Anda di halaman 1dari 56

PROPOSAL PENELITIAN

STRUKTUR KUMUNITAS MOLUSKA ( EFIFAUNA DAN


INFAUNA ) PADA EKOSISTEM LAMUN DI PULAU
LANGKAI KELURAHAN BARANGCADDI KECAMATAN
UJUNG TANAH

INDIANA
07320170032

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA PADA EKOSISTEM
LAMUN DI PULAU LANGKAI KELURAHAN
BARANGCADDI KECAMATAN UJUNG TANAH

PROPOSAL PENELITIAN

INDIANA
07320170032

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
HALAMAN PENGESAHAN KOMISI PEMBIMBING

Judul Penelitian : Struktur Komunitas Moluska Pada Ekosistem


Lamun Di Pulau Langkai Kelurahan
Barangcaddi Kecamatan Ujung Tanah

Nama : Indiana
Stambuk : 073 2017 0032
Fakultas : Perikanan dan Ilmu Kelautan
Jurusan : Ilmu Kelautan
Program Studi : Ilmu Kelautan
Jenjang Pendidika : Strata Satu (S-1)
SK Pembimbing :

Telah Diperiksa dan Disetujui


Oleh Komisi Pembimbing :

Ir.H.Kamil Yusuf, M.Si Dr. Ir. Hamsiah, M.Si


Pembimbing Utama Pembimbing Kedua

Mengetahui :

Dr. Ir. Asbar, M.Si Dr.Ir.Hamsiah,M.Si


Dekan FPIK-UMI Ketua Jurusan IK

iii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Proposal

yang berjudul Struktur Komunita Moluska Pada Ekosistem Lamun di Pulau

Langkai Kelurahan Barangcaddi Kacamatan Ujung Tanah.

Penulis menyadari, bahwa laporan Proposal yang penulis buat ini masih

jauh dari kata sempurna baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya.

Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun

dari semua pembaca guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi

di masa mendatang. Semoga laporan Proposal ini bisa menambah wawasan para

pembaca dan bisa bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu

pengetahuan.

Makassar, Februari 2021

Indiana

iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN KOMISI PEMBIMBING......................................iii
KATA PENGANTAR............................................................................................iv
DAFTAR ISI............................................................................................................v
DAFTAR TABEL...................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................vii
BAB I.......................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................6
1.3. Tujuan Penelitian.......................................................................................7
1.4. Manfaat Penelitian.....................................................................................7
BAB II......................................................................................................................8
2.1. Pengertian Ekosistem................................................................................8
2.2. Komunitas.................................................................................................8
2.3. Definisi Lamun........................................................................................10
2.4. Moluska...................................................................................................16
2.5. Parameter Perairan Ekosistem Lamun....................................................34
BAB III..................................................................................................................38
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian.................................................................38
3.2. Alat dan Bahan........................................................................................39
3.3. Metode Penelitian....................................................................................40
3.4. Prosedur Penelitian..................................................................................41
3.5. Analisi data..............................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................49

v
DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Alat dan Bahan .................................................................................. 39


2. Kategori persentasi tutupan lamun transek kuadran 50x50................ 47

vi
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman
1. Akar dan Batang tumbuhan Lamun...................................................... 13

2. Struktur Cangkang Bivakvia................................................................. 21

3. Struktur Tubuh Bivalvia ...................................................................... 22

4. Kerang Simping.................................................................................... 23

5. Kerang Bulu.......................................................................................... 24

6. Kerang Tahu.......................................................................................... 25

7. Kerang Darah ....................................................................................... 26

8. Kerang Hijau......................................................................................... 27

9. Kerang Kampak.................................................................................... 28

10. Kerang Tiram........................................................................................ 28

11. Dentalius Vulgare Struktur tubuh Dentalium Sp.................................. 29

12. Peta Lokasi Penelitian........................................................................... 38

13. Skema Transek Skema Moluska........................................................... 42

vii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pulau Langkai tepatnya terletak di Kelurahan Barrang Caddi, Kecamatan

Ujung Tanah, Makassar, Sulawesi Selatan. Posisi pulau ini berada di 5,5 km

selatan Lanjukang dengan luas mencapai lebih dari 27 hektar dan terumbu yang

mengelilingi seluas 142 hektar. Pulau Langkai memiliki panorama yang

memesona. Di Pulau Langkai Anda bisa melihat indahnya terumbu karang serta

kekayaan bawah laut yang melimpah. Kondisi terumbu karang di sekitar pulau

umumnya masih baik dan sangat menarik untuk kegiatan snorkling. Tak heran

jika para wisatawan yang datang biasanya memanfaatkan tempat ini untuk

memancing. Di sekitar pulau ini masih terdapat ikan kerapu, ikan Kaneke, udang

mutiara, ikan cakalang, tinumbu, bambangang, hiu, lamuru, cepa (kuwe), sunu,

kerapu dan ikan terbang serta napoleon.Pulau ini ini salah satu tempat yang ideal

bagi mereka yang ingin melakukan camping atau sekedar berjemur di pantai pasir

putih yang indah dan bersih, atau bagi mereka yang gemar bersnorkling disekitar

perairan pulau ini, panorama taman laut dan keanekaragaman biotanya dengan

laut yang bersih menjadi daya tarik tersendiri.

Padang lamun memiliki peran yang penting sebagai salah satu penyusun

ekosistem perairan laut. Secara fisik, padang lamun berperan sebagai penahan

abrasi dan stabilisator sedimen. Pantai dengan padang lamun yang kondisinya

masih baik, keadaan airnya cenderung tenang dan jernih serta terlindung dari

abrasi (Azkab, 1999).


2

Secara ekologi, padang lamun berperan sebagai produsen utama dalam rantai

makanan (Susetiono, 2004). Padang lamun juga menjadi tempat naungan, mencari

makan, dan berkembangbiak berbagai jenis biota, baik invertebrata maupun

vertebrata, yang sebagian bernilai komersial (Aswandy, 1999; Suharti dkk., 1999;

Pratiwi dkk., 1997).

Salah satu kelompok fauna yang umum dijumpai di padang lamun adalah

moluska, baik yang hidup sebagai epifauna (merayap di permukaan) maupun

infauna (membenamkan diri di dalam sedimen). Dalam rantai makanan, moluska

epifauna merupakan komponen yang memanfaatkan biomassa epifit di daun

lamun. Sedangkan moluska infauna menjadi komponen yang memanfaatkan

serasah di permukaan sedimen (Tomascik dkk., 1997). Dalam kehidupan manusia,

banyak jenis moluska padang lamun yang memiliki arti penting bernilai ekonomi,

konsumsi, maupun ornamental (Kinch, 2003; Dharma, 1988, 1992).

Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Spermatophyta) yang

mampu hidup secara penuh beradaptasi pada lingkungan laut dengan kadar

salinitas rendah (perairan payau) hingga salinitas tinggi (Halofitik). Lamun

berpembuluh, berdaun, berimpang (rhizoma), berakar dan berkembang biak

secara generatif (biji) dan vegetatif (tunas), rimpangnya merupakan batang yang

beruas-ruas yang tumbuh terbenam dan menjalar dalam substrat pecahan karang,

berpasir, pasir-berlumpur dan lumpur (Pham et al., 2006), namun berfungsi

normal serta mampu melaksanakan daur generatif. Padang lamun yaitu tumbuhan

lamun yang menutupi suatu areal pesisir laut dangkal pada mintakat pasang surut

intertidal maupun subtidal yang dapat terbentuk oleh satu spesies lamun
3

(monospesific) atau lebih (mix vegetation) dengan kerapatan jarang (spare) atau

padat (dense). Ekosistem lamun merupakan suatu sistem ekologis yang di

dalamnya terjadi hubungan timbal balik antara komponen abiotik berupa substrat

dan air dengan komponen biotik berupa flora dan fauna (den Hartog, 1970;

Phillips & Menez, 1988).

Secara ekologis padang lamun memiliki peran penting bagi wilayah perairan

pesisir. Peran tersebut diantaranya sebagai sumber utama produktivitas

primer/penghasil bahan organik, habitat berbagai biota (360 jenis ikan 60

diantaranya bernilai ekonomis tinggi, 117 jenis makro alga, 24 jenis moluska, 70

jenis krustacea dan 45 jenis echinodermata), substrat bagi biota penempel, tempat

asuhan bagi larva ikan dan biota lainnya, sumber makanan bagi endangered

species seperti duyung (Dugong dugon), penyu dan kuda laut (Hippocampus sp),

tempat berlindung dan tempat pembesaran beberapa jenis biota, dan krustase

komersial penting (Pioneer et al., 1989 & Gray et al., 1996), menyokong

tingginya keanekaragaman dan jenis-jenis biota laut (Texas Park & Wildlife,

1999). Secara fisik, padang lamun dapat menstabilkan subtrat dasar yang lunak

dan memperlambat arus sepanjang pantai (longshore current)..

Karena perannya yang sangat komplek sehingga padang lamun dapat

dikatakan sebagai salah satu ekosistem yang paling produktif di suatu perairan dan

dikenal sebagai ekosistem laut yang penting (Fortes, 1990; Thangaradjon et al.,

2007, Blankenhorn, 2006). Padang lamun juga mempunyai nilai ekonomi yaitu

pada jasa ekosistem lamun sekitar IDR 21.014.756/ha/ tahun (Wawo et al., 2014)

dan sektor pariwisata, perikanan dan fungsi padang lamun bernilai


4

Rp20.579.103/ha/tahun (Dirhamsyah, 2007) serta diestimasi total nilai minimal

ekonomi jasa ekosistem lamun bagi kesejahteraan masyarakat sekitar 121,75

juta/ha/tahun (Wahyudin et al., 2016).

