Besly J. T. Messakh, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017)

Ekoteologi Islam: Studi Konsep Pelestarian Lingkungan Oleh Ahmad Zumaro, Tesis Doktoral,
2020, UIN Yoyakarta.

Robert Borong, Kronik Ekoteologi: Berteologi Dalam Konteks Krisis Lingkungan, Stulos 17/2 Juli
2019

N C. Ketti, Peranan kearifan lokal papadak dalam pengelolaan pesisir dan laut di Desa
Nggodimeda dan Desa Siomeda, Kecamatan Rote Tengah, Jurnal Pengelolaan Lingkungan
Berkelanjutan (2020), diakses pada tanggal 26 Oktober 20222,
https://www.bkpsl.org/ojswp/index.php/jplb/article/view/80/61

https://kkp.go.id/djprl/bkkpnkupang/artikel/3570-dukungan-kearifan-lokal-hoholok-papadak-
dalam-pengelolaan-taman-nasional-perairan-laut-sawu-di-kabupaten-rote-ndao, diakses
25 Oktober 2022

“Pokok-pokok Eklesiologi Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), (Kupang: GMIT, 2015),

Zakaria J. Ngelow,dkk “Teologi Bencana: Pergumulan Iman Dalam Konteks Bencana Alam dan
Bencana Sosial, Ed. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019)

Zakaria J. Ngelow dan Lady Paula R. Mandalika Teologi Tanah: Perspektif Kristen Terhadap
Ketidakadilan Sosio-ekologis di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2022)

Elia Maggang, “Menampakkan Corak Biru Kekristenan Indonesia”, Indonesia Journal Of


Theology 7, no.2 (2020)

Anda mungkin juga menyukai