Anda di halaman 1dari 10

JODOH: DI TANGAN TUHAN ATAU MANUSIA?

(Analisa Theologis dan Biblika Terhadap Masalah Pasangan Hidup)


oleh: Denny Teguh Sutandio

PENDAHULUAN
Problematika mengenai jodoh atau pasangan hidup bukanlah perkara mudah
untuk dipecahkan. Ada banyak kasus orang yang sudah menikah dan berpikir
bahwa pasangannya adalah pasangan hidupnya, tetapi akhirnya bercerai juga
dengan alasan tidak cocok. Mengapa tidak cocok? Mengapa pada saat
mengenal dan berpacaran, mereka tidak saling mengenal sungguh-sungguh?
Ada banyak jawaban untuk pertanyaan ini, salah satunya, yaitu: kalau waktu
berpacaran, kebiasaan negatif tidak ditunjukkan, sedangkan waktu menikah,
segala sesuatunya tampak nyata. Ketidakcocokan yang terjadi ini sering kali
mengakibatkan seseorang frustasi lalu mengatakan bahwa jodohnya dahulu
bukan dari Tuhan. Benarkah jodoh di tangan Tuhan ataukah di tangan
manusia mutlak ataukah dua-duanya? Ada beragam pandangan mengenai
hal ini yang disertai dengan presuposisi dan akibat konsep-konsep tersebut.
Selanjutnya, kita akan mengkritisinya dari perspektif Alkitab dan
menunjukkan bahwa pasangan hidup itu sebenarnya dipimpin oleh Allah dan
tetap dipertanggungjawabkan oleh manusia.

JODOH DI TANGAN TUHAN


Pertama, jodoh di tangan Tuhan. Ada orang Kristen yang berpandangan
bahwa jodoh di tangan Tuhan.
Presuposisi
Apa yang melatarbelakangi pemikiran ini? Konsep ini didasari oleh pemikiran
theologi Reformed bahwa apa pun di dunia ada dalam pemeliharaan
(providensia) Allah. Allah adalah Allah yang memelihara segala sesuatu.

Itulah wujud kedaulatan Allah. Jika Ia berdaulat atas segala sesuatu,


mengapa untuk masalah jodoh dikecualikan dari kedaulatan Allah? Meskipun
ajaran ini benar, tetapi penganut konsep pertama ini mengekstremkannya.
Jika ditelusuri, konsep ini mirip dengan pandangan Hiper-Calvinisme
(http://en.wikipedia.org/wiki/Hyper-Calvinism) yang meniadakan konsep
tanggung jawab manusia dan terlalu menekankan kedaulatan Allah. Tidak
heran, juga seorang Hiper-Calvinis tulen akan konsisten menjalankan
konsepnya baik di dalam doktrin maupun aplikasi hidup, meskipun
bertentangan dengan ajaran Alkitab. Seorang Hiper-Calvinis yang tidak
mempercayai tanggung jawab manusia akan malas memberitakan Injil
(karena bagi mereka sudah ada predestinasi dari Allah, buat apa
memberitakan Injil) dan juga malas mencari pasangan hidup sendiri.
Presuposisi kedua yang melatarbelakangi konsep ini adalah konsep cuek.
Ini yang lebih parah. Orang yang mengatakan bahwa jodoh di tangan Tuhan
dilatarbelakangi oleh kecuekan dirinya memikirkan tentang pasangan hidup.
Artinya, mereka malas mencari sendiri pasangan hidup, lalu menyerahkan
tanggung jawabnya ini kepada Tuhan Allah.

Akibat dan Analisa Theologis (dan Filosofis)


Lalu, apa akibat konsep ini? Konsep ini mengakibatkan seseorang di titik
pertama tidak bertanggungjawab mencari pasangan hidupnya yang beres
sesuai kriteria Alkitab. Kalau orang ini seorang cowok, ia akan menunggu
sampai cewek itu yang memberi respons kepada si cowok. Setelah bertemu
dengan pasangan hidup yang cocok tersebut, orang ini berpacaran dan
menikah, karena ia menganggap itu adalah jodohnya. Tetapi sayangnya,
setelah menikah beberapa bulan bahkan tahun, mereka bercerai, lalu dengan
mudahnya mengatakan bahwa pasangannya dahulu bukan jodohnya.
Kemudian, ia akan marah kepada Tuhan dan menyalahkan-Nya. Logika ini
sungguh lucu. Jadi, para penganut konsep ini hendak mengatakan bahwa
jodohnya itu mutlak di tangan Tuhan (dan manusia tidak bertanggungjawab
sama sekali), lalu setelah mereka bertemu dengan jodohnya, namun tidak
cocok bahkan bercerai, yang disalahkan adalah Allah! Padahal Alkitab
mengajarkan kita untuk mencari pasangan hidup yang seiman dan sepadan.

