SKRIPSI
OLEH :
MAGDALINA PESIWARISSA
NIM. 2016-63-004
SKRIPSI
Universitas Pattimura
OLEH :
MAGDALINA PESIWARISSA
2016-63-004
Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II
DEDIKASI
pada Tuhan”
(Yeremia 17:7)
“Sebab Tuhan, Dia sendiri akan berjalan didepanmu, Dia sendiri akan menyertai
engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau: janganlah takut dan janganlah patah
hati.”
(Ulangan 31:8)
Persembahan
“Ucapan syukur atas karunia dan berkat Allah yang melimpah bagi saya, skripsi ini
saya persembahkan kepada orang tua tercinta, saudara-saudara, sahabat, serta
almamater tercinta yaitu Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura”
iii
RIWAYAT PENDIDIKAN
Heumasse/Pesiwarissa.
Putih.
AMBON
YPKPM AMBON.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan dan Ilmu Kelauan, maka penulis
ABSTRAK
Perairan tersebut cukup kaya akan sumberdaya ikan, algae, dan makrofauna bentos.
Penelitian terkait potensi makrofauna bentos masih perlu dilakukan mengingat akan
adanya perubahan terhadap keberadaan sumberdaya tersebut serta kurangnya data dan
referensi terkait sumberdaya tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui potensi
Selatan, Kota Ambon. Penelitian ini dilakukan pada bulan desember – juni 2020,
pengambilan sampel dilakukan dengan metode belt transek pada dua lokasi yaitu
habitat berbatu dan berpasir. Hasil penelitian menunjukan terdapat tiga filum
berdasarkan kelompok filum yang memiliki kepadatan tertinggi yaitu filum moluska.
tinggi dan dominansi rendah. Pola penyebaran makrofauna bentos yaitu berkelompok,
acak, seragam. Pola pemanfaatan makrofauana bentos yaitu secara temporal dan
spasial dengan aktivitas pemanfaatan yang dilakukan adalah bameti dan balobe,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
atas berkat serta penjagaannya sehingga penelitian dengan judul “Potensi dan Pola
terselesaikan dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi salah satu syarat
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan doa dari semua pihak akan
sangat sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis sangat mengharapkan masukan
dari para pembaca demi perbaikan skripsi ini kedepan. Penulis berharap kiranya
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Maluku adalah provinsi yang terdiri dari pulau besar dan pulau kecil yang
memiliki luas lautan sebesar 658.274,69 km2 dengan panjang garis pantai sebesar
10.662,92 km2 (Ayal, dkk 2013) menjadikan sistem ruang Maluku termasuk dalam
kawasan pesisir yang memiliki sumberdaya bernilai tinggi ditandai dengan adanya
ekosistem penting yaitu mangrove, lamun, dan terumbu karang. Perairan Maluku
merupakan perairan tropis dengan karakteristik perairan yang stabil dengan adanya
makrofauna bentos yang terdiri dari filum moluska, arthropoda, echinodermata, dan
cnidaria.
dengan kondisi perairan yang terbuka sehingga kondisi lingkungan di perairan ini
memiliki dinamika yang dipengaruhi oleh hempasan arus dan gelombang yang
mengakibatkan terdapat dua eksosistem penting yaitu ekosistem lamun dan terumbu
karang, juga memiliki potensi sumberdaya ikan dan algae (Pical 2013). Tipe substrat
perairan ini yaitu berbatu, berpasir, dan pasir bercampur patahan karang mati, tipe
2
sumberdaya yang ada sebagai sumber mata pencaharian maupun sumber makanan.
aktivitas Bameti (pengambilan sumberdaya pada kondisi air surut di siang hari) dan
Balobe (pengambilan sumberdaya pada kondisi air surut dimalam hari) untuk
makrofauna bentos sudah dilakukan selama belasan tahun dengan jenis biota yang
sering diambil yaitu Turbo setosus, Turbo chrysostomus, Trochus stellatus, Tellina
bentos akibat kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat, maka dari itu dilakukan
penelitian pada perairan pantai negeri Hutumuri untuk mengetahui potensi dan pola
wilayah pesisir merupakan hal mendasar yang perlu diketahui sebab wilayah pesisir
sumberdaya perairan.
awal dari masyarakat diketahui bahwa kegiatan pengambilan organisme bentos ini
dari tahun 1970, tingkat pemanfaatan yang dilakukan terus menerus tersebut
sudah jarang ditemukan. Selain itu, adanya pemanfaatan yang dilakukan pada habitat
Hutumuri?
4
Negeri Hutumuri?
Negeri Hutumuri?
Hutumuri.
pantai Hutumuri.
Manfaat dari penelitian ini yaitu memberikan informasi tentang potensi dan
TINJAUAN PUSTAKA
peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat
dan laut sehingga wilayah pesisir memiliki karakteristik yang menjadikan daerah ini
wilayah pesisir teridiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih dan sumberdaya alam
yang tidak dapat pulih, sumberdaya yang dapat pulih meliputi sumberdaya perikanan
(plankton, benthos, ikan, moluska, crustasea, mamalia laut), rumput laut (seaweed),
12 jenis lamun, 38 jenis mangrove, dan 354 jenis karang dengan 14.000 jenis
tak dapat pulih antara lain mencakup minyak dan gas, biji besi, pasir, timah, bauksit,
dan mineral serta bahan tambang lainnya. Sumberdaya tersebut telah menjadi sumber
pendapatan bagi masyarakat terutama dari sektor perikanan, petambangan dan jasa-
kelangkaan. Dengan adanya berbagai sumberdaya alam yang cukup tinggi baik hayati
6
kepulauan. Dengan karakteristik wilayah yang heterogen dan didominasi oleh laut
menjadikan potensi pengembangan yang besar. Menurut pusat data statistik dan
perikanan provinsi Maluku (2013) perairan Maluku memiliki potensi besar dalam
1. Sumberdaya hayati
Mangrove (1.322,907 km2), padang lamun (393,07 km2), dan terumbu karang
2. Sumberdaya perikanan
dan biota bernilai ekonomis lain. Selain itu terdapat 969 jenis kerang-
kerangan terdiri dari 665 jenis siput dengan 13 jenis bernilai ekonomis dan
3. Sumberdaya kelautan
beberapa bahan pencemar, mobilitas yang rendah, mudah ditangkap dan memiliki
kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam
merupakan organisme yang hidup dibagian dasar perairan atau hidup didasar endapan
(demersal).
