Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH TENTANG

“PENGELOLAAN LAHAN BASAH RAWA-RAWA (SWAMP WETLANDS)”


Dibuat untuk memenuhi tugas Matakuliah Pengelolaan Lingkungan Lahan Basah
(ABKA541)
Dosen Pengampu :
Dr. KARUNIA PUJI HASTUTI, M.Pd
MUHAMMAD MUHAIMIN, S.Pd., M.Sc

Disusun Oleh :
MUHAMMAD BUDI NOR’ANSYAH
NIM 1810115110019

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan yang maha kuasa atas segalah rahmat, sehingga saya
dapat menyelesaikan peyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang
mungkin sangat sederhana . Makalah ini berisikan tentang “Pengelolaan Lahan Basah
Rawa-Rawa (Swamp Wetlands)’’.
Makalah ini saya buat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan
lingkungan lahan basah. Tak lupa juga saya mengucapkan terimakasih kepada berbagai
pihak yang telah memberikan berbagai dorongan, motivsi, bimbingan, arahan, arahan,
saran yang telah di berikan, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Terlepas dari semua itu, Saya menyadari bahwa sepenuhnya masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Karena itu dengan tangan
terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah “Pengelolaan Lahan Basah Rawa-Rawa
(Swamp Wetlands)” ini dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.

Banjarmasin, April 2020

Muhammad Budi Nor’ansyah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................... iv

BAB I .................................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ...................................................................................................... 2

BAB II ................................................................................................................................. 3

TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................... 3

A. Konvensi Ramstar .................................................................................................... 3

B. Fungsi dan Keberadaan Lahan Basah ........................................................................ 4

C. Lahan Basah Rawa-Rawa ......................................................................................... 5

D. Rawa Pasang Surut dan non Pasang Surut ................................................................... 5

BAB III ................................................................................................................................ 7

PEMBAHASAN .................................................................................................................. 7

A. Pengertian Wilayah Rawa-Rawa ............................................................................... 7

B. Permasalahan yang Berkembang di Rawa-Rawa ....................................................... 8

C. Solusi permasalahan lahan basah Rawa-Rawa (Swamp Wetlands) ........................... 12

BAB IV ............................................................................................................................. 16

PENUTUP ......................................................................................................................... 16

ii
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 16

B. Saran ...................................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 21

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3. 1 Ekosistem Rawa Air Tawar yang terdegradasi ...................................... 9

Gambar 3. 2 Eksploitasi Hutan Rawa Gambut ......................................................... 11

Gambar 3. 3 Rawa Herba atau Rawa Berumput ....................................................... 12

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lahan basah merupakan kawasan berkarakter sensitif terhadap perubahan.
Pengelolaan tepat dan terpadu menjadi acuan penting setiap pemanfaatannya.
Lahan basah adalah istilah kolektif tentang ekosistem yang pembentukannya
dikuasai air, dan proses serta cirinya terutama dikendalikan air. Suatu lahan basah
adalah suatu tempat yang cukup basah selama waktu cukup panjang bagi
pengembangan vegetasi dan organisme lain yang teradaptasi khusus (Maltby,
1986). Lahan basah ditakrifkan (define) berdasarkan tiga parameter, yaitu
hidrologi, vegetasi hidrofitik, dan tanah hidrik (Cassel, 1997)(Notohadiprawiro,
2006).
Lahan basah mencakup suatu rentangan luas habitat pedalaman, pantai, dan
marin yang memiliki sejumlah tampakan sama. Konvensi Ramsar 1971
menakrifkan lahan basah yang p penting secara internasional sebagai berikut
(Dugan, 1990). Lahan basah adalah wilayah rawa, lahan gambut, dan air, baik
alami maupun buatan, bersifat tetap atau sementara, berair ladung (stagnant,
static) atau mengalir yang bersifat tawar, payau, atau asin, mencakup wilayah air
marin yang di dalamnya pada waktu surut tidak lebih daripada enam meter (Rahmi,
Susanto, & Siswanto, 2015).
Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu yang
panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated water), atau tergenang
(waterlogged), lahan ini tetap ditumbuhi oleh tumbuhan. Lahan ini dapat
dibedakan dari danau, karena danau tergenang sepanjang tahun, genangannya
lebih dalam, dan tidak ditumbuhi oleh tanaman kecuali tumbuhan air. Genangan
lahan rawa dapat disebabkan oleh pasangnya air laut, genangan air hujan, atau

