Anda di halaman 1dari 29

UJIAN AKHUR SEMESTER

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

Ditujukan untuk memenuhi Ujian Akhir Semester (UAS)


Mata kuliah Pengelolaan Sumber Daya Air kelas E

Dosen Pengampu :

Ir. Moh. Sholichin, MT., Ph.D., IPU., Asean Eng.

Dibuat Oleh:
Nama: Geovani Valerian Maria Tae Lake
NIM: 215060400111001
No Urut Presensi: 1

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK PENGAIRAN
12 DESEMBER 2023

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan petunjuk serta rahmat-Nya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini disusun sebagai syarat untuk mengikuti ujian akhir semester
mata kuliah Pengelolaan Sumber Daya Air. Dalam pembuatan makalah, penyusun
telah mendapat bantuan dari banyak pihak. Untuk itu tidak lupa penyusun
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Ir. Moh. Sholichin, M.T., Ph.D., IPU selaku dosen mata kuliah
Pengelolaan Sumber Daya Air,
2. Teman-teman yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tugas ini,
3. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu
persatu.
Akhirnya penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih
terdapat kekurangan. Untuk itu diharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari pembaca. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua.

Malang, Desember 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .............................................................................................................i


BAB I .......................................................................................................................1
PENDAHULUAN ...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
BAB II......................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................3
2.1 Sumber Air......................................................................................................... 3
2.2 Pengelolaan Sumber Daya Air............................................................................ 4
2.3 Pengertian DAS .................................................................................................. 4
2.4 Prinsip Pengolahan DAS..................................................................................... 6
2.5 Tujuan Pengelolaan DAS Secara Terpadu.......................................................... 8
2.6 Monitoring Dan Evaluasi DAS ........................................................................... 9
2.1 ................................................................................................................................. 10
2.2 ................................................................................................................................. 10
BAB III ..................................................................................................................11
LOKASI STUDI ....................................................................................................11
2.3 ................................................................................................................................. 11
3.1 Lokasi Studi ...................................................................................................... 11
3.2 Kondisi Lingkungan Lokasi Studi .................................................................... 11
3.3 Gambaran Umum Tentang DAS Palung........................................................... 13
3.4 Peta DAS........................................................................................................... 16
...................................................................................................................................... 16
BAB IV ..................................................................................................................18
PEMBAHASAN ....................................................................................................18
2.4 ................................................................................................................................. 18
4.1 Pembahasan Masalah ........................................................................................ 18
4.2 Solusi Yang Ditawarkan ................................................................................... 21
BAB V....................................................................................................................25
KESIMPULAN ......................................................................................................25
5.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 25
5.2 Saran ................................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................26

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Air merupakan sumber kehidupan bagi semua mahkluk hidup di bumi.


Secara ekologis, air juga merupakan salah satu indikator utama dalam
pengelolaan lingkungan karena keberadaan air menjamin bekerjanya siklus
alam secara normal. Oleh karena itu, pengelolaan air tidak dapat mengabaikan
kaidah ekologis yang terjadi pada alam. Meskipun demikian, seperti
diberitakan Kompas (16 September, 2012) saat ini 4 dari 10 orang di dunia
tidak memiliki akses terhadap sanitasi dan hampir 2 dari 10 orang tidak
memiliki akses untuk air minum. Berita yang sama juga menyebutkan bahwa
UN World Development Report memperkirakan bahwa pada tahun 2050,
setidaknya 1 dari 4 orang di dunia tinggal di negara dengan kelangkaan air
bersih. Tantangan menghadapi kelangkaan air bersih pun kian hari kian
meningkat, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Krisis air saat ini
telah dirasakan meluas secara global, hingga Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) menyatakan bahwa tahun 2005–2015 sebagai dekade “Water for life”,
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dunia agar secara bersamasama
berupaya mencegah krisis air terjadi pada masa mendatang.

Di Indonesia, krisis air telah melanda di beberapa daerah seperti, Jambi,


Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Madura dan Jawa.2 Para ahli lingkungan
berpendapat bahwa salah satu penyebab terjadinya bencana alam kekeringan
yang menampakkan diri dalam bentuk krisis air dimusim kemarau dan banjir
bandang di musim penghujan adalah terganggunya fungsi ekologis pada
sejumlah DAS utamanya pada bagian hulu. Seiring dengan tuntutan
pembangunan dan pertumbuhan jumlah penduduk, maka meningkatnya
kebutuhan lahan semakin sulit untuk dikendalikan. Proses alih fungsi lahan
hutan ke dalam berbagai bentuk peruntukkan lahan seperti, permukiman,
perluasan kota, industri,perkebunan,pariwisata, dan tambang, telah berdampak
pada merosotnya daya dukung kawasan DAS.