JODOH DI TANGAN MANUSIA


Kedua, jodoh di tangan manusia. Ini adalah satu konsep yang melawan
konsep pertama. Dengan kata lain, orang yang memegang konsep ini
sebenarnya sedang berpikir eitheror (kalau tidak ini, ya yang satunya).
Presuposisi
Apa yang melatarbelakangi konsep ini? Konsep ini didasari oleh suatu
kehendak diri yang ingin meniadakan Allah di dalam masalah pasangan
hidup. Orang yang memegang konsep ini adalah orang yang berpikir bahwa
Allah tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalah pasangan hidup,
lalu ia mengatakan bahwa biarlah ia sendiri yang bertanggungjawab mencari
pasangan hidup. Konsep ini sebenarnya mirip dengan konsep dualisme imanilmu yang memisahkan secara tajam antara iman Kristen dan integrasinya di
dalam kehidupan sehari-hari. Bagi para dualis ini, Allah tidak ada
hubungannya dengan kehidupan mereka sehari-hari dan Ia hanya ada
(berkuasa) di lingkungan gereja saja.
Lebih celakanya, ada yang mengatakan bahwa manusia bertanggungjawab
mencari dan memilih pasangan hidup, nanti Tuhan tinggal merestuinya.
Orang ini mengatakan bahwa pada saat memilih pasangan hidup ini pun ada
di dalam pemeliharaan Allah. Benarkah konsep ini? Bukankah konsep ini
hendak menurunkan derajat Allah hanya sebagai Pribadi yang melegitimasi
apa yang kita pilih atau lebih ekstremnya hendak mengatakan Allah sebagai
pembantu kita? Konsep ini tidak ada bedanya dengan konsep beberapa (atau
bahkan banyak) ajaran Karismatik yang mengajarkan bahwa kita minta apa
saja, Tuhan tinggal dan pasti mengabulkan. Lebih tajam lagi, ini adalah
konsep Arminian yang menekankan tanggung jawab manusia melebihi
kedaulatan Allah. Bagi seorang Arminian, dirinya bertobat, meskipun adalah
anugerah Allah, tetap adalah jasa manusia. Bagi seorang Arminian juga,
keselamatan bisa hilang, karena orang Kristen murtad dan Allah tidak
berdaya apa pun. Sungguh mengasihankan Allah seperti ini, Allah yang
kalah dengan kehebatan manusia.
Terakhir, lebih celaka lagi, jika konsep ini diajarkan oleh orangtua yang
mengklaim diri Kristen kepada anak-anak mereka di dalam memilih jodoh.
Artinya, orangtua Kristen bisa mengajar atau bahkan menyetujui konsep
bahwa jodoh di tangan manusia, karena di titik pertama, mereka hendak
mematok standar tertentu bagi calon pasangan anaknya. Memang baik (Pdt.
Sutjipto Subeno pernah mengatakan bahwa baik belum tentu benar) jika ada

orangtua yang menetapkan (lebih tepatnya: memberikan


saran/menyarankan) kriteria-kriteria yang baik bagi pasangan anak mereka,
tetapi penetapan itu BUKANlah penetapan mutlak seperti penetapan Allah!
Barangsiapa yang memutlakkan standar tertentu, ia hendak menyamakan
dirinya dengan Allah, dan itu adalah dosa. Mengapa? Karena dosa bukan
dimengerti secara fenomena, misalnya: membunuh, mencuri, dll, tetapi dosa
adalah melawan Allah atau lebih tepatnya mengutip perkataan Rev. Prof.
Cornelius Van Til, Ph.D. di dalam bukunya The Defense of the Faith (1955),
dosa adalah inisiatif manusia menggantikan standar nilai Allah dengan
standar nilai diri mereka yang berdosa untuk menafsirkan segala sesuatu.
(hlm. 15) Jika ada orangtua Kristen (apalagi mengaku Reformedlebih
tepatnya, bukan Reformed sejati, tetapi aktif ikut kebaktian di gereja
Reformed saja) lalu dengan cepat menyetujui konsep bahwa jodoh itu di
tangan manusia, berhati-hatilah! Jika mereka sampai menyetujui konsep ini
dengan cepat (tanpa pikir panjang), dapat dipastikan bahwa mereka
sebenarnya hendak membuang standar Allah dan menetapkan standar
orangtua secara mutlak bagi pasangan anak mereka, meskipun ada yang
secara mulut (bahasa Jawanya: mbasahi lambetanda orang yang tidak
pernah tulus jika berkata apa pun) mengakui partisipasi Tuhan di dalamnya.
Itulah dosa!

