SKRIPSI
Oleh
TOMI ARIYANTO
FAKULTAS BIOLOGI
2007
FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS NASIONAL
Skripsi, Jakarta April 2007
Tomi Ariyanto
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA SAINS DALAM BIDANG BIOLOGI
Oleh :
TOMI ARIYANTO
0262010012
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA
2007
Judul skripsi : KELIMPAHAN MAMALIA BESAR DI
KAWASAN HUTAN SIPURAK DAN
SEKITARNYA TAMAN NASIONAL
KERINCI SEBLAT
NIRM : 023112620150012
MENYETUJUI
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
DEKAN
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Kuasa Sang Pencipta langit dan bumi
atas limpahan karunia, ilmu dan kekuatan kepada penulis sehingga dapat
Nasional.
Tersusunnya skripsi ini tak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak. Untuk itu penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Drs. Imran S.L Tobing, MSi. sebagai pembimbing pertama yang telah
2. Bapak Drs. Tatang Mitra Setia selaku pembimbing kedua sekaligus sebagai
3. Kepada Mattew Linkie, Phd dan Yoan Dinata, Ssi yang telah memberikan
4. Bapak Kepala Balai TNKS dan staf yang tutut membantu perizinan dan saran
berpikir yang lebih baik dalam menjalani hidup. Semoga Tuhan memberikan
6. Bapak Drs. Yudistira dan Ibu Dra Yulneriwarni Msi. yang banyak
7. Ibu Dr. Sri Suci Utami, Bapak Drs.Hasmar Rusmendro, Bapak Drs Ihsan
Matondang Msi serta seluruh staf dosen Fakultas Biologi Universitas Nasional
terima kasih atas diskusi dan pelajaran yang selama ini diberikan.
8. Kepada Mbak Nina dan Mas Fadilllah yang telah banyak membantu dalam
urusan administrasi.
Agung “Gundul“, Iding Ahmad K, Bang David Gusman Ssi, Bang Doddy Yu
Saputra, Herman Saputra, Bang Ibenk, M. Andri, Ssi, Aliman Hakim, Ssi,
Bernardi, Mbak Totty, S.Hut dan Mbak Endah S.Hut atas kerja sama dan rasa
10. Kepada guide MHS : Pak Sutis, Pak Sugar, Mamak Iril, Pak Jaya dan Anto
11. Fitri Ayu Wulan Yuniarti, terima kasih atas bantuan, motivasi serta momen
terindah yang selalu hadir dalam penulisan skripsi ini dan terima kasih untuk
telinga dan fikiran serta ilmu dan pengalaman yang sangat berharga.
13. Kepada orang-orang yang banyak memberikan inspirasi : Eddy Santoso Ssi,
Firmansyah Ssi, Juliarta B Ottay Ssi, Tri Wahyu Susanto, Ssi, Gunawan Ssi,
Ari Meididit Ssi, Hanni M Maharani Ssi, Radian Kurniawati Ssi, Ika Mian K
Ssi, Mayrina Ssi, Retno Wulandari Ssi, Erwin P Santoso, Didik Prasetyo Msi,
Ahmad Saleh Ssi, Fitriah Basalamah Ssi. Terima kasih atas diskusinya selama
ini.
14. Sahabat, rekan seperjuangan serta teman bertukar pikiran : Nuruddin, Yunita
Nurdini, Rahmalia NAA, Aan Aliyah, Putri Wulansari dan Fembry Ariyanto.
Terima kasih atas kesabarannya, kasih sayang dan kebersamaanya selama ini.
Hesmi, Anita, Dicky, Ciko, Taufik dan Lutfi semoga tetap semangat dan tak
16. Yedi Zefriyadi Ssi dan Ana Puspaningdiah atas pengertian dan pernah menjadi
penampungan penulis.
17. Saudara-saudaraku : Adji Saga S.T, Fathur Rohim, Ahmad Effendi dan
Kepada Diana Ramora dan Chusnul “NINU“ Chotimah yang tak pernah
melupakan.
18. Luri Ikhsan, yang bersedia berbagi tempat tidur dan berbagi cerita di kamar
perenungan, kenangan indah dan tempat pembelajaran yang penuh makna dan
tak terlupakan.
20. Teman-teman Bio 02 yang selalu memberikan tawa dan motivasi untuk terus
semangat.
22. Terakhir penulis mempersembahkan karya ini untuk Ibu, Nenek, Oom Elvis,
Mas Hasan, Mbak Nita, Muhamammad Alief Zamorano dan Vanya atas
maka penulis berharap adanya kritik dan saran yang membenagun demi
penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
BAB
I. PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1
B. Peralatan Penelitian.......................................................................... 14
C. Cara Kerja.......................................................................................... 14
D. Parameter Penelitian.......................................................................... 14
E. Analisis Data..................................................................................... 16
faktor spasial……………………………………………………… 30
3. Kemiringan………………………………………………... 38
2. Penebangan liar…………………………………………… 46
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 52
DAFTAR TABEL
TABEL
Halaman
Naskah
Lampiran
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR
Halaman
Naskah
PENDAHULUAN
Setiap satwa liar akan menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang
jenis belum tentu sesuai untuk jenis yang lainnya, karena setiap jenis
mampu untuk bertahan hidup pada kondisi yang mengalami perubahan yang
manusia yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Satwa liar
banyak yang diburu baik untuk diperdagangkan secara langsung maupun untuk
dimanfaatkan bagian-bagian tubuhnya. Selain itu habitat satwa liar juga semakin
sempit karena adanya konversi hutan menjadi perkebunan dan pertanian untuk
memenuhi kebutuhan manusia (Alikodra, 1990). Salah satu kelompok yang saat
akibat dari perubahan penggunaan lahan dan kebakaran hutan serta akibat
perubahan proses ekologi seperti perubahan iklim dan lain sebagainya. Namun
Saunders dkk (1991) menambahkan bahwa juga terdapat jenis mamalia yang
tinggi untuk memanfaatkan habitat yang berbeda atau jenis makanan yang
berbeda. Jenis generalist ini umumnya dapat mengambil keuntungan dari adanya
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) adalah salah satu taman nasional
(ICDP,1999). Menurut Martyr dkk (1999) di kawasan ini ditemukan 100 jenis
mamalia dan 350 jenis burung serta Laumonier (1994) menambahkan terdapat
(1999) disebabkan karena adanya variasi tipe habitat yang besar di kawasan ini
seperti habitat rawa air tawar, rawa gambut, hutan dataran rendah, hutan
perbukitan, hutan pegunungan dan hutan sub alpin. Menurut Alikodra (1990)
kelimpahan yang berbeda dari jenis-jenis mamalia besar. Hal tersebut berkaitan
dengan penggunaan ruang dan pemanfaatan potensi sumber daya yang berbeda
distribusi mamalia besar dan mengganggu populasi mamalia besar. Selain itu
yang dapat tepat mengenai lokasi, pergerakan dan arah perubahan (trend) dari
populasi suatu jenis satwa. Informasi ini memungkinkan kita untuk mengetahui
dampak dari bernbagai ancaman, menentukan lokasi wilayah yang rentan dan
kehadiran manusia sangat penting dikaji dalam konservasi satwa karena dapat
Oleh karena hal tersebut maka diperlukan kajian terhadap kelimpahan dan
distribusi mamalia besar yang merupakan bagian yang penting dalam usaha
konservasi mamalia besar. Atas latar belakang tersebut maka tujuan penelitian ini
untuk mengetahui pengaruh dari perbedaan tipe habitat dan beberapa gangguan
sekitarnya.