1
Proses alih fungsi lahan hutan ini juga diikuti dengan semakin meluasnya
lahan kritis. Menurut Laporan Kebijakan Kehutanan (2003) yang memuat hasil
identifikasi DAS, sekitar 458 DAS di Indonesia, atau 96.335.900 hektar
dinyatakan dalam kondisi kritis. Dari keseluruhan DAS 60 DAS atau sekitar
31.306.800 ha dinyatakan dalam kondisi sangat kritis. Jumlah DAS yang
tergolong sangat kritis pada tahun 1996 sebanyak 22 DAS, sedang yang
tergolong kritis dan kurang kritis mencapai 65.029.100 hektar (Chay Asdak,
2007: 9). Di Provinsi NTB luas lahan kritis mencapai 509.225,75 hektar atau
sebesar 25% dari luas daratan, terdapat di dalam kawasan hutan, dan seluas
271.632,81 hektar atau sebesar 13,4% terdapat di luar kawasan hutan. Sebagai
dampak lingkungan yang telah dirasakan, saat ini NTB mengalami defisit
pasokan air sebesar 1.252,03 juta meter kubik (WWF, 2009: 2)

Hilangnya tutupan lahan telah berdampak pada terganggunya fungsi ekologi


tata air dan tanah, yakni tidak optimalnya penyerapan air hujan. Saat hujan
turun, maka air akan meluncur dengan cepat menuju sungai. Fenomena alam
yang akan segera tampak kemudian adalah terjadinya erosi, tanah longsor, dan
banjir bandang di musim penghujan. Sebaliknya pada musim kemarau akan
terjadi bencana kekeringan yang disusul dengan krisis air, karena terbatasnya
stok air yang dialirkan dari DAS di hulu. Dalam perkembangannya, kondisi ini
semakin diperburuk dengan perubahan iklim yang ditandai dengan curah hujan
berintensitas tinggi dan dalam durasi yang singkat serta kemampuan intersepsi
tajuk dan infiltrasi tanah yang terbatas. Akibatnya banjir dan kekeringan
merupakan pasangan bencana alam yang akan terjadi pada setiap tahun
(Apriyantono, 2009: 89)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumber Air

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang berfungsi sangat penting
bagi kehidupan mahluk hidup khususnya manusia yang ada di muka bumi.
Untuk itu air perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat bagi kehidupan
manusia serta mahluk hidup lainnya. Pengertian tersebut menunjukan bahwa
air memiliki peran yang sangat strategis dan harus tetap tersedia dan lestari,
sehingga mampu mendukung kehidupan dan pelaksanaan pembangunan di
masa kini maupun di masa mendatang. Tanpa adanya air maka kehidupan
tidak akan dapat berjalan.

Berdasarkan standar International Water Association atau IWA (2010),


setiap orang membutuhkan 190 liter air per hari, sedangkan dunia usaha
membutuhkan 30 persen dari total kebutuhan domestik sehingga Indonesia
termasuk salah satu negara yang diperkirakan akan mengalami krisis air pada
tahun 2025. Terjadinya krisis air bisa disebabkan karena adanya kelemahan
dalam pengelolaan air yaitu dalam pemakaian air yang tidak efisien.
Kebutuhan sumber daya air terus mengalami peningkatan akan tetapi potensi
ketersediaanya tidak sebanding dengan kebutuhannya sehingga keberadaan
sumber daya air akan semakin terbatas.

Berdasarkan Undang-Undang Sumber Daya Air No. 7/2004, untuk


menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung
menurun dan kebutuhan air yang cenderung meningkat sejalan dengan
perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi
masyarakat, sumber daya air harus dikelola, dipelihara, dimanfaatkan,
dilindungi dan dijaga kelestariannya dengan memberikan peran kepada
masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan sumber daya air.

3
2.2 Pengelolaan Sumber Daya Air

Sumber daya air merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan dan


penghidupan manusia yang perlu dikelola bersama diantara para pemilik
kepentingan secara keberlanjutan agar dapat dimanfaatkan bagi berbagai
keperluan dalam memenuhi hajat hidup masyarakat. Pemanfaatan sumberdaya
air untuk berbagai keperluan di satu pihak terus meningkat dari tahun ke tahun,
sebagai dampak pertumbuhan penduduk dan perkembangan aktifitasnya. Di
lain pihak ketersediaan sumberdaya air semakin terbatas bahkan cenderung
semakin langka, terutama akibat penurunan kualitas lingkungan dan penurunan
kualitas akibat pencemaran.

2.3 Pengertian DAS

Dalam UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup disebutkan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Pada
keadaan alaminya, lingkungan atau ruang tempat berlangsungnya semua
kehidupan selalu bersifat dinamis atau mengalami perubahan.

Perubahan pada lingkungan akan terus berlangsung dan cenderung


mengarah pada kemungkinan terjadinya kerusakan dan pencemaran.
Perubahan yang terjadi secara alami merupakan reaksi dari lingkungan untuk
tetap berada pada kesetimbangannya. Namun, perubahan dapat juga terjadi
secara radikal seperti bencana alam dan merupakan fenomena yang sulit
untuk dikendalikan serta umumnya berdampak besar dan penting terhadap
kehidupan.

Tingkat kerusakan lingkungan disemua daerah saat ini telah menjadi


keprihatinan banyak pihak. Kerusakan tersebut ditandai dengan
meningkatnya bencana alam, seperti bencana banjir, tanah longsor dan

4
kekeringan yang semakin meningkat. Rendahnya daya dukung Daerah Aliran
Sungai (DAS) sebagai suatu ekosistem diduga merupakan salah satu
penyebab utama terjadinya bencana alam yang terkait dengan air tersebut.
Kerusakan DAS dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam
sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi,
konflik kepentingan dan kurang keterpaduan antar sektor, antar wilayah
hulutengah-hilir

Supriadi (2000) menyebutkan bahwa kawasan hulu mempunyai peran


penting yaitu selain sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke daerah
hilirnya bagi kepentingan pertanian, industri dan pemukiman, juga berperan
sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk sistem penunjuang
kehidupan. Dalam terminologi ekonomi, daerah hulu merupakan faktor
produksi dominan yang sering mengalami konflik kepentingan penggunaan
lahan untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, pemikiman dan
lain-lain. Kemampuan pemanfaatan lahan hulu sangat terbatas, sehingga
kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada daerah hilir. Konservasi
daerah hulu perlu mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan produksi
air dan konservasi itu sendiri. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan
ekosistem tangkapan air yang merupakan rangkaian proses alami suatu siklus
hidrologi yang memproduksi air permukaan dalam bentuk mata air, aliran air
dan sungai.

