Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAHAN BASAH

“DATARAN LUMPUR DAN DATARAN BERPASIR”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan Lingkungan Lahan


Basah

(ABKA541)

Dosen Pengampu :

Dr. Karunia Puji Hastuti, M.Pd

Muhammad Muhaimin, S.Pd., M.Sc

Disusun Oleh:

Muhammad Iqbal Julian Arrizky

(1710115210015)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas bimbingan Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. penulis panjatkan karena atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan, rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah Pengelolaan Lingkungan Lahan Basah ini.

Makalah ini telah penulis susun sedemikian rupa dengan sangat maksimal
dan mendapat refrensi dari berbagai sumber. Untuk itu penulis menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua sumber refrensi sehingga makalah ini dapat
terbentuk dan terselesaikan.

Terlepas dari semua itu penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih


sangat banyak kekurangan yang kami perbuat dalam pembuatan makalah ini. Baik
dari segi bahasanya maupun dari segi susunan kalimatnya. Oleh karena itu penulis
sangat berterima kasih dan dengan tangan terbuka menerima segala macam kritik
dan saran dari pembaca.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat diterima dan
bermanfaat bagi pembaca.

Banjarmasin, 06 Maret 2021

Muhammad Iqbal Julian Arrizky

i
DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1. Latar Belakang..........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3. Tujuan........................................................................................................2
BAB II KAJIAN PUSTAKA...................................................................................3
2.1. Pengertian Lahan Basah............................................................................3
2.2. Lahan Basah Pesisir...................................................................................4
2.3. Dataran Lumpur dan Dataran Berpasir.....................................................5
BAB III PEMBAHASAN........................................................................................7
3.1. Potensi Dataran Lumpur dan Pasar...........................................................7
3.1.1. Sumber Daya Yang Dapat Pulih (renewable resources)...................8
3.1.2. Sumber Daya Yang Tidak Dapat Pulih (non-renewable resources)12
3.1.3. Jasa-Jasa Lingkungan (environmental services)..............................12
3.2. Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir..........................................................12
3.3. Ancaman Kerusakan Dan Pencegahan Kerusakan Pesisir......................14
3.4. Penanggulangan.......................................................................................17
3.4.1. Persiapan..........................................................................................20
3.4.2. Perencanaan.....................................................................................20
3.4.3. Persiapan Sosial...............................................................................20
3.4.4. Penyadaran Masyarakat...................................................................20
3.4.5. Analisis Kebutuhan..........................................................................21
3.4.6. Pelatihan Keterampilan Dasar..........................................................21
3.4.7. Penyusunan Rencana Penanggulangan Kerusakan Lingkungan
Pesisir dan Laut secara Terpadu dan Berkelanjutan.......................................21
3.4.8. Pengembangan Fasilitas Sosial........................................................22
3.4.9. Pendanaan........................................................................................22
BAB IV PENUTUP...............................................................................................23
4.1. Kesimpulan..............................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................25

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Dataran Lumpur.....................................................................................5


Gambar 2 Dataran Lumpur Taman Nasional Berbak Sembilang, Sumatera
Selatan......................................................................................................................6
Gambar 3 Pantai sebagai tempat wisata.................................................................7
Gambar 4 Hutan Mangrove.....................................................................................8
Gambar 5 Terumbu Karang.....................................................................................9
Gambar 6 Rumput Laut..........................................................................................10
Gambar 7 Perikanan Di Daerah Pesisir...............................................................11
Gambar 8 PLTO.....................................................................................................13
Gambar 9 Penambangan Pasir Besi......................................................................14
Gambar 10 Kerusakan Daerah Pesisir Oleh Pencemaran Sampah dan Limbah..16

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lahan Basah adalah “Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan
perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar,
payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak
lebih dari enam meter pada waktu surut” (Konvensi Ramsar).

Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan


manusia. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan
secara langsung, seperti sumber air minum dan habitat beraneka ragam mahluk,
tapi juga memiliki berbagai fungsi ekologis seperti pengendali banjir, pencegah
intrusi air laut, erosi, pencemaran, dan pengendali iklim global. Kawasan lahan
basah juga akan sulit dipulihkan kondisinya apabila tercemar, dan perlu
bertahun-tahun untuk pemulihannya. Dengan demikian, untuk melestarikan
fungsi kawasan lahan basah sebagai pengatur siklus air dan penyedia air
permukaan maupun air tanah perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air secara bijaksana dengan memperhatikan
keseimbangan ekologis dan kepentingan generasi sekarang dan mendatang.

Pengelolaan lahan basah secara lestari tidak hanya penting bagi ekosistem
setempat saja tapi juga bagi kepentingan nasional, regional dan bahkan
internasional; misalnya saja lahan gambut Indonesia yang memiliki luasan 16
juta ha merupakan cadangan karbon terestrial yang penting dan sangat berperan
dalam mengendalikan iklim global. Jika diasumsikan bahwa kedalaman rata-
rata gambut di Indonesia adalah 5 m dan bobot isinya 114 kg/m3 maka
cadangan karbon di lahan gambut Indonesia adalah sebesar 46 Gt (Murdiyarso
& Suryadiputra, 2003)

Akumulasi pengelolaan lahan basah Indonesia yang keliru selama ini


menyebabkan kerusakan yang sangat besar. Danau-danau di Sulawesi misalnya
yang hingga 10 tahun lalu masih kaya akan ikan-ikan endemik kini didominasi
oleh spesies invasif seperti Mujair. Kualitas air pada berbagai kawasan lahan

1
basah terutama sungai mengalami penurunan yang sangat signifikan,
diperkirakan 60% sungai di Indonesia dalam keadaan tercemar. Jutaan hektar
rawa gambut di Sumatera dan Kalimantan terbakar dalam kurun waktu 10
tahun terakhir dan menyebabkan kehancuran keanekaragaman hayati rawa
gambut, kerusakan tata air kawasan, dan lepasnya jutaan ton karbon ke udara.
Akibat berbagai tekanan tersebut, hingga tahun 1996 Wetlands International -
Indonesia Programme (WI-IP) memperkirakan Indonesia kehilangan lahan
basah alami sekitar 12 juta ha. Kehilangan tersebut juga diperparah oleh
tingginya kegiatan perambahan hutan dan alih fungsi lahan basah menjadi
pemukiman, industri, pertanian, dan perkebunan.

