Pengarah:
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc.
Penanggung Jawab:
Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat
Ir. Muhammad Said, MM
Koordinator:
Kepala Sub Direktorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal
Yuli Prasetyo Nugroho, S. Sos, M.Si
Tim Penyusun:
Yuli Prasetyo Nugroho, S. Sos, M.Si
Agung Pambudi, S.Sos
Ir. April Harini
Nelson Perdy Noveri, S.Sos
Rina Nurhaeni, S. Kom
Adi Saputro, S.Sos
Nisa Ni’mah Utami, S.Kesos
Adrian Firdaus
Pendukung:
Dr. Herry Yogaswara (LIPI)
Penyelaras Akhir :
Yuli Prasetyo Nugroho, S. Sos, M.Si
2018
II
KATA PENGANTAR
Pada acara peringatan Hari Lingkungan Hidup 2017, Presiden Republik
Indonesia menekankan perlunya corective action dalam perancangan tata
kelola hutan Indonesia kedepan. Diantara rancangan tata kelola hutan
dimaksud, yang paling signifikan telah dimulai adalah berkenaan dengan
hutan adat.
Secara resmi pemerintah pada acara pengakuan hutan adat tanggal 30
Desember 2016 di Istana Negara telah memberikan perlindungan dan
pengakuan Hutan Adat, sebagai jawaban atas perjalanan panjang perjuangan
Masyarakat Adat hingga ke Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian babak
baru Perhutanan Indonesia kini kita mulai, dan buku berjudul “Hutan Adat
Wujud Rakyat Berdaulat Bangsa Bermartabat” menjadi sangat relevan dan
penting.
Buku ini memberikan informasi tentang berbagai hal yang berkaitan
dengan Hutan Adat, Masyarakat Hukum Adat dan berbagai kebijakan yag
telah dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Oleh karenanya sangat baik untuk dijadikan salah satu referensi dalam
menyelesaikan permasalahan Hutan Adat dan Masyarakat Hukum Adat yang
dihadapi dalam mengelola kawasan hutan.
Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang
telah memberikan kontribusi, semoga buku ini bermanfaat.
Mari wujudkan hutan adat menuju rakyat berdaulat bangsa bermartabat.
Jakarta, September 2017
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
II BAB II
TATA CARA PENGUSULAN, PENETAPAN DAN PENCADANGAN
HUTAN ADAT .............................................................................. 21
A Pengusulan Hutan Adat .............................................................. 23
B Penetapan Hutan Adat ................................................................ 27
C Masyarakat Hukum Adat ............................................................. 30
C.1 Calon Masyarakat Hukum Adat .......................................... 30
C.2 Kepala Daerah ..................................................................... 31
C.3 Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah .......................... 33
D Perda Masyarakat Hukum Adat .................................................. 35
E Pencadangan Hutan Adat ........................................................... 47
IV
III BAB III
IV BAB IV
KEARIFAN LOKAL DAN PENGETAHUAN TRADISIONAL .............. 105
A Kearifan Lokal dan Pengetahuan Tradisional .............................. 107
B Regulasi Tentang Kearifan Lokal ................................................. 109
C Mekanisme Pengakuan Kearifan Lokal ........................................ 110
V
V BAB V
PENUTUP ..................................................................................... 121
A Kesimpulan .................................................................................. 122
B Saran ............................................................................................ 125
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 127
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 : Permendagri 52/2014
Lampiran 2 : Permen LHK 32/2015
Lampiran 3 : Perdirjen PSKL 1/2016
Lampiran 4 : Permen LHK 34/2017
VI
BAB I
SELAYANG PANDANG
HUTAN ADAT
1
BAB I
SELAYANG PANDANG HUTAN ADAT
2
akan hilangnya kuasa negara terhadap kawasan hutan yang kemudian
berpindahtangan menjadi hak MHA. Cepat atau lambat, suka atau tidak
suka hutan adat adalah suatu keniscayaan yang eksistensinya diatur dalam
undang-undang dasar, sehingga harus disikapi dengan bijaksana. Termasuk
kebijakan untuk memutuskan apakah suatu areal dan komunitas adatnya
layak dan pantas ditetapkan sebagai areal Hutan Adat, sehingga prosesnya
harus dilakukan secara cermat dan hati-hati mengingat implikasinya yang
amat besar saat ini dan dimasa yang akan datang.
Bagi masyarakat Indonesia, hutan dipandang sebagai sumber kehidupan
yang sangat penting, karena berperan sebagai penyedia sumber pangan,
ekonomi, obat-obatan, energi, serta s kawasan tempat tinggal. Dari sekitar 250
juta penduduk Indonesia, sekitar 48,8 juta jiwa tinggal disekitar kawasan hutan
dan 10,2 juta jiwa diantaranya hidup dibawah garis kemiskinan. Masyarakat
seperti ini secara tradisi menggantungkan hidup dari sumberdaya hutan,
hasil kayu maupun bukan kayu (rotan, madu, gaharu, damar, dan bambu).
Interaksi masyarakat dengan hutan merupakan aktivitas yang terjadi
pada hampir seluruh kawasan hutan. Praktek pemanfaatan dan pengelolaan
wilayah pemukiman dan penghidupan sebuah komunitas, berdasarkan
aspek ekologi, sosial dan ekonomi adalah hal yang lazim dilakukan oleh
masyarakat hukum adat (MHA) di wilayah Indonesia. Perlindungan menjadi
hal yang tidak terpisahkan dari pengelolaan lahan, perairan, hutan, dan
keanekaragaman hayati. Hakikatnya adalah pilar-pilar kehidupan masyarakat
adat dan masyarakat lokal berdasarkan nilai-nilai, pranata, dan kesejarahan
keberadaan masyarakat dan wilayah adatnya (Widodo, 2016).
Pengelolaan kawasan hutan oleh MHA terjadi pada areal yang disebut
negara sebagai kawasan konservasi yang kemudian dikenal sebagai Areal
Kelola Konservasi Masyarakat (AKKM). Konsep dimaksud merupakan
penjabaran pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional dan menjamin
berbagai aspek kehidupan masyarakat, matapencaharian, ketahanan pangan,
air, konservasi keanekaragaman hayati, dan kelestarian lingkungan. Dari aspek
terhadap hak, AKKM merupakan perwujudan terhadap hak-hak ekonomi,
lingkungan, sosial dan budaya (Rusdi, 2016).
3
Sudah tak terhitung banyaknya kisah atau cerita bagaimana MHA
berinisiatif untuk menjaga dan mempertahankan kawasan hutan disekitarnya
sembari tetap mencari penghidupan ekonomi terkait fitrahnya sebagai
manusia yang memerlukan keberlangsungan hidup dan kehidupan. Selama
itulah areal hutan itu tetap terjaga kelestariannya dan fungsinya baik bagi
manusia dan ekosistemnya.
Semangat dari suatu MHA dalam mengelola hutan adat sejatinya adalah
untuk melakukan proteksi terhadap areal hutan disekitarnya dari berbagai
ancaman baik internal maupun eksternal. Ancaman-ancaman itu kian hari
semakin terasa nyata sehingga eksistensi budaya dan sumberdaya alam suatu
MHA akan semakin pudar hingga pada akhirnya akan punah dan terlupakan.
Proses modernisasi yang ditandai dengan perubahan masyarakat tradisional
menuju modern sebagai imbas dari keterbukaan zaman menjadi hal yang
sulit dihindari, termasuk perubahan yang terjadi pada MHA. Orientasi pola
pikir masyarakat pun menjadi semakin konsumtif untuk memenuhi berbagai
keinginannya dan bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhannya. Disitulah
kemudian mengapa peranan suatu MHA sebagai suatu entitas sosial, ekonomi
dan budaya menjadi sangat penting.
4
Hutan adat adalah salah satu mekanisme pengelolaan hutan yang
mengakui eksistensi dan memberikan ruang lebih kepada MHA untuk
mengelola hutan dan sumberdaya alam disekitarnya, sesuai kearifan lokal
dan pengetahuan tradisionalnya yang telah berlangsung secara turun
temurun. Tentunya MHA pengelola hutan adat ini mempunyai basis legal
formal oleh pemerintah daerah dan juga pengakuan oleh komunitas-
komunitas adat adat lainnya. Pengakuan terhadap MHA ini juga beserta
wilayah adat, termasuk hutan adatnya. Suatu komunitas masyarakat adat
dapat disebut sebagai MHA memerlukan proses pengakuan sendiri atau
“self identification” dan pengakuan dari pihak lain atau “identification
by others”. Pengakuan negara adalah bagian dari pengakuan dari pihak
lain untuk memberikan legalitas formal. Proses ini jelas memerlukan
kehadiran negara dalam berbagai bentuk untuk mengakui dan melindungi
MHA dan sebuah upaya agar komunitas MHA yang dimaksud masih
menggunakan fungsi-fungsi ke-adat-an dalam mengelola sumber daya
hutan, dna bukan komunitas MHA yang melakukan klaim sepihak.
Dalam hal identifikasi MHA, saat ini terdapat kekhawatiran akan kehadiran
MHA “bentukan” atau MHA yang tidak memiliki basis klaim yang jelas.
Kekhawatiran diatas tentu sangat beralasan mengingat permasalahan
tenurial saat ini sangat sensitif dan pasti berpotensi menimbulkan konflik,
termasuk konflik vertikal maupun horizontal. Berdasarkan data dan peta
potensi konflik dari Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan
Adat tahun 2017, tercatat setidaknya areal seluas ± 14.517.807 ha yang
terindikasi berpotensi konflik (Direktorat PKTHA: 2017) termasuk di dalam
klaim wilayah adat.
Potensi hilangnya hak atas hutan bagi komunitas nyata di depan mata.
Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, secara faktual telah kehilangan
haknya atas hutan sebagai sumberdaya alam untuk menopang
kehidupannya, termasuk hak tradisionalnya. Sehingga masyarakat
hukum adat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
dari hutan. Bahkan acapkali hilangnya hak-hak MHA dimaksud dengan
5
cara sewenang-wenang, sehingga tidak jarang menyebabkan terjadinya
konflik yang melibatkan masyarakat dengan pemegang hak. (Mahkamah
Konstitusi 2012: 169). Itulah mengapa kehadiran negara begitu penting.
Indikasinya, berbagai regulasi terkait mekanisme pengakuan terhadap
MHA, mekanisme pengusulan, dan penetapan hutan adat telah
diterbitkan pasca putusan MK 35 tahun 2012.
6
peraturan daerah, peta, dan bukti otentik lain. Akibatnya, s hanya
berakhir sebatas klaim dan tidak dapat diproses lebih lanjut sesuai
peraturan perundangan yang berlaku. Klaim MHA terhadap wilayah
adatnya sendiri angkanya juga cukup besar. Badan Registrasi Wilayah
Adat (BRWA) pada Juni 2017 merilis angka 9,2 juta ha wilayah adat
Agar klaim komunitas adat terhadap wilayah adat dan hutan adatnya
tidak “bertepuk sebelah tangan”, maka pengakuan terhadap entitas adat
dan wilayah adatnya oleh pemerintah daerah menjadi sangat penting.
Logikanya adalah bagaimana mungkin negara (pemerintah pusat)
mengakui suatu komunitas adat beserta wilayah adat dan hutan adatnya
apabila pemerintah daerahnya sendiri belum memberikan pengakuan
secara legal formal (state recognition).
Pengakuan dari pemerintah daerah selaku pemangku wilayah sekaligus
perpanjangan tangan negara di suatu wilayah juga berfungsi sebagai
penyaring komunitas MHA sejati dan komunitas MHA yang tidak
memiliki basis klaim dari peraturan negara maupun organisasi dan
komunita-komunita adat. Proses penyaringan seperti ini menjadi
sangat strategis dilakukan karena kebijakan pengakuan dimaksud akan
membawa implikasi yang amat panjang terhadap areal yang kemudian
ditetapkan menjadi hutan adat. Masih adanya kesalahpahaman dari
para pihak akan kebijakan tentang hutan hak/hutan adat itulah yang
kemudian menyebabkan proses-proses terkait hutan adat dianggap
sebagai suatu “ancaman” bagi pemerintah, pemerintah daerah, dunia
usaha dan parapihak lain yang berkepentingan. Padahal proses-proses
untuk identifikasi komunitas MHA itu untuk kepentingan gerakan sosial
MHA itu sendiri, yaitu komunitas-komunitas MHA yang ingin betul-betul
menggunakan adat untuk kesinambungan sumber daya alam, khususnya
hutan.
Atas dasar pertimbangan itulah, kemudian negara menetapkan beberapa
regulasi dan instrumen untuk memastikan kebenaran, keabsahan dan
validitas MHA sehingga keputusan pengakuan kapada MHA, wilayah
adat, dan hutan adatnya menjadi tepat sasaran.
7
B. Regulasi terkait Masyarakat Hukum Adat, Hutan Adat, Kearifan Lokal
dan Kehadiran Negara
Keberadaan MHA, Hutan Adat, Kearifan Lokal telah dituangkan dalam
berbagai regulasi sebagai bentuk kehadiran negara, mulai dari Undang-
Undang Dasar 1945, Undang-undang, Putusan Mahkamah Konstitusi,
Peraturan Menteri, Peraturan Daerah hingga petunjuk teknis yang
dikeluarkan oleh Kementerian/Lembaga terkait.
8
Kesimpulannya, pengaturan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan
bahwa keberadaan MHA, kearifan lokal dan hak-hak MHA yang terkait
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilindungi oleh
Negara.
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-
undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada awalnya
mengatur bahwa hutan adat adalah bagian dari hutan negara.
Tetapi berdasarkan amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/
PUU-X/2012, menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan yang
berada dalam wilayah MHA). Pasal 67 Ayat (1) mengatur hak MHA
antara lain:
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat hukum adat yang
bersangkutan;
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan Hukum
Adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-
undang; dan
c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya.
Penjelasan Pasal 67 Ayat (1) di atas menyatakan bahwa sebagai
MHA, diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeinschap);
b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat
yang masih ditaati;
e. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan
sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
2. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah.
Dalam UU No 32 Tahun 2004 mengatur mengenai sistim
9
pemerintahan dan pembagian kewenangan sesuai dengan tingkat
kewenangannya. UU ini juga memberikan pengaturan berkenaan
kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengatur dan menetapkan
keberadaan MHA melalui Peraturan Daerah. UU ini mengatur
kelembagaan masyarakat paling kecil sebagai Desa atau nama
lainnya sebagai: “Desa atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukumyang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pasal 2 Ayat (9) undang-undang ini menegaskan bahwa negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan MHA beserta
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.
Selanjutnya pada bagian pemerintahan desa terkait dengan
pemilihan kepala desa dinyatakan bahwa pemilihan kepala desa
dalam kesatuan MHA beserta hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum
adat setempat yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah dengan
berpedoman pada peraturan pemerintah sebagaimana diatur dalam
Pasal 203 Ayat (3).
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
UU ini merupakan landasan pengembangan kebijakan kegiatan
invetarisasi keberadaan MHA, kearifan lokal dan hak-hak MHA yang
terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
Tradisional terkait sumber daya genetik. Pasal 63 Ayat (1) huruf
(t) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah
10
bertugas dan berwenang: menetapkan kebijakan mengenai tata
cara pengakuan keberadaan MHA, kearifan lokal, dan hak MHA
yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Pasal 63 Ayat (1) huruf t, Pasal 63 Ayat (2) huruf n, dan Pasal
63 Ayat (3) huruf k undang-undang ini menentukan bahwa dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah bertugas dan berwenang menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan
MHA, kearifan lokal, dan MHA yang terkait dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 tentang Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Keluarnya Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 atas uji materi UU
No. 41/2009 tentang Kehutanan, dengan amar putusan, antara
lain bahwa hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah
MHA (Pasal 1). Ini memberi implikasi luas dalam upaya pengakuan
keberadaan, kearifan lokal dan hak MHA.
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 tahun 2014 tentang
Pedoman Pengakuan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum
Adat.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 menjadi Pedoman
bagi daerah dalam melakukan pengakuan dan perlindungan MHA
untuk melakukan identifikasi, verifikasi dan validasi serta penetapan
MHA.
6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 32 Tahun
2015 tentang Hutan Hak.
Pasal 6 Permen LHK Nomor: P.32/Menlhk-Setjen/2O15 tentang
Hutan Hak, menyatakan bahwa persyaratan pengakuan hutan hak
jika terdapat MHA atau hak ulayat yang telah diakui oleh Pemerintah
Daerah melalui produk hukum daerah. Produk Hukum Daerah sesuai
Permendagri Nomor 1 tahun 2014 tentang Pembentukan Produk
11
Hukum Daerah, terdiri dari: Peraturan Daerah atau sebutan lain
(Perda Provinsi/Kabupaten/Kota/Qanun), Peraturan Gubernur/
Bupati/ Walikota (Perkada), Peraturan Bersama Gubernur/Bupati/
Walikota (PB KDH), dan Peraturan DPRD (Peraturan DPRD Provinsi/
Kabupaten/Kota).
Pasal 12 Permen LHK Nomor: P.32/Menlhk-Setjen/2O15 tentang
Hutan Hak, menyatakan bahwa Menteri dapat memfasilitasi
Pemerintah Daerah untuk menyusun produk hukum yang mengakui
MHA atau hak ulayat. Komitmen dan kapasitas Pemerintahan
Daerah perlu didorong sehingga pengakuan MHA dapat terlaksana
dengan baik. Karena itu, diperlukan fasilitasi bimbingan teknis dan
pendampingan penyusunan Peraturan Daerah tentang Penyusunan
Produk Hukum Daerah tentang pengakuan keberadaan MHA. Tujuan
penulisan buku ini diharapkan akan menumbuhkan komitmen
pemerintahan daerah untuk mewujudkan pengakuan hukum bagi
MHA dan hak-haknya.
7. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 34 tahun
2017 tentang Pengakuan dan Pelindungan Kearifan Lokal dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Peraturan Menteri LHK No 34 tahun 2017 ini mengatur mengenai tata
cara pengakuan dan perlindungan kearifan lokal dalam pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup. Peraturan tersebut
merupakan tindak lanjut amanat Undang -Undang 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Aturan ini memberikan perlindungan hukum bagi pengampu dan
memfasilitasi pengakses kearifan lokal dalam mewujudkan keadilan,
kesejahteraan masyarakat, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup
dan sumber daya alam. Tujuan dari regulasi tersebut agar pengampu
kearifan lokal mendapat pengakuan, perlindungan, dan memperoleh
pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari pemanfaatan
kearifan lokal dalam relevansi pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup.
12
8. Peraturan Daerah.
Berbagai regulasi sebelumnya menyebutkan bahwa pengakuan
MHA di atur dalam Peraturan Daerah. Oleh sebab itu Pemerintah
Daerah memiliki peran sangat penting untuk pengakuan keberadaan
MHA. Masing-masing daerah memiliki karakteristik mengenai
masyarakat dan kearifan lokalnya, sehingga Perda menjadi regulasi
teknis dalam pengakuan dan perlindungan MHA. Contoh Perda
seperti ini adalah Perda No 8 tahun 2015 kabupaten Lebak tentang
Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum
Adat Kasepuhan Lebak”. Perda ini menjadi dasar bagi penetapan
hutan adat untuk salahsatu komunitas, yaitu kasepuhan Karang.
9. Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan No 1 Tahun 2016 tentang Tata Cara Verifikasi dan Validasi
Hutan Hak.
Perdirjen PSKL merupakan petunjuk teknis atas terbitnya PermenLHK
No. 32/2016 tentang Hutan Hak. Peraturan ini dimaksudkan untuk
memberikan panduan tata cara pelaksanaan verifikasi dan validasi
hutan hak secara transparan, partisipatif, akuntabel dan tidak
diskriminatif dengan memberikan kesempatan yang sama bagi laki-
laki dan perempuan.
Berbagai regulasi diatas merupakan wujud kehadiran negara akan
eksistensi MHA yang sejalan dengan NAWACITA pemerintahan Jokowi-
JK 2014-2019 terutama Agenda Kesatu yang berbunyi: “Menghadirkan
kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa
aman kepada seluruh warga negara”, dan Agenda Ketiga “Membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan”.
Istilah Hutan Adat dan MHA ternyata telah terdengar jauh sebelum istilah
resminya muncul dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang
14
berbunyi “Hutan adat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah
adat masyarakat sebagai sumber kehidupan, identitas sosial dan ritual
budaya.
15
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum, ditandai
dengan ada wilayah hukum adat yang jelas, pranata dan perangkat
hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati (Psl 1 Huruf 30 UU
32/2009). Masyarakatnya ini biasanya masih dalam bentuk paguyuban
(rechtsgemeenschap), kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa
adatnya.
D. Hutan Adat
Wilayah adat memiliki berbagai karakteristik di seantero kepulauan
Indonesia: mulai dari wilayah pedesaan, pedalaman, hingga pesisir;
baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi; dalam lanskap hutan
belantara hingga padang rumput savanna. Keragaman wilayah itu juga
mempengaruhi cara hidup mereka berproduksi memenuhi kebutuhan
makanan mulai dari berburu dan mengumpulkan hasil hutan, bertani-
berladang, hingga bertani menetap dengan mengerjakan sawah.
Perbedaan bentang alam itu membentuk perbedaan cara memenuhi
kebutuhan hidup melalui tata produksi-konsumsinya, yang juga terkait
secara langsung maupun tidak dengan sistem pengaturan kepenguasaan
atas tanah (Hidayat, 2005).
Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam penetapan hutan
hak adalah bahwa penetapan hutan hak tidak mengubah fungsi hutan,
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan. Penetapan hutan adat merupakan penetapan
status hutan. Penetapan hutan adat bukan serta merta dapat merubah
fungsi hutan. Sesuai Pasal 37 Undang Undang Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan yang disebutkan diatas, bahwa pemanfaatan hutan
adat dilakukan oleh MHA yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
Sepanjang seluruh persyaratan dapat dipenuhi, Hutan Adat dapat
ditetapkan di seluruh kawasan hutan negara (HL/HP/HK) dan Areal
Penggunaan Lain (APL)
16
berdasarkan statusnya hutan dibedakan menjadi hutan negara dan hutan
hak yang terbagi atas (1) hutan adat dan (2) hutan perseorangan/badan
hukum. Seluruh proses penetapan Hutan Adat dan Hutan Hak melalui
tahapan verifikasi dan validasi sesuai peraturan perundangan yang
berlaku.
17
Sedangkan Hutan Hak didefinisikan sebagai hutan yang berada pada
tanah yang dibebani atas tanah. Hutan hak terdiri dari Hutan Hak
Perorangan dan Hutan Hak suatu badan hukum. Hutan Hak dapat
ditetapkan dengan persyaratan: a). Terdapat hak atas tanah yang dimiliki
oleh perseorangan/badan hukum yang dibuktikan dengan dokumen-
dokumen tertulis atau bukti-bukti tidak tertulis sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-perundangan; b). Terdapat tanah yang
sebagian atau seluruhnya berupa hutan; dan c). Surat pernyataan dari
perseorangan/badan hukum untuk menetapkan tanahnya sebagai hutan
hak.
Pasal 36
(1) Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas
tanah yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
(2) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi
dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
Pasal 37
(1) Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum
adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
(2) Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi
dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
18
Pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat dilaksanakan oleh MHA
berdasarkan kearifan lokal dan hukum adat yang berlaku sesuai dengan
fungsinya. Hutan adat dimiliki, dikelola, dan dimanfaatkan secara
komunal oleh satu komunitas MHA.
19
Implikasi nyata dari adanya Putusan MK 35/PUU-IX/2012 adalah
munculnya komunitas-komunitas MHA yang selama ini aktif melakukan
praktek-praktek pengelolaan hutan berbasis adat/kultural secara informal
dan menuntut agar diakui secara legal formal oleh negara sebagai MHA
beserta wilayah adat dan areal hutan adatnya. Tuntutan dimaksud tidak
serta merta dapat segera diakomodir karena negara masih memerlukan
regulasi dan mekanisme lain yang bersifat teknis sebagai landasan hukum
proses pengakuan terhadap MHA dan Penetapan Hutan Adat. Sampai
dengan bulan Juli 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
telah menetapkan 10 (sepuluh) areal Hutan Adat yang tersebar di Provinsi
Jambi, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Barat.
20
BAB II
TATA CARA PENGUSULAN,
PENETAPAN DAN
PENCADANGAN HUTAN ADAT
21
BAB II
TATA CARA PENGUSULAN, PENETAPAN DAN PENCADANGAN
HUTAN ADAT
22
Pada bagian dibawah ini merupakan pedoman terkait hutan adat :
23
Matrik 2.1
Alur Penetapan Hutan Adat berdasarkan Fungsi Kawasan Hutan
No Type Pengajuan Hutan Adat Persyaratan Utama Output
1 Pengajuan Hutan Adat pada • Peraturan Daerah SK Penetapan
Kawasan Hutan Negara • Peta Usulan Hutan Adat Pencantuman Hutan
Adat
2 Pengajuan Hutan Adat diluar • Peraturan Daerah atau SK Pencantuman Hutan
Kawasan Hutan Negara (APL). Produk Hukum Adat.
daerah (SK Kepala
Daerah)
• Peta Usulan Hutan Adat
3 Pe n ga j u a n H u ta n A d at • Peraturan Daerah SK Penetapan
gabungan dari Kawasan • Peta Usulan Hutan Adat Pencantuman Hutan
Hutan Negara dan diluar Adat
Kawasan Hutan Negara
Sumber: Direktorat PKTHA 2017
* kawasan hutan mengacu pada peta kawasan hutan provinsi (lampiran Keputusan Menteri LHK terbaru
atau Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan yang masih berlaku).
Gambar 2.1
Pengajuan Hutan Adat dari Kawasan Hutan Negara serta gabungan dari
Kawasan Hutan Negara dan diluar Kawasan Hutan Negara (APL).
24
Kawasan Hutan Negara dan diluar Kawasan Hutan Negara/APL (lihat
gambar 1); dan (2) Pengajuan Hutan Adat dari luar Kawasan Hutan
Negara/APL (lihat gambar 2).
25
8. Apabila hasil verifikasi dan validasi serta persyaratan teknis dan
administrasi lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Menteri
LHK kemudian menetapkan dan mencantumkan areal hutan adat
dimaksud melalui Surat Keputusan Menteri dan mencantumkannya
dalam peta kawasan hutan.
Gambar 2.2
Pengajuan Hutan Adat dari luar Kawasan Hutan Negara (APL).
26
2. Kepala daerah memerintahkan OPD untuk melakukan kajian dan
telaah terhadap berbagai aspek terkait usulan MHA tersebut
sehingga dapat disimpulkan dalam bentuk pertimbangan/
rekomendasi teknis.
3. Permohonan dari MHA beserta lampiran peta calon hutan adat
dan pertimbangan teknis dari OPD dimaksud kemudian diteruskan
kepada Menteri LHK untuk dapat ditetapkan sebagai areal hutan
adat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri LHK No. 32 tahun
2015 tentang hutan hak.
4. Menteri LHK memerintakan tim untuk melakukan verifikasi dan
validasi terhadap usulan Hutan Adat dimaksud sesuai prosedur
sebagaimana diatur dalam Peraturan Dirjen PSKL No. 1 tahun 2016.
5. Apabila hasil verifikasi dan validasi serta persyaratan teknis dan
administrasi lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Menteri
LHK kemudian menetapkan dan mencantumkan areal hutan adat
dimaksud melalui Surat Keputusan Menteri dan mencantumkannya
dalam peta kawasan hutan.
27
prosesnya harus lebih cepat, karena cukup memerlukan SK pengakuan
dari Bupati/kepala daerah saja.
28
Gambar 2.3
Alur Proses Verifikasi dan Validasi Hutan Adat
1. Menteri LHK cq. Dirjen PSKL membentuk tim verifikasi usulan hutan
adat yang anggotanya terdiri dari unsur : a). Ditjen PSKL, b). Ditjen
Planologi dan Tata Lingkungan, c). OPD Provinsi/Kab/Kota yang
membidangi kehutanan, d). Unit Pelaksana Teknis Kementerian LHK,
e). Pokja Perhutanan Sosial dan f) organisasi masyarakat sipil.
2. Tim verifikasi dan validasi usulan hutan adat bertugas untuk
memastikan : a). keberadaan dan keabsahan pemohon beserta
dokumen pendukungnya, b). keberadaan areal yang dimohon
menjadi hutan adat, c). kondisi penutupan lahan, dan d). keberadaan
hutan adat dalam tata ruang daerah.
3. Pelaksanaan verifikasi dan validasi dilaksanakan dengan metode
tatap muka langsung dengan pemohon serta peninjauan fisik
lapangan areal yang dimohon menjadi hutan adat. Dalam tahap
ini Tim verifikasi melengkapi dokumen-dokumen yang diperlukan
terkait proses penetapan hutan adat.
4. Hasil verifikasi dan validasi dituangkan dalam Berita Acara Verifikasi
yang ditandatangani oleh ketua dan seluruh anggota tim verifikasi.
29
5. Hasil verifikasi beserta peta hasil verifikasi selanjutnya digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam rangka penetapan hutan adat.
Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan secara singkat bagaimana
parapihak dapat memulai proses ini termasuk peran-peran dan
kewajibannya sehingga dapat memenuhi persyaratan administratif dan
substantif dalam proses pengakuan dan penetapan suatu MHA dan areal
Hutan Adat.
Terdapat taiga inisiatif untuk pengajuan penagkuan hak-hak masyarakat
hukum adat yaitu dari komunitas, kepala daerah dan DPRD
30
6. Membangun komunikasi dengan DPRD terkait rencana penyusunan
Peraturan Daerah tentang Pengakuan terhadap MHA, wilayah adat
dan areal hutan adatnya.
Gambar 2.4
Proses Inisiatif Pengusulan Hutan Adat dari MHA
Pengakuan terhadap MHA, wilayah adat dan areal hutan adatnya, dapat
dimulai dari kepala daerah dengan inisiatif mengajukan rancangan
peraturan daerah bersama DPRD untuk dibahas bersama. Kemudian
disepakati sebagai keputusan politik daerah terkait masa depan suatu
MHA yang ada di wilayahnya. Keputusan politik dimaksud mengandung
arti bahwa eksistensi suatu MHA tersebut merupakan hal yang penting
dan strategis bagi suatu daerah sehingga harus diakui, dilindungi,
dipertahankan, dan dikembangkan sesuai kapasitas dan kearifan lokal
setempat sehingga menjadi aset daerah yang sangat bernilai.
31
Gambar 2.5
Proses Inisiatif Pengusulan Hutan Adat dari Kepala Daerah
Kepala Daerah
(Gubernur/Bupati/Walikota)
32
Gambar 2.6
Proses Penyusunan Peraturan Daerah melalui Pemerintah Daerah
PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH MELALUI PRAKARSA PEMERINTAH DAERAH
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
33
Gambar 2.7
Proses Penyusunan Peraturan Daerah melalui Prakarsa DPRD
34
Gambar 2.8
Proses Penyusunan Peraturan Daerah melalui Inisiatif DPRD
Membentuk Perda melalui inisiatif DPRD
Ranperda oleh Disampaikan kepada Pimpinan DPRD
Anggota DPRD, Pimpinan DPRD menyampaikan
Komisi, Gabungan disertai Naskah kepada Balegda untuk
Komisi, Balegda Akademik dikaji
35
Sifat produk hukum daerah ada dua, yaitu pengaturan dan penetapan.
Produk hukum yang bersifat pengaturan memberikan aturan yang berlaku
umum terhadap suatu bidang. Contohnya adalah Peraturan Daerah
atau Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) atau nama lainnya (misalnya
Qanun), Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Gubernur atau Peraturan
Bupati/Walikota), Peraturan Bersama Kepala Daerah (Peraturan Bersama
Gubernur atau Peraturan Bersama Bupati/Walikota) atau Peraturan
DPRD.
36
kewenangan untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri melalui
mekanisme yang disebut Otonomi Khusus dan diatur pelaksanannya dengan
Undang-Undang. Adapun urusan yang tidak dilimpahkan kewenangannya
oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (termasuk daerah yang
memiliki UU Otonomi Khusus) yaitu urusan politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, moneter dan kebijakan fiscal, yustisi (lembaga peradilan) serta
urusan agama secara umum.
Implementasi untuk Provinsi Aceh diatur dengan Undang-undang
44 tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh. dilihat dari karakter khas sejarah
perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang
yang tinggi (Hardi, 1992: 152), yang bersumber pada pandangan hidup
yang berlandaskan Syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat
termanisfestasikan dalam kehidupan adat, sosial dan politik masyarakat Aceh
(Kaoy Syah, Lukman Hakiem, 2000:7).
Keistimewaan Aceh menyangkut 4 hal menurut UU 44/1999 pasal 3 ayat
(2) yaitu : a). Penyelenggaraan kehidupan beragama; b). Penyelenggaraan
kehidupan adat; c). Penyelenggaraan Pendidikan; d). Peran ulama dalam
penetapan kebijakan daerah. Terkait penyelenggaraan kehidupan adat pada
huruf b merupakan dasar hukum Pemerintah Aceh untuk menjabarkan lebih
lanjut kedalam bentuk berbagai Qanun atau Peraturan Daerah (Perda) di Aceh.
Atas dasar itu Pemerintah Aceh mengeluarkan Qanun Aceh nomor 9 Tahun
2008 tentang pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dan Qanun Aceh
nomor 10 Tahun 2008 tentang lembaga adat serta Peraturan Daerah (Perda)
nomor 7 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat.
Perkembangan kehidupan adat dan hukum adat Aceh tidak lepas dari
sejarah masuknya Islam. Ketika hukum adat kuat maka hukum agama juga
kuat, begitu juga sebaliknya. Agama bersumber dari Al-Quran dan hadist,
sedangkan adat bersumber dari Sultan dengan musyawarah yang digali
berdasarkan sumber keagamaan. Sehingga banyak adat Aceh yang tidak lepas
dari pengaruh Syara’.
37
Undang-undang nomor 11 Tahun 2006 pasal 98 ayat (3) dan pasal 99
tentang Pemerintah Aceh dan juga hal yang sama diatur dalam pasal 2 ayat
(2) Qanun Aceh nomor 10 Tahun 2008 tentang lembaga adat tersebut adalah
sebagai berikut : 1. Majelis Adat Aceh (MAA); 2. Imeum Mukim; 3. Imeum Chik;
4. Tuha Lapan; 5. Keuchik; 6. Imeum Meunasah; 7. Tuha Peut; 8. Kejruen Blang;
9. Panglima Laot; 10. Pawang Glee; 11. Peutua Seuneubok; 12. Hariya Peukan;
dan 13. Syahbanda.
Implementasi untuk Provinsi Papua dan Papua Barat diatur dengan
Undang-undang No. 21 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Perpu No. 1
Tahun 2008. UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua ini merupakan pengakuan
Pemerintah RI untuk melindungi hak ulayat orang Papua akan tanah, air, dan
kekayaan Papua. UU Otonomi Khusus ini adalah kewenangan khusus yang
diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua di dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk
memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua,
termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui
para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah
ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan
dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat
Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, lambang daerah
dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi
jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat,
masyarakat adat, dan hukum adat.
Berdasarkan undang-undang yang menyangkut tata pemerintahan
di Provinsi Aceh dan Papua serta Provinsi Papua Barat, apabila terdapat usulan
dan proses terkait pengakuan dan penetapan terhadap suatu MHA termasuk
wilayah adat dan hutan adatnya, maka akan diselesaikan ditingkat daerah.
