Anda di halaman 1dari 77

KELIMPAHAN MAMALIA BESAR

DI KAWASAN HUTAN SIPURAK DAN SEKITARNYA

TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT

SKRIPSI

Oleh

TOMI ARIYANTO

FAKULTAS BIOLOGI

UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA

2007
FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS NASIONAL
Skripsi, Jakarta April 2007

Tomi Ariyanto

Kelimpahan mamalia besar di kawasan hutan Sipurak dan sekitarnya, Taman


Nasional Kerinci Seblat

xiv + 49 halaman, 5 tabel, 10 gambar, 7 lampiran

Penelitian mengeni kelimpahan mamalia besar ini dilakukan di kawasan


hutan Sipurak dan sekitarnya Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera pada
Maret-Juni 2006. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah line
transect studi jejak data. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh dari
perbedaan tipe habitat dan beberapa gangguan terhadap mamalia besar di TNKS
khususnya di kawasan hutan Sipurak dan sekitarnya.
Analisis data menggunakan uji Kruskall-Wallis untuk membandingkan
kelimpahan mamalia besar berdasarkan tipe habitat, uji Korelasi Spearman
membandingkan kelimpahan mamalia besar berdasarkan faktor spasial (jarak dari
jalan umum, jarak dari desa dan kemiringan)dan untuk membandingkan
kelimpahan mamalia besar berdasarkan faktor ancaman (penebangan liar dan
jerat) digunakan uji Mann-Whitney.
Berdasarkan tipe habitat, tapir lebih melimpah pada habitat sub
pegunungan dan pegunungan dibandingkan dengan habitat perbukitan sedangkan
pada jenis yang lain terdistribusi merata pada setiap tipe habitat. Pada lokasi yang
lebih jauh dari jalan umum dan desa kelimpahan kijang semakin tinggi, sedangkan
pada jenis yang lain terdistribusi merata dalam kisaran jarak dari desa dan jarak
dari jalan umum. Berdasarkan kemiringan, tapir lebih melimpah pada lokasi yang
memiliki tingakt kemiringan yang lebih tinggi, sedangkan pada jenis yang
terdistribusi merata pada setiap tingkat kemiringan. Keberadaan jerat dan
perambahan liar hanya berpengaruh terhadap kelimpahan tapir dimana tapir lebih
melimpah pada area yang terdapat jerat dan tidak terdapat perambahan liar.

Daftar bacaan : 73 (1940 – 2006)


KELIMPAHAN MAMALIA BESAR

DI KAWASAN HUTAN SIPURAK DAN SEKITARNYA

TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA SAINS DALAM BIDANG BIOLOGI

Oleh :

TOMI ARIYANTO
0262010012

FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA

2007
Judul skripsi : KELIMPAHAN MAMALIA BESAR DI
KAWASAN HUTAN SIPURAK DAN
SEKITARNYA TAMAN NASIONAL
KERINCI SEBLAT

Nama mahasiswa : Tomi Ariyanto

Nomor pokok : 0262010012

NIRM : 023112620150012

MENYETUJUI

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

(Imran S. L. Tobing, drs. MSi.) (Tatang Mitra Setia, drs. MSi)

DEKAN

(Tatang Mitra Setia, drs. MSi)

Tanggal lulus : 8 Mei 2007


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Kuasa Sang Pencipta langit dan bumi

atas limpahan karunia, ilmu dan kekuatan kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kelimpahan Mamalia Besar di Kawasan

Hutan Sipurak dan sekitarnya, Taman Nasional Kerinci Seblat“ sebagai

persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Biologi Universitas

Nasional.

Tersusunnya skripsi ini tak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai

pihak. Untuk itu penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Drs. Imran S.L Tobing, MSi. sebagai pembimbing pertama yang telah

memberikan motivasi, pelajaran yang berharga dan pengarahan dalam isi

materi penulisan skripsi ini.

2. Bapak Drs. Tatang Mitra Setia selaku pembimbing kedua sekaligus sebagai

Dekan Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta atas bantuan saran,

dorongan dan semangat untk terus berkembang.

3. Kepada Mattew Linkie, Phd dan Yoan Dinata, Ssi yang telah memberikan

kesempatan penelitian, saran dan pengarahan selama dilapangan serta

memberikan pengalaman yang sangat berharga.

4. Bapak Kepala Balai TNKS dan staf yang tutut membantu perizinan dan saran

dalam penelitian ini.


5. Drs Benny Djaja (almarhum) sebagai ayah sekaligus dosen terbaik yang telah

banyak memberikan nasehat, perhatian, motivasi serta pembentukan pola

berpikir yang lebih baik dalam menjalani hidup. Semoga Tuhan memberikan

tempat yang terbaik di sisi –Nya.

6. Bapak Drs. Yudistira dan Ibu Dra Yulneriwarni Msi. yang banyak

memberikan motivasi untuk lebih banyak belajar serta saran-sarannya selama

menjadi Penasehat Akademik.

7. Ibu Dr. Sri Suci Utami, Bapak Drs.Hasmar Rusmendro, Bapak Drs Ihsan

Matondang Msi serta seluruh staf dosen Fakultas Biologi Universitas Nasional

terima kasih atas diskusi dan pelajaran yang selama ini diberikan.

8. Kepada Mbak Nina dan Mas Fadilllah yang telah banyak membantu dalam

urusan administrasi.

9. Kepada teman-teman tim MHS-TNKS : Bang Agung Nugroho, Ssi, Bang

Agung “Gundul“, Iding Ahmad K, Bang David Gusman Ssi, Bang Doddy Yu

Saputra, Herman Saputra, Bang Ibenk, M. Andri, Ssi, Aliman Hakim, Ssi,

Bernardi, Mbak Totty, S.Hut dan Mbak Endah S.Hut atas kerja sama dan rasa

kekeluargaan yang diberikan.

10. Kepada guide MHS : Pak Sutis, Pak Sugar, Mamak Iril, Pak Jaya dan Anto

atas kerja samanya.

11. Fitri Ayu Wulan Yuniarti, terima kasih atas bantuan, motivasi serta momen

terindah yang selalu hadir dalam penulisan skripsi ini dan terima kasih untuk

Bapak Gunadi dan keluarga yang telah banyak memotivasi.


12. Kelompok Studi Penyu Laut “Chelonia“ tercinta yang telah membuka mata,

telinga dan fikiran serta ilmu dan pengalaman yang sangat berharga.

13. Kepada orang-orang yang banyak memberikan inspirasi : Eddy Santoso Ssi,

Firmansyah Ssi, Juliarta B Ottay Ssi, Tri Wahyu Susanto, Ssi, Gunawan Ssi,

Ari Meididit Ssi, Hanni M Maharani Ssi, Radian Kurniawati Ssi, Ika Mian K

Ssi, Mayrina Ssi, Retno Wulandari Ssi, Erwin P Santoso, Didik Prasetyo Msi,

Ahmad Saleh Ssi, Fitriah Basalamah Ssi. Terima kasih atas diskusinya selama

ini.

14. Sahabat, rekan seperjuangan serta teman bertukar pikiran : Nuruddin, Yunita

Nurdini, Rahmalia NAA, Aan Aliyah, Putri Wulansari dan Fembry Ariyanto.

Terima kasih atas kesabarannya, kasih sayang dan kebersamaanya selama ini.

Tabah hingga akhir!!

15. Adik-adik tersayang Etika Sayekti, Neneng Mardianah, Filani, Oca-me,

Hesmi, Anita, Dicky, Ciko, Taufik dan Lutfi semoga tetap semangat dan tak

pernah lelah untuk belajar.

16. Yedi Zefriyadi Ssi dan Ana Puspaningdiah atas pengertian dan pernah menjadi

penampungan penulis.

17. Saudara-saudaraku : Adji Saga S.T, Fathur Rohim, Ahmad Effendi dan

Wawan Dina Mulyana atas pengertiannya dan malam-malam terindahnya.

Kepada Diana Ramora dan Chusnul “NINU“ Chotimah yang tak pernah

melupakan.

18. Luri Ikhsan, yang bersedia berbagi tempat tidur dan berbagi cerita di kamar

kos Sawo Manila 14.


19. Pantai Indah Citirem, SM Cikepuh sebagai tempat mencari inspirasi,

perenungan, kenangan indah dan tempat pembelajaran yang penuh makna dan

tak terlupakan.

20. Teman-teman Bio 02 yang selalu memberikan tawa dan motivasi untuk terus

semangat.

21. Pusat Laboratorium Ragunan dan semua penghuninya, terimakasih atas

malam-malam sepi yang dilalui bersama.

22. Terakhir penulis mempersembahkan karya ini untuk Ibu, Nenek, Oom Elvis,

Mas Hasan, Mbak Nita, Muhamammad Alief Zamorano dan Vanya atas

motivasi, bantuan dan kepercayaannya selama ini.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan

maka penulis berharap adanya kritik dan saran yang membenagun demi

penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu

konservasi kenakeragaman hayati di Indonesia.

Jakarta, April 2007

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR …………………………………………………… v

DAFTAR ISI ……………………………………………………………... ix

DAFTAR TABEL ………………………………………………………... xi

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………... xii

BAB

I. PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1

II. TINJAUAN UMUM...............................................................................


4
A. Taman Nasional Kerinci Seblat.......................................................
4
B. Mamalia Besar ……………………………………………………
9
III. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 12

A. Waktu dan Lokasi ............................................................................. 12

B. Peralatan Penelitian.......................................................................... 14

C. Cara Kerja.......................................................................................... 14

D. Parameter Penelitian.......................................................................... 14

E. Analisis Data..................................................................................... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 18


A. Komposisi jenis mamalia besar yang ditemukan di lokasi
18
penelitian...................................................................................
B. Perbandingan frekuensi perjumpaan mamalia besar berdasarkan

tipe habitat …………………………….. 24

C. Perbandingan frekuensi perjumpaan mamalia besar berdasarkan

faktor spasial……………………………………………………… 30

1. Jarak dari jalan umum…………………..……………… 31

2. Jarak dari desa……………………………..……………… 35

3. Kemiringan………………………………………………... 38

D. Perbandingan frekuensi perjumpaan mamalia besar berdasarkan


43
keberadaan ancaman………………………………………………
1. Jerat.........…………………………………………………. 43

2. Penebangan liar…………………………………………… 46

V. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………... 50

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 52
DAFTAR TABEL

TABEL
Halaman

Naskah

1. Deskripsi lokasi penelitian kelimpahan mamalia besar di Kawasan


Hutan Sipurak dan Sekitarnya, Taman Nasional Kerinci Seblat.............. 13
2. Komposisi jenis mamalia besar di kawasan Hutan Sipurak dan
sekitarnya Taman Nasional Kerinci Seblat .............................................. 18
3. Komposisi jenis mamalia besar di kawasan Hutan Sipurak dan
sekitarnyaTaman Nasional Kerinci Seblat berdasarkan lokasi sampling. 21
4. Status perlindungan jenis mamalia besar yang ditemukan di kawasan
hutan Sipurak dan sekitarnya, Taman Nasional Kerinci Seblat………… 22

Lampiran

1. Uji Kruskal–Wallis untuk mengetahui perbedaan kelimpahan frekuensi


perjumpaan mamalia besar berdasakan tipe habitat ……………………. 58
2. Uji Lanjutan Mann-Whitney untuk mengetahui perbedaan kelimpahan
tapir antara dua tipe habitat yang berbeda………………………………. 59
3. Analisis Korelasi Spearman untuk mengetahui perbedaan kelimpahan
mamalia besar berdasarkan jarak dari jalan umum…………………… 60
4. Analisis Korelasi Spearman untuk mengetahui perbedaan kelimpahan
mamalia besar berdasarkanjarak dari desa……………………………… 60
5. Analisis Korelasi Spearman untuk mengetahui perbedaan kelimpahan
mamalia besar berdasarkan kemiringan………………………………… 60
6. Uji Mann-Whitney untuk mengetahui pengaruh keberadaan jerat
terhadap kelimpahan mamalia besar …………………………………… 61
7. Uji Mann-Whitney untuk mengetahui pengaruh keberadaan
perambahan liar terhadap kelimpahan mamalia besar ………………… 62

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR
Halaman

Naskah

1. Peta Taman Nasional Kerinci Seblat…………………………... 4


2. Daerah administratif TNKS…………………………………… 6
3. Gambar deforestasi hutan di sekitar TNKS ……………........... 11
4. Peta Lokasi Penelitian di kawasan Hutan Sipurak dan
sekitarnya, Taman Nasional Kerinci Seblat ………………....... 12
5. Grafik kelimpahan jenis mamalia besar tiap tipe habitat di
kawasan Hutan Sipurak dan sekitarya, Taman Nasional
Kerinci Seblat……………………………………………. 24
6. Frekuensi perjumpaan mamalia besar berdasarkan jarak dari
jalan umum di kawasan Hutan Sipurak dan sekitarnya, Taman
Nasional Kerinci Seblat............................................................... 31
7. Frekuensi perjumpaan mamalia besar berdasarkan jarak dari
desa di kawasan Hutan Sipurak dan sekitarnya, Taman
Nasional Kerinci Seblat………………………………………... 35
8. Frekuensi perjumpaan mamalia besar pada tingkat kemiringan
yang berbeda ………………………………………………… 39
9. Frekuensi perjumpaan mamalia besar berdasarkan keberadaan 43
jerat di kawasan hutan Sipurak dan sekitarnya, Taman
Nasional Kerinci Seblat . ………………………………………
10. Frekuensi perjumpaan mamalia besar berdasarkan keberadaan
penebangan liar di kawasan hutan Sipurak dan sekitarnya,
Taman Nasional Kerinci Seblat………………………………. 46
BAB I

PENDAHULUAN

Setiap satwa liar akan menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang

diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Habitat yang sesuai dengan satu

jenis belum tentu sesuai untuk jenis yang lainnya, karena setiap jenis

menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda. Banyak diantaranya yang tidak

mampu untuk bertahan hidup pada kondisi yang mengalami perubahan yang

terlalu drastis (Alikodra, 1990).

Kehidupan satwa liar di dunia ini semakin terdesak oleh kehidupan

manusia yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Satwa liar

banyak yang diburu baik untuk diperdagangkan secara langsung maupun untuk

dimanfaatkan bagian-bagian tubuhnya. Selain itu habitat satwa liar juga semakin

sempit karena adanya konversi hutan menjadi perkebunan dan pertanian untuk

memenuhi kebutuhan manusia (Alikodra, 1990). Salah satu kelompok yang saat

ini banyak mengalami gangguan tersebut adalah kelompok mamalia besar.

Lamberck (1997) menyatakan bahwa pada umumnya mamalia besar

merupakan kelompok hewan yang sensitif terhadap perubahan habitat seperti

akibat dari perubahan penggunaan lahan dan kebakaran hutan serta akibat

perubahan proses ekologi seperti perubahan iklim dan lain sebagainya. Namun

Saunders dkk (1991) menambahkan bahwa juga terdapat jenis mamalia yang

bersifat generalist yaitu jenis-jenis yang memiliki kemampuan berpindah yang

tinggi untuk memanfaatkan habitat yang berbeda atau jenis makanan yang
berbeda. Jenis generalist ini umumnya dapat mengambil keuntungan dari adanya

lahan pertanian dan fragmentasi habitat.