Kerusakan-kerusakan yang terjadi secara langsung atau tidak langsung


akan berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat seperti
meningkatnya angka kemiskinan serta menurunnya tingkat pendidikan dan
kualitas hidup. Untuk itu diperlukan upaya sesegera mungkin untuk
memperbaiki kondisi tersebut dengan meningkatkan komunikasi dan
koordinasi antar para pemangku kepentingan melalui berbagai cara.

1.2. Rumusan Masalah


 Apa yang dimaksud lahan basah?
 Apa yang dimaksud lahan basah pesisir?
 Potensi apa yang dimiliki lahan basah pesisir khususnya dari dataran
lumpur dan pasir?
 Bagaimana pengelolaan potensi lahan basah pesisir?
 Bagaimana upaya penyelamatan yang dilakukan pemerintah terhadap
lahan basah pesisir?
 Bagaimana peran masyarakat dalam mengelola lahan basah pesisir?

1.3. Tujuan
 Menjelaskan lahan basah
 Menjelaskan jenis lahan basah pesisir
 Menjelaskan manfaat lahan basah pesisir
 Menjelaskan potensi yang dimiliki lahan basah pesisir
 Menjelaskan cara pengelolaan lahan basah pesisir

2
 Menjelaskan upaya penyelamatan lahan basah pesisir

3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Lahan Basah
Istilah “Lahan Basah”, sebagai terjemahan “wetland” baru dikenal di
Indonesia sekitar tahun 1990. Sebelumnya masyarakat Indonesia menyebut
kawasan lahan basah berdasarkan bentuk/nama fisik masing-masing tipe
seperti: rawa, danau, sawah, tambak, dan sebagainya. Disamping itu, berbagai
departemen sektoral juga mendefinisikan lahan basah berdasarkan sektor
wilayah pekerjaan masing-masing. Pengertian fisik lahan basah yang
digunakan untuk menyamakan persepsi semua pihak mulai dikenal secara baku
sejak diratifikasinya Konvensi Ramsar tahun 1991 yaitu:

“Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau


sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin;
termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter
pada waktu surut.”

“Areas of marsh, fen, peatland or water, whether natural or artificial,


permanent or temporary, with water that is static or flowing, fresh brackish or
salt, including areas of marine water the depth of which at low tide does not
exceed six meters.”

Pengertian di atas menunjukkan bahwa cakupan lahan basah di wilayah


pesisir meliputi terumbu karang, padang lamun, dataran lumpur dan dataran
pasir, mangrove, wilayah pasang surut, maupun estuari; sedang di daratan
cakupan lahan basah meliputi rawarawa baik air tawar maupun gambut, danau,
sungai, dan lahan basah buatan seperti kolam, tambak, sawah, embung, dan
waduk. Untuk tujuan pengelolaan lahan basah dibawah kerangka kerjasama
Internasional, Konvensi Ramsar, mengeluarkan sistem pengelompokan tipe-
tipe lahan basah menjadi 3 (tipe) utama yaitu:

1) Lahan basah pesisir dan lautan, terdiri dari 11 tipe antara lain terumbu
karang dan estuari.
2) Lahan basah daratan, terdiri dari 20 tipe antara lain sungai dan danau.

4
3) Lahan basah buatan, terdiri dari 9 tipe antara lain tambak dan kolam
pengolahan limbah

Setiap tipe lahan basah tersebut kemudian diberi kode huruf atau angka.
Pengelompokan ini diadopsi secara secara luas oleh berbagai negara dan
terbukti memudahkan komunikasi dan identifikasi dalam kegiatan kerjasama
pengelolaan lahan basah secara internasional.

2.2. Lahan Basah Pesisir


Wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut ke arah
darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam
air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut
dan perembesan air asin. Kondisi suatu wilayah pesisir erat kaitannya dengan
sistem sungai yang bermuara di wilayah itu. Perubahan sifat sungai yang
mungkin terjadi, baik yang disebabkan karena proses alami maupun sebagai
akibat kegiatan manusia, baik yang terjadi di hulu maupun di daerah hilir, akan
mempengaruhi wilayah pesisir yang bersangkutan (Supriharyono, 2007).

Batas Wilayah pesisir merupakan batas peralihan antara darat dan laut
dimana pengaruh intrusi air laut masih sampai ke darat atau sejauh mana
pengaruh angin laut menuju darat, dan sejauh mana sedimentasi dari darat ke
laut yang sifatnya fluktuatif (Wirawan, B., dkk, 2002)

Ekosistem perairan pesisir laut tropis yang meliputi estuaria, hutan pantai
atau mangrove, padang lamun dan terumbu karang diketahui mempunyai
keanekaragaman jenis organisme yang sangat tinggi dan juga mempunyai
potensi yang sangat besar untuk menunjang produksi perikanan. Produktivitas
primer di perairan pesisir dapat mencapai lebih dari 10.000 gr C/m2/th. Nilai
ini sangat tinggi atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas
perairan di laut dangkal, yaitu sekitar 100 gr C/m2/th atau perairan di laut
dalam yang hanya sekitar 50 gr C/m2/th (Supriharyono, 2000)

Daerah pesisir termasuk zona ekoton karena merupakan daerah interaksi


antara dua ekosistem yang berbeda yaitu ekosistem daratan dan lautan.
Komponen-komponen biotik dan abiotik di kedua ekosistem ini membentuk

5
zona ekoton pesisir saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain
sehingga membentuk karakteristik wilayah pesisir yang unik. Modifikasi
lingkungan pesisir yang sangat cepat, hilang dan rusaknya keragaman hayati
ekosistem pesisisr termasuk mangrove, lagoon, rawa, dan terumbu karang
merupakan hal yang patut mendapatkan perhatian serius (Haryani, Gadis Sri,
2002).