2) Terdapat pengaruh faktor spasial yaitu jarak dari jalan umum, jarak dari desa
TINJAUAN UMUM
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang memiliki luas 13.300 Km2
Lorentz yang memiliki luas 25.050 Km 2. Secara geografis TNKS terletak pada 10
07’- 30 45’ Lintang Selatan dan 1000 58’-1020 85’ Bujur Timur terbentang pada
sepanjang gugusan bukit barisan di pulau Sumatara (Linkie, 2003) (gambar 1).
(ICDP,1999). TNKS juga ditetapkan sebagai kawasan warisan hujan tropis dunia
taman nasional dengan luas 1.484.650 ha. Namun setelah dikelola secara lebih
intensif dengan sistem pengelolaan taman nasional sejak tahun 1984, baru pada
menetapkan kawasan ini sebagai taman nasional dengan luas 1.386.000 ha (ICDP,
1999). Pada bulan Juli 2004, TNKS, TNBBS dan TNGL yang terletak di
Sumatera dinyatakan sebagai salah satu warisan hutan hujan tropis dunia oleh
1. Administrasi
Barat, Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu dan meliputi sepuluh kabupaten.
yaitu Sumatera Barat 18. 615,336 Ha, Jambi 21.947,557 Ha, Sumatera Selatan
TNKS memiliki variasi topografi yang sangat tinggi mulai dari ketinggian
0 mdpl pada kawasan Tapan hingga ketinggia 3.805 mdpl pada puncak gunung
Kerinci. Variasi ketinggian tersebut menyebabkan variasi yang besar dalam tipe
habitat antara lain habitat rawa air tawar, rawa gambut, hutan dataran rendah,
hutan perbukitan hutan pegunungan dan hutan sub alpin (Linkie, 1999).
Pada umumnya TNKS mengalami musim kemarau pada bulan Juli hingga
Oktober dengan temperatur 24-300C dengan fluktuasi harian 20C. Sedangkan pada
bulan November hingga Mei mengalami musim hujan. Curah hujan sekitar 2300
mm pertahun dengan jumlah hari hujan pertahun antara 180-220 hari. Aspek
geologi di kawasan TNKS juga sangat bervariasi. Di bagian barat kwasan TNKS
didominasi oleh batuan vulkanik sedangkan di bagian timur sebagian besar terdiri
dari batuan metamorfik, karst dan granit massif. Tanah di sekitar lembah Kerinci
yaitu: hutan dataran rendah, hutan perbukitan, hutan sub pegunungan, hutan
hutan sub alpin. Hutan dataran rendah memiliki kisaran ketinggian antara 150-200
mdpl di wilayah timur Bukit Barisan Selatan dan daiatas 300 mdpl di pesisir barat.
dan Shorea multiflora. Di Bengkulu Utara, Pesisir Selatan dan Kabupaten Musi
Rawas terdapat area kecil hutan daran rendah namun 24 % dari luas hutan tersebut
Barisan dari ketinggian 150 mdpl (perbukitan rendah) hingga 800 mdpl
(perbukitan tinggi).
memiliki ketinggian pohon 20-45 m. Umumnya jenis pohon yang dapat mencapai
kelimpahan tumbuhan epifit yang tinggi dan termasuk jenis tumbuhan suku
bawahnya (5-10 m). Pada hutan sub alpin (>2.900 mdpl) didominasi oleh
3.Kekayaan hayati
seluruh tutupan spektrum tipe habitat dari hutan dataran rendah sampai formasi
pegunungan, juga termasuk blok hutan hujan tropika terbesar yang masih ada di
bagian selatan pulau Sumatera. Kekayaan jenisnya lebih banyak pada hutan
dipterocarp (ketinggian kurang dari 600 mdpl) dan habitat lahan basah menjadi
paling berharga sejak habitat ini menjadi sangat terancam (World Bank, 1995).
mamalia dan 350 jenis burung serta Lauminier (1994) menambahkan terdapat 429
jenis tumbuhan berbunga. Pada kawasan ini ditemukan beberapa tumbuhan langka
zipelli dan lain-lain. Selain itu juga ditemukan beberapa tumbuhan obat seperti
jenis dari famili Felidae seperti kucing batu (Pardofelis marmorata), kucing
B. Mamalia Besar
hewan lain adalah adanya rambut, gigi heterodont, sel darah merah tak berinti
Menurut Wilson dkk (1996) mamalia hidup pada berbagai tipe habitat,
mulai dari habitat teresterial sampai habitat akuatik. Namun sebagian besar
mamalia hidup pada habitat teresterial, hanya 2,5% yang hidup di perairan.
Mamalia di Indonesia pada umumnya hidup pada daerah hutan dipterocarp, hutan
kerangas dan hutan rawa. Namun terdapat beberapa jenis mamalia yang tinggal di
habitat pinggir hutan yang dekat dengan areal pertanian. Jenis – jenis tersebut
merupakan jenis yang bersifat generalist yaitu jenis yang mudah beradaptasi dan
sehingga sering kali menjadi hama pertanian karena mencari makan di lahan
hutan yang berbatasan dengan perkebunan atau lahan pertanian penduduk sering
mendukung jenis hewan dengan kepadatan yang relatif lebih tinggi (Payne dkk,
2000).
seperti akibat dari perubahan penggunaan lahan dan kebakaran hutan serta akibat
manusia dengan jenis mamalia besar merupakan ancaman yang sangat penting
dan lain-lain.(Linkie, 2003). Namun menurut ICDP (1999) secara umum laju
deforestasi di kawasan TNKS relatif kecil yaitu 0,28% pertahun sedangkan laju
perburuan liar yang sangat tinggi. Jenis satwa yang menjadi objek perburuan
antara lain harimau sumatera, beruang madu, beberapa jenis ungulata dan burung.
Aktifitas perburuan ini dilakukan dengan beberapa cara seperti perburuan dengan
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juni 2006 di Blok hutan
yang berbeda-beda (tabel 1). Sungai Sekaladi yang memiliki habitat perbukitan
merupakan kawasan yang sangat rawan terhadap penebangan hutan secara liar
hutan menyebabkan daerah ini sering dilalui oleh manusia. Sungai Lalang-Renah
Alai terletak di antara gunung Nilo dan gunung Masurai yang memiliki habitat
B. Peralatan penelitian
f. Pita ukur
g. Gips
C. Cara Kerja
perjumpaan tidak langsung yaitu melalui jejak yang ditinggalkan oleh mamalia
besar seperti tapak, goresan, kotoran, galian dan lain-lain. Jejak-jejak tersebut
jenis, ukuran dan umur jejak, habitat dan koordinat ditemukannya jejak tersebut.