Apabila telah diselesaikan, peran pemerintah pusat adalah menindaklanjuti
dengan memberikan pengakuan penetapan terhadap MHA dan areal
hutan adat secara definitif.
38
Peraturan Daerah termasuk kelompok produk hukum daerah yang
sifatnya mengatur. Dilihat dari isinya ada tiga jenis Peraturan Daerah.
1. Peraturan Daerah yang murni bersifat pengaturan. Misalnya
Peraturan Daerah tentang tata cara penerbitan izin.
2. Peraturan Daerah yang sifatnya penetapan. Dapat disebutkan
contohnya di sini adalah penetapan desa dan penetapan atau
kadang-kadang disebut juga pengukuhan MHA.
3. Peraturan Daerah yang mengatur struktur organisasi dan tata kerja
di daerah.
Matrik 2. 2
Jenis - Jenis Peraturan Daerah
Pengaturan Penetapan
• Peraturan Daerah (nama lain) • Keputusan Kepala Daerah
o Perda Propinsi • Keputusan DPRD
o Perda Kabupaten/Kota
• Keputusan Pimpinan DPRD
• Peraturan Kepala Daerah
• Keputusan Badan
o Peraturan Gubernur
o Peraturan Bupati/Walikota Kehormatan DPRD
39
hukum yang lebih efektif bagi keberadaan MHA tertentu sebagai subjek
hukum dan pengakuan terhadap wilayah adatnya.
40
Peraturan Daerah mengenai MHA perlu meliputi pengaturan secara
umum mengenai kebijakan pengakuan, penghormatan dan perlindungan
MHA, hak-hak dan wilayahnya. Selain itu diperlukan Peraturan Daerah
yang sifatnya menetapkan keberadaan MHAdan wilayahnya (Perda
Penetapan).
Ada dua model Perda Penetapan yang dapat digunakan: (Safitri dan
Uliyah, 2014 : 77)
1. Perda untuk menetapkan MHA yang keberadaannya sudah tidak
diperdebatkan lagi di daerah tersebut. Contohnya Ammatoa Kajang
di Kabupaten Bulukumba.
2. Perda untuk MHA yang keberadaan dan wilayahnya masih
memerlukan upaya lebih jauh untuk memverifikasi. Ini terjadi
karena kurangnya bukti kesejarahan, kondisi masyarakat yang relatif
heterogen, perpindahan yang dilakukan atau terpaksa dilakukan oleh
masyarakat di masa pra kolonial, masa kolonial dan pasca kolonial.
Untuk Perda model pertama, kesulitan akan ada pada penetapan wilayah
adat. Idealnya, penetapan wilayah adat dilakukan bersamaan dengan
penetapan MHA. Artinya, peta wilayah adat menjadi lampiran dari
Perda. Tetapi, jika hal ini sulit dilakukan maka penetapan wilayah adat itu
dapat dilakukan kemudian melalui Keputusan Kepala Daerah. Syaratnya
ketentuan mengenai penetapan melalui Keputusan Kepala Daerah itu
dinyatakan dalam Perda (ibid : 78)
Pada Perda model kedua, materi muatan lebih banyak mengatur tata
cara penetapan MHA dan wilayah adatnya. Namun, perlu disebutkan
dalam salah satu ketentuannya bahwa Pemerintah Daerah mengakui
keberadaan MHA di daerah tersebut. Penetapan MHA secara khusus serta
wilayah adatnya dilakukan melalui Keputusan Kepala Daerah. Penting
disebutkan dalam Perda bahwa penerbitan Keputusan Kepala Daerah
itu merupakan pendelegasian wewenang. (ibid : 78)
Berkaitan dengan pengakuan dengan model Perda ini, pasal 67 ayat (2)
UU 41/1999 tentang Kehutanan menyatakan “pengukuhan keberadaan
41
dan hapusnya MHA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Daerah”. Selain itu, pengaturan lebih lengkap tentang
MHA sebagai turunan dari pengkuan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD
1945 adalah pada Undang-Undang 6/2014 tentang Desa, yakni dalam
Bab XIII, Pasal 96 - 111. Pasal 96 menyatakan “Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan
penataan kesatuan MHA dan ditetapkan menjadi desa adat”. Pasal 98
menyatakan “Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota. Pasal 101 UU Desa selanjutnya menyatakan “ayat (1) Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
dapat melakukan penataan Desa Adat; ayat (2) Penataan Desa Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Daerah; ayat (3) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disertai lampiran peta batas wilayah”.
42
daerah yang mengatur keberadaan MHA mengambil 2 bentuk, berupa
Peraturan Daerah atau Peraturan/Surat Keputusan Kepala Daerah. Dalam
hal material pengaturan, kedua peraturan tersebut ada yang bersifat
umum mengatur tentang MHA saja, namun ada yang bersifat khusus
mengatur aspek tertentu suatu kesatuan MHA, antara lain misalnya
pengaturan atau penetapan tentang lembaga adat atau hutan adatnya saja.
Menuju Perda Pengakuan MHA Ideal.
Lembaga Lain-lain
& aturan main Kewajiban atau tugas
Subjek Wilayah (hak, penyelesaian pemerintah
Kewajiban masyarakat
sengketa) adat
43
5. Integrasi wilayah adat dalam RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota.
6. Kelembagaan perlindungan dan pengakuan
7. Kegiatan MHA diakomodir dalam RPJMD (terkait dengan pendanaan).
8. Adanya klausul kewajiban MHA untuk mengelola, melindungi, dan
menjaga wilayah adat dan hutan adat dari kerusakan baik dari unsur
internal maupun eksternal.
Matrik 2.3
Kriteria MHA
Kriteria Indikator
Sejarah 1. Asal-usul menurut mitologi dan sejarah
masyarakat 2. Sejarah perpindahan/migrasi
3. Penyebutan-penyebutan masyarakat dalam dokumen
otoritas lain
Masih dalam 1. Memiliki identitas bersama
bentuk Paguyuban 2. Hubungan-hubungan sosial yang didasari oleh orientasi
kebersamaan
3. Kepemilikan atas sumberdaya alam bersifat kolektif
Kelembagaan Adat 1. Nama lokal untuk lembaga adat dan perangkat/organnya
dalam bentuk 2. Struktur kelembagaan adat dan perangkat/organnya
perangkat 3. Kewenangan lembaga adat
penguasa adat 4. Tugas dan fungsi masing-masing perangkat/organ dalam
lembaga adat
5. Mekanisme suksesi kepala adat atau pemilihan perangkat adat
Wilayah adat 1. Luas wilayah adat
2. Batas-batas wilayah adat
3. Sejarah asal-usul penguasaan atas wilayah adat
Pranata dan 1. Konsep adat mengenai hubung Manusia dengan alam
perangkat hukum 2. Nilai-nilai adat dalam melangsungkan relasi vertikal dan
adat horisontal
khususnya 3. Aturan-aturan adat mengenai penguasaan, pemilikan dan
peradilan adat pemanfaatan sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan
4. Mekanisme penyelesaian sengketa
5. Efektivitas aturan-aturan adat
6. Bentuk-bentuk dokumentasi hukum adat
Harta kekayaan 1. Benda-benda pusaka yang masih merupakan milik bersama
bersama/benda- 2. Tanah dan sumberdaya alam lainnya dimiliki secara komunal
benda adat
Sumber: Simarmata, Rikardo
44
Matrik 2.3. memperlihatkan sejumlah kriteria tetang MHA yang
pada intinya memberikan penekanan yang penting terhadap unsur
kesejarahan, kelembagaan adat wilayah adat dan pranata. Tentunya
dimungkinan terdapat kriteria-krietria lain yang bersifat lokal, tetapi
unsur kewilayahan menjadi kriteria penting. Namun, setiap pengguna
kriteria perlu memahami konteks lokalnya. Misalnya, ketika memberikan
penekanan pada kewilayahan, maka komunitas-komunitas MHA yang
tidak berbasis geografis perlu diberikan perhatian.
Pemetaan Sebaran Perda dan SK Kepala Daerah terkait MHA.
Setelah keputusan MK 35 tahun 2012, berbagai inisiatif untuk
mendapatkan pengakuan MHA terjadi dimana-mana. Peta
memperlihatkan persebaran produk hukum daerah yang telah
diverifikasi.
Penetapan hutan adat yang sudah dilakukan oleh KLHK semuanya diawali
oleh adanya produk hukum daerah tentang pengakuan MHA. Saat ini
KLHK mencatat setidaknya ada 71 produk hukum tentang pengakuan
MHA yang dikumpulkan dari berbagai pihak salah satunya dari Epistema
Institute. Epistema mencatat produk hukum tentang adat lebih banyak
dari 71 tetapi sebagian produk tersebut adalah peraturan tentang Desa
Adat dan pengaturan lain yang tidak bisa serta merta dimasukkan dalam
produk hukum yang mengakui keberadaan MHA. Sebagian dari produk
hukum ini bahkan sudah diterbitkan jauh sebelum MK 35/2012 dan
juga Permendagri 52/2015 Persoalan yang muncul adalah perbedaan
pemahaman para pihak di daerah terkait dengan pengakuan MHA
seperti konflik pusat dan daerah yang sering muncul sehingga persoalan
subyek hukum MHA sering menjadi perdebatan dalam hal siapa yang
berwenang untuk menetapkannya. Rata-rata produk hukum pengakuan
MHA di semua propinsi masih rendah walaupun sudah ada produk hukum
payung berupa perda propinsi tentang tata cara pengakuan MHA. Suatu
hal yang menarik dalam peta sebaran tersebut adalah propinsi Jambi yang
memiliki produk hukum daerah paling banyak tetapi perda payung untuk
tata cara pengakuan dari propinsi belum ada. Produk hukum yang ada
45
46
Peta Sebaran Perda & SK Kepala Daerah terkait MHA
47
Proses komunikasi public semacam itu tentu membutuhkan waktu
dan energy yang sangat lama. Tidak semua kepala daerah dan atau
kekuatan politik di DPRD memiliki komitmen dan kepentingan yang sama
terkait eksistensi suatu MHA. Bahkan lebih parah lagi, jika ada persepsi
bahwa eksistensi MHA bukanlah hal yang “strategis” sehingga bukan
prioritas untuk dibahas dalam Badan Pembentukan Peraturan Daerah
(Bapem Perda). Sebagaimana lazim diketahui, proses politik adalah
tawar menawar berbagai kepentingan politik yang berujung pada suatu
keputusan atau kebijakan, sehingga kekuatan dan dorongan politik dari
pihak yang paling berkepentingan sangat berpengaruh.
Disitulah apa yang disebut sebagai “political will” dari eksekutif dan
legislative terkait begaimana mengakui dan memberdayakan suatu
entitas MHA menjadi sangat penting. Faktor itu pulalah yang kemudian
menyebabkan minimnya Perda-Perda yang terbit terkait pengakuan suatu
MHA, Wilayah Adat dan Areal Hutan Adatnya. MHA tentu tidak dapat
berjalan sendirian, diperlukan pendampingan dari pihak-pihak lain yang
memiliki visi yang sama (LSM, Perguruan Tinggi, Lembaga Donor) untuk
dapat lebih meyakinkan para pengambil kebijakan di daerah akan pentingnya
suatu MHA bagi perkembangan dan identitas kultural suatu daerah.
Untuk wilayah (calon) hutan adat yang berada diluar kawasan hutan
negara (APL) cukup membutuhkan SK pengakuan dan usulan kepala
daerah saja. Namun apabila calon wilayah adat yang akan disulkan suatu
MHA berada di dalam kawasan hutan negara atau perpaduan dengan
areal penggunaan lain (APL) maka tentu prosesnya membutuhkan suatu
PERDA.
48
Proses pencadangan areal hutan adat hanya dapat dimulai apabila telah
terjadi komunikasi dan komitmen antara komunitas MHA dengan kepala
daerah dan DPRD yang nantinya akan memproses pada terbitnya suatu
PERDA pengakuan suatu MHA. Ketika, menunggu proses pembahasan
rancangan perda yang tentu akan memakan waktu yang relatif lama,
maka kepala daerah (Bupati/Walikota) dapat menerbitkan SK pengakuan
suatu MHA beserta wilayah adat dan hutan adatnya yang bersifat
sementara.
49
Gambar 2. 9
Alur Pencadangan Hutan Adat
50
BAB III
PROFIL
MASYARAKAT HUKUM ADAT
DAN HUTAN ADAT
51
BAB III
PROFIL
MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HUTAN ADAT
52
2. Penetapan Pencantuman Hutan Adat Bukit Tinggai Seluas ± 41 Ha di Desa
Sungai Deras Kecamatan Air Hangat Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi
dalam Peta Kawasan Hutan (SK.6738/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016
tgl 28 Desember 2016);
53
9. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Tawang Panyai” seluas ± 40,5
Ha yang dikelola MHA Tapang Sambas – Tapang Kemayau di Desa
Tapang Semadak Kecamatan Sekadau Hilir Kabupaten Sekadau Provinsi
Kalimantan Barat dalam Peta Kawasan Hutan (SK.1152/MENLHK-PSKL/
PKTHA/PSL.0/3/2017 tgl 16 Maret 2017).
54
15. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Rimbo Penghulu Depati Gento
Rajo” seluas ± 525 Ha di Desa Pulau Tengah, Kecamatan Jangkat,
Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi (SK. 5533/MENLHK-PSKL/PKTHA/
PSL.1/10/2017 tanggal 23 Oktober 2017).
16. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Bukit Pintu Koto” seluas ± 278
Ha di DEsa Ngaol, Kecamatan Tabir Barat, Kabupaten Merangin, Provinsi
Jambi (SK. 5534/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/10/2017 tanggal 23 Oktober
2017).
55
Provinsi Jawa Barat (SK. 1301/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/3/2018
tanggal 28 Maret 2018).
22. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Nenek Limo Hiang Tinggi Nenek
Empat Betung Kuning Muara Air Dua” seluas ± 645 Ha di Desa Hiang
Tinggi dan Betung Kuning, Kecamatan Sitinjau Laut, Kabupaten Kerinci,
Provinsi Jambi (SK.4658/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/7/2018 tanggal 6
Juli 2018).
23. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Hulu Air Lempur Lekuk Limo
Puluh Tumbi” seluas ± 745 Ha di Desa Baru Lempur, Kecamatan Gunung
Raya, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi (SK.4659/MENLHK-PSL/PKTHA/
PSL.1/7/2018 tanggal 6 Juli 2018).
56
Sekayam, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat (SK.5771/
MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/9/2018 tanggal 7 September 2018).
57
Ketigapuluh-tiga hutan adat yang telah ditetapkan tersebut lahir dari
proses yang cukup panjang yang mewakili tipologi perjuangan komunitas
MHA dalam konteks kepentingan dan kewilayahannya masing-masing.
Hutan Adat Ammatoa Kajang dapat dikategorikan sebagai areal hutan adat
yang sejak awal tidak menyisakan keraguan dari siapapun atas eksistensinya
sebagai komunitas MHA maupun pengelolaan hutan adatnya. Hutan Adat
Wana Posangke, Marena dan Kasepuhan Karang adalah tipe kolaborasi MHA
dalam mengelola hutan didalam dan sekitar kawasan konservasi (Taman
Nasional), Hutan Adat Tawang Panyai adalah tipe bagaimana MHA berjuang
mempertahankan hutan adatnya dari ekspansi kelapa sawit yang makin marak
di wilayahnya, dan Hutan Adat Marga Serampas di Kabupaten Merangin serta
4 Hutan Adat di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi adalah contoh bagaimana
MHA secara turun temurun menjaga dan mempertahankan areal yang mereka
sebut sebagai hutan adat secara lestari sehingga pantas untuk diakui dan
ditetapkan negara menjadi hutan adat. Profil tentang areal Hutan Adat dan
bagaimana MHA mengelola hutan adat tersebut adalah sebagai berikut :
58
A. Hutan Adat Kajang di Bulukumba
A. Hutan
Hutan Adat
Adat Kajang di
Ammatoa Bulukumba
Kajang secara administratif terletak di Desa Tana Toa, Desa
Pattiroang, Desa Bonto Baji dan Desa Malleleng, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba
Hutan Adat Ammatoa Kajang secara administratif terletak di Desa Tana
Provinsi Sulawesi Selatan seluas ± 313,99 hektar. Hutan Adat tersebut ditetapkan melalui
Toa, Desa Pattiroang, Desa Bonto Baji dan Desa Malleleng, Kecamatan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6742/MENLHK-
Kajang, Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan seluas ± 313,99
PSKL/KUM.1/12/2016 tanggal 28 Desember 2016.
hektar. Hutan Adat tersebut ditetapkan melalui Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6742/MENLHK-PSKL/ 42
59
Masyarakat Kajang memiliki
ajaran hidup dan pranata
budaya yang disebut sebagai
“ P a s s a n g ”, y a i t u h i d u p
sederhana, jauh dari kerakusan
terhadap benda duniawi dan
mementingkan ketinggian
batiniah dalam semua aspek
kehidupan termasuk kewajiban
menjaga dan merawat hutan
beserta sumberdaya alamnya.
Bagi masyarakat Kajang, hutan merupakan simbol dari tangga sebagai
jalan untuk turunnya arwah langit ke bumi dan naik dari bumi ke langit.
Hutan merupakan media penghubung antara alam gaib dengan alam
nyata. Kepercayaan Masyarakat Adat Kajang, Tana Toa adalah tempat
lahirnya manusia pertama (tutowa mariolo, Mula tau, dan Ammatoa).
60
Berdasarkan letak lokasi pemukiman komunitas hukum adat Kajang
terbagi atas dua kelompok yaitu “Kajang Dalam” (llalang Embayya) dan
“Kajang Luar” (Ipantarang Embayya). Walaupun menempati beberapa
desa, Masyarakat Adat Kajang yang dikenal sebagai asal mula Kajang
adalah yang mendiami Desa Tana Toa.
