Oleh :
M111 11 015
i
ii
ABSTRAK
FUNNERI NISARTO WP.M (M111 11 015). Pemetaan Kerawanan Banjir
Daerah Aliran Sungai Tangka. Di bawah bimbingan Roland A. Barkey dan
Usman Arsyad.
DAS Tangka adalah salah satu DAS yang terdapat di Sulawesi Selatan
yang mempunyai potensi menimbulkan terjadinya banjir. Penelitian ini bertujuan
untuk memetakan kerawanan banjir di DAS Tangka. Kegunaan dari penelitian ini
adalah sebagai bahan informasi bagi pemerintah dan masyarakat serta beberapa
pihak yang terkait dalam pengelolaan DAS yang diwujudkan dalam perencanaan
pembangunan saluran irigasi, bak penampungan air, bangunan pencegah banjir,
serta penerapan konservasi tanah dan air di kawasan DAS Tangka. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Juni - September 2015 di DAS Tangka. Lokasi penelitian
ini dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Tangka. Metode yang digunakan
dalam penilitian ini adalah metode kuantitatif dengan melihat pengaruh masing-
masing parameter banjir yaitu kelerengan, jenis tanah, curah hujan, dan penutupan
lahan terhadap tingkat kerawanan banjir di DAS Tangka. Penetapan daerah rawan
banjir dilakukan dengan menganalisis hasil dari keseluruhan faktor yang dinilai
pada setiap satuan lahan. Hasil penelitian menunjukkan DAS Tangka hanya
memiliki 4 tingkat kerawanan banjir dengan klasifikasi yaitu tidak rawan, kurang
rawan,cukup rawan, dan rawan. Tingkat kurang rawan banjir merupakan kawasan
terluas dengan luas 30.807,81 Ha (64,62 %) dari Luas DAS Tangka secara
keseluruhan, Sedangkan tingkat cukup rawan seluas 6.348,41 Ha (13,32%), tingkat
rawan seluas 5.654,64 Ha (11,86%), dan tingkat tidak rawan merupakan kawasan
dengan luas terkecil yaitu sebesar 4.866,56 Ha (10,21%) dari total luas DAS
Tangka sebesar 47.677,42 Ha.
Kata Kunci: Banjir, kelerengan, jenis tanah, curah hujan, dan penutupan lahan
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas
segala berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk Ayahanda Nimrod Missa dan
Ibunda Stima Danda yang telah menyayangi, mendidik, dan mendampingi penulis
dengan kesabaran dan kasih sayang yang tulus selama masa studi penulis, serta
saudaraku tercinta terima kasih atas doa dan dukungannya selama ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak
mendapat kesulitan.Tanpa bantuan dan petunjuk dari berbagai pihak, maka
penyusunan skripsi ini tidak akan selesai dengan baik. Untuk itu, dengan penuh
kerendahan hati menghaturkan terima kasih kepada bapak Dr. Ir. Roland A.
Barkey dan Dr. Ir. H. Usman arsyad, M.P. selaku pembimbing yang dengan
sabar telah mencurahkan tenaga, waktu dan pikiran dalam mengarahkan dan
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Tuhan Yang Maha
Esa senantiasa memberikan limpahan berkah dan hidayah-Nya kepada beliau
berdua.
Tak lupa pula penulis menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M.Agr. Bapak Prof. Dr. Ir.
Musrizal Muin, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Beta Putranto, M.Sc. selaku
penguji yang telah memberikan saran, bantuan dan kritik guna perbaikan skripsi
ini.
2. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Kehutanan atas ilmu, perhatian, didikan, dan
dorongan yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin.
3. Para Pegawai dan Staf Fakultas Kehutanan yang telah banyak membantu
dan memotivasi penulis dalam setiap pengurusan berkas.
4. Teman-teman di Laboratorium Silvikultur yang telah banyak memberikan
semangat dan motivasi serta doa selama proses pembuatan skripsi ini.
iv
5. Sahabat-sahabatku yang tergabung dalam GPS 307 terima kasih atas doa,
bantuannya selama penulis melakukan penelitian serta semangat dan
kebersamaan selama penyelesaian skripsi ini.
6. Saudara-saudaraku di PAL, PMK Fapertahut Unhas dan PDR-SS atas doa
dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini, tak terlebih kebersamaan yang
begitu besar selama ini.
7. Senior-seniorku, Willy, Iman, dan Andrew yang telah memberikan motifasi
dan saran yang begitu luar biasa kepada penulis.
8. Seluruh teman-teman Angkatan 2011 Fakultas Kehutanan.
9. Saudari Daisy Puji V. yang telah memberikan semangat dan bantuan yang luar
biasa selama penyusunan skripsi ini.
Banyak kendala yang dihadapi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir
ini, tetapi semua merupakan suatu proses pembelajaran yang sangat berguna
sebagai modal dimasa yang akan datang. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi pembaca khususnya kepada penulis sendiri. Amin
v
DAFTAR ISI
2.1Banjir ........................................................................................................ 3
2.3 Pemetaan................................................................................................. 10
vi
3.3.2 Pengumpulan data atau informasi ......................................................... 16
vii
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
x
I. PENDAHULUAN
1
terjadi di DAS Tangka tahun 2006 tepatnya di kawasan hilir Kabupaten Sinjai
yang mengakibatkan banyak kerugian adalah salah satu bukti adanya masalah pada
pengelolaan dan penggunaan lahan di DAS Tangka (Imran,dkk 2012).
Adanya ketidaksesuaian pola penggunaan lahan dengan potensi lahan yang
dimiliki DAS Tangka adalah salah satu faktornya. Hal ini dapat dilihat pada
berbagai lokasi di DAS Tangka yang seharusnya berfungsi sebagai daerah
tangkapan air, tetapi pada kenyataannya dijadikan sebagai lahan pertanian oleh
penduduk setempat. Selain itu, kurangnya perhatian berbagai pihak yang terlibat
dalam pengelolaan DAS Tangka terhadap beberapa daerah yang berpotensi
terjadinya bencana banjir, membuat bencana banjir ini terus terjadi ditiap musim
penghujan.
Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan banjir yang terjadi
pada DAS Tangka yang disebabkan oleh beberapa hal tersebut maka penelitian
mengenai pemetaan daerah rawan banjir pada DAS Tangka diadakan. Pemetaan
daerah rawan banjir diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu dasar dan
informasi dalam pengelolaan DAS dan perencanaan pembangunan di kawasan
DAS Tangka.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Banjir
Bencana banjir merupakan suatu kejadian alam yang sulit diduga karena
datang secara tiba-tiba dengan periodisitas (berulang secara berkala) yang tidak
menentu, kecuali daerah-daerah yang sudah menjadi langganan terjadinya banjir
tahunan di musim penghujan. Bencana banjir tersebut berdampak merugikan bagi
masyarakat yang tinggal di kawasan yang rawan banjir (Matondang, 2013).
Banjir merupakan suatu bentuk fenomena alam yang sudah ada dan terjadi
sejak dahulu kala. Banjir pada dasarnya adalah bagian dari siklus hidrologi. Siklus
hidrologi secara sederhana dapat diartikan sebagai pergerakan air dalam berbagai
bentuk di dalam suatu siklus yang tidak berujung pangkal. Dalam bahasa sehari-
hari banjir diartikan sebagai aliran air atau genangan yang menimbulkan kerugian
bagi manusia baik harta benda ataupun nyawa sesesorang. Sedangkan dalam
bahasa teknis, banjir dapat diartikan sebagai suatu bentuk aliran air sungai yang
melampaui kapasitas tampung sungai, dan menggenangi daerah-daerah di
sekitarnya (Hadinugroho, 2003).
Banjir adalah sesuatu yang terjadi secara alami yang menjadi bencana dan
berdampak merugikan ketika daerah atau kawasan yang berfungsi sebagai
tangkapan air dan daerah banjir dibangun serta ditempati oleh manusia. Sungai,
laut atau aliran air yang menyediakan kemudahan hidup bagi masyarakat di
sekitarnya itu juga bisa menjadikan masyarakat tadi menghadapi resiko bencana
tahunan akibat banjir. Banjir dapat terjadi akibat naiknya permukaan air yang
diakibatkan curah hujan yang di atas normal, perubahan suhu, tanggul atau
bendungan yang bobol, proses pencarian salju yang cepat dan terhambatnya aliran
air di tempat lain (Ligal, 2008).