2.3. Dataran Lumpur dan Dataran Berpasir


Dataran lumpur dan dataran pasir adalah dataran tidak bervegetasi yang
terbentuk di daerah pantai yang landai, terutama di dekat muara sungai dan
terumbu karang. Kawasan yang kelihatannya tandus ini sebetulnya sangat
subur karena menerima banyak suplai nutrien dan biasanya dihuni oleh
berbagai jenis organisme bentik. Ketika air surut kawasan ini menjadi tempat
makan burung air, sebaliknya saat pasang menggenangi kawasan ini, berbagai
jenis ikan pesisir mendatanginya untuk mencari makan.

Gambar 1 Dataran Lumpur

Dataran lumpur banyak ditemui di Pantai Timur Sumatera, Pantai Utara


Jawa, Kalimantan, dan Papua. Hingga saat ini tidak ada data spesifik yang
membahas mengenai luas dan nilai potensi dataran lumpur Indonesia. Di
beberapa tempat, dataran lumpur bisa membentang hingga 2 km ke arah laut
saat surut rendah. Setiap tahunnya jutaan burung migran juga memanfaatkan
kawasan ini untuk beristirahat dalam perjalanan migrasinya

6
Semenanjung Banyuasin di kawasan Taman Nasional Sembilang adalah
salah satu daerah yang memiliki ekosistem dataran lumpur dan dataran pasir
yang sangat luas. Dataran lumpur di taman nasional ini kaya akan
keanekaragaman jenis invertebrata seperti cacing, moluska, dan krustasea.
Dataran lumpur ini dapat menjorok ke arah laut selebar lebih dari 1,5 km dari
garis pantai, dengan kondisi dinamis yang dipengaruhi oleh pasang-surut dan
sedimentasi yang terjadi. Pada musim dingin di belahan bumi utara, sekitar
80.000 ekor burung bermigrasi ke dataran lumpur di Semenanjung Banyuasin
ini.

Gambar 2 Dataran Lumpur Taman Nasional Berbak Sembilang, Sumatera Selatan

Penebangan mangrove, perburuan burung, penambangan pasir, dan


pencemaran akibat berbagai kegiatan di sekitar dataran lumpur sangat
mengancam ekosistem kawasan ini. Disamping itu, dampak perubahan iklim
berupa penaikan permukaan air laut juga diduga kuat akan menyebabkan
terjadinya perubahan permanen fungsi dataran lumpur sebagai pendukung
kehidupan berbagai biota.

7
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Potensi Dataran Lumpur dan Pasar
Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia
adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini
sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepajang sekitar 81.000
km. Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumber alam
yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati. Potensi
hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan
potensi nonhayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata.

Gambar 3 Pantai sebagai tempat wisata

Di daerah ini juga berdiam para nelayan yang sebagian besar masih
prasejahtera. Keadaan pantai di Indonesia sangat bervariasi, yaitu mulai dari
pantai pasir putih-berbatu, landai-terjal, bervegetasi-berlumpur, teduh,
bergelombang yang semua ini sangat cocok dengan berbagai peruntukannya,
seperti perikanan pantai, budidaya perikanan, industri perhotelan, turisme, dan
lain-lain.

Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara garis besar


terdiri dari tiga kelompok : (1) sumber daya dapat pulih (renewable resources),
(2) sumber daya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa
lingkungan (environmental services).

8
3.1.1. Sumber Daya Yang Dapat Pulih (renewable resources)
a. Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang
penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia
nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota,
penahan abrasi, penahan amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah,
pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga
mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai
bahan baku obat obatan, dan lain-lain.

Segenap kegunaan ini telah dimanfaatkan secara tradisional oleh sebagian


besar masyarakat pesisir di tanah air. Potensi lain dari hutan mangrove yang
belum dikembangkan secara optimal, adalah kawasan wisata alam (eco-
tourism). Padahal negara lain, seperti Malaysia dan Australia, kegiatan wisata
alam di kawasan hutan mangrove sudah berkembang lama dan
menguntungkan.

Gambar 4 Hutan Mangrove

Indonesia memiliki hutan mangrove yang luas dibandingkan dengan


negara lain. Hutan-hutan ini dapat menempati bantaran sungai-sungai besar
hingga 100 km masuk ke pedalaman seperti yang dijumpai di sepanjang sungai
Mahakam dan sungai Musi. Keanekaragaman juga tertinggi di dunia dengan
jumlah spesies sebanyak 89, terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9
spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasitik.

9
b. Terumbu karang
Indonesia memiliki kurang lebih 50.000 km2 ekosistem terumbu karang
yang tersebar di seluruh wilayah pesisir dan lauta. Terumbu karang mempunyai
fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik,
tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan berbagai biota; terumbu karang
juga menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting
seperti berbagai jenis hasil perikanan, batu karang untuk konstruksi. Dari segi
estetika, terumbu karang dapat menampilkan pemandangan yang sangat indah.
Upaya pemanfaatan sumber daya alam yang lestari dengan melibatkan
masyarakat sangat dibutuhkan. Pada kasus di Bali dimana masyarakat
melakukan pengambilan karang secara intesif harus dicegah dengan
mencarikan alternatif berupa pengelolaan wilayah tersebut untuk kepentingan
turisme dan melibatkan masyarakat didalamnya. Cara seperti ini telah berhasil
dikembangkan di Bunaken Sulawesi Utara dimana masyarakat terlibat dalam
sektor ekonomi seperti pelayanan pada penjualan suvenir, makanan kecil, dan
penyediaan fasilitas untuk menikmati keindahan terumbu karang; perahu
katamaran (perahu yang mempunyai kaca pada bagian tengah, sehingga orang
bisa melihat langsung kedalam air melalui kaca tersebut) atau jasa scuba
diving. Sedangkan perusahaan bisa menyediakan fasilitas hotel, restauran dan
lain-lain. Contoh ini kemungkinan dapat dikembangkan di tempat lain sebagai
suatu model ekoturisme.

10
Gambar 5 Terumbu Karang

c. Rumput Laut
Potensi rumput laut (alga) di perairan Indonesia mencakup areal seluas
26.700 ha dengan potensi produksi sebesar 482.400 ton/tahun. Pemanfaatan
rumput laut untuk industri terutama pada senyawa kimia yang terkandung di
dalamnya, khususnya karegenan, agar, dan algin.