Akibat dan Analisa Theologis (dan Filosofis)


Lalu, apa akibatnya?
Pertama, orang yang memegang konsep ini secara konsisten akan memilih
pasangan hidupnya sendiri yang diklaim sesuai prinsip Alkitab, tetapi
sayangnya tidak meminta pimpinan Tuhan di dalamnya. Mengapa? Karena
orang ini akan takut dan kuatir (bahkan mungkin saja bisa marah) jika
sampai Allah mengatakan TIDAK atas pilihannya. Sebenarnya, problem
utama penganut konsep ini adalah orang ini tidak mau diganggu (bahkan
oleh Allah sendiri) ketika memilih pasangan hidup. Jika si cowok mengatakan
bahwa dirinya cocok dengan seorang cewek dan begitu juga sebaliknya,
mereka akan langsung berpacaran dan menikah. Padahal mungkin sekali di
mata Allah, mereka tidak cocok secara esensi, karena apa yang kita pandang
dan anggap baik, belum tentu dipandang dan dianggap baik dan benar oleh
Allah!
Kedua, orang lain (dalam hal ini, khususnya orangtua) ikut menentukan
standar memilih pasangan hidup. Karena memegang dengan teguh konsep

bahwa jodoh di tangan manusia, ada beberapa orangtua Kristen yang ikutikutan menentukan jodoh/pasangan hidup anaknya. Ketika disebut seperti
ini, spontan saja, orangtua Kristen ini tidak mau dikatakan menentukan
pasangan hidup anaknya, tetapi menyarankan. Jika mau ditelusuri lebih
tajam, apa bedanya menyarankan dengan menentukan/memaksa? Dua
kata ini jelas berbeda, tetapi berusaha dikaburkan oleh orang postmodern ini.
Menyarankan berarti orangtua Kristen ini hanya memberi saran yang baik
kepada anaknya tentang kriteria pasangan hidup yang berkaitan dengan
pandangan-pandangan umum (respons manusia berdosa terhadap wahyu
umum Allah yang berupa: kebudayaan dan ilmu/sains). Hasil akhirnya
BUKAN lagi ada pada orangtua ini, tetapi pada kebebasan anaknya yang
bertanggungjawab untuk memilih atau menolak beberapa atau semua konsep
orangtuanya sesuai dengan prinsip respons manusia terhadap wahyu umum
Allah dan wahyu khusus Allah, yaitu: ALKITAB! Sedangkan
menentukan/memaksa berarti orangtua bukan hanya memberi saran, tetapi
ikut menilai calon pasangan hidup anaknya, meskipun penilaian ini pun
kadang-kadang sangat fenomenal dan tidak bertanggungjawab sama sekali.
Misalnya, ada orangtua Kristen bahkan mengaku diri Reformed (padahal
sih, cuma aktif ikut kebaktian di gereja Reformed) tetapi masih mempercayai
shio sebagai standar menentukan/memaksa anaknya dalam memilih
pasangan hidupnya (meskipun katanya, ini hanya lelucon, tetapi bagi saya,
ini adalah lelucon yang tidak berarti sama sekali). Contoh, ketika sang anak
mengetahui bahwa pasangan hidupnya shio kuda, maka dengan cepat, sang
orangtua ini mengatakan bahwa orang yang shionya kuda itu keras, dll.
Bukankah ini adalah suatu kelucuan yang tidak masuk akal, bodoh, dan
menghina Allah sendiri ketika ada orang (bahkan menyebut diri Kristen)
yang mengukur orang lain dari shio yang dilambangkan dengan binatang?!
Jika ada orangtua Kristen yang sampai menentukan pasangan hidup bagi
anaknya, biarlah dirinya sendirilah yang menikah, bukan anaknya!

