Anda di halaman 1dari 8

Term Paper

PELAKSANAAN EKOWISATA SEBAGAI SARANA PENGELOLAAN


LINGKUNGAN LAHAN BASAH UNTUK KONSERVASI KAWASAN
MANGROVE
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengelolaan Lingkungan Lahan
Basah

Yang Diampu Oleh:

Dr. Karunia Puji Hastuti, M.Pd

Muhammad Muhaimin , S.Pd., M.Sc.

Disusun Oleh:

Muhammad Iqbal Julian Arrizky


(1710115210015)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2020
PELAKSANAAN EKOWISATA SEBAGAI SARANA PENGELOLAAN
LINGKUNGAN LAHAN BASAH UNTUK KONSERVASI KAWASAN
MANGROVE

Muhammad Iqbal Julian Arrizky


iqbaljulianarrizky@icloud.com

Abstrak
Mangrove adalah lahan basah pantai berlumpur yang ditemukan di daerah tropis dan
subtropis biosfer yang hutan mangrove intertidal meliputi sebagian besar garis pantai Asia
Tenggara termasuk juga di Indonesia. Dewasa ini, hutan mangrove mengalami degradasi
dan deforestasi sangat cepat karena, berlebihan pengambilan sumber daya hutan secara
komersil dan izin penggunaan lahan hutan mangrove sebagai alternatif lahan baru yang
dikonversi menjadi tambak garam, pertanian, perikanan, dan pariwisata sehingga perlu
untuk dilestarikan dengan upaya konserpasi salah satunya melalui pembangunan
ekowisata. Menganalisis ekowisata sebagai pengelolaan lahan basah konservasi kawasan
mangrove terkait pengembangan ekowisata untuk melestarikan upaya konservasi
mangrove, peran masyrakat dalam upaya koservasi, dan pengelolaan ekowisata mangrove.
Upaya konservasi adalah melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan mangrove seperti
pembibitan bakau, perkebunan bakau, memanfaatkan buah jeruju dan pedada sebagai
makanan dan penyuluhan kepada penduduk desa untuk tidak memotong bakau dan
memasuki hutan bakau. Kegiatan ekowisata adalah berperahu di sekitar hutan bakau,
wisata penanaman bakau, dan mengamati burung. Melestarikan mangrove yang seharusnya
dikonversi menjadi lahan non-basah telah diakui secara luas untuk mengurangi perubahan
iklim dengan menghindari emisi karbon yang dilepaskan setelah konversi. Mengetahui
bahwa hutan bakau memiliki fungsi ekosistem lainnya, ukuran cadangan karbon mungkin
tidak mencukupi sebagai kriteria penilaian tunggal untuk pembayaran karbon dan dapat
menyebabkan proyek tidak efektif biaya. Ekowisata sebagai strategi konservasi mangrove
berbasis karbon, reformasi penguasaan lahan, tata kelola yang mendukung, dan keterlibatan
lokal harus ditetapkan untuk memastikan bahwa manfaat konservasi tidak hanya untuk
iklim global tetapi juga kesejahteraan manusia.

Kata kunci: Ekowisata, Konservasi, Lahan Basah, Mangrove


Pendahuluan

Mangrove adalah lahan basah pantai berlumpur yang ditemukan di daerah


tropis dan subtropis biosfer yang hutan mangrove intertidal meliputi sebagian
besar garis pantai Asia Tenggara termasuk juga di Indonesia (Friess, 2017; Hakim,
Siswanto, & Makagoshi, 2017)Dewasa ini, hutan mangrove mengalami degradasi
atau deforestasi yang menjadi masalah serius terhadap lingkungan seperti di
Honduras, Amerika Tengah, Madagaskar, Kenya, Zhanjiang, Cina Selatan,
Filipina, & Delta Zambezi, Afrika (Chen et al., 2013; Jones et al., 2016; Long &
Giri, 2011; Muhaimin, 2016), padahal mangrove yang memainkan peran utama
dalam jasa lingkungan, ekonomi, dan manfaat sosial serta berfungsi menyerap dan
menyimpan karbon, disebut karbon "biru" (Hakim et al., 2017; Setiawan,
Harianto, & Qurniati, 2017).