1
luapan air sungai. Berdasarkan letaknya lahan rawa dibagi menjadi tiga, yaitu rawa
dataran rendah, rawa dataran tinggi dan rawa peralihan (Suriadikarta, 2012).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas makalah ini mempunyai rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apa pengertian lahan basah rawa-rawa ?
2. Bagaimana permasalahan yang berkembang di rawa-rawa ?
3. Bagaiman solusi permasalahan lahan basah Rawa-Rawa (Swamp Wetlands) ?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulisan makalah bertujuan :
1. Untuk mengetahui pengertian basah rawa-rawa .
2. Untuk mengetahui permasalahan yang yang berkembang di rawa-rawa.
3. Untuk mengetahui solusi permasalahan lahan basah basah Rawa-Rawa
(Swamp Wetlands).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konvensi Ramstar
Secara umum tujuan atau misi dari konvensi Ramsar adalah konservasi dan
pemanfaatan secara bijaksana (wise use) melalui aksi nasional dan kerjasama
internasional untuk mewujudkan pembangunan secara bijaksana diseluruh dunia.
Indonesia baru memiliki tiga lokasi Ramsar yaitu Taman Nasional Berbak (8 April
1992) dan Taman Nasional Danau Sentarum (30 Agustus 1994) dan Taman
Nasional Wasur (16 Maret 2006) (Ramsar Convention Bureu 2010). Taman
Nasional Berbak seluas 1 627 km2 dan Taman Nasional Danau Sentarum seluas
1 320 km2 dan Taman Nasional Wasur seluas 4 138 km2 (Anggara, 2018).
(Anggara, 2018) Empat kewajiban utama yang harus dilaksanakan oleh
negara-negara anggota Konvensi: (1) mendaftarkan lokasi lahan basah yaitu
menetapkan sedikitnya satu kawasan lahan basah kedalam Daftar Situs Ramsar
(Ramsar list) dan mengupayakan konservasinya termasuk pemanfaatan secara
bijaksana; (2) pemanfaatan secara bijaksana yaitu negara anggota konvensi
berkewajiban untuk memasukan konservasi lahan basah ke dalam rencana tata
ruang Nasional, selain itu juga harus memformulasikan dan mengimplementasikan
perencanaan tersebut untuk mengembangkan konservasi lahan basah dan
pemanfaatan lahan basah secara bijaksana; (3) perlindungan dan pelatihan, yaitu
negara anggota harus menetapkan perlindungan lahan basah, baik yang tercatat ke
dalam Ramsar list maupun yang tidak, serta harus mengembangkan pelatihan di
lapangan untuk penelitian lahan basah, pengelolaan dan pengamannya; (4)
kerjasama internasional, yaitu negara anggota harus saling berkonsultasi satu sama
lain mengenai implementasi konvensi, khususnya yang terkait dengan pengelolaan
lahan basah di lintas batas negara, sistem air bersama, species bersama/migran
(Nirarita et al. 1996).

3
B. Fungsi dan Keberadaan Lahan Basah
(Suryani, 2018) Lahan basah adalah tempat di mana air adalah faktor primer
yang berperan terhadap lingkungan dan kehidupan kelompok flora dan fauna.
Lahan basah terjadi pada saat permukaan air mendekati atau menggenangi
permukaan tanah, ataupun pada saat tanah digenangi air dangkal. Lahan basah
merupakan salah satu ekosistem yang paling kompleks, sangat produktif dan
memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Konvensi Ramsar
mendefinisikan lahan basah yaitu daerahdaerah rawa, payau, lahan gambut, dan
perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar,
payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih
dari enam meter pada waktu surut (Biro Konvensi Ramsar 1997).
Wetlands International (2003) menyebutkan lahan basah adalah suatu daerah
peralihan antara lingkungan daratan dengan lingkungan perairan, di mana tanah
yang tergenang atau jenuh air menyebabkan berkembangnya suatu vegetasi
yang khas. Lahan basah sebagai ekoton yaitu suatu daerah peralihan antara
lingkungan daratan dengan lingkungan perairan dimana tanah yang tergenang
atau jenuh air menyebabkan berkembangnya suatu vegetasi yang khas (Denny
1985 dan Wortington 1976 dalam Davies et al. 1995). U.S. National Wetlands
Inventory (Corwardin et al. 1979) batasan lahan basah yakni lahan-lahan
peralihan antara sistem daratan dan sistem perairan, dimana keadaan air
biasanya terletak pada atau dekat permukaan, atau lahan yang ditutupi oleh
perairan dangkal. Lahan basah menurut batasan tersebut, harus memiliki salah
satu atau lebih dari ciri-ciri sebagai berikut: paling tidak secara periodik
ditumbuhi tumbuhan air; sebagian merupakan tanah tergenang (hydric soils),
kondisinya jenuh air atau tertutup oleh air dangkal, paling tidak secara periodik
yaitu pada musim tumbuh. Berdasarkan batasan tersebut, lahan basah terdiri
atas rawa, daerah pinggir sungai, danau atau hutan bakau, dan rawa di tepi laut
(Hardjoamidjojo, 2001).