Terdapat tiga macam pengertian istilah banjir, yang masing-masing terdapat
perbedaan materi dan masih rancu pemakaiannya dimasyarakat, yaitu suatu sungai
dikatakan banjir apabila terjadi peningkatan debit aliran yang relatif besar yang
3
dimana pengertian ini biasa digunakan oleh para petugas hidrologi dan masyarakat
awam setempat, suatu sungai dikatakan banjir apabila aliran air melimpas ke luar
alur sungai yang dimana pengertian ini biasa digunakan oleh instansi pengelola
sungai atau pengendali banjir, dan suatu sungai dikatakan banjir apabila aliran air
melimpas ke luar alur sungai dan menimbulkan gangguan terhadap manusia yang
dimana pengertian ini biasa digunakan oleh media massa dalam kaitannya dengan
informasi bencana banjir. Beberapa pengertian tersebut dapat dipahami bahwa
banjir adalah tidak tertampungnya air di wadahnya (alur sungai) sungai meluap
menggenangi daerah sekitarnya. Dengan demikian banjir terjadi apabila volume
aliran air melebihi daya tampungnya (Isnugroho, 2002).
2.1.2 Daerah Rawan Banjir
4
b. Daerah Dataran Banjir (Floodplain Area)
Daerah dataran banjir (Floodplain Area) adalah daerah di kanan-kiri sungai
yang muka tanahnya sangat landai dan relatif datar, sehingga aliran air menuju
sungai sangat lambat yang mengakibatkan daerah tersebut rawan terhadap
banjir baik oleh luapan air sungai maupun karena hujan local. Kawasan ini
umumnya terbentuk dari endapan lumpur yang sangat ur sehingga merupakan
daerah pengembangan (pembudidayaan) seperti perkotaan, pertanian,
permukiman dan pusat kegiatan perekonomian, perdagangan, industri, dan lain-
lain.
c. Daerah Sempadan Sungai
Daerah sempadan sungai adalah daerah sepanjang kiri kanan sungai
dihitung dari tepi sungai sampai garis sempadan sungai termasuk sungai buatan
yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan pelestarian fungsi
sungai. Daerah ini merupakan kawasan rawan banjir, akan tetapi, di daerah
perkotaan yang padat penduduk, daerah sempadan sungai sering dimanfaatkan
oleh manusia sebagai tempat hunian dan kegiatan usaha sehingga apabila terjadi
banjir akan menimbulkan dampak bencana yang membahayakan jiwa dan harta
benda. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011, sempadan sungai
adalah daerah yang berfungsi sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai
dan daratan, agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu.
d. Daerah Cekungan
Daerah cekungan merupakan daerah yang relatif cukup luas baik di
dataran rendah maupun di dataran tinggi. Apabila penataan kawasan tidak
terkendali dan sistem drainase yang kurang memadai, dapat menjadi daerah
rawan banjir. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (PP
No. 43/2008), cekungan air tanah (CAT) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang
dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti
proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung.
2.1.3 Parameter Penentu Kerawanan Banjir
Bencana banjir yang terjadi pada musim penghujan, meskipun penyebab
utamanya adalah adanya curah hujan yang tinggi pada areal yang menyebar dan
terjadi dalam tempo yang cukup lama, pada hakikatnya tidak terlepas dari perilaku
5
manusia di samping kondisi biofisik wilayah. Secara sederhana banjir terjadi
diakibatkan air hujan yang jatuh ke permukaan bumi tidak mampu meresap ke
dalam tanah dan air hujan yang lebih ini kemudian mengalir di permukaan maupun
badan sungai dalam jumlah yang besar menuju daerah hilir (Hadinugroho, 2003).
Berdasarkan pengamatan, bahwa banjir disebabkan oleh dua kategori yaitu
banjir akibat alami dan banjir akibat aktivitas manusia. Banjir akibat alami
dipengaruhi oleh curah hujan, fisiografi, erosi dan sedimentasi, kapasitas sungai,
kapasitas drainase, dan pengaruh air pasang. Sedangkan banjir akibat aktivitas
manusia disebabkan karena tindakan manusia yang menyebabkan perubahan-
perubahan lingkungan seperti perubahan kondisi DAS, kawasan pemukiman di
sekitar bantaran, rusaknya drainase lahan, kerusakan bangunan pengendali banjir,
rusaknya hutan (vegetasi alami), dan perencanaan sistem pengendali yang tidak
tepat (Ligal, 2008). Secara garis besar, beberapa faktor penting penyebab
terjadinya banjir yaitu kemiringan lereng, jenis tanah , penutupan lahan dan curah
hujan (Isnugroho, 2002).
a. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik berjarak
100 m yang mempunyai selisih tinggi 10 m membentuk lereng 10%. Kecuraman
lereng 100% sama dengan kecuraman lereng 450. Selain memperbesar jumlah
aliran permukaan, semakin curam lereng juga memperbesar kecepatan aliran
permukaan (Arsyad, 2010).
Kemiringan lereng mempengaruhi jumlah dan kecepatan limpasan
permukaan, drainase permukaan, penggunaan lahan dan erosi. Diasumsikan
semakin landai kemiringan lerengnya, maka aliran limpasan permukaan akan
menjadi lambat dan kemungkinan terjadinya genangan atau banjir menjadi besar,
sedangkan semakin curam kemiringan lereng akan menyebabkan aliran limpasan
permukaan menjadi cepat sehingga air hujan yang jatuh akan langsung dialirkan
dan tidak menggenagi daerah tersebut, sehingga resiko banjir menjadi kecil
(Pratomo, 2008).
6
Kemiringan lereng semakin tinggi maka air yang diteruskan semakin
tinggi. Air yang berada pada suatu kawasan tersebut akan diteruskan ke tempat
yang lebih rendah semakin cepat jika dibandingkan dengan kawasan yang
kemiringannya rendah (landai). Dengan demikian, maka semakin besar derajat
kemiringan lahan maka skor untuk kerawanan banjir semakin kecil (Suhardiman,
2012).
b. Jenis Tanah
Jenis tanah berkaitan dengan proses infiltrasi perkolasi. Infiltrasi
merupakan proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan ) masuk ke dalam
tanah. Perkolasi merupakan proses kelanjutan aliran air tersebut ke tanah yang
lebih dalam. Dengan kata lain, infiltrasi adalah aliran air masuk ke dalam tanah
sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan air
ke arah vertikal). Setelah lapisan tanah bagian atas jenuh, kelebihan air tersebut
mengalir ke tanah yang lebih dalam sebagai akibat gaya gravitasi buni dan dikenal
sebagai proses perkolasi (Asdak, 2010). Ketika air hujan jatuh di atas permukaan
tanah, tergantung pada kondisi biofisik permukaan tanah, sebagian atau seluruh air
hujan tersebut mengalir masuk ke dalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah.
Proses mengalirnya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya
gravitasi dan daya kapiler tanah. Laju air infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya
gravitasi dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah. Dibawah pengaruh gaya
gravitasi, air hujan mengalir vertikal ke dalam tanah melalui profil tanah. Pada sisi
yang lain, gaya kapiler bersifat mengalirkan air tesebut tegak lurus ke atas, ke
bawah, dan ke arah horizontal (lateral) (Asdak, 2010).
Gaya kapiler tanah ini bekerja nyata pada tanah dengan pori-pori yang
relatif kecil. Pada tanah dengan pori-pori besar, gaya ini dapat diabaikan
pengaruhnya dan air mengalir ke tanah yang lebih dalam oleh pengaruh gaya
gravitasi (Asdak, 2010).
Proses infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tesktur dan
struktur tanah. Tekstur merupakan ukuran butir dan proporsi kelompok ukuran
butir-butir primer bagian mineral tanah. Butir-butir primer tanah berkelompok
dalam liat, debu, dan pasir. Tanah-tanah bertekstur kasar seperti pasir dan pasir
berkerikil mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi. Tanah bertekstur pasir halus
7
juga mempunyai kapasitas infiltrasi cukup tinggi, tetapi jika terjadi aliran
permukaan, butir-butir halus akan mudah terangkut. Sedangkan sturktur tanah
adalah ikatan butir-butir primer ke dalam butir-butir sekunder atau agrerat.
