PENDAHULUAN
Problematika mengenai jodoh atau pasangan hidup bukanlah perkara mudah
untuk dipecahkan. Ada banyak kasus orang yang sudah menikah dan berpikir
bahwa pasangannya adalah pasangan hidupnya, tetapi akhirnya bercerai juga
dengan alasan tidak cocok. Mengapa tidak cocok? Mengapa pada saat
mengenal dan berpacaran, mereka tidak saling mengenal sungguh-sungguh?
Ada banyak jawaban untuk pertanyaan ini, salah satunya, yaitu: kalau waktu
berpacaran, kebiasaan negatif tidak ditunjukkan, sedangkan waktu menikah,
segala sesuatunya tampak nyata. Ketidakcocokan yang terjadi ini sering kali
mengakibatkan seseorang frustasi lalu mengatakan bahwa jodohnya dahulu
bukan dari Tuhan. Benarkah jodoh di tangan Tuhan ataukah di tangan
manusia mutlak ataukah dua-duanya? Ada beragam pandangan mengenai
hal ini yang disertai dengan presuposisi dan akibat konsep-konsep tersebut.
Selanjutnya, kita akan mengkritisinya dari perspektif Alkitab dan
menunjukkan bahwa pasangan hidup itu sebenarnya dipimpin oleh Allah dan
tetap dipertanggungjawabkan oleh manusia.
bahwa jodoh di tangan manusia, ada beberapa orangtua Kristen yang ikutikutan menentukan jodoh/pasangan hidup anaknya. Ketika disebut seperti
ini, spontan saja, orangtua Kristen ini tidak mau dikatakan menentukan
pasangan hidup anaknya, tetapi menyarankan. Jika mau ditelusuri lebih
tajam, apa bedanya menyarankan dengan menentukan/memaksa? Dua
kata ini jelas berbeda, tetapi berusaha dikaburkan oleh orang postmodern ini.
Menyarankan berarti orangtua Kristen ini hanya memberi saran yang baik
kepada anaknya tentang kriteria pasangan hidup yang berkaitan dengan
pandangan-pandangan umum (respons manusia berdosa terhadap wahyu
umum Allah yang berupa: kebudayaan dan ilmu/sains). Hasil akhirnya
BUKAN lagi ada pada orangtua ini, tetapi pada kebebasan anaknya yang
bertanggungjawab untuk memilih atau menolak beberapa atau semua konsep
orangtuanya sesuai dengan prinsip respons manusia terhadap wahyu umum
Allah dan wahyu khusus Allah, yaitu: ALKITAB! Sedangkan
menentukan/memaksa berarti orangtua bukan hanya memberi saran, tetapi
ikut menilai calon pasangan hidup anaknya, meskipun penilaian ini pun
kadang-kadang sangat fenomenal dan tidak bertanggungjawab sama sekali.
Misalnya, ada orangtua Kristen bahkan mengaku diri Reformed (padahal
sih, cuma aktif ikut kebaktian di gereja Reformed) tetapi masih mempercayai
shio sebagai standar menentukan/memaksa anaknya dalam memilih
pasangan hidupnya (meskipun katanya, ini hanya lelucon, tetapi bagi saya,
ini adalah lelucon yang tidak berarti sama sekali). Contoh, ketika sang anak
mengetahui bahwa pasangan hidupnya shio kuda, maka dengan cepat, sang
orangtua ini mengatakan bahwa orang yang shionya kuda itu keras, dll.
Bukankah ini adalah suatu kelucuan yang tidak masuk akal, bodoh, dan
menghina Allah sendiri ketika ada orang (bahkan menyebut diri Kristen)
yang mengukur orang lain dari shio yang dilambangkan dengan binatang?!
Jika ada orangtua Kristen yang sampai menentukan pasangan hidup bagi
anaknya, biarlah dirinya sendirilah yang menikah, bukan anaknya!
Pertama, kisah ini hendak mengajarkan kepada kita bahwa pria dan wanita
adalah sama-sama ciptaan Allah. Karena merupakan ciptaan Allah, maka tentu
saja natur mereka ditentukan BUKAN oleh mereka sendiri atau ilmu-ilmu yang
manusia ciptakan, tetapi oleh Allah sebagai Pencipta mereka. Sungguh suatu
ketidakmasukakalan jika ingin mengetahui natur manusia dari manusia dan
ilmu-ilmu yang diciptakan oleh manusia berdosa! Allah yang menciptakan
mereka adalah Allah yang menetapkan natur bagi mereka. Allah yang sama
juga adalah Allah yang mengerti totalitas manusia yang diciptakan-Nya, entah
itu karakter, dll. Di dalam karya penebusan dan pengudusan terus-menerus,
Allah yang sama, yaitu Roh Kudus yang memurnikan iman, karakter, dan
spiritualitas anak-anak-Nya agar kita makin serupa dengan KRISTUS, Kakak
Sulung kita. Kembali, Allah ikut terlibat di dalam setiap inci kehidupan kita.