4
C. Lahan Basah Rawa-Rawa
Lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang sangat potensial untuk
pengembangan pertanian. Luas lahan ini, diperkirakan sekitar 33,4 juta ha, yang
terdiri atas lahan pasang surut sekitar 20 juta ha dan rawa lebak 13 juta ha.
Namun demikian, ekosistem rawa, secara alami bersifat rapuh (fragile) oleh
sebab itu dalam memanfaatkan lahan rawa dengan produktivitas optimal dan
berkelanjutan, diperlukan teknologi pengelolaan lahan yang tepat dan terpadu
(Daryono, 2009).
Ada istilah swamp yang berarti baruh (lowland), secara tetap berada dalam
keadaan jenuh air, biasanya tertutup vegetasi yang berpohon di sana- sini, dan
tanahnya berkadar bahan organik tinggi. Marsh ialah baruh yang bertanah lunak
berupa lumpur tebal dan basah, dan pada waktu-waktu tertentu tergenang air.
Di daerah tropika marsh ditumbuhi glagah (reed), wlingi (sedge), purun (rush)
dan pohon. Air yang meladung (stagnant) dalam marsh berwarna hitam. Boleh
juga dianggap danau dangkal. Istilah marsh sering dipakai sebagai sinonim
swamp. Morass adalah baruh basah, yang dapat berair tawar atau asin. Bog
adalah lahan basah yang bertanah lunak, kuat menyerap air karena terdiri
terutama atas gambut, tidak berpohon, akan tetapi kerapkali tertutup dengan
rumput dan vegetasi air. Bog di Amerika Serikat juga disebut swamp, dan di
Skotlandia disebut morass. Ada istilah mire, yang berarti marsh yang berlumpur
tebal dan lunak serta tumpat air, atau tanah basah yang mampu menyerap air
banyak. Mire juga digunakan sebagai padanan bog (Am. Geol. Inst., 1962;
Moore, 1972; Monkhouse & Small, 1978) (Tejoyuwono Notohadiprawiro,
2006).
D. Rawa Pasang Surut dan non Pasang Surut
1. Lahan Rawa Pasang Surut
Lahan rawa pasang surut adalah lahan rawa yang karena elevasinya sangat
rendah dan lokasinya berada dalam jangkauan pengaruh fluktuasi air laut.

5
Lahan ini tergenang pada waktu pasang dan genangan tidak dapat terbuang
habis pada waktu surut karena drainase yang kurang baik, sehingga sebagian
air sisa genangan inilah yang akan membentuk rawa–rawa (Arsyad & Saidi,
2013).
2. Lahan Rawa non Pasang Surut
Lahan rawa non pasang surut (lebak) adalah lahan rawa yang karena
elevasinya cukup tinggi (di atas muka air laut) atau lokasinya berada di luar
jangkauan fluktuasi pasang surut air laut. Pada saat musim hujan, seluruh lahan
akan tergenang baik akibat air hujan maupun akibat luapan air sungai,
sedangkan pada musim kemarau sebagian lahan akan menjadi kering dan
sisanya tergenang air sehingga membentuk rawa–rawa (Arsyad & Saidi, 2013).

6
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wilayah Rawa-Rawa


Wilayah rawa adalah lahan darat yang tergenang secara periodik atau terus
menerus secara alami dalam waktu lama karena drainase yang terhambat.
Meskipun dalam keadaan tergenang, lahan ini tetap ditumbuhi oleh tumbuhan.
Lahan ini dapat dibedakan dari danau, karena danau tergenang sepanjang
tahun, genangannya lebih dalam, dan tidak ditumbuhi oleh tanaman kecuali
tumbuhan air. Genangan lahan rawa dapat disebabkan oleh pasangnya air laut,
genangan air hujan, atau luapan air sungai. Berdasarkan penyebab
genangannya, lahan rawa dibagi menjadi tiga, yaitu rawa pasang surut, rawa
lebak dan rawa lebak peralihan (Suharyo, 2016).
Istilah lahan rawa digunakan untuk lahan-lahan yang dipengaruhi oleh rezim
air dan umumnya lekat dengan adanya kondisi genangan air, luapan pasang,
banjir, dan lumpur. Lahan rawa adalah salah satu ekosistem lahan basah
(wetland) yang terletak antara wilayah dengan sistem daratan (terrestrial)
dengan sistem perairan dalam (aquatic). Wilayah ini dicirikan oleh muka air
tanahnya yang dangkal atau tergenang tipis (Haryono, Muhammad Noor,
Haris Syahbuddin, 2012). Menurut Tim Koordinasi P2NPLRB (Penyusunan
Perencanaan Nasional Pengelolaan Lahan Rawa Berkelanjutan) disebut lahan
rawa apabila memenuhi 4 (empat) unsur utama berikut, yaitu: (1) jenuh air
sampai tergenang secara terus-menerus atau berkala yang menyebabkan
suasana anaerobic, (2) topografi landai, datar sampai cekung, (3) sedimen
mineral (akibat erosi terbawa aliran sungai) dan atau gambut (akibat
tumpukan sisa vegetasi setempat), dan (4) ditumbuhi vegetasi secara alami
(WACLIMAD, 2011).

