Anda di halaman 1dari 77

POTENSI DAN POLA PEMANFAATAN MAKROFAUNA

BENTOS DI PERAIRAN PANTAI NEGERI HUTUMURI


KECAMATAN LEITIMUR SELATAN KOTA AMBON

SKRIPSI

OLEH :
MAGDALINA PESIWARISSA
NIM. 2016-63-004

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
LEMBARAN PENGESAHAN

POTENSI DAN POLA PEMANFAATAN MAKROFAUNA BENTOS DI


PERAIRAN PANTAI NEGERI HUTUMURI KECAMATAN LEITIMUR
SELATAN KOTA AMBON

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Pattimura

OLEH :
MAGDALINA PESIWARISSA
2016-63-004

Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir.L.Siahainenia, M.Si Y.A.Lewerissa, S.Pi,M.Si


NIP. 196711011993032002 NIP. 197708042003122001

Disahkan Oleh : Diketahui Oleh :


Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Ketua Jurusan MSP
Kelautan

Prof.Dr.Rer.Nat Ir.A.S.Khouw, M.Phil Dr. Ch. I. Tupan, S.Pi, M.Si


NIP. 196508311990101001 NIP. 196805171994032002
ii

DEDIKASI

“Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya

pada Tuhan”

(Yeremia 17:7)

“Sebab Tuhan, Dia sendiri akan berjalan didepanmu, Dia sendiri akan menyertai
engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau: janganlah takut dan janganlah patah
hati.”

(Ulangan 31:8)

Persembahan

“Ucapan syukur atas karunia dan berkat Allah yang melimpah bagi saya, skripsi ini
saya persembahkan kepada orang tua tercinta, saudara-saudara, sahabat, serta
almamater tercinta yaitu Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura”
iii

RIWAYAT PENDIDIKAN

MAGDALINA PESIWARISSA dilahirkan di Ambon, pada tanggal 29 maret 1998,

merupakan anak sulung dari pasangan Willem Pesiwarissa dan Clara

Heumasse/Pesiwarissa.

Jenjang pendidikan formal yang ditempuh penulis adalah:

- Pendidikan sekolah dasar pada tahun 2004-2010 di SD INPRES 17 Kayu

Putih.

- Pendidikan menengah pertama pada tahun 2010-2013 di SMP NEGERI 10

AMBON

- Pendidikan menengah atas pada tahun 2013-2016 di SMA KRISTEN

YPKPM AMBON.

- Pendidikan perguruan tinggi pada tahun 2016, melalui jalur SNMPTN, di

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jurusan Manajemen Sumberdaya

Perairan, Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan dan Ilmu Kelauan, maka penulis

melakukan penelitian dengan judul “Potensi dan Pola Pemanfaatan Makrofauan

Bentos di Perairan Pantai Negeri Hutumuri”.


iv

ABSTRAK

Magdalina Pesiwarissa, Nim:2016-63-004. Potensi dan Pola Pemanfaatan Makrofauna


Bentos di Perairan Pantai Negeri Hutumuri Kecamatan Leitimur Selatan, Kota
Ambon. Dibawah Bimbingan : Dr. Ir.L.Siahainenia,M.Si dan Y.A.Lewerissa, S.pi,M.Si.

Perairan Hutumuri terletak di Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon.

Perairan tersebut cukup kaya akan sumberdaya ikan, algae, dan makrofauna bentos.

Penelitian terkait potensi makrofauna bentos masih perlu dilakukan mengingat akan

adanya perubahan terhadap keberadaan sumberdaya tersebut serta kurangnya data dan

referensi terkait sumberdaya tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui potensi

dan pola pemanfaatan makrofauana bentos di perairan Hutumuri Kecamatan Leitimur

Selatan, Kota Ambon. Penelitian ini dilakukan pada bulan desember – juni 2020,

pengambilan sampel dilakukan dengan metode belt transek pada dua lokasi yaitu

habitat berbatu dan berpasir. Hasil penelitian menunjukan terdapat tiga filum

sumberdaya makrofauana bentos yaitu moluska, arthropoda dan echinodermata

berdasarkan kelompok filum yang memiliki kepadatan tertinggi yaitu filum moluska.

Indeks keanekaragaman untuk ketiga filum tergolong sedang, indeks keseragaman

tinggi dan dominansi rendah. Pola penyebaran makrofauna bentos yaitu berkelompok,

acak, seragam. Pola pemanfaatan makrofauana bentos yaitu secara temporal dan

spasial dengan aktivitas pemanfaatan yang dilakukan adalah bameti dan balobe,

pembuangan sampah, penambatan perahu, penangkapan ikan dan kawasan berenang.


v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena

atas berkat serta penjagaannya sehingga penelitian dengan judul “Potensi dan Pola

Pemanfaatan Makrofauna Bentos Diperairan Pantai Negeri Hutumuri” dapat

terselesaikan dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi salah satu syarat

kelulusan program Sarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan Unoversitas Pattimura.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan doa dari semua pihak akan

sangat sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis sangat mengharapkan masukan

dari para pembaca demi perbaikan skripsi ini kedepan. Penulis berharap kiranya

skripsi ini dapat bermanfaat bagi teman-teman mahasiswa yang membutuhkan

sebagai referensi pendukung.

Ambon, Agustus 2020

Penulis
vi

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBARAN JUDUL ..………..………………………………………………


LEMBARAN PENGESAHAN ……………………..…………………………
DEDIKASI …………………………………………..………………………… i
RIWAYAT PENDIDIKAN …………………………………………………… ii
KATA PENGANTAR ..…………………………………..…………………… iii
UCAPAN TERIMA KASIH …………………………….……………………. iv
ABSTRACT ………………………………………………..………………….. v
ABSTRAK …………………………………………………….……………….. v
RINGKASAN ………………………………………………………………….. v
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… vi
DAFTAR TABEL .……..…………………………………..………………… vii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………… vii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ……………………….………………………….. 1
1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………..… 3
1.3. Tujuan Penelitian ………………...………………………………. 4
1.4. Manfaat Penelitian ………….…………………………………… 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Potensi Sumberdaya Alam Pesisir ..…………………………….. 5
2.1.1. Potensi Sumberdaya Di Maluku……………………….….. 6
2.2 Makrofauna Bentos …………………………………….……..…. 7
2.2.1 Klasifikasi Makrofauna Bentos ……………………………. 9
2.2.2 Habitat dan Distribusi Makrofauna Bentos ……………..…. 10
2.3 Pemanfaatan Sumberdaya Di Wilayah Pesisir ……………………. 11
2.4 Permasalahan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ………..……. 12
vii

BAB III. METODE PENELITIAN


3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian…………………….……………… 13
3.2. Alat dan Bahan …………………………….………….………… 14
3.3. Metode Pengambilan Data ……………………………………… 14
3.3.1. Metode Sampling ……………………………….……….. 14
3.3.2. Pola Pemanfaatan Makrofauna Bentos …………………. 15
3.3.3. Arahan Pengelolaan ………………………...……………. 15
3.4. Metode Identifikasi Jenis Makrofauna Bentos …………………. 15
3.5. Metode Analisa Data ……………….…………………………… 16
3.5.1. Kondisi Sumberdaya Makrofauna Bentos..………………. 16
3.5.1.1. Komposisi Jenis Makrofauna Bentos……………. 16
3.5.1.2. Distribusi Makrofauna Bentos ……………...……. 16
3.5.1.3. Kepadatan ………….……….………….……..…. 17
3.5.1.4. Keanekarangaman, Keseragaman, Dominansi..… 18
3.5.2. Pola Pemanfaatan Makrofauna Bentos ………………….. 19
3.5.3. Arahan Pengelolaan Sumberdaya Makrofauna Bentos.…. 20
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……………………………………... 21
4.2. Parameter Lingkungan…….…………………………………….. 22
4.3. Komposisi Sumberdaya Makrofaunabentos……………….……. 23
4.4 Kepadatan Makrofauna Bentos ……….…………………………. 25
4.4.1 Filum Moluska………………………….…....…………… 25
4.4.2 Filum Arthropoda………………………….……………… 26
4.4.3. Filum Echinodermata…………….………………............. 27
4.5. Frekuensi Kehadiran…………………………………………….. 28
4.5.1. Filum Moluska…………………………………………… 28
4.5.2. Filum Arthropoda………………………….………………. 34
4.5.3. Filum Echinodermata………………………………………. 39
4.6. Nilai indeks keaenekaragaman, keseragaman, dan Dominansi…… 44
4.6.1. Indeks keanekaragaman (H) …………………….…………. 44
viii

4.6.2. Indeks Keseragaman (E) ……………………………….….. 45


4.6.3. Indeks Dominansi (D) …………………………………..... 45
4.7. Pola penyebaran makrofauna bentos…………………………….
4.8. Distribusi spasial makrofauna bentos……………………………
4.9. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Makrofauna Bentos .……………. 46
4.10 Analisis Pohon Masalah dan Pohon Tujuan Pengelolaan Sumberdaya
Makrofauna Bentos …………………………………………………... 48
4.11. Arahan Pengelolaan……………………………………………… 52
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan …………………………………………….……….. 53
5.2. Saran …………………………………………………….……… 53

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1. Alat dan Bahan……………………………………………………….. 16


4.1. Komposisi makrofaunabentos diperairan pantai Negeri Hutumuri ….. 26
4.2. Kepadatan, kepadatan relatif, potensi filum moluska ……………. 28
4.3. Kepadatan, kepadatan relatif, potensi filum arthropoda…………… 31
4.4 Kepadatan, kepadatan relatif, potensi filum echinodermata………… 33
4.5 Frekuensi kehadiran, frekuensi kehadiran relatif filum moluska……. 36
4.6 Frekuensi kehadiran, frekuensi kehadiran relatif filum arthropoda….. 38
4.7 Frekuensi kehadiran, frekuensi kehadiran relatif filum echinodrmata 39
4.8 Indeks ekologi……………………………………………………….. 43
4.9 Pola sebaran filum moluska………………………………………… 45
4.10 Pola sebaran filum arthropoda………………………………………. 46
4.11 Pola sebaran filum echinodermata……………………………………. 47
4.12 Jenis sumberdaya yang dimanfaatkan………………………………... 51
x

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

3.1. Peta lokasi penelitian 15


4.1. Peta distribusi spasial filum moluska…………………………… 48
4.2. Peta distribusi spasial filum arthropoda…………………………. 49
4.3. Peta distribusi spasial filum echinodermata…………………….. 50
4.4. Peta area pemanfaatan perairan hutumuri…………… 52
4.5. Pohon masalah dan tujuan pemanfaatan makrofauna bentos 54
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Maluku adalah provinsi yang terdiri dari pulau besar dan pulau kecil yang

memiliki luas lautan sebesar 658.274,69 km2 dengan panjang garis pantai sebesar

10.662,92 km2 (Ayal, dkk 2013) menjadikan sistem ruang Maluku termasuk dalam

kawasan pesisir yang memiliki sumberdaya bernilai tinggi ditandai dengan adanya

ekosistem penting yaitu mangrove, lamun, dan terumbu karang. Perairan Maluku

merupakan perairan tropis dengan karakteristik perairan yang stabil dengan adanya

ekosistem penting tersebut, sehingga merupakan habitat yang cocok untuk

mendukung keberlangsungan hidup biota-biota perairan. Hal tersebut menjadikan

perairan Maluku memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi khususnya komunitas

makrofauna bentos yang terdiri dari filum moluska, arthropoda, echinodermata, dan

cnidaria.

Negeri Hutumuri merupakan salah satu kawasan pesisir yang terletak di

Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon yang memiliki karakteristik wilayah

dengan kondisi perairan yang terbuka sehingga kondisi lingkungan di perairan ini

memiliki dinamika yang dipengaruhi oleh hempasan arus dan gelombang yang

mengakibatkan terdapat dua eksosistem penting yaitu ekosistem lamun dan terumbu

karang, juga memiliki potensi sumberdaya ikan dan algae (Pical 2013). Tipe substrat

perairan ini yaitu berbatu, berpasir, dan pasir bercampur patahan karang mati, tipe
2

substrat merupakan faktor penting yang mendukung pertumbuhan dan

keberadaan sumberdaya. Tipe substrat berbatu hingga pasir bercampur patahan

karang mati di perairan Hutumuri mendukung keberadaan organisme makrofauna

bentos karena merupakan habitat bagi jenis organisme tersebut (Ode,2014).

Adanya potensi sumberdaya laut yang besar serta peningkatan kebutuhan

menyebabkan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir sangat bergantung pada

sumberdaya yang ada sebagai sumber mata pencaharian maupun sumber makanan.

Sebagian masyarakat di wilayah pesisir Hutumuri memanfaatkan perairan pantai

untuk mengambil sumberdaya makrofauna bentos. Hal tersebut dilakukan melalui

aktivitas Bameti (pengambilan sumberdaya pada kondisi air surut di siang hari) dan

Balobe (pengambilan sumberdaya pada kondisi air surut dimalam hari) untuk

menunjang kebutuhan hidup. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil

wawancara dengan masyarakat bahwa, kegiatan bameti dan balobe sumberdaya

makrofauna bentos sudah dilakukan selama belasan tahun dengan jenis biota yang

sering diambil yaitu Turbo setosus, Turbo chrysostomus, Trochus stellatus, Tellina

remies dan cypraea. Mengingat sumberdaya makrofauna bentos memiliki nilai

ekonomis dan ekologis, serta pentingnya keberlanjutan sumberdaya makrofauna

bentos akibat kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat, maka dari itu dilakukan

penelitian pada perairan pantai negeri Hutumuri untuk mengetahui potensi dan pola

pemanfaatan makrofauna bentos serta merumuskan arahan pengelolaannya.