Susunan butir-butir primer dalam agrerat menentukan tipe struktur tanah. Tanah-
tanah berstruktur kersai atau granuler lebih terbuka dan lebih sarang dan akan
menyerap air lebih cepat daripada yang berstruktur dengan susunan butir-butir
primer lebih rapat (Arsyad, 2010).
Tanah dengan tekstur sangat halus memiliki peluang kejadian banjir yang
tinggi, sedangkan tekstur yang kasar memiliki peluang kejadian banjir yang
rendah. Hal ini disebabkan semakin halus tekstur tanah menyebabkan air aliran
permukaan yang berasal dari hujan maupun luapan sungai sulit untuk meresap ke
dalam tanah, sehingga terjadi penggenangan. Berdasarkan hal tersebut, maka
pemberian skor untuk daerah yang memiliki tekstur tanah yang semakin halus
semakin tinggi (Suhardiman, 2012).
c. Curah Hujan
Banjir pada dasarnya merupakan suatu rangkaian dari daur hidrologi yang
menunjukkan gerakan air di permukaan bumi. Selama berlangsungnya daur
hidrologi, yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke
permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang tidak pernah berhenti tersebut, air
tersebut akan tertahan (sementara) di sungai, danau, waduk, dan dalam tanah
sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia atau makhluk lainnya (Asdak, 2010).
Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor-faktor iklim
lainnya menyebabkan terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi dan
tanah, di laut atau badan-badan air lainnya. Uap air sebagai hasil proses evaporasi
akan terbawa oleh angin melintasi daratan yang bergunung maupun datar, dan
apabila keadaan atmosfer memungkinkan, sebagian dari uap air tersebut akan
terkondensasi dan turun sebagai air hujan, yang dimana dalam daur hidrologi
masukannya berupa curah hujan (Asdak, 2010). Curah hujan merupakan besarnya
volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu. Besarnya curah hujan dapat
dinyatakan dalam m3 per satuan luas atau secara umum dinyatakan dalam tinggi
kolam air (mm). Besarnya curah hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan
atau untuk masa tertentu seperti per hari, per bulan, per musim atau per tahun.
8
Intensitas hujan menyatakan besarnya hujan yang jatuh dalam suatu waktu yang
singkat yaitu 5, 10, 15 atau 30 menit, yang dinyatakan dalam mm per jam atau cm
per jam (Arsyad, 2010).
Pada musin penghujan, curah hujan yang tinggi berakibat banjir di sungai
dan bila melebihi tebing sungai maka akan timbul banjir atau genangan. Selain itu,
curah hujan yang tinggi menimbulkan banjir karena tanah menjadi jenuh air yang
artinya kemampuan tanah meresapkan air menurun sehingga apabila hujan masih
terjadi maka hampir semua volume air hujan tersebut akan langsung menjadi
aliran permukaan (Isnugroho, 2002).
d. Penutupan lahan
Penggunaan lahan merupakan wujud nyata dari pengaruh aktivitas
manusia terhadap sebagian fisik permukaan bumi. Penggunaan lahan akan
mempengaruhi kerawanan banjir suatu daerah, penggunaan lahan akan berperan
pada besarnya air limpasan hasil dari hujan yang telah melebihi laju infiltrasi.
Daerah yang banyak ditumbuhi oleh pepohonan akan sulit sekali mengalirkan air
limpasan, hal ini disebabkan besarnya kapasitas serapan air oleh pepohonan dan
lambatnya air limpasan mengalir disebabkan tertahan oleh akar dan batang pohon.
Lahan yang banyak ditanami oleh vegetasi maka air hujan akan banyak
diinfiltrasi dan lebih banyak waktu yang ditempuh oleh limpasan untuk
sampai ke sungai sehingga kemungkinan banjir lebih kecil daripada daerah yang
tidak ditanami oleh vegetasi (Seyhan, 1995 dalam Suhardiman, 2012).
2.2 DAS
Air atau sungai dapat merupakan sumber bencana apabila tidak di jaga,
baik dari segi manfaatnya maupun pengamanannya. Hal ini dapat diamati pada
suatu DAS. Suatu DAS memiliki fungsi penting untuk memenuhi berbagai
keperluan atau kepentingan, diantaranya usaha peningkatan kesejahteraan
masyarakat, perkembangan kawaasan untuk sarana pemukiman, perdagangan dan
industri, perhubungan, perkantoran, pariwisata dan lain-lain. Untuk mencapai
fungsi tersebut terkadang harus mengubah fungsi lahan. Perubahan terhadap fungsi
lahan tersebut mengakibatkan beberapa komponen ekosistem terganggu dalam
DAS tersebut (Putri, 2011).
9
DAS merupakan suatu bentuk ekosistem yang terdiri dari komponen biotik
dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur.
Komponen-komponen yang berinteraksi dalam suatu DAS tidak dapat berdiri
sendiri karena merupakan suatu bentuk kesatuan, dimana komponen-komponen
tersebut saling mendukung dan menjalankan suatu fungsi dan kerja tertentu yang
mengarah pada tujuan hubungan timbal balik dalam suatu ekosistem. Hubungan
timbal balik tersebut merupakan suatu fungsi ekologi yang membentuk ekosistem
DAS itu sendiri. Aktivitas dari salah satu komponen dalam suatu ekosistem DAS
akan memberikan pengaruh terhadap ekosistem lainnya (Asdak, 2010).
Dalam suatu ekositem, DAS terbagi atas 3 bagian yaitu bagian daerah hulu,
bagian daerah tengah dan bagian daerah hilir. Secara biofisik, daerah hulu DAS
dicirikan dengan kerapatan drainase yang lebih tinggi, merupakan daerah
konservasi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari
15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh
pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan. Daerah hilir
DAS dicirikan dengan kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah
pemanfaatan, daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai dengan sangat kecil
(kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan),
pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi dan jenis vegetasi
didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan
bakau/gambut. DAS bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua
karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda tersebut (Asdak, 2010).
2.3 Pemetaan
10
Bahaya akan banjir merupakan salah satu masalah yang telah menjadi
prioritas yang harus diantisipasi dan ditanggulangi, namun demikian belum
mencapai hasil yang diinginkan. Penggunaan SIG mempermudah dalam
menentukan Tingkat banjir atau daerah rawan banjir. Dengan adanya Tingkat
daerah rentan banjir ini akan ada informasi dini untuk mengetahui daerah-daerah
mana yang rentan banjir, yang dapat dilihat nantinya dari peta kerentanan banjir.
Dimana diharapkan dengan adanya peta kerentanan banjir, bisa dilakukan
evaluasi untuk meminimalisir terjadinya banjir di daerah yang termasuk Tingkat
rentan banjir seperti perbaikan drainase permukaan (Karmapati, 2013).
2.3.1 Pengertian SIG
11
atmosfir. Adapun data spasial yang digunakan terdiri dari dua jenis yaitu data
vector dan data raster(Irwansyah, 2013).
2.3.2.1 Vektor
Dalam data vektor bumi direpresentasikan sebagai suatu mosaik yang
terdiri atas garis (arcline), polygon (daerah yang dibatasi oleh garis yang berawal
dan berakhir pada titik yang sama), titik/point (mode yang mempunyai label), dan
nodes (merupakan titik perpotongan antara dua buah garis). Model data vektor
merupakan model data yang paling banyak digunakan. Model ini berbasiskan pada
titik (point) dengan nilai koordinat (x, y) untuk membangun objek spasialnya.
Objek yang dibangun terbagi menjadi tiga bagian yaitu berupa titik(point), garis
(line), dan area (polygon) (Irwansyah, 2013).
a. Titik merupakan representasi grafis yang paling sederhana pada suatu
objek. Titik tidak mempunyai dimensi tetapi dapat ditampilkan dalam
bentuk simbol baik pada peta maupun dalam layar monitor, contoh lokasi
fasilitas kesehatan.
b. Garis merupakan bentuk linear yang menghubungkan dua atau lebih titik
dan merepresentasikan objek dalam suatu dimensi, contoh jalan, sungai,
dan lain-lain.
c. Polygon merupakan representasi objek dalam dua dimensi, contoh danau,
pemukiman, dan lain-lain.
