Anda di halaman 1dari 238

POLA ARAHAN REHABILITASI

HUTAN DAN LAHAN

Di Sub-Sub Daerah Aliran Sungai (DAS)


Amandit Kabupaten Hulu Sungai Selatan

Oleh
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M.S.
Dr. H. Abdi Fithria, S. Hut, M.P
Ir. H. Setia Budi Peran, M.S
Syam’ani, S.Hut, M.Si.

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT


FAKULTAS KEHUTANAN BANJARBARU,
2016
POLA ARAHAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
DI SUB-SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI AMANDIT KABUPATEN
HULU SUNGAI SELATAN.

Penulis : Prof. Dr. H. Muhammad Ruslan, M.S.


Dr. H. Abdi Fithria, S.Hut,M.P.
Ir. H. Setia Budi Peran, M.S
Syam’ani, S.Hut,M.Si.

Editor : Dr. Ir. Syarifuddin Kadir, M.Si

Cover : Agung Istiadi


Layout : Nana N

Cetakan ke satu, Desember 2016


Perpustakaan Nasional Indonesia.

Peringatan :
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak
sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik secara mekanik
maupun elektronik, termasuk fotocopy, rekaman dan lain-lain tanpa izin
tertulis dari penerbit.

Diterbitkan oleh:
Lambung Mangkurat University Press, 2016
d/a Pusat Pengelolaan Jurnal dan Penerbitan UNLAM
Jl. H. Hasan Basry, Kayu Tangi, Banjarmasin 70123
Gedung Rektorat UNLAM Lt 2
Telp./Faks. 0511-3305195

Dicetak Oleh:
ASWAJA PRESSINDO
Anggota IKAPI No. 071/DIY/2011
Jl. Plosokuning V/73, Minomartani, Sleman, Yogyakarta
Telp. (0274) 4462377
E-mail:aswajapressindo@gmail.com
Website:www.aswajapressindo.co.id

ISBN : 978-602-6370-55-6
xx + 218 halaman ; 15,5 x 23 cm
PRAKATA

Dengan mengucapkan Syukur Alhamdulillah ke Kha­


dirat Allah SWT, atas Rahmat dan Hidayah-NYA yang
dianugerahkan kepada Tim Penulis, sehingga Buku ini yang
berjudul “Pola Arahan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Sub-
Sub Daerah Aliran Sungai Amandit Kabupaten Hulu Sungai
Selatan (HSS)” dapat diselesaikan. Buku ini dibuat berdasarkan
sebagian besar dari data hasil penelitian Tim Penulis yang
berjudul “Kajian Kekritisan Lahan dan Aspek Sosial Ekonomi
Sebagai Arahan Penentuan Urutan Prioritas Rehabilitasi Hutan
dan Lahan Di Sub-Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Amandit
Kalimantan Selatan” serta serangkaian kegiatan literature
review dan pengumpulan data primer dan sekunder lainnya.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah upaya untuk
memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi
hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan
peranannya dalam mendukung kehidupan tetap terjaga.
Sebenarnya kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan adalah
penerapan kaidah-kaidah konservasi tanah, air dan vegetasi
yang disesuaikan dengan keadaan dan tingkat kerusakan
lahannya dan dilaksanakan melalui tahapan pemulihan
(rehabilitasi) dan pelestarian.
Penentuan pola arahan rehabilitasi hutan dan lahan
harus memperhatikan persmalahan aspek biofisik dan aspek
sosial ekonomi. Dalam buku ini yang menjadi permasalahan
utama untuk aspek biofisik meliputi erosi, tingkat bahaya erosi
dan tingkat kekritisan lahan. Dalam aspek sosial ekonomi,

iii
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

terutama yang berhubungan dengan penggunan lahan, yaitu


tekanan penduduk (TP) dan dukungan aspek sosial ekonomi
(DASE) dari masyakat petani yang berada di suatu daerah
aliran sungai.
Tim Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada
semua pihak, terutama Bapak Menteri Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi (Prof Drs H. Muhammad Nasir, MSi, Ak,
Ph.D.), Bapak Rektor ULM (Prof Dr Sutarto Hadi, MSi, MSc)
Bapak Bupati Kabupaten HSS (Drs H. Achmad Fikri, MAP),
Bapak Wakil Bupati Kabupaten HSS (H. Ardiansyah, S.Hut),
Bapak Dekan Fakultas Kehutanan ULM (Ir. Sunardi, MS), Ibu
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten HSS (Hj.
Fathimatuzzahra, S.Hut, MP) dan Bapak Direktur Eksekutif
PIU IDB ULM (Ir Rusliansyah, MSc), yang telah memberikan
kontribusi dan dukungannya, sehingga buku ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Akhirnya Tim Penulis selalu mengharapkan saran dan
ktitik dari semua pihak untuk penyempurnaan buku ini.
Semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi dosen,
mahasiswa, peneliti dan praktisi kehutanan serta pengelolaan
daerah aliran sungai, yang ingin mengetahui tentang pola
arahan rehabilitasi hutan dan lahan di Sub-Sub DAS Amandit
Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

Banjarbaru, Desember 2016


Ketua Tim Penulis,

Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M.S.


NIP. 195002271976031001

iv
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR......................................................... iii
DAFTAR ISI......................................................................... v
DAFTAR TABEL................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR............................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN......................................................... xix

BAB I. PENDAHULUAN................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................... 3
C. Tujuan Kajian............................................................ 5
D. Manfaat Kajian.......................................................... 6
E. Pengertian.................................................................. 6

BAB II. KONSEPSI UMUM............................................... 11


A. Urutan Prioritas dan Kekritisan Lahan................. 11
B. Rehabilitasi Hutan dan Lahan................................ 12
C. Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS)................ 14
D. Erosi............................................................................ 27
E. Satuan Lahan sebagai Unit Analisis...................... 34
F. Citra Satelit dan Sistem Informasi Geografis........ 36
G. Penggunaan Lahan .................................................. 37
H. Sosial Ekonomi.......................................................... 38

v
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

BAB III. KONDISI DAN KARAKTERISTIK


SUB-SUB DAS AMANDIT................................................. 41
A. Sub Sistem Biofisik................................................... 41
1. Letak dan Luas.................................................... 41
2. Iklim...................................................................... 42
3. Kondisi Penutupan dan Penggunaan
Lahan.................................................................... 45
4. Keadaan Tanah dan Geologi............................. 47
5. Keadaan Topografi............................................. 48
6. Keadaan Hidrologi............................................. 50
7. Bendung Amandit untuk Pengairan
(Irigasi).................................................................. 52
B. Sub Sistem Sosial Ekonomi..................................... 56
1. Penduduk............................................................. 56
2. Mata Pencaharain................................................ 58
3. Pendidikan........................................................... 59
4. Sarana Kesehatan................................................ 60

BAB IV. PENDEKATAN DAN METODE KAJIAN........ 61


A. Pola Pendekatan........................................................ 61
B. Lokasi dan Waktu Kajian........................................ 62
C. Obyek, Bahan dan Peralatan Kajian....................... 62
D. Prosedur Pengumpulan Data................................. 63
1. Data Biofisik......................................................... 63
2. Data Sosial Ekonomi........................................... 68
E. Analisis Data ............................................................ 69
1. Data Biofisik........................................................ 69
2. Data Sosial Ekonomi .......................................... 82
3. Urutan Prioritas dan Pola Arahan RHL.......... 85

vi
Daftar Isi

BAB V. TINGKAT KEKRITISAN LAHAN.................... 87


A. Unit Lahan................................................................. 87
B. Pendugaan Tingkat Bahaya Erosi (TBE)............... 90
C. Tingkat Kekritisan Lahan (TKL)............................. 105
1. Tingkat Kekritisan Lahan pada
Kawasan Budidaya............................................. 107
a. TKL pada Kawasan Budidaya Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hulu......................... 107
b. TKL pada Kawasan Budidaya Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Tengah..................... 111
c. TKL pada Kawasan Budidaya Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hilir.......................... 115
2. Tingkat Kekritisan Lahan pada
Kawasan Lindung............................................... 120
a. TKL pada Kawasan Lindung Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hulu......................... 120
b. TKL pada Kawasan Lindung Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Tengah..................... 125
c. TKL pada Kawasan Lindung Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hilir.......................... 127

BAB VI. POLA ARAHAN REHABILITASI HUTAN


DAN LAHAN....................................................................... 135
A. Umum......................................................................... 135
B. Aspek Sosial Ekonomi............................................. 136
1. Tekanan Penduduk............................................. 136
2. Penetuan Dukungan Aspek Sosial
Ekonomi............................................................... 138

vii
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

C. Urutan Prioritas Rehabilitasi Hutan Dan


Lahan.......................................................................... 143
1. Urutan Prioritas (UP) di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hulu............................... 144
2. Urutan Prioritas (UP) di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Tengah........................... 148
D. Arahan Penggunaan Lahan..................................... 154
1. Arahan RHL di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hulu........................................ 157
2. Arahan RHL di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Tengah.................................... 162

BAB VII. PENUTUP............................................................. 177


A. Tingkat Kekritisan Lahan........................................ 177
B. Aspek Sosial Ekonomi............................................. 178
C. Urutan Prtiritas dan Pola Arahan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan................................ 179
1. Urutan Prtiritas Rehabilitasi Hutan
dan Lahan............................................................. 179
2. Pola Arahan Rehabilitasi Hutan
dan Lahan............................................................. 180
D. Saran-Saran................................................................ 182

DAFTAR PUSTAKA............................................................ 185


LAMPIRAN – LAMPIRAN................................................ 195
BIOGRAFI PENULIS........................................................... 215

viii
DAFTAR TABEL

Halaman
II-1. Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan
Berdasarkan Total Skor.......................................... 12
II-2. Klasifikasi Nilai Faktor Erodibilitas
tanah (K)................................................................... 31
II-3. Nilai Struktur Tanah.............................................. 32
II-4. Nilai Permeabilitas Tanah dari (USDA 1951)..... 32
III-1. Data Curah Hujan di Kabupaten Hulu
Sungai Selatan......................................................... 43
III-2. Data Jumlah Bulan Basah, Bulan Lembab
dan Bulan Kering Tahun 2004 sampai
dengan 2013............................................................. 44
III-3. Luas masing-masing penutupan lahan
pada wilayah Catchment Area Amandit............... 45
III-4. Keadaan Jenis tanah di wilayah
Sub-Sub Amandit.................................................... 47
III-5. Keadaan jenis geologi/batuan di wilayah
Sub-Sub Amandit.................................................... 48
III-6. Keadaan Kelerengan di Wilayah Sub-sub
DAS Amandit.......................................................... 49
III-7. Keadaan anak sungai yang bermuara
ke Sungai Amandit................................................. 50

ix
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

III-8. Debit Rataan Harian Setiap Bulan Air Sungai


Amandit di Kabupaten Hulu Sungai Selatan... 54
III-9. Jumlah penduduk masing-masing
kecamatan di kawasan DAS Amandit
Bagian Hulu dan Bagian Tengah.......................... 56
III-10. Sarana kesehatan pada masing-masing
kecamatan di kawasan DAS Amandit
Bagian Hulu dan Bagian Tengah.......................... 60
IV-1. Persentase kelas kandungan bahan organik...... 71
IV- 2. Nilai Struktur Tanah.............................................. 72
IV-3. Penilaian permeabilitas tanah............................... 72
IV-4. Nilai Faktor C pada Berbagai Penutupan........... 74
IV-5. Nilai Faktor P Konservasi Tanah.......................... 77
IV-6. Tingkat Bahaya Erosi (TBE)................................... 78
IV-7. Kriteria Lahan Kritis Pada Kawasan Hutan
Produksi/Budidaya Pertanian.............................. 79
IV-8. Kriteria Lahan Kritis Pada Kawasan
Hutan Lindung........................................................ 80
IV-9. Komponen Sosial Ekonomi dan
Pembobotan............................................................. 84
IV-10. Peringkat Dukungan Aspek Sosial
Ekonomi .................................................................. 85
V-1. Klasifikasi dan Kode dari Kawasan Hutan,
Lereng, Jenis Tanah dan Penutup
Lahan di Sub-Sub DAS Amandit.......................... 87
V-2. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hulu................................... 91
V-3. Persentasi TBE di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu............................................................. 92
V-4. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Tengah............................... 95

x
Daftar Tabel

V-5. Persentasi TBE di Sub-Sub DAS Amandit


Bagian Tengah......................................................... 97
V-6. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hilir............................................. 100
V-7. Persentasi TBE di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hilir.............................................................. 101
V-8 Data Luas dan Persentasi TBE di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hulu, Tengah
dan Bagian Hilir ..................................................... 104
V-9. Nilai Tingkat Kekritisan Lahan pada
Kawasan Budidaya di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hulu............................................ 107
V-10. Persentasi Tingkat Kekritisan Lahan pada
Kawasan Budidaya di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hulu............................................ 108
V-11. Nilai Tingkat Kekritisan Lahan pada
Kawasan Budidaya di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Tengah........................................ 112
V–12. Persentasi Tingkat Kekritisan Lahan pada
Kawasan Budidaya di Sub- Sub DAS
Amandit Bagian Tengah........................................ 113
V-13. Nilai Tingkat Kekritisan Lahan pada
Kawasan Budidaya di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hilir............................................. 116
V-14. Persentasi Tingkat Kekritisan Lahan pada
Kawasan Budidaya di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hilir............................................. 117
V-15. Nilai Tingkat Kekritisan Lahan pada
Kawasan Lindung di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hulu............................................ 120

xi
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

V-16. Persentasi Tingkat Kekritisan Lahan pada


Kawasan Lindung di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hulu............................................ 121
V–17. Nilai Tingkat Kekritisan Lahan pada
Kawasan Lindung di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Tengah........................................ 124
V-18. Persentasi Tingkat Kekritisan Lahan
pada Kawasan Lindung di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Tengah............................... 125
V-19. Nilai Tingkat Kekritisan Lahan pada
Kawasan Hutan Lindung di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hilir.................................... 127
V-20. Persentasi Tingkat Kekritisan Lahan pada
Kawasan Hutan Lindung di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hilir.................................... 128
V-21. Rekapitulasi Tingkat Kekritisan Lahan
(TKL) pada Sub-Sub DAS Amandit..................... 131
VI-1. Nilai Tekanan Penduduk di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hulu dan
Bagian Tengah ........................................................ 137
VI-2. Jumlah Petani berdasarkan Status
Kepemilikan Lahan di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah......... 139
VI-3. Nilai Dukungan Sosial Ekonomi di
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu
dan Bagian Tengah................................................. 141
VI-4. Urutan Prioritas Rehabilitasi Hutan dan
Lahan Berdasarkan Tingkat Kekritisan
Lahan pada Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu............................................................. 145

xii
Daftar Tabel

VI-5. Persentasi Urutan Prioritas RHL di


Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu................... 147
VI-6. Urutan Prioritas Rehabilitasi Hutan
dan Lahan Berdasarkan Tingkat Kekritisan
Lahan pada Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Tengah......................................................... 149
VI-7. Persentasi Urutan Prioritas RHL di
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah............. 152
VI-8. Rekapitulasi UP pada Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu dan Bagian Tengah.......................... 153
VI-9 Kelompok Pola Arahan RHL di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hulu dan
Bagian Tengah......................................................... 156
VI-10 Pola Arahan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu.............. 157
VI-11 Pola Arahan RHL di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu............................................................ 159
VI-12 Pola Arahan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah.......... 163
VI-13 Bentuk Arahan RHL (Penggunaan Lahan) di
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah.............. 166
VI-14 Arahan RHL (Penggunaan Lahan) di
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu
dan Bagian Tengah................................................. 170

xiii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
I-1. Kerangka Pikir dari Perumusan Masalah
Kajian Kekritisan Lahan dan Aspek
Sosial Ekonomi Sebagai Arahan Penentuan
Urutan Prioritas dan Pola Rehabilitasi Hutan
dan Lahan di Sub-Sub DAS Amandit
Kabupaten Hulu Sungai Selatan........................... 5
II-1. Bentuk Ilustrasi suatu Daerah Aliran
Sungai (Watershed)................................................... 15
II-2. Hubungan biofisik antara hulu dan hilir
dalam suatu DAS..................................................... 18
II-3. Daur Hidrologi......................................................... 21
II-4. Fungsi Ekosistem DAS............................................ 22
III-1. Peta Lokasi Kajian di Sub-Sub DAS
Amandit.................................................................... 42
III-2. Peta Penutupan Lahan di Sub-Sub
DAS Amandit........................................................... 46
III-3. Peta Jenis Tanah di Sub-Sub DAS Amandit...... 48
III-4. Peta Kemiringan Lereng di Sub-Sub
DAS Amandit........................................................... 50
III-5. Kondisi Sungai Amandit di Kabupaten
Hulu Sungai Selatan................................................ 51

xv
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

III-6. Bendung Amandit di Kabupaten Hulu Sungai


Selatan untuk Pengariran Iirigasi)........................ 52
III-7. Debit Rataan Harian setiap Bulan Sungai
Amandit di Kabupaten Hulu Sungai Selatan...... 55
III-8. Garfik Jumlah Penduduk Masing-masing
Kecamatan di Sub DAS Amandit Bagian
Hulu dan Bagian Tengah ....................................... 57
III-9. Garfik Kondisi Suku Masing-masing
Kecamatan di Sub DAS Amandit Bagian
Hulu dan Bagian Tengah........................................ 58
IV-1. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Biofisik........... 66
IV-2. Diagram Analisis Tingkat Kekritisan
Lahan (TKL).............................................................. 82
IV-3. Kerangka Pikir Metode Penelitian Kajian
ingkat Kekritisan Lahan dan Aspek
Sosial Ekonomi Sebagai Arahan Penentuan
Urutan Prioritas Rehabilitasi Hutan Dan
Lahan Di Sub-Sub Das Amandit
Kabupaten Hulu Sungai Selatan........................... 86
V-1. Peta Satuan Lahan di Sub_Sub DAS Amandit.... 89
V-2. Diagram Pie Tingkat Bahaya Erosi di
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu................... 93
V-3. Diagram Pie Tingkat Bahaya Erosi di
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah............... 97
V-4. Diagram Pie Tingkat Bahaya Erosi di
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir................... 101
V-5. Peta Tingkat Bahaya Erosi Di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hulu, Bagian Tengah
dan Bagian Hilir....................................................... 105

xvi
Daftar Gambar

V-6. Diagram Pie Tingkat Kekritisan Lahan


pada Kawasan Budidaya di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hulu.................................... 109
V-7. Sub Diagram pien Tingkat Kekritisan
Lahan pada Kawasan Budidaya di
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah................ 113
V-8. Diagram pien Tingkat Kekritisan Lahan
pada Kawasan Budidaya di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hilir.................................... 117
V-9. Diagram pien Tingkat Kekritisan Lahan
pada Kawasan Lindung di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hulu.................................... 121
V-10. Diagram Pie Tingkat Kekritisan Lahan
di Kawasan Lindung Sub- Sub DAS
Amandit Bagian Tengah......................................... 125
V-11. Diagram pien Tingkat Kekritisan Lahan pada
Kawasan Lindung di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hilir............................................................... 129
V-12. Peta Tingkat Kekritisan Lahan Di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hulu, Bagian Tengah
dan Bagian Hilir....................................................... 133
VI-1. Grafik Jumlah Petani pada Tiap Desa di
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu
dan Bagian Tengah.................................................. 140
VI-2. Grafik Nilai Dukungan Sosial Ekonomi di
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu
dan Bagian Tengah. ................................................ 142
VI-3. Urutan Prioritas Rehabilitasi Hutan dan
Lahan Berdasarkan Tingkat Kekritisan Lahan
pada Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu.......... 146

xvii
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

VI-4. Diagram Pie Urutan Prioritas RHL di


Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu................... 147
VI-5. Urutan Prioritas Rehabilitasi Hutan dan
Lahan Berdasarkan Tingkat Kekritisan
Lahan pada Sub-Sub DAS Amandit Bagian
Tengah....................................................................... 151
VI-6. Diagram Pie Urutan Prioritas
RHL di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Tengah.......................................................... 152
VI-7. Peta Urutan Prioritas Rehabilitasi Hutan
dan Lahan Di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu dan Bagian Tengah......................... 154
VI-8. Diagram Pien Arahan Penggunaan Lahan
di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu............... 160
VI-9. Diagram Pie Arahan Penggunaan Lahan
di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah........... 167
VI-10. Peta Arahan RHL (Penggunaan Lahan)
di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu
dan Bagian Tengah.................................................. 172

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Nilai Kelas Bahaya Erosi (KBE) dan Tingkat
Bahaya Erosi (TBE) di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu, Bagian Tengah dan Bagian Hilir.......... 195
2. Nilai Tingkat Kekritisan Lahan pada Kawasan
Budidaya di Sub-Sub DAS Amandit Bagian
Hulu, Bagian Tengah dan Bagian Hilir....................... 201
3. Nilai Tingkat Kekritisan Lahan pada Kawasan
Lindung di Sub-Sub DAS Amandit Bagian
Hulu, Bagian Tengah dan Bagian Hilir....................... 204
4. Jumlah Petani setiap Desa dan Penentuan
Jumlah Sampel Petani di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah................ 206
5. Nilai Dukungan Aspek Sosial Ekonomi (DASE)
Di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan
Bagian Tengah................................................................ 207
6. Urutan Penentuan Prioritas dan Pola Arahan
RHL di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu
dan Bagian Tengah......................................................... 209

xix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Kementarian Kehutanan (2011) laju deforestasi
tahun 1982-1990 sebesar 0,9 juta Ha, tahun 1990-1997 sebesar 1,8
juta Ha, tahun1997-2000 sebesar 2,83 juta Ha dan tahun 2000-
2006 sebesar 1,08 juta Ha. Disebutkan pula data Lahan Kritis
Nasional : Sangat Kritis 5.4449.299,21 Ha dan Kritis 24.467.311,8
Ha. Permasalahan di atas perlu diupayakan pola pemulihan
dan peningkatan kemampuan fungsi dan produktifitas hutan
dan lahan, diantaranya melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan
lahan (RHL) yang diprogramkan dengan baik.
Sub-Sub DAS Amandit merupakan salah satu bagian dari
Sub DAS Negara yang termasuk dalam DAS Barito wilayah
Provinsi Kalsel, yang sebagian besar terletak dalam wilayah
Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) dan sebagian kecil pada
wilayah Kabupaten Tapin dengan total luas Sub-Sub DAS
Amandit sebesar 117.920 ha. Menurut BP DAS Barito (2009)
khususnya di Kabupaten HSS terdapat luas lahan tidak kritis
13.724,0 Ha, potensial kritis 54.819,6 Ha, agak kritis 84.904,2
Ha, kritis 13.106,2 Ha dan sangat kritis 2.818,0 Ha. Data tingkat
kekritisan lahan tersebut hanya berdasarkan batasan wilayah
administratif, padahal sebaiknya berdasarkan wilayah ekologis
(DAS). Namun demikian data itu juga berguna sebagai
indikasi kondisi awal tingkat kekritisan lahan di Sub-Sub DAS
Amandit dalam penelitian ini.Karakteristik topografi lahan

1
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

yang cukup bervariasi, mulai lereng yang datar (0% – 8%)


sampai dengan lereng sangat curam (> 40%), yang terbentang
dari Pegunungan Meratus hingga ke lembah Sungai Barito.
Karakteristik topografi yang sangat heterogen seperti itu
mengakibatkan variasi tutupan lahan di Sub-sub DAS Amandit
cukup besar, sehingga dapat dianggap mewakili sebagian
besar karakteristik tutupan lahan yang ada di Provinsi Kalsel.
Penggunaan lahan di Sub-Sub DAS Amandit pada Bagian
Hulu dan Bagian Tengah antara lain meliputi pertanian lahan
kering, ladang, perkebunan, penggunaan lahan lainnya (BPS,
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 2014). Kondisi penggunaan
lahan tersebut relatif kurang memperhatikan prinsip-prinsip
konservasi tanah dan air (KTA), sehingga menimbulkan
dampak negatif berupa peningkatan tingkat kekritisan lahan,
yang mengakibatkan erosi dan sedimentasi makin tinggi dan
akhirnya terjadi pendangkalan sungai pada Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hilir. Erosi di daerah tersebut dipengaruhi
oleh faktor curah hujan, tanah, topografi dan manusia (penutup
lahan dan konservasi tanag secara mekanik).
Adanya dugaan lahan kritis dan kondisi tata air yang
relatif kurang baik, diduga akibat dari berbagai aktivitas
penggunaan lahan di Bagian Hulu dan Bagian Tengah di
Sub-Sub DAS Amandit yang kurang memperhatikan prinsip-
prinsip konservasi tanah dan air, maka dikhawatirkan akan
berdampak negatif pada bagian hilir, apabila tidak segera
ditanggulangi dengan kegitan rehabilitasi hutan dan lahan
(RHL).
Dalam merencanakan kegiatan rehabilitasi hutan dan
lahan di suatu daerah aliran sungai perlu memperhatikan
beberapa aspek lingkungan dan aspek sumberdaya manusia,
diantaranya aspek biofisik dan aspek sosial ekonomi buda­
ya masyarakat setempat. Aspek biofisik didasarkan pada
permasalahan utama yang telah atau sedang berjalan (misal­
nya banjir, erosi, sedimentasi pada musim penghujan dan
kekeringan pada musim kemarau) dan tingkat kekritisan
lahan. Dari komponen-komponen sosial ekonomi dan budaya

2
Pendahuluan

masyarakat, indikator-indikator yang perlu diperhatikan,


antara lain yaitu: a) Tekanan penduduk (TP) dan b) Dukungan
aspek sosial ekonomi (DASE) yang meliputi : tingkat keter­
gantungan penduduk terhadap lahan (baik untuk ber­usaha
tani secara umum dan pemukiman), tingkat adopsi petani
terhadap teknologi baru konservasi dan keberadaan serta
aktifitas kelembagaan yang ada untuk mendukung pertanian
lahan kering (Departemen Kehutanan RI, 1998). Diharapkan
kegiatan masyarakat dalam menggunakan lahan untuk
kegiatan pertanian melalui indikator-indikator di atas, dapat
mendukung kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dalan
suatu daerah aliran sungai.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan peranannya ekosistem daerah aliran sungai
dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu Sumberdaya Alam
(SDA) dan Sumberdaya Manusia (SDM). Sumberdaya
Alam membentuk Sub Sistem Biofisik (lahan, vegesai, air/
sungai, iklim) dan Sumberdaya Manusia membentuk Sub
Sistem Sosial Ekonomi. Dalam suatu ekosistem DAS, kedua
subsistem tersebut berinteraksi sehingga terjadi saling keter­
kaitan, ketergantungan dan mempengaruhi. SDM dalam
menggunakan lahan akan menimbulkan dampak positif, maka
perlu dikelola dan dikembangkan, sedangkan dampak negatif
berupa terjadinya lahan kritis, karena dalam penggunaan
lahan kurang memperhatikan prinsip konservasi tanah
dan air, harus diupayakan pemecahan masalahnya, yakni
melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan.
Permasalahan tingkat kekritisan lahan sangat berhubungan
dengan kualitas dari komponen-komponen biofisik, seperti
produktivitas lahan, penutup lahan, jenis tanah, lereng, erosi,
manajemen kawasan. Permasalah aspek sosial ekonomi dalam
hubungannya dengan arahan kegiatan rehabilitasi hutan dan
lahan (RHL), apakah memberikan dukungan yang kuat atau
tidak meliputi tekanan penduduk (TP) dan dukungan aspek
sosial ekonomi (DASE),

3
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Dari beberapa uraian yang telah dikemukakan di atas,


dapat dirumuskan masalah dari kajian ini adalah sebagai
berikut :
1. Apakah karekteristik tingkat kekritisan lahan yang ada
sekarang bervariasi dan dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk menentukan arahan RHL?
2. Apakah komponen sosial ekonomi masyarakat dalam suatu
daerah aliran sungai khususnya tekanan penduduk dan
dukungan aspek sosial ekonomi dapat menun-jang dalam
arahan penentuan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan ?
3. Apakah dengan adanya penentuan urutan prioritas arahan
rehabilitasi hutan dan lahan berdasarkan tingkat kekritisan
lahan dan aspek social ekonomi dapat menurunkan keru­sa­
kan lingkungan berupa lahan kritis di daerah aliran sungai?
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan di
atas, secara skematis dapat dibuatkan kerangka pikir berupa
diagram alir dari latar belakang dan perumusan masalah Kajian
Kekritisan Lahan dan Aspek Sosial Ekonomi Sebagai Arahan
Penentuan Urutan Prioritas dan Pola Rehabilitasi Hutan dan
Lahan di Sub-Sub DAS Amandit Kalimantan Selatan, disajikan
seperti pada Gambar 1.

4
Pendahuluan

Gambar I-1. Kerangka Pikir dari Perumusan Masalah Kajian Kekritisan


Lahan dan AspekSosial Ekonomi Sebagai Arahan Penentuan Urutan
Prioritas dan Pola Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Sub-Sub DAS
Amandit Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

C. Tujuan Kajian
Secara umum kajian ini bertujuan untuk menghasilkan
acuan bagi para perencana dan pembuat kebijakan dalam
menentukan urutan prioritas dan pola arahan rehabilitasi
hutan dan lahan berdasarkan kekritisan lahan di suatu daerah
aliran sungai, dalam rangka menunjang pelaksanaan kegiatan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Secara khusus, tujuan
penelitian ini dijabarkan sebagai berikut :
Menganalisis karakteristik tingkat kekritisan lahan pada
berbagai fungsi kawasan dan unit lahan berdasarkan analisis
beberapa parameter sub sistem biofisik pada Sub-Sub DAS
Bagian Hulu, Bagian Tengah dan Bagian Hilir.

5
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

1. Menganalisis besaran aspek sosial ekonomi khususnya


tekanan penduduk (TP) dan dukungan aspek sosial
ekonomi (DASE) dari masyarakat di Sub-Sub DAS
Amandit.
2. Berdasarkan tujuan 1 dan tujuan 2, maka ditentukan
formula Urutan Prioritas dan Bentuk Arahan Rehabilitasi
Hutan dan Lahan di Sub-Sub DAS Amandit pada Bagian
Hulu dan Bagian tengah, sehingga diharapkan kegiatan
RHL berjalan secara mantap, terarah, terpadu serta
berkesinambungan.

D. Manfaat Kajian
Manfaat yang dihasilkan dari kajian ini adalah mem­
berikan informasi tentang pola arahan rehabilitasi hutan dan
lahan di suatu daerah aliran sungai yang memperhatikan
prinsip-prinsip konservasi tanah dan air terhadap berbagai
stakes holder (para pihak) dan masyarakat petani di sekitar
daerah aliran sungai yang terkait dengan pengelolaan daerah
aliran sungai.
Dari hasil kajian ini dibuatkan buku yang berjudul :
Pola Arahan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di Sub-Sub DAS
Amandit Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Buku ini diharpkan
dapat digunakan oleh tenga pendidikan (dosen), mahasiswa,
praktisi dan peneliti yang ingin mengetahui pola arahan
rehabilitasi hutan dan lahan di suiatu daerah aliran sungai.

E. Pengertian
1. DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang
berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami,
yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan
batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan (Departemen Kehutanan RI,
2009). Selanjutnya Sub DAS adalah bagian dari DAS dan

6
Pendahuluan

Sub-Sub DAS adalah bagian dari Sub DAS yang menerima


air hujan dan mengalirkan melalui anak sungai ke sungai
utama.
2. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengen­
dalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam
dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya
dengan tujuan membina kelestarian dari keserasian eko­
sistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam
bagi manusia secara berkelanjutan (Ruslan, 1992, Depar­
temen Kehutanan RI, 2009 dan Kadir, 2014)
3. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang
satu dengan lainnya tidal dapat dipisahkan (UU No 41
Tahun 1999).
4. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk
dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap (UU No 41 Tahun 1999).
5. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan meme­
lihara kesuburan tanah (UU No 41 Tahun 1999).
6. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang
dibebani hak milik maupun hak lainnya di luar kawasan
hutan dengan ketentuan luas minimal 0,25 ha, penutupan
tajuk tanaman kayukayuan dan tanaman lainnya lebih dari
50 %.
7. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas
tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya
(UU No 41 Tahun 1999).
8. Lahan adalah bagian dari bentang alam yang mencakup
pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/

7
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

relief, hidrologi, keadaan vegetasi yang semuanya potensial


akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (Sitorus,
2001).
9. Lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang berada
di dalam dan di luar kawasan hutan yang sudah tidak
berfungsi lagi sebagai media pengatur tata air dan unsur
produktivitas lahan sehingga menyebabkan terganggunya
keseimbangan ekosistem DAS (Departemen Kehutanan RI,
2009).
10. Erosi dapat juga disebut pengikisan atau kelongsoran
sesungguhnya merupakan proses penghanyutan tanah oleh
kekuatan air dan angin, baik berlangsung secara alamiah
ataupun sebagai akibat tindakan/perbuatan manusia
(Kartasapoetra, et al., 1985 dan Arsyad, 1989).
11. Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) adalah upaya untuk
memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi
hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas
dan peranannya dalam mendukung sisterm penyangga
kehidupan tetap terjaga.
12. Reboisasi adalah upaya pembuatan tananam jenis pohon
hutan pada kawasan hutan rusak yang berupa lahan
kosong/terbuka, alangalang atau semak belukar dan hutan
rawang untuk mengembalikan fungsi hutan.
13. Penanaman pengkayaan reboisasi adalah kegiatan penam­
bahan anakan pohon pada areal hutan rawang yang
memiliki tegakan berupa anakan, pancang, tiang dan pohon
500 - 700 batang/ha, dengan maksud untuk meningkatkan
nilai tegakan hutan baik kualitas maupun kuantitas sesuai
fungsinya.
14. Penanaman pengkayaan hutan rakyat adalah kegiatan
penambahan anakan pohon pada lahan yang memiliki
tegakan berupa anakan, pancang, tiang dan poles 200-
250 batang/ha, dengan maksud untuk meningkatkan
nilai tegakannya baik kualitas maupun kuantitas sesuai
fungsinya.

8
Pendahuluan

15. Penghijauan adalah kegiatan RHL yang dilaksanakan di luar


kawasan hutan.
16. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan
fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi
dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan
sumberdaya buatan.
17. Kawasan budidaya tanaman semusim adalah kawasan
budidaya yang diusahakan dengan tanaman setahun/
semusim terutama tanaman pangan.
18. Kawasan budidaya tanaman tahunan adalah kawasan
budidaya yang diusahakan dengan tanaman tahunan,
seperti hutan produksi tetap, perkebunan, tanaman buah-
buahan dan lain sebagainya.
19. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk
dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap.
20. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan
fungsi utama melindungi kelestarian lingkurtgan hidup
yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan
dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan
pembanguan berkelanjutan. Ruang lingkup kawasan
lindung meliputi kawasan yang memberikan perlindungan
kawasan bawahnya, kawasan perlindungan setempat,
kawasan suaka alam dan kawasan rawan bencana alam.
21. Penanaman Pengkayaan adalah kegiatan penambahan
anakan pohon pada kawasan hutan rawang yang memiliki
tegakan berupa anakan, pancang, tiang dan pohon sejumlah
500 - 700 batang/ ha, dengan maksud untuk meningkatkan
nilai tegakan hutan baik kualitas maupun kuantitas sesuai
fungsinya.
22. Pemeliharaan Tanaman adalah upaya untuk memelihara
sejumlah tanaman dalam luasan dan kurun waktu tertentu
guna mendapatkan tanaman yang berkualitas dalam
jumlah persatuan luas sesuai dengan standar hasil yang
diperlukan.

9
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

23. Penutup Lahan adalah berkaitan dengan jenis kenampakan


yang terdapat di permukaan bumi seperti hutan, perke­
bunan, semak belukar, pemukiman, danau, sungai dan
lain-lain (Kurdi, 2015).
24. Penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan
manusia, baik berpindah-pindah atau menetap terhadap
suatu tempat atau kelompok sumberdaya alam dan sum­
berdaya buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan,
dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan keluar­ganya
baik spiritual maupun material. Menurut Raharjo (2011)
penutupan lahan pada suatu daerah aliran sungai ber­
kaitan dengan sesuatu jenis yang tampak dipermukaan
bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan
peman­faatan obyek oleh manusia untuk memenuhi kebu­
tuhannya.

10
BAB II
KONSEPSI UMUM

A. Urutan Prioritas dan Kekritisan Lahan


Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian
urutan adalah susunan dan prioritas adalah yang didahulukan,
sedangkan pengertian penanganan adalah suatu tindakan
berdasar. Pengertian Urutan Prioritas (UP) Penanganan adalah
suatu tindakan yang dibuat berdasarkan susunan yang harus
didahulukan. Dalam buku ini urutan prioritas didasarkan
pada tingkat kekritisan lahan. Klasifikasi tingkat kekritisan
lahan (TKL) menurut Kementerian Kehutanan (2013) terdapat
5 (lima) macam, yaitu Tidak Kritis (TK), Potensial Kritis (PK),
Agak Kritis (AK), Kritis (K) dan Sangat Kritis (SK).
Kementerian Kehutanan (2013) mengemukakan bahwa
lahan kritis ialah lahan yang berada di dalam dan luar kawasan
hutan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai media pengatur
tata air dan unsur produktivitas lahan sehingga menyebabkan
terganggunya keseimbangan ekosistem DAS. Hutan dan lahan
kritis ialah hutan dan lahan yang berada di dalam dan di luar
kawasan hutan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai media
pengatur tata air dan unsur produktivitas lahan sehingga
menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem DAS.
Taddese (2001) mengemukakan bahwa degradasi lahan ialah
ancaman besar bagi masa depan dan membutuhkan usaha
yang besar untuk memperbaikinya.

11
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Penggunaan lahan yang tidak tepat dengan kepemilikian


lahan menyebabkan meningkatnya degradasi DAS. Degradasi
DAS ialah berkurangnya fungsi DAS sebagai pengatur tata
air, termasuk menurunnya potensi produksi lahan dan air
yang diikuti tanda-tanda perubahan watak hidrologi sistem
sungai (kualitas, kuantitas, kontinuitas). Saygin, et al., (2011)
menyatakan bahwa degradasi lahan diakibatkan oleh erosi
tanah yang merupakan masalah yang paling serius.
Metode yang digunakan dalam analisis tabular adalah
metode skoring. Setiap parameter penentu kekritisan lahan
diberi skor tertentu. Pada unit analisis hasil tumpang susun
data spasial, skor tersebut kemudian dijumlahkan. Hasil
penjum­lahan skor selanjutnya diklasifikasikan untuk menen­
tukan tingkat kekritisan lahan. Klasifikasi tingkat kekritisan
lahan berdasarkan jumlah skor parameter kekritisan lahan
sebagaimana disajikan pada Tabel II-1.

Tabel II-1. Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan


Total Skor
Total Skor
Kawasan Tingkat
No Kawasan Kawasan
Lindung di Kekritisan Lahan
Hutan Budidaya
Luar Kawasan
Lindung Pertanian
Hutan
1 120 - 180 115 – 200 110 - 200 Sangat Kritis
2 181 - 270 201 – 275 201 - 275 Kritis
3 271 - 360 276 – 350 276 - 350 Agak Kritis
4 361 - 450 351 – 425 351 - 425 Potensial Kritis
5 451 - 500 426 – 500 426 - 500 Tidak Kritis
Sumber: Kementerian Kehutanan RI. (2013).

B. Rehabilitasi Hutan dan Lahan


Pada dasarnya konservasi tanah dan air dilakukan agar
energi perusak (butir hujan dan aliran permukaan) sekecil
mungkin sehingga tidak merusak, dan agregat tanah lebih
tahan terhadap pukulan butir hujan dan aliran permukaan.

12
Konsepsi Umum

Terkait dengan hal tersebut Arsyad (1989) dan Seta (1991)


membagi tiga pendekatan dalam konservasi tanah dan air,
yaitu : 1) memperbaiki dan menjaga tanah agar tahan terhadap
penghancuran dan pengangkutan, serta lebih besar daya
menyerap airnya, 2) menutup tanah dengan tanaman atau sisa-
sisa tumbuhan agar terlindung dari pukulan langsung butir
hujan yang jatuh dan 3) mengatur aliran permukaan sehingga
mengalir dengan kekuatan yang tidak merusak.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah upaya untuk
memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi
hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan
peranannya dalam mendukung kehidupan tetap terjaga
(Departemen Kehutanan RI, 2005). Jadi sebenarnya kegiatan
RHL adalah penerapan kaidah-kaidah konservasi tanah, air
dan vegetasi yang disesuaikan dengan keadaan /tingkat
kerusakan lahannya dan dilaksanakan melalui tahapan
pemulihan (rehabilitasi) dan pelestarian.
Aspek Biofisik pada suatu bidang lahan didasarkan
pada permasalahan utama yang telah dan sedang berjalan
(misal banjir, tanah longsor, erosi dan sedimentasi, dan lain
lain) dan tingkat kekritisan lahan terhadap masing-masing
permasalahan tersebut (Departemen Kehutanan RI, 1998).
Informasi yang diperlukan pada aspek sosial ekonomi dan
budaya meliputi: tekanan penduduk, kegiatan dasar wilayah,
pendapatan petani, keadaan tenaga kerja, perkembangan
penduduk dan tenaga kerja, pusat pertumbuhan wilayah,
respon masyarakat serta adat kebiasaan masyarakat dalam
kaitannya dengan upaya rehabiltasi lahan dan konservasi tanah
(Departemen Kehutanan RI, 1998). Informasi yang diperoleh
dalam Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya digunakan sebagai
dasar evaluasi kedalam tiga indikator, yaitu : 1) Tingkat
Ketergantungan Penduduk terhadap lahan, 2) Tingkat adopsi
petani terhadap teknologi baru (kemampuan dan kemauan),
dan 3) Keberadaan aktifitas kelembagaan yang ada untuk
mendukung pertanian.