Mangrove berkontribusi pada berbagai layanan lingkungan, termasuk


menjebak dan mendaur ulang bahan organik, menyediakan tempat berteduh dan
permukaan untuk organisme darat dan air, dan berkontribusi terhadap kesehatan
keseluruhan lingkungan pesisir. Bakau kaya akan sumber daya alam, yang telah
lama dieksploitasi oleh manusia. Sebagian besar ekosistem mangrove yang
beragam tersebar di negara-negara berkembang yang baru-baru ini menghadapi
banyak masalah, yang berpotensi menyebabkan kepunahan ekosistem mangrove
(Barbier et al., 2011; Brander et al., 2012; Donato et al., 2011).

Tujuan dari penulisan term paper ini adalah untuk menganalisis ekowisata
sebagai pengelolaan lahan basah konservasi kawasan mangrove. Pokok bahasan
yang akan dibahas pada term paper ini adalah: 1) Pengembangan ekowisata untuk
melestarikan upaya konservasi mangrove (Setiawan et al., 2017); 2) Peran
masyrakat dalam upaya koservasi mangrove (Setiawan et al., 2017); 3)
pengelolaan ekowisata mangrove (Murtini, Kuspriyanto, & Kurniawati, 2017).

Pembahasan

Pada umumnya pemanfaatan sumber daya hutan mangrove adalah untuk


produksi daun terasi (Terasi), jeruru (Acanthus Ilicifolius), buah pedada
(Sonneratia Caseolaris) dan kegiatan ekowisata (Setiawan et al., 2017). Dampak
dari degradasi dan deforestasi hutan mangrove, yaitu semakin menurunnya
kualitas lingkungan, perubahan iklim terkait gas rumah kaca, meningkatnya suhu
laut yang mengakibatkan badai, perubahan karbon sink, meningkatnya erosi
pantai, mengakibatkan wabah penyakit yang pada akhirnya dapat menyebabkan
kegagalan produksi akuakultur, mengakibatkan perubahan tutupan mangrove,
perubahan garis pantai, dan pendangkalan akibat sedimentasi (Chen et al., 2013;
Jones et al., 2016; Li, J., J., Q., & Wei, 2013; Long & Giri, 2011). Pemanfaatan
ekosistem mangrove untuk ekowisata yang diminati wisatawan dari pariwisata
adalah wisatawan lama yang datang ke tur tanpa unsur pendidikan dan konservasi,
yang ada unsur pendidikan dan konservasi. Oleh karena itu, perlu dikelola dan
dicari destinasi ekowisata tertentu yang alami dan kaya akan keanekaragaman
hayati dan untuk melestarikan lingkungan.

Di Indonesia, penggunaan bakau sebagai tempat rekreasi telah dilaporkan


oleh banyak penulis (Fahrian, Putro, & Muhammd, 2015; Hakim & Hong,
2012). Ada banyak potensi program ekowisata yang menarik dan mendidik di
destinasi wisata berbasis mangrove, tetapi sejauh ini, beberapa program telah
dilaksanakan. Ini termasuk tamasya mangrove, mengunjungi akuakultur,
memancing, bermain kano, mengamati burung dan menjadi sukarelawan dalam
program konservasi bakau. Ada juga jalur hutan bakau dan program wisata
sungai bakau. Kegiatan populer lainnya yang terkait dengan rekreasi di hutan
bakau termasuk fotografi. Namun, ada sedikit penelitian tentang tujuan wisata
berbasis bakau yang meneliti popularitas dan preferensi wisatawan dalam
program pariwisata berbasis bakau.