Moluska merupakan salah satu kelompok hewan yang sangat sukses

beradaptasi pada keragaman zona pasang surut dengan perubahan suhu yang

ekstrim, serta ditemukan hidup pada berbagai tipe habitat mulai dari laut dalam,

zona intertidal, air tawar dan darat (Vaghela and Kundu, 2011). Moluska berperan

penting sebagai komponen dalam rantai makanan (Vaghela et al., 2013), baik

sebagai pemangsa (predator), maupun yang dimangsa. Cara hidup moluska yang

menempel, membenamkan cangkang atau menetap pada substrat (sesil), membuat

kehadiran dan distribusinya sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi dalam

ekosistem lingkungan (Hartoni dan Agussalim, 2013), dan sering digunakan

sebagai indikator dalam menentukan tingkat pencemaran suatu perairan

(Rachmawaty, 2011; Mendes et al., 2007).

Faktor lingkungan lamun yang sangat bervariasi menjadi penyebab adanya

perbedaan cara hidup dan penyebaran moluska. Rimpang, daun dan akar lamun

dapat menyediakan habitat mikro yang berbeda bagi organisme lainnya, serta

dapat memberikan perlindungan dari pemangsa (Attrill et al., 2000). Beberapa

jenis moluska yang ditemukan pada ekosistem padang lamun memiliki nilai

ekonomis penting, yang keberadaannya tergantung dari kondisi lamun dan tipe

substratnya. Fredriksen, et al., (2005); Hily, et al., (2004) menyatakan bahwa

banyak organisme dan moluska memakan bahan organik dan detritus hasil
5

penguraian dari tumbuhan dan epifit pendukung serta partikel yang terdapat di

antara daun lamun.

Aktivitas manusia dalam memanfaatkan potensi sumberdaya perairan pesisir

serta kegiatan antropogenik, seperti pengerukan, reklamasi, pengembangan resort,

ataupun penggunaan jaring pantai untuk menangkap ikan dapat berdampak negatif

bagi penurunan persentase tutupan lamun (Anonimous, 2017) dan keragaman

biota seperti moluska yang hidup didalamnya. Hingga saat ini, berbagai penelitian

tentang moluska telah banyak dilakukan di Indonesia (Cappenberg dan

Panggabean, 2005; Dibyowati, 2009: Islami dan Mudjiono, 2009; Mudjiono,

2009; Arbi, 2010; Istiqlal et al., 2013), sehingga keberadaan jenis dan struktur

komunitas moluska di sebagian wilayah pantai sudah dapat diketahui.

Penelitian moluska di kawasan pesisir Pulau Langkai Kelurahan Barangcaddi

Kecamatan Ujung Tanah masih tergolong sedikit, oleh karena itu penelitian ini

dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui struktur komunitas moluska seperti

keanekaragaman jenis, Pola sebaran dan ukuranya di ekosistem padang lamun.

Penelitian ini merupakan yang pertama kali dilakukan dan diharapkan dapat mem-

berikan tambahan informasi tentang keberadaan jenis-jenis moluska pada

ekosistem padang lamun di perairan Pulau Langkai Kelurahan Barangcaddi

Kecamatan Ujung Tanah serta dapat menjadi data dasar untuk penelitian

selanjutnya.

Salah satu wilayah perairan Indonesia yang belum banyak diketahui kondisi

padang lamunnya adalah wilayah perairan di Pulau Langkai Kelurahan


6

Barangcaddi Kecamatan Ujung Tanah .Penelitian ini tentang wilayah tersebut

perlu dilakukan suatu penelitian .Penelitian tersebut berjudul :”Struktur

Komunitas Moluska (Efifauna dan Infauna) pada Ekosistem Lamun di Pulau

Langkai Kelurahan Barangcaddi Kecamatan Tanah Ujung “ Penting dan

perlu untuk dilakukan sebagai upaya untuk menambah informasi sekaligus

sebagai dasar upaya pelestarian lingkungan pesisir ,khususnya wilayah pesisir

Pulau Langkai Kelurahan barangcaddi Kecamatan Tanah ujung.

Penelitian moluska di kawasan pesisir di Pulau Langkai Kelurahan

Barangcaddi Kecamatan Ujung Tanah masih tergolong sedikit, oleh karena itu

penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui struktur komunitas

moluska seperti keanekaragaman jenis, sebaran dan kepadatannya di ekosistem

padang lamun. Penelitian ini merupakan yang pertama kali dilakukan dan

diharapkan dapat mem-berikan tambahan informasi tentang keberadaan jenis-jenis

moluska pada ekosistem padang lamun di perairan pulau langkai serta dapat

menjadi data dasar untuk penelitian selanjutnya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam


penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengetahui jenis jenis moluska berdasarkan cara hidupnyan (efifauna
dan infauna) di Pulau Langkai Kelurahan Barangcaddi Kecamatan
UjungTanah?.
2. Berapa ukuran molusca ( Efifauna dan Infauna ) Pada Ekosistem Lamun
di Pulau Langkai Kelurahan Barangcaddi Kecamatan Ujung Tanah?.
7

3. Bagaimana pola sebaran molusca pada ekosistem lamun di Pulau


Langkai Kelurahan Barangcaddi Kecamatan Ujung Tanah?.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai

dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui jenis jenis moluska berdasarkan cara hidupnya (Efifauna dan

Infauna) di Pulau Langkai Kelurahan Barangcaddi Kecamatan Tanah

Ujung Tanah.

2. Mengetahui ukuran moluska (Efifauna dan Infauna) Pada Ekosistem

Lamun di Pulau Langkai Kelurahan Barangcaddi Kecamatan Ujung Tanah.

3. Mengetahui Pola Sebaran Moluska Pada Ekosistem Lamun di Pulau

Langkai Kelurahan Barangcaddi Kecamatan Ujung Tanah.

1.4. Manfaat Penelitian

Kegunaan penelitian ini yaitu sebagai referensi atau informasi tentang

mengetahui jenis jenis moluska yang cara hidup Efifauna dan Infauna yang ada

pada perairan Pulau Langkai serta pola sebaran moluska pada ekosistem lamun
8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ekosistem

Ekosistem adalah hubungan timbal balik antara komponen biotik yaitu

tumbuhan, hewan, manusia, dan mikroba dengan komponen abiotik, yaitu

cahaya, udara, air, tanah dan sebagainya (Cartono, 2008). Sistem ekologik atau

ekosistem didefinisikan sebagai jasad hidup dan lingkungan tak hidup saling

terkait tak terpisahkan dan berinteraksi satu dengan yang lain setiap satuan

yang meliputi suatu organisme atau satu komunitas dalam suatu area yang

berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sehingga suatu aliran energi

menciptakan bentuk trofik yang jelas, keanekaragaman biotik, dan daur

material (yakni pertukaran material-material antara bagian hayati dan non-

hayati) dalam suatu sistem (Romimohtarto dan Juwana, 2007).

2.2 Komunitas

Struktur komunitas adalah suatu deskripsi tentang masyarakat

tumbuhan yang dapat memberi gambaran mengenai kondisi lingkungan dan

distribusi nutrient di habitatnya. menurut Soegianto et al., (1994) dalam,(M.

Kasim, 2013) struktur suatu komunitas tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan

antar spesies, tetapi juga oleh jumlah relative organism dari sepsis spesies itu.

Ada beberapa metode yang telah dikembangkan untuk memepelajari struktur


9

komunitas dengan menggunakan kurva hubungan spesies-abundance (spesies

kelimpahan), kurva spesies area dan menghitung indeks keanekaragaman jenis.

Moluska berdasarkan habitatnya termasuk dalam kelompok infauna.

Infauna adalah makroozoobentos hidupnya terpendam didalam subsrat perairan

dengan cara menggali lubang, sebagian hewan tersebut hidup sesil dan tinggal

disuatu tempat. Kelompok infauna sering mendominasi komunitas subsrat yang

lunak dan melimpah didaerah subtidal misalnya bivalvia dan gastropoda.

(Nyabaken. 1992 dan Sari, 2012 dalam Suci. W, 2013).

a. Kelimpahan organisme di dalam perairan dapat dinyatakan sebagai jumlah

individu per satuan volume atau umumnya dinyatakan sebagai individu per

liter. Sedangkan kelimpahannya dapat diketahui melalui analisis densitas,

dimana densitas 11 tersebut dapat diartikan sebagai jumlah individu per

satuan area (Anggoro, 1984) dalam (Wijayanti.H, 2007) Kelimpahan

relatif adalah prosentase dari jumlah individu dari suatu species terhadap

jumlah total individu dalam suatu daerah tertentu (Odum, 1971) dalam

(Wijayanti.H, 2007).

b. Keseragaman hewan benthos dalam suatu perairan dapat diketahui dari

indeks keseragamannya. Semakin kecil nilai suatu indeks keseragaman

(H’) semakin kecil pula kesergaman jenis dalam komunitas, artinya

penyebaran jumlah individu tidak sama ada kecenderungan dominasi oleh

jenis tertentu suatu komunkitas yang masing-masing jenisnya mempunyai

jumlah individu yang cukup besar dan menunjukan bahwa ekosistem

tersebut mempunyai satuan (Odum, 1993) dalam (Suci.W, 2013).