Melihat besarnya potensi pemanfaatan alga, terutama untuk ekspor, maka


saat ini telah diupayakan untuk dibudidayakan. Misalnya budidaya Euchema
spp telah di coba di Kepulauan Seribu (Jakarta), Bali, Pulau Samaringa
(Sulawesi Tengah), Pulau Telang (Riau), dan Teluk Lampung. Usaha budidaya
rumput laut telah banyak dilakukan dan masih bisa ditingkatkan. Keterlibatan
semua pihak dalam teknologi pembudidayaan dan pemasaran merupakan faktor
yang menentukan dalam menggairahkan masyarakat dalam mengembangkan
usaha budidaya rumput laut. Peranan pemerintah regulasi dalam penentuan
daerah budidaya, bantuan dari badan-badan peneliti untuk memperbaiki mutu
produksi serta jaminan harga yang baik dari pembeli/eksportir rumput laut
sangat menentukan kesinambungan usaha budidaya komoditi ini.

11
Gambar 6 Rumput Laut

d. Sumber Daya Perikanan Laut


Potensi sumber daya perikanan laut di Indonesia terdiri dari
sumber daya perikanan pelagis besar (451.830 ton/tahun) dan pelagis kecil
(2.423.000 ton/tahun), sumber daya perikanan demersal 3.163.630
ton/tahun, udang (100.720 ton/tahun), ikan karang (80.082 ton/tahun) dan
cumi-cumi 328.960 ton/tahun. Dengan demikian secara nasional potensi
lestari perikanan laut sebesar 6,7 juta ton/tahun dengan tingkat
pemanfaatan mencapai 48%. Data pada tahun 1998 menunjukkan bahwa
produksi ikan laut adalah 3.616.140 ton dan hal ini menunjukkan bahwa
tingkat pemanfaatan potensi laut baru mencapai 57,0%. Sedangkan potensi
lahan pertambakan diperkirakan seluas 866.550 Ha dan baru dimanfaatkan
seluas 344.759 Ha (39,78%) bahkan bisa lebih tinggi lagi. Dengan
demikian masih terbuka peluang untuk peningkatan produksi dan
produktivitas lahan. Keterlibatan masyarakat dalam meningkatkan
produksi perlu diatur sehingga bisa mendatangkan keuntungan bagi semua
pihak dan pengelolaan yang bersifat ramah lingkungan dan lestari.

12
Gambar 7 Perikanan Di Daerah Pesisir

Pada usaha penangkapan ikan, perlu adanya peningkatan


keterampilan bagi masyarakat dengan menggunakan teknologi baru yang
efisien. Hal ini untuk mengantisipasi persaingan penangkapan oleh negara
lain yang sering masuk ke perairan Indonesia dengan teknologi lebih maju.
Usaha ini melibatkan semua pihak mulai dari masyarakat nelayan,
pengusaha dan pemerintah serta pihak terkait lainnya. Hal lain yang perlu
dilakukan adalah memberi pengertian pada masyarakat nelayan tentang
bahaya penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan
bahan peledak atau penggunaan racun.

Pada bidang pertambakan, disamping dilakukan secara


ekstensifikasi, usaha peningkatan hasil pertambakan dalam bentuk
intensifikasi. Hal ini jika dihubungkan dengan pengelolaan tambak di
Indonesia pada umumnya masih tradisional. Dengan hasil produksi
pertambakan Indonesia tahun 1998 berjumlah 585.900 ton yang
merupakan nilai lebih dari 50% hasil kegiatan budidaya perikanan.
Keterlibatan masyarakat dalam bentuk pertambakan inti rakyat dimana
perusahaan sebagai intinya dan masyarakat petambak sebagai plasma
merupakan suatu konsep yang baik meskipun kadangkala dalam
pelaksanaannya banyak mengalami kendala. Hubungan lainnya seperti
kemitraan antara masyarakat petambak dengan pengusaha penyedia sarana
produksi juga adalah salah satu model kemitraan yang perlu
dikembangkan dan disempurnakan dimasa yang akan datang.

13
3.1.2. Sumber Daya Yang Tidak Dapat Pulih (non-renewable resources)
Sumber daya yang tidak dapat pulih terdiri dari seluruh mineral dan
geologi, yang termasuk kedalamnya antara lain minyak gas, batu bara, emas,
timah, nikel, bijh besi, batu bara, granit, tanah liat, pasir, dan lain-lain. Sumber
daya geologi lainnya adalah bahan baku industri dan bahan bangunan, antara
lain kaolin, pasir kuarsa, pasir bangunan, kerikil dan batu pondasi.

3.1.3. Jasa-Jasa Lingkungan (environmental services)


Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan
lautan sebagai tempat rekreasi dan parawisata, media transportasi dan
komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan
keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan lindung, dan sistem
penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya.

3.2. Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir


Sumber daya hayati dapat diproses oleh manusia untuk memberikan nilai
lebih pada sumber daya tersebut. Misalnya sumber daya pantai, apabila tidak
dikelola dengan baik dan terbengkalai maka manfaat pantai tidak dapat
dirasakan secara langsung oleh masyarakat sekitar. Namun apabila
dimanfaatkan lebih jauh dan dikelola dengan baik dapat dijadikan potensi
pariwisata yang akan mendatangkan turis serta membuka peluang pekerjaan
bagi masyarakat.

Selain itu, pemanfaatan sumber daya hayati juga dapat dilakukan dalam
sektor energi. Seperti sumber daya ombak dapat dijadikan sumber energi
terbarukan. Ombak dihasilkan oleh angin yang bertiup di permukaan laut.
Sesungguhnya ombak merupakan sumber energi yang cukup besar namun
untuk memanfaatkan energinya cenderung sulit sehingga jumlah Pembangkit
Listrik Tenaga Ombak yang ada di dunia masih sangat sedikit. Beberapa
perusahaan yang mengembangkan PLTO versi komersial di dunia antara lain
Wavegen dari Inggris dengan kapasitas 500 kW serta Energetech dari Australia
dengan kapasitas 2 MW.