2.3.2.2 Raster
Data raster (atau disebut juga dengan sel grid) adalah data yang dihasilkan
dari sistem penginderaan jauh. Pada data raster, objek geografis direpresentasikan
sebagai struktur sel grid yang disebut dengan pixel (picture element). Pada data
raster, resolusi (defenisi visual) tergantung pada ukuran pixelnya. Dengan kata
lain, resolusi pixel mengGambarkan ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang
diawali oleh setiap pixel pada citra. Semakin kecil ukuran permukaan bumi yang
direpresentasikan oleh satu sel, semakin tinggi resolusinya.
Data Raster sangat baik untuk merepresentasikan batas-batas yang berubah
secara gradual, seperti jenis tanah, kelembaban tanah, vegetasi, suhu tanah dan
sejenisnya. Keterbatasan utama dari data raster adalah besarnya ukuran file.
Semakin tinggi resolusi gridnya semakin besar pula ukuran filenya. Keuntungan
12
utama dari format data vektor adalah ketepatan dalam merepresentasikan fitur titik,
batasan, dan garis lurus (Irwansyah, 2013).
2.3.3 Analisis Spasial
13
d. Overlay : Menumpangsusunkan dua layer atau lebih termasuk juga
pembentukan kembali topologi dari titik-titik yang digabungkan, garis dan
poligon, dan operasi pada atribut yang digabungkan untuk studi kesuaian,
prakiraan, dan evaluasi suatu potensi.
e. Analisis connectivity : Analisis connectivity antara titik, garis dan poligon
dalam istilah jarak, area, waktu tempuh, jalur optimum dan sebagainya.
Termasuk didalamnya adalah analisis dengan pendekatan buffering,
analisis pencarian dari jalur optimum, analisis jaringan, dan sebagainya.
14
III. METODE PENELITIAN
15
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning
System), perangkat komputer untuk analisis SIG, dan perlengkapan ATK.
Sedangkan Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah Citra Landsat 8 tahun
2014, Peta Dasar Struktur Ruang RTRW tahun 2008 - 2028, Peta Kelas Lereng
DAS Tangka, Peta Tanah DAS Tangka, Peta Penggunaan Lahan, Peta DAS
Tangka, serta beberapa data penunjang yang di peroleh dari instansi-instansi
terkait.
3.3 Metode Penelitian
Parameter kerawanan banjir adalah data utama yang akan dikumpulkan dan
kemudian dianalisis untuk mendapatkan daerah atau lokasi rawan banjir dengan
melihat hubungan parameter-parameter penentu rawan banjir. Adapun parameter
penentu kerawanan banjir yang akan diolah dan dianalisis yaitu kelerengan, jenis
tanah, curah hujan dan penutupan lahan.
3.3.2 Pengumpulan data atau informasi
16
membuka situs www.Global weather. tamu.edu. Setelah terbuka, kemudian
pilih daerah yang akan didownload data curah hujannya. Atur waktu
pengambilan data curah hujan yang diinginkan kemudian masukkan alamat
email dan klik download.
2) Pengumpulan Data Jenis Tanah
Data jenis tanah diperoleh dari data sistem lahan (landsystem) Regional
Physical Project for Transmigration (RePPProt) Badan Koordinasi Survey
dan Pemetaan Nasional Tahun 1987. Data jenis tanah tersebut akan
digunakan untuk menentukan tesktur tanah yang berhubungan dengan
kemampuan infiltrasi tanah di kawasan DAS Tangka.
3) Pengumpulan Data Kelerengan
Data kelerengan diperoleh dari data Aster DEM. Aster DEM merupakan
salah satu model untuk mengGambarkan bentuk topografi permukaan
bumi. Data Aster DEM disediakan oleh United States Geological Survey
(USGS) yang diunduh melalui website http://earthexplorer.usgs.gov. Data
tersebut akan digunakan untuk melihat tingkat kelerengan di DAS
Tangka.
4) Pengumpulan Data Penutupan Lahan
Data penutupan lahan diperoleh dari hasil intrepretasi citra dan digitasi
onscreen. Citra satelit yang digunakan yaitu citra landsat 8 path 114 raw
64 tahun 2014. Citra tersebut disediakan oleh United States Geological
Survey (USGS) yang diunduh melalui website http://earthexplorer.usgs.
Gov.
5) Uji Akurasi Klasifikasi Citra
Akurasi merupakan perbandingan antara data hasil klasifikasi citra dengan
kondisi lapangan. Perhitungan akurasi klasifikasi citra dilakukan dengan
metode confusion matriks. Pada confusion matriks, data hasil klasifikasi
citra dan data hasil pengecekan lapangan disusun dalam sebuah tabel
perbandingan persentase. Tingkat keakuratan interpretasi citra yang dapat
diterima yaitu 85% (Lillesand and Kiefer, 1997). Uji akurasi klasifikasi
citra digunakan untuk mengetahui sejauh mana keakuratan interpretasi
17
citra yang telah kita lakukan. Proses ini disebut dengan overall accuracy
dengan persamaan sebagai berikut:
OA = X/N X 100%
Dimana :X = jumlah nilai diagonal matrix
N = jumlah sampel matrix
18
Gambar 2. Skema Pengolahan Data Spasial
19
parameter lainnya. Secara lengkap kelas kelerengan dan skornya dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Kelas dan Skor Kelerengan
No. Kriteria Keterangan Skor
1. (>40%) Sangat curam 1
2. (25-40%) Curam 2
3. (15-25%) Agak Curam 3
4. (8-15%) Landai 4
5. (0-8%) Datar 5
Sumber : Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan
Lahan DAS (RTkRLH-DAS). 2009
b. Jenis Tanah
Jenis tanah sangat berpengaruh terhadap proses infiltrasi. Jenis- jenis
tanah yang memiliki tekstur halus memiliki tingkat infiltrasi yang rendah
sehingga menimbulkan aliran permukaan (run off) meningkat. Sebaliknya jenis
tanah yang bertekstur kasar memiliki daya infiltrasi yang tinggi.
Semakin tinggi daya infiltrasi maka semakin rendah aliran permukaan.
Sebaliknya semakin rendah daya infiltrasi maka semakin tinggi aliran permukaan.
Skor terhadap jenis tanah sesuai dengan kriterianya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis Tanah dan Nilai Skoring
No. Kriteria infiltrasi Skor
1. Litosol, Organosol, Renzina Besar 1
2. Andosol, Inceptisol, Entisol Agak Besar 2
3. Regosol, Alfisol Sedang 3
4. Latosol Agak Kecil 4
5. Aluvial, Planosol, Hidromorf kelabu Kecil 5
Sumber : Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan
Lahan DAS (RTkRLH-DAS). 2009
c. Curah Hujan
Curah hujan merupakan parameter ketiga yang sangat berpengaruh dalam
bencana banjir setelah kelerengan dan jenis tanah. Satuan curah hujan yang
digunakan adalah dalam mili meter per tahun dan penentuan skor untuk kelas
curah hujan dapat dilihat pada Tabel 4.
20
Tabel 4. Kelas dan Skor Curah Hujan
No. Kriteria Keterangan Skor
1. < 2500 mm/tahun Sangat Rendah 1
2. 2500 – 3500 mm/tahun Rendah 2
3. 3500 – 4500 mm/tahun Sedang 3
4. 4500 – 5500 mm/tahun Tinggi 4
5. > 5500 mm/tahun Sangat Tinggi 5
Sumber : Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan
Lahan DAS (RTkRLH-DAS). 2009
d. Penutupan Lahan
Penutupan lahan dibagi dalam lima tipe yaitu berhutan hingga lahan
terbuka (pemukiman dan sawah). Kawasan berhutan memiliki skor terkecil
karena memiliki dampak yang kecil terhadap timbulnya banjir, sedangkan
kawasan lahan terbuka diberi skor terbesar karena sangat berpengaruh
terhadap munculnya bencana banjir. Pemberian skor terhadap lima tipe
penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kelas Penutupan Lahan dan Nilai Skoring
No. Kriteria Keterangan Skor
1. Hutan Lebat Sangat Baik 1
2. Hutan Produksi, Perkebunan Baik 2
3. Semak, padang Rumput Sedang 3
4. Pertanian Lahan kering, Kurang Baik 4
Hortikultura,Tegalan, ladang
5. Pemukiman, Sawah Sangat Kurang Baik 5
Sumber : Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan
Lahan DAS (RTkRLH-DAS). 2009
3.3.5 Pembobotan
21
Tabel 6. Nilai Pembobotan
No Parameter Bobot
1. Kemiringan Lereng 5
2. Jenis Tanah 3
3. Curah Hujan 2
4. Penutupan Lahan 2
Sumber : Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan
Lahan DAS (RTkRLH-DAS). 2009 dalam Aji. 2014
Analisis data pada penelitian ini yaitu penetapan dan pemetaan daerah
rawan banjir di DAS Tangka. Penetapan daerah rawan banjir dilakukan dengan
menganalisis hasil dari keseluruhan faktor yang dinilai pada setiap satuan lahan.
