Anda di halaman 1dari 194

HUTAN ADAT

WUJUD RAKYAT BERDAULAT


BANGSA BERMARTABAT
HUTAN ADAT WUJUD RAKYAT BERDAULAT BANGSA BERMARTABAT

Pengarah:
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc.

Penanggung Jawab:
Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat
Ir. Muhammad Said, MM

Koordinator:
Kepala Sub Direktorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal
Yuli Prasetyo Nugroho, S. Sos, M.Si

Tim Penyusun:
Yuli Prasetyo Nugroho, S. Sos, M.Si
Agung Pambudi, S.Sos
Ir. April Harini
Nelson Perdy Noveri, S.Sos
Rina Nurhaeni, S. Kom
Adi Saputro, S.Sos
Nisa Ni’mah Utami, S.Kesos
Adrian Firdaus

Pendukung:
Dr. Herry Yogaswara (LIPI)

Penyelaras Akhir :
Yuli Prasetyo Nugroho, S. Sos, M.Si

Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat

Dicetak dan Digandakan :


Balai Perhutanan Sosial Dan Kemitraan Lingkungan
Wilayah Jawa Bali Nusa Tenggara
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

2018

II
KATA PENGANTAR
Pada acara peringatan Hari Lingkungan Hidup 2017, Presiden Republik
Indonesia menekankan perlunya corective action dalam perancangan tata
kelola hutan Indonesia kedepan. Diantara rancangan tata kelola hutan
dimaksud, yang paling signifikan telah dimulai adalah berkenaan dengan
hutan adat.
Secara resmi pemerintah pada acara pengakuan hutan adat tanggal 30
Desember 2016 di Istana Negara telah memberikan perlindungan dan
pengakuan Hutan Adat, sebagai jawaban atas perjalanan panjang perjuangan
Masyarakat Adat hingga ke Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian babak
baru Perhutanan Indonesia kini kita mulai, dan buku berjudul “Hutan Adat
Wujud Rakyat Berdaulat Bangsa Bermartabat” menjadi sangat relevan dan
penting.
Buku ini memberikan informasi tentang berbagai hal yang berkaitan
dengan Hutan Adat, Masyarakat Hukum Adat dan berbagai kebijakan yag
telah dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Oleh karenanya sangat baik untuk dijadikan salah satu referensi dalam
menyelesaikan permasalahan Hutan Adat dan Masyarakat Hukum Adat yang
dihadapi dalam mengelola kawasan hutan.
Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang
telah memberikan kontribusi, semoga buku ini bermanfaat.
Mari wujudkan hutan adat menuju rakyat berdaulat bangsa bermartabat.
Jakarta, September 2017
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Dr. Ir Siti Nurbaya, M.Sc


III
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. III


DAFTAR ISI ............................................................................................. IV
BAB I
SELAYANG PANDANG HUTAN ADAT ........................................... 1
A Tantangan dan Realita ................................................................. 4
B Regulasi Terkait Masyarakat Hukum Adat, Hutan Adat,
Kearifan Lokal dan Kehadiran Negara ........................................ 8
C Masyarakat Hukum Adat ............................................................ 14
D Hutan Adat ................................................................................. 16

II BAB II
TATA CARA PENGUSULAN, PENETAPAN DAN PENCADANGAN
HUTAN ADAT .............................................................................. 21
A Pengusulan Hutan Adat .............................................................. 23
B Penetapan Hutan Adat ................................................................ 27
C Masyarakat Hukum Adat ............................................................. 30
C.1 Calon Masyarakat Hukum Adat .......................................... 30
C.2 Kepala Daerah ..................................................................... 31
C.3 Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah .......................... 33
D Perda Masyarakat Hukum Adat .................................................. 35
E Pencadangan Hutan Adat ........................................................... 47

IV
III BAB III

PROFIL MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HUTAN ADAT .... 51


A Hutan Adat Kajang di Bulukumba ............................................... 59
B Hutan Adat Kulawi di Marena .................................................... 63
C Hutan Adat Tawang Panyai di Kabupaten Sekadau Provinsi
Kalimantan Barat ........................................................................ 68
D Hutan Adat Wana Posangke ....................................................... 74
E Hutan Adat Kasepuhan Karang ................................................... 79
F Hutan Adat Marga Sarampas ..................................................... 81
G Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Bukit Padun Gelanggang ..... 85
H Hutan Adat Bukit Tinggai ............................................................ 89
I Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan .............................................. 92
J Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam ........................ 96
K Pencadangan Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta di Kabupaten
Humbang Hasundutan ................................................................ 100

IV BAB IV
KEARIFAN LOKAL DAN PENGETAHUAN TRADISIONAL .............. 105
A Kearifan Lokal dan Pengetahuan Tradisional .............................. 107
B Regulasi Tentang Kearifan Lokal ................................................. 109
C Mekanisme Pengakuan Kearifan Lokal ........................................ 110

V
V BAB V
PENUTUP ..................................................................................... 121
A Kesimpulan .................................................................................. 122
B Saran ............................................................................................ 125

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 127

LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 : Permendagri 52/2014
Lampiran 2 : Permen LHK 32/2015
Lampiran 3 : Perdirjen PSKL 1/2016
Lampiran 4 : Permen LHK 34/2017

VI
BAB I
SELAYANG PANDANG
HUTAN ADAT

1
BAB I
SELAYANG PANDANG HUTAN ADAT

Penetapan Hutan Adat merupakan rangkaian proses panjang dari berbagai


pihak baik dari pemerintah maupun dari seluruh komponen masyarakat dalam
upaya mendorong pengakuan wilayah adat. Salah satu proses penting adalah
kunjungan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MENLHK) ke Ammatoa
Kajang pada tanggal 8 Agustus 2016, untuk memastikan pengambilan
keputusan secara komprehensif dalam penetapan Hutan Adat yang sedang
berproses di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pada saat
itu Menteri KLHK menyatakan bahwa: “Proses di Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan sudah selesai. Saya akan menjadwalkan bertemu
dengan Presiden untuk membahas ini. Sudah tidak ada keraguan bagi saya
untuk menetapkan Hutan Adat Ammatoa Kajang”. Pernyataan MENLHK ini
menarik karena disampaikan di Rumah Adat Ammatoa Kajang dan telah
dipublikasikan oleh media-media nasional. Hal ini diperkuat oleh pernyataan
Presiden Republik Indonesia yang disampaikan oleh MENLHK pada tanggal
21 September 2016 saat Pencanangan Program Perhutanan Sosial bahwa:
“Bapak Presiden Joko Widodo mengamanatkan, saatnya hutan benar-benar
harus mensejahterakan rakyat”.
Pengakuan negara terhadap Masyarakat Hukum Adat (MHA) beserta
wilayah hutan adatnya terjadi pada tanggal 30 Desember 2016, dimana
Presiden Republik Indonesia menyerahkan secara langsung 8 SK Penetapan
Hutan Adat kepada perwakilan MHA di Provinsi Jambi, Banten, Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Tengah seluas keseluruhan ± 7.949 ha dan 1 Pencadangan
Hutan Adat di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara
seluas ± 5.172 ha. Angka-angka capaian tersebut tentu akan berlanjut ke
areal-areal hutan adat lainnya seiring berjalannya waktu.
Tidak semua pihak memberikan dukungan, adanya nada sumbang
ternyata ikut menyertai momentum diatas. Khususnya yang mempertanyakan
kemampuan MHA dalam mengelola kawasan hutan dan “penyesalan”

2
akan hilangnya kuasa negara terhadap kawasan hutan yang kemudian
berpindahtangan menjadi hak MHA. Cepat atau lambat, suka atau tidak
suka hutan adat adalah suatu keniscayaan yang eksistensinya diatur dalam
undang-undang dasar, sehingga harus disikapi dengan bijaksana. Termasuk
kebijakan untuk memutuskan apakah suatu areal dan komunitas adatnya
layak dan pantas ditetapkan sebagai areal Hutan Adat, sehingga prosesnya
harus dilakukan secara cermat dan hati-hati mengingat implikasinya yang
amat besar saat ini dan dimasa yang akan datang.
Bagi masyarakat Indonesia, hutan dipandang sebagai sumber kehidupan
yang sangat penting, karena berperan sebagai penyedia sumber pangan,
ekonomi, obat-obatan, energi, serta s kawasan tempat tinggal. Dari sekitar 250
juta penduduk Indonesia, sekitar 48,8 juta jiwa tinggal disekitar kawasan hutan
dan 10,2 juta jiwa diantaranya hidup dibawah garis kemiskinan. Masyarakat
seperti ini secara tradisi menggantungkan hidup dari sumberdaya hutan,
hasil kayu maupun bukan kayu (rotan, madu, gaharu, damar, dan bambu).
Interaksi masyarakat dengan hutan merupakan aktivitas yang terjadi
pada hampir seluruh kawasan hutan. Praktek pemanfaatan dan pengelolaan
wilayah pemukiman dan penghidupan sebuah komunitas, berdasarkan
aspek ekologi, sosial dan ekonomi adalah hal yang lazim dilakukan oleh
masyarakat hukum adat (MHA) di wilayah Indonesia. Perlindungan menjadi
hal yang tidak terpisahkan dari pengelolaan lahan, perairan, hutan, dan
keanekaragaman hayati. Hakikatnya adalah pilar-pilar kehidupan masyarakat
adat dan masyarakat lokal berdasarkan nilai-nilai, pranata, dan kesejarahan
keberadaan masyarakat dan wilayah adatnya (Widodo, 2016).
Pengelolaan kawasan hutan oleh MHA terjadi pada areal yang disebut
negara sebagai kawasan konservasi yang kemudian dikenal sebagai Areal
Kelola Konservasi Masyarakat (AKKM). Konsep dimaksud merupakan
penjabaran pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional dan menjamin
berbagai aspek kehidupan masyarakat, matapencaharian, ketahanan pangan,
air, konservasi keanekaragaman hayati, dan kelestarian lingkungan. Dari aspek
terhadap hak, AKKM merupakan perwujudan terhadap hak-hak ekonomi,
lingkungan, sosial dan budaya (Rusdi, 2016).

3
Sudah tak terhitung banyaknya kisah atau cerita bagaimana MHA
berinisiatif untuk menjaga dan mempertahankan kawasan hutan disekitarnya
sembari tetap mencari penghidupan ekonomi terkait fitrahnya sebagai
manusia yang memerlukan keberlangsungan hidup dan kehidupan. Selama
itulah areal hutan itu tetap terjaga kelestariannya dan fungsinya baik bagi
manusia dan ekosistemnya.
Semangat dari suatu MHA dalam mengelola hutan adat sejatinya adalah
untuk melakukan proteksi terhadap areal hutan disekitarnya dari berbagai
ancaman baik internal maupun eksternal. Ancaman-ancaman itu kian hari
semakin terasa nyata sehingga eksistensi budaya dan sumberdaya alam suatu
MHA akan semakin pudar hingga pada akhirnya akan punah dan terlupakan.
Proses modernisasi yang ditandai dengan perubahan masyarakat tradisional
menuju modern sebagai imbas dari keterbukaan zaman menjadi hal yang
sulit dihindari, termasuk perubahan yang terjadi pada MHA. Orientasi pola
pikir masyarakat pun menjadi semakin konsumtif untuk memenuhi berbagai
keinginannya dan bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhannya. Disitulah
kemudian mengapa peranan suatu MHA sebagai suatu entitas sosial, ekonomi
dan budaya menjadi sangat penting.

A. Tantangan dan Realita


Berbagai permasalahan dan kendala terkait proses penetapan hutan adat
antara lain (1) inventarisasi MHA yang belum optimal, (2) database MHA
yang belum dikelola dengan baik, (3) kurangnya akses informasi MHA
dalam pengajuan permohonan hutan adat, dan kurangnya komitmen
pemerintah daerah terkait Peraturan Daerah (Perda) atau produk hukum
daerah tentang pengakuan MHA. Perda/SK Kepala Daerah tentang
pengakuan MHA seringkali merupakan produk lama, sehingga tidak
diketahui apakah produk hukum dimaksud masih berlaku atau telah
dianulir. Selain itu basis peta wilayah adat dan hutan adat masih belum
jelas. Hutan adat adalah bagian dari wilayah adat yang seringkali tidak
jelas lokasinya, sehingga menyulitkan proses telaah awal. Peta wilayah
adat/hutan adat (lampiran perda) yang ada seringkali tidak sesuai dengan
kaidah perpetaan sehingga harus dilakukan proses geoprocessing/
rektifikasi ulang yang memakan waktu lama.

4
Hutan adat adalah salah satu mekanisme pengelolaan hutan yang
mengakui eksistensi dan memberikan ruang lebih kepada MHA untuk
mengelola hutan dan sumberdaya alam disekitarnya, sesuai kearifan lokal
dan pengetahuan tradisionalnya yang telah berlangsung secara turun
temurun. Tentunya MHA pengelola hutan adat ini mempunyai basis legal
formal oleh pemerintah daerah dan juga pengakuan oleh komunitas-
komunitas adat adat lainnya. Pengakuan terhadap MHA ini juga beserta
wilayah adat, termasuk hutan adatnya. Suatu komunitas masyarakat adat
dapat disebut sebagai MHA memerlukan proses pengakuan sendiri atau
“self identification” dan pengakuan dari pihak lain atau “identification
by others”. Pengakuan negara adalah bagian dari pengakuan dari pihak
lain untuk memberikan legalitas formal. Proses ini jelas memerlukan
kehadiran negara dalam berbagai bentuk untuk mengakui dan melindungi
MHA dan sebuah upaya agar komunitas MHA yang dimaksud masih
menggunakan fungsi-fungsi ke-adat-an dalam mengelola sumber daya
hutan, dna bukan komunitas MHA yang melakukan klaim sepihak.

Dalam hal identifikasi MHA, saat ini terdapat kekhawatiran akan kehadiran
MHA “bentukan” atau MHA yang tidak memiliki basis klaim yang jelas.
Kekhawatiran diatas tentu sangat beralasan mengingat permasalahan
tenurial saat ini sangat sensitif dan pasti berpotensi menimbulkan konflik,
termasuk konflik vertikal maupun horizontal. Berdasarkan data dan peta
potensi konflik dari Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan
Adat tahun 2017, tercatat setidaknya areal seluas ± 14.517.807 ha yang
terindikasi berpotensi konflik (Direktorat PKTHA: 2017) termasuk di dalam
klaim wilayah adat.