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) adalah salah satu taman nasional

terbesar dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi di Indonesia

(ICDP,1999). Menurut Martyr dkk (1999) di kawasan ini ditemukan 100 jenis

mamalia dan 350 jenis burung serta Laumonier (1994) menambahkan terdapat

429 jenis tumbuhan berbunga.

Tingkat keanekaragaman yang tinggi di kawasan TNKS menurut Linkie

(1999) disebabkan karena adanya variasi tipe habitat yang besar di kawasan ini

seperti habitat rawa air tawar, rawa gambut, hutan dataran rendah, hutan

perbukitan, hutan pegunungan dan hutan sub alpin. Menurut Alikodra (1990)

variasi tipe habitat tersebut dapat menyebabkan perbedaan komposisi dan

kelimpahan yang berbeda dari jenis-jenis mamalia besar. Hal tersebut berkaitan

dengan penggunaan ruang dan pemanfaatan potensi sumber daya yang berbeda

dari setiap tipe habitat.

Di kawasan TNKS juga ditemukan beberapa ancaman terhadap mamalia

besar. Linkie (2003) menyatakan bahwa adanya pertambangan, perkebunan,

perladangan berpindah di kawasan TNKS merupakan ancaman bagi mamalia

besar. Hal tersebut menyebabkan adanya fragmentasi habitat, pembatasan daerah

distribusi mamalia besar dan mengganggu populasi mamalia besar. Selain itu

adanya aktifitas perburuan dapat menyebabkan menurunnya populasi jenis

mamalia secara langsung.


Dalam manajemen satwa liar yang efektif diperlukan informasi ilmiah

yang dapat tepat mengenai lokasi, pergerakan dan arah perubahan (trend) dari

populasi suatu jenis satwa. Informasi ini memungkinkan kita untuk mengetahui

dampak dari bernbagai ancaman, menentukan lokasi wilayah yang rentan dan

mengevaluasi keefektifan dari berbagai strategi konservasi (Linkie, jurnal tidak

dipublikasikan). Bennet dan Robinson dkk (2002) menambahkan bahwa faktor

kehadiran manusia sangat penting dikaji dalam konservasi satwa karena dapat

meningkatkan gangguan satwa, penurunan kualitas habitat dan rentan akan

konflik pemanfaatan ruang.

Oleh karena hal tersebut maka diperlukan kajian terhadap kelimpahan dan

distribusi mamalia besar yang merupakan bagian yang penting dalam usaha

konservasi mamalia besar. Atas latar belakang tersebut maka tujuan penelitian ini

untuk mengetahui pengaruh dari perbedaan tipe habitat dan beberapa gangguan

terhadap mamalia besar di TNKS khususnya di kawasan hutan Sipurak dan

sekitarnya.

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1) Terdapat perbedaan kelimpahan mamalia besar antar tipe habitat.

2) Terdapat pengaruh faktor spasial yaitu jarak dari jalan umum, jarak dari desa

dan kemiringan terhadap kelimpahan mamalia besar.

3) Terdapat pengaruh faktor ancaman yaitu keberadaan jerat dan keberadaan

perambahan liar terhadap kelimpahan mamalia besar.


BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Taman Nasional Kerinci Seblat

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang memiliki luas 13.300 Km2

merupakan taman nasional terbesar kedua di Indonesia setelah Taman Nasional

Lorentz yang memiliki luas 25.050 Km 2. Secara geografis TNKS terletak pada 10

07’- 30 45’ Lintang Selatan dan 1000 58’-1020 85’ Bujur Timur terbentang pada

sepanjang gugusan bukit barisan di pulau Sumatara (Linkie, 2003) (gambar 1).

Gambar 1. Peta Taman Nasional Kerinci Seblat

Taman Nasional Kerinci Seblat ditetapkan sebagai taman nasional

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 192/kpts-ii/1996

(ICDP,1999). TNKS juga ditetapkan sebagai kawasan warisan hujan tropis dunia

(Tropical Rainforest World Heritage) oleh UNESCO (Linkie 2003).


Awalnya pada tanggal 14 Oktober 1982 bertepatan dengan kongres taman

nasional sedunia III di Bali, Menteri Pertanian melalui surat pernyataan

No.736/Mentan/X/1982 yang menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan

taman nasional dengan luas 1.484.650 ha. Namun setelah dikelola secara lebih

intensif dengan sistem pengelolaan taman nasional sejak tahun 1984, baru pada

tahun 1996 menteri kehutanan melalui surat keputusan No. 192/kpts-ii/1996

menetapkan kawasan ini sebagai taman nasional dengan luas 1.386.000 ha (ICDP,

1999). Pada bulan Juli 2004, TNKS, TNBBS dan TNGL yang terletak di

Sumatera dinyatakan sebagai salah satu warisan hutan hujan tropis dunia oleh

UNESCO (Linkie, 2003).

1. Administrasi

Secara administratif TNKS terletak pada empat provinsi yaitu Sumatera

Barat, Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu dan meliputi sepuluh kabupaten.

Luas Taman Nasional Kerinci Seblat yang terletak di masing-masing propinsi

yaitu Sumatera Barat 18. 615,336 Ha, Jambi 21.947,557 Ha, Sumatera Selatan

12.686,998 Ha dan Bengkulu 13.563,786 Ha (gambar 2).


Gambar 2. Daerah administratif TNKS
2. Karakteristik fisik

TNKS memiliki variasi topografi yang sangat tinggi mulai dari ketinggian

0 mdpl pada kawasan Tapan hingga ketinggia 3.805 mdpl pada puncak gunung

Kerinci. Variasi ketinggian tersebut menyebabkan variasi yang besar dalam tipe

habitat antara lain habitat rawa air tawar, rawa gambut, hutan dataran rendah,

hutan perbukitan hutan pegunungan dan hutan sub alpin (Linkie, 1999).

Kondisi iklim di TNKS juga bervariasi, pada kawasan hutan dataran

rendah temperatur sekitar 30 0C sedangkan pada daerah Kerinci sekitar 230C.

Pada umumnya TNKS mengalami musim kemarau pada bulan Juli hingga

Oktober dengan temperatur 24-300C dengan fluktuasi harian 20C. Sedangkan pada

bulan November hingga Mei mengalami musim hujan. Curah hujan sekitar 2300

mm pertahun dengan jumlah hari hujan pertahun antara 180-220 hari. Aspek
geologi di kawasan TNKS juga sangat bervariasi. Di bagian barat kwasan TNKS

didominasi oleh batuan vulkanik sedangkan di bagian timur sebagian besar terdiri

dari batuan metamorfik, karst dan granit massif. Tanah di sekitar lembah Kerinci

umumnya merupakan tanah yang aluvial yang subur (Linkie, 2003).

Laumonier (1994) menyatakan bahwa terdapat tujuh tipe hutan di TNKS

yaitu: hutan dataran rendah, hutan perbukitan, hutan sub pegunungan, hutan

pegunungan rendah, hutan pegunungan tengah, hutan pegunungan tinggi dan

hutan sub alpin. Hutan dataran rendah memiliki kisaran ketinggian antara 150-200

mdpl di wilayah timur Bukit Barisan Selatan dan daiatas 300 mdpl di pesisir barat.

Hutan dataran rendah ini didominasi oleh Dipterocarpaceae, Shorea atrinervosa

dan Shorea multiflora. Di Bengkulu Utara, Pesisir Selatan dan Kabupaten Musi

Rawas terdapat area kecil hutan daran rendah namun 24 % dari luas hutan tersebut

telah hilang. Hutan perbukitan memiliki kisaran ketinggian 300-800 mdpl di

bagian barat Pegunungan Barisan. Sedangkan di bagian timur pegunungan

Barisan dari ketinggian 150 mdpl (perbukitan rendah) hingga 800 mdpl

(perbukitan tinggi).

Ketinggian antara 800-1.400 mdpl merupakan hutan sub pegunungan yang

memiliki ketinggian pohon 20-45 m. Umumnya jenis pohon yang dapat mencapai

ketinggian 25-30 m adalah suku Myrtaceae dan Fagaceae. Hutan pegunungan

rendah berada dalam kisaran ketinggian 1.400-1.900 mdpl yang memiliki

kelimpahan tumbuhan epifit yang tinggi dan termasuk jenis tumbuhan suku

Fagaceae, Lauraceae, Myrtaceae, Theaceae dan beberapa jenis tumbuhan dari

suku Sapotacea (Laumonier, 1994).


Hutan pegunungan tengah yang berada dalam kisaran ketinggian 1.900-

2.400 mdpl memiliki tumbuhan microphylus yang melimpah. Sedangkan pada

pegunungan tinggi memiliki kisaran ketinggian 2.400-2.900 mdpl. Pada hutan

pegunungan tinggi tersebut Symplocos cochinchinensis var. sessilifolia dan Ilex

pletobrachiata mendominasi pada ketinggian kanopi 10-15 m. Ardisialaevigata,

Meliosma lanceolata, dan Cyathea trachypoda mendominasi pada lapisan di

bawahnya (5-10 m). Pada hutan sub alpin (>2.900 mdpl) didominasi oleh

tumbuhan suku Ericaceae seperti Rhododendron retusum, Vaccinum miquelii,

Rafflesia hasseltii dan lain-lain (Laumonier, 1994).

3.Kekayaan hayati

TNKS mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi karena mempunyai

seluruh tutupan spektrum tipe habitat dari hutan dataran rendah sampai formasi

pegunungan, juga termasuk blok hutan hujan tropika terbesar yang masih ada di

bagian selatan pulau Sumatera. Kekayaan jenisnya lebih banyak pada hutan

dipterocarp (ketinggian kurang dari 600 mdpl) dan habitat lahan basah menjadi

paling berharga sejak habitat ini menjadi sangat terancam (World Bank, 1995).

Menurut Martyr dkk (1999) di kawasan TNKS ditemukan 100 jenis

mamalia dan 350 jenis burung serta Lauminier (1994) menambahkan terdapat 429

jenis tumbuhan berbunga. Pada kawasan ini ditemukan beberapa tumbuhan langka

dan unik seperti Amorhopalhus titanum, Rafflesia haseltii, R. arnoldi, Rhizanthes

zipelli dan lain-lain. Selain itu juga ditemukan beberapa tumbuhan obat seperti

Lansium domesticum, beberapa tumbuhan penghasil kayu seperti Shorea

arthinevosa (meranti), Shorea platyclados dan lain-lain.


Kekayaan fauna di TNKS meliputi beberapa satwa langka dan endemik di

Sumatera seperti kelinci sumatera, Tarsius bancanus, badak sumatera dan

harimau sumatera. Selain harimau sumatera di TNKS juga ditemukan beberapa

jenis dari famili Felidae seperti kucing batu (Pardofelis marmorata), kucing

kuwuk (Prionailurus planiceps), kucing ikan (Felis viverina), kucing emas

(Catopuma teminckii) dan macan dahan (Neofelis nebulosa) (Holden, 2001).

B. Mamalia Besar

Mamalia merupakan kelompok hewan yang memiliki kelenjar susu dan

melahirkan anaknya. Ciri fisik mamalia yang membedakannya dengan kelompok

hewan lain adalah adanya rambut, gigi heterodont, sel darah merah tak berinti

(Wilson dkk, 1996).

Menurut Wilson dkk (1996) mamalia hidup pada berbagai tipe habitat,

mulai dari habitat teresterial sampai habitat akuatik. Namun sebagian besar

mamalia hidup pada habitat teresterial, hanya 2,5% yang hidup di perairan.

Mamalia di Indonesia pada umumnya hidup pada daerah hutan dipterocarp, hutan

kerangas dan hutan rawa. Namun terdapat beberapa jenis mamalia yang tinggal di

habitat pinggir hutan yang dekat dengan areal pertanian. Jenis – jenis tersebut

merupakan jenis yang bersifat generalist yaitu jenis yang mudah beradaptasi dan

mengambil keuntungan dari keberadaan lahan pertanian.

Mamalia juga banyak menggunakan lahan pertanian sebagai habitat,

sehingga sering kali menjadi hama pertanian karena mencari makan di lahan

pertanian dan berlindung di kawasan hutan (Alikodra, 1990). Kawasan pinggiran

hutan yang berbatasan dengan perkebunan atau lahan pertanian penduduk sering
mendukung jenis hewan dengan kepadatan yang relatif lebih tinggi (Payne dkk,

2000).

Berdasarkan ukuran tubuhnya mamalia dibedakan menjadi tiga kelompok :

1. Mamalia kecil : berat kurang dari 0,3 kg

2. Mamalia sedang : berat mulai dari 0,3 sampai 5 kg

3. Mamalia besar : berat lebih dari 5 kg

Keberadaan mamalia besar memiliki peranan penting sebagai indikator

kondisi ekosistem. Lamberck (1997) menyatakan bahwa pada umumnya mamalia

besar merupakan kelompok hewan yang sensitif terhadap perubahan habitat

seperti akibat dari perubahan penggunaan lahan dan kebakaran hutan serta akibat

perubahan proses ekologi seperti perubahan iklim dan lain sebagainya.

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) memiliki 85 jenis mamalia

dengan beberapa jenis menjadi perhatian dunia seperti harimau sumatera

(Panthera tigris sumatrae), tapir (Tapirus indicus), badak sumatera (Dicerorhinus

sumatraensis), gajah asia (Elephas maximus), kambing hutan (Capricornis

sumatraensis) dan kelinci sumatera (Nesolagus netsher) (Holden, 2002).

Adanya perambahan hutan, perubahan fungsi hutan, jerat dan konflik

manusia dengan jenis mamalia besar merupakan ancaman yang sangat penting

bagi kelangsungan mamalia besar di TNKS. Deforestasi merupakan ancaman

yang penting di kawasan TNKS yang penyebabnya adalah perambahan hutan

untuk pembukaan lahan pertanian, penambangan, perkebunan sawit, konsesi HPH

dan lain-lain.(Linkie, 2003). Namun menurut ICDP (1999) secara umum laju
deforestasi di kawasan TNKS relatif kecil yaitu 0,28% pertahun sedangkan laju

deforestasi di sekitar TNKS sebesar 1,02 % per tahun.

Gambar 3. Gambar deforestasi hutan di sekitar TNKS (foto oleh : T.Ariyanto)

Selain deforestasi ancaman terhadap satwa di TNKS yaitu aktifitas

perburuan liar yang sangat tinggi. Jenis satwa yang menjadi objek perburuan

antara lain harimau sumatera, beruang madu, beberapa jenis ungulata dan burung.

Aktifitas perburuan ini dilakukan dengan beberapa cara seperti perburuan dengan

senapan dan pemasangan jerat (Linkie dkk , 2003).


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan lokasi

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juni 2006 di Blok hutan

Sipurak dan sekitarnya Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Sumatera.