14
Selain ombak arus laut juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi
terbarukan. Prinsip kerjanya hampir sama dengan kincir angin di darat yang
sudah dimanfaatkan oleh negara Belanda. Pergerakan arus laut akan memutar
kipas yang sudah ditanam di dasar laut, kipas yang berputar akan memutar
turbin sehingga dapat menghasilkan energi listrik. Energi listrik yang
dihasilkan oleh arus laut bahkan lebih besar dibandingkan energi yang
dihasilkan oleh angin. Namun kekurangan dari energi arus laut ini adalah
output energinya yang tidak stabil tergantung interaksi bumi, bulan dan
matahari. Pada saat pasang purnama arus laut akan deras sementara pada
pasang perbani arus laut akan berkurang hingga setengahnya.

Gambar 8 PLTO

Selain itu pesisir juga menyimpan potensi bahan tambang, contohnya


adalah penambangan pasir besi di Kulonprogo. Pasir besi sendiri digunakan
sebagai bahan baku industri baja dan industri pembuatan semen. Sehingga
penambangan pasir besi banyak dijumpai di Indonesia terutama selatan pulau
Jawa dan Pulau NTT.

15
Gambar 9 Penambangan Pasir Besi

Pemanfaatan sumber daya non hayati daerah pesisir memang beragam


sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Namun jangan sampai pemanfaatan
sumber daya tersebut berlangsung tidak seimbang dengan kelestarian
lingkungan. Perlu dilakukan pemanfaatan yang seimbang sehingga diharapkan
manfaat dari sumber daya tersebut dapat dirasakan dan juga kelestarian
lingkungan di sekitarnya tidak terganggu.

3.3. Ancaman Kerusakan Dan Pencegahan Kerusakan Pesisir


Dewasa ini sumberdaya alam dan lingkungan telah menjadi barang
langka akibat eksploitasi yang berlebihan dan kurang memperhatikan aspek
keberlanjutan. Kendati secara ekonomi dapat meningkatkan nilai jual, namun
di sisi laindapatmenimbulkanancaman kerugian ekologiyang jauh lebih besar,
seperti hilangnya lahan, langkanya air bersih, banjir, longsor, dan
sebagainya.Salah satu akibat dari kelangkaan tersebut adalah pemanfaatan
sumber daya alam (SDA) yang kini mulai bergeser dari SDA darat kearah
pemanfaatan SDA pesisir.

Daerah pesisir dan laut merupakan salah satu dari lingkungan


perairan yang mudah terpengaruh dengan adanya buangan limbah dari darat.
Wilayah pesisir yang meliputi daratan dan perairan pesisir sangat penting
artinya bagi bangsa dan ekonomi Indonesia. Wilayah ini bukan hanya
merupakan sumber pangan yang diusahakan melalui kegiatan perikanan dan

16
pertanian, tetapi merupakan pula lokasi bermacam sumber daya alam,
seperti mineral, gas dan minyak bumi serta pemandangan alam yang indah,
yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia.

Di daratan pesisir, terutama di sekitar muara sungai besar, berkembang


pusat-pusat pemukiman manusia yang disebabkan oleh kesuburan sekitar
muara sungai besar dan tersedianya prasarana angkutan yang relatif mudah dan
murah, dan pengembangan industri juga banyak dilakukan di daerah pesisir.
Jadi tampak bahwa sumberdaya alam wilayah pesisir Indonesia telah
dimanfaatkan secara beranekaragam. Namun perlu diperhatikan agar kegiatan
yang beranekaragam dapat berlangsung secara serasi. Suata kegiatan dapat
menghasilkan hasil samping yang dapat merugikan kegiatan lain. Misalnya
limbah industri yang langsung dibuang ke lingkungan pesisir, tanpa
mengalami pengolahan tertentu sebelumnya dapat merusak sumber daya
hayati akuatik, dan dengan demikian merugikan perikanan. Lingkungan pesisir
terdiri dari bermacam ekosistem yang berbeda kondisi dan sifatnya. Pada
umumnya ekosistem kompleks dan peka terhadap gangguan. Dapat dikatakan
bahwa setiap kegiatan pemanfaatan dan pengembangannya dimanapun juga
di wilayah pesisir secara potensial dapat merupakan sumber kerusakan bagi
ekosistem di wilayah tersebut. Rusaknya ekosistem berarti rusak pula
sumberdaya di dalamnya. Agar akibat negatif dari pemanfaatan
beranekaragam dapat dipertahankan sekeci-kecilnya dan untuk menghindari
pertikaian antarkepentingan, serta mencegah kerusakan ekosistem di wilayah
pesisir, pengelolaan, pemanfaatan dan pengembangan wilayah perlu
berlandaskan perencanaan menyeluruh dan terpadu yang didasarkan atas
prinsip-prinsip ekonomi dan ekologi.Secara garis besar gejala kerusakan
lingkungan yang mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan lautan di
Indonesia yaitu: pencemaran, degradasi fisik habitat, over eksploitasi
sumberdaya alam, abrasi pantai, konservasi kawasan lindung menjadi
peruntukan pembangunan lainnya dan bencana alam.Permasalahan yang
dihadapi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, khususnya di Indonesia
yaitu pemanfaatan ganda, pemanfaatan tak seimbang, pengaruh kegiatan
manusia, dan pencemaran wilayah pesisir.

17
Gambar 10 Kerusakan Daerah Pesisir Oleh Pencemaran Sampah dan Limbah

Peningkatan pertumbuhan masyarakat pesisir yang sangat signifikan


mendorong upaya pemanfaatan sumberdaya pesisir begitu tinggi dan
menyisakan degradasi yang mulai parah.