Sungai sebagai komponen utama DAS mempunyai potensi seimbang yang


ditunjukkan oleh daya guna sungai tersebut antara lain untuk pertanian,
energi, dan lain-lain. Sungai juga mampu mengakibatkan banjir, pembawa
sedimentasi, pemabawa limbah (polutan dari industri, pertanian, pemukiman
dan lain-lain). Oleh karena itu, pengelolan DAS ditujukan untuk
memperbesar pemanfaatannya dan sekaligus memperkecil dampak
negatifnya (Andi Masnang, 2003).

5
Menurut Sugandhy (1999), jika dihubungkan dengan penataan ruang
wilayah, maka alokasi ruang dalam rangka menjaga dan memenuhi
keberadaan air, kawasan resapan air, kawasan pengamanan sumber air
permukaan, kawasan pengamanan mata air, maka minimal 30 % dari luas
wilayah harus diupayakan adanya tutupan tegahan pohon yang dapat berupa
hutan lindung, hutan produksi atau tanaman keras, hutan wisata, dan lainlain.
Sedangkan hasil penelitian Deutsch and Busby (2000) menunjukkan bahwa
total suspended solid (TSS) dapat meningkat secara tiba-tiba apabila suatu
sub daerah aliran sungai mengalami penurunan penutupan hutan dibawah
30% dan apabila terjadi pembukaan lahan pertanian lebih dari 50%.

2.4 Prinsip Pengolahan DAS

Dalam Peraturan Pemerintah No. 37/2012, terdapat beberapa pengertian


terkait DAS, yaitu:
a. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya
yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang
berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas
di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas di daratan.

b. Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan
mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama.

c. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan


hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di
dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina
kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan
kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan.

d. Pengelolaan DAS Terpadu adalah rangkaian upaya perumusan


tujuan, sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian

6
pengelolaan sumber daya DAS lintas para pemangku kepentingan
secara partisipatif berdasarkan kajian kondisi biofisik, ekonomi,
sosial, politik dan kelembagaan guna mewujudkan tujuan
Pengelolaan DAS.

Prinsip-prinsip dasar dalam pengelolaan DAS adalah :


a. Pengelolaan DAS dilaksanakan secara terpadu didasarkan atas DAS
sebagai satu kesatuan ekosistem, satu rencana dan satu sistem
pengelolaan;

b. Pengelolaan DAS terpadu melibatkan para pemangku kepentingan,


terkoordinasi, menyeluruh dan berkelanjutan;

c. Pengelolaan DAS terpadu bersifat adaptif terhadap perubahan


kondisi yang dinamis sesuai dengan karakteristik DAS;

d. Pengelolaan DAS terpadu dilaksanakan dengan pembagian tugas


dan fungsi, beban biaya dan manfaat antar para pemangku
kepentingan secara adil;

e. Pengelolaan DAS terpadu berlandaskan pada azas akuntabilitas.

Beberapa hal yang mengharuskan pengelolaan DAS diselenggarakan secara


terpadu adalah:
a. Terdapat keterkaitan antar berbagai kegiatan dalam pengelolaan
sumberdaya dan pembinaan aktivitasnya;

b. Melibatkan berbagai disiplin ilmu yang mendasari dan mencakup


berbagai bidang kegiatan;

7
c. Batas DAS tidak selalu berhimpitan/bertepatan dengan batas
wilayah administrasi pemerintahan;

d. Interaksi daerah hulu sampai hilir yang dapat berdampak negatif


maupun positif sehingga memerlukan koordinasi antar pihak

2.5 Tujuan Pengelolaan DAS Secara Terpadu

Tujuan pengelolaan DAS terpadu sangat ditentukan oleh karakteristik


biofisik, sosial ekonomi, budaya dan kelembagaan yang ada pada tiap DAS.
Secara umum tujuan pengelolaan DAS terpadu adalah sebagai berikut:
a. Mewujudkan kondisi tata air DAS yang optimal meliputi
kuantitas, kualitas dan distribusi menurut ruang dan waktu.

b. Mewujudkan kondisi lahan yang produktif sesuai dengan daya


dukung dan daya tampung lingkungan DAS secara berkelanjutan.

c. Mewujudkan kesadaran, kemampuan dan partisipasi aktif para


pihak dalam pengelolaan DAS yang lebih baik.

d. Mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pengelolaan DAS terpadu mempunyai ciri pokok yaitu (1) sasaran yang
jelas, yaitu suatu pencapaian hasil yang telah direncanakan dan diharapkan
akan terjadi pada masa datang; (2) strategi waktu, yaitu penjadwalan untuk
mengkoordinasikan dan mengintegrasikan setiap kegiatan dalam
mewujudkan sasaran; (3) melibatkan berbagai sektor dan disiplin ilmu terkait,
yaitu upaya melibatkan dan mengkoordinasikan peran serta sektor dan
disiplin ilmu menuju sasaran secara bersama dan (4) tumbuhnya motivasi
setiap sektor, dengan mengacu kepada keterlibatan berbagai sektor dalam
proses penetapan sasaran akan merangsang keinginan atau tekad untuk
mencapai hasil.