7
B. Permasalahan yang Berkembang di Rawa-Rawa
1. Hutan Rawa Air Tawar
Hutan rawa air tawar (freshwater swamp – forest ) merupakan kawasan
hutan yang dibedakan berdasarkan keadaan dari tanahnya. Hutan rawa air
tawar, memiliki permukaan tanah yang kaya akan mineral. Biasanya
ditumbuhi hutan lebat. Ciri dari hutan rawa adalah hutan yang terdapat pada
daerah dengan kondisi tanah yang selalu tergenang oleh air tawar dan tidak
terpengaruh oleh iklim. Vegetasi yang menyusun hutan rawa termasuk
kategori vegetasi yang selalu hijau, di antaranya adalah berupa pohon-pohon
dengan tinggi mencapai 40m dan mempunyai beberapa lapisan tajuk. Oleh
karna hutan rawa ini mempunyai beberapa lapisan tajuk (bebrapa startum),
maka bentuknya hampir menyerupai ekosistem hutan hujan tropis. Di
Indonesia, hutan rawa air tawar tersebar di Sumatra bagian Timur, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, Maluku dan Irian Jaya bagian Selatan (Lisdayanti,
2015).
Hutan rawa air tawar merupakan salah satu ekosistem yang subur.
Karakteristik tanah dari ekosistem hutan rawa berupa tanah aluvial yang kaya
akan hara. Menurut Yusuf dan Purwaningsih (2009), hutan rawa air tawar
memiliki tanah permukaan yang kaya mineral. Tanah mineral merupakan
tanah yang subur mengakibatkan tingginya keragaman tumbuhan di hutan
rawa air tawar. Ubom et al. (2012) mengatakan, bahwa frekuensi, kerapatan,
dominansi dan tutupan tajuk merupakan respon dari faktor lingkunga .
Permasalahan sekaligus ancaman yang sering terjadi di hutan rawa air
tawar adalah meningkatnya berbagai pembangunan di sekitar wilayah pesisir,
konservasi kemanfaatan budidaya perairan, pembangunan tempat
perdagangan dan perumahan, serta pertanian menjadi penyebab berkurangnya
sumber daya rawa dan beban berat bagi ekosistem rawa yang ada. Selain
ancaman langsung pembangunan tersebut, ternyata sumber daya hutan rawa
rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya .

8
Ancaman dari luar tersebut yang sangat serius berasal dari pengelolaan daerah
aliran sungai yang serampangan dan meningkatnya pencemaran hasil industri
dan domestik (rumah tangga) yang masuk ke dalam daur hidrologi (Ananto,
2007).
Dengan adanya eksploitasi yang tinggi terhadap ekosistem rawa, dan
dengan adanya anggapan tentang rendahnya nilai ekonomis dari suatu rawa
memacu terjadinya konversi ekosistem rawa yang pada akhirnya
menyebabkan kerusakan ekosistem rawa tersebut. Karena dengan kerusakan
ekosistem rawa berarti hilangnya bufferzone (daerah penyangga) yang
berfungsi untuk menjaga kestabilan ekosistem pesisir, pantai dan daratan
(Agusta, Dinoto, Partomihardjo, Sutrisno, & Ruslan, 2007).
Salah satu permasalahan yang saat ini timbul sebagai akibat negatif
kerusakan ekosistem rawa adalah laju degradasi ekosistem rawa sangat cepat.
Bahkan pada daerah Bengkalis dan Indragiri hilir tingkat kerusakan saat ini
sudah mencapai 50%. Hal ini kan menyebabkan banyaknya muncul
permasalahan-permasalahan lingkungan (Eka Iriadenta, 2017).

Gambar 3. 1 Ekosistem Rawa Air Tawar yang terdegradasi

9
2. Hutan Rawa Gambut
Hutan rawa gambut adalah salah satu tipe hutan rawa yang merupakan
ekosistem yang spesifik dan rapuh, baik dilihat dari segi habitat lahannya yang
berupa gambut dengan kandungan bahan organik yang tinggi dengan
ketebalan mulai dari kurang dari 0,5 meter sampai dengan kedalaman lebih
dari 20 m. Jenis tanahnya tergolong organosol, podsol maupun glei humus.
Karakteristik yang umum pada lahan gambut adalah dicirikan dengan
kandungan bahan organik yang tinggi, pH yang rendah, Nilai KTK (Kapasitas
Tukar Kation) yang tinggi dan nilai KB (Kejenuhan Basa ) yang rendah, hal
ini berakibat memberikan kondisi unsur hara yang rendah. Untuk kegiatan
rehabilitasi di hutan rawa gambut, ketebalan gambut yang sangat bervariasi
dari yang dangkal sampai dengan yang dalam, kondisi dan tingkat pelapukan
gambut serta penggenangan air akan memberikan perlakuan yang bermacam-
macam dalam pemilihan jenis, teknik penyiapan lahan serta teknik penanaman
maupun pemeliharaannya (Rachmanadi et al., 2017).
Lahan gambut merupakan lahan yang mempunyai berbagai fungsi penting
guna menjaga dan mengatur proses berlangsungnya lingkungan kehidupan
seperti reservoir air, rosot dan simpanan karbon, keanekaragaman hayati dan
lain-lain kebutuhan untuk kesejahteraan manusia (Anwar & Susanti, 2017).
Permasalahan yang terjadi pada lahan rawa gambut adalah kekeliruan
pemanfaatan hutan rawa gambut yang dimulai dari eksploitasi hutan berlebih,
pembukaan lahan untuk transmigran dan sebagainya , telah menyebabkan
kemiskinan luar biasa bagi masyarakat lokal dan transmigran. Usaha
tradisional masyarakat lokal khususnya suku Dayak yang telah diandalkan
sebagai penopang ekonomi secara berkelanjutan, menjadi rusak hingga hilang
atau tidak lagi produktif seperti sebelumnya. Ganti rugi terhadap kerugian
usahatani masyarakat sesungguhnya bukan suatu penyelesaian yang mampu
menjamin kestabilan ekonomi rumah tangga masyarakat, karena nilai jangka
panjang kegiatan produksi masyarakat yang telah dan akan dilakukan secara

10
turun-temurun tidak akan tergantikan. Perubahan ekosistem yang
menyebabkan kemiskinan tersebut disebabkan pemerintah tidak
mempertimbangkan pengetahuan lokal (local knowledge) yang telah ramah
terhadap lingkungan. Jika pada awalnya masyarakat Kalimantan Tengah
khususnya hanya terbatas memanfaatkan gambut tipis (disebut ”petak luwau”)
yang terdapat di belakang tanggul sungai, dan sistem “handel” di daerah
pasang surut, maka pada saat ini semua sistem tersebut tidak dapat berfungsi
karena adanya bangunan kanal yang berlebih, yaitu berukuran sangat panjang,
lebar dan dalam (H.Limin, 2006).