61
Kaum perempuan umumnya menekuni pekerjaan menenun dan
menanam tarum. Daun tanaman tersebut digunakan sebagai zat pewarna
benang. Benang umumnya diperoleh dari hasil pemintalan tanaman
kapas. Setelah kapas dipintal menjadi benang, kemudian ditenun
menjadi kain, yang selanjutnya menjadi sarung (tope), pengikat kepala
atau daster (passapu), baju tradisional (haju pokko), celana (saluara)
dan sebagainya. Selain itu, perempuan melibatkan diri dalam rutinitas
mengasuh anak (anjaga ana), mengambil kayu bakar (angngalle kaju
bakara), dan mengambil air.
Para Wanita Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang sedang berjalan sambil membawa kendi
berisi air diatas kepala.
Kunjungan Menteri Lingkungan Hidup dan Kunjungan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan ke Masyarakat Hukum Adat Kehutanan ke Hutan Adat Ammatoa Kajang di
Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.
Provinsi Sulawesi Selatan.
62
Masyarakat adat Kajang melihat hutan dalam pandangan yang lebih luas,
termasuk aspek sosial-budaya dan lingkungan. Ekosistem hutan adat
Ammatoa Kajang terbukti dapat bertahan dalam jangka panjang, karena
bentuk pengelolaannya penuh dengan kebijakan lingkungan (ecological
wisdoms).
Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan
disambut tokoh
adat dan tetua adat
Masyarakat Hukum
Adat Ammatoa
Kajang di Kabupaten
Bulukumba, Provinsi
Sulawesi Selatan.
63
• Pada APL (Areal Penggunaan Lain) dan HPT (Hutan Produksi Terbatas)
yang ada di sisi barat merupakan areal yang telah dimanfaatkan
masyarakat sebagai perkebunan jenis Coklat, Kopi, Kemiri, aneka
MPTS (Multi Purpose Tree Species) produktif seperti durian, serta
padi ladang dan palawija.
• Pada Areal APL yang berbatasan dengan Kawasan Konservasi (sisi
timur) telah dimafaatkan masyarakat sebagai areal perkebunan
coklat, kemiri, tanaman MPTS produktif serta tanaman pangan (padi
irigasi).
Adapun pada areal yang masuk dalam wilayah TN. Lore Lindu
merupakan areal rimba dengan vegetasi yang sangat rapat, dominasi
tanaman kayu rimba campuran jenis kayu uru. Masyarakat marena
banyak melakukan aktifitas memungut rotan, pandan, akar kuning,
tanaman obat-obatan, serta HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) lainnya,
namun sama sekali tidak menyentuh tegakan kayunya.
Kesepakatan Bersama Hasil Verifikasi dalam Musyawarah Adat di Rumah Adat Bantaya
Marena
64
areal pangale akan dilakukan musyawarah adat “Molibu” untuk
menentukan berapa luas areal dan siapa yang akan menggarap areal
dimaksud.
Kondisi saat ini, areal wana dan pangale di sisi timur wilayah adat marena,
kondisinya masih sangat terjaga dengan baik dan relatif tidak tersentuh
khususnya di areal hutan adat yang masuk dalam wilayah taman
nasional. Apabila dimungkinkan, pihak TN. Lore Lindu dapat melakukan
penataan zonasi dan menetapkan areal dalam wilayah adat yang masuk
dalam wilayah TN. Lore Lindu seluas ± 647 ha sebagai Hutan adat atau
Zona Pemanfaatan Tradisional kepada MHA Kulawi di Marena dengan
perjanjian tertulis yang disepakati antara pihak Balai TN. Lore Lindu dan
komunitas MHA Kulawi di Marena.
Areal Hutan Adat Ngata Marena memiliki potensi flora fauna yang relatif
terjaga dengan baik. Potensi flora yang ada di lokasi tersebut antara
lain: rotan, Pandan hutan, nibon (dimanfaatkan untuk membuat lantai/
lumbung/Wanga), obat obatan (akar akar hutan : obat penyakit kuning,
sesak napas, Gaharu, Palio: serbuk palio dimanfaatkan untuk membunuh
kutu busuk).
65
Kelestarian hutan di kawasan hutan adat Marena menjadi tempat hidup bagi berbagai jenis
satwa sulawesi
66
tanggal 29 September 2014), Areal Hutan Adat dalam wilayah Adat MHA
Kulawi adalah seluas ± 1.439 Ha terdiri dari (1). Kawasan Hutan Konservasi
(HK) seluas ± 683 ha; (2). Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas
± 405 ha; dan (3). Areal Penggunaan Lain (APL-berhutan) seluas ± 351
ha. Areal dimaksud tidak tumpang tindih dengan perijinan/hak lain.
Adapun areal hutan adat yang masuk dalam wilayah TN. Lore Lindu
seluas ± 647 ha, tetap diakui sebagai bagian wilayah adat MHA Kulawi
di Marena sebagaimana amanat SK Bupati Sigi No. 189-014 tahun 2017
tanggal 25 Januari 2017, dan pengelolaanya akan dilakukan bersama
dengan pihak Taman Nasional Lore Lindu.
67
C. Hutan Adat Tawang Panyai di Kabupaten Sekadau Provinsi Kalimantan Barat
Komunitas MHA Tapang Sambas-Tapang Kemayau merupakan rumpun suku Dayak
C. Hutan Adat
De’sa. Tawang
Berdomisili PanyaiTapang
di Kampung di Kabupaten Sekadau
Sambas-Tapang Kemayau, Provinsi
Desa TapangKalimantan
Semadak
Barat(± 60 km dari pusat kota Sekadau). Jumlah penduduk Desa Tapang Semadak adalah 200
Kepala Keluarga, 709 Jiwa terdiri dari 379 Laki-laki dan 330 Perempuan. Mata pencaharian
Komunitas MHA Tapang Sambas-Tapang Kemayau merupakan rumpun
utama mereka adalah berladang (be-uma) lahan kering, bersawah (uma payak) dan menyadap
suku Dayak De’sa. Berdomisili di Kampung Tapang Sambas-Tapang 47
68
709 Jiwa terdiri dari 379 Laki-laki dan 330 Perempuan. Mata pencaharian
utama mereka adalah berladang (be-uma) lahan kering, bersawah (uma
payak) dan menyadap getah karet. Mereka menempati rumah tunggal
yang berderet mengikuti jalan raya kampung. Mereka masih memegang
tinggi rasa kekeluargaan dan mentaati adat istiadat yang berlaku secara
turun-temurun.
69
haruan, belut, dan ular untuk dikonsumsi
langsung atau diolah menjadi produk
turunannya. Selain sebagai sumber bahan
makanan, di areal Tawang Panyai banyak
terdapat tumbuhan lokal yang dipercaya
masyarakat sebagai bahan obat-obatan
tradisional untuk menyembuhkan berbagai
jenis penyakit.
70
Masyarakat adat tersebut tetap bersikukuh untuk “mempertahankan
Tawang Panyai” areal yang secara turun temurun dipercaya sebagai
areal hutan adat seluas ± 40,5 hektar, namun semangat untuk
mempertahankan eksistensi komunitas adat beserta wilayah adatnya
dari gempuran arus konsumerisme dan pragmatisme yang demikian
deras terjadi disekitarnya, patut untuk diapresiasi secara positif
Tempelak merah sebagai obat demam Buah Maram dapat dijadikan manisan asam payak
71
Sebagai Masyarakat Hukum Adat, khususnya Dayak, Masyarakat Hukum
Adat di Kampung Tapang Sambas-Tapang Kemayau memiliki kelembagaan
dan aturan adat secara turun-temurun. Secara Pemerintahan Adat
berada di bawah Ketemenggungan Tapang Semadak. Dengan struktur
kelembagaan adat adalah Temenggung sebagai Pemangku Adat
Tertinggi, kemudian Menteri Adat yang dibantu Sekutu Adat sebagai
Pengurus Adat tiap-tiap kampung. Jabatan pengurus adat memiliki
tugas dan kewenangannya masing-masing. Uniknya, Pemerintahan
Ketemenggungan ini menguasai 3 suku, yakni Dayak De’sa, Dayak
Ketungau dan Melayu.
72
Melalui Keputusan Nomor SK.1152/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.0/3/2017
tanggal 16 Maret 2017, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
secara resmi menetapkan Pencantuman Hutan Adat “Tawang Panyai”
seluas ± 40,5 Ha di yang dikelola MHA Tapang Sambas-Tapang Kemayau
di Desa Tapang Semadak Kecamatan Sekadau Hilir Kabupaten Sekadau
Provinsi Kalimantan Barat dalam Peta Kawasan Hutan. Dengan terbitnya
keputusan dimaksud, tuntas sudah penantian MHA Tapang Sambas-
Tapang Kemayau untuk dapat mengelola hutan adat tawang panyai
secara sah sekaligus merupakan simbol kemenangan masyarakat adat
terhadap ekspansi dan hegemoni perkebunan sawit yang ada diwilayah
tersebut. Hutan Adat Tawang Panyai juga kemudian dinobatkan sebagai
Hutan Adat pertama yang diakui negara di pulau Kalimantan.
Ritual Penyambutan oleh MHA Tapang Sambas - Tapang Kemayau di Hutan Adat Tawang Panyai
73
D. Hutan Adat Wana Posangke
Masyarakat Hukum Adat Wana Posangke mendiami lembah dan bukit-bukit
D. Hutanaliran
sepanjang Adatsungai
Wana Posangke
Salato di bagian selatan Jazirah Timur Sulawesi. Secara administrasi,
wilayah adat Wana Posangke masuk dalam Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali
Masyarakat Hukum Adat Wana Posangke mendiami lembah dan bukit-
Utara. Pola permukiman yang berkelompok (komunal) hingga saat ini teridentifikasi ada
bukit sepanjang aliran sungai Salato di bagian selatan Jazirah Timur
tujuh satuan mukim (lipu) yakni : Saliasarao, Fyautiro, Sumbol, Vaturui, Ratobae, Pattuja
Sulawesi. Secara administrasi, wilayah adat Wana Posangke masuk dalam
dan Sankiyoe. Jumlah penduduk yang menghuni tujuh lipu di wilayah Wana Posangke
Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali Utara. Pola permukiman
berjumlah 108 Kepala Keluarga atau sekitar 461 jiwa. Aktifitas utama masyarakat Wana
yang berkelompok hingga saat ini teridentifikasi ada tujuh satuan mukim
Posangke adalah bertani dan berladang untuk memenuhi kebutuhan pangan dari usaha
(lipu) yakni : Saliasarao, Fyautiro, Sumbol, Vaturui, Ratobae, Pattuja dan
budidaya padi dan tanaman musim di ladang (navu) yang tersebar disekitar pemukiman (lipu)
51
74
Sankiyoe. Jumlah penduduk yang menghuni tujuh lipu di wilayah Wana
Posangke berjumlah 108 Kepala Keluarga atau sekitar 461 jiwa. Aktifitas
utama masyarakat Wana Posangke adalah bertani dan berladang untuk
memenuhi kebutuhan pangan dari usaha budidaya padi dan tanaman
musim di ladang (navu) yang tersebar disekitar pemukiman (lipu) dan
belukar bekas ladang (yopo). Dalam satuan mukim biasanya terdapat 5
(lima) hingga 13 rumah yang dihuni oleh orang-orang yang berkerabat
atau bersepupu, anak, sepupu, hingga cucu sepupu.
Keindahan bukit dan hutan dalam wilayah adat Masyarakat Hukum Adat Wana Posangke di
Kabupaten Morowali Utara , Provinsi Sulawesi Tenggara.
75
4) Sebelah Barat, berbatasan anak sungai Tiworo yang juga merupakan
batas alam dengan orang Wana Kajupoli.
76
adat pertanian untuk urusan panen pertama hingga memasukkan padi
ke dalam lumbung (konda), Jabatan ini umumnya dipegang oleh seorang
perempuan yang dituakan. Tau Valia merupakan seorang yang memimpin
ritual pengobatan penyakit (mobolong), dengan syarat memiliki kekuatan
supra natural.
Status atau hak adat atas Pangale, Kapali, Pompalivu dan Yopo adalah
hak bersama (kepemilikan komunal), sedangkan hak individu hanya
berlaku pada Navu dan Wakanavu. Hak komunal maupun hak individu
ini tidak boleh terjadi pemindahan hak kepemilikan kepada orang lain,
baik melalui transaksi jual beli atau pemberian (hibah).
77
Melintasi sungai menuju
M a sya ra kat H u ku m
Adat Wana Posangke
di Kabupaten Morowali
Utara, Provinsi Sulawesi
Tenggara.
Melintasi sungai menuju Masyarakat Perjalanan verifikasi melintasi sungai menuju Masyarakat
Hukum Adat Wana Posangke di Hukum Adat Wana Posangke di Kabupaten Morowali Utara,
Kabupaten Morowali Utara, Provinsi Provinsi Sulawesi Tenggara.
Sulawesi Tenggara.
78
E. Hutan Adat Kasepuhan Karang
E. Hutan Adat
Kecamatan Kasepuhan
Muncang, Karang
Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Batasan wilayah adat Kasepuhan
Karang adalah :
SecaraUtara
administratif
: KampungHutan Adat Desa
Pondok Raksa Kasepuhan
Cikarang Karang berada di Desa
Jagaraksa Kecamatan
Selatan Muncang, Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
: Kampung Cilunglum-Cibinglu
Batasan wilayah adat Kasepuhan
Barat : Kampung Pasir Karang
Nangka Desa Pasiradalah :
Nangka Kecamatan Muncang
79
Secara geografis Kasepuhan Karang berada di sekitar kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak dan berada di jalur lintas Kecamatan
Sobang - Kecamatan Sajira - Kota Rangkasbitung. Masyarakat yang
bermukim di Kasepuhan Karang sebanyak 476 KK (data tahun 2014).
Diantara individu masyarakat masih masih terjalin kekerabatan antara
satu individu dengan yang lainnya karena merasa masih satu keturunan.
Pola kehidupan dan keseharian MHA Kasepuhan Karang mengikuti filosofi
“Salamet ku Peso, bersih ku Cai“ yang bermakna kesederhanaan terhadap
berbagai hal dalam kehidupan termasuk dalam pengelolaan Sumber
Daya Alam. Masyarakat di Kasepuhan Karang menyandarkan sumber
keberlangsungan penghidupan dari kemurahan alam yang merupakan
anugerah dari Tuhan yang mahakuasa.
Struktur kelembagaan adat pada masyarakat Kasepuhan Karang dipimpin
oleh Kokolot Karang yang berperan sebagai pimpinan adat, dan dalam
kesehariannya dibantu oleh :
a. Wakil Kokolot : Urusan dengan pihak luar;
b. Pangiwa : Urusan pamarentahan, ketertiban kampung;
c. Ronda Kokolot : Menjaga Imah Gede pada malam hari;
d. Amil : Urusan keagamaan;
e. Bengkong : Urusan khitanan dan kesehatan ;
f. Paraji/Ma Beurang : Membantu melahirkan dan sesudah
melahirkan;
g. Palawari : Mengatur, menyediakan makanan serta
melayani tamu pada saat ada acara syukuran
atau hajatan.
Dalam kehidupan sehari-hari dan pengelolaan sumberdaya alam
terdapat beberapa kearifan lokal seperti tradisi kegiatan bersawah hanya
diwajibkan 1 tahun satu kali. Melakukan penanaman yang kedua kali
masyarakat menyebutnya Ngebon (Berkebun) alasan penamaan yang
kedua adalah dianggap sebagai penghasilan tambahan sifatnya tidak
diwajibkan karena dianggap diluar kebiasaan kasepuhan.
80
Proses penetapan Hutan Adat Kasepuhan Karang dilakukan berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat
Kasepuhan. Setelah dilakukan proses verifikasi dan validasi sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri LHK No. 32 tahun 2015 tentang Hutan
Hak, areal hutan adat Kasepuhan Karang seluas ± 486 ha ditetapkan
sebagai Hutan Adat melalui SK. 6744/Menlhk-PSKL/kum.1/12/2016
tanggal 28 Desember 2016 dan secara resmi dicantumkan dalam peta
kawasan hutan.
Lembaga Adat bertugas mengatur hal-hal yang bersifat dengan adat dan
kebiasaan, misalnya dalam hal mengatur upacara adat dan perkawinan,
serta sanksi-sanksi dari pelanggaran terhadap adat. Hubungan antara
lembaga pemerintahan desa dengan lembaga adat berjalan beriringan
dan bersifat setara. Biasanya setiap persoalan ataupun konflik yang terjadi
dalam desa diselesaikan secara adat terlebih dahulu. Jika persoalan tidak
dapat diselesaikan secara adat, maka baru diselesaikan secara hukum formal.
81
Wilayah Adat Serampas tertuang dalam tambo induk : “Dari Tanjung Kasri, ke utara
Perontak Pangkalan Jambu ke timur Durian Batakok Rajo menghilir Batang Kemsi sampai
ke Rantau Gedang, ke selatan Danau Serampas Sungai Tenang, ke Sungai Teramang Batu
Gombak Sarang Katako mendaki ke barat ke Sungai Impu menghilir ke Batang Bantal terus
Wilayah Adat Serampas tertuang dalam tambo induk : “Dari Tanjung
ke Muaro Solang Berlantak Besi daerah muko-muko, Tapan langsung ke Bukit Atap Ijuk
Kasri,
balik ke
lagiutara Perontak
ke Tanjung Kasri” Pangkalan Jambu ke timur Durian Batakok Rajo
menghilir Batang Kemsi sampai ke Rantau Gedang, ke selatan Danau
Serampas Sungai Tenang, ke Sungai Teramang Batu Gombak Sarang
Katako mendaki ke barat ke Sungai Impu menghilir ke Batang Bantal terus 57
82
Adapun batas wilayah adat Serampas meliputi: Sebelah timur berbatasan
dengan Pematang Sungai Manden, lahan persawahan dan perladangan
warga Rantau Kermas; sebelah barat berbatasan dengan sungai Limo
Ruso, dan Sei Mengkeruh; Sebelah utara berbatasan dengan TNKS dan
perladangan masyarakat; Sebelah selatan berbatasan dengan TNKS dan
sawah. Sebahagian wilayah adat Serampas masuk dalam kawasan Taman
Nasional Kerinci Seblat, yaitu seluas 24 Ha, dan di luar kawasan (Areal
Penggunaan Lain/APL) seluas 103 Ha.