Potensi hilangnya hak atas hutan bagi komunitas nyata di depan mata.
Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, secara faktual telah kehilangan
haknya atas hutan sebagai sumberdaya alam untuk menopang
kehidupannya, termasuk hak tradisionalnya. Sehingga masyarakat
hukum adat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
dari hutan. Bahkan acapkali hilangnya hak-hak MHA dimaksud dengan

5
cara sewenang-wenang, sehingga tidak jarang menyebabkan terjadinya
konflik yang melibatkan masyarakat dengan pemegang hak. (Mahkamah
Konstitusi 2012: 169). Itulah mengapa kehadiran negara begitu penting.
Indikasinya, berbagai regulasi terkait mekanisme pengakuan terhadap
MHA, mekanisme pengusulan, dan penetapan hutan adat telah
diterbitkan pasca putusan MK 35 tahun 2012.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 tahun 2014 tentang Pedoman


Pengakuan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat,
Peraturan Menteri LHK No: P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak,
Peraturan Menteri LHK No: P.34/Menlhk/Setjen/KUM.1/5/2017 tentang
Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber
Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Peraturan Dirjen PSKL No:P.1/PSKL/
Set/Kum.1/2/2016 tentang Tata Cara Verifikasi dan Validasi Hutan Hak
adalah beberapa regulasi yang diterbitkan khusus untuk mendorong
proses pengakuan dan penetapan terhadap MHA dan areal hutan adat.

Definisi hutan adat sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri


LHK No: P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak adalah hutan
yang berada di dalam wilayah MHA. Karena berada di dalam wilayah
MHA, maka sudah tentu pihak yang paling berhak mengelola hutan adat
tersebut adalah MHA setempat. Komunitas MHA yang dimaksud disitu
adalah… kelompok masyarakat yang (1) secara turun-temurun bermukim
di wilayah geografis tertentu (tinggal dan menetap di wilayah tersebut),
(2) karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, (3) adanya hubungan
yang kuat dengan lingkungan hidup, serta (4) adanya sistem nilai yang
menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Pasca penetapan hutan adat yang ditandai dengan penyerahan delapan
SK Hutan Adat dan satu SK Pencadangan Hutan Adat oleh Presiden RI
pada tanggal 30 Desember 2016 lalu, terdapat euphoria kebangkitan
kembali komunitas MHA yang menuntut pengakuan eksistensi komunitas
adat, wilayah adat dan hutan adat. Sayangnya tuntutan akan pengakuan
dimaksud tidak disertai dengan “bekal” yang cukup, seperti adanya

6
peraturan daerah, peta, dan bukti otentik lain. Akibatnya, s hanya
berakhir sebatas klaim dan tidak dapat diproses lebih lanjut sesuai
peraturan perundangan yang berlaku. Klaim MHA terhadap wilayah
adatnya sendiri angkanya juga cukup besar. Badan Registrasi Wilayah
Adat (BRWA) pada Juni 2017 merilis angka 9,2 juta ha wilayah adat
Agar klaim komunitas adat terhadap wilayah adat dan hutan adatnya
tidak “bertepuk sebelah tangan”, maka pengakuan terhadap entitas adat
dan wilayah adatnya oleh pemerintah daerah menjadi sangat penting.
Logikanya adalah bagaimana mungkin negara (pemerintah pusat)
mengakui suatu komunitas adat beserta wilayah adat dan hutan adatnya
apabila pemerintah daerahnya sendiri belum memberikan pengakuan
secara legal formal (state recognition).
Pengakuan dari pemerintah daerah selaku pemangku wilayah sekaligus
perpanjangan tangan negara di suatu wilayah juga berfungsi sebagai
penyaring komunitas MHA sejati dan komunitas MHA yang tidak
memiliki basis klaim dari peraturan negara maupun organisasi dan
komunita-komunita adat. Proses penyaringan seperti ini menjadi
sangat strategis dilakukan karena kebijakan pengakuan dimaksud akan
membawa implikasi yang amat panjang terhadap areal yang kemudian
ditetapkan menjadi hutan adat. Masih adanya kesalahpahaman dari
para pihak akan kebijakan tentang hutan hak/hutan adat itulah yang
kemudian menyebabkan proses-proses terkait hutan adat dianggap
sebagai suatu “ancaman” bagi pemerintah, pemerintah daerah, dunia
usaha dan parapihak lain yang berkepentingan. Padahal proses-proses
untuk identifikasi komunitas MHA itu untuk kepentingan gerakan sosial
MHA itu sendiri, yaitu komunitas-komunitas MHA yang ingin betul-betul
menggunakan adat untuk kesinambungan sumber daya alam, khususnya
hutan.
Atas dasar pertimbangan itulah, kemudian negara menetapkan beberapa
regulasi dan instrumen untuk memastikan kebenaran, keabsahan dan
validitas MHA sehingga keputusan pengakuan kapada MHA, wilayah
adat, dan hutan adatnya menjadi tepat sasaran.

7
B. Regulasi terkait Masyarakat Hukum Adat, Hutan Adat, Kearifan Lokal
dan Kehadiran Negara
Keberadaan MHA, Hutan Adat, Kearifan Lokal telah dituangkan dalam
berbagai regulasi sebagai bentuk kehadiran negara, mulai dari Undang-
Undang Dasar 1945, Undang-undang, Putusan Mahkamah Konstitusi,
Peraturan Menteri, Peraturan Daerah hingga petunjuk teknis yang
dikeluarkan oleh Kementerian/Lembaga terkait.

Regulasi yang menyebutkan dan menjelaskan mengenai MHA


sesungguhnya cukup banyak. Tetapi dalam tulisan ini hanya akan mensitir
beberapa produk hukum pemerintah yang mempunyai kaitan yang kuat
dengan hutan adat.

Undang-Undang Dasar 1945

Berdasarkan Pasal 18 B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Negara


mengakui keberadaan MHA beserta dengan hak-hak tradisonalnya.
Walaupun pengakuan ini disandarkan pada beberapa batasan antara lain:
pertama, sepanjang masih hidup; kedua, sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); dan
ketiga, diatur dalam undang-undang.

Sejalan dengan ini, Pasal 28 I Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945


menegaskan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. MHA
sangat terkait dengan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan
Lingkungan Hidup (LH). Undang-Undang Dasar 1945 juga mengakui
dan menghormati hak-hak tradisonal MHA atas sumber daya alam
dan lingkungan hidup. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 sendiri mengatur
bahwa SDA Indonesia dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. SDA merupakan unsur lingkungan
hidup dimana terdiri dari atas sumber daya hayati dan non hayati.
Keanekaragaman hayati ini terdiri dari elemen ekosistem, spesies dan
genetik.

8
Kesimpulannya, pengaturan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan
bahwa keberadaan MHA, kearifan lokal dan hak-hak MHA yang terkait
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilindungi oleh
Negara.
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-
undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada awalnya
mengatur bahwa hutan adat adalah bagian dari hutan negara.
Tetapi berdasarkan amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/
PUU-X/2012, menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan yang
berada dalam wilayah MHA). Pasal 67 Ayat (1) mengatur hak MHA
antara lain:
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat hukum adat yang
bersangkutan;
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan Hukum
Adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-
undang; dan
c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya.
Penjelasan Pasal 67 Ayat (1) di atas menyatakan bahwa sebagai
MHA, diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeinschap);
b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat
yang masih ditaati;
e. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan
sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
2. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah.
Dalam UU No 32 Tahun 2004 mengatur mengenai sistim

9
pemerintahan dan pembagian kewenangan sesuai dengan tingkat
kewenangannya. UU ini juga memberikan pengaturan berkenaan
kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengatur dan menetapkan
keberadaan MHA melalui Peraturan Daerah. UU ini mengatur
kelembagaan masyarakat paling kecil sebagai Desa atau nama
lainnya sebagai: “Desa atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukumyang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pasal 2 Ayat (9) undang-undang ini menegaskan bahwa negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan MHA beserta
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.
Selanjutnya pada bagian pemerintahan desa terkait dengan
pemilihan kepala desa dinyatakan bahwa pemilihan kepala desa
dalam kesatuan MHA beserta hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum
adat setempat yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah dengan
berpedoman pada peraturan pemerintah sebagaimana diatur dalam
Pasal 203 Ayat (3).
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
UU ini merupakan landasan pengembangan kebijakan kegiatan
invetarisasi keberadaan MHA, kearifan lokal dan hak-hak MHA yang
terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
Tradisional terkait sumber daya genetik. Pasal 63 Ayat (1) huruf
(t) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah

10
bertugas dan berwenang: menetapkan kebijakan mengenai tata
cara pengakuan keberadaan MHA, kearifan lokal, dan hak MHA
yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Pasal 63 Ayat (1) huruf t, Pasal 63 Ayat (2) huruf n, dan Pasal
63 Ayat (3) huruf k undang-undang ini menentukan bahwa dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah bertugas dan berwenang menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan
MHA, kearifan lokal, dan MHA yang terkait dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 tentang Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Keluarnya Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 atas uji materi UU
No. 41/2009 tentang Kehutanan, dengan amar putusan, antara
lain bahwa hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah
MHA (Pasal 1). Ini memberi implikasi luas dalam upaya pengakuan
keberadaan, kearifan lokal dan hak MHA.
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 tahun 2014 tentang
Pedoman Pengakuan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum
Adat.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 menjadi Pedoman
bagi daerah dalam melakukan pengakuan dan perlindungan MHA
untuk melakukan identifikasi, verifikasi dan validasi serta penetapan
MHA.
6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 32 Tahun
2015 tentang Hutan Hak.
Pasal 6 Permen LHK Nomor: P.32/Menlhk-Setjen/2O15 tentang
Hutan Hak, menyatakan bahwa persyaratan pengakuan hutan hak
jika terdapat MHA atau hak ulayat yang telah diakui oleh Pemerintah
Daerah melalui produk hukum daerah. Produk Hukum Daerah sesuai
Permendagri Nomor 1 tahun 2014 tentang Pembentukan Produk

11
Hukum Daerah, terdiri dari: Peraturan Daerah atau sebutan lain
(Perda Provinsi/Kabupaten/Kota/Qanun), Peraturan Gubernur/
Bupati/ Walikota (Perkada), Peraturan Bersama Gubernur/Bupati/
Walikota (PB KDH), dan Peraturan DPRD (Peraturan DPRD Provinsi/
Kabupaten/Kota).
Pasal 12 Permen LHK Nomor: P.32/Menlhk-Setjen/2O15 tentang
Hutan Hak, menyatakan bahwa Menteri dapat memfasilitasi
Pemerintah Daerah untuk menyusun produk hukum yang mengakui
MHA atau hak ulayat. Komitmen dan kapasitas Pemerintahan
Daerah perlu didorong sehingga pengakuan MHA dapat terlaksana
dengan baik. Karena itu, diperlukan fasilitasi bimbingan teknis dan
pendampingan penyusunan Peraturan Daerah tentang Penyusunan
Produk Hukum Daerah tentang pengakuan keberadaan MHA. Tujuan
penulisan buku ini diharapkan akan menumbuhkan komitmen
pemerintahan daerah untuk mewujudkan pengakuan hukum bagi
MHA dan hak-haknya.
7. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 34 tahun
2017 tentang Pengakuan dan Pelindungan Kearifan Lokal dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Peraturan Menteri LHK No 34 tahun 2017 ini mengatur mengenai tata
cara pengakuan dan perlindungan kearifan lokal dalam pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup. Peraturan tersebut
merupakan tindak lanjut amanat Undang -Undang 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Aturan ini memberikan perlindungan hukum bagi pengampu dan
memfasilitasi pengakses kearifan lokal dalam mewujudkan keadilan,
kesejahteraan masyarakat, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup
dan sumber daya alam. Tujuan dari regulasi tersebut agar pengampu
kearifan lokal mendapat pengakuan, perlindungan, dan memperoleh
pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari pemanfaatan
kearifan lokal dalam relevansi pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup.
12
8. Peraturan Daerah.
Berbagai regulasi sebelumnya menyebutkan bahwa pengakuan
MHA di atur dalam Peraturan Daerah. Oleh sebab itu Pemerintah
Daerah memiliki peran sangat penting untuk pengakuan keberadaan
MHA. Masing-masing daerah memiliki karakteristik mengenai
masyarakat dan kearifan lokalnya, sehingga Perda menjadi regulasi
teknis dalam pengakuan dan perlindungan MHA. Contoh Perda
seperti ini adalah Perda No 8 tahun 2015 kabupaten Lebak tentang
Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum
Adat Kasepuhan Lebak”. Perda ini menjadi dasar bagi penetapan
hutan adat untuk salahsatu komunitas, yaitu kasepuhan Karang.
9. Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan No 1 Tahun 2016 tentang Tata Cara Verifikasi dan Validasi
Hutan Hak.
Perdirjen PSKL merupakan petunjuk teknis atas terbitnya PermenLHK
No. 32/2016 tentang Hutan Hak. Peraturan ini dimaksudkan untuk
memberikan panduan tata cara pelaksanaan verifikasi dan validasi
hutan hak secara transparan, partisipatif, akuntabel dan tidak
diskriminatif dengan memberikan kesempatan yang sama bagi laki-
laki dan perempuan.
Berbagai regulasi diatas merupakan wujud kehadiran negara akan
eksistensi MHA yang sejalan dengan NAWACITA pemerintahan Jokowi-
JK 2014-2019 terutama Agenda Kesatu yang berbunyi: “Menghadirkan
kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa
aman kepada seluruh warga negara”, dan Agenda Ketiga “Membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan”.

Dua butir NAWACITA tersebut kemudian dijabarkan dalam sub agenda


implementatif antara lain pemberantasan tindakan penebangan liar,
perikanan liar dan penambangan liar dengan strategi peningkatan
keterlibatan masyarakat dalam pengamanan hutan melalui kemitraan
termasuk pengembangan hutan adat.
13
Wujud nyata dari agenda NAWACITA tersebut adalah dibukanya akses
kepada masyarakat disekitar hutan untuk terlibat secara langsung dalam
mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan dalam rumah besar
bernama “Perhutanan Sosial”. Pemerintah kemudian menawarkan
program Perhutanan Sosial dengan skema pengelolaan hutan berbasis
masyarakat antara lain Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa
(HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA), dan Kemitraan
Kehutanan dengan target luasan 12,7 Juta hektar sebagai solusi
penanganan konflik tenurial kawasan hutan.