13
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

BRLKT Wilayah VIII (1997) secara umum arah Rehabilitasi


Lahan dan Konservasi Tanah untuk setiap kawasan adalah :
1) Kegiatan Reboisasi dan Penghijauan khususnya lahan kritis
yang tidak memungkinkan untuk dilakukan kegiatan lain,
2) Kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi Tanah dengan
pola vegetatif, baik untuk rencana pembangunan kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, maupun pembangunan
kebun-kebun rakyat sesuai dengan peruntukan lahan yang
disarankan dan 3) Peningkatan kegiatan konservasi tanah
melalui teknik sipil misalnya terasering, gully plug, dan
pengen­dali dan lain-lain.
Menurut Suripin (2002), secara garis besar metode
konservasi tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan
utama, yaitu a) metode agronomis, b) metode mekanis, dan c)
metode kimiawi.
Metode agronomis atau biologi adalah memanfaatkan
vegetasi untuk membantu menurunkan erosi lahan. Metode
mekanis atau fisik adalah konservasi yang berkonsentrasi
pada penyiapan tanah supaya dapat ditumbuhi vegetasi lebat,
dan cara manipulasi topografi mikro untuk mengendalikan
aliran air dan angin. Sedangkan metode kimia adalah usaha
konservasi tanah dan air yang ditujukan untuk memperbaiki
struktur tanah, sehingga tanah menjadi lebih tahan terhadap
factor penyebab erosi.

C. Ekosistem Daerah Aliran Sungai


1. Pengertian Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai (DAS) diartikan sebagai kawasan
yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung,
menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh diatasnya
ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau/laut (Asdak,
2010). DAS juga diartikan sebagai sebuah unit hidrologi
dimana presipitasi (hujan) menjadi input utamanya dan debit
(Q) merupakan outputnya (Seyhan, 1995). Ruslan (1992), mem­
berikan pengertian DAS adalah semua wilayah darat yang
dibatasi oleh pemisah topografi yakni punggung bukit yang

14
Konsepsi Umum

menerima air hujan yang jatuh diatasnya dan mengalirkannya


melalui sungai utama ke danau ataupun ke laut.
Menurut Departemen Kehutanan (2009) yang dimaksud
dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah
daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai
dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung,
menyimpan, dan mengalirkan yang berasal dari curah hujan ke
danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis (topographic devide) dan batas di laut sampai
dengan daerah pengairan yang masih terpengaruh aktivitas
daratan. Selanjutnya disebutkan pula, bahwa Sub DAS/Sub-
Sub DAS adalah bagian dari daerah aliran sungai (DAS) yang
menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai
ke sungai utama. Sebagai ilustrasi dari gambaran bentuk
tentang sketsa dari suatu daerah aliran sungai (DAS), dapat
dilihat pada Gambar II-1.

Gambar II-1. Bentuk Ilustrasi suatu Daerah Aliran Sungai


(Watershed).

Ruslan (1992) membagi DAS berdasarkan kelerengan


sebagai berikut: apabila tingkat kelerengan di atas 15 %, maka
dikatakan DAS Hulu dan DAS Hilir dengan kriteria tingkat

15
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

kelerengan antara 0 – 8 %. Secara fisik kondisi konfigurasi


lapangan sangat bervariasi dari kondisi berbukit-bukit sam­
pai kondisi pegunungan. Kumpulan dari kondisi tersebut
dirangkaikan oleh suatu sistem aliran sungai, membentuk
suatu satuan perwilayahan daerah aliran sungai.
Pengelolaan DAS adalah upaya manusia untuk mensi­
nergikan hubungan timbal balik antara sumberdaya manusia
(SDM) dengan sumberdaya alam (SDA) di dalam DAS dan
segala aktivitasnya dengan tujuan membina keharmonisan dan
keserasian ekosistem serta meningkatkan manfaat sumberdaya
alam bagi manusia secara berkelanjutan (Allan, et al., 2008).
Suripin (2004) menyatakan bahwa penetapan DAS
Prioritas berdasarkan pada kriteria sebagai berikut: a) DAS
yang hidrorologisnya kritis, ditandai oleh rendahnya prosen­
tase penutupan lahan, tingginya laju erosi tahunan, dan
besarnya nisbah debit sungai maksimum (musim hujan) dan
debit minimum (musim kemarau) serta kandungan lumpur
(sediment load) yang berlebihan; b) urgensi perlindungan
investasi yang telah, sedang, atau akan dibangun bangunan
vital dengan investasi besar di daerah hilirnya, antara lain:
waduk, bendungan, dan bangunan pengairan lainnya; c)
daerah yang rawan terhadap banjir dan kekeringan; d) daerah
perladangan berpindah dan daerah dengan penggarapan
tanah yang merusak tanah dan lingkungan; e) daerah dimana
tingkat pendapatan penduduk rendah, tingkat kesadaran
masyarakat terhadap pelestarian sumberdaya alam tanah, air
dan hutan masih rendah; dan f) daerah dengan kepadatan
penduduk tinggi.
Hujan adalah sumberdaya air yang sangat potensial bagi
kehidupan manusia dan juga bisa menjadi sumber tragedi.
Degradasi lahan mengakibatkan erosi dan tanah longsor di
daerah hulu dan banjir di daerah hilir, semua tertuju pada
masalah pengelolaan air di wilayah DAS yang kurang baik
(Syukur, 2009). Proses erosi tanah, khususnya di bagian daerah
hulu wilayah DAS, sangat dipengaruhi dengan kuantitas dan
intensitas aliran permukaan dari hujan. Banjir dan proses

16
Konsepsi Umum

sedimentasi di hilir daerah juga sangat dipengaruhi oleh


kuantitas dan intensitas aliran di daerah hulu (Wangsadipoera,
et al., 2008).
Bencana alama banjir dan kekeringan yang silih berganti
pada suatu wilayah DAS adalah merupakan salah satu dampak
negatif dari kegiatan manusia yang mengakibatkan bencana
alam. Kegiatan manusia tersebut menyebabkan DAS dikatakan
gagal dalam menampung, menyimpan dan mengalirkan air ke
sungai atau ke danau (Mangundikoro, 1985).
Fungsi Dareah Aliran Sungai (DAS) merupakan keselu­
ruhan faktor yang dilakukan pada DAS tersebut, yaitu manu­
sia, vegetasi, bentuk wilayah (topografi), apabila salah satu
dari faktor-faktor tersebut di atas mengalami perubahan, ma­
ka hal tersebut akan mempengaruhi juga ekosistem daerah
aliran sungai, sedangkan perubahan ekosistem juga akan
menyebabkan gangguan terhadap bekerjanya fungsi DAS dan
tanah (Hardy dan Koontz, 2010)
Sebuah DAS dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan
hilir. Secara biogeofisik daerah hulu DAS merupakan dae­
rah konservasi; memiliki kerapatan drainase tinggi dengan
kemiringan lereng >15%, pola drainase menentukan peng­
a­turan pemakaian air dengan pengelolaan yang baik meng­
hasilkan kuantitas dan kualitas air yang baik pula (George
dan Leon, 2007). Daerah hilir merupakan daerah pemanfaatan,
kerapatan drainase rendah, kemiringan lereng < 8%, daerah
hilir sering terjadi banjir, bangunan irigasi sangat menentukan
pengaturan pemakaian air, dan jenis vegetasi tanaman per­
tanian mendominasi daerah ini. Sedangkan DAS bagian tengah
merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik
DAS hulu dan hilir (Asdak, 2010).
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pengertian
DAS adalah: a) suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh
topografi yang menampung, menyimpan dan kemudian
mengalirkan air hujan ke laut atau danau melalui anak sungai
dan sungai utama; b) unsur-unsur utama di dalam DAS adalah
sumberdaya alam (vegetasi, tanah dan air) yang merupakan

17
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

sasaran dan manusia yang merupakan pengguna sumberdaya


yang ada; c) suatu DAS yang dipisahkan dengan daerah lain
oleh pemisah topografis tidak melihat daerah administratif
sehingga dapat dikatakan seluruh wilayah daratan terbagi atas
beberapa DAS; dan d) unsur utama DAS adalah sumberdaya
alam dan manusia yang berada di dalam DAS membuat suatu
ekosistem dimana peristiwa yang terjadi pada suatu unsur
akan mempengaruhi unsur lainnya (Asdak, 2010).
Hubungan biofisik antara bagian hulu, bagian tengah dan
bagian hilir dalam suatu DAS dapat dilihat dalam Gambar II-
2.

Sumber : Asdak, 2010.


Gambar II-2. Hubungan biofisik antara hulu dan hilir dalam suatu DAS.

Sebagai sebuah ekosistem, DAS terdiri atas komponen


biotis dan abiotis yang saling berinteraksi membentuk suatu
kesatuan yang teratur. Ekosistem DAS merupakan suatu
proses interaksi antara berbagai komponen yakni: tanah, air,
vegetasi dan manusia. Palao, et al., (2013), mengemukakan
bahwa manusia sebagai komponen aktif di DAS dalam
melakukan aktivitasnya dapat bersifat positif yang berarti

18
Konsepsi Umum

menguntungkan bagi akibat yang ditimbulkan dan bersifat


negatif yang berarti merugikan atau mengurangi bagi akibat
atau hasil akhir yang dicapai.
Hernandez (2008), komponen-komponen utama yang
dimiliki DAS adalah manusia, hewan, vegetasi, tanah, iklim
dan air. Komponen-komponen tersebut memiliki sifat yang
khas dan tidak berdiri sendiri, akan tetapi dengan komponen
lainnya memiliki hubungan yang satu dengan yang lainnya
membetuk kesatuan ekosistem ekologis. Manusia mempunyai
peranan yang sangat penting dalam pengelolaan DAS. Suatu
ekosistem terjadi kerusakan apabila salah satu komponen
utama terganggu sehingga berdampak pada komponen
lainnya. Hubungan timbal balik antar komponen ekosistem
terlihat baik dan optimal maka keseimbangan ekosistem akan
terjamin, sehingga terlihat dari kualitas output ekosistem
tersebut. Kualitas ekosistem DAS secara fisik terlihat dari
besarnya erosi, aliran permukaan, sedimentasi, fluktuasi debit,
dan produktifitas lahan (Ramdan, 2004).
Wangsadipoerra, et.al., (2008), mengemukakan bahwa
ekosistem DAS dapat dipelajari dengan mengklasifikasikan
DAS menjadi daerah DAS bagian hulu, tengah, dan hilir.
DAS yang mempunyai fungsi sebagai daerah konservasi
adalah DAS bagian hulu, DAS bagian hilir merupakan daerah
pemanfaatan. DAS bagian hulu sangat berperan dalam segi
perlindungan fungsi tata air, oleh karena itu daerah hilir sering
terkena dampak dari aktivitas yang dilakukan pada daerah
hulu dalam bentuk perubahan perpindahan sedimen, fluktuasi
debit dan material terlarut dalam sistem aliran airnya. Banjir
dan proses sedimentasi di hilir juga sangat dipengaruhi oleh
kuantitas dan intensitas aliran di daerah hulu. Ekosistem DAS
bagian hulu (up stream) mempunyai fungsi perlindungan,
antara lain perlindungan tata air, mempertahankan keane­
kara­gaman hayati dan menyediakan barang dan jasa (Ramac­
handra, et al., 2011).
Nilai-nilai pemahaman tentang fungsi dan manajemen
DAS sangat penting bagi masyarakat mengingat pentingnya

19
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

fungsi DAS baik bagian hulu maupun bagian hilir (Allan, et al.,
2008). Masyarakat pedesaan di DAS, berusaha meningkatkan
kesejahteraan melalui kegiatan pertanian, namun hal tersebut
dapat merusak ekosistem DAS sebagai penata air, dan untuk
kelestarian lingkungan pada DAS tersebut (Kometa dan Ebot,
2012).
Andah (2003), menyatakan bahwa tata air DAS adalah
hubungan kesatuan sifat individual unsur-unsur hidrologis
yang meliputi hujan, aliran sungai, evapotranspirasi, dan unsur
lainnya yang mempengaruhi neraca air suatu DAS. Penetapan
batas-batas daerah aliran sungai di daerah hulu relatif mudah
dilakukan. Namun penetapan batas-batas untuk daerah hilir
sungai lebih sulit dilakukan karena umumnya bertopografi
lebih landai. Dalam pendefinisian DAS pemahaman akan
konsep daur hidrologi sangat diperlukan terutama untuk
melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didis­
tribusikan melalui beberapa cara. Konsep daur hidrologi DAS
menjelaskan bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan
tanah untuk kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi dan
air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai
debit aliran. Air sebagai komponen dalam lingkungan hidup
mempunyai mata rantai sendiri dalam siklus hidrologi, bila
salah satu mata rantai hilang maka sistem tatanan kehidupan
akan hilang oleh karena air merupakan kebutuhan paling vital
semua makhluk hidup (Thornthwaite, 1993).
Proses daur hidrologi diawali dengan penguapan air dari
laut, sungai atau danau dimana uap tersebut terkondensasi
membentuk awan dapat menghasilkan presipitasi yaitu pro­
duk dari awan yang turun berbentuk air hujan (Asdak, 2010).
Dalam daur hidrologi, secara alamiah menunjukan gerakan air
di permukaan bumi. Selama berlangsung daur hidrologi yaitu
perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke
permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang tidak pernah
berhenti tersebut, air akan tertahan (sementara) di sungai,
danau/waduk, dan dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan

20
Konsepsi Umum

oleh manusia atau makhluk hidup lainnya (Wibowo, 2005).


Sketsa dari daur hidrologi, dapat dilihat pada Gambar II-3.

Sumber : Asdak, 2010.


Gambar II-3. Daur Hidrologi

Fungsi ekosistem DAS menunjukkan adanya input berupa


curah yang berproses dalam suatu DAS dan menghasilkan
output berupa debit aliran sungai dan muatan sedimen.
Dengan demikian hujan yang terjadi pada suatu DAS akan
mengalami interaksi dengan komponen-komponen ekosistem
DAS lainnya, dan pada gilirannya akan menghasilkan kelu­
aran berupa debit, muatan sedimen, dan material lainnya yang
terbawa oleh aliran. Secara skematis fungsi ekosistem DAS
dapat dilihat pada Gambar II-4.

21
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Sumber : Asdak, 2010.


Gambar II-4. Fungsi Ekosistem DAS.

2. Konsep Pengelolaan Daerah Aliran Sungai


Konsep pengelolaan DAS menurut Asdak (2010) dapat
dilakukan melalui 3 (tiga) dimensi pendekatan, yaitu: 1)
proses pengelolaan DAS mengutamakan langkah-langkah
perencanaan dan pelaksanaan yang saling berhubungan; 2)
pengelolaan DAS sebagai sistem perencanaan, pelaksanaan,
pengelolaan dan sebagai alat implementasi program penge­
lolaan DAS melalui kelembagaan yang relevan dan terkait;
dan 3) kegiatan dalam pengelolaan DAS memerlukan masing-
masing pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan yang
spesifik.
Selama ini pengalaman yang diperoleh di lapangan
menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan DAS seringkali
dibatasi oleh batasan-batasan administratif, sehingga batas-
batas ekosistem alamiah kurang banyak dimanfaatkan. Menu­
rut Sihite, (2005) bahwa pengelolaan lahan merupakan salah
satu kegiatan yang penting dalam rangka mengelola suatu
DAS. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia di dalam
mengen­dalikan hubungan timbal balik diantara sumberdaya
alam dengan manusia dan segala aktivitasnya, dengan
tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta
meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia.

22
Konsepsi Umum

Aspek-aspek penting dalam pengelolaan DAS menurut


Sudarmaji (1995), meliputi: pengelolaan sumberdaya alam
yang dapat diperbaharui, pemenuhan kebutuhan manusia
untuk sekarang dan masa mendatang, kelestarian dan
keserasian ekosistem, pengendalian hubungan timbal balik
antara sumberdaya alam dengan manusia dan pengendalian
air, pengendalian erosi, banjir dan sedimentasi.
Tanah dan air adalah sumberdaya yang paling penting
dalam DAS. Perubahannya pada kuantitas dan kualitas
sumberdaya ini tidak hanya berdampak di tempat, tetapi
dialami oleh masyarakat di sekitarnya (Palao, et al., 2013).
Asdak (2010) mengemukakan bahwa pembangunan DAS
yang berkelanjutan dapat diwujudkan melalui penyelarasan
kegiatan pembangunan ekonomi dan perlindungan ling­
kungan. Penyatuan kedua sisi pandang tersebut secara realistis
melalui penyesuaian kegiatan pengelolaan DAS dan konservasi
daerah hulu ke dalam kenyataan-kenyataan ekonomi dan
sosial sangat diperlukan. Kebijakan-kebijakan yang melandasi
tercapainya pembangunan yang berkelanjutan tersebut dapat
dirumuskan mengikuti atau sesuai dengan prinsip-prinsip
pengelolaan DAS yang rasional sebagai berikut: 1) mengenali
hal-hal yang menjadi tuntutan mendasar untuk tercapainya
usaha-usaha penyelamatan lingkungan dan sumberdaya alam;
2) mema-sukkan atau mempertimbangkan dalam kebijakan
yang akan dibuat nilai-nilai jasa lingkungan yang saat ini
belum atau tidak diperhitungkan secara komersial; 3) menye-
laraskan atau rekonsiliasi atas konflik-konflik kepentingan
yang bersumber dari penentuan batas-batas alamiah dan
batas-batas administratif; dan 4) menciptakan investasi (sektor
swasta), peraturan-peraturan, insentif, dan perpajakan yang
meng-kaitkan adanya interaksi antara aktivitas tataguna lahan
di daerah hulu dan kemung-kinan dampak kegiatannya di
daerah hilir.
Aturan kelembagaan yang digunakan dan tindakan
kemitraan kolaboratif di DAS dengan dua pola penggunaan
lahan yang berbeda: perkotaan dan pedesaan. Kerangka

23
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

kelembagaan untuk analisis dan pengembangan ini digunakan


untuk mempelajari kinerja kelembagaan kemitraan masing-
masing dengan biaya transaksi menilai dan lingkungan,
sosial, politik (Hardy dan Koontz, 2010). Konsep Teoritis
tentang DAS dan pengelolaannya mengisyaratkan adanya
berbagai kebutuhan yang terlibat. Berbagai kebutuhan ini
dapat dibuktikan dengan jalan wawancara dan diskusi dengan
beberapa pihak yang terlibat langsung dengan persoalan
(Soemarno, 2006).
Undang-Undang RI No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,
menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang ber­
tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah dengan
meningkatkan daya dukung DAS dan mempertahankan
kecukupan hutan minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran
proporsional. Peristiwa banjir dan kekeringan merupakan
bencana alam yang silih berganti di suatu wilayah atau
daerah. Hal ini diakibatkan karena DAS telah gagal memenuhi
fungsinya sebagai penampung, penyimpan dan penyalur air
hujan ke sungai-sungai utama (Kodoatie dan Sjarief, 2005).
Lebih lanjut dikatakan bahwa fungsi DAS merupakan fungsi
gabungan dari seluruh faktor yang ada pada DAS tersebut,
yaitu faktor vegetasi, bentuk wilayah (topografi), tanah dan
permukiman. Apabila salah satu dari faktor tersebut di atas
meng­alami perubahan, maka hal tersebut akan mempengaruhi
pola ekosistem DAS. Sedangkan perubahan ekosistem akan
menyebabkan gangguan terhadap bekerjanya fungsi daerah
aliran sungai, sehingga daerah aliran sungai tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Apabila fungsi suatu daerah aliran
sungai terganggu, maka sistem penangkapan curah hujan akan
menjadi tidak sempurna.
Tejoyuwono (1985), menyatakan bahwa pengelolaan
DAS terpadu adalah satu pengelolaan dalam pemanfaatan
po­tensi sumberdaya alam yang ada dalam DAS melalui
penilaian yang menyeluruh tentang DAS dan potensi jasa-
jasa lingkungan. Sistem berkelanjutan dalam pengelolaan
DAS secara terpadu pada prinsipnya merupakan upaya

24
Konsepsi Umum

pemanfaatan, perlindungan dan pelestarian serta pengendalian


yang dilakukan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan (konservasi ekosistem) dengan DAS
sebagai kesatuan pengelolaan.
Satu sungai pada suatu DAS merupakan kesatuan wilayah
pengelolaan yang tidak dapat dipisahkan dengan wilayah
hidrologi yang mencakup beberapa wilayah administratif yang
ditetapkan sebagai satu kesatuan. Satu sungai hanya berlaku
satu rencana kerja yang terpadu, menyeluruh, berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan, dan satu sungai diterapkan
satu sistem pengelolaan yang dapat menjamin keterpaduan
kebijakan, strategi perencanaan serta operasionalisasi kegiatan
dari hulu sampai hilir. Pemahaman dalam pengelolaan DAS
bagi masyarakat sangat diperlukan agar bisa menentukan
tujuan dan melakukan tidakan perbaikan DAS (Allan, et al.,
2008).
Mangundikoro (1985), mengemukakan bahwa Pengelolaan
DAS meliputi empat upaya pokok yaitu: 1) pengelolaan lahan;
2) pengelolaan vegetasi; 3) pengelolaan air; 4) pembinaan
aktifitas manusia. Pengelolaan DAS menurut Tejoyuwono
(1985) tidak lain dari pengelolaan lahan di dalam suatu DAS.
Hal ini disebabkan karena DAS merupakan sistem lahan yang
pada dasarnya berkemampuan untuk digunakan memenuhi
berbagai kepentingan untuk perlindungan, produksi dan
permukiman. Model manajemen DAS dapat memberikan
informasi yang berguna dan biaya yang efektif dalam penilaian
suatu DAS (Newham, et. al., 2004).

3. Permasalahan Daerah Aliran Sungai


Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan DAS di
Indonesia cukup serius. Sebaran DAS kritis di Indonesia, dari
tahun ke tahun kini terus mengalami peningkatan. Degradasi
hutan dan lahan semakin meluas sebagai akibat penambahan
jumlah penduduk yang memerlukan lahan untuk sandang,
pangan, papan dan energi. Pengurangan areal hutan untuk
pertanian dan konversi lahan pertanian untuk bangunan

25
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

akan menurunkan resapan air hujan dan meningkatkan aliran


air permukaan sehingga frekuensi bencana semakin tinggi
(Solaimani, et al., 2009)
Banyaknya DAS yang kritis tersebut terindikasi dengan
semakin meningkatnya bencana alam di sekitar DAS, seperti
tanah longsor, banjir, kekeringan, erosi dan sedimentasi.
Kerusakan fisik DAS tersebut karena ekploitasi sumberdaya
yang berlebihan oleh masyarakat (Shrestha, et al., 2006).
Melihat kondisi semacam itu, dapat dikatakan bahwa DAS
memikul beban yang berat dalam mendukung kehidupan di
dalamnya. Meningkatnya kepadatan penduduk dalam suatu
DAS merupakan salah satu penyebab meningkatnya pula
tekanan penduduk terhadap lahan.
Muta’ali (1993) mengatakan bahwa tekanan penduduk
merupakan sumber masalah kerusakan lahan yang paling
kritis. Pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan
pening­ katan tekanan penduduk terhadap lahan sehingga
peman­ faatan lahan terbangun semakin meningkat dengan
diiringi oleh penurunan lahan non terbangun. Lebih lanjut
dapat dikatakan bahwa tekanan penduduk yang semakin
meningkat menyebabkan semakin banyaknya pemanfaatan
lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya.
Pertumbuhan populasi manusia mengakibatkan perubahan
dalam penggunaan lahan. Perubahan ini berdampak pada
penurunan kualitas lingkungan seperti bertambahnya lahan
kritis (Bonnieux dan Goffe, 1997).
Permasalahan DAS ditemukan dengan mengkaji
komponen-komponen dari DAS dan menelusuri hubungan
antar komponen, sehingga dalam melakukan tindakan
pengen­­ dalian setidaknya bersifat penjajakan tetapi sudah
ter­
arah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang
ditimbulkan. Gunawan (1991) membagi komponen-komponen
DAS menjadi dua bagian pokok yaitu: lingkungan fisik dan
manusia.
Pemanfaatan lahan yang tidak direncanakan menurut
Gunawan (1991) akan membentuk pola pemanfaatan lahan

26
Konsepsi Umum

sub optimal yang dapat berdampak kepada: peningkatan


erosi, banjir dan kekeringan, penurunan kualitas lingkungan,
produktifitas lahan menurun, kesenjangan pendapatan mas­
yarakat dan kemiskinan dan konflik penggunaan lahan.
Meningkatnya jumlah penduduk yang tinggal di sekitar
DAS sering menjadi permasalahan yang dihadapi oleh DAS,
diantaranya masalah kualitas air, pencemaran air, banjir,
kekeringan yang semakin meningkat, kerusakan sungai dan
sumber air. Penurunan kualitas air tidak hanya terjadi di hilir
DAS tetapi juga di DAS hulu, salah satu penyebab penurunan
kerusakan kualitas air adalah pemakaian pupuk buatan dan
pestisida dari pertanian (Lin, et al., 2012).

D. Erosi
Erosi adalah peristiwa berpindahnya atau terangkutnya
tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ketempat
lain oleh media alami, yaitu air dan angin (Arsyad, 1989),
sedangkan pengertian erosi menurut Kartasapoetra et al.
(2000), erosi dapat disebut pengikisan atau kelongsoran,
sesungguhnya merupakan proses penghanyutan tanah oleh
desakan-desakan atau kekuatan-kekuatan air dan angin,
baik yang berlangsung secara alami ataupun sebagai akibat
dari tindakan atau perbuatan oleh manusia yang tidak
memperhatikan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air.
Baver et al. (1972) yang dikutip Suripin (2002), menyatakan
bahwa terjadinya erosi tanah tergantung pada beberapa faktor,
berikut : a) Sifat hujan, b) Kemiringan lereng dari jaringan
aliran air, c) Tanaman penutup tanah, dan d) Kemampuan
tanah untuk menahan dispersi dan untuk menghisap kemu­
dian merembeskan air ke lapisan yang lebih dalam.
Erosi dan sedimentasi yang diakibatkan oleh pergerakan
air (daerah dengan curah hujan tinggi meliputi beberapa
proses. Terutama meliputi proses pelepasan (detachment),
penghanyutan/pengangkutan (transportation) dan pengen­
dapan (deposition) daripada partikel-partikel tanah yang terjadi

27
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

akibat tumbukan tetes air hujan dan aliran permukaan (Foster


dan Meyer, 1977 yang dikutip Suripin, 2002).
Berat ringannya erosi tergantung pada kuantitas suplai
material-material yang terlepas dan kapasitas media peng­
angkut. Jika media pengangkut mempunyai kapasitas lebih
besar dari suplai material yang terlepas, proses erosi dibatasi
oleh pelepasan (detachment). Sebaliknya jika kuantitas suplai
material melebihi dari kapasitas, proses erosi dibatasi oleh
kapasitas (capacity limited).
Pendugaan besarnya erosi dari sebidang tanah/lahan
sangat berguna untuk menetapkan cara pencegahan erosi atau
sistem pengelolaan tanah pada lahan tersebut, agar kerusakan
tanah yang terjadi sekecil-kecilnya (Arsyad, 1989).
Sitorus (1995) mengemukakan bahwea pendekatan
untuk mengukur besarnya erosi, yaitu dilakukan dengan cara
tiga cara, yaitu : (1) mengukur seluruh erosi yang terjadi da­
lam masa yang lama, (2) mengukur erosi yang terjadi oleh
suatu kejadian hujan, dan (3) mengukur pelepasan atau
penghancuran agregat tanah yang mungkin terjadi oleh
kekuatan yang disebabkan oleh air hujan..
Salah satu persamaan yang yang pertama kali dikem­
bangkan untuk mempelajari erosi lahan adalah yang disebut
persamaan Musgrave, yang selanjutnya berkembang terus
menjadi persamaan yang sangat terkenal dan masih banyak
dipakai sampai sekarang, yaitu yang disebut Universal Soil
Loss Equation (USLE) yang dikemukakan oleh Wischmeier dan
Smith (1978), yang memungkinkan perencana memprediksi
laju erosi rata-rata lahan tertentu pada suatu kemiringan
dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam jenis tanah
dan penerapan pengelolaan lahan (tindakan konservasi lahan).
Model USLE dikembangkan untuk memprediksi besar erosi
jangka panjang dari erosi lembar (sheet erosion) dan erosi alur
(rill erosion) dibawah kondisi tertentu.
Model empiris dari persamaan USLE (Wischmeier dan
Smith (1978), dituliskan sebagai berikut :

28
Konsepsi Umum

A = R.K.L.S.C.P. 0,61
Dimana :
A = Banyaknya tanah tererosi per satuan luas per satuan
waktu, yang dinyatakan sesuai dengan satuan K dan
periode R yang dipilih, dalam praktek dipakai satuan
ton/ha/tahun.
R = Faktor erosivitas hujan dan aliran permukaan, yaitu
jumlah satuan indeks erosi hujan, yang merupakan
perkalian antara energi hujan total (E) dan intensitas
hujan maksimum 30 menit (I30), tahunan dalam KJ/Ha
K = Faktor erosibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi
hujan (R) untuk suatu tanah yang diperoleh dari petak
percobaan yang panjangnya 22,13 m dengan kemiringan
seragam 9 % tanpa tanaman, satuan ton/KJ
L = Faktor panjang lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi
per indeks erosi dari suatu lahan dengan panjang baku
(m).
S = Faktor kemiringan lereng, yaitu nisbah antara besarnya
erosi per indeks erosi dari suatu lahan dengan lereng
baku, L dan S disatukan menjadi faktor LS.
C = Faktor tanaman penutup lahan dan manajemen tanaman,
yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu lahan
dengan penutup tanaman dan manajemen tanaman ter­
tentu terhadap lahan yang identik tanpa tanaman, tidak
berdimensi.
P = Faktor tindakan konservasi praktis, yaitu nisbah antara
besarnya erosi per indeks erosi dengan tindakan konser­
vasi praktis dengan besarnya erosi dari tanah yang
dioleh searah lereng dalam keadaaan yang identik, tidak
berdimensi.
0,61 = Faktor koreksi (Ruslan, 1992).

1. Faktor erosivitas hujan (R)


Penyebab utama erosi tanah adalah pengaruh pukulan air
hujan (energi kinetik) terhadap tanah. Hujan menyebabkan

29
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

erosi tanah melalui dua jalan, yaitu : a) Pelepasan butiran


tanah oleh pukulan air hujan pada permukaan tanah dan
b) Kontribusi hujan terhadap aliran permukaan yang akan
membawa terangkutnya butir-butir tanah..
Wischmeier dan Smith (1978), menerangkan bahwa
dari hasil analisis besarnya erosi pada tanah tanpa tanaman
berkorelasi tinggi dengan hasil kali dua macam sifat hujan,
yaitu total enargi kinetik (E) dan intensitas maksimum selama
30 menit (I30). Sifat ini diambil sebagai penilaian terhadap nilai
erosivitas hujan (EI30), sedangkan Bols (1978) berdasarkan
penelitiannya di Pulau Jawa dan Madura dengan hasil yang
tidak banyak berbeda dengan yang hasil dikemukakan oleh
Weschmeier dan Smith, sehingga dapat dianggap sebagai
perbaikan untuk daerah tropis dengan mendapatkan persa­
maan sebagai berikut :
Rm = 6,119Pb1,211.N-0,474.Pmax0,526
Dimana :
Rm = Erosivitas cuirah hujan bulanan rata-rata (EI30)
Pb = Curah hujan rata-rata bulanan dalam cm
N = Jumlah hari hujan bulanan
Pmax = Curah hujan harian rata-rata maksimum pada
bulan tertentu dalam cm
R = Σ12m = 1 (Rm)
Dimana R = erositas curah hujan tahunan rata-rata = jumlah Rm
selama 12 bulan.

2. Faktor erodibilitas tanah (K)


Erodibilitas tanah dengan kata lain faktor kepekaan erosi
tanah, yang merupakan daya tahan tanah baik terhadap
pelepasan dan pengangkutan, terutama tergantung pada
sifat-sifat tanah, seperti tekstur, stabilitas agregat, kekuatan
geser, kapasitas infiltrasi, kandungan bahan organik dan
kimiawi. Disamping itu juga tergantung pada posisi topografi,
kemiringan lereng, dan gangguan oleh manusia. Young et al.

30
Konsepsi Umum

(1990) yang dikutip Suripin (2002) menyarankan bahwa untuk


menda-patkan hasil yang memuaskan dalam memprediksi
erosi, khususnya untuk kejadian tunggal maka diperlukan
erodibilitas tanah yang dinamis.
Untuk pendugaannya maka nilai K dapat dilakukan
dengan nomografi yang dikembangkan oleh Wischmeier et.al.
(1971) yang dikutip Suripin (2002) dengan menggunakan
persa­maan :
K = {2,7123 x 10-4 (12 – O)M1,14 + 3,25 (S – 2) + 2,5 ((P – 3)/100)}

Dimana :
K = Faktor erodibilitas tanah, dalam satuan ton/ha/
jam/ (ha.MJ.mm)
OM = Prosentase bahan organik
S = Kelas struktur tanah (berdasarkan USDA Soil
Survey Manual 1951)
P = Kelas Permebilitas tanah
M = (%debu + %pasir sangat halus) x (100 - % liat)
Menurut Dengler dan Swafy (1976) yang dikutip oleh
Utomo (1994), besarnya faktor erodibilitas tanah (K) dapat
diklasifikasikan menjadi 6 (enam) kelas dan struktur tanah
dibagi 4 (empat) kelas, yang rinciannya masing-masing dapat
dilihat pada Tabel II-2 dan Tabel II-3.

Tabel II-2. Klasifikasi Nilai Faktor Erodibilitas tanah (K)

Kelas Nilai K Tingkat Erodibilitas


1 0,00 – 0,10 Sangat Rendah
2 0,11 – 0,20 Rendah
3 0,21 – 0,32 Sedang
4 0,33 – 0,43 Agak Tinggi
5 0,44 – 0,55 Tinggi
6 > 0,56 Sangat Tinggi

Sumber : Dengler dan Swafy (1976) dikutip oleh Utumo (1994).

31
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Tabel II- 3. Nilai Struktur Tanah

Structur Struktur Nilai


Very fine granular Granuler sangat halus 1
Fine granular Granuler halus 2
Medium, coarse granular Granuler kasar 3
Blocky, platy, massive Gumpal, lempeng, pejal 4

Sumber : Dengler dan Swafy (1976) dikutip oleh Utumo (1994)

Selanjutnya permeabilitas dibagi menjadi enam kelas,


yang rinciannya dapat dilihat pada Tabel II-4.

Tabel II-4. Nilai Permeabilitas Tanah dari (USDA 1951)

Kecepatan Cm/
Permeability Class Kelas permeabilitas Nilai
jam
Rapid Cepat > 12,7 1
Moderate to rapid Sedang sampai cepat 6,3 - 12,7 2
Moderate Sedang 2,0 – 6,3 3
Moderate to slow Sedang sampai lambat 0,5 – 2,0 4
Slow Lambat 0,125 – 0,5 5
Very slow Sangat lambat < 0,125 6

Sumber : USDA (1951) yang dikutip oleh Departemen Kehutanan RI


(1998).

3. Faktor panjang dan kemiringan lereng (LS)


Faktor LS, kombinasi antara faktor panjang lereng (L)
dan kemiringan lereng (S) merupakan nisbah besarnya erosi
dari suatu lereng dengan panjang dan kemiringan tertentu
terhadap besarnya erosi dari plot lahan dengan panjang 22
m dan kemiringan 9 %. Nilai LS untuk sembarang panjang
dan kemiringan lereng dapat dihitung dengan persamaan
yang disampaikan oleh Wischmeier and Smith (1978) sebagai
berikut :

32
Konsepsi Umum

LS =(L/22)z (0,006541S2 + 0,0456S + 0,065)


Dimana :
L = Panjang lereng yng diukur dari tempat dimulai
terjadinya aliran air diatas permukaan tanah sampai
tempat mulai terjadinya pengendapan
S = Kemiringan lereng (%)
Z = Konstanta yang besarnya bervaariasi tergantung
besarnya S.z = 0,5, jika S ≥ 5 % ; z = 0,4 Jika 5 % > S ≥ 3 %;
z = 0,2, jika s < 1%.

4. Faktor tanaman penutup dan manajemen tanaman (C)


Menggambarkan nisbah antara besarnya erosi dari lahan
yang bertanaman tertentu dan dengan manajemen (penge­
lolaan) tertentu terhadap besarnya erosi tanah yang tidak
ditanami dan diolah bersih. Nilai C merupakan faktor yang
sangat rumit dan dipengaruhi banyak variabel. Variabel yang
ber-pengaruh dapat dikelompokkan menjadi dua grup yaitu
variabel alami dan variabel yang dipengaruhi oleh sistem
pengelolaan. Variabel alami terutama adalah iklim dan fase
pertumbuhan tanaman. Efektivitas tanaman dalam mencegah
erosi tergantung pada tinggi dan kontinuitas tajuk pohon,
kerapatan penutupan lahan, dan kerapatan perakaran (Suripin,
2002).

5. Faktor konservasi praktis (P)


Nilai faktor tindakan manusia dalam konservasi tanah (P)
adalah nisbah antara besarnya erosi dari lahan dengan suatu
tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi pada
lahan tanpa tindakan konservasi (Suripin, 2002). Sedangkan
Asdak (2010) mendefinisikan nilai faktor usaha konservasi
tanah adalah perban-dingan antara besarnya erosi atau tanah
yang hilang pada lahan dengan tindakan konservasi tertentu,
dengan besarnya erosi tanah pada lahan tanpa tindakan kon­
servasi tanah dan air sama sekali, pada keadaan panjang dan
kemiringan yang sama.

33
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Arsyad (1989), menyatakan bahwa faktor P sangat erat


kaitannya dengan pengelolaan tanaman, serta menurut
pendapat Seta (1991) yang termasuk dalam nilai faktor P
adalah praktek pengendalian erosi seperti contouring (pena­
naman sejajar menurut garis kontur), contour strip cropping
(penanaman dalam jalur kontur), dan pembuatan teras baik
teras guludan, teras bangku atau teras tradisional. Juga
praktek-praktek lain seperti konservasi pengelolaan tanah,
rotasi tanaman, pemupukan, pemulsaan dan kegiatan lain
yang termasuk dalam teknik konservasi tanah dan air.

E. Satuan Lahan sebagai Unit Analisis


Dalam kegiatan pemetaan biasanya digunakan satuan
pemetaan lahan sebagai satuan analisis. Sebagai suatu satuan
analisis, satuan pemetaan lahan memiliki dua atau lebih
karakteristik lahan. Terdapat beberapa definisi tentang satuan
lahan (land mapping unit). FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus
(1995) mendefinisikan satuan lahan sebagai suatu area dari
lahan yang mempunyai kualitas dan karakteristik lahan yang
khas yang dapat ditentukan batasnya pada peta. Rayes (2006)
mendefinisikan satuan peta lahan (land mapping unit) sebagai
daerah yang dipetakan berdasarkan sifat-sifat yang ditentukan
(dispesifikasi) yang dapat didasarkan dari suatu survei
sumberdaya alam seperti survei tanah.
Bentuk lahan (landform) adalah bentuk alami suatu wila­
yah di permukaan bumi sebagai akibat serangkaian proses
pembentukan tertentu dan melalui serangkaian evolusi
tertentu pula (Suharsono, 1988). Proses terbentuknya landform
disebut proses geomorfik, yaitu gaya yang berasal dari internal
(dalam) bumi yang disebut juga gaya endogen/hipogen, gaya
eksternal dari luar permukaan bumi (eksogen/epigen) dan gaya
yang berasal dari luar orbit bumi (ekstra terestrial). Salim, et al.,
(2011) menge-mukakan bahwa lahan merupakan keseluruhan
kemampuan muka daratan beserta segala gejala dibawah
permukaannya yang bersangkut paut dengan pemanfaatannya
bagi manusia.

34
Konsepsi Umum

Bentuk lahan (landform) dikaji dengan menggunakan ilmu


geomorfologi. Ada empat aspek dari bentuk lahan yang dikaji
dalam ilmu geomorfologi, yaitu: morfologi, morfostruktur,
morfokronologi, dan morfoaransemen (Suharsono, 1988).
Pada penelitian ini klasifikasi bentuk lahan merupakan sa­
tuan analisis pemetaan. Dasar klasifikasi bentuk lahan yang
digunakan adalah morfologi, genesis (morfokronologi), litologi
(morfostruktur) dan relief (morfoaransemen), dengan demikian
satu satuan bentuk lahan telah mewakili empat karakteristik
lahan. Dampak perubahan suatu kawasan dapat dibandingkan
dengan perbandingan lahan yang lain sebagai acuan adalah
sebelum keaadaan terjadi perubahan (Soemarwoto, 1997).
Penggunaan satuan bentuk lahan sebagai satuan analisis
atau satuan pemetaan juga didasarkan pada dasar teori
bahwa di bawah kondisi iklim yang relatif sama (karena
wilayah penelitian yang sempit) maka batuan yang berbeda
akan dicerminkan melalui perbedaan morfologi bentuk lahan
(Rahardjo, 2011). Apabila terdapat perbedaan morfologi
maka dapat dipastikan terdapat perbedaan satuan tanah yang
ada di atasnya. Pada suatu wilayah yang bentuk lahannya
berbeda tentu akan berakibat pada perbedaan satuan tanah
yang terbentuk di atasnya. Hal ini dikarenakan perbedaan
bentuk lahan mencerminkan perbedaan sifat-sifat hidro­
logis yang pada akhirnya akan berpengaruh kepada proses
perkembangan profil tanah. Satuan lahan yang digunakan
dalam penelitian ini didasarkan pada bentuk lahan yang
mencer-minkan proses pembentukannya dan memper­ tim­
bangkan faktor kemiringan lereng-nya. Perubahan peng­
gunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan
dari satu sisi penggunaan ke penggunaan lainnya yang diikuti
dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari
suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi
suatu lahan pada waktu yang berbeda (As-syakur, et al., 2008).