10

c. Dominasi dapat diketahui dngan menghitung indeks dominasinya (C),

bahwa nilai indeks dominasi terkait satu sama lain, dimana apabila

organism 6 beranekaragaman berarti organism tersebut seragam dan ada

yang dominan (Suci.W, 2013).

d. Pola penyebaran secara acak relatif jarang terjadi secara alami dan

biasanya terjadi hanya bila kondisi lingkungan sangat seragam dan tidak

ada tekanan terhadap populasi. Penyebaran secara seragam mungkin

terjadi apabila kompetisi atau persaingan antar individu-individu sangat

kuat sehingga terjadi pembagian wilayah yang sangat merata antar setiap

individu. membentuk kelompok dalam berbagai ukuran menurut Odum

(1993) dalam musthofa (2008).

2.3 Definisi Lamun

Di Indonesia kata lamun untuk padanan kata dari tumbuhan laut,

seagrass, dapat dikatakan digunakan dengan "terpaksa" karena seharusnya

terjemahan seagrass dalam bahasa Indonesianya adalah rumput laut. Kata

rumput laut sudah diguankan secara umum dan baku bagi tumbuhan alga

(seaweed), baik dalam dunia perdagangan maupun dalam penggunaan bahasa

indonesia yang baku sehai-hari. Istilah lamun untuk seagrass pertama kali

diperkenalkan oleh Malikusworo Hutomo pada tahun 1985 untuk

menghilangkan kesalahan dari istilah seagrass dengan seaweed, maka melalui

kesepakatan ilmuan dan para akademisi istilah seagrass dipakai untuk lamun,

sedangkan istilah seaweed dipakai untuk alga (Azkab, 2006).


11

Lamun (seagrass) merupakan salah satu ekosistem yang penting pada

daerah pesisir dan dapat hidup dan berkembang baik pada lingkungan

perairan laut dangkal, estuaria yang mempunyai kadar garam tinggi dan

daerah yang selalu mendapat genangan air pada saat air surut (Yunus et al.,

2014). Lamun merupakan tumbuhan angiospermae (tumbuhan berbunga)

yang tumbuh di daerah pasang surut (intertidal) yang memiliki sistem akar

dan rimpang (Short et al., 2007). Pada perairan Indonesia terdapat 13 jenis

lamun (P2O-LIPI (2014); Rahmawati et al., 2014).

Lamun adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya

menyesuaikan diri untuk hidup terbenam dalam dasar laut (Nontji, 1987).

Lamun adalah satu-satunya kelompok tumbuhan berbunga yang terdapat di

lingkungan laut (Romimohtarto & Juwana, 2007).

2.4 Morfologi dan Fisiologi Lamun

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (Anthophyta) yang hidup

dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, 5

berpembuluh,berimpang(rhizoma),bera kar, dan berkembang biak secara generatif

maupun vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh

terbenam dan menjalar dalam substrat pasir, lumpur dan pecahan karang (Azkab

2006) dalam (Dobo, 2009).

Tumbuhan lamun mempunyai fungsi sebagai jangkar dan penyerap

nutrien dari substrat. Semua lamun memproduksi rambut akar, kelimpahan rambut

akar ini bervariasi pada setiap spesies (Philips dan Menez, 1988). Akar dan
12

rhizomanya yang melekat kuat pada sedimen dapat menstabilkan dan mengikat

sedimen, daun-daunnya dapat menghambat gerakan arus dan ombak yang dapat

mempengaruhi terjadinya sedimentasi (Ira, 2011). Beberapa karakteristik morfogi

lamun yaitu sebagai berikut:

a. Akar

Menurut (Tomascik et al, 1997) akar tumbuhan lamun muncul dari

permukaan yang lebih rendah dari pada rhizoma dan menunjukkan sejumlah

adaptasi tertentu pada lingkungan perairan. Struktur perakarannya memiliki

perbedaan antara satu dan lainnya. Pada beberapa spesies memiliki akar yang

lemah, berambut dan memiliki struktur diameter yang kecil. Sedangkan pada

spesies lainnya akarnya ada yang kuat dan berkayu yaitu genus Thalassodendron.

Fungsi akar lamun adalah untuk mengabsorbsi nutrien dari kolom air dan

bertindak sebagai penyimpanan untuk fotosintesis

b. Rhizoma

Struktur rhizoma dan batangnya bervariasi di antara jenis-jenis lamun,

sebagai susunan ikatan pembuluh pada stele (Den, Hartog, 1970). Rhizoma

bersama-sama dengan akar, menancapkan lamun pada substrat. Rhizoma biasanya

terkubur di bawah sedimen dan membentuk jaringan luar (Tomascik et al, 1997).

Mayoritas lamun memiliki rhizoma berjenis herba, kecuali pada beberapa spesies

diantaranya Thalassodendron cilliatum yang memili rhizoma berkayu. Jenis 

tumbuhan lamun ini dapat menempel pada substrat terumbu karang dan memiliki

energi yang besar untuk dapat hidup di dekat samudra Hindia yang memiliki

gelombang yang besar (Santosa, 2015).


13

c. Daun

Seperti pada monokotil lainnya, daun-daunnya diproduksi dari meristem

dasar yang terletak di bagian atas rhizoma dan pada rantingnya. Hal yang unik

pada daun lamun adalah dengan tidak adanya stomata dan terlihatnya kutikula

yang tipis. Kutikula berfungsi untuk menyerap zat hara, walaupun jumlahnya lebih

sedikit dari yang diserap oleh akar dan batangnya (Tomascik et al, 1997).

Gambar 1 Akar dan Batang tumbuhan Lamun

Lamun membentuk sebuah populasi padang lamun dengan keseragaman

yang tinggi dilihat dari bentuk daunnya yang pipih memanjang, kecuali pada

genus Halophila. Menurut (Den Hartog, et al., 1970) dalam (Azkab, et al.,

2006)jika dilihat dari bentuk daunnya karakteristik pertumbuhan lamun dapat

dibagi menjadi enam kelompok, yaitu:

a. Parvozosterids, dengan bentuk daun yang memanjang dan sempit

Contohnya: Halodule.

b. Magnozosterids, dengan bentuk daun yang memanjang dan agak

lebar. Contohnya: Cymodocea, Thalassia.

c. Syringodiids, dengan bentuk daun bulat dengan ujung runcing

seperti lidi. Contohnya: Syringodium.


14

d. Enhalids, dengan bentuk daun yang panjang dan kaku seperti kulit

atau ikat pinggang yang kasar. Contohnya: Enhalus.

e. Halophilids, dengan daun berbentuk bulat telur, elips, benbentuk

tombak atau tanpa saluran udara, tanpa saluran udara. Contohnya:

Halophila.

f. Amphibolids, daun tumbuh teratur kearah kiri dan kanan.

Contohnya: Thalassodendron.

Lamun memiliki daun-daun tipis memanjang seperti pita yang

mempunyai saluran air (Nybakken, 1992). Bentuk daun seperti ini dapat

memaksimalkan difusi gas dan nutrien antara daun dan air, juga memaksimalkan

proses fotosintesis di permukaan daun (Philips dan Menez, 1988). Daun menyerap

hara langsung dari perairan di sekitarnya, mempunyai rongga untuk mengapung

agar dapat berdiri tegak di air, tapi tidak banyak mengandung serta seperti

tumbuhan rumput di darat. Lamun mempunyai saluran udara yang berkembang di

daun dan tangkainya, sehingga tidak masalah dalam mendapatkan oksigen

meskipun lamun berada di bawah permukaan air (Hutomo, 1997).

Keberadaan keanekaragam jenis organismeeyang hidup dengan cara

beraturan, tidak tersebar begitu saja tanpa adanya saling ketergantungan

(interaksi), dapatedikaji pada tingkat komunias sehingga pada konsep komunitas

menjadi sangat penting dalam mempelajari ekologi.

Komunitas dan komponen penyusunnya adalah sebuah organisasi

kehidupan yang masing-masing memiliki dinamika sendiri disebut struktur


15

komunitas (Satino, 2011). Menurut Husamah, (2015), Struktur komunitas adalah

suatu konsep yang mempelajari susunan atau komposisi spesies dan kelimpahan

dalam suatu komunitas. Komunitas mempunyai struktur dan pola tertentu

terhadap keanekaragaman, kemerataan, dan dominansi dengan ciri yang unik pada

suatu kommunitas. Analisa mengenai kelimpahan, keanekaragaman, kemerataan,

dan dominansi dari suatu komunitas, serta keseimbangan jumlah tiap spesiesnya.

2.4.1 Faktor – factor yang mempengaruhi perubahan komunitas.

Hewan benthos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus

hidupnya berada di dasar perairan baik sesil, merayap maupun menggali lubang.

Hewan bentos mempunyai peranan dalam proses dekomposisi dan mineralisasi

material organik di dalam perairan, serta menduduki beberapa tingkatan tropik

dalam rantai makanan (Odum, 1993).

2.5 Moluska

Moluska merupakan hewan lunak yang mempunyai cangkang Moluska

banyak di temukan di ekosistem lamun dan ekosistem mangrove. Hidup di

permukaan substrat maupun di dalam substrat dan menempel pada daun lamun .