Dari konsep ini, kita bisa belajar bahwa jodoh BUKAN hanya merupakan
tanggung jawab manusia yang lepas dari pimpinan Tuhan! Bagaimana dengan
integrasi keduanya, yaitu kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia? Kita
akan membahasnya di poin kedua.
Kedua, jika kita membaca dengan jelas Kejadian 2:18-25, kita akan melihat
dengan jelas bahwa di titik pertama, di ayat 18, Allah sudah mengetahui
bahwa Adam tidak bisa hidup sendiri tanpa seorang penolong yang sepadan
dengan dia. Allah tentu SUDAH mengetahui bahwa penolong yang sepadan
tentu bukanlah binatang, tumbuhan, dll, tetapi manusia. Lalu, mengapa di ayat
19-20, Ia membawa binatang kepada manusia untuk dinamai, lalu manusia
mengatakan bahwa itu semua tidak sepadan dengan dia? Apakah Allah ingin
bermain-main dengan manusia? Ataukah Allah tidak tahu dan spontan kaget
kalau apa yang dikatakan manusia di ayat 19-20 itu bertolak belakang dengan
rencana-Nya? TIDAK! Allah sudah mengetahui segala sesuatu karena Ia adalah
Allah. Tetapi, Allah yang Mahatahu tidak mematikan tanggung jawab manusia!
Sehingga, meskipun Allah tahu, Ia tetap menuntut pertanggungjawaban
manusia. Saya berani menafsirkan bahwa pertanggungjawaban manusia
sebagai umat pilihan-Nya ini adalah reaksi terhadap anugerah Allah. Alkitab
mengajar dua paradoks ini dan itulah yang dipegang oleh theologi Reformed
yang seimbang dan menyeluruh, meskipun rasio manusia tidak akan pernah
mengerti semuanya secara sempurna. Misalnya, penyaliban Tuhan YESUS itu
merupakan tindakan Allah atau manusia? Jawabannya: Allah dan manusia.
Pada waktu pencurahan Roh Kudus di hari Pentakosta, Rasul Petrus ketika
dipenuhi Roh Kudus berkhotbah kepada orang-orang yang berkumpul di
Yerusalem, Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya,
telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka.
(Kis. 2:23) Di ayat ini, kita mendapatkan gambaran jelas bahwa penyaliban
KRISTUS terjadi menurut maksud dan rencana-Nya sekaligus tindakan
manusia. Tidak ada pertentangan antara kehendak Allah dan kehendak
manusia. Di dalam Alkitab, itu semua menjadi satu. Dari sini, kita pun belajar
juga bahwa seluruh aspek kehidupan manusia juga ada di dalam rencana Allah
yang berdaulat dan tetap menuntut pertanggungjawaban manusia. Contoh,
tentang kebiasaan atau tindakan buruk yang kita lakukan. Kita sering
terlambat mengajar atau pergi kuliah, lalu jangan memakai dan memberikan
alasan kepada anak didik atau dosen bahwa keterlambatan kita pun ditetapkan
oleh Allah! Itu dosa, karena melemparkan tanggung jawab kita kepada Allah.
Memang, Tuhan mengetahui keterlambatan kita dan mungkin sekali Tuhan
mengizinkan hal itu terjadi supaya kita belajar sesuatu, tetapi tidak berarti,
Tuhan yang harus dipersalahkan ketika kita terlambat. Keterlambatan kita
TETAP adalah tanggung jawab kita. Tuhan hanya mengizinkannya terjadi (tidak
berarti Ia menetapkan)!
Kalau kita terapkan konsep ini di dalam konsep tentang jodoh, maka kita akan
mengerti dua hal:
Pertama, Allah memberikan kepada kita pasangan hidup yang tepat. Sebagai
umat pilihan-Nya, kita harus mengetahui bahwa segala sesuatu ada di dalam
rencana kekal Allah yang berdaulat, termasuk jodoh kita pun, karena Ia yang
menciptakan dan memelihara kita, tentulah Ia yang sama mengenal pribadi
kita jauh lebih dalam daripada kita atau orangtua atau siapa pun yang
mengenal kita (mengutip perkataan seorang hamba Tuhan di dalam sebuah
acara tanya jawab di sebuah siaran radio rohani di Surabaya). Karena Ia telah
mengenal kita, Ia akan memberikan kepada kita penolong yang sepadan
dengan kita. Penolong yang sepadan itu adalah penolong yang saling
melengkapi kita untuk saling bertumbuh di dalam KRISTUS. Saling melengkapi
ini TIDAK harus diterjemahkan bahwa kita harus memberi (altruistik) kepada
pasangan kita. Saling melengkapi juga bisa berarti saling belajar satu sama
lain. Mengapa? Karena ketika kita hidup di dunia tidak ada yang namanya
orang sempurna yang hanya bisa memberi, tanpa mau belajar dari orang lain.
Kita semua sebagai anak-anak-Nya harus terus bertumbuh di dalam Kebenaran
Firman menuju ke arah kesempurnaan di dalam KRISTUS, Kakak Sulung kita.
Perhatikanlah, orang yang terus menekankan (dan mendengarkan) pengajaran
bahwa kita harus saling memberi tanpa mau saling belajar adalah orang yang
sombong dan egois, suka mencari kejelekan dan kelemahan orang lain, tetapi
ketika dirinya ditegur, dia akan memakai segudang argumentasi (bahkan
argumentasi theologis dan filosofis) untuk menutupi kelemahannya. Ya,
itulah realitas manusia berdosa: suka melihat kejelekan orang lain, tetapi tidak
suka kejelekannya dinyatakan. Sudah saatnya, orang Kristen sejati yang beres
tidak meniru logika orang dunia yang berdosa, tetapi kembali kepada
KRISTUS, siap dan rendah hati menerima teguran dari orang lain yang
membangun.
Kedua, Allah memimpin kita di dalam memilih pasangan hidup yang telah Ia
tetapkan. Kembali, setelah kita mengerti bahwa Ia yang mencipta kita dan Ia
akan memberikan kepada kita penolong yang sepadan, lalu, apakah berarti
kita diam saja tidak berbuat apa-apa dalam memilih jodoh? TIDAK! Ingatlah,
kedaulatan Allah tidak meniadakan tanggung jawab manusia. Meskipun Ia
telah mengetahui dengan siapa kita berjodoh, Ia tidak mematikan tanggung
jawab manusia. Malahan Ia berpartisipasi aktif memimpin kita di dalam
memilih pasangan hidup yang telah ditetapkan-Nya. Bukan tugas kita untuk
menghakimi standar penilaian-Nya atas pasangan hidup kita, tetapi yang
diperlukan oleh seorang anak Tuhan sejati adalah percaya dan taat mutlak
akan pimpinan Tuhan di dalamnya. Saya pernah bertanya langsung tentang
masalah pasangan hidup ini kepada Prof. John M. Frame, D.D. melalui
Facebook dan beliau menjawab pertanyaan saya dengan jawaban sebagai
berikut:
Certainly God predestines everything that happens (Eph. 1:11), including who
we love and marry. Some people believe that each of us has a "soulmate," a
kind of ideal marriage partner. I don't know that that is true. Since this is a
fallen world, I think all people have problems, and therefore no relationship or
marriage can ever be problem-free. But of course some people make better
marriage partners than others, and single people should pray that God will lead
them to a person who can complement them and lead them to fulfill their Godgiven potential.
That means that marriage is a human choice, and we should make it wisely. It
is a choice predestined by God, but that does not detract from the importance
of our choice. God's sovereignty and man's responsibility do not compromise
one another, according to Scripture. (=Tentu saja Allah mempredestinasikan
segala sesuatu yang terjadi (Ef. 1:11), termasuk kepada siapa kita mencintai
dan menikah. Beberapa orang percaya bahwa setiap kita memiki seorang
pasangan hidup, semacam pasangan pernikahan yang ideal. Saya tidak tahu
bahwa itu benar. Karena dunia ini adalah dunia berdosa, saya pikir semua
orang memiliki masalah-masalah, dan oleh karena itu tidak ada hubungan
lawan jenis atau pernikahan yang bisa bebas dari masalah. Tetapi tentu saja
beberapa orang memilih pasangan hidup yang lebih baik dari orang lain, dan
orang yang masih lajang harus berdoa supaya Allah memimpin mereka kepada
orang yang sepadan dengan dia dan memimpin mereka menggenapi potensi
yang Allah berikan kepada mereka. Itu berarti bahwa pernikahan itu adalah
pilihan manusia, dan kita harus mengusahakannya dengan bijaksana. Itu
adalah pilihan yang dipredestinasikan oleh Allah, tetapi itu tidak mengurangi
pentingnya pilihan kita. Kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia tidak
dapat berkompromi satu dengan yang lain, sesuai dengan Alkitab.)
Pandangan yang hampir sama juga dipaparkan oleh Pdt. Binsar A. Hutabarat,
S.Th., M.C.S. ketika saya bertanya kepada beliau tentang pasangan hidup ini
melalui chatting:
Jodoh yang ditentukan Allah hanya terjadi pada pristiwa perjumpaan Adam dan
Hawa. Dalam orang-orang percaya lainnya tidak ada. Memang dalam mencari
pasangan hidup orang percaya harus mengikuti aturan Tuhan, dan jika telah
mengikuti apa yang ditentukan Tuhan kita boleh percaya bahwa Tuhan
membawa kita pada pasangan yang tepat. Karena itu dalam mencari pasangan
hidup, manusia harus aktif namun dengan cara yang benar. Bebas, aktif,
terbatas. Misalnya tidak boleh yang tidak seiman ini kriteria utama, jika tidak
seiman, itu bukan pernikahan Kristen.
Orang yang mengatakan Jodoh itu dari Tuhan juga melaksanakan usaha-usaha
tersebut. Jadi dapat disimpulkan, perbedaannya hanya pada pengertian apa itu
"jodoh". Karena orang yang meyakini jodoh dari Tuhan pun tidak akan berani
menghapuskan usaha manusia untuk menemukan teman hidup.