Pengambilan data dilakukan di 4 lokasi yang berbeda yaitu Lempur-Renah

Kemumu, Sungai Lalang-Renah Alai, Sungai Sekaladi dan Gunung Sumbing-

Gunung Nilo (gambar 4).

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian di kawasan Hutan sipurak dan


sekitarnya, Taman Nasional Kerinci Seblat
Keterangan : 1 : Lempur-Renah Kemumu
2 : Sungai Lalang-Renah Alai
3 : Sungai Sekaladi
4 : Gunung Sumbing-Gunung Nilo
Lokasi penelitian memiliki variasi tipe habitat dan karakteristik ancaman

yang berbeda-beda (tabel 1). Sungai Sekaladi yang memiliki habitat perbukitan
merupakan kawasan yang sangat rawan terhadap penebangan hutan secara liar

(ilegal logging) dan perladangan liar. Lempur-Renah Kemumu memiliki tipe

habitat sub pegunungan dan adanya perkampungan Renah Kemumu didalam

hutan menyebabkan daerah ini sering dilalui oleh manusia. Sungai Lalang-Renah

Alai terletak di antara gunung Nilo dan gunung Masurai yang memiliki habitat

sub pegunungan. Keberadaan pemukiman di sekitar lokasi penelitian

menyebabkan adanya gangguan terhadap mamalia besar berupa pemasangan jerat

dan penebangan liar. Sedangkan Gunung Sumbing-Gunung Nilo memiliki tipe

habitat pegunungan. Ancaman bagi mamalia besar dilokasi tersebut berupa

keberadaan jerat dan kehadiran manusia.

Tabel 1. Deskripsi lokasi penelitian kelimpahan mamalia besar di Kawasan Hutan


Sipurak dan Sekitarnya, Taman Nasional Kerinci Seblat

Lokasi Jumlah transek Rata-rata Tipe habitat utama Ancaman


panjang transek
(Km)
Sungai sekaladi 9 1,65 Perbukitan Penebangan liar,
perladangan

Lempur-Renah 4 1,81 Sub pegunungan Jalur lintasan


kemumu manusia

Sungai Lalang- 17 2,38 Sub pegunungan Jerat dan


Renah Alai penebangan liar

Gunung Sumbing- 10 2,53 Pegunungan Jerat, Kehadiran


Nilo manusia

B. Peralatan penelitian

a. Global Position Sytem (GPS) Garmin 12 XL

b. Peta lokasi skala 1 : 50.000


c. Kompas Sylva tipe 4/54

d. Buku panduan identifikasi jejak mamalia

e. Jam tangan digital St.Francis

f. Pita ukur

g. Gips

h. Kamera digital Zyrex Vizio

C. Cara Kerja

Pengambilan data dilakukan dengan metode line transects dengan mencatat

perjumpaan tidak langsung dari jenis-jenis mamalia besar. Pengamatan

perjumpaan tidak langsung yaitu melalui jejak yang ditinggalkan oleh mamalia

besar seperti tapak, goresan, kotoran, galian dan lain-lain. Jejak-jejak tersebut

kemudian diidentifikasi dengan buku panduan pengenalan jejak dan dicatat

jenis, ukuran dan umur jejak, habitat dan koordinat ditemukannya jejak tersebut.

D. Parameter Penelitian

Beberapa parameter yang dianalisis dalam penelitian ini adalah :

1. Tipe habitat

Tipe habitat diklasifikasikan berdasarkan ketinggian lokasi transek.

Klasifikasi tipe habitat mengacu pada Linkie (2003) yang menyatakan hutan

dataran rendah (0-300 mdpl), hutan perbukitan (300-800 mdpl), hutan sub

pegunungan (800-1400 mdpl) dan hutan pegunungan (1400-3500 mdpl).

2. Faktor spasial

Beberapa faktor spasial yang diuji adalah:


• Jarak ke desa yaitu jarak dari transek ke pusat desa (balai desa).

Kawasan hutan yang dekat dengan desa mempunyai tekanan yang

lebih besar karena intensitas aktivitas manusia yang lebih tinggi

(efek tepi) seperti penebangan pohon dan perburuan liar (Dinata,

2002).

• Jarak dari jalan umum yaitu jarak dari transek ke jalan umum atau

jalan utama desa. Mamalia besar mungkin lebih suka di daerah

yang jauh dari jalan umum, yang kemungkinan disebabkan oleh

aktivitas manusia lebih besar di dekat jalan umum dan tekanan

perburuan dapat lebih besar di dekat jalan umum.

• Kemiringan lokasi diukur dengan perangkat lunak ArcView GIS

3.2. Kemiringan lokasi diperkirakan sangat mempengaruhi

keberadaan mamalia besar. Kemiringan lokasi yang lebih terjal

akan lebih susah dilalui oleh mamalia besar dibandingkan dengan

kemiringan yang lebih landai.

3. Ancaman

Ancaman terhadap mamalia besar yang diperkirakan dapat

mempengaruhi keberadaan mamalia besar adalah :


• Jerat merupakan salah satu cara yang sering dijumpai dalam

perburuan mamalia besar. Data jerat dalam transek berupa data

present/absent (ada/tidak ada) di setiap transek.

• Penebangan liar merupakan salah satu gangguan bagi habitat

mamalia besar yang paling besar. Mamalia besar membutuhkan

tutupan hutan yang sangat penting bagi ketersediaan makanan dan

sebagai tempat berlindung. Oleh karena itu keberadaan penebangan

liar diperkirakan dapat mempengaruhi kelimpahan mamalia besar.

Data penebangan liar berupa data present/absent (ada/tidak ada)

pada setiap transek. Pengamatan data penebangan liar tersebut

berdasarkan keberadaan pohon bekas tebangan, tumpukan kayu

dan perjumpaan langsung dengan penebang liar yang sedang

melakukan aktifitasnya.

E. Analisis data

a. Koordinat jalur yang telah diambil menggunakan GPS kemudian

di masukkan ke dalam GIS (Geographyc Information System)

Arcview versi 3.2 untuk mengukur panjang transek, melakukan

pemetaan distribusi mamalia besar dan memasukan data-data

spasial.

b. Frekuensi perjumpaan mamalia besar (ER) dihitung dengan

(Lancia dkk, 1994)

ER = N/Km

N = Jumlah jejak yang ditemukan


Km = Panjang transek

c. Uji non parametrik Kruskal-Wallis untuk mengetahui perbedaan

kelimpahan jenis mamalia besar pada setiap tipe habitat dengan

menggunakan perangkat lunak “Statistic Programme for

Scientific and Social science” (SPSS) 11.5. Jika hasil Uji

Kruskal-Wallis mendapatkan hasil yang signifikan maka akan

dilanjutkan dengan uji non parametrik Mann-Whitney untuk

melihat tipe habitat mana yang memiliki perbedaan kelimpahan

mamalia besar dengan memasukkan dua variabel tipe habitat.

d. Uji non parametrik Mann-Whitney untuk melihat adanya

pengaruh faktor penebangan liar dan jerat terhadap kelimpahan

mamalia besar dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 11.5.

e. Uji korelasi Spearman untuk melihat adanya pengaruh beberapa

faktor spasial yang diduga berpengaruh terhadap kelimpahan

mamalia besar dengan menggunakan program SPSS 11.5.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Komposisi jenis mamalia besar yang ditemukan di lokasi penelitian.

Mamalia besar yang ditemukan di lokasi penelitian terdiri dari delapan

jenis, delapan marga, tujuh suku dan tiga bangsa (tabel 2). Bangsa Artiodactyla

atau mamalia berkuku genap terdiri dari babi (Sus spp), rusa sambar (Cervus

unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjak). Bangsa Perisodactyla (mamalia

berkuku ganjil) hanya ditemukan satu jenis yaitu tapir, sedangkan bangsa

Carnivora terdapat tiga jenis yaitu harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae),

beruang madu (Helarctos malayanus) dan ajag (Cuon alpinus).

Tabel 2. Komposisi jenis mamalia besar di kawasan Hutan Sipurak dan sekitarnya
Taman Nasional Kerinci Seblat
Bangsa Suku Marga Jenis Nama Indonesia Guild
Suidae Sus Sus spp Babi Omnivora
Cervus C. unicolor Rusa sambar Grazer
Artiodactyla Cervidae
Muntiacus M. muntjak Kijang Browser
Bovidae Capricornis C. sumatraensis Kambing hutan Browser
Perisodactyla Tapiridae Tapirus T. indicus Tapir tenuk Omnivora
Felidae Panthera P. tigris sumatrae Harimau sumatera Carnivora
Carnivora Ursidae Helarctos H. malayanus Beruang madu Omnivora
Canidae Cuon C. alpinus Ajak Carnivora

Berdasarkan jenis makanannya, mamalia besar yang didapatkan dapat

dibedakan sebagai omnivora, grazer (pemakan rumput), browser (pemakan pucuk

daun) dan karnivora. Mamalia yang termasuk sebagai omnivora didapatkan 3

jenis (37,5 %), browser didapatkan 2 jenis (25 %), grazer didapatkan 1 jenis (12,5

%) dan carnivora didapatkan 2 jenis (25 %).

Babi (Sus spp) merupakan omnivora yang memakan buah-buahan yang

jatuh, cacing tanah. akar-akaran, dan binatang kecil lainnya (Payne dkk, 2000).
Menurut Blouch (1984) babi jenggot (Sus barbatus) kadang melakukan migrasi

untuk mencari buah-buahan ke hutan dataran rendah yang melimpah pada musim

penghujan.

Rusa sambar (Cervus unicolor) diklasifikasikan sebagai intermediate

feeder (grazer/browser) (Hofmann, 1985) namun jenis ini lebih cenderung

sebagai pemakan rumput (grazer) (Stafford, 1995). Menurut Kurt (1990) rusa

sambar di Asia Tenggara hidup di hutan hujan tropis selain memakan rumput.

juga memakan daun, buah-buahan dan kulit kayu. Menurut Payne dkk (2000)

kijang (Muntiacus muntjak) termasuk dalam hewan pemakan daun-daun muda

(browser), namun kijang juga memakan rumput, buah-buahan yang jatuh dan

terna.

Dinerstein dan Wammer (1988) menyatakan bahwa buah-buahan yang

jatuh sangat penting bagi makanan suku Bovidae termasuk kambing hutan

(Capricornis sumatraensis). Namun menurut Cote dan Festa-Bianchet (2003)

kambing hutan termasuk hewan herbivora generalist yang makanan utamanya

adalah rumput-rumputan.

Tapir (Tapirus indicus) adalah hewan yang termasuk kategori selective

browsers yang biasanya memakan daun-daun muda, ranting pohon dan semak-

semak Beberapa jenis tumbuhan yang dimakan tapir antara lain Curculigo

latifolia, Homalomena spp, Phyllagathis rotundifolia dan lain-lain. (Williams dan

Petrides, 1980). William (1978) menambahkan bahwa di dalam feses tapir juga

ditemukan adanya biji-bijian dan bagian buah yang berarti bahwa tapir juga

memakan buah-buahan.
Harimau berburu apa saja yang bisa didapatkan, namun makanan utama

harimau adalah babi hutan, mangsa lainnya seperti rusa, kijang, kancil, kera,

landak, burung dan kadang-kadang memangsa mangsa yang ukurannya lebih

besar seperti badak, banteng, beruang, gajah dan tapir (MacDonald, 1984). Di

TNKS, harimau biasa mengkonsumsi babi hutan, rusa, kijang, pelanduk napu,

kambing hutan, tapir, landak dan beruk (Dinata, 2002).

Beruang madu merupakan hewan opportunis (Servheen, 1993) yang

hampir memakan segalanya seperti buah, vertebrata kecil dan madu (Ewer, 1973).

Menurut Cranbrook (1991) beruang madu menggunakan cakarnya untuk merobek

sarang lebah untuk mendapatkan madu dan larva lebah tersebut. Fetherstonhaugh

(1940) dalam Fitzgerald dan Krausman (2002) menambahkan bahwa beruang

madu juga suka menggali tanah dan memakan rayap, larva dan telurnya, beberapa

jenis serangga, kutu kayu dan cacing tanah. Dathe (1975) menyatakan beruang

madu juga sering memakan buah kelapa dan sering menimbulkan kerusakan pada

pohon-pohon kelapa.

Berdasarkan penelitian perilaku makan beruang madu di Ulu Segama,

Sabah, Malaysia, beruang madu merupakan jenis omnivora yang memakan hewan

dan tumbuhan. Jenis hewan yang dimakan meliputi 13 marga rayap (Isoptera),

delapan suku dari kumbang (Coleoptera), satu marga lebah (Apidae), dua marga

semut (Formicidae) dan satu marga dari tawon (Vespidae) serta beberapa bangsa

serangga lainnya, reptilia, burung dan beberapa mamalia kecil. Hasil analisis dari

feses beruang madu didapatkan bahwa >37 % isinya berasal dari beberapa marga
rayap yaitu Bulbitermes, Coptotermes, Dicuspiditermes, Nasutitermes, dan

Schedorhinotermes (Wong dkk, 2002).

Menurut Nowak (1991) ajag (Cuon alpinus) merupakan predator yang

dapat memangsa satwa mamalia yang ukurannya lebih besar dari ukuran

tubuhnya. Mangsa ajag antara lain adalah babi hutan, rusa, kijang, antelope dan

lain-lain. Selain mamalia besar tersebut, ajag juga memangsa tikus, insekta dan

hewan kecil lainnya. Ajag juga merupakan mangsa bagi karnivora lainnya seperti

harimau, macan tutul dan beruang.

Berdasarkan lokasi sampling yang dilakukan di Lempur-Renah Kemumu,

Sungai Sekaladi, Sungai Lalang-Renah Alai dan Gunung Sumbing-Gunung Nilo,

babi, kijang, rusa, beruang madu, harimau dan tapir dapat ditemukan di semua

lokasi tersebut. Kambing hutan hanya ditemukan di Sungai Lalang-Renah Alai

dan Gunung Sumbing-Gunung Nilo dan ajag hanya ditemukan di Gunung

Sumbing-Gunung Nilo saja (tabel 3).

Tabel 3. Komposisi jenis mamalia besar di kawasan Hutan Sipurak dan sekitarnya
Taman Nasional Kerinci Seblat berdasarkan lokasi sampling

Beruang Kambing
Lokasi Babi Kijang Rusa madu Harimau Tapir hutan Ajag
Lempur-Renah
Kemumu ada ada ada ada ada ada Tidak ada Tidak ada
Sungai
Sekaladi ada ada ada ada ada ada Tidak ada Tidak ada
Sungai lalang-
Renah Alai ada ada ada ada ada ada ada Tidak ada
Sumbing- Nilo ada ada ada ada ada ada ada ada

Berdasarkan status perlindungannya, hanya satu jenis (12,5%) yang tidak

termasuk sebagai hewan dilindungi oleh PP no 7 tahun 1999 yaitu Sus spp

sedangkan yang lainnya termasuk hewan dilindungi (87,5 %) (tabel 4).