Kebanyakan moluska yang hidup di ekosistem lamun dari spesies gastropoda dan

dan bivalvia. Berbagi macam biota yang hidup di ekosistem seperti ikan, moluska,

udang,dan hewan lainnya. Fungsi ekologi lamun pada biota biota tersebut sebagai

daerah asupan (nursery ground) dan tempat mencari makanan (feeding ground)

dan daerah pemijahan (spawning ground) (bengen,2004).

2.5.1 Struktur dan Fungsi Tubuh Moluska


16

Meskipun terdapat perbedaan ciri tubuh, pada umumnya Mollusca

memilki tiga bagian utama yang sama, berupa kaki, massa visera, dan mantel.

kaki Molluca berotot dan di bagian telapak kaki mengandung banyak lendir dan

silia yang digunakan untuk pergerakan, massa visera mengandung organ organ

internal, seperti organ pencernaan, eksresi, dan reproduksi. Mantel merupakan

lipatan jaringan yang menutupi massa visera dan berfungsi menyekresikan

cangkang. Sistem pencernaan makanan Mollusca lengkap, terdiri atas mulut,

esofagus, lambung, usus, dan anus. Kecuali pada Pelecypoda, di dalam rongga

mulut Mollusca terdapat radula (lidah parut). Radula terdiri atas tulang muda

(odontophore) yang diatasnya terdapat beberapa baris gigi kitin yang ujungnya

mengarah ke dalam. Radula berfungsi untuk menggorok lumut, merumput,

mengebor, dan menangkap mangsa. Anus terletak di tepi dorsal rongga mantel, di

bagian posterior. Sisa pencernaan berupa pelet yang padat, sehingga tidak

mencemari rongga mantel. Mollusca memilki jantung yang terdiri atas dua

serambi (aurikel) dan satu bilik (ventrikel). Mollusca memilki peredaran darah

terbuka, karena darah tidak beredar di dalam pembuluh darah tetapi di dalam sinus

darah (rongga diantara sel sel organ). Pigmendarah hemosianin yang larut dalam

plasma darah mengandung Cu, bukan Fe; berwarna biru pucat bila menagndung

oksigen dan tidak berwarna bila kekurangan oksigen. Alat pernapasan berupa

sepasang  insang atau lebih, yang disebut ktenidium ,paru paru atau keduanya.

Alat eksresi berupa sepasang protonefridium.

2.5.2 Habitat Moluska


17

Habitat hewan ini adalah daratan, sungai hingga pantai dan laut. Hewan

moluska anggotanya terbesar merata hampir di seluruh permukaan bumi, di

perairan dan daratan, serta dari daratan rendah hingga pegunungan tinggi

(Kusnadi, dkk, 2008). Menurut Dharma (1992) moluska merupakan kelompok

invertebrata terbesar kedua yang sebagian besar anggota hidup di wilayah

perairan. Moluska dapat dijumpai mulai dari daerah pinggiran pantai hingga

laut dalam, banyak menempati daerah terumbu karang, sebagian

membenamkan diri dalam sedimen, beberapa dapat dijumpai menempel pada

tumbuhan laut.

2.5.3 Klasifikasi Moluska

A. Kelas Bivalvia

1) Struktur Tubuh Bivalvia

Bivalvia merupakan hewan filter feeder (makan dengan cara menyaring

larutan), makanannya berupa partikel organik yang dihisap bersama-sama

dengan air. Spesies yang hidup umunya terdapat di dasar perairan yang

berlumpur atau ber pasir. Tubuh dan kaki Bivalvia umumnya pipih secara

lateral, seluruh tubuh tertutup mantel dan dua keping cangkang yang

berhubungan di bagian dorsal. Bivalvia hidup dengan cara membenamkan

diri, menggali dan meletakan diri pada substrat dengan mengunakan alat

perekat pada karang dan batu (Riniatsih & Wibowo 2010).


18

Gambar 2 Struktur Cangkang Bivakvia

2) Sistem Pencernaan

Pada umumnya kerang memperoleh makanannya dengan menyaring

partikel yang terdapat dalam air laut. Kerang memiliki saluran yang

merupakan tempat keluar masuknya air saluran itu disebut siphon (gambar )

Insangnya mempunyai rambut-rambut getar yang menimbulkan arus yang

mengalir masuk kedalam mantelnya, sekaligus menyaring plankton

makannya dan memperoleh oksigen untuk respirasi. Menurut Nontji (2008).

Gambar 3 Struktur Tubuh Bivalvia

Mulut terdiri dari palpus-palpus, zat hara yang diterima diteruskan ke

mulut dan ke kerongkongan berbulu getar yang berakhir ke perut. Partikel-

partikel makanan yang berukuran besar di teruskan ke usus, sedangkan zat

hara lainnya dikirim ke tabung pencernaan (Romimohtarto dan Juwana,

2007).

3) Sistem Reproduksi

Alat reproduksi terletak di daerah dekat kaki, dan alat itu terdiri dari satu

berkas saluran yang terbuka sebelah, menyebelah saluran ginjal.

Spermatozoa dikeluarkan melalui siphon ventral dari hewan jantan, sedang

sel telur dilepaskan melalui lubang dekat ginjal. Pada beberapa spesies
19

diletakan pada insang. Spermatozoa masuk ke dalam insang bersama-sama

air dan membuahi sel telur. Bivalvia adalah moluska yang secara tipikal

mempunyai dua katup, dan kedua bagiannya lebih kurang simestris

(Poutiers, 1998). Kerangkanya disusun oleh kalsifikasi katup yang ada di

sisi kanan dan kiri tubuh. Katupnya dikatupkan di sepanjang tepi dorsal

yang disebut hinge, dan dihubungkan oleh stuktur kapur yang elastis yang

disebut ligamen. Mereka ditutup dengan aksi menarik satu atau dua (kadang

tiga) otot aduktor. Byssus atau kaki menonjol keluar dari anterior

kerangkanya, dimana posterior dari kerangkanya adalah dimana ada

tonjolan siphon. Kebanyakan kerang adalah filter feeder, tetapi ada beberapa

yang scavenger (pemakan bangkai) atau bahkan predator. Di dunia, ada

10.0000 spesies kerang (Poutiers, 1998).

4) Ekologi Bivalvia

Bivalvia (kerang-kerangan) adalah biota yang biasa hidup di dalam

substrat dasar perairan (biota bentik) yang relatif lama sehingga biasa

digunakan sebagai bioindikator untuk menduga kualitas perairan dan

merupakan salah satu komunitas yang memiliki keanekaragaman yang

tinggi. Keanekaragaman yang tinggi di dalam komunitas manggambarkan

beragamnya komunitas ini (Stowe, 1987).


20

Gambar 4 Kerang Simping (Scallop)

Menurut Swennen (2001) klasifikasi kerang simping adalah sebagai berikut:

- Filum : Mollusca
- Kelas : Pelecypoda
- Subkelas : Pteriomorphia
- Ordo : Ostreoida
- Famili : Placunidae
- Gebus : Placuna
- Species : Placuna Placenta

Salah satu kerang yang dapat ditemukan ditepi pesisir pantai sampai kelaut

dengan kedalam 10 m. Di Indonesia banyak ditemukan jenis kerang-kerangan

cangkangnya berbentuk bundar, pipih, dan tipis kedua cangkangnya memiliki

warna yang berbeda merah dan putih. Didekat engsel cangkang terapat bagian

yang melebar membentuk sayap. Kerang ini sejenis kerang kampak bedanya

cangkang kerang ini halus tidak bergaris-garis dagingnya berbentuk bulat dan

berwarna putih mirip daging kerang kampak.

Gambar 5 Kerang Bulu (Ark Shell)

- Filum : Mollusca
21

- Kelas : Bivalvia
- Sub Kelas : Metabranchia
- Ordo : Pteriomorpha
- Super famili : Arcoidea
- Famili : Arcidae
- Sub Famili : Anadarinae
- Genus : Anadara
- Spesies : Anadara (Cunearca) pilula (REEVE, 1843)

Disebut kerang bulu karena bulu halus dicangkangnya dibulu-bulu ini

banyak kotoran yang menempel untuk menghilangkan kotoranya bila perlu

sikat cangkangnya sampai bersih.

Gambar 6 Kerang Tahu (Oriental Hard Clam)

- Filum : Mollusca

- Kelas : Bivalvia

- Ordo : Veneroida

- Famili : Veneridae

- Genus : Meretrix
22

- Spesies : Meretrix meretrix

Kerang tahu ini memiliki Cangkang yang licin mengkilap berwarna putih

tahu dengan siluet kehitaman disalah satu sisi cangkangnya dagingnya juga

berwarna putih seperti tahu.

Gambar 7 Kerang Darah (Bloom Clam)

Klasifikasi kerrang darah adalah sebagai berikut :

- Kindom : Anamalia

- Filum : Mollusca

- Kelas : Bivalvia

- Subkelas : Pteriomorrphia

- Ordo : Arcoida

- Subfamili : Anadarinae

- Genus : Andara
23

- Spesies : Anadara Granosa

Kerang ini memiliki cangkang yang berigi dan banyak pasir yang melekat

pada gerigi-gerigi tersebut sehingga cangkang kerang ini berwarna kecoklatan

dagingnya berwarna merah darah.

Gambar 8 Kerang Hijau (Green Mussel)

- Philum : Mollusca

- Kelas : Palecypoda ( Lamellabranchia )

- Sub Kelas : Filibranchia

- Ordo : Anysomyaria

- Famili : Mytilidae

- Genus : Perna

- Spesies : Perna viridis

Cangkangnya berbebtuk oval dan berwarna hijau semangkin kecil kerang

hijau rasanya semangkin gurih dan untuk menghindari keracunan perhatikan

warna dagingnya. Kerang yang sehat dagingnya berwarna kuning kecoklatan jika

berwarna hitam atau gelap artinya daging kerang sudah tercemar.