8
Menurut Haeruman (1979), pengelolaan terpadu pada dasarnya merupakan
pengembangan keserasian tujuan antar berbagai sistem pengelolaan
sumberdaya alam. Bilamana suatu obyek dikelola oleh banyak pengelola
sesuai dengan keterkaitan dan kepentingannya terhadap obyek yang dikelola
itu. Lebih lanjut Haeruman mengatakan, bahwa keterpaduan di dalam
pengelolaan kegiatan harus dapat terciptakan: (1) terkoordinasinya para
pengelola suatu obyek saling kait-mengkait dalam suatu sistem untuk
mencapai suatu kerasian tujuan; (2) memadukan setiap usaha pemanfaatan
penataan, pemeliharaan, pengawasan dan pengendalian serta pengembangan
yang didasarkan pada unsur keterkaitan atau ketergantungan dari obyek yang
dikelola

2.6 Monitoring Dan Evaluasi DAS

Kegiatan monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS ini dapat


diumpamakan sebagai “general check up” kesehatan suatu DAS. Hasil
monev ini dapat mengetahui tingkat keparahan suatu DAS dan sumber
penyakit yang menyebabkan DAS tersebut sakit parah. Dengan demikian
hasil monev ini wajib dijadikan dasar dalam perbaikan perencanaan
berikutnya untuk penyebuhan kekritisan DAS. Pada umumnya monev
kinerja DAS dapat dilhat dari 3 (tiga) bidang yaitu tata air, lahan, dan social
ekonomi
Ada banyak indicator untuk menilai keberhasil pengelolaan DAS.
Chavez & Alipaz (2007) menggunakan empat indicator untuk menentukan
indek kelestarian DAS yaitu hidrologi, lingungan, kehidupan, dan
kebijakan. Indikator hidrologi mencakup 2 aspek yaitu ketersediaan air
perkapita dan kualitas air yang diwakili oleh kandungan BOD5. Juwana et
al.(2009) dalam pengembangan indek kelesatarian air di Jawa Barat
mengajukan 4 komponen dan 12 indikator yaitu sumber daya air,
penyediaan air, kapasitas air, dan kesehatan air. Sood & Ritter (2011)
menyebutkan bahwa indicator kelestarian DAS terdiri dari tiga aspek yaitu

9
social, lingkungan, dan biodiversitas, masing-masing aspek saling terkait.
Pouwels et al.(1995) menyebutkan bahwa ada 6 kriteria untuk menilai
sumber daya air yaitu (1) nutrient di air permukaan, (2) kandungan logam
berat, (3) kandungan Polycyclic aromatic hydrocarbon, (4) aspek fisik untuk
normalisasi sungai, (5) penyediaan air, (6) pembiayaan. Dalam penelitian
ini, evaluasi tata air akan menggunakan Peraturan Menteri Kehutanan No.61
th 2014.
Monitoring dan evaluasi tata air dilihat dari aspek Koefisien Regime
Aliran (KRA), Koefisien Aliran Tahunan (KAT), Muatan Sedimen (MS),
frekuensi banjir, dan Indek Penggunaan Air (IPA) (Permenhut No.61.2014).
Dari analisis ketiga aspek bidang tata air tersebut dapat diketahui
permasalahan tata air di suatu DAS. Masing-masing aspek mempunyai
bobot yang berbeda dalam kontribusi kondisi tata air DAS.

2.1

2.2

10
BAB III
LOKASI STUDI
2.3

3.1 Lokasi Studi

Letak dan luas DAS Palung Letak DAS Kali Palung secara geografis
berada di 08°28’20,36” -08°46’08,75” Lintang Selatan dan 116°22’07,908” -
116°36’08,507” Bujur Timur. Sedangkan secara administrati DAS Kali
Palung terletak di Kabupaten Lombok Timur. Luas DAS Kali Palung adalah
12.712,13 ha. Gambar 1 memperlihatkan lokasi DAS Palung dalam Pulau
Lombok, NTB. Bentuk DAS Hasil perhitungan kuantitatif bentuk DAS baik
menggunakan nilai nisbah memanjang ('elongation ratio'/Re) dan kebulatan
('circularity ratio'/Rc) menunjukan bahwa wilayah Sub DAS di DAS Kali
Palung memiliki bentuk memanjang. Pola Aliran Pola pengaliran di DAS
Kali Palung adalah pola aliran Dendritik. Karakteristik pola aliran dendritik
di tandai dengan perlapisan batuan sedimen relatif datar atau paket batuan
kristalin yang tidak seragam dan memiliki ketahanan terhadap pelapukan.
Secara regional daerah aliran memiliki kemiringan landai, jenis pola
pengaliran membentuk percabangan menyebar seperti pohon rindang. 4.
Kerapatan Aliran Berdasarkan hasil perhitungan indeks kerapatan sungai,
kerapatan aliran sungai di Sub-Sub DAS Kali Palung rata-rata memiliki
kerapatan sedang dengan indeks kerapatan berkisar antara 0,86 – 1,12
Km/Km2 . DAS yang memiliki kerapatan sungai sedang ditandai dengan alur
sungai yang melewati batuan

3.2 Kondisi Lingkungan Lokasi Studi

Pulau Lombok memiliki luas wilayah 473.574.967 hektar, dan 30 persen


di antaranya (142.935,93 hektar), berstatus lahan hutan. Secara ekologis
Pulau Lombok merupakan salah satu ekosistem di wilayah NTB yang
memiliki peran penting dalam menunjang keberlanjutan pembangunan di
daerah NTB umumnya dan Pulau Lombok Khususnya. Salah satu aset alam