Program Perhutanan Sosial juga mencerminkan “standing position”


negara yang memberikan rasa adil dalam pengelolaan sumberdaya
alam dan hutan baik kepada korporasi yang memiliki kapital besar dan
kepada kelompok masyarakat yang tidak mempunyai modal ekonomi
dan finansial. Konsep perhutanan sosial tersebut membuka kesempatan
seluas-luasnya kepada masyarakat disekitar kawasan hutan untuk
mengelola sumberdaya hutan negara. Skema pengelolaan hutan melalui
perhutanan sosial tersebut diharapkan dapat mendorong terwujudnya
kesejahteraan masyarakat disekitar kawasan hutan dan yang paling
penting adalah terjaminnya integritas ekosistem hutan.

C. Masyarakat Hukum Adat (MHA)


Bangsa Indonesia merupakan masyarakat majemuk dengan kebudayaan
yang beraneka ragam. Secara kesuku-bangsaan, berdasarkan
ethnolinguistic terdapat 1.128 suku bangsa yang terbagi dalam ribuan
komunitas yang tersebar di 76.655 desa di kepulauan nusantara. Dari
jumlah tersebut, 9.410 desa diantaranya berada disekitar kawasan
hutan. Kemajemukan bangsa Indonesia dengan ribuan komunitas
MHA dimaksud merupakan modal pembangunan ekonomi, sosial, dan
lingkungan hidup.

Istilah Hutan Adat dan MHA ternyata telah terdengar jauh sebelum istilah
resminya muncul dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang

14
berbunyi “Hutan adat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah
adat masyarakat sebagai sumber kehidupan, identitas sosial dan ritual
budaya.

Penyebutan MHA telah disebutkan dalam berbagai peraturan perundangan


dengan berbagai konsep, misalnya Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat
Adat, Masyarakat Tradisional atau Desa Adat. Masyarakat sendiri tidak
menggunakan istilah masyarakat hukum adat, masyarakat adat, maupun
masyarakat tradisional untuk menyebut “dirinya”. Masyarakat pada
umumnya menggunakan istilah yang menunjukkan identitas lokal suatu
komunitas; misalnya Kasepuhan, Nagari, Kampung, Marga, Hoana, dan
atau sebutan lainnya. Ketika menyebut MHA pada hakekatnya merujuk
pada komunitas yang sama.

Komunitas MHA masih memiliki wilayah adat yang didalamnya terdapat


pemukiman, wilayah ekonomi, wilayah budaya dan hutan adat. Hutan
adat yang dimaksud adalah areal hutan yang masih mempunyai fungsi
ekologis, ekonomi, sosial dan budaya serta masyarakatnya masih
melakukan pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari.

Pada tataran konstitusi, istilah yang digunakan adalah Kesatuan MHA


sebagaimana kita jumpai pada Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang
menyebutkan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
MHA beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Sementara Pasal
28 I ayat (3) UUD menggunakan istilah Masyarakat Tradisional. Pasal
ini menyebutkan: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa


MHA adalah masyarakat yang secara turun temurun, bermukim di wilayah
geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya
hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai

15
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum, ditandai
dengan ada wilayah hukum adat yang jelas, pranata dan perangkat
hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati (Psl 1 Huruf 30 UU
32/2009). Masyarakatnya ini biasanya masih dalam bentuk paguyuban
(rechtsgemeenschap), kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa
adatnya.

D. Hutan Adat
Wilayah adat memiliki berbagai karakteristik di seantero kepulauan
Indonesia: mulai dari wilayah pedesaan, pedalaman, hingga pesisir;
baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi; dalam lanskap hutan
belantara hingga padang rumput savanna. Keragaman wilayah itu juga
mempengaruhi cara hidup mereka berproduksi memenuhi kebutuhan
makanan mulai dari berburu dan mengumpulkan hasil hutan, bertani-
berladang, hingga bertani menetap dengan mengerjakan sawah.
Perbedaan bentang alam itu membentuk perbedaan cara memenuhi
kebutuhan hidup melalui tata produksi-konsumsinya, yang juga terkait
secara langsung maupun tidak dengan sistem pengaturan kepenguasaan
atas tanah (Hidayat, 2005).

Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam penetapan hutan
hak adalah bahwa penetapan hutan hak tidak mengubah fungsi hutan,
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan. Penetapan hutan adat merupakan penetapan
status hutan. Penetapan hutan adat bukan serta merta dapat merubah
fungsi hutan. Sesuai Pasal 37 Undang Undang Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan yang disebutkan diatas, bahwa pemanfaatan hutan
adat dilakukan oleh MHA yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
Sepanjang seluruh persyaratan dapat dipenuhi, Hutan Adat dapat
ditetapkan di seluruh kawasan hutan negara (HL/HP/HK) dan Areal
Penggunaan Lain (APL)

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 menetapkan


hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah MHA. Selanjutnya

16
berdasarkan statusnya hutan dibedakan menjadi hutan negara dan hutan
hak yang terbagi atas (1) hutan adat dan (2) hutan perseorangan/badan
hukum. Seluruh proses penetapan Hutan Adat dan Hutan Hak melalui
tahapan verifikasi dan validasi sesuai peraturan perundangan yang
berlaku.

Hutan Adat sebagaimana tercantum dalam Permen LHK No. 32/2015


tentang Hutan Hak didefinisikan sebagai hutan yang berada di dalam
wilayah MHA. Sebagaimana penjelasan diatas, dalam wilayah adat
suatu MHA yang telah diakui, ada kalanya memiliki areal hutan sebagai
suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Areal berhutan dimaksud oleh MHA setempat disebut sebagai hutan adat.
Hutan adat yang dimaksud adalah areal hutan yang masih mempunyai
fungsi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya serta masyarakatnya masih
melakukan pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari.

17
Sedangkan Hutan Hak didefinisikan sebagai hutan yang berada pada
tanah yang dibebani atas tanah. Hutan hak terdiri dari Hutan Hak
Perorangan dan Hutan Hak suatu badan hukum. Hutan Hak dapat
ditetapkan dengan persyaratan: a). Terdapat hak atas tanah yang dimiliki
oleh perseorangan/badan hukum yang dibuktikan dengan dokumen-
dokumen tertulis atau bukti-bukti tidak tertulis sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-perundangan; b). Terdapat tanah yang
sebagian atau seluruhnya berupa hutan; dan c). Surat pernyataan dari
perseorangan/badan hukum untuk menetapkan tanahnya sebagai hutan
hak.

Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat


dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Pemanfaatan hasil
hutan adat berupa hasil hutan kayu di area yang berfungsi produksi.
Sedangkan di area yang berfungsi lindung dan konservasi dapat
dimanfaatkan untuk tujuan religi, budaya, jasa lingkungan (ekowisata/
wanawisata,air) kompensasi melalui kerjasama hulu hilir, pembagian
keuntungan dari pemanfaatan pengetahuan tradisional terkait sumber
daya genetik dan penelitian.

Pasal 36
(1) Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas
tanah yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
(2) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi
dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Pasal 37
(1) Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum
adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
(2) Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi
dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

18
Pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat dilaksanakan oleh MHA
berdasarkan kearifan lokal dan hukum adat yang berlaku sesuai dengan
fungsinya. Hutan adat dimiliki, dikelola, dan dimanfaatkan secara
komunal oleh satu komunitas MHA.

Sedangkan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten


menghormati dan melindungi hak dan kewajiban MHA dalam mengelola
dan memanfaatkan hutan adat.

Noer Fauzi Rachman dalam artikelnya “Ralat Kebijakan Agraria Kehutanan


oleh Mahkamah Konstitusi” menyebut perbuatan memasukkan wilayah
adat ke dalam kategori hutan negara (atas dasar “hak menguasai
negara”) sebagai negara-isasi wilayah kepunyaan rakyat, adalah bentuk
penyangkalan status MHA sebagai penyandang hak dan subyek hukum
pemilik wilayah adatnya.

Terhadap pasal 5 ayat (1) UU 41/1999 tentang Kehutanan, kemudian


Mahkamah Konstitusi merumuskan sebagai berikut:

Dalam penilaian hukum terhadap Pasal 5 ayat (1) UU


Kehutanan, Mahkamah berpendapat bahwa hutan hak harus
dimaknai bahwa hutan hak terdiri dari hutan adat dan hutan
perseorangan/badan hukum. Dengan demikian, hutan adat
termasuk dalam hutan hak, bukan hutan negara. (Mahkamah
Konstitusi 2012 : 168).

Putusan MK 35/PUU-IX/2012 telah mendorong terjadinya pembaruan


hukum di tingkat daerah dan nasional untuk mengakui dan melindungi
keberadaan dan hak masyarakat adat. Namun sejauh ini prosedur untuk
pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat masih rumit dan berbelit,
sehingga masih banyak pekerjaan ke depan yang harus diselesaikan
terutama terkait pengakuan dan penetapan terhadap eksistensi masyarakat
adat, wilayah adat, dan areal hutan adat (Arizona, 2017:1).

19
Implikasi nyata dari adanya Putusan MK 35/PUU-IX/2012 adalah
munculnya komunitas-komunitas MHA yang selama ini aktif melakukan
praktek-praktek pengelolaan hutan berbasis adat/kultural secara informal
dan menuntut agar diakui secara legal formal oleh negara sebagai MHA
beserta wilayah adat dan areal hutan adatnya. Tuntutan dimaksud tidak
serta merta dapat segera diakomodir karena negara masih memerlukan
regulasi dan mekanisme lain yang bersifat teknis sebagai landasan hukum
proses pengakuan terhadap MHA dan Penetapan Hutan Adat. Sampai
dengan bulan Juli 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
telah menetapkan 10 (sepuluh) areal Hutan Adat yang tersebar di Provinsi
Jambi, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Barat.

20
BAB II
TATA CARA PENGUSULAN,
PENETAPAN DAN
PENCADANGAN HUTAN ADAT

21
BAB II
TATA CARA PENGUSULAN, PENETAPAN DAN PENCADANGAN
HUTAN ADAT

Pengakuan keberadaan MHA dan Hutan Adatnya relatif baru dalam


penyelengaraan pemerintahan dan pelayanan publik pemerintah daerah.
Proses penetapan dimulai dengan menemukenali subyek dan jenis hak
masyarakat hukum ada. Kemudiant penetapan kebijakan pengakuan
Masyarakat Hukum Adat dilakukan dalam bentuk Peraturan Daerah dan
Produk Peraturan Daerah lainnya, misalnya SK Bupati.
Proses penetapan hutan adat adalah sebuah pengakuan dan perlindungan
hak masyarakat adat, termasuk dalam kaitannya dalam konteks obyek hukum.
Proses ini diawali dengan pengakuan subyek, dan jenis hak masyarakat
hukum adat oleh pemerintah daerah. Proses memahami subyek MHA ini
penting dalam proses sosial dan politik di daerah, untuk mendudukannya
dalam kerangka penyelenggaraan pemerintah dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, karena MHA mempunyai kekhususan berupa kesatuan komunitas
masyarakat yang menggunakan aturan adat dalam kesehariannya, dan
mempunyai wilayah adatnya. 

Pada bagian kedua ini, akan ditampilkan secara singkat posisi hukum,
mekanisme pengajuan, tata hubungan kerja pemerintah pusat, provinsi,
dan kabupaten/Kota. Pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subyek
hukum kewenangannya ada pada pemerintah propinsi dan Kabupaten/kota,
tergantung letak wilayah adat dalam batas-batas administrasi tertentu.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
melakukan proses penetapan hutan adat bagian dari obyek hukum masyarakat
hukum adat. Oleh karena itu diperlukan kerjasama semua pihak terkait
dengan penetapan Hutak Adat sebagai hutan hak yang tidak dapat dilepaskan
dengan pengakuan masyarakat hukum adat . Dalam rangka percepatan proses
pengakuan dan penetapan hutan adat,

22
Pada bagian dibawah ini merupakan pedoman terkait hutan adat :

A. Pengusulan Hutan Adat


Mekanisme tentang pengajuan dan penetapan areal hutan adat oleh
MHA secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan No. 32 tahun 2015 tentang Hutan Hak. Sebagaimana telah
diuraikan dalam bagian sebelumnya, karena hutan adat berada di dalam
wilayah MHA, maka sudah tentu pihak yang paling berhak mengelola
hutan adat tersebut adalah MHA setempat. MHA dimaksud adalah
kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu, karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya
hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Pandangan akademis tentang tipe masyarakat ini digambarkan oleh


Koentjaraningrat sebagai kesatuan individu yang terikat oleh paling
sedikit enam unsur: (1) suatu sistem norma-norma yang mengatur
kelakuan warga kelompok; (2) suatu rasa kepribadian kelompok yang
disadari oleh semua warga; (3) aktivitas berkumpul warga yang berulang;
(4) suatu sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antara warga
kelompok; (5) suatu pimpinan atau pengurus yang mengorganisasikan
aktivitas-aktivitas kelompok; dan (6) suatu sistem hak dan kewajiban bagi
para individunya terhadap sejumlah harta produkif, harta konsumif, atau
harta pusaka yang tertentu (hal 108).(Koentjaraningrat : tahun….)

Hutan adat adalah suatu hak bersama dalam komunitas masyarakat


hukum adat. Alur penetapan terhadap areal Hutan Adat berdasarkan
fungsi kawasan hutannya terbagi menjadi 3 bagian seperti Matrik 2.1.

Secara sederhana, alur pengajuan Hutan adat sebagaimana diatur


dalam Peraturan Menteri LHK No. 32/2015 terbagi menjadi 2 yaitu: (1)
Pengajuan Hutan Adat dari Kawasan Hutan Negara serta gabungan dari

23
Matrik 2.1
Alur Penetapan Hutan Adat berdasarkan Fungsi Kawasan Hutan
No Type Pengajuan Hutan Adat Persyaratan Utama Output
1 Pengajuan Hutan Adat pada • Peraturan Daerah SK Penetapan
Kawasan Hutan Negara • Peta Usulan Hutan Adat Pencantuman Hutan
Adat
2 Pengajuan Hutan Adat diluar • Peraturan Daerah atau SK Pencantuman Hutan
Kawasan Hutan Negara (APL). Produk Hukum Adat.
daerah (SK Kepala
Daerah)
• Peta Usulan Hutan Adat
3 Pe n ga j u a n H u ta n A d at • Peraturan Daerah SK Penetapan
gabungan dari Kawasan • Peta Usulan Hutan Adat Pencantuman Hutan
Hutan Negara dan diluar Adat
Kawasan Hutan Negara
Sumber: Direktorat PKTHA 2017
* kawasan hutan mengacu pada peta kawasan hutan provinsi (lampiran Keputusan Menteri LHK terbaru
atau Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan yang masih berlaku).