24

Gambar 9 Kerang Kampak (Scallop)

- Filum : Mollusca

- Kelas : Bivalvia

- Famili : pinnidae

- Genus : Pinna sp

- Spesies : Pinna sp

Di Indonesia biasanya kerang kampak dijual tanpa cangkangnya dalam

bentuk segar ataupun frozen. Dagingnya berwarna putih dan tebal terlindung

dalam cangkang yang keras berbentuk setengah lingkaran mirip seperti mata

kampak.
25

Gambar 10 Kerang Tiram (Oyster)

- Kindom : Animal
- Filum : Mollusca
- Kelas : Pelecypoda (Bivalvia)
- Ordo : Pteriomophia
- Famili : Ostreoida
- Genus : Crassostrea
- Spesies : Crassostrea spp

Tiram adalah kelompok kerang-kerang yang berbentuk agak bulat ada juga

yang oval dan bisanya dipanen dimusim dingin karena musim ini dagingnya lebih

padat dan gurih.

B. Kelas Scapopoda

1) Struktur tubuh Scapopoda

Dentalium elephantinum merupakan jenis moluska yang membujur dan

memiliki sembilan garis di punggung, memiliki warna yang menjilid seperti

warna hijau lebih gelap di ujung bagian luar dan warna putih di bibir.

Dentalium elephantinum ini hidup di air asin dan tersebar di Indo Pasifik

(Oliver, 2004).

Gambar 11 (a) Dentalium vulgare, (b) Struktur tubuh Dentalium sp


26

Struktur anatomi dari Scaphopoda menentukan batas foraminifera yang

mampu ditelan. Ukuran anterior cangkang, yang memanjang ke mulut

menentukan batas kisaran ukuran mangsa yang dapat ditelan Scaphopoda.

Ukuran diameter makanan Scaphopoda berbeda-beda, pada umumnya

semakin besar ukuran mangsa maka semakin besar spesies Scaphopoda

yang memakannya (Gudmundsson et al., 2003).

Kerang gading (tusk shells) atau kerrang gigi (tooth shells) merupakan

Sebutan bagi kelas dari filum Moluska yang bernama Scaphopoda.

Scaphopoda merupakan anggota dari kelompok moluska lautan dengan

distribusinya yang tersebar di seluruh dunia, Serta satu-satunya kelompok

moluska laut yang hidupnya infaunal (berada di dalam substrat ). Ukuran

dari spesies inimemiliki Panjang berkisar 0,5 -15 cm. Anggota dari ordo

Detaliida biasanya memiliki ukuran lebih besar di bandingkan ordo

Gadilida. Jenis moluska ini hidup di dalam substrat lwmbut di lepas pantai

( biasanya tidak di wilayah intentidal) Akibat habitatnya bersembunyi di

dalam substrat ukurannya kebanyakan kecil ,cukup sulit menemukannya

secara langsung .Nama ilmiah dari genus ini muncul dari Bahasa latin

“dentis” yang berarti “gigi” berdasarkan bentuk csangkang yang menyerupai

gigi (kozloff,1996).

2) Reproduksi

Scaphopods memiliki jenis kelamin terpisah , dan fentilisasi secara

eksternal. Mereka memiliki gonad tunggal yang umumnya berada di


27

bagian posterior tubuh,dan berproduksi dengan cara menumpahkan

gamet mereka ke air melalui nefridium (Grzimek et al., 2003).

Setelah fertilisasi , telur – telurnya menjadi trochophore larva yang

hidup bebas , yang berkembang menjadi larva veliger yang lebih mirip

dengan scaphopoda dewasa , hanya saja tidak memiliki elongansiekstrim

seperti tubuh scaphopoda dewasa (Steiner & Dreyer. 2002).

3) Habitat dan Penyebarannya

Dentalium hidup di dalam sedimen laut sama seperti scaphopoda pada

umumnya. Memakan organisme mikroskopik, dan terkadang memakan

zooplankton dan materi- materi kecil. Scaphopoda merupakan anggota

dari kelompok moluska lautan dengan distribusinya yang tersebar

diseluruh dunia, serta satu-satunya kelompok moluska laut yang

hidupnya infaunal (berada di dalam substrat) (Kozloff,1990)

2.5.4 Peranan Moluska

Moluska dapat dimanfaatkan dalam bidang pangan. Beberapa hewan

moluska seperti siput, tiram, kerang, gurita dan cumi-cumi sering digunakan

sebagai sumber makanan. Moluska telah lama memiliki nilai penting yaitu

sebagai bahan konsumsi, bahan bangunan, aksesoris dan perhiasan, serta bahan

baku fashion seperti pernak-pernik kancing baju. Arti penting moluska dalam

memenuhi kebutuhan hidup manusia telah menyebabkan terjadinya eksploitasi

yang berlebihan. Pengambilan terus menerus dari alam secara langsung

berakibat pada beberapa jenis yang memiliki nilai komersial cukup tinggi,

misalnya lola (Trochus sp) dan kima (Tridacna sp), berada di ambang
28

kepunahan. (Kusnadi, dkk, 2008). Moluska telah lama di eksploitasi oleh

manusia. Pada beberapa kasus, eksploitasi berlebihan telah diperumit oleh

perubahan pada lingkungan tertentu, 23 yang juga berakibat mengurangi stok.

Walaupun demikian, di hampir semua situasi, eksploitasi berlebihan

merupakan akibat langsung dari aktivitas manusia (Nyabakken, 1992).

2.5.5 Kelimpahan dan Keanekaragaman

1. Kelimpahan

Kelimpahan suatu organisme dalam suatu perairan dapat dinyatakan sebagai

jumlah individu persatuan luas atau volume. Sedangkan kepadatan relatif

adalah perbandingan antara kelimpahan individu tiap jenis dengan keseluruhan

individu yang tertangkap dalam suatu komunitas. Dengan diketahuinya nilai

kepadatan relatif maka akan didapat juga nilai indeks dominansi. Sementara

kepadatan jenis adalah sifat suatu komunitas yang menggambarkan tingkat

keanekaragam jenis organisme yang terdapat dalam komunitas tersebut.

Kepadatan jenis tergantung dari pemerataan individu dalam tiap jenisnya.

Kepadatan jenis dalam suatu komunitas dinilai rendah jika pemerataannya

tidak merata (Odum, 1993).

2. Keanekaragaman

Indeks keanekaragaman (H’) dapat diartikan sebagai suatu penggambaran

secara sistematik yang melukiskan struktur komunitas dan dapat

memudahkan proses analisa informasi informasi mengenai macam dan

jumlah organisme. Selain itu keanekaragaman dan keseragaman biota dalam


29

suatu perairan sangat tergantung pada banyaknya spesies dalam

komunitasnya. Semakin banyak jenis yang ditemukan maka keanekaragaman

akan semakin besar, meskipun nilai ini sangat tergantung dari jumlah inividu

masing-masing jenis (Wilhm dan Doris 1986). Indeks keanekaragaman (H’)

merupakan suatu angka yang tidak memiliki satuan dengan kisaran 0 – 3.

Tingkat keanekaragaman akan tinggi jika nilai H’ mendekati 3, sehingga hal

ini menunjukkan kondisi perairan baik. Sebaliknya jika nilai H’ mendekati 0

maka keanekaragaman rendah dan kondisi perairan kurang baik (Odum,

1993).

2.5. Parameter Perairan Ekosistem Lamun

1. Salinitas

Salinitas menunjukkan semua konsentrasi ion yang telarut dalam air dan

dinyatakan dalam miligram perliter air yang dinyatakan dalam satuan promil

(‰). Perubahan salinitas lebih sering terjadi di perairan pesisir dari pada

perairan lepas pantai. Hal ini disebabkan perairan pesisir lebih banyak

menerima masukan air tawar melalui sungai dan air hujan. Nilai salinitas

perairan tawar biasanya kurang dari 0,5‰, perairan payau antara 0,5‰ -

30‰, dan perairan laut 30‰ - 40‰ (Marliana, 2015). Salinitas yaitu jumlah

berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya

dinyatakan dalam satuan ‰ (per mil). Sebaran salinitas di laut dipengaruhi

oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan

aliran sungai (Nontji, 1987).


30

Lamun hidup pada toleransi salinitas optimum 20‰ – 35‰ (Nybakken,

1992). Spesies lamun mempunyai toleransi yang berbeda-beda, namun

sebagian besar memiliki kisaran yang lebar yaitu 10‰- 40‰. Nilai optimum

toleransi lamun terhadap salinitas air laut pada nilai 35‰. Penurunan salintas

akan menurunkan kemampuan fotosintesis spesies ekosistem padang lamun.

Kerusakan padang lamun diakibatkan oleh berkurangnya air tawar dekat garis

pantai yang hilang. Interaksi antara salinitas, suhu dan padang lamun tropik

dimana spesies yang mempunyai toleransi lebih rendah dari salinitas normal

dan pada suhu yang rendah, tidak mampu memperahankan hidupnya pada

salinitas yang sama dan dalam kondisi suhu yang lebih tinggi (Dahuri et al,

2013).