11
yang menjadi penyokong kehidupan di pulau ini adalah keberadaan ekosistem
hutan kawasan Gunung Rinjani seluas 125.000 hektar, yang meliputi tiga
wilayah kabupaten/kota Pulau Lombok, yakni Kabupaten Lombok Timur,
Kabupaten Lombok Barat, dan Kota Madya Mataram. Kawasan Gunung
Rinjani telah ditetapkan sebagai salah satu kawasan konservasi yang terbagi
dalam berbagai fungsi hutan, antara lain; hutan lindung, kawasan taman
nasional dan hutan produksi terbatas. Kawasan ini juga dikenal sebagai
kawasan yang kaya akan keragaman hayatinya. Hal ini dimungkinkan karena
tingginya keragaman ekosistem wilayah Gunung Rinjani. Sebagian besar
keberadaan ekosistem hutan Rinjani maupun pesisir dan laut yang terdapat di
Pulau Lombok tersebut terletak dalam wilayah administratif Kabupaten
Lombok Barat. Kawasan hutan Gunung Rinjani selama ini telah menjadi
gantungan hidup sejumlah 63 desa, dengan jumlah penduduk sebesar 600.000
jiwa, mereka tinggal di daerah hulu (WWF, 2009: 1)

Beberapa pihak sebagai pengguna langsung dari keberadaan ekosistem


hutan Gunung Rinjani adalah Pemerintah Kabupaten Lombok Barat dan
penduduk yang bermukim di sekitar, yaitu: (1) Wilayah Senaru, yang
merupakan salah satu pintu masuk pendakian ke kawasan Gunung Rinjani,
(2) Kawasan Gili Indah yang terkenal dengan Taman Wisata Alam Laut
(TWL) Gili Air-Meno Trawangan, (3) Kawasan Taman Wisata Alam Bangko-
Bangko, dan (4) Wilayah Sesaot dengan keberadaan Taman Hutan Rakyat
(Tahura) dan hutan lindung (IMP, 2008: 2) Hasil kajian nilai ekonomi
kawasan yang pernah dilakukan oleh WWF Indonesia Program Nusa
Tenggara pada tahun 2001-2002, diketahui bahwa nilai kawasan Gunung
Rinjani senilai Rp 5.178,159 triliun terdiri dari nilai sumberdaya air,
pariwisata, dan hutan, dengan catatan jika kawasan hutan Gunung Rinjani
dijaga kelestariannya. Kontribusi untuk keperluan air irigasi dalam
menunjang sektor pertanian di Pulau Lombok mencapai 5,4 milyar/tahun.
Dari sektor pertanian diperoleh nilai benefit sebesar 386 milyar/tahun. Nilai
air juga diperoleh dari perusahaan air mineral “Narmada” yang
memanfaatkan air langsung dari kawasan Gunung Rinjani, yaitu senilai Rp

12
1,75 miliar/tahun. Selain itu, Gunung Rinjani juga telah memberikan
kontribusi bagi pariwisata sebesar Rp 286 miliar/tahun (IMP, 208: 2).
Kekayaan potensi sumberdaya alam tersebut telah memberikan manfaat
ekonomi dan jasa lingkungan yang cukup besar bagi Pemerintah Kabupaten
Lombok Barat dan masyarakat yang tinggal di sekitar Kawasan Hutan
Gunung Rinjani, sekaligus sebagai tantangan untuk menjaga kelestariannya.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tuntutan pembangunan,
maka proses alih fungsi lahan hutan untuk berbagai kepentingan seperti
perluasan kota, permukiman, perkebunan, pertambangan, pariwisata,
peternakan dan pertanian telah mengancam eksistensi kawasan hutan Gunung
Rinjani.

3.3 Gambaran Umum Tentang DAS Palung

Disamping itu dengan adanya keterbatasan sumberdaya air dalam hal


jumlah, waktu dan mutu pada suatu daerah, memerlukan upaya pengaturan
yang mengarah pada suatu keseimbangan antara pemanfaatan dengan upaya
pelestarian. Selain itu juga timbulnya permasalahan persaingan dalam
pemanfaatan, maupun upaya pengelolaan sumberdaya air, serta permasalahan
lain berupa kerusakan lingkungan di dalam daerah aliran sungai.

Gambaran secara umum Daerah Aliran Sungai (DAS) Palung, Lombok


Barat, adalah sebagai berikut :
1. Pada musim hujan sering terjadi banjir di hilir, sebaliknya di musim
kemarau terjadi kekeringan karena ketersediaan air terbatas. Kejadian ini
berdampak pada menurunnya tingkat kehidupan masyarakat baik sosial,
ekonomi maupun lingkungan
2. Perubahan fungsi hutan dan kawasan resapan air untuk lahan budidaya
karena kebutuhan ekonomi yang tidak mengindahkan kaidah konservasi
berakibat meningkatnya laju erosi dan sedimentasi yang pada akhirnya
debit puncak banjir meningkat

13
3. Bangunan prasarana sumberdaya air yang ada belum mampu untuk
mencukupi berbagai kebutuhan air seiring dengan pertumbuhan
penduduk dan segala aktifitasnya.
Untuk memenuhi kebutuhan air yang terus meningkat di berbagai
keperluan, diperlukan suatu perencanaan terpadu yang berbasis wilayah
sungai guna menentukan langkah dan tindakan yang harus dilakukan agar
dapat memenuhi kebutuhan tersebut dengan mengoptimalkan potensi
pengembangan sumberdaya air, melindungi, melestarikan serta
meningkatkan nilai sumberdaya air dan lahan.