3. 2 Eksploitasi Hutan Rawa Gambut

3. Rawa Herba/Rawa Berumput


Rawa jenis ini didominasi oleh herba akuatik dan mempunyai badan air
yang relatif terbuka. Rawa ini merupakan contoh rawa yang tidak berhutan.
Sebagian kalangan menggolongkan rawa herba yang tidak berhutan sebagai
danau. Di Indonesia, rawa herba atau rawa berumput dapat dijumpai di dekat
aliran sungai, danau maupun di bekas pembukaan hutan rawa .Rawa yang
menjadi habitat Kerbau Rawa ini merupakan contoh rawa yang tidak berhutan.

11
Keberadaan eceng gondok di Rawa Bangkau, Nagara, dapat dikatakan
melimpah, sejauh mata memandang begitu luas lahan rawa yang menjadi
habitat tumbuhan jenis Eichhomia crassipes Solms ini (Yunita, 2000).
Rawa herba/berumput adalah kawasan yang subur dan dipercaya
mempunyai keanekaragaman biota perairan yang tinggi. Di banyak tempat,
kawasan ini telah diubah menjadi lahan pertanian. Perubahan ini sangat
beresiko karena dapat merusak tata air kawasan. Lebih jauh, kegagalan alih
fungsi lahan menjadi kawasan pertanian menyebabkan berkembangnya
berbagai spesies gulma. Selain konversi menjadi lahan pertanian, rawa
herba/berumput juga banyak dikonversi menjadi kawasan pemukiman dan
perkotaan (Nasional, Ekosistem, & Basah, 2004).

Gambar 3. 3 Rawa Herba atau Rawa Berumput

C. Solusi permasalahan lahan basah Rawa-Rawa (Swamp Wetlands)


1. Hutan Rawa Air Tawar
Untuk menghindari kerusakan lingkungan yang semakin parah dan
menjadikan lahan hutan rawa air tawar menjadi produktif lagi, maka perlu
diadakan upaya rehabilitasi. Disamping perencanaan, pengelolaan dan

12
pemanfaatan yang sebaik-baiknya, pengembangan rawa memerlukan
penerapan teknologi yang sesuai, pengelolaan tanah dan air yang tepat.
Pemanfaatan serta pengeloaan yang tepat dengan karakteristik, sifat dan
kelakuan serta pembangunan prasarana, sarana pembinaan sumber daya
manusia dan penerapan teknologi spesifik lokasi diharapkan dapat mengubah
lahan tidur menjadi lahan produktif (Reza, 2005).
Upaya lain untuk meminimalisasi rusaknya ekosistem rawa diperlukan
berbagai upaya dengan model pelestarian yang tepat untuk mencapai
keberhasilan. Hal ini penting dilakukan, karena upaya yang dilakukan instansi
terkait sering mengalami kegagalan. Upaya pelestarian yang bersifat topdown
yang mengesampingkan unsur masyarakat ternyata mengakibatkan
ketidakberhasilan. Padahal keberadaan masyarakat sekitar ekosistem rawa
sangat berpengaruh terhadap pelestarian ekosistem rawa (Umar, 2018).
Agar terciptanya ekosistem yang produktif maka pengelolaan SDA rawa
harus diarahkan pada kegiatan eksploitasi dan pembinaan yang tujuannya
mengusahakan agar penurunan daya produksi alam akibat tindakan eksploitasi
dapat diimbangi dengan tindakan peremajaan dan pembinaan. Sehingga
manfaat yang diperoleh dapat maksimal dan tentunya secara terus menerus.
Karena dalam pengelolaan rawa yang berkelanjutan, pertimbangan ekologi
dan ekonomi harus seimbang. Oleh karena itu pemanfaatan berbagai jenis
produk yang diinginkan oleh pengelola dapat dicapai dengan
mempertahankan kelestarian SDA tersebut dan lingkungannya.Dengan
demikian secara filosofis, pengelolaan SDA rawa yang berkelanjutan jelas
untuk memenuhi kebutuhan saat ini dengan tanpa mengabaikan pemenuhan
kebutuhan bagi generasi yang akan datang, baik dari segi keberlanjutan hasil
maupun fungsi, karena telah hidup berjuta asa di ekosistem rawa (Hidayat,
Pandjaitan, Dharmawan, & Sitorus, 2010).