2. Suhu

Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan organisme di laut karena

mempengaruhi aktivitas metabolisme ataupun perkembangbiakan organisme

tertentu.  Pengaruh suhu bagi lamun sangat besar, suhu mempengaruhi

proses-prose fisiologi yaitu fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan

reproduksi. Proses-proses fisiologi tersebut akan menurun tajam apabila suhu

perairan berada diluar kisaran tersebut (Supriardi, 2012).

Pengaruh suhu bagi lamun sangat besar. Suhu mempengaruhi proses

fisiologi seperti fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan reproduksi

(Nybakken, et al., 1992). Spesies padang lamun yang menyebar luas secara

geografi dalam hal ini mengindikasikan adanya kisaran yang luas terhadap

toleransi suhu, tetapi spesies lamun daerah tropik mempunyai toleransi yang
31

rendah terhadap perubahan suhu. Kemampuan proses fotosintesis akan

menurun tajam apabila suhu perairan berada di luar kisaran optimal (Dahuri,

et al., 2013).

Perubahan suhu air dapat mempengaruhi proses-proses biokimia,

fotosintesis, pertumbuhan lamun, menentukan ketersediaan unsur hara,

penyerapan unsur hara, respirasi, panjang daun dan faktor-faktor fisiologis

serta ekologis lainnya. Pada suhu diatas 45°C lamun akan mengalami stress

dan dapat mengalami kematian. Lamun yang tumbuh pada kondisi mendekati

level kompensasi atau kekurangan cahaya akan mencapai pertumbuhan

optimal pada suhu rendah, tetapi pada suhu tinggi akan membutuhkan cahaya

yang cukup banyak untuk mengatasi pengaruh respirasi dalam rangka

menjaga keseimbangan karbon (Marliana, 2015).

3. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) adalah ukuran tentang besarnya konsentrasi ion

hidrogen dan menunjukkan apakah air itu bersifat asam atau basa dalam

reaksinya. Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh yang sangat besar

terhadap organisme perairan sehingga dipergunakan sebagai petunjuk utuk

menyatakan baik buruknya suatu parameter lingkungan perairan, tetapi untuk

menentukan baik buruknya suatu perairan masih tergantung pada faktor-

faktor lingkungan lainnya (Marliana, 2015). Apa ini Nybakken, (1992)

menyatakan bahwa jumlah ion hidrogen dalam suatu larutan merupakan tolak

ukur keasaman. Nilai pH merupakan hasil pengukuran konsentrasi ion


32

hidrogen dalam larutan dan menunjukkan keseimbangan antara asam dan

basa dari air.

4. Dissolved Oxygen (DO)

Oksigen terlarut atau yang sering disebut DO atau Dissolved oxygen

merupakan kandungan oksigen dalam bentuk terlarut di dalam air.

Keberadaan DO sangat penting di perairan karena semua biota air (kecuali

mamalia) tidak mampu mengambil oksigen udara. Difusi oksigen dari udara

ke dalam air melalui permukaannya, yang terjadi karena adanya gerakan

molekul-molekul udara yang tidak berurutan karena adanya gerakan molekul

air sehingga O2 terikat di dalam air. Pada sebagian besar lapisan permukaan

laut, kandungan oksigen dalam air bervariasi dalam batas yang relatif sempit

dan di beberapa daerah tropis kandungan oksigen bisa sangat rendah dan

sangat mempengaruhi ikan maupun komunitas bentik yang lain (Hartati,

2012).
33

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Langkai kelurahan Barangcaddi

Kecamatan Ujung Tanah pada bulan Maret sampai Mei 2021. Jangka waktu
34

tersebut meliputi studi literatur, Penelitian ini dilakukan di 3 stasiun yang telah

ditentukan dengan masing-masing karakteristik yang berbeda.

Gambar 12 Peta lokasi penelitian

3.2 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

Tabel 1. Alat dan bahan

No Jenis Alat dan Bahan Keterangan


1 Alat Tulis Menulis Mencatat Hasil Penelitian
2 Global Positioning System (GPS) Menentukan titik kordinat stasiun
penelitian
3 Frame kuadrat berukuran 50 x 50 Sebagai alat untuk pengambilan data
cm2, terbuat dari pipa PVC ½ moluska
inch dan dibagi menjadi 4 kotak
kecil dengan taliv
4 Kamera digital anti air Dokumentasi penelitian
5 Transek Kuadran Untuk petak contoh/plot
6 Rol Meter 100 m Mengukur panjang transek garis
7 Patok besi dan pelampung Untuk mengukur kecepatan arus
8 Tabel identifikasi Untuk penanda titik awalnya transek
pada saat pengambilan data
penelitian
9 Alat dasar selam Mengamati Fauna dan Lamun
10 Buku identifikasi lamun Untuk mengetahui jenis moluska
11 Refraktometer Mengukur salinitas air
12 Thermometer Mengukur suhu air
13 Formalin dengan kada 4% Bahan pengawet bagi biota yang
sedang di teliti
14 Wadah Untuk menyimpan sampel
15 Labtop Untuk mengolah data
35

16 Sepatu karang (booties) Melindungi tubuh dari bota


berbahaya, benda tajam
17 Alkohol 70% Bahan pengawet

3.3 Metode Penelitian

Penelitian dilakukan pada tiga stasiun yang ditetapkan berdasarkan

keterwakilan penyebaran lamun, variasi jenis, tingkat kerapatan lamun secara

visual dan karakteristik masing-masing stasiun yang berbeda. Metode yang

digunakan pada kegiatan monitoring padang lamun yang digunakan adalah

transek kuadrat (tegak lurus garis pantai) yang dimodifikasi dari metode Seagrass

Watch. Pemilihan Seagrass Watch sebagai acuan adalah metode ini sesuai untuk

kegiatan monitoring yang dilakukan oleh siapa pun karena pelaksana monitoring

padang lamun pada tidak semuanya tersertifikasi sebagai penilai kondisi dan

status padang lamun. Metode transek kuadrat, terdiri dari transek dan frame

berbentuk kuadrat. Transek adalah garis lurus yang ditarik di atas padang lamun,

sedangkan kuadrat adalah frame/bingkai berbentuk segi empat sama sisi yang

diletakkan pada garis tersebut, yang selanjutnya akan diuraikan pada bagian cara

kerja.

1. Penentuan jadwal kegiatan, ketika pasang surut serta informasi penduduk

setempat. Jadwal pemantauan (tanggal dan jam) ditentukan berdasarkan hari

dimana pasang surut maksimal terjadi di pagi hari dan/atau siang hari. Hindari

melakukan pemantauan pada waktu air baru surut di sore hari.


36

2. Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, antara lain perangkat desa

dan masyarakat setempat. Hal ini terkait, penyampaian maksud dan tujuan;

waktu dan lokasi kegiatan; berkoordinasi tentang teknis kegiatan; serta

penyerahan surat tugas dengan lampiran daftar anggota penelitian kepada

kepala desa dan penandatanganan surat perjalanan, sebagai bentuk

pertanggungjawaban telah menjalankan tugas. Dapat juga berkoordinasi

dengan masyarakat setempat untuk konfirmasi mengenai informasi pasang

surut lokasi monitoring.

3. Menentukan sarana transportasi dan akomodasi, menjadi faktor penting dalam

menentukkan terlaksananya kegiatan dengan efisien dan efektif. Sarana

transportasi, baik darat, laut, maupun udara harus dipastikan dapat beroperasi

sebagaimana mestinya dan aman sehingga menunjang kegiatan yang akan

dilaksanakan. Perencanaan transportasi juga mempertimbangkan fungsi untuk

mengangkut, serta peralatan monitoring yang akan digunakan dan peralatan

sekaligus untuk efektifnya waktu selama penelituan. Sementara, untuk

pemilihan lokasi penginapan harus berdasarkan lokasi yang strategis yang

dapat dengan mudah dijangkau seluruh ke tiga stasiun pengamatan.

Dekripsi Area

Lokasi penelitian dan pengambilan data sampel berada di pulau langkai

kelurahan barangcaddi kecamatan ujung tanah metode yang di gunakan purposive

sampling yang didasarkan pada keterwakilan karakteristik yang berbeda di lokasi

penelitian (jumanto et. al., 2013) yang dibagi menjadi 3 stasiun berbeda pada

beberapa lokasi berdasarkan kenampakan kerapatan lamun


37

3.4 Prosedur Penelitian

Penentuan lokasi Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan

lokasi adalah :

1) Mewakili sebaran moluska

2) Habitat sesuai dengan kehidupan moluska

3) Lokasi yang telah ditentukan di lengkapi juga dengan data adminitrasi

,Desa ,dusun nama pulau .Dan informasi geografis serta oseanografi

(kedalaman,kelandaiaan dan keadaan ombak )

3.4.1 Penentuan Waktu Sampling

Kegiatan sampling dilakukan dengan memperhatikan pasang surut pada

lokasi penelitian.Pelaksanaan sampling dapat dilakukan pada saat sumber

bertujuan untuk mempermudah pengambilan data sampel mulusca.