 Bentuk DAS Hasil perhitungan kuantitatif bentuk DAS baik


menggunakan nilai nisbah memanjang ('elongation ratio'/Re) dan
kebulatan ('circularity ratio'/Rc) menunjukan bahwa wilayah Sub
DAS di DAS Kali Palung memiliki bentuk memanjang.

 Pola Aliran Pola pengaliran di DAS Kali Palung adalah pola aliran
Dendritik. Karakteristik pola aliran dendritik di tandai dengan
perlapisan batuan sedimen relatif datar atau paket batuan kristalin
yang tidak seragam dan memiliki ketahanan terhadap pelapukan.
Secara regional daerah aliran memiliki kemiringan landai, jenis
pola pengaliran membentuk percabangan menyebar seperti pohon
rindang.

 Kerapatan Aliran Berdasarkan hasil perhitungan indeks kerapatan


sungai, kerapatan aliran sungai di Sub-Sub DAS Kali Palung rata-
rata memiliki kerapatan sedang dengan indeks kerapatan berkisar
antara 0,86 – 1,12 Km/Km2 . DAS yang memiliki kerapatan sungai
sedang ditandai dengan alur sungai yang melewati batuan dengan
resistensi yang lebih lunak, sehingga angkutan sedimen yang
terangkut akan lebih besar.

14
 Geomorfologi Bentuk lahan DAS Kali Palung didominasi oleh
dataran vulkanik bergelombang dengan bukit-bukit kecil pada
daerah kering seluas 8.551,78Ha (67,27 %).

 Kemiringan dan Bentuk Lereng Topografi DAS Kali Palung dibagi


menjadi kelas lereng datar seluas 29,82 ha, landai seluas 3.431,56
ha, agak miring seluas 4.791,23 ha, miring seluas 2.880,30 ha, agak
curam seluas 658,34 ha, dan sangat curam seluas 138,98 ha.

 Komplek mediteran coklat dan litosol merupakan jenis tanah yang


paling dominan di DAS Kali Palung dengan luas mencapai 53,94%
(6.857,02 ha) dari total luas wilayah DAS Kali Palung.

15
 Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di DAS Kali Palung
didominasi oleh sawah seluas 3.677,20 ha (28,93%), pertanian lahan
kering campur semak seluas 2.871,01 (22,58%), dan pertanian lahan
kering seluas 2.527,09 (19,88%)

3.4 Peta DAS

Gambar, Peta DAS Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat

16
Sumber, https://sda.pu.go.id/balai/bwsnt1/post/158/peta-w-s-lombok

Gambar, Peta DAS Palung, WS Lombok, NTB


Sumber, https://sda.pu.go.id/balai/bwsnt1/post/158/peta-w-s-lombok

Gambar, Peta Sebaran Erosi DAS Palung, WS Lombok, NTB


Sumber, https://sda.pu.go.id/balai/bwsnt1/post/158/peta-w-s-lombok

17
BAB IV
PEMBAHASAN
2.4

4.1 Pembahasan Masalah

DAS Palung. Secara umum lahan yang masuk dalam kategori kritis di
DAS palung sangat sedikit namun demikian lahan DAS palung potensial
untuk menjadi kritis hampir 50% dari total DAS palung. Berdasarkan tingkat
kekritisan terdiri dari lahan kritis 16452.1 m2 (0.01%), agak kritis 3036253.4
m2 atau (2.59 %). Lahan potensial kritis ini tersebar mulai dari wilayah tengah
ke hulu sementara bagian hilir umumnya termasuk tidak kritis. Lahan-lahan
yang potensial kritis ini didominasi oleh topografi berbukit sampai
bergunung. Bukit-bukit ini umumnya bervegetasi jarang sehingga rawan
terjadinya erosi dan akhirnya menjadi lahan kritis terutama jika tidak ada
upaya konservasi.

Lahan sawah di bagian hilir masuk dalam kategori tidak kritis karena lahan
umumnya berbentuk teras sehingga laju erosi dapat diminimalisasi.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Kabupaten Lombok Timur (2011)
terdapat beberapa lokasi di wilayah DAS Palung yang bervegetasi kurang dan
dapat diindikasikan sebagai lahan kritis seluas 288,7 ha. Hal tersebut
dikarenakan pemanfaatan kayu secara intensif untuk kebutuhan energi
omprongan (oven) tembakau.

Berdasarkan analisis aspek-aspek tata air di DAS Palung mempunyai


kondisi yang sangat bervariasi yaitu aspek banjir yang hampir tidak pernah
terjadi sehingga mempunyai nilai sangat rendah. Muatan sedimen termasuk
sedang. Namun aspek Koefisien Regim Aliran, Koefisien Aliran Tahunan, dan
Indek Penggunaan Air mempunyai nilai yang sangat tinggi atau sangat jelek.
Rekapitulasi kondis tata air DAS Palung dapat di lihat pada abel berikut.