13
2. Hutan Rawa Gambut
(H.Limin, 2006) Sesuai permasalahan yang sering terjadi di hutan rawa
gambut dan ancaman jangka panjang bagi manusia dan lingkungan, maka
solusi permasalahan tersebut adalah :
1. Lahan rawa gambut dengan ketebalan lapisan (≥ 1 m) harus
dimanfaatkan untuk habitat flora/fauna aseli setempat.
2. Lahan rawa gambut yang telah rusak dan diawali dari perubahan status
hidrologi, harus dipulihkan dengan memprioritaskan upaya pemulihan
status hidrologinya.
3. Lahan rawa gambut yang terbuka harus dihutankan kembali dengan
species lokal dengan menerapkan sistem ”Beli Tanaman Tumbuh”.
4. Pemanfaatan lahan rawa gambut yang keliru dan dominan
menimbulkan masalah, sebaiknya segera ditinggalakan, agar tidak
memperpanjang dan memperluas permasalahan lingkungan.
5. Pengamanan potensi gambut dari ancaman kebakaran hendaknya
diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat melalui kompensasi
terhadap kemampuan menekan laju emisi karbon.
3. Rawa Herba/Rawa berumput
Solusi yang dapat di lakukan untuk mengatasi permasalahan lahan rawa
herba menjadi lahan pertanian dan menyebabkan kerusakan tata air Kawasan
adalah dengan menerapkan prinsip pengaturan tata air. Prinsip pengaturan tata
air pada lahan gambut juga harus memperhitungkan dampaknya terhadap laju
dekomposisi gambut. Hooijeret al. (2006) menggambarkan hubungan linier
antara tinggi muka air di saluran drainase dengan laju emisi gambut sebagai
dampak peningkatan laju dekomposisi gambut, artinya semakin dalam tinggi
muka air di saluran drainase maka laju emisi dari lahan gambut semakin
meningkat, namun hal ini berlaku sampai kedalam 120 cm (Ani Susilawati,
2015).

14
Contoh kearifan lokal dalam pengelolaan air di lahan rawa herba dilakukan
petani di Kalimantan Selatan (suku Banjar), yang memanfaatkan gerakan
pasang surut air untuk irigasi dan drainase terhadap lahan dengan cara
membuat saluran-saluran masuk yang mengarah tegak lurus dari pinggir
sungai ke arah pedalaman, saluran tersebut dikenal dengan istilah handil. Di
Sumatera dikenal dengan istilah parit kongsi. Sistem handil sesuai untuk skala
pengembangan yang relatif kecil, biasanya dikerjakan secara gotong royong
sekitar 7-10 orang. Untuk skala pengembangan yang lebih besar (tata air
makro), dikenal dengan sistem anjir/kanal, yaitu saluran besar/primer yang
menghubungkan dua sungai besar. Umumnya handil-handil dibuat di
sepanjang anjir, sehingga air sungai dapat dimanfaatkan oleh tanaman dengan
lebih leluasa sesuai dengan keperluan tanaman. Selain itu dikenal pula istilah
saka, yaitu saluran tersier untuk menyalurkan air yang biasanya diambil dari
handil. Saluran ini berukuran lebih kecil dari handil dan merupakan milik
keluarga atau pribadi (Ai Dariah, 2000).

15
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wilayah rawa adalah lahan darat yang tergenang secara periodik atau terus
menerus secara alami dalam waktu lama karena drainase yang terhambat.
Meskipun dalam keadaan tergenang, lahan ini tetap ditumbuhi oleh tumbuhan.
Lahan ini dapat dibedakan dari danau, karena danau tergenang sepanjang
tahun, genangannya lebih dalam, dan tidak ditumbuhi oleh tanaman kecuali
tumbuhan air. Genangan lahan rawa dapat disebabkan oleh pasangnya air laut,
genangan air hujan, atau luapan air sungai. Berdasarkan penyebab
genangannya, lahan rawa dibagi menjadi tiga, yaitu rawa pasang surut, rawa
lebak dan rawa lebak peralihan (Suharyo, 2016).
 Permasalahan dan Solusi Lahan Basah Rawa-Rawa
a. Hutan Rawa Air Tawar
Hutan rawa air tawar (freshwater swamp – forest ) merupakan kawasan
hutan yang dibedakan berdasarkan keadaan dari tanahnya. Hutan rawa air
tawar, memiliki permukaan tanah yang kaya akan mineral. Biasanya
ditumbuhi hutan lebat. Ciri dari hutan rawa adalah hutan yang terdapat pada
daerah dengan kondisi tanah yang selalu tergenang oleh air tawar dan tidak
terpengaruh oleh iklim.
Permasalahan sekaligus ancaman yang sering terjadi di hutan rawa air
tawar adalah meningkatnya berbagai pembangunan di sekitar wilayah pesisir,
konservasi kemanfaatan budidaya perairan, pembangunan tempat
perdagangan dan perumahan, serta pertanian menjadi penyebab berkurangnya