a. Filum Moluska
bahasa latin molis artinya lunak dan digunakan pertama kali oleh Zoologist Prancis
Cuvier tahun 1798, saat mendeskripsikan sotong dan cumi. Sebagian besar jenis
moluska hidup di lingkungan laut, sekitar 25% hidup diperairan tawar dan daratan.
Moluska dijumpai mulai dari daerah pinggiran pantai hingga laut dalam, menempati
daerah terumbu karang, sebagian membenamkan diri dalam sedimen, beberapa dapat
mantel yang merupakan batas ruang mantel itu sendiri. Semua moluska selalu
mempunyai massa muscular, disebut kaki yang bentuk dan fungsinya bervariasi
cangkang, sampai hampir bulat tanpa kepala dan tertutup dua keeping cangkang
8
besar. Moluska juga memiliki peranan penting bagi lingkungan perairan yaitu sebagai
b. Filum Arthropoda
Arthropoda yang paling terkenal adalah Crustacea yang hidup pada terumbu karang.
Crustacea adalah suatu kelompok besar dari arthropoda, terdiri dari kurang lebih
52.000 spesies yang terdeskripsikan, dan biasanya dianggap sebagai suatu subfilum.
kepiting, udang dan karang. Mayoritas merupakan hewan akuatik, hidup di air tawar
atau laut, walaupun beberapa kelompok telah beradaptasi dengan kehidupan darat,
seperti kepiting darat. Mayoritas dapat bebas bergerak, walaupun beberapa takson
bersifat parasit dan hidup dengan menumpang pada inangnya (Alimudin, 2016).
c. Filum Echinodermata
Echinodermata berasal dari bahasa Yunani yaitu Echinos artinya duri dan
Derma artinya kulit. Secara umum Echinodermata berarti hewan yang berkulit duri.
Hewan ini memiliki kemampuan autotomi serta regenerasi bagian tubuh yang hilang,
putus atau rusak. Semua hewan yang termasuk dalam kelas ini bentuk tubuhnya
simetris radial dan kebanyakan mempunyai endoskeleton dari zat kapur dengan
memiliki duri pada permukaan kulitnya. Filum Echinodermata terdiri atas 5 kelas,
masing masing dari kelas tersebut memiliki peranan tersendiri terhadap ekologi laut.
sebagai pelindung karang dari pertumbuhan alga yang berlebihan. Holothuroidea dan
9
sebagai kunci ekologi yang berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut.
Hewan ini dapat dijumpai di perairan laut Indonesia dengan jumlah berlimpah karena
d. Filum Cnidaria
ubur-ubur, hydra, anemone laut, dan hewan karang. Filum ini disebut Cnidaria
karena memiliki knidosit atau sel-sel penyengat yang terdapat pada epidermisnya.
Cnidaria termasuk ke dalam hewan yang memiliki simetri radial. Hewan radial hanya
memiliki bagian dorsal (atas) dan bagian ventral (bawah) atau bagian oral (mulut) dan
bagian aboral, tapi tidak ada bagian anterior (kepala) dan posterior (ekor). Cnidaria
Coelenterata berasal dari kata coilos (berongga) dan enteron (usus). Jadi, semua
hewan yang termasuk filum ini mempunyai rongga usus (gastrovaskuler) yang
Hutabarat dan Evans dalam Chalid (2014) menjelaskan hewan bentos yang
hidup di substrat dasar perairan dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan sesuai
a. Makrobentos yang berukuran > 1 mm, merupakan kelompok terbesar dan terdiri
kelompok hewan kecil yang banyak ditemukan di pasir atau lumpur. Termasuk
c. Mikrobentos yang berukuran < 0.1 mm, termasuk dalam kelompok ini adalah
laut, estuary , maupun perairan tawar. Menurut habitatnya makrofauna bentos dapat
yang hidupnya terpendam di dalam substrat perairan dengan cara menggali lubang,
Sebagian hewan tersebut bersifat sesil. Epifauna adalah makrofauna bentos yang
yang lunak atau menempel dengan kuat pada substrat padat yang terdapat di dasar.
semua jenis substrat tetapi lebih berkembang pada substrat yang keras dan melimpah
di daerah intertidal. Kondisi lingkungan seperti substrat dasar dan kedalaman dapat
menggambarkan variasi yang amat besar bagi distribusi makrofauna bentos, sehingga
sering dijumpai perbedaan jenis pada daerah yang berbeda. Adaptasi makrofauna
bentos pada substrat yang keras berbeda dengan makrofauna bentos yang hidup pada
substrat yang lunak. Perbedaan ini dapat dilihat dari bentuk morfologi, cara makan,
adaptasi terhadap faktor fisik, seperti perubahan temperatur, salinitas dan terhadap
Indonesia, potensi yang besar tersebut juga dapat ditemukan pada perairan Maluku
Pulau Saparua merupakan salah satu pulau di wilayah Maluku Tengah yang
penelitian Pelupessi (2017) total didapatkan sebanyak 641 individu moluska dari 107
jenis yang terdiri atas 85 jenis Gastropoda dan 22 jenis Bivalvia. Jenis yang paling
memiliki keanekaragaman yang sedang dan merata dengan dominansi jenis yang
berbagai macam komoditi seperti produk makanan, aksesoris/hiasan, dan bahan baku
obat-obatan.