3.4.2 Penentuan Jarak Transek

Pengukuran komunitas moluska dilakukan dengan metode transek kuadrat

dan koleksi bebas transek kuadrat digunakan untuk memperoleh data kualitatif

tentang struktur komunitas moluska di perairan tersebut. Transek tersebut

dilakukan dengan cara meletakkan tali transek ditarik tegak lurus garis pantai dari

posisi surut terendah ke arah laut sepanjang 100. Kerangka paralon ukuran 1 x 1

meter digunakan sebagai plot transek (sampling) kerangka paralon sebagai plot

pengamatan diletakkan pada setiap 10 meter sepanjang garis transek. Pada setiap

lokasi dilakukan tiga kali pengulangan pengambilan contoh moluska difokuskan

pada jenis jenis moluska efifauna dan infauna yang hidup dalam substrat sampai

kedalaman 20 cm, sehingga harus di lakukan pembongkaran substrat pengamatan


38

dilakukan saat air menjelang surut pada siang hari. Koleksi bebas digunakan

sebagai pelengkap data kuantitatif untuk memberikan gambaran sebaran local dan

kekayaan jenis fauna moluska. Koleksi bebas dilakukan dengan cara menyusuri

area padang lamun diluar transek metode tersebut diterapkan agar dapat mewakili

seluruh wilayah lokasi penelitian sehingga perlu diperhatikan jumlah transek,

Penanganan spesimen sesuai standar dan perhitungan yang seteliti mungkin

(heryanto et al., 2006x 100 m2. Transek ke-2 dan ke-3 diambil secara berurutan

Gambar 13 Skema Transek Skema Moluska

3.4.3 Sumber data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data

sekunder. Data Primer berupa sampel moluska Perairan yang diperoleh langsung

di lapangan.

Data sekunder berupa data kerapatan lamun yang diperoleh melalui

penelitian terkait ekosistem lamun di pulau langkai kelurahan barangcaddi

kec.ujung tanah.

3.4.4 Pengambilan Sampel Moluska


39

Metode yang digunakan adalah purposive random sampling sebanyak 3x

(tiga) stasiun pada setiap stasiun dilakukan 3 kali pengambilan

sampel.Pengambilan sampel menggunakan sekop, pengambilan moluska

dilakukan saat surut terendah dengan menggunakan dua Teknik yaitu

pengambilan data secara moluska efifauna dan mengambil substrat sampai

kedalaman 15 cm untuk jenis infauna .Moluska yang ditemukan hanya

cangkangnya sj dikumpulkan dan dibersihkan . Setelah itu sampel moluska

disaring dengan menggunakan warimg. Organisme yang tersaring kemudian di

masukkan ke kantong sampel. Sampel yang di sortir menggunakan metode hand

sorting dengan ayakan, selanjutnya dibersihkan dengan air dan dimasukkan ke

dalam botol sampel yang telah terisi 4% selama 1 hari .Kemudian di cuci dengan

akuades dan dikeringka ,Lalu di masukkan Kembali ke botolkoleksi yang telah

diberikan alcohol 70% sebagai pengawet. Pengukuran faktor lingkungan

dilakukan dengan mengukur Suhu pH, DO, BOD.

3.5 Analisi data

1. Komposisi Jenis dan Keragaman Moluska dan Lamun

a. Moluska

1) Komposisi Jenis

Untuk mengetahui komposisi jenis menggunakan rumus

(Latuconsina dan Ambo-Rappe, 2011):

Kj= ¿ 100 %
N
40

Dimana:

Kj = Komposisi jenis fauna (%),

ni = Jumlah individu setiap jenis fauna,

N = Jumlah individu seluruh jenis fauna

2) Kepadatan jenis

Kepadatan jenis adalah jumlah individu per satuan luas. Kepadatan

masing-masing jenis pada setiap stasiun dihitung dengan

menggunakan rumus (Odum, 1971 dalam Jumanto et al., 2013)

sebagai berikut:

D= ¿
A

Dimana:

D = Kepadatan fauna (ind/m2)

Ni = Jumlah Individu

A = Luas Petak Pengambilan Sampel (m2)

3) Indeks ekologi

Dalam indeks ekologi hal yang mengcakup yaitu;

a) Indeks Keanekaraagaman

Keanekaragaman spesies di sebut juga heterogenan spesies

yang dapat menggambarkan struktur komunitas dengan

perhitungan menggunakan rumus Shannon-Wiener (Odum 1993

dalam Septian et al., 2016) :

H′ = Pi log2 Pi

Dimana :
41

H′ = Indeks Keanekaragaman

Pi = 𝑛𝑖/𝑁 (peluang spesies i dari total individu)

Indeks keanekaragaman ditentukan dengan kriteria (Bower,

Zar and von Ende, 1977 dalam Bahtiar, 2009) :

 H’<1 = Keanekaragaman rendah

 1< H’<3 = Keanekaragaman sedang

 H’>3 = Keanekaragaman tinggi

b) Indeks Keseragaman

Indeks keseragaman adalah komposisi individu tiap spesies

yang terdapat dalam suatu komunitas (Odum, 1993 dalam Septian

et al., 2016) dengan perhitungan sebagai berikut:

H’
E=
Hmaks

Dimana :

E : Indeks keseragaman

H’ : Indeks keanekaragaman

Hmaks : Keanekaragaman maksimum (Log2 S)

S : Jumlah spesies

Dengan kriteria menurut Suryanti dan Frida (2014) :

 E < 0.4 : Keseragaman rendah

 0.4< E<0.6 : Keseragaman sedang

 E>0.6 : Keseragaman Tinggi

c) Indeks Dominansi
42

Indeks dominansi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya

spesies yang dominansi pada komunitas, digunakan indeks

dominansi Simpson (Odum 1993 dalam Akhrianti et al., 2014):

C = ∑ (ni/N)2

Dimana:

C = Indeks dominansi

Ni = Jumlah individu spesies-i

N = Jumlah individu seluruh spesies

Kategori indeks dominansi lamun dibagi atas 3, yaitu :

 0,00 < C ≤ 0,50 termasuk kedalam kategori rendah;

 0,50 < C ≤ 0,75 termasuk kedalam kategori sedang,

 0,75 < C ≤ 1,00 termasuk kedalam kategori tinggi

b. Lamun

1) Komposisi jenis

Persentase komposisi jenis yaitu persentase jumlah individu suatu

jenis lamun terhadap jumlah individu secara keseluruhan. Nilainya

dihitung dengan rumus sebagai berikut (Brower, 1990 dalam Ira 2011)

p= ¿ x 100 %
N

Dimana:

P = Persentase setiap lamun (%)

Ni = Jumlah setiap spesies i


43

N = Jumlah total seluruh spesies

2) Kerapatan jenis

Kerapatan Jenis (Ki) dapat diukur dengan menggunakan rumus dari

(Hutomo dan Nontji, 2014) :

Ki= jumlah jenis x 4

3) Tutupan Lamun

Untuk mengetahui nilai persentasi tutupan lamun berdasarkan

frame transek kuadran 50x50 (Gambar 15) terdapat beberapa kategori

(Hutomo dan Nontji,2014) :

Tabel 2. Kategori persentasi tutupan lamun transek kuadran 50x50


Kelas Kategori Nilai Penutupan Lamun
4 Tutupan Penuh 100
3 Tutupan ¾ kotak kecil 75
2 Tutupan ½ kotak kecil 50
1 Tutupan ¼ kotak kecil 25
0 Kosong 0
Untuk menghitung nilai penutupan lamun pada satu transek

kuadran digunakan rumus:

Jumlah nilai penutupan lamun(4 kotak)


Penutupan lamun ( % ) =
4

Utnuk menghitung rata-rata nilai penutupan lamun dalam satu

stasiun menggunakan rumus:

Jumlah penutupan lamun seluruhtransek


Rata−ratatutupan lamun(%)=
Jumlah kuadran seluruh transek
44
45

DAFTAR PUSTAKA

Cappenberg, H.A.W. dan M.G.L. Panggabean. 2005. Moluska di perairan

terumbu Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta. Oseanologi

dan Limnologi di Indonesia, 37: 69–80.

http://oseanografi.lipi.go.id/perpustak aan/repository/showpdf/643

Cartono. (2010). Evaluasi Hasil Belajar Berbasis Standar. Bandung: Prisma Press.

Den Hartog. (1970). The seagrass of the world. North Holand Publishing

Company. Amsterdam, London, 271 pp.

Dirhamsyah. (2007). An economic valuation of seagrass ecosystems in East

Bintan, Riau Archipelago, Indonesia. Oseanologi dan Limnologi di

Indonesia,33: 257-270.

Dharma, B., 1988. Siput dan Kerang Indonesia I (Indonesian Shells). Jakarta: PT.
Sarana Graha.
Dharma, B., 1992. Siput dan Kerang Indonesia II (Indonesian Shells). Wiesbaden:
Verlag Christa Hemmen
Dobo, J. 2009. Tipologi komunitas lamun kaitannya dengan polpulasi bulu babi
dipulau hatta kepulauan banda Maluku.
Dahuri, Rokhmin., J. Rais, S. Putra Ginting dan M.J Sitepu. (2013). Pengelolaan
Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Balai
Pustaka.
Fredriksen, S., H. Christie and B.A. Sæthre. 2005. Species richness in macroalgae
and macrofauna assemblages on Fucus serratus L. (Phaeophyceae) and
Zostera marina L. (Angiospermae) in Skagerrak, Norway. Marine Biology
Research, 1(1): 2–19. http://doi.org/10.1080/174510005100 18953
Gray, C.A., McElligoot, D.J. & Chick, R.C. (1996). Intra and inter estuary
differences in a assemblages of fish associated with shallow seagrass and
bare sand. Marine Freshwater Res, 47: 723-735.
46

Hily, C., S. Connan, C. Raffin, and S. WyllieEcheverria. 2004. In vitro


experimental assessment of the grazing pressure of two gastropods on
Zostera marina L., epiphytic algae. Aquatic Botany, 78: 183–195.
Hutomo, H. (1997). Padang Lamun Indonesia: Salah Satu Ekosistem Laut
Dangkal yang belum banyak dikenal. Jurnal Puslitbang Oseanologi-LIPI.
Jakarta.
Hartati, R., Ali D, Haryadi dan Mujiyanto. (2012). Struktur Komunitas Padang
Lamun di Perairan Pulau Kumbang, Kepulauan Karimunjawa. Jurnal Ilmu
Kelautan Universitas Diponegoro. XVII (4): 217-225.
Hartoni, dan A. Agussalim. 2013. Komposisi dan kelimpahan moluska
(gastropoda dan bivalvia) di Ekosistem Mangrove Muara Sungai Musi
Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Maspari J, 5(1): 6–15.
Hutomo, Malikusworo. Nontji, Anugerah. 2014. Panduan Monitoring Padang
Lamun. COREMAP-CTI- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Heryanto, R. Marsetyowati dan F. Yulianda. 2006. MetodeSurvei dan
Pemantauan Populasi Satwa serikelima: Siput dan Kerang. Bidang Zoologi
P2B – LIPI: 56 hal.