16
sumber daya rawa dan beban berat bagi ekosistem rawa yang ada. Selain
ancaman langsung pembangunan tersebut, ternyata sumber daya hutan rawa
rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya .
Ancaman dari luar tersebut yang sangat serius berasal dari pengelolaan daerah
aliran sungai yang serampangan dan meningkatnya pencemaran hasil industri
dan domestik (rumah tangga) yang masuk ke dalam daur hidrologi (Ananto,
2007).
Untuk menghindari kerusakan lingkungan yang semakin parah dan
menjadikan lahan hutan rawa air tawar menjadi produktif lagi, maka perlu
diadakan upaya rehabilitasi. Disamping perencanaan, pengelolaan dan
pemanfaatan yang sebaik-baiknya, pengembangan rawa memerlukan
penerapan teknologi yang sesuai, pengelolaan tanah dan air yang tepat.
Pemanfaatan serta pengeloaan yang tepat dengan karakteristik, sifat dan
kelakuan serta pembangunan prasarana, sarana pembinaan sumber daya
manusia dan penerapan teknologi spesifik lokasi diharapkan dapat mengubah
lahan tidur menjadi lahan produktif (Reza, 2005).
Upaya lain untuk meminimalisasi rusaknya ekosistem rawa diperlukan
berbagai upaya dengan model pelestarian yang tepat untuk mencapai
keberhasilan. Hal ini penting dilakukan, karena upaya yang dilakukan instansi
terkait sering mengalami kegagalan. Upaya pelestarian yang bersifat topdown
yang mengesampingkan unsur masyarakat ternyata mengakibatkan
ketidakberhasilan. Padahal keberadaan masyarakat sekitar ekosistem rawa
sangat berpengaruh terhadap pelestarian ekosistem rawa (Umar, 2018).
b. Hutan Rawa Gambut
Hutan rawa gambut adalah salah satu tipe hutan rawa yang merupakan
ekosistem yang spesifik dan rapuh, baik dilihat dari segi habitat lahannya yang
berupa gambut dengan kandungan bahan organik yang tinggi dengan
ketebalan mulai dari kurang dari 0,5 meter sampai dengan kedalaman lebih
dari 20 m.

17
Permasalahan yang terjadi pada lahan rawa gambut adalah kekeliruan
pemanfaatan hutan rawa gambut yang dimulai dari eksploitasi hutan berlebih,
pembukaan lahan untuk transmigran dan sebagainya , telah menyebabkan
kemiskinan luar biasa bagi masyarakat lokal dan transmigran. Usaha
tradisional masyarakat lokal khususnya suku Dayak yang telah diandalkan
sebagai penopang ekonomi secara berkelanjutan, menjadi rusak hingga hilang
atau tidak lagi produktif seperti sebelumnya.
(H.Limin, 2006) Sesuai permasalahan yang sering terjadi di hutan rawa
gambut dan ancaman jangka panjang bagi manusia dan lingkungan, maka
solusi permasalahan tersebut adalah :
1. Lahan rawa gambut dengan ketebalan lapisan (≥ 1 m) harus
dimanfaatkan untuk habitat flora/fauna aseli setempat.
2. Lahan rawa gambut yang telah rusak dan diawali dari perubahan status
hidrologi, harus dipulihkan dengan memprioritaskan upaya pemulihan
status hidrologinya.
3. Lahan rawa gambut yang terbuka harus dihutankan kembali dengan
species lokal dengan menerapkan sistem ”Beli Tanaman Tumbuh”.
4. Pemanfaatan lahan rawa gambut yang keliru dan dominan
menimbulkan masalah, sebaiknya segera ditinggalakan, agar tidak
memperpanjang dan memperluas permasalahan lingkungan.
5. Pengamanan potensi gambut dari ancaman kebakaran hendaknya
diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat melalui kompensasi
terhadap kemampuan menekan laju emisi karbon.
c. Rawa herba/rawa berumput
Rawa jenis ini didominasi oleh herba akuatik dan mempunyai badan air
yang relatif terbuka. Rawa ini merupakan contoh rawa yang tidak berhutan.
Sebagian kalangan menggolongkan rawa herba yang tidak berhutan sebagai
danau.

18
Rawa herba/berumput adalah kawasan yang subur dan dipercaya
mempunyai keanekaragaman biota perairan yang tinggi. Di banyak tempat,
kawasan ini telah diubah menjadi lahan pertanian. Perubahan ini sangat
beresiko karena dapat merusak tata air kawasan. Lebih jauh, kegagalan alih
fungsi lahan menjadi kawasan pertanian menyebabkan berkembangnya
berbagai spesies gulma. Selain konversi menjadi lahan pertanian, rawa
herba/berumput juga banyak dikonversi menjadi kawasan pemukiman dan
perkotaan (Nasional, Ekosistem, & Basah, 2004).
Solusi yang dapat di lakukan untuk mengatasi permasalahan lahan rawa
herba menjadi lahan pertanian dan menyebabkan kerusakan tata air kawasan
adalah dengan menerapkan prinsip pengaturan tata air. Prinsip pengaturan tata
air pada lahan gambut juga harus memperhitungkan dampaknya terhadap laju
dekomposisi gambut. Hooijeret al. (2006) menggambarkan hubungan linier
antara tinggi muka air di saluran drainase dengan laju emisi gambut sebagai
dampak peningkatan laju dekomposisi gambut, artinya semakin dalam tinggi
muka air di saluran drainase maka laju emisi dari lahan gambut semakin
meningkat, namun hal ini berlaku sampai kedalam 120 cm (Ani Susilawati,
2015).
Contoh kearifan lokal dalam pengelolaan air di lahan rawa herba dilakukan
petani di Kalimantan Selatan (suku Banjar), yang memanfaatkan gerakan
pasang surut air untuk irigasi dan drainase terhadap lahan dengan cara
membuat saluran-saluran masuk yang mengarah tegak lurus dari pinggir
sungai ke arah pedalaman, saluran tersebut dikenal dengan istilah handil.