Penetapan daerah rawan banjir yang diawali dengan mengklasifikasikan daerah
rawan banjir. Klasifikasi daerah rawan banjir dibagi ke dalam lima kelas. Adapun
untuk menentukan interval tingkat kerawanan banjir dalam pengklasifikasian yaitu
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Dimana :
K= Interval Kelas
JT = Jumlah Tertinggi (Bobot x Skor Tertinggi setiap Parameter)
JR = Jumlah Terendah (Bobot x Skor Terendah Setiap Parameter)
JK = Jumlah Kelas
22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.1 Kelerengan
Kondisi lereng di DAS Tangka dihasilkan dari hasil olahan data ASTER
Digital Elevation Model (Aster DEM), dimana wilayah DAS Tangka terdiri dari 5
kelas lereng yaitu datar (0 – 8%), landai (8 – 15%), agak curam (15 – 25%), curam
(25 – 40%) dan sangat curam (>40%). Peta kelerengan di DAS Tangka dapat
dilihat pada Gambar 3.
23
Berdasarkan hasil olahan data Aster DEM, kelas lereng yang mendominasi
adalah kelas lereng sangat curam (>45%) seluas 27,830,6 ha dengan persentase
58,37% dari luas total DAS Tangka. Kelas lereng sangat curam menyebar dibagian
hulu dan tengah DAS Tangka. Pada bagian hulu lebih banyak terdapat lahan yang
bergelombang dan berbukit. Adapun bobot dan skor yang berikan pada tiap kelas
lereng dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Skor dan Bobot Kelas lereng di DAS Tangka
Skor Bobot Total
No, Keterangan Lereng (S) (B) (SxB) Luas(ha)
1 Datar 0-8% 5 5 25 5635.79
2 Landai 8-15% 4 5 20 976.13
3 Agak Curam 15-25% 3 5 15 4923.66
4 Curam 25-40% 2 5 10 8311.55
5 Sangat Curam >40% 1 5 5 27830.79
Grand Total 47677.92
Jenis tanah yang terdapat di DAS Tangka berdasarkan hasil olahan data
yaitu Alfisol, entisol, dan inceptisol, Entisol dan inceptisol adalah jenis tanah pada
DAS Tangka yang memiliki tingkat infiltrasi cukup baik. Sedangkan alfisol yang
merupakan jenis tanah yang juga terdapat di DAS Tangka memiliki tingkat
infiltrasi yang tergolong sedang. Infiltrasi atau kemampuan tanah untuk menyerap
air yang ada di atas permukaannya sangat berpengaruh terhadap lamanya air yang
tertampung di atas permukaan tanah. Semakin lama air tersebut meresap ke dalam
tanah maka dapat menimbulkan genangan dan jika dalam waktu yang cukup lama
genangan ini akan menimbulkan masalah yaitu banjir. Berikut ini skor dan bobot
untuk jenis tanah yang terdapat di DAS Tangka dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Skor dan Bobot Jenis Tanah di DAS Tangka
Skor Bobot Total
No, Jenis Tanah Infiltrasi (S) (B) (SxB) Luas(Ha)
1 Alfisol Sedang 3 3 9 116,48
2 entisol Agak Besar 2 3 6 189,21
3 inceptisol Agak Besar 2 3 6 47372.23
Grand Total 47677.92
24
4.1.3 Curah Hujan
Berdasarkan data global weather, Jumlah stasiun atau titik curah hujan
yang terdapat apada DAS Tangka ada 3 yaitu Weatherdata-521200, Weatherdata-
521203, dan Weatherdata-551200. Data curah hujan yang dianálisis dalam kurun
waktu 2004–2013. Berdasarkan data tersebut curah hujan rata-rata tahunan selama
10 tahun di stasiun curah hujan Weatherdata-521200 rata-rata 3535,02 mm/tahun,
stasiun curah hujan Weatherdata-521203 rata-rata 2798,22 mm/tahun, dan stasiun
curah hujan Weatherdata-551200 berkisar 2614,5 mm/tahun.
25
Tabel 10. Skor dan Bobot curah hujan di DAS Tangka
Skor Bobot Total
Stasiun Ch(mm/thn) (S) (B) (SxB) Luas(ha) Persentase(%)
W-521200 3535,02 3 2 6 41573.97 87,20
W-521203 2798,22 2 2 4 5966.45 12,51
W-551200 2614,5 2 2 4 137.5 0,29
Total 47677.92 100
HMS 0 9 0 0 1 0 0 10
P 0 0 10 0 0 0 0 0 0 0 0 10
A 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 0 10
T 0 0 0 1 9 0 0 0 0 0 0 10
B 0 0 0 0 0 6 0 0 2 0 2 10
HP 0 0 0 0 0 2 8 0 0 0 0 10
HT 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 10
HS 0 0 0 0 0 2 0 0 8 0 0 10
S 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 0 10
PL 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 8 10
Total 7 9 10 11 10 14 8 10 11 10 10 110
Keterangan:
LT : Lahan Terbuka HP : Hutan Primer
HM : Hutan Mangrove Sekunder HT : Hutan Tanaman
P : Pemukiman HS : Hutan Sekunder
A : Air S : Sawah
T : Tambak PL : Pertanian Lahan Kering
B : Belukar Campur Semak
26
Perhitungan Overall Accuracy:
PA =
27
Gambar 5. Peta Penutupan Lahan DAS Tangka
28
Tabel 12. Skor dan Bobot Penutupan Lahan di DAS Tangka
29
Gambar 6. Peta Kerawanan Banjir DAS Tangka 2D
30
Tabel 13. Tingkat Kerawanan DAS Tangka
No. Tingkat Kerawanan Luas(ha) Persentase (%)
1 Rawan 3787.28 7.94
2 Cukup Rawan 4873.27 10.22
3 Kurang Rawan 28808.29 60.42
4 Tidak Rawan 10209.08 21.41
Grand Total 47677.92 100
Tingkat rawan merupakan kawasan atau area yang tergolong sering dilanda
banjir dengan nilai total skor 41 – 51 berdasarkan skoring parameter yang
berpengaruh yang dapat dilihat pada lampiran 5. Luas Tingkat rawan banjir yang
terdapat di DAS Tangka yaitu 5654, 64 ha atau 11,86 % dari Luas DAS Tangka
secara keseluruhan.. Beberapa daerah atau kawasan yang termasuk tingkat Rawan
Banjir disebabkan oleh kelas kemiringan lereng 0-8% yang mendominasi serta
penutupan lahan yang juga didominasi oleh lahan pertanian lahan kering campur
semak.
Tabel 14. Karakteristik Area Tingkat Rawan Banjir
Tingkat Rawan
Kelerengan Jenis Tanah Curah Hujan Landcover
Kelas luas(ha) Infiltrasi Luas(ha) Intensitas Luas(ha) Kriteria Luas(ha)
0-8% 3752.09 agak besar 3755.21 sedang 1895.19 PLKC 2751.56
8-15% 35.19 sedang 32.07 Rendah 1892.09 Tambak 505.37
Hutan Sekunder 217.44
Pemukiman 171.46
Hutan Tanaman 104.07
Belukar 37.38
31
kemiringan suatu DAS semakin cepat laju air larian dan dengan demikian
mempercepat respons DAS tersebut oleh adanya curah hujan. Oleh Karena itu,
DAS yang memiliki kelerengan datar akan menghasilkan air larian yang lebih
kecil dibandingkan daerah DAS yang memiliki kelerengan lebih besar. Dengan
kata lain, sebagian aliran air hujan tersebut tertahan dan diperlambat sebelum
sampai ke lokasi yang ketinggiannya lebih rendah.