83
e. Masyarakat diperbolehkan menebang kayu, kecuali cempedak,
manggis, durian, petai dan pohon seri, ini dikarenakan tanaman
tersebut peninggalan nenek moyang masyarakat adat serampas.
84
G. Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Bukit Padun Gelanggang
G. Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Bukit Padun Gelanggang
Hutan adat bukit sembahyang dan bukit padun gelanggang secara administratif
terletak
Hutan adat
di desa air Bukit Sembahyang
terjun Kecamatan dan BukitKerinci
Siluak Kabupaten Padun Gelanggang
Provinsi secara
Jambi dengan luas +
administratif terletak di desa air terjun Kecamatan Siluak Kabupaten
39 Ha dan dikelola oleh MHA Desa Air Terjun yang beranggotakan sekitar 40 kepala
Kerinci Provinsi Jambi dengan luas + 39 Ha dan dikelola oleh MHA Desa
keluarga yang seluruhnya bermatapencaharian sebagai petani.
Air Terjun yang beranggotakan sekitar 40 kepala keluarga yang seluruhnya
Areal Hutan Adat tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai hutan lindung untuk
bermatapencaharian sebagai petani.
pemanfaatan bambu dan hasil hutan non kayu seperti pohon aren dan pohon buah-buahan.. Di
85
sebelah utara dibatasi dengan kebun masyarakat yang jaraknya + 500 meter setelah kebun
masyarakat berbatasan lagi dengan desa Plakman, disebelah selatan dibatasi dengan kebun
masyarakat dan sungai, di sebelah timur dibatasi dengan kebun masyarakat dan pemukiman
Areal Hutan Adat tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai hutan
lindung untuk pemanfaatan bambu dan hasil hutan non kayu seperti
pohon aren dan pohon buah-buahan.. Di sebelah utara dibatasi dengan
kebun masyarakat yang jaraknya - 500 meter setelah kebun masyarakat
berbatasan lagi dengan desa Plakman; disebelah selatan dibatasi dengan
kebun masyarakat dan sungai; di sebelah timur dibatasi dengan kebun
masyarakat dan pemukiman dusun 3 (100 meter ke arah timur berbatasan
dengan kantor pemerintah desa) dan sebelah barat berbatasan dengan
kebun masyarakat dengan tanda semak belukar dari batas terluar hutan
adat berjarak 5-6 km ke areal Taman Nasional Kerinci Selebat.
86
(1) Tengku Imam Majenin; (2) Tengku Siak Tangen. Masyarakat meyakini
bahwa kedua orang tersebut berasal dari Minangkabau wilayah Pagar
Uyung yang melakukan perjalanan ke Danau Kerinci. Namun, di tengah
perjalanan dua orang tersebut hanya sampai di wilayah Gunung Kerinci,
dan kemudian menghilang di areal Bukit Sembahyang.
87
tanggal 11 November 2015. Tahun 2016 ditetapkan hutan adat oleh Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan dengan no. SK. 6737/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016 dan
diserahkan oleh Presiden Republik Indonesia di Istana Negara pada tanggal 30 Desember
2016.
61
88
H. Hutan Adat Bukit Tinggai
Hutan Adat Bukit Tinggai terletak di Desa Sungai Deras Kecamatan Air
Hangat Timur Kabupaten Kerinci dengan luas + 41 Ha dikelola oleh MHA
Desa Sungai Deras. Sistem pengelolaan Hutan Hak Adat Bukit Tinggai
melibatkan seluruh komponen masyarakat, dengan membentuk lembaga
pengurus Hutan Hak Adat yang disebut Lembaga Perwalian Kelompok
Kerja Hutan Hak Adat. Hutan Adat Bukit Tinggai ditanami beberapa jenis
pohon seperti Kayu Embun, Beneng Merah dan Meranti. Sebelah utara
hutan adat Bukit Tinggai berbatasan dengan Desa Pungut, sebelah selatan
dengan Desa Sungai Deras, sebelah timur dengan Desa Abu dan Desa
Pungut Hilir, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Desa Sungan
Tutung.
Tanda keterangan hutan adat Bukit Tinggai di pitu masuk hutan adat.
89
2. Pemeliharaan Tanaman, tumbuhan dan tanaman yang sudah ada di
kawasan tersebut tetap dijaga dan dipelihara oleh masyarakat adat,
salah satunya adalah menjaga dari potensi kebakaran
3. Pengajian Adat, pengajian adat dilakukan dua minggu sekali. Dalam
pengajian adat ini juga dibahas mengenai permasalahan hukum adat
yang berlaku, keadaan atau kondisi hutan adat terkini dan hal hal
lain yang sedang berkembang.
90
diserahkan secara langsung oleh Presiden RI di Istana Negara pada tanggal 30 Desember
2016.
Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan terletak di Desa Kemantan Kebalai, Desa
Kemantan Tinggi, Desa Kemantan Darat, Desa Kemantan Agung, Desa Kemantan Mudik,
Desa Kemantan Raya, Kecamatan Air Hangat Timur, Kabupaten Kerinci seluas + 452 91
Hektar, dan dikelola oleh MHA Kemantan. Pada areal hutan adat tersebut terdapat empat
I. Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan
Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan terletak dalam wilayah tujuh desa, yaitu
Desa Kemantan Kebalai, Desa Kemantan Tinggi, Desa Kemantan Darat,
Desa Kemantan Agung, Desa Kemantan Mudik, Desa Kemantan Raya,
Kecamatan Air Hangat Timur, Kabupaten Kerinci seluas + 452 Hektar, dan
dikelola oleh MHA Kemantan. Pada areal hutan adat tersebut terdapat
empat aliran Sungai Besar diantaranya Sungai Delas, Sungai Ampuh,
Sungai Batu Bajula, Sungai Batu Asoh. Hutan adat tersebut berbatasan
di sebelah Utara dengan Hutan Adat Pendung, sebelah Selatan dengan
Hutan Masyarakat Air Hangat, sebelah Timur dengan Taman Nasional
Kerinci Seblat dan sebelah Barat dengan wilayah pemukiman Desa
Kemantan Kebalai, Kemantan Tinggi, Kemantan Darat, Kemantan Agung,
Kemantan Mudik, dan Kemantan Raya.
Kondisi tutupan lahan di areal Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan antara
lain terdapat vegetasi Medang, Mambung, Kemiri, Kesigi/Pinus, Medang
Tanduk, Empening, Petai, Saliso, Surian, Cempedak, Semantung, Jengkol,
Durian. Sedang satwa liar di dominasi Monyet/kera, Burung murai batu,
92
burung jalak dan lebih dari 40 jenis burung, Babi Hutan, Ayam Hutan,
Macan, Tutul (Imo Buloh), Kijang, Kukang, Siamang, Landak, Beruang,
Kancil, Harimau, Ular.
93
Di dalam Tigo Luhah, sesuai dengan penamaannya, memiliki tigo (tiga)
petinggi adat yang terdiri dari: Depati Mudo, Rajo Mudo, dan Seko Bajo.
Tiga petinggi adat tersebut terdapat di dua desa yakni Kemantan Darat
dan Kemantan Kebalai yang menjadi desa paling tua di areal Kemantan
sebelum pemekaran wilayah beberapa desa. Areal Desa Kemantan Darat
kini telah bermekar ke dalam empat desa, yakni: Desa Kemantan Darat,
Desa Kemantan Tinggi, Desa Kemantan Agung, dan Desa Kemantan
Mudik. Pada sisi lain Desa Kemantan Kebalai telah bermekar menjadi
dua wilayah: Kemantan Kebalai dan Kemantan Raya.
94
J. Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam
Hutan Adat Tigo Luhah Permenti yang Berenam terletak di desa Pungut Mudik RT 2
Kecamatan Air Hangat Timur Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi dengan luasan + 276 Ha.
66
95
J. Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam
Hutan Adat Tigo Luhah Permenti yang Berenam terletak di desa Pungut
Mudik RT 2 Kecamatan Air Hangat Timur Kabupaten Kerinci Provinsi
Jambi dengan luasan + 276 Ha. Hutan Adat Tigo Luhah Permenti yang
Berenam dikelola oleh MHA Tigo Luhah Permenti yang Berenam.
Pada masyarakat desa Pungut Mudik adat istiadat yang dijalankan berasal
dari suku :
a. SUKU RIO
b. MANTI AGUNG
c. PATIH
Di desa Pungut Mudik ada juga MANGKU (pemangku adat), fungsi dari
Mangku ini adalah bisa menggantikan peran dari Rio, Manti Agung, Patih.
Misalnya dalam suatu perundingan ada yang tidak sempat hadir atau
berhalangan dari salah satu suku maka perannya bisa di gantikan oleh
Mangku tersebut. Mangku ini sendiri di pilih oleh anak butino (wanita
adat Desa Pungut Mudik), Mangku yang dipilih oleh anak butino dengan
sistem tunjuk dan yang mengerti tentang adat Pungut Mudik. Bahasa
yang di gunakan adalah bahasa kerinci asli yang sudah turun temurun
96
dari nenek moyang. Upacara adat masih sering dijumpai pada saat
pelaksanaan acara pernikahan, perkawinan, turun mandi (kayie) dan
acara adat lainnya seperti kenduri sudah tuai, kenduri sko. Untuk kenduri
sudah tuai dan kenduri sko dilaksanakan 5 tahun sekali
Di desa Pungut Mudik ini kepala adat di pilih dengan cara diadakan rapat
tigo luhah dan dipilih dua orang calon yang dituakan serta mengerti
tentang aturan adat yang berlaku. Kemudian dipilih berdasarkan suara
terbanyak yang berhak menjabat sebagai Ketua Adat, dengan catatan
untuk ketua adat harus dari Depati. Depati itu sendiri bisa dari suku Rio,
Manti Agung, dan Patih dipilih atau diangkat oleh anak butino yang sesuai
dengan kemampuannya dan mengerti tentang adat desa Pungut Mudik.
Tugas dari kepala adat adalah membantu untuk penyelesaian konflik
di masyarakat, misalnya perkelahian atau perselisihan, hal mengenai
warisan (kebun atau tanah) dan juga biasanya diminta oleh masyarakat
untuk menjadi pimpinan upacara-upacara adat.
Potensi yang dimiliki pada hutan adat Tigo Luhah Permenti yang Berenam
terdiri dari jenis kayu dominan: Kayu Pandan, Kayu Sigi, Pinus, Kayu
Meranti dan Kayu Embun. Pengelolaan hutan adat juga dimuat dalam
Peraturan Desa (Perdes) Desa Pungut Mudik Nomor 02 tahun 2014
tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Adat Tigo Luhah Permenti
yang Berenam Desa Pungut Mudik. Hutan Adat ini dimanfaatkan untuk
2 fungsi yaitu fungsi lindung dan fungsi adat, dalam Peraturan Desa ini
juga sudah dimuat bagaimana aturan pemanfaatan dalam hutan dan
juga sanksi bagi pelanggar atau yang tidak melaksanakan aturan adat
dalam pemanfaatan hutan.
97
Barat Desa Pungut Mudik Menjadi Kawasan Hutan Adat Desa Pungut
Mudik. Peraturan Desa Nomor 02 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
dan Pemanfaatan Hutan Adat Tigo Luhah Permenti yang Berenam
Desa Pungut Mudik tanggal 25 Juli 2013.
3. Keputusan Bupati Kerinci Nomor 522.21/Kep.181.2013 tentang
Penetapan Pengukuhan Pengelolaan Hutan Hak Adat Tigo Luhah
Permenti Yang Berenam Pungut Mudik Kecamatan Air Hangat Timur
Tahun 2013.
98
K. Pencadangan Hutan Adat Pandumaan Sipatuhuta di Kabupaten Humbang
Hasundutan
Selain jenis kayu rimba dan kemenyan, terdapat juga tanaman perdu
dan tanaman lain yang bermanfaat seperti rotan, sihirput, bayon, pege
tombak, jarango, dan lain lain. Serta beberapa jenis fauna yaitu burung,
rusa, kancil, kucing hutan, beruang, monyet, kera, trenggiling, babi hutan
dan lain lain.
100
untuk mengelola kemenyan sebagai sumber penghidupan. Namun tetap
tidak berhak atau tidak boleh menjualnya. Jika sekarang ada istilah jual-
beli karena keperluan biaya yang sangat penting dan mendesak, itupun
dilakukan oleh sesama marga yang memiliki hak milik di sana. Dan jika
kemudian yang menjual tersebut sudah memiliki uang, maka bisa dibeli
kembali (mengembalikan uang yang membeli tersebut).
101
4. Adanya tradisi mangaluak dan manige yaitu penggunaan tata cara
tradisional dalam pemanfaatan dan pelestarian hutan kemenyaan
Pada tahun 1992, Hutan Adat “Tombak Haminjon” masuk dalam kawasan
HPHTI melalui SK Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992 tanggal 1
Juni 1992, dan sejak bulan Juni 2009 PT. Toba Pulp Lestari (TPL) yang
merupakan pemilik izin konsesi HPHTI (SK Menhut No. SK.351/Menhut-
II/2004) melakukan pembukaan hutan adat “Tombak Haminjon” untuk
ditanami pohon eucalyptus. Sejak saat itu terjadi konflik antara PT. TPL
dengan masyarakat desa Pandumaan-Sipituhuta.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 497/Kpts-II/1992
mewajibkan pemegang ijin IUPHHK untuk melakukan penataan batas
seluruh areal kerja, namun belum dilakukan sehingga timbul konflik.
Upaya-upaya yang ditempuh dalam rangka penyelesaian konflik antara
lain :
1) Tombak Haminjon (hutan kemenyan) yang berada di area kerja
PT Toba Pulp Lestari Tbk memiliki kekhususan dibanding kawasan
hutan lainnya karena adanya sumber daya genetik, kemenyaan
sehingga harus dikelola secara arif dengan memanfaatkannya dari
hasil hutan bukan kayu (HHBK), serta merupakan habitat berbagai
satwa dilindungi yang keberadaannya di sekitar barat daya Danau
Toba. Oleh karena itu, areal tersebut ditetapkan sebagai kawasan
lindung dengan tujuan khusus.
2) Mendorong Pemda dan DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan
untuk mengakui keberadaan masyarakat Desa Pandumaan dan
Sipituhuta sebagai Masyarakat Hukum Adat melalui Perda, sebagai
dasar pengakuan hutan adat “Tombak Haminjon” Pandumaan-
Sipituhuta.
3) Berdasarkan hasil verifikasi lapangan, serta untuk memenuhi
rasa keadilan dan sesuai dengan amanat Pasal 18b UUD 1945,
Putusan MK 35/PUU-X/2012, rekomendasi Pansus DPRD Kabupaten
Humbang Hasundutan, Rekomendasi DPRD Provinsi Sumatera Utara,
Rekomendasi dari Dewan Kehutanan Nasional (DKN), Rekomendasi
Komnas HAM, dan surat Bupati Humbang Hasundutan, maka
102
disarankan untuk merevisi (addendum) SK Menhut No. SK.351/
Menhut-II/2004 (area kerja PT Toba Pulp Lestari Tbk) dengan
mengeluarkan hutan kemenyan seluas 5.172 ha dari area kerja
PT Toba Pulp Lestari Tbk dan menetapkannya sementara sebagai
kawasan lindung dengan tujuan khusus menunggu pengakuan
masyarakat adat dengan Perda Kabupaten Humbang Hasundutan
untuk pengakuan hutan adat.
4) PT Toba Pulp Lestari Tbk diminta untuk menghentikan penebangan
pohon kemenyan dan kayu di area kerja yang bermasalah khususnya
tombak haminjon serta mengizinkan masyarakat Pandumaan
Sipituhuta melakukan kegiatan pengelolaan hutan kemenyan
sebagaimana biasanya dan diatur dalam nota kesepakatan.
5) Sambil menunggu proses pengakuan MHA tersebut, yang
kemungkinan prosesnya akan memakan waktu yang lama, kemudian
didiorong upaya untuk menetapkan hutan adat “Tombak Haminjon”
sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk kepentingan
religi dan budaya yang dikelola oleh masyarakat hukum adat
Pandumaan-Sipituhuta sesuai dengan pasal 8 ayat (2), Pasal 34 dan
pasal 37 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Karena MHA Tombak Hamijon belum memiliki Perda pengakuan MHA,
maka ditempuh upaya mengeluarkan areal seluas 5.172 Ha dari areal
kerja PT. Toba Pulp Lestari untuk dicadangkan sebagai areal Hutan Adat
Tombak Hamijon.
103
Dengan adanya keputusan tersebut, maka areal hutan adat Tumbak
Hamijon seluas ± 5.172 ha secara resmi dicadangkan sebagai areal hutan
adat. Apabila nantinya Peraturan daerah terkait pengakuan terhadap
MHA Pandumaan Sipatuhuta, wilayah adat dan hutan adat telah disahkan
oleh DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan, maka hutan adat tersebut
baru dapat ditetapkan secara definitif oleh Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan.
Penyerahan SK Pencadangan Hutan Adat oleh Presiden RI di Istana Negara kepada perwakilan
Masyarakat Hukum Adat Pandumaan – Sipituhuta yang berada di Kabupaten Humbang
Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara.