lamun yang berdampingan dengan sumber daya hayati laut yang lainnya seperti
mangrove, algae, mollusca, dan lain-lain. Ekosistem lamun pada perairan pantai
12
negeri Tulehu memiliki penyebaran yang cukup luas yang mendukung kehidupan
yaitu satu jenis mewakili kelas Asteroidea, satu jenis mewakili kelas Ophiuroidea,
dan dua jenis mewakili kelas Echinoidea. Pada penelitian ini didapatkan empat jenis
echinodermata yang terbagi menjadi tiga kelas yaitu kelas Asteroidea, kelas
yang ditemukan pada kedua stasiun penelitian yaitu Archaster typicus, Ophiocoma
ditemukan pada kedua stasiun penelitian jenis Archaster typicus yang banyak
ditemukan karena berhabitat yang berpasir. juga ditemukan 19 Jenis Mollusca yang
terdiri dari dua jenis dari kelas Bivalvia dan 17 jenis dari kelas Gastropoda.
nasional tetapi juga menjadi permasalahan global. Kerusakan sumberdaya laut dan
pesisir akibat pemanfaatan berlebih serta pengelolaan yang kurang baik di masa lalu
menjadi perhatian yang cukup serius bagi Indonesia. Sekitar 60 persen penduduk
Indonesia tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai yang terdiri dari berbagai mata
cenderung hanya melihat jangka pendek semata dan hanya berorientasi pada hasil
besar dan cepat tanpa memperhatikan stabilitas lingkungan laut dan pesisir dalam
jangka panjang. Hal ini diperparah oleh kurangnya pengawasan pemerintah sehingga
Perkembangan eksploitasi sumberdaya laut dan pesisir telah menjadi suatu bidang
kegiatan ekonomi yang dikendalikan oleh pasar terutama jenis yang bernilai eknomis
tinggi, sehinnga tingkat eksploitasi sumberdaya laut dan pesisir terjadi dalam skala
perikanan sebagai faktor yang unggul baik dalam hal sarana prasarana sampai
pengembangan biota laut untuk pemanfaatan secara optimal dan tetap berkelanjutan
masih mengalami kendala sebab masih bertentangan dengan sistem sosial masyarakat
Kondisi yang sering terjadi bekaitan dengan sumberdaya manusia itu sendiri.
Suatu ekosistem lingkungan beserta biota didalamnya terjaga dengan baik dan tetap
dirasakan oleh generasi yang akan datang apabila dimanfaatkan oleh sumberdaya
manusia yanag berkualitas. Hal sebaliknya, ekosistem serta biota akan rusak karena
pemanfaatan yang tidak terkontrol sebab faktor utamanya adalah untuk pemenuhan
sumberdaya laut dapat juga dimanfaatkan oleh generasi penerus, maka data sumber
daya laut dan pesisir sangat dibutuhkan dalam rangka pembangunan dan pengelolaan
wilayah laut dan pesisir yang lebih baik dan berkelanjutan (Sipahelut, 2010).
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2019 sampai Juli 2020, dan
Ambon.
dibagi dalam dua tipe habitat yakni pada habitat yang didominasi substrat berbatu
(batu berpasir, patahan karang) dan habitat yang didominasi oleh substrat berpasir
sampel untuk filum moluska, arthropoda, echinodermata dilakukan pada kondisi air
17
surut disiang hari, untuk pengambilan sampel teripang dilakukan pada kondisi air
surut di malam hari. Sampel diambil pada permukaan substrat menggunakan metode
belt transek dengan jarak antar transek 50 m tanpa jarak antar kuadran dalam plot
berukuran 1x1 m pada setiap plot sampel dihitung dan dicatat jumlah setiap jenis
yang ditemukan. Selanjutnya setiap sampel dimasukan ke dalam kantong plastik yang
responden dengan kriteria sebagai nelayan, pengumpul biota, dan masyarakat yang
pemanfaatannya.
Kenneth (2000)
Cairan bayclin sebanyak 0,5 ml dipipet kedalam cawan didiamkan selama 10-
15 menit sampai jaringan tubuh hancur, dan spikula terkumpul didasar cawan.
Mengetahui komposisi dari setiap jenis makrofauna bentos maka data spesies
menurut filum, kelas, ordo, family, genus, dan spesies dan ditabulasi dalam bentuk
tabel.
Nilai kepadatan individu makrofauna bentos dihitung dengan formula (krebs 1978)
yaitu:
K= ¿
a
Ket:
K : Kepadatan
ni : Jumlah individu suatu spesies (indv)
a : Luas area pengambilan contoh (m2)
Kepadatan suatu spesies
Kepadatan relatif ( % ) = x 100
Kepadatan semua spesies
Potensi dihitung menggunkan formula yang dikemukakan oleh (Sloan, 1985 dalam
Lewerrissa, 2014)
dalam tiap kuadran pada setiap garis transek. Indeks keanekaragaman yang digunakan
H’= −∑ ( pi ) ln ( pi)
Keterangan :
H’ = Indeks keanekaragaman
ni = Jumlah individu spesies ke-i
N = jumlah individu seluruh jenis
pi = kelimpahan relatif spesies ke-i
Dimana : H` < 1 : Keanekaragaman jenis rendah
H'
e=
lnS
Keterangan :
e = Indeks keseragaman
H`= Indeks keanekaragaman
S = Jumlah spesies
Dimana : e < 0,4 : Keseragaman populasi kecil
0,4 < e < 0,6 : Keseragaman populasi sedang
e > 0,6 : Keseragaman populasi tinggi
n
C=∑ ( ¿ )
i=0 N
Keterangan :
C = Indeks dominansi
Ni = Jumlah individu setiap jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis
Dimana: 0,00 < D ≤ 0,30 : Dominansi rendah
22
Σ ( Xi−μ )2 Σ( Xi )
σ2 = μ=
N N
Keterangan:
N = Jumlah kuadran dimana spesies berada
Xi =Jumlah individu ke-i
µ = Mean
σ 2 = Varian
Dengan ketentuan jika:
sampling melalui penempatan transek dan kuadran, maka hasil identifikasi tiap filum
dianalisa menggunakan analisis deskriptif. Analisis ini didasarkan pada kondisi aktual
di lapangan.
metode analisis pohon masalah yakni metode untuk mengidentifikasi suatu masalah
dan menggambarkan sebab akibat dari permasalahan tersebut. Pohon tujuan dibuat
berdasarkan pohon masalah dengan mengubah situasi yang negatif menjadi postif
(Abrahamsz, 2009).
BAB IV
Kota Ambon. Negeri Hutumuri memiliki luas wilayah 1.500 Ha dan berjarak sekitar
18 km dari pusat kota Ambon. Secara geografis Negeri Hutumuri terletak antara
Karakteristik pantai Negeri Hutumuri didominasi oleh substrat berbatu, dan pasir
bercampur patahan karang mati. Distribusi sedimen yang dominan pada perairan
pantai Hutumuri baik secara tegak lurus garis pantai maupun sejajar garis pantai yaitu
kerikil (granule), pasir sangat kasar (very coarse sand), pasir sedang (medium sand),
kualitas suatu perairan. Kehidupan organisme dalam suatu perairan dikatakan baik,
jika parameter fisik lingkungan perairan tersebut masih berada dalam batas toleransi
organisme.
memiliki kisaran antara 28–31°C, suhu perairan yang optimal bagi pertumbuhan
bentos pada perairan pantai negeri Hutumuri mampu beradaptasi dengan suhu
perairan Hutumuri pada kisaran 30-32%0 masih sesuai untuk pertumbuhan makrofauna
bentos.
yaitu filum Moluska terdiri dari 2 kelas, 18 family, 21 genera, dan 33 spesies. Filum
memperlihatkan filum moluska memiliki jumlah jenis lebih banyak dari filum lainnya.
Bila dibandingkan dengan komposisi makrofauna bentos pada perairan pantai negeri
Tial yang juga memiliki jumlah jenis tertinggi pada filum moluska sebanyak 18
spesies maka dapat dijelaskan bahwa filum moluska memiliki penyebaran luas serta
daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan sehingga organisme dari filum moluska
dapat ditemukan pada berbagai lokasi dan tipe habitat (Husain, 2017).
penelitian dengan jumlah makrofauna bentos tertinggi disebabkan karena tipe habitat
berbatu merupakan tempat yang cocok bagi biota untuk menempel dan bertahan dari
hempasan arus dan gelombang. Sedangkan jumlah makrofauna bentos terendah pada
tipe habitat berpasir hal ini disebabkan oleh substrat berpasir tidak menyediakan
tempat melekat bagi organisme untuk bertahan dari gelombang yang menggerakan
partikel substrat sehingga banyak organisme sulit tinggal pada daerah tersebut
(Cappenberg, 2016).
Negeri Hutumuri
kepadatan reltif filum moluska, arthropoda, dan echinodermata yang ditemukan di dua
pada habitat berbatu dan berpasir disajikan dalam tabel berikut (Tabel 4.2).
Spesies yang memiliki nilai kepadatan dan potensi tertinggi pada tipe habitat
berbatu yaitu Nerita costata 1.646 ind/m2 (20.899%), Nerita polita 1.239 ind/m2
(15.730%), Nerita patula 1.106 ind/m2 (14.045%), Morula margariticola 0.496 ind/m2
(6.292%) dan Engina mendicaria 0.451 ind/m2 (5.730%). Tingginya nilai kepadatan
yang cukup banyak. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan dari setiap spesies untuk
dikemukakan oleh Budiman (1991) dalam Irawati (2015) bahwa tingginya kepadatan
Moluska di suatu habitat sangat bergantung pada kemampuan jenis untuk beradaptasi
terhadap kondisi dan tipe habitat didalam ekosistem yang dapat mengakomodasi jenis
untuk hidup. Lokasi ini memiliki tipe substrat berbatu hingga pasir bercampur patahan
karang mati yang merupakan microhabitat bagi spesies morula margariticola, engina
mendicaria, dan Nerita yang hidupnya menempel pada bebatuan (Luturmas, 2009).
kepadatan yakni 0.018 ind/m2 dan kepadatan relatif 0.225%, Turbo setosus 0.027
ind/m2 (0.337%), Conus ducurtata, Cypraea moneta dan Cypraea errones sebesar
0.044 ind/m2 (0.562%). Nilai kepadatan yang rendah disebabkan karena kehadirannya
tidak ditemukan pada setiap transek pengamatan dan kemunculannya dalam jumlah
yang sedikit hal tersebut dipengaruhi juga oleh aktivitas penangkapan oleh masyarakat
Pada tipe habitat berpasir nilai kepadatan dan potensi tertinggi yaitu Morula
margariticola 0.200 ind/m2 (22.5%) dan Nassarius acuticostus 0.33 ind/m2 (15%).
Hadirnya spesies ini dalam jumlah yang dominan karena jenis ini hidup pada
mikrohabitat pasir hingga pasir berbatu (Poutiers, 1998 dalam Cappenberg 2016) dan
pada lokasi penelitian distribusi substrat pada habitat berpasir yaitu pasir hingga pasir
berpasir lebih rendah. Hal ini diperkuat oleh irawati (2015) bahwa rendahnya
tinggi yakni sekitar 0,548-0,562 m/dtk dibandingkan dengan pantai berbatu yakni
0,526-0,533 m/dtk, arus menjadi salah satu faktor pembatas dalam penyebaran
gerakan ombak merupakan faktor lingkungan yang dominan pada pantai berpasir,
sedangkan substrat berpasir tidak menyediakan tempat melekat bagi organisme untuk
ind/m2 lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Wawo dan Uneputty
(2013) di Waiheru sebesar 24.23 ind/m2. Tinggi rendahnya kepadatan suatu spesies di
alam dipengaruhi oleh faktor fisik meliputi suhu, salinitas, kedalaman, substrat dan
faktor biologi meliputi makanan dan predator (Wawo dan Uneputty, 2013).
31
pada habitat berbatu dan berpasir disajikan dalam tabel berikut (Tabel 4.3).
Spesies yang memiliki nilai kepadatan tertinggi terdiri dari family pilumnidae
yaitu Pilodius granulatus sebesar 0.195 ind/m2 (24.444%) diikuti oleh family
Xanthidae, Atergatis floridus 0.150 ind/m2 (18.889%) dan Eriphia sebana dari family
Eriphiidae sebesar 0.124 ind/m2 (15.556%) . Ketiga jenis kepiting tersebut memiliki
jumlah paling banyak ditemukan pada lokasi ini. Ditambahkan oleh Nybakken (1992)
dalam Waisaley, dkk (2019) bahwa tingginya nilai kepadatan ditunjukkan oleh
Pilodius granulatus dan Eriphia sebana merupakan Jenis kepiting yang dapat
ditemukan pada daerah pasang surut dengan tipe substrat yang disenangi yaitu
pecahan karang mati. Spesies dari family Xanthidae yaitu Atergatis floridus
32
merupakan jenis yang dapat diperoleh pada substrat dasar perairan yaitu pasir
bercampur patahan karang mati (Pratiwi, 2015). Hal tersebut sesuai dengan substrat
yang berada di perairan pantai Hutumuri yaitu berbatu hingga pasir bercampur patahan
karang mati yang merupakan habitat ideal bagi Pilodius granulatus, Atergatis floridus,
dan Actaeodes tomentosus sebesar 0.018 ind/m2 (2.222% ) menurut Nybakken (1992)
dalam Waisaley, dkk (2019) bahwa organisme yang memiliki kelimpahan terendah
habitat serta tidak mampu bersaing dalam menempati ruang menyebabkan jumlahnya
Pada tipe habitat berpasir spesies yang sering ditemukan dan memiliki nilai
kepadatan tertinggi terdapat pada filum Portunidae, Thalamita stimponi sebesar 0.156
ind/m2 (35%) Thalamita quadridens dan Actaeodes tomentosus dari filum Xanthidae
dengan nilai kepadatan sebesar 0.111 ind/m2 (25%). Jenis kepiting tersebut merupakan
jenis dengan jumlah paling banyak ditemukan disebabkan karena lokasi ini merupakan
microhabitat idealnya. Diperkuat oleh Pratiwi dkk, (2015) kepiting dari filum
Portunidae menyukai habitat dengan substrat dasar pasir halus/kasar dan pasir
berlamun. Hal ini sesuai dengan tipe substrat pada lokasi pengambilan sampel.
Hutumuri lebih baik bila dibandingkan dengan hasil penelitian Luanmas (2018) di
perairan dusun Mahia dengan nilai kepadatan sebesar 0.002 ind/m2 – 0.003 ind/m2.
33
ditemukan pada habitat berbatu dan berpasir disajikan dalam tabel berikut (Tabel 4.4).
Habitat berbatu dengan spesies yang memiliki nilai kepadatan tertingi yaitu
spesies bintang mangular dari family Ophiocomidae yang memiliki penyebaran luas
dan mampu hidup pada berbagai kondisi substrat. Diperkuat oleh Setiawan (2018)
bahwa Ophiocoma dentata memiliki area tinggal terluas dengan tipe dasar beragam
meliputi area makroalga, lamun, bebatuan dan substrat pasir, sampai mendekati tubir.
Bulu babi jenis Echinometra mathaei dari famili Echinometridae merupakan jenis
paling banyak ditemukan setelah Ophiocoma dentate pada stasiun ini, dengan nilai
dengan kondisi substrat yang sesuai untuk kehidupan bulu babi ini. Karena pada
stasiun ini ditemukan substrat yakni pecahan terumbu karang. Diperkuat oleh Dobo
(2009) bahwa Echinometra mahaei merupakan jenis bulu babi yang berasosiasi pada
kondisi substrat yang keras seperti pecahan terumbu karang. Hal tersebut berarti
bahwa habitat dan substrat merupakan faktor penentu keberadaan setiap jenis disuatu
perairan.
0.027 ind/m2 (0.353%), Diikuti oleh Holothuria coluber dan linckia laevigata dengan
nilai kepadatan 0.035 ind/m2 (0.471%) kondisi tersebut disebabkan karena jumlah
luas. Azis (2012) Menjelaskan bahwa spesies yang tidak mampu bersaing untuk
kepadatan dan nilai frekuensi tertinggi yang ditemukan sebesar 0.378 ind/m 2 (13.6%)
karena habitat berpasir merupakan habitat yang ideal bagi jenis ini serta pola hidup
calamaris memiliki nilai terendah yakni 0.044 ind/m2 (1.6%) diikuti oleh Linckia
laevigata sebesar 0.067 ind/m2 (2.4%). Melihat nilai-nilai tersebut terlihat bahwa di
dibandingkan dengan penelitian (Radjab, 2015) di perairan Suli sebesar 0.0017 ind/m2
Berdasarkan hasil analisa data, terdapat perbedaan nilai frekuensi dan frekuensi
Hasil nilai frekuensi dan frekuensi kehadiran relatif filum moluska pada habitat
Tabel 4.5 Frekuensi Kehadiran dan Frekuensi Kehadiran Relatif Filum Moluska
Spesies Frek. kehadiran (ind/m2) Frek. kehadiran relatif (%)
Berbatu Berpasir Berbatu berpasir
Nerita patula 0.062 4.023
Nerita polita 0.062 4.023
Nerita costata 0.071 4.598
Conus ebraeus 0.097 6.322
Conus coronatus 0.097 6.322
Conus sponsalis 0.035 2.299
Conus miles 0.027 1.724
Conus ducurtata 0.018 1.149
Engina mendicaria 0.150 9.770
Cantharus fumosus 0.071 0.044 4.598 5.882
Thais aculeata 0.080 5.172
Morula margariticola 0.106 0.178 6.897 23.529
Pyrene testudinaria 0.018 1.149
Nassarius acuticostus 0.053 0.111 3.448 14.706
Nassarius olivaceus 0.018 1.149
Trochus aemulan 0.044 2.874
Trochus stellatus 0.044 0.044 2.874 5.882
Turbo agryrostoma 0.027 0.044 1.724 5.882
Turbo setosus 0.018 1.149
Turbo chrysostomus 0.062 4.023
Clypemorus subbrevicula 0.106 6.897
Rhinoclavis sinensis 0.009 0.575
Cypraea moneta 0.027 0.067 1.724 8.824
Cypraea errones 0.009 0.044 0.575 5.882
Cypraea annulus 0.053 3.448
Strombus mutabilis 0.075 2.299
Strombus labiatus 0.018 1.149
36
Hasil analisa nilai frekuensi kehadiran filum moluska pada habitat berbatu,
yang memiliki nilai tertinggi yaitu spesies Engina mendicaria 0.157 ind/m2, kemudian
spesies morula margariticola dan Clypemorus subbrevicula dengan nilai sebesar 0.106
ind/m2. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa jenis tesebut memiliki penyebaran yang
cukup luas pada setiap transek pengamatan. Kondisi ini berkaitan dengan sebaran
substrat pada area ini yakni berbatu, patahan karang mati, sampai pasir berbatu yang
Morula Margariticola memiliki penyebaran yang luas erat kaitannya dengan kondisi
substrat yakni substrat berbatu, patahan karang mati, hingga pasir yang merupakan
mikrohabitat ideal bagi jenis tersebut. Spesies yang memiliki nilai frekuensi kehadiran
smaragdula, dan mitra stictica. Dengan nilai 0.009 ind/m2. Hasil ini memperlihatkan
bahwa spesies tersebut penyebarannya tidak luas pada area pengamatan atau hanya
Pada habitat berpasir spesies yang memiliki nilai frekuensi tertinggi yaitu
Morula margariticola sebesar 0.178 ind/m2 hal ini disebabkan spesies ini
luturmas (2009) bahwa spesies yang nilai frekuensi kehadirannya tinggi memiliki
37
penyebaran yang luas serta toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan.
fumosus, Trochus stellatus, Turbo agryrostoma, dan Cypraea errones sebesar 0.044
ind/m2.
Hasil nilai frekuensi dan frekuensi kehadiran relatif filum Arthropoda yang
ditemukan pada habitat berbatu dan berpasir disajikan dalam tabel berikut (Tabel 4.6).
Tabel 4.6 Frekuensi Kehadiran dan Frekuensi Kehadiran Relatif Filum Arthropoda
Spesies Frek.kehadiran (ind/m2) Frek.kehadiran relatif (%)
Berbatu Berpasir Berbatu berpasir
Etisus laevimanus 0.035 14.286
Thalamita stimpsoni 0.018 0.133 7.143 40
Atergatis floridus 0.027 10.714
Eriphia sebana 0.035 14.286
Pilodius granulatus 0.062 25.000
Thalamita crenata 0.009 3.571
Thalamita quadridens 0.018 0.089 7.143 26.667
Grapsus albolineatus 0.009 3.571
Pilumnus vespertilio 0.027 0.044 10.714 13.333
Actaeodes tomentosus 0.009 0.067 3.571 20
Total 0.248 0.333 100 100
Jenis yang memiliki nilai frekuensi kehadiran tertinggi pada habitat berbatu
yaitu Pilodius granulatus sebesar 0.062 ind/m2 (25,000%) dan Eriphia sebana sebesar
0.035 ind/m2 (14.286%). Nilai frekuensi kehadiran menunjukan penyebaran tiap jenis
yang ditemukan pada tiap transek pengamatan. Artinya, kedua jenis kepiting ini
memiliki penyebaran yang luas. Kepiting dari family pilumnidae yakni Pilodius
38
granulatus merupakan kepiting yang dapat ditemukan di daerah pasang surut sampai
pada kedalaman 75 m (Spivak dan Rodriguez, 2002 dalam Pratiwi dkk, 2015).
diperoleh yakni spesies Atergatis floridus yang memiliki nilai kepadatan tinggi tidak
termasuk dalam kategori spesies dengan nilai frekuensi yang tinggi pula, hal ini
disebabkan oleh perilaku malas bergerak dan cenderung diam yang dimiliki oleh
dalam Pratiwi, dkk 2015). Sedangkan jenis dengan frekuensi kehadiran terendah yakni
Grapsus albolineatus dan Actaeodes tomentosus sebesar 0.009 ind/m2 dan frekuensi
Pada habitat berpasir spesies dari filum Portunidae merupakan jenis yang
memiliki nilai frekuensi kehadiran tertinggi yakni Thalamita stimponi sebesar 0.1333
ditemukan paling dominan dari spesies yang lain dan didukung oleh kondisi
Hasil nilai frekuensi dan frekuensi kehadiran relatif filum Echinodermata yang
ditemukan pada habitat berbatu dan berpasir disajikan dalam tabel berikut (Tabel 4.7).
Pada habitat berbatu yang memiliki nilai frekuensi kehadian tertingi yaitu
spesies bintang mangular dari family Ophiocomidae yang memiliki penyebaran luas
dan mampu hidup pada berbagai kondisi substrat. Diperkuat oleh Setiawan (2018)
bahwa Ophiocoma dentata memiliki area tinggal terluas dengan tipe dasar beragam
meliputi area makroalga, lamun, bebatuan dan substrat pasir, sampai mendekati tubir.
Bulu babi jenis Echinometra mathaei dari famili Echinometridae merupakan jenis
paling banyak ditemukan setelah Ophiocoma dentate pada stasiun ini sebesar 0.292
substrat yang sesuai untuk kehidupan bulu babi ini. Karena pada stasiun ini ditemukan
substrat yakni pecahan terumbu karang. Diperkuat oleh Dobo (2009) bahwa
Echinometra mahaei merupakan jenis bulu babi yang berasosiasi pada kondisi substrat
yang keras seperti pecahan terumbu karang. Hal tersebut berarti bahwa habitat dan
Holothuria hilla meimiliki nilai frekuensi kehadiran terendah 0.027 ind/m2 (1.807%).
Diikuti oleh Holothuria coluber dan linckia laevigata 0.027 ind/m2 (1.807%) . Kondisi
Pada habitat berpasir Holothuria scabra merupakan jenis teripang dengan nilai
scabra merupakan jenis teripang yang banyak ditemukan pada substrat pasir dengan
pecahan-pecahan karang mati (Nirwana dkk, 2016) hal tersebut sesuai dengan tipe
substrat pada stasiun ini. .Sementara itu, spesies dengan nilai frekuensi kehadiran
terendah yaitu Echinorix calamaris 0.044 (3.448%) diikuti oleh Linckia laevigata
sebesar 0.067 ind/m2, frekuensi kehadiran relatif 5.172%. Berdasarkan perolehan nilai
perairan Hutumuri lebih tinggi dibandingkan perairan Suli sebesar 20.00% dan
kedua stasiun pengamatan berkisar antara 1.377 – 2.688 yang dikategorikan sedang.
Hal ini menunujukan jumlah jenis dan kepadatan dari biota relatif sedang yang
berbatu memiliki nilai yang cukup tinggi dibanding filum lainnya disebabkan karena
jenis yang diperoleh pada tiap transek jumlahnya lebih banyak terbukti dengan
ditemukannya 33 spesies. Diperkuat oleh Rusdiana, dkk (2014) bahwa jumlah spesies
Semakin besar nilai suatu keanekaragaman berarti semakin banyak jenis yang
didapatkan dan nilai ini sangat bergantung kepada nilai total dari individu masing
makrobentos dari indeks keseragamannya. Hasil analisa (tabel 4.8) menunjukan nilai
indeks keseragaman untuk ketiga filum pada habitat berbatu maupun berpasir berkisar
antara 0.359 – 1.801 nilai tersebut mendekati 1. Odum (1998) dalam Yasir (2017)
keseragaman jenis dalam komunitas rendah artinya kelimpahan individu tiap jenis
tidak sama, ada kecenderungan di dominasi oleh jenis tertentu. Sedangkan semakin
tinggi indeks keseragaman yakni mendekati 1 maka semakin tinggi keseregaman jenis,
penyebaran individu tiap jenis merata dan tidak ada spesies yang mendominasi.
spesies tertentu yang mendominasi. Untuk stasiun I yaitu habitat berbatu, ketiga filum
memiliki nilai indeks dominasi berkisar 0.105 – 0.324. Untuk stasiun II yaitu habitat
berpasir memiliki nilai indeks dominasi berkisar 0.176 – 0.281. Nilai yang diperoleh
pada kedua stasiun pengamatan dikategorikan rendah sesuai dengan kriteria indeks
dominansi jika D ≤ 0.3 maka dominansinya rendah. Artinya bahwa pada kedua
stasiun pengamatan tidak ada jenis tertentu yang mendominasi. Ditambahkan oleh
Yasir (2017) bahwa jika pada suatu habitat tidak ada jenis tertentu yang mendominasi
menunjukan bahwa organisme yang ada pada habitat atau perairan tersebut memiliki
formula Ludwig dan Reynold (1988) untuk masing-masing filum di perairan pantai
Negeri Hutumuri.
Pola sebaran jenis untuk filum moluska pada tipe habitat berbatu yaitu
mengelompok menurut Bahri (2014) pola sebaran mengelompok merupakan salah satu
strategis biologis organisme sebagai bentuk adaptasi dalam melindungi diri dari
predator, mempermudah pertemuan sel telur dan sel sperma pada musim memijah,
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan, dan sebagai indikasi bahwa tipe
substrat cocok bagi kehidupan spesies tersebut. Cara hidup yang berkelompok
menunjukkan kecenderungan yang kuat untuk berkompetisi dengan biota lain terutama
Terdapat 17 jenis yang memiiki pola sebaran seragam, menurut Pratami (2015)
jika pola sebaran spesies secara seragam artinya terdapat persaingan antar spesies
pada tiap transek pengamatan. Menurut Cambell et al (2004) dalam Pratami (2015)
pola sebaran acak yang ditunjukan oleh tiap spesies disebabkan oleh tidak adanya tarik
menarik atau tolak menolak antar individu atau tidak ada kecenderungan dari
44
populasi spesies tersebut. Untuk tipe habitat berpasir, seluruh jenis menunjukan pola
sebaran seragam.
Pola sebaran filum arthropoda pada 10 jenis kepiting yang ditemukan pada
habitat berbatu menunjukan pola sebaran seragam. Pada habitat berpasir empat spesies
menunjukan pola sebaran seragam. Sedangkan satu spesies menunjukan pola sebaran
terhadap lingkungan, sehingga spesies ini hidup berkelompok pada daerah yang
berkelompok. Jenis tersebut memiliki penyebaran yang luas karena disetiap transek
dari tiga sampai tujuh individu. Sementara Culcita sp, Actinopyga miliaris, Bohadscia
menunjukan pola sebaran seragam. Diperkuat oleh Husain, dkk (2017) bahwa teripang
Sedangkan Linckia laevigata menunjukan pola sebaran acak. Pada habitat berpasir,
kuadran maka data hasil identifikasi sumberdaya makrofauna bentos dibuat dalam peta
memanfaatkan biota dari kegiatan bameti maupun balobe dilakukan tanpa mengenal
musim, dimana terjadi air surut masyarakat akan turun ke pantai untuk mengambil
biota. Dalam seminggu masyarakat melakukan bameti dan balobe sebanyak empat
kali. Kegiatan pemanfaatan bameti dilakukan saat kondisi air surut di siang hari dan
balobe dilakukan saat kondisi air surut di malam hari, jenis sumberdaya yang
Jumlah masyarakat dalam sekali bameti bisa mencapai 20-30 orang, rata-rata
masyarakat yang melakukan bameti dan balobe tidak memiliki pekerjaan tetap
bergantung pada hasil bameti dan balobe. Dalam sekali bameti satu orang warga
dapat mengumpulkan biota sebanyak empat kilogram, hal ini tergantung lama orang
tersebut melakukan bameti jika bameti dilakukan dalam durasi waktu lebih lama
bameti dan balobe pada seluruh area pantai. Kawasan yang paling dominan terjadi
pemanfaatan sumberdaya pada pada habitat berpasir, transek satu sampai tiga dan
lokasi penelitian bahwa masyarakat setempat menjadikan stasiun satu transek 12 dan
13 sebagai tempat pembuangan sampah. Jenis sampah yang dominan pada lokasi ini
yaitu sampah plastik. Dampak yang ditimbulkan yaitu menghalangi penetrasi cahaya
selain itu juga dapat mengurangi estetika pantai akibat tumpukan sampah di perairan
merupakan salah satu kegiatan untuk menunjang kebutuhan konsumsi yang telah
berlangsung sejak tahun 1970. Area yang dominan dijadikan kawasan penangkapan
yaitu stasiun dua, saat menangkap ikan masyarakat menggunakan kalawai, panah, dan
jaring yang dibentangkan di atas lamun yang mengakibatkan habitat menjadi rusak
dan daun lamun gugur saat jaring ditarik, sehingga biota yang berasosiasi pada habitat
perahu saat berlabuh oleh nelayan, aktivitas ini memanfaatkan kawasan pantai
sebagai tempat berlabuh. Pada lokasi penelitian kawasan yang dijadikan area tambat
perahu yaitu stasiun satu transek empat dan lima, dan stasiun dua pada transek satu
dengan jumlah perahu sebanyak enam perahu. Kegiatan ini memberi dampak bagi
biota karena substrat sebagai habitat biota akan rusak akibat terseret perahu.
anak-anak untuk menjadikan pantai sebagai kawasan rekreasi salah satunya kawasan
berenang. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh anak-anak yang tinggal di negeri
Hutumuri ketika sore hari saat kondisi air pasang dan dilakukan setiap hari pada
stasiun satu transek 9-13, ketika berenang mereka mengambil atau mengangkat
bebatuan tempat melekatnya biota sehingga hal ini dapat mempengaruhi kehadiran
bentos di perairan pantai negeri Hutumuri tersaji dalam peta berikut (Gambar 4.4)
Makrofauna Bentos.
pohon masalah dapat diketahui permasalahan utama serta dampak yang ditimbulkan
masyarakat di Negeri Hutumuri hanya berkebun dan tidak memiliki penghasilan tetap
yang dilakukan pada perairan pantai Negeri Hutumuri. Aktivitas ini dilakukan sehari-
hari oleh masyarakat menggunakan alat tangkap yang dapat merusak habitat serta
penangkapan lebih terfokus pada spesies yang memiliki nilai komersil sehingga
Habitat terganggu
Habitat terjaga
Organisme terganggu
Hutumuri yaitu:
1. Adanya upaya perlindungan terhadap area penelitian yaitu transek 7-13 dalam
hal pengaturan waktu dan jumlah pengambilan terhadap spesies yang
memiliki kepadatan rendah seperti Nassarius olivaceus, Rhinoclavis sinensis,
Strombus labiatus, Tonna perdix, Latirolagena smaragdula, Tellina remies,
Vesticardium flavum, Mitra stictica, Turbo setosus, Conus ducurtata dan Cypraea
moneta.
2. Adanya advokasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga sumberdaya
3. Adanya sarana prasarana tempat sampah yang memadai dan advokasi kepada
darat.
5.1 Kesimpulan
1. Makrofauna bentos di perairan pantai negeri Hutumuri terdiri dari 3 filum yaitu filum
tetinggi ditunjukan oleh filum moluska, pola sebaran makrofauna bentos yaitu
yaitu secara temporal dan spasial. Aktivitas pemanfaatan yang terjadi di habitat
Adanya upaya perlindungan terhadap area penelitian yaitu transek 7-13 dalam
Vesticardium flavum, Mitra stictica, Turbo setosus, Conus ducurtata dan Cypraea
adanya sarana prasarana tempat sampah yang memadai dan advokasi kepada
5.2 Saran
Ode, I. 2014. Jenis-Jenis Alga Coklat Potensial diPerairan Pantai Desa Hutumuri
Pulau Ambon. Jurnal ilmiah agribisnis perikanan. Vol. 7(2).