Beberapa kegiatan yang dapat merusak sumberdaya pesisir dan laut


diantaranya :

1) Kegiatan reklamasi pantai dapat membunuh jutaan bibit ikan dan hewan
laut ekonomis sebagai akibat penimbunan ekosistem lamun. Ekosistem
lamun merupakan daerah pembesaran bagi ikan-ikan kecil dan hewan laut
lainnya karena menyimpan berjuta makanan yang sangat sesuai untuk
ikan-ikan kecil dan hewan ekonomis lainnya.
2) Konversi Hutan mangrove sebagai lokasi pertambakan dan lokasi
pemukiman mendorong degradasi hutam mangrove hingga ribuan hektar
di seluruh kawasan Timur Indonesia.
3) Penggunaan Bom dan bahan berarun seperti Cianida sampai tahun 2007
telah menyisakan kerusakan terumbu karang hingga mencapai 70 % dari
total luasan terumbu karang Indonesia umunya dan Kawasan Timur
Indonesia khususnya.

Sangat disadari bahwa pembangunan pasti akan menjadikan lingkungan


sebagai tumbal yang harus dikorbankan, Namun demikian juga harus disadari
bahwa perlu kearifan yang lebih bijaksana untuk memberikan kompensasi pada
lingkungan sebagai hasil kerja pembangunan yang terus meningkat.

18
Pertanyaannya, siapakan yang harus membayar kompensasi tersebut. Apakah
masyarakat, Pemerintah, atau swasta. Secara bijak dapat kita katakan bahwa
seluruh lapisan masyarakat, pemerintah dan swasta bertanggung jawab
terhadap kerusakan lingkungan, tinggal bagaimana keterlibatan semua pihak
untuk saling dukung dalam memberikan sumbangsih bagi kompensasi tersebut.
Seberapa besar dan bagaimana wujud kompensasi tersebut, sangat tergantung
pada kondisi rill yang terjadi termasuk kondisi topografi daerah masing-
masing.

Spesifikasi tersebut dipengaruhi oleh jenis ekosistem yang terdegradasi


dan seberapa besar tekanan terhadap sumberdaya yang ada. Adanya perusakan
lingkungan untuk reklamasi pantai yang menutupi ratusan hektar habitat lamun
dan atau degradasi hutan mangrove, diharapkan adanya upaya transplantasi
lamun pada beberapa lokasi yang menurut kajian ilmiah dapat dilakukan dan
atau melakukan rehabilitasi dan konservasi hutan mangrove pada lokasi yang
berbeda.

3.4. Penanggulangan
Peran masyarakat sangat strategis dalam menjaga dan melestarikan
sumberdaya pesisir dan laut. Wujud rill dari kepedulian masyarakat akan
pentingnya menjaga lingkungan tidak tumbuh dengan sendirinya. Namun perlu
upaya dari stake holder lain dalam menumbuhkan kesadaran tersebut.
Sebagiam besar masyarakat pesisir telah terbiasa dengan pemahaman bahwa
ikan dilaut tidak akan habis. mereka menganggap bahwa laut menyimpan
sumberdaya yang tidak akan pernah habis.

Keterbatasan pemikiran semacan ini yang mendorong dilakukannya usaha-


usaha exploitasi sumberdaya ikan dan hewan laut dengan alat yang tidak ramah
lingkungan. Penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut perlu
dilakukan secara hati-hati agar tujuan dari upaya dapat dicapai. Mengingat
bahwa subjek dan objek penanggulangan ini terkait erat dengan keberadaan
masyarakat pesisir, dimana mereka juga mempunyai ketergantungan yang
cukup tinggi terhadap ketersediaan sumberdaya di sekitar, seperti ikan, udang,
kepiting, kayu mangrove, dan sebagainya, maka penanggulangan kerusakan

19
lingkungan pesisir dan laut yang berbasis masyarakat menjadi pilihan yang
bijaksana untuk diimplementasikan. Penanggulangan kerusakan lingkungan
pesisir dan laut berbasis masyarakat diharapkan mampu menjawab persoalan
yang terjadi di suatu wilayah berdasarkan karakteristik sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia di wilayah tersebut.

Dalam hal ini, suatu komunitas mempunyai hak untuk dilibatkan atau
bahkan mempunyai kewenangan secara langsung untuk membuat sebuah
perencanaan pengelolaan wilayahnya disesuaikan dengan kapasitas dan daya
dukung wilayah terhadap ragam aktivitas masyarakat di sekitarnya. Untuk
mengubah pola pikir ini tidak, tidak cukup dengan hanya memberikan
penyuluhan yang bersifat instant dan ataupun program pemberdayaan yang
bersifat musiman. Dorongan yang terkuat dari adanya tindakan perusakan
lingkungan adalah kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Masyarakat pesisir
butuh peningkatan pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan mereka sehari-
hari. Untuk itu perlu pendekatan yang permanen sampai pada batas waktu
dimana kesejahteraan masyarakat dapat di tingkatkan atau paling tidak adanya
mata pencaharian alternative untuk membiayai kehidupan sehari-hari mereka
tanpa harus merusak lingkungan. Indikator perubahan tersebut dapat dilihat
dari jumlah masyarakat yang beralih profesi dari menangkap ikan menjadi
petani ikan atau membudidayakan ikan dan non ikan seperti rumput laut.
Sebagian besar masyarakat pesisir sulit untuk menerima masukan yang sifatnya
hanya penyuluhan semata tanpa dibarengi dengan intensitas pemberian yang
terus menerus. Untuk itu pendekatan strategis yang dapat dilakukan untuk
dapat memberikan perubahan pemahaman bagi masyarakat pesisir adalah
dengan pendekatan cultural yang benar-banar berbasis pada kebutuhan
masyarakat. Pendekatan ini yang sementara dan terus dikembangkan oleh
Progran Coremap kabupaten Buton didaerah-daerah pesisir kabupaten Buton.
Disamping itu juga untuk menumbuhkan rasa kecintaan yang lebih kuat
dimasyarakat dibentuk lembaga-lembaga tingkat desa yang diprakarsai oleh
masyarakat itu sendiri yang bertujuan untuk menjaga Terumbu karang sebagai
salah satu habitat sangat penting di daerah mereka.