Air yang tergenang dalam volume besar juga mengalami perlambatan
iniltrasi akibat jenis tanah dan lapisan penutup tanah yang didominasi oleh
tumbuhan jenis pertanian bercampur semak belukar. Tanaman jenis pertanian dan
semak belukar umumnya memiliki akar yang bersifat kurang dapat menyerap air
dengan cepat dan memperlambat meresapnya air ke dalam tanah. Keadaan lapisan
penutup tanah memiliki keterkaitan dengan aktivitas penduduk sekitar dalam
pengusahaan dan pengolahan lahan sesuai dengan fungsi dan potensinya.
Perlambatan infiltrasi menjadi awal tertahannya air dalam jangka waktu
yang lama di atas permukaan tanah, yang mengakibatkan beberapa kawasan atau
area dalam DAS Tangka masuk dalam kategori rawan banjir. Selain itu,
keberadaan penduduk yang dalam hal ini kepadatan penduduk pada suatu kawasan
menjadi objek yang mengalami dampak dari air yang tergenang dalam volume
besar atau yang disebut banjir.
32
Gambar 8. Peta Kerawanan Banjir Tampak Atas
Area atau kawasan yang masuk dalam tingkat rawan banjir tersebar dari
hulu ke hilir. Pada Gambar 8 dapat diamati bahwa dari titik D ke E merupakan
area yang di dominasi oleh tingkat rawan banjir yang merupakan bagian hilir dari
DAS Tangka. Selain itu, pada peta tampak samping Gambar 9 terlihat bahwa area
dari Titik D ke E cenderum datar dengan ketinggian di bawah 250 mdpl.
Sedangkan untuk Area tingkat rawan yang terdapat pada daerah hulu seperti yang
terlihat pada gambar 7 merupakan kawasan lembah yang umumnya area tangkapan
33
tempat berkumpulnya air yang berasal dari pegunungan maupun bukit-bukit yang
berada di sekitranya. Adapun beberapa daerah yang tergolong daerah rawan dapat
dilihat pada Lampiran 9.
4.2.2 Tingkat Cukup Rawan
34
disebabkan oleh lapisan penutup tanah berupa pertanian lahan kering campur
semak yang lambat dalam menyerap air.
Area atau kawasan yang masuk dalam tingkat cukup rawan banjir ini
tersebar dari hulu ke hilir. Pada Gambar 8 dapat diamati bahwa dari titik A ke D
merupakan area dengan tingkat cukup rawan banjir yang merupakan bagian tengah
dari DAS Tangka. Selain itu, pada peta tampak samping Gambar 9 terlihat bahwa
area dari Titik A ke D cenderum berbukit. Adapun beberapa daerah yang
tergolong daerah Cukup rawan Banjir dapat dilihat pada Lampiran 10.
4.2.3 Tingkat Kurang Rawan
Tingkat Kurang Rawan merupakan kawasan atau area yang jarang terjadi
bencana banjir dengan nilai total skor 22 – 31 berdasarkan skoring parameter yang
berpengaruh yang dapat dilihat pada lampiran 5. Luas Tingkat kurang rawan banjir
yang terdapat di DAS Tangka yaitu 30807,81 ha atau 64,62 % dari Luas DAS
Tangka secara keseluruhan. Beberapa daerah atau kawasan yang termasuk tingkat
Kurang Rawan Banjir disebabkan oleh kelas kemiringan lereng >40% yang
mendominasi.
Tabel 16. Karakteristik Area Tingkat Kurang Rawan
Tingkat Kurang Rawan
35
timing. Semakin besar kemiringan lereng suatu area maka semakin cepat laju
aliran air yang menyebabkan tidak tertampungnya air dalam volume tertentu pada
suatu area (Asdak,2010).
Area atau kawasan yang masuk dalam tingkat Kurang rawan banjir ini
tersebar dari hulu ke hilir. Pada Gambar 8 dapat diamati bahwa dari titik B ke C
merupakan area yang di dominasi oleh tingkat Kurang rawan banjir yang
merupakan bagian tengah dari DAS Tangka. Selain itu, pada peta tampak samping
Gambar 9 terlihat bahwa area dari Titik B ke C cenderum berbukit dengan
ketinggian antara 750 - 250 mdpl. Adapun beberapa daerah yang tergolong daerah
Kurang rawan Banjir dapat dilihat pada Lampiran 11.
4.2.4 Tidak Rawan Banjir
Kondisi topografi pada area tidak rawan didominasi oleh kelas kelerengan
40%. Kelas kelerengan 40% membuat aliran permukaan pada saat hujan turun
mengalami percepatan baik horisontal maupun vertikal. Hal ini menyebabkan air
tidak tertahan dalam waktu yang lama. Selain itu, lapisan penutup tanah pada area
Tidak rawan banjir sebagian besar juga merupakan kawasan hutan meskipun pada
Tabel 17 terlihat penutupan lahan sawah lebih mendominasi. Hal ini disebabkan
sawah pada umumnya dibuat datar agar dapat menampung air dan tidak
36
mengalami kekeringan, maka semua unit lahan yang penutupan lahan sawah akan
masuk dalam tingkat tidak rawan.
Secara umum peranan kawasan hutan dalam menurunkan besaran banjir
adalah melalui peran perlindungannya terhadap permukaan tanah dari percikan air
hujan. Peran itu antara lain dalam bentuk tajuk hutan berperan sebagai penampung
air hujan yang kemudian mengalami penguapan atau evapotranspirasi dan
sebagian air akan tertahan pada lapisan permukaan daun. Sebagian air hujan yang
jatuh ke permukaan tanah masih akan tertahan oleh seresah pada lantai hutan.
Selain itu, lapisan permukaan tanah hutan umumnya mempunyai pori – pori tanah
yang besar akibat aktivitas mikroorganisme dan akar vegetasi hutan memiliki daya
serap air yang tinggi (Asdak,2010).
Area atau kawasan yang masuk dalam tingkat Tidak rawan banjir ini
tersebar dari hulu ke hilir. Pada Gambar 8 dapat diamati bahwa dari titik A ke B
merupakan area yang di dominasi oleh tingkat Tidak rawan banjir yang merupakan
bagian hulu dari DAS Tangka. Selain itu, pada peta tampak samping Gambar 9
terlihat bahwa area dari Titik A ke B cenderum sangat curam dengan ketinggian
berkisar antara 500 – 2.250 mdpl. Adapun beberapa daerah yang tergolong daerah
Tidak rawan Banjir dapat dilihat pada Lampiran 12.
37
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. DAS Tangka hanya memiliki 4 tingkat kerawanan banjir dengan
klasifikasi yaitu tidak rawan, kurang rawan,cukup rawan, dan rawan.
2. Tingkat kurang rawan banjir merupakan kawasan terluas dengan
luas 30.807,81 ha atau 64,62 % dari Luas DAS Tangka secara
keseluruhan, Sedangkan tingkat cukup rawan seluas 6.348,41 ha
(13,32%), tingkat rawan seluas 5.654,64 ha (11,86%), dan tingkat
tidak rawan merupakan kawasan dengan luas terkecil yaitu sebesar
4.866,56 ha (10,21%) dari total luas DAS Tangka sebesar 47.677,42
ha.
3. Kawasan yang memiliki tingkat rawan pada DAS Tangka tersebar
dibagian hilir tepatnya di kawasan pantai timur Kabupaten Sinjai.
Kawasan dengan tingkat kurang rawan tersebar di bagian tengah
sampai hulu DAS Tangka dan kawasan yang memiliki tingkat cukup
rawan sampai tidak rawan tersebar hanya di bagian hulu DAS Tangka
tepatnya di kawasan pegunungan Bawakaraeng, Kabupaten Gowa
5.2 Saran
Untuk mendapatkan hasil yang optimal pada penelitian lebih lanjut
sebaiknya mengunakan wilayah cakupan yang lebih kecil dan diverifikasi dengan
kejadian-kejadian banjir yang pernah terjadi.