104
BAB IV
KEARIFAN LOKAL
DAN PENGETAHUAN
TRADISIONAL
105
BAB IV
KEARIFAN LOKAL DAN PENGETAHUAN TRADISIONAL
Salah satu kriteria utama keberadaan MHA adalah adanya kearifan lokal
dan pengetahuan tradisional. Komunitas masyarakat hukum adat adalah
pengampu dan pemilik kearifan lokal dan pengetahuan tradisional. Definisi
kearifan lokal dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah “nilai-nilai
luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain
melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari” (Pasal 1 Huruf
30 UU 32/2009). Dengan kearifannya, MHA terbukti secara temurun-
temurun menjaga kelestarian lingkungan menjadi salah satu ciri bagaimana
MHA memberikan kontribusi dalam pelestarian lingkungan hidup. Namun
perkembangan di lapangan, berbagai isu-isu yang melanda MHA seperti
konflik pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, posisi pemangku
pemangku adat dalam konflik pengelolaan SDA, penyalahgunaan/pembajakan
pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik (biopiracy). Presiden
Joko Widodo dalam acara penyerahan SK Hutan Adat tanggal 30 Desember
2016 juga menyampaikan pentingnya kearifan lokal. Menurut presiden,
“Saya rasa nilai-nilai yang penting kita ingat semua di masa modern yang ada
sekarang ini. Apalagi di tengah sengitnya arus budaya global dan persaingan
global yang semakin sengit. Janganlah pernah kita lupakan kearifan lokal,
kearifan nilai-nilai asli bangsa Indonesia,”
Salah satu bagian penting dari hutan adat adalah kearifan lokal dan
pengetahuan tradisional yang selama turun temurun dilakukan oleh
Masyarakat Hukum Adat. Kearifan lokal adalah bagaimana pengelolaan
kawasan hutan dengan menggunakan nilai-nilai lokal yang koservasionis
dan didukung oleh kelembagaan lokal yang menumpukan pada tradisi dan
hukum adat.
Pada bagian ini akan membahas lebih jauh apa itu kearifan lokal dan
pengetahuan tradisional sebagai bagian tidak terpisahkan dari pengelolaan
hutan adat pada masa yang akan datang. Kearifan lokal telah ada dalam
kehidupan masyarakat semenjak lama yang merupakan perilaku positif
106
manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya.
Sumber pengetahuan lokal berasal dari nilai-nilai agama, adat istiadat dan
petuah (folklore).
Perlindungan Kearifan Lokal adalah suatu bentuk pelayanan negara
kepada MHA atau masyarakat setempat dalam rangka menjamin
kelangsungan kearifan lokal dan keberadaan masyarakat pengampunya. Selain
itu terpenuhinya hak dan kewajiban dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang sebagai satu
kelompok masyarakat yang madani, berpartisipasi sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaannya.
Sumberdaya hutan yang selama ini memenuhi kebutuhan masyarakat,
melalui kegiatan berburu, meramu, bercocok tanam, menyadap getah dan
lain-lainnya untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi telah berubah. Berbagai
komunitas masyarakat hukum adat yang sebelumnya melakukan sistem
barter untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya, atau kebutuhan yang bersifat
subsisten, sekarang banyak terlibat dalam ekonomi yang konsumtif. Sehingga
dikhawatirkan memanfaatkan sumber daya hutan secara berlebihan.
Hasil sumberdaya hutan sekarang ini sudah berada dalam mekanisme
pasar, yaitu menjual hasil hutan untuk mendapatkan uang guna membeli
barang-barang kebutuhan yang tidak tersedia di lingkungan hutan. Uang
menjadi alat tukar penting bagi komunitas-komunitas MHA. Kebutuhan
akan pangan, sandang-papan dan kebutuhan-kebutuhan sekunder-tersier
lainnya pun mereka dapatkan di pasar, bahkan di beberapa tempat berbagai
perangkat upacara adat atau yang terkait dari adat harus dibeli dari luar
komunitas. Situasi inilah yang mendorong perlunya ada pengaturan
perlindungan untuk masyarakat hukum adat terkait dengan kearifan lokal
dan pengetahuan tradisionalnya.
107
sanksi-sanksi sosial bagi mereka yang melanggarnya. Bahkan yang
tidak kalah pentingnya, berkat pengetahuan yang mereka peroleh dari
pengalaman maupun berdasarkan observasi terhadap lingkungannya,
mereka mengembangkan pula aneka kearifan ekologi tradisional.
Norma-norma yang mengatur kelakuan manusia dalam berinteraksi
dengan lingku-ngannya, ditambah dengan kearifan ekologi tradisional
yang mereka miliki, merupakan etika lingkungan yang mempedomani
perilaku manusia dalam mengelola lingkungannya.
Pengetahuan anggota komunitas MHA tentang jenis-jenis flora dan
fauna yang berguna dan bermanfaat bagi kehidupannya, seperti bahan
rumah, obat-obatan, bahan upacara. Selain itu pengetahuan pemahaman
perilaku jenis-jenis binatang tertentu sebagai pemberi tanda-tanda alam.
Pengetahuan tentang alam, flora dan fauna serta pemeliharaan dan
perlindungannya menjadi bagian dari kehidupan suatu masyarakat.
Pengetahuan ini adalah nilai yang disosialisasi dan ditransmisikan antar
generasi dan dijadikan pedoman hidup bermasyarakat. Pedoman itu
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat pendidikan
sehingga melahirkan pola-pola pengelolaan lingkungan secara tradisional.
Sementara itu sejumlah konflik yang muncul mengenai tenurial
melibatkan anggota komunitas MHA dengan pihak lain dikarenakan
cara pandang yang berbeda terhadap kearifan lokal, misalnya pemilikan
dan penguasaan tanah secara tradisional yang bersifat komunal berbeda
dengan penguasaan yang bersifat individual. Perlu ada upaya agar
pengetahuan lokal dari komunitas MHA dapat dipahami dengan baik .
Upaya mengkaji kembali tradisi yang ada di masyarakat tentang usaha
mereka untuk mewujudkan keseimbangan kehidupannya dengan
lingkungannya menjadi hal yang penting.
MHA memiliki kemandirian dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup,
karena memiliki modal sosial dan budaya yang mengganggp sumber
daya hutan bukan sekedar benda ekonomi, melainkan mempunyai nilai-
nilai budaya tertentu. Masyarakat agraris di Indonesia memiliki kearifan
lokal termasuk pengetahuan tradisional sebagai acuan dalam mengelola
lingkungan yang didapat dari proses adaptasi sosial (social adaptation)
dan penyesuaian diri (individual adjustment).
108
Kita mengetahui bahwa salah satu ciri masyarakat agraris adalah
keterikatan pada nilai-nilai kearifan lokal yang terwujud dalam berbagai
bentuk unsur kebudayaan yang direpresentasikan dalam pengetahuan
tradisional, nilai, norma, adat-istiadat, etika lingkungan, folklore, sistem
kepercayaan dan mitologi, pola penataan ruang tradisional, peralatan dan
teknologi sederhana ramah lingkungan. Selain itu nilai-nilai agama yang
mendasari sikap dan perilaku sehari-hari, termasuk tindakan pengelolaan
lingkungan hidup dan sumber daya alam.
109
keuntungan yang adil dan seimbang dari pemanfaatan kearifan lokal
dalam relevansi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Dalam peraturan tentang kearifan lokal juga mengatur tata cara
pengakuan dan perlindungan kearifan lokal yang ditetapkan oleh Menteri,
Gubernur, atau Bupati/Walikota. Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota
sesuai dengan kewenangannya secara aktif mendorong dan memfasilitasi
inventarisasi, verifikasi dan validasi kearifan lokal dan keberadaan
masyarakat pengampu kearifan lokal.
Pengampu kearifan lokal adalah masyarakat hukum adat atau masyarakat
setempat yang memegang hak ulayat atau hak tradisional dan
memperoleh manfaat dari hak ulayat atau pengelolaan dalam bentuk
tanggung jawab moral, ekonomi dan budaya.
Oleh Pengampu
INVENTARISASI DAFTAR PENGUMUMAN
Berita Acara
Keputusan Menteri, Gubernur, Bupati/Wakil
Bupati Sesuai Dengan Kewenangannya
Tentang Penetapan Perlindungan
& Pengakuan KL
Diajukan ke PTUN
Penetapan Pengakuan
& perlindungan KL Oleh Menteri
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati
Melaporkan Kepada Menteri Penetapan
Kearifan Lokalya
Sumber: Epistema Institute
111
TATA CARA PENETAPAN DAN PERLINDUNGAN KEARIFAN LOKAL (KL)
Inventarisasi :
S Studi Pustaka Oleh
Tidak Ada
S In Situ/Kunjungan Pengampu Didaftarkan ke Keberatan
Lapangan Menteri PENGUMUMAN
S Identifikasi dan Gubernur,
Pembuatan Daftar KL Bupati/
dan Pengampunya Oleh
Pemerintah Wakil Bupati Keputusan Menteri,
S Dokumentasi Ada Gubernur, Bupati/
Hasil Inven Keberatan Wakil Bupati Tentang
Penetapan Pengakuan
dan Perlindungan KL
a. Ammatoa Kajang
Pasang Ri Kajang merupakan panduan hukum adat bagi segala
aspek kehidupan Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang dan juga
mencerminkan bagaimana kearifan lokal masyarakat terbentuk, dipatuhi
dan diterapkan dalam kehidupan. Dalam Pasang Ri Kajang, ada empat
larangan yang tidak boleh dilakukan ketika berada di dalam hutan yaitu;
Tabbang Kayu (tebang kayu) dikarenakan masyarakat akan terus merasa
menebang kayu apabila diperbolehkan, Tatta Uhe (meretas rotan) juga
dilarang karena masyarakat akan terus bergantung mengambil rotan
112
dari hutan, Tunu Bani (membakar sarang lebah untuk mengambil madu)
dengan alasan dapat membunuh lebah, sementara lebah merupakan
hewan yang dianggap berperan besar dalam membantu perkembangan
tanaman yaitu dengan membantu menyebarkan serbuk sari, Rao Doang
(menangkap ikan dan udang) di dalam wilayah hutan juga dilarang karena
dianggap dapat merusak ekosistem hutan, sementara udang dipercaya
dapat menjadi pertanda bagi kualitas air. Apabila udang mati, maka
pertanda kualitas air tidak sehat dan juga dapat menjadi pertanda hutan
dalam kondisi yang tidak baik, sebaliknya apabila udang tumbuh baik
maka pertanda kualitas air dan hutan baik.
b. Marga Serampas
Dalam hal penataan Hutan Adat Serampas memiliki pola tata ruang
tradisional yaitu Tanah ajum, berarti tanah yang diperbolehkan dibuka
untuk areal pemukiman/tempat tinggal penduduk; Tanah arah, berarti
tanah yang diperbolehkan dibuka untuk tempat berkebun/ perladangan;
Tanah basah, diperuntukan untuk areal persawahan dan tanah kering
diperuntukan untuk areal berladang.
113
Untuk menjaga kelestarian lingkungan, masyarakat adat Serampas
memberlakukan Norma Adat :
a. Masyarakat dilarang membuka hutan di tanah arai. Tanah Arai
merupakan tanah yang memiliki kelerengan sangat curam yang
berada di sekitar sungai.
b. Masyarakat dilarang membuka hutan di hulu aik. Hulu Aik merupakan
kawasan hulu sungai
c. Masyarakat dilarang membuka hutan di Padang Batu.
d. Masyarakat diperbolehkan membuka hutan sesuai dengan ketentuan
Tanah Ajum dan Tanah Arah.
e. Masyarakat tidak boleh menebang cempedak, manggis, durian,
petai dan pohon seri, karena tanaman tersebut peninggalan nenek
moyang masyarakat adat serampas.
f. Masyarakat dilarang memperjualbelikan kayu-kayu yang diambil
dari hutan, hanya boleh untuk dikonsumsi sendiri dan untuk kayu
bakar.
Sanksi adat akan dikenakan terhadap pelanggar, yaitu :
114
Untuk menghindari masuknya wabah penyakit, masyarakat hukum
adat Serampas punya cara tersendiri, mereka melarang keras orang
membawa telur atau ayam dari luar wilayah adat Serampas meskipun
sudah dimasak. Begitu pula sebaliknya ayam dan telur dari dalam wilayah
adat tidak boleh diperjualbelikan keluar. Ternak itu semata-mata untuk
kebutuhan pangan mereka sendiri.
Ada juga ketentuan bagi setiap masyarakat yang berada dalam kawasan
adat serampas hanya boleh memiliki satu rumah, hal ini bertujuan untuk
memberi ruang kepada masyarakat yang belum memiliki rumah untuk
mendirikan rumah di wilayah adat serampas.
Dalam mengelola hasil hutan juga terdapat kearifan lokal seperti adanya
larangan membuka lahan di hulu air dan lereng yang curam. Hal ini
bertujuan agar tidak terjadinya banjir di dalam kawasan adat serampas.
Untuk memanfaatkan sungai, masyarakat juga dilarang untuk memutas,
menyentrum, menjala ikan, ini bertujuan agar sungai tetap terjaga
dari pencemaran. Masyarakat hanya boleh memancing ikan, sanksi
akan diberikan kepada anggota masyarakat yang ketahuan memutas,
menyentrum dan menjala ikan, yaitu kan dikenakan sanksi uang Rp 500
ribu, 1 ekor kambing dan beras 20 gantang.
Sistem Pengetahuan
Masyarakat Marga Serampas memiliki adat istiadat yang berdasar
pada nilai-nilai keagaaman dipadukan dengan nilai-nilai budaya dan
membentuk pengetahuan dasar yang berguna dalam kehidupan.
Pengetahuan dasar ini mereka terapkan pada segala aspek kehidupan,
termasuk kehidupan pertanian dan pengobatan.
115
Masyarakat serampas juga memakai obat-obat tradisional dalam proses
penyembuhan orang sakit. Mereka menggunakan beberapa jenis tumbuhan
alam dan minyak alami untuk dijadikan ramuan obat, misalnya ramuan obat
untuk menyembuhkan penyakit demam yang berupa daun sitawar, sedingin,
kumapai, cekun, kunyit polai, dan jerangau. Di samping itu, juga digunakan
berbagai jenis jeruk, akar kayu, bunga-bungaan, pinang, dll.
c. Kulawi Marena
Masyarakat Hukum Adat Marena di Kecamatan Kulawi membagi kawasan
hutan atas beberapa kategori dan disesuaikan dengan pemanfaatannya.
Ini merupakan salah satu bentuk kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan
menurut klasifikasi dan nilai-nilai budaya masyarakat. Beberapa klasifikasi
kawasan tersebut yaitu: Wana Ngiki yaitu kawasan hutan di puncak-
puncak gunung yang jauh dari pemukiman, berhawa dingin dan tidak ada
aktifitas manusia didalamnya; Wana yaitu kawasan hutan yang luas dan
tutupannya rapat dan menjadi peyangga dan penyimpan persediaan air,
hutan ini biasanya hanya dimanfaatkan untuk pengambilan rotan (lauro)
dan pandan hutan (naho); Pangale yaitu hutan yang sebagian wilayahnya
pernah diolah menjadi ladang dan kemudian dibiarkan untuk menjadi
hutan kembali, hutan ini dimanfaatkan untuk pengambilan kayu, rotan,
pandan hutan, umbut , daun melinjo untuk sayuran, dan obat-obat
tradisional; Pahawa Pongko yaitu hutan bekas kebun yang ditinggalkan
selama 25 tahun keatas dan akan dibuka kembali menjadi ladang selama
beberapa waktu; Oma yaitu hutan bekas ladang atau kebun yang sering
diolah dan dimanfaatkan untuk menanam kopi, kakao dan tanaman
tahunan lainnya; Balingkea yaitu bekas kebun yang berumur 6 bulan
sampai 1 tahun dan dimanfaatkan untuk menanam tanaman palawija
berupa jagung (galigoa), ubi kayu (ngkahubi), kacang-kacangan, rica
(mariha) dan sayur-sayuran (uta-uta).
Larangan dalam pengelolaan tanah dan hutan juga diberlakukan seperti
untuk Hutan Wana Ngiki dan Wana tidak diperbolehkan ada aktifitas
manusia; Pangale dan Oma tidak diperbolehkan menebang kayu di
sekitar Taolo dan Dumpolo (hulu sungai dan daerah yang dikeramatkan),
tidak boleh mengelola damar dan gaharu tanpa ijin lembaga adat Boya
Marena, dan larangan-larangan lainnya.
116
Ada beberapa jenis kayu yang diolah untuk kebutuhan ramuan yaitu kayu
Uru, Taiti, Lonca Ibo, Marantaipa, Karunia, Kume, Palio, Baka Ngkuni,
Ngkarahihi, Siuri, Alipaa, Balintunga, Kuhio, Werau, Lekotu, Wonce,
Pawa, Duria, Lebanu Ngkuni, Lao, Hinanau, Lalari. Ada juga kegiatan
penangkapan ikan-ikan kecil yang dilakukan oleh kaum perempuan yaitu
Mohao untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga.
d. Tawang Panyai
117
S Perkuburan : tempat yang secara khusus untuk perkuburan, dimana
tempat ini merupakan lokasi yang tidak boleh diladangi
S Tempat Keramat : tanda yang menunjukan bahwa ditempat tersebut
ada pemukiman masyarakat adat atau pernah ada pemukiman yang
ditempati oleh masyarakat adat dalam waktu yang cukup lama.
S Kebun Engkabang (Tengkawang) : kawasan yang didalamnya berisi
tanaman tekawang/engkabang.
e. Kasepuhan Karang
Sebagai Masyarakat Hukum Adat yang interaksinya sangat dekat dengan
hutan, Masyarakat Kasepuhan Karang memiliki kearifan lokal dalam hal
pengelolaan hutan (Leuweung). Terdapat zonasi tradisional yaitu dibagi
menjadi Leuweung Kolot, Leuweung Bukaan (kebun campuran, sawah),
Leuweung awisan, dan Gunung Haruman. Selain itu, terkait dengan
pertanian tradisional dikenal Leuit Paceklik yaitu sistem lumbung padi
yang dapat berfungsi dalam hal ketahanan pangan bagi masyarakat
Kasepuhan.