20
Pola perencanaan pengelolaan seperti ini sering dikenal dengan sebutan
participatory management planning, dimana pola pendekatan perencanaan dari
bawah yang disinkronkan dengan pola pendekatan perencanaan dari atas
menjadi sinergi diimplementasikan. Dalam hal ini prinsip-prinsip
pemberdayaan masyarakat menjadi hal krusial yang harus dijadikan dasar
implementasi sebuah pengelolaan berbasis masyarakat. Tujuan umum
penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat
dalam hal ini meminjam definisi COREMAP-LIPI (1997) yang menyebutkan
tujuan umum pengelolaan berbasis masyarakat, COREMAP dalam hal ini
mengambil ekosistem terumbu karang sebagai objek pengelolaan. Oleh karena
itu, tujuan penanggulangan kerusakan pesisir dan laut berbasis masyarakat
dalam hal ini adalah memberdayakan masyarakat agar dapat berperanserta
secara aktif dan terlibat langsung dalam upaya penanggulangan kerusakan
lingkungan lokal untuk menjamin dan menjaga kelestarian pemanfaatan
sumberdaya dan lingkungan, sehingga diharapkan pula dapat menjamin adanya
pembangunan yang berkesinambungan di wilayah bersangkutan.

Tujuan program yang dikemukakan COREMAP-LIPI (1997) dinilai


sejalan dengan pemikiran McAllister (1999) yaitu bahwa di dalam penelitian
secara partisipatif untuk kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan yang berbasis masyarakat seringkali terfokus pada pengembangan,
transformasi atau penguatan kelembagaan masyarakat, sehingga proses
identifikasi kelembagaan lokal yang ada dan menganalisisnya untuk
mengetahui sejauh mana kelembagaan tersebut berhubungan dengan upaya
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.

Upaya penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis


masyarakat sebaiknya dilakukan dengan meminjam petunjuk teknis
pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) yang diajukan COREMAP (1997).

3.4.1. Persiapan
Dalam persiapan ini terdapat tiga kegiatan kunci yang harus dilaksanakan,
yaitu (i) sosialisasi rencana kegiatan dengan masyarakat dan kelembagaan
lokal yang ada, (ii) pemilihan/pengangkatan motivator (key person) desa, dan

21
(iii) penguatan kelompok kerja yang telah ada/pembentukan kelompok kerja
baru.

3.4.2. Perencanaan
Dalam melakukan perencanaan upaya penanggulangan pencemaran laut
berbasis masyarakat ini terdapat tujuh ciri perencanaan yang dinilai akan
efektif, yaitu (i) proses perencanaannya berasal dari dalam dan bukan dimulai
dari luar, (ii) merupakan perencanaan partisipatif, termasuk keikutsertaan
masyarakat lokal, (iii) berorientasi pada tindakan (aksi) berdasarkan tingkat
kesiapannya, (iv) memiliki tujuan dan luaran yang jelas, (v) memiliki kerangka
kerja yang fleksibel bagi pengambalian keputusan, (vi) bersifat terpadu, dan
(vii) meliputi proses-proses untuk pemantauan dan evaluasi.

3.4.3. Persiapan Sosial


Untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi masyarakat secara penuh,
maka masyarakat harus dipersiapkan secara sosial agar dapat (i) mengutarakan
aspirasi serta pengetahuan tradisional dan kearifannya dalam menangani isu-isu
lokal yang merupakan aturan-aturan yang harus dipatuhi, (ii) mengetahui
keuntungan dan kerugian yang akan didapat dari setiap pilihan intervensi yang
diusulkan yang dianggap dapat berfungsi sebagai jalan keluar untuk
menanggulangi persoalan lingkungan yang dihadapi, dan (iii) berperanserta
dalam perencanaan dan pengimplementasian rencana tersebut.

3.4.4. Penyadaran Masyarakat


Dalam rangka menyadarkan masyarakat terdapat tiga kunci penyadaran,
yaitu (i) penyadaran tentang nilai-nilai ekologis ekosistem pesisir dan laut serta
manfaat penanggulangan kerusakan lingkungan, (ii) penyadaran tentang
konservasi, dan (iii) penyadaran tentang keberlanjutan ekonomi jika upaya
penanggulangan kerusakan lingkungan dapat dilaksanakan secara arif dan
bijaksan

3.4.5. Analisis Kebutuhan


Untuk melakukan analisis kebutuhan terdapat tujuh langkah
pelaksanaannya, yaitu: (i) pra dengan melibatkan masyarakat lokal, (ii)
identifikasi situasi yang dihadapi di lokasi kegiatan, (iii) analisis kekuatan,

22
kelemahan, peluang dan ancaman, (iv) identifikasi masalah-masalah yang
memerlukan tindak lanjut, (v) identifikasi pemanfaatan kebutuhan-kebutuhan
yang diinginkan di masa depan, (vi) identifikasi kendala-kendala yang dapat
menghalangi implementasi yang efektif dari rencana-rencana tersebut, dan (vii)
identifikasi strategi yang diperlukan untuk mencapai tujuan kegitan.

3.4.6. Pelatihan Keterampilan Dasar


Pelatihan keterampilan dasar perlu dilakukan untuk efektivitas upaya
penanggulangan kerusakan lingkungan, yaitu (i) pelatihan mengenai
perencanaan upaya penanggulangan kerusakan, (ii) keterampilan tentang dasar-
dasar manajemen organisasi, (iii) peranserta masyarakat dalam pemantauan
dan pengawasan, (iv) pelatihan dasar tentang pengamatan sumberdaya, (v)
pelatihan pemantauan kondisi sosial ekonomi dan ekologi, dan (vi) orientasi
mengenai pengawasan dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan upaya penanggulangan kerusakan lingkungan dan pelestarian
sumberdaya.

3.4.7. Penyusunan Rencana Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir


dan Laut secara Terpadu dan Berkelanjutan
Terdapat lima langkah penyusunan rencana penanggulangan kerusakan
lingkungan pesisir dan laut secara terpadu dan berkelanjutan, yaitu: (i)
mengkaji permasalahan, strategi dan kendala yang akan dihadapi dalam
pelaksanaan upaya penanggulangan kerusakan lingkungan, (ii) menentukan
sasaran dan tujuan penyusunan rencana penanggulangan, (iii) membantu
pelaksanaan pemetaan oleh masyarakat, (iv) mengidentifikasi aktivitas
penyebab kerusakan lingkungan, dan (v) melibatkan masyarakat dalam proses
perencanaan serta dalam pemantauan pelaksanaan rencana tersebut.