Ira. (2011). Keterkaitan Padang Lamun Sebagai Pemerangkap dan Penghasil


Bahan Organik dengan Struktur Makrozoobentos di Perairan Pulau Barang
Lompo. Insitut Pertanian Bogor. Bogor.
Jumanto. Pratomo, Arief. Muzahar. (2013) Struktur Komunitas Echinodermata Di
Padang Lamun Perairan Desa Pengudang Kecamatan Teluk Sebong
Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Universitas Maritim Raja Ali
Haji, Tanjungpinang. Maret 2013
Krebs, Charles J. (1978). Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance, Second Edition. New York: Harper & Row Publisher.
Kozloff, E. N. 1990. Invertebrates. Saunders College.
Kozloff, E. N. 1996. Marine Invertebrate of the pacific Northwest. 2nd. Seattle:
University of Washington Press.
Kasim, M. 2013. struktur komunitas padang lamun pada kedalaman yang berbeda
diperairain desa berakit kabupanten bintan. Skripsi.
Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang.
Kusnadi,A., Triandiza, T., & Hernawan ,U. (2008).Inventasi jenis dan potensi
moluska padang lamun di kepulauan kei kecil,Maluku
Tenggara
Marlina, Yanti. (2015). Struktur Komunitas Lamun Pantai Sekera Kecamatan
Bintan Utara Kabupaten Bintan. Skripsi Program Studi Ilmu Kelautan,
47

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritin Raja Ali Haji
(online). Tersedia: http://jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_fo
rms/1-ec61c9cb232a03a96d0947c6478e525e/2015/09/Skripsi.pdf. (13 Feb
ruri 2016).
Musthofa, mahyudin Hadi. 2008. distribusi kerang simping, plaguna
placenta( linnae us,1758) mullusca : pelecypoda :placunidae) diperairan
Kronjo kabupaten tenggerang Banten, skripsi, Depertemen manjemen
sumberdaya perairan fakultas perikanan dan ilmu kelautan institut
pertanian Bogor, Bogor.
Nybakken, J. W. (1992). Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta:
Gramedia Pustaka.
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Penerjemahan: Samingan, T dan B.
Srigandono. Gajahmada University Press. Yogyakarta.
Poiner, I.R. & G. Roberts,.(1986) "A brief review of seagrass studies in Australia.
Proc.National conference and Coastal Management. 2, 243-248.
Pham, M.T., Nguyen, H.S., Nguyen, X.H. & Nguyen, T.L. (2006). Study on the
variation of seagrass population in coastal waters of khanh Hoa Province,
Vietnam, Coastal Marine science, 30(1): 167-173.
Pioneer, I.R., Walker, D.I. & Coles, R.G. (1989). Regional studier seagrass of
tropical Australia. Biology of Seagrass: a treatise on the Biology of
seagrass with special reference to the Australian region. A.W.D. Larkum,
A.J.McComb & S.A. Shepard (Eds.). Elsevier Amsterdam. 279-303 pp.
Poutiers, J. M. 1998. Bivalvea (Acephala, Lamellibranchia, Pelecypoda). In: pp.
123- 362. Carpenters, K. E., Niem, V. H. (eds). The living marine
resources of the Western Central Pacific. Food and Agriculture
Organization, Rome. 686
Pratiwi, P., I. Al-Hakim, I. Aswdany, A.S. Genisa, dan Mujiono. 1997. Komunitas
epibentik padang lamun di pulau Pari, kepulauan Seribu. Inventarisasi dan
Evaluasi Potensi Laut-Pesisir II. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi,
LIPI.
Riniatsih I, Wibowo E. (2010). Substrat dasar dan parameter oseanografi sebagai
penentu keberadaan gastropoda dan bivalvia di Pantai Sluke Kabupaten
Rembang. Ilmu Kelautan: Indonesian Journal of Marine Sciences
14(1):50-59.

Steiner, G. & H Dreyer. 2002. Molecular phylogeny of Scapholopoda (Mollusca)


inferred from 18S rDNA sequences: support for a Scaphopoda-
Cephalopoda clade. Zoologica Scripta,32: 343-356.
48

Susetiono. 2004. Fauna Padang Lamun Tanjung Merah Selat Lembeh. Jakarta:
Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI.
Suharti, R.S., I. Kinoshita, K. Tsukamoto, and M. Okiyama. 1999. Larval and
juvenile fishes in seagrass beds of Lombok Island, Indonesia. In:
Romimohtarto, K., S. Soemodiharjo and D.P. Praseno (eds.). Proceedings
the Ninth Joint Seminar on Marine and Fisheries Sciences. Mataram, 1998
Santosa, Adam Troy. (2015). Analisis Vegetasi Tumbuhan Lamun di Kawasan
Pantai Karapyak, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Skripsi Program
Studi Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, UNPAS Bandung:
Tidak diterbitkan.
Suryanti, Frida P. (2014).Kelimpahan Echinodermata Pada Ekosistem Padang
Lamun Di Pilau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta. Dipenogoro Journal
of maquares, 3(4):243-249.
Septian, Efika Ajeng. Azizah, Diana. Apriadi, Tri. 2016. Tingkat Kerapatan Dan
Penutupan Lamun Di Perairan Desa Sebong Pereh Kabupaten Bintan.
FIKP UMRAH
Suci, W. 2013 struktur komunitas moluska bentik berbasis TDS dan TSS dipesisir
perairan sungai kawal kabupaten bintan. Skripsi. Universitas Maritim Raja
Ali Haji, Tanjungpinang
Stowe, K. 1987. Essentials of Ocean Science. John Wiley and Sons. Canada. 353 p .
Texas Park. & Wildlife. (1999). Seagrass conservation plan for Texas. Resources
Protection Division. Austin TX. 79 pp.
Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of
Indonesian Seas (Part II). Hongkong: Periplus Editions (HK) Ltd.
Tomascik, et.al. (1997). The Ecology of the Indonesian Sea part 2. Singapore:
Peripilus Edition.
Vaghela, A. and R. Kundu. 2011. Spatiotemporal variations of hermit crab
(crustacea: decapoda) inhabiting rocky shore along Saurashtra Coast, the
western part of India. Indian J. of Marine Science, 41(2): 146–151.
Vaghela, A., B. Poonam, and R. Kundu. 2013. Diversity and distribution of
intertidal Mollusca at Saurashtra
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt Coast of Arabia Sea, India.
G.J.B.B., 2(2): 154–158.
Wawo, M., Adrianto, L., Bengen, D.G. & Wardianto, Y. (2014). Valuation of
seagrass ecosystem services in Kotania Bay Marine Natural Tourism Park,
West Seram, Indonesia, Asian Journal of Scientific Research, 7(4): 591-
600.
Wahyudin, Y., Kusumastanto, T., Andrianto, L. & Wardiatno, Y. (2016). Jasa
Ekosistem Lamun Bagi Kesejahteraan Manusia. Omni-Akuatika. 12 (3):
49

29- di wilayah pesisir Bintan timur Kepulauan Riau. Laporan Akhir.


Program Riset Kompetetif LIPI, Sub Program Sensus Biota Laut, LIPI.
Jakarta. 97 hal.
Wood, E. J. F. , W.E. Odum and J. C. Zieman. (1969), Influence of the seagrasses
on the productivity of coastal lagoons, laguna Costeras. Un Simposio
Mem. Simp. Intern. U.N.A.M. - UNESCO, Mexico,D.F., Nov., 1967. pp
495 - 502.
Wilhm, J. L., and T.C. Doris. 1986. Biologycal Parameter for water quality
Criteria. Bio. Science: 18.
Wijayanti.H. 2007. Kajian Kualitas Perairan Di Pantai Kota Bandar Lampung
Berdasarkan Komunitas Hewan 16 Makrobenthos. Tesis Universitas
Diponegoro Semarang
Yunus I, F. M. Sahami, S. N. Hamzah. 2014. Ekosistem Lamun di Perairan Teluk
Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo. Jurnal Ilmiah Perikanan
dan Kelautan. 2 (3): 102-106.
Zieman, J.C. (1975). "Tropical seagrass ecosystems and pollution" In Tropical
Marine pollution. E.J. Ferguson wood & R.E. Johannes (ed.). Elsevier Sci.
Publsh. Co. Amsterdam pp. 63-73

Anda mungkin juga menyukai