3

1.2 Rumusan Masalah

Potensi dan pola pemanfaatan sumberdaya makrofauna bentos yang ada di

wilayah pesisir merupakan hal mendasar yang perlu diketahui sebab wilayah pesisir

merupakan daerah produktif dengan potensi sumberdaya yang secara langsung

dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kegiatan

pemanfaatan yang didasari kurangnya pemahaman masyarakat tentang pengelolaan

sumberdaya secara berkelanjutan dapat mempengaruhi keberdaan dan keberlanjutan

sumberdaya perairan.

Sebagian masyarakat di Negeri Hutumuri memanfaatkan perairan yang ada

untuk mengambil organisme bentos bagi kebutuhan pangan. Berdasarkan informasi

awal dari masyarakat diketahui bahwa kegiatan pengambilan organisme bentos ini

sudah berlangsung sangat lama bahkan beberapa diantaranya sudah melakukannya

dari tahun 1970, tingkat pemanfaatan yang dilakukan terus menerus tersebut

menyebabkan menurunnya populasi beberapa spesies seperti jenis Cypraea karena

sudah jarang ditemukan. Selain itu, adanya pemanfaatan yang dilakukan pada habitat

makrofauna bentos seperti aktivitas pembuangan sampah, tambatan perahu, dan

penangkapan ikan dapat mempenaruhi keberadaan makrofauna bentos.

Berdasarkan uraian masalah diatas, maka dirumuskan pertanyaan melalui

penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana potensi sumberdaya makrofauna bentos pada perairan pantai Negeri

Hutumuri?
4

2. Bagaimana pola pemanfaatan sumberdaya makrofauna bentos di perairan pantai

Negeri Hutumuri?

3. Bagaiman arahan pengelolaan sumberdaya makrofauna bentos di perairan pantai

Negeri Hutumuri?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Menganalisa potensi (komposisi spesies, kepadatan dan frekuensi kehadiran,

indeks ekologi, pola seebaran dan distribusi spasial) sumberdaya makrofauna

bentos yang ada di perairan pantai Hutumuri,

2. Menganalisa pola pemanfaatan sumberdaya makrofauna bentos di perairan pantai

Hutumuri.

3. Merumuskan arahan pengelolaan sumberdaya makrofauna bentos di perairan

pantai Hutumuri.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu memberikan informasi tentang potensi dan

pola pemanfaatan sumberdaya makrofauna bentos pada perairan pantai negeri

Hutumuri sebagai dasar pengelolaan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Potensi Sumberdaya Alam Pesisir

UU RI No.1 tahun 2014 mendefenisikan Wilayah pesisir sebagai daerah

peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat

dan laut sehingga wilayah pesisir memiliki karakteristik yang menjadikan daerah ini

memiliki potensi keanekaragaman sumberdaya alam yang tinggi. Sumberdaya di

wilayah pesisir teridiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih dan sumberdaya alam

yang tidak dapat pulih, sumberdaya yang dapat pulih meliputi sumberdaya perikanan

(plankton, benthos, ikan, moluska, crustasea, mamalia laut), rumput laut (seaweed),

12 jenis lamun, 38 jenis mangrove, dan 354 jenis karang dengan 14.000 jenis

terumbu karang yang tersebar diseluruh kepulauan Indonesia. Sedangkan sumberdaya

tak dapat pulih antara lain mencakup minyak dan gas, biji besi, pasir, timah, bauksit,

dan mineral serta bahan tambang lainnya. Sumberdaya tersebut telah menjadi sumber

pendapatan bagi masyarakat terutama dari sektor perikanan, petambangan dan jasa-

jasa lingkungan (pariwisata) serta perhubungan laut yang menunjang pembangunan

ekonomi nasional (Dahuri, 2004 dalam Daurand, 2010).

Sumberdaya pesisir dan perikanan atau kelautan pada hakekatnya memiliki

sifat terbaharukan (renewable) melalui mekanisme siklus alamiah. Namun apabila

tingkat konsumsi melebihi kecepatan proses siklus alamiah, akan mengalami

kelangkaan. Dengan adanya berbagai sumberdaya alam yang cukup tinggi baik hayati
6

maupun non hayati, apabila dikelola semaksimal mungkin akan dapat

meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat.

2.1.1 Potensi Sumberdaya Di Maluku

Provinsi Maluku merupakan wilayah dengan sistem pembangunan berbasis

kepulauan. Dengan karakteristik wilayah yang heterogen dan didominasi oleh laut

menjadikan potensi pengembangan yang besar. Menurut pusat data statistik dan

perikanan provinsi Maluku (2013) perairan Maluku memiliki potensi besar dalam

sektor perikanan dan kelautan sebagai sektor unggulan pembangunan perekonomian

daerah provinsi Maluku. Sumberdaya yang terkandung didalamnya meliputi:

1. Sumberdaya hayati

Mangrove (1.322,907 km2), padang lamun (393,07 km2), dan terumbu karang

(1.323,34 km2) selain itu (Luanmas, 2018).

2. Sumberdaya perikanan

Potensi sumberdaya perikanan terdiri dari sumberdaya ikan pelagis, demersal,

dan biota bernilai ekonomis lain. Selain itu terdapat 969 jenis kerang-

kerangan terdiri dari 665 jenis siput dengan 13 jenis bernilai ekonomis dan

274 jenis karang dengn 21 jenis bernilai ekonomis.

3. Sumberdaya kelautan

Laut yang merupakan potensi besar Maluku telah menghasilkan berbagai

peluang pengembangan sebagai pra sarana transportasi laut, industri,

pertahanan dan keamanan, dan lain-lain.


7

2.2 Makrofauna Bentos

Bentos merupakan kelompok organisme yang hidup di dalam atau di

permukaan sedimen dasar perairan. Bentos memiliki sifat kepekaan terhadap

beberapa bahan pencemar, mobilitas yang rendah, mudah ditangkap dan memiliki

kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam

keseimbangan suatu ekosistem perairan dapat menjadi indikator kondisi ekologi

terkini pada kawasan tertentu (Nyabakken,1992 dalam Afrizal 2016). Bentos

merupakan organisme yang hidup dibagian dasar perairan atau hidup didasar endapan

(demersal).

a. Filum Moluska

Moluska merupakan hewan bertubuh lunak, nama tersebut berasal dari

bahasa latin molis artinya lunak dan digunakan pertama kali oleh Zoologist Prancis

Cuvier tahun 1798, saat mendeskripsikan sotong dan cumi. Sebagian besar jenis

moluska hidup di lingkungan laut, sekitar 25% hidup diperairan tawar dan daratan.

Moluska dijumpai mulai dari daerah pinggiran pantai hingga laut dalam, menempati

daerah terumbu karang, sebagian membenamkan diri dalam sedimen, beberapa dapat

dijumpai menempel pada tumbuhan laut. Umumnya moluska berselebung sebuah

mantel yang merupakan batas ruang mantel itu sendiri. Semua moluska selalu

mempunyai massa muscular, disebut kaki yang bentuk dan fungsinya bervariasi

menurut kelasnya. Moluska mempunyai anggota yang bentuknya sangat

beranekaragam, dari bentuk silindris, cacing, tidak mempunyai kaki maupun

cangkang, sampai hampir bulat tanpa kepala dan tertutup dua keeping cangkang
8

besar. Moluska juga memiliki peranan penting bagi lingkungan perairan yaitu sebagai

bioindikator kesehatan lingkungan dan kualitas perairan (Septiana, 2017).

b. Filum Arthropoda

Filum Arthropoda merupakan makrozoobentos pada karang. Anggota Filum

Arthropoda yang paling terkenal adalah Crustacea yang hidup pada terumbu karang.

Crustacea adalah suatu kelompok besar dari arthropoda, terdiri dari kurang lebih

52.000 spesies yang terdeskripsikan, dan biasanya dianggap sebagai suatu subfilum.

Kelompok ini mencangkup hewan-hewan yang cukup dikenal seperti lobster,

kepiting, udang dan karang. Mayoritas merupakan hewan akuatik, hidup di air tawar

atau laut, walaupun beberapa kelompok telah beradaptasi dengan kehidupan darat,

seperti kepiting darat. Mayoritas dapat bebas bergerak, walaupun beberapa takson

bersifat parasit dan hidup dengan menumpang pada inangnya (Alimudin, 2016).

c. Filum Echinodermata

Echinodermata berasal dari bahasa Yunani yaitu Echinos artinya duri dan

Derma artinya kulit. Secara umum Echinodermata berarti hewan yang berkulit duri.

Hewan ini memiliki kemampuan autotomi serta regenerasi bagian tubuh yang hilang,

putus atau rusak. Semua hewan yang termasuk dalam kelas ini bentuk tubuhnya

simetris radial dan kebanyakan mempunyai endoskeleton dari zat kapur dengan

memiliki tonjolan berupa duri. Echinodermata merupakan hewan invertebrata yang

memiliki duri pada permukaan kulitnya. Filum Echinodermata terdiri atas 5 kelas,

masing masing dari kelas tersebut memiliki peranan tersendiri terhadap ekologi laut.

Asteroidea (bintang laut) dan Ophiuroidea (bintang mengular) memiliki peranan

sebagai pelindung karang dari pertumbuhan alga yang berlebihan. Holothuroidea dan
9

Echinoidea memiliki peranan sebagai pendaur ulang nutrient. Echinodermata disebut

sebagai kunci ekologi yang berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut.

Hewan ini dapat dijumpai di perairan laut Indonesia dengan jumlah berlimpah karena

keberadaannya dipengaruhi oleh ekosistem terumbu karang yang merupakan salah

satu habitat bagi Echinodermata (Arianto, 2016).

d. Filum Cnidaria

Filum Cnidaria nerupakan makrofauna bentos pada karang yang meliputi

ubur-ubur, hydra, anemone laut, dan hewan karang. Filum ini disebut Cnidaria

karena memiliki knidosit atau sel-sel penyengat yang terdapat pada epidermisnya.

Cnidaria termasuk ke dalam hewan yang memiliki simetri radial. Hewan radial hanya

memiliki bagian dorsal (atas) dan bagian ventral (bawah) atau bagian oral (mulut) dan

bagian aboral, tapi tidak ada bagian anterior (kepala) dan posterior (ekor). Cnidaria

juga disebut Coelenterata karena mempunyai rongga besar di tengah-tengah tubuh.

Coelenterata berasal dari kata coilos (berongga) dan enteron (usus). Jadi, semua

hewan yang termasuk filum ini mempunyai rongga usus (gastrovaskuler) yang

berfungsi untuk pencernaan (Alimudin, 2016)

2.2.1 Klasifikasi Makrofauna Bentos

Hutabarat dan Evans dalam Chalid (2014) menjelaskan hewan bentos yang

hidup di substrat dasar perairan dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan sesuai

dengan ukurannya yaitu:

a. Makrobentos yang berukuran > 1 mm, merupakan kelompok terbesar dan terdiri

dari makrofitobentos dan makrozoobentos.


10

b. Meiobentos atau mesobentos yang berukuran 0.1 mm sampai 1 mm, merupakan

kelompok hewan kecil yang banyak ditemukan di pasir atau lumpur. Termasuk

didalamnya moluska kecil, cacing kecil dan kerustasea kecil.

c. Mikrobentos yang berukuran < 0.1 mm, termasuk dalam kelompok ini adalah

protozoa, khususnya ciliata.

2.2.2 Habitat Dan Distribusi Makrofauna Bentos

Makrofauna bentos merupakan organisme yang banyak ditemukan di perairan

laut, estuary , maupun perairan tawar. Menurut habitatnya makrofauna bentos dapat

dikelompokkan menjadi infauna dan epifauna. Infauna adalah makrofauna bentos

yang hidupnya terpendam di dalam substrat perairan dengan cara menggali lubang,

Sebagian hewan tersebut bersifat sesil. Epifauna adalah makrofauna bentos yang

hidup di permukaan dasar perairan, gerakannya lambat di atas permukaan substrat

yang lunak atau menempel dengan kuat pada substrat padat yang terdapat di dasar.

Kelompok infauna sering mendominasi komunitas substrat yang lunak dan

melimpah di daerah subtidal, sedangkan kelompok epifauna dapat ditemukan pada

semua jenis substrat tetapi lebih berkembang pada substrat yang keras dan melimpah

di daerah intertidal. Kondisi lingkungan seperti substrat dasar dan kedalaman dapat

menggambarkan variasi yang amat besar bagi distribusi makrofauna bentos, sehingga

sering dijumpai perbedaan jenis pada daerah yang berbeda. Adaptasi makrofauna

bentos pada substrat yang keras berbeda dengan makrofauna bentos yang hidup pada

substrat yang lunak. Perbedaan ini dapat dilihat dari bentuk morfologi, cara makan,

adaptasi terhadap faktor fisik, seperti perubahan temperatur, salinitas dan terhadap

faktor-faktor kimia (Mann dan Barnes 1991 dalam Suharianto, 2016).


11

2.2.3 Makrofauna Bentos di Perairan Maluku

Makrofauna bentos memiliki penyebaran yang luas pada seluruh perairan

Indonesia, potensi yang besar tersebut juga dapat ditemukan pada perairan Maluku

melalui beberapa penelitian terkait komposisi makrofauna bentos.

2.2.3.1 Komposisi Makrofauna Bentos di Pesisir Pulau Saparua, Maluku Tengah

Pulau Saparua merupakan salah satu pulau di wilayah Maluku Tengah yang

memiliki ekosistem lengkap, ditambah kondisi parameter lingkungan yang sangat

mendukung pertumbuhan makrofauan bentos di perairan tersebut. Berdasrkan

penelitian Pelupessi (2017) total didapatkan sebanyak 641 individu moluska dari 107

jenis yang terdiri atas 85 jenis Gastropoda dan 22 jenis Bivalvia. Jenis yang paling

banyak ditemukan di antaranya Littoraria scabra (Littorinidae), Cypraea annulus

(Cypreidae), Terebralia sulcata (Potamididae), Clypeomorus battilariaeformis

(Cerithiidae), dan Nerita chamaeleon (Neritidae). Komunitas moluska yang ada

memiliki keanekaragaman yang sedang dan merata dengan dominansi jenis yang

rendah. Setidaknya, terdapat 35 spesies moluska yang dapat dimanfaatkan menjadi

berbagai macam komoditi seperti produk makanan, aksesoris/hiasan, dan bahan baku

obat-obatan.

2.2.3.2 Komposisi Makrofauna Bentos di Perairan Pantai Negeri Tulehu,


Maluku Tengah

Perairan negeri Tulehu merupakan wilayah pesisir yang memiliki ekosistem

lamun yang berdampingan dengan sumber daya hayati laut yang lainnya seperti

mangrove, algae, mollusca, dan lain-lain. Ekosistem lamun pada perairan pantai
12

negeri Tulehu memiliki penyebaran yang cukup luas yang mendukung kehidupan

organisme makrofauana bentos. Berdasarkan penelitian Tuapatinaya (2015)

komposisi makrofauna bentos yang didapatkan yaitu empat jenis echinodermata

yaitu satu jenis mewakili kelas Asteroidea, satu jenis mewakili kelas Ophiuroidea,

dan dua jenis mewakili kelas Echinoidea. Pada penelitian ini didapatkan empat jenis

echinodermata yang terbagi menjadi tiga kelas yaitu kelas Asteroidea, kelas

Ophiuturoidea, dan kelas Echinoidea. Berikut ini diuraikan jenis-jenis echinodermata

yang ditemukan pada kedua stasiun penelitian yaitu Archaster typicus, Ophiocoma

erinaceus, Diadema setosum dan Laganum depressum.Dari tiga kelas yang

ditemukan pada kedua stasiun penelitian jenis Archaster typicus yang banyak

ditemukan karena berhabitat yang berpasir. juga ditemukan 19 Jenis Mollusca yang

terdiri dari dua jenis dari kelas Bivalvia dan 17 jenis dari kelas Gastropoda.

2.3 Pemanfaatan Sumberdaya Di Wilayah Pesisir

Permasalahan pemanfaatan sumberdaya pesisir tidak hanya menjadi masalah

nasional tetapi juga menjadi permasalahan global. Kerusakan sumberdaya laut dan

pesisir akibat pemanfaatan berlebih serta pengelolaan yang kurang baik di masa lalu

menjadi perhatian yang cukup serius bagi Indonesia. Sekitar 60 persen penduduk

Indonesia tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai yang terdiri dari berbagai mata

pencaharian termasuk nelayan. Hal tersebut meyebabkan masyarakat di wilayah

peisisir terus memanfaatkan sumberdaya laut untuk memenuhi berbagai kebutuhan

menyebabkan potensi sumberdaya laut pada beberapa wilayah perairan Indonesia

telah mengalami over eksploitasi.


13

Sumberdaya laut dan pesisir Indonesia selama ini mengalami eksploitasi

berlebihan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan

keberlanjutan sumberdaya laut tersebut. Banyak kebijakan-kebijakan yang diambil

cenderung hanya melihat jangka pendek semata dan hanya berorientasi pada hasil

besar dan cepat tanpa memperhatikan stabilitas lingkungan laut dan pesisir dalam

jangka panjang. Hal ini diperparah oleh kurangnya pengawasan pemerintah sehingga

menimbulkan ancaman terhadap keberlangsungan sumberdaya laut dan pesisir.

Perkembangan eksploitasi sumberdaya laut dan pesisir telah menjadi suatu bidang

kegiatan ekonomi yang dikendalikan oleh pasar terutama jenis yang bernilai eknomis

tinggi, sehinnga tingkat eksploitasi sumberdaya laut dan pesisir terjadi dalam skala

yang besar (Stanis, 2005).

2.4 Permasalahan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Tingginya potensi sumberdaya laut menjadikan perikanan sebagai bidang

dengan prospek yang baik untuk dikembangkan. Namun, untuk mewujudkan

perikanan sebagai faktor yang unggul baik dalam hal sarana prasarana sampai

pengembangan biota laut untuk pemanfaatan secara optimal dan tetap berkelanjutan

masih mengalami kendala sebab masih bertentangan dengan sistem sosial masyarakat

yang tidak dapat dikendalikan.

Kondisi yang sering terjadi bekaitan dengan sumberdaya manusia itu sendiri.

Suatu ekosistem lingkungan beserta biota didalamnya terjaga dengan baik dan tetap

dirasakan oleh generasi yang akan datang apabila dimanfaatkan oleh sumberdaya

manusia yanag berkualitas. Hal sebaliknya, ekosistem serta biota akan rusak karena

dimanfaatkan oleh sumberdaya manusia yang tidak berkualitas karena pola


14

pemanfaatan yang tidak terkontrol sebab faktor utamanya adalah untuk pemenuhan

kebutuhan sehingga sangat sulit untuk dilakukan upaya pengelolaan. Agar

sumberdaya laut dapat juga dimanfaatkan oleh generasi penerus, maka data sumber

daya laut dan pesisir sangat dibutuhkan dalam rangka pembangunan dan pengelolaan

wilayah laut dan pesisir yang lebih baik dan berkelanjutan (Sipahelut, 2010).
BAB III

METODE PENELITIAN

2.3 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2019 sampai Juli 2020, dan

berlokasi di perairan pantai negeri Hutumuri Kecamatan Leitimur Selatan, Kota

Ambon.

Gambar 3.1. Peta Lokasi penelitian


16

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian beserta fungsinya

terlihat pada Tabel 3.1:

Tabel 3.1. Alat dan Bahan

No Alat dan Bahan Kegunaan


1. Meter Roll Untuk mengukur jarak antar transek
2. Kuadran ukuran 1 × 1 Sebagai kotak pengamatan sampel
3. Plastik sampel Wadah penampung sampel makrofauna bentos
4. Thermometer Untuk mengukur suhu perairan
5. Refraktometer Untuk mengukur salinitas perairan
6. Lembaran data Mengisi data yang diperoleh saat peneltiaan
7. GPS Menentukan titik koordinat
8. Alat tulis menulis Mencatat data yang diperoleh
9. Tabel pasang surut Untuk melihat periode pasang surut air laut
10. Mikroskop Untukmengamati spikula teripang
11. Pisau kater Memotong bagian integument teripang
12. Larutan pemutih Menghancurkan integument teripang
13. Pipet Meneteskan larutan kalibrasi
14. Nampan Wadah untuk meletakan teripang
15. Buku identifikasi Untuk proses mengedentifikasi sampel makrofauna
16. Kamera digital Untuk dokumentasi
17. Software ArcGis 10.3 Membantu dalam pemetaan
18. Alkohol 70% Umtuk mengawetkan sampel
19. Aquades Sebagai larutan kalibrasi
20. Makrofauna bentos Sampel

3.3 Metode Pengambilan Data


3.3.1 Potensi Sumberdaya Makrofauna Bentos
Sampling untuk mengetahui potensi makrofauna bentos maka area sampling

dibagi dalam dua tipe habitat yakni pada habitat yang didominasi substrat berbatu

(batu berpasir, patahan karang) dan habitat yang didominasi oleh substrat berpasir

(pasir berlumpur, pasir berbatu, pasir bercampur patahan karang). Pengambilan

sampel untuk filum moluska, arthropoda, echinodermata dilakukan pada kondisi air
17

surut disiang hari, untuk pengambilan sampel teripang dilakukan pada kondisi air

surut di malam hari. Sampel diambil pada permukaan substrat menggunakan metode

belt transek dengan jarak antar transek 50 m tanpa jarak antar kuadran dalam plot

berukuran 1x1 m pada setiap plot sampel dihitung dan dicatat jumlah setiap jenis

yang ditemukan. Selanjutnya setiap sampel dimasukan ke dalam kantong plastik yang

telah diberi tanda dan diawetkan dengan alkohol 70%.

3.3.2 Pola pemanfaatan Makrofauna Bentos

Untuk mengetahui pola pemanfaatan sumberdaya makrofauna bentos

dilakukan observasi langsung, wawancara dan penyebaran kuisioner terhadap 20

responden dengan kriteria sebagai nelayan, pengumpul biota, dan masyarakat yang

telah lama tinggal di negeri Hutumuri sehinggga memperoleh informasi pola

pemanfaatannya.

3.3.3 Arahan Pengelolaan

Data yang dikumpulkan melalui wawancara dengan responden yakni

masyarakat yang lebih mengetahui mengenai kegiatan pemanfaatan. Hasil wawancara

yang diperoleh akan dibandingkan dengan observasi langsung di lapangan sehingga

diperoleh data yang lebih akurat.

3.4. Metode Identifikasi Makrofauna Bentos

Metode yang digunakan dalam identifikasi jenis makrofauna bentos yaitu

dengan melakukan pengamatan morfologi untuk masing-masing filum yaitu:


18

a. Filum Moluska : meliputi bentuk, ukuran, dan warna setiap spesies

menggunakan referensi menurut Dance (1990), Dharma (1988, 1992), dan

Kenneth (2000)

b. Filum Arthropoda : pengamatan terhadap bagian dorsal, warna, dan jumlah

ruas menggunakan referensi menurut Jones dan Morgan (1994)

c. Filum Echinodermata : digunakan referensi menurut Clark & Rowe (1971),

Cannon & Silver (1987) Identifikasi teripang dilakukan dengan identifikasi

bentuk spikula dengan cara sebagai berikut:

 Mengiris integument teripang menggunakan cutter pada bagian dorsal dan

ventral dengan ketebalan 1-2 cm kemudian diletakan dalam cawan.

 Cairan bayclin sebanyak 0,5 ml dipipet kedalam cawan didiamkan selama 10-

15 menit sampai jaringan tubuh hancur, dan spikula terkumpul didasar cawan.

 Memipet supenatan sehigga hanya spikula yang tertinggal dalam cawan.

 Spikula dibilas dengan aquades.

 Spikula dipindahkan ke kaca objek menggunakan pipet dan dilihat dibawah

mikroskop dengan perbesaran 10x10.

 Spikula yang telah dilihat kemudian dipotret.


19

3.5. Metode Analisa Data


3.5.1 Potensi Sumberdaya Makrofauna Bentos

3.5.1.1 Komposisi Jenis Makrofauna Bentos

Mengetahui komposisi dari setiap jenis makrofauna bentos maka data spesies

yang telah diidentifikasi menggunakan panduan buku identifikai diklasifikasikan

menurut filum, kelas, ordo, family, genus, dan spesies dan ditabulasi dalam bentuk

tabel.

3.5.1.2 Kepadatan dan Kepadatan Relatif

Nilai kepadatan individu makrofauna bentos dihitung dengan formula (krebs 1978)

yaitu:

K= ¿
a

Ket:
K : Kepadatan
ni : Jumlah individu suatu spesies (indv)
a : Luas area pengambilan contoh (m2)
Kepadatan suatu spesies
Kepadatan relatif ( % ) = x 100
Kepadatan semua spesies

Potensi dihitung menggunkan formula yang dikemukakan oleh (Sloan, 1985 dalam

Lewerrissa, 2014)

Potensi (ind) = Kepadatan (ind/m2) x Luas area penelitian (m2)


20

3.5.1.3 Frekuensi Kehadiran dan Frekuensi Kehadiran Relatif

Nilai frekuensi kehadiran dihitung dengan formula (krebs 1978) yaitu:

Jumlah kuadrat ditemukannya spesies ke−i


Frekuensi kehadiran=
Jumlah total kuadrat pengamatan

Nilai frekuensi suatu spesies


Frekuensi relatif = x 100
Jumlah nilai frekuensi seluruh spesies

3.5.1.4 Keanekarangaman, Keseragaman, Dominansi

 Indeks keanekaragaman (H)

Keanekaragaman spesies diartikan sebagai banyaknya spesies yang ditemukan

dalam tiap kuadran pada setiap garis transek. Indeks keanekaragaman yang digunakan

yaitu indeks Shannon-Wiener ((Brower et al, 1990 dalam Arhas, 2015).

H’= −∑ ( pi ) ln ⁡( pi)

Keterangan :
H’ = Indeks keanekaragaman
ni = Jumlah individu spesies ke-i
N = jumlah individu seluruh jenis
pi = kelimpahan relatif spesies ke-i
Dimana : H` < 1 : Keanekaragaman jenis rendah

1 < H` < 3 : Keanekaragaman jenis sedang

H` > 3 : Keanekaragaman jenis tinggi


21

 Indeks keseragaman (E)

Keseragaman adalah penyebaran individu antar genus yang berbeda. Indeks

keseragaman (Krebs, 1971 dalam Arhas, 2015) yaitu:

H'
e=
lnS

Keterangan :
e = Indeks keseragaman
H`= Indeks keanekaragaman
S = Jumlah spesies
Dimana : e < 0,4 : Keseragaman populasi kecil
0,4 < e < 0,6 : Keseragaman populasi sedang
e > 0,6 : Keseragaman populasi tinggi

 Indeks Dominansi (C)

Nilai indeks dominasi digunakan untuk menggambarkan ada tidaknya

dominansi suatu jenis dalam satu komunitas, dihitung menggunakan indeks

dominansi Simpson (Odum, 1971 dalam Arhas, 2015) yaitu:

n
C=∑ ( ¿ )
i=0 N

Keterangan :

C = Indeks dominansi
Ni = Jumlah individu setiap jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis
Dimana: 0,00 < D ≤ 0,30 : Dominansi rendah
22

0,30 < D ≤ 0,60 : Dominansi sedang


0,60 < D ≤ 1,00 : Dominansi tinggi

3.5.1.5 Pola Sebaran Makrofauna Bentos

Pola sebaran dari makrofauna bentos dihitung dengan menggunakan

persamaan Ludwig dan Reynold (1988):

Σ ( Xi−μ )2 Σ( Xi )
σ2 = μ=
N N

Keterangan:
N = Jumlah kuadran dimana spesies berada
Xi =Jumlah individu ke-i
µ = Mean

σ 2 = Varian
Dengan ketentuan jika:

σ2 = µ = pola sebaran secara acak

σ 2> μ = pola sebaran secara berkelompok

σ 2< μ = pola sebaran secara seragam

3.5.1.6 Distribusi Spasial Makrofauna Bentos

Distribusi spasial sumberdaya makrofauna bentos didasarkan pada data

sampling melalui penempatan transek dan kuadran, maka hasil identifikasi tiap filum

sumberdaya makrofauna bentos dituangkan dalam peta distribusi spasial

menggunakan program ArCGIS.


23

3.5.2 Pola Pemanfaatan Makrofauna Bentos

Pola pemanfaatan makrofauna bentos di perairan pantai negeri Hutumuri

dianalisa menggunakan analisis deskriptif. Analisis ini didasarkan pada kondisi aktual

di lapangan.

3.5.3 Arahan Pengelolaan Sumberdaya Makrofauna Bentos

Arahan pengelolaan sumberdaya makrofauna bentos dilakukan menggunakan

metode analisis pohon masalah yakni metode untuk mengidentifikasi suatu masalah

dan menggambarkan sebab akibat dari permasalahan tersebut. Pohon tujuan dibuat

berdasarkan pohon masalah dengan mengubah situasi yang negatif menjadi postif

sehingga dapat diperoleh alternatif untuk mengatasi permasalahan yang timbul

(Abrahamsz, 2009).
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Secara administratif Negeri Hutumuri terletak di Kecamatan Leitimur Selatan,

Kota Ambon. Negeri Hutumuri memiliki luas wilayah 1.500 Ha dan berjarak sekitar

18 km dari pusat kota Ambon. Secara geografis Negeri Hutumuri terletak antara

3042’18.9” - 3042’19.4” LS dan 128016’49.5”- 128016’51.6” BT dan memiliki batas-

batas wilayah sebagai berikut:

 Sebelah Utara : berbatasan dengan negeri Halong

 Sebelah Timur : berbatasan dengan negeri Passo

 Sebelah Selatan : berbatasan dengan laut Banda

 Sebelah Barat : berbatasan dengan negeri Rutong

Perairan pantai negeri Hutumuri memiliki ekosistem pesisir yakni lamun

dengan sebaran spesies yang ditemui yaitu Cymodocea rotundata, Thalassia

hemprihii, Syringodium isoetifolium, Enhallus acoroides dan terumbu karang.

Karakteristik pantai Negeri Hutumuri didominasi oleh substrat berbatu, dan pasir

bercampur patahan karang mati. Distribusi sedimen yang dominan pada perairan

pantai Hutumuri baik secara tegak lurus garis pantai maupun sejajar garis pantai yaitu

kerikil (granule), pasir sangat kasar (very coarse sand), pasir sedang (medium sand),

pasir halus (very fine sand), dan lumpur ( Kallay, 2013).


25

4.2 Parameter Lingkungan

Parameter fisik lingkungan merupakan indikator penting dalam menentukan

kualitas suatu perairan. Kehidupan organisme dalam suatu perairan dikatakan baik,

jika parameter fisik lingkungan perairan tersebut masih berada dalam batas toleransi

organisme.

Berdasarkan hasil pengukuran suhu pada perairan pantai negeri Hutumuri

memiliki kisaran antara 28–31°C, suhu perairan yang optimal bagi pertumbuhan

organisme makrofauna bentos yaitu 25-350C mengindikasikan organisme makrofauna

bentos pada perairan pantai negeri Hutumuri mampu beradaptasi dengan suhu

lingkungannya (Zahidin, 2008)

Izaah (2016) menyatakan bahwa kisaran salinitas bagi kehidupan

makrofaunabentos berkisar 15-45%, karena perairan yang memiliki nilai salinitas

rendah maupun tinggi dapat ditemukan makrofaunabentos. Kisaran salinitas di

perairan Hutumuri pada kisaran 30-32%0 masih sesuai untuk pertumbuhan makrofauna

bentos.

4.3 Potensi Sumberdaya Makrofauna Bentos

4.3.1 Komposisi Sumberdaya Makrofauna Bentos

Makrofauna bentos di perairan pantai negeri Hutumuri terdiri dari 3 filum

yaitu filum Moluska terdiri dari 2 kelas, 18 family, 21 genera, dan 33 spesies. Filum

Arthropoda 1 kelas, 5 family, 8 genera, 10 spesies. Filum Echinodermata 6 kelas, 6

family, 9 genera, 13 spesies (Tabel 4.1).


26

Tabel 4.1 Komposisi Makrofauna Bentos Di Perairan Pantai Hutumuri


Filum Kelas Ordo Family Genus Spesies
Moluska Gastropoda Arhaegastropoda Neritidae Nerita N. patula
N. polita
N. costata
Neogastropoda Conidae Conus C. ebraeus
C. coronatus
C. sponsalis
C. miles
C. ducurtata
Buccinidae Engina E. mendicaria
Cantharus C. fumosus
Muricidae Thais T. aculeata
Morula M. margariticola
Collumelidae pyrene P. testudinaria
Nassaridae Nassarius N. acuticotus
N. olivaceus
Arhaegastropoda Trochidae Trochus T. stellatus
T. aemulan
Turbinidae Turbo T. setosus
T. agryrostoma
T. chrysostomus
Mesogastropoda Cerithiidae Clypemorus C . subbrevicula
Rhinoclavis R. sinensis
Cypraeidae Cypraea C. moneta
C. annulus
C. errones
Strombidae Strombus S. mutabilis
S. labiatus
Naticidae Polinices P. tumidus
Neogastropoda Mitridae Mitra M. stictica
Costellaridae Vexillum V. rugosum
Tonnidae Tonna T. perdix
Fasciolaridae Latirolagena L. smaragdula
Bivalvia Tellinidae Tellina T. remies
Arthropoda Malacostraca Decapoda Portunidae Thalamita T. quadridens
T. crenata
T. stimponi
Eriphiidae Eriphia E. sebana
Xanthidae Etisus E. laevimanus
Atergatis A. floridus
Actaeodes A. tomentosus
Pilumnidae Pilodius P. granulatus
Pilumnus P. vespertilio
Grapsidae Grapsus G. albolineatus
Echinodermata Holothuroidea Aspidochiroida Holothuriidae Actinopyga A. miliaris
Holothuria H. scabra
H . atra
H. leucospilota
H. coluber
H. hilla
Bohadscia B. similis
Echinoidea Diadematoida Diadematidae Diadematidae D. setosum
Echinoida Echinotrix E. calamaris
Echinometridae Echinometra E. mathaei
Ophioroidea Ophiurida Ophiocomidae Ophiocoma O. dentate
Asteroidea Valvatidae Oreasteridae Culcita Culcita sp
Ophidiasteridae Linckia L. laevigata
27

Hasil komposisi spesies makrofauna bentos perairan pantai negeri Hutumuri

memperlihatkan filum moluska memiliki jumlah jenis lebih banyak dari filum lainnya.

Bila dibandingkan dengan komposisi makrofauna bentos pada perairan pantai negeri

Tial yang juga memiliki jumlah jenis tertinggi pada filum moluska sebanyak 18

spesies maka dapat dijelaskan bahwa filum moluska memiliki penyebaran luas serta

daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan sehingga organisme dari filum moluska

dapat ditemukan pada berbagai lokasi dan tipe habitat (Husain, 2017).

Berdasarkan stasiun peneltian, maka tipe habitat berbatu merupakan stasiun

penelitian dengan jumlah makrofauna bentos tertinggi disebabkan karena tipe habitat

berbatu merupakan tempat yang cocok bagi biota untuk menempel dan bertahan dari

hempasan arus dan gelombang. Sedangkan jumlah makrofauna bentos terendah pada

tipe habitat berpasir hal ini disebabkan oleh substrat berpasir tidak menyediakan

tempat melekat bagi organisme untuk bertahan dari gelombang yang menggerakan

partikel substrat sehingga banyak organisme sulit tinggal pada daerah tersebut

(Cappenberg, 2016).

4.3.2 Kepadatan dan Kepadatan Relatif Makrofauna Bentos Perairan Pantai

Negeri Hutumuri

Berdasarkan hasil analisa data, terdapat perbedaan nilai kepadatan dan

kepadatan reltif filum moluska, arthropoda, dan echinodermata yang ditemukan di dua

habitat berbeda yakni tipe habitat berbatu dan berpasir.


28

4.3.2.1 Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Potensi Filum Moluska Pantai


Berbatu dan Berpasir
Hasil nilai kepadatan dan frekuensi kehadiran filum moluska yang ditemukan

pada habitat berbatu dan berpasir disajikan dalam tabel berikut (Tabel 4.2).

Tabel 4.2 Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Potensi Filum Moluska


Spesies Kepadatan (ind/m2) Kepadatan relatif Potensi (ind)
(%)
Berbatu Berpasir Berbatu berpasir Berbatu Berpasir
Nerita patula 1.106 14.045 125
Nerita polita 1.239 15.730 186
Nerita costata 1.646 20.899 140
Conus ebraeus 0.372 4.719 42
Conus coronatus 0.301 3.820 34
Conus sponsalis 0.071 0.899 8
Conus miles 0.115 1.461 13
Conus ducurtata 0.044 0.562 5
Engina mendicaria 0.451 5.730 51
Cantharus fumosus 0.168 0.044 2.135 5 19 2
Thais aculeata 0.133 1.685 15
Morula margariticola 0.496 0.200 6.292 22.5 56 9
Pyrene testudinaria 0.088 1.124 10
Nassarius acuticostus 0.301 0.133 3.820 15 34 6
Nassarius olivaceus 0.018 0.225 2
Trochus aemulan 0.124 0.044 1.573 5 12 2
Trochus stellatus 0.106 0.044 1.348 5 14 2
Turbo agryrostoma 0.080 1.011 3
Turbo setosus 0.027 0.337 9
Turbo chrysostomus 0.133 1.685 15
Clypemorus subbrevicula 0.389 4.944 44
Rhinoclavis sinensis 0.018 0.225 2
Cypraea moneta 0.044 0.089 0.562 10 5 4
Cypraea errones 0.044 0.089 0.562 10 12 4
Cypraea annulus 0.106 1.348 5
Strombus mutabilis 0.053 0.674 6
Strombus labiatus 0.018 0.225 2
Polinices tumidus 0.035 0.089 0.449 10 4 4
Mitra stictica 0.018 0.225 7
Vexillum rugosum 0.062 0.787 2
Tonna perdix 0.018 0.225 2
Latirolagena smaragdula 0.018 0.225 2
Tellina remies 0.018 0.067 0.225 7.5 2 3
Total 7.876 0.889 100 100 890 40
29

Spesies yang memiliki nilai kepadatan dan potensi tertinggi pada tipe habitat

berbatu yaitu Nerita costata 1.646 ind/m2 (20.899%), Nerita polita 1.239 ind/m2

(15.730%), Nerita patula 1.106 ind/m2 (14.045%), Morula margariticola 0.496 ind/m2

(6.292%) dan Engina mendicaria 0.451 ind/m2 (5.730%). Tingginya nilai kepadatan

disebabkan karena kehadirannya pada transek pengamatan ditemukan dalam jumlah

yang cukup banyak. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan dari setiap spesies untuk

mentolerir dan beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal sebagaimana

dikemukakan oleh Budiman (1991) dalam Irawati (2015) bahwa tingginya kepadatan

Moluska di suatu habitat sangat bergantung pada kemampuan jenis untuk beradaptasi

terhadap kondisi dan tipe habitat didalam ekosistem yang dapat mengakomodasi jenis

untuk hidup. Lokasi ini memiliki tipe substrat berbatu hingga pasir bercampur patahan

karang mati yang merupakan microhabitat bagi spesies morula margariticola, engina

mendicaria, dan Nerita yang hidupnya menempel pada bebatuan (Luturmas, 2009).

Spesies dengan nilai kepadatan dan potensi terendah yaitu Nassarius

olivaceus, Rhinoclavis sinensis, Strombus labiatus, Tonna perdix, Latirolagena

smaragdula, Tellina remies, Vesticardium flavum, Mitra stictica dengan nilai

kepadatan yakni 0.018 ind/m2 dan kepadatan relatif 0.225%, Turbo setosus 0.027

ind/m2 (0.337%), Conus ducurtata, Cypraea moneta dan Cypraea errones sebesar

0.044 ind/m2 (0.562%). Nilai kepadatan yang rendah disebabkan karena kehadirannya

tidak ditemukan pada setiap transek pengamatan dan kemunculannya dalam jumlah

yang sedikit hal tersebut dipengaruhi juga oleh aktivitas penangkapan oleh masyarakat

karena spesies tersebut merupakan jenis ekonomis penting.


30

Pada tipe habitat berpasir nilai kepadatan dan potensi tertinggi yaitu Morula

margariticola 0.200 ind/m2 (22.5%) dan Nassarius acuticostus 0.33 ind/m2 (15%).

Hadirnya spesies ini dalam jumlah yang dominan karena jenis ini hidup pada

mikrohabitat pasir hingga pasir berbatu (Poutiers, 1998 dalam Cappenberg 2016) dan

pada lokasi penelitian distribusi substrat pada habitat berpasir yaitu pasir hingga pasir

berbatu yang menyebabkan kepadatan jenis tersebut tinggi.

Berdasarkan stasiun penelitian, maka nilai kepadatan moluska pada habitat

berpasir lebih rendah. Hal ini diperkuat oleh irawati (2015) bahwa rendahnya

kepadatan Gastropoda di pantai berpasir disebabkan oleh kecepatan arusnya yang

tinggi yakni sekitar 0,548-0,562 m/dtk dibandingkan dengan pantai berbatu yakni

0,526-0,533 m/dtk, arus menjadi salah satu faktor pembatas dalam penyebaran

organisme ditambahkan oleh Nybakken (1989) dalam Cappenberg (2016) bahwa

gerakan ombak merupakan faktor lingkungan yang dominan pada pantai berpasir,

sedangkan substrat berpasir tidak menyediakan tempat melekat bagi organisme untuk

bertahan dari gelombang yang menggerakan partikel substrat sehingga banyak

organisme sulit tinggal pada daerah tersebut.

Nilai kepadatan filum moluska di Hutumuri yang berkisar antara 0.496-1.646

ind/m2 lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Wawo dan Uneputty

(2013) di Waiheru sebesar 24.23 ind/m2. Tinggi rendahnya kepadatan suatu spesies di

alam dipengaruhi oleh faktor fisik meliputi suhu, salinitas, kedalaman, substrat dan

faktor biologi meliputi makanan dan predator (Wawo dan Uneputty, 2013).
31

4.3.2.2 Kepadatan,Kepadatan Relatif,Potensi Filum Arthropoda Pantai Berbatu


dan Berpasir
Hasil nilai kepadatan dan kepadatan relatif filum arthropoda yang ditemukan

pada habitat berbatu dan berpasir disajikan dalam tabel berikut (Tabel 4.3).

Tabel 4.3 Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Potensi Filum Arthropoda


Spesies Kepadatan (ind/m2) Kepadatan relatif Potensi (ind)
(%)
Berbatu Berpasir Berbatu berpasir Berbatu Berpasir
Etisus laevimanus 0.097 12.222 11
Thalamita stimpsoni 0.071 0.156 8.889 35 8 7
Atergatis floridus 0.150 18.889 17
Eriphia sebana 0.124 15.556 14
Pilodius granulatus 0.195 24.444 22
Thalamita crenata 0.027 3.333 3
Thalamita quadridens 0.044 0.111 5.556 25 5 5
Grapsus albolineatus 0.018 2.222 2
Pilumnus vespertilio 0.053 0.067 6.667 15 6 3
Actaeodes tomentosus 0.018 0.111 2.222 25 2 5
Total 0.796 0.444 100 100 90 20

Spesies yang memiliki nilai kepadatan tertinggi terdiri dari family pilumnidae

yaitu Pilodius granulatus sebesar 0.195 ind/m2 (24.444%) diikuti oleh family

Xanthidae, Atergatis floridus 0.150 ind/m2 (18.889%) dan Eriphia sebana dari family

Eriphiidae sebesar 0.124 ind/m2 (15.556%) . Ketiga jenis kepiting tersebut memiliki

jumlah paling banyak ditemukan pada lokasi ini. Ditambahkan oleh Nybakken (1992)

dalam Waisaley, dkk (2019) bahwa tingginya nilai kepadatan ditunjukkan oleh

organisme yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungannya, faktor lain adalah habitat yang mendukung kehidupan kepiting.

Pilodius granulatus dan Eriphia sebana merupakan Jenis kepiting yang dapat

ditemukan pada daerah pasang surut dengan tipe substrat yang disenangi yaitu

pecahan karang mati. Spesies dari family Xanthidae yaitu Atergatis floridus
32

merupakan jenis yang dapat diperoleh pada substrat dasar perairan yaitu pasir

bercampur patahan karang mati (Pratiwi, 2015). Hal tersebut sesuai dengan substrat

yang berada di perairan pantai Hutumuri yaitu berbatu hingga pasir bercampur patahan

karang mati yang merupakan habitat ideal bagi Pilodius granulatus, Atergatis floridus,

dan Eriphia sebana.

Jenis dengan nilai kepadatan terendah ditemukan pada Grapsus albolineatus

dan Actaeodes tomentosus sebesar 0.018 ind/m2 (2.222% ) menurut Nybakken (1992)

dalam Waisaley, dkk (2019) bahwa organisme yang memiliki kelimpahan terendah

menunjukan organisme tersebut tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi

habitat serta tidak mampu bersaing dalam menempati ruang menyebabkan jumlahnya

relatif kecil saat ditemukan pada transek pengamatan.

Pada tipe habitat berpasir spesies yang sering ditemukan dan memiliki nilai

kepadatan tertinggi terdapat pada filum Portunidae, Thalamita stimponi sebesar 0.156

ind/m2 (35%) Thalamita quadridens dan Actaeodes tomentosus dari filum Xanthidae

dengan nilai kepadatan sebesar 0.111 ind/m2 (25%). Jenis kepiting tersebut merupakan

jenis dengan jumlah paling banyak ditemukan disebabkan karena lokasi ini merupakan

microhabitat idealnya. Diperkuat oleh Pratiwi dkk, (2015) kepiting dari filum

Portunidae menyukai habitat dengan substrat dasar pasir halus/kasar dan pasir

berlamun. Hal ini sesuai dengan tipe substrat pada lokasi pengambilan sampel.

Berdasarkan nilai tersebut mengindikasikan sumberdaya arthropoda di perairan

Hutumuri lebih baik bila dibandingkan dengan hasil penelitian Luanmas (2018) di

perairan dusun Mahia dengan nilai kepadatan sebesar 0.002 ind/m2 – 0.003 ind/m2.
33

4.3.2.3 Kepadatan,Kepadatan Relatif,Potensi Filum Echinodermata Pantai


Berbatu dan Berpasir
Hasil nilai kepadatan dan kepadatan relatif filum echinodermata yang

ditemukan pada habitat berbatu dan berpasir disajikan dalam tabel berikut (Tabel 4.4).

Tabel 4.4 Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Potensi Filum Echinodermata


Spesies Kepadatan (ind/m2) Kepadatan relatif Potensi (ind)
(%)
Berbatu Berpasir Berbatu berpasir Berbatu Berpasir
Echinometra mathaei 1.814 0.178 24.186 8.8 205 8
Diadema setosum 1.549 0.244 20.612 3.8 175 11
Ophiocoma dentata 3.540 1.356 47.114 48.8 400 61
Culcita sp 0.212 2.827 24
Linckia laevigata 0.035 0.067 0.471 2.4 4 3
Actinopyga miliaris 0.106 1.413 12
Bohadscia similis 0.053 0.111 0.707 4 6 17
Holothuria atra 0.088 0.222 1.178 8 10 10
Holothuria leucospilota 0.053 0.178 0.707 6.4 6 8
Holothuria coluber 0.035 0.471 4
Holothuria hilla 0.027 0.353 3
Holothuria scabra 0.378 13.6
Echinotrix calamaris 0.044 1.6 2
Total 7.513 2.778 100 100 849 125

Habitat berbatu dengan spesies yang memiliki nilai kepadatan tertingi yaitu

Ophiocoma dentata sebesar 3.540 ind/m2 (47.114%). Ophiocoma dentata merupakan

spesies bintang mangular dari family Ophiocomidae yang memiliki penyebaran luas

dan mampu hidup pada berbagai kondisi substrat. Diperkuat oleh Setiawan (2018)

bahwa Ophiocoma dentata memiliki area tinggal terluas dengan tipe dasar beragam

meliputi area makroalga, lamun, bebatuan dan substrat pasir, sampai mendekati tubir.

Keberadaannya dapat ditemukan pada makroalga, lamun dan celah-celah bebatuan.

Bulu babi jenis Echinometra mathaei dari famili Echinometridae merupakan jenis

paling banyak ditemukan setelah Ophiocoma dentate pada stasiun ini, dengan nilai

kepadatan 1.814 ind/m2 (24.146%). Melimpahnya jenis Echinometra mathaei terkait


34

dengan kondisi substrat yang sesuai untuk kehidupan bulu babi ini. Karena pada

stasiun ini ditemukan substrat yakni pecahan terumbu karang. Diperkuat oleh Dobo

(2009) bahwa Echinometra mahaei merupakan jenis bulu babi yang berasosiasi pada

kondisi substrat yang keras seperti pecahan terumbu karang. Hal tersebut berarti

bahwa habitat dan substrat merupakan faktor penentu keberadaan setiap jenis disuatu

perairan.

Holothurian hilla merupakan jenis dengan nilai kepadatan terendah yakni

0.027 ind/m2 (0.353%), Diikuti oleh Holothuria coluber dan linckia laevigata dengan

nilai kepadatan 0.035 ind/m2 (0.471%) kondisi tersebut disebabkan karena jumlah

masing-masing spesies yang ditemukan hanya beberapa serta penyebarannya tidak

luas. Azis (2012) Menjelaskan bahwa spesies yang tidak mampu bersaing untuk

menempati suatu habitat akan menunjukan tingkat kepadatan yang rendah.

Pada habitat berpasir Holothuria scabra merupakan jenis teripang dengan

kepadatan dan nilai frekuensi tertinggi yang ditemukan sebesar 0.378 ind/m 2 (13.6%)

karena habitat berpasir merupakan habitat yang ideal bagi jenis ini serta pola hidup

berkelompok yang menyebabkan jumlahnya ditemukan banyak. Sementara, Echinotrix

calamaris memiliki nilai terendah yakni 0.044 ind/m2 (1.6%) diikuti oleh Linckia

laevigata sebesar 0.067 ind/m2 (2.4%). Melihat nilai-nilai tersebut terlihat bahwa di

perairan Hutumuri mengindikasikan sumberdaya echinodermata lebih baik

dibandingkan dengan penelitian (Radjab, 2015) di perairan Suli sebesar 0.0017 ind/m2

dan perairan Liang sebesar 0.0012 ind/m2.


35

4.3.3 Frekuensi Kehadiran dan Frekuensi Kehadiran Relatif Makrofauna

Bentos Perairan Pantai Negeri Hutumuri

Berdasarkan hasil analisa data, terdapat perbedaan nilai frekuensi dan frekuensi

kehadiran relatif filum moluska, arthropoda, dan echinodermata yang ditemukan di

dua habitat berbeda yakni tipe habitat berbatu dan berpasir.

4.3.3.1 Frekuensi Kehadiran dan Frekuensi Kehadiran Relatif Filum Moluska

Pantai Berbatu dan Berpasir

Hasil nilai frekuensi dan frekuensi kehadiran relatif filum moluska pada habitat

berbatu dan berpasir disajikan dalam tabel berikut (Tabel 4.5).

Tabel 4.5 Frekuensi Kehadiran dan Frekuensi Kehadiran Relatif Filum Moluska
Spesies Frek. kehadiran (ind/m2) Frek. kehadiran relatif (%)
Berbatu Berpasir Berbatu berpasir
Nerita patula 0.062 4.023
Nerita polita 0.062 4.023
Nerita costata 0.071 4.598
Conus ebraeus 0.097 6.322
Conus coronatus 0.097 6.322
Conus sponsalis 0.035 2.299
Conus miles 0.027 1.724
Conus ducurtata 0.018 1.149
Engina mendicaria 0.150 9.770
Cantharus fumosus 0.071 0.044 4.598 5.882
Thais aculeata 0.080 5.172
Morula margariticola 0.106 0.178 6.897 23.529
Pyrene testudinaria 0.018 1.149
Nassarius acuticostus 0.053 0.111 3.448 14.706
Nassarius olivaceus 0.018 1.149
Trochus aemulan 0.044 2.874
Trochus stellatus 0.044 0.044 2.874 5.882
Turbo agryrostoma 0.027 0.044 1.724 5.882
Turbo setosus 0.018 1.149
Turbo chrysostomus 0.062 4.023
Clypemorus subbrevicula 0.106 6.897
Rhinoclavis sinensis 0.009 0.575
Cypraea moneta 0.027 0.067 1.724 8.824
Cypraea errones 0.009 0.044 0.575 5.882
Cypraea annulus 0.053 3.448
Strombus mutabilis 0.075 2.299
Strombus labiatus 0.018 1.149
36

Polinices tumidus 0.009 0.089 0.575 11.765


Mitra stictica 0.009 0.575
Vexillum rugosum 0.044 2.874
Tonna perdix 0.018 1.149
Latirolagena smaragdula 0.009 0.575
Tellina remies 0.009 0.067 0.575 8.824
Total 1.540 0.756 100 100

Hasil analisa nilai frekuensi kehadiran filum moluska pada habitat berbatu,

yang memiliki nilai tertinggi yaitu spesies Engina mendicaria 0.157 ind/m2, kemudian

spesies morula margariticola dan Clypemorus subbrevicula dengan nilai sebesar 0.106

ind/m2. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa jenis tesebut memiliki penyebaran yang

cukup luas pada setiap transek pengamatan. Kondisi ini berkaitan dengan sebaran

substrat pada area ini yakni berbatu, patahan karang mati, sampai pasir berbatu yang

mempengaruhi keberadaan jenis tersebut. Diperkuat Ceppenberg (2016), Spesies

Morula Margariticola memiliki penyebaran yang luas erat kaitannya dengan kondisi

substrat yakni substrat berbatu, patahan karang mati, hingga pasir yang merupakan

mikrohabitat ideal bagi jenis tersebut. Spesies yang memiliki nilai frekuensi kehadiran

terendah yaitu Rhinoclavis sinensis, cypraea errones, polinices tumidus, latirolagena

smaragdula, dan mitra stictica. Dengan nilai 0.009 ind/m2. Hasil ini memperlihatkan

bahwa spesies tersebut penyebarannya tidak luas pada area pengamatan atau hanya

ditemukan pada satu atau dua transek saja.

Pada habitat berpasir spesies yang memiliki nilai frekuensi tertinggi yaitu

Morula margariticola sebesar 0.178 ind/m2 hal ini disebabkan spesies ini

kehadirannya selalu ditemukan pada setiap transek pengamatan. Ditambahkan

luturmas (2009) bahwa spesies yang nilai frekuensi kehadirannya tinggi memiliki
37

penyebaran yang luas serta toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan.

Sedangkan spesies dengan nilai frekuensi kehadiran terendah yaitu Cantharus

fumosus, Trochus stellatus, Turbo agryrostoma, dan Cypraea errones sebesar 0.044

ind/m2.

4.3.3.2 Frekuensi Kehadiran dan Frekuensi Kehadiran Relatif Filum Arthropod

pantai Berbatu dan Berpasir

Hasil nilai frekuensi dan frekuensi kehadiran relatif filum Arthropoda yang

ditemukan pada habitat berbatu dan berpasir disajikan dalam tabel berikut (Tabel 4.6).

Tabel 4.6 Frekuensi Kehadiran dan Frekuensi Kehadiran Relatif Filum Arthropoda
Spesies Frek.kehadiran (ind/m2) Frek.kehadiran relatif (%)
Berbatu Berpasir Berbatu berpasir
Etisus laevimanus 0.035 14.286
Thalamita stimpsoni 0.018 0.133 7.143 40
Atergatis floridus 0.027 10.714
Eriphia sebana 0.035 14.286
Pilodius granulatus 0.062 25.000
Thalamita crenata 0.009 3.571
Thalamita quadridens 0.018 0.089 7.143 26.667
Grapsus albolineatus 0.009 3.571
Pilumnus vespertilio 0.027 0.044 10.714 13.333
Actaeodes tomentosus 0.009 0.067 3.571 20
Total 0.248 0.333 100 100

Jenis yang memiliki nilai frekuensi kehadiran tertinggi pada habitat berbatu

yaitu Pilodius granulatus sebesar 0.062 ind/m2 (25,000%) dan Eriphia sebana sebesar

0.035 ind/m2 (14.286%). Nilai frekuensi kehadiran menunjukan penyebaran tiap jenis

yang ditemukan pada tiap transek pengamatan. Artinya, kedua jenis kepiting ini

memiliki penyebaran yang luas. Kepiting dari family pilumnidae yakni Pilodius
38

granulatus merupakan kepiting yang dapat ditemukan di daerah pasang surut sampai

pada kedalaman 75 m (Spivak dan Rodriguez, 2002 dalam Pratiwi dkk, 2015).

Terdapat perbedaan antara nilai kepadatan dengan frekuensi kehadiran yang

diperoleh yakni spesies Atergatis floridus yang memiliki nilai kepadatan tinggi tidak

termasuk dalam kategori spesies dengan nilai frekuensi yang tinggi pula, hal ini

disebabkan oleh perilaku malas bergerak dan cenderung diam yang dimiliki oleh

kepiting Atergatis floridus sehingga daerah penyebarannya terbatas (Wahyudi, 2013

dalam Pratiwi, dkk 2015). Sedangkan jenis dengan frekuensi kehadiran terendah yakni

Grapsus albolineatus dan Actaeodes tomentosus sebesar 0.009 ind/m2 dan frekuensi

kehadiran relatif 3.57 ind/m2.

Pada habitat berpasir spesies dari filum Portunidae merupakan jenis yang

memiliki nilai frekuensi kehadiran tertinggi yakni Thalamita stimponi sebesar 0.1333

ind/m2 dan Thalamita quadridens 0.089 ind/m2 disebabkan karena penyebarannya

ditemukan paling dominan dari spesies yang lain dan didukung oleh kondisi

microhabitatnya sehingga spesies ini mampu menyesuaikan diri dengan kondisi

lingkungan sehingga dapat menyebar luas. Berdasarkan perolehan nilai tersebut

memperlihatkan nilai frekuensi kehadiran sumberdaya arthropoda di perairan

Hutumuri rendah dibanding sumberdaya arthropoda di perairan dusun Mahia sebesar

0.169 ind/m2 (24.390 %) - 0.288 ind/m2 (40.476%).

4.3.3.3 Frekuensi Kehadiran dan Frekuensi Kehadiran Relatif Filum

Echinodermata pantai Berbatu dan Berpasir


39

Hasil nilai frekuensi dan frekuensi kehadiran relatif filum Echinodermata yang

ditemukan pada habitat berbatu dan berpasir disajikan dalam tabel berikut (Tabel 4.7).

Tabel 4.7 Frekuensi Kehadiran, Frekuensi Kehadiran Relatif Filum Echinodermata


Spesies Frek.kehadiran (ind/m2) Frek.kehadiran relatif (%)
Berbatu Berpasir Berbatu berpasir
Echinometra mathaei 0.292 0.133 19.880 10.345
Diadema setosum 0.230 0.133 15.663 10.345
Ophiocoma dentata 0.602 0.422 40.964 32.759
Culcita sp 0.062 4.217
Linckia laevigata 0.027 0.067 1.807 5.172
Actinopyga miliaris 0.080 5.422
Bohadscia similis 0.035 0.089 2.410 6.897
Holothuria atra 0.044 0.111 3.012 8.621
Holothuria leucospilota 0.044 0.067 3.012 5.172
Holothuria coluber 0.027 1.807
Holothuria hilla 0.027 1.807
Holothuria scabra 0.222 17.241
Echinotrix calamaris 0.044 3.448
Total 1.469 1.289 100 100

Pada habitat berbatu yang memiliki nilai frekuensi kehadian tertingi yaitu

Ophiocoma dentata sebesar 0.602 ind/m2 (40.964%). Ophiocoma dentata merupakan

spesies bintang mangular dari family Ophiocomidae yang memiliki penyebaran luas

dan mampu hidup pada berbagai kondisi substrat. Diperkuat oleh Setiawan (2018)

bahwa Ophiocoma dentata memiliki area tinggal terluas dengan tipe dasar beragam

meliputi area makroalga, lamun, bebatuan dan substrat pasir, sampai mendekati tubir.

Keberadaannya dapat ditemukan pada makroalga, lamun dan celah-celah bebatuan.

Bulu babi jenis Echinometra mathaei dari famili Echinometridae merupakan jenis

paling banyak ditemukan setelah Ophiocoma dentate pada stasiun ini sebesar 0.292

ind/m2 (19.880%). Melimpahnya jenis Echinometra mathaei terkait dengan kondisi


40

substrat yang sesuai untuk kehidupan bulu babi ini. Karena pada stasiun ini ditemukan

substrat yakni pecahan terumbu karang. Diperkuat oleh Dobo (2009) bahwa

Echinometra mahaei merupakan jenis bulu babi yang berasosiasi pada kondisi substrat

yang keras seperti pecahan terumbu karang. Hal tersebut berarti bahwa habitat dan

substrat merupakan faktor penentu keberadaan setiap jenis disuatu perairan.

Holothuria hilla meimiliki nilai frekuensi kehadiran terendah 0.027 ind/m2 (1.807%).

Diikuti oleh Holothuria coluber dan linckia laevigata 0.027 ind/m2 (1.807%) . Kondisi

tersebut disebabkan karena penyebarannya tidak luas.

Pada habitat berpasir Holothuria scabra merupakan jenis teripang dengan nilai

frekuensi tertinggi yang ditemukan. yaitu 0.222 ind/m 2 (17.241%). Holothuria

scabra merupakan jenis teripang yang banyak ditemukan pada substrat pasir dengan

pecahan-pecahan karang mati (Nirwana dkk, 2016) hal tersebut sesuai dengan tipe

substrat pada stasiun ini. .Sementara itu, spesies dengan nilai frekuensi kehadiran

terendah yaitu Echinorix calamaris 0.044 (3.448%) diikuti oleh Linckia laevigata

sebesar 0.067 ind/m2, frekuensi kehadiran relatif 5.172%. Berdasarkan perolehan nilai

tersebut memperlihatkan nilai frekuensi kehadiran sumberdaya echinodermata di

perairan Hutumuri lebih tinggi dibandingkan perairan Suli sebesar 20.00% dan

perairan Liang sebesar 13.00%.


41

4.4. Nilai indeks keaenekaragaman, keseragaman, dan Dominansi

Nilai indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi makrobentos pada

tiap stasiun perairan pantai Negeri Hutumuri.

4.4.1. Indeks Keanekaragaman (H)

Berdasarkan nilai kategori indeks keanekaragaman, hasil yang diperoleh pada

kedua stasiun pengamatan berkisar antara 1.377 – 2.688 yang dikategorikan sedang.

Hal ini menunujukan jumlah jenis dan kepadatan dari biota relatif sedang yang

menyusun komunitas. Hasil tersebut memperlihatkan filum Moluska pada habitat

berbatu memiliki nilai yang cukup tinggi dibanding filum lainnya disebabkan karena

jenis yang diperoleh pada tiap transek jumlahnya lebih banyak terbukti dengan

ditemukannya 33 spesies. Diperkuat oleh Rusdiana, dkk (2014) bahwa jumlah spesies

yang ditemukan dalam suatu habitat mempengaruhi nilai indeks keanekaragaman.

Semakin besar nilai suatu keanekaragaman berarti semakin banyak jenis yang

didapatkan dan nilai ini sangat bergantung kepada nilai total dari individu masing

masing jenis atau genera.

4.4.2 Indeks Keseragaman (E)

Dalam suatu perairan dapat diketahui tingkat keseragaman organisme

makrobentos dari indeks keseragamannya. Hasil analisa (tabel 4.8) menunjukan nilai

indeks keseragaman untuk ketiga filum pada habitat berbatu maupun berpasir berkisar

antara 0.359 – 1.801 nilai tersebut mendekati 1. Odum (1998) dalam Yasir (2017)

menejelaskan semakin kecil indeks keseragaman yakni mendekati 0 maka


42

keseragaman jenis dalam komunitas rendah artinya kelimpahan individu tiap jenis

tidak sama, ada kecenderungan di dominasi oleh jenis tertentu. Sedangkan semakin

tinggi indeks keseragaman yakni mendekati 1 maka semakin tinggi keseregaman jenis,

penyebaran individu tiap jenis merata dan tidak ada spesies yang mendominasi.

4.4.3. Indeks Dominansi (D)

Indeks Dominasi merupakan perhitungan yang dipakai untuk melihat adanya

spesies tertentu yang mendominasi. Untuk stasiun I yaitu habitat berbatu, ketiga filum

memiliki nilai indeks dominasi berkisar 0.105 – 0.324. Untuk stasiun II yaitu habitat

berpasir memiliki nilai indeks dominasi berkisar 0.176 – 0.281. Nilai yang diperoleh

pada kedua stasiun pengamatan dikategorikan rendah sesuai dengan kriteria indeks

dominansi jika D ≤ 0.3 maka dominansinya rendah. Artinya bahwa pada kedua

stasiun pengamatan tidak ada jenis tertentu yang mendominasi. Ditambahkan oleh

Yasir (2017) bahwa jika pada suatu habitat tidak ada jenis tertentu yang mendominasi

menunjukan bahwa organisme yang ada pada habitat atau perairan tersebut memiliki

daya adaptasi dan kemampuan bertahan hidup yang sama.

Tabel 4.8 Indeks Keanekargaman, Keseragaman, Dominansi Makrofauna Bentos


Filum Keanekaragaman (H) Keseragaman (E) Dominansi (D)
Berbatu Berpasir Berbatu berpasir Berbatu Berpasir
Moluska 2.688 2.185 0.936 1.801 0.105 0.126
Arthropoda 2.044 1.345 1.091 0.879 0.152 0.270
Echinodermata 1.377 1.674 0.359 0.784 0.324 0.281
43

4.5 Pola Sebaran Makrofauna Bentos

Pola sebaran makrofauna bentos berdasarkan hasil perhitungan menggunakan

formula Ludwig dan Reynold (1988) untuk masing-masing filum di perairan pantai

Negeri Hutumuri.

4.5.1 Filum Moluska

Pola sebaran jenis untuk filum moluska pada tipe habitat berbatu yaitu

mengelompok, seragam, dan acak. Terdapat 14 jenis memiliki pola sebaran

mengelompok menurut Bahri (2014) pola sebaran mengelompok merupakan salah satu

strategis biologis organisme sebagai bentuk adaptasi dalam melindungi diri dari

predator, mempermudah pertemuan sel telur dan sel sperma pada musim memijah,

menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan, dan sebagai indikasi bahwa tipe

substrat cocok bagi kehidupan spesies tersebut. Cara hidup yang berkelompok

menunjukkan kecenderungan yang kuat untuk berkompetisi dengan biota lain terutama

dalam hal makan.

Terdapat 17 jenis yang memiiki pola sebaran seragam, menurut Pratami (2015)

jika pola sebaran spesies secara seragam artinya terdapat persaingan antar spesies

untuk menempati habitat sehingga spesies tersebut akan menyebar.

Pola sebaran acak ditunjukan oleh Polinices tumidus, Conus sponsalis,

Latirolagena smaragdula, dan Rhinoclavis sinensis. Spesies-spesies ini jarang ditemui

pada tiap transek pengamatan. Menurut Cambell et al (2004) dalam Pratami (2015)

pola sebaran acak yang ditunjukan oleh tiap spesies disebabkan oleh tidak adanya tarik

menarik atau tolak menolak antar individu atau tidak ada kecenderungan dari
44

organisme tersebut untuk bersama-sama sehingga berpengaruh terhadap jumlah

populasi spesies tersebut. Untuk tipe habitat berpasir, seluruh jenis menunjukan pola

sebaran seragam.

Tabel 4.9 Pola Sebaran Filum Moluska

No. Spesies moluska Mean Varian Pola penyebaran


Habitat berbatu Habitat berpasir
1 Nerita patula 173.48 17.86 Berkelompok
2 Nerita polita 132.33 20 Berkelompok
3 Nerita costata 105.93 23.25 Berkelompok
4 Conus ebraeus 17.96 3.82 Berkelompok
5 Conus coronatus 13.29 3.09 Berkelompok
6 Conus sponsalis 2 2 Acak
7 Conus miles 1.37 2.17 Seragam
8 Conus ducurtata 0.5 2.5 Seragam
9 Engina mendicaria 3.25 3 Berkelompok
10 Cantharus fumosus 1.41 2.38 Seragam Seragam
11 Thais aculeata 1.25 1.67 Seragam
12 Morula margariticola 22.42 4.67 Berkelompok Seragam
13 Pyrene testudinaria 18 5 Berkelompok
14 Nassarius acuticostus 74.67 5.67 Berkelompok Seragam
15 Nassarius olivaceus 0 1 Seragam
16 Trochus aemulan 1.2 2.8 Seragam
17 Trochus stellatus 4.3 2.4 Berkelompok seragam
18 Turbo agryrostoma 7 3 Berkelompok seragam
19 Turbo stellatus 0.5 1.5 Seragam
20 Turbo chrysostomus 0.48 2.14 Seragam
21 Clypemorus subbrevicula 17.15 3.67 Seragam
22 Rhinoclavis sinensis 2
23 Cypraea moneta 1.67 0.33 Berkelompok seragam
24 Cypraea errones 2 0.4 Berkelompok Seragam
25 Cypraea annulus 5 1.8 Berkelompok
26 Strombus mutabilis 1 1.5 Seragam
27 Strombus labiatus 0 1 Seragam
28 Polinices tumidus 4 4 Acak Seragam
29 Mitra stictica 0 1 Seragam
30 Vexillum rugosum 0.3 1.4 Seragam
31 Tonna perdix 0 1 Seragam
32 Latirolagena smaragdula 0.1 2 Seragam
33 Tellina remies 0 1 Seragam Seragam
34 Vesticardium flavum 0 1 Seragam seragam
45

4.5.2 Filum Arthropoda

Pola sebaran filum arthropoda pada 10 jenis kepiting yang ditemukan pada

habitat berbatu menunjukan pola sebaran seragam. Pada habitat berpasir empat spesies

menunjukan pola sebaran seragam. Sedangkan satu spesies menunjukan pola sebaran

mengelompok yakni Actaeodes tomentosus. Pola sebaran mengelompok yang

ditunjukan oleh Actaeodes tomentosus merupakan salah satu bentuk penyesuaian

terhadap lingkungan, sehingga spesies ini hidup berkelompok pada daerah yang

menunjang faktor yang dibutuhkan untuk hidupnya (Pratiwi, 2013).

Tabel 4.10 Pola Sebaran Filum Arthropoda

No. Spesies moluska Mean Varian Pola penyebaran


Habitat berbatu Habitat berpasir
1 Etisus laevimanus 0.92 2.75 Seragam Seragam
2 Thalamita stimpsoni 2 4 Seragam
3 Atergatis floridus 2.33 5.67 Seragam
4 Eriphia sebana 1.67 3.5 Seragam
5 Pilodius granulatus 0 3.14 Seragam
6 Thalamita crenata 0 2 Seragam
7 Thalamita quadridens 0.5 2.5 Seragam Seragam
8 Grapsus albolineatus 0.5 2.5 Seragam
9 Pilumnus vespertilio 0 2 Seragam Seragam
10 Actaeodes tomentosus 0 2 Seragam Berkelompok

4.5.4 Filum Echinodermata

Pada habitat berbatu, terdapat tiga spesies yang memiliki penyebaran

berkelompok. Jenis tersebut memiliki penyebaran yang luas karena disetiap transek

pengamatan jenis-jenis tersebut ditemukan dengan membentuk kelompok yang terdiri

dari tiga sampai tujuh individu. Sementara Culcita sp, Actinopyga miliaris, Bohadscia

similis, Holothuria atra, Holothuria leucospilota, Thelenata ananas, Stichopus sp


46

menunjukan pola sebaran seragam. Diperkuat oleh Husain, dkk (2017) bahwa teripang

cenderung memiliki pola hidup sendiri–sendiri dengan berbagai habitat hidupnya.

Sedangkan Linckia laevigata menunjukan pola sebaran acak. Pada habitat berpasir,

Holothuria scabra dan Ophiocoma dentate memiliki pola penyebaran berkelompok.

Sementara Diadema setosum, Echinomatra mathaei, Echinotrix calamaris, Linckia

laeviagata, Holothuria atra, Holothuria leucospilota, dan Bohadscia similis memiliki

pola sebaran seragam.

Tabel 4.11 Pola Sebaran Filum Echinodermata


No. Spesies moluska Mean Varian Pola penyebaran
Habitat berbatu Habitat berpasir
1 Actinopyga miliaris 0.25 1.33 Seragam Seragam
2 Bohadscia similis 1 1.5 Seragam Seragam
3 Holothuria atra 0.1 1 Seragam Seragam
4 Holothuria leucospilota 0.2 1.2 Seragam
5 Holothuria coluber 0.33 1.33 Seragam
6 Holothuria hilla 0 1 Seragam
7 Echinometra mathaei 15.36 6.21 Berkelompok Seragam
8 Diadema setosum 16.20 6.73 Berkelompok Seragam
9 Ophiocoma dentata 36.28 5.88 Berkelompok Berkelompok
10 Culcita sp 3.29 3.43 Seragam
11 Linckia laevigata 2 2 Acak Seragam
12 Echinotrix calamaris 0 1 Seragam
13 Holothuria scabra 1.2 1.7 Berkelompok

4.6 distribusi spasial sumberdaya makrofauna bentos

Berdasarkan hasil sampling dilapangan melalui penempatan transek dan

kuadran maka data hasil identifikasi sumberdaya makrofauna bentos dibuat dalam peta

distribusi sumberdaya (Gambar 4.1- 4.3).


47
48

Gambar 4.1 Distribusi Filum Moluska


49

Gambar 4.2 Distribusi Filum Arthropoda


50

Gambar 4.3 Distribusi Filum Echinodermata


51

4.6 Pola Pemanfaatan Sumberdaya Makrofauna Bentos Perairan Pantai


Negeri Hutumuri

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, diperoleh informasi

mengenai pola pemanfaatan sumberdaya makrofauna bentos.

4.6.1 Pola Pemanfaatan


4.6.1.1 Secara Temporal
Berdasarkan informasi wawancara bahwa sejak dulu masyarakat yang

memanfaatkan biota dari kegiatan bameti maupun balobe dilakukan tanpa mengenal

musim, dimana terjadi air surut masyarakat akan turun ke pantai untuk mengambil

biota. Dalam seminggu masyarakat melakukan bameti dan balobe sebanyak empat

kali. Kegiatan pemanfaatan bameti dilakukan saat kondisi air surut di siang hari dan

balobe dilakukan saat kondisi air surut di malam hari, jenis sumberdaya yang

dimanfaatkan oleh masyarakat Negeri Hutumuri yaitu Moluska (Tabel 4.12).

Tabel 4.12 Jenis Sumberdaya Dimanfaaatkan


NO. Spesies Pemanfaatan Pengambilan
1 Thais aculeata konsumsi Menggunakan pisau
2 Trochus stellatus konsumsi Menggunakan pisau
3 Trochus aemulan konsumsi Menggunakan pisau
4 Turbo setosus konsumsi Menggunakan pisau
5 Turbo agryrostoma konsumsi Menggunakan pisau
6 Turbo chrysostomus konsumsi Menggunakan pisau
7 Cypraea annulus bahan mainan Diambil dengan tangan
8 Cypraea errones bahan mainan Diambil dengan tangan
9 Cypraea moneta bahan mainan Diambil dengan tangan
10 Strombus mutabilis konsumsi Diambil dengan tangan
11 Strombus labiatus konsumsi Diambil dengan tangan
12 Mitra stictica konsumsi Menggunakan pisau
13 Nerita patula konsumsi Diambil dengan tangan
14 Nerita costata konsumsi Diambil dengan tangan
15 Nerita polita konsumsi Diambil dengan tangan
16 Tellina remies konsumsi Digali, atau memakai
tempurung dan parang
17 Vasticardium flavum konsumsi Memakai parang
52

Jumlah masyarakat dalam sekali bameti bisa mencapai 20-30 orang, rata-rata

masyarakat yang melakukan bameti dan balobe tidak memiliki pekerjaan tetap

mereka hanya berkebun sehingga untuk menunjang kebutuhan pangan sangat

bergantung pada hasil bameti dan balobe. Dalam sekali bameti satu orang warga

dapat mengumpulkan biota sebanyak empat kilogram, hal ini tergantung lama orang

tersebut melakukan bameti jika bameti dilakukan dalam durasi waktu lebih lama

maka akan memperoleh hasil lebih.

4.6.1.2 Secara Spasial

Kondisi pasang surut yang luas menyebabkan masyarakat untuk melakukan

bameti dan balobe pada seluruh area pantai. Kawasan yang paling dominan terjadi

pemanfaatan sumberdaya pada pada habitat berpasir, transek satu sampai tiga dan

habitat berbatu transek 7 sampai 13.

4.6.2 Aktivitas Pemanfaatan di Habitat Makrofauana Bentos

4.6.2.1 Pembuangan Sampah

Masyarakat pesisir sering menjadikan pantai sebagai area pembuangan

sampah karena dekatnya pemukiman dengan pantai. Berdasarkan hasil pengamatan di

lokasi penelitian bahwa masyarakat setempat menjadikan stasiun satu transek 12 dan

13 sebagai tempat pembuangan sampah. Jenis sampah yang dominan pada lokasi ini

yaitu sampah plastik. Dampak yang ditimbulkan yaitu menghalangi penetrasi cahaya

matahari sehingga mempengaruhi metabolisme makrofauna bantos (Pratiwi, 2013)

selain itu juga dapat mengurangi estetika pantai akibat tumpukan sampah di perairan

saat air pasang.


53

4.6.2.2 Penangkapan Ikan

Aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat negeri Hutumuri

merupakan salah satu kegiatan untuk menunjang kebutuhan konsumsi yang telah

berlangsung sejak tahun 1970. Area yang dominan dijadikan kawasan penangkapan

yaitu stasiun dua, saat menangkap ikan masyarakat menggunakan kalawai, panah, dan

jaring yang dibentangkan di atas lamun yang mengakibatkan habitat menjadi rusak

dan daun lamun gugur saat jaring ditarik, sehingga biota yang berasosiasi pada habitat

tersebut akan terganggu populasinya.

4.6.2.3 Penambatan Perahu

Aktivitas penambatan perahu merupakan kegiatan untuk menambat perahu-

perahu saat berlabuh oleh nelayan, aktivitas ini memanfaatkan kawasan pantai

sebagai tempat berlabuh. Pada lokasi penelitian kawasan yang dijadikan area tambat

perahu yaitu stasiun satu transek empat dan lima, dan stasiun dua pada transek satu

dengan jumlah perahu sebanyak enam perahu. Kegiatan ini memberi dampak bagi

biota karena substrat sebagai habitat biota akan rusak akibat terseret perahu.

4.6.2.4 Kawasan Berenang

Dekatnya kawasan pesisir dengan pantai mendorong masyarakat khusunya

anak-anak untuk menjadikan pantai sebagai kawasan rekreasi salah satunya kawasan

berenang. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh anak-anak yang tinggal di negeri

Hutumuri ketika sore hari saat kondisi air pasang dan dilakukan setiap hari pada

stasiun satu transek 9-13, ketika berenang mereka mengambil atau mengangkat

bebatuan tempat melekatnya biota sehingga hal ini dapat mempengaruhi kehadiran

biota pada area tersebut.


54

Informasi mengenai aktivitas-aktivitas pemanfaatan pada habitat makrofauna

bentos di perairan pantai negeri Hutumuri tersaji dalam peta berikut (Gambar 4.4)

Gambar 4.4 Peta Area Pemanfaatan Perairan Pantai Hutumuri


55

4.7 Analisis Pohon Masalah dan Pohon Tujuan Pemafaatan Sumberdaya

Makrofauna Bentos.

Analisis pohon masalah merupakan salah satu bentuk pengelolaan terhadap

sumberdaya makrofauna bentos di perairan pantai Negeri Hutumuri, melalui analisis

pohon masalah dapat diketahui permasalahan utama serta dampak yang ditimbulkan

bagi keberadaan sumberdaya makrofauna bentos. Permasalahan pendorong yang

berpengaruh terhadap pemanfaatan sumberdaya yaitu kondisi ekonomi masyarakat

sebagai faktor utama terjadinya tingkat pemanfaatan karena sebagian besar

masyarakat di Negeri Hutumuri hanya berkebun dan tidak memiliki penghasilan tetap

sehingga sangat bergantung pada sumberdaya makrofauna bentos untuk dikonsumsi.

Bameti dan Balobe adalah kegiatan pemanfaatan sumberdaya makrofauna bentos

yang dilakukan pada perairan pantai Negeri Hutumuri. Aktivitas ini dilakukan sehari-

hari oleh masyarakat menggunakan alat tangkap yang dapat merusak habitat serta

penangkapan lebih terfokus pada spesies yang memiliki nilai komersil sehingga

beberapa jenis tertentu jumlahnya menurun.

Analisis pohon tujuan dihasilkan berdasarkan pohon masalah dengan

mengubah pernyataan negatif menjadi pernyataan positif sehingga diperoleh solusi

terhadap permasalahan pemanfaatan sumberdaya makrofauna bentos.


56

Jenis tertentu populasinya menurun

Habitat terganggu

Adanya penggunaan alat tangkap yang merusak

Bameti dan Balobe

Rendahnya pendapatan Kebutuhan protein hewani

Gambar 4.5 Pohon Masalah Aktivitas Bameti Dan Balobe

Jenis tertentu populasinya tetap ada

Habitat tetap terjaga

Berkurangnya penggunaan alat tangkap


yang merusak

Advokasi kepada masyarakat tentang


Advokasi kepada masyarakat tentang
dampak penggunaan alat tangkap yang
pentingnya menjaga sumberdaya
tidak ramah lingkungan

Gambar 4.6 Pohon Tujuan Aktivitas Bameti Dan Balobe


57

Penurunan populasi makrobentos

Terganggunya pertumbuhan biota

Penurunan kualitas perairan


(kecerahan, estetika)

Sampah dibuang ke pantai

Rendahnya kepedulian masyarakat


Kurangnya sarana tempat sampah
tentang dampak sampah bagi perairan

Gambar 4.7 Pohon Masalah Aktivitas Pembuangan Sampah

populasi makrobentos berlanjut

Kualitas perairan baik

Berkurangnya sampah di perairan

Adanya kesadaran masyarakat


membuang sampah pada tempatnya

Sarana prasarana tempat sampah yang Advokasi dampak sampah terhadap


memadai kualitas perairan

Gambar 4.8 Pohon Tujuan Aktivitas Pembuangan Sampah


58

Terganggunya keberadaan makrobentos

Berpotensi merusak habitat

Adanya aktivitas penangkapan ikan


menggunakan alat tangkap yang merusak

Kebutuhan konsumsi ikan

Gambar 4.9 Pohon Masalah Aktivitas Penangkapan Ikan

Terjaganya keberadaan makrobentos

Habitat terjaga

Berkurangnya aktivitas penangkapan


menggunakan alat tangkap yang merusak

Sosialisasi penggunaan alat tangkap ramah


lingkungan

Gambar 4.10 Pohon Tujuan Aktivitas Penangkapan Ikan


59

Terganggunya keberadaan makrobentos

Kerusakan habitat dan cangkang biota akibat


gesekan perahu dengan substrat

Penggunaan area pantai secara bebas sebagai


tempat perahu

Tidak tersedia tempat berlabuh perahu

Gambar 4.11 Pohon Masalah Aktivitas Penambatan Perahu

Keberadaan makrobentos terjaga

Habitat tetap terjaga

Teraturnya area penambatan perahu

Advokasi kepada masyarakat untuk


mengalihkan area tambatan perahu ke darat

Gambar 4.12 Pohon Tujuan Aktivitas Penambatan Perahu


60

Organisme terganggu

Peluang menginjak organisme

Adanya aktivitas berenang

Kebutuhan masyarakat khususnya anak-anak


Dekatnya pesisir dengan pantai untuk rekreasi

Gambar 4.13 Pohon Masalah Aktivitas Berenang

Organisme tetap terjaga

Mengurangi peluang terinjaknya organisme

Advokasi kepada masyarakat untuk tidak


merusak habitat saat berenang

Gambar 4.14 Pohon Tujuan Aktivitas Berenang


61

4.8 Arahan Pengelolaan

Berdasarkan kajian potensi dan pola serta bentuk ativitas pemanfaatan

sumberdaya makrofauna bentos maka dirumuskan arahan pengelolaan di negeri

Hutumuri yaitu:

1. Adanya upaya perlindungan terhadap area penelitian yaitu transek 7-13 dalam
hal pengaturan waktu dan jumlah pengambilan terhadap spesies yang
memiliki kepadatan rendah seperti Nassarius olivaceus, Rhinoclavis sinensis,
Strombus labiatus, Tonna perdix, Latirolagena smaragdula, Tellina remies,
Vesticardium flavum, Mitra stictica, Turbo setosus, Conus ducurtata dan Cypraea
moneta.
2. Adanya advokasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga sumberdaya

dan dampak penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan.

3. Adanya sarana prasarana tempat sampah yang memadai dan advokasi kepada

masyarakat tentang dampak sampah terhadap kualitas perairan.

4. Sosialisasi penggunaan alat tangkap ikan ramah lingkungan.

5. Advokasi kepada masyarakat untuk mengalihkan area tambatan perahu ke

darat.

6. Advokasi kepada masyarakat untuk tidak merusak habitat saat berenang.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Makrofauna bentos di perairan pantai negeri Hutumuri terdiri dari 3 filum yaitu filum

moluska, arthropoda, echinodermata dimana nilai kepadatan dan frekuensi kehadiran

tetinggi ditunjukan oleh filum moluska, pola sebaran makrofauna bentos yaitu

seragam, berkelompok, acak. Nilai keanekaragaman makrofauna bentos menunjukan

sedang, nilai keseragaman tinggi, dan dominansi rendah.

2. Pola pemanfaatan sumberdaya makrofauna bentos pada perairan pantai Hutumuri

yaitu secara temporal dan spasial. Aktivitas pemanfaatan yang terjadi di habitat

makro bentos yaitu pembuangan sampah, penambatan perahu, penangkapan ikan,

dan kawasan berenang.

3. Terdapat 8 arahan pengelolaan yang dihasilkan yaitu:

Adanya upaya perlindungan terhadap area penelitian yaitu transek 7-13 dalam

hal pengaturan waktu dan jumlah pengambilan terhadap spesies yang

memiliki kepadatan rendah seperti Nassarius olivaceus, Rhinoclavis sinensis,

Strombus labiatus, Tonna perdix, Latirolagena smaragdula, Tellina remies,

Vesticardium flavum, Mitra stictica, Turbo setosus, Conus ducurtata dan Cypraea

moneta, sdanya advokasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga

sumberdaya dan dampak penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan,


62

adanya sarana prasarana tempat sampah yang memadai dan advokasi kepada

masyarakat tentang dampak sampah terhadap kualitas perairan, sosialisasi

penggunaan alat tangkap ikan ramah lingkungan, kebijakan pemerintah desa

menyediakan area tambatan perahu dan dibuat area khusus rekreasi.

5.2 Saran

Perlu dilakukan beberapa penelitian lanjutan yaitu tentang hubungan faktor

lingkungan terhadap keberadaan makrobentos dan pengaruh musim bagi distribusi

makrobentos di perairan pantai negeri Hutumuri.


DAFTAR PUSTAKA

Abrahamsz, J. 2009. Modul Perencanaan Pengembangan Pesisir Dan Pulau-Pulau


Kecil, Perencanaan Berorientasi Tujuan. Fakultas perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Pattimura Ambon.
Afrizal, Asri. 2015. Pola Penyebaran Gastropoda di Intertidal Pantai Pulot Kecamatan
Leupung Kabupatan Aceh Besar. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Universitas Serambi Mekah, Aceh.
Alimudin, Kusnadi. 2016. Keanekaragaman Makrozoobentos Epifauna Pada Perairan
Pulau Lae-Lae Makassar. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
UIN.
Arhas, F.R. 2015. Struktur Komunitas dan Karakteristik Bulu Babi (Echinoidea) di
Zona Sublitoral Perairan Iboh Kecamatan Sukakarya Kota Sabang. ISBN:
978-602-18962-5-9
Arianto, T. P. 2016. Keanekaragaman Dan Kelimpahan Echinodermata Di Pulau
Barrang Lompo Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar. Jurusan Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar.
Ayal, F.W, S. Tubalawony. J. Abrahamsz. 2013. Analisis Kelayakan Ekowisata
Pantai Lawena Negeri Hutumuri Kota Ambon. Jurnal TRITON 9(2) : 99 –
105.
Aziz A, Al Hakim II. 2012. Fauna ekhinodermata perairan terumbu karang sekitar
Bakauheni. Oseanologi dan Limnologi Indonesia, 33, 187-198.
Bahri, F. Y. 2014. Kenaekaragaman dan Kepadatan Komunitas Moluska di Perairan
Sebelah Utara Danau Maninjau. Skripsi. Institut Pertanian bogor. Bogor.
Chalid. 2014. Dinamika Modernisasi Perikanan. Jurnal ekologi. No.57:92-108.
Dahuri. 2004. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut. Pusat kajian
sumberdaya pesisir dan lautan IPB, Bogor.
Dobo, J. 2009. Tipologi komunitas lamun kaitannya dengan populasi bulu babi di
Pulau Hatta Kepulauan Banda, Maluku. Tesis. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Darma, B. 1992. Siput dan Kerang Indonesia: Indonesian shells II. PT Sarana Graha.
Jakarta: ix+134 hlm.
Daurand, S. S. 2010. Studi potensi sumberdaya alam di kawasan pesisir kabupaten
Minahasa Selatan. 6(1) :1-7.
64

Husain. 2017. Struktur Komunitas Teripang (Holothuroidea) di Kawasan Pantai


Pulau Nyaregilaguramangofa Kec. Jailolo Selatan Kab. Halmahera Barat
Maluku Utara. Jurnal Ilmiah Platix. Vol. 5:(2). Issn: 2302-3589
Insafitri. 2010. Keanekaragaman, Keseragaman, Dan Dominansi Bivalvia Di Area
Buangan Lumpur Lapindo Muara Sungai Porong. Jurnal kelautan. Volume
3, No.1. ISSN : 1907-9931.
Kallay.M.S. 2013. “Struktur Komunitas Moluska di Padang Lamun Perairan Pulau
Talise, Sulawesi Utara.” Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 37 (1):
71–89.
Lewerissa, Y. A. 2014. Studi Ekologi Sumberdaya Teripang Di Negeri Porto Pulau
Saparua Maluku Tengah. Biopendix, 1(1): Hal. 32-42.
Luanmas, R. M. 2018. Pola Pemanfataan Sumberdaya Makrofuna Bentos Di Perairan
Pantai Dusun Mahia. Skripsi. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan
Universitas Pattimura.
Nirwana. S. D. Ariska. 2016. Studi Struktur Komunitas Teripang Berdasarkan
Kondisi Substrat Dl Perairan Desa Sawapudo Kabupaten Konawe. ISSN
2503-0396.

Ode, I. 2014. Jenis-Jenis Alga Coklat Potensial diPerairan Pantai Desa Hutumuri
Pulau Ambon. Jurnal ilmiah agribisnis perikanan. Vol. 7(2).

Pelupessi.I.A.H. 2017. Komposisi Jenis, Keanekaragaman, Dan Pemanfaatan


Moluska Di Pesisir Pulau Saparua, Maluku Tengah Vol. 4(2) :173 – 188.

Pical, V, J. 2013. Kinerja Aparat Pengelola Sumberdaya Perikanan Berbasis


Masyarakat Di Kota Ambon . Jurnal TRITON Volume 9(1) : 33 – 41.
Pratami CE. 2015. Sebaran moluska (bivalvia dan gastropoda) di perairan teluk
Jobokuto, pantai Kartini Jepara, Jawa Tengah. skripsi. Manajemen
Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Pratiwi, R. 2015. asosiasi krustasea di ekosistem padang lamu perairan teluk
Lampung. J. Ilmu Kelautan, 15(2):66-76.
Rupilu, K. 2015. Karakteristik Sedimen Pantai Pada Perairan Pantai Desa Hutumuri
Dan Desa Wayame Pulau Ambon. Jurnal Agroforestri 10(2) ISSN: 1907-
7556.
Rusdiana Puspa Ayu. 2014. Kajian ditribusi dan keberadaan makrobentos dalam
hubungannya dengan suhu dan aliran sungai air panas cangar kota Batu
65

Septiana. 2017. Keanekaragaman Moluska (Bivalvia Dan Gastropoda) Di Pantai Pasir


Putih Kabupaten Lampung Selatan. Fakltas Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.
Sipahelut. 2010. Analisis Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Di Kecamatan Tobelo,
Kabupaten Halmahera Utara. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.
Stanis. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut Melalui Pemberdayaan
Kearifan Lokal Di Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.
Suharianto. 2016. Sumberdaya laut dan pesisir. ISSN : 2086-2806.
Suwarni, 2013. Aspek-Aspek Biologi Beberapa Jenis Teripang Ekonomi Penting di
Pulau Barang Lompo Ujung Pandang dan Sekitarnya. UNHAS Ujung
Pandang
Syafrudin. 2016. Identifikasi Jenis Udang (Crustacea) Di Daerah Aliran Sungai (Das)
Kahayan Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah. Institut Agama
Islam Negeri Palangkaraya.
Tangke, Umar. 2010. Analisis Potensi Dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan
Kuwe (Carangidae Sp) Di Perairan Laut Flores Provinsi Sulawesi Selatan.
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan. Volume 3.
Tuapattinaya. P.M.J. 2015. Kajian Faktor Lingkungan Dan Identifikasi Filum
Mollusca, Filum Echinodermata Di Ekosistem Padang Lamun Perairan
Pantai Negeri Tulehu Kabupaten Maluku Tengah. Biopendix,Vol 1(2) :
113-120.
Waisaley, M. F. Sangadji. 2019. Inventarisasi Jenis Dekapoda Di Perairan Pantai
Kelurahan Tongkaina, Kota Manado. ISSN: 2339-1537.
Wawo, M., Uneputty, Pr, A. 2013. Aktivitas Pemanfaatan Sumber Daya Moluska di
Perairan Teluk Ambon. Jurnal TRITON 9(2) :120 –126.
Widyaningsih. 2015. Kelimpahan dan Pola Sebaran Kerang-Kerangan (Bivalve) di
Ekosistem Padang Lamun, Perairan Jepara. Vol. 12 (1) : 53 – 58.
Wilhm, J. L., and T.C. Doris. 1986. Biologycal Parameter for water quality Criteria.
Bio. Science: 18.

Anda mungkin juga menyukai