3.4.8. Pengembangan Fasilitas Sosial


Terdapat dua kegiatan pokok dalam pengembangan fasilitas sosial ini,
yaitu: (i) melakukan perkiraan atau analisis tentang kebutuhan prasarana yang
dibutuhkan dalam upaya penanggulangan kerusakan lingkungan, penyusunan
rencana penanggulangan dan pelaksanaan penanggulangan berbasis

23
masyarakat, serta (ii) meningkatkan kemampuan (keterampilan) lembaga-
lembaga desa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan langkah-langkah
penyelamatan dan penanggulangan kerusakan lingkungan dan pembangunan
prasarana.

3.4.9. Pendanaan
Pendanaan merupakan bagian terpenting dalam proses implementasi upaya
penanggulangan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, peran pemerintah
selaku penyedia pelayanan diharapkan dapat memberikan alternatif
pembiayaan sebagai dana awal perencanaan dan implementasi upaya
penanggulangan. Namun demikian, modal terpenting dalam upaya ini adanya
kesadaran masyarakat untuk melanjutkan upaya penanggulangan dengan dana
swadaya masyarakat setempat. Kesembilan proses implementasi upaya
penanggulangan pencemaran laut tersebut di atas tidak bersifat absolut, tetapi
dapat disesuaikan dengan karakteristik wilayah, sumberdaya dan masyarakat
setempat, terlebih bilamana di wilayah tersebut telah terdapat kelembagaan
lokal yang memberikan peran positif bagi pengelolaan sumberdaya dan
pembangunan ekonomi masyarakat sekitarnya.

24
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Fungsi dan nilai lahan basah antara lain adalah mengatur siklus air,
menyediakan air permukaan dan air tanah, serta mencegah terjadinya banjir
dan kekeringan10. Seiring dengan pesatnya pembangunan di berbagai sektor,
keberadaan potensi sumberdaya air di kawasan lahan basah (kawasan gambut,
kawasan resapan air, sempadan sumber air, pantai, kawasan sekitar
danau/waduk, kawasan pantai berhutan bakau, dan rawa) menjadi semakin
terancam kelestariannya.

Lahan basah juga berfungsi sebagai tempat hidup bagi ribuan jenis flora
dan fauna. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang lahan basahnya
memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Berbagai kawasan lahan
basah di Indonesia juga merupakan daerah persinggahan burung migran yang
merupakan koleksi keanekaragaman hayati dunia.

Berbagai nilai dan fungsi lahan basah termasuk sebagai penjaga kestabilan
garis pantai, pengendali iklim, dan pemurni bahan polutan menyebabkan
banyak masyarakat menggantungkan hidupnya pada keberadaan lahan basah.
Uniknya, setiap anggota masyarakat bisa saja memiliki penilaian yang berbeda
terhadap nilai dan fungsi lahan basah. Keberagaman cara penilaian tersebut
ditambah dengan karakteristik wilayah yang membentang luas, dan sifat
kepemilikan lahan basah yang tidak jelas dapat membawa pada pengelolaan
yang tidak bijaksana. Menghadapi tantangan tersebut, pengelolaan secara
terpadu yang memberikan ruang luas pada partisipasi masyarakat menjadi hal
yang sangat dibutuhkan.

Pengelolaan lahan basah secara arif dan bijaksana sendiri membutuhkan


prinsip pengelolaan yang hati-hati termasuk keseimbangan antara pemanfaatan
dan konservasi. Untuk itu dibutuhkan upaya-upaya perlindungan terhadap nilai
dan fungsi lahan basah pada kawasan tertentu, pengetahuan mengenai tingkat

25
pemanfaatan yang dibolehkan, dan pemahaman mengenai resiko atas pilihan
metode pemanfaatan yang digunakan.

Penelitian ilmiah yang mendalam dan penelusuran terhadap praktek-


praktek pengelolaan yang baik yang diterapkan oleh masyarakat setempat
merupakan upaya untuk menemukan metode terbaik dalam pengelolaan lahan
basah secara arif dan bijaksana yang menjamin keberlanjutan pemanfaatan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. (2005). Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Black, P. (1991). Westerland Hydrology. New Jersey: Pretence Hall.

Dugan, P. (1990). Woodland Conservation. Switzerland: Gland.

Haryani, Gadis Sri. (2002). Pengelolaan Ekton : Potensi, Permasalahan dan

strategi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Horning, N. (2014). Global Land Vegetation; An Electronic Textook. NASA


Goddard Space Flight Center Earth Sciences Directorate Scientifix
Educational Endeavors (SEE).

Howard, J. (1996). Pengindraan Jauh Untuk Sumber Daya Hutan. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press.

Kuriandewa, T. E. (2003). produksi Serasah Hutan Mangrove di Kawasan Suaka

Margasatwa Sembilang, Propinsi Sumatera Selatan.Pesisir dan Pantai

Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta. Retrieved 5 April

2020 from https://scholar.google.co.id/scholar?

hl=id&as_sdt=0%2C5&q=kuriandewa+2003+&btnG=

Murdiarso, & Putra, S. (2003). Paket Informasi Praktis: Perubahan Iklim dan
Peranan Lahan Gambut. Bogor: CCFPI.

Supriharyono. (2000). Pelestarian Sumberdaya Ekosistem Wilayah Pesisir dan

Lautan di Daerah Tropis. PT Gramedia Pustaka. Jakarta.

Supriharyono. (2007). Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah

Pesisir dan Laut Tropis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

27
Suzanna, J. (Ed.). (2004). Strategi nasional dan rencana aksi pengelolaan lahan

basah Indonesia. Jakarta: Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan

Basah.

Wirawan, B., dkk. (2002). Rencana Pengelolaan Desa Terpadu Berbasis

Pengelolaan Lingkungan Pesisir, Desa Pematang Pasir, Lampung Selatan.

28

Anda mungkin juga menyukai