Gambar 2.1
Pengajuan Hutan Adat dari Kawasan Hutan Negara serta gabungan dari
Kawasan Hutan Negara dan diluar Kawasan Hutan Negara (APL).

Sumber: Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, 2017

24
Kawasan Hutan Negara dan diluar Kawasan Hutan Negara/APL (lihat
gambar 1); dan (2) Pengajuan Hutan Adat dari luar Kawasan Hutan
Negara/APL (lihat gambar 2).

Gambar 2.1 diatas menunjukkan alur penetapan hutan adat pada


kawasan hutan negara dan gabungan antara kawasan hutan negara
dengan Areal Penggunaan Lain (APL). Adapun tahap-tahap yang harus
dilewati antara lain :
1. MHA yang telah melakukan praktek pengelolaan kawasan hutan
negara disekitarnya dan atau gabungan dengan APL mengajukan
permohonan pengakuan MHA dan areal hutan adatnya kepada
kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota).
2. Kepala daerah memerintahkan OPD (Organisasi Perangkat Daerah)
untuk melakukan kajian dan telaah terhadap berbagai aspek terkait
usulan MHA tersebut sehingga dapat disimpulkan dalam bentuk
pertimbangan/rekomendasi teknis.
3. Permohonan dari MHA dan pertimbangan teknis dari OPD dimaksud
kemudian diteruskan kepada DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota untuk
selanjutnya dibahas menjadi rancangan peraturan daerah.
4. Kepala daerah bersama DPRD melakukan pembahasan dalam rangka
penyusunan Peraturan Daerah tentang pengakuan terhadap MHA,
wilayah adat dan areal hutan adatnya. Mekanisme dan tata cara
penyusunan PERDA dimaksud dilaksanakan mengacu pada Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014.
5. Gubernur/Bupati/Walikota bersama DPRD mengesahkan peraturan
daerah tentang pengakuan MHA beserta wilayah adat dan hutan
adatnya.
6. Salinan perda beserta lampiran peta hutan adat kemudian diusulkan
kepada Menteri LHK untuk ditetapkan sebagai Hutan Adat sesuai peraturan
dan perundangan yang berlaku (Permen LHK No. 32 tahun 2015).
7. Menteri LHK memerintakan tim untuk melakukan verifikasi dan
validasi terhadap usulan Hutan Adat dimaksud sesuai prosedur
sebagaimana diatur dalam Peraturan Dirjen PSKL No. 1 tahun 2016.

25
8. Apabila hasil verifikasi dan validasi serta persyaratan teknis dan
administrasi lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Menteri
LHK kemudian menetapkan dan mencantumkan areal hutan adat
dimaksud melalui Surat Keputusan Menteri dan mencantumkannya
dalam peta kawasan hutan.

Gambar 2.2
Pengajuan Hutan Adat dari luar Kawasan Hutan Negara (APL).

Sumber: Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, 2017

Gambar 2.2 diatas menunjukkan alur pencantuman hutan adat pada


areal diluar kawasan hutan negara atau Areal Penggunaan Lain (APL).
Adapun tahap-tahap yang harus dilewati antara lain :
1. MHA yang telah melakukan praktek pengelolaan hutan diluar
kawasan hutan negara (APL) mengajukan permohonan pengakuan
MHA dan areal hutan adatnya kepada kepala daerah (Gubernur/
Bupati/Walikota)

26
2. Kepala daerah memerintahkan OPD untuk melakukan kajian dan
telaah terhadap berbagai aspek terkait usulan MHA tersebut
sehingga dapat disimpulkan dalam bentuk pertimbangan/
rekomendasi teknis.
3. Permohonan dari MHA beserta lampiran peta calon hutan adat
dan pertimbangan teknis dari OPD dimaksud kemudian diteruskan
kepada Menteri LHK untuk dapat ditetapkan sebagai areal hutan
adat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri LHK No. 32 tahun
2015 tentang hutan hak.
4. Menteri LHK memerintakan tim untuk melakukan verifikasi dan
validasi terhadap usulan Hutan Adat dimaksud sesuai prosedur
sebagaimana diatur dalam Peraturan Dirjen PSKL No. 1 tahun 2016.
5. Apabila hasil verifikasi dan validasi serta persyaratan teknis dan
administrasi lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Menteri
LHK kemudian menetapkan dan mencantumkan areal hutan adat
dimaksud melalui Surat Keputusan Menteri dan mencantumkannya
dalam peta kawasan hutan.

B. Penetapan Hutan Adat


Setelah mengetahui alur dan mekanisme dalam penetapan Hutan Adat
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri LHK No. 32/2015 tentang
Hutan Hak, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana memulai proses
ini. Sudah banyak daerah baik itu provinsi maupun kabupaten/kota
bersama-sama DPRD melalui proses politik daerag berhasil melahirkan
peraturan-peraturan daerah yang mengakui dan mengatur suatu MHA
beserta wilayah adatnya.

Eksistensi komunitas MHA “penting dan strategis” bagi suatu daerah,


sehingga identitas lokal, kearifan lokal dan pengetahuan tradisional
harus dilindungi mengingat eksistensinya terancam. Selain itu, dinamika
politik lokal mempengaruhi kecepatan proses pembahasan suatu PERDA
Sejatinya, usulan hutan adat yang berada diluar kawasan hutan negara

27
prosesnya harus lebih cepat, karena cukup memerlukan SK pengakuan
dari Bupati/kepala daerah saja.

Proses pengakuan terhadap suatu MHA dalam bentuk Peraturan daerah


dimaksud merupakan dinamika politik daerah antara eksekutif dan
legislatif, sehingga kewenangan dan urgensinya mutlak menjadi urusan
daerah. Pemerintah pusat tidak dapat melakukan intervensi yang terlalu
dalam terkait proses tersebut, namun selalu siap memberikan masukan,
arahan, dan informasi teknis serta strategis lain terkait urgensi mengapa
suatu MHA layak atau tidak layak diberikan pengakuan oleh pemerintah
daerah.

Apabila proses pengakuan suatu MHA tersebut telah diselesaikan


dalam bentuk peraturan daerah atau produk hukum daerah lainnya
(menyesuaikan dengan fungsi kawasan hutan yang akan diusulkan) tahap
selanjutnya adalah mengusulkan penetapan terhadap areal hutan adat
kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Setelah menerima
usulan tersebut, Menteri LHK melalui Direktur Jenderal Perhutanan
Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) kemudian membentuk Tim
Verifikasi dan Validasi untuk melakukan penilaian layak tidaknya areal
yang diusulkan menjadi hutan adat untuk ditetapkan menjadi hutan
adat secara definitive. Tata cara dan prosedur pelaksanaan verifikasi dan
validasi terhadap usulan hutan adat dimaksud diatur dalam Peraturan
Dirjen PSKL No. 1 tahun 2016 tentang tata cara verifikasi dan validasi
hutan hak.

Apabila dibuat suatu ringkasan, prosedur verifikasi dan validasi terhadap


usulan Hutan Hak dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut :

28
Gambar 2.3
Alur Proses Verifikasi dan Validasi Hutan Adat

1. Menteri LHK cq. Dirjen PSKL membentuk tim verifikasi usulan hutan
adat yang anggotanya terdiri dari unsur : a). Ditjen PSKL, b). Ditjen
Planologi dan Tata Lingkungan, c). OPD Provinsi/Kab/Kota yang
membidangi kehutanan, d). Unit Pelaksana Teknis Kementerian LHK,
e). Pokja Perhutanan Sosial dan f) organisasi masyarakat sipil.
2. Tim verifikasi dan validasi usulan hutan adat bertugas untuk
memastikan : a). keberadaan dan keabsahan pemohon beserta
dokumen pendukungnya, b). keberadaan areal yang dimohon
menjadi hutan adat, c). kondisi penutupan lahan, dan d). keberadaan
hutan adat dalam tata ruang daerah.
3. Pelaksanaan verifikasi dan validasi dilaksanakan dengan metode
tatap muka langsung dengan pemohon serta peninjauan fisik
lapangan areal yang dimohon menjadi hutan adat. Dalam tahap
ini Tim verifikasi melengkapi dokumen-dokumen yang diperlukan
terkait proses penetapan hutan adat.
4. Hasil verifikasi dan validasi dituangkan dalam Berita Acara Verifikasi
yang ditandatangani oleh ketua dan seluruh anggota tim verifikasi.

29
5. Hasil verifikasi beserta peta hasil verifikasi selanjutnya digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam rangka penetapan hutan adat.
Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan secara singkat bagaimana
parapihak dapat memulai proses ini termasuk peran-peran dan
kewajibannya sehingga dapat memenuhi persyaratan administratif dan
substantif dalam proses pengakuan dan penetapan suatu MHA dan areal
Hutan Adat.
Terdapat taiga inisiatif untuk pengajuan penagkuan hak-hak masyarakat
hukum adat yaitu dari komunitas, kepala daerah dan DPRD

C. Inisiatif Masyarakat Hukum Adat


C.1. Calon Masyarakat Hukum Adat
Proses inisiatif pengusulan hutan adat bagi MHA dapat dimulai seperti
tergambar pada alur sebagai berikut :
1. MHA dapat mulai berkumpul membangun komunikasi dan
persamaan persepsi terkait pengusulan terhadap eksistensi MHA,
wilayah adat dan areal hutan adatnya.
2. Dengan bantuan CSO (Civil Society Organization) dan OPD, komunitas
MHA dapat memetakan wilayah adat dan areal yang selama ini
dikelola sebagai hutan adat secara partisipatif.
3. MHA atau pihak lainnya dapat mengumpulkan data dan informasi
terkait eksistensi MHA, unsur kesejarahan, kelembagaan adat serta
kearifan lokal lain dalam rangka memperkuat klaim dan dukungan
parapihak terhadap wilayah adatnya.
4. Membangun komunikasi dengan CSO dan perguruan tinggi terkait
penyusunan naskah akademik sebagai syarat penyusunan Peraturan
Daerah tentang Pengakuan terhadap MHA, wilayah adat dan areal
hutan adatnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 52 Tahun 2014.
5. Membangun komunikasi dan koordinasi dengan Kepala Daerah dan
OPD.

30
6. Membangun komunikasi dengan DPRD terkait rencana penyusunan
Peraturan Daerah tentang Pengakuan terhadap MHA, wilayah adat
dan areal hutan adatnya.

Gambar 2.4
Proses Inisiatif Pengusulan Hutan Adat dari MHA

C.2. Kepala Daerah

Pengakuan terhadap MHA, wilayah adat dan areal hutan adatnya, dapat
dimulai dari kepala daerah dengan inisiatif mengajukan rancangan
peraturan daerah bersama DPRD untuk dibahas bersama. Kemudian
disepakati sebagai keputusan politik daerah terkait masa depan suatu
MHA yang ada di wilayahnya. Keputusan politik dimaksud mengandung
arti bahwa eksistensi suatu MHA tersebut merupakan hal yang penting
dan strategis bagi suatu daerah sehingga harus diakui, dilindungi,
dipertahankan, dan dikembangkan sesuai kapasitas dan kearifan lokal
setempat sehingga menjadi aset daerah yang sangat bernilai.

Proses inisiasi pengakuan terhadap MHA dari kepala daerah dapat


dilakukan sesuai gambar dan alur sebagai berikut :

31
Gambar 2.5
Proses Inisiatif Pengusulan Hutan Adat dari Kepala Daerah

Kepala Daerah
(Gubernur/Bupati/Walikota)

Penyusunan PERDA melalui Prakarsa Pemerintah Kab/Kota


1) Rencana penyusunan Perda dimasukkan ke dalam Program Legislasi
Daerah (Prologda) usulan Pemerintah Daerah.
2) Kepala Daerah memerintahkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
terkait menyusun Rancangan Perda (Ranperda) beserta naskah
akademiknya.
3) Kepala Daerah membentuk Tim Penyusun Ranperda
4) Ranperdadan naskah akademik untuk pengakuan Masyarakat Hukum
Adat sebaiknya dikonsultasikan dengan Masyarakat Hukum Adat dan
pihak-pihak terkait lain.
5) Ranperda harus mendapat paraf persetujuan dari Kepala Bagian Hukum
dan SKPD terkait.
6) Pimpinan SKPD atau pejabat yang ditunjuk mengajukan Ranperda yang
telah mendapat paraf koordinasi kepada kepala daerah melalui sekretaris
daerah.
7) Sekretaris Daerah dapat melakukan perubahan dan/ataupenyempurnaan
terhadap Rancangan Perda yang telah diparaf koordinasi.
8) Jika terdapat perubahan dan/atau penyempurnaan maka Sekretaris
Daerah mengembalikan Ranperda kepada pimpinan SKPD pemrakarsa.
9) Hasil penyempurnaan Ranperda disampaikan kembali kepada sekretaris
daerah setelah dilakukan paraf koordinasi oleh kepala bagianhukum
kabupaten/kota seta pimpinan SKPD terkait.
10) Sekretaris Daerah menyampaikan Ranperda kepada kepala daerah.
11) Kepala Daerah menyampaikan Ranperda kepada pimpinan DPRD.
12) Pembahasan Ranperda bersama DPRD.

KPH/ Usulan MHA DPRD


DINAS LH/dsb

32
Gambar 2.6
Proses Penyusunan Peraturan Daerah melalui Pemerintah Daerah
PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH MELALUI PRAKARSA PEMERINTAH DAERAH
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

TAHAP 1 TAHAP 3 TAHAP 5 TAHAP 7 TAHAP 9


Kepala Daerah Ranperda dan Ranperda diajukan Hasil Penempurnaan Penetapan
memerintahkan Naskah Akademis ke kepala daerah disampaikan ke Sekda Ranperda bersama
OPD menyusun dikonsultasikan melalui ekretaris setelah diparaf Kepala Dewan perwakilan
Ranperda dan dengan Daerah Bagian Hukum dan Rakyat Daerah
Naskah Akademiknya masyarakat pimpinan OPD

TAHAP 2 TAHAP 4 TAHAP 6 TAHAP 8


Kepala Daerah Ranperda diparaf Sekretaris Daerah Pembahasan
membentuk Tim Kepala Bagian dapat menyempurnakan Ranperda bersama
Penyusun Hukum dan OPD Ranperda, dan Dewan perwakilan
Ranperda terkait mengembalikan kepada Rakyat Daerah
OPD pemrakarsa

C.3. Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Seperti halnya kepala daerah, pengakuan terhadap MHA, wilayah adat


dan areal hutan adatnya juga dapat dimulai dari pihak Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) dengan inisiatif mengajukan rancangan peraturan
daerah melalui mekanisme Badan Pembentukan Peraturan Daerah untuk
dibahas bersama eksekutif sehingga disepakati sebagai keputusan politik
daerah terkait masa depan suatu MHA yang ada diwilayahnya.