18
Pengelolaan Sumber Daya Air di DAS Palung termasuk dalam kondisi
yang buruk sehingga DAS Palung diklasifikasikan dalam DAS yang perlu
segera dipulihkan. Perbandingan debit maksimum dan minimum yang
ditunjukkan dalam nilai KRA mencapai nilai 4027. Dari angka tersebut dapat
dibayangkan bahwa debit pada musim penghujan sangat besar dan debit pada
musim kemarau sangat kecil. Ini artinya DAS Palung tidak mampu menyerap
air hujan dengan baik. Koefisien Aliran Tahunan menunjukkan nilai 0.84 yang
artinya sebagian besar air hujan atau 84% air hujan langsung menjadi aliran
permukaan. Hal ini berarti DAS Palung hanya dapat menyerap 16% dari hujan
masuk ke dalam tanah, akibatnya pada musim kemarau air yang keluar hanya
sedikit sekali. Karena air yang keluar sedikit sekali sedangkan kebutuhan
airnya cukup besar maka indek penggunaan airnya sangat jelek. Solusi untuk
mengatasi permasalahan tata air di DAS Palung adalah meningkatkan
penyerapan air ke dalam tanah sebanyak-banyaknya dengan berbagai macam
cara seperti sumur resapan di daerah pemukiman, embung di areal pertanian,
dan rorak di kawasan hutan.

Masalah utama DAS Palung adalah konflik pemanfaatan sumberdaya


akibat ketidakadilan dan ketidakterpaduan pengelolaan sumberdaya yang
mengancam keberlanjutan sumberdaya dan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan hasil identifikasi dan analisa yang dilakukan

19
permasalahanpermasalahan seecara lebih detail dapat dirumuskan menjadi 4
(empat) permasalahan pokok, yaitu sebagai berikut :
1. Belum terjalin kerjasama yang harmonis antar para pihak meliputi:
 Belum ada norma-norma yang mengatur hubungan kerjasama
antar para pihak dalam pengelolaan DAS,
 Belum ada sistem informasi yang dapat diakses oleh para pihak,
 Kapasitas aparat dalam kerjasama dan koordinasi masih rendah,
 Belum ada program kerja forum DAS baik jangka pendek,
menengah dan panjang.

2. Pemanfaatan sumberdaya yang belum merata (adil) meliputi :


 Pengalokasian sarana dan prasarana yang belum merata
sesuai kebutuhan lokal,
 Belum adanya skema jasa lingkungan yang berkeadilan
dengan prinsip sukarela,
 Sistem pengelolaan (distribusi ) sumberdaya belum baik

3. Pengelolaan sumberdaya belum sepenuhnya menerapakan


prinsipprinsip konservasi tanah dan air meliputi :
 Penuruan jumlah, debit dan kualitas mata air,
 Kesadaran akan kualitas air masih rendah seperti membuat
sampah kotoran ke sungai,
 Potensi terjadinya lahan kritis cukup besar,
 Pemanfaatan lahan belum sepenuhnya mengacu pada
zonasi yang telah ditetapkan,
 Ketergantungan masyarakat hulu pada hutan relatif tinggi,
 Masih banyak Lahan-lahan berbukit yang belum dikelola
dengan prinsip konservasi,
 Sedimentasi dan polusi sampah air embung tinggi,
 Masih terjadi longsoran di pinggir sungai utama.

20
4. Pendapatan dan kesejahteraan masyarakat masih rendah meliputi :
 Kapasitas masyarakat (perorangan dan kelompok) dalam
agribisnis masih rendah,
 Belum terpenuhi sarana-prasana produksi dan pemasaran
dan masyarakat belum dapat askes ke pasar besar,
 Penerapan teknologi tepat guna yang masih rendah,
 Masih rendahnya pegembangan ekonomi kreatif

4.2 Solusi Yang Ditawarkan

Peraturan daerah tentang pengelolaan DAS terpadu Juga dapat mendukung


rencana strategis daerah. Keberadaan DAS seperti DAS Jangkok, DAS
Dodokan, Das Palung dan Sori cukup menentukan dalam implementasi
rencana pengembangan wilayah strategis yang sudah di tetapkan meliputi :
1. Pengembangan Kawasan
 Pengembangan Sentra Industri Gerung
 Pengembangan Kawasan Sentra Produksi (Amor-amor,
Batukliang, Pamongkong, Sembalun Lawang)
 Pengembangan Kawasan Andalan. Pengembangan
Kawasan Andalan I meliputi beberapa kecamatan di
wilayah Lombok Selatan, yaitu : Kec. Sekotong, Gerung,
Praya Barat, Pujut, Praya Tumur,Sakra, Keruak.

2. Peningkatan Kebutuhan Air


 Kebutuhan Kolam Ikan. Trend pertumbuhan kolam ikan di
WS Pulau Lombok menunjukkan angka positif ke
depannya, keberadaan kolam ikan tersebut perlu penataan
ulang, kondisi sekarang yang ada air yang masuk kedalam
kolam ikan langsung di buang ke dalam drainase sungai.
Artinya air yang ada tidak masuk kembali ke dalam sistem
irigasi, yang mestinya membuat air menjadi lebih efisien .

21
 Kebutuhan Penggelontoran Kota. Kebutuhan air untuk
menggelontor kota juga harus diperhatikan. Mengingat
permasalahan sanitasi adalah permasalahan yang cukup
krusial menyangkut kesehatan masyarakat umum secara
luas

 Kebutuhan Air Baku Perkembangan perkotaan dan daerah-


daerah di WS Pulau Lombok memang cukup pesat terutama
di Mataram, Selong, Praya, Gerung, dan Tanjung.
Kebutuhan air baku ke depan juga diperlukan untuk sektor-
sektor strategis seperti Bandara Internasional Lombok
(BIL), daerah Pariwisata Kuta dan Sekotong. Hal ini tidak
mungkin tidak akan menimbulkan permasalahan kebutuhan
air baku untuk minum. Kondisi yang sekarang ada pun,
sudah mulai menggambarkan betapa krisisnya kebutuhan
air baku di WS Pulau Lombok.