Upaya konservasi adalah melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan


mangrove seperti pembibitan bakau, perkebunan bakau, memanfaatkan buah
jeruju dan pedada sebagai makanan dan penyuluhan kepada penduduk desa
untuk tidak memotong bakau dan memasuki hutan bakau. Kegiatan ekowisata
adalah berperahu di sekitar hutan bakau, wisata penanaman bakau, dan
mengamati burung (Fahrian et al., 2015; Hakim & Hong, 2012; Setiawan et al.,
2017)
Peran serta masyarakat untuk konservasi mangrove. kelompok yang
terbentuk dri ekowisata memberikan peringatan langsung kepada orang-orang
yang memasuki hutan bakau dan mengimbau masyarakat melalui pengajian
agar tidak merusak hutan bakau. Laporan diberikan langsung kepada kepala
desa jika ada orang yang merusak hutan bakau. Kegiatan perlindungan ini
didasarkan pada tanggung jawab untuk menjaga hutan bakau berkelanjutan.
Orang-orang bisa melindungi hutan bakau dengan mengikuti aturan bakau
sehingga bakau bisa tumbuh dengan baik tanpa gangguan dari manusia.
Kegiatan perlindungan ini didasarkan pada tanggung jawab untuk menjaga
hutan bakau berkelanjutan. Namun, konservasi mangrove tidak pernah tanpa
tantangan; masalah tata kelola, penegakan hukum, dan konflik dapat meningkat
pada tingkat yang berbeda (Friess, 2017).

Ekowisata sebagai alat pembangunan berkelanjutan dan memberikan


manfaat sosial, serta lingkungan ekonomi masa depan dan hak untuk menjadi
prioritas dalam pembangunan ekonomi negara. Ekowisata memberikan
kesempatan bagi wisatawan untuk menikmati keindahan alam dan budaya lokal
serta belajar lebih banyak tentang pentingnya beragam makhluk hidup di
dalamnya. Selain itu, kegiatan ekowisata dapat meningkatkan pendapatan untuk
konservasi alam dan menghasilkan manfaat ekonomi bagi masyarakat
lokalPariwisata berpotensi menjadi strategi untuk konservasi mangrove.
Kegiatan pariwisata berbasis mangrove umumnya ditemukan di daerah di mana
masyarakat setempat, yang secara aktif terlibat dalam melestarikan hutan
bakau, memulai program pariwisata dan mempromosikan hutan bakau sebagai
alternatif tujuan wisata berbasis alam, penentuan ekowisata mangrove sebagai
salah satu kawasan strategis berdasarkan empat aspek, yaitu ekonomi, fungsi
dan daya dukung lingkungan, sosial, budaya, dan teknologi tinggi (Fahrian et
al., 2015; Hakim & Hong, 2012; Murtini et al., 2017).

Penutup

Mangrove adalah lahan basah pantai berlumpur yang ditemukan di daerah


tropis dan subtropis biosfer yang hutan mangrove intertidal meliputi sebagian
besar garis pantai Asia Tenggara termasuk juga di Indonesia. Hutan mangrove
mengalami degradasi dan deforestasi karena, berlebihan pengambilan sumber
daya hutan secara komersil dan izin penggunaan lahan hutan mangrove sebagai
alternatif lahan baru yang dikonversi menjadi tambak garam, pertanian,
perikanan, dan pariwisata. Upaya konservasi adalah melindungi, melestarikan,
dan memanfaatkan mangrove seperti pembibitan bakau, perkebunan bakau,
memanfaatkan buah jeruju dan pedada sebagai makanan dan penyuluhan
kepada penduduk desa untuk tidak memotong bakau dan memasuki hutan
bakau dengan pembangunan ekowisata.

Kegiatan ekowisata adalah berperahu di sekitar hutan bakau, wisata


penanaman bakau, dan mengamati burung. Melestarikan mangrove yang
seharusnya dikonversi menjadi lahan non-basah telah diakui secara luas untuk
mengurangi perubahan iklim dengan menghindari emisi karbon yang
dilepaskan setelah konversi. Mengetahui bahwa hutan bakau memiliki fungsi
ekosistem lainnya, ukuran cadangan karbon mungkin tidak mencukupi sebagai
kriteria penilaian tunggal untuk pembayaran karbon dan dapat menyebabkan
proyek tidak efektif biaya. Ekowisata sebagai strategi konservasi mangrove
berbasis karbon, reformasi penguasaan lahan, tata kelola yang mendukung, dan
keterlibatan lokal harus ditetapkan untuk memastikan bahwa manfaat
konservasi tidak hanya untuk iklim global tetapi juga kesejahteraan manusia.