D. Parameter Penelitian
1. Tipe habitat
Klasifikasi tipe habitat mengacu pada Linkie (2003) yang menyatakan hutan
dataran rendah (0-300 mdpl), hutan perbukitan (300-800 mdpl), hutan sub
2. Faktor spasial
2002).
• Jarak dari jalan umum yaitu jarak dari transek ke jalan umum atau
3. Ancaman
melakukan aktifitasnya.
E. Analisis data
spasial.
ER = N/Km
jenis, delapan marga, tujuh suku dan tiga bangsa (tabel 2). Bangsa Artiodactyla
atau mamalia berkuku genap terdiri dari babi (Sus spp), rusa sambar (Cervus
berkuku ganjil) hanya ditemukan satu jenis yaitu tapir, sedangkan bangsa
Carnivora terdapat tiga jenis yaitu harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae),
Tabel 2. Komposisi jenis mamalia besar di kawasan Hutan Sipurak dan sekitarnya
Taman Nasional Kerinci Seblat
Bangsa Suku Marga Jenis Nama Indonesia Guild
Suidae Sus Sus spp Babi Omnivora
Cervus C. unicolor Rusa sambar Grazer
Artiodactyla Cervidae
Muntiacus M. muntjak Kijang Browser
Bovidae Capricornis C. sumatraensis Kambing hutan Browser
Perisodactyla Tapiridae Tapirus T. indicus Tapir tenuk Omnivora
Felidae Panthera P. tigris sumatrae Harimau sumatera Carnivora
Carnivora Ursidae Helarctos H. malayanus Beruang madu Omnivora
Canidae Cuon C. alpinus Ajak Carnivora
jenis (37,5 %), browser didapatkan 2 jenis (25 %), grazer didapatkan 1 jenis (12,5
jatuh, cacing tanah. akar-akaran, dan binatang kecil lainnya (Payne dkk, 2000).
Menurut Blouch (1984) babi jenggot (Sus barbatus) kadang melakukan migrasi
untuk mencari buah-buahan ke hutan dataran rendah yang melimpah pada musim
penghujan.
sebagai pemakan rumput (grazer) (Stafford, 1995). Menurut Kurt (1990) rusa
sambar di Asia Tenggara hidup di hutan hujan tropis selain memakan rumput.
juga memakan daun, buah-buahan dan kulit kayu. Menurut Payne dkk (2000)
(browser), namun kijang juga memakan rumput, buah-buahan yang jatuh dan
terna.
jatuh sangat penting bagi makanan suku Bovidae termasuk kambing hutan
adalah rumput-rumputan.
browsers yang biasanya memakan daun-daun muda, ranting pohon dan semak-
semak Beberapa jenis tumbuhan yang dimakan tapir antara lain Curculigo
Petrides, 1980). William (1978) menambahkan bahwa di dalam feses tapir juga
ditemukan adanya biji-bijian dan bagian buah yang berarti bahwa tapir juga
memakan buah-buahan.
Harimau berburu apa saja yang bisa didapatkan, namun makanan utama
harimau adalah babi hutan, mangsa lainnya seperti rusa, kijang, kancil, kera,
besar seperti badak, banteng, beruang, gajah dan tapir (MacDonald, 1984). Di
TNKS, harimau biasa mengkonsumsi babi hutan, rusa, kijang, pelanduk napu,
hampir memakan segalanya seperti buah, vertebrata kecil dan madu (Ewer, 1973).
sarang lebah untuk mendapatkan madu dan larva lebah tersebut. Fetherstonhaugh
madu juga suka menggali tanah dan memakan rayap, larva dan telurnya, beberapa
jenis serangga, kutu kayu dan cacing tanah. Dathe (1975) menyatakan beruang
madu juga sering memakan buah kelapa dan sering menimbulkan kerusakan pada
pohon-pohon kelapa.
Sabah, Malaysia, beruang madu merupakan jenis omnivora yang memakan hewan
dan tumbuhan. Jenis hewan yang dimakan meliputi 13 marga rayap (Isoptera),
delapan suku dari kumbang (Coleoptera), satu marga lebah (Apidae), dua marga
semut (Formicidae) dan satu marga dari tawon (Vespidae) serta beberapa bangsa
serangga lainnya, reptilia, burung dan beberapa mamalia kecil. Hasil analisis dari
feses beruang madu didapatkan bahwa >37 % isinya berasal dari beberapa marga
rayap yaitu Bulbitermes, Coptotermes, Dicuspiditermes, Nasutitermes, dan
dapat memangsa satwa mamalia yang ukurannya lebih besar dari ukuran
tubuhnya. Mangsa ajag antara lain adalah babi hutan, rusa, kijang, antelope dan
lain-lain. Selain mamalia besar tersebut, ajag juga memangsa tikus, insekta dan
hewan kecil lainnya. Ajag juga merupakan mangsa bagi karnivora lainnya seperti
babi, kijang, rusa, beruang madu, harimau dan tapir dapat ditemukan di semua
Tabel 3. Komposisi jenis mamalia besar di kawasan Hutan Sipurak dan sekitarnya
Taman Nasional Kerinci Seblat berdasarkan lokasi sampling
Beruang Kambing
Lokasi Babi Kijang Rusa madu Harimau Tapir hutan Ajag
Lempur-Renah
Kemumu ada ada ada ada ada ada Tidak ada Tidak ada
Sungai
Sekaladi ada ada ada ada ada ada Tidak ada Tidak ada
Sungai lalang-
Renah Alai ada ada ada ada ada ada ada Tidak ada
Sumbing- Nilo ada ada ada ada ada ada ada ada
termasuk sebagai hewan dilindungi oleh PP no 7 tahun 1999 yaitu Sus spp
dievaluasi, dua jenis (25 %) dengan status Endangered dan Vulnerable serta satu
merupakan satwa yang paling banyak diburu oleh masyarakat lokal untuk
Endangered Species of Wild Flora and Fauna) belum diatur. Menurut Meijaard
dkk (2005) kedua spesies ini juga telah mulai terancam keberadaannya yang
disebabkan karena maraknya perburuan untuk bahan makanan, barang hiasan dan
perdagangan ilegal.
Beberapa satwa yang termasuk dalam kategori rentan (vulnerable) adalah
tapir dan ajag. Menurut Novarino (2005) degradasi habitat merupakan ancaman
yang serius bagi keberadaan tapir khususnya perubahan hutan menjadi kawasan
Kawanishi (2002) penurunan populasi tapir lebih dari 30% dalam tiga generasi
serta mengalami penurunan luas dan kualitas habitat. Selanjutnya menurut Nowak
menurunnya mangsa ajag dan karena predasi secara langsung dari predator ajag.
menyatakan bahwa kambing hutan memiliki resiko kepunahan yang tinggi karena
mengalami penurunan populasi lebih dari 50% dalam waktu 10 tahun atau tiga
generasi, mengalami penurunan luas dan kualitas habitat serta karena eksploitasi.
ekor harimau Sumatera setiap dua tahun adalah masalah yang sangat berpengaruh
hutan di sekitarnya.