Selanjutnya berdasarkan status IUCN terdapat tiga jenis (37,5%) yang belum

dievaluasi, dua jenis (25 %) dengan status Endangered dan Vulnerable serta satu

jenis (12,5 %) dengan satus data deficient atau kekurangan data.

Tabel 4. Status perlindungan jenis mamalia besar yang ditemukan di kawasan


hutan Sipurak dan sekitarnya, Taman Nasional Kerinci Seblat.

Nama latin Nama Indonesia RI (PP No 7 Th 1999) IUCN CITES


Sus spp Babi hutan Tidak dilindungi Belum dievaluasi Tidak diatur
Cervus unicolor Rusa sambar Dilindungi Belum dievaluasi Tidak diatur
Muntiacus muntjak Kijang Dilindungi Belum dievaluasi Tidak diatur
Capricornis sumtraensis Kambing hutan Dilindungi Endangered Appendix 1
Panthera tigris sumatrae Harimau sumatra Dilindungi Endangered Appendix 1
Helarctos malayanus Beruang madu Dilindungi Data deficient Appendix 1
Cuon alpinus Ajak Dilindungi Vulnerable Apendix 2
Tapirus indicus Tapir ternuk Dilindungi Vulnerable Appendix 1

Babi hingga saat ini belum dilindungi karena keberadaanya masih

melimpah di hutan Indonesia. Menurut Meijaard, dkk (2005) babi jenggot

merupakan satwa yang paling banyak diburu oleh masyarakat lokal untuk

keperluan konsumsi khususnya di wilayah Kalimantan. Oleh karena itu perlu

dilakukan pengelolaan terhadap keberadaan babi jenggot (Sus barbatus) untuk

kehidupan masyarakat lokal.

Rusa sambar dan kijang walaupun telah dilindungi oleh PP No 7 tahun

1999 namun menurut kategori IUCN (International Union For Conservation of

Nature and Natural Resourse) dan CITES (Convention on International Trade in

Endangered Species of Wild Flora and Fauna) belum diatur. Menurut Meijaard

dkk (2005) kedua spesies ini juga telah mulai terancam keberadaannya yang

disebabkan karena maraknya perburuan untuk bahan makanan, barang hiasan dan

perdagangan ilegal.
Beberapa satwa yang termasuk dalam kategori rentan (vulnerable) adalah

tapir dan ajag. Menurut Novarino (2005) degradasi habitat merupakan ancaman

yang serius bagi keberadaan tapir khususnya perubahan hutan menjadi kawasan

pertanian. Perubahan lahan tersebut juga menyebabkan konflik anatara

masyarakat lokal yang mengaggap tapir sebagai hama pertanian. Menurut

Kawanishi (2002) penurunan populasi tapir lebih dari 30% dalam tiga generasi

serta mengalami penurunan luas dan kualitas habitat. Selanjutnya menurut Nowak

(1991) rentannya populasi ajag disebabkan oleh karena kerusakan habitat,

menurunnya mangsa ajag dan karena predasi secara langsung dari predator ajag.

Kambing hutan dan harimau sumatera termasuk jenis yang terancam

punah dengan kategori genting (endangered). Caprine Specialist Group (1996)

menyatakan bahwa kambing hutan memiliki resiko kepunahan yang tinggi karena

mengalami penurunan populasi lebih dari 50% dalam waktu 10 tahun atau tiga

generasi, mengalami penurunan luas dan kualitas habitat serta karena eksploitasi.

Menurut Franklin dkk (1999) perburuan liar dan musnahnya habitat

merupakan ancaman kepunahan harimau sumatera. Selain itu harimau sumatera

menghadapi tekanan lain dikarenakan populasi mereka terpencar-pencar dan

terisolir. Martyr dkk (1999) mengungkapkan bahwa perburuan yang mencapai 30

ekor harimau Sumatera setiap dua tahun adalah masalah yang sangat berpengaruh

terhadap kelangsungan hidup populasi harimau sumatera di TNKS dan kawasan

hutan di sekitarnya.

B. Perbandingan Frekuensi Perjumpaan Jenis Mamalia Besar

Berdasarkan Tipe Habitat


Terdapat tiga macam tipe habitat berdasarkan ketinggian yang dijumpai di

lokasi penelitian yaitu habitat perbukitan, sub pegunungan dan pegunungan.

Komposisi jenis mamalia besar yang ditemukan di setiap tipe habitat terdapat

beberapa perbedaan. Babi hutan, rusa sambar, kijang, tapir, harimau dan beruang

madu dapat ditemukan pada semua tipe habitat. Kambing hutan hanya ditemukan

di habitat perbukitan dan sub pegunungan, sedangkan ajag hanya ditemukan di

habitat sub pegunungan saja.

Kelimpahan jenis mamalia besar antar tipe habitat


ER Babi
1.8
1.6 ER Rusa
ER (jejak/Km)

1.4 ER Kijang
1.2
1.0 ER Harimau
0.8 ER Tapir
0.6
0.4 ER Beruang
0.2 ER Kambing
0.0
ER Ajag
Perbukitan (300- Sub pegunungan Pergunungan
800 mdpl) (800-1400 mdpl) (1400-3500
mdpl)
Tipe habitat

Gambar 5. Grafik kelimpahan jenis mamalia besar tiap tipe habitat di kawasan
hutan sipurak dan sekitarya, Taman Nasional Kerinci Seblat

Frekuensi perjumpaan (ER) babi pada habitat perbukitan adalah 0,982

jejak/Km (dengan kisaran 0.00-5,734 jejak/Km), pada habitat sub pegunungan

0,808 jejak/Km (0.00-2,341 jejak/Km) dan pada habitat pegunungan 0,651

jejak/Km (0,00-2,726 jejak/Km). Frekuensi perjumpaan rusa pada habitat

perbukitan, sub pegunungan dan pegunungan berturut-turut adalah 1,591

jejak/Km (0,00-2,831 jejak/Km), 1,572 jejak/Km (0,00 - 3,188 jejak/Km) dan

0,858 (0,00-3,054 jejak/Km) (gambar 5).


Frekuensi perjumpaan kijang pada habitat perbukitan adalah 0,859

jejak/Km (dengan kisaran 0,00–2,971 jejak/Km), sub pegunungan 1,572 jejak/Km

(0,00– 2,445 jejak/Km) dan pegunungan 0,769 jejak/Km (0,00-1,832 jejak/Km).

Harimau memiliki frekuensi perjumpaan pada habitat perbukitan 0,123 jejak/Km

(dengan kisaran 0,00-1,274 jejak/Km), sub pegunungan 0,236 jejak/Km (0,00–

0,779 jejak/Km) dan pegunungan 0,444 jejak/Km (0,00-1,236 jejak/Km) (gambar

5).

Tapir memiliki frekuensi perjumpaan pada habitat perbukitan 0,164

jejak/Km (dengan kisaran 0,00–2,283 jejak/Km), sub pegunungan 1,245 jejak/Km

(0,00– 2,445/Km) dan pegunungan 1,184 jejak/Km (0,00–3,817 jejak/Km).

Selanjutnya frekuensi perjumpaan beruang madu pada habitat perbukitan, sub

pegunungan dan pegunungan berturut-turut adalah 0,123 jejak/Km (0,00–1,274

jejak/Km), 0,135 jejak/Km (0,00-0,818 jejak/Km) dan 0,207 (0,00–1,090

jejak/Km) (gambar 5).

Kambing hutan hanya ditemukan di habitat perbukitan dan sub

pegunungan yang memiliki nilai frekuensi perjumpaan pada habitat perbukitan

0,082 jejak/Km (dengan kisaran 0,00 – 0,248 jejak/Km) dan pada sub pegunungan

0,067 jejak/Km (0,00 – 0,673 jejak/Km). Selanjutnya ajag hanya terdapat pada

habitat sub pegunungan dan memiliki frekuensi perjumpaan 0,034 jejak/Km

(0,00-0,034 jejak/Km) (gambar 5).

Untuk mengetahui perbedaan frekuensi perjumpaan jenis mamalia besar

pada setiap tipe habitat digunakan uji non parametrik Kruskal-Wallis. Jika hasil

uji Kruskal-Wallis menujukkan hasil yang signifikan maka dilanjutkan dengan uji
Mann-Whitney untuk melihat tipe habitat yang memiliki frekuensi perjumpaan

jenis mamalia besar yang berbeda satu sama lain.

Hasil uji Kruskal-Wallis menujukkan bahwa hanya frekuensi perjumpaan

tapir (Chi-Square = 7,505; df = 2; Asymp. Sig. = 0,023) (tabel lampiran 1) yang

signifikan terhadap tipe habitat. Setelah diuji dengan Uji Mann-Whitney terdapat

perbedaan frekuensi perjumpaan tapir yang signifikan pada habitat perbukitan

dengan sub pegunungan (Asymp. Sig. = 0,008) (tabel lampiran 2) dan perbukitan

dengan pegunungan (Asymp. Sig. = 0,023) (lampiran 2). Sedangkan antara sub

pegunungan dan pegunungan tidak signifikan (Asymp. Sig. = 1,00) (tabel

lampiran 2) yang berarti frekuensi perjumpaan tapir antara kedua tipe habitat

tersebut memiliki perbedaan yang tidak signifikan. Berdasarkan uji tersebut

berarti bahwa tapir lebih melimpah pada habitat sub pegunungan dan pegunungan

dibandingkan dengan habitat perbukitan.

Hasil tersebut sesuai dengan Santiapilli dan Ramono (1989) yang

menyatakan bahwa tapir di Sumatera lebih melimpah di ketinggian 1500 -2000

mdpl yang merupakan habitat pegunungan. Hal tersebut berkaitan dengan sifat

makan tapir yang merupakan selective browser atau pemakan daun-daun muda

pada tumbuhan tertentu. Arbain dkk (1999) menambahkan bahwa tapir termasuk

penghuni hutan primer, sehingga lebih melimpah pada habitat sub pegunungan

dan pegunungan yang memiliki kualitas hutan yang masih baik.

Jenis mamalia besar ungulata yaitu babi (Chi-Square = 0,626; df = 2;

Asymp. Sig. = 0,731), rusa (Chi-Square = 1,925 ; df = 2 ; Asymp. Sig. = 0,382),

kijang (Chi-Square =2,197 ; df = 2 ; Asymp. Sig. = 0,333) dan kambing hutan


(Chi-Square = 2,206; df = 2; Asymp. Sig. = 0,332) menunjukkan perbedaan yang

tidak signifikan terhadap perbedaan tipe habitat (tabel lampiran 1).

Menurut Meijaard dkk (2005) babi menempati semua tipe habitat di hutan.

MacKinnon dkk (1996) juga menyatakan bahwa di Sumatera babi ditemukan dari

mulai habitat dataran rendah hingga pegunungan. Linkie dan Sadikin (2003)

menambahkan babi jenggot (Sus barbatus) tercatat ditemukan diberbagai tipe

habitat di TNKS, dari hutan dataran rendah di Bengkulu (150 mdpl), sampai hutan

pegunungan di Jambi (3000 mdpl) bahkan babi jenggot pernah dijumpai di

puncak Gunung Kerinci (3.805) yang merupakan lokasi tertinggi di Sumatera.

Menurut Payne dkk (2000) besarnya variasi tipe habitat yang ditempati oleh babi

dikarenakan babi termasuk kelompok satwa omnivora yang memakan segalanya

seperti daun, buah dan umbi-umbian, invertebrata tanah, jamur dan lain

sebagainya.

Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap frekuensi perjumpaan rusa pada setiap

tipe habitat menujukkan perbedaan yang tidak signifikan. Menurut Stafford

(1997) habitat rusa sambar sangat bervariasi dari mulai hutan berkanopi rapat,

rawa, kawasan pinggir hutan dekat dengan lokasi pertanian dan lain-lain. Hal ini

menurut Hofmann (1985) disebabkan karena makanan rusa sambar yang berupa

rumput dan daun-daun muda dapat ditemukan hampir di semua lokasi.

Frekuensi perjumpaan kijang yang memiliki perbedaan yang tidak

signifikan disebabkan karena kijang memiliki tipe makanan yang bervariasi.

Walaupun kijang termasuk kelompok mamalia besar browser (pemakan daun-

daun muda) namun kijang juga memakan rumput dan buah-buahan yang jatuh
(Payne dkk, 2000). Oleh karena itu kijang dapat mencari makan di berbagai

macam tipe habitat.

Hasil ini berbeda dengan Meijaard dkk (2005) yang menyatakan di

Kalimantan kijang (Muntiacus muntjak) lebih banyak ditemukan di habitat

pegunungan. Hal tersebut karena di Kalimantan memiliki dua jenis Muntiacus

yang simpatrik yaitu Muntiacus atherodes dan Muntiacus muntjak. Muntiacus

atherodes lebih banyak ditemukan di habitat dataran rendah (Heydon, 1994)

sedangkan lebih banyak Muntiacus muntjak ditemukan di habitat pegunungan

(Payne dkk, 1985). Sedangkan di Sumatera hanya terdapat satu jenis yaitu

Muntiacus muntjak sehingga tidak terdapat kompetisi interspesifik yag

menyebabkan jenis tersebut dapat menyebar dalam setiap tipe habitat.

Perbedaan frekuensi perjumpaan yang tidak signifikan antar tipe habitat

juga terjadi pada kambing hutan. Hal ini mungkin disebabkan karena kambing

hutan sumatera memiliki habitat yang luas yang mendiami hutan berbukit dan

pegunungan pada ketinggian 200 m - 3000 m di atas permukaan laut (Zon, 1979).

Sastrapradja (1982) dalam Meirina (2006) menyatakan bahwa tempat tinggal yang

disukainya ialah semak yang lebat juga daerah berbatu kapur dan bertebing

curam.

Hasil analisis terhadap kelompok mamalia besar karnivora yaitu harimau

(Chi-Square = 2,768 ; df = 2 ; Asymp. Sig. = 0,251) , beruang madu (Chi-Square

= 0,273; df = 2 ; Asymp. Sig. = 0,872), dan ajag (Chi-Square = 1,667; df = 2 ;

Asymp. Sig. = 0,435) juga menujukkan perbedaan yang tidak signifikan (tabel

lampiran 1).
Hasil uji terhadap harimau sesuai dengan Dinata (2003) yang menyatakan

bahwa harimau sumatera di kawasan TNKS tidak menujukkan adanya preferensi

pada habitat tertentu. Franklin dkk (1999) menyatakan bahwa harimau merupakan

satwa generalis yang dapat ditemukan di semua habitat hutan, dari hutan dataran

rendah sampai dataran tinggi, meliputi dataran pantai berawa payau dengan tipe

vegetasi hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, sampai lahan perkebunan

dan pertanian masyarakat Namun menurut Setijati dkk (1992) habitat yang paling

disukai harimau adalah daerah perbatasan antara hutan dan areal garapan

masyarakat yang biasanya banyak dihuni oleh jenis-jenis satwa yang dapat

dimangsa seperti babi hutan, rusa, kijang dan kancil

Frekuensi perjumpaan beruang madu yang memiliki perbedaan tidak

signifikan terhadap tipe habitat karena beruang madu mampu hidup pada habitat

yang bervariasi. Augeri (2005) menemukan bahwa beruang madu hidup pada

habitat yang bervariasi. Berdasarkan beberapa parameter habitat yaitu kondisi

hutan, tutupan kanopi, umur hutan, tingkat gangguan dan kondisi topografi telah

tercatat sekitar 50 jenis habitat yang dimanfaatkan oleh beruang madu. Namun

secara umum beruang madu lebih banyak ditemukan di hutan primer dengan

tingkat gangguan yang kecil.