38
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air Edisi Kedua. IPB Press. Bogor.
39
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Nomor : PP 43/2008. Tentang Air
Tanah
40
LAMPIRAN
41
Lampiran 1. Peta Elevasi DAS Tangka
42
Lampiran 2. Peta Geologi DAS Tangka
43
Lampiran 3. Peta Jenis Tanah DAS Tangka
44
Lampiran 4. Peta Unit Lahan DAS Tangka
45
Lampiran 5. Data Curah Hujan Bulanan Weatherdata--521200 DAS Tangka 10 tahun terakhir (2004-2013)
46
Lampiran 6. Data Curah Hujan Bulanan Weatherdata-521203 DAS Tangka 10 tahun terakhir (2004-2013)
Jan 308 248 136 222 159 180 243 252 165 335 225
Feb 192 357 235 236 87 119 343 226 515 299 261
Mar 262 349 141 175 257 243 401 326 225 394 277
Apr 188 240 278 301 256 104 308 281 491 589 304
Mei 142 246 496 195 254 222 372 563 453 601 354
Jun 155 41 501 713 316 50 543 139 427 553 344
Jul 216 181 61 387 124 261 504 173 201 362 247
Nop 169 192 18 105 267 94 273 454 290 220 208
Des 207 396 201 195 419 314 366 502 457 436 349
BB 9 9 7 10 10 7 12 10 10 9 9,3
BL - - 1 - 1 1 - 1 1 1 1,0
BK 3 3 4 2 1 4 - 1 1 2 2,3
47
Lampiran 7. Data Curah Hujan Bulanan Weatherdata-551200 DAS Tangka 10 tahun terakhir (2004-2013)
Jan 2 12 5 26 25 12 154 43 34 11 32
Feb 31 35 5 42 54 53 262 46 85 67 68
Mei 122 131 41 132 124 103 317 213 233 288 170
Jun 125 170 75 150 128 128 345 253 337 322 203
Jul 162 176 108 162 169 128 367 385 387 409 245
Agt 190 226 110 187 192 138 389 414 392 415 265
Sep 195 258 171 216 209 148 390 525 424 578 311
Okt 222 263 264 270 213 158 390 555 508 621 346
Nop 229 284 303 279 236 196 407 570 631 642 378
Des 277 303 377 479 268 211 452 690 695 703 445
BB 8 9 6 9 8 8 12 8 10 10 8,8
BL 1 - 1 1 2 1 - 1 1 1 1,1
BK 3 3 5 2 2 3 - 3 1 1 2,6
48
Lampiran 8. Atribut Unit Lahan DAS Tangka
49
unit Jenis Ch Skor Skor Skor Skor BS BS BS BS
lahan Lereng Tanah (mm/tahun) Penutupan Lahan Lereng JT CH Pelan Lereng JT CH Pelan Total Tingkat Banjir
25 0-8% inceptisol 3535.02 PLK Campur Semak 5 2 3 4 25 6 6 8 45 Rawan
26 0-8% inceptisol 3535.02 Sawah 5 2 3 5 25 6 6 10 47 Tidak Rawan
27 0-8% inceptisol 2798.22 Air 5 2 2 5 25 6 4 10 45 Rawan
28 0-8% inceptisol 2798.22 PLK Campur Semak 5 2 2 4 25 6 4 8 43 Rawan
29 0-8% inceptisol 2798.22 Sawah 5 2 2 5 25 6 4 10 45 Tidak Rawan
30 0-8% inceptisol 3535.02 Air 5 2 3 5 25 6 6 10 47 Rawan
31 0-8% inceptisol 3535.02 Belukar 5 2 3 3 25 6 6 6 43 Rawan
32 0-8% inceptisol 3535.02 Hutan Sekunder 5 2 3 2 25 6 6 4 41 Rawan
33 0-8% inceptisol 3535.02 Hutan Tanaman 5 2 3 2 25 6 6 4 41 Rawan
34 0-8% inceptisol 3535.02 Pemukiman 5 2 3 5 25 6 6 10 47 Rawan
35 0-8% inceptisol 3535.02 PLK Campur Semak 5 2 3 4 25 6 6 8 45 Rawan
36 0-8% inceptisol 3535.02 Sawah 5 2 3 5 25 6 6 10 47 Tidak Rawan
37 0-8% entisol 2798.22 Pemukiman 5 2 2 5 25 6 4 10 45 Rawan
38 0-8% entisol 2798.22 PLK Campur Semak 5 2 2 4 25 6 4 8 43 Rawan
39 0-8% entisol 2798.22 Sawah 5 2 2 5 25 6 4 10 45 Tidak Rawan
40 0-8% Alfisol 3535.02 Hutan Tanaman 5 3 3 2 25 9 6 4 44 Rawan
41 0-8% Alfisol 3535.02 PLK Campur Semak 5 3 3 4 25 9 6 8 48 Rawan
42 0-8% Alfisol 3535.02 Sawah 5 3 3 5 25 9 6 10 50 Rawan
43 0-8% inceptisol 2798.22 Air 5 2 2 5 25 6 4 10 45 Rawan
Hutan Mangrove
44 0-8% inceptisol 2798.22 Sekunder 5 2 2 1 25 6 4 2 37 Sedang
45 0-8% inceptisol 2798.22 Pemukiman 5 2 2 5 25 6 4 10 45 Rawan
46 0-8% inceptisol 2798.22 PLK Campur Semak 5 2 2 4 25 6 4 8 43 Rawan
47 0-8% inceptisol 2798.22 Sawah 5 2 2 5 25 6 4 10 45 Tidak Rawan
48 0-8% inceptisol 2798.22 Tambak 5 2 2 4 25 6 4 8 43 Rawan
49 15-25% inceptisol 3535.02 Belukar 3 2 3 3 15 6 6 6 33 Sedang
50
unit Jenis Ch Skor Skor Skor Skor BS BS BS BS
lahan Lereng Tanah (mm/tahun) Penutupan Lahan Lereng JT CH Pelan Lereng JT CH Pelan Total Tingkat Banjir
50 15-25% inceptisol 3535.02 Hutan Primer 3 2 3 1 15 6 6 2 29 Kurang Rawan
51 15-25% inceptisol 3535.02 Hutan Sekunder 3 2 3 2 15 6 6 4 31 Sedang
52 15-25% inceptisol 3535.02 Hutan Tanaman 3 2 3 2 15 6 6 4 31 Sedang
53 15-25% inceptisol 3535.02 PLK Campur Semak 3 2 3 4 15 6 6 8 35 Sedang
54 15-25% inceptisol 3535.02 Sawah 3 2 3 5 15 6 6 10 37 Tidak Rawan
55 15-25% inceptisol 2798.22 Air 3 2 2 5 15 6 4 10 35 Sedang
56 15-25% inceptisol 2798.22 PLK Campur Semak 3 2 2 4 15 6 4 8 33 Sedang
57 15-25% inceptisol 2798.22 Sawah 3 2 2 5 15 6 4 10 35 Tidak Rawan
58 15-25% inceptisol 3535.02 Air 3 2 3 5 15 6 6 10 37 Sedang
59 15-25% inceptisol 3535.02 Belukar 3 2 3 3 15 6 6 6 33 Sedang
60 15-25% inceptisol 3535.02 Hutan Sekunder 3 2 3 2 15 6 6 4 31 Sedang
61 15-25% inceptisol 3535.02 Hutan Tanaman 3 2 3 2 15 6 6 4 31 Sedang
62 15-25% inceptisol 3535.02 Pemukiman 3 2 3 5 15 6 6 10 37 Sedang
63 15-25% inceptisol 3535.02 PLK Campur Semak 3 2 3 4 15 6 6 8 35 Sedang
64 15-25% inceptisol 3535.02 Sawah 3 2 3 5 15 6 6 10 37 Tidak Rawan
65 15-25% entisol 2798.22 PLK Campur Semak 3 2 2 4 15 6 4 8 33 Sedang
66 15-25% entisol 2798.22 Sawah 3 2 2 5 15 6 4 10 35 Tidak Rawan
67 15-25% Alfisol 3535.02 Hutan Tanaman 3 3 3 2 15 9 6 4 34 Sedang