JODOH: DIPIMPIN TUHAN DAN DIPERTANGGUNGJAWABKAN OLEH


MANUSIA
Jika konsep pertama dan kedua adalah konsep yang tidak menyeluruh dan
tidak seimbang, maka bagaimana pandangan Alkitab yang konsisten sesuai
dengan theologi Reformed tentang jodoh? Benarkah jodoh itu mutlak di
tangan Tuhan atau mutlak merupakan tanggung jawab manusia? Secara

konsisten dengan Alkitab dalam perspektif theologi Reformed yang seimbang


dan menyeluruh, maka konsep yang benar mengenai jodoh bahwa jodoh itu
dipimpin oleh Tuhan dan tetap dipertanggungjawabkan oleh manusia.
Presuposisi
Apa dasar pikir dari konsep terakhir ini? Konsep ini didasarkan pada berita
Alkitab mengenai penciptaan manusia. Mari kita analisa secara cermat.
Setelah menciptakan segala sesuatunya selama 5 hari, maka Allah
menciptakan manusia di hari ke-6 (Kej. 1:26-27). Di situ, dengan jelas, Allah
berfirman bahwa manusia diciptakan menurut gambar-Nya. Lalu, Allah
memberkati ciptaan itu dan menyebutnya sungguh amat baik (Kej. 1:31).
Kemudian, Ia menyadari bahwa tidak baik kalau manusia itu seorang diri
saja, maka Ia akan menjadikan seorang penolong yang sepadan dengan dia
Adam (Kej. 2:18). Ayat ini dilanjutkan dengan ayat 19 yang mengatakan
bahwa Allah membawa semua binatang hutan dan burung kepada manusia
untuk melihat, lalu Adam memberi nama kepada semua binatang. Setelah
mengamat-amati ciptaan Tuhan (binatang) itu, maka Adam menyadari bahwa
tidak ada penolong yang sepadan dengan dia, maka di ayat 21, Allah
menciptakan Hawa sebagai penolong yang sepadan dengan Adam. Dari kisah
ini, apa yang bisa kita pelajari? Ada yang menafsirkan bahwa kisah ini
merupakan bukti bahwa jodoh merupakan tanggung jawab manusia. Konsep
ini diajarkan karena si penafsir hanya membaca ayat 19-20. Meskipun tidak
sepenuhnya salah, konsep ini tetap kurang tepat. Mari kita analisa
kekurangtepatan tafsiran ini.

Pertama, kisah ini hendak mengajarkan kepada kita bahwa pria dan wanita
adalah sama-sama ciptaan Allah. Karena merupakan ciptaan Allah, maka tentu
saja natur mereka ditentukan BUKAN oleh mereka sendiri atau ilmu-ilmu yang
manusia ciptakan, tetapi oleh Allah sebagai Pencipta mereka. Sungguh suatu
ketidakmasukakalan jika ingin mengetahui natur manusia dari manusia dan
ilmu-ilmu yang diciptakan oleh manusia berdosa! Allah yang menciptakan
mereka adalah Allah yang menetapkan natur bagi mereka. Allah yang sama
juga adalah Allah yang mengerti totalitas manusia yang diciptakan-Nya, entah
itu karakter, dll. Di dalam karya penebusan dan pengudusan terus-menerus,
Allah yang sama, yaitu Roh Kudus yang memurnikan iman, karakter, dan
spiritualitas anak-anak-Nya agar kita makin serupa dengan KRISTUS, Kakak
Sulung kita. Kembali, Allah ikut terlibat di dalam setiap inci kehidupan kita.
Dari konsep ini, kita bisa belajar bahwa jodoh BUKAN hanya merupakan