Augeri (2005) menyatakan bahwa kondisi topografi seperti ketinggian

dan kemiringan relatif tidak terlalu berpengaruh terhadap keberadaan beruang

madu. Selain itu menurut Wong (2002) faktor makanan beruang madu yang

sangat bervariatif menyebabkan satwa ini tidak memiliki preferensi terhadap jenis
habitat tertentu. Beruang madu merupakan satwa omnivora yang memakan

tumbuhan, buah-buahan, rayap, reptil dan lain-lain.

Selama penelitian ajag hanya ditemukan di habitat sub pegunungan namun

frekuensi perjumpaannya sangat rendah. Oleh karena itu hasil analisis terhadap

frekuensi perjumpaaan ajag menunjukkan tidak ada perbedaan antar tipe habitat.

Menurut Lekagul dan McNeely (1977) ajag menempati banyak variasi tipe

habitat. Di Uni Soviet ajag hidup di daerah pegunungan alpin sedangkan di India

satwa ini hidup di daerah hutan yang rapat dan daerah semak belukar. Menurut

Nowak (1991) tingginya variasi tipe habitat ajag tersebut disebabkan karena ajag

termasuk predator yang memakan apa saja dari mulai insekta hingga ungulata

yang lebih besar dari tubuhnya.

C. Perbandingan Frekuensi Perjumpaan Jenis Mamalia Besar

Berdasarkan Faktor Spasial

Faktor spasial yang diperhitungkan di dalam penelitian ini adalah jarak dari

jalan umum, jarak dari lokasi pemukiman dan kemiringan lokasi. Faktor jarak dari

jalan umum dan jarak dari desa digunakan untuk mengetahui pengaruh

keberadaan aktifitas manusia terhadap kelimpahan mamalia besar. Sedangkan

faktor kemiringan untuk mengetahui pengaruh kondisi topografi terhadap

kelimpahan mamalia besar.

1) Jarak dari jalan umum

Jarak lokasi transek ke jalan umum berkisar antara 2,5 Km hingga 15,5 Km.

Babi, kijang dan rusa dapat ditemukan pada kisaran jarak dari jalan umum antara

2,5 Km hingga 15,5 Km. Nilai frekuensi perjumpaan babi yang bervariasi antara
0,00 jejak/Km hingga 5,73 jejak/Km. Nilai frekuensi perjumpaan kijang bervariasi

antara 0,00-2,97 jejak/Km selanjutnya nilai frekuensi perjumpaan rusa berkisar

antara 0,00-3,18 jejak/Km (gambar 6).

Frekuensi Mamalia Besar Berdasarkan Jarak Dari Jalan

2.5 ER Babi

2.0 ER Kijang
ER (jejak/Km)

ER Rusa
1.5
ER Beruang
1.0 ER Harimau

0.5 ER Tapir

ER Kambing
0.0 hutan
ER Ajag
0.00- 3.00- 6.00- 9.00- 12.00- 15.00-
2.99 5.99 8.99 11.99 14.99 17.99
Jarak dari Jalan
Gambar 6. Frekuensi perjumpaan mamalia besar berdasarkan jarak dari jalan
umum di kawasan Hutan Sipurak dan sekitarnya, Taman
Nasional Kerinci Seblat.

Beruang madu, harimau dan tapir juga dapat ditemukan pada kisaran

jarak dari jalan umum antara 2,5 Km hingga 15,5 Km. Beruang madu memiliki

nilai frekuensi perjumpaan yang bervariasi antara 0,00 jejak/Km hingga 1,27

jejak/Km. Nilai frekuensi perjumpaan harimau juga memiliki kisaran antara 0,00

jejak/Km hingga 1,27 jejak/Km selanjutnya tapir memiliki nilai frekuensi

perjumpaan yang bervariasi antara 0,00 jejak/Km hingga 3,81 jejak/Km (gambar

6).

Sedangkan kambing hutan dapat ditemukan pada kisaran jarak dari jalan

umum antara 8 Km hingga 12,5 Km dengan nilai frekuensi perjumpaan yang

bervariasi antara 0,24-0,67 jejak/Km. Ajag hanya ditemukan pada transek yang
memliki jarak dari jalan umum sebesar sebesar 14,5 Km dengan variasi nilai

frekuensi perjumpaan antara 0,00-0,54 jejak/Km (gambar 6).

Hasil analisis frekuensi perjumpaan jenis mamalia besar terhadap jarak dari

jalan umum menggunakan uji korelasi Spearman menujukkan bahwa hanya kijang

(Sign. (2-tailed) 0,016) (tabel lampiran 3) yang menujukkan hasil yang signifikan.

Hasil tersebut berarti bahwa kelimpahan kijang lebih tinggi pada lokasi yang lebih

jauh dari jalan umum. Menurut Heydon (1994) hal tersebut disebabkan karena

kijang merupakan salah satu satwa mamalia yang sensitif dan lebih banyak

menempati hutan primer yang belum banyak terganggu.

Hasil analisis frekuensi perjumpaan mamalia ungulata lainnya yaitu babi

(Sign. (2-tailed) 0,801), rusa (Sign. (2-tailed) 0,537), tapir (Sign. (2-tailed) 0,127)

dan kambing hutan (Sign. (2-tailed) 0,450) (tabel lampiran 3) menunjukkan

terdapat korelasi yang tidak signifikan dengan jarak dari jalan umum.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa kelimpahan babi tidak terpengaruh

dengan keberadaan jalan umum. Hal ini disebabkan karena babi merupakan jenis

mamalia yang memiliki variasi makanan yang luas (Payne dkk, 2000) dan lebih

toleran dengan kehadiran manusia (MacKinnon dkk, 1996). Oleh karena itu maka

babi hutan memiliki kisaran distribusi yang luas.

Frekuensi perjumpaan rusa yang memiliki korelasi yang tidak signifikan

dengan jarak dari jalan umum, menurut Nowak (1999) disebabkan karena rusa

merupakan satwa yang memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga dapat

menempati beberapa macam tipe habitat bahkan dapat hidup di daerah terbuka

yang digunakan untuk pertanian. Gunawan (2006) menyatakan bahwa rusa di


TNKS yang merupakan satwa mangsa harimau tidak memiliki korelasi dengan

faktor-faktor spasial termasuk jarak ke jalan umum.

Tapir juga memiliki korelasi yang tidak signifikan dengan jalan umum.

Menurut Novarino (2005) yang melakukan penelitian tapir di Hutan Lindung

Taratak Sumatera menemukan bahwa tapir dapat ditemukan pada kisaran jarak

150-2000 meter dari tepi hutan. Hal tersebut juga ditemukan dari penelitian

O’Brien (2003) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Faktor jalan umum juga tidak memiliki korelasi dengan frekuensi

perjumpaan pada kambing hutan. Menurut Lekagul dan McNeely (1977)

walaupun kambing hutan sangat sensitif terhadap manusia, namun jenis ini

memiliki mekanisme pertahanan diri yang baik. Bila secara tiba-tiba berhadapan

dengan manusia, ada kemungkinan kambing hutan akan berdiri diam dan

memandang untuk beberapa saat, kemudian bergegas pergi menuruni bukit ke

dalam vegetasi yang lebat. Tanda bahayanya bermacam-macam, seperti embikan

dan raungan, siulan melengking yang aneh atau antara dengusan dan siulan.

Hasil uji korelasi Spearman terhadap faktor jarak dari jalan umum juga

menunjukkan hasil yang tidak signifikan terhadap mamalia kelompok karnivora

yaitu harimau sumatera (Sign. (2-tailed) 0,807), beruang madu (Sign. (2-tailed)

0,964) dan ajag (Sign. (2-tailed) 0,168) (tabel lampiran 3).

Harimau sumatera mempunyai frekuensi perjumpaan yang tidak memiliki

korelasi dengan jarak dari jalan umum Hal tersebut menujukkan bahwa

keberadaan jalan umum tidak terlalu berpengaruh terhadap kelimpahan harimau

sumatera. Menurut Lynam dkk (2000) secara alami harimau adalah satwa pemalu
dan selalu menjauhi manusia. Oleh karena itu harimau memliki waktu aktifitas

pada malam hari sehingga sulit untuk dideteksi oleh manusia secara langsung.

Lynam (2000) menyatakan bahwa harimau sangat tergantung pada

tutupan vegetasi yang rapat, akses ke sumber air dan hewan mangsa yang cukup.

Sehingga hal yang paling mempengaruhi kelimpahan harimau sumatera adalah

kelimpahan satwa mangsanya. Keberadaan satwa mangsa juga mempengaruhi

kelimpahan ajag yang tidak dipengaruhi oleh jarak dari jalan umum.

Frekuensi perjumpaan beruang madu juga tidak memiliki korelasi dengan

jarak dari jalan umum. Meskipun menurut Griffiths dan van Schaik (1993)

aktifitas beruang madu dipengaruhi oleh gangguan manusia, beruang madu dapat

beraktifitas pada siang hari pada kondisi tidak adanya gangguan dari manusia.

Onuma dkk (2000) menyatakan bahwa beruang madu yang tinggal di perbatasan

dengan perkebunan sawit, biasanya memiliki perilaku memasuki kawasan sawit

pada malam hari dan pada siang hari terdapat di daerah hutan. Perilaku tersebut

bertujuan untuk menghindari panasnya matahari pada siang hari.

2) Jarak dari desa

Jarak lokasi transek ke desa berkisar antara 5 Km hingga 14,5 Km. Babi

dan rusa dapat ditemukan pada kisaran jarak dari desa antara 5 Km hingga 14 Km.

Nilai frekuensi perjumpaan babi yang bervariasi antara 0,00 jejak/Km hingga 5,73

jejak/Km. dan nilai frekuensi perjumpaan rusa berkisar antara 0,00-3,18 jejak/Km.

Sedangkan kijang dan tapir dapat ditemukan pada kisaran jarak dari desa antara 5

Km hingga 14,5 Km dengan variasi nilai frekuensi perjumpaan kijang antara 0,00-

2,97 jejak/Km dan nilai ER tapir 0,00 - 3,81 jejak/Km (gambar 7).
Frekuensi Perjumpaan Mamalia Besar Berdasarkan
Jarak Dari Desa ER Babi
2
ER Kijang
ER (Jejak/Km)

1.5
ER Rusa

1 ER Beruang

ER Harimau
0.5
ER Tapir
0 ER Kambing
5,10- 7,10- 9.10- 11.10- 13.10- hutan
ER Ajak
7,00 9.00 11.00 13.00 15.00
Jarak Dari Desa
Gambar 7. Frekuensi perjumpaan mamalia besar berdasarkan jarak dari desa di
kawasan Hutan Sipurak dan sekitarnya, Taman Nasional Kerinci
Seblat

Beruang madu dan harimau dapat ditemukan pada kisaran jarak dari desa

antara 5 Km hingga 14 Km. Beruang madu memiliki nilai frekuensi perjumpaan

yang bervariasi antara 0,00 jejak/Km hingga 1,27 jejak/Km. Nilai frekuensi

perjumpaan harimau juga memiliki kisaran antara 0,00 jejak/Km hingga 1,27

jejak/Km (gambar 7).

Sedangkan kambing hutan dapat ditemukan pada kisaran jarak dari desa

antara 5,5 Km hingga 12,5 Km dengan nilai frekuensi perjumpaan yang bervariasi

antara 0,24-0,67 jejak/Km. Ajag hanya ditemukan pada transek yang memliki

jarak dari desa sebesar sebesar 14,5 Km dengan variasi nilai frekuensi perjumpaan

antara 0,00-0,54 jejak/Km (gambar 7).

Hasil analisis pengaruh faktor jarak dari desa terhadap frekuensi

perjumpan mamalia besar dengan uji korelasi Spearman’s, menujukkan bahwa

hanya kijang yang memiliki korelasi yang signifikan (Sign. (2-tailed) 0,033) (tabel

lampiran 4). Hasil ini berarti bahwa pada lokasi yang semakin jauh dari desa maka
frekuensi perjumpaan kijang akan meningkat. Menurut Heydon (1994) kijang

termasuk satwa yang sensitif dengan keberadan aktifitas manusia sehingga

keberadaan jenis ini lebih banyak ditemukan di hutan primer yang belum banyak

terganggu.

Hasil uji Spearman pengaruh faktor jarak dari desa terhadap frekuensi

perjumpaan mamalia ungulata lainnya yaitu babi (Sign. (2-tailed) 0,055), rusa

(Sign. (2-tailed) 0,56), kambing hutan (Sign. (2-tailed) 0,107) dan tapir (Sign. (2-

tailed) 0,776) menunjukkan korelasi yang tidak signifikan (tabel lampiran 4).

Menurut Caldecot (1985) babi merupakan satwa yang toleran terhadap

manusia dan Payne dkk (2000) menambahkan bahwa babi sering datang ke areal

pertanian untuk mendapatkan makanan. Oleh karena hal tersebut maka babi hutan

tidak terpengaruh oleh dengan jarak dari desa.

Menurut Augeri (2004) walaupun rusa paling melimpah di kawasan hutan

primer namun secara statistik tidak menujukkan perbedaan yang signifikan

kelimpahan rusa di habitat terganggu dan tidak terganggu. Sadikin (2005)

menyatakan bahwa rusa dan kambing hutan merupakan hewan yang makanan

utamanya adalah rumput (grazer) sehingga keberadaan rusa dan kambing hutan

di tepian hutan terkait dengan adanya daerah hutan yang baru ditebang sehingga

banyak ditumbuhi rumput yang merupakan tumbuhan pionir.

Frekuensi perjumpan tapir menunjukan korelasi yang tidak signifikan

terhadap jarak dari desa. Hasil tersebut berarti bahwa kelimpahan tapir tidak

terlalu dipengaruhi oleh faktor jarak dari desa yang nerupakan lokasi pemukiman

masyarakat. Namun menurut Santiapilli dan Ramono (1989) di Jambi walaupun


tapir dapat ditemukan di habitat yang terganggu namun kelimpahan tertinggi

ditemukan di lokasi yang tidak terganggu. Novarino (2005) menyatakan bahwa

tapir sering kali ditemukan di lokasi pertanian masyarakat yang berbatasan dengan

hutan untuk mencari makan.