118
kedua kawasan ini pun merupakan salah satu sumber air di Kampung
Karang.
Salah satu contohnya adalah pada MHA pengelola Hutan Adat Bukit
Sembahyang dan Padun Gelanggang, yang hutan adatnya dominan hutan
bambu. Disana terdapat ketentuan adat pengambilan bambu yang diatur
oleh Lembaga Pengelola Adat, yaitu boleh mengambil maksimal 7 batang
bambu per keluarga dalam sekali pengambilan.
Pada MHA pengelola Hutan Adat Kemantan, berlaku tata aturan adat
yang menyatakan pemanfaatan hutan untuk fungsi produksi hanya boleh
maksimal sejumlah 30% dari total keseluruhan hutan adat. Kelembagaan
Adat Tigo Luhah Kemantan membagi beberapa zonasi diantaranya
zona merah sebagai hutan yang berfungsi lindung, zona kuning sebagai
hutan yang berfungsi pemanfaatan terbatas, sementara zona hijau
dimanfaatkan sebagai zona produksi dan pemanfaatan lahan.
119
g. Wana Posangke
Pola tata guna lahan dan hutan MHA Wana Posangke telah dijelaskan
pada bagian III, yaitu pembagian zona lokal yaitu : 1) Kapali (Hutan
larangan yang tidak boleh dimanfaatkan atau diolah); 2) Pompalivu (hutan
tempat mencari rotan, damar, gaharu dan madu); 3) Pangale (hutan
rimba yang belum diolah, untuk perlindungan mata air dan kesuburan
tanah); 4) Navu (areal perladangan rotasi untuk padi ladang dan tanaman
jangka pendek); 5) Yopo (belukar bekas ladang), terdiri atas Yopo Masia
(Yopo yang tegakan pohonnya sudah 10 tahun lebih); Yopo Mangura
(Yopo yang tegakkan pohon masih di bawah 10 tahun) dan Wakanuvu
(Yopo yang baru berusia 1-2 tahun, yang masih ditanami tanaman
semusim); 6) Lipu (areal mukim dan pekarangan, juga dimanfaatkan
untuk tanaman jangka panjang seperti kelapa dan kopi).
Navu atau ladang merupakan sumber utama untuk bahan makanan pokok
(padi, jagung dan sayuran) dan sumber energi (kayu bakar). Berkaitan
dengan pengetahuan tradisional dapat dijumpai pada wilayah Pompalivu,
dimana berkontribusi sebagai sumber konstruksi perahu dan juga sumber
makanan. Dari 17 lokasi “Pinamuya Tau Tua” (bekas tanaman leluhur)
biasanya dijumpai rumpun sagu dan pohon durian, dimana sebagian
besar berada di Pompalivu.
120
BAB V
PENUTUP
121
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Pandangan romantik tentang kehidupan masyarakat hukum adat yang
penuh kesederhanaan, keluguan dan egaliter perlu kita tinjau kembali, karena
perkembangan modernisasi dan arus globalisasi telah membawa perubahan
sangat besar. Beberapa komunitas masyarakat hukum adat masih secara
ketat menjalankan tata cara hidup tradisionalnya di tengah-tengah arus
perubahaan dan globalisasi yang semakin menderas. Misalnya komunitas
Baduy di Lebak Banten, Ammatoa Kajang (hutan adatnya ditetapkan pada
tahun 2016) di Bulukumba Sulawesi Selatan, Boti di Timor Tengah Selatan
(TTS) di propinsi Nusa Tenggara Timur. Ketaatan pada tradisi dan hukum
adat pada komunitas-komunitas tersebut, harus menjadi perlakuan khusus,
sebagai bentuk perghormatan cara hidup yang mereka pilih.
Komunitas-komunitas tersebut bukan tidak ingin berubah sama sekali.
Dalam kesehariannya menjalankan dua sistem ekonomi secara bersamaan
yaitu ekonomi tradisonal dan ekonomi pasar ketika berhubungan dengan
dunia luar. Sementara di sisi lain banyak komunitas masyarakat hukum adat
yang telah mengalami perubahan secara besar-besaran, baik secara ekonomi
maupun sosial budaya. Tentu saja kearifan lokal dan pengetahuan lokal
masyarakat telah tergerus. Bahkan dalam banyak kasus, dihilangkan karena
mengikuti kebijakan negara pada masa lalu.
Realitas kekinian dalam kehidupan sehari-hari masyarakat hukum
adat berubah secara dinamis ketika berhadapan dengan globalisasi dan
modernisasi. Masuknya teknologi dan peralatan dari luar kedalam ranah
kehidupan sehari-hari mereka telah mengubah ide, pandangan, tindakan
dan produk material dari komunitas adat. Berbagai perangkat baru ini juga
membawa perubahan dengan makin tergerusnya prinsip-prinsip kearifan lokal
yang selama ini mereka yakini. Terdapat kesan perbenturan antara budaya
modern dengan kebudayaan trasidional yang dianggap kuno dan tidak sesuai
122
lagi dengan kemajuan jaman. Kemajuan dan kemakmuran telah menjadi
lambang yang dominan. Masyarakat Hukum Adat tetaplah suatu komunitas
yang khusus (lex spesialist) dengan identitas bersama yang melekat secara
turun temurun pada georgrafis tertentu.
Peran kelembagaan komunitas masyarakat hukum adat sangat penting
sebagai pegangan hidup. Berbagai aturan yang bersumber pada tata nilai
budaya setempat yang sebelumnya ditegakkan melalui norma, adat istiadat
dan hukum adat, saat ini mengalami kemunduran atau malah nyaris hilang.
Sejatinya kelembagaan Masyarakat hukum Adat telah terbukti mampu
mengelola sumberdaya alam, relasi sosial dan kepentingan politik, sehingga
terjaga keteraturan, ketertiban dan serta keharmonisan. Modernisasi telah
banyak meredupkan kelembagaan MHA yang telah ada sebelumnya, hal ini
juga karena kebijakan-kebijakan yang kurang memberikan tempat kepada
kelembagaan Adat sehingga sering terjadi kelembagaan adat kehilangan
perannya.
Sebagai sebuah contoh, Bali adalah salah satu wilayah yang memiliki dua
kelembagaan sekaligus, yaitu pemerintahan desa dan pemerintahan adat. Hal
ini adalah sebuah proses akulturasi yang terjadi dengan segala dinamikanya,
termasuk konflik internal. Sementara itu di sisi lain banyak kelembagaan adat
tidak punya kewibawaan lagi khususnya ketika institusi desa yang terlalu
berorientasi pada pemerintahan pusat. Orientasi kewenangan yang dipunyai
berasal dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah secara politis,
ekonomi (pendanaan) hingga tata cara pengaturan pemerintahan di tingkat
lokal.
Konflik Tenurial yang melibatkan masyarakat hukum adat di kawasan
hutan seringkali terjadi. Konflik dipicu oleh perbedaan sistem aturan yang
diberlakukan dan juga pemahaman yang berbeda-beda pada lokasi atau
wilayah yang sama. Pemerintah berpedoman pada hukum formal yang
bersifat mutlak dan harus ditaati oleh semua warga negara. Peraturan
yang ada tidak melihat apakah informasi, partisipasi dari pengaturan ini
sampai kepada Masyarakat Hukum Adat. Di sisi lain Masyarakat Hukum Adat
berpedoman kepada sistem hukum lokal atau sistem hukum adat yang belum
123
banyak diakui atau terinformasikan kepada para pengambil kebijakan yang
ada, khususnya pada saat penetapan wilayah kelola hutan apalagi kemudian
pengelolaan itu diberikan kepada pihak lain atau swasta.
Masyarakat Hukum Adat tidak hanya berkonflik terhadap pemerintah
dengan penetapan kawasan hutan sekaligus sebagai pengelola, tetapi juga
pihak swasta yang diberikan konsesi untuk mengelola hutan. Berkenaan
dengan hal ini diperlukan terobosan-terobosan hukum untuk mencari solusi
dan resolusi konflik yang terjadi, karena adanya ketidakjelasan tata batas dan
aturan yang menjadi acuan. Konflik melebar hanya konflik data, tetapi juga
konflik kepentingan, bahkan konflik struktural dan konflik horizontal yang
derajat penanganannya jauh lebih kompleks, memakan waktu yang lama dan
biaya yang tidak sedikit.
Secara Perundang-undangan, masyarakat hukum adat telah dilindungai
dan diakui melalui UUD 1945 yang telah diamandemen, maupun Undang-
Undang turunannya yang lebih terperinci dalam upaya perlindungan
Masyarakat hukum Adat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun
2012, terkait UU Kehutanan, pada intinya adalah merubah Hutan Adat
menjadi Hutan Hak, maka Pemerintah cq Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan telah membuat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 Tentang Hutan Hak. Menteri telah
menetapkan tata cara penetapan hutan hak sebagai perwujudan dari Negara
Hadir di tengah masyarakat khususnya Masyarakat Hukum Adat.
Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan menjadi resolusi
konflik yang sangat penting dalam berbagai konflik tenurial yang terjadi
di Indonesia. Ketidakjelasan data dalam pengelolaan hutan di Indonesia
akan banyak terselesaikan dengan data dan informasi yang cukup di tingkat
provinsi, kabupaten dan kota, hingga pemerintah pusat tentang keberadaan
Masyarakat Hukum Adat. Permasalahan utama yang ada dalam Pengakuan
Hutan Adat adalah masih minimnya daerah yang mempunyai Pengakuan
Masyarakat Hukum Adat melalui peraturan daerah.
Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
di tingkat kabupaten/kota berimplikasi pada penarikan 4 kewenangan daerah
124
ke pusat dalam hal ini adalah Propinsi yaitu kewenangan kehutanan.Hal ini
berimplikasi kepada hilangnya dinas kehutanan di tingkat kabupaten dan
kota. Posisi ini sering diartikan oleh para pengambil kebijakan di daerah
bahwa Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat sudah bukan
lagi kewenangan Kabupaten/Kota. Pemahaman yang kurang tepat ini masih
sering terjadi yang kemudian menjadi salah satu hambatan besar dalam
implementasi pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan pengakuan Hutan
adat sebagai Hutan Hak.
Dalam Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah menetapkan penggolongan urusan pemerintahan menjadi tiga,
yaitu urusan absolut, konkuren dan umum. Urusan pemerintahan yang
absolut adalah kewenangan mutlak Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan
konkuren merupakan kewenangan yang dibagi antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Urusan ini
merupakan dasar pelaksanaan otonomi daerah. Urusan daerah meliputi
urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib meliputi urusan terkait dengan
pelayanan dasar dan bukan pelayanan dasar.
Saran
Kewenangan mengatur dan menetapkan Masyarakat Hukum Adat
terdapat dalam urusan wajib bukan pelayanan dasar, khususnya pada bidang
pertanahan, lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat dan desa. Dinas
Lingkungan Hidup menjadi salah satu pintu dan penggerak utama dalam
proses ini, khususnya setelah Dinas Kehutanan tidak ada lagi di Kabupaten
dan Kota. Hal ini makin dikuatkan tidak saja keberadaan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 tentang Hutan Hak tahun 2015
tetapi juga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 34 tentang
Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan SumberDaya
Alam Dan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang 41/1999 tentang kehutanan dan Undang-Undang
32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah
125
secara jelas mencatumkan pengukuhan keberadaan masyarakat hukun
adat di suatu kebupaten/kota dilakukan melalui Peraturan Daerah (Perda),
maka Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Provinsi/Kabupaten/Kota memiliki kewajiban hukum dan
politik membuat Peraturan Daerah dengan melibatkan semua pihak terkait,
terutama masyarakat hukum adat di wilayah kabupaten/kota tersebut.
Secara yuridis, tata cara pembuatan peraturan daerah tentang mayarakat
hukum adat mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebagai bagian dari
proses trias politika maka Produk Peraturan Daerah dapat menghindarkan
perangkap-perangkap kepentingan para pihak karena proses yang transparan
antara unsur pemerintahan dan juga adanya konsultasi publik yang
melibatkan secara aktif Masyarakat Hukum Adat sebagai subyek hukum.
Proses demokratis dan keterbukaan dalam penyusunan Perda Pengakuan
Masyarakat Hukum Adat yang berisi pengaturan di dalam komunitas adat
dengan mengedepankan kearifan dan pengetahuan lokal tidak saja bentuk
pengakuan dan penghormatan pilihan dan cara hidup MHA tetapi juga bagian
dari resolusi konflik terhadap persoalan-persoalan tenurial kawasan hutan
yang selama ini terjadi.
Terkait dengan Kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang telah
selama ini dijaga, dihayati dan dilakukan oleh Masyarakat Hukum Adat
menjadi penting sebagai penyeimbang dari arus globalisasi dan modernisasi
yang terkadang tidak sesuai dengan kondisi geografis, budaya, maupun
sosial dari kondisi komunitas MHA. Disinilah perlunya negara hadir untuk
memberikan perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat.
Intinya, isi buku ini adalah harapan agar kebijakan pengakuan terhadap
Masyarakat Hukum Adat, Wilayah Adat dan Hutan Adatnya merupakan
momentum untuk menata kembali relasi dan aksi parapihak dalam rangka
mewujudkan rakyat berdaulat dan bangsa bermartabat sekarang dan masa
yang akan datang.
126
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arizona, Yance, Malik, dan Irena Lucy Ishimora. 2017. Pengakuan Hukum
terhadap Masyarakat Adat: Tren Produk Hukum Daerah Nasional Pasca
Putusan1 MK.35/PUU-X/2012, Outlook Epistema 2017. Jakarta: Epistema
Institute
Asaad, Ilyas., et al. 2014. Masyarakat Hukum Adat dan Kearifan Lokal di
Indonesia. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Hidayat, Rakhmat. 2005. Jangan tuduh kami lagi dengan kata “Maling”: berbagi
pengalaman didalam mendorong insiatif pengelolaan sumberdaya hutan
berbasiskan masyarakat di Desa Gukguk Kecamatan Sungai Manau
Kabupaten Merangin Provinsi Jambi.
Mathari, Rusdi et-al, 2016. Jalan Panjang Masyarakat untuk Konservasi dan
Ruang Hidup, WGII - Bogor.
Rachman, Noer Fauzi. 2014. Hutan Untuk Rakyat: Jalan Terjal Reforma Agraria
di Sektor Kehutanan.Yogyakarta: LkiS Yogyakarta
127
Latif, Udin. 2011. Peran Masyarakat Adat Papua Dalam Implementasi Undang-
Undang No 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua (Jurnal)
Surat
Surat Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat No. S.87/PKTHA/
PHAPKL/PSL.1/4/2017 tgl 13 April 2017.
Berita Acara
Berita Acara Verifikasi Calon Hutan Adat Tawang Panyai No. 1/PKTHA/PHAPKL/
PSL.1/2/2017 tanggal 23 Februari 2017.
Laporan Hasil Kegiatan Fasilitasi dan identifikasi Calon Hutan Adat Moronene
Hukaea Laea, Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat,
Maret 2017.
Internet
http://riobukanferdinand.blogspot.co.id/2011/07/komunitas-adat-hukaea-
laea-melawan.html
http://agustinusmualang.blogspot.co.id/2014/10/melestarikan-rimak-
tawang-panyai-tapang.html
128
Lampiran 1
Permendagri 52/2014
1
SALINAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2
1. Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiiki
karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya,
memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat
hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan
memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun.
2. Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan
beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki,
dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari
leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.
3. Hukum Adat adalah seperangkat norma atau aturan, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis, yang hidup dan berlaku untuk mengatur tingkah laku manusia yang
bersumber pada nilai budaya bangsa Indonesia, yang diwariskan secara turun
temurun, yang senantiasa ditaati dan dihormati untuk keadilan dan ketertiban
masyarakat, dan mempunyai akibat hukum atau sanksi.
4. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah
perangkat daerah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan urusan pemerintahan
di daerah
5. Menteri adalah Menteri Dalam Negeri.
Pasal 2
BAB II
PEMBENTUKAN PANITIA
Pasal 3
BAB III
TAHAPAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN
Pasal 4
3
b. verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan
c. penetapan Masyarakat Hukum Adat.
Pasal 5
(1) Bupati/Walikota melalui Camat atau sebutan lain melakukan identifikasi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 3 huruf a dengan melibatkan masyarakat hukum adat atau
kelompok masyarakat.
(2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mencermati:
a. sejarah Masyarakat Hukum Adat;
b. wilayah Adat;
c. hukum Adat;
d. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
(3) Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan verifikasi dan
validasi oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota.
(4) Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diumumkan kepada
Masyarakat Hukum Adat setempat dalam waktu 1 (satu) bulan.
Pasal 6
BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 7
(1) Dalam hal Masyarakat Hukum Adat keberatan terhadap hasil verifikasi dan validasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), maka masyarakat hukum adat
dapat mengajukan keberatan kepada Panitia.
(2) Panitia melakukan verifikasi dan validasi ulang terhadap keberatan masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Verifikasi dan validasi ulang terhadap keberatan masyarakat, hanya dapat dilakukan
1 (satu) kali.
Pasal 8
4
(1) Dalam hal Masyarakat Hukum Adat keberatan terhadap Keputusan Kepala Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3), dapat mengajukan
keberatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.
(2) Penyelesaian sengketa atas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 9
(1) Menteri Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat.
(2) Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat kabupaten/kota di wilayahnya.
(3) Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengakuan
dan perlindungan kesatuan masyarakat hukum adat di wilayahnya.
Pasal 10
BAB VI
PENDANAAN
Pasal 11
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
5
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juli 2014.