19
B. Saran
Makalah ini tentunya masih banyak kekurangan penjelasan tentang
“Pengelolaan Lahan Basah Rawa-Rawa (Swamp Wetlands)’’.untuk itu bagi
pembaca agar mencari literatur, yang lebih lengkap. Bagi mahasiswa yang
ingin membuat makalah ini, sebaiknya mencari literatur dari jurnal maupun
internet yang lengkap sesuai dengan permintaan dosen.
Meski saya telah berusaha semaksimal mungkin agar makalah ini
sempurna, namun masih ada saja kekurangan yang perlu saya benahi. Maka
dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini, semoga kawan-kawan yang membantu di balas
Allah SWT dengan kebaikan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Agusta, A., Dinoto, A., Partomihardjo, T., Sutrisno, H., & Ruslan, M. (2007).
Komposisi Dan Kelimpahan Jenis Ikan Air Tawar Pada Lahan Gambut
Diwilayah Propinsi Riau, 231–239.
Ai Dariah. (2000). Pengelolaan Tata Air Lahan Gambut, 30–46.
Ananto, E. E. (2007). Pengelolaan Lahan Gambut Di Provinsi Sumatera
Selatan, 1–18.
Anggara, A. S. (2018). Aspek Hukum Pelestarian Lahan Basah pada Situs
Ramsar di Indonesia ( Studi terhadap Implementasi Konvensi Ramsar
1971 di Taman Nasional Tanjung Puting ), 30, 246–261.
Ani Susilawati. (2015). Prosiding Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik
Lokasi Untuk Ketahanan Pangan Pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN,
346–352.
Anwar, K., & Susanti, M. A. (2017). Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut
Dangkal untuk Pertanian, 43–52.
Arsyad, D. M., & Saidi, B. B. (2013). Mendukung Kedaulatan Pangan
Development Of Agricultural Innovations In Tidal Swamp Land For
Increasing Food Sovereignty, 6(1).
Daryono, H. (2009). Potensi, permasalahan dan kebijakan yang diperlukan
dalam pengelolaan hutan dan lahan rawa gambut secara lestari, (1981),
71–101.
Eka Iriadenta. (2017). Degradasi Ekosistem Rawa Pesisir Di Kecamatan
Jorong Kabupaten Tanah Laut Kalimanatan Selatan, (June 2016), 157–
170. https://doi.org/10.20527/fs.v3i6.1145
H.Limin, S. (2006). Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Pertanian ,
Tepatkah ?, 1–22.
Hardjoamidjojo, S. (2001). Pengembangan Dan Pengelolaan Air di Lahan
Basah.

21
Haryono, Muhammad Noor, Haris Syahbuddin, M. sarwani. (2012). Lahan
Rawa Penelitian dan Pengembangan.
Hidayat, T., Pandjaitan, N. K., Dharmawan, A. H., & Sitorus, F. (2010).
Kontestasi Sains Dengan Pengetahuan Lokal Petani Dalam Pengelolaan
Lahan Rawa Pasang Surut, 04(01), 1–16.
Lisdayanti, A. H. dan I. (2015). Komposisi Flora dan Keragaman Tumbuhan
di Hutan Rawa Musiman. …( Lisdayanti, dkk.), (2004), 15–28.
Nasional, K., Ekosistem, P., & Basah, L. (2004). Strategi Nasional dan
Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah Indonesia.
Notohadiprawiro, T. (2006). Lahan Basah: Terra Incognita, 1–10.
Rachmanadi, D., Faridah, E., Meer, P. Van Der, Mada, U. G., Litbang, B., &
Hidup, L. (2017). The disturbance characteristic of Degraded Tropical
Peat Swamp Forest in, 5(2), 99–112.
Rahmi, O., Susanto, R. H., & Siswanto, A. (2015). Pengelolaan Lahan Basah
Terpadu di Desa Mulia Sari Kecamatan Tanjung Lago , Kabupaten
Banyuasin ( The Integrated Lowland Management in Mulia Sari , Tanjung
Lago Subdistrict , Banyuasin Regency ), 20(3), 201–207.
https://doi.org/10.18343/jipi.20.3.201
Reza, I. (2005). Gambut Bekas Terbakar di Wilayah Berbak – Sembilang,
105–146.
Suharyo, O. S. (2016). Mengenal tipe lahan rawa gambut, 1–4.
Suriadikarta, D. A. (2012). Technology for Sustainable Management of Tidal
Swampy Areas: Case Study in former PLG in Central Kalimantan Povince,
(1 Juli), 45–53.
Suryani, A. S. (2018). Peringatan World Wetland Day, 1–16.
Tejoyuwono Notohadiprawiro. (2006). Pola kebijakan pemanfaatan
sumberdaya lahan basah, rawa dan pantai *, 1–13.
Umar, F. (2018). Manajemen Rawa Perkotaan dan Implikasinya Terhadap
Perencanaan Kota, 1–6.

22
Yunita, R. (2000). Karakteristik perairan rawa bangkau dan keragaman ikan
di kabupaten hulu sungai selatan propinsi kalimantan selatan, 5(1), 34–
38.

23

Anda mungkin juga menyukai