Analisis terhadap jarak dari jalan juga menunjukkan hasil yang tidak

signifikan terhadap kelompok predator yaitu harimau sumatera (Sig. (2-tailed)

:0,235), beruang madu (Sig. (2-tailed) :0,866) dan ajag (Sig. (2-tailed) :0,166)

(tabel lampiran 4). Hasil terhadap harimau sumatera tersebut sesuai dengan

penelitian Gunawan (2006) di kawasan Renah Kayu Embun TNKS bahwa

frekuensi perjumpaan harimau tidak signifikan terhadap jarak dari desa. Hal

tersebut dapat berhubungan dengan keberadaan mangsa harimau seperti babi dan

rusa yang memiliki distribusi yang merata terhadap faktor jarak dari desa.

Frekuensi perjumpaan dengan beruang madu hampir merata pada setiap

kisaran jarak dari desa. Menurut Fredriksson (2005) beruang madu juga

merupakan salah satu satwa yang menjadi hama bagi pertanian dan sering

menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar. Bahkan Sadikin (2005)

menyatakan bahwa beruang madu merupakan jenis satwa yang selalu

menimbulkan kerusakan setiap memasuki lahan pertanian. Sedangkan ajag yang

merupakan karnivora membutuhkan keberadaan mangsa di daerahnya, hewan

mangsa ajag seperti babi dan kijang ditemukan merata pada setiap kisaran jarak

dari desa.

3) Kemiringan
Faktor kemiringan merupakan faktor topografi yang kemungkinan dapat

mempengaruhi keberadaan dan pergerakan mamalia besar (Augeri, 2005). Dalam

penelitian ini terdapat beberapa kategori kemiringan lokasi sampling yaitu >3°, 3-

8°, 9-15°, 26-40° dan >60°.

Babi, rusa dan kijang merupakan jenis yang dapat ditemukan di semua

tingkat kemiringan dengan frekuensi perjumpaan yang bervariasi di setiap tingkat

kemiringan tersebut. Frekuensi perjumpaan babi pada kemiringan <30 adalah

0,334 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-1,36 jejak/Km), pada kemiringan 3-80

adalah 1,270 jejak/Km (0,00-5,73 jejak/Km), pada kemiringan 9-150 adalah 0,248

jejak/Km, pada kemiringan 26-400 adalah 1,299 jejak/Km (1,06-1,60 jejak/Km )

dan pada kemiringan >600 adalah 0,748 jejak/Km (0,00-2,73 jejak/Km) (gambar

8).

Frekuensi Perjumpaan Mamalia Besar Pada Tingkat


Kemiringan Yang Berbeda
1.60 Babi
1.40 Kijang
ER (jejak/Km)

1.20
Rusa
1.00
Harimau
0.80
Tapir
0.60
0.40 Beruang
0.20 Kambing
0.00 Ajak
< 3º 3-8º 9-15º 26-40º > 60º
Tingkat Kemiringan

Gambar 8. Frekuensi perjumpaan mamalia besar pada tingkat kemiringan


yang berbeda.

Frekuensi perjumpaan kijang pada kemiringan <30 adalah 0,602 jejak/Km

(dengan kisaran 0,00-2,39 jejak/Km), pada kemiringan 3-80 adalah 0,936

jejak/Km (0,00-2,97 jejak/Km), pada kemiringan 9-150 adalah 0,124 jejak/Km,


pada kemiringan 26-400 adalah 1,485 jejak/Km (0,53-2,44 jejak/Km ) dan pada

kemiringan >600 adalah 0,990 jejak/Km (0,00-2,62 jejak/Km). Selanjutnya

frekuensi perjumpaan rusa pada kemiringan <30, 3-80, 9-150, 26-400dan >600

berturut-turut adalah 0,936 (dengan kisaran 0,00-3,18 jejak/Km); 1,203 (0,00-2,83

jejak/Km); 0,248; 1,114 (0,53-2,44 jejak/Km ) dan 0,924 jejak/Km (0,00-3,05

jejak/Km) (gambar 8).

Harimau dan tapir dapat ditemukan pada hampir semua tingkat kemiringan

kecuali pada kemiringan 9-15°. Pada kemiringan <30 frekuensi perjumpaan

harimau adalah 0,334 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-0,77 jejak/Km), pada

kemiringan 3-80 adalah 0,201 jejak/Km (0,00-1,27 jejak/Km), pada kemiringan

26-40 adalah 0,186 (0,00- 0,61 jejak/Km) dan pada kemiringan >600 adalah 0,330

(0,00- 1,23 jejak/Km). Selanjutnya frekuensi perjumpaan tapir pada kemiringan

<30 adalah 0,267 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-0,97 jejak/Km), 3-80 adalah

0,134 jejak/Km (0,00- 0,74 jejak/Km), pada kemiringan 26-40 adalah 1,485 (1,06-

2,44 jejak/Km) dan pada kemiringan >600 adalah 1,342 (0,00- 3,81 jejak/Km)

(gambar 8).

Beruang madu hanya ditemukan pada tingkat kemiringan 3-8°, 26-40°

dan >60° dan memiliki frekuensi perjumpaan pada masing-masing kemiringan

yaitu 0,201 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-1,27 jejak/Km), 0,186 jejak/Km (0,00-

0,61 jejak/Km) dan 0,220 jejak/Km (0,00-1,27 jejak/km) (gambar 8).

Kambing hutan hanya ditemukan pada tingkat kemiringan 9-15° dan >60°.

Frekuensi perjumpaan kambing hutan berturut-turut pada tingkat kemiringan

tersebut adalah 0,248 jejak/Km dan 0,044 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-0,67
jejak/Km). Selanjutnya ajag hanya ditemukan pada kemiringan >60° dengan

frekuensi perjumpaan 0,022 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-0,544 jejak/Km)

(gambar 8).

Untuk menguji korelasi antara tingkat kemiringan dengan frekuensi

pertemuan jenis mamalia besar digunakan uji non parametrik Spearman. Hasil

analisis kemiringan terhadap beberapa satwa ungulata yaitu babi hutan (Sig. (2-

tailed) :0,497), rusa (Sig. (2-tailed) :0,438), kijang (Sig. (2-tailed) :0,435) dan

kambing hutan (Sig. (2-tailed) :0,402) menunjukkan perbedaan yang tidak

signifikan (tabel lampiran 5).

Hasil tersebut menujukkan bahwa untuk satwa ungulata tersebut tidak

menunjukkan korelasi dengan faktor kemiringan lokasi. Menurut Payne dkk

(2000) babi hutan, rusa dan kijang memiliki adaptasi habitat yang luas yang

berkaitan dengan varaisi makanan yang sangat tinggi. Sastrapradja (1982) dalam

Meirina (2006) menyatakan bahwa tempat tinggal yang disukai oleh kambing

hutan ialah semak yang lebat juga daerah berbatu kapur dan bertebing curam.

Kambing hutan sumatera juga suka menghuni tebing-tebing untuk bersembunyi

pada siang hari. Bagian tebing yang dipilihnya ialah yang menghadap ke

lembah/jurang. Sedangkan untuk tempat tidur dan berkembang biak kambing

hutan suka bersembunyi di dalam gua-gua yang tidak dalam yang terdapat pada

tebing-tebing di puncak bukit. Namun pada penelitian ini kelimpahan kambing

hutan tidak dipengaruhi oleh faktor kemiringan.

Hasil analisis faktor kemiringan ternyata memiliki korelasi yang sangat

signifikan terhadap kelimpahan tapir (Sig. (2-tailed) :0,000) (tabel lampiran 5).
Korelasi ini berarti bahwa frekuensi perjumpan terhadap tapir meningkat seiring

dengan semakin besar tingkat kemiringan lokasi. Hasil tersebut tidak sesuai

dengan penelitian Novarinao (2005) di hutan Lindung Taratak, Sumatera yang

menyebutkan bahwa tapir lebih menyukai daerah yang lebih datar dan basah

daripada daerah yang memiliki tingkat kemiringan yang besar atau pada hutan

perbukitan. Namun keberadaan tapir yang lebih melimpah di kawasan yang

memiliki kemiringan yang tinggi dapat disebabkan karena menurut MacDonald

(1984) tapir adalah pendaki bukit yang baik, dapat berlari cepat, meluncur,

menyeberang sungai, berenang dengan baik bahkan dapat menyelam dalam air

untuk beberapa menit.

Faktor kemiringan tidak memiliki korelasi dengan kelimpahan harimau

(Sig. (2-tailed) :0,355), beruang madu (Sig. (2-tailed) :0, 132) dan ajag (Sig. (2-

tailed) :0,376) (tabel lampiran 5). Sunquist dkk (1999) menyatakan bahwa

harimau memiliki daya jelajah yang sangat luas dan mampu melintasi daerah-

daerah yang memiliki kondisi ekstrim. Sifat tersebut berhubungan sebagai strategi

bertahan hidup untuk mendapatkan mangsa. Lynam dkk (2000) menambahkan

bahwa harimau kaspia kadangkala terlihat di daerah stepa dan gurun yang

sebenarnya asing bagi kehidupan mereka. Hal tersebut menujukkan bahwa

harimau memliki adaptasi yang tinggi terhadap kondisi topografi.

Beruang madu juga memiliki frekuensi perjumpaan yang hampir merata di

tingkat kemiringan 3-8°, 26-40° dan >60° oleh karena itu maka hasil analisis

kemiringan pada beruang madu tidak menujukkan hasil yang signifikan. Augeri

(2005) menyatakan bahwa kondisi topografi tidak memberikan efek yang


signifikan terhadap distribusi beruang madu. Namun faktor kemiringan dapat

berpengaruh terhadap tipe makanan beruang dan produktifitasnya. Makanan

beruang madu khususnya koloni semut sangat dipengaruhi oleh jenis substrat,

kemiringan dan kondisi biogeografis.

D. Perbandingan Frekuensi Perjumpaan Jenis Mamalia Besar

Berdasarkan Keberadaan Ancaman

1) Jerat

Frekuensi perjumpaan babi pada lokasi yang tidak ditemukan jerat yaitu

0,696 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-5,734 jejak/Km ) dan pada lokasi yang

ditemukan jerat adalah 1.029 jejak/Km ( 0,00-2,73 jejak/Km). Frekuensi

perjumpaan kijang pada lokasi yang tidak ditemukan jerat adalah 0,874 jejak/Km

(0,00- 2,97 jejak/Km dan pada lokasi yang ditemukan jerat adalah 0,914 jejak/Km

(0,00-2,62 jejak/Km). selanjutnya frekuensi perjumpaan rusa pada lokasi yang

tidak ditemukan jerat adalah 0,874 jejak/Km (0,00-3,05 jejak/Km ) dan pada

lokasi yang ditemukan jerat adalah 1.105 jejak/Km ( 0,40-3,18 jejak/Km) (gambar

9).
Frekuensi Perjumpaan Mamalia Besar Berdasarkan
Keberadaan Jerat
Babi
1.6
1.4 Kijang

ER (jejak/Km)
1.2 Rusa
1
Beruang
0.8
0.6 Harimau
0.4 Tapir
0.2
Kambing
0
hutan
Tidak ada Ada Ajak

Keberadaan Jerat
Gambar 9. Frekuensi perjumpaan mamalia besar berdasarkan keberadaan
jerat di kawasan hutan Sipurak dan sekitarnya, Taman Nasional
Kerinci Seblat .

Beruang madu memiliki frekuensi perjumpaan 0,129 jejak/Km (dengan

kisaran 0,00-1,274 jejak/Km ) pada lokasi yang tidak terdapat jerat dan 0,228

jejak/Km (0,00-1,09 jejak/Km) pada lokasi yang terdapat jerat. Frekuensi

perjumpaan harimau pada lokasi yang tidak ditemukan jerat yaitu 0,323 jejak/Km

(dengan kisaran 0,00-1,274 jejak/Km ) dan pada lokasi yang ditemukan jerat

adalah 0,190 jejak/Km (0,00-0,544 jejak/Km). Selanjutnya tapir memiliki

frekuensi perjumpaan 0,680 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-2,44 jejak/Km ) pada

lokasi yang tidak terdapat jerat dan 1,486 jejak/Km (0,00-3,81 jejak/Km) pada

lokasi yang terdapat jerat (gambar 9).

Frekuensi perjumpaan kambing hutan pada lokasi yang tidak ditemukan

jerat yaitu 0,048 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-0,585 jejak/Km ) dan pada lokasi

yang ditemukan jerat adalah 0,038 jejak/Km (0,00-0,673 jejak/Km). Selanjutnya

ajag hanya ditemukan pada lokasi yang tidak terdapat jerat dengan freeunsi

perjumpaan 0,016 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-0,544 jejak/Km) (gambar 9).


Untuk menganalisis keberadaan jerat ini digunakan analisis non

parametrik Mann-Whitney dengan memasukkan data keberadaan jerat dalam

variable frekuensi perjumpaan masing-masing jenis satwa dalam transek. Hasil

analisis keberadaan jerat terhadap babi hutan (Exact Sign: 0.161), rusa (Exact

Sign Sig : 0.422), kijang (Exact Sign: 0.673) dan kambing hutan (Exact Sign:

0.846) tidak signifikan (tabel lampiran 6). Hasil tersebut menujukkan bahwa

keberadaan jerat tidak memiliki efek langsung terhadap frekuensi keempat jenis

mamalia besar tersebut. Hal tersebut dapat disebabkan karena satwa-satwa

tersebut lebih toleran dengan kehadiran manusia.

Menurut Meijaard (2005) di Kalimantan babi hutan, rusa dan kijang

merupakan jenis-jenis satwa yang paling banyak diburu untuk konsumsi. Namun

menurut Blouch (1984) di wilayah TNKS yang mayoritas beragama islam

perburuan terhadap babi tidak untuk dikonsumsi melainkan untuk hobi dan untuk

melindungi lahan pertanian mereka. Menurut Sadikin (2005) babi termasuk salah

satu satwa yang sering menjadi hama pertanian. Metode perburuan terhadap babi

yang paling populer adalah dengan menggunakan anjing pemburu. Namun hingga

saat ini, efek perburuan babi hutan belum menyebabkan ancaman yang serius

seperti ancaman kepunahannya.

Puri ( 2001) menyatakan bahwa perburuan rusa dan kijang selain untuk

bahan makanan juga untuk barang hiasan khususnya tanduk dan kulitnya. Linkie

(2003) menyatakan bahwa kijang merupakan jenis yang paling banyak dijerat di

wilayah TNKS.
Hasil analisis jerat terhadap tapir menemukan adanya perbedaan yang

signifikan (Exact Sign : 0,019). Hasil tersebut menujukkan bahwa frekuensi

perjumpaan terhadap tapir lebih tinggi pada lokasi yang terdapat jerat. Menurut

Linkie (2003) tapir bukan satwa utama yang menjadi sasaran pemasangan jerat.

Frekuensi perjumpaan satwa predator yaitu harimau (Exact Sign : 0,273),

beruang madu (Exact Sign : 0,716) dan ajag (Exact Sign : 0,873) tidak memiliki

hasil yang signifikan terhadap keberadaan jerat. Harimau, beruang madu dan ajag

ditemukan merata pada transek yang terdapat jerat dan tidak terdapat jerat.