Komposisi jenis mamalia besar yang ditemukan di setiap tipe habitat terdapat
beberapa perbedaan. Babi hutan, rusa sambar, kijang, tapir, harimau dan beruang
madu dapat ditemukan pada semua tipe habitat. Kambing hutan hanya ditemukan
1.4 ER Kijang
1.2
1.0 ER Harimau
0.8 ER Tapir
0.6
0.4 ER Beruang
0.2 ER Kambing
0.0
ER Ajag
Perbukitan (300- Sub pegunungan Pergunungan
800 mdpl) (800-1400 mdpl) (1400-3500
mdpl)
Tipe habitat
Gambar 5. Grafik kelimpahan jenis mamalia besar tiap tipe habitat di kawasan
hutan sipurak dan sekitarya, Taman Nasional Kerinci Seblat
5).
0,082 jejak/Km (dengan kisaran 0,00 – 0,248 jejak/Km) dan pada sub pegunungan
0,067 jejak/Km (0,00 – 0,673 jejak/Km). Selanjutnya ajag hanya terdapat pada
pada setiap tipe habitat digunakan uji non parametrik Kruskal-Wallis. Jika hasil
uji Kruskal-Wallis menujukkan hasil yang signifikan maka dilanjutkan dengan uji
Mann-Whitney untuk melihat tipe habitat yang memiliki frekuensi perjumpaan
signifikan terhadap tipe habitat. Setelah diuji dengan Uji Mann-Whitney terdapat
dengan sub pegunungan (Asymp. Sig. = 0,008) (tabel lampiran 2) dan perbukitan
dengan pegunungan (Asymp. Sig. = 0,023) (lampiran 2). Sedangkan antara sub
lampiran 2) yang berarti frekuensi perjumpaan tapir antara kedua tipe habitat
berarti bahwa tapir lebih melimpah pada habitat sub pegunungan dan pegunungan
mdpl yang merupakan habitat pegunungan. Hal tersebut berkaitan dengan sifat
makan tapir yang merupakan selective browser atau pemakan daun-daun muda
pada tumbuhan tertentu. Arbain dkk (1999) menambahkan bahwa tapir termasuk
penghuni hutan primer, sehingga lebih melimpah pada habitat sub pegunungan
Menurut Meijaard dkk (2005) babi menempati semua tipe habitat di hutan.
MacKinnon dkk (1996) juga menyatakan bahwa di Sumatera babi ditemukan dari
mulai habitat dataran rendah hingga pegunungan. Linkie dan Sadikin (2003)
habitat di TNKS, dari hutan dataran rendah di Bengkulu (150 mdpl), sampai hutan
Menurut Payne dkk (2000) besarnya variasi tipe habitat yang ditempati oleh babi
seperti daun, buah dan umbi-umbian, invertebrata tanah, jamur dan lain
sebagainya.
(1997) habitat rusa sambar sangat bervariasi dari mulai hutan berkanopi rapat,
rawa, kawasan pinggir hutan dekat dengan lokasi pertanian dan lain-lain. Hal ini
menurut Hofmann (1985) disebabkan karena makanan rusa sambar yang berupa
daun muda) namun kijang juga memakan rumput dan buah-buahan yang jatuh
(Payne dkk, 2000). Oleh karena itu kijang dapat mencari makan di berbagai
(Payne dkk, 1985). Sedangkan di Sumatera hanya terdapat satu jenis yaitu
juga terjadi pada kambing hutan. Hal ini mungkin disebabkan karena kambing
hutan sumatera memiliki habitat yang luas yang mendiami hutan berbukit dan
pegunungan pada ketinggian 200 m - 3000 m di atas permukaan laut (Zon, 1979).
Sastrapradja (1982) dalam Meirina (2006) menyatakan bahwa tempat tinggal yang
disukainya ialah semak yang lebat juga daerah berbatu kapur dan bertebing
curam.
Asymp. Sig. = 0,435) juga menujukkan perbedaan yang tidak signifikan (tabel
lampiran 1).
Hasil uji terhadap harimau sesuai dengan Dinata (2003) yang menyatakan
pada habitat tertentu. Franklin dkk (1999) menyatakan bahwa harimau merupakan
satwa generalis yang dapat ditemukan di semua habitat hutan, dari hutan dataran
rendah sampai dataran tinggi, meliputi dataran pantai berawa payau dengan tipe
vegetasi hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, sampai lahan perkebunan
dan pertanian masyarakat Namun menurut Setijati dkk (1992) habitat yang paling
disukai harimau adalah daerah perbatasan antara hutan dan areal garapan
masyarakat yang biasanya banyak dihuni oleh jenis-jenis satwa yang dapat
signifikan terhadap tipe habitat karena beruang madu mampu hidup pada habitat
yang bervariasi. Augeri (2005) menemukan bahwa beruang madu hidup pada
hutan, tutupan kanopi, umur hutan, tingkat gangguan dan kondisi topografi telah
tercatat sekitar 50 jenis habitat yang dimanfaatkan oleh beruang madu. Namun
secara umum beruang madu lebih banyak ditemukan di hutan primer dengan
madu. Selain itu menurut Wong (2002) faktor makanan beruang madu yang
sangat bervariatif menyebabkan satwa ini tidak memiliki preferensi terhadap jenis
habitat tertentu. Beruang madu merupakan satwa omnivora yang memakan
frekuensi perjumpaannya sangat rendah. Oleh karena itu hasil analisis terhadap
frekuensi perjumpaaan ajag menunjukkan tidak ada perbedaan antar tipe habitat.
Menurut Lekagul dan McNeely (1977) ajag menempati banyak variasi tipe
habitat. Di Uni Soviet ajag hidup di daerah pegunungan alpin sedangkan di India
satwa ini hidup di daerah hutan yang rapat dan daerah semak belukar. Menurut
Nowak (1991) tingginya variasi tipe habitat ajag tersebut disebabkan karena ajag
termasuk predator yang memakan apa saja dari mulai insekta hingga ungulata
Faktor spasial yang diperhitungkan di dalam penelitian ini adalah jarak dari
jalan umum, jarak dari lokasi pemukiman dan kemiringan lokasi. Faktor jarak dari
jalan umum dan jarak dari desa digunakan untuk mengetahui pengaruh
Jarak lokasi transek ke jalan umum berkisar antara 2,5 Km hingga 15,5 Km.
Babi, kijang dan rusa dapat ditemukan pada kisaran jarak dari jalan umum antara
2,5 Km hingga 15,5 Km. Nilai frekuensi perjumpaan babi yang bervariasi antara
0,00 jejak/Km hingga 5,73 jejak/Km. Nilai frekuensi perjumpaan kijang bervariasi
2.5 ER Babi
2.0 ER Kijang
ER (jejak/Km)
ER Rusa
1.5
ER Beruang
1.0 ER Harimau
0.5 ER Tapir
ER Kambing
0.0 hutan
ER Ajag
0.00- 3.00- 6.00- 9.00- 12.00- 15.00-
2.99 5.99 8.99 11.99 14.99 17.99
Jarak dari Jalan
Gambar 6. Frekuensi perjumpaan mamalia besar berdasarkan jarak dari jalan
umum di kawasan Hutan Sipurak dan sekitarnya, Taman
Nasional Kerinci Seblat.