35
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

F. Citra Satelit dan Sistem Informasi Geografis


Seiring dengan perkembangan teknologi dalam penge­
lolaan sumberdaya alam, dewasa ini kegiatan pemetaan
sumberdaya alam sudah banyak mengandalkan teknologi
satelit penginderaan jauh. Terutama dalam pemetaan peng­
gunaan lahan dengan teknologi satelit akan banyak diperoleh
keuntungan, diantaranya adalah informasi yang up to date dan
efisiensi dalam hal tenaga, biaya, dan waktu sehingga sangat
membatu dapat mengidentifikasi suatu wilayah (Franklin,
2003).
Penelitian tentang analisis perubahan penggunaan lahan
dapat dibantu dengan menggunakan metode Penginderaan
Jauh (Inderaja) dan Sistem Informasi Geografis (SIG), yaitu
dengan mengidentifikasi peta perubahan penggunaan lahan
dengan proses tumpang susun (overlay) peta penggunaan
lahan dalam periode yang berbeda, yang merupakan hasil
inter­pretasi Citra Landsat Thematic Mapper (TM) (Sukojo dan
Susilowati, 2003).
Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam arti luas dapat
didefinisikan sebagai seperangkat sistem baik berbasis manual
maupun berbasis komputer yang digunakan untuk men­
yimpan dan memanipulasi data yang mempunyai rujukan
kebumian. Dengan berkembangnya teknologi komputer, ba­
tasan Sistem Informasi mengalami penyempurnaan, maka
dalam arti sempit SIG merupakan seperangkat sistem yang
ber­basis komputer untuk menyimpan dan memanipulasi data
yang mempunyai rujukan kebumian untuk tujuan tertentu
(Aronoff, 1989).
Secara garis besar, SIG biasanya dibagi menjadi empat
subsistem yang saling terkait, yaitu masukan (input) data,
pengolahan atau manajemen data, manipulasi dan analisis,
serta keluaran (output) data. Semakin tinggi resolusi citra yang
di analisi maka semakin mendekati fakta sebenarnya yang
dihasilkan (Boyle, et al., 2014).

36
Konsepsi Umum

G. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan pada umumnya digunakan untuk
mengacu pemanfaatan lahan masa kini (present land use), karena
aktivitas manusia bersifat dinamis, sehingga perhatian kajian
seringkali diarahkan pada perubahan-perubahan penggunaan
lahan (baik secara kualitatif maupun kuantitatif) atau segala
sesuatu yang berpengaruh pada lahan, sehingga penggunaan
lahan dalam kenyataannya di lapangan menunjukkan suatu
kompleksitas, akibat dari penggunaan lahan akan memberikan
dampak (impact) yang signifikan terhadap sumberdaya
air (Bhaduri, et al., 2000). Selanjutnya dalam inventarisasi
seringkali dilakukan pengelompokkan dan penggolongan atau
klasifikasi agar dapat diperlakukan sebagai unit-unit yang
seragam untuk suatu tujuan khusus (Balai Pengelolaan DAS
Barito, 2009).
Menurut Kusuma (2007), karakteristik vegetasi dalam
suatu DAS seringkali dapat dikenal dengan jalan membedakan
tipe-tipe penggunaan lahan utama seperti hutan, padang
rumput, lahan pertanian, lahan pemukiman dan kemudian
menghitung persentase luasnya masing-masing tipe dalam
suatu daerah aliran sungai (DAS). Strategi implimentasi kebi­
jakaan untuk pembangunan yang berkelanjutan khu­ susnya
lahan pertanian, selalu ditawarkan guna menjada kelestarian
hasil dan keseimbangan lingkungan (Carr, 2008)
Zhang dan Barten (2009) menyatakan bahwa perubahan
penutupan lahan dengan kegiatan penebangan kayu akan
terjadi perubahan karakteristik aliran headwater seperti
kuantitas dan waktu aliran dasar dan aliran badai, konsentrasi
sedimen dan nutrisi terlarut, suhu air, dan stabilitas saluran
aliran tahun dalam kondisi normal. Penebangan kayu
umumnya berarti kurang transpirasi dan intersepsi kanopi
Evapotranspirasi akan berkurang dan, akibatnya, hasil air
akan meningkat. Perubahan penggunaan lahan menye­ bab­
kan degradasi hutan, hubungan antara perubahan peng­
gunaan lahan dan pertumbuhan pertanian menyebabkan
meningkatnya potensi erosi (Solaimani, et al., 2009).

37
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

H. Sosial Ekonomi
Menurut Departemen Kehutanan RI (1998) berdasarkan
hasil evaluasi, masalah-masalah deforestasi, degradasi, keba­
karan hutan dan tekanan-tekanan terhadap hutan merupakan
tantangan dan ancaman yang timbul akibat dari permasalahan
sosial ekonomi kehutanan dan tradisi masyarakat yang seha­
rusnya dikembangkan dan diakomodasikan dengan tepat
dan terarah dalam kegiatan penngusahaan hutan seperti Hak
Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan Tana­
man (HPHTI) dan pembangunan kehutanan lainnya seperti
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/
Gerhan). Sejumlah parameter sosial ekonomi dicatat untuk
membantu dalam pemilihan upaya konservasi tanah yang
tepat, serta memberi pertimbangan sosial dan ekonomi untuk
kegiatan rehabiltasi hutan dan konservasi tanah dan air.
Masalah aspek sosial ekonomi terdiri atas tekanan pen­
duduk (TP), kegiatan dasar wilayah, tingkat pendapatan
petani, analisa perkembangan penduduk dan kesejahteraan,
nilai dukungan aspek sosial ekonomi (Departemen Kehutanan
RI, 1998). Dalam penelitian ini aspek sosial ekonomi yang
digunakan hanya meliputi tekanan penduduk (TP) dan du­
kungan aspek social ekonomi (DASE) yang meliputi indikator
tingkat ketergantungan penduduk terhadap lahan (baik untu
berusaha tani secara umum dan pemukiman), tingkat adopsi
petani terhadap teknologi baru konservasi dan keberadaan
serta aktifitas kelembagaan yang ada untuk mendukung
pertanian lahan kering (Departemen Kehutanan RI, 2009).
Menurut Soemarwoto (1997) dan Badaruddin (2014)
tekanan penduduk adalah indek untuk menghitung dampak
pen­duduk di lahan pertanian terhadap lahan yang tersedia
dalam suatu daerah aliran sungai untuk pertanian secara luas.
Makin besar jumlah penduduk, makin besar pula kebutuhan
akan sumberdaya alam (SDA), sehingga tekanan penduduk
terhadap sumberdaya alam juga meningkat. Hasil perhi-
tungan tekanan penduduk (TP) tersebut diinterpretasikan
sebagai berikut : apabila TP < 1, lahan masih dapat menam­

38
Konsepsi Umum

pung lebih banyak penduduk petani, sebaliknya TP > 1,


berarti tekanan penduduk melebihi kapasitas lahan untuk
mendukung perkembangan penduduk dalam kebutuhan
sum­berdaya alam di suatu daerah aliran sungai (Departemen
Kehutanan RI , 2009).
Dukungan aspek social ekonomi (DASE) merupakan
indeks yang digunakan untuk mengetahui apakah kegiatan
penggunaan lahan berupa usaha pertanian lahan kering oleh
kelompok tani dalam suatu daerah aliran dapat mendukung
secara kuat/sangat kuat atau kurang kuat terhadap kegiatan
arahan rehabilitasi hutan dan lahan yang dilaksanakan untuk
mengurangi tingkat kekritisan lahan dalam suatu daerah aliran
sungai (Tekstianto, 2010).

39
BAB III
KONDISI DAN KARAKTERISTIK SUB-
SUB DAS AMANDIT

A. Sub Sistem Biofisik


1. Letak dan Luas
Secara administratif pemerintahan, Catchment Area Aman­
dit terletak di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Tapin
dan Banjar Propinsi Kalimantan Selatan. Secara geografis
Catchment Area Amandit sebagai lokasi penelitian terletak
pada 114o58’32,6” hingga 115o36’0,7” Bujur Timur dan
2o36’17” hingga 2o56’17,14” Lintang Selatan. Sedangkan secara
hidrologis termasuk ke dalam wilayah tangkapan air sungai
Sub Sub DAS Amandit, Sub DAS Negara, DAS Barito. Secara
rinci sebaran spasial lokasi kajian ini dapat dilihat pada peta
Gambar III-1.

41
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Gambar III-1. Peta Lokasi Kajian di Sub-Sub DAS Amandit.

Berdasarkan hasil identifikasi karakteristik Daerah Aliran


Sungai Barito Tahun 2005, Sub-Sub DAS Amandit memiliki
luas wilayah 117.920 Ha. Pada Sub-Sub DAS Amandit telah
terpasang SPAS sejak tahun 2005 yang terletak pada Desa
Lum­pangi Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Sela­
tan dengan luasan Daerah Tangkapan Air ± 1.106,911 Ha.
Selain itu pada wilayah ini terdapat plot pengukuran erosi
dengan ukuran panjang 26 m x lebar 4 m (104 m2) untuk me­
wakili areal seluas ± 470,625 Ha yang diletakkan pada vegetasi
alang-alang 484,893 Ha, semak belukar seluas 140,907 Ha,
hutan sekunder seluas 356,688 Ha, kebun karet seluas 69,013
Ha, perladangan 23,812 Ha, pemukiman seluas 11,655 Ha dan
sawah seluas 19,954 Ha.]

2. Iklim
Wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan termasuk dalam
daerah hutan hujan tropika. Data curah hujan 10 tahun terakhir
sejak tahun 2004 – 2013 di Kabupaten Hulu Sungai Selatan,
berdasarkan pengumpulan data dari Stasiun Klimatologi
Banjarbaru (Badan Meteorologi dan Geofisika, 2014), dapat
dilihat pada Tabel III-1.

42
Tabel III-1. Data Curah Hujan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan

Tahun ke Rata-
No. Bulan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (cm)
1 Januari 343 385 326 292 373 391 323 375 344 289 34,4
2 Pebruari 196 175 348 177 248 297 354 371 248 351 27,7
3 Maret 163 164 247 334 205 279 397 371 248 247 26,6
4 April 187 206 262 145 121 211 245 180 256 278 20,9
5 Mei 128 209 140 116 176 193 156 68 167 178 15,3
6 Juni 74 121 123 139 42 152 134 142 165 176 12,7
7 Juli 56 33 105 116 88 119 91 112 124 106 0,95
8 Agustus 34 18 89 104 86 112 6 80 86 73 6,9
9 September 40 48 171 117 54 145 49 83 58 77 8,4
10 Oktober 159 52 131 176 73 321 225 179 164 196 16,8
11 Nopember 194 299 241 245 192 255 293 276 263 251 25,1
12 Desember 267 291 245 268 351 345 297 353 333 332 30,8
Keterangan : CH = Curah Hujan (mm)
Sumber : Stasiun Klimatologi Banjarbaru, Tahun 2014.

43
Kondisi Dan Karakteristik Sub-Sub Das Amandit
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Menurut catatan iklim (hujan) pada Tabel III-1, yang


bersumber dari Stasiun Klimatologi Banjarbaru Kalimantan
Selatan tahun 2014, curah hujan yang tertinggi terjadi pada
bulan Januari sebesar 34,4 cm, sedangkan curah hujan terendah
terjadi pada bulan Agustus sebesar 6,9 cm.
Dasar penggolongan iklim menurut Schmidt dan Fergu­
sson adalah bulan basah yaitu bulan yang curah hujannya
lebih besar daripada 100 mm, bulan kering yaitu bulan yang
curah hujannya kurang dari 60 mm dan antara bulan basah
dan bulan kering disebut bulan lembab yang curah hujannya
60 – 100 mm.
Secara rinci data rata-rata jumlah bulan basah, bulan
lembab dan bulan kering selama 10 tahun (Tahun 2004 s/d
2013), dapat dilihat pada Tabel III-2.

Tabel III-2. Data Jumlah Bulan Basah, Bulan Lembab dan


Bulan Kering Tahun 2004 sampai dengan 2013
No. Bulan Bulan Basah Bulan Lembab Bulan Kering
1. Januari 10 0 0
2. Pebuari 10 0 0
3. Maret 10 0 0
4. April 10 0 0
5. Mei 9 1 0
6. Juni 8 1 1
7. Juli 6 1 3
8. Agustus 2 5 3
9. September 3 2 5
10. Oktober 8 1 1
11. Nopember 10 0 0
12. Desember 10 0 0
Jumlah 96 9 15
Rata-rata 9,6 0,9 1,5

Sumber : Stasiun Klimatologi Banjarbaru, Tahun 2014.

44
Kondisi Dan Karakteristik Sub-Sub Das Amandit

Nilai Q dapat diitung berdasarkanTabel III-2, dengan


menggunakan rumus sebagai berikut :

Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan


Fergusson, daerah tangkapan air Sub-Sub DAS Amandit, Sub
DAS Negara, DAS Barito yang berada di wilayah Kabupaten
Hulu Sungai Selatan dengan nilai Q = 15,63%, termasuk dalam
iklim tipe B (Nilai Q = 15,63% terletak antara kisaran 14,3%
samap dengan lebih kecil 33,3% kategori tipe iklim B).

3. Kondisi Penutupan dan Penggunaan Lahan


Penggunaan lahan adalah pemanfaatan lahan dan penge­
lolaan termasuk didalamnya pola kemampuan peng­gunaan
lahan. Untuk luas penutupan lahan pada wilayah dapat
dilihat dalam Tabel III-3.

Tabel III-3. Luas masing-masing penutupan lahan pada


wilayah Catchment Area Amandit
No. Penutupan lahan Luas (Ha)
1. Danau/Waduk 926,78
2. Hutan Lahan Basah Sekunder 0,25
3. Hutan Lahan Kering Primer 4.368,75
4. Hutan Lahan Kering Sekunder 629,05
5. Hutan Tanaman 1.047,63
6. Lahan Terbuka 100,65
7. Perkebunan 0,06
8. Perkebunan Campuran 9.134,88
9. Permukiman 1.305,66
10. Pertambangan 721,15
11. Pertanian Lahan Kering 6.944,41
Pertanian Lahan Kering
12. 13,49
Campuran Semak

45
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

No. Penutupan lahan Luas (Ha)


13. Rawa 300,57
14. Sawah 22.112,80
15. Semak dan Belukar 37.671,40
16. Semak dan Belukar Rawa 31.392,20
17. Sungai 982,54
18. Tambak 267,82
Sumber : Hasil Pengolahan Data Tutupan Lahan (2014).

Berdasarkan data pada Tabel III-3 diatas, menunjukkan


bahwa penutupan lahan berupa semak dan belukar me­
nempati luasan terbesar yaitu 37.671,40 Ha. Dilihat dari pro­
porsi luas penutupan lahan diatas, sebenarnya luas hutan
lahan kering primer sebesar 4.368, 75 Ha sudah terdegradasi
keberadaannya, karena hanya mencakup sekitar 3,7% dari
seluruh luasan Sub-Sub DAS Amandit. Hal ini menunjukkan
bahwa kondisi vegetatif hutan sudah kurang peranannya
dalam menekan terjadinya kerusakan lahan akibat potensi
erosi dan sedimentasi yang mungkin terjadi.

Gambar III-2. Peta Penutupan Lahan di Sub-Sub DAS Amandit.

46
Kondisi Dan Karakteristik Sub-Sub Das Amandit

Penutupan lahan berupa semak dan belukar mendominasi


tipe penggu-naan/penutupan lahan yang paling luas yaitu
37.671,4 Ha atau 31,94 % dari luas wilayah. Tipe penggunaan/
penutupan lahan perkebunan campuran sebagian besar adalah
kebun karet milik masyarakat dengan jarak tanam bervariasi
seluas 9.134,9 Ha atau 7,74 %. Sawah pada umumnya berada
pada sekitar alur sungai atau anak sungai (guntung) dan
hanya dapat dilaksanakan tanam/panen 1 kali dalam setahun
de­ngan sistem teras sederhana, dengan luasan sebesar 22.112,8
Ha atau 18,75 % dari luas wilayah Sub-Sub DAS Amandit. Se­
lengkapnya kondisi penutupan lahan secara spasial, dapat
dilihat pada Gambar III-2.

4. Keadaan Tanah dan Geologi


Jenis Tanah di wilayah Sub-sub Amandit di dominasi oleh
Org. Glei Humus dan Podsolik Merah Kuning seperti terlihat
pada Tabel III-4.

Tabel III-4. Keadaan Jenis tanah di wilayah Sub-Sub Amandit

No Jenis Tanah Luas (Ha) Prosentase (%)


1 Aluvial 19.790,838 16,78
2 Komp PMK Lat&Lit 19.419,151 16,47
3 Org. Glei Humus 55.063,563 46,70
4 PMK 23.647,712 20,05
Jumlah 117.921,264 100
Sumber : BP-DAS Barito (2009).

Sebaran spasial keempat jenis tanah yang terdapat di Sub-


Sub DAS Amandit Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dapat
dilihat pada Gambar III-3.

47
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Gambar III-3. Peta Jenis Tanah di Sub-Sub DAS Amandit.

Formasi geologi yang tersusun di wilayah Sub-Sub


Amandit secara garis besarnya terdiri dari batuan Aluvial I &
TK. Untuk mengetahui jenis geologi/batuan dan luasnya pada
Sub-sub Amandit dapat dilihat pada Tabel III-5.

Tabel III-5. Keadaan jenis geologi/batuan di wilayah Sub-sub


Amandit

No Jenis Geologi/Batuan Luas (Ha Prosentase (%)


1 Aluvial I & TK 56.163,718 47,76
2 Batuan Berasam 19.269,637 16,34
3 Mosen bawah 3.889,551 3,30
4 Permo Karbon 12.073,436 10,24
5 Pra Tersier 26.371,922 22,36
Jumlah 117.921,264 100

Sumber : BP-DAS Barito (2009).

5. Keadaan Topografi
Keadaan topografi lapangan Sub-sub Amandit sebagian
besar adalah kelerengan datar dengan kelerengan 0 - 8 % seluas

48
Kondisi Dan Karakteristik Sub-Sub Das Amandit

81.532,40 Ha (69,14 %), kemudian diikuti kelerengan curam


dan sangat curam seluas 17.428,20 (14,78%) yang terdapat di
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu. Untuk selengkapnya data
penyebaran kelerengan lapangan di Sub-Sub Amandit tersebut
dapat dilihat pada Tabel III-6.

Tabel III-6. Keadaan Kelerengan di Wilayah Sub-sub DAS


Amandit

Kelerengan Luas
No Deskripsi
Kelas (%) (Ha) (%)
1 Datar I 0-8
81.532,40 69,14
2 Landai II 8 - 15
9.323,31 7,91
3 Agak curam III 15 - 25
9.645,09 8,18
4 Curam & Sangat IV & V 25 - 40 & >40
Curam 17.428,20 14,78
Jumlah 117.929,00 100,00

Dari data pada Tabel III-6, dapat dibuat sebaran spasial


dari berbagai kelerengan di Sub-Sub DAS Amandit Kabupaten
Hulu Sungai Selatan, yang hasilnya disajikan pada Gambar III-
4.

49
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Gambar III-4. Peta Kemiringan Lereng di Sub-Sub DAS Amandit.

6. Keadaan Hidrologi
Keadaan Hidrologi pada Sub-Sub Amandit dipengaruhi
oleh Sungai Amandit dan beberapa anak sungai seperti yang
terlihat pada Tabel III-7.

Tabel III-7. Keadaan anak sungai yang bermuara ke Sungai


Amandit

No Nama Sungai Panjang (Km)


1 Pangkulan 23,029
2 Kandihin 14,424
3 Tariban 12,859
4 Malutu 10,926
5 Menjuara 10,888
6 Lokbahan 10,352
7 Mangkiki 7,240
8 Lainnya 1.015,165
Jumlah 1.203,861

50
Kondisi Dan Karakteristik Sub-Sub Das Amandit

Panjang sungai utama yaitu Sungai Amandit sendiri


adalah 98,974 km serta panjang sungai lainnya yang tidak
teridentifikasi (tak bernama/sungai-sungai kecil) sepanjang
1.015,165 km. Dari anak sungai yang kesemuanya mengalir
atau bermuara ke Sungai Amandit langsung dibawa oleh
Sungai Negara untuk menuju Sungai Barito.
Menurut Marhanah (2009) di Bagian Hulu Sub DAS
Amandit memiliki kualitas air (TDS, DO, BOD, pH, Cu, Pb)
yang relatif sesuai dengan baku mutu air sungai, namun nilai
TSS (Total Suspended Soil) atau tingkat kekeruhan air sungai
masih belum memenuhi baku mutu. Selanjutnya disebutkan
nilai TSS di Sungai Amandit (Batu Laki) sebesar 73,00 mg/l,
TSS di Sungai Amandit di bagian hulu dan tengah pada tahun
2008 berkisar 63 – 81 mg/l, sedang di bagian hilir yang ber­
muara di sungai Negara 112 mg/l. Jika dibandingkan dengan
baku mutu air menurut kelas II untuk TSS yaitu 50 mg/l, yang
berarti data TSS disungai Amandit lebih tinggi dari baku mutu.
Hal tersebut disebabkan oleh lahan kritis yang men­yebabkan
sedimentasi di sungai sehingga sungai menjadi keruh.
Sebagai ilustrasi pada musim kemarau keadaan Sungai
Amandit yang terdapat di Sub-Sub DAS Amandit Kabupaten
Hulu Sungai Selatan, dapat dilihat pada Gambar III-5.

Gambar III-5. Kondisi Sungai Amandit di Kabupaten Hulu Sungai


Selatan.

51
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Marhamah (2009) memperkuat pendapat Wijanarta (2009)


bahwa di Kecamat-an Loksado merupakan kawasan daerah
tangkapan air yang menjadi contoh dimana hutan masih dapat
dipertahankan dari intervensi manusia. Air sungai Amandit
dimanfaatkan untuk keperluan pertanian, perikanan dan
kebutuhan domestik.

7. Bendung Amandit untuk Pengairan (Irigasi)


Lokasi Bendung Amandit terdapat di Desa Malutu,
Kecamatan Padang Batung, Kabupaten Hulu Sungai Selatan
dengan ibukotanya Kandangan. Secara geografis Bendung
Amandit terletak pada koordinat antara 02o29’58’’ - 02o56’10’’
lintang selatan dan 114o51’19’’ – 115o51’19’’ bujur timur.
Luas daerah yang dapat dialiri air mencapai 5472 Ha, yang
terbagi dalam wilayah layanan sebelah kiri dan kanan sungai
Amandit, tersebar di kecamatan Padang Batung, Kandangan,
Sungai Raya, Simpur dan Angkinang.
Bentuk Bendung Amandit yang telah dibangun pada
bulan Mei 2005 yang digunkan untuk pengarian dalam bidang
pertanian, dapat dilihat pada Gambar III-6.

Gambar III-6. Bendung Amandit di Kabupaten Hulu Sungai Selatan untuk


Pengariran Iirigasi).

Tahap pelaksanaan pembanguan daerah irigasi Amandit


terdiri dari : tahap I (saluran primer utama, saluran primer kiri
dan kanan, saluran sekunder hulu dan tengah) pada bulan Mei
52
Kondisi Dan Karakteristik Sub-Sub Das Amandit

2005 – April 2009, tahap II (pembanguan saluran sekunder


Kalaka Gadung dan Lining saluran primer kiri) pada bulan
Mei 2009 - Oktober 2009, tahap III (pembangunan saluran
sekunder Pahampangan, Jambu Hilir dan Kalaka Gadung
lanjutan) pada bulan Mei 2010-Nopember 2010 dan tahap
IV (pembangunan saluran sekunder Sungai Raya, Kaliring
Dalam, Bangunan air penyempurnaan saluran sekunder dan
Pahampangan) pada bulan Maret 2011 – Desember 2011.
Menurut Pemerintah Kabupaten HSS dan Unlam (2013)
sampai saat ini Bendung Amandit sudah dapat mengairi
sawah seluas 2.098 Ha, dan telah dibangun beberapa jaringan
tersier oleh Dinas Pertanian Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Berdasarkan data tersebut, sampai saat ini bangunan irigasi
yang telah selesai dibangun dapat mengairisekitar 38,3%
sawag dari 5.472 Ha yang direncanakan.
Data debit air Sungai Amandit yang terbaru belum ada,
karena alat AWLR tidak berfungsi lagi, namun debit rataan
harian Sungai Amandit setiap bulan yang lama ada tersedia,
yakni selama 10 tahun, mulai tahun 1996 sampai dengan tahun
2005 (Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Unlam,
2013), yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel III-8.

53
54
Tabel III- 8. Debit Rataan Harian Setiap Bulan Air Sungai Amandit di Kabupaten Hulu Sungai
Selatan
Debit Rataan Harian Air Sungai Amandit Tahun ke
No. Bulan 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rataan
………………….. …………... m3/detik …………………….. . . . . . . . . . . .
1 Januari 52,2 31,9 54,4 54,0 49,9 42,0 26,0 35,5 45,1 52,2 44,3
2 Pebruari 52,3 42,5 67,1 43,0 30,6 51,6 29,1 36,1 34,7 52,3 43,9
3 Maret 55,8 41,7 71,8 45,6 22,8 31,6 33,1 38,9 49,1 55,8 44,6
4 April 52,4 22,0 64,2 20,8 35,2 18,1 35,9 43,5 31,6 52,4 37,6
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

5 Mei 23,4 20,4 21,4 13,0 25,3 12,4 39,8 20,5 23,9 23,4 22,4
6 Juni 15,5 10,4 15,3 10,6 17,7 10,6 17,4 18,0 16,0 15,5 14,7
7 Juli 5,8 4,2 7,3 9,2 11,7 5,9 15,7 12,4 6,4 5,8 8,4
8 Agustus 4,7 3,6 9,3 6,8 13,3 4,8 9,2 9,1 5,2 4,7 7,1
9 September 7,2 10,5 23,1 6,3 8,0 3,2 8,4 9,0 17,6 14,5 10,8
10 Oktober 15,4 32,0 45,0 10,9 9,9 5,1 10,2 16,2 19,0 45,5 20,9
11 Nopember 46,4 35,3 65,4 36,0 54,6 15,9 26,7 55,8 43,9 35,5 41,6
12 Desember 44,2 41,0 48,2 50,5 49,8 44,5 47,4 74,2 48,4 50,7 49,9
KRS Bulanan 11,9 11,8 9,8 8,6 6,2 16,1 5,6 8,2 9,4 11,9 10,0
Ket : KRS = Koefisen Regim Sungai (Qmax/Qmin); Q = Debit Rataan Harian (m3/detik)
Kondisi Dan Karakteristik Sub-Sub Das Amandit

Dari data pada Tabel III-8, dapat dibuat hidrograf debit


rataan harian setiap bulan Sungai Amandit di Kabupaten Hulu
Sungai Selatan untuk jangka waktu 10 tahun (tahun 1996-
2005), yang hasilnya disajikan pada Gambar III-7.

Gambar III–7. Debit Rataan Harian setiap Bulan Sungai Amandit di


Kabupaten Hulu Sungai Selatan

Dari data pada Tabel III-8, ternyata nilai KRS (Koefisen


Regim Sungai) Amandit selama 10 tahun (tahun 1996 –
2005) nilainya berkisar antara 5,6 – 11,9. Jika dibandingkan
Peraturan Dirjen RLPS Departemen Kehutanan RI (2009)
bahwa KRS yang nilai nya < 50 baik; 50 - <120 sedang dan >
120 buruk, ternyata nilai KRS Amadit (5,6 – 11,9) termasuk
dalam kriteria baik (<50). Hal ini menunjukkan karakteristik
hidrologi di Sub-Sub DAS Amandit relatif masih baik. Kondisi
ini diduga, karena adanya peranan hutan lahan kering primer
dan sekunder di Sub-Sub DAS Amandit bagian hulu, yang
berfungsi sebagai pelindung dan pengarturan tata air di Sub-
Sub DAS Amandit bagian tengah dan hilir.
Data debit rataan harian Sungai Amandit berhubungan
erat dengan ketersedian air di Bendung Amandit untuk irigasi
pertanian. Dari data Tabel III-8, ternyata debit rataan harian
Sungai Amandit yang relatif besar (41,6 – 49,9 m3/detik)

55
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

terdapat pada bulan Januari, Pebruari, Maret, Nopember dan


Desember), sedangkan debit rataan harian relatif kecil (7,1-10,8
m3/detik) terdapat pada bulan Juli, Agustus dan September.
Debit rataan harian sungai Amandit dapat digunakan untuk
kegiatan irigasi pertanian dengan memperhatikan kapan
debit rataan harian yang cukup besar, supaya dapat mengairi
sawah untuk tanaman padi dan tanaman pangan lainnya.
Dari Gambar III-7. tampak bahwa debit rataan harian Sungai
Amandit cukup besar pada periode bulan Nopember sampai
bulan Mei. Oleh karena itu jadwal tanam sebaiknya dimulai
pada bulan dengan debit rataan harian air sungai Amandit
yang besar, karena kebutuhan air pada masa pengolahan lahan
lebih besar.

B. Sub Sistem Sosial Ekonomi


1. Penduduk
Berdasarkan data Kecamatan Loksado dalam Angka
(2014), Padang Batung dalam Angka (2014), Sungai Raya
dalam Angka (2014) dan Telaga Langsat dalam Angka (2014),
diperoleh informasi bahwa jumlah penduduk Kecamatan
Loksado, Kecamatan Padang Batung, Kecamatan Sungai Raya
dan Kecamatan Telaga Langsat yang termasuk dalam kawasan
DAS Amandit Bagin Hulu dan Bagian Tengah, masing-masing
disajikan pada Tabel III-9.

Tabel III-9. Jumlah penduduk masing-masing kecamatan di


kawasan DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah

Jumlah Penduduk (jiwa)


No. Kecamatan Jumlah (jiwa)
Laki-Laki Perempuan
1 Loksado 4.479 4.450 8.929
2 Padang Batung 10.913 11.684 22.597
3 Sungai Raya 8.935 1.078 10.013
4 Telaga Langsat 5.812 5.758 11.570
Sumber : Kecamatan Loksado, Padang Batung, Sungai Raya dan
Telaga Langsat Dalam Angka, Tahun 2014.

56
Kondisi Dan Karakteristik Sub-Sub Das Amandit

Dari data pada Tabel III-9 diatas, selanjutnya dapat dibuat


grafik jumlah penduduk masing-masing kecamatan di Sub
DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah, yang hasilnya
dapat dilihat pada Gambar III - 8.

Gambar III- 8. Garfik Jumlah Penduduk Masing-masing Kecamatan di


Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah

Jumlah Kepala Keluarga di Kecamatan Loksado dari 11


desa adalah 2.681 KK dengan rata-rata jiwa per km2 26 orang,
pada Kecamatan Padang Batung jumlah KK-nya dari 17 desa
sebanyak 6.338 orang dengan rata-rata jiwa per km2 111 orang,
lalu pada Kecamatan Sungai Raya dari 18 desa terdapat 6.032
orang KK dengan rata-rata jiwa per km2 229 orang, kemudian
pada Kecamatan Telaga Langsat terdapat 3.773 KK dari 11
desa dengan rata-rata jiwa per km2 199 orang.
Penduduk di Kecamatan Loksado terdiri atas penduduk
lokal (suku Dayak Bukit Loksado) sebanyak 56,13 %, suku
Banjar 43,67 %, suku Jawa 0,11 % dan Madura 0,07 %, sedangkan
pada Kecamatan Padang Batung 100 % penduduknya suku
Banjar, lalu pada Kecamatan Sungai Raya terdiri atas suku
Banjar sebanyak 99,49 % dan suku Jawa 0,51 %. Kemudian
pada Kecamatan Telaga Langsat juga terdiri atas suku Banjar
sebanyak 99,03 % dan Jawa 0,97 %. Selengkapnya kondisi suku
pada masing-masing kecamatan di Sub DAS Amandit Bagian
Hulu dan Bagian Tengah disajikan pada Gambar III-9.

57
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Gambar III- 9. Garfik Kondisi Suku Masing-masing Kecamatan di Sub


DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah.

Agama yang dianut oleh penduduk di Kecamatan Lok­


sado terdiri atas agama Islam sebanyak 53,16 % pendu­duk­
nya, Keharingan sebanyak 35,27 % dan Kristen 11,55 %.
Pada Kecamatan Padang Batung dan Telaga Langsat 100 %
penduduknya memeluk agama Islam. Kemudian pada Keca­
matan Sungai Raya yang memeluk agama Islam sebanyak
99,49 % dan Kristen 0,51 %.
Sarana peribadatan yang terdapat di Kecamatan Loksado,
yaitu 10 buah masjid dan 16 buah mushalla, di Kecamatan
Padang Batung terdapat masjid sebanyak 23 buah dan 55 buah
mushalla, di Kecamatan Sungai Raya terdapat 13 buah mesjid,
4 buah mushalla dan 88 buah langgar, kemudian di Kecamatan
Telaga Langsat terdapat 10 buah masjid dan 34 buah musholla.

2. Mata Pencaharian
Pada umumnya mata pencaharian masyarakat di Keca­
matan Loksado, Kecamatan Padang Batung, Kecamatan Sungai
Raya dan Kecamatan Telaga Langsat adalah bertani, yaitu
pertanian karet, berladang, berdagang dan Pegawai Negeri
Sipil. Di bidang pertanian jenis tanaman yang diusahakan di
keempat kecamatan tersebut adalah padi sawah, padi lading,
jagung, kacang tanah, ubi kayu dan sayur-sayuran. Di bidang
perkebunan jenis tanaman yang diusahakan adalah karet,
kelapa dalam, kayu manis, kopi, kakao, kemiri, cengkeh,
lada, aren dan kelapa sawit. Tanaman karet, kelapa dalam,
kopi dan kemiri merupakan tanaman yang ditanam dan

58
Kondisi Dan Karakteristik Sub-Sub Das Amandit

dikembangkan di empat kecamatan tersebut. Tanaman kayu


manis dikembangkan di Kecamatan Loksado dan Kecamatan
Telaga Langsat. Tanaman lada hanya ditemukan di Kecamatan
Loksado. Tanaman rumbia terdapat di Kecamatan Sungai
Raya dan Telaga Langsat. Tanaman kelapa sawit ditemukan
di Kecamatan Padang Batung, Loksado dan Telaga Langsat.
Tanaman cengkeh ditemukan pada dua kecamatan, yaitu
Kecamatan Padang Batung dan Kecamatan Telaga Langsat.
Kemudian tanaman pinag hanya ditemukan di Kecamatan
Sungai Raya.
Kegiatan para pemuda di masing-masing kecamatan di­
wadahi oleh organisasi karang taruna, yang mana pada Keca­
matan Loksado terdapat 16 karang taruna dengan anggotanya
sebanyak 685 orang, lalu pada Kecamatan Padang Batung ter­
dapat 17 karang taruna dengan anggota sebanyak 2.321 orang,
selanjutnya pada Kecamatan Sungai Raya terdapat 15 karang
taruna dengan anggota sebanyak 410 orang.

3. Pendidikan
Berdasarkan data pada Kecamatan Dalam Angka (2014),
pada Kecamatan Loksado, Kecamatan Padang Batung, Keca­
matan Sungai Raya dan Kecamatan Telaga Langsat sudah ada
fasilitas gedung sekolah dari Sekolah Dasar (SD), SLTP hingga
SLTA beserta guru dan fasiltas lainnya. Di Kecamatan Loksado
terdapat 16 buah gedung Sekolah Dasar dengan jumlah murid
1.234 orang, SLTP sebanyak 2 buah dengan jumlah murid
sebanyak 362 orang, dan SLTA 1 buah dengan murid sebanyak
138 orang. Pada Kecamatan Padang Batung terdapat 30 buah
gedung Sekolah Dasar dengan jumlah murid sebanyak 2.070
orang, 3 gedung SLTP dengan jumlah murid 386 orang, 3
gedung MIN dengan jumlah murid 179, MTs 2 buah gedung
dengan jumlah murid 391, dan 1 buah gedung Madrasah
Aliyah dengan jumlah murid 78 orang. Pada Kecamatan
Sungai Raya terdapat 25 buah Sekolah Dasar dengan murid
sejumlah 1.409 orang, SLTP 3 buah dengan jumlah murid
195 orang dan SLTA I buah dengan jumlah murid 58 orang.
Kemudian pada Kecamatan Telaga Langsat terdapat 20 buah
59
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Sekolah Dasat dengan jumlah murid sebanyak 1111 orang,


SLTP 3 buah dengan jumlah murid 183 orang, dan SLTA 1
buah dengan jumlah murid 76 orang.

4. Sarana Kesehatan
Sarana kesehatan yang terdapat pada keempat kecamatan,
yakni Kecamatan Loksado, Kecamatan Padang Batung, Keca­
matan Sungai Raya, dan Kecamatan Telaga Langsat disajikan
pada Tabel III-10.

Tabel III-10. Sarana kesehatan pada masing-masing kecamatan


di kawasan DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah

Jumlah Sarana Kesehatan (buah)


No Kecamatan
PKM PKD PST RBD PYD
1 Loksado 2 9 4 5 15
2 Padang Batung 2 11 8 2 16
3 Sungai Raya 2 12 9 2
4 Telaga Langsat 1 7 25

Sumber : Sumber : Kecamatan Loksado, Padang Batung, Sungai


Raya dan Telaga Langsat Dalam Angka, Tahun 2014.

Keterangan :
PKM = Puskesmas
PKD = Puskesdes
PST = Pustu
RBD = Rumah Bidan
PYD = Posyandu.

60
BAB IV
PENDEKATAN DAN METODE KAJIAN

A. Pola Pendekatan
Seperti yang telah diuraikan terdahulu dalam Bab I.
Pendahuluan pada butir B kerangka perumusan masalah,
bahwa ekosistem Sub-Sub DAS Amandit banyak komponen-
komponen yang saling ketergantungan dan keterkaitan, yang
berpengaruh terhadap fungsi ekosistem daerah aliran sungai
(DAS), maka dalam kajian ini meng-gunakan pendekatan
sistem. Ruslan (1992) mengemukakan tumpuan berpikir dalam
pendekatan sistem pada dasarnya mengandung makna 4 K
(K1 = Komponen-Komponen, K2 = Ketergantungan dari K1,
K3 = Keterkaitan dari K1 dan K4 = Keteraturan dari K2 dan K3
untuk mencapai beberapa tujuan (Goals). Sedangkan menurut
Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Kemenhut
RI (2009) pengertian sistem adalah sekumpulan urutan antar
hubungan dari unsur-unsur yang dialihragamkan (transform),
dalam referensi waktu yang diberikan, dari unsur masukan
yang terukur menjadi unsur keluaran yang terukur.
Dalam kajian yang menggunakan pendekatan sisten, maka
ekosistem Sub-sub DAS Amandit, dipilah menjadi dua sub
sistem, yaitu sub sistem biofisik dan sub sistem sosial ekonomi.
Model yang tergolong dalam sub sistem biofisik, meliputi :
Model Erosi, Model Kelas Bahaya Erosi (KBE), Model Tingkat
Bahaya Erosi (TBE) yang mengkombinaskan antara KBE
dengan Solum Tanah, Model Tingkat Kekritisan Lahan (TKL)

61
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

dan Urutan Prioritas, Model yang tergolong dalam sub sistem


sosial ekonomi meliputi : Model Tekanan Penduduk (TP) dan
Model Dukungan Aspek Sosial Ekonomi (DASE). Output yang
dinginkan hasil dari sintesis/kompilasi dari model-model
yang terdapat pada kedua sub sistem tersebut Pola Arahan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Sub-Sub DAS Amandit
Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Secara detail model-model
tersebut akan diurakan pada butir Analisis Data. Hasil kajian
berupa model Tingkat Bahaya Eerosi dan Tingkat Kekritisan
Lahan (disajikan pada Bab V), Aspek Sosial Ekonomi dan Pola
Arahan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (disajikan pada Bab VI)
dan Pentup (disajikan pada Bab VII).

B. Lokasi dan Waktu Kajian


Kajian ini dilaksanakan di Sub-Sub DAS Amandit
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan.
Dalam pelaksanaanya profil dan luas lokasi kajian dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu Sub-Sub DAS Amandit : Bagian
Hulu seluas 21,667,37 Ha, Bagian Tengah seluas 28.255,44
Ha dan Bagian Hilir seluas 65.519,52 Ha, sebaran spasialnya
dalam peta lokasi kajian dapat dilihat pada Gambar III-1.
Waktu yang diperlukan untuk penelitian ini selama
2 (dua) tahun, dengan rincian : tahap I tahun 2014 selama
8 (delapan) bulan mulai Maret s/d Desember 2014 dan tahap
II selama 5 (lima) bulan mulai Juli s/d Nopember 2015 dari
pengumpulan data, pengolahan data dan penyusunan laporan
akhir penelitian.

C. Obyek, Bahan dan Peralatan Kajian


Objek yang diamati dalam kajian ini adalah beberapa
komponen sub sistem biofisik meliputi tanah, vegetasi
penutup lahan dan curah hujan serta beberapa aspek sub
sistem sosial ekonomi, seperti jumlah penduduk, usaha tani,
umur, pendidikan di kegita bagian Sub-Sub DAS Amandit.
Bahan-bahan yang digunakan dalam kajian ini adalah
sebagai berikut :

62
Pendekatan Dan Metode Kajian

1. Sampel tanah pada lokasi penelitian


2. Kantong plastik untuk menampung sampel tanah
3. Peta-peta yang diperlukan antara lain; a) Peta Rupa Bumi
Indonesia Skala 1 : 250.000, b) Peta Penggunaan Lahan
(RTRWP/RTRWK), c) Peta Jenis Tanah dan Peta Kelas
Kelerengan dan d) Peta Penutupan Lahan.
Sedangkan peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan
penelitian baik yang dilaksanakan di lapangan maupun di
laboratorium terdiri dari :
1. Peralatan Lapangan antara lain : a) GPS Merk Garmin, b)
Clinometer/Abney level, c) Kompas/Sunto, d) Kamera, e)
Bor Tanah dan Ring Sampel, f) Meteran, Linggis, Parang,
Pisau; dan f) Alat-alat tulis dan Tally Sheet.
2. Peralatan Kantor antara lain : a) Seperangkat Komputer,
b) Digitiser dan Plotter, c) Printer; dan d) Program
pengolahan peta/Arc GIS 10.

D. Prosedur Pengumpulan Data


1. Data Biofisik
a. Penyusunan Data Spasial Unit Lahan
Secara garis besar tahapan dalam proses penyusunan data
spasial unit lahan (UL) adalah dengan melakukan tumpang
susun (overlay)antara peta jenis tanah dengan peta kelas lereng.
Kemudian dari peta unit lahan tersebut, dilakukan tumpang
susun lagi dengan peta kawasan hutan (KH) dan peta
penutupan lahan (PL), sehingga didapatkan peta unit lahan
pada Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu, Bagian Tengah dan
Bagian Hilir.

b. Pengumpulan data primer dan data sekunder


1) Data Sekunder
Data penunjang/sekunder yang dibutuhkan dalam
kelancaran pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

63
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

a) Gambaran umum lokasi penelitian yang mencakup: letak


dan luas Sub DAS, Iklim, Tanah, Geologi, dan Geomorfologi,
tingkat kerusakan tanah, hidrologi dan sarana pengairan
dan sebagainya.
b) Data Curah Hujan 10 tahun terakhir dari stasiun yang
memawakili DAS/sub DAS yang bersangkutan, dengan
data yang meliputi tebal hujan (mm), jumlah hari hujan
(hari) dan curah hujan maksimum bulanan (mm) yang
diambil dari stasiun penangkaran hujan dan Badan
Meteorologi dan Geofisika setempat.
c) Peta yang diperlukan antara lain : (1) Citra Lansat dan
Citra Spot atau hasil interpretasi liputan lahannya, (2)
Peta Topografi (RBI, JOG, Jantop) Skala 1:250.000, (3) Peta
Penggunaan Lahan (RTRWP/RTRWK/-TGHK), (4) Peta
Jenis Tanah dan Peta Kelas Lereng dan (5) Peta Penutupan
Vegetasi/Lahan.
d) Peta Peruntukan Kawasan Hutan dan Lahan Meliputi : Peta
TGHK Provinsi Kalimantan Selatan, Peta RTRWP Provinsi
Kalimantan Selatan.
e) Data Penutupan Lahan : dipergunakan data penutupan
lahan hasil interpretasi citra satelit (Citra Lansat) Provinsi
Kalimantan Selatan Tahun 2012 oleh BPKH Wilayah V
Hulu Sungai Selatan.
f) Data Administrasi : meliputi administrasi Pemerintahan
Provinsi Kalimantan Selatan dan Kabupaten Hulu Sungai
Selatan dari BAPPEDA Tahun 2012 dan data administrasi
lainnya berhubungan erat dengan masalah penelitian ini.
g) Data untuk pembuatan peta Kekritisan Lahan meliputi :
Data hujan, Data Tanah, Data Panjang dan Kemiringan
Lereng dan data Pengelolaan Tanaman.

2) Data Primer
Data primer yang dihimpun melalui pengamatan lang­
sung dari lapangan, terdiri dari : a) Vegetasi/Penutupan
Lahan, yang diambil meliputi kelompok penutupan lahan
berupa hutan sekunder, hutan tanaman, perkebunan, semak

64
Pendekatan Dan Metode Kajian

belukar dan ladang dan b) Data beberapa sifat fisik tanah,


meliputi : struktur, tekstur (pasir, debu, liat), kandungan pasir
sangat halus dan permeabilitas serta sifat kimia tanah seperti
kandungan bahan organik.
Tahapan yang dilakukan dalam pengumpulan data
primer untuk observasi penutupan lahan di lapangan dan
pengambilan sampel tanah di tiap unit lahan yang ditentukan
di atas, adalah sebagai berikut :
a) Titik lokasi pengamatan penutupan lahan dan sampel
tanah
Pada setiap peta unit lahan dengan berbagai penutupan
lahan akan ditentukan titik lokasi pengamatan vegetasi penu­
tupan lahan dan pengambilan sampel tanah. Pengamatan
vegetasi penutupan tanah bersamaan dengan pengambilan
sampel tanah.
Pengamatan vegetasi penutupan lahan di lapangan dengan
intensitas sampling 0,1 % (standar evaluasi GN-RHL) dan
pengambilan contoh penutupan dilakukan secara purposive
sampling (contoh berdasarkan keinginan). Luas plot contoh
akan disesuaikan dengan luas masing-masing penutup lahan.
Dalam plot tersebut diamati secara eksploratoris (pengamatan
sepintas) tentang gambaran umum vegetasi penutupan lahan,
seperti jenis pohon/tanaman, tajuk dan serasah.
Pengambilan contoh tanah dilakukan untuk setiap
unit lahan dan tipe penutupan lahan yang ada di areal
penelitian. Pengambilan contoh tanah dilakukan secara pur­
posive sampling, dengan tujuan agar data yang diambil dapat
mewakili karakteristik kondisi lapangan (misalnya lahan
permu­ kaan lahan datar, cekungan, bergelombang dan ber­
bukit) yang diamati dalam penelitian. Pengambilan sampel
tanah menggunakan dua metode, yakni : a) Contoh tanah
tidak terganggu (undisturb soil sample) untuk keperluan analisis
sifat-sifat tanah seperti permeabilitas tanah dan b) Contoh
tanah terganggu (disturb soil sample) untuk keperluan analisis
sifat-sifat fisik tanah lainnya dan kandungan bahan organik.

65
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Sistem pengambilan sampel ditentukan pada pusat lahan atau


di tengah-tengah lahan (Hardjowigeno, 1984).
Pengambilan sampel tanah dilakukan pada kedalaman
tanah (5 – 60 cm). Sampel tanah yang tidak terganggu, diambil
pada tiap unit lahan dan tipe penutupan lahan sebanyak tiga
kali. Alat yang digunakan ring sampel untuk menganalisa
tingkat permeabilitas tanah. Sampel tanah yang terganggu,
yang diambil pada tiap unit lahan dan tipe penutupan dengan
meggunakan bor tanah, cangkul dan alat bantu lainnya.
Sampel tanah yang terganggu diambil sebanyak lima kali dan
digabung menjadi satu (menjadi tanah kompusit). Sampel
tanah yang telah diambil dimasukkan ke dalam kantong
plastik dan diberi nomor sesuai dengan nomor titik sampel
yang diambil pada tiap-tiap unit lahan. Khusus untuk struktur
tanah ditentukan di lapangan yang dalam pengamatannya
dibantu oleh teknisi laboratorium tanah Fakultas Kehutanan
UNLAM.
Secara rinci di lapangan distribusi atau sebaran titik
sampel penelitian pada Sub-Sub DAS Amandit Bagin Hulu,
Bagian Tengah dan Bagian Hilir dapat dilihat pada Gambar
IV-1.

Gambar IV-1. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Biofisik

66
Pendekatan Dan Metode Kajian

b) Analisis Laboratorium sampel tanah


Data sampel tanah yang telah diambil dilapangan, baik
contoh tanah tidak terganggu (undisturbed) maupun contoh
tanah terganggu dibawa ke laboratorium tanah untuk dianalisis
guna mengetahui sifat fisik tanah, seperti tekstur tanah (pasir,
liat dan debu), pasir sangat halus, dan permeabilitas tanah
serta sifat kimia tanah seperti kandungan bahan organik.
Data hasil analisis laboratorium untuk sifat-sifat tanah
dan deskripsi tentang gambaran umum tentang vegetasi
penutupan lahan (baik tipe penutupan maupun persentase
penutupan tajuk pohon) dibuatkan rekapitulasinya dan
dimasukan dalam tabel untuk pengolahan data selanjutnya.

2. Data Sosial Ekonomi


a. Pengumpulan Data Primer
Beberapa jenis data yang perlu dikumpulkan baik melalui
instansi Kehutanan/BP DAS Barito dan instansi terkait lainnya
adalah sebagai berikut :
1) Data Kependudukan dan Mata Pencaharian.
2) Luas dan Keadaaan Pemilikan Lahan.
3) Pola Usaha Tani dan Produksi Pertanian.
4) Keadaan tenaga kerja.
5) Sarana dan sarana perekonomian.
b. Pengumpulan Data Sekunder
Data ini diperoleh melalui observasi dan wawancara
petani responden dengan menggunakan kuesioner. Jumlah
responden ditentukan secara acak berlapis (stratified random
sampling procedure) dengan dasar pergolongan petani yang
terdapat di daerah penelitian.
1) Penentuan Besarnya Responden
Penentuan besarnya responden berdasarkan acak stra­
tifikasi proporsional (Paerl, et.al, 1973 yang dikutip Dephut RL,
1998), dengan menggunakan rumus :

67
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Selanjutnya untuk menghitung jumlah sample yang


diambil untuk masing-masing strata dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :

Kemudian dilanjutkan untuk menghitung jumlah sampel


yang diambil pada strata 2, 3 dst dengan menggunakan rumus:

2) Parameter Analisis
Parameter sosial ekonomi yang diperlukan; Tekanan
Penduduk (Tp) dan Nilai Dukungan Aspek Sosial Ekonomi
(DASE). Kedua parameter tersebut merupakan masukan lang­
sung yang menentukan dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan
dan Lahan.
Data dan informasi yang dikumpulkan baik melalui
wawan­cara atau pengisian kuesioner adalah sebagai berikut :
(1) Identitas penduduk;
(2) Jumlah keluarga per kepala keluarga;
(3) Pendidikan masing-masing anggota keluarga;
(4) Umur masing-masing anggota keluarga;
(5) Pekerjaan/mata pencaharian keluarga;

68
Pendekatan Dan Metode Kajian

(6) Pendapatan keluarga (pendapatan pokok, pendapatan


sampingan).
(7) Pemilikan dan status pemilikan lahan; dan
(8) Hasil usaha tani, Pendapatan Petani dan Pengeluaran.
keluarga.
(9) Tingkat adopsi petani terhadap teknologi konservasi tanah.

E. Analisis Data
1. Data Biofisik
a. Data Penutupan Lahan dan Persentase Penutupan Lahan
Data penutupan lahan pada tahap penentuan tingkat
kekeritisan lahan dianalisis menggunakan Program ArcGIS
10, yakni dengan melakukan visual dari Citra Landsat
8 DCM perekaman tahun 2013, sedangkan pada tahap
arahan penentuan urutan prioritas RHL pada kegita bagian
Sub-Sub DAS Amandit digunakan Citra Spot yang da­ pat
menggambarkan tipe penutupan lahan lebih detail diban­
dingkan citra lansat. Untuk kemudahan analisis, ada beberapa
generalisasi kelas-kelas penutupan lahan, dikarenakan kelas-
kelas penutupan lahan tersebut tidak berbeda jauh penga­
ruhnya terhadap respon penelitian, misalnya besarnya erosi.
Selain penutupan lahan, dalam penentuan tingkat ke­
kritisan lahan diperlukan data persentasi penutupan tajuk
po­hon. Dalam penelitian ini, data persentasi penutupan tajuk
diperoleh dengan cara mentransformasikan Citra Landsat 8
DCM saluran 4 dan saluran 5 menjadi Citra NDVI (Normalized
Difference Vegetation Index). Secara langsung, Citra NDVI
mampu menggambarkan kerapatan tajuk secara kuantitatif.
Menurut Jensen (2000) formula transformasi NDVI pada Citra
Landsat 8 DCM adalah sebagai berikut :

Dimana :
NDVI : Normalized Difference Vegetation Index.
69
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Baik data TBE maupun persentasi kerapatan tajuk diana­


lisis dan diekstrak per satuan (unit) lahan, yang merupakan
hasil tumpang susun antara data kemiringan lereng, jenis
tanah, dan penutupan lahan dan merupakan satuan pemetaan
(mapping unit) dalam penelitian ini. Kemudian satuan la­han
ini ditumpangsusunkan dengan data bagain Sub-Sub DAS
Amandit dan fungsi kawasan yang terdapat di lokasi pene­
litian.

b. Identifikasi Tingkat Kekritisan Lahan


1) Perhitungan Besar Eroasi (A)
Besar dugaan erosi sebagai salah satu dasar untuk
menentukan Tingkat Bahaya Erosi (TBE), dapat dihitung
dengan rumus USLE (Wischmeier dan Smith, 1978), berikut :
A = R.K.L.S.C.P.0,61
Dimana :w
A = Jumlah tanah yang hilang (ton/ha/tahun)
R = Faktor erosivitas hujan tahunan rata-rata (mj.cm/
ha/jam/tahun)
K = Faktor erodibilitas tanah (ton ha.jam/ha/mj.cm)
L = Faktor panjang lereng (m) ; S = Faktor Kemiringan
(%);
C = Faktor Pengelolaan Tanaman; P = Faktor
Konservasi Tanah

2. Erosivitas Hujan (R)


Nilai faktor erosivitas hujan (R) dihitung dengan meng­
gunakan rumus Bols (1978) dan Departemen Kehutanan RI
(1998), yaitu :

70
Pendekatan Dan Metode Kajian

dan,

3) Erodibilitas Tanah (K)


Erodibilitas menunjukan nilai kepekaan suatu jenis tanah
terhadap daya penghancuran dan penghanyutan air hujan
(Kartasapoetra dan Sutedjo, 1985). Besarnya nilai faktor K ini
ditentukan dengan menganalisis sifat fisik tanah yang meliputi
tekstur, struktur, permeabilitas dan kandungan bahan organik.
Hasil dari analisis sifak fisik tanah meliputi tekstur,
struktur, permeabilitas tanah dan kandungan bahan orga­nik
dimasukan dengan angka pendekatan sebagaimana dikemu­
kakan oleh Dephut RI (1998), yaitu seperti pada Tabel IV-1.

Tabel IV-1. Persentase kelas kandungan bahan organik

Kelas Kandungan bahan organik Tingkat erodibilitas


0 <1 Sangat rendah
1 >1–2 Rendah
2 > 2,1 – 3 Sedang
3 > 3,1 – 5 Tinggi
4 >5 Sangat tinggi
Sumber : Departemen Kehutanan RI (1998).

Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir


tanah, hal ini terjadi karena butiran pasir, debu dan liat terikat
satu sama lain oleh satu perekat seperti bahan organik. Dari
hasil analisis tipe struktur tanah dapat ditentukan besarannya
(nilai skor). Klasifikasi penentuan nilai-nilai skor struktur
tanah dapat dilihat pada Tabel IV-2.

71
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Tabel IV- 2. Nilai Struktur Tanah

Structur Struktur Nilai


Very fine granular Granuler sangat halus 1
Fine granular Granuler halus 2
Medium, coarse granular Granuler kasar 3
Blocky, platy, massive Gumpal, lempeng, pejal 4
Sumber : Departemen Kehutanan RI (1998).
Penilaian permeabilitas tanah dilakukan di Laboratorium
melalui sampel tanah yang diambil menggunakan ring sam­
pel agar tanah tidak terganggu di lapangan berdasarkan setiap
unit lahan. Penilaian permeabilitas tanah secara rinci meng­
gunakan kriteria seperti yang disajikan pada Tabel IV-3.

Tabel IV-3. Penilaian permeabilitas tanah

No Tipe permeabilitas cm / Jam Nilai P


1. Cepat > 12,7 1
2. Sedang sampai cepat 6,3 – 12,7 2
3. Sedang 2,0 – 6,3 3
4. Sedang sampai lambat 0,5 -2,0 4
5. Lambat 0,125 – 0,5 5
6. Sangat lambat < 0,125 6

Sumber : Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan


(1998).

Sampel tanah yang diambil di lapangan dianalisis untuk


mengetahui nilai erodibilitas (K). Selanjutnya nilai K diten­
tukan dengan menggunakan persamaan yang dibuat oleh
Wischmeier dan Smith (1978), yaitu :

72
Pendekatan Dan Metode Kajian

K = { 2,173 M1,14(10-4) . (12-a) + 3,25 (b-2) + 2,5 (c-3) } / 100


Keterangan :

K = Erodibilitas tanah , M = % debu + % pasir sangat


halus x (100 - % liat),
a = Kandungan bahan organik (%)
Nilai struktur tanah dan c = Nilai permeabilitas
b =
tanah

4. Panjang Lereng dan Kemiringan (LS)


Pada peta topografi dibuat jari-jari yang berjarak tetap
(1 cm). Untuk menghitung nilai kemiringan lereng (S %)
digunakan persamaan rumus menurut Departemen Kehutanan
RI (2009), yaitu :

Setelah slope ditemukan kemudian dikelompokkan


untuk menentukan kelas kelerengan yang dinyatakan dalam
satuan persen (%). Pada setiap unit lahan diukur jarak datar
(jarak pada peta) dari tempat tertinggi sampai ke tempat yang
terendah sebanyak 10 kali pengukuran kemudian dimasukan
kedalam persamaan menurut Departemen Kehutanan RI
(2009), yaitu :

Nilai faktor panjang lereng (L) dan faktor kemiringan


lereng (S) diintegrasikan menjadi faktor LS dan dihitung

73
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

dengan formula yang dikemukakan oleh Asdak (2010) sebagai


berikut :
S = (0,43 + 0,043 s2)/6,61
LS = L1/2 (0,0138 S2 + 0,00965 S + 0,00138)
Keterangan :
LS : Nilai faktor lereng dan kemiringan, s =
Kemiringan lereng aktual (%)
S : Kemiringan lereng (%)

Jadi nilai indek panjang dan kemiringan lereng adalah


hasil perkalian antara nilai faktor panjang lereng (L) dengan
nilai faktor kemiringan lereng (S).

5) Pengelolaan tanaman (faktor C) dan konservasi tanah


(faktor P)
Nilai faktor pengelolaan tanaman (C) dan faktor kon­
servasi tanah (P) digunakan pendekatan nilai faktor CP dari
hasil beberapa peneliti, seperti penelitian Abdurachman dkk
(1984), Ambar dan Syarifudin (1979) sebagaimana dikutip
oleh Soewarno (1991), Utomo (1994) dan Asdak (1995) masing-
masing disajikan pada Tabel IV-4 dan Tabel IV-5.

Tabel IV-4. Nilai Faktor C pada Berbagai Penutupan

No Jenis Penutup/Penggunan Nilai C


1. Tanah kosong diolah 1,00
2. Tanah kosong tidak diolah 0,95
3. Cahe/jahe 0,90
4. Kedelai kerapatan rendah 0,94
5. Kacang tanah/jagung kerapatan rendah 0,93
6. Alang-alang terbakar 0,89
7. Talas 0,86
8. Alang-alang kerapatan rendah 0,84
9. Ubi kayu/karet, kelapa sawit tanpa cover 0,80

74
Pendekatan Dan Metode Kajian

No Jenis Penutup/Penggunan Nilai C


10. Jagung kerapatan sedang/rumput gajah jarang 0,70
11. Kacang tanah kerapatan rendah 0,69
12. Jagung rapat 0,637
13. Jagung + Tembakau 0,610
14. Kacang buncis/pisang (monokultur)/kapas 0,600
Tembakau rumput gajah + blotong/kacang tanah +
15. 0,57
tunggak
16. Padi lahan kering/padi gogo kerapatan sedang 0,56
17. Serai wangi kerapatan sedang 0,56
Kebun campuran kerapatan rendah/nanas + mulsa
18. 0,5
dibakar
19. kelapa sawit 0,5
20. Kacang tanah gula 0,495
Serai wangi kerapatan sedang/kacang tanah kerapatan
21. 0,47
sedang
22. Padi + jagung/kentang 0,45
23. Serai wangi (rapat) 0,43
24. Padi + kedelai 0,417
25. Kacang kedelai (rapat) 0,39
26. Padi gogo (rapat)/padi + sorqhum 0,34
27. Sorqhum kerapatan sedang 0,33
28. Semak belukar/kebun campuran kerapatan sedang 0,30
29. Nanas + kontur + mulsa dibenam/rumputbarchia th.I 0,30
30. Sorqhum kerapatan tinggi 0,24
31. Tebu/kopi + cover/hutan dengan TPI 0,20
32. Ubi kayu + kacang tanah 0,195
33. Ubi kayu + kedelai 0,18
34. Kacang tanah kerapatan tinggi 0,17
35. Kacang tunggak/kacang tanah kerapatan tinggi 0,16
36. Kacang tanah + jerami 4 ton/ha 0,128
Kebun campuran, kerapatan tinggi/alang-alang
37. 0,10
kerapatan sedang
38. Ladang kerapatan tinggi 0,10
39. Padi + mulsa jerami 4 ton/ha 0,096

75
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

No Jenis Penutup/Penggunan Nilai C


40. Ladang kerapatan sedang 0,2
41. Alang-alang kerapatan tinggi 0,06
42. Sawah tadah hujan 0,05
43. Kacang tanah + jerami 4 ton/ha 0,049
44. Brachiria th. II 0,02
45. Sawah irigasi/semak belukar undisturb 0,01
46. Nanas/mulsa/savana/praere undisturb 0,01
47. Hutan + serasah tipis 0,005
48. Hutan + serasah tebal 0,001
49 Hutan 0,10
50 Belukar 0,25
51 Alang-alang 0,25
52 Belukar dengan rawa 0,17
53 Perkebunan karet dengan pemukiman 0,37
54 Padang rumput dengan ladang 0,25
55 Belukar dengan tanaman lahan kering 0,37
56 Kampung dengan ladang 0,62
57 Belukar dengan perkebunan karet 0,22
58 Alang-alang dengan ladang 0,25
59 Reboisasidengan alang-alang 0,18
60 Ladang dengan tanaman lahan kering 0,37
61 Belukar dengan kampung 0,43
62 Sawah 0,02
63 Sawah beirigasi 0,02
64 Perkebunan karet dengan tanaman lahan keirng 0,30
65 Perkebunan dengan kampung 0,40
66 Pertanian lahan kering 0,60
67 Hutan tanaman 0,15
68 Kampung dengan pertanian lahan kering 0,73
68 Tegalan + ladang 0,48
69 Ladang + belukar 0,25
70 Belukar dengan padi sawah beririgasi 0,17
71 Kebun campuran 0,20

76
Pendekatan Dan Metode Kajian

No Jenis Penutup/Penggunan Nilai C


72 Pertanian lahan kering + alang-alang 0,48
73 Kebun karet 0,15
74 Perkebunan karet dengan belukar 0,18

Sumber : 1. Wischemeir, W.H (1978)


2. Utomo, W.H (1985)
3. Ruslan (1992).
4. Dephut RI (2009)
5. Badaruddin (2014).

Tabel IV-5. Nilai Faktor P Konservasi Tanah

No Jenis Tanah Nilai P


1. Tanpa tindakan konservasi tanah P = 1,0
2. Penanaman menurut kontur S = 0 – 8 % P = 0,50
3. Penanaman menurut kontur S = 9 – 20 % P = 0,75
4. Penanaman menurut kontur S = > 20 % P = 0,90
5. Penggunaan mulsa 6 ton/ha/tahun P = 0,30
6. Penggunaan mulsa 3 ton/ha/tahun P = 0,50
7. Penggunaan mulsa 1 ton/ha/tahun P = 0,80
8. Cover crop kerapatan tinggi P = 0,10
9. Cover crop kerapatan sedang P = 0,50
10. Cover crop kerapatan rendah P = 0,80
11. Tanaman rumput bagus P = 0,04
12. Teras guludan P = 0,14
13. Teras tradisional P = 0,40
14. Teras bangku kualitas tinggi (trs. Bangku – 1) P = 0,04
15. Teras bangku kualitas tinggi (trs. Bangku – 2) P = 0,15
16. Teras bangku kualitas tinggi (trs. Bangku – 3) P = 0,35

Sumber : Dephut RI (2009).

77
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

6) Penentuan Tingkat Bahaya Erosi (TBE)


Perhitungan kelas bahaya erosi dilakukan dengan cara
mengelompokan hasil perhitungan erosi (A) dan memasuk­
kannya kedalam Tabel Kelas Bahaya Erosi (KBE) yang telah
tersedia.
Hasil analisis dari Kelas Bahaya Erosi (KBE) tersebut
dihubungkan kelas solum tanah, sehingga didapat beberapa
kelas Tingkat Bahaya Erosi (TBE), yang rincian Tingkat Bahaya
Erosi (TBE) dapat dilihat pada Tabel IV-6.

Tabel IV-6. Tingkat Bahaya Erosi (TBE)

Kelas bahaya erosi (KBE)


Solum I II III IV V
Tanah Erosi (ton/ha/tahun)
(cm) < 15 15 - < 60 60 - < 180 180 - 480 > 480
Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Dalam (>90) 0 – SR I–R II – S III – B IV – SB
Sedang (> 60 – 90) I–R II – S III – B IV – SB IV – SB
Dangkal (30 – 60) II – S III – B IV – SB IV – SB IV – SB
Sangat dangkal (<
III – B IV – SB IV – SB IV – SB IV – SB
30)
Sumber : Departemen Kehutanan RI (2009).
Keterangan : 0 - SR = sangat ringan; I - R = ringan; II - S =
sedang; III - B = berat dan IV - SB = sangat berat.
c. Penilaian Lahan Kritis
Dalam penelitian ini untuk melakukan analisis tingkat
kekritisan lahan (TKL), maka fungsi kawasan hutan
dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu : Kawasan Hutan
Lindung (KHL) dan Kawasan Budidaya Pertanian (KBP).
Berdasarkan Departemen Kehutanan RI (2009), mensyaratkan
ada beberapa parameter spasial dalam pemodelan spasial
penentuan lahan kritis, parameter-parameter tersebut adalah
penutupan lahan, kemiringan lereng, TBE, produktivitas
lahan dan manajemen. Dalam hal ini, penutupan lahan hanya

78
Pendekatan Dan Metode Kajian

digunakan pada Kawasan Hutan Lindung (KHL), sementara


produktivitas lahan hanya digunakan pada Kawasan Budidaya
Pertanian (KBP).
Dalam penilaiannya pada masing-masing kelas diberi
bobot, besaran serta scoring. Jumlah total skor dikalikan bobot
masing-masing merupakan kelas kekritisan lahan masing-
masing kawasan. Masing-masing fungsi lahan tersebut diten­
tukan kriteria/faktor pendukungnya yang terbagi ke­ dalam
beberapa kelas. Untuk kawasan Hutan Produksi/Budidaya
Pertanian kriteria lahan kritisnya dapat dilihat pada Tabel IV-
7, sedangkan untuk kawasan Hutan Lindung dapat dilihat
pada Tabel IV-8.

Tabel IV-7. Kriteria Lahan Kritis Pada Kawasan Hutan


Produksi/Budidaya Pertanian
Kriteria Besaran/
No. Kelas Skor Keterangan
(% bobot) Diskripsi
1. Produktivitas*) 1. Sgt. Tinggi >80% 5 Dinilai
(30) 2. Tinggi 61-80% 4 berdasarkan
ratio terhadap
3. Sedang 41-60% 3
produksi
4. Rendah 21-40% 2 komuditi
5. Sgt <20% 1 umum
Rendah optimal pada
pengelolaan
tradisional
2. Lereng 1. Datar <8% 5
(20) 2. Landai 8-15% 4
3. Agk. 16-25% 3
Curam 26-40% 2
4. Curam >40% 1
5. Sgt. Curam
3. Erosi (TBE) 1. Ringan 0 dan I 5 Dihitung
(20) 2. Sedang II 4 dengan
menggunakan
3. Berat III 3
rumus USLE
4. Sangat IV 2
Berat

79
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Kriteria Besaran/
No. Kelas Skor Keterangan
(% bobot) Diskripsi
4. Manajemen 1. Baik • Penerapan 5
(30) teknologi
konser-
vasi tanah
lengkap
dan sesuai
petunjuk
teknis
2. Sedang • Tidak 3
lengkap
atau tidak
terpelihara
3. Buruk • Tidak ada 1
Sumber : Departemen Kehutanan RI (2009).

Tabel IV-8. Kriteria Lahan Kritis Pada Kawasan Hutan


Lindung
Kriteria Besaran/
No. Kelas Skor Keterangan
(% bobot) Diskripsi
1 Penutupan Lahan 1. Sgt. >80% 5 Dinilai berdasarkan
(50) Baik 61-80% 4 prosentase penutupan
2. Baik tajuk pohon
41-60% 3
3. Sedang 21-40% 2
4. Buruk <20% 1
5. Sgt.
Buruk
2 Lereng 1. Datar <8% 5
(20) 8-15% 4
2. Landai
16-25% 3
3. Agk.
Curam 26-40% 2
>40% 1
4. Curam

5. Sgt.
Curam

80
Pendekatan Dan Metode Kajian

Kriteria Besaran/
No. Kelas Skor Keterangan
(% bobot) Diskripsi
3 Erosi (TBE) 1. Ringan 0 dan I 5 Dihitung dengan
(20) 2. Sedang II 4 menggunakan rumus
USLE
3. Berat III 3
4. Sangat IV 2
Berat
4 Manajemen 1. Baik • Lengkap *) 5 *) Tata batas kawasan
(10) 2. Sedang • Tidak ada, Pengamanan
lengkap pengawasan ada
3 dan Penyuluhan
3. Buruk • Tidak ada dilaksa-nakan
1

Sumber : Departemen Kehutanan RI (2009).

Analisis Tingkat Kekritisan Lahan (TKL) pada Kawasan


Budidaya Pertanian (Tabel IV-7) dilakukan melalui overlay
peta-peta Produktivitas, Kelas lereng, Erosi, Manajemen
(dengan bobot 30%, 20%, 20% dan 30%). Analisis TKL pada
Kawasan Hutan lindung (Tabel IV-8) dilakukan melalui
overlay peta-peta Penutupan Lahan, Kelas Lereng, Erosi dan
Manajemen (bobot 50%, 20%, 20%, 10%).
Kelas peta produktivitas terdiri dari : sangat tinggi, tinggi,
sedang, rendah dan sangat rendah (skor 5, 4, 3, 2, 1). Kelas
peta penutupan lahan terdiri dari sangat baik, baik, sedang,
buruk dan sangat buruk (skor 5, 4, 3, 2, 1). Kelas peta lereng
terdiri dari datar, landai, agak curam, curam dan sangat curam
(skor 5, 4, 3, 2, 1). Kelas peta erosi terdiri dari ringan, sedang,
berat dan sangat berat (skor 5, 4, 3, 2). Kelas peta manajemen
terdiri dari baik, sedang dan buruk (skor 5, 3, 1).
Prosedur penentuan TKL (Kementerian Kehutanan RI,
2013), untuk Kawasan Budidaya Pertanian dan Kawasan
Hutan Lindung di Sub-Sub DAS Amandit, dapat dilihat pada
Gambar IV-2.

81
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Ket :*)Produktuvitas Lahan dan Bobot untuk Kawsan Budidaya Pertanian


**)Liputan Lahan dan Bobot untuk Kawsan Hutan Lindung.

Gambar IV- 2. Diagram Analisis Tingkat Kekritisan Lahan (TKL).

2. Data Sosial Ekonomi


Metode analisa yang digunakan adalah dengan pende­
katan statistik deskriptif, yakni menggunakan analisis seperti
tabulasi dan rumus-rumus empiris yang pernah dikembangkan
oleh para ahli sosial ekonomi sebelumnya.
a. Tekanan penduduk
Indeks tekanan penduduk (TP) ini dimaksudkan untuk
menganalisis eksternalitas (dampak) penduduk di lahan
pertanian Semakin besar jumlah penduduk semakin besar
tekanan terhadap sumber daya, sehingga tekanan terhadap
sumberdaya juga meningkat. Dengan kualitas penduduk
yang rendah, kenaikan tekanan terhadap sumberdaya akan
meningkat sebanding dengan kenaikan jumlah penduduk.
Salah satu permasalahan kependudukan adalah ledakan
penduduk yang akan dapat berakibat timbulnya permasalahn

82
Pendekatan Dan Metode Kajian

pemukiman, lapangan kerja, pendidikan, pangan, gizi,


kesehatan dan mutu lingkungan.
Menurut Otto Soemarwoto (1984) dan Departemen Kehu­
tanan RI (2009) formula yang digunakan untuk meng­analisis
tekanan penduduk (TP) di suatu wilayah termasuk dalam
suatu daerah aliran sungai (DAS) adalah sebagai berikut :

Keterangan :
TP = Indeks tekanan penduduk,
Z = Luas lahan minimal petani untuk dapat hidup layak
f = Proporsi petani dalam populasi
Po = Jumlah penduduk pada waktu t = 0
r = Tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata pertahun
T = Rentang waktu dalam tahun (5)
L = Total luas wilayah lahan pertanian.
Hasil perhitungan TP tersebut diinterpretasikan sebagai
berikut :
1) Jika TP < 1, maka lahan masih dapat menampung lebih
banyak penduduik petani,
2) Jika TP >1, maka tekanan penduduk melebihi kapasitas
lahan.

b. Nilai Dukungan Aspek Sosial Ekonomi


Penentuan aspek sosial ekonomi perlu diperhitungkan
karena dapat digunakan menjadi alat untuk menduga seberapa
kuat dukungan faktor-faktor sosial ekonomi terhadap upaya
rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dilapangan. Semakin besar
dukungan tersebut, maka semakin besar pula peluang untuk
keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut.
Menurut Ditjen RRL Departemn Kehutanan (2009) ber­
da­sarkan pendekatan deterministik dengan peluang yang
besar, maka terdapat tiga aspek social ekonomi yang penting
83
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

keterkaitaanya dengan rehabilitasi hutan dan lahan di suatu


wilayah, khususnya di wilayah hamparan usaha tani. Ketiga
aspek social ekonomi tersebut adalah : (a) Tingkat keter­
gantungan penduduk/petani terhadap sumberdaya lahan
lahan (pertanian), (b) Tingkat adopsi/respon petani terhadap
teknologi baru usahan tani konservasi dan (c) Keradaan dan
aktivitas kelembagaan yang ada untuk mendukung pertanian
konservasi lahan kering.
Komponen sosial ekonomi dan nilai pembobotan yang
digunakan dalam mengevaluasi 3 macam aspek sosial ekonomi
yang penting keterkaitannya dengan kegiatan RHL dapat
dilihat pada Tabel IV-9 (Departemen Kehutanan RI, 2009).

Tabel IV-9. Komponen Sosial Ekonomi dan Pembobotan

(%
No Komponen/Aspek Parameter/Indikator (%Bobot)
Bobot)
I Tingkat 1. Luas pemilikan 20
ketergantungan lahan
penduduk / petani 2. Status pemilikan
50 10
terhadap lahan lahan
(pertanian)
3. Diversifikasi mata
8
pencaharian
4. Distribusi/alokasi
waktu kerja 7
5. Tradisi Kebiasaan
khusus 5
6. Tradisi kebiasaan
khusus 5
II Tingkat adopsi 1. Teknik Vcgetasi 18
petani terhadap 30 2. Teknik Mekanik / 12
teknologi Sipil
baru yang
diperkenalkan
III Keberadaan 1. Bentuk dan fungsi 8
dan aktifitas 20 2. Aktifitas 12
kelembagaan yang
ada

84
Pendekatan Dan Metode Kajian

Dari hasil analisis menggunakan data pada Tabel IV-


9, dapat diketahui besar kecilnya dukungan aspek sosial
ekonomi. Secara rinci penentuan peringkat dukungan aspek
sosial ekonomi sebagaimana Tabel IV-10 (Departemen Kehu­
tanan RI, 2009).

Tabel IV-10. Peringkat Dukungan Aspek Sosial Ekonomi

Peringkat Total Nilai Dukungan Arti Dukungan


I 40 – 50 Sangat Kuat
II 30-40 Kuat
III 20-30 Sedang
VI 10-20 Kurang
V <10 Sangat Kurang

3. Urutan Prioritas dan Pola Arahan RHL


Penentuan ururan prioritas (UP) rehabilitasi hutan dan
lahan (RHL) ditentukan berdasarkan klsifikasi TKL. Urutan
prioritas RHL adalah sebagai berikut : UP I = TKL Sangat Kritis
(SK), UP II = TKL Kritis (SK), UP III = TKL Agak Kritis (AK),
UP IV = tingkat kekritisan lahan Potensial Kritis (PK) dan UP
V = TKL Tidak Kritis (TK).
Bentuk arahan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) diten­
tukan berdasarkan sintesa/kompilasi dari Urutan Prioritas,
Bagian Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian
Tengah, Kawasan Hutan (Hutan Lindung, Hutan Produksi,
Hutan Suaka Alam Gunung Kentawan, Areal Penggunaan
Lain), Penutupan Lahan, Lereng, Tekanan Penduduk (TP) dan
Dukungan Aspek Sosial Ekonomi (DASE). Teknologi reha­
bilitasi hutan dan lahan yang digunakan merupakan kom­
binasi antara pendekatan vegetative, agronomis dan sipil
teknis bangunan konservasi tanah dan air (KTA).
Secara skematis kerangka pemikiran dalam metode Ka­
jian Kekritisan Lahan untuk Penentuan Urutan Prioritas

85
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Sub-Sub DAS Amandit Kabu­


paten Hulu Sungai Selatan, dapat dilihat seperti pada Gambar
IV-3.

Gambar IV-3. Kerangka Pikir Metode Penelitian Kajian Tingkat Kekritisan


Lahan dan Aspek Sosial Ekonomi Sebagai Arahan Penentuan Urutan
Prioritas Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Di Sub-Sub DAS Amandit
Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

86
BAB V
TINGKAT KEKRITISAN LAHAN

A. Unit Lahan
Dalam kegiatan pemetaan biasanya digunakan satuan
pemetaan lahan sebagai satuan analisis. Satuan pemetaan
lahan memiliki dua atau lebih karakteristik lahan. Dari data
biofisik yang didapatkan di lapangan dianalisis dengan pen­
dekatan program ArcGIS 10 dengan menggunakan Citra
Landsat 8 LDCM Path/Row : 117/062 Tahun 2013 didapatkan
besaran dari parameter kawasan hutan (K), lereng (L), jenis
tanah (T) dan penutup lahan (P), dapat dilihat pada Tabel V-1.

Tabel V-1. Klasifikasi dan Kode dari Kawasan Hutan, Lereng,


Jenis Tanah dan Penutup Lahan di Sub-Sub DAS Amandit

No. Parameter-Parameter Kode Luas (Ha) Jumlah (Ha)


1. Kawasan Hutan      
Suaka Alam Gunung
  A K1 240,30
Kentawan
Kawasan Lindung Danau
  B K2 42,80
Bangkau 117.20,00
  C Hutan Lindung K3 23.590,50
  D Hutan Produksi K4 12.345,60
  E Area Penggunaan Lain K5 81.700,80

87
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

2 Kelerengan    
  A 0 - 8% L1 81.523,40
  B 8 - 15% L2 9.323,31
117.920,00
  C 15 - 25% L3 9.645,09
  D 25 - 40% L4 17.428,20
3 Jenis Tanah    
  A Aluvial T1 20.081,10
  B Organosol Glei Humus T2 53.286,30 117.920,00
  C Podsolik Merah Kuning T3 44.552,60
4. Penutupan Lahan    
  A Danau/Waduk P0 926,70
  B Rawa P0 300,56
  C Sungai P0 982,54
  D Tambak P0 267,82
  E Hutan P1 4.998,05
  F Hutan Tanaman P2 1.047,63
117.920,00
  G Perkebunan Campuran P3 9.134,94
  H Semak Belukar P4 69.063,60
  I Pertanian Lahan Kering P5 6.957,90
  J Sawah P6 22.112,80
  K Permukiman P7 1.305,66
  L Lahan Terbuka P8 821,80

Sumber : Data Primer Diolah, Tahun 2015.

Berdasarkan peta lereng (L), jenis tanah (T) dan penutup


lahan (P) masing-masing pada Lampiran 3, 4 dan 5, yang
ditumpang susun (over lay) pada Sub-Sub DAS Amandit Bagian
Hulu, Tengah dan Hilir, hasilnya, didapatkan 45 buah unit
(satuan) lahan (UL) dan ini menjadi dasar jumlah pengambilan
sampel tanah. Setelah data UL ini ditumpangsusunkan dengan
peta kawasan hutan (K), jumlahnya menjadi 69 UL dengan
kode KaLbTcPd (a = 1, 2, ..5; b = 1, 2,..4; c = 1, 2, 3; d = 1, 2, 3...8)
dan peta distribusinya, dapat dilihat pada Gambar VI – 1.

88
Tingkat Kekritisan Lahan

Gambar V-1. Peta Satuan Lahan di Sub_Sub DAS Amandit.

Evaluasi Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dan Tingkat Ke­


kritisan Lahan (TKL) digunakan program ArcGIS 10 dengan
menggunakan Citra Landsat 8 LDCM Path/Row : 117/062
Tahun 2013 dilakukan pada setiap satuan lahan, yang jumlah­
nya berubah, karena adanya pembagian Sub-Sub DAS
Amandit menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu : Bagian Hulu, Bagian
Tengah dan Bagian Hilir. Jumlah unit lahan (UL) pada tahap
analisis TBE menjadi 149 buah. Pada tahap analisis TKL dikem­
pokkan menjadi Kawasan Budidaya dan Kawasan Lindung,
maka jumlah unit lahan masing-masing 96 buah dan 47 buah.
Pada tahap penentuan Urutan Prioritas (UP) dan Bentuk
Arahan RHL, menggunakan program ArcGIS 10 dengan
Citra Spot, sehingga jumlah penutup lahannya bertambah
banyak, karena Citra Spot memberikan gambaran penutup
lahan yang lebih detail dibadingkan Citra Landsat, misalnya
penutup lahan berupa Perkebunan Campuran (KC) beruhah

89
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

menjadi Kebun Karet, Kebun Sawit dan Kebun Campuran.


Jumlah satuan lahan di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu
dan Bagian Tengah, analisis UP dan Bentuk Arahan RHL
berubah masing–masing 259 buah. Pada analisis itu Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hilir tidak dimasukkan, karena sebagian
besar kondisi topografinya berupa dataran rendah dan rawa.

B. Pendugaan Tingkat Bahaya Erosi (TBE)


Dari data curah hujan bulanan sepuluh tahun terakhir
(2004 – 2013) di Sub-Sub DAS Amandit, meliputi jumlah
curah hujan, hari hujan dan hujan maksimum harian diolah
dengan menggunakan rumus Bols (1978) untuk menghitung
erosivitas hujan (faktor R). Data sifat fisik tanah hasil analisa
laboratorium tanah dan lereng diolah dengan menggunakan
persamaan matematik seperti yang telah diuraikan dalam
Bab IV, dengan bantuan Komputer Program Excel 2013.
Hasil analisis data tersebut, didapatkan nilai-nilai berupa,
erodibilitas tanah (K) dan faktor lereng (LS). Erosi aktual (A)
ditentukan dengan jalan memasukkan semua hasil analisis
parameter (R, K, LS, C, P dan Faktor Koreksi = 0,61) ke
persamaan model “USLE”. Kedalaman solum  tanah di Sub-
Sub DAS Amandit  pada berbagai unit lahan, penutupan lahan
dan kawasan hutan bervariasi dari dalam (> 90 cm), sedang
(60-90 cm), dangkal (30-60 cm) sampai dengan sangat dangkal
(<30 cm). Dari data erosi aktual (A) dapat dikelompokkan ke
Kelas Bahaya Erosi (KBE) yang terdiri kelas I, II, III, IV dan
V (Departemen Kehutanan RI, 1998). Data kedalaman solum
tanah dikombinasikan dengan KBE untuk setiap unit lahan
pada berbagai kawasan hutan, diolah dengan sistem tabulasi,
yang hasilnya berupa Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di Sub-Sub
DAS Amandit, yang secara rinci dapat dilihat pada Lampiran
1.

1. TBE pada Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu


Berdasarkan data pada Lampiran 1, dapat dibuat reka­
pitulasi TBE pada kawasan hutan (KH) berupa : Areal
Penggunaan Lainnya (APL), Hutan Lindung (HL), Hutan

90
Tingkat Kekritisan Lahan

Pro­duksi (HP), Suaka Alam Gunung Kentawan (SAGK) dan


Kawasan Lindung Danau Bangkau (KLDB) dan berbagai
penu­tupan lahan (PL) di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu,
yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel V-2.

Tabel V-2. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di Sub-Sub DAS


Amandit Bagian Hulu

Keterangan : Penutupan (PL) : HT (Hutan); SB (Semak Belukar);


PLK (Pertanian Lahan Kering) ; TBE : 0-SR (Sangat Ringan); I-R
(Ringan); II-S (Sedang); III-B (Berat); IV-SB (Sangat Berat).

91
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Dari  data pada Tabel V-2, dianalisis kembali untuk men­


dapatkan jumlah persentase Tingkat Bahaya Erosi pada
seluruh unit lahan, penutup lahan dan kawasan hutan di Sub-
Sub DAS Amandit Bagian Hulu. Hasil analisis tersebut, diper­
oleh tentang hubungan secara deskriptif antara sebaran kelas
Tingkat Bahaya Erosi (TBE) : kelas (0-SR, Sangat Ringan), (I-R,
Ringan), (II–S, Sedang), (III-B, Berat) dan (IV-S, Bangat Berat)
dengan luasnya pada seluruh unit lahan dan penutup lahan
kawasan hutan. Hasil dari analisis persentase kelas tingkat
bahaya erosi tersebut secara rinci, disajikan pada Tabel V-3.

Tabel V-3. Persentasi TBE di Sub-Sub DAS Amandit Bagian


Hulu

No. Kelas TBE Luas (ha) Persentase


1 ( 0-SR, Sangat Ringan) 90,75 0,42
2 (I-R, Ringan) 5.261,67 24,28
3 (II – S, Sedang) 2.704,18 12,48
4 (III-B, Berat) 5.527,61 25,51
5 (IV-SB, Sangat Berat) 8.083,16 37,31
Jumlah 21.667,37 100,00

Dari data pada Tabel V-3, dapat dibuatkan grafik (diagram


pie) hubungan antara kelas TBE dengan luas (persentase) di
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu, yang hasilnya disajikan
pada Gambar V-2.

92
Tingkat Kekritisan Lahan

Gambar V-2. Diagram Pie Tingkat Bahaya Erosi di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu.

Pada Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu, dari Tabel V-2,


luas kawasan hutan yang terbesar adalah Hutan Lindung
16.587,42 Ha (14,37%, persentasi terhadap luas total Sub-Sub
DAS Amandit), kemudian diikuti Areal Penggunaan Lain
3.435,68 Ha (2,98%) , Hutan Produksi 1.589,83 Ha (1,38%)
dan Suaka Alam Gunung Kentawan 54,44 Ha (0,05%). Pada
kawasan hutan Suaka Alam Gunung Kentawan penutup
lahannya hanya Semak Belukar seluas 54,44 Ha (0,25%,
persentase terhadap luas Sub-Sub DAS Amandit Bagian
Hulu).Penutup lahan pada Hutan Lindung terdiri dari Semak
Belukar 11.454,10 Ha (32,86%), Pertanian Lahan Kering 132,52
Ha (0,62%) dan Hutan 4.997,80 (23,06%). Pada Hutan Produksi
hanya terdapat satu penutup lahan, yakni Semak Belukar
1.589,83 Ha (7,34%). Sedangkan pada Areal Penggunaan
Lainnya terdiri dari Semak Belukar 3.121,84 Ha (14,41%) dan
Pertanian Lahan Kering 313,84 Ha (1,45%). Secara keseluruhan
di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu, tipe penutup lahannya
didominasi oleh Semak Belukar seluas 16.220,21 Ha (74,86%),
kemudian diikuti Pertanian Lahan Kering 449,36 Ha (2,07%)
dan Hutan 4.997,80 Ha (23,07%).
Dari data pada Tabel V-2 dan V-3, Gambar V-2, TBE di
Sub-Sub DAS Bagian Hulu, sangat bervariasi dari TBE Sangat

93
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Ringan (SR), Ringan (R), Sedang (S), Berat (B) dan Sangat Berat
(SB). TBE yang terbesar adalah TBE Sangat Berat (SB) seluas
8.083 Ha (37,31%), kemudian diikuti TBE Berat (B) 5.527,61
Ha (25,51%), sedangkan yang lainnya termasuk yang kecil.
Keadaan tersebut, menunjukkan di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu yang penutup lahannya dominan Semak Belukar
16.220,21 Ha (74,86%) dan topografinya relatif agak curam
(15%-25%) dan curam (25%-40%), akan menyebabkan aliran
permukaan (run off) dan erosi yang tinggi, sehingga nilai TBE
yang akan terjadi juga tinggi..
Hal ini sesuai dengan pendapat Badaruddin (2014),
yang menyatakan apabila kondisi lahan didominasi oleh
tutu­
pan lahan semak belukar dan tingkat kelerengan yang
tinggi menghasilkan nilai prediksi erosi ringgi. Begitu juga
sebaliknya, jika tutupan lahannnya hutan sekunder dan
perkebunan dengan nilai kelerengan yang kurang lereng
meng­ hasilkan nilai prediksi erosi yang rendah. Menurut
Kadir (2014) faktor panjang lereng dan kelerengan (LS) juga
sangat mempengaruhi besarnya tingkat bahaya erosi, dan
selanjutnya dikemukakan bahwa pada unit lahan yang tingkat
lereng dan panjang lereng lebih besar, maka tingkat bahaya
erosi yang akan terjadi juga akan lebih besar. Disamping itu,
menurut pendapat  Ruslan  (1992) dalam penelitiannya di DAS
Riam  Kanan Kabupaten Banjar, bahwa di Sub DAS/DAS
yang komposisi penggunaan  lahannya (PL) dominan  alang-
alang dan semak belukar, maka tingkat bahaya erosi (TBE)
yang akan terjadi terdiri dari Sedang (S) , Berat (B) dan Sangat
Berat (SB).

2. TBE pada Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah


Berdasarkan data pada Lampiran 1, dapat dibuat reka­
pitulasi tingkat bahaya erosi (TBE) pada berbagai kawasan
hutan (KH) berupa : Areal Penggunaan Lainnya (APL), Hutan
Lindung (HL), Hutan Produksi (HP), Suaka Alam Gunung
Kentawan (SAGK) dan Kawasan Lindung Danau Bangkau

94
Tingkat Kekritisan Lahan

(KLDB) dan berbagai penutupan lahan (PL) di Sub-Sub DAS


Amandit Bagian Tengah, yang hasilnya secara rinci dapat
dilihat pada Tabel V-4.

Tabel V-4. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di Sub-Sub DAS


Amandit Bagian Tengah

95
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Keterangan : Penutupan (PL) : HTN (Hutan Tanaman); KC (Kebunan


Campuran); SWH (Sawah); SB (Semak Belukar); PLK (Pertanian
Lahan Kering); LT ( Lahan Terbuka); TBE : 0-SR (Sangat Ringan); I -
R (Ringan); II-S (Sedang); III-B (Berat); IV-SB (Sangat Berat).

Dari  data pada Tabel V-4, dianalisis kembali untuk men­


da­patkan jumlah persentase TBE pada seluruh unit lahan,
penutup lahan dan kawasan hutan di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu. Hasil analisis tersebut, diperoleh tentang
hubungan secara deskriptif antara sebaran kelas TBE : kelas (0-
96
Tingkat Kekritisan Lahan

SR, Sangat Ringan), (I-R, Ringan), (II–S, Sedang), (III-B, Berat)


dan (IV-SB, Sangat Berat) dengan luasnya pada seluruh unit
lahan, penutup lahan kawasan hutan, baik dalam satuan hektar
(Ha) maupun persentase (%). Hasil dari analisis persentasi
kelas tingkat bahaya erosi tersebut, secara rinci, disajikan pada
Tabel V-5.

Tabel V-5. Persentasi TBE di Sub-Sub DAS Amandit Bagian


Tengah

No. Kelas TBE Luas (Ha) Persentase


1 ( 0-SR, Sangat Ringan) 1.577,02 5,58
2 (I-R, Ringan) 6.343,87 22,45
3 (II – S, Sedang) 3.921,51 13,88
4 (III-B, Berat) 4.296,51 15,21
5 (IV-SB, Sangat Berat) 12.116,53 42,88
Jumlah 28.255,44 100,00
Dari data pada Tabel V-5, dapat dibuatkan grafik (diagram
pien) hubungan antara beberapa kelas Tingkat Bahaya Erosi
(TBE) dengan luas (persentase), yang hasilnya dapat dilihat
pada Gambar V-3.

Gambar V-3. Diagram Pie Tingkat Bahaya Erosi di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Tengah.

97
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Pada Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah, dari Tabel


V-4, luas kawasan hutan yang terbesar adalah Areal Peng­
gunaan Lain 10.675,13 Ha (9,25%, persentasi terhadap luas
total Sub-Sub DAS Amandit), kemudian diikuti Hutan
Produksi 10.614,01 Ha (9,19%) , Hutan Lindung 6.782,70
Ha (5,88%) dan Suaka Alam Gunung Kentawan 183,60 Ha
(0,16%). Pada kawasan hutan Suaka Alam Gunung Kentawan
penutup lahannya hanya Semak Belukar seluas 183,60 Ha
(0,65%, persentasi terhadap luas Sub-Sub DAS Amandit Bagian
Tengah). Penutup lahan pada Hutan Lindung terdiri dari
Semak Belukar 4.895,00 Ha (17,32%), Pertanian Lahan Kering
1.246,13 Ha (4,41%), Kebun Campuran 314,88 Ha (1,11%),
Hutan Tanaman 227,39 Ha (0,80%). Pada Hutan Produksi
hanya terdapat 3 (tiga) penutup lahan terbesar, yaitu Semak
Be­lukar 5.327,88 Ha (18,85%), Kebun Campuran 3.031,45 Ha
(10,72%) dan Pertanian Lahan Kering 1.193,53 Ha (4,22%).
Sedangkan pada Areal Penggunaan Lainnya juga terdapat 3
(tiga) penutup lahan terbesar, yaitu Semak Belukar 6.299,31
Ha (22,29%), Pertanian Lahan Kering 2.669,54 Ha (9,45%) dan
Kebun Campuran 1.161,46 Ha (4,11%). Secara keseluruhan di
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah, tipe penutup lahannya
didominasi oleh 3 (tiga) besar penutup lahan, yaitu Semak
Belukar seluas 16.705,79 Ha (59,12%), Pertanian Lahan Kering
5.109,20 Ha (18,08%) dan Kebun Campuran 4.507,79 Ha
(15,95%).
Dari data pada Tabel V- 4 dan V-5, Gambar V-3, Tingkat
Bahaya Erosi (TBE) di Sub-Sub DAS Bagian Tengah, sangat
bervariasi dari TBE Sangat Ringan (SR), Ringan (R), Sedang
(S), Berat (B) dan Sangat Berat (SB). Pada Gambar V-3, TBE
yang terbesar adalah TBE Sangat Berat (SB) seluas 12.116,53
Ha (42,88%), kemudian diikuti TBE Ringan (R) 6.343,87 Ha
(22,45%) dan TBE Berat (B) 4.296,51 Ha (15,21%), sedangkan
yang lainnya termasuk yang kecil. Keadaan tersebut,
menunjukkan di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah yang
penutup lahannya dominan Semak Belukar 36.137,56 Ha
(55,16%) dan Pertanian Lahan Kering 5.109,20 Ha (18,09%)
kurang optimal berfungsi melindungi tanah dari pukulan
98
Tingkat Kekritisan Lahan

energi kinetik curah hujan, sehingga buitir-butir tanah mudah


terlepas dari agregatnya, akibatnya erosi yang terjadi tinggi.
Begitu juga dengan Semak Belukar yang pada musim kemarau
mudah terbakar, tanah akan menjadi terbuka dan pori-pori
tanah tertutup oleh debu-debu semak belukar dan penutup
lahan lainnya yang terbakar. Pengaruh dari keadaan tersebut,
pada musim penghujan akan terjadi aliran permukaan (run-
off) yang besar, sehingga erosi dan sedimentasi yang terjadi
akan tinggi, akibatnya TBE yang akan terjadi juga besar. Hal
ini sesuai dengan pendapat Tekstianto (2010) dan Badaruddin
(2014), menyatakan semakin jarang penutup lahan seperti
Semak Belukar (SB) yang sering terbakar, maka pada musim
penghujan akan semakin tinggi tingkat bahaya erosinya.
Disamping itu, menurut pendapat Ruslan (1992) dalam
penelitiannya di DAS Riam Kanan, bahwa di Sub DAS/DAS
yang komposisi penggunaan lahannya dominan alang-alang
dan semak belukar, menunjukkan pola tingkat bahaya erosi
yang terjadi berkisar antara Sedang (S) sampai dengan Sangat
Berat (SB).

3. TBE pada Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir


Berdasarkan data pada Lampiran 1, dapat dibuat reka­
pitulasi TBE pada kawasan hutan (KH) berupa : Areal Peng­
gunaan Lainnya (APL), Hutan Lindung (HL), Hutan Pro­duksi
(HP), Suaka Alam Gunung Kentawan (SAGK) dan Kawasan
Lindung Danau Bangkau (KLDB) dan berbagai penutupan
lahan (PL) di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir, yang secara
rinci dapat dilihat pada Tabel V-6.

99
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Tabel V-6. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di Sub-Sub DAS


Amandit Bagian Hilir

Ket : Penutupan : PC (Perkebunan Campuran); SWH (Sawah); SB


(Semak Belukar); PLK (Pertanian Lahan Kering); PKM (Pemukiman);
TBE : 0-SR (Sangat Ringan); I-R (Ringan); II-S (Sedang); III-B (Berat);
IV-SB (Sangat Berat).

Dari data pada Tabel V-6, dianalisis kembali untuk


mendapatkan jumlah persentase tingkat bahaya erosi pada
seluruh unit lahan, penutup lahan dan berbagi kawasan
hutan (HL,HP, SAGK dan APL) di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu. Hasil analisis tersebut, diperoleh tentang

100
Tingkat Kekritisan Lahan

hubungan secara deskriptif antara sebaran kelas Tingkat


Bahay Erosi (TBE) : kelas (0-SR, Sangat Ringan), (I-R, Ringan),
(II–S, Sedang), (III-B, Berat) dan (IV-SB, Sangat Berat) dengan
luasnya pada seluruh unit lahan, penutup lahan kawasan
hutan, baik dalam satuan hektar (ha) maupun persentase
(%). Hasil dari analisis persentasi kelas tingkat bahaya erosi
tersebut, secara rinci, disajikan pada Tabel V-7.

Tabel V-7. Persentasi TBE di Sub-Sub DAS Amandit Bagian


Hilir

No. Kelas TBE Luas (ha) Persentase


1 ( 0-SR, Sangat Ringan) 26.502,07 40,45
2 (I-R, Ringan) 37.356,04 57,02
2 (II – S, Sedang) 310,28 0,47
4 (III-B, Berat) 542,95 0,83
5 (IV-SB, Sangat Berat) 808,18 1,23
Jumlah 65.519,52 100,00

Dari data pada Tabel V-7, dapat dibuatkan grafik (diagram


pie) hubungan antara kelas Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
dengan luas (persentase), yang hasilnya dapat dilihat pada
Gambar V- 4.

Gambar V-4. Diagram Pie Tingkat Bahaya Erosi di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hilir.

101
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Pada Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir, dari Tabel V - 6,


luas kawasan hutan yang terbesar adalah Areal Penggunaan
Lain 65.236,25 Ha (56,51%, persentasi terhadap luas total
Sub-Sub DAS Amandit), kemudian diikuti Hutan Lindung
167,52 Ha (0,15%) dan Hutan Produksi 105.67 Ha (0,09 %) dan
Kawasan Lindung Danau Bangkau 10,08 Ha (0,01%). Pada
Areal Penggunaan Lain terdapat 5 (lima) penutup lahan yang
terbesar, yaitu Semak Belukar seluas 35.904,64 Ha (53,42%,
persentasi terhadap luas Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir),
Sawah 22.049,59 Ha (33,65%) dan Kebun Campuran 4.627,14
Ha (7,06%), Pertanian Lahan Kering 1.348,97 Ha (2,06%) dan
Pemukiman 1.305,66 Ha (1,99%). Penutup lahan pada Hutan
Lindung hanya terdiri dari Semak Belukar 167,52 Ha (0,23%).
Pada Hutan Produksi terdiri dari penutup lahan Semak
Belukar 55.32 Ha (0,08%) dan Pertanian Lahan Kering 50,35%
(0,07%). Sedangkan pada Kawasan Lindung Danau Bangkau
hanya terdiri dari Semak Belukar 10,08 Ha (0,015%). Secara
keseluruhan di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir, tipe
penutup lahannya didominasi oleh 3 (tiga) besar penutup
lahan, yaitu Semak Belukar seluas 36.137,56 Ha (55,16%),
Sawah 22.049,59 Ha (33,65%) dan Kebun Campuran 4.627,14
Ha (7,06%).
Dari data pada Tabel V- 6 dan V-7 dan Gambar V- 4
(Diagram Pie), menunjukkan ada 2 (dua) TBE yang terbesar,
yaitu TBE Ringan (R) seluas 37.356,04 Ha (57,02%) dan TBE
Sangat Ringan (SR) seluas 26.502,07 Ha (40,45%).
Diduga penyebab utama TBE Ringan dan TBE Sangat
Ringan tersebut, karena pengaruh dari faktor kemiringan
lereng dan kedalaman solum tanah pada Sub-Sub DAS Bagian
Hilir. Dari Lampiran 1, di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir
kondisi topografinya lebih dominan lereng datar (0% - 8%)
dengan luasnya 64.373,70 Ha (98,25%) dan landai (8% - 15%)
luasnya 766,22 Ha (1,77%) serta kedalaman solum tanahnya
tergolong dalam (kedalaman solum tanah > 90cm), disamping
keadaan wilayahnya rawa dan bergambut.

102
Tingkat Kekritisan Lahan

Faktor kemiringan lereng yang datar dan landai, sangat


mempengaruhi terhadap besar erosi yang terjadi. Di daerah
kemiringan lereng yang datar dan landai kecepatan aliran
permukaan akan (run off) lebih lambat dibandingkan dengan
daerah yang kemiringan lereng curam dan sangat curam,
akibatnya erosi atau TBE yang akan terjadi kecil. Menurut
Herawati (2010) dan Kadir (2014), pada lingkungan DAS,
laju erosi dikendalikan oleh kecepatan aliran air dan sifat
sedimen. Faktor eksternal yang menimbulkan erosi adalah
curah hujan dan aliran air pada lereng DAS. Curah hujan yang
tinggi dan lereng DAS yang miring merupakan faktor utama
yang membangkitkan erosi. Menurut Kurdi (2015) bahwa
lereng adalah faktor mendasar dalam pemilihan daerah
penyebaran banjir. Kecepatan air secara langsung berkaitan
dengan kemiringan lahan. Pada lereng yang datar dan landai,
limpasan permukaan (run off) lebih lambat mengalirnya dan
kurang erosif dibandingkan dengan lereng yang curam dan
sangat curam.
Kedalaman tanah di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir,
didominasi oleh kedalaman tanah kategori dalam (kedalaman
>90 cm), yaitu seluas 64.612,32 Ha (98,62%). Menurut Rayes
(2006) bahwa kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah
yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman, yaitu sampai pada
lapisan yang tidak dapat ditembus oleh akar tanaman. Lapisan
tersebut dapat berupa kontak lithik, lapisan pedas keras, pedas
liat, pedas rapuh. Hirzel dan Matus (2013) hasil penelitiannya
mendapatkan bahwa kedalaman efektif tanah 20 cm dan
sangat mempengaruhi produktivitas tanaman selain faktor
iklim dan sifat kimia tanah.
Namun jika diperhatikan sebaran tingkat bahaya erosi
yang lainnya, seperti tingkat bahaya erosi Sangat Berat
808,18 Ha (1,23%), tingkat bahaya erosi Berat 542,95 Ha
(0,83%) dan tingkat bahaya erosi Sedang 310,28 Ha (0,47%),
menunjukkan. di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir yang
penutup lahannya dominan Semak Belukar 36.137,56 Ha
(55,16%) dan Pertanian Lahan Kering 5.109,20 Ha (18,09%)

103
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

yang kurang memperhatikan prinsip konservasi tanah dan


air, kurang optimal berfungsi melindungi tanah dari pukulan
energi kinetik curah hujan, sehingga buitir-butir tanah mudah
terlepas dari agregatnya, akibatnya erosi yang terjadi tinggi.
Begitu juga dengan Semak Belukar yang pada musim kemarau
mudah terbakar, tanah akan menjadi terbuka dan pori-pori
tanah tertutup oleh abu semak belukar dan penutup lahan
lainnya yang terbakar. Pengaruh dari keadaan tersebut, pada
musim penghujan akan terjadi aliran permukaan (run off) yang
besar, akibatnya erosi dan sedimentasi yang terjadi akan tinggi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Tekstianto (2010), Ruslan
(2013) dan Kurdi (2014), yang menyatakan semakin jarang
penutup lahan (PL) seperti Semak Belukar (SB) dan Lahan
Terbuka (LT), yang sering terbakar pada musim kemarau,
maka pada musim penghujan akan semakin tinggi tingkat
bahaya erosi (TBE) yang terjadi.
Berdasarkan data Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Tabel
V-2, Tabel V-4 dan Tabel V-6, dapat dibuat rekapitulasi Tingkat
Bahaya Erosi (TBE) di Sub-Sub Amandit Bagian Hulu, Bagian
Tengah dan Bagian Hilir pada berbagai kawasan hutan
(hutan lindung, hutan produksi, suaka alam gunung kentawan
dan areal penggunaan lain), berbagai penutup lahan dan unit
lahan (UL), yang hasilnya disajikan pada Tabel V-8.

Tabel V-8 Data Luas dan Persentasi TBE di Sub-Sub DAS


Amandit Bagian Hulu, Tengah dan Bagian Hilir
Sub-Sub DAS Amandit
Kelas
Bagian Hulu Bagian Tengah Bagian Hilir Jumlah
TBE
Ha % Ha % Ha % Ha %
Sangat
Ringan 90,75 0,08 1.577,02 1,37 26.502,07 22,96 28.169,84 24,40
(SR)
Ringan
5.261,67 4,56 6.343,87 5,50 37.356,04 32,36 48.961,58 42,41
(R)
Sedang
2.704,18 2,34 3.921,51 3,40 310,28 0,27 6.935,97 6,01
(S)

104
Tingkat Kekritisan Lahan

Berat (B) 5.527,61 4,79 4.296,51 3,72 542,95 0,47 10.367,07 8,98
Sangat
Berat 8.083,16 7,00 12.116,53 10,50 808,18 0,70 21.007,87 18,20
(SB)
Jumlah 21.667,37 18,77 28.255,44 24,48 65.519,52 56,76 115.442,33 100,00

Berdasarkan data pada Tabel V-8, dapat ditentukan


sebaran Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di lapangan mulai dari
kelas (0-SR, Sangat Ringan), (I-R, Ringan), (II–S, Sedang), (III-B,
Berat) dan (IV-SB, Sangat Berat), yang hasilnya berupa peta
seperti pada Gambar V- 5.

Gambar V-5. Peta Tingkat Bahaya Erosi Di Sub-Sub DAS Amandit Bagian
Hulu, Bagian Tengah dan Bagian Hilir.

C. Tingkat Kekritisan Lahan (TKL)


Metode analisis spasial kekritisan lahan yang digunakan
dalam kajian ini mengacu kepada Peraturan Direktur Jenderal
Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial
Kementerian Kehutanan RI Nomor : P. 4/V-SET/2013, tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Pada
metode ini, wilayah kajian dibagi menjadi tiga kawasan, yaitu
Kawasan Hutan Lindung, Kawasan Budidaya Pertanian, dan

105
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan. Dalam kajian


ini, data Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Budidaya
Pertanian mengacu kepada data spasial Kawasan Hutan
Provinsi Kalimantan Selatan, yang merupakan Lampiran
Surat Keputusan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia,
Nomor 435/Menhut-II/2009, tanggal 23 Juli 2009. Sementara
Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan, yang merupakan
daerah-daerah sempadan sungai, anak sungai dan danau,
dalam penelitian ini tidak dapat secara khusus ditampilkan
secara utuh. Sebab untuk pemetaan skala 1: 250.000 yang
digunakan dalam kajian ini, wilayah-wilayah sempadan
sungai dan danau terlalu kecil untuk diperhitungkan. Sehingga
digeneralisasi dengan wilayah-wilayah sekitarnya yang lebih
luas.
Dalam melakukan analisis karakteristik tingkat kekritisan
lahan (TKL) ini, fungsi kawasan hutan dikelompokkan menjadi
2 (dua) macam, yaitu : Kawasan Hutan Lindung (KHL) dan
Kawasan Budidaya Pertanian (KBP). Untuk kawasan Area
Penggunaan Lain dan Hutan Produksi digabung (merger)
kedalam Kawasan Budidaya Pertanian. Sedangkan hutan
Suaka Alam Gunung Kentawan (SAGK) dan Kawasan Lindung
Danau Bangkau (KLDB) dimasukkan ke dalam Kawasan
Hutan Lindung. Dengan demikian, analisis tingkat kekritisan
lahan (TKL) dalam penelitian ini hanya ada dua kawasan
yang dijadikan sebagai dasar analisis, yaitu Kawasan Hutan
Lindung (untuk selanjutnya disebut Kawasan Lindung), dan
Kawasan Budidaya Pertanian (untuk selanjutnya disebut
Kawasan Budidaya).
Kementerian Kehutanan RI (2013) mensyaratkan ada
beberapa parameter spasial dalam pemodelan spasial
penentuan lahan kritis, parameter-parameter tersebut adalah
penutupan lahan, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi
(TBE), produktivitas lahan dan manajemen. Dalam hal ini,
penutupan lahan hanya digunakan pada Kawasan Hutan
Lindung, sementara produktivitas lahan hanya digunakan
pada Kawasan Budidaya Pertanian.

106
Tingkat Kekritisan Lahan

Dari sekumpulan data biofisik hasil pengamatan dila­


pangan, yang kemudian dianalisis dengan beberapa formula
yang telah diuraikan dalam Bab IV Metoda Penelitian, untuk
kawasan budidaya dan kawasan lindung, didapatkan hasilnya
berupa nilai-nilai keempat faktor tersebut di atas seperti yang
disajikan pada Lampiran 2 dan Lampiran 3. Berdasarkan
gugus data pada Lampiran 2 dan Lampiran 3 tersebut, dila­
kukan analisis kembali untuk mengetahui persentase (%)
tingkat kekritisan lahan (TKL) yang terjadi, baik pada kelom­
pok Kawasan Budidaya maupun kelompok Kawasan Lindung
di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu, Bagian Tengah dan
Bagian Hilir, yang rekapitulasi hasilnya sebagai uraian berikut.

1. Tingkat Kekritisan Lahan pada Kawasan Budidaya


a. TKL pada Kawasan Budidaya Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu
Berdasarkan data pada Lampiran 2, dapat dibuat
rekapitulasi TKL pada kawasan hutan (KH) berupa Hutan
Produksi (HP) dan Area Penggunaan Lain (APL) untuk
penutup lahan (PL) seperti Semak Belukar (SB) dan Pertanian
Lahan Kering (PLK), yang hasilnya secara rinci disajikan pada
Tabel V- 9.

Tabel V-9. Nilai Tingkat Kekritisan Lahan pada Kawasan


Budidaya di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu

Keterangan : Penutupan (PL) : PLK (Pertanian Lahan Kering ); SB


(Semak Belukar)
Tingkat Kekritisan (TKL) : AK (Agak Kritis); PK (Potensial Kritis).

107
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Dari data pada Tabel V-9, dianalisis kembali untuk menda­


patkan jumlah persentase tingkat kekritisan lahan (TKL) pada
seluruh unit lahan, penutup lahan dan berbagai kawasan
hutan (HL, HP, SAGK dan APL) pada Kawasan Budidaya (KB)
di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu. Hasil analisis tersebut,
diperoleh tentang hubungan secara deskriptif antara sebaran
kelas Tingkat Kekritisan Lahan (TK) : kelas Agak Kritis (AK)
dan Potensial Kritis (PK) dengan luasnya pada seluruh unit
lahan, penutup lahan kawasan hutan, baik dalam satuan hektar
(Ha) maupun persentase (%). Hasil dari analisis persentasi
kelas tingkat bahaya erosi tersebut, secara rinci disajikan pada
Tabel V- 10.

Tabel V-10. Persentasi Tingkat Kekritisan Lahan pada


Kawasan Budidaya di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu

No. Kelas TKL Luas (ha) Persentase


1 Potensial Kritis 1.476,05 29,37
2 Agak Kritis 3.549,47 70,63
Jumlah 5.025,52 100,00

Dari data pada Tabel V-10, dapat dibuatkan grafik (diag­


ram pie) hubungan antara kelas Tingkat Kekritisan Lahan
(TKL) dengan luas dan persentase, yang hasilnya dapat dilihat
pada Gambar V- 6.

108
Tingkat Kekritisan Lahan

Gambar V- 6. Diagram Pie Tingkat Kekritisan Lahan pada Kawasan


Budidaya di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu.

Pada Kawasan Budidaya Sub-Sub DAS Amandit Bagian


Hulu, (Tabel V-9), ternyata luas kawasan hutan yang terbesar
adalah Areal Penggunaan Lain 3.435,68 Ha (68,361%, persentasi
terhadap luas Kawasan Budidaya Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu), kemudian diikuti Hutan Produksi 1.589,82 Ha
(31,64%). Secara keseluruhan di Sub-Sub DAS Amandit Bagian
Hulu, tipe penutup lahannya terdiri dari Semak Belukar
4.711,67 Ha (93,75%) dan Pertanian Lahan Kering seluas 313,85
Ha (6,25%).
Dari data pada Tabel V-9, V-10 dan Gambar V- 6 Tingkat
Kekritisan Lahan (TKL) di Sub-Sub DAS Bagian Hulu yang
terbesar adalah kelas tingkat kekritisan lahan Agak Kritis
seluas 3.549,47 Ha (70,53%) kemudian diikuti kelas TKL
Potensial Kritis seluas 1.476,05 Ha (29,37%).
Menurut Kementerian Kehutanan RI (2013) kekritisan
lahan pada kawasan budidaya di suatu daerah aliran sungai
dipengaruhi oleh kemiringan lereng, produktivitas lahan,
tingkat bahaya erosi dan manajemen. Menperhatikan TKL hasil
penelitian di atas yang terdiri dari TKL Agak Kritis 3.549,47
Ha (70,53%) kemudian diikuti kelas TKL Potensial Kritis

109
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

1.476,05 Ha (29,37%), menunjukkan kurang optimal berfungsi


kawasan hutan budidaya di Sub-Sub DAS Amandit Bagian
Hulu, karena seyogianya TKL yang terjadi adalah TKL tidak
kritis (TK), karena daerah tersebut merupakan buffer zone dan
pelindung terhadap daerah aliran sungai bagian hilir. Diduga
penyebab TKL agak kritis (AK) yang tinggi dibandingkan
dengan TKL potensial kritis (PK) adalah penutup lahan (PL),
pengaruh tingkat bahaya erosi (TBE) dan kemiringan lereng.
Dari Tabel VI-9, penutup lahan yang dominan adalah Semak
Belukar 4.711,67 Ha (93,75%). Dari Lampiran 1, TBE yang
terjadi di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu yang tergolong
Berat dan Sangat Berat seluas 3.549,46 Ha (70,63%) dan kondisi
topografinya dominan agak curam dan curam seluas 2.372,80
Ha (47,21%). Penutup lahan berupa semak belukar merupakan
penutup lahan yang kurang produktif, karena disamping
ditumbuhi oleh tanaman berkayu juga semak kategori alang-
alang. Alang-alang itu kalau musim kemarau mudah terbakar,
yang mengabikatkan serasah dan bahan organik lainnya habis
terbakar, sehingga sifat fisik dan kimia tanah menjadi tidak
baik. Walaupun kawasan budidaya di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu ini, yang berarti lahan tersebut dapat digunakan
untuk berbagai kegiatan pertanian secara luas. Tetapi jika
dilihat dari penutup lahannya dominan semak belukar, berarti
dahulunya daerah tersebut telah mengalami perubahan
penggunaan lahan, sehingga lahannya menjadi tidak produktif
lagi. Hal ini sesuai dengan pendapat Ali, et al., (2011) bahwa
tindakan manusia yang merubah penggunaan lahan yang tidak
sesuai dengan kemampuannya, mengakibatkan tingkat erosi
meningkat. Kondisi lahan yang paling tinggi erosinya adalah
lahan terbuka karena dahuulunya lahan tersebut digarap
oleh penambang liar yang ditinggalkan tanpa ada sistem
pengolahan lahan yang berwawasan lingkungan. Satuan
lahan yang lain yang didominasi oleh tutupan lahan semak
belukar dan tingkat kelerengan yang tinggi menghasilkan
nilai prediksi erosi ringgi. Menurut Badaruddin (2014) tutupan
lahan di daerah aliran sungai yang didominasi oleh tutupan

110
Tingkat Kekritisan Lahan

lahan semak belukar artinya banyaknya lahan yang tidak


dimanfaatkan secara optimal, yang menyebabkan tingginya
tingkat bahaya erosi.

b. TKL pada Kawasan Budidaya Sub-Sub DAS Amandit


Bagian Tengah
Berdasarkan data pada Lampiran 2, dapat dibuat reka­
pitulasi Tingkat Kekritisan Lahan (TKL) pada Kawasan
Budidaya di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah pada
kawasan hutan (KH) berupa : Hutan Produksi (HP) dan Area
Peng­gunaan Lain (APL) untuk penutup lahan (PL) seperti
Hutan Tanaman (HTN), Kebun Campuran (KC), Semak Belu­
kar (SB), Pertanian Lahan Kering (PLK) dan Lahan Terbuka
(LT), yang hasilnya secara rinci dapat dilihat pada Tabel V-
11.

111
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Tabel V-11. Nilai Tingkat Kekritisan Lahan pada Kawasan


Budidaya di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah

Keterangan :
Penutupan (PL) : HTN (Hutan Tanaman ); KC (Kebun Campuran);
SB (Semak Belukar); PLK (Pertanian Lahan Kering); LT (Lahan
Terbuka); SWH (Sawah)
Tingkat Kekritisan (TKL) : AK (Agak Kritis); PK (Potensial Kritis)

Dari  data pada Tabel V- 11, dianalisis kembali untuk men­


dapatkan jumlah persentase tingkat kekritisan lahan (TKL)
pada seluruh unit lahan, penutup lahan dan kawasan hutan
pada Kawasan Budidaya di Sub-Sub DAS Amandit Bagian
Hulu. Hasil analisis tersebut, diperoleh tentang hubungan se­
cara deskriptif antara sebaran kelas TKL : kelas Agak Kritis
(AK) dan Potensial Kritis (PK) dengan luasnya pada seluruh
unit lahan, penutup lahan dan kawasan hutan, baik dalam

112
Tingkat Kekritisan Lahan

satuan hektar (Ha) maupun persentase (%). Hasil dari analisis


persentasi kelas tingkat bahaya erosi tersebut, secara rinci,
disajikan pada Tabel V-12.

Tabel V – 12. Persentasi Tingkat Kekritisan Lahan pada


Kawasan Budidaya di Sub- Sub DAS Amandit Bagian Tengah

No. Kelas TKL Luas (ha) Persentase


1 Potensial Kritis 12.454,58 58,50
2 Agak Kritis 8.834,59 41,50
Jumlah 21.289,17 100,00

Dari data pada Tabel V - 12, dapat dibuatkan grafik (di­


agram pie) hubungan antara kelas Tingkat Kekritisan Lahan
(TKL) dengan luas (persentase), yang hasilnya dapat dilihat
pada Gambar V-7.

Gambar V-7. Sub Diagram pien Tingkat Kekritisan Lahan pada Kawasan
Budidaya di -Sub DAS Amandit Bagian Tengah.

Pada Kawasan Budidaya Sub-Sub DAS Amandit Bagian


Tengah (Tabel V- 11), ternyata luas kawasan hutan yang
terbesar adalah Areal Penggunaan Lain (APL) 10.675,13 Ha
(50,14%, persentasi terhadap luas Kawasan Budidaya Sub-
Sub DAS Amandit Bagian Tengah), kemudian diikuti Hutan

113
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Produksi (HP) seluas 10.614,04 Ha I(49,86%). Terdapat 3


(tiga) penutup lahan yang terbesar, yaitu : Semak Belukar
11.627,20 Ha (54,62%), Kebun Campuran 4.192,92 Ha (19,70%)
dan Pertanian Lahan Kering 3.863,08 Ha (18,13%). Kemudian
diikuti Hutan 820,24 Ha (3,85%), Lahan Terbuka 722,50 Ha
(3,39%) dan Sawah 63,24 Ha (0,30%).
Dari data pada Tabel V-11 dan V-12 dan Gambar V-
7,Tingkat Kekritisan Lahan (TKL) yang terdapat di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Tengah yang terbesar adalah kelas
Tingkat Kekritisan Lahan Potensial Kritis (PK) seluas 12.454,58
Ha (58,59%), kemudian diikuti kelas Tingkat Kekritisan Lahan
Agak Kritis (AK) seluas 8.834,59 Ha (41,50%).
Menperhatikan TKL hasil penelitian di atas yang terdiri
dari TKL Tingkat Kekritisan Lahan Potensial Kritis 12.454,58
Ha (58,59%) kemudian diikuti kelas Tingkat Kekritisan Lahan
Agak Kritis 8.834,59 Ha (41,50%), menunjukkan kurang
optimalnya berfungsi kawasan hutan budidaya di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Tengah, karena TKL Agak Kritis masih
cukup tinggi, yaitu 51,50%. Kawasan Budidaya di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Tengah, karena daerah tersebut merupakan
buffer zone dan pelindung terhadap daerah aliran sungai
bagian hilir. Diduga penyebab TKL agak kritis (AK) masih
cukup tinggi, adalah penutup lahan (PL) dan pengaruh tingkat
bahaya erosi (TBE). Dari Tabel V-11, penutup lahan yang
dominan adalah Semak Belukar 11.627,20 Ha (54,62%). Pada
Lampiran 1, TBE yang terjadi di Sub-Sub DAS Amandit Bagian
Tengah yang tergolong Berat dan Sangat Berat seluas 10.379,61
Ha (48,76%). Penutup lahan berupa semak belukar merupakan
penutup lahan yang kurang produktif, karena disamping
ditumbuhi oleh tanaman berkayu juga semak kategori alang-
alang dan rumput lainnya. Pada musim kemarau alang-alang
dan rumput lainnya itu kalau musim kemarau mudah terbakar,
yang mengabikatkan serasah dan bahan organik lainnya habis
terbakar, sehingga sifat fisik (misalnya tekstur dan struktur
tabah) dan kimia tanah (misalnya kandungan bahan organik)
menjadi kurang baik. Walaupun kawasan budidaya di Sub-

114
Tingkat Kekritisan Lahan

Sub DAS Amandit Bagian Tengah ini, yang berarti lahan


tersebut dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pertanian
secara luas. Tetapi jika dilihat dari penutup lahannya dominan
semak belukar, berarti dahulunya daerah tersebut telah
mengalami perubahan penggunaan lahan, sehingga lahannya
menjadi tidak produktif lagi. Dalam kegiatan pertanian lahan
kering 3.863,08 Ha (18,15%) jika dalam pengelolaannya kurang
memperhatikan dan kurang mengadopsi prinsip konservasi
tanah dan air, akan menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan, yaitu berupa erosi dan sedimentasi yang terjadi
pada musim penghujan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Ali, et al., (2011) bahwa tindakan manusia yang merubah
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya,
mengakibatkan tingkat erosi meningkat. Kondisi lahan yang
paling tinggi erosinya adalah lahan terbuka dan semak belukar
karena dahulunya lahan tersebut digarap oleh perambah
hutan dan penambang liar yang ditinggalkan tanpa ada sistem
pengolahan lahan yang berwawasan lingkungan. Satuan lahan
yang lain yang didominasi oleh tutupan lahan semak belukar
menghasilkan nilai prediksi erosi ringgi, karena nilai faktor
tanaman (faktor C) untuk Semak Belukar dalam perhitungan
erosi dengan USLE (Universal Soil Loss Equation) cukup tinggi.
Menurut Badaruddin (2014) tutupan lahan di suatu daerah
aliran sungai (DAS) yang didominasi oleh tutupan lahan
berupa semak belukar dan alang-alang artinya banyaknya
lahan yang tidak dimanfaatkan secara optimal, sehingga
menyebabkan tingginya tingkat bahaya erosi (TBE) yang
terjadi.

c. TKL pada Kawasan Budidaya Sub-Sub DAS Amandit


Bagian Hilir
Berdasarkan data pada Lampiran 2, dapat dibuat reka­
pitulasi Tingkat Kekritisan Lahan (TKL) pada kawasan hutan
(KH) berupa : Hutan Produksi (HP) dan Area Penggunaan
Lain (APL) untuk penutup lahan (PL) seperti Semak Belukar
(SB), Pertanian Lahan Kering (PLK), Hutan Tanaman (HTN),

115
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Kebun Campuran (KC), Lahan Terbuka (LT), Pemukiman


(PKM) dan Sawah (SWH), yang hasilnya secara lengkap dapat
dilihat pada Tabel V-13.

Dari  data pada Tabel V - 13, dianalisis kembali untuk


men­dapatkan jumlah persentase tingkat kekritisan lahan
(TKL) pada seluruh unit lahan, penutup lahan dan kawasan
hutan pada Kawasan Budidaya di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hilir. Hasil analisis tersebut, diperoleh hubungan
secara deskriptif antara sebaran kelas tingkat kekritisan lahan
: Agak Kritis (AK) dan Potensial Kritis (PK) dengan luasnya
pada seluruh unit lahan, penutup lahan dan kawasan hutan,
baik dalam satuan hektar (ha) maupun persentase (%). Hasil
dari analisis persentasi kelas tingkat bahaya erosi tersebut,
secara rinci, disajikan pada Tabel V -14.

116
Tingkat Kekritisan Lahan

Tabel V-14. Persentasi Tingkat Kekritisan Lahan pada


Kawasan Budidaya di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir

No. Kelas TKL Luas (ha) Persentase


1 Potensial Kritis 64.275,87 98,37
2 Agak Kritis 1.066,05 1,63
Jumlah 65.341,92 100,00

Dari data pada Tabel V-14, dapat dibuatkan grafik (pie


chart) hubungan antara kelas Tingkat Kekritisan Lahan (TKL)
dengan luasnya (persentase), yang hasilnya dapat dilihat pada
Gambar V- 8.

Gambar V-8. Diagram pien Tingkat Kekritisan Lahan pada Kawasan


Budidaya di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir.

Di Kawasan Budidaya Sub-Sub DAS Amandit Bagian


Hilir (Tabel V-13), ternyata luas kawasan hutan yang terbesar
adalah Areal Penggunaan Lain (APL) 65.236,24 Ha (99,84%,
persentase terhadap luas Kawasan Budidaya Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hilir), kemudian diikuti Hutan Produksi (HP)
seluas 105,67 Ha (0,16%). Terdapat 4 (empat) penutup lahan
terbesar, yaitu : Semak Belukar (SB) 35.959,96 Ha (55,03%),

117
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Sawah (SWH) 22.049,59 Ha (33,74), Kebun Campuran (KC)


4.627,14 Ha (7,08%) dan Pertanian Lahan Kering (PLK) 1.399,32
Ha (2,14%).
Berdasarkan data pada Tabel V-13, V-14 dan Gambar V-8,
Tingkat Kekritisan Lahan di Sub-Sub DAS Bagian Hilir yang
terbesar adalah kelas Tingkat Kekritisan Lahan Potensial Kritis
(PK) 64.268,83 Ha (98,36%) kemudian diikuti kelas Tingkat
Kekritisan Lahan Agak Kritis (AK) 1.073,09 Ha (1,64%).
Menperhatikan TKL hasil penelitian di atas yang terdiri
dari TKL Tingkat Kekritisan Lahan Potensial Kritis 64.268,83
Ha (98,36%) dan Agak Kritis 1.073,09 Ha (1,64%), menunjukkan
kurang optimalnya berfungsi kawasan hutan budidaya di
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir, karena tidak ditemui
TKL kelas Tidak Kritis, pada hal kawasan budidaya di Sub-
Sub DAS Amandit Bagian Hilir mempunyai aksesibilitas yang
tinggi dibandingkan dengan Sub-Sub DAS Amandit Bagian
Hulu dan Bagian Tengah. Dari segi faktor lereng di kawasan
budidaya Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir lebih dominan
lereng datar luasnya 64.338,73 Ha (98,46%) dan lereng landai
732,71 Ha (1,12%). Kawasan Budidaya Pertanian di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hilir, karena daerah tersebut merupakan
daerah yang dapat dimamfaatkan optimal untuk kegiatan
pertanian secara luas dan pemukiman. Diduga penyebab
masih ditemukan TKL agak kritis, adalah penutup lahan (PL)
dan manaje-men lahan oleh masyarakat. Dari Tabel V-13,
penutup lahan yang dominan adalah Semak Belukar 35.959,96
Ha (55,03%). Penutup lahan berupa semak belukar meru-pakan
penutup lahan yang kurang produktif, karena disamping
ditumbuhi oleh tanaman berkayu juga semak kategori alang-
alang dan rumput lainnya. Pada musim kemarau alang-alang
dan rumput lainnya itu kalau musim kemarau mudah terbakar,
yang mengabikatkan serasah dan bahan organik lainnya habis
terbakar, sehingga sifat fisik (misalnya tekstur dan struktur
tabah) dan kimia tanah (misalnya kandungan bahan organik)
menjadi kurang baik. Walaupun kawasan budidaya di Sub-
Sub DAS Amandit Bagian Hilir ini, yang berarti lahan tersebut

118
Tingkat Kekritisan Lahan

dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pertanian secara


luas. Tetapi jika dilihat dari penutup lahannya dominan semak
belukar, berarti dahulunya daerah tersebut telah mengalami
perubahan penggunaan lahan, sehingga lahannya menjadi
tidak produktif lagi. Dalam kegiatan pertanian sawah yang
luasnya relatif besar 22.049,59 Ha (33,74%) perlu dipertahankan
dan dikembangkan dengan pola intensifikasi. Menggunakan
faktor-faktor produksi untuk sawah harus direncanakan
dengan tepat, jangan sampai menimbulkan dampak sam­
pingan yang merusak lingkungan. Menurut Badaruddin
(2014) tutupan lahan di suatu daerah aliran sungai yang
didominasi oleh tutupan lahan seperti semak belukar artinya
banyaknya lahan yang tidak dimanfaatkan secara optimal,
sehingga menyebabkan lahan kurang produktif dan apabila
tidak dikelola dengan baik, akibatnya menjadi lahan kritis.
Menurut Kadir (2014) kekritisan lahan tersebut dapat dilihat
dari indikator krits fungsi hidroorologi (eosi, sedimentasi
dan fliktuasi debit) dan kritis fungsi produksi, dimana biaya
yang dikeluarkan untuk mengelola lahan tersebut lebih besar
daripada pendapatan yang diperoleh.
Secara keseluruhan pada Kawasan Budidaya Pertanian
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu, Bagian Tengah dan
Bagian Hilir kondisi penutup lahannya didominasi 4 (empat)
penutup lahan, yaitu Semak Belukar (SB) seluas 52.298,83
Ha (57,06%), Sawah (SWH) 22.112,83 Ha (24,13%), Kebun
Campuran (KC) 8.820,06 Ha (9,62 %) dan Pertanian Lahan
Kering (PLK) 5.576,25 Ha (6,08%). Tingkat Kekritisan Lahan
(TKL) terdiri dari TKL Potensial Kritis seluas 78.077,98 Ha
(85,19%) dan TKL Agak Kritis 13.578,61 Ha (14,81%). Dalam
rangka kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (penghijauan,
hutan tanaman, hutan rakyat, agroforestri, perkebunan)
di kawasan budidaya ini untuk TKL agak kritis menjadi
pertimbangan untuk dijadikan sasaran kegiatan tersebut.

119
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

2. Tingkat Kekritisan Lahan (TKL) pada Kawasan Lindung


a. TKL di Kawasan Lindung Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu
Berdasarkan data pada Lampiran 3, dapat dibuat reka­
pitulasi tingkat kekritisan lahan (TKL) pada berbagai kawasan
hutan (KH) seperti : Hutan Lindung (HL) dan Suaka Alam
Gunung Kentawan (SAGK) untuk penutup lahan (PL) seperti
Semak Belukar (SB), Pertanian Lahan Kering (PLK) dan Hutan
(HT), yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel V - 15.

Dari  data pada Tabel V - 15, dianalisis kembali untuk


mendapatkan jumlah persentase tingkat kekritisan lahan
(TKL) pada seluruh unit lahan, berbagai penutup lahan (PL)
dan kawasan hutan pada Kawasan Lindung di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hulu. Hasil analisis tingkat kekritisan lahan
tersebut, diperoleh hubungan secara deskriptif antara sebaran
kelas TKL : Tidak Kritis (TK), Potensil Kritis PK), Agak Kritis
(AK) dan Kritis (K) dengan luasnya pada seluruh unit lahan,
penutup lahan dan kawasan hutan, baik dalam satuan hektar
(ha) maupun persentase (%). Hasil dari analisis persentasi
kelas tingkat bahaya erosi (TBE) tersebut, secara rinci, disajikan
pada Tabel V-16.

120
Tingkat Kekritisan Lahan

Tabel V-16. Persentasi Tingkat Kekritisan Lahan pada


Kawasan Lindung di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu

No. Kelas TKL Luas (ha) Persentase


1 Tidak Kritis 20,51 0,12
2 Potensial Kritis 4.977,29 29,91
3 Agak Kritis 5.795,50 34,83
4 Kritis 5.848,54 35,14
Jumlah 16.641,84 100,00

Dari data pada Tabel V-16, dapat dibuatkan grafik


(diagram pie) hubungan antara kelas Tingkat Kekritisan Lahan
dengan luas (persentase), yang hasilnya dapat dilihat pada
Gambar V- 9.

Gambar V- 9. Diagram pien Tingkat Kekritisan Lahan pada Kawasan


Lindung di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu.

Di Kawasan Lindung Sub-Sub DAS Amandit Bagian


Hulu (Tabel V-15), ternyata luas kawasan hutan yang terbesar
adalah Hutan Lindung (HL) 16.587,40 Ha (99,67%, persentase
terhadap luas Kawasan Lindung Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu), kemudian diikuti Suaka Alam Gunung
Kentawan (SAGK) seluas 54,44 Ha (0,33%). Terdapat 3 (tiga)
penutup lahan, yaitu : Semak Belukar (SB) sesluas 11.508,54 Ha

121
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

(69,15%), Hutan (HT) 4.997,79 Ha (30,03) dan Pertanian Lahan


Kering (PLK) seluas 135,51 Ha (2,14%).
Dari data pada Tabel V-15, V-16 dan Gambar V-9, tingkat
kekritisan lahan (TKL) di Kawasan Lindung Sub-Sub DAS
Bagian Hulu yang terbesar adalah TKL kelas Kritis (K) seluas
5.848,54 Ha (35,14%) kemudian diikuti kelas Agak Kritis (AK)
seluas 5.795,51 Ha (34,82%), kelas Potensial Kritis (PK) seluas
4.977,29 Ha (29,91%) dan kelas Tidak Kritis (TK) seluas 20,51
Ha (0,12%).
Menurut Departemen Kehutanan RI (2013) kekritisan
lahan pada Kawasan Lindung di suatu daerah aliran sungai
dipengaruhi oleh kemiringan lereng, penutupan lahan,
tingkat bahaya erosi dan manajemen. Menperhatikan TKL
hasil penelitian di Kawasan Lindung Bagian Hulu di atas
(Tabel V-16), yang terdiri dari TKL Kritis 5.848,54 Ha (35,14%)
kemudian diikuti kelas Agak Kritis 5.795,51 Ha (34,82%)
yang jumlah luas keduanya hampir 70,00%, menunjukkan
di Kawasan Lindung Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu
berfungsi kurang optimal. Kawasan Lindung Bagian Hulu
diharapkan dapat melindungi daerah aliran sungai bagian
tengah dan bagian hilir. Diduga penyebab TKL Kritis dan
Agak Kritis yang tinggi, yang utama adalah pengaruh dari
penutup lahan (PL), kemudian tingkat bahaya erosi (TBE) dan
kemiringan lereng. Dari Tabel V-15, di Suaka Alam Gunung
Kentawan (SAGK) dan Hutan Lindung kondisi penutup
lahannya didominasi Semak Belukar 11.506,54 Ha (69,15%).
Seyogianya kedua kawasan tersebut lebih dominan hutan.
Namun kenyataannya penutup lahan berupa Hutan (HT)
hanya 4.997,79 Ha (29,91%). Dalam analisis kekritisan lahan,
penutup lahan Semak Belukar (SB) dan Pertanian Lahan
Kering (PLK) tergolong kelas Buruk dan Sedang, karena
nilai Persentase Penutup Tajuk dari 40 % - 60%, sehingga
skor yang digunakan 2 dan 3. Skor 2 dan 3 luasnya mencapai
11.644,05 Ha (69,97%), kemudian TBE yang terjadi tergolong
Berat dan Sangat Berat seluas 10.061,28 Ha (60,46%) dan
kondisi topografinya dominan agak curam dan curam seluas

122
Tingkat Kekritisan Lahan

14.821,17 Ha (89,06%). Penutup lahan berupa semak belukar


merupakan penutup lahan yang kurang produktif, karena
disamping ditumbuhi oleh tanaman berkayu juga semak dan
alang-alang. Pada musim kemarau semah dan alang-alang itu
kalau musim kemarau mudah terbakar, yang mengabikatkan
serasah dan bahan organik lainnya habis terbakar, sehingga
sifat fisik dan kimia tanah menjadi tidak baik. Jika dilihat
dari penutup lahannya di SAGK dan HL dominan semak
belukar, berarti dahulunya daerah tersebut telah mengalami
perubahan penggunaan lahan, sehingga lahannya menjadi
tidak produktif lagi. Hal ini sesuai dengan pendapat Ali,
et al., (2011) bahwa tindakan manusia yang merubah
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya,
mengakibatkan tingkat erosi meningkat. Kondisi lahan yang
paling tinggi erosinya adalah lahan terbuka karena dahulunya
lahan tersebut digarap oleh pihak yang bertanggung, sehingga
lahannya ditinggalkan tanpa ada sistem pengolahan lahan
yang berwawasan lingkungan. Menurut Ruslan (1992) di suatu
daerah aliran sungai apabila penutup lahannya berupa hutan
telah berubah menjadi alang dan semakar belukar, akibat
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya,
maka akan menimbulkan erosi dan sedimentasi yang tinggi,
serta fluktuasi debit air sungai yang tinggi.

b. TKL pada Kawasan Lindung Sub-Sub DAS Amandit


Bagian Tengah
Berdasarkan data pada Lampiran 3, dapat dibuat reka­
pitulasi TKL pada kawasan hutan (KH) berupa : Hutan
Lindung (HL) dan Suaka Alam Gunung Kentawan (SAGK)
untuk penutup lahan berupa Semak Belukar (SB), Pertanian
Lahan Kering (PLK), Kebun Campuran (KC), Hutan Tanaman
(HTN) dan Lahan Terbuka (LT), yang hasilnya dapat dilihat
pada Tabel V - 17.

123
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Dari  data pada Tabel V - 17, dianalisis kembali untuk


mendapatkan jumlah persentase tingkat kekritisan lahan
(TKL) pada seluruh unit lahan, penutup lahan dan kawasan
hutan pada Kawasan Lindung di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu. Hasil analisis tersebut, diperoleh hubungan
secara deskriptif antara sebaran kelas TKL : Agak Kritis (AK),
Kritis (K) dan Sangat Kritis (SK) dengan luasnya pada seluruh
unit lahan, penutup lahan dan kawasan hutan, baik dalam
satuan hektar (ha) maupun persentase (%). Hasil dari analisis
persentasi kelas tingkat bahaya erosi tersebut, secara rinci,
disajikan pada Tabel V - 18.

124
Tingkat Kekritisan Lahan

Tabel V-18. Persentasi Tingkat Kekritisan Lahan pada


Kawasan Lindung di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah

No. Kelas TKL Luas (ha) Persentase


1 Agak Kritis 2.646,30 37,99
2 Kritis 4.214,43 60,50
3 Sangat Kritis 105,61 1,52
Jumlah 6.966,32 100,00

Dari data pada Tabel V-18, dapat dibuatkan grafik (diag­


ram pie) hubungan antara kelas Tingkat Kekritisan Lahan
(TKL) dengan luas (persentase), yang hasilnya dapat dilihat
pada Gambar V-10.

Gambar V- 10. Diagram Pie Tingkat Kekritisan Lahan di Kawasan


Lindung Sub- Sub DAS Amandit Bagian Tengah.

Di Kawasan Lindung Sub-Sub DAS Amandit Bagian


Tengah (Tabel V-17), ternyata luas kawasan hutan yang
terbesar adalah Hutan Lindung (HL) sebesar 6.782,71 Ha
(97,367%, persentase terhadap luas Kawasan Lindung Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Tengah), kemudian diikuti Suaka Alam
Gunung Kentawan (SAGK) seluas 183,63 Ha (2,64%). Terdapat
4 (empat) penutup lahan (PL) yang terbesar, yaitu : Semak
Belukar (SB) seluas 5.078,62 Ha (72,90%), Pertanian Lahan

125
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Kering (PLK) seluas 1.246,15 Ha (17, 89%), Kebun Campuran


(KC) seluas 314,88 Ha (4,52%) dan Hutan Tanaman (HTN)
seluas 227,39 Ha (3,26).
Dari data pada Tabel V-17, V-18 dan Gambar V-10, TKL di
Kawasan Lindung Sub-Sub DAS Bagian Tengah yang terbesar
adalah TKL kelas Kritis 4.214,43 Ha (60,50%) kemudian diikuti
kelas Agak Kritis 2.646,30 Ha (37,99%) dan Sangat Kritis 105,61
Ha (1,52%).
Menurut Kementerian Kehutanan RI (2013) kekritisan
lahan pada Kawasan Lindung di suatu daerah aliran sungai
dipengaruhi oleh kemiringan lereng, penutupan lahan, tingkat
bahaya erosi dan manajemen. Menperhatikan TKL hasil
penelitian di Kawasan Lindung Bagian Tengah di atas (Tabel
V-18), yang terdiri dari TKL Kritis dan Sangat Kritis yang
jumlah keduanya jumlah luas keduanya mencapai 4.320,04 Ha
(62,02%), menunjukkan di Kawasan Lindung Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Tengah berfungsi kurang optimal. Kawasan
Lindung Bagian Tengah diharapkan dapat melindungi daerah
aliran sungai bagian tengah (insite) dan bagian hilir. Diduga
penyebab TKL Kritis dan Agak Kritis yang tinggi, yang utama
adalah pengaruh dari penutup lahan (PL), kemudian tingkat
bahaya erosi (TBE) dan kemiringan lereng. Dari Tabel V-15, di
Suaka Alam Gunung Kentawan (SAGK) dan Hutan Lindung
kondisi penutup lahannya didominasi Semak Belukar 5.078,62
Ha (72,90%). Seyogianya kedua kawasan tersebut lebih
dominan penutup lahan berupa hutan. Namun kenyataannya
penutup lahan berupa Hutan Tanaman (HTN) hanya 227,39
Ha (3,26%). Dalam analisis kekritisan lahan, penutup lahan
berupa Semak Belukar dan Pertanian Lahan Kering persentase
penutupan tajuk tergolong kelas Sangat Buruk dan Buruk,
karena Persentase Penutup Tajuk dari <20 % sampai dengan
40%, sehingga skor yang digunakan 1 dan 2 (Ditjen BP DAS
PS, 2013). Hasil perhitungan untuk parameter penutupan tajuk
juga rendah, akhirnya lahan di kawasan lindung tergolong
kritis dan sangat kritis. Skor 1 dan 2 untuk persentase penutup
tajuk luasnya sebesar 2.451,34 Ha (35,19%), kemudian TBE

126
Tingkat Kekritisan Lahan

yang terjadi tergolong Berat dan Sangat Berat seluas 6.081,57


Ha (87,30%) dan kondisi topografinya dominan agak curam
dan curam seluas 4.690,23 Ha (67,33%). Penutup lahan berupa
semak belukar (SB) merupakan penutup lahan yang kurang
produktif, karena disamping ditumbuhi oleh tanaman berkayu
juga semak dan alang-alang. Pada musim kemarau semak
dan alang-alang itu mudah terbakar, yang mengabikatkan
serasah dan bahan organik lainnya habis terbakar, sehingga
sifat fisik dan kimia tanah menjadi tidak baik. Jika dilihat dari
segi penutup lahannya di kawasan SAGK dan HL dominan
semak belukar (SB), berarti dahulunya daerah tersebut telah
mengalami perubahan penggunaan lahan, sehingga lahannya
menjadi tidak produktif lagi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Ali, et al., (2011) bahwa, tindakan manusia yang merubah
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya
(land capabilty), mengakibatkan tingkat erosi meningkat.

c. TKL pada Kawasan Lindung Sub-Sub DAS Amandit


Bagian Hilir
Berdasarkan data pada Lampiran 3, dapat dibuat reka­
pitulasi Tingkat Kekritisan Lahan (TKL) pada kawasan hu­
tan (KH) berupa : Hutan Lindung (HL) dan Kawasan Lin­dung
Danau Bangkau (KLDB) untuk penutup lahan Semak Belukar
(SB), yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel VI- 19.

127
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Dari  data pada Tabel V - 19, dianalisis kembali untuk


menda­ patkan jumlah persentase tingkat kekritisan lahan
(TKL) pada seluruh unit lahan, penutup lahan dan kawasan
hutan pada Kawasan Lindung di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hilir. Hasil analisis tersebut, diperoleh hubungan
secara deskriptif antara sebaran kelas TKL : Agak Kritis (AK),
Kritis (K) dan Sangat Kritis (SK) dengan luasnya pada seluruh
unit lahan, penutup lahan dan kawasan hutan, baik dalam
satuan hektar (ha) maupun persentase (%). Hasil dari analisis
persentasi kelas tingkat bahaya erosi tersebut, secara rinci,
disajikan pada Tabel V-20.

Tabel V-20. Perse ntasi Tingkat Kekritisan Lahan pada


Kawasan Hutan Lindung di Sub-Sub DAS Amandit Bagian
Hilir

No. Kelas TKL Luas (ha) Persentase


1 Agak Kritis 10,63 5,99
2 Kritis 145,00 81,64
3 Sangat Kritis 21,97 12,37
Jumlah 177,60 100,00

Dari data pada Tabel V-20, dapat dibuatkan grafik


(diagram pie) hubungan antara kelas Tingkat Kekritisan Lahan
(TKL) dengan luas (persentase), yang hasilnya dapat dilihat
pada Gambar V- 11.

128
Tingkat Kekritisan Lahan

Gambar V-11. Diagram pien Tingkat Kekritisan Lahan pada Kawasan


Lindung di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir.

Di Kawasan Lindung Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir


(Tabel V-19), ternyata luas kawasan hutan yang terbesar adalah
Hutan Lindung (HL) 167,52 Ha (94,33%, persentase terhadap
luas Kawasan Lindung Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir),
kemudian diikuti Kawasan Lindung Danau Bangkau (KLDB)
seluas 10,08 Ha (5,67%). Penutup lahan hanya terdapat 1 (satu)
macam, yaitu Semak Belukar (SB) seluas 177,60 Ha (100,00%).
Dari data pada Tabel V-19 dan V-20 dan Gambar V-22 dan
V-23, TKL di Kawasan Lindung Sub-Sub DAS Bagian Hilir
yang terbesar adalah TKL kelas Kritis 145,00 Ha (81,64%),
kemudian diikuti kelas Sangat Kritis 21,97 Ha (12,37%) dan
kelas Agak Kritis 10,63 Ha (5,98%).
Menurut Kementerian Kehutanan RI (2013) kekritisan
lahan pada Kawasan Lindung di suatu daerah aliran sungai
(DAS) dipengaruhi oleh factor kemiringan lereng, penutupan
lahan, tingkat bahaya erosi dan manajemen. Menperhatikan
TKL hasil penelitian di Kawasan Lindung Bagian Hilir di atas
(Tabel V-20), yang terdiri dari TKL kelas Kritis dan Sangat
Kritis yang jumlah luas keduanya mencapai 166,97 Ha (94,02%),
menunjukkan di Kawasan Lindung Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hilir berfungsi kurang optimal. Kawasan Lindung

129
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Bagian Hilir diharapkan dapat diusahakan oleh masyarakat


untuk meningkatkan pendapatan. Diduga penyebab utama
TKL Kritis dan Sangat Kritis yang besar adalah pengaruh dari
penutup lahan (PL). Dari Tabel V - 19, di Kawasan Lindung
Danau Bangkau (KLDB) dan Hutan Lindung (HL) kondisi
penutup lahannya hanya terdiri dari Semak Belukar 177,60 Ha
(100,00%). Seyogianya kedua kawasan tersebut lebih dominan
penutup lahannya berupa hutan alam atau hutan tanaman.
Namun kenyataannya penutup lahan kedua macam tersebut
tidak ditemukan. Dalam analisis kekritisan lahan, penutup
lahan berupa Semak Belukar persentase penutupan tajuk
tergolong kelas Sangat Buruk dan Buruk, karena persentase
penutup tajuk dari <20 % - 40% dengan skor yang digunakan
1 dan 2 (Ditjen BP DAS PS, 2013). Akibatnya hasil perhitungan
untuk parameter penutupan tajuk juga rendah, sehingga lahan
di kawasan lindung tergolong kritis dan sangat kritis. Skor
1 dan 2 untuk persentase penutupan tajuk luasnya mencapai
177,60 Ha (100,00%). Penutup lahan berupa semak belukar
(SB) merupakan penutup lahan yang kurang produktif, karena
disamping ditumbuhi oleh tanaman berkayu juga semak dan
alang-alang. Pada musim kemarau semak dan alang-alang
itu mudah terbakar, yang mengabikatkan serasah dan bahan
organik lainnya habis terbakar, sehingga sifat fisik dan kimia
tanah menjadi kurang baik. Jika dilihat dari penutup lahannya
di SAGK dan HL dominan semak belukar, berarti dahulunya
daerah tersebut telah mengalami perubahan penggunaan
lahan, sehingga lahannya menjadi tidak produktif lagi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Ali, et al., (2011) dan Badaruddin (2014)
bahwa tindakan manusia yang merubah penggunaan lahan
yang tidak sesuai dengan kemampuannya, mengakibatkan
tingkat erosi meningkat. Menurut Ruslan  (1992) dalam
penelitiannya di DAS Riam  Kanan, bahwa di Sub DAS/DAS
yang komposisi penggunaan lahannya dominan  penutup
lahan berupa alang-alang dan semak belukar, tingkat bahaya
erosi yang terjadi terdiri dari Sedang, Berat dan Sangat Berat,
dan apabila tidak dikelola dengan baik, lahan tersebut akan
menjadi kritis. Hal tersebut disebabkan tingkat bahaya erosi,

130
Tingkat Kekritisan Lahan

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besar


kecilnya tingkat kekritisan lahan (TKL) yang terjadi di suatu
daerah aliran sungai.
Berdasarkan data Tingkat Kekritisan Lahan (TKL) di
Kawasan Budidaya (Tabel V-9, Tabel V-11, Tabel V-13) dan
Kawasan Lindung (Tabel V-15, Tabel V-17, Tabel V-19) yang
telah diuraikan di atas, dapat dibuat rekapitulasi Tingkat
Kekritisan Lahan (TKL) untuk kedua fungsi kawasan hutan
(Kawasan Budidaya dan Kawasan Lindung) tersebut dan
ketiga Bagian Sub-Sub DAS Amandit (Bagian Hulu, Tengah
dan Hilir), yang hasilnya disajikan pada Tabel V-21.

Tabel V-21. Rekapitulasi Tingkat Kekritisan Lahan (TKL) pada


Sub-Sub DAS Amandit

F. KH Tingkat Kekritisan Lahan


No. Satu-
BS. DAS TK PK AK K SK Jumlah
an
1. KB
a. Hulu Ha 0.00 1.476,04 1.073,09 0,00 0,00 2.549,13
  % 0.00 1,61 1,17 0,00 0,00 2,78
b. Tengah Ha 0.00 12.333,11 3.549,46 0,00 0,00 15.882,58
  % 0,00 13,46 3,87 0,00 0,00 17,33
c. Hilir Ha 0,00 64.268,83 8.956,06 0,00 0,00 73.224,89
  % 0,00 70,12 9,77 0,00 0,00 79,89
  Jumlah Ha 0,00 78.077,98 13.578,61 0,00 0,00 91.656,59
  % 0,00 85,19 14,81 0,00 0,00 100,00
2 KL  
a. Hulu Ha 20,51 4.977,29 5.795,51 5.848,54 0,00 16.641,84
  % 0,09 20,93 24,37 24,59 0,00 69,97
b. Tengah Ha 0,00 0,00 2.646,30 4.214,43 105,61 6.966,34
  % 0,00 0,00 11,13 17,72 0,44 29,29
c. Hilir Ha 0,00 0,00 10,63 145,00 21,97 177,60
  % 0,00 0,00 0,04 0,61 0,09 0,75

  Jumlah Ha 20,51 4.977,29 8.452,43 10.207,97 127,58 23.785,78

  % 0,09 20,93 35,54 42,92 0,54 100,00

131
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

F. KH Tingkat Kekritisan Lahan


No. Satu-
BS. DAS TK PK AK K SK Jumlah
an

  Total(1+2) Ha 20,51 83.055,27 22.031,04 10.207,97 127,58 115.442,36


%
  Total
0,02 71,95 19,08 8,84 0,11 100,00

Keterangan : F.KH = Fungsi Kawasan; BS.DAS = Bagian Sub-Sub


DAS; KB = Kawasan Budidaya; KL = Kawasan Lindung; TK =Tidak
Kritis; PK = Potensial Kritis; AK = Agak Kritis; K = Kritis; SK =
Sangat Kritis.

Berdasarkan data hasil analisis pada Tabel V-10, V-12,


V-14, V-16, V-18, V-20 dan Tabel V-21, dapat ditentukan
sebaran Tingkat Kekritisan Lahan (TKL) di lapangan mulai
dari Tidak Kritis (TK), Potensial Kritis (PK), Agak Kritis (AG),
Kritis (K) sampai dengan Sngat Kritis (SK) pada Kawasan
Budidaya dan Kawasan Lindung di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu, Bagian Tengah dan Bagian Hilir, yang hasilnya
berupa peta dapat dilihat pada Gambar V- 12.

132
Gambar V-12. Peta Tingkat Kekritisan Lahan Di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu, Bagian Tengah dan Bagian Hilir.

133
BAB VI
POLA ARAHAN REHABILITASI HUTAN
DAN LAHAN

A. Umum
Menurut Departemen Kehutanan RI (2009), sasaran utama
dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan adalah lahan-
lahan yang terdapat di daerah aliran sungai (DAS) yang
keadaan topografinya relatif agak curam s/d sangat curam
dan umumnya terdapat pada daerah aliran sungai bagian
hulu (up stream) dan bagian tengah (middle stream), Lahan-
lahan di daerah aliran sungai tersebut umumnya digunakan
untuk kegiatan pertanian secara luas, maka disarankan untuk
menerapkan prinsip-prinsif konservasi tanah dan air, sebab
jika dalam pengelolaan lahan tidak menggunakan prinsip-
prinsif konservasi tanah dan air, maka akan menimbulkan
kerusakan lingkungan seperti erosi dan sedimentasi yang
tinggi serta tanah longsor, Lahan-lahan tersebut cenderung
akan menjadi lahan agak kritis dan kritis, jika dalam
penggunaan lahannya tidak memperhatikan faktor-faktor
yang menyebabkan lahan menjadi kritis, yaitu : kemiringan
lereng, tingkat bahaya erosi, penutup lahan (% penutupan
tajuk atau produktivitas lahan) dan manajemen kawasan, Dari
rekapitulasi data analisis Tingkat Kekritisan Lahan (TKL) pada
Tabel V-21 dan data sebaran TKL pada Gambar V-12, ternyata
di Kawasan Lindung Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir,

135
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

yang tergolong Krits (K) seluas 145 Ha (0,61%) dan Sangat


Kritis (SK) 21,97 Ha (0,05%) sangat kecil, maka dalam analisis
sosial ekonomi, urutan prioritas dan arahan rehabilitasi hutan
dan lahan, Kawasan Budidaya dan Kawasan Lindung Sub-
Sub DAS Amandit Bagian Hilir tidak dimasukkan, Dengan
demikian dalam analisis sosial ekonomi, urutan prioritas dan
arahan rehabilitasi hutan dan lahan sasarannya hanya pada
Kawasan Budidaya dan Kawasan Lindung Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah Kabupaten Hulu
Sungai Selatan.

B. Aspek Sosial Ekonomi


1. Tekanan Penduduk
Tekanan penduduk (TP) adalah indek yang dimaksudkan
untuk menghitung dampak penduduk di areal lahan pertanian
terhadap lahan tersebut, Makin besar jumlah penduduk, maka
makin besar pula kebutuhan akan sumberdaya alam (SDA)
yang diperlukan, sehingga tekanan penduduk terhadap
sumberdaya alam juga meningkat, Dengan kualitas hidup pen­
duduk yang rendah, akan terjadi kenaikan tekanan penduduk
terhadap sumberdaya alam akan meningkat seban­ding dengan
kenaikan jumlah penduduk tersebut,
Berdasarkan data aspek sosial ekonomi yang dikumpulkan
di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan BagianTengah
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, yang berhubungan dengan
Tekanan Penduduk (TP) dan merupakan salah satu parameter
untuk menganalisis pengaruh sosial ekonomi masyarakat
dalam suatu daerah aliran sungai terhadap kegiatan rehabilitasi
hutan dan lahan (RHL), dianalisis menggunakan formulasi
seperti yang telah diuraikan dalam Bab IV (Pendekatan dan
Metode Kajian), didapatkan hasilnya seperti pada Tabel VI – 1.

136
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

Tabel VI-1. Nilai Tekanan Penduduk di Sub-Sub DAS


Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah

No. Peubah Besaran Satuan Keterangan


Luas lahan minimal per petani utk hidup
1 Z 2 Ha
layak
2 F 23,50 % Proporsi petani dalam populasi
3 Po 22.795 Jiwa Jumlah penduduk pada waktu To
Tingkat pertumbuhan penduduk rataan/
4 R 2 % tahun 2% (Asumsi migrasi = 0, jumlah anak
umur 0 – 5 thn = 2,015 jiwa/16,518 jiwa
5 t 5 Tahun Rentang waktu
6 L 13.385 Ha Total luas wilayah lahan pertanian
      Kebun, ladang, persawahan & pemukiman

7 TP 0,88   Tekanan Penduduk

Hasil analisis tekanan penduduk (Tabel VI-1) nilainya


sebesar 0,88, hal ini jika dihubungan dengan kriteria pengaruh
TP yang menyatakan jika nilai TP < 1 (Dephut RI, 2009 dan
Soemarwoto, 1997), maka daya dukung lahan tersebut masih
dapat menampung lebih banyak penduduk petani di wilayah
tersebut, Hasil kajian ini sesuai dengan penelitian Abdurahman
(2007) di Sub DAS Ayuh Kabupaten Barito Selatan, yang
mendapatkan nilai Tekanan Penduduk (TP) sebesar 0,67 yang
berarti < 1, yang juga berarti di Sub-Sub DAS tersebut masih
dapat menampung penduduk petani untuk mengusahan lahan
di daerah tersebut. Badaruddin (2014) mengemukakan bahwa,
di suatu desa yang TP <1, berarti di desa tersebut lahannya
masih kurang dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan
pertanian atau daerah yang bersangkutan masih mampu
memenuhi kebutuhan hidup penduduk dalam jumlah yang
lebih banyak.
Dengan demikian kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(RHL) seperti reboisasi, pengkayaan tanaman reboisasi dan
hutan tanaman rakyat dengan diikuti tindakan sipil teknis
konservasi tanah dan air di Sub-Sub DAS Amandit Bagian

137
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Hulu dan Bagian Tengah, sebaiknya diarahkan untuk banyak


melibatkan masyarakat setempat, karena daya dukung lahan­
nya masih tinggi.

2. Penetuan Dukungan Aspek Sosial Ekonomi


Sekumpulan data sosial ekonomi yang telah dikumpulkan
dilapangan, baik data primer maupun data sekunder dianalsis
sesuai dengan formulasi dalam Bab IV (Pendekatan dan
Metode Kajian), didapatkan jumlah (populasi) petani dan
besar cuplikan petani berdasarkan status kepemilikan lahan,
yang terdiri dari pemilik lahan, sewa dan sakap (Lampiran 4).
Rekapitulasi dari status kepemilikan lahan oleh petani-petani
di Sub-Sub DAS Amandi Bagian Hulu dan BagianTengah
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dapat dilihat pada Tabel VI-
2,

138
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

Tabel VI-2. Jumlah Petani berdasarkan Status Kepemilikan


Lahan di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian
Tengah

Dari data Tabel VI-2, dapat diketahui bahwa di Sub-Sub


DAS Amandit Bagian Hulu jumlah petani pemilik, sewa
dan buruh petani (sakap) masing-masing sebanyak 1,164
orang, 219 orang dan 72 orang, Sedangkan di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Tengah jumlah petani pemilik, sewa dan

139
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

buruh petani masing-masing sebanyak 3,021 orang, 660 orang


dan 221 orang. Untuk melihat gambaran sebaran jumlah
petani tersebut berdasarkan status kepemilikan lahan, dapat
dibuat grafik (column chart) pada berbagai desa di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah, yang hasilnya
disajikan pada Gambar VI - 1.

Gambar VI-1. Grafik Jumlah Petani pada Tiap Desa di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah.

Berdasarkan data pada Tabel VI-2, dapat ditentukan petani


contoh dengan menggunakanformula penentuan sampel
petani yang dikemukakan pada Bab IV (Pendekatan dan
Metode Kajian), sehingga diperoleh jumlah contoh responden
sebanyak 100 orang petani, dengan sebaran 79 orang petani
pemilik lahan, 16 orang petani penyewa lahan dan 5 orang
buruh petani di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan
Bagian Tengah.
Aspek sosial ekonomi dari petani di suatu daerah aliran
sungai perlu diperhitungkan, karena dapat menjadi alat atau
indikator untuk memperkirakan seberapa kuat dukungan
faktor-faktor sosial ekonomi masyarakat petani terhadap
upaya-upaya rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), Semakin besar
dukungan aspek sosial ekonomi tersebut, maka diharapkan
semakin besar pula peluang atau kesempatan untuk mencapai

140
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan


tersebut, Dari data primer dengan jumlah sampel responden
sebanyak 100 orang kepala keluarga dan data sekunder yang
diperoleh di lapangan, kemudian dianalisis dengan formula
Dukungan Aspek Sosial Ekonomi (Departemen Kehutanan RI,
2009), yang hasilnya disajikan pada Lampiran 5.
Dari data Lampiran 5 tersebut, dibuat rekapitulasi hasil
analisis yang memuat dari komponen-komponen, parameter-
parameter dan sistem pembobotan yang digunakan dalam
mengevaluasi dari nilai dukungan aspek sosial ekonomi
(DASE) di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian
Tengah, yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel VI- 3.

Tabel VI-3. Nilai Dukungan Sosial Ekonomi di Sub-Sub DAS


Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah

Dari data Tabel VI-3, dapat diketahui bahwa di Sub-Sub


DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah, nilai tingkat
ketergantungan penduduk terhadap lahan sebesar 26,28,
sedangkan nilai tingkat adopsi petani terhadap teknologi
baru konservasi 8,78 dan nilai keberadaan dan aktivitas
kelembagaan yang ada sebesar 6,90. Untuk melihat gambaran

141
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

sebaran dari nilai-nilai ketiga parameter dukungan aspek sosial


ekonomi di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian
Tengah, dapat dibuat grafik (column chart), yang hasilnya
disajikan pada Gambar VI-2.

Gambar VI - 2. Grafik Nilai Dukungan Sosial Ekonomi di Sub-Sub DAS


Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah.

Hasil analisis nilai dukungan aspek sosial ekonomi


(DASE) seperti pada Tabel VI- 3 dan Gambar VI-2 di Sub-
Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah ternyata
nilai­nya sebesar 41,64. Jika nilai dukungan aspek sosial eko­
nomi tersebut dibandingkan dengan kriteria peringkat DASE
pada Tabel IV-9 Bab IV Pendekatan dan Metode Kajian
(Departemen Kehutanan RI, 2009), maka nilai DASE termasuk
pada kisaran nilai 40 – 50, yang berarti dukungan aspek social
ekonomi tergolong dalam peringkat Sangat Kuat.
Dengan adanya dukungan yang sanga kuat dalam as­
pek sosial ekonomi, maka kegiatan Rehabilitasi Hutan dan
Lahan di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian
Tengah memiliki peluang keberhasilan yang besar. Disa­
rankan kegiatan lebih diarahkan pada peningkatan adopsi
teknologi baru dan menstimulir aktifitas kelembagaan yang
ada (keduanya melalui pelatihan-pelatihan), peningkatan
Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan serta mendorong
peningkatan hasil-hasil pertanian dalam arti luas sehingga

142
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

semakin mengurangi tekanan terhadap keberadaan hutan


dan lahan di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian
Tengah.

C. Urutan Prioritas Rehabilitasi Hutan Dan Lahan


Dalam penentuan urutan prioritas dan arahan rehabilitasi
hutan dan lahan citra yang digunakan adalah Citra Spot
yang menampilkan penutupan lahan yang detail (jumlahnya
17 macam, P1 sampai dengan P17), sehingga unit lahannya
menjadi lebih banyak sesuai dengan tipe penutupan lahannya,
Tingkat kekritisan lahan pada analisis Citra Lansat tetap
digunakan sebagai dasar untuk mementukan tingkat kekritisan
lahan pada berbagai penutup lahan yang detail.
Pada kajian ini untuk menentukan urutan prioritas dan
arahan rehabilitasi hutan dan lahan sasarannya hanya pada
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah,
sedangkan Bagian Hilir tidak dimasukkan. Dasar pertim­
bangan tidak dimasukkannya Sub-Sub DAS Amandit Bagian
Hilir tersebut, karena dalam analisis pada tahap tingkat
kekritisan lahan (TKL) tergolong relatif tidak krits dan
lahannya berupa rawa (lahan basah), sehingga tidak menjadi
sasaran dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
Menurut Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi La­
han Departemen Kehutanan RI (1998), menyatakan bahwa
pola usaha tani pada rehabilitasi lahan dan konservasi tanah
(RLKT) dalam suatu daerah aliran sungai adalah sebagai
bentuk pemanfaatan lahan kering agar fungsi produksi lahan
dan konservasi dapat dilaksanakan secara bersamaan.
Penentuan urutan prioritas (UP) yang dimaksud dalam
pemelitian ini adalah urutan yang ditentukan berdasarkan
tingkat kekritisan lahan (TKL). Urutan pririotas pertama
apabila TKL Sangat Kritis (SK); urutan proritas kedua apabila
TKL Kritis (K), urutan proritas ketiga apabila TKL Agak Kritis
(AK), urutan prioritas keempat apabila TKL Potensial Kritis
(PK) dan urutan proritas kelima apabila TKL Tidak Kritis
(TK). Analisis selanjutnya, dengan berdasarkan pada urutan

143
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

prioritas rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dan hasil analisis


aspek sosial ekonomi (tekanan penduduk dan dukungan
aspek sosial ekonomi) dapat dirumuskan pola arahan RHL.
Penggunaan dukungan data aspek ekonomi tersebut, agar
dalam menetukan arahan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan
mendapat dukungan dari masyarakat petani di dalam daerah
aliran sungai. Secara rinci hasil analisis Urutan Prioritas (UP)
RHL dan Pola Arahan RHL dapat dilihat pada Lampiran 6.
Uraian urutan priorotas (UP) di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu dan Bagian Tengah adalah seabagai berikut :

1. Urutan Prioritas (UP) di Sub-Sub DAS Amandit Bagian


Hulu
Berdasarkan data pada Lampiran 6, maka dapat ditentukan
formulasi UP RHL di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu.
Rekapitulasi hasil dari analisis tentang penentuan urutan
prioritas rehabilitasi hutan dan lahan tersebut, secara rinci
dapat dilihat pada Tabel VI-4.

144
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

Tabel VI-4. Urutan Prioritas Rehabilitasi Hutan dan Lahan


Berdasarkan Tingkat Kekritisan Lahan pada Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hulu

145
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Dari data Tabel VI-4, dapat dibuat garfik (column chart)


tentang urutan prioritas (UP) pada berbabgi kawasan hutan
di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu, yang hasilnya dapat
dilihat pada Gambar VI - 3.

Keterangan :
UP II HL : Urutan Prioritas II Hutan Lindung ; UP II SAGK : Urutan
Prioritas II Suaka Alam Gunung Kentawan ; UP III HL : Urutan
Prioritas III Hutan Lindung; UP III APL: Urutan Prioritas III Hutan
Areal Penggunaan Lain ; UP III HP : Urutan Prioritas III Hutan Produksi
dan UP III SAGK : Urutan Prioritas III Suaka Alam Gunung Kentawan

Gambar VI-3. Urutan Prioritas Rehabilitasi Hutan dan Lahan Berdasarkan


Tingkat Kekritisan Lahan pada Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu.

Dari  data pada Tabel VI - 4, dianalisis kembali untuk


mendapatkan jumlah persentase urutan prioritas (UP) pada
seluruh penutup lahan (PL) dan kawasan hutan (KH) di
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu. Hasil analisis tersebut,
diperoleh hubungan secara deskriptif antara sebaran UP
II dan UP III dengan luasnya pada seluruh penutup lahan
dan kawasan hutan, baik dalam satuan hektar (ha) maupun
persentase (%). Hasil dari analisis urutan prioritas (UP) di Sub-
Sub DAS Amandit Bagian Hulu tersebut, secara rinci disajikan
pada Tabel VI-5.

146
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

Tabel VI-5. Persentasi Urutan Prioritas RHL di Sub-Sub DAS


Amandit Bagian Hulu

Dari data pada Tabel VI-5, dapat dibuatkan grafik


(diagram pien) hubungan antara urutan prioritas RHL dengan
luas dan persentase, yang hasilnya dapat dilihat pada Gambar
VI- 4.

Gambar VI - 4. Diagram Pie Urutan Prioritas RHL di Sub-Sub DAS


Amandit Bagian Hulu.

Dari Tabel VI-4 dan Gambar VI-4, ternyata di Sub-Sub


DAS Amandit Bagian Hulu Urutan Prioritas (UP) yang
terdapat terdiri dari UP II (Kritis) dan UP III (Agak Kritis).
Urutan Prioritas II terdapat di kawasan Hutan Lindung seluas
5.805,13 Ha (38,208%) dan kawasan Suaka Alam Gunung
Kentawan 43,41 Ha (0,286%). Pada kawasan Hutan Lindung
terdapat 3 (tiga) penutup lahan yang terbesar, yaitu Semak
Belukar 4.198,00 Ha (27,630%), Kebun Karet 1.199,75 Ha

147
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

(7,896%) dan Pertanian Lahan Kering 369,71 Ha (2,433%). Pada


Suaka Kawasan Gunung Kentawan terdapat 2 (dua) penutup
lahan yang terbesar, yaitu Semak Belukar 31,96 Ha (0,210%)
dan Kebun Karet 11,15 Ha (0,073%). Pada UP III terdapat di
kawasan Hutan Lindung seluas 5.784,47 Ha (38,072%), Areal
Penggunaan Lain 2.484,36 Ha (16,351%), Hutan Produksi
1.065,11 (7,010%) dan Suaka Alam Gunung Kentawan 11,04
Ha (0,073%). Pada kawasan Hutan Lindung terdapat 3 (tiga)
penutup lahan yang terbesar, yaitu Semak Belukar 2.756,33 Ha
(18,142%), Kebun Karet 2.424,60 Ha (15,958%) dan Pertanian
Lahan Kering 459,53 Ha (3,025%). Pada Areal Penggunaan
Lain terdapat 3 (tiga) penutup lahan yang terbesar, yaitu
Kebun Karet 1.214,28 Ha (7,992%), Semak Belukar 887,86 Ha
(5,844%) dan Pertanian Lahan Kering 287,09 Ha (1,890%). Pada
kawasan Hutan Produksi terdapat 2 (dua) penutup lahan
yang terbesar, yaitu Semak Belukar 593,74 Ha (3,908%) dan
Kebun Karet 376,30 Ha (2,477%). Sedangkan pada Suaka Alam
Gunung Kentawan penutup lahan yang terbesar hanya Semak
Belukar 10,15 Ha (0,073%).
Dari data pada Tabel VI-5 dan Gambar VI-4, ternyata total
Urutan Prioritas II di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu
tersebar di Hutan Lindung (HL) dan Suaka Alam Gunung
Kentawan (SAGK) seluas 5.843,79 Ha (38,47%). Kemudian total
Urutan Prioritas III yang tersebar di Hutan Lindung, Areal
Penggunaan Lain (APL), Hutan Produksi (HP) dan SAGK
seluas 9.349,70 Ha (61,53%).

2. Urutan Prioritas (UP) di Sub-Sub DAS Amandit Bagian


Tengah
Berdasarkan data pada Lampiran 6, maka dapat ditentukan
formulasi UP RHL di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah.
Rekapitulasi hasil dari analisis tentang penentuan urutan
prioritas rehabilitasi hutan dan lahan tersebut, secara rinci
dapat dilihat pada Tabel VI - 6.

148
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

Tabel VI-6. Urutan Prioritas Rehabilitasi Hutan dan Lahan


Berdasarkan Tingkat Kekritisan Lahan pada Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Tengah

149
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Dari data Tabel VI-6, dapat dibuat garfik (column chart)


tentang urutan prioritas (UP) pada berbabgi kawasan hutan
(Hutan Lindung, Suaka Alam Gunung Kentawan, Hutan

150
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

Produksi dan Areal Penggunaan Lain) di Sub-Sub DAS


Amandit Bagian Tengah, yang hasilnya dapat dilihat pada
Gambar VI - 5.

Keterengan :
UP I HL : Urutan Prioritas I Hutan Lindung; UP II HL: Urutan Prioritas
II Hutan Lindung; UP II SAGK: Urutan Prioritas II Suaka Alam Gunung
Kentawan; UP III HL : Urutan Prioritas III Hutan Lindung; UP III HP:
Urutan Prioritas III Hu-tan Produksi; UP III SAGK: Urutan Prioritas III
Suaka Alam Gunung Kentawan dan UP III APL : Urutan Prioritas III Hutan
Areal Penggunaan Lain.

Gambar VI-5. Urutan Prioritas Rehabilitasi Hutan dan Lahan Berdasarkan


Tingkat Kekritisan Lahan pada Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Tengah.

Dari data pada Tabel VI-6, dianalisis kembali untuk


mendapatkan jumlah persentase urutan prioritas (UP) pada
seluruh penutup lahan dan kawasan hutan di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Tengah. Hasil analisis tersebut, diperoleh
hubungan secara deskriptif antara sebaran UP II dan UP III
dengan luasnya pada seluruh penutup lahan dan kawasan
hutan, yang secara rinci disajikan pada Tabel VI-7.

151
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Tabel VI-7. Persentasi Urutan Prioritas RHL di Sub-Sub DAS


Amandit Bagian Tengah

Urutan Fungsi Luas Jumlah


No
Prioritas Kawasan (Ha) % (Ha) %
1 I HL 105,61 0,663 105,60 0,663
2 II HL 4.037,08 25,355
4.214,44 26,469
3 II SAGK 177,36 1,114
4 III HL 2.640,03 16,581
5 III APL 4.555,49 28,611
11.602,36 72,869
6 III HP 6,27 0,039
7 III SAGK 4.400,57 27,638
Jumlah 15.922,37 100,00 15.922,38 100,00

Dari data pada Tabel VI-28, dapat dibuatkan grafik


(diagram pien) hubungan antara urutan prioritas RHL dengan
luas (persentase), yang hasilnya dapat dilihat pada Gambar
VI- 6.

Ket : UP dan Fungsi Kawasan lihat Keterangan Gambar VI- 5.

Gambar VI-6. Diagram Pie Urutan Prioritas RHL di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Tengah.

Berdasarkan data Urutan Prioritas (UP) di Sub-Sub DAS


Amandit Bagian Hulu (Tabel VI-26) dan Bagian Tengah (Tabel
VI-28) yang telah diuraikan di atas, dapat dibuat rekapitulasi

152
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

Urutan Prioritas (UP) untuk kedua Sub-Sub DAS Amandit


tersebut, yang hasilnya disajikan pada Tabel VI-8.

Tabel VI-8. Rekapitulasi UP pada Sub-Sub DAS Amandit


Bagian Hulu dan Bagian Tengah

Ket : F.KH = Fungsi Kawasan; HL = Hutan Lindung; SAGK = Suaka Alam


Gunung Kentawan; APL = Areal Penggunaan Lainnya; HP = Hutan
Produksi.

Dari Tabel VI-8 di atas, ternyata di Sub-Sub DAS Amandit


Bagian Hulu dan Bagian Tengah UP I RHL seluas 105,60 Ha
(0,34%); UP II seluas 10.062,96 Ha (32,34%) dan UP III seluas
20.947,33 Ha (67,32%). UP I seluas 105,60 Ha terdapat di HL;
UP II seluas 9.842,20 di HL dan 220,76 Ha di SAGK serta UP III
8.424,50 Ha di HL, 17,31 Ha di SAGK, 6.884,92 Ha di APL dan
5.620,60 Ha di HP.
Dari data pada Tabel VI-8, dapat ditentukan sebaran
Urutan Prioritas (UP) di lapangan mulai dari Urutan Prioritas
I, Urutan Prioritas II dan Urutan Prioritas III di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah, yang hasilnya
berupa peta Prioritas Rehabilitasi Hutan dan Lahan, yang
hasilnya seperti pada Gambar VI - 7.

153
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Gambar VI – 7. Peta Urutan Prioritas Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di


Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah.

D. Arahan Penggunaan Lahan


Dalam prinsip reahabilitasi hutan dan lahan yang menjadi
sasaran utama adalah lahan kering yang terletak di suatu
daearah aliran sungai (DAS). Menurut Departemen Kehutanan
RI (1998) lahan kering di Indonesia mempunyai peranan yang
sangat penting dari segi luas maupun potensi produksinya.
Disamping itu lahan kering yang biasanya terletak di daerah
aliran sungai bagian hulu dan bagian tengah juga mempunyai
fungsi perlindungan dan tata air yang sangat mempengaruhi
penyediaan air di daerah aliran sungai bagian hilir. Oleh
karena itu dalam memanfaatkan lahan kering, sedikitnya ada 2
(dua) macam hal penting yang diperhatikan, yaitu peningkatan
produksi pertanian (secara luas) dan upaya konservasi tanah,
air dan vegetasi. Menurut Ruslan et al., (2013) rehabilitasi
hutan dan lahan bertujuan agar terpulihnya sumberdaya hutan
dan lahan yang rusak sehingga berfungsi optimal yang dapat

154
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

memberikan manfaat kepada seluruh stakeholder, menjamin


keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, dan mendukung
kelangsungan pembangunan kehutanan.
Beberapa faktor yang menjadi bahan pertimbangan dalam
menentukan Pola Arahan Rehabiolitasi Hutan dan Lahan
(RHL) adalah: 1) Urutan Prioritas (UP) I (Sangat Kritis), Urutan
Prioritas II (Kritis) dan Urutan Prioritas III (Agak Kritis) hasil
análisis pada point 1 (Penentuan Urutan Prioritas Rehabilitasi
Hutan dan Lahan), 2) Fungsi Kawasan dan Penutup Lahan,
3) Tekanan Penduduk (TP) dan 4) Dukungan Aspek Sosial
Ekonomi (DASE).
Semua UP I (Sangat Kritis), UP II (Kritis) dan UP III (Agak
Kritis) yang terletak di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu
dan Bagian Tengah menjadi sasaran dalam kegiatan arahan
rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Metode arahan rehabilitasi
hutan dan lahan menggunakan pedekatan vegetatif dan sipil
teknis konservasi tanah dan air. Dalam metode mekanik
yang dipilih yang mempunyai kemudahan dan biaya yang
murah dalam pelaksanaannya, yaitu penanaman menurut
garis kontur dan secara khusus menggunakan teras guludan
terutama dalam kegiatan penanaman di areal pertanian lahan
kering (PKL).
Pemilihan pola arahan RHL memperhatikan aktor-faktor
berikut : a) Fungsi Kawasan Hutan, yaitu Kawasan Hutan
Lindung (KHL) terdiri dari Hutan Lindung (HL) dan Suaka
Alam Gunung Kentawan (SAGK), sedangkan Kawasan
Budidaya Pertanian (KBP) terdiri dari Hutan Produksi (HP) dan
Areal Penggunaan Lain (APL). Pada Kawasan Hutan Lindung
diutamakan Reboisasi, Suksesi Hutan, Hutan Tanaman dan
Agroforestri serta Kebun (jika Penutup Lahannya PKL dan
Kebun Karet, Kebun Sawit, Kebun Campuran). Pada Kawasan
Budidaya Pertanian diutamakan bentuk Pertanian Lahan
Kering (PKL) dan Hutan Produksi. b) Faktor penutup l;ahan
(PL), disesuaikan dengan kondisi penutup lahan yang ada
sekarang, ada yang diganti dengan yang lebih produktif dan
mempunyai fungsi perlindungan serta tetap dipertahankan

155
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

dengan menggunakan jenis bibit unggul, terutama bila


penutup lahan kebun/pertanian lahan kering. c). Tekanan
Pendiuduk (TP) < 1, berarti jumlah lahan masih tersedia untuk
penduduk di daearah Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan
Bagian Tengah mengembangkan usaha pertanian lahan kering
yang besenergi dengan kegiatan RHL di daerah daerah sungai
tersebut. Nilai DASE > 40, berarti dukungan masyarakat
terhadap kegiatan RHL sangat baik, sehingga dalam memilih
bentuk RHL harus dipertimbangkan kegiatan yang banyak
melibatkan masyarakat agar penghasilan masyarakat dapat
meningkat dan partisipasi masyarakat tetap terjaga dengan
baik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikelompokkan sebelas
pola arahan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di Sub-Sub
DAS Amandi Bagian Hulu dan Bagian Tengah, seperti yang
disajikan pada Tabel VI - 9.

Tabel VI - 9. Kelompok Pola Arahan RHL di Sub-Sub DAS


Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah

Ket: PL (Penutupan Lahan), KK (Kebun Karet), KS (Kebun Sawit), KC


(Kebun Campuran), PKM (Pemukiman), PLK (Pertanian Lahan Kering), LT
(Lahan Terbuka), SB (Semak Belukar), BJ (Badan Jalan), HT (Hutan) dan
PTB (Pertambangan).

156
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

1. Arahan RHL di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu


Dari data pada Lampiran 6, dapat ditentukan pola arahan
RHL untuk setiap Fungsi Kawasan Hutan (Kawasan Hutan
Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian), Kawasan Hutan
(HL, HP, SAGK, APL) dan Penutup Lahan (PL) di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hulu. Rekapitulasi hasil analisis dari
pola arahan RHL tersebut, secara rinci dapat dilihat pada Tabel
VI-10.

Tabel VI-10. Pola Arahan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di


Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu

157
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Ket : UP (Urutan Prioritas), FKH (Fungsi Kawasan Hutan), KHL (Kawasan


Hutan Lindung), KBP (Kawasan Budidaya Pertanian), KH (Kawasan
Hutan), KK (Kebun Karet), KS (Kebun Sawit), KC (Perkebunan Campuran),
PKM (Pemukiman), PLK (Pertanian Lahan Kering), SB (Semak Belukar),
LT (Lahan Terbuka), BJ (Badan Jalan); HL (Hutan Lindung), SAGK (Suaka
Alam Gunung Kentawan), APL (Areal Penggunaan Lain) dan HP (Hutan
Produksi).

Dari  data pada Tabel VI - 10, dianalisis kembali untuk


mendapatkan jumlah persentase pola arahan rehabilitasi hutan
dan lahan pada berbagai FKH, KH dan seluruh Penutup Lahan
(PL) di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu. Hasil analisis
tersebut, diperoleh hubungan secara deskriptif antara sebaran

158
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

pola arahan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dengan


luasnya pada kawasan hutan dan seluruh penutup lahan, yang
secara rinci disajikan pada Tabel VI - 11

Tabel VI-11. Pola Arahan RHL di Sub-Sub DAS Amandit


Bagian Hulu

Ket : UP & Jenis Fungsi Kawasan lihat Keterangan Tabel VI- 9.

Dari data pada Tabel VI-11, dapat dibuatkan grafik (diag­


ram pien) hubungan antara pola arahan penggunaan lahan
(RHL) dengan luas (persentase), yang hasilnya dapat dilihat
pada Gambar VI- 8.

159
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Ket : UP (Urutan Prioritas); A (Tetap dipertahankan, dan direhabilitasi


dengan jenis yang unggul), B (Dipertahankan dan ditingkatkan peme­
liharaannya), C (Tetap dipertahankan dengan peremajaan, dan di-
tambahkan dengan jenis-jenis MPTS), D (Dipertahankan dan pengem­
bangan tanaman pekarangan), E (Agroforestri), F (Reboisasi), G (Suksesi
Alami), H (Turus Jalan dan Sipil Teknis Bangunan KTA) dan I (Penghijauan
atau HTI).

Gambar VI-8. Diagram Pien Arahan Penggunaan Lahan di Sub-Sub DAS


Amandit Bagian Hulu.

Dari Tabel VI-10, Tabel VI-11 dan Gambar VI-8 ternyata di


Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu jumlah Pola Arahan RHL
seluruhnya seluas 15.193,51 Ha terdiri dari 9 pola Arahan RHL
yaitu : 1) KK tetap dipertahankan, dan direhabilitasi dengan
jenis tanaman yang unggul, 2) KS tetap dipertahankan dan
ditingkatkan pemeliharaannya, 3) KC tetap dipertahankan
dengan peremajaan dan ditambahkan dengan jenis-jenis
MPTS, 4) PMK tetap dipertahankan dan dikembangkan
dengan tanaman pekarangan, 5) PLK dikembangkan dengan
pola Agroforestri, 6) SB/LT dikonversi menjadi hutan dengan
pola Reboisasi, 7) SB pada Suaka Alam Gunung Kentawan
dikonversi menjadi hutan dengan pola Suksesi Alami, 8) BJ
dipertahankan dan bahu jalan ditanam dengan pohon pola
Turus Jalan dan Sipil Teknis pembuatan Saluran Drainase
untuk pembuangan air, 9) SB/LT dikonversi menjadi hutan
dengan pola Penghijauan dan HTI karena pada Kawasan APL.
Terdapat 4 pola arahan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL)
yang dominan : pada urutan prioritas RHL (UP) II dan III,

160
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

Hutan Lindung dan Hutan Produksi serta Penutup Lahan


Semak Belukar/Lahan Terbuka dikonversi menjadi hutan
melalui pola arahan rehabilitasi hutan dan lahan Reboisasi
seluas 7.548,13 Ha; Hutan Lindung, Hutan Produksi, Areal
Penggunaan Lain dan Suaka Alam Gunung Kentawan serta
Penutup Lahan Kebun Karet tetap dipertahankan sebagai
kebun karet dan direhabilitasi dengan jenis karet unggul
seluas 5.226,33 Ha, Penutup Lahan Pertanian Lahan Kering
dikembangkan pola arahan RHL dengan Agroforestri
seluas 1.195,83 Ha dan pada urutan prioritas RHL III Area
Penggunaan Lain Penutup Lahan Semak Belukar/Lahan
Terbuka dikonversi menjadi hutan tanaman dengan arahan
RHL berupa Penghijauan atau Hutan Tanaman Iindustri seluas
888,03 Ha.
Dari data Tabel VI–10 pada Fungsi Kawasan Budidaya
Pertanian (KBP) yang terdiri dari Hutan Produksi dan
Areal Penggunaan Lain, penggunan lahan oleh masyarakat
tidak menjadi masalah, karena penggunaan lahan yang ada
(existing land use) telah sesuai dengan peruntukannya, seperti
digunakan untuk pemukiman, pertanian lahan kering, kebun
karet, kebun sawit dan kegiatan pembangunan lainnya yang
berhubungan dengan penggunaan lahan. Namun di Kawasan
Hutan Lindung (HL dan SAGK) masih terdapat penggunaan
lahan yang kurang sesuai dengan peruntukannya seperti
Kebun Karet (KK), Kebun Sawit (KS), Kebun Campuran
(KC), Pemukiman (PMK), Pertanian Lahan Kering (PLK).
Kenyataan ini, diduga karena masyarakat lebih dahulu
bertempat tinggal dan berusaha di fungsi kawasan hutan
tersebut, sebelum ditetapkan sebagai Hutan Lindung (HL)
dan Suaka Alam Gunung Kentawan (SAGK). Oleh karena itu,
pola arahan rehabilitasi hutan dan lahan (penggunaan lahan)
tetap dipertahankan seperti yang tedapat pada Tabel VI-10
dan Tabel VI-11 dengan beberapa perbaikan dan rekomendasi
serta menggunakan metode sipil teknis bangunan konservasi
tanah dan air yang disesuaikan dengan kondisi lapngan. Luas
penggunaan lahan untuk kegiatan KK, KS, KC, PMK dan PLK
yang terdapat di kawasan HL UP RHL II dan III adalah 4.647,53
161
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Ha (30,59%). Diharapkan masyarakat dapat memelihara dan


menjaga kelestarian lingkungan di Kawasan Hutan Lindung
tersebut. Penentuan pola arahan RHL yang sesuai dengan
peruntukan yaitu penutup lahan SB/LT dikonversi menjadi
hutan dengan pola Reboisasi (di Hutan Produksi) dan Suksesi
Alami (di kawas SAGK) seluas 6.996,50 Ha (46,05 %).
Pola arahan RHL urutan prioritas III di Kawasan
Budidaya Pertanian sesuai dengan peruntukannya, sehingga
pola arahaan RHL tetap mengikuti pola RHL yang ada
sekarang dengan beberapa rekomendasi perbaikan dan
penggunaan metode sipil teknis konservasi tanah dan air yang
sesuai dengan kondosi lapangann. Pola arahan RHL tersebut
aadalah : 1) KK tetap dipertahankan, dan direhabilitasi dengan
jenis tanaman yang unggul, 2) KS tetap dipertahankan dan
ditingkatkan pemeliharaannya, 3) KC tetap dipertahankan
dengan peremajaan dan ditambahkan dengan jenis-jenis
MPTS, 4) PMK tetap dipertahankan dan dikembangkan
dengan tanaman peka-rangan, 5) PLK dikembangkan dengan
pola Agroforestri, 6) SB/LT dikonversi menjadi hutan dengan
pola Penghijauan dan HTI karena pada Kawasan APL dan 7)
BJ dipertahankan dan bahu jalan ditanam dengan pohon pola
Turus Jalan dan Sipil Teknis pembuatan saluran drainase untuk
pembuangan air. Jumlah luas pola arahan RHL di Kawasan
Budidaya Pertanian tersebut sebesar 3.549,47 Ha (23,36%).

2. Arahan RHL di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah


Dari data pada Lampiran 6, dapat ditentukan pola arahan
RHL untuk setiap Fungsi Kawasan Hutan (Kawasan Hutan
Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian), Kawasan Hutan
(HL, HP, SAGK, APL) dan berbagai Penutup Lahan (PL) di
Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah. Rekapitulasi hasil
analisis dari pola arahan RHL tersebut, secara rinci dapat
dilihat pada Tabel VI -12.

162
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

Tabel VI-12. Bentuk Arahan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di


Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah

163
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Keterangan : UP (Urutan Prioritas RHL), FKH (Fungsi Kawasan Hutan),


KHL (Kawasan Hutan Lindung), KBP (Kawasan Budidaya Pertanian), KH
(Kawasan Hutan), KK (Kebun Karet); KS (Kebun Sawit); KC (Perkebunan
Campuran); PKM (Pemukiman); PLK (Pertanian Lahan Kering); SB (Semak
Belukar); LT (Lahan Terbuka); BJ (Badan Jalan); PTB (Pertambangan);

Dari data hasil analisis pada Tabel VI-12, ternyata ter­


dapat 11 macam pola arahan rehabilitasi hutan dan lahan
(RHL) di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah. Jumlah pola
arahan rehabilitasi hutan dan lahan di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Tengah (11 macam) lebih besar daripada pola arahan

164
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

rehabilitasi hutan dan di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu


(9 macam). Perbedaan tersebut disebabkan di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Tengah jumlah penutup lahannya lebih
banyak daripada di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu. Pola
arahan RHL tersebut tersebar pada Kawasan Hutan Lindung
(KHL) dan Kawasan Budidaya Pertanian (KBP). Kemudian
data pada Tabel VI-12, dianalisis kembali sehingga didapatkan
jumlah persentase luas pola arahan arahan rehabilitasi hutan
dan lahan (Penggunaan Lahan) pada seluruh penutup lahan
(PL) dan berbagai kawasan hutan (Hutan Lindung, Suaka Alam
Gunung Kentawan, Hutan Produksi dan Areal Penggunaan
Lain). Hasil analisis tersebut, diperoleh hubungan secara
deskriptif antara sebaran sebelas pola arahan rehabilitasi hutan
dan lahan (RHL) dengan luasnya pada urutan prioritas (UP) I,
II dan III, seluruh penutup lahan (PL) dan berbagai kawasan
hutan (KH), yang secara rinci hasilnya disajikan pada Tabel
VI-13.

165
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Tabel VI-13. Bentuk Arahan RHL (Penggunaan Lahan) di


Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah

Keterangan : UP & Jenis Fungsi Kawasan lihat Keterangan Tabel VI-


12.

Dari data hasil analisis pada Tabel VI-13, dapat dibuatkan


grafik (diagram pie) hubungan antara sebelas pola arahan
rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dengan luasnya (persentase)
untuk urutan prioritas I, II dan III di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Tengah, yang hasilnya disajikan pada Gambar VI - 9.

166
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

Ket : UP (Urutan Prioritas); A (Tetap dipertahankan, dan direhabilitasi


dengan jenis yang unggul), B (Dipertahankan dan ditingkatkan peme­
liharaannya), C (Tetap dipertahankan dengan peremajaan, dan ditam­
bahkan dengan jenis-jenis MPTS), D (Dipertahankan dan pengem­bangan
tanaman pekarangan), E (Agroforestri), F (Reboisasi), G (Suksesi Alami),
H (Turus Jalan dan Mekanik), I (Penghijauan atau HTI), J (Dipertahnakan
dan direkomen-dasikan penanaman dengan jenis MPTS dan K
(Reklamasi dan Revegetasi).
Gambar VI-9 Diagram Pie Arahan Penggunaan Lahan di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Tengah.

Dari Tabel VI-11, Tabel VI-13, Gambar VI-8 dan Gambar


VI- 9, ternyata di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah jumlah
arahan RHL seluruhnya seluas 15.922,37 Ha terdiri dari 11
(sebelas) pola Arahan RHL yaitu : 1) KK tetap dipertahankan,
dan direhabilitasi dengan jenis tanaman yang unggul, 2) KS
tetap dipertahankan dan ditingkatkan pemeliharaannya, 3)
KC tetap dipertahankan dengan peremajaan dan ditambahkan
dengan jenis-jenis MPTS, 4) PMK tetap dipertahankan
dan dikembangkan dengan tanaman pekarangan, 5) PLK
dikembangkan dengan pola Agroforestri, 6) SB/LT dikonversi
menjadi hutan dengan pola Reboisasi, 7) SB pada Suaka Alam
Gunung Kentawan dikonversi menjadi hutan dengan pola
Suksesi Alami, 8) BJ dipertahankan dan bahu jalan ditanam
dengan pohon pola Turus Jalan dan Sipil Teknis pembuatan

167
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Saluran Drainase untuk pembuangan air, 9) SB/LT dikonversi


menjadi hutan dengan pola Penghijauan dan HTI karena pada
Kawasan APL, 10) HT tetap dipertahankan direkomen-dasikan
penanaman dengan jenis-jenis MPTS dan 11) PTB dilakukan
reklamasi dan revegtasi pada areal bekas pertambangan
dengan jenis pohon yang sesuai dengan tempat tumbuh.
Terdapat 4 (empat) pola arahan RHL yang dominan, yaitu
pada UP II dan III fungsi kawasan HL dan HP penutup lahan
SB/LT dikonversi menjadi hutan melalui arahan RHL berupa
Reboisasi seluas 5.726,20 Ha, fungsi kawasan HL, HP, APL
dan SAGK, penutup lahan KK tetap dipertahan dan sebagai
kebun karet dan direhabilitasi dengan jenis karet yang unggul
seluas 3.770,70 Ha, penutup lahan PLK dikembangkan dengan
pola Agroforestri seluas 2.518,27 Ha dan pada UP III fungsi
kawasan APL penutup lahan LT dikonversi menjadi hutan
tanaman melalui pola Penghijauan atau Hutan Tanaman
Industri seluas 1.459,37 Ha. Selain dari 4 pola arahan RHL
di atas, secara khusus di kawasan APL penutup lahan PTB
dilakukan melalui pola Reklamasi dan Revegetasi seluas
121,47 Ha.
Dari data Tabel VI–12 pada Fungsi Kawasan Budidaya
Pertanian (KBP) yang terdiri dari Hutan Produksi dan Areal
Penggunaan Lain, penggunan lahan oleh masyarakat tidak
menjadi masalah, karena penggunaan lahan telah sesuai
dengan peruntukannya, seperti digunakan untuk pemukiman,
pertanian lahan kering, kebun karet, kebun sawit dan kegiatan
pembangunan lainnya yang berhubungan dengan penggunaan
lahan. Namun di Kawasan Hutan Lindung (HL dan SAGK)
masih terdapat penggunaan lahan yang kurang sesuai dengan
peruntukannya seperti Kebun Karet (KK), Kebun Sawit (KS),
Kebun Campuran (KC), Pemukiman (PMK) dan Pertanian
Lahan Kering (PLK). Kenyataan ini sama seperti yang terdapat
di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu, diduga karena
masyarkat lebih dahulu bertempat tinggal dan berusaha di
fungsi kawasan hutan tersebut, sebelum ditetapkan sebagai
Hutan Lindung (HL) dan Suaka Alam Gunung Kentawan

168
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

(SAGK). Oleh karena itu, pola arahan rehabilitasi hutan dan


lahan (penggunaan lahan) tetap dipertahankan seperti yang
tedapat pada Tabel VI-12 dan Tabel VI-13 dengan beberapa
perbaikan dan rekomendasi serta menggunakan metode sipil
teknis bangunan konservasi tanah dan air yang disesuaikan
dengan kondisi lapangan. Luas penggunaan lahan untuk
kegiatan KK, KS, KC, PMK dan PLK yang terdapat di kawasan
hutan lindung urutan prioritas RHL I, II dan III adalah
seluas 2.934,55 Ha (18,08%). Diharapkan masyarakat dapat
memelihara dan menjaga kelestarian lingkungan di Kawasan
Hutan Lindung tersebut. Pola arahan RHL yang lain sesuai
dengan peruntukannya yaitu : a) SB/LT dikonversi menjadi
hutan dengan pola Reboisasi yang terdapat di kawasan hutan
lindung dan Suksesi Alami yang terdapat di kawasan Suaka
Alam Gunung Kentawan seluas 3.880,03 Ha (24,37 %), b) BJ
dipertahankan dan bahu jalan ditanam dengan pohon pola
Turus Jalan dan Sipil Teknis pembuatan saluran drainase 5,44
Ha (0,03%) dan c) HT dipertahankan dan direkomen-dasikan
penanaman dengan jenis MPTS 202,55 Ha (1,27%).
Pola arahan RHL urutan prioritas III di Kawasan Budidaya
Pertanian, baik kawasan Hutan Produksi (HP) maupun Areal
Penggunaan Lain (APL) sesuai dengan peruntukannya,
sehingga pendekatan pola arahaan RHL ada yang tetap
mengikuti pola penggunaan lahan yang ada sekarang dengan
beberapa rekomendasi perbaikan dan ada pula yang berubah
(dikonversi) sesuai dengan kondisi penutupan lahan yang
terdapat di lapangan. Kedua pendekatan pola arahan RHL
tersebut, dikombinasikan dengan metode sipil teknis kon­
servasi tanah dan air. Pola arahan RHL tersebut adalah :
1) KK tetap dipertahankan, dan direhabilitasi dengan jenis
tanaman yang unggul, 2) KS tetap dipertahankan dan diting­
katkan pemeliharaannya, 3) KC tetap dipertahankan dengan
peremajaan dan ditambahkan dengan jenis-jenis MPTS, 4) PMK
tetap dipertahankan dan dikembangkan dengan tanaman
peka-rangan, 5) PLK dikembangkan dengan pola Agroforestri,
6) SB/LT dikonversi menjadi hutan dengan pola Penghijauan
dan HTI (pada Kawasan APL) serta SB/LT dikonversi menjadi

169
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

hutan dengan pola Reboisasi (pada kawasan APL), dan 7) BJ


dipertahankan dan bahu jalan ditanam dengan pohon pola
Turus Jalan dan Sipil Teknis pembuatan saluran drainase untuk
pembuangan air, 8) HT dipertahankan dan direkomendasikan
penanaman dengan jenis-jenis MPTS dan 9) PTB areal bekas
pertambangan direklamasi dan direvegetasi dengan jenis yang
sesuai dengan tempat tumbuh. Jumlah luas pola arahan RHL
di Kawasan Budidaya Pertanian (Tabel VI-12) KBP) untuk
kawasan hutan produksi (HP) tersebut sebesar 4.555,48 Ha
(28,61%) dan untuk kawasan Areal Penggunaan Lain (APL)
sebesar 4.400,57 Ha (27,64%).
Dari data analisis pola arahan RHL pada Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah (Tabel VI-11,
Tabel VI-13, Gambar VI - 8 dan Gambar VI - 9), dapat dibuat
rekapitulasi pola arahan RHL dan luasnya pada Urutan
Prioritas (I, II dan III), Kawasan Hutan (HL, SAGK, HP dan
APL) untuk berbagai Penutup Lahan. Pola arahan RHL yang
dibuat dengan metode vegetatif tersebut dikombinasikan
dengan metode sipil teknis konservasi tanah dan air (KTA)
seperti pembuatan teras guludan dan penanaman menurut
garis kontur. Hasil rekapitulasi dari pola arahan RHL tersebut,
secara rinci dapat dilihat pada Tabel VI - 14.

Tabel VI- 14.  Arahan RHL (Penggunaan Lahan) di Sub-Sub


DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah
Kawasan Pola Arahan RHL *) Luas
UP PL
Hutan Uraian (Ha) %
Tetap dipertahankan, dan
I, II, HL,SAGK,
KK direha-bilitasi dengan jenis 8.997,03 28,91
III APL, HP
yang unggul
HL, HP, Dipertahankan dan
II, III KS 83,56 0,27
APL ditingkatkan pemeliharaannya
Tetap dipertahankan dengan
I, II, HL,SAGK,
KC peremajaan, dan ditambahkan 1.609,95 5,17
III APL, HP
dengan jenis-jenis MPTS
Dipertahankan dan
HL APL,
II, III PKM pengembangan tanaman 111,05 0,36
HP
pekarangan

170
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

I, II, HL,SAGK,
PLK Agroforestri 3.714,10 11,94
III APL, HP
I, II, SB/
HL HP Reboisasi 13.274,33 42,66
III LT
II, III SAGK SB Suksesi Alami 212,1 0,68
HL HP, Turus jalan dan pembuatan
II, III BJ 27,03 0,09
APL drainase
SB/
III APL Penghijauan atau HTI 2.347,40 7,54
LT
Dipertahankan dan
HL, HP,
II, III HT direkomendasikan penanaman 617,86 1,99
APL
dengan jenis MPTS
III HP, APL PTB Reklamasi dan Revegetasi 121,47 0,39
Jumlah seluruhnya Arahan Rehabilitasi Hutan dan Lahan 31.115,88 100,00

Keterangan : *) Pola arahan RHL yang dibuat merupakan kombinasi antara


metode Vegetatif dan metode Sipil Teknis Konservasi Tanah dan Air (KTA).

Dari data hasil analisis pada Tabel VI- 14, dapat dibuat
sebaran spasial Pola Arahan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(RHL) di lapangan mulai dari UP I, UP II dan UP III di Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah, yang hasilnya
berupa peta Arahan RHL, yang hasilnya seperti pada Gambar
VI - 10.

171
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Gambar VI - 10. Peta Arahan RHL (Penggunaan Lahan) di Sub-Sub DAS


Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah.

Dari data hasil Analisis pada Tabel VI-14 dan Gambar VI-
10, di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah
ternyata terdapat 11 pola Arahan RHL yang terdiri dari : 1)
Kebun Karet (KK) tetap dipertahankan, dan direhabilitasi
dengan jenis tanaman yang unggul, 2) Kebun Sawit (KS) tetap
dipertahankan dan ditingkatkan pemelihara-annya, 3) Kebun
Campuran (KC) tetap dipertahankan dengan peremajaan dan
ditambahkan dengan jenis-jenis MPTS, 4) Pemukiman (PMK)
tetap dipertahankan dan dikembangkan dengan tanaman
pekarangan, 5) Pertanian Lahan Kering (PLK) dikembangkan
dengan pola Agroforestri, 6) Semak Belukar/Lahan Terbuka
(SB/LT) pada Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi (HP)
dikonversi menjadi hutan dengan pola Reboisasi, 7) Semak
Belukar (SB) pada Suaka Alam Gunung Kentawan (SAGK)

172
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

dikonversi menjadi hutan dengan pola Suksesi Alami, 8) Badan


Jalan (BJ) dipertahankan dan bahu jalan ditanam dengan pohon
Turus Jalan dan Sipil Teknis pembuatan saluran drainase untuk
pembuangan air, 9) Semak Belukar/Lahan Terbuka (SB/LT)
pada Areal Penggunaan Lain (APL) dikonversi menjadi hutan
dengan pola Penghijauan dan Hutan Tanaman Industri (HTI),
10) Hutan Tanaman (HT) tetap dipertahankan dan direkomen-
dasikan penanaman dengan jenis-jenis pohon MPTS dan 11)
Pertambangan (PTB) dilakukan reklamasi dan revegtasi pada
areal bekas pertambangan dengan jenis pohon yang sesuai
dengan tempat tumbuh.
Dari data hasil analisis Tabel VI- 14 di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah, ternyata terdapat 4
(empat) pola arahan RHL yang luasnya lebih dominan daripada
yang lain, yaitu : pada UP I, UP II dan UP III fungsi kawasan
HL dan HP penutup lahan SB/LT dikonversi menjadi hutan
melalui pola Reboisasi seluas 13.274,33 Ha, fungsi kawasan
HL, HP, APL dan SAGK penutup lahan KK tetap dipertahan
sebagai kebun karet dan direhabilitasi dengan jenis karet yang
unggul seluas 8.997,03 Ha, penutup lahan PLK dikembangkan
dengan pola Agroforestri seluas 3.714,10 Ha dan pada UP III
fungsi kawasan APL penutup lahan SB/LT dikonversi menjadi
hutan tanaman melalui pola Penghijauan atau Hutan Tanaman
Industri seluas 2.347,40 Ha. Selain dari empat bentuk arahan
RHL di atas, secara khusus pada kawasan APL penutup lahan
PTB dilakukan reklamasi dan revegtasi pada areal bekas
pertambangan dengan jenis pohon yang sesuai dengan tempat
tumbuh seluas 121,47 Ha.
Berdasarkan sebaran pola Arahan RHL pada Tabel VI-
14 di atas, dapat dipilah menjadi dua kelompok, yaitu : 1)
Kelompok Penutup Lahan tetap dipertahankan ditambah
dengan perlakuan (treatment) tertentu dan 2) Kelompok
Penutup Lahan yang dikonversi (dirubah) menjadi hutan.
Kelompok Penutup Lahan tetap dipertahankan dengan
pemberian treatment tertentu, adalah Kebun Karet (KK),
Kebun Sawit (KS), Kebun Campuran (KC), Pemukiman

173
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

(PKM), Badan Jalan (BJ) dan Hutan (HT). Kelompok Penutup


Lahan yang dikonversi (dirubah) menjadi hutan tanaman dan
agroforestri adalah Semak Belukar/Lahan Terbuka (SB/LT),
Pertanian Lahan Kering (PLK) dan Pertambangan (PTB).
Pola arahan RHL di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu
dan Bagian Tengah yang dikemukakan di atas, sesuai dengan
pendapat Ruslan et al., (2013) dan Badaruddin (2014) bahwa
kegiatan pokok Rehabilitasi Hutan dan Lahan terdiri dari
Reboisasi, Penghijauan, Pemeliharaan dan Penerapan teknik
konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan
kritis dan tidak produktif. Pola arahan RHL dengan metode
vegetatif dan sipil teknis sangat berhubungan erat dengan
besar kecilnya Erosi/TBE yang diduga dengan Model USLE,
karena vegetatif (pengelolaan tanaman = faktor C) dan sipil
teknis konservasi tanah dan air = faktor P). Apabila pola arahan
RHL metode vegetatif dan sipil teknis yang dilaksanakan
berhasil dengan baik, secara teorits maka faktor C dan faktor
P akan menjadi kecil, sehingga erosi yang terjadi juga kecil,
yang akhirnya tingkat kekritisan lahan menjadi kecil. Hal ini
sesuai pendapat Kadir (2014) hasil penelitiannya di Catchment
Area Jaing Sub DAS Negara Provinsi Kalsel, yang menyatakan
perubahan penutup lahan Semak Belukar menjadi hutan
melalui pola Reboisasi penanaman menurut garis kontur
dan pembuatan teras guludan dapat menurunkan tingkat
kekritisan lahan dari Sangat Kritis menjadi Potensial Kritis
serta tingkat kerawanan banjir dari Rawan menjadi Kurang
Rawan.
Hasil analisis data pada Tabel VI-12 menunjukkan, bahwa
selain penggunaan tanaman kehutanan untuk setiap unit
lahan yang direboisasi, juga pada unit lahan UP III (agak kritis)
terutama apada Areal Penggunaan Lain dapat disarankan
alternatif lain yaitu tanaman pertanian/kebun campuran
yang memungkinkan masyarakat melakukan pengembangan
kegiatan pertanian/perkebunan termasuk kombinasi dengan
tanaman semusim atau lahan dekat perkampungan, hal ini
diharapkan agar dapat meningkatkan pendapatan (kesejah­

174
Pola Arahan Rehabilitas Hutan Dan Lahan

teraan) masyarakat disekitar kawasan hutan di Sub-Sub-Sub


DAS Amandit. Hal ini sejalan dengan Tekanan Penduduk
(TP) nilainya <1, berarti usaha pertanian oleh masyarakat
di dalam suatu DAS masih dapat dikembangkan, dan nilai
Dukungan Aspek Sosial Ekonomi (DASE) sebesar 41,77 yang
berarti nilai dukungan aspek sosial ekonomi termasuk dalam
peringkat sangat kuat terhadap kegiatan RHL dalam suatu
DAS (Departemen Kehutanan RI, 2009). Adanya dukungan
yang sangat kuat dalam aspek social ekonomi tersebut,
maka kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah memiliki peluang
keberhasilan yang sangat besar.
Secara spasial diskripri arahan penggunaan lahan,
penutup lahan Semak Belukar dan Lahan Terbuka dikonversi
menjadi hutan tanaman dan Kebun Karet, Kebun Sawit dan
Kebun Campuran tetap dipertahankan sebagai kebun dengan
beberapa perlakuan khusus sesuai dengan kondisi dan habi­
tatnya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, yang
akhirnya masyarakat merasa memiliki untuk memelihara
dan menjaga kelestarian lingkungan Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu dan Bagian Tengah. Unit lahan dengan kriteria
tingkat kekritisan lahan sangat kritis dan kritis diarahkan
penggunaannya yaitu jenis tanaman kehutanan sesuai dengan
kondisi sifat fisik tanah dan kelas lereng pada pada unit lahan
tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh Rus­ lan (1992) dan
Mustari (1986), bahwa lahan dengan kriteria kritis diarahkan
penggunaannya dengan jenis-jenis tanaman kehu­tanan.
Diharapkan 11 (sebelas) Pola Rehabilitasi Hutan dan
Lahan di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian
Tengah yang dilakukan dengan pendekatan metode vegetatif
(misalnya Reboisasi, Suksesi Alami, Penghijauan, Hutan
Tanaman Industri dan Perkebunan) dan dikombinasikan
dengan metode sipil teknis bangunan konservasi tanah dan
air (misalnya pembuatan teras guludan, penanaman menurut
garis kontur dan membuat checkdam dilaksanakan dengan

175
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

baik. Apabila beberapa stakeholders (para pihak) seperti Dinas


Kehutanan, Balai Pengelolaan DAS dan Lingkungan, Kelom­­
pok Tani, LSM serta Instansi Teknis lain yang terkait dengan
Pengelolaan DAS berkomitmen secara bersama-sama melak­
sanakan rehabilitasi hutan dan lahan, maka tujuan kegia­
tan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang berupaya untuk
memu­ lihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi
hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan
pera­nannya dalam mendukung sistema penyangga kehi­dupan
tetap terjaga, akan tercapai dan berhasil dengan baik.

176
BAB VII
PENUTUP

A. Tingkat Kekritisan Lahan


Di Kawasan Budidaya di Sub-Sub DAS Amandit Bagian
Hulu, Hutan Pro-duksi, Areal Penggunaan Lain, Semak
Belukar dan Pertanian Lahan Kering karek-teristik tingkal
kekritsan lahan cukup bervariasi terdiri dari Potensial Kritis
1.476,05 (29,37%) dan Agak Kritis 3.549,47 Ha (70,63%) . Di
Kawasan Budidaya Pertanian di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Tengah, Hutan Produksi dan Areal Penggunaan Lain,
Hutan Tanaman, Kebun Campuran, Semak Belukar/Lahan
Terbuka dan Per-tanian Lahan Kering karekteristik tingkal
kekritsan lahan sangat bervariasi, meliputi Potensial Kritis
12.454,58 Ha (58,50%) dan Agak Kritis 8.834,59 Ha (41,50%).
Di Kawasan Budidaya di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir,
Hutan Produksi dan Areal Penggunaan Lain, Semak Belukar,
Pertanian Lahan Kering, Hutan Tanaman, Kebun Campuran
dan Pemukiman karekteristik tingkal kekritsan lahan meliputi
Potensial Kritis 64.275,87 Ha (98,37%) dan Agak Kritis 1.066,05
Ha (1,63%) .
Di Kawasan Lindung di Sub-Sub DAS Amandit Bagian
Hulu, Hutan Lindung dan Suaka Alam Gunung Kentawan,
Hutan Tanaman, Semak Belukar/Lahan Terbuka dan
Pertanian Lahan Kering karekteristik tingkal kekritsan lahan
sangat bervariasi, meliputi Tidak Kritis 20,51 Ha (0,12%),
Potensial Kritis 4.977,29 Ha (29,91%), Agak Kritis 5.795,50 Ha

177
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

(34,83) dan Kritis 5.848,54 Ha (35,14%). Di Kawasan Lindung


di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah, Suaka Alam Gunung
Kentawan dan Hutan Lindung, Semak Belukar, Hutan
Tanaman, Kebun Campuran, Pertanian Lahan Kering dan
Semak Belukar/Lahan Terbuka karekteristik tingkal kekritsan
Lahan sangat bervariasi, meliputi Agak Kritis 2.646,30 Ha
(37,99%), Kritis 4.214,43 Ha (60,50%), dan Sangat Kritis 105,61
Ha (1,52%). Di Kawasan Lindung di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hilir, Kawasan Lindung Danau Bangkau, Semak
Belukar, karekteristik tingkal kekritisan lahan meliputi Agak
Kritis 10,63 Ha (5,99%), Kritis 145 Ha (81,64%) dan Sangat
Kritis (SK) 21,97 Ha (12,37%).
Karakteristik tingkat kekritisan lahan di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Hulu, Bagian Tengah dan Bagian Hilir relatif
beragam, yaitu meliputi Tidak Kritis, Potensial Kritis, Agak
Kritis, Kritis dan Sangat Kritis. Jumlah luas Tidak Kritis dan
Potensial Kritis lebih kecil dibandingkan dengan jumlah luas
Agak Kritis, Kritis dan Sangat Kritis. Jumlah luas tingkat
kekritisan lahan di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hilir relatif
kecil dibandingkan dengan jumlah luas tingkat kekritisan
lahan pada Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu ataupun
Bagian Tengah, sehingga tingkat kekritisan lahan Sub-Sub
DAS Amandit Bagian Hilir dalam analisis Urutan Prioritas
dan Arahan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tidak dimasukkan.
Tingkat Kekritisan Lahan seperti Agak Kritis, Kritis dan Sangat
Kritis dapat digunakan untuk menentukan urutan prioritas
dan arahan RHL di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan
Bagian Tengah.

B. Aspek Sosial Ekonomi


Nilai analisis tekanan penduduk (TP) nilai sebesar 0,88,
hal ini jika dihubungan dengan kriteria pengaruh tekanan
penduduk yang menyatakan jika nilai TP < 1, maka daya
dukung lahan tersebut masih dapat menampung lebih banyak
penduduk petani. Dengan demikian kegiatan Rehabilitasi
Hutan dan Lahan seperti reboisasi, hutan tanaman rakyat dan

178
Penutup

agroforestry sebaiknya diarahkan lebih banyak melibatkan


masyarakat setempat, karena daya dukung lahannya masih
tinggi.
Nilai dukungan aspek sosial ekonomi (DASE) di Sub-
Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah sebesar
41,64. Jika nilai DASE tersebut dibandingkan dengan Kriteria
Peringkat Dukungan Aspek Sosial Ekonomi (Departemen
Kehutanan RI, 2009), termasuk pada kisaran 40-50, yang
berarti DASE tergolong dalam peringkat Sangat Kuat. Adanya
dukungan yang sangat kuat dalam aspek sosial ekonomi
tersebut, maka kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Sub-
Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah memiliki
peluang keberhasilan yang besar.

C. Urutan Prtiritas dan Pola Arahan Rehabilitasi Hutan dan


Lahan
1. Urutan Prtiritas Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu terdapat Urutan
Prioritas II dan III 15.193,52 Ha. Urutan Prioritas II 5.848,54 Ha
(38,47%) tersebar di Hutan Lindung dan Suaka Alam Gunung
Kentawan. Urutan Prioritas III 9.344,98 Ha (61,53%) yang
tersebar di Hutan Lindung, Areal Penggunaan Lain, Hutan
Produksi dan Suaka Alam Gunung Kentawan. Di Sub-Sub DAS
Amandit Bagian Tengah terdapat Urutan Prioritas I, II dan III
15.922,37 Ha. Urutan Prioritas I 105, 60 Ha (0,66%) tersebar di
HL; Urutan Prioritas II 4.214,42 Ha (26,47%) tersebar di Hutan
Lindung dan Suaka Alam Gunung Kentawan; Urutan Prioritas
III 11.602,35 Ha (72,87%) tersebar di Hutan Lindung, Suaka
Alam Gunung Kentawan, Areal Penggunan Lain dan Hutan
Produksi. Jumlah Urutan Prioritas I, II dan III yang menjadi
sasaran kegiatan Pola Arahan RHL di Sub-Sub DAS Amandit
Bagian Hulu dan Bagian Tengah seluas 31.115,89 Ha. Urutan
Prioritas I seluas 105,60 Ha (0,34%) tersebar di Hutan Lindung;
Urutan Prioritas II seluas 10.062,96 Ha (32,34%) tersebar di
Hutan Lindung dan Suaka Alam Gunung Kentawan; Urutan

179
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Prioritas III seluas 20.947,33 Ha (67,32%) tersebar di Hutan


Lindung, Suaka Alam Gunung Kentawan, Areal Penggunaan
Lain dan Hutan Produksi.

2. Pola Arahan Rehabilitasi Hutan dan Lahan


Pola arahan rehabilitasi hutan dan lahan (Penggunaan
Lahan) di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu seluas 15.193,52
Ha terdiri dari 9 macam pola arahan RHL, sedangkan pola
arahan RHL di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Tengah seluas
15.922,37 Ha terdiri dari 11 macam pola arahan RHL. Pola
Arahan RHL di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan
Bagian Tengah seluas 31.115,67 Ha terdiri dari 11 macam
pola Arahan RHL, yaitu : 1) Kebun Karet tetap dipertahankan
dan direhabilitasi dengan jenis tanaman karet yang unggul,
2) Kebun Sawit tetap dipertahankan dan ditingkatkan
pemeliharaannya, 3) Kebun Campuran tetap dipertahankan
dengan peremajaan dan ditambahkan dengan jenis-jenis
Multi Purpose Tree Spicies (MPTS), 4) Pemukiman tetap
dipertahankan dan dikem-bangkan dengan jenis tanaman
pekarangan, 5) Pertanian Lahan Kering dikembangkan dengan
pola Agroforestri, 6) Semak Belukar/Lahan Terbuka pada
hutan lindung dan hutan produksi dikonversi menjadi hutan
tanamn dengan pola Reboisasi, 7) Semak Belukar pada Suaka
Alam Gunung Kentawan dikonversi menjadi hutan alam
dengan pola Suksesi Alami, 8) Badan Jalan dipertahankan
dan bahu jalan ditanami dengan pohon Turus Jalan dan Sipil
Teknis pembuatan saluran drainase untuk pembuangan air, 9)
Semak Belukar/Lahan Terbuka pada Areal Penggunaan Lain
dikonversi menjadi hutan dengan pola Penghijauan dan Hutan
Tanaman Industri, 10) Hutan Tanaman tetap dipertahankan
dan direkomen-dasikan penanaman dengan jenis-jenis pohon
MPTS dan 11) Pertambangan dilakukan reklamasi dan
revegtasi pada areal bekas pertambangan dengan jenis pohon
yang sesuai dengan tempat tumbuh.
Pada urutan prioritas I, II dan III terdapat 4 (empat) pola
arahan RHL yang luasnya lebih dominan daripada yang
lain, yaitu : 1) Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi
180
Penutup

penutup lahan Semak Belukar/Lahan Terbuka dikonversi


menjadi hutan tanaman melalui pola Reboisasi seluas
13.274,33 Ha, 2) Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi,
Areal Penggunaan Lain dan Suaka Alam Gunung Kentawan
penutup lahan Kebun Karet tetap dipertahankan sebagai
Kebun Karet dan direhabilitasi dengan jenis karet yang unggul
seluas 8.997,03 Ha, 3) Penutup lahan Pertanian Lahan Kering
dikembangkan dengan pola Agroforestri seluas 3.714,10 Ha
dan 4) Kawasan Areal Penggunaan Lain penutup lahan Semak
Belukar/Lahan Terbuka dikonversi menjadi hutan tanaman
melalui pola Penghijauan atau Hutan Tanaman Industri seluas
2.347,40 Ha. Selain dari empat bentuk arahan rehabilitasi
hutan dan lahan di atas, secara khusus pada kawasan Areal
Penggunaan Lain penutup lahan Pertambangan dilakukan
reklamasi lahan dan revegtasi pada areal bekas pertambangan
dengan jenis pohon yang sesuai dengan tempat tumbuh seluas
121,47 Ha.
Dari 11 (sebelas) pola arahan RHL di atas, dapat dipilah
menjadi dua kelompok, yaitu : 1) Kelompok Penutup Lahan
tetap dipertahankan ditambah dengan perlakuan (treatment)
tertentu sesuai dengan kondisi lapangan dan 2) Kelompok
Penutup Lahan yang dikonversi (dirubah) menjadi hutan/
agroforestri. Kelompok Penutup Lahan tetap dipertahankan
dengan pemberian perlakuan tertentu, adalah Kebun Karet,
Kebun Sawit, Kebun Campuran, Pemukiman, Badan Jalan
dan Hutan. Kelompok Penutup Lahan yang dikonversi
(dirubah) menjadi hutan tanaman atau agroforestri adalah
Semak Belukar/Lahan Terbuka, Pertanian Lahan Kering dan
Pertambangan (Areal Bekas Pertambangan).
Apabila di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan
Bagian Tengah dilaksanakan 11 (sebelas) bentuk Arahan RHL
(Penggunaan Lahan) di atas, yang jumlah luasnya 31.115,88
Ha dengan memperhatikan pertimbangan tekanan penduduk
dan dukungan aspek sosial ekonomi, maka kegiatan RHL akan
berjalan secara terarah, terpadu serta berkesinambungan yang

181
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

akhirnya dapat menurunkan kerusakan lingkungan berupa


lahan kritis di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian
Hilir Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

D. Saran-Saran
1. Kawasan Lindung meliputi hutan lindung untuk tingkat
kekritisan agak kritis, kritis dan sangat kritis dilkaksanakan
pola arahan RHL reboisasi dengan jenis yang sesuai dengan
tempat tumbuh tersebut. Khusus untuk Suaka Alam Gu­
nung Kentawan disarankan pola arahan RHL suksesi alami,
karena keadaan topografi di daerah tersebut dominan
curam dan sangat curam, sehingga tidak memungkinkan
untuk dilakukan penanaman secara langsung. Dengan pola
suksesi alami jenis tanaman akan tumbuh secara alami dan
jangan ada gangguan dari masyarakat yang ingin meram­
bah ke dalam hutan.
2. Khusus untuk Kebun Karet, Kebun Sawit dan Kebun
Campuran yang saat ini masih terdapat di kawasan hutan
lindung tetap dipertahankan untuk kegiatan perkebunan
karena masyarakat telah mengusahakannya, tetapi harus
diikuti dengan pengolahan lahannya tidak membakar dan
diharuskan membuat guludan atau sipil teknis lainnya
serta penanaman tanamanya menurut kontur.
3. Karena TP < 1, disarankan agar petani-petani di Sub-
Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan Bagian Tengah
diberi kesempatan untuk mengembangkan usaha bertani
terutama pada kawasan Areal Penggunalan (APL) dengan
pola pertanian lahan kering dan kebun.
4. Dalam kegiatan pola arahan RHL Reboisai, Penghijauan,
HTI diusahakan meli-batkan masyarakat petani setempat,
karena nilai DASE = 41,64, yang berarti dukungan
msayarakat di sekitar Sub-Sub DAS Amandit Bagian
Hulu dan Bagian Tengah terhadap keberhasil kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan sangat kuat.
5. Agar kegiatan sosialisasi dari tim penyuluh kehutanan dan
penyuluh pertanian tetap dilakasanakan untuk memberi

182
Penutup

kesempatan kepada petani dalam mengadopsi teknologi


pertanian yang modern dan peningkatan kelembagaan
kelompok tani, agar dalam mengikuti kegiatan RHL dapat
tearah, terpadu dan keberlanjutan, sehingga penurunan
kualitas lingkungan, seperti lahan kritis makin berkurang.

183
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 2007. Urutan Prioritas Rehabilitasi Hutan dan


Lahan Berdasarkan Tingkat Kekritisan Lahan di
Sub DAS Ayuh Kecamatan Gunung Bintang Awai
Kabupaten Barito Selatan, Tesis Pascasarjana Ilmu
Kehutanan UNLAM, Banjarbaru.
Ali, H., K. Descheemaeker, T.S. Steenhuis, & S. Pandey. 2011.
Comparison of Landuse and Landcover Changes,
Drivers and Impacts for a Moisture-Sufficient and
Drought-Prone Region in the Ethiopian Highlands.
Experimental Agriculture, 47 (2) 71-083. Doi:http://
dx. dopi.org/10. 1o17/ s00144797 10000840.
Allan, C., A.Curtis, G .Stankey and B.Shindler. 2008. Adaptive
Management And Watersheds : A Social Science
Perspective, Journal of the American Water Resources
Association. 44 (1), 166–174 .doi :10.1111/j.1752-1688.
2007.00145.x.
Andah, K. 2003 . The River Basin as a Basic Unit of Integrated
Water Resources Management, Journal African
Water. 65-81.
Arronoff, S. 1989. Geographic Information System a Mana­
gement Perspective, WDL Publication, Ottawa.
Arsyad, S. 1989. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen
Ilmu-ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

185
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Asdak, C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran


Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
As-syakur, A.R., I W. Suarna, I W.S. Adnyana, I W. Rusna,
I.A.A. Laksmiwati, dan I W. Diara. 2010. Studi
Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Badung.
Jurnal Bumi Lestari 10(2): 200-207.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Stasiun
Klimatologi Banjarbaru). 2014. Data Curah Hujan
Bulanan Kabupaten Hulu Sungai Selatan Tahun
2004 Sampai dengan Tahun 2013.
Badan Pusat Statistik. 2014. Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Dalam Angka Tahun 2014. Kandangan.
Badan Pusat Statistik. 2014. Kecamatan Loksado Dalam Angka
Tahun 2014.
Badan Pusat Statistik. 2014. Kecamatan Padang Batung Dalam
Angka Tahun 2014.
Badan Pusat Statistik. 2014. Kecamatan Sungai Raya Dalam
Angka Tahun 2014.
Badan Pusat Statistik. 2014. Kecamatan Telaga Langsat Dalam
Angka Tahun 2014.
Badaruddin. 2014. Kemampuan dan Daya Dukung Lahan di
Sub DAS Kusambi DAS Batulicin Kabupaten Tanah
Bumbu, Provinsi Kalimanatan Selatan. Disertasi
Program Doktor Ilmu Pertanian Minat Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program
Pasca­sarjana Fakultas Pertanian Universitas Bra­
wijaya. Malang.
Balai Pengelolaan DAS Barito. 2009. Updating data spasial
lahan kritis Wilayah
Kerja Balai Pengelolaan DAS Barito. Banjarbaru
Bhaduri, B., Harbor, J., Engel, B., & Grove, M. (2000). Assessing
watershed-scale, long-term hydrologic impacts

186
Daftar Pustaka

of land-use change using a GIS-NPS model.


Journal Environmental Management, 26(6), 643-658.
doi:http://dx.doi.org /10.1007/s002670010122.
Bols, 1978. The Iso-erodent Map of Java and Madura, Soil
Research Institute. Bogor.
Bonnieux, F. and P.L. Goffe. 1997.Valuing the Benefits of
Landscape Restoration: A case Study of the
Contentin in Lower-Normandy, France. Journal of
Environmental Manegement. 5 (3) 50-62. Academic
Press.
Boyle, A. Sarah, Kennedy, M. Christina, Torres, Julio, Colman,
Karen, E. Pérez, E.Pastor, Sancha, Udela. 2014. High-
Resolution Satellite Imagery Is an Important yet
Underutilized Resource in Conservation Biology,
Journal Medical Sciences, 9(1) doi:http://dx.doi.
org/10.1371/journal.pone.0086908
BRLKT Wilayah VIII, 1997. Pola Rehabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah DAS
Riam Kanan, Kabupaten Banjar Propinsi Kalimanatan Selatan,
Banjarbaru.
Carr, D. L. 2008. Farm households and land use in a core
conservation zone of the maya biosphere reserve,
guatemala. Human Ecology, 36(2), 231-248.
doi:http://dx.doi.org/10.1007/s10745-007-9154-1.
Departemen Kehutanan RI. 1998. Direktorat Jenderal Reboisasi
dan Rehabilitasi
Lahan. Keputusan Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi
Lahan Nomor 041/Kpts/V/1998 Tanggal 21 April
1998 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tehnik
Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah
Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jenderal RRL.
Jakarta.

187
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Departemen Kehutanan RI. 2005. Peraturan Menteri


Kehutanan Nomor 32/Menhut-V/2005 Tentang
Penyelenggaraan dan Sasaran Kegiatan Gerakan
Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2005.
Departemen Kehutanan R.I 2009. Peraturan Menteri
Kehutanan RI No : P.32/Menhut-II/2009 Tentang
Tatacara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi
Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai. Direktorat
Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.
Jakarta.
Franklin, J. 2003. Clustering versus regression trees for
determining ecological land units in the sout­
hern california mountains and foothills. Jour­
nal Forest Science, 49(3), 354-368. Retrieved
from http://se­
arch.proquest.com /docview/
197723714?accountid=38628.
George, C., a nd L.F. Leon (2007) WaterBase. SWAT in an Open
Source GIS. Journal Hyrology, 1,19-24. Bentham
Science Publisher Ltd. 1874-3781/07.2007.
Gunawan, T. 1991. Identifikasi Permasalahan DAS Melalui
Pendekatan Sosio Bio Fisikal, Studi Kasus Di DAS
Bengawan Solo Hulu Wonogiri, Jawa Tengah,
Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta.
Hardy, Scott D. and T.M. Koontz. 2010. Collaborative
watershed partnerships in urban and rural areas:
Different pathways to success Journal Landscape and
Urban Planning 95 (3) 79-90.
Harjowigeno, S. 1989. Ilmu Tanah. PT.Mediyatama Sarana
Perkasa. Jakarta.
Herawati, T. 2010. Analisis Spasial Tingkat Bahaya Erosi di
Wilayah DAS Cisadane Kabupaten Bogor. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 7 (4) 413-
424.

188
Daftar Pustaka

Hernandez Ramirez, G. 2008. Emerging Markets for Ecosystem


Services: A Case Study of the Panama Canal
Watershed. Journal of Environment Quality, 37(5):
1995. doi: 10.2134/jeq2008.0010br.
Hirzel, J, and Matus, I. 2013. Effect on Soil Depth and Increasing
Fertilization Rate on Yield and Its Components
of Two Durun Wheat Variesties. Journal Chilean of
Agricultural Research 73(1), 55-59. Retrieved from
http://search. Proquest.com/docview/1458615108
?accountid=38628.
Jensen. 2000. Remote Sensing of the Environmental Earth
Resources Prespective. Prentice Hall. New Jersey-
USA
Kadir, S. 2014. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Untuk
Pengendalian Banjir di Catchmen Area Jaing Sub
DAS Negara Propinsi Kalimantan Selatan. Disertasi
Program Doktor Ilmu Pertanian Minat Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program
Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Brawi­
jaya. Malang.
Kartasapoetra, G., A.G. Kartasapoetra dan M.M. Sutedjo. 2000.
Teknologi Konservasi Tanah dan Air. P.T Rineka
Cipta Cetakan keempat, Jakarta.
Kementerian Kehutanan RI. 2011. Kebijakan Rehabilitasi
Hutan dan Lahan. Direktorat Jenderal Bina
Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial. Jakarta.
Kementerian Kehutanan RI. 2013. Peraturan Direktur Jenedral
Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial
Nomor: P.4/V-SET/2013 tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Direktorat
Jenderal Bina Pngelolaan Daerah Aliran Sungai dan
Perhutanan Sosial. Jakarta.
Kodoatie dan Sjarief. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Air
Terpadu, Penerbit Andi, Yogyakarta.

189
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Kometa, S. S. and & M. A. T. Ebot. 2012. Watershed Degradation


in the Bamendjin Area of the North West Region of
Cameroon and Its Implication for Development.
Journal of Sustainable Development, 5(9), 75–84. doi:
10.5539/jsd.v5n9p75.
Kurdi, R. 2015. Model Arahan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Berdasarkan Tingkat Kerawanan Banjir Di Sub DAS
Mengkaok Kabupaten Banjar dan Tapin Propinsi
Kalimantan Selatan. Disertasi Program Doktor Ilmu
Pertanian Minat Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan. Program Pascasarjana Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
Kusuma, Z. 2007. Pengembangan Daerah Aliran Sungai.
Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.
Malang.
Lin, Y.P., N.M. Hong, L.C. Chiang, Y.L. Liu and H.J. Chu. 2012.
Adaptation of Land Use Demands to The Impact
of Climate Change on Hydrologocal Processes of
An Urbanized Watershed International Journal of
Environmental Research and Public Health. 9(12),
4083-4102.doi:10.3390/ijerph9114083.
Mangundikoro. 1985. Pengelolaan DAS Terpadu, Prosiding
Lokakarya, UGM–Departemen Kehutanan RI.
Jakarta.
Mustari, K. 1986. Model dan Simulasi untuk Perencanaan
Penggunaan Lahan di DAS Bila Walanae, Propinsi
Sulawesi Selatan. Studi Kasus Sub DAS Walanae
Bagian Hulu. Disertasi Fakultas Pascasarjana IPB,
Bogor.
Muta’ali. 1993. Analisis Daya Dukung Lingkungan untuk
Perencanaan Pengembangan Wilayah Kabupaten
Kebumen, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta.
Newham, L.T.H., R.A. Letcher, A.J. Jakeman and T.Kobayashi.
2004. A framework for integrated hydrologic,

190
Daftar Pustaka

sediment and nutrient export modeling for


catchment-scale management. Journal Environmental
Modelling and Software. 19, 1029-1038.
Palao. L. K. M., Moises M. Dorado, Kharmina Paola A. Anit
and Rodel D. Lasco. 2013. Using the Soil and Water
Assessment Tool (SWAT) to Assess Material Transfer
in the Layawan Watershed, Mindanao, Philippines
and Its Implications on Payment for Ecosystem
Services. Journal of Sustainable Development; 6,(6)
73-88, Published by Canadian Center of Science
and Education. ISSN 1913-9063 E-ISSN 1913-9071.
Doi:10.5539/jsd.v6n6p73.
Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Unlam
(2013). Laporan Akhir Penyusunan Pemanfaatan
DAM Amandit Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Kerjasama Penelitian dan Pengembangan Peme­
rintah Kab. HSS dengan Unlam. Banjarmasin.
Raharjo, B. 2011. Penutupan dan Penggunaan Lahan. http://
www.raharjo.org/tag/penutupan-lahan. Februari,
26,23012.
Ramachandra, T.V., N. Alakananda, A.Rani and M.A. Khan.
2011. Ecological and Socio-Economic Assessment
of Varthur Wetland, Bengaluru (India) Journal of
Environmental Science and Technology, 53(1), 101-108.
Ramdan H, 2004. Prinsip Dasar Pengelilaan Daerah Aliran Sungai.
Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan
Universitas Winaya Mukti http://bebasbanjir2025.
wordpress.com/04-konsep-konsep-dasar/das-dan-
pengelolaannya-6Ramachandra, et al., 2011).
Rayes, M. Luthfi. 2006. Deskrifsi Profil Tanah di Lapangan,
Penerbit Fakultas Pertanian Brawijaya, Malang.
Ruslan, M. 1992. Sistem Hidroorologi Hutan Lindung DAS
Riam Kanan di Kabupaten Banjar, Kalimanatan
Selatan. Disertasi Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor.

191
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Ruslan, M, Syarifuddin Kadir, Karta Sirang. 2013. Potensi


Sumberdaya Air Daerah Aliran Sungai Seratak
Kabupaten Kotabaru. P3AI Universitas Lambung
Mangkurat. Banjarmasin.
Salim, A.R, H. Purnaweni, W. Hidayat. 2011. Kajian
Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Kabupaten
Bone Bolango Yang Berwawasan Lingkungan (Studi
Kasus Desa Botubarani Dan Desa Huangobotu)
Jurnal Ilmu Lingkungan 9,(1) 39-47.
Saygın, S. D., Basaran, M., Ozcan, A. U., Dolarslan, M.,
Timur, O. B., Yilman, F. E., & Erpul, G. 2011. Land
degradation assessment by geo-spatially modeling
different soil erodibility equations in a semi-arid
catchment.
Seta, A.K. 1991. Konservasi Sumberdaya Tanah dan Air. Kalam
Mulia. Jakarta.
Seyhan, E. 1995. Dasar-dasar Hidrologi, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Shrestha, S., M. S. Babel, A. D. Gupta, and F.Kazama. 2006.
Evaluation of annualized agricultural nonpoint
source model for a watershed in the Siwalik Hills of
Nepal, journal Environmental Modelling and Software
21. 961-975 .doi:10.1016/j.envsoft.2005.04.007.
Sihite, J. 2005. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan
Terhadap Erosi dan Hidrology di DAS Besai
Lampung Barat. Journal Penelitian dan Karya
Ilmiah Lemlit USAKTI. 17(2) 37-39.
Sitorus. 1995. Evaluasi Sumberdaya Lahan, Tarsito, Bandung.
Soemarno. 2006. Perencanaan Pengelolaan Lahan di Daerah
Aliran Sungai (DAS) Kali Konto. Agritek Yayasan
Pembangunan Nasional, Malang.
Soemarwoto, O. 1997. Ekologi Lingkungan Hidup dan
Pembangunan. Djambatan. Jakarta.

192
Daftar Pustaka

Solaimani, K, S. Modallaldoust, S. Lotfi, 2009. Investigation


of land use changes on soil erosion process using
geographical information system. Journal of
Environmental Science and Technology : 6.  (3) 415-
424.
Sudarmadji. 1995. Metode Pengelolaan Sumberdaya Lahan.
Hasil Lokakarya Upaya Rehabilitasi dan Penge­
lolaan Lingkungan Hidup DAS, Fakultas Geografi
UGM – Menteri Negara KLH, Yogyakarta.
Suharsono, P. 1988. Identifikasi Bentuk Lahan dan Interpretasi
Citra untuk Geomorfologi, PUSPICS UGM-Bako­
surtanalk, Yogyakarta.
Sukojo, B.M., dan D. Susilawati. 2003. Penerapan Metode
Pengin­deraan Jauh dan Sistem Informasi Geografis
untuk Analisa Perubahan Penggunaan Lahan (Studi
Kasus: Wilayah Kali Surabaya). Makara Teknologi.
7(1): 1-9
Suripin. 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air,
Penerbit Andi, Yogyakarta.
Syukur, S 2009. Laju Infiltrasi dan Peranannya terhadap
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Allu-Bangkala.
Jurnal. Agroland 16 (3) : 231 – 236.
Taddese, G. 2001. Land Degradation: A Challenge to
Ethiopia. Environmental Management.27(6): 815–824.
doi:10.1007/s002670010190.
Tejoyuwono. 1985. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan
Program Penghijauan, Makalah dalam Penataran
Perencanaan Pembangunan Pedesaan dan Perta­
nian, Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.
Tekstianto. 2010. Kajian Kekritisan Lahan dan Kemampuan
Lahan Untuk Penentuan Arahan RHL pada
Kawasan Hutan Produksi di Sub DAS Hauran DAS
Kintap Provinsi Kalimantan Selatan. Tesis Program
Pascasarjana Ilmu Kehutanan Unlam, Banjarbaru.
193
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Thornthwaite, C.W. 1933. “The Climates of The Earth”, Geog.


Rev., Jilid 23, m.s. 433440.
Undang-Undang RI No 41. 1999. Tentang Kehutanan. Disahkan
di Jakarta pada Tanggal 30 September 1999 oleh
Presiden RI Bacharuddin Jusuf Habibie.
Utomo, W. H. 1994. Erosi dan Konservasi Tanah. IKIP, Malang.
Wangsadipoera, W., S. Soekarnen, and I. Taufik. 2008.
Assessment on the Impact of Land Use Change on
Peak Flow and Erotion Rate in River Basin Area
Using Spatial Model Approach (Case Study: of
Cipeles-Sukatali Upper-Cimanuk River Basins).
Journal Infrastructure and Built Environment. 4 (2).
Wibowo, M. 2005. Analisis Pengaruh Perubahan Penggunaan
Lahan Terhadap Debit Sungai (Studi Kasus SUB-
DAS Cikampek Gandok Bandung. Jurnal Teknologi
Lingkungan P3TL-BPPT. 6 (1): 283-290 .
Wischmeier, W.H. dan D.D. Smith, 1978. Predicting Rainfall
Erosion Losses. A Guite to Conservation Planning,
US Department of Agriculture Handbook No. 537,
USDA, Washington, D.C.
Zhang, Y., and P.K. Barten. 2009. Watershed Forest Mana­
gement Information System (WFMIS) Environ­mental
Modelling and software 24 (4): 569-575.

194
LAMPIRAN - LAMPIRAN

195
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

196
Lampiran-Lampiran

197
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

198
Lampiran-Lampiran

199
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

200
Lampiran-Lampiran

201
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

202
Lampiran-Lampiran

203
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

204
Lampiran-Lampiran

205
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

206
Lampiran-Lampiran

207
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

208
Lampiran-Lampiran

Lampiran 6. Urutan Penentuan Prioritas dan Pola Arahan


RHL di Sub-Sub DAS Amandit Bagian Hulu dan
Bagian Tengah

209
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

210
Lampiran-Lampiran

211
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

212
Lampiran-Lampiran

213
POLA ARAHAN REHABILITASI HUTAN
DAN LAHAN
Di Sub-Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Amandit
Kabupaten Hulu Sungai Selatan
BIOGRAFI SINGKAT PENULIS

Ketua Tim Penulis :


Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, MS.
Lulus Ir Kehutanan (Sarjana Kehutanan, S1)
Jurusan Manajemen Kehutanan Fa­kul­tas Ke­
hutanan Universitas Lambung Mang­ kurat
(ULM) pada tahun 1979. Menyelesai­ kan
Pendididkan Magister, MS (S2) dan Doktor
(S3) Sub Bidang Manajemen Daerah Aliran
Sungai di IPB masing-masing pada tahun
1983 dan 1992. Memulai karier dalam jabatan
fungsional di Fakultas Kehutanan ULM
sebagai Asisten Ahli Madya tahun 1979, dan
akhirnya pada tahun 2000 menjadi Guru
Besar dalam Sub Bidang Keahlian Manajemen
Daerah Aliran Sungai. Pengalaman jabatan
structural adalah Pembantu Dekan III tahun
1993-1996 dan Dekan Fakultas Kehutanan
ULM 2 (dua) periode tahun 1996-2003.
Ketua Pengelola Program Magister (S2) Ilmu
Kehu­tanan (2005 – 2008) dan Rektor UNLAM
untuk periode 2010–2014. Telah aktif
sebagai tenaga pengajar di Program Studi S1
Kehutanan dan Program Studi Magister (S2)
Ilmu Kehutanan, S2 Pengelolaan Sumberdaya

215
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Alam dan Lingkungan, S2 Ekonomi Per­


tanian UNLAM dan Program S3 Ilmu Perta-
nian Minat Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan ULM. Disamping itu
juga aktif dalam kegiatan seminar, kursus
Amdal, penelitian unggulan perguruan
tinggi dan membimbing mahasiswa dalam
penyelesaikan skripsi, tesis (di lingkungan
ULM) dan disertasi untuk Program S3
Ilmu Lingkungan kerjasama ULM dengan
Universitas Brawijaya Malang.
Anggota Tim Penulis :
Dr. H. Abdi Fithria, S. Hut., M.P. Lulus
Sarjana Kehutanan Jurusan Manajemen
Hutan di Fakultas Kehutanan Universitas
Lam­bung Mangkurat (UNLAM) pada tahun
1998. Menyelesaikan prndidikan Magis­
ter (S2) di Program Pascasarjana Prog­ ram
Studi Ilmu Kehutanan Universitas Mula­
warman (UNMUL) pada tahun 2001, dan
menyelesaikan program Doktor (S3) di
Program Pascasarjana Program Studi Ilmu
Kehu­ tanan Universitas Gadjah Mada de­
ngan konsentrasi konservasi kehu­tanan pada
tahun 2012 . Memulai karir di Fakul­tas ke­
hutanan Universitas Lambung Mang­ kurat
sebagai Asisten Ahli pada tahun 2000. Dan
pada tahun 2005 sebagai Lektor di bidang
Pengelolaan Alam dan Pelestarian Mar­
ga­ satwa, selain itu juga mempunyai bi­
dang keahlian terkait pendidikan, pene­
litian dan pengabdian ke- pada masya­rakat
pada bidang pengelolaan alam dan peles­
tarian margasatwa. Saat ini aktif truktur
Data Spasial (PPIDS) Universitas Lambung
Mangkurat periode (2013-2018).

216
Biografi Penulis

Ir. Setia Budi Peran, M.P. Mengenyam


Pendidikan Strata Satu (S-1) di Universitas
Lambung Mangkurat (UNLAM) Kali­ man­
tan Selatan. Bekerja di Fakultas Kehu­tanan
UNLAM sejak tahun 1987 sebagai Dosen
Tetap. Tahun 1993 Lulus Sarjana Strata
Dua (S-2) di Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, Program Studi Kehutanan.
Sebagai Dosen Tetap di Fakultas Kehu­
tanan, dipercaya untuk mengasuh/mem­
berikan mata kuliah Pengantar Ilmu Kehu­
tanan, Ilmu Kealaman Dasar, Ekologi Hutan
I dan II, serta Sosiologi Kehutanan. Buku
Ajar yang pernah dibuat adalah Peng­
antar Ilmu Kehutanan pada Tahun 2000
dan Tahun 2005. Karya ilmiah hasil-hasil
penelitian adalah yang berkaitan dengan
Ekosistem Hutan Hujan Tropis (12 buah),
yang berkaitan dengan Agroforestri/sosial
(2 buah), selanjutnya yang berkaitan dengan
Lahan Basah (4 buah), lalu yang berkaitan
dengan Hutan Tanaman (3 buah), kemudian
yang berkaitan dengan Hutan dan Satwa (2
buah).
Syam’ani, S.Hut., M.Sc. Lulus Sarjana
Kehutanan (S1) Program Studi Manajemen
Hutan Fakultas Kehutanan Universitas
Lam­bung Mangkurat pada tahun 2004.
Menyelesaikan Pendidikan Magister (S2)
pada Program Studi Penginderaan Jauh
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
pada tahun 2008. Memulai karier di Fa­
kultas Kehutanan Universitas Lambung
Mang­ kurat sebagai Asisten Ahli pada
tahun 2005. Memiliki keahlian di bidang
Ilmu Ukur Lahan, Kartografi, Penginderaan
Jauh, dan Sistem Informasi Geografis.
Saat ini memiliki jabatan non-struktural
sebagai Kepala Laboratorium Perencanaan
Hutan Fakultas Kehutanan Universitas

217
Prof. Dr. Ir. Muhammad Ruslan, M. S. dkk

Lambung Mangkurat, dan Sekretaris Pusat


Pengembangan Infrastruktur Data Spasial
(PPIDS) Universitas Lambung Mangkurat.
Juga terdaftar sebagai anggota organisasi
Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia/
Indonesia Society of Remote Sensing (MAPIN/
ISRS).

ISBN : 978-602-6370-55-6

218

Anda mungkin juga menyukai