MENTERI DALAM NEGERI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
GAMAWAN FAUZI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juli 2014.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 951.
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM,
6
Lampiran 2
7
MENTERI LINGKUNGAN HDIUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015
TENTANG
HUTAN HAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2014, Pemerintah menetapkan
status hutan;
b. bahwa berdasarkan Pasal 100 Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008,
hutan hak perlu diatur dengan Peraturan Menteri;
c. bahwa kewenangan penetapan hutan hak
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005 tentang
Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak sudah tidak
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah;
d. bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 35/PUU-X/2012 hutan adat yang
merupakan bagian hutan hak belum diatur dalam
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-
II/2005;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d perlu menetapkan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Hutan
Hak;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2043);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3419);
3.Undang...
8
-2-
9
-3-
10
-4-
11
-5-
(2) Hutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Hutan adat;
b. Hutan perseorangan/badan hukum.
(3) Hutan perseorangan/badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b antara lain berupa hutan rakyat.
(4) Hutan hak dapat mempunyai fungsi pokok:
a. Konservasi;
b. Lindung;
c. Produksi.
Pasal 4
(1) Masyarakat hukum adat, perseorangan secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama dalam kelompok atau badan hukum mengajukan
permohonan penetapan kawasan hutan hak kepada Menteri.
(2) Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk
koperasi yang dibentuk oleh masyarakat setempat.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) Menteri melakukan verifikasi dan validasi.
(4) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan dengan mengacu pada pedoman yang disusun dan
ditetapkan oleh Direktur Jenderal dengan melibatkan para pemangku
kepentingan.
(5) Berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), Direktur Jenderal atas nama Menteri dalam waktu 14 (empat
belas) hari kerja menetapkan hutan hak sesuai dengan fungsinya.
(6) Areal hutan hak yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dicantumkan dalam peta kawasan hutan.
(7) Dalam hal masyarakat tidak mengajukan permohonan penetapan
hutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri bersama
pemerintah daerah melakukan identifikasi dan verifikasi masyarakat
adat dan wilayahnya yang berada di dalam kawasan hutan untuk
mendapat penetapan masyarakat hukum adat dan hutan adat.
Pasal 5
Syarat permohonan penetapan hutan hak perseorangan/badan hukum
meliputi:
a. Terdapat hak atas tanah yang dimiliki oleh perseorangan/badan
hukum yang dibuktikan dengan dokumen-dokumen tertulis atau
bukti-bukti tidak tertulis sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-perundangan;
b. Terdapat tanah yang sebagian atau seluruhnya berupa hutan; dan
c. Surat pernyataan dari perseorangan/badan hukum untuk menetapkan
tanahnya sebagai hutan hak.
Pasal 6
(1) Syarat permohonan penetapan hutan adat meliputi:
a. Terdapat masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah
diakui oleh pemerintah daerah melalui produk hukum daerah;
b. Terdapat wilayah adat yang sebagian atau seluruhnya berupa
hutan;
c. Surat pernyataan dari masyarakat hukum adat untuk menetapkan
wilayah adatnya sebagai hutan adat.
(2)Dalam...
12
-6-
(2) Dalam hal produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a tidak mencantumkan peta wilayah adat, Menteri bersama-
sama pemerintah daerah memfasilitasi masyarakat hukum adat
melakukan pemetaan wilayah adatnya.
Pasal 7
(1) Lahan berhutan dapat ditetapkan menjadi kawasan hutan yang
berstatus sebagai hutan hak sesuai fungsinya berdasarkan
persetujuan pemegang hak atas tanah dan pertimbangan-
pertimbangan ekosistem yang dikomunikasikan oleh Menteri melalui
Direktur Jenderal kepada pemegang hak.
(2) Dalam hal pemegang hak atas tanah keberatan atas penetapan fungsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri menetapkan fungsi
sesuai ekosistem dengan memberikan kompensasi dan/atau insentif
sesuai peraturan perundang-perundangan.
(3) Dalam hal areal yang dimohonkan sebagai hutan hak masih terdapat
konflik dengan pemegang izin atau pemangku hutan yang lain,
Menteri mencadangkan areal hutan hak dan memerintahkan pejabat
yang berwenang dalam lingkup tugasnya untuk menyelesaikan konflik
yang menyangkut kewenangan Menteri dalam waktu paling lambat 90
(sembilan puluh) hari kerja.
Pasal 8
(1) Penetapan hutan hak oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), mengacu pada rencana tata ruang
wilayah (RTRW).
(2) Dalam hal RTRW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
menampung keberadaan hutan hak, maka kawasan hutan hak
tersebut diintegrasikan dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah
berikutnya.
Pasal 9
(1) Peralihan hak atas tanah yang telah ditetapkan sebagai kawasan
hutan hak tidak dapat mengubah fungsi hutan tanpa persetujuan
Menteri.
(2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan peraturan mengenai perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan yang berlaku.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 10
(1) Hak pemangku hutan hak meliputi:
a. mendapat insentif;
b. mendapat perlindungan dari gangguan perusakan dan
pencemaran lingkungan;
c. mengelola dan memanfaatkan hutan hak sesuai dengan kearifan
lokal;
d. memanfaatkan dan menggunakan pengetahuan tradisional dalam
pemanfaatan sumber daya genetik yang ada di dalam hutan hak;
e. mendapat perlindungan dan pemberdayaan terhadap kearifan
lokal dalam perlindungan dan pengelolaan hutan hak;
f. memanfaatkan hasil hutan kayu, bukan kayu dan jasa lingkungan
sesuai dengan fungsi kawasan hutan; dan/atau
g. memperoleh sertifikat Legalitas Kayu.
(2)Kewajiban...
13
-7-
14
-8-
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Pasal 17
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juli 2015
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SITI NURBAYA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juli 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 1025
ttd.
KRISNA RYA
15
16
Lampiran 3
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
Lampiran 4
37
MENTERI LINGKUNGAN HDIUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
38
-2-
39
-3-
40
-4-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN
KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA
ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah
upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum.
2. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku
dalam tata kehidupan masyarakat setempat antara lain
untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup dan
sumber daya alam secara lestari.
3. Pengetahuan Tradisional adalah bagian dari Kearifan
Lokal yang merupakan substansi pengetahuan dari hasil
41
-5-
42
-6-
43
-7-
Bagian Kedua
Maksud, Tujuan, dan Ruang Lingkup
Pasal 2
(1) Pengaturan Kearifan Lokal dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan hukum bagi pengampu dan
memfasilitasi pengakses Kearifan Lokal dalam
mewujudkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan
pelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya
alam.
(2) Pengaturan Kearifan Lokal bertujuan agar pengampu
Kearifan Lokal mendapat pengakuan, perlindungan, dan
memperoleh pembagian keuntungan yang adil dan
seimbang dari pemanfaatan Kearifan Lokal dalam
relevansi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup.
Pasal 3
Ruang lingkup pengaturan Kearifan Lokal, meliputi:
a. lingkup, sifat, wilayah, dan kriteria Kearifan Lokal;
44
-8-
BAB II
LINGKUP, SIFAT, WILAYAH, DAN KRITERIA KEARIFAN LOKAL
Pasal 4
Lingkup Kearifan Lokal paling sedikit mencakup:
a. pengetahuan tradisional di bidang Sumber Daya Genetik,
air, tanah, dan energi;
b. pengetahuan tradisional termasuk namun tidak terbatas
pada mata pencaharian berkelanjutan, kesehatan, dan
lainnya, di bidang wilayah Kearifan Lokal yang dijaga
kelestariannya;
c. peralatan dan teknologi tradisional di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan
sumber daya alam;
d. ekspresi budaya tradisional, tradisi dan upacara
tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dan sumber daya alam termasuk
folklor terkait Sumber Daya Genetik;
e. pembelajaran tradisional di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;
dan/atau
f. warisan budaya benda dan tak benda.
Pasal 5
(1) Sifat Kearifan Lokal terdiri atas:
a. Kearifan Lokal yang dapat diakses publik; dan
b. Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral dan
dipegang teguh.
(2) Kearifan Lokal yang dapat diakses publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan Kearifan
Lokal yang oleh pengampunya dapat diakses oleh
pengakses atau kelompok lain.
45
-9-
Pasal 6
(1) Wilayah Kearifan Lokal meliputi:
a. Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat;
b. Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar
wilayah ulayat; atau
c. Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa
wilayah ulayat.
(2) Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Kearifan
Lokal yang diampu oleh satu komunitas Masyarakat
Hukum Adat dalam satu Wilayah Kearifan Lokal.
(3) Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar wilayah
ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh satu
Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat baik
dalam satu atau lebih Wilayah Kearifan Lokal.
(4) Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa
wilayah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh
beberapa kelompok Masyarakat Hukum Adat atau
masyarakat setempat baik dalam satu atau lebih Wilayah
Kearifan Lokal.
Pasal 7
Kriteria Kearifan Lokal di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam , terdiri
atas:
a. nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat; dan
46
- 10 -
Pasal 8
(1) Indikator kriteria Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf a, terdiri atas:
a. terpelihara praktik pengetahuan dan keterampilan
tradisional yang nyata secara terus menerus dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dan sumber daya alam;
b. terpelihara kualitas lingkungan hidup dan sumber
daya hutan sebagai pelaksanaan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. terpelihara ingatan kolektif masyarakat tentang
Kearifan Lokal yang berkaitan dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
hutan termasuk ekspresi budaya tradisional; dan
d. terwariskan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a yang direpresentasikan antar generasi.
(2) Indikator kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf b berupa surat pernyataan, pernyataan sikap,
dan/atau bentuk pengakuan lainnya tentang kebenaran
Kearifan Lokal dan pengampunya yang diberikan oleh
masyarakat sekitar melalui proses musyawarah mufakat.
BAB III
TATA CARA PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN
KEARIFAN LOKAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya secara aktif mendorong dan
memfasilitasi inventarisasi, verifikasi, dan validasi
47
- 11 -
Pasal 10
(1) Penyelenggaraan inventarisasi, verifikasi, dan validasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilaksanakan
dengan ketentuan:
a. wilayah lintas daerah provinsi diselenggarakan oleh
Menteri;
b. wilayah lintas daerah kabupaten dan/atau kota
dilaksanakan oleh gubernur; dan
c. dalam satu wilayah daerah kabupaten/kota
dilaksanakan oleh bupati/walikota.
(2) Penyelenggaraan inventarisasi, verifikasi, dan validasi
pada wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dan huruf c dilakukan oleh organisasi perangkat
daerah yang membidangi lingkungan hidup dan
kehutanan.
Bagian Kedua
Inventarisasi
Pasal 11
(1) Pengampu Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) dalam melakukan inventarisasi dapat
melibatkan lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat,
perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan dunia usaha.
(2) Dalam hal inventarisasi dilakukan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (3) dapat melibatkan lembaga
48
- 12 -
Pasal 12
Masyarakat Pengampu Kearifan Lokal yang melakukan
inventarisasinya sendiri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1), mendaftarkan data Kearifan Lokal dan
pengampunya kepada:
a. Menteri untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh 1 (satu)
atau lebih komunitas yang tersebar di wilayah lintas
provinsi;
b. Gubernur untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh 1
(satu) atau lebih komunitas yang tersebar di wilayah
lintas daerah kabupaten dan/atau kota; atau
c. Bupati/walikota untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh
komunitas dalam satu wilayah daerah kabupaten/kota
untuk selanjutnya diteruskan kepada gubernur.
Pasal 13
(1) Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dilakukan melalui kegiatan:
a. studi pustaka;
b. in situ atau kunjungan lapangan;
c. identifikasi dan pembuatan daftar kearifan lokal dan
pengampunya; dan
d. dokumentasi hasil inventarisasi.
(2) Dalam melakukan inventarisasi wajib:
a. mentaati hukum adat dan kode etik yang berlaku;
b. menghormati kesakralan dan kerahasiaan dari
Kearifan Lokal tersebut; dan
c. dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
49
- 13 -
50
- 14 -
Bagian Ketiga
Pengumuman Hasil Inventarisasi
Pasal 14
(1) Hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 dapat diumumkan melalui media cetak, media
elektronik, dan/atau pengumuman di kantor
Pemerintah/pemerintah daerah.
(2) Dalam hal terdapat keberatan terhadap hasil
inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
masyarakat dapat mengajukan keberatan dalam kurun
waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diumumkan di
media.
(3) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan melalui surat tertulis dari pimpinan
lembaga adat atau Pengampu Kearifan Lokal kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Berdasarkan keberatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya, melakukan:
a. verifikasi dan validasi; atau
b. mediasi.
Pasal 15
Dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap hasil
inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya menetapkan pengakuan dan perlindungan
Kearifan Lokal dalam bentuk Keputusan Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota.
51
- 15 -
Bagian Keempat
Verifikasi, Validasi, dan Mediasi
Pasal 16
(1) Verifikasi dan validasi data Kearifan Lokal dan
pengampunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (4) huruf a dilakukan untuk memastikan kebenaran
hasil inventarisasi Kearifan Lokal dan pengampunya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).
(2) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan berdasarkan hasil inventarisasi, yang
dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya dibantu oleh Tim
Independen yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Tim Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri dari unsur akademisi yang membidangi Kearifan
Lokal dan lembaga swadaya masyarakat, keanggotaannya
paling banyak 7 (tujuh) orang dengan memperhatikan
kesetaraan gender.
(4) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan melalui kajian lapangan dengan
metode:
a. menyalin manuskrip;
b. diskusi dalam grup;
c. wawancara;
d. pengamatan;
e. pengkajian sejarah kehidupan masyarakat
Pengampu Kearifan Lokal; dan
f. pemetaan partisipatif Wilayah Kearifan Lokal.
(5) Kearifan Lokal yang bersifat sakral dan rahasia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) tidak
dilakukan verifikasi dan validasi.
Pasal 17
(1) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16, meliputi:
52
- 16 -
Pasal 18
(1) Mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4)
huruf b dilakukan oleh mediator bersertifikat.
(2) Hasil mediasi dituangkan dalam berita acara dan
disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota.
Bagian Kelima
Penetapan
Pasal 19
(1) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (3) atau Pasal 18 ayat (2), Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya menetapkan pengakuan dan
perlindungan Kearifan Lokal.
(2) Penetapan pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. nama komunitas pengampu Kearifan Lokal;
b. wilayah Kearifan Lokal yang dilindungi;
c. jenis Sumber Daya Genetik yang dilindungi;
d. jenis Kearifan Lokal yang dilindungi;
e. skema pemanfaatan Kearifan Lokal; dan
53
- 17 -
Pasal 20
(1) Keputusan penetapan Kearifan Lokal oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota, disimpan pada Balai
Kliring Kearifan Lokal.
(2) Balai Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengelola:
a. data naratif, numerik, visual dan/atau spasial;
b. daftar pengampu;
c. daftar pengakses; dan
d. daftar kesepakatan bersama dan perubahannya.
(3) Pengelolaan Balai Kliring sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal untuk
mencegah penyalahgunaan dan pemanfaatan yang tidak
sah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
(4) Data yang menyangkut Sumber Daya Genetik dan
pengetahuan tradisional yang terkait dengan Sumber
Daya Genetik hanya dapat diakses berupa resume
data/abstrak/metadata.
(5) Data yang menyangkut ekspresi budaya tradisional
terkait sumber daya genetik, warisan budaya benda dan
tak benda dapat diakses dan dipublikasi secara luas.
Pasal 21
Dalam hal terdapat keberatan terhadap penetapan pengakuan
dan perlindungan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, keberatan dapat diajukan kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
54
- 18 -
Pasal 22
Tata Cara inventarisasi, verifikasi, dan validasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 17 diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN PENGAMPU DAN
PENGAKSES KEARIFAN LOKAL
Pasal 23
(1) Hak Pengampu Kearifan Lokal meliputi:
a. memanfaatkan dan menggunakan pengetahuan
Kearifan Lokal dalam pemanfaatan Sumber Daya
Genetik dan mendapat pembagian keuntungan baik
secara moneter maupun non moneter atas
pemanfaatan Kearifan Lokal baik pada pengetahuan
generik maupun lanjutannya;
b. mengekspresikan Kearifan Lokal baik di dalam
maupun di luar Wilayah Kearifan Lokal;
c. mendapat perlakuan yang adil dan seimbang dalam
PADIA;
d. menolak atau menerima permohonan akses melalui
PADIA;
e. memperoleh kesempatan dalam kegiatan
peningkatan kapasitas dan penguatan kelembagaan
masyarakat;
f. mendapat perlindungan dari gangguan kerusakan
dan pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya
alam;
g. mengajukan keberatan terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan hidup, sumber
daya alam, religi, politik, keamanan, ekonomi, sosial
dan budaya;
h. melakukan pelaporan dan pengaduan akibat dugaan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
dan sumber daya alam;
55
- 19 -
Pasal 24
(1) Pengakses Kearifan Lokal berhak untuk memperoleh
keuntungan finansial dan nonfinansial sebagaimana
ditentukan dalam kesepakatan bersama dari
pemanfaatan Kearifan Lokal dengan cara yang benar,
terbuka, adil, seimbang, keberlanjutan, dan
penghormatan kepada Masyarakat Hukum Adat atau
masyarakat setempat.
(2) Kewajiban Pengakses Kearifan Lokal meliputi:
a. melakukan pemberitahuan kepada Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah sesuai
kewenangannya;
b. melakukan PADIA dan kesepakatan bersama dengan
Pengampu Kearifan Lokal;
c. mematuhi protokol komunitas Pengampu Kearifan
Lokal;
56
- 20 -
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 25
Pembiayaan pelaksanaan pengakuan dan perlindungan
Kearifan Lokal dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi atau Kabupaten/Kota, dan sumber dana lain yang
sah dan tidak mengikat.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
57
- 21 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Mei 2017
ttd.
SITI NURBAYA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juni 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
ttd.
KRISNA RYA
58