3. Pembangunan Sarana dan Prasarana Transportasi


Pembangunan Bandara Udara Lombok Baru. Mengingat
bandara merupakan fasilitas umum yang memerlukan air dalam
jumlah yang tidak sedikit, maka kebutuhan air untuk menyuplai
kebutuhan bandara perlu dilakukan.

4. Rencana Pembangunan Sarana dan Prasarana Sumber Daya Air


 Lombok melalui sistem suplesi HLD, dengan potensi areal
seluas 50.695 Ha telah dilaksanakan sejak tahun 1982.
Namun sampai dengan saat ini pengembangan sistim HLD
Jurang Sate Komplek dan sistem Batujai - Pengga baru
mencapai areal ± 29.945 Ha sehingga terdapat lahan hujan
seluas 20.750 Ha masih belum tertangani dengan baik,
salah satunya wilayah Pandanduri Suwangi

22
 Rencana Pembangunan Bendungan Mujur. Pembangunan
Bendungan Mujur salah satu konsep untuk mengatasi
bencana kekeringan dan rawan kekurangan air baku di 3
Kecamatan (Praya Tengah, Praya Timur dan Janapria) dan
meningkatkan lahan tadah hujan seluas 10.121 ha menjadi
lahan beririgasi teknis di Pulau Lombok bagian selatan
(selain pembangunan Bendungan Pandanduri Suwangi),
serta untuk mendorong ekonomi pedesaan

 Rencana Pembangunan Saluran Interbasin Transfer


Meninting Jangkok (West). Konsep membuat saluran HLD
Meninting-Jangkok adalah untuk mengalirkan air sungai
Meninting menuju sungai Jangkok bagian hilir agar dapat
digunakan untuk mengairi DI. Mataram. Dengan dibuatnya
saluran ini, maka kelebihan debit bendung Jangkok dapat
ditransfer ke saluran Jurang Sate d. Rencana Saluran
Suplesi Belimbing Dan Kermit (East). Rencana saluran
suplesi Blimbing-Kermit adalah untuk memanfaatkan
potensi mata air yang cukup besar di Blimbing River Basin
di bagian hulu bendung Tempasan untuk mengairi areal
irigasi di sekitar aliran Sungai Kermit hingga ke rencana
Bendungan Pandanduri.

5. Pariwisata
Nusa Tenggara Barat sebagai salah satu dari lima daerah
unggulan pariwisata di Indonesia (Nusa Tenggara Barat, Sumatera
Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara
Timur), terus berusaha untuk mengembangkan potensi pariwisata
dengan membuat program unggulan dengan menyiapkan destinasi
baru obyek wisata yang merupakan objek andalan seperti wisata :
alam, bahari, budaya, MICE (meeting, incentive, conference,
exhibition), belanja, ziarah, religi, dan geowisata. Pemerintah

23
Provinsi NTB menetapkan 15 kawasan pariwisata yaitu sembilan
di Pulau Lombok dan enam di Pulau Sumbawa

24
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

1. Kondisi tata air DAS Palung dalam kondisi kritis karena perbedaan antara
debit maksimum dan minimum sangat besar (4027), jumlah air yang
langsung menjadi aliran permukaan cukup besar (61%), dan potensi air
yang tidak mencukupi kebutuhannya.
2. Faktor sedimen dan kejadian banjir yang mempunyai kondisi sedang dan
sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh solum tanah yang tipis dan palung
sungai yang dalam.
3. Indikator yang buruk dari tata air dapat diperbaiki dengan penanaman
tanaman permanen pada daerah terbuka dan pembuatan sumur resapan di
daerah pemukiman, pembuatan embung di daerah pertanian, dan
pembuatan rorak atau jebakan air di kawasan hutan atau perkebunan.

5.2 Saran

Peraturan daerah tentang pengelolaan DAS terpadu Juga dapat mendukung


rencana strategis daerah. Keberadaan DAS seperti DAS Jangkok, DAS
Dodokan, Das Palung dan Sori cukup menentukan dalam implementasi
rencana pengembangan wilayah strategis yang sudah di tetapkan meliputi
:Pengembangan Kawasan , Peningkatan Kebutuhan Air, Pembangunan
Sarana dan Prasarana Transportasi

25
DAFTAR PUSTAKA

Andi Masnang, 2003. Konversi Penggunaan Lahan Kawasan Hulu Dan Dampaknya
Terhadap Kualitas Sumberdaya Air Di Kawasan Hilir. Makalah Pengantar
Falsafah Sains. Institut Pertanian Bogor
Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I. Data dan Informasi Pengelolaan
Sumberdaya Air. Wilayah Sungai Lombok dan Wilayah Sungai Sumbawa,
2012.
Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I. Pola Pengelolaan Pengelolaan Sumberdaya
Air Wilayah Sungai Pulau Lombok, 2011
Supriadi, D. 2000. Uplands Management: Cases of Cimanuk and Cisanggarung
River Basin, makalah pada Linggarjati Environmental Meeting, 9-13
November 2000.
Chaves, H.M.L. and S. Alipaz.2007. An Integrated Indicator based on basin
Hydrology, Environment, Life, and Policy: The watershed sustainability
index.Water Resources Management. Vol.21, 883-895

26

Anda mungkin juga menyukai