tanggung jawab manusia yang lepas dari pimpinan Tuhan! Bagaimana dengan
integrasi keduanya, yaitu kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia? Kita
akan membahasnya di poin kedua.
Kedua, jika kita membaca dengan jelas Kejadian 2:18-25, kita akan melihat
dengan jelas bahwa di titik pertama, di ayat 18, Allah sudah mengetahui
bahwa Adam tidak bisa hidup sendiri tanpa seorang penolong yang sepadan
dengan dia. Allah tentu SUDAH mengetahui bahwa penolong yang sepadan
tentu bukanlah binatang, tumbuhan, dll, tetapi manusia. Lalu, mengapa di ayat
19-20, Ia membawa binatang kepada manusia untuk dinamai, lalu manusia
mengatakan bahwa itu semua tidak sepadan dengan dia? Apakah Allah ingin
bermain-main dengan manusia? Ataukah Allah tidak tahu dan spontan kaget
kalau apa yang dikatakan manusia di ayat 19-20 itu bertolak belakang dengan
rencana-Nya? TIDAK! Allah sudah mengetahui segala sesuatu karena Ia adalah
Allah. Tetapi, Allah yang Mahatahu tidak mematikan tanggung jawab manusia!
Sehingga, meskipun Allah tahu, Ia tetap menuntut pertanggungjawaban
manusia. Saya berani menafsirkan bahwa pertanggungjawaban manusia
sebagai umat pilihan-Nya ini adalah reaksi terhadap anugerah Allah. Alkitab
mengajar dua paradoks ini dan itulah yang dipegang oleh theologi Reformed
yang seimbang dan menyeluruh, meskipun rasio manusia tidak akan pernah
mengerti semuanya secara sempurna. Misalnya, penyaliban Tuhan YESUS itu
merupakan tindakan Allah atau manusia? Jawabannya: Allah dan manusia.
Pada waktu pencurahan Roh Kudus di hari Pentakosta, Rasul Petrus ketika
dipenuhi Roh Kudus berkhotbah kepada orang-orang yang berkumpul di
Yerusalem, Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya,
telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka.
(Kis. 2:23) Di ayat ini, kita mendapatkan gambaran jelas bahwa penyaliban
KRISTUS terjadi menurut maksud dan rencana-Nya sekaligus tindakan
manusia. Tidak ada pertentangan antara kehendak Allah dan kehendak
manusia. Di dalam Alkitab, itu semua menjadi satu. Dari sini, kita pun belajar
juga bahwa seluruh aspek kehidupan manusia juga ada di dalam rencana Allah
yang berdaulat dan tetap menuntut pertanggungjawaban manusia. Contoh,
tentang kebiasaan atau tindakan buruk yang kita lakukan. Kita sering
terlambat mengajar atau pergi kuliah, lalu jangan memakai dan memberikan
alasan kepada anak didik atau dosen bahwa keterlambatan kita pun ditetapkan
oleh Allah! Itu dosa, karena melemparkan tanggung jawab kita kepada Allah.
Memang, Tuhan mengetahui keterlambatan kita dan mungkin sekali Tuhan
mengizinkan hal itu terjadi supaya kita belajar sesuatu, tetapi tidak berarti,
Tuhan yang harus dipersalahkan ketika kita terlambat. Keterlambatan kita

TETAP adalah tanggung jawab kita. Tuhan hanya mengizinkannya terjadi (tidak
berarti Ia menetapkan)!
Kalau kita terapkan konsep ini di dalam konsep tentang jodoh, maka kita akan
mengerti dua hal:
Pertama, Allah memberikan kepada kita pasangan hidup yang tepat. Sebagai
umat pilihan-Nya, kita harus mengetahui bahwa segala sesuatu ada di dalam
rencana kekal Allah yang berdaulat, termasuk jodoh kita pun, karena Ia yang
menciptakan dan memelihara kita, tentulah Ia yang sama mengenal pribadi
kita jauh lebih dalam daripada kita atau orangtua atau siapa pun yang
mengenal kita (mengutip perkataan seorang hamba Tuhan di dalam sebuah
acara tanya jawab di sebuah siaran radio rohani di Surabaya). Karena Ia telah
mengenal kita, Ia akan memberikan kepada kita penolong yang sepadan
dengan kita. Penolong yang sepadan itu adalah penolong yang saling
melengkapi kita untuk saling bertumbuh di dalam KRISTUS. Saling melengkapi
ini TIDAK harus diterjemahkan bahwa kita harus memberi (altruistik) kepada
pasangan kita. Saling melengkapi juga bisa berarti saling belajar satu sama
lain. Mengapa? Karena ketika kita hidup di dunia tidak ada yang namanya
orang sempurna yang hanya bisa memberi, tanpa mau belajar dari orang lain.
Kita semua sebagai anak-anak-Nya harus terus bertumbuh di dalam Kebenaran
Firman menuju ke arah kesempurnaan di dalam KRISTUS, Kakak Sulung kita.
Perhatikanlah, orang yang terus menekankan (dan mendengarkan) pengajaran
bahwa kita harus saling memberi tanpa mau saling belajar adalah orang yang
sombong dan egois, suka mencari kejelekan dan kelemahan orang lain, tetapi
ketika dirinya ditegur, dia akan memakai segudang argumentasi (bahkan
argumentasi theologis dan filosofis) untuk menutupi kelemahannya. Ya,
itulah realitas manusia berdosa: suka melihat kejelekan orang lain, tetapi tidak
suka kejelekannya dinyatakan. Sudah saatnya, orang Kristen sejati yang beres
tidak meniru logika orang dunia yang berdosa, tetapi kembali kepada
KRISTUS, siap dan rendah hati menerima teguran dari orang lain yang
membangun.
Kedua, Allah memimpin kita di dalam memilih pasangan hidup yang telah Ia
tetapkan. Kembali, setelah kita mengerti bahwa Ia yang mencipta kita dan Ia
akan memberikan kepada kita penolong yang sepadan, lalu, apakah berarti
kita diam saja tidak berbuat apa-apa dalam memilih jodoh? TIDAK! Ingatlah,
kedaulatan Allah tidak meniadakan tanggung jawab manusia. Meskipun Ia
telah mengetahui dengan siapa kita berjodoh, Ia tidak mematikan tanggung
jawab manusia. Malahan Ia berpartisipasi aktif memimpin kita di dalam