Referensi
Barbier, E. B., Hacker, S. D., Kennedy, C., Koch, E. W., Stier, A. C., & Silliman,
B. R. (2011). The Value of Estuarine and Coastal Ecosystem Services.
Ecological Society of America, 81(2), 169–193.
https://doi.org/https://doi.org/10.1890/10-1510.1

Brander, L. M., Wagetendonk, A. J., Hussain, S. S., McVittie, A., Verburg, P. H.,
de Groot, R. S., & Ploeg, S. van der. (2012). Ecosystem Service Values for
Mangroves in Southeast Asia: A meta-analysis and Value Transfer
Application. Ecosystem Services, 1(1), 62–69.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ecoser.2012.06.003

Chen, C.-F., Son, N.-T., Chang, N.-B., Chen, C.-R., Chang, L.-Y., Valdez, M., …
Aceituno, J. L. (2013). Multi-Decadal Mangrove Forest Change Detection and
Prediction in Honduras, Central America, with Landsat Imagery and a Markov
Chain Model. Remote Sensing, 5(12), 6408–6426.
https://doi.org/https://doi.org/10.3390/rs5126408

Donato, D. C., Kauffman, J. B., Murdiyarso, D., Kurnianto, S., Stidham, M., &
Kannien Markku. (2011). Mangroves among the most carbon-rich forests in
the tropics. Nature Geoscience, 4(May 2011), 293–297.
https://doi.org/https://doi.org/10.1038/ngeo1123

Fahrian, H. H., Putro, S. P., & Muhammd, F. (2015). Potensi Ekowisata di Kawasan
Mangrove, Desa Mororejo, Kabupaten Kendal. Biosaintifika, 7(2), 105–111.
https://doi.org/https://doi.org/10.15294/biosaintifika.v7i2.3953

Friess, D. A. (2017). Ecotourism as a Tool for Mangrove Conservation. Sumatra


Journal of Disaster, Geography and Geography Education, 1(1), 24–35.

Hakim, L., & Hong, S.-K. (2012). Challenges for conserving biodiversity and
developing sustainable island tourism in North Sulawesi Province, Indonesia.
Journal of Ecology and Environtment, 35(2), 61–71.
https://doi.org/10.5141/JEFB.2012.017

Hakim, L., Siswanto, D., & Makagoshi, N. (2017). Mangrove Conservation in East
Java: The Ecotourism Development Perspectives. Journal of Tropical Life
Science, 7(3), 277–285.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.11594/jtls.07.03.14

Jones, T. G., Glass, L., Gandhi, S., Ravaoarinorotsihoarana, L., Carro, A., Benson,
L., … Cripps, G. (2016). Madagascar’s Mangroves: Quantifying Nation-Wide
and Ecosystem Specific Dynamics, and Detailed Contemporary Mapping of
Distinct Ecosystems. Remote Sensing, 8(2), 106.
https://doi.org/https://doi.org/10.3390/rs8020106

Li, M. S., J., M. L., J., S. W., Q., L. S., & Wei, A. S. (2013). Change and
Fragmentation trends of Zhanjiang mangrove forest in southern China using
multi-temporal Landsat imagery (1977-2010). Estuarine, Coastal and Shelf
Science, 130(20 September 2013), 111–120.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ecss.2013.03.023

Long, J. B., & Giri, C. (2011). Mapping the Philippines’ Mangrove Forests Using
Landsat Imagery. Sensors, 11(3), 2972–2981.
https://doi.org/10.3390/s110302972

Muhaimin, M. (2016). Pemanfaatan Citra Landsat Sebagai Dasar Pemetaan Spasial


Dan Temporal Di Hutan Mangrove. Full Term Paper.

Murtini, S., Kuspriyanto, & Kurniawati, A. (2017). Mangrove area development


strategy wonorejo as ecotourism in surabaya. Journal of Physics: Conference
Series, 953(2018), 012174. https://doi.org/10.1088/1742-6596/953/1/012174

Setiawan, W., Harianto, S. P., & Qurniati, R. (2017). Ecotourism development to


preserve mangrove conservation effort: Case study in Margasari Village,
District of East Lampung, Indonesia. Ocean Life, 1(1), 14–19.
https://doi.org/https://doi.org/10.13057/oceanlife/o010103

Anda mungkin juga menyukai