68 15-25% Alfisol 3535.02 PLK Campur Semak 3 3 3 4 15 9 6 8 38 Sedang
69 15-25% Alfisol 3535.02 Sawah 3 3 3 5 15 9 6 10 40 Tidak Rawan
70 15-25% inceptisol 2798.22 PLK Campur Semak 3 2 2 4 15 6 4 8 33 Sedang
71 15-25% inceptisol 2798.22 Sawah 3 2 2 5 15 6 4 10 35 Tidak Rawan
72 25-40% inceptisol 2614.5 Hutan Primer 2 2 2 1 10 6 4 2 22 Kurang Rawan
73 25-40% inceptisol 2614.5 Lahan terbuka 2 2 2 4 10 6 4 8 28 Kurang Rawan
74 25-40% inceptisol 3535.02 Belukar 2 2 3 3 10 6 6 6 28 Kurang Rawan
51
unit Jenis Ch Skor Skor Skor Skor BS BS BS BS
lahan Lereng Tanah (mm/tahun) Penutupan Lahan Lereng JT CH Pelan Lereng JT CH Pelan Total Tingkat Banjir
75 25-40% inceptisol 3535.02 Hutan Primer 2 2 3 1 10 6 6 2 24 Kurang Rawan
76 25-40% inceptisol 3535.02 Hutan Sekunder 2 2 3 2 10 6 6 4 26 Kurang Rawan
77 25-40% inceptisol 3535.02 Hutan Tanaman 2 2 3 2 10 6 6 4 26 Kurang Rawan
78 25-40% inceptisol 3535.02 PLK Campur Semak 2 2 3 4 10 6 6 8 30 Kurang Rawan
79 25-40% inceptisol 3535.02 Sawah 2 2 3 5 10 6 6 10 32 Tidak Rawan
80 25-40% inceptisol 2798.22 Air 2 2 2 0 10 6 4 0 20 Tidak Rawan
81 25-40% inceptisol 2798.22 PLK Campur Semak 2 2 2 4 10 6 4 8 28 Kurang Rawan
82 25-40% inceptisol 2798.22 Sawah 2 2 2 5 10 6 4 10 30 Kurang Rawan
83 25-40% inceptisol 3535.02 Air 2 2 3 5 10 6 6 10 32 Sedang
84 25-40% inceptisol 3535.02 Belukar 2 2 3 3 10 6 6 6 28 Kurang Rawan
85 25-40% inceptisol 3535.02 Hutan Sekunder 2 2 3 2 10 6 6 4 26 Kurang Rawan
86 25-40% inceptisol 3535.02 Hutan Tanaman 2 2 3 2 10 6 6 4 26 Kurang Rawan
87 25-40% inceptisol 3535.02 Pemukiman 2 2 3 5 10 6 6 10 32 Sedang
88 25-40% inceptisol 3535.02 PLK Campur Semak 2 2 3 4 10 6 6 8 30 Kurang Rawan
89 25-40% inceptisol 3535.02 Sawah 2 2 3 5 10 6 6 10 32 Tidak Rawan
90 25-40% Alfisol 3535.02 Hutan Tanaman 2 3 3 2 10 9 6 4 29 Kurang Rawan
91 25-40% Alfisol 3535.02 PLK Campur Semak 2 3 3 4 10 9 6 8 33 Sedang
92 25-40% inceptisol 2798.22 Air 2 2 2 5 10 6 4 10 30 Kurang Rawan
93 25-40% inceptisol 2798.22 PLK Campur Semak 2 2 2 4 10 6 4 8 28 Kurang Rawan
94 25-40% inceptisol 2798.22 Sawah 2 2 2 5 10 6 4 10 30 Tidak Rawan
95 8-15% inceptisol 3535.02 Belukar 4 2 3 3 20 6 6 6 38 Sedang
96 8-15% inceptisol 3535.02 Hutan Primer 4 2 3 1 20 6 6 2 34 Sedang
97 8-15% inceptisol 3535.02 Hutan Sekunder 4 2 3 2 20 6 6 4 36 Sedang
98 8-15% inceptisol 3535.02 Hutan Tanaman 4 2 3 2 20 6 6 4 36 Sedang
99 8-15% inceptisol 3535.02 PLK Campur Semak 4 2 3 4 20 6 6 8 40 Sedang
52
unit Jenis Ch Skor Skor Skor Skor BS BS BS BS
lahan Lereng Tanah (mm/tahun) Penutupan Lahan Lereng JT CH Pelan Lereng JT CH Pelan Total Tingkat Banjir
100 8-15% inceptisol 3535.02 Sawah 4 2 3 5 20 6 6 10 42 Rawan
101 8-15% inceptisol 2798.22 PLK Campur Semak 4 2 2 4 20 6 4 8 38 Sedang
102 8-15% inceptisol 2798.22 Sawah 4 2 2 5 20 6 4 10 40 Tidak Rawan
103 8-15% inceptisol 3535.02 Belukar 4 2 3 3 20 6 6 6 38 Sedang
104 8-15% inceptisol 3535.02 Hutan Sekunder 4 2 3 2 20 6 6 4 36 Sedang
105 8-15% inceptisol 3535.02 Hutan Tanaman 4 2 3 2 20 6 6 4 36 Sedang
106 8-15% inceptisol 3535.02 Pemukiman 4 2 3 5 20 6 6 10 42 Rawan
107 8-15% inceptisol 3535.02 PLK Campur Semak 4 2 3 4 20 6 6 8 40 Sedang
108 8-15% inceptisol 3535.02 Sawah 4 2 3 5 20 6 6 10 42 Tidak Rawan
53
Lampiran 9. Daerah-Daerah Tingkat Rawan Banjir Di DAS Tangka
Tingkat Kabupaten Kecamatan Desa/Kelurahan Luas(ha)
Rawan Banjir Bone Bontocani Bana 20,61
Bontojai 35,99
Bulusirua 143,01
Kahu 0,69
Kahu Pasaka 96,53
Kajuara Abbumpungeng 291,07
Buareng 86,3
Bulu tanah 3,68
Gona 16,66
Lemo 4,04
Mallahae 3,13
Massangkae 358,59
Raja 360,32
Waetuwo 135,04
Gowa Tinggimoncong Malino 0,87
Pattapang 159,64
Tombolo pao Balassuka 112,02
Erelembang 35,2
Kanreapia 96,53
Mamampang 21,76
Pao 34,29
Tabbinjai 114,53
Tamaona 493,35
Tonasa 213,43
Sinjai Bulu tellue 157,69
Bulupoddo Duampanuae 178,35
Lamatti riaja 99,96
Lamatti riattang 155,43
Lamatti riawang 103,92
Lappa cinrana 167,57
Tompobulu 15,32
Sinjai barat Arabika 131,13
Balakia 90,48
Barania 53,93
Bonto salama 73,93
Boto lempangan 24,63
Gunung perak 139,97
Tassililu 378,68
Terasa 98,15
54
Tingkat Kabupaten Kecamatan Desa/Kelurahan Luas(ha)
Sinjai utara Alewanuae 53,17
Balangnipa 131,63
Bongki 175,37
Lamatti rilau 116,57
Lappa 471,48
55
Lampiran 10. Daerah-Daerah Tingkat Cukup Rawan Di DAS Tangka
56
Tingkat Kabupaten Kecamatan Desa/Kelurahan Luas(ha)
Sinjai Utara Alewanuae 12,4
Balangnipa 6,09
Bongki 93,89
Lamatti Rilau 2,32
Lappa 29,65
57
Lampiran 11. Daerah-Daerah Tingkat Kurang Rawan Banjir Di DAS Tangka
58
Tingkat Kabupaten Kecamatan Desa Luas(ha)
Sinjai Barat Barania 94,95
Bonto salama 1097,86
Boto lempangan 230,09
Gunung perak 465,18
Tassililu 264,57
Terasa 3121,37
Turungan baji 1283,75
Sinjai tengah Bonto 13,8
Gantarang 47,02
Pattongko 27,89
Sinjai utara Alewanuae 94,98
Bongki 5,52
Lamatti rilau 327,5
59
Lampiran 12. Daerah-Daerah Tingkat Rawan Banjir Di DAS Tangka
60
Lampiran 13. Foto Dokumentasi Tempat Penelitian
61