memilih pasangan hidup yang telah ditetapkan-Nya. Bukan tugas kita untuk
menghakimi standar penilaian-Nya atas pasangan hidup kita, tetapi yang
diperlukan oleh seorang anak Tuhan sejati adalah percaya dan taat mutlak
akan pimpinan Tuhan di dalamnya. Saya pernah bertanya langsung tentang
masalah pasangan hidup ini kepada Prof. John M. Frame, D.D. melalui
Facebook dan beliau menjawab pertanyaan saya dengan jawaban sebagai
berikut:
Certainly God predestines everything that happens (Eph. 1:11), including who
we love and marry. Some people believe that each of us has a "soulmate," a
kind of ideal marriage partner. I don't know that that is true. Since this is a
fallen world, I think all people have problems, and therefore no relationship or
marriage can ever be problem-free. But of course some people make better
marriage partners than others, and single people should pray that God will lead
them to a person who can complement them and lead them to fulfill their Godgiven potential.
That means that marriage is a human choice, and we should make it wisely. It
is a choice predestined by God, but that does not detract from the importance
of our choice. God's sovereignty and man's responsibility do not compromise
one another, according to Scripture. (=Tentu saja Allah mempredestinasikan
segala sesuatu yang terjadi (Ef. 1:11), termasuk kepada siapa kita mencintai
dan menikah. Beberapa orang percaya bahwa setiap kita memiki seorang
pasangan hidup, semacam pasangan pernikahan yang ideal. Saya tidak tahu
bahwa itu benar. Karena dunia ini adalah dunia berdosa, saya pikir semua
orang memiliki masalah-masalah, dan oleh karena itu tidak ada hubungan
lawan jenis atau pernikahan yang bisa bebas dari masalah. Tetapi tentu saja
beberapa orang memilih pasangan hidup yang lebih baik dari orang lain, dan
orang yang masih lajang harus berdoa supaya Allah memimpin mereka kepada
orang yang sepadan dengan dia dan memimpin mereka menggenapi potensi
yang Allah berikan kepada mereka. Itu berarti bahwa pernikahan itu adalah
pilihan manusia, dan kita harus mengusahakannya dengan bijaksana. Itu
adalah pilihan yang dipredestinasikan oleh Allah, tetapi itu tidak mengurangi
pentingnya pilihan kita. Kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia tidak
dapat berkompromi satu dengan yang lain, sesuai dengan Alkitab.)
Pandangan yang hampir sama juga dipaparkan oleh Pdt. Binsar A. Hutabarat,
S.Th., M.C.S. ketika saya bertanya kepada beliau tentang pasangan hidup ini
melalui chatting:
Jodoh yang ditentukan Allah hanya terjadi pada pristiwa perjumpaan Adam dan
Hawa. Dalam orang-orang percaya lainnya tidak ada. Memang dalam mencari

pasangan hidup orang percaya harus mengikuti aturan Tuhan, dan jika telah
mengikuti apa yang ditentukan Tuhan kita boleh percaya bahwa Tuhan
membawa kita pada pasangan yang tepat. Karena itu dalam mencari pasangan
hidup, manusia harus aktif namun dengan cara yang benar. Bebas, aktif,
terbatas. Misalnya tidak boleh yang tidak seiman ini kriteria utama, jika tidak
seiman, itu bukan pernikahan Kristen.
Orang yang mengatakan Jodoh itu dari Tuhan juga melaksanakan usaha-usaha
tersebut. Jadi dapat disimpulkan, perbedaannya hanya pada pengertian apa itu
"jodoh". Karena orang yang meyakini jodoh dari Tuhan pun tidak akan berani
menghapuskan usaha manusia untuk menemukan teman hidup.

Semua aplikasi praktisnya akan kita pelajari di poin setelah ini

Anda mungkin juga menyukai