Keputusan politik dimaksud mengandung arti bahwa eksistensi


suatu MHA tersebut merupakan hal yang penting dan strategis bagi
suatu daerah sehingga harus diakui, dilindungi, dipertahankan, dan
dikembangkan sesuai kearifan lokal setempat sehingga menjadi asset
daerah yang sangat bernilai. Inisiatif penyusunan PERDA dari DPRD yang
terdiri dari fraksi-fraksi sejalan dengan salah satu fungsi partai-partai
politik yaitu sebagai sarana menyerap, menghimpun dan penyalur
aspirasi politik masyarakat dalam rangka penyusunan suatu kebijakan
publik.

Proses inisiasi pengakuan terhadap MHA dari kepala daerah dapat


dilakukan sesuai gambar dan alur sebagai berikut :

33
Gambar 2.7
Proses Penyusunan Peraturan Daerah melalui Prakarsa DPRD

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DERAH (DPRD)


Penyusunan PERDA melalui Prakarsa DPRD

1) Ranperda diajukan oleh anggota DPRD, komisi, atau Badan Legislasi


Daerah (Balegda).
2) Ranperda disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD disertai
dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik.
3) Pimpinan DPRD menyampaikan Ranperda kepada Balegda untuk
dilakukan pengkajian.
4) Pimpinan DPRD menyampaikan hasil pengkajian Perda oleh Balegda
dalam rapat paripurna DPRD.
5) Rapat Paripurna DPRD memutuskan usul Ranperda (disetujui,
disetujui dengan perubahan, atau ditolak.
6) Jika disetujui, pimpinan DPRD menugasi komisi, gabungan komisi,
Balegda, atau panitia khusus untuk menyempurnakan Ranperda.
7) Penyempurnaan Ranperda disampaikan kepada Pimpinan DPRD.
8) Pimpinan DPRD menyampaikan Ranperda yang telah disempurnakan
kepada kepala daerah untuk dilakukan pembahasan

34
Gambar 2.8
Proses Penyusunan Peraturan Daerah melalui Inisiatif DPRD
Membentuk Perda melalui inisiatif DPRD
Ranperda oleh Disampaikan kepada Pimpinan DPRD
Anggota DPRD, Pimpinan DPRD menyampaikan
Komisi, Gabungan disertai Naskah kepada Balegda untuk
Komisi, Balegda Akademik dikaji

Keputusan Paripurna Pimpinan DPRD


Pembahasan dengan (menyetujui, menolak, menyampaikan
Kepala Daerah mengubah) Ranperda dalam
Rapat Paripurna

D. Perda Masyarakat Hukum Adat


Keberadaan MHA telah diakui dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat (2)
menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
MHA beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”. Sampai dengan saat ini
belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur keberadaan
MHA sebagaimana tindaklanjut terhadap pengkuan negara dalam
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 35 /2012 menyatakan bahwa untuk pelaksanaan Pasal 18B ayat (2)
seharusnya dilakukan dalam undang-undang. Namun, untuk mengatasi
kekosongan hukum maka pengaturan melalui Peraturan Daerah dapat
dibenarkan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan


Produk Hukum Daerah menyatakan bahwa produk hukum daerah
meliputi Peraturan Daerah atau nama lainnya, Peraturan Kepala Daerah,
Peraturan Bersama Kepala Daerah, Peraturan DPRD dan peraturan yang
berbentuk keputusan meliputi Keputusan Kepala Daerah, Keputusan
DPRD, Keputusan Pimpinan DPRD, dan Keputusan Badan Kehormatan
DPRD.

35
Sifat produk hukum daerah ada dua, yaitu pengaturan dan penetapan.
Produk hukum yang bersifat pengaturan memberikan aturan yang berlaku
umum terhadap suatu bidang. Contohnya adalah Peraturan Daerah
atau Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) atau nama lainnya (misalnya
Qanun), Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Gubernur atau Peraturan
Bupati/Walikota), Peraturan Bersama Kepala Daerah (Peraturan Bersama
Gubernur atau Peraturan Bersama Bupati/Walikota) atau Peraturan
DPRD.

Produk hukum daerah yang bersifat penetapan adalah produk hukum


yang bersifat konkrit, individual, final dan berakibat hukum pada
seseorang atau badan hukum perdata. Contohnya adalah Keputusan
Kepala Daerah (Keputusan Gubernur atau Keputusan Bupati/Walikota),
Keputusan DPRD, Keputusan Pimpinan DPRD, dan Keputusan Badan
Kehormatan DPRD

Kotak 1: Kebijakan Khusus Terkait Hutan Adat di Provinsi Aceh, Papua,


dan Papua Barat

Sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut


Undang-undang Dasar Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan
Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Ini dapat
dilihat dari perubahan amandemen pada batang tubuh pasal 18 B ayat (1)
UUD 1945 “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-
undang”, ayat (2) “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masa hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang”.
Sebagai perwujudan dari amanat UUD 1945 dimaksud, maka ada 3
Provinsi di Indonesia yaitu Aceh, Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi

36
kewenangan untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri melalui
mekanisme yang disebut Otonomi Khusus dan diatur pelaksanannya dengan
Undang-Undang. Adapun urusan yang tidak dilimpahkan kewenangannya
oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (termasuk daerah yang
memiliki UU Otonomi Khusus) yaitu urusan politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, moneter dan kebijakan fiscal, yustisi (lembaga peradilan) serta
urusan agama secara umum.
Implementasi untuk Provinsi Aceh diatur dengan Undang-undang
44 tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh. dilihat dari karakter khas sejarah
perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang
yang tinggi (Hardi, 1992: 152), yang bersumber pada pandangan hidup
yang berlandaskan Syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat
termanisfestasikan dalam kehidupan adat, sosial dan politik masyarakat Aceh
(Kaoy Syah, Lukman Hakiem, 2000:7).
Keistimewaan Aceh menyangkut 4 hal menurut UU 44/1999 pasal 3 ayat
(2) yaitu : a). Penyelenggaraan kehidupan beragama; b). Penyelenggaraan
kehidupan adat; c). Penyelenggaraan Pendidikan; d). Peran ulama dalam
penetapan kebijakan daerah. Terkait penyelenggaraan kehidupan adat pada
huruf b merupakan dasar hukum Pemerintah Aceh untuk menjabarkan lebih
lanjut kedalam bentuk berbagai Qanun atau Peraturan Daerah (Perda) di Aceh.
Atas dasar itu Pemerintah Aceh mengeluarkan Qanun Aceh nomor 9 Tahun
2008 tentang pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dan Qanun Aceh
nomor 10 Tahun 2008 tentang lembaga adat serta Peraturan Daerah (Perda)
nomor 7 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat.
Perkembangan kehidupan adat dan hukum adat Aceh tidak lepas dari
sejarah masuknya Islam. Ketika hukum adat kuat maka hukum agama juga
kuat, begitu juga sebaliknya. Agama bersumber dari Al-Quran dan hadist,
sedangkan adat bersumber dari Sultan dengan musyawarah yang digali
berdasarkan sumber keagamaan. Sehingga banyak adat Aceh yang tidak lepas
dari pengaruh Syara’.

37
Undang-undang nomor 11 Tahun 2006 pasal 98 ayat (3) dan pasal 99
tentang Pemerintah Aceh dan juga hal yang sama diatur dalam pasal 2 ayat
(2) Qanun Aceh nomor 10 Tahun 2008 tentang lembaga adat tersebut adalah
sebagai berikut : 1. Majelis Adat Aceh (MAA); 2. Imeum Mukim; 3. Imeum Chik;
4. Tuha Lapan; 5. Keuchik; 6. Imeum Meunasah; 7. Tuha Peut; 8. Kejruen Blang;
9. Panglima Laot; 10. Pawang Glee; 11. Peutua Seuneubok; 12. Hariya Peukan;
dan 13. Syahbanda.
Implementasi untuk Provinsi Papua dan Papua Barat diatur dengan
Undang-undang No. 21 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Perpu No. 1
Tahun 2008. UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua ini merupakan pengakuan
Pemerintah RI untuk melindungi hak ulayat orang Papua akan tanah, air, dan
kekayaan Papua. UU Otonomi Khusus ini adalah kewenangan khusus yang
diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua di dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk
memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua,
termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui
para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah
ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan
dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat
Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, lambang daerah
dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi
jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat,
masyarakat adat, dan hukum adat.
Berdasarkan undang-undang yang menyangkut tata pemerintahan
di Provinsi Aceh dan Papua serta Provinsi Papua Barat, apabila terdapat usulan
dan proses terkait pengakuan dan penetapan terhadap suatu MHA termasuk
wilayah adat dan hutan adatnya, maka akan diselesaikan ditingkat daerah.
Apabila telah diselesaikan, peran pemerintah pusat adalah menindaklanjuti
dengan memberikan pengakuan penetapan terhadap MHA dan areal
hutan adat secara definitif.

38
Peraturan Daerah termasuk kelompok produk hukum daerah yang
sifatnya mengatur. Dilihat dari isinya ada tiga jenis Peraturan Daerah.
1. Peraturan Daerah yang murni bersifat pengaturan. Misalnya
Peraturan Daerah tentang tata cara penerbitan izin.
2. Peraturan Daerah yang sifatnya penetapan. Dapat disebutkan
contohnya di sini adalah penetapan desa dan penetapan atau
kadang-kadang disebut juga pengukuhan MHA.
3. Peraturan Daerah yang mengatur struktur organisasi dan tata kerja
di daerah.
Matrik 2. 2
Jenis - Jenis Peraturan Daerah

Pengaturan Penetapan
• Peraturan Daerah (nama lain) • Keputusan Kepala Daerah
o Perda Propinsi • Keputusan DPRD
o Perda Kabupaten/Kota
• Keputusan Pimpinan DPRD
• Peraturan Kepala Daerah
• Keputusan Badan
o Peraturan Gubernur
o Peraturan Bupati/Walikota Kehormatan DPRD

• Peraturan Bersama Kepala Daerah


o Peraturan Bersama Gubernur
o Peraturan Bersama Bupati/Walikota
• Peraturan DPRD

Sumber: Direktorat PKHTA 2017

Peraturan Daerah pada umumnya bersifat pengaturan, namun


terdapat pula Perda yang bersifat penetapan. Misalnya Perda tentang
pembentukan desa. Ini juga berlaku untuk undang-undang, seperti halnya
undang-undang pembentukan provinsi atau kabupaten/kota. Dengan
dasar ini maka penetapan MHA dilakukan dengan Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah yang bersifat penetapan akan memberikan kekuatan

39
hukum yang lebih efektif bagi keberadaan MHA tertentu sebagai subjek
hukum dan pengakuan terhadap wilayah adatnya.

Bagaimana membuat Perda


Susun Naskah Konsultasikan
Mulai dengan Akademik dengan
BAPEM PERDA dan Masyarakat
Ranperda Hukum Adat

Proses Sampaikan Bahas dengan


penyempurnaan kepada Sekretaris SKPD terkait
Daerah

Sampaikan Kepala Daerah Pembahasan


kepada kepala menyampaikan bersama DPRD
Daerah kepada DPRD

Sumber: Epistema Institute


Perda ditetapkan

Proses pembentukan Peraturan Daerah memerlukan waktu yang panjang,


dibanding dengan penerbitan Keputusan Kepala Daerah. Solusinya
dengan membuat Peraturan Daerah yang berisi penetapan MHA secara
umum di Kabupaten/Kota tertentu. Untuk kerincian wilayah adat
dilakukan melalui Keputusan Kepala Daerah. Keberadaan Keputusan
Kepala Daerah harus dimandatkan dengan jelas oleh Peraturan Daerah.
Keputusan ini merupakan pelaksanaan pendelegasian wewenang kepada
Kepala Daerah untuk membentuk produk hukum yang diperlukan dalam
pengakuan keberadaan MHA dan wilayahnya.

40
Peraturan Daerah mengenai MHA perlu meliputi pengaturan secara
umum mengenai kebijakan pengakuan, penghormatan dan perlindungan
MHA, hak-hak dan wilayahnya. Selain itu diperlukan Peraturan Daerah
yang sifatnya menetapkan keberadaan MHAdan wilayahnya (Perda
Penetapan).

Ada dua model Perda Penetapan yang dapat digunakan: (Safitri dan
Uliyah, 2014 : 77)
1. Perda untuk menetapkan MHA yang keberadaannya sudah tidak
diperdebatkan lagi di daerah tersebut. Contohnya Ammatoa Kajang
di Kabupaten Bulukumba.
2. Perda untuk MHA yang keberadaan dan wilayahnya masih
memerlukan upaya lebih jauh untuk memverifikasi. Ini terjadi
karena kurangnya bukti kesejarahan, kondisi masyarakat yang relatif
heterogen, perpindahan yang dilakukan atau terpaksa dilakukan oleh
masyarakat di masa pra kolonial, masa kolonial dan pasca kolonial.
Untuk Perda model pertama, kesulitan akan ada pada penetapan wilayah
adat. Idealnya, penetapan wilayah adat dilakukan bersamaan dengan
penetapan MHA. Artinya, peta wilayah adat menjadi lampiran dari
Perda. Tetapi, jika hal ini sulit dilakukan maka penetapan wilayah adat itu
dapat dilakukan kemudian melalui Keputusan Kepala Daerah. Syaratnya
ketentuan mengenai penetapan melalui Keputusan Kepala Daerah itu
dinyatakan dalam Perda (ibid : 78)

Pada Perda model kedua, materi muatan lebih banyak mengatur tata
cara penetapan MHA dan wilayah adatnya. Namun, perlu disebutkan
dalam salah satu ketentuannya bahwa Pemerintah Daerah mengakui
keberadaan MHA di daerah tersebut. Penetapan MHA secara khusus serta
wilayah adatnya dilakukan melalui Keputusan Kepala Daerah. Penting
disebutkan dalam Perda bahwa penerbitan Keputusan Kepala Daerah
itu merupakan pendelegasian wewenang. (ibid : 78)

Berkaitan dengan pengakuan dengan model Perda ini, pasal 67 ayat (2)
UU 41/1999 tentang Kehutanan menyatakan “pengukuhan keberadaan

41
dan hapusnya MHA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Daerah”. Selain itu, pengaturan lebih lengkap tentang
MHA sebagai turunan dari pengkuan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD
1945 adalah pada Undang-Undang 6/2014 tentang Desa, yakni dalam
Bab XIII, Pasal 96 - 111. Pasal 96 menyatakan “Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan
penataan kesatuan MHA dan ditetapkan menjadi desa adat”. Pasal 98
menyatakan “Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota. Pasal 101 UU Desa selanjutnya menyatakan “ayat (1) Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
dapat melakukan penataan Desa Adat; ayat (2) Penataan Desa Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Daerah; ayat (3) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disertai lampiran peta batas wilayah”.