Beruang madu, harimau dan tapir juga dapat ditemukan pada kisaran
jarak dari jalan umum antara 2,5 Km hingga 15,5 Km. Beruang madu memiliki
nilai frekuensi perjumpaan yang bervariasi antara 0,00 jejak/Km hingga 1,27
jejak/Km. Nilai frekuensi perjumpaan harimau juga memiliki kisaran antara 0,00
perjumpaan yang bervariasi antara 0,00 jejak/Km hingga 3,81 jejak/Km (gambar
6).
Sedangkan kambing hutan dapat ditemukan pada kisaran jarak dari jalan
bervariasi antara 0,24-0,67 jejak/Km. Ajag hanya ditemukan pada transek yang
memliki jarak dari jalan umum sebesar sebesar 14,5 Km dengan variasi nilai
Hasil analisis frekuensi perjumpaan jenis mamalia besar terhadap jarak dari
jalan umum menggunakan uji korelasi Spearman menujukkan bahwa hanya kijang
(Sign. (2-tailed) 0,016) (tabel lampiran 3) yang menujukkan hasil yang signifikan.
Hasil tersebut berarti bahwa kelimpahan kijang lebih tinggi pada lokasi yang lebih
jauh dari jalan umum. Menurut Heydon (1994) hal tersebut disebabkan karena
kijang merupakan salah satu satwa mamalia yang sensitif dan lebih banyak
(Sign. (2-tailed) 0,801), rusa (Sign. (2-tailed) 0,537), tapir (Sign. (2-tailed) 0,127)
terdapat korelasi yang tidak signifikan dengan jarak dari jalan umum.
dengan keberadaan jalan umum. Hal ini disebabkan karena babi merupakan jenis
mamalia yang memiliki variasi makanan yang luas (Payne dkk, 2000) dan lebih
toleran dengan kehadiran manusia (MacKinnon dkk, 1996). Oleh karena itu maka
dengan jarak dari jalan umum, menurut Nowak (1999) disebabkan karena rusa
merupakan satwa yang memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga dapat
menempati beberapa macam tipe habitat bahkan dapat hidup di daerah terbuka
Tapir juga memiliki korelasi yang tidak signifikan dengan jalan umum.
Taratak Sumatera menemukan bahwa tapir dapat ditemukan pada kisaran jarak
150-2000 meter dari tepi hutan. Hal tersebut juga ditemukan dari penelitian
walaupun kambing hutan sangat sensitif terhadap manusia, namun jenis ini
memiliki mekanisme pertahanan diri yang baik. Bila secara tiba-tiba berhadapan
dengan manusia, ada kemungkinan kambing hutan akan berdiri diam dan
dan raungan, siulan melengking yang aneh atau antara dengusan dan siulan.
Hasil uji korelasi Spearman terhadap faktor jarak dari jalan umum juga
yaitu harimau sumatera (Sign. (2-tailed) 0,807), beruang madu (Sign. (2-tailed)
korelasi dengan jarak dari jalan umum Hal tersebut menujukkan bahwa
sumatera. Menurut Lynam dkk (2000) secara alami harimau adalah satwa pemalu
dan selalu menjauhi manusia. Oleh karena itu harimau memliki waktu aktifitas
pada malam hari sehingga sulit untuk dideteksi oleh manusia secara langsung.
tutupan vegetasi yang rapat, akses ke sumber air dan hewan mangsa yang cukup.
kelimpahan ajag yang tidak dipengaruhi oleh jarak dari jalan umum.
jarak dari jalan umum. Meskipun menurut Griffiths dan van Schaik (1993)
aktifitas beruang madu dipengaruhi oleh gangguan manusia, beruang madu dapat
beraktifitas pada siang hari pada kondisi tidak adanya gangguan dari manusia.
Onuma dkk (2000) menyatakan bahwa beruang madu yang tinggal di perbatasan
pada malam hari dan pada siang hari terdapat di daerah hutan. Perilaku tersebut
Jarak lokasi transek ke desa berkisar antara 5 Km hingga 14,5 Km. Babi
dan rusa dapat ditemukan pada kisaran jarak dari desa antara 5 Km hingga 14 Km.
Nilai frekuensi perjumpaan babi yang bervariasi antara 0,00 jejak/Km hingga 5,73
jejak/Km. dan nilai frekuensi perjumpaan rusa berkisar antara 0,00-3,18 jejak/Km.
Sedangkan kijang dan tapir dapat ditemukan pada kisaran jarak dari desa antara 5
Km hingga 14,5 Km dengan variasi nilai frekuensi perjumpaan kijang antara 0,00-
2,97 jejak/Km dan nilai ER tapir 0,00 - 3,81 jejak/Km (gambar 7).
Frekuensi Perjumpaan Mamalia Besar Berdasarkan
Jarak Dari Desa ER Babi
2
ER Kijang
ER (Jejak/Km)
1.5
ER Rusa
1 ER Beruang
ER Harimau
0.5
ER Tapir
0 ER Kambing
5,10- 7,10- 9.10- 11.10- 13.10- hutan
ER Ajak
7,00 9.00 11.00 13.00 15.00
Jarak Dari Desa
Gambar 7. Frekuensi perjumpaan mamalia besar berdasarkan jarak dari desa di
kawasan Hutan Sipurak dan sekitarnya, Taman Nasional Kerinci
Seblat
Beruang madu dan harimau dapat ditemukan pada kisaran jarak dari desa
yang bervariasi antara 0,00 jejak/Km hingga 1,27 jejak/Km. Nilai frekuensi
perjumpaan harimau juga memiliki kisaran antara 0,00 jejak/Km hingga 1,27
Sedangkan kambing hutan dapat ditemukan pada kisaran jarak dari desa
antara 5,5 Km hingga 12,5 Km dengan nilai frekuensi perjumpaan yang bervariasi
antara 0,24-0,67 jejak/Km. Ajag hanya ditemukan pada transek yang memliki
jarak dari desa sebesar sebesar 14,5 Km dengan variasi nilai frekuensi perjumpaan
hanya kijang yang memiliki korelasi yang signifikan (Sign. (2-tailed) 0,033) (tabel
lampiran 4). Hasil ini berarti bahwa pada lokasi yang semakin jauh dari desa maka
frekuensi perjumpaan kijang akan meningkat. Menurut Heydon (1994) kijang
keberadaan jenis ini lebih banyak ditemukan di hutan primer yang belum banyak
terganggu.
Hasil uji Spearman pengaruh faktor jarak dari desa terhadap frekuensi
perjumpaan mamalia ungulata lainnya yaitu babi (Sign. (2-tailed) 0,055), rusa
(Sign. (2-tailed) 0,56), kambing hutan (Sign. (2-tailed) 0,107) dan tapir (Sign. (2-
tailed) 0,776) menunjukkan korelasi yang tidak signifikan (tabel lampiran 4).
manusia dan Payne dkk (2000) menambahkan bahwa babi sering datang ke areal
pertanian untuk mendapatkan makanan. Oleh karena hal tersebut maka babi hutan
menyatakan bahwa rusa dan kambing hutan merupakan hewan yang makanan
utamanya adalah rumput (grazer) sehingga keberadaan rusa dan kambing hutan
di tepian hutan terkait dengan adanya daerah hutan yang baru ditebang sehingga
terhadap jarak dari desa. Hasil tersebut berarti bahwa kelimpahan tapir tidak
terlalu dipengaruhi oleh faktor jarak dari desa yang nerupakan lokasi pemukiman
tapir sering kali ditemukan di lokasi pertanian masyarakat yang berbatasan dengan
Analisis terhadap jarak dari jalan juga menunjukkan hasil yang tidak
:0,235), beruang madu (Sig. (2-tailed) :0,866) dan ajag (Sig. (2-tailed) :0,166)
(tabel lampiran 4). Hasil terhadap harimau sumatera tersebut sesuai dengan
frekuensi perjumpaan harimau tidak signifikan terhadap jarak dari desa. Hal
tersebut dapat berhubungan dengan keberadaan mangsa harimau seperti babi dan
rusa yang memiliki distribusi yang merata terhadap faktor jarak dari desa.
kisaran jarak dari desa. Menurut Fredriksson (2005) beruang madu juga
merupakan salah satu satwa yang menjadi hama bagi pertanian dan sering
mangsa ajag seperti babi dan kijang ditemukan merata pada setiap kisaran jarak
dari desa.
3) Kemiringan
Faktor kemiringan merupakan faktor topografi yang kemungkinan dapat
penelitian ini terdapat beberapa kategori kemiringan lokasi sampling yaitu >3°, 3-
Babi, rusa dan kijang merupakan jenis yang dapat ditemukan di semua
adalah 1,270 jejak/Km (0,00-5,73 jejak/Km), pada kemiringan 9-150 adalah 0,248
dan pada kemiringan >600 adalah 0,748 jejak/Km (0,00-2,73 jejak/Km) (gambar
8).
1.20
Rusa
1.00
Harimau
0.80
Tapir
0.60
0.40 Beruang
0.20 Kambing
0.00 Ajak
< 3º 3-8º 9-15º 26-40º > 60º
Tingkat Kemiringan
frekuensi perjumpaan rusa pada kemiringan <30, 3-80, 9-150, 26-400dan >600
Harimau dan tapir dapat ditemukan pada hampir semua tingkat kemiringan
26-40 adalah 0,186 (0,00- 0,61 jejak/Km) dan pada kemiringan >600 adalah 0,330
<30 adalah 0,267 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-0,97 jejak/Km), 3-80 adalah
0,134 jejak/Km (0,00- 0,74 jejak/Km), pada kemiringan 26-40 adalah 1,485 (1,06-
2,44 jejak/Km) dan pada kemiringan >600 adalah 1,342 (0,00- 3,81 jejak/Km)
(gambar 8).
yaitu 0,201 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-1,27 jejak/Km), 0,186 jejak/Km (0,00-
Kambing hutan hanya ditemukan pada tingkat kemiringan 9-15° dan >60°.
tersebut adalah 0,248 jejak/Km dan 0,044 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-0,67
jejak/Km). Selanjutnya ajag hanya ditemukan pada kemiringan >60° dengan
(gambar 8).
pertemuan jenis mamalia besar digunakan uji non parametrik Spearman. Hasil
analisis kemiringan terhadap beberapa satwa ungulata yaitu babi hutan (Sig. (2-
tailed) :0,497), rusa (Sig. (2-tailed) :0,438), kijang (Sig. (2-tailed) :0,435) dan
(2000) babi hutan, rusa dan kijang memiliki adaptasi habitat yang luas yang
berkaitan dengan varaisi makanan yang sangat tinggi. Sastrapradja (1982) dalam
Meirina (2006) menyatakan bahwa tempat tinggal yang disukai oleh kambing
hutan ialah semak yang lebat juga daerah berbatu kapur dan bertebing curam.
pada siang hari. Bagian tebing yang dipilihnya ialah yang menghadap ke
hutan suka bersembunyi di dalam gua-gua yang tidak dalam yang terdapat pada
signifikan terhadap kelimpahan tapir (Sig. (2-tailed) :0,000) (tabel lampiran 5).
Korelasi ini berarti bahwa frekuensi perjumpan terhadap tapir meningkat seiring
dengan semakin besar tingkat kemiringan lokasi. Hasil tersebut tidak sesuai
menyebutkan bahwa tapir lebih menyukai daerah yang lebih datar dan basah
daripada daerah yang memiliki tingkat kemiringan yang besar atau pada hutan
(1984) tapir adalah pendaki bukit yang baik, dapat berlari cepat, meluncur,
menyeberang sungai, berenang dengan baik bahkan dapat menyelam dalam air
(Sig. (2-tailed) :0,355), beruang madu (Sig. (2-tailed) :0, 132) dan ajag (Sig. (2-
tailed) :0,376) (tabel lampiran 5). Sunquist dkk (1999) menyatakan bahwa
harimau memiliki daya jelajah yang sangat luas dan mampu melintasi daerah-
daerah yang memiliki kondisi ekstrim. Sifat tersebut berhubungan sebagai strategi
bahwa harimau kaspia kadangkala terlihat di daerah stepa dan gurun yang
tingkat kemiringan 3-8°, 26-40° dan >60° oleh karena itu maka hasil analisis
kemiringan pada beruang madu tidak menujukkan hasil yang signifikan. Augeri
beruang madu khususnya koloni semut sangat dipengaruhi oleh jenis substrat,
1) Jerat
Frekuensi perjumpaan babi pada lokasi yang tidak ditemukan jerat yaitu
0,696 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-5,734 jejak/Km ) dan pada lokasi yang
perjumpaan kijang pada lokasi yang tidak ditemukan jerat adalah 0,874 jejak/Km
(0,00- 2,97 jejak/Km dan pada lokasi yang ditemukan jerat adalah 0,914 jejak/Km
tidak ditemukan jerat adalah 0,874 jejak/Km (0,00-3,05 jejak/Km ) dan pada
lokasi yang ditemukan jerat adalah 1.105 jejak/Km ( 0,40-3,18 jejak/Km) (gambar
9).
Frekuensi Perjumpaan Mamalia Besar Berdasarkan
Keberadaan Jerat
Babi
1.6
1.4 Kijang
ER (jejak/Km)
1.2 Rusa
1
Beruang
0.8
0.6 Harimau
0.4 Tapir
0.2
Kambing
0
hutan
Tidak ada Ada Ajak
Keberadaan Jerat
Gambar 9. Frekuensi perjumpaan mamalia besar berdasarkan keberadaan
jerat di kawasan hutan Sipurak dan sekitarnya, Taman Nasional
Kerinci Seblat .
kisaran 0,00-1,274 jejak/Km ) pada lokasi yang tidak terdapat jerat dan 0,228
perjumpaan harimau pada lokasi yang tidak ditemukan jerat yaitu 0,323 jejak/Km
(dengan kisaran 0,00-1,274 jejak/Km ) dan pada lokasi yang ditemukan jerat
lokasi yang tidak terdapat jerat dan 1,486 jejak/Km (0,00-3,81 jejak/Km) pada
jerat yaitu 0,048 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-0,585 jejak/Km ) dan pada lokasi
ajag hanya ditemukan pada lokasi yang tidak terdapat jerat dengan freeunsi
analisis keberadaan jerat terhadap babi hutan (Exact Sign: 0.161), rusa (Exact
Sign Sig : 0.422), kijang (Exact Sign: 0.673) dan kambing hutan (Exact Sign:
0.846) tidak signifikan (tabel lampiran 6). Hasil tersebut menujukkan bahwa
keberadaan jerat tidak memiliki efek langsung terhadap frekuensi keempat jenis
merupakan jenis-jenis satwa yang paling banyak diburu untuk konsumsi. Namun
perburuan terhadap babi tidak untuk dikonsumsi melainkan untuk hobi dan untuk
melindungi lahan pertanian mereka. Menurut Sadikin (2005) babi termasuk salah
satu satwa yang sering menjadi hama pertanian. Metode perburuan terhadap babi
yang paling populer adalah dengan menggunakan anjing pemburu. Namun hingga
saat ini, efek perburuan babi hutan belum menyebabkan ancaman yang serius
Puri ( 2001) menyatakan bahwa perburuan rusa dan kijang selain untuk
bahan makanan juga untuk barang hiasan khususnya tanduk dan kulitnya. Linkie
(2003) menyatakan bahwa kijang merupakan jenis yang paling banyak dijerat di
wilayah TNKS.
Hasil analisis jerat terhadap tapir menemukan adanya perbedaan yang
perjumpaan terhadap tapir lebih tinggi pada lokasi yang terdapat jerat. Menurut
Linkie (2003) tapir bukan satwa utama yang menjadi sasaran pemasangan jerat.
beruang madu (Exact Sign : 0,716) dan ajag (Exact Sign : 0,873) tidak memiliki
hasil yang signifikan terhadap keberadaan jerat. Harimau, beruang madu dan ajag
ditemukan merata pada transek yang terdapat jerat dan tidak terdapat jerat.
keberadaan jerat dapat disebabkan karena mangsa utama harimau seperti babi
hutan, kijang dan rusa juga ditemukan merata pada setiap transek tersebut.
seperti rusa dan kijang di lahan pertanian dapat menarik kehadiran harimau.
Sehingga kadang harimau juga dapat terperangkap oleh jerat yang dipasang untuk
2) Penebangan liar
dan illegal), perkembangan perkebunan dan konversi hutan untuk lahan pertanian.
Frekuensi Perjumpaan Mamalia Besar Berdasarkan
Keberadaan Perambahan Liar
1.6 Babi
1.4 Kijang
ER (Jejak/Km)
1.2
Rusa
1
Beruang
0.8
0.6 Harimau
0.4 Tapir
0.2 Kambing hutan
0
Ajak
Tidak ada Ada
Keberadaan Perambahan Liar
Frekuensi perjumpaan babi pada lokasi yang tidak adanya penebangan liar
yaitu 0,793 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-5,734 jejak/Km ) dan pada lokasi yang
perjumpaan kijang pada lokasi yang tidak adanya penebangan liar adalah 0,793
jejak/Km (0,00- 2,445 jejak/Km) dan pada lokasi yang terdapat penebangan liar
rusa pada lokasi yang tidak adanya penebangan liar adalah 0,90 jejak/Km (0,00-
3,188 jejak/Km ) dan pada lokasi yang terdapat penebangan liar adalah 1.178
kisaran 0,00-1,274 jejak/Km ) pada lokasi tidak adanya penebangan liar dan 0,073
Frekuensi perjumpaan harimau pada lokasi yang tidak adanya penebangan liar
yaitu 0,322 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-1,274 jejak/Km ) dan pada lokasi yang
liar dan 0,220 jejak/Km (0,00-2,28 jejak/Km) pada lokasi yang terdapat
Kambing hutan dan ajag hanya ditemukan pada lokasi yang tidak adanya
penebangan liar. Frekuensi perjumpaan kambing hutan pada lokasi yang tidak
dalam transek digunakan analisis uji non parametric Mann-Whitney. Hasil analisis
Sign : 0,934), rusa (Exact Sign : 0,396), kijang (Exact Sign : 0,144) dan kambing
signifikan (tabel lampiran 7). Hal tersebut berarti frekuensi perjumpaan satwa
tersebut merata pada area yang terdapat penebangan dan tidak terdapat
penebangan.
kijang dan kambing hutan yang merupakan pemakan rumput dapat mengambil
dan mencari makanan alternative seperti buah-buahan. Oleh karena itu satwa
ungulata tersebut memiliki frekuensi yang merata pada areal logging dan areal
non logging.
perjumpan tapir lebih tinggi di areal yang tidak mengalami Penebangan. Hasil ini
sesuai dengan pernyataan Blouch (1984) bahwa di Sumatera Selatan tapir lebih
banyak ditemukan di area rawa yang tidak terganggu dan hutan dataran rendah.
Sedangkan di areal yang terganggu kepadatan tapir lebih rendah. Santiapilli dan
Ramono (1989) menambahkan di Jambi, tapir lebih memilih areal hutan yang
Harimau sumatera (Exact Sign : 0,095) dan ajag (Exact Sign : 0,908) tidak
penebangan. Hasil ini beraarti bahwa satwa ini ditemukan merata pada habitat
dapat disebabkan karena satwa mangsa harimau dan ajag seperti babi hutan, rusa
dan kijang juga tersebar merata pada kawasan yang mengalami penebangan dan
daerah jelajah luas hingga 30 Km. Oleh karena itu harimau dapat menggunakan
beruang madu menujukkan hasil yang tidak signifikan (Exact Sign : 0,496) (tabel
lampiran 7). Hal tersebut karena beruang madu merupakan satwa yang dapat
tanah dan mempengaruhi keberadaan hewan permukaan tanah seperti semut yang
A. Kesimpulan
sipurak dan sekitarnya yaitu babi (Sus spp), kijang (Muntiacus muntjak),
2. Berdasarkan tipe habitat, tapir lebih melimpah pada tipe habitat sub
sedangkan pada jenis yang lain terdistribusi merata pada antar tipe habitat.
3. Berdasarkan jarak dari jalan umum dan jarak dari desa, kijang ditemukan
lebih melimpah pada area yang lebih jauh dari jalan umum dan desa,
kelimpahan tapir dimana tapir lebih melimpah pada area yang terdapat
B. Saran
1) Perlu dilakukan penelitian yang lebih intensif tentang aspek ekologi dan
distribusi beberapa mamalia besar seperti beruang madu dan ajag yang
Alikodra, H.S, Pengelolaan Satwa Liar, Jilid I, Depdikbud, IPB, Bogor, 1990.
Augeri, D.. Effects of disturbance on Malayan Sun Bear habitat use. Presented
paper at the International Conference on Conservation Science,
Cambridge, UK. 2004.
Blouch, R.A. Current Status of the Sumatran Rhino and Other Large Mammals in
Southern Sumatra. Project 3033 Final. Report, IUCN/WWF
Indonesia Programme, Bogor, Indonesia. 1984.
Caldecot, J dan Caldecot, S. A Horde of Pork. News Scienties; 107; 32-35. 1985.
Ewer R. F. The carnivores. Cornell University Press, Ithaca, New York Feng.Q.
dan Wang Y.1991. Studies on Malayan sun bear (Helarctos
malayanus) in artificial rearing. Acta Theriologica Sinica. 1973.
Griffiths, M. and C. P. van Schaik. The impact of human traffi c on the abundance
and activity periods of Sumatran rain forest wildlife. Conservation
Biology 7:623-626. 1993.
Holden, J. Small cats in Kerinci Seblat National Park Sumatra, Indonesia. Cat
News, 35, 11–14. 2001.
Holden, J. Mammals List For Kerinci Seblat National Park (KSNP). 2002.
Lauminier, Y, The Vegetation and Tree Flora of Kerinci Seblat National Park,
Sumatra, Trop, Biodiv, 1994.
Linkie, M. and L. Sadikin. The bearded pig in Kerinci Seblat National Park,
Sumatra. Asian Wild Pig News 3:3-9. 2003.
Linkie, M. Tigers, Prey loss and Deforestation Paterrns in Sumatra, Thesis for
submitted the degree of Doctor of Phylosophy. Durrel Institute of
Conservation and Ecology, University of Kent. 2003.
Lynam, A.J, Colon, C dan Ray, J, Tiger Survey Techniques and Conservation,
Training Hand Book, Khoa Yai Forestry Training Centre, Bangkok
Thailang, 2000.
Nowak, R. M.. Walker’s mammals of the world, 6th edition. Johns Hopkins
University Press, Baltimore, USA. 1999.
Nowak, RM dan Paradiso, JL, Walker’s Mammals of the World. Edisi IV, The
John Hopkins University Press, Baltimore and London, 1991.
O’Brien dkk Crouching tigers, hidden prey: Sumatran tiger and prey populations
in a tropical forest landscape. Animal Conservation 6: 131-139.
2003.
Sadikin, L.A. Keberadaan Mamalia Sedang Dan Besar di Kawasan Pinggir Hutan
dengan Metode “Camera Trap” di Air Dikit, Taman Nasional
Kerinci Seblat, Skripsi Sarjana Sains, Fakultas Biologi Universitas
Nasional, Jakarta, 2005.
Servheen C. The sun bear. Pp. 124–127 in Bears (I.Stirling, ed.). Rodale Press
Inc., Emmaus, Pennsylvania. 1993.
Setijati, D., Sastrapradja, Soemarto, S.A., Rifai, M.A. Khasanah Flora dan Fauna
Nusantara. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta, 1992
Smith, R.J dan Linkie, M, Measuring and Predicting Forest Loss in The Kerinci
Seblat, ICDP Project Area, KS-ICDP, Component D, Technical
Report, Agriconsulting, SpA, Jakarta, 2001.
Stafford K. J. The diet and trace element status of sambar deer (Cervus unicoloi)
in Manawatu district, New Zealand. New Zealand Journal of
Zoology, 1997, Vol. 24:261-271
Sunquist. M dkk, Ekologi , Perilaku dan Keuletan Harimau serta Perlunya Usaha
Konservasi Harimau dalam Menunggang Harimau: Pelestarian
Harimau di Lingkungan yang didominasi Manusia. Cambridge
Univercsity Press. 1999
William. K,.D. aspect of The Ecology and Behavior Of The Malayan Tapir
(Tapirus indicus) in the National Park of West Malaysia. MSc.
Thesis, Michogan State University. U.M.I. AnnArbor, 1978
Wong dkk. Food habits of Malayan sun bears in lowland tropical forests of
Borneo, 2002.
Ranks
Jenis HABITAT N Mean Rank
BABI Pegunungan 15 19.13
Sub
14 20.21
pegunungan
Perbukitan 11 22.73
Total 40
KIJANG Pegunungan 15 17.07
Sub
14 23.29
pegunungan
Perbukitan 11 21.64
Total 40
RUSA Pegunungan 15 17.20
Sub
14 22.29
pegunungan
Perbukitan 11 22.73
Total 40
BERUANG Pegunungan 15 21.27
Sub
14 20.57
Pegunungan
Perbukitan 11 19.36
Total 40
Harimau Pegununga 15 22.93
Sub
14 21.43
pegunungan
Perbukitan 11 16.00
Total 40
TAPIR Pegunungan 15 24.13
Sub
14 22.86
pegunungan
Perbukitan 11 12.55
Total 40
KAMBING Pegunungan 15 19.00
Sub
14 21.93
pegunungan
Perbukitan 11 20.73
Total 40
AJAG Pegunungan 15 21.33
Sub
14 20.00
pegunungan
Perbukitan 11 20.00
Total 40
Test Statistics(a,b)
Ranks
Test Statistics(b)
Kambing
Babi Kijang Rusa Beruang Harimau Tapir hutan Ajag
Spearman's rho jarak ke Correlation
-.041 .380(*) -.101 -.007 -.040 .245 .123 .222
jalan (Km) Coefficient
Sig. (2-tailed) .801 .016 .537 .964 .807 .127 .450 .168
N 40 40 40 40 40 40 40
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Kambing
Babi Kijang Rusa Beruang Harimau Tapir hutan Ajag
Spearman's rho jarak ke Correlation
-.305 .337(*) -.095 -.028 .192 .046 -.259 .224
desa Coefficient
Sig. (2-
.055 .033 .560 .866 .235 .776 .107 .166
tailed)
N 40 40 40 40 40 40 40
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Kambing
Babi Kijang Rusa Beruang Harimau Tapir hutan
Spearman's Corelation
rho Kemiringan coeficient 0.111 0.127 0.126 0.242 0.150 0.600 0.136
Sign (2-
tailed) 0.497 0.435 0.438 0.132 0.355 .000** 0.402
N 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Kambing
Babi Kijang Rusa Beruang Harimau Tapir hutan Ajag
Mann-Whtiney U 121.000 153.000 140.000 155.000 130.000 89.000 165.000 162.000
Wilcoxon W 527.000 231.000 546.000 561.000 208.000 495.000 571.000 240.000
Z -1.402 -0.443 -0.827 -0.448 -1.213 -2.395 -0.194 -0.655
Asymp. Sign. (2-
tailed) 0.161 0.658 0.408 0.626 0.225 0.017 0.846 0.513
Exact. Sign [2*(1-
tailedSign.)] .172 (a) .673 (a) .442 (a) .716 (a0 .273 (a0 0.019 .942 (a) .873 (a)
Tabel Lampiran 7. Analisis Uji Mann-Whitney untuk mengetahui pengaruh
keberadaan perambahan liar terhadap kelimpahan
mamalia besar
Kambing
Babi Kijang Rusa Beruang Harimau Tapir hutan Ajag
Mann-Whtiney U 125.000 84.000 102.000 107.000 78.000 67.000 116.000 124.000
Wilcoxon W 650.000 612.000 630.000 143.000 144.000 103.000 152.000 160.000
Z -0.103 -1.489 -0.880 -0.902 -1.828 -2.119 -0.888 -0.500
Asymp. Sign. (2-
tailed) 0.918 0.136 0.379 0.367 0.068 0.034 0.374 0.617
Exact. Sign [2*(1-
tailedSign.)] 934 (a) .144 (a) .396 (a) .496 (a) 0.095 0.039 .703 (a) .908 (a)