Frekuensi perjumpaan harimau yang tidak memiliki perbedaan terhadap

keberadaan jerat dapat disebabkan karena mangsa utama harimau seperti babi

hutan, kijang dan rusa juga ditemukan merata pada setiap transek tersebut.

Lynam dkk. (2000) menyatakan bahwa keberadaan harimau sangat

tergantung terhadap keberadaan mangsanya selain tutupan vegetasi dan

keberadaan air. Linkie (2003) menambahkan bahwa kehadiran satwa mangsa

seperti rusa dan kijang di lahan pertanian dapat menarik kehadiran harimau.

Sehingga kadang harimau juga dapat terperangkap oleh jerat yang dipasang untuk

rusa dan kijang.

2) Penebangan liar

Kinnaird dkk (2003) menyatakan bahwa deforestasi di hutan tropis

merupakan salah satu dari ancaman terbesar bagi keanekaragaman hayati.

Deforestasi di Sumatera disebabkan oleh berbagai faktor seperti logging (legal

dan illegal), perkembangan perkebunan dan konversi hutan untuk lahan pertanian.
Frekuensi Perjumpaan Mamalia Besar Berdasarkan
Keberadaan Perambahan Liar
1.6 Babi
1.4 Kijang

ER (Jejak/Km)
1.2
Rusa
1
Beruang
0.8
0.6 Harimau

0.4 Tapir
0.2 Kambing hutan
0
Ajak
Tidak ada Ada
Keberadaan Perambahan Liar

Gambar 10. Frekuensi perjumpaan mamalia besar berdasarkan keberadaan


penebangan liar di kawasan hutan Sipurak dan sekitarnya,
Taman Nasional Kerinci Seblat.

Frekuensi perjumpaan babi pada lokasi yang tidak adanya penebangan liar

yaitu 0,793 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-5,734 jejak/Km ) dan pada lokasi yang

terdapat penebangan liar adalah 0,808 jejak/Km ( 0,00-2,22 jejak/Km). Frekuensi

perjumpaan kijang pada lokasi yang tidak adanya penebangan liar adalah 0,793

jejak/Km (0,00- 2,445 jejak/Km) dan pada lokasi yang terdapat penebangan liar

adalah 1,398 jejak/Km (0,00-2,971 jejak/Km). Selanjutnya frekuensi perjumpaan

rusa pada lokasi yang tidak adanya penebangan liar adalah 0,90 jejak/Km (0,00-

3,188 jejak/Km ) dan pada lokasi yang terdapat penebangan liar adalah 1.178

jejak/Km ( 0,00-2,831 jejak/Km) (gambar 10).

Beruang madu memiliki frekuensi perjumpaan 0,174 jejak/Km (dengan

kisaran 0,00-1,274 jejak/Km ) pada lokasi tidak adanya penebangan liar dan 0,073

jejak/Km (0,00-0,944 jejak/Km) pada lokasi yang terdapat penebangan liar.

Frekuensi perjumpaan harimau pada lokasi yang tidak adanya penebangan liar
yaitu 0,322 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-1,274 jejak/Km ) dan pada lokasi yang

ditemukan tidak adanya penebangan liar adalah 0,073 jejak/Km (0,00-0,944

jejak/Km). Selanjutnya tapir memiliki frekuensi perjumpaan 1,048 jejak/Km

(dengan kisaran 0,00-3,81jejak/Km ) pada lokasi yang tidak adanya penebangan

liar dan 0,220 jejak/Km (0,00-2,28 jejak/Km) pada lokasi yang terdapat

penebangan liar (gambar 10).

Kambing hutan dan ajag hanya ditemukan pada lokasi yang tidak adanya

penebangan liar. Frekuensi perjumpaan kambing hutan pada lokasi yang tidak

adanya penebangan liar yaitu 0,013 jejak/Km (dengan kisaran 0,00-0,673

jejak/Km) sedangkan frekuensi perjumpaan ajag 0,013 jejak/Km (0,00-0,016

jejak/Km) (gambar 10).

Untuk menganalis pengaruh keberadaan penebangan liar yang ditemukan

dalam transek digunakan analisis uji non parametric Mann-Whitney. Hasil analisis

keberadaan penebangan liar terhadap frekuensi perjumpaan babi hutan (Exact

Sign : 0,934), rusa (Exact Sign : 0,396), kijang (Exact Sign : 0,144) dan kambing

hutan (Exact Sign : 0,706) memperlihatkan tidak terdapat perbedaan yang

signifikan (tabel lampiran 7). Hal tersebut berarti frekuensi perjumpaan satwa

tersebut merata pada area yang terdapat penebangan dan tidak terdapat

penebangan.

Menurut Sadikin (2005) jenis-jenis mamalia seperti babi hutan, rusa,

kijang dan kambing hutan yang merupakan pemakan rumput dapat mengambil

keuntungan dengan adanya penebangan pohon. Hal tersebut dikarenakan lahan

yang terbuka tersebut banyak ditumbuhi rumput yang merupakan tumbuhan


pionir. Namun satwa tersebut juga membutuhkan habitat hutan untuk berlindung

dan mencari makanan alternative seperti buah-buahan. Oleh karena itu satwa

ungulata tersebut memiliki frekuensi yang merata pada areal logging dan areal

non logging.

Satwa mamalia besar yang memiliki perbedaan frekuensi perjumpaan

yang signifikan terhadap keberadaaan penebangan adalah tapir (Exact Sign :

0,039) (tabel lampiran 7). Hasil tersebut mengungkapkan bahwa frekuensi

perjumpan tapir lebih tinggi di areal yang tidak mengalami Penebangan. Hasil ini

sesuai dengan pernyataan Blouch (1984) bahwa di Sumatera Selatan tapir lebih

banyak ditemukan di area rawa yang tidak terganggu dan hutan dataran rendah.

Sedangkan di areal yang terganggu kepadatan tapir lebih rendah. Santiapilli dan

Ramono (1989) menambahkan di Jambi, tapir lebih memilih areal hutan yang

tidak terganggu dari pada hutan yang terganggu.

Harimau sumatera (Exact Sign : 0,095) dan ajag (Exact Sign : 0,908) tidak

memiliki perbedaan frekuensi perjumpaan yang signifikan terhadap keberadaan

penebangan. Hasil ini beraarti bahwa satwa ini ditemukan merata pada habitat

yang mengalami penebangan dan tidak mengalami penebangan. Hal tersebut

dapat disebabkan karena satwa mangsa harimau dan ajag seperti babi hutan, rusa

dan kijang juga tersebar merata pada kawasan yang mengalami penebangan dan

tidak mengalami penebangan. Menurut MacDonald (1984) harimau memiliki

daerah jelajah luas hingga 30 Km. Oleh karena itu harimau dapat menggunakan

daerah yang mengalami penebangan tersebut sebagai daerah lintasan.


Hasil analisis keberadan penebangan terhadap frekuensi perjumpaan

beruang madu menujukkan hasil yang tidak signifikan (Exact Sign : 0,496) (tabel

lampiran 7). Hal tersebut karena beruang madu merupakan satwa yang dapat

menempati berbagai macam kondisi habitat (Augeri, 2005). Namun menurut

Fredrikkson (2005) adanya penebangan dapat menyebabkan perumbahan struktur

tanah dan mempengaruhi keberadaan hewan permukaan tanah seperti semut yang

merupakan makanan bagi beruang madu.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian, maka dapat diperoleh

kesimpulan sebagai berikut :

1. Terdapat delapan jenis mamalia besar yang ditemukan di kawasan Hutan

sipurak dan sekitarnya yaitu babi (Sus spp), kijang (Muntiacus muntjak),

rusa sambar (Cervus unicolor), harimau sumatera (Panthera tigris

sumatrae), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus),

kambing hutan sumatera (Capricornis sumatrae) dan ajag (Cuon alpinus).

2. Berdasarkan tipe habitat, tapir lebih melimpah pada tipe habitat sub

pegunungan dan pegunungan dibandingkan dengan habitat perbukitan

sedangkan pada jenis yang lain terdistribusi merata pada antar tipe habitat.

3. Berdasarkan jarak dari jalan umum dan jarak dari desa, kijang ditemukan

lebih melimpah pada area yang lebih jauh dari jalan umum dan desa,

sedangkan pada frekuensi perjumpaan jenis yang lain tidak memiliki

korelasi dengan kedua faktor tersebut.

4. Berdasarkan kemiringan, tapir ditemukan lebih melimpah pada area yang

memiliki kemiringan yang lebih besar sedangkan jenis yang lain

terdistribusi merata pada setiap tingkat kemiringan.


5. Keberadaan jerat dan perambahan liar hanya berpengaruh terhadap

kelimpahan tapir dimana tapir lebih melimpah pada area yang terdapat

jerat dan tidak terdapat perambahan liar.

B. Saran

1) Perlu dilakukan penelitian yang lebih intensif tentang aspek ekologi dan

distribusi beberapa mamalia besar seperti beruang madu dan ajag yang

belum banyak diketahui di TNKS.

2) Pengawasan kawasan TNKS perlu ditingkatkan karena banyak

pemasangan jerat dan penebangan liar yang ditemukan dan berpengaruh

terhadap mamalia besar.


DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S, Pengelolaan Satwa Liar, Jilid I, Depdikbud, IPB, Bogor, 1990.

Arbain, Population Study of Malayan Tapir (Tapirus indicus) in Kerinci Seblat


National park. Proceedings of the SRG-TNKS Kehati. Indonesia
2000.

Augeri, D.. Effects of disturbance on Malayan Sun Bear habitat use. Presented
paper at the International Conference on Conservation Science,
Cambridge, UK. 2004.

Augeri, D.M. On The Biogeographic Ecology Of The Malayan Sun Bear. A


dissertation submitted to the University of Cambridge in partial
fulfilment of the conditions of application for the degree of Doctor
of Philosophy. Wildlife Research GroupDepartment of Anatomy
Faculty of Biological Sciences University of Cambridge. 2005.

Bennett, E. L. and J. G. Robinson. Hunting of wildlife in tropical forests.


Implications for biodiversity and forest peoples. The World Bank,
Washington, D.C., USA. 2000.

Bennett dkk. Saving Borneo’s bacon: The sustainability of hunting in Sarawak


and Sabah. Pages 305-324.1999.

Blouch, R.A. Current Status of the Sumatran Rhino and Other Large Mammals in
Southern Sumatra. Project 3033 Final. Report, IUCN/WWF
Indonesia Programme, Bogor, Indonesia. 1984.

Borner, M. A field study of the Sumatran rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis


Fischer 1814). PhD thesis, Universita¨t Basel, Basle, Switzerland.
1979.

Caldecot, J dan Caldecot, S. A Horde of Pork. News Scienties; 107; 32-35. 1985.

Caldecott, J. O. An ecological and behavioral study of Pig-tailed Macaques.


Karger, Basel, Switzerland. 1986.

Caprine Specialist Group. Capricornis sumatraensis spp. sumatraensis.1996


dalam Http;//www.redlist.org. 2007; 8 April.

Cote dan Festa-Bianchet. M. Mountain Goat .Hoofed Mammals. 2003.


Cranbrook. Mammals of southeast Asia. Second edition. Oxford University Press,
Singapore. 1991.

Dathe, H. Malayan Sun Bears. Pp. 141–142 in Grzimek’s animal life


encyclopedia (B. Grzimek, ed.). Van Nostrand Reinhold Company,
New York. 1975.

Dinata Y. Preferensi Habitat Pada Harimau Sumatera (Panthera tigris


sumatrae) dan Hewan Mangsa di Taman Nasional Kerinci Seblat,
Sumatera. Skripsi Sarjana Sains. Fakultas Biologi Universitas
Nasional. Jakarta.2002.

Dinerstein, E dan Wammer, C. M. Fruits Rhinoceros Eat: Dispersal of Trewia


nudiora (Euphorbiaceae) in Lowland Nepal. Ecology. 1988.

Eisenberg JF, dan SeidenstickerJ, Ungulates in Soutehrn Asia : A considern of


biomass estimates for selected habitats. Biology Conservation.
1976.

Ewer R. F. The carnivores. Cornell University Press, Ithaca, New York Feng.Q.
dan Wang Y.1991. Studies on Malayan sun bear (Helarctos
malayanus) in artificial rearing. Acta Theriologica Sinica. 1973.

Fetherstonhaugh, A. H. Some notes on Malayan bears. Journal of the Malayan


Nature Society. 1940.

Fitzgerald, C.S dan Krausman P.R , Malayan Species Helarctos malayanus.


American Society of Mammologists. 2002.

Fredriksson.G. Human–sun bear con.icts in East Kalimantan, Indonesian Borneo.


Ursus. 2005.

Franklin, N., Bastoni, Sriyanto, Siswomartono D., Manansang J., Tilson R.


Harimau terakhir Indonesia; alasan untuk bersikap optimis dalam
Menunggang Harimau; Pelestarian Harimau di Lingkungan yang
didominasi manusia. Seidensticker J, Christie S, Jackson P.
Cambridge University Press. 1999.

Griffiths, M. and C. P. van Schaik. The impact of human traffi c on the abundance
and activity periods of Sumatran rain forest wildlife. Conservation
Biology 7:623-626. 1993.

Gunawan. Studi Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatra (Panthera tigris


sumatrae) dan Hewan Mangsa di Taman Nasional Kerinci Seblat,
Skripsi Sarjana Sains. Fakultas Biologi Universitas Nasional.
Jakarta. 2006.

Heydon, M. J. The ecology and management of rain forest ungulates in Sabah,


Malaysia:implications of forest disturbance. Final report to
ODA/NERC project F3CR26/G1/05. Institute of Tropical Biology,
University of Aberdeen, Aberdeen, UK. 1994.

Hofmann, R. R. Digestive physiology of the deer their morphophysiological


specialisation and adaptation. In: Biology of deer production.
Bulletinof The Royal Society of New Zealand 22: 393- 407.1985.

Holden, J. Small cats in Kerinci Seblat National Park Sumatra, Indonesia. Cat
News, 35, 11–14. 2001.

Holden, J. Mammals List For Kerinci Seblat National Park (KSNP). 2002.

Integrated Conservation and Development Program (ICDP) Kerinci Seblat


Monitoring and Evolution, KS-ICDP, Component, D, Insecption
Report, Agriconsulting SpA, Jakarta, 1999.

Karanth, KU dan Nichols, J.D. Ecological Status and Conservation of Tigers in


India, Final Technical Report to the Division of International
conservation, US, Fish & Wildlife Service, Washington, DC and
wildlife Conservation Society, NY, Centre of Wildlife Studies,
Bangalone, India, 2000.

Kawanishi, K.. Population status of tigers (Panthera tigris) in a primary rainforest


of Peninsular Malaysia. PhD dissertation. University of Florida,
USA. 2002.

Kinnaird dkk (2003) Deforestation Trends in a Tropical Landscape and


Implications for Endangered Large Mammals Conservation
Biology, Pages 245–257 Volume 17, No. 1, February 2003.

Kurt, F. Sambars (subgenusRusa). In: Grzimek, B.ed. Grzimek's encyclopedia of


mammals. New York, McGraw Hill. Pp. 164-171.1990

Lambeck, RJ, Focal Studies; A Multi-Species Umbrella for Nature Conservation


Conserve, Biol, 1997.
Lancia dkk, Estimation of Number of Animal in Wild life Popultion pp. 215-253.
1994.

Lauminier, Y, The Vegetation and Tree Flora of Kerinci Seblat National Park,
Sumatra, Trop, Biodiv, 1994.

Lekagul, B. dan J.A. McNeely. Mammals of Thailand. The Association for


Conservation of Wild Life. Bangkok. 1977.

Linkie, M. and L. Sadikin. The bearded pig in Kerinci Seblat National Park,
Sumatra. Asian Wild Pig News 3:3-9. 2003.

Linkie M, dkk Habitat Destruction And Poaching threaten in Sumataran Tiger in


Kerinci Seblat National Park, Sumatra. FFI, Oryx. 2003.

Linkie M. Menerapkan metode survey baru deteksi/non deteksi untuk harimau


dan mangsanya. Durrel Insttute of conservation and
Ecology.(jurnal tidak dipublikasikan).

Linkie, M. Tigers, Prey loss and Deforestation Paterrns in Sumatra, Thesis for
submitted the degree of Doctor of Phylosophy. Durrel Institute of
Conservation and Ecology, University of Kent. 2003.

Linkie, M. Using a Geografic Information System to Asses the Importance


Lowland Rainforest Habitat in Tapan Valley, Kerinci Seblat
National Park, The Tiger a Case Study, Disertasi, University of
Kent at Centburry, 1999.

Lynam, A.J, Colon, C dan Ray, J, Tiger Survey Techniques and Conservation,
Training Hand Book, Khoa Yai Forestry Training Centre, Bangkok
Thailang, 2000.

Macdonald, D. The Encyclopedia Of Mammals : 1.Grolier International Inc.


Oxford, 1984.

MacKinnon dkk. The Ecology Of Kalimantan Perip;us Edition, Homgkong, 1996.

Martyr, D., Holden, J,, Yanuar, A. Conservation Of Sumateran Tiger:


Identification Of Critical Habitat and Populations Within Kerinci
Siberida Tiger Conservation Unitan Associated Biodiversity
Assessment. Unpublished. Flora Fauna International. 1999.

Meijaard, E dkk, Life After Logging, Reconcialling wildlife Conservation and


Production Forestry in Indonesia, Borneo, Centre for International
Forestry Research (CIFOR), Jakarta, Indonesia, 2005.
Meirina E D, Karakteristik Habitat Kambing Hutan Sumatra (Capricornis
sumatraensis sumatraensis Bachstein, 1799) Di Kawasan Danau
Gunung Tujuh, Taman Nasional Kerinci Seblat. Departemen
Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata. IPB. Bogor. 2006.

Nowak, R. M.. Walker’s mammals of the world, 6th edition. Johns Hopkins
University Press, Baltimore, USA. 1999.

Nowak, RM dan Paradiso, JL, Walker’s Mammals of the World. Edisi IV, The
John Hopkins University Press, Baltimore and London, 1991.

Novarino. Population Monitoring and study of Daily Activities Of Malayan Tapir


(Tapirus indicus), Through The Use Of The Camera Trapping
Technique In Taratak Forest Reserve, Sumatra Indonesia. Biology
Department, Faculty Mathematics and ScienceAndalas University,
West Sumatra, Indonesia. 2005.

O’Brien dkk Crouching tigers, hidden prey: Sumatran tiger and prey populations
in a tropical forest landscape. Animal Conservation 6: 131-139.
2003.

Onuma, dkk. Reproductive Pattern Of The Sub Bear (Helarctos malayanus) In


Serawak, Malaysia. Theriogenology. 2000.

Payne, J., C. M. Francis, and K. Phillipps. A field guide to the mammals of


Borneo. The Sabah Society, Kota Kinabalu. 1985.

Payne dkk, Mamalia di Kalimantan, Sabah, serawak dan Brunei Darussalam,


Prima Centre, Jakarta, 2000.

Puri, R. K. Bulungan ethnobiology handbook. A fi eld manual for biological and


social science research on the knowledge and use of plants and
animals among 18 indigenous groups in northern East Kalimantan.
CIFOR, Bogor, Indonesia. 2001.

Robinson, J. G dkk. Wildlife harvest in logged tropical forests.Science 284:595-


596. 1999.

Sadikin, L.A. Keberadaan Mamalia Sedang Dan Besar di Kawasan Pinggir Hutan
dengan Metode “Camera Trap” di Air Dikit, Taman Nasional
Kerinci Seblat, Skripsi Sarjana Sains, Fakultas Biologi Universitas
Nasional, Jakarta, 2005.

Santiapilai C dan Ramono WS. Conservation of Sumatran Tiger (Panthera tigris


sumatrae) in Indonesia. Tiger Paper.1993.
Santiapillai, C. and W. S. Ramono: The status and conservation of the Malayan
tapir in Sumatra, Indonesia. Tiger Paper 17(4): 6-11. 1990.

Sastrapradja, S., Adisoemarto,S., Boedi, Munaf, H.B., dan Pranowo.. Beberapa


Jenis Mamalia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.
1982

Saunders, D.A, Hobbs, R.J, Margules, C.R, Biological Consequences of


Ecosystem Fragmentation a Review Conserv, Biol, 1999.

Servheen C. The sun bear. Pp. 124–127 in Bears (I.Stirling, ed.). Rodale Press
Inc., Emmaus, Pennsylvania. 1993.

Setijati, D., Sastrapradja, Soemarto, S.A., Rifai, M.A. Khasanah Flora dan Fauna
Nusantara. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta, 1992

Smith, R.J dan Linkie, M, Measuring and Predicting Forest Loss in The Kerinci
Seblat, ICDP Project Area, KS-ICDP, Component D, Technical
Report, Agriconsulting, SpA, Jakarta, 2001.

Stafford K. J. The diet and trace element status of sambar deer (Cervus unicoloi)
in Manawatu district, New Zealand. New Zealand Journal of
Zoology, 1997, Vol. 24:261-271

Sunquist. M dkk, Ekologi , Perilaku dan Keuletan Harimau serta Perlunya Usaha
Konservasi Harimau dalam Menunggang Harimau: Pelestarian
Harimau di Lingkungan yang didominasi Manusia. Cambridge
Univercsity Press. 1999
William. K,.D. aspect of The Ecology and Behavior Of The Malayan Tapir
(Tapirus indicus) in the National Park of West Malaysia. MSc.
Thesis, Michogan State University. U.M.I. AnnArbor, 1978

Williams, K. D. and G. A. Petrides: Browse use, feeding behaviour and


management of the Malayan tapir. J. Wildl. Mgt. 44(2): 489-494.
1980

Wilson dkk Measuring and Monitoring Biological Diversity, Standard Methods


for Mammals. Smithsonian Institution Press. Washington and
London, 1996

Wong dkk. Food habits of Malayan sun bears in lowland tropical forests of
Borneo, 2002.

World Bank. Biodiversity Conservation and Management, Back Ground Report


No.2, ICDP KSNP. Bogor, 1993 dalam Skripsi Studi Keutuhan
Hutan dan Keragaman Jenis Burung Daerah Perbatasan Taman
Nasional Kerinci Seblat. Panekenan, Navy W TH. Fakultas Biologi
Universitas Nasional. Jakarta, 1995

Zon, A.P.M. Mammals of Indonesia. UNDP/FAO National Park Development


Project. Bogor. 1979
Tabel lampiran 1. Uji Kruskal – Wallis untuk mengetahui perbedaan
kelimpahan frekuensi perjumpaan mamalia besar
berdasakan tipe habitat

Ranks
Jenis HABITAT N Mean Rank
BABI Pegunungan 15 19.13
Sub
14 20.21
pegunungan
Perbukitan 11 22.73
Total 40
KIJANG Pegunungan 15 17.07
Sub
14 23.29
pegunungan
Perbukitan 11 21.64
Total 40
RUSA Pegunungan 15 17.20
Sub
14 22.29
pegunungan
Perbukitan 11 22.73
Total 40
BERUANG Pegunungan 15 21.27
Sub
14 20.57
Pegunungan
Perbukitan 11 19.36
Total 40
Harimau Pegununga 15 22.93
Sub
14 21.43
pegunungan
Perbukitan 11 16.00
Total 40
TAPIR Pegunungan 15 24.13
Sub
14 22.86
pegunungan
Perbukitan 11 12.55
Total 40
KAMBING Pegunungan 15 19.00
Sub
14 21.93
pegunungan
Perbukitan 11 20.73
Total 40
AJAG Pegunungan 15 21.33
Sub
14 20.00
pegunungan
Perbukitan 11 20.00
Total 40
Test Statistics(a,b)

BABI KIJANG RUSA BERUANG HARIMAU TAPIR KAMBING AJAG


Chi-Square .626 2.197 1.925 .273 2.768 7.505 2.206 1.667
df 2 2 2 2 2 2 2 2
Asymp. Sig. .731 .333 .382 .872 .251 .023 .332 .435

a Kruskal Wallis Test


b Grouping Variable: HABITAT

Tabel Lampiran 2. Analisis Uji Lanjutan Mann Whitney untuk mengetahui


perbedaan kelimpahan tapir antara dua tipe habitat yang
berbeda

1) Uji Mann-Whitney antara tipe habitat perbukitan dengan sub


pegunungan

Ranks

TP_HABIT N Mean Rank Sum of Ranks


TAPIR Perbukitan 11 8.82 97.00
Sub
14 16.29 228.00
Pegunungan
Total 25
Perbukitan 11 9.73 107.00
Pegunungan 15 16.27 244.00
Total 26
Pegunungan 15 15.00 210.00
Sub
14 15.00 225.00
Pegunungan
Total

Test Statistics(b)

Perbukitan- Perbukitan - Sub


sub Pegunungan Pegunungan-
Pegunungan Pegunungan
Mann-Whitney U 31.000 41.000 105.000
Wilcoxon W 97.000 107.000 225.000
Z -2.632 -2.268 .000
Asymp. Sig. (2-
tailed) .008 .023 1.000
Exact Sig. [2*(1-
.011(a) .032(a) 1.000(a)
tailed Sig.)]

a Not corrected for ties.


b Grouping Variable: TP_HABIT
Tabel Lampiran 3. Analisis Korelasi Spearman’s untuk mengetahui
perbedaan kelimpahan mamalia besar berdasarkan jarak
dari jalan umum

Kambing
Babi Kijang Rusa Beruang Harimau Tapir hutan Ajag
Spearman's rho jarak ke Correlation
-.041 .380(*) -.101 -.007 -.040 .245 .123 .222
jalan (Km) Coefficient
Sig. (2-tailed) .801 .016 .537 .964 .807 .127 .450 .168
N 40 40 40 40 40 40 40
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Tabel Lampiran 4. Analisis Korelasi Spearman’s untuk mengetahui


perbedaan kelimpahan mamalia besar berdasarkan jarak
dari desa

Kambing
Babi Kijang Rusa Beruang Harimau Tapir hutan Ajag
Spearman's rho jarak ke Correlation
-.305 .337(*) -.095 -.028 .192 .046 -.259 .224
desa Coefficient
Sig. (2-
.055 .033 .560 .866 .235 .776 .107 .166
tailed)
N 40 40 40 40 40 40 40
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Tabel Lampiran 5. Analisis Korelasi Spearman’s untuk mengetahui


perbedaan kelimpahan mamalia besar berdasarkan
kemiringan

Kambing
Babi Kijang Rusa Beruang Harimau Tapir hutan
Spearman's Corelation
rho Kemiringan coeficient 0.111 0.127 0.126 0.242 0.150 0.600 0.136
Sign (2-
tailed) 0.497 0.435 0.438 0.132 0.355 .000** 0.402
N 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Tabel Lampiran 6. Analisis Uji Mann-Whitney untuk mengetahui pengaruh


keberadaan jerat terhadap kelimpahan mamalia
besar
Mean Sum of
Jerat N Rank Rank
Babi Tidak ada 28 18.82 527.00
Ada 12 24.42 293.00
Kijang Tidak ada 28 21.04 589.00
Ada 12 19.25 231.00
Rusa Tidak ada 28 19.50 546.00
Ada 12 22.83 274.00
Beruang Tidak ada 28 20.04 561.00
Ada 12 21.58 259.00
Harimau Tidak ada 28 21.86 612.00
Ada 12 17.33 208.00
Tapir Tidak ada 28 17.68 495.00
Ada 12 27.08 325.00
Kambing Tidak ada 28 20.39 571.00
Ada 12 20.75 249.00
Ajag Tidak ada 28 20.71 580.00
Ada 12 20.00 240.00

Kambing
Babi Kijang Rusa Beruang Harimau Tapir hutan Ajag
Mann-Whtiney U 121.000 153.000 140.000 155.000 130.000 89.000 165.000 162.000
Wilcoxon W 527.000 231.000 546.000 561.000 208.000 495.000 571.000 240.000
Z -1.402 -0.443 -0.827 -0.448 -1.213 -2.395 -0.194 -0.655
Asymp. Sign. (2-
tailed) 0.161 0.658 0.408 0.626 0.225 0.017 0.846 0.513
Exact. Sign [2*(1-
tailedSign.)] .172 (a) .673 (a) .442 (a) .716 (a0 .273 (a0 0.019 .942 (a) .873 (a)
Tabel Lampiran 7. Analisis Uji Mann-Whitney untuk mengetahui pengaruh
keberadaan perambahan liar terhadap kelimpahan
mamalia besar

Penebangan Mean Sum of


liar N Rank Rank
Babi Tidak ada 32 20.41 653.00
Ada 8 20.88 167.00
Kijang Tidak ada 32 19.13 612.00
Ada 8 26.00 208.00
Rusa Tidak ada 32 19.69 630.00
Ada 8 23.75 190.00
Beruang Tidak ada 32 21.16 677.00
Ada 8 17.88 143.00
Harimau Tidak ada 32 22.06 706.00
Ada 8 14.25 144.00
Tapir Tidak ada 32 22.41 717.00
Ada 8 12.88 103.00
Kambing.
H Tidak ada 32 20.88 668.00
Ada 8 19.00 152.00
Ajag Tidak ada 32 20.63 660.00
Ada 8 20.00 160.00

Kambing
Babi Kijang Rusa Beruang Harimau Tapir hutan Ajag
Mann-Whtiney U 125.000 84.000 102.000 107.000 78.000 67.000 116.000 124.000
Wilcoxon W 650.000 612.000 630.000 143.000 144.000 103.000 152.000 160.000
Z -0.103 -1.489 -0.880 -0.902 -1.828 -2.119 -0.888 -0.500
Asymp. Sign. (2-
tailed) 0.918 0.136 0.379 0.367 0.068 0.034 0.374 0.617
Exact. Sign [2*(1-
tailedSign.)] 934 (a) .144 (a) .396 (a) .496 (a) 0.095 0.039 .703 (a) .908 (a)

Anda mungkin juga menyukai