Substansi materil pengaturan dalam Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan dan


Pasal 96, 98 dan 101 UU Desa adalah pengaturan terhadap MHA sebagai
suatu entitas/subyek hukum dengan segenap hak dan kewajibannya,
termasuk hak dan kewajiban tenurial kehutanan dan sumberdaya alam
lainnya.
Oleh karena kedua undang-undang tersebut secara jelas mencatumkan
pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat di suatu kebupaten/
kota dilakukan melalui Peraturan Daerah (Perda), maka Pemerintah
Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kabupaten/Kota memiliki kewajiban hukum dan politik membuat
perda tersebut menggunakan proses sosial politik yang partisipatif dan
akuntabel dengan melibatkan semua pihak terkait, terutama MHA di
wilayah kabupaten/kota tersebut. Secara yuridis, tata cara pembuatan
peraturan daerah tentang mayarakat hukum adat mengikuti ketentuan
UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kenyataannya, pengukuhan keberadaan MHA di suatu daerah propinsi,
kabupaten dan kota berkelindan dengan konstelasi dan relasi politik
antar para pihak terkait di daerah tersebut. Karena itu, produk hukum

42
daerah yang mengatur keberadaan MHA mengambil 2 bentuk, berupa
Peraturan Daerah atau Peraturan/Surat Keputusan Kepala Daerah. Dalam
hal material pengaturan, kedua peraturan tersebut ada yang bersifat
umum mengatur tentang MHA saja, namun ada yang bersifat khusus
mengatur aspek tertentu suatu kesatuan MHA, antara lain misalnya
pengaturan atau penetapan tentang lembaga adat atau hutan adatnya saja.
Menuju Perda Pengakuan MHA Ideal.

Pengakuan MHA yang ideal mellaui Perda adalah proses-proses yang


secara jelas menyatakan obyek, subyek, wilayah, kelembagaan, dan
hak asal usul dapat dinyatakan dengan jelas, namun kenyataannya
tidak seperti itu. Termasuk saat kita membahas konsep suatu PERDA
pengakuan terhadap MHA yang ideal. Meski relatif berat direalisasikan,
namun setidaknya ada beberapa hal dan upaya yang dapat dilakukan
untuk mendekati ideal. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan
dalam menyusun substansi dalam penyusunan PERDA, antara lain:

Lembaga Lain-lain
& aturan main Kewajiban atau tugas
Subjek Wilayah (hak, penyelesaian pemerintah
Kewajiban masyarakat
sengketa) adat

Sumber : Epistema Institute

Apabila bagan tersebut dijabarkan lebih lanjut, ada 8 (delapan) meteri


dasar yang harus dimasukkan dalam substansi suatu PERDA tentang
MHA, yaitu:
1. Kriteria MHA secara lokal
2. Inventarisasi (pendaftaran, verifikasi, validasi) data sosial budaya,
biofisik dan spasial.
3. Memandatkan penetapan wilayah adat oleh kepala daerah.
4. Perlindungan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional terkait
sumberdaya genetik.

43
5. Integrasi wilayah adat dalam RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota.
6. Kelembagaan perlindungan dan pengakuan
7. Kegiatan MHA diakomodir dalam RPJMD (terkait dengan pendanaan).
8. Adanya klausul kewajiban MHA untuk mengelola, melindungi, dan
menjaga wilayah adat dan hutan adat dari kerusakan baik dari unsur
internal maupun eksternal.
Matrik 2.3
Kriteria MHA
Kriteria Indikator
Sejarah 1. Asal-usul menurut mitologi dan sejarah
masyarakat 2. Sejarah perpindahan/migrasi
3. Penyebutan-penyebutan masyarakat dalam dokumen
otoritas lain
Masih dalam 1. Memiliki identitas bersama
bentuk Paguyuban 2. Hubungan-hubungan sosial yang didasari oleh orientasi
kebersamaan
3. Kepemilikan atas sumberdaya alam bersifat kolektif
Kelembagaan Adat 1. Nama lokal untuk lembaga adat dan perangkat/organnya
dalam bentuk 2. Struktur kelembagaan adat dan perangkat/organnya
perangkat 3. Kewenangan lembaga adat
penguasa adat 4. Tugas dan fungsi masing-masing perangkat/organ dalam
lembaga adat
5. Mekanisme suksesi kepala adat atau pemilihan perangkat adat
Wilayah adat 1. Luas wilayah adat
2. Batas-batas wilayah adat
3. Sejarah asal-usul penguasaan atas wilayah adat
Pranata dan 1. Konsep adat mengenai hubung Manusia dengan alam
perangkat hukum 2. Nilai-nilai adat dalam melangsungkan relasi vertikal dan
adat horisontal
khususnya 3. Aturan-aturan adat mengenai penguasaan, pemilikan dan
peradilan adat pemanfaatan sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan
4. Mekanisme penyelesaian sengketa
5. Efektivitas aturan-aturan adat
6. Bentuk-bentuk dokumentasi hukum adat
Harta kekayaan 1. Benda-benda pusaka yang masih merupakan milik bersama
bersama/benda- 2. Tanah dan sumberdaya alam lainnya dimiliki secara komunal
benda adat
Sumber: Simarmata, Rikardo

44
Matrik 2.3. memperlihatkan sejumlah kriteria tetang MHA yang
pada intinya memberikan penekanan yang penting terhadap unsur
kesejarahan, kelembagaan adat wilayah adat dan pranata. Tentunya
dimungkinan terdapat kriteria-krietria lain yang bersifat lokal, tetapi
unsur kewilayahan menjadi kriteria penting. Namun, setiap pengguna
kriteria perlu memahami konteks lokalnya. Misalnya, ketika memberikan
penekanan pada kewilayahan, maka komunitas-komunitas MHA yang
tidak berbasis geografis perlu diberikan perhatian.
Pemetaan Sebaran Perda dan SK Kepala Daerah terkait MHA.
Setelah keputusan MK 35 tahun 2012, berbagai inisiatif untuk
mendapatkan pengakuan MHA terjadi dimana-mana. Peta
memperlihatkan persebaran produk hukum daerah yang telah
diverifikasi.

Penetapan hutan adat yang sudah dilakukan oleh KLHK semuanya diawali
oleh adanya produk hukum daerah tentang pengakuan MHA. Saat ini
KLHK mencatat setidaknya ada 71 produk hukum tentang pengakuan
MHA yang dikumpulkan dari berbagai pihak salah satunya dari Epistema
Institute. Epistema mencatat produk hukum tentang adat lebih banyak
dari 71 tetapi sebagian produk tersebut adalah peraturan tentang Desa
Adat dan pengaturan lain yang tidak bisa serta merta dimasukkan dalam
produk hukum yang mengakui keberadaan MHA. Sebagian dari produk
hukum ini bahkan sudah diterbitkan jauh sebelum MK 35/2012 dan
juga Permendagri 52/2015 Persoalan yang muncul adalah perbedaan
pemahaman para pihak di daerah terkait dengan pengakuan MHA
seperti konflik pusat dan daerah yang sering muncul sehingga persoalan
subyek hukum MHA sering menjadi perdebatan dalam hal siapa yang
berwenang untuk menetapkannya. Rata-rata produk hukum pengakuan
MHA di semua propinsi masih rendah walaupun sudah ada produk hukum
payung berupa perda propinsi tentang tata cara pengakuan MHA. Suatu
hal yang menarik dalam peta sebaran tersebut adalah propinsi Jambi yang
memiliki produk hukum daerah paling banyak tetapi perda payung untuk
tata cara pengakuan dari propinsi belum ada. Produk hukum yang ada

45
46
Peta Sebaran Perda & SK Kepala Daerah terkait MHA

Sumber: Direktorat PKHTA 2017


di propinsi Jambi ini adalah produk hukum yang menjadi bagian penting
dari proses perubahan karena jauh sebelumnya sudah dilakukan oleh
pemerintah daerah beserta masyarakat sipil yang berada di sana.

E. Pencadangan Hutan Adat

Pasca momentum pencanangan Hutan Adat tanggal 30 Desember 2016,


beberapa daerah mulai bermunculan gerakan “kebangkitan kembali”
masyarakat adat yang kemudian memproklamirkan eksistensi diri dan
komunitas adatnya. Semangat ini tentu perlu disambut dengan baik,
meski tetap harus disikapi dengan bijaksana. Sebagaimana dijelaskan
pada bagian sebelumnya, negara tentu akan memberikan pengakuan
terhadap masyarakat adat, wilayah adat dan areal hutan adatnya
sepanjang memenuhi persyaratan dan prosedur sebagaimana diatur
dalam peraturan perundangan yang berlaku.

Dalam proses pengakuan dan penetapan Hutan Adat, salah satu


unsur persyaratan yang dianggap “memberatkan” adalah kewajiban
menyertakan adanya Peraturan Daerah tentang pengakuan suatu
komunitas adat, wilayah adat dan areal hutan adatnya. Proses
penyusunan dan pembahasan suatu PERDA adalah dinamika politik
daerah yang tentu melibatkan pihak eksekutif (Gubernur/Bupati/
Walikota) dan pihak Legislatif (DPRD).

Dinamika politik daerah antara eksekutif dan legislative dimaksud tentu


tidak mudah. Selain itu belum tentu suatu komunitas MHA (calon MHA)
memiliki akses masuk untuk memulai proses tersebut. Menyusun naskah
akademik atau menyusun rancangan Perda pengakuan, bagi beberapa
komunitas MHA relative sulit dilakukan, karena keterbatasan kapasitas,
walaupun tentu saja banyka komunita MHA yang dapat melakukannya.
Diperlukan “kekuatan” politik, sosial, modal, gerakan massa, atau
komunikasi publik yang harus dibangun secara bertahap kepada parapihak
sebagai suatu penyadaran akan pentingnya eksistensi suatu MHA karena
terkait dengan identitas lokal suatu daerah yang terancam punah.

47
Proses komunikasi public semacam itu tentu membutuhkan waktu
dan energy yang sangat lama. Tidak semua kepala daerah dan atau
kekuatan politik di DPRD memiliki komitmen dan kepentingan yang sama
terkait eksistensi suatu MHA. Bahkan lebih parah lagi, jika ada persepsi
bahwa eksistensi MHA bukanlah hal yang “strategis” sehingga bukan
prioritas untuk dibahas dalam Badan Pembentukan Peraturan Daerah
(Bapem Perda). Sebagaimana lazim diketahui, proses politik adalah
tawar menawar berbagai kepentingan politik yang berujung pada suatu
keputusan atau kebijakan, sehingga kekuatan dan dorongan politik dari
pihak yang paling berkepentingan sangat berpengaruh.

Disitulah apa yang disebut sebagai “political will” dari eksekutif dan
legislative terkait begaimana mengakui dan memberdayakan suatu
entitas MHA menjadi sangat penting. Faktor itu pulalah yang kemudian
menyebabkan minimnya Perda-Perda yang terbit terkait pengakuan suatu
MHA, Wilayah Adat dan Areal Hutan Adatnya. MHA tentu tidak dapat
berjalan sendirian, diperlukan pendampingan dari pihak-pihak lain yang
memiliki visi yang sama (LSM, Perguruan Tinggi, Lembaga Donor) untuk
dapat lebih meyakinkan para pengambil kebijakan di daerah akan pentingnya
suatu MHA bagi perkembangan dan identitas kultural suatu daerah.

Untuk wilayah (calon) hutan adat yang berada diluar kawasan hutan
negara (APL) cukup membutuhkan SK pengakuan dan usulan kepala
daerah saja. Namun apabila calon wilayah adat yang akan disulkan suatu
MHA berada di dalam kawasan hutan negara atau perpaduan dengan
areal penggunaan lain (APL) maka tentu prosesnya membutuhkan suatu
PERDA.

Berangkat dari kondisi tersebut, diperlukan suatu upaya terobosan


hukum untuk memecah kebuntuan akan sulitnya proses penerbitan
PERDA pengakuan suatu MHA. Mekanisme yang dianggap paling rasional
adalah melalui skema pencadangan areal hutan adat. Sebagaimana
namanya, pencadangan tentu bersifat sementara, alias memiliki batas
waktu tertentu dengan berbagai konsekuensinya.

48
Proses pencadangan areal hutan adat hanya dapat dimulai apabila telah
terjadi komunikasi dan komitmen antara komunitas MHA dengan kepala
daerah dan DPRD yang nantinya akan memproses pada terbitnya suatu
PERDA pengakuan suatu MHA. Ketika, menunggu proses pembahasan
rancangan perda yang tentu akan memakan waktu yang relatif lama,
maka kepala daerah (Bupati/Walikota) dapat menerbitkan SK pengakuan
suatu MHA beserta wilayah adat dan hutan adatnya yang bersifat
sementara.

Kebijakan pencadangan hutan adat pernah terjadi di Hutan Adat Tombak


Hamijon Desa Pandumaan Sipituhuta melalui Keputusan Menteri LHK
Nomor SK.923/Menlhk/Sekjen/HPL.0/12/2016 tentang Perubahan
kelima Atas Keputusan Men LHK Nomor 493/Kpts-II/192 tanggal 1 Juni
1992 tentang Pemberian HPHTI Kepada PT. Inti Indo Rayon Utama. Pasal
I, KESATU, huruf c:
Areal seluas + 5.172 Ha sebagaimana pada huruf a, dialokasikan untuk
Hutan Adat Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta, Kecamatan Pollung
Kabupaten Humbang Hasudutan, Propinsi Sumatera Utara, sebagai hutan
kememyan Tombak Hamijon adat masyarakat Pandumaan-Sipituhuta
silsilah marga Marbun Lumban Gaol sebagai marga bius huta.

Proses selanjutnya adalah menunggu pengesahan Peraturan Daerah


Kabupaten Humbang Hasundutan yang mengatur keberadaan MHA
Pandumaan Sipitihuta, wilayah adat dan areal hutan adatnya.

49
Gambar 2. 9
Alur Pencadangan Hutan Adat

Alur Skema “Pencadangan Hutan Adat”

Sumber: Direktorat PKTHA

Adapun alur proses pengajuan Pencadangan Hutan Adat adalah sebagai


berikut:
1. MHA dibantu parapihak melakukan pemetaan dan mengusulkan
pengakuan MHA, Wilayah Adat dan Areal Hutan Adat kepada Kepala
Daerah (Bupati/Walikota) serta membangun komunikasi dengan
unsur-unsur di DPRD.
2. Bupati/Walikota melalui SKPD (KPH/Dinas LH/dsb) melakukan
telaah/kajian teknis.
3. Bupati dapat menerbitkan SK Pengakuan MHA (sementara).
4. SK pengakuan MHA (sementara) dimaksud kemudian disampaikan
kepada Menteri LHK/Dirjen PSKL untuk diverifikasi dalam rangka
pencadangan areal hutan adat.
5. Menteri LHK/Dirjen PSKL menerbitkan SK Pencadangan Hutan Adat
dengan jangka waktu tertentu dengan dilampiri peta pencadangan
areal Hutan Adat.
6. Bupati menyerahkan Rancangan PERDA Pengakuan MHA kepada
DPRD untuk dibahas bersama para pihak sebagai proses dinamika
politik daerah.
7. DPRD mengesahkan PERDA Pengakuan MHA.

50
BAB III
PROFIL
MASYARAKAT HUKUM ADAT
DAN HUTAN ADAT

51
BAB III
PROFIL
MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HUTAN ADAT

Negara hadir untuk melindungi nilai-nilai asli bangsa serta berpihak


kepada masyarakat atau rakyat yang lemah posisi tawarnya, khususnya
masyarakat hukum adat. Untuk itu pada tanggal 30 Desember 2016, Presiden
Republik Indonesia menyerahkan secara langsung 8 SK Penetapan Hutan
Adat kepada perwakilan MHA di Provinsi Jambi, Banten, Sulawesi Selatan
dan Sulawesi Tengah seluas keseluruhan ± 7.949 ha dan 1 Pencadangan
Hutan Adat di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara
seluas ± 5.172 ha. Pada saat penyerahan SK Hutan adat juga disampaikan
pentingnya Hutan adat dalam hidup berbangsa dan bernegara; “Pengakuan
hutan adat, pengakuan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat, berarti
adalah pengakuan nilai-nilai asli Indonesia, pengakuan jati diri asli bangsa
Indonesia”. Presiden juga memerintahkan bahwa di dalam peta juga nanti
akan ada penyesuaian, ada kriteria baru, yaitu mengenai hutan adat.
Sampai dengan bulan November tahun 2018 Total Pengakuan Hutan
Adat berjumlah 35 Unit Hutan Adat dengan Luas Total ± 27.950 dan terdiri
dari Penetapan 33 Unit Hutan Adat seluas ± 17.323 Ha dan Pencadangan
2 unit Hutan Adat seluas ± 10.627 Ha. Luasan hutan adat di Indonesia akan
terus bertambah, seiring dengan adanya keinginan dari komunitas MHA untuk
mendapatkan pengakuan terhadap keberadaannya sebagai MHA maupun
keinginan untuk melakukan proses penetapan hutan adatnya.

Adapun 33 Hutan Adat yang telah ditetapkan sebagai berikut :


1. Penetapan Pencantuman Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Bukit
Padun Gelanggang seluas ± 39 Ha di Desa Air Terjun Kecamatan Siulak
Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi dalam Peta Kawasan Hutan (SK.6737/
MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016 tgl 28 Desember 2016);

52
2. Penetapan Pencantuman Hutan Adat Bukit Tinggai Seluas ± 41 Ha di Desa
Sungai Deras Kecamatan Air Hangat Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi
dalam Peta Kawasan Hutan (SK.6738/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016
tgl 28 Desember 2016);

3. Penetapan Pencantuman Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam


Seluas ± 276 Ha di Desa Pungut Mudik Kecamatan Air Hangat Kabupaten
Kerinci Provinsi Jambi dalam Peta Kawasan Hutan (SK.6739/MENLHK-
PSKL/KUM.1/12/2016 tgl 28 Desember 2016);

4. Penetapan Pencantuman Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan Seluas ±


452 Ha di Kecamatan Air Hangat Timur Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi
dalam Peta Kawasan Hutan (SK.6740/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016
tgl 28 Desember 2016);

5. Penetapan Pencantuman Hutan Adat Marga Serampas Seluas ± 130


Ha di Desa Rantau Kermas Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin
Provinsi Jambi dalam Peta Kawasan Hutan (SK.6741/MENLHK-PSKL/
KUM.1/12/2016 tgl 28 Desember 2016);

6. Penetapan Pencantuman Hutan Adat Ammatoa Kajang Seluas ± 313,99


Ha di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan
dalam Peta Kawasan Hutan (SK.6742/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016
tgl 28 Desember 2016);

7. Penetapan Pencantuman Hutan Adat Wana Posangke Seluas ± 6.212.


Ha di Kecamatan Bungku Utara Kabupaten Morowali Utara Provinsi
Sulawesi Tengah dalam Peta Kawasan Hutan (SK.6743/MENLHK-PSKL/
KUM.1/12/2016 tgl 28 Desember 2016);

8. Penetapan Pencantuman Hutan Adat Kasepuhan Karang Seluas ± 486 Ha


di Desa Jagaraksa Kecamatan Muncang Kabupaten Lebak Provinsi Banten
dalam Peta Kawasan Hutan (SK.6744/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016
tgl 28 Desember 2016);

53
9. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Tawang Panyai” seluas ± 40,5
Ha yang dikelola MHA Tapang Sambas – Tapang Kemayau di Desa
Tapang Semadak Kecamatan Sekadau Hilir Kabupaten Sekadau Provinsi
Kalimantan Barat dalam Peta Kawasan Hutan (SK.1152/MENLHK-PSKL/
PKTHA/PSL.0/3/2017 tgl 16 Maret 2017).

10. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Marena” seluas ± 756 Ha yang


dikelola MHA Kulawi di Desa Marena Kecamatan Kulawi Kabupaten Sigi
Provinsi Sigi dalam Peta Kawasan Hutan (SK.1156/MENLHK-PSKL/PKTHA/
PSL.0/3/2017 tgl 16 Maret 2017).

11. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Hemaq Beniung” seluas ± 48,85


Ha di desa Juaq Asa, Kecamatan Barong Tongkok, Kabupaten Kutai
Barat, Provinsi Kalimantan Timur (SK. 4618/MENLHK-PSKL/PKTHA/
PSL.1/9/2017 tanggal 5 September 2017).

12. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Bukit Bujang” seluas ± 223 Ha


di Dusun Senamat Ulu, Kecamatan Batin III Ulu, Kabupaten Bungo,
Provinsi Jambi (SK. 5255/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/10/2017 tanggal
11 Oktober 2017)

13. Penetapan Pencantuman Hutan Lindung Adat “Belukar Panjang” seluas


± 326 Ha di Dusun Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo,
Provinsi Jambi (SK. 5303/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/10/2017 tanggal
12 Oktober 2017).

14. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Batu Kerbau” seluas ± 323 Ha di


Dusun Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi
(SK. 5254/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/10/2017 tanggal 11 Oktober
2017)

54
15. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Rimbo Penghulu Depati Gento
Rajo” seluas ± 525 Ha di Desa Pulau Tengah, Kecamatan Jangkat,
Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi (SK. 5533/MENLHK-PSKL/PKTHA/
PSL.1/10/2017 tanggal 23 Oktober 2017).

16. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Bukit Pintu Koto” seluas ± 278
Ha di DEsa Ngaol, Kecamatan Tabir Barat, Kabupaten Merangin, Provinsi
Jambi (SK. 5534/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/10/2017 tanggal 23 Oktober
2017).

17. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Baru Pelepat” seluas ± 821 Ha


di Dusun Baru Pelepat, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo. Provinsi
Jambi (SK. 5532/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/10/2017 tanggal 23
Oktober 2017).

18. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Imbo Larangan Pematang Kulim


dan Inum Sakti” seluas ± 115 Ha di Desa Temanggung, Kecamatan Limun,
Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. (SK. 774/MENLHK-PSKL/PKTHA/
PSL.1/2/2018 tanggal 19 Februari 2018)

19. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Rimbo Bulim” seluas ± 40 Ha di


Desa Rambah, Kecamatan Tanah Tumbuh, Kabupaten Bungo, Provinsi
Jambi (SK. 775/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/2/2018 tanggal 19 Februari
2018).

20. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Pikul” seluas ± 100 Ha di Desa


Sahan, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan
Barat (SK. 1300/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/3/2018 tanggal 28 Maret
2018).

21. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Leuweung Gede” seluas ± 31


Ha di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis,

55
Provinsi Jawa Barat (SK. 1301/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/3/2018
tanggal 28 Maret 2018).

22. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Nenek Limo Hiang Tinggi Nenek
Empat Betung Kuning Muara Air Dua” seluas ± 645 Ha di Desa Hiang
Tinggi dan Betung Kuning, Kecamatan Sitinjau Laut, Kabupaten Kerinci,
Provinsi Jambi (SK.4658/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/7/2018 tanggal 6
Juli 2018).

23. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Hulu Air Lempur Lekuk Limo
Puluh Tumbi” seluas ± 745 Ha di Desa Baru Lempur, Kecamatan Gunung
Raya, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi (SK.4659/MENLHK-PSL/PKTHA/
PSL.1/7/2018 tanggal 6 Juli 2018).

24. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Marena” seluas ± 155 Ha di


Desa Pakalobean & Singki, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang,
Provinsi Sulawesi Selatan (SK.4716/MENLHK-PSL.1/PKTHA/PSL.1/7/2018
tanggal 10 Juli 2018).

25. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Orong” seluas ± 81 Ha di Desa


Bungu Batuah, Kecamatan Malua, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi
Selatan (SK.4715/MENLHK-PSL.1/PKTHA/PSL.1/7/2018 tanggal 10 Juli
2018).

26. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Tae” seluas ± 2.151 Ha di Desa


Tae, Kecamatan Balai, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat
(SK.5770/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/9/2018 tanggal 7 September
2018).

27. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Tembawang Tampun Juah


Kampung Segumon” seluas ± 609 Ha di Dusun Segumon, Dusun Segumon
Mawa, dan Dusun Segumon Raya, Desa Lubuk Sabuk, Kecamatan

56
Sekayam, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat (SK.5771/
MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/9/2018 tanggal 7 September 2018).

28. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Rio Peniti” seluas ± 240 Ha


di Desa Lubuk Bedorong, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun,
Provinsi Jambi (SK.5776/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/9/2018 tanggal 7
September 2018).

29. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Pangulu Lareh” seluas ± 124 Ha di


Desa Temalang, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi
(SK.5774/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/9/2018 tanggal 7 September
2018).

30. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Meribung” seluas ± 617 Ha di


Desa Meribung, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi
(SK.5775/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/9/2018 tanggal 7 September
2018).

31. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Datuk Mantri Sati” seluas ± 78 Ha


di Desa Mersip, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi
(SK.5772/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/9/2018 tanggal 7 September
2018).

32. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Titian Teras” seluas ± 138 Ha di


Desa Demang, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi
(SK.5777/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/9/2018 tanggal 7 September
2018).

33. Penetapan Pencantuman Hutan Adat “Imbo Pseko” seluas ± 83 Ha


di Desa Napal Melintang Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun,
Provinsi Jambi (SK.5773/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/9/2018 tanggal 7
September 2018).

57
Ketigapuluh-tiga hutan adat yang telah ditetapkan tersebut lahir dari
proses yang cukup panjang yang mewakili tipologi perjuangan komunitas
MHA dalam konteks kepentingan dan kewilayahannya masing-masing.
Hutan Adat Ammatoa Kajang dapat dikategorikan sebagai areal hutan adat
yang sejak awal tidak menyisakan keraguan dari siapapun atas eksistensinya
sebagai komunitas MHA maupun pengelolaan hutan adatnya. Hutan Adat
Wana Posangke, Marena dan Kasepuhan Karang adalah tipe kolaborasi MHA
dalam mengelola hutan didalam dan sekitar kawasan konservasi (Taman
Nasional), Hutan Adat Tawang Panyai adalah tipe bagaimana MHA berjuang
mempertahankan hutan adatnya dari ekspansi kelapa sawit yang makin marak
di wilayahnya, dan Hutan Adat Marga Serampas di Kabupaten Merangin serta
4 Hutan Adat di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi adalah contoh bagaimana
MHA secara turun temurun menjaga dan mempertahankan areal yang mereka
sebut sebagai hutan adat secara lestari sehingga pantas untuk diakui dan
ditetapkan negara menjadi hutan adat. Profil tentang areal Hutan Adat dan
bagaimana MHA mengelola hutan adat tersebut adalah sebagai berikut :

58
A. Hutan Adat Kajang di Bulukumba
A. Hutan
Hutan Adat
Adat Kajang di
Ammatoa Bulukumba
Kajang secara administratif terletak di Desa Tana Toa, Desa
Pattiroang, Desa Bonto Baji dan Desa Malleleng, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba
Hutan Adat Ammatoa Kajang secara administratif terletak di Desa Tana
Provinsi Sulawesi Selatan seluas ± 313,99 hektar. Hutan Adat tersebut ditetapkan melalui
Toa, Desa Pattiroang, Desa Bonto Baji dan Desa Malleleng, Kecamatan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6742/MENLHK-
Kajang, Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan seluas ± 313,99
PSKL/KUM.1/12/2016 tanggal 28 Desember 2016.
hektar. Hutan Adat tersebut ditetapkan melalui Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6742/MENLHK-PSKL/ 42

KUM.1/12/2016 tanggal 28 Desember 2016.

59
Masyarakat Kajang memiliki
ajaran hidup dan pranata
budaya yang disebut sebagai
“ P a s s a n g ”, y a i t u h i d u p
sederhana, jauh dari kerakusan
terhadap benda duniawi dan
mementingkan ketinggian
batiniah dalam semua aspek
kehidupan termasuk kewajiban
menjaga dan merawat hutan
beserta sumberdaya alamnya.
Bagi masyarakat Kajang, hutan merupakan simbol dari tangga sebagai
jalan untuk turunnya arwah langit ke bumi dan naik dari bumi ke langit.
Hutan merupakan media penghubung antara alam gaib dengan alam
nyata. Kepercayaan Masyarakat Adat Kajang, Tana Toa adalah tempat
lahirnya manusia pertama (tutowa mariolo, Mula tau, dan Ammatoa).

Manusia diwajibkan untuk memelihara ragam makhluk yang ada di hutan


dan sekelilingnya, serta pemberian ‘Turie A’ra’na (Tuhan) yang ada di
hutan, menyebabkan alam sekitar menjadi terpelihara. Baik Masyarakat
A d a t Ka j a n g m a u p u n
pihak luar diharuskan
melepas alas kaki apapun
ketika memasuki wilayah
adat Kajang Dalam, hal
ini berdasarkan filosofi
Masyarakat Adat Kajang
bahwa bumi adalah ibu
(Naiya Anronta) sehingga
di antara manusia dan bumi
harus menyatu dan tidak
boleh ada pemisah.

60
Berdasarkan letak lokasi pemukiman komunitas hukum adat Kajang
terbagi atas dua kelompok yaitu “Kajang Dalam” (llalang Embayya) dan
“Kajang Luar” (Ipantarang Embayya). Walaupun menempati beberapa
desa, Masyarakat Adat Kajang yang dikenal sebagai asal mula Kajang
adalah yang mendiami Desa Tana Toa.

Merusak hutan (ammanraki borong) bagi Masyarakat Adat Kajang


merupakan tindakan yang bisa dikenakan sanksi “poko’ habbala” atau
sanksi paling berat, yaitu dikeluarkan dan tidak boleh kembali lagi ke
wilayah adat Kajang. Tidak hanya bagi pelaku tapi seluruh keluarganya.
Bagi Masyarakat Adat Kajang, hutan bagaikan dirinya sendiri. Jika hutan
dirusak, maka sama seperti merusak dirinya sendiri, sehingga ketaatan
dalam menjaga dan merawat hutan dapat terus terjaga lintas generasi
hingga saat ini. Pemimpin tertinggi adat Kajang adalah Amma Toa dibantu
oleh 26 pemangku adat dengan berbagai tugas dan fungsinya.

Mata pencaharian utama masyarakat Kajang adalah pertanian, yaitu


ladang maupun sawah. Dalam mengelola lahan pertanian mereka
pantang atau tabu menggunakan teknologi modern seperti traktor.
Sejak awal penggarapan lahan sampai pada tahap panen, semuanya
dilakukan dengan menggunakan teknologi yang masih tradisional
misalnya menggunakan tenaga kerbau atau sapi untuk membajak.

Batu Palantikan, tempat raja Kajang juga Labiriyyah dilantik

61
Kaum perempuan umumnya menekuni pekerjaan menenun dan
menanam tarum. Daun tanaman tersebut digunakan sebagai zat pewarna
benang. Benang umumnya diperoleh dari hasil pemintalan tanaman
kapas. Setelah kapas dipintal menjadi benang, kemudian ditenun
menjadi kain, yang selanjutnya menjadi sarung (tope), pengikat kepala
atau daster (passapu), baju tradisional (haju pokko), celana (saluara)
dan sebagainya. Selain itu, perempuan melibatkan diri dalam rutinitas
mengasuh anak (anjaga ana), mengambil kayu bakar (angngalle kaju
bakara), dan mengambil air.

Para Wanita Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang sedang berjalan sambil membawa kendi
berisi air diatas kepala.

Kunjungan Menteri Lingkungan Hidup dan Kunjungan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan ke Masyarakat Hukum Adat Kehutanan ke Hutan Adat Ammatoa Kajang di
Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.
Provinsi Sulawesi Selatan.

62
Masyarakat adat Kajang melihat hutan dalam pandangan yang lebih luas,
termasuk aspek sosial-budaya dan lingkungan. Ekosistem hutan adat
Ammatoa Kajang terbukti dapat bertahan dalam jangka panjang, karena
bentuk pengelolaannya penuh dengan kebijakan lingkungan (ecological
wisdoms).

Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan
disambut tokoh
adat dan tetua adat
Masyarakat Hukum
Adat Ammatoa
Kajang di Kabupaten
Bulukumba, Provinsi
Sulawesi Selatan.

B. Hutan Adat Kulawi di Marena


Masyarakat Hukum Adat (MHA) Kulawi di Ngata Marena berdomisili
disekitar Taman Nasional (TN) Lore Lindu di Kabupaten Sigi Provinsi
Sulawesi Tengah. Komunitas ini telah lama memperjuangkan pengakuan
terhadap wilayah adat beserta hutan adatnya.

Hutan adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari kehidupan


masyarakat Kulawi. MHA Kulawi di Marena dalam pengelolaan sumber
daya alam memiliki zonasi yaitu wanangkiki (hutan belum tersentuh oleh
masyarakat), Pangale (hutan primer/calon pemanfaatan untuk kebun),
Oma (hutan sesudah pangale yang dimanfaatkan untuk kebun padi) dan
Taolo (hutan diantara yang dikeramatkan dan tidak boleh dibuka).

Interaksi masyarakat dengan kawasan hutan dapat terlihat dari pola


pemanfaatan lahan dan tanaman yang dibudidayakan masyarakat antara
lain :

63
• Pada APL (Areal Penggunaan Lain) dan HPT (Hutan Produksi Terbatas)
yang ada di sisi barat merupakan areal yang telah dimanfaatkan
masyarakat sebagai perkebunan jenis Coklat, Kopi, Kemiri, aneka
MPTS (Multi Purpose Tree Species) produktif seperti durian, serta
padi ladang dan palawija.
• Pada Areal APL yang berbatasan dengan Kawasan Konservasi (sisi
timur) telah dimafaatkan masyarakat sebagai areal perkebunan
coklat, kemiri, tanaman MPTS produktif serta tanaman pangan (padi
irigasi).
Adapun pada areal yang masuk dalam wilayah TN. Lore Lindu
merupakan areal rimba dengan vegetasi yang sangat rapat, dominasi
tanaman kayu rimba campuran jenis kayu uru. Masyarakat marena
banyak melakukan aktifitas memungut rotan, pandan, akar kuning,
tanaman obat-obatan, serta HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) lainnya,
namun sama sekali tidak menyentuh tegakan kayunya.

Kesepakatan Bersama Hasil Verifikasi dalam Musyawarah Adat di Rumah Adat Bantaya
Marena

Berdasarkan keterangan tokoh-tokoh adat, areal hutan adat yang


masuk dalam kawasan TN. Lore Lindu disebut sebagai “wana” dan
“pangale”. Areal wana adalah kawasan hutan yang sama sekali tidak
akan disentuh kecuali hanya untuk sumber mata air dan memungut
rotan/pandan. Areal Pangale adalah areal yang direncanakan akan
digarap menjadi kebun. Ketika tiba waktunya nanti, terhadap

64
areal pangale akan dilakukan musyawarah adat “Molibu” untuk
menentukan berapa luas areal dan siapa yang akan menggarap areal
dimaksud.

Kondisi saat ini, areal wana dan pangale di sisi timur wilayah adat marena,
kondisinya masih sangat terjaga dengan baik dan relatif tidak tersentuh
khususnya di areal hutan adat yang masuk dalam wilayah taman
nasional. Apabila dimungkinkan, pihak TN. Lore Lindu dapat melakukan
penataan zonasi dan menetapkan areal dalam wilayah adat yang masuk
dalam wilayah TN. Lore Lindu seluas ± 647 ha sebagai Hutan adat atau
Zona Pemanfaatan Tradisional kepada MHA Kulawi di Marena dengan
perjanjian tertulis yang disepakati antara pihak Balai TN. Lore Lindu dan
komunitas MHA Kulawi di Marena.

Areal Hutan Adat Ngata Marena memiliki potensi flora fauna yang relatif
terjaga dengan baik. Potensi flora yang ada di lokasi tersebut antara
lain: rotan, Pandan hutan, nibon (dimanfaatkan untuk membuat lantai/
lumbung/Wanga), obat obatan (akar akar hutan : obat penyakit kuning,
sesak napas, Gaharu, Palio: serbuk palio dimanfaatkan untuk membunuh
kutu busuk).

Adapun jenis-jenis fauna yang terdapat di lokasi tersebut antara lain:


Ular, Anoa (sapi hutan)/Lupu, Babi rusa/dolodo, Alo (burung Enggang).
Masyarakat Kulawi Marena memiliki kepercayaan terhadap burung Alo
(enggang). Burung ini menjadi pertanda apabila terbang dari timur ke
barat itu maka akan masuk musim penghujan, dan sebaliknya apabila
burung Alo terbang dari Barat ke Timur maka pertanda akan segera
memasuki musim kemarau. Selain burung Alo, masyarakat juga memiliki
pengetahuan tradisional terhadap Burung raja udang, apabila berbunyi
sekali berarti akan terjadi suatu malapetaka. Pengetahuan tradisional
telah membuktikan kelestarian hutan akan tercapai jika masyarakat
hukum adat dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan dan pelestarian hutan
dengan menerapkan pengetahuan tradisionalnya.

65
Kelestarian hutan di kawasan hutan adat Marena menjadi tempat hidup bagi berbagai jenis
satwa sulawesi

Setelah melalui proses panjang, Pemerintah Kabupaten Sigi menerbitkan


Peraturan Daerah Kabupaten Sigi No. 15 Tahun 2014 tentang
Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Perda tersebut
kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keputusan Bupati Sigi
No. 189-014 Tahun 2017 tanggal 25 Januari 2017 tentang Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kulawi di Marena Kecamatan
Kulawi Kabupaten Sigi beserta lampiran petanya. Luas wilayah adat MHA
Kulawi sebagaimana lampiran peta pada SK No. 189-014 Tahun 2017
tanggal 25 Januari 2017 seluas ± 1.806,5 ha yang terdiri dari : a). Areal
Hutan Adat seluas ± 1.441,5 ha; dan b). Areal Non Hutan Adat seluas ±
365 ha. Areal Non Hutan Adat merupakan wilayah dan berfungsi sebagai
pemukiman maupun lahan pertanian.

Berdasarkan hasil telaah dan perhitungan luas secara digital dengan


mengacu pada Peta Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Sulawesi Tengah
(Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.869/Menhut-II/2014

66
tanggal 29 September 2014), Areal Hutan Adat dalam wilayah Adat MHA
Kulawi adalah seluas ± 1.439 Ha terdiri dari (1). Kawasan Hutan Konservasi
(HK) seluas ± 683 ha; (2). Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas
± 405 ha; dan (3). Areal Penggunaan Lain (APL-berhutan) seluas ± 351
ha. Areal dimaksud tidak tumpang tindih dengan perijinan/hak lain.

Berdasarkan hasil kesepakatan bersama, MHA Kulawi di Marena


menyatakan persetujuan bahwa areal yang akan ditetapkan menjadi
Hutan Adat Marena secara definitif adalah areal yang masuk dalam
Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di sisi Barat seluas ± 405 ha dan
Areal APL yang berhutan di sisi Timur dan Barat seluas keseluruhan ± 351
ha, sehingga luas hutan adat Marena yang dapat diproses lebih lanjut
seluas ± 756 ha.

Adapun areal hutan adat yang masuk dalam wilayah TN. Lore Lindu
seluas ± 647 ha, tetap diakui sebagai bagian wilayah adat MHA Kulawi
di Marena sebagaimana amanat SK Bupati Sigi No. 189-014 tahun 2017
tanggal 25 Januari 2017, dan pengelolaanya akan dilakukan bersama
dengan pihak Taman Nasional Lore Lindu.

Melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.


SK.1156/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.0/3/2017 tanggal 16 Maret 2017,
Hutan Adat “Marena” seluas ± 756 Ha di yg dikelola MHA Kulawi di Desa
Marena Kecamatan Kulawi Kabupaten. Sigi Provinsi Sulawesi Tengah
secara resmi ditetapkan menjadi Hutan Adat dan dicantumkan dalam
Peta Kawasan Hutan.

67
C. Hutan Adat Tawang Panyai di Kabupaten Sekadau Provinsi Kalimantan Barat
Komunitas MHA Tapang Sambas-Tapang Kemayau merupakan rumpun suku Dayak
C. Hutan Adat
De’sa. Tawang
Berdomisili PanyaiTapang
di Kampung di Kabupaten Sekadau
Sambas-Tapang Kemayau, Provinsi
Desa TapangKalimantan
Semadak
Barat(± 60 km dari pusat kota Sekadau). Jumlah penduduk Desa Tapang Semadak adalah 200
Kepala Keluarga, 709 Jiwa terdiri dari 379 Laki-laki dan 330 Perempuan. Mata pencaharian
Komunitas MHA Tapang Sambas-Tapang Kemayau merupakan rumpun
utama mereka adalah berladang (be-uma) lahan kering, bersawah (uma payak) dan menyadap
suku Dayak De’sa. Berdomisili di Kampung Tapang Sambas-Tapang 47

Kemayau, Desa Tapang Semadak (± 60 km dari pusat kota Sekadau).


Jumlah penduduk Desa Tapang Semadak adalah 200 Kepala Keluarga,

68
709 Jiwa terdiri dari 379 Laki-laki dan 330 Perempuan. Mata pencaharian
utama mereka adalah berladang (be-uma) lahan kering, bersawah (uma
payak) dan menyadap getah karet. Mereka menempati rumah tunggal
yang berderet mengikuti jalan raya kampung. Mereka masih memegang
tinggi rasa kekeluargaan dan mentaati adat istiadat yang berlaku secara
turun-temurun.

Rimak/hutan adat yang ada


di wilayah adat Kampung
Tapang Sambas-Tapang
Kemayau dinamakan
Rimak Adat Tawang Panyai
Rimak adat ini merupakan
milik bersama (komunal)
masyarakat. Hingga
sekarang rimak adat ini
relatif masih utuh pada
dataran tanah rendah
(basah dan kering). Di Rimak Adat
Tawang Panyai terdapat berbagai
jenis kayu berharga, binatang liar,
rotan, tanaman obat-obatan dan
lainnya. Banyak jenis yang bisa
dimanfaatkan di Rimak Adat ini,
seperti buah-buahan, rotan, kayu
untuk rumah pribadi dan sarana
umum, ikan, dan berbagai jenis
binatang liar. Selain itu, Rimak Adat
ini dapat dimanfaatkan sebagai
tempat wisata alam.

Masyarakat memanfaatkan Tawang


Panyai untuk melakukan perburuan
ikan rawa yaitu ikan lele rawa, ikan

69
haruan, belut, dan ular untuk dikonsumsi
langsung atau diolah menjadi produk
turunannya. Selain sebagai sumber bahan
makanan, di areal Tawang Panyai banyak
terdapat tumