Anda di halaman 1dari 18

Sistem Pengairan Sawah Subak

(Kearifan Lokal Daerah Bali)


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sosiologi Dan Geografi

Disusun oleh:
Muhammad Sohibul Ridza Zulfianulah
XII IPS 3

SEKOLAH MENENGAH ATAS TERPADU


KRIDA NUSANTARA
BANDUNG
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Makalah:Sistem Pengairan Sawah Subak

Makalah ini disetujui tanggal.....

GURU GEOGRAFI GURU SOSIOLOGI

Eandang Dwiyono S,Pd.M,IL Ai Wiwin Widiansyah S,Pd


NIK 53.07.174 NIK 53.01.092
Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-
Nya, saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Kearifan
Lokal Subak-Bali" dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Sosiologi dan


Geografi. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan
tentang kearifan lokal subak dan upaya pelestariannya.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ai dan Pak Endang


selaku guru. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Saya menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

1
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ......................... 1


DAFTAR ISI ......................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN ......................... 3
1.1 LATAR BELAKANG
......................... 3
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.3 TUJUAN DAN MANFAAT ......................... 8
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA ......................... 8
2.1 PENGERTIAN KEARIFAN LOKAL ......................... 9
2.2 BENTUK KEARIFAN LOKAL ......................... 9
2.3 KERAGAMAN KEARIFAN LOKAL ......................... 10
BAB 3 PEMBAHASAN MASALAH ......................... 12
3.1 KAJIAN WILAYAH ......................... 12
3.2 SISTEM PENGAIRAN SAWAH
......................... 13
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA ......................... 14
......................... 15

2
Bab 1 Pendahuluan

1.1Latar Belakang
Sistem irigasi subak merupakan warisan budaya masyarakat Bali.
Organisasi petani tersebut berwatak sosio agraris religius. Subak
sebagai lembaga sosial dapat dipandang sebagai lembaga tradisional
wadah berkumpul dan berinteraksi sosialnya para petani. Subak
sebagai lembaga berciri agraris dipandang sebagai lembaga yang
khusus bergerak dalam pengaturan air irigasi dan usahatani di
hamparan sawah, sedangkan sebagai lembaga yang berciri religius
artinya subak didasari oleh aturan-aturan Agama Hindu. Prinsip-
prinsip subak ini dalam keseharian lebih dikenal sebagai aspek
pawongan (sebagai lembaga sosial), aspek palemahan (sebagai
lembaga di bidang pertanian), dan aspek parhyangan (sebagai
lembaga berciri religius). Prinsip-prinsip ini terkristalisasi dalam
falsafah Tri Hita Karana. Subak sebagai lembaga tradisional tidak
dapat memisahkan diri dari interaksinya dengan dunia luar baik
dengan sesama subak, pemerintah, lembaga sosial lainnya, atau
terhadap perkembangan zaman. Hal ini akan membuka peluang
perubahan baik secara positif maupun negatif bagi keberadaan subak.
Perubahan yang merugikan sering menimbulkan masalah bagi
kelestarian subak. Kelemahan subak sebagai sistem irigasi yang
berlandaskan sosio agraris religius adalah ketidakmampuannya
untuk melawan intervensi yang berasal dari eksternal sehingga
menimbulkan marginalisasi. Sebaliknya, subak memiliki kemampuan
untuk menyerap perkembangan teknologi, beradaptasi dengan
dinamika budaya, dan menata organisasinya yang bersifat fleksibel
sesuai dengan lingkungannya (Windia, 2008: 2-6). Upaya pelestarian
subak sudah lama menjadi wacana para pemerhati subak mengingat
rentannya subak dari intervensi pihak luar seperti kurangnya
3
ketersediaan air irigasi karena adanya persaingan yang semakin ketat
dengan adanya pemanfaatan air oleh sektor non pertanian (air minum
atau PDAM, sektor industri, dan sektor pariwisata atau hotel maupun
restoran). Padahal, subak mempunyai fungsi dan peran cukup penting
dalam menjaga ketahanan pangan. Subak yang berlaku di perkotaan
umumnya mengalami berbagai ancaman sebagaimana dikemukakan di
atas, eksistensi Subak Padanggalak, Desa Kesiman Kertalangu,
Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar juga terancam karenanya.
Subak Padanggalak bersama Desa Kesiman Kertalangu dan pihak
swasta sejak tahun 2007 bersinergi melakukan usaha untuk subak
dengan industri pariwisata agar mampu menekan alih fungsi lahan
persawahan dalam konsep “Desa Budaya Kertalangu (DBK)”.
Pengembangan DBK dibuat oleh masyarakat (kelian adat dan krama
subak) bersama pihak swasta dan mendapat dukungan pemerintah
melalui Dinas Kebudayaan Kota Denpasar. Tujuan dari adanya
pengembangan DBK agar para petani tetap menjalani aktivitasnya
sebagai petani dan mendapat nilai lebih dari aktivitas pertaniannya
(Pradnyani, 2014).Tantangan yang diakibatkan lokasinya di perkotaan
berkaitan dengan alih fungsi lahan, kompetisi pemanfaatan dan
pencemaran air irigasi, dan tranformasi pekerjaan ke non pertanian.
Sedangkan tantangan yang diakibatkan oleh masuknya industri
pariwisata menurut Pitana (2005: 259) yaitu adanya benturan antara
nilai-nilai budaya pertanian sebagai representasi budaya tradisional
dengan budaya pariwisata sebagai representasi budaya modern
yang sangat mementingkan aspek ketepatan waktu, standarisasi
kualitas dan kontinuitas produk pertanian. Seringkali hal ini tidak
mampu dipenuhi oleh subak yang mengusahakan pertanian dalam skala
rumah tangga berskala kecil, penerapan teknologi seadanya dan
orientasi pasar yang rendah (Pitana, 2005). Bagi subak yang berada di
perkotaan dan terintegrasi dengan kepariwisataan memiliki tantangan
besar.
4
Upaya pelestarian subak sangat tergantung kepada sejauh mana
subak masih mampu menerapkan falsafah Tri Hita Karana dalam
aktifitas fungsi dan tugasnya, mengingat punahnya falsafah Tri Hita
Karana berarti mengancam kelestarian subak. Kelestarian subak juga
perlu dukungan eksternal utamanya dari pemerintah dan swasta
sehingga perlu dikaji upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dan
swasta dalam turut serta mendukung pelestarian subak. Berdasarkan
data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (DPTPH)
Provinsi Bali tahun 2006, Luas areal sawah di Bali telah berkurang dari
tahun ke tahun. Sejak tahun 1997, memiliki sawah seluas 100.221,53
hektar, tahun 1998 seluas 98.117 hektar, dan pada tahun 1999 seluas
95.338 hektar (Windia, 2006). Menurut Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Holtikultura (DPTPH) Provinsi Bali tahun 2006, selama
tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 luas lahan dari 85.776 hektar
menjadi 81.210 hektar sehingga mengalami penurunan sekitar 4.566
hektar dengan rata-rata konversi lahan seluas 913,20 hektar/tahun
(Nggauk, 2011 dalam Pradnyani, 2014). Pentingnya upaya pelestarian
subak mengingat subak memiliki peran jamak (multi-functional roles)
diantaranya: (1) fungsi produksi dan ekonomi guna menjamin
ketahanan pangan, (2) fungsi lingkungan yang mencakup
pengendalian banjir, pengendalian erosi, pengisian kembali air tanah,
pemurnian udara dan air, (3) fungsi ekologi yaitu menjadi habitat bagi
berbagai spesies sebagai pemberi sumber protein bagi petani dan
pemeliharaan keanekaragaman hayati, (4) fungsi sosial budaya yaitu
penyangga tradisi dan nilai-nilai sosial budaya pedesaan, (5) fungsi
pembangunan pedesaan yaitu sebagai sumber air minum untuk
ternak, cuci dan mandi bagi masyarakat pedesaan, menyediakan
kesempatan kerja bagi penduduk desa, serta (6) fungsi ekowisata dan
agrowisata mengingat subak ada yang memiliki daya tarik
keindahan pemandangan berupa terasering dan alam pedesaaan
serta kehidupan masyarakat pedesaan ataupun pertanian dengan
5
kekayaan tradisinya termasuk keanekaragaman produksi pertaniannya
(Sutawan, 2005: 10-11). Upaya pelestarian subak sangat relevan
untuk dilaksanakan karena subak memiliki fungsi jamak (banyak) baik
secara internal maupun eksternal. Fungsi subak secara internal
berorientasi pada keperluan subak itu sendiri seperti pelaksanaan
kegiatan ritual, pendistribusian air irigasi, pemeliharaan jaringan irigasi
dan bangunan fisik lainnya, pengerahan sumber daya, penanganan
konflik, dan pengadopsian inovasi. Lebih lanjut, fungsi subak secara
eksternal yaitu fungsisubak yang bermanfaat bagi keperluan
masyarakat luas, di samping juga untuk keperluan subak dan
anggotanya yang diantaranya mencakup sebagai penyangga atau
pendukung ketahanan pangan, pelestari lingkungan alam, penunjang
pembangunan pertanian dan perdesaan, pelestari kebudayaan bali dan
agraris, penyangga nilai-nilai tradisional, pendukung pembangunan
agrowisata, objek wisata alam, penghasil oksigen, dan penunjang
pembangunan koperasi unit desa (KUD) (Sudarta dan Dharma, 2013).
Upaya pelestarian Subak Padanggalak yang berlokasi di perkotaan
umumnya akan mengalami tantangan lebih besar mengingat laju alih
fungsi lahan pertanian (sawah) menjadi peruntukan non pertanian
peluangnya semakin besar. Alih pekerjaan (transformasi pekerjaan)
petani dan keluarganya juga peluangnya semakin besar mengingat
beragamnya jenis pekerjaan yang tersedia sepanjang tahun di luar
sektor pertanian. Persaingan subak di daerah perkotaan dalam
mendapatkan air irigasi bahkan semakin berat akibat subak sudah
dikepung perumahan, industri dan fasilitas pariwisata. Berkaitan
dengan upaya pelestarian subak di daerah perkotaan, terlibatnya
Subak Padanggalak dalam usaha integrasi pertanian dan pariwisata
dalam konsep Desa Budaya Kertalangu (DBK) sangatlah menarik
diteliti. Mengingat subak dibangun atas falsafah utama yaitu “Tri Hita
Karana (THK)”. THK merupakan tiga hal yang menyebabkan
keselamatan dan kesejahteraan, terdiri atas parhyangan yaitu
6
hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, pawongan yaitu
hubungan manusia dengan manusia,dan palemahan yaitu hubungan
manusia dengan alam lingkungan sangatlah tepat untuk dikaji
bagaimanakah penerapanTHK di Subak Padanggalak dan
bagaimanakah upaya Subak Padanggalak dalam melestarikan
subaknya dalam koridor THK. Selain itu, Subak Padanggalak memiliki
dua tantangan sekaligus yaitu lokasinya di perkotaan dan masuknya
industri pariwisata. Oleh karena itu, perlu diketahui peran pemerintah
dan swasta dalam upayanya ikut mendorong pelestarian subak, baik
dengan bantuan material maupun non material..

Gambar 1 Salah satu contoh subak

7
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan sebelumnya,
permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut.
1.Kenapa sistem subak di terapkan?
2. Bagaimana sistem pengairan subak?
3.Bagaimana cara masyarakat guna mewariskan budaya tersebut?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan:
1. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan Subak Padanggalak
dalam melestarikan subaknya dilihat dari konsep Tri Hita Karana.
2. Untuk mengetahui peran pemerintah dan kalangan swasta
dalam upaya mendukung pelestarian Subak Padanggalak.
3. Untuk mengerjakan nilai ujian praktek
Manfaat:
1. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini dapat menambah
wawasan serta ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
upaya pelestarian subak
2. Bagi petani, penelitian ini dapat menjadi refleksi sebagai
anggota Subak Padanggalak dalam merespon upaya pelestarian
3. Bagi subak dan pemerintah desa, dapat merancang
pengembangan upaya pelestarian Subak Padanggalak berbasis
pertanian subak yang lebih adil terhadap petani dan subak serta
menjamin pengembangan pariwisata yang tidak akan
mengancam eksistensi subak

8
Bab 2 Kajian Pustaka

2.1 Pengertian Kearifan Lokal   


             Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah
bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan
mengolah kebudayaan yang berasal dari luar/bangsa lai menjadi watak
dan kemampuan sendiri Wibowo (2015:17). Identitas dan Kepribadian
tersebut tentunya menyesuaikan dengan pandangan hidup masyarakat
sekitar agar tidak terjadi pergesaran nilai-nilai. Kearifan lokal adalah
salah satu sarana dalam mengolah kebudayaan dan mempertahankan
diri dari kebudayaan asing yang tidak baik. Kearifan lokal adalah
pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat
lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan
mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai
kebijakan setempat local wisdom atau pengetahuan setempat “local
knowledge” atau kecerdasan setempat local genious Fajarini
(2014:123). Berbagai strategi ilakukan oleh masyarakat setempat untuk
menjaga kebudayaannya.

 2.2 Bentuk Kearifan Lokal


    Bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat Indonesia
berupa nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Namun,
bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikan menjadi dua jenis, yaitu:
9
 Wujud Nyata (Tangible)
1. Tekstual, yaitu aturan yang dituangkan dalam bentuk tertulis.
Contohnya, sistem nilai dan tata cara.8
2. Bangunan/arsitektural, contohnya terdapat dalam seni arsitektur
rumah adat suku-suku di Indonesia.
3. Benda cagar budaya/tradisional (karya seni), contohnya patung,
senjata, alat musik, dan tekstil.

 Tidak Berwujud (Intangible)


Merupakan bentuk kearifan lokal yang hanya disampaikan secara
verbal. Contohnya adalah petuah, nyanyian, pantun, dan cerita yang
mengandung nilai-nilai ajaran tradisional.

2.3 Keragaman Kearifan Lokal


Sistem subak telah menjadi salah satu kekhasan Provinsi Bali. Sistem
pengairan yang berkembang dalam pengaruh nilai-nilai ajaran Hindu
yang kuat ini menjadi sebentuk kearifan lokal yang membuat
masyarakat petani dapat serasi dengan alam untuk memperoleh hasil
panen yang optimal.
Subak pun telah memperoleh pengakuan dari para pakar pertanian
internasional. Salah satunya dari John S. Amber (1990) yang mengakui
subak sebagai prinsip pengelolaan irigasi yang unggul dan maju. Sistem
irigasi pertanian ini pun tetap lestari dalam budaya masyarakat
pedesaan di Bali selama berabad-abad dan terus berjalan hingga saat
ini.
10

Dalam kajian sejarah, diperkirakan sistem subak telah dikenal


masyarakat Bali sejak abad ke-11 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada
temuan Prasasti Raja Purana Klungkung (994 Saka/1072 M) yang
menyebutkan kata “kasuwakara”, yang diduga merupakan asal kata
dari “suwak”, yang kemudian berkembang menjadi “subak”.

Subak merupakan suatu sistem swadaya masyarakat yang berfungsi


mengatur pembagian aliran irigasi yang mengairi setiap petak areal
persawahan. Sistem ini dikelola secara berkelompok dan bertingkat
disertai pembagian peran yang spesifik bagi setiap anggotanya.
Dalam organisasi subak, dikenal adanya beberapa perangkat.
Perangkat-perangkat yang ada dalam subak adalah pekaseh (ketua
subak), petajuh (wakil pekaseh), penyarikan (juru tulis), petengen (juru
raksa), kasinoman (kurir), dan beberapa yang lainnya. Selain itu, dikenal
adanya sub-kelompok yang terdiri dari 20-40 petani yang
disebut munduk, yang diketuai oleh seorang pengliman.
elain sistem strukturalnya, subak juga memiliki kekhasan dalam hal
ritual upacara keagamaan yang berlangsung di dalamnya. Dalam subak,
dikenal adanya ritual yang berlaku secara perseorangan dan ritual
berkelompok (tingkat munduk/tempek dan subak).
Ritual perseorangan diantaranya ngendangin (dilakukan saat pertama
kali mencangkul), ngawiwit (saat petani menabur benih), mamula (saat
menanam), neduh (saat padi berumur 1 bulan agar tidak diserang
penyakit), binkunkung (saat padi mulai berisi), nyangket (saat panen),
dan manteni (ketika padi disimpan di lumbung). Di tingkat munduk,
dikenal ritual berkelompok seperti mapag toya, mecaru, dan ngusaba
11

Bab 3 Pembahasan Masalah


3.1 Kajian Wilayah
Bali merupakan provinsi yang terletak diantara Pula Jawa dan Pulau
Lombok. Ibukota provinsinya adalah Denpasar. Provinsi Bali terdiri dari
sebuah pulau yakni Pulau Bali, dan pulau-pulau yang lebih kecil di
sekitarnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau
Nusa Ceningan, Pulau Serangan, dan Pulau Menjangan.

Secara geografis provinsi Bali terletak pada posisi titik koordinat


08°03’40” – 08°50’48” Lintang Selatan dan 114°25’53” – 115°42’40”
Bujur Timur yang menyebabkannya beriklim tropis dengan total luas
povinsi sebesar 5.636,66 km2. Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan
Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km, sekitar 3,2 km dari
Pulau Jawa. Wilayah Bali secara umum beriklim laut tropis, yang
dipengaruhi oleh angin musiman. Terdapat musim kemarau dan musim
hujan yang diselingi oleh musim pancaroba. Corak produksi masyarakat
Bali sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim (siklus alam dan curah
hujan).
Suhu/temperatur udara rata-rata tertinggi di wilayah Bali di Kota
Denpasar yaitu mencapai 27,7°C dengan rata-rata kelembaban udara
79. Sebaliknya, suhu udara rata-rata terendah terjadi di Kabupaten
Jembrana yang mencapai 26,3°C dengan tingkat kelembaban udara
rata-rata yakni sebesar 85 persen.
Provinsi Bali memiliki empat buah danau, yakni Danau Beratan, Danau
Buyan, Danau Tamblingan, dan Danau Batur pada bagian utara,
sedangkan bagian selatan Bali adalah dataran rendah yang dialiri
12
sungai-sungai, seperti sungai Tukad Ayung 62.500 meter dan sungai
sungai lainnya. Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah
Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur
dan di antara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi,
yakni Gunung Agung yang merupakan titik tertinggi di Bali setinggi
3.142 meter. Gunung berapi lainnya yang terletak di Pulau Bali ialah
Gunung Batur (1.717 meter) berlokasi di Bangli. Sedangkan gunung
yang tidak berapi antara lain adalah Gunung Merbuk (1.356 meter) di
Jembrana, Gunung Patas (1.414 meter) di Buleleng, dan Gunung Seraya
(1.058 meter) di Karangasem, serta beberapa gunung lainnya. Adanya
pegunungan tersebut menyebabkan daerah Bali secara geografis
terbagi menjadi dua bagian yang tidak sama, yakni Bali Utara dengan
dataran rendah yang sempit dan kurang landai, serta Bali Selatan
dengan dataran rendah yang luas dan landai.
3.2 Sistem Pengairan Sawah
1. Dalam kajian sejarah, subak telah dikenal masyarakat Bali sejak abad
ke-9 Masehi. Subak merupakan suatu sistem swadaya masyarakat yang
berfungsi mengatur pembagian aliran irigasi yang mengairi setiap petak
area persawahan.
2.Sama seperti sistem irigasi lainnya, setiap petani berhak atas
bendungan air (pengalapan), parit (jelinjing) dan sebuah saluran air
menuju lahan (cakangan). Pembuatan, pemeliharaan dan pengelolaan
fasilitas irigasi subak ini dilakukan bersama oleh anggota subak di
daerah tersebut.
3. Usaha yang dilakukanmasyarakat bali dalamkeikutsertaannya
melestarikan sistem subak adalah dengan aktif mempromosikan subak
kepada wisatawan. Selain itu, mereka juga dapat aktif menjadi petani
setempat.
13
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN
Dengan Demikian dapat di simpulan bahwa kearifan lokal subak sebagai
berikut:

1. konsep ini mengembangkan bahwa air adalah ciptaan Tuhan Yang


Maha Kuasa, sehingga air harus dijaga dengan sebaiknya,agar
lestari.
2.       Mengembangkan konsep adil dan proporsional dalam
pembagian air irigasi, serta dalam pembagian manfaat dan biaya.
3.     Mengembangkan konsep pengaturan secara jelas dan rinci
dalam pelaksanaan kegiatan subak, yang dituangkan dalam
bentuk awig-awig (aturan tertulis), dan aturan tidak tertulis
lainnya sesuai dengan kesepakatan bersama.
4.    Bangunan bagi dibuat dengan bahan lokal yang mudah didapat
dari lingkungan sekitarnya menganut sistem one inlet and oulet
pada setiap blok/komplek pemikiran sawah petani, sehingga
setiap petani dapat mengembangkan sistem diversikasi
pertanaman untuk peningkatan kesejatehteraannya. Sistem ini
juga dapat mengembangkan kebijakan saling pinjam air irigasi
antar petani, sehingga dapat mencegah pencurian air dan konflik.

https://www.youtube.com/watch?v=-mILFEr0E-c

14
DAFTER PUSTAKA
Ali, Moertopo,1978, Strategi Pembangunan Indonesia, CSIS, Jakarta. .
Atmojo, S.K. 1986. Some Shorts Notes on Agricultural Data from
Ancient Balinese Insciption, in S. Kartodirjo (ed.) Papers of the Fourth
Indonesian – Dutch History Conference. Yogyakarta 24 – 29 July 1983,
vol.1. Agrarian History, pp.41-2. Yogyakarta. Gajah Mada University.
BPS Propinsi Bali. 2008. Sekilas Bali 2008
Budiasa, I Wayan. 2005. Subak dan Keberlanjutan Sistem Pertanian
Beririgasi di Bali. Dalam Pitana, I Gde dan Gede Setiawan AP
(Eds). Revitalisasi Subak dalam Memasuki Era Globalisasi. Yogyakarta:
Andi Offset.
Widyaiswara. 2011 Subak Model Kearifan Lokal BALI yang Terkikis
Kementrian Pertanian dan Badan Penyuluhan Pengembangan
Pertanian. BBPP Ketindan Malang
(http://bbppketindan.info/index.php?
option=com_content&view=article&id=96:subak-model-kearifan-lokal-
bali-yang-terkikis&catid=9:artikel-pertanian&Itemid=28diambil pada 26
Mei 2014)
http://balisustain.blogspot.com/2010/08/peran-ganda-subak-dalam-
mewujudkan.html
http://balisustain.blogspot.com/2010/08/kajian-tata-ruang-dan-
pengelolaan.html
http://blog.baliwww.com/arts-culture/467
http://id.wikipedia.org/wiki/Subak_%28irigasi%29
https://www.literasipublik.com/subak-tata-kelola-air-berbasis-kearifan-
lokal
15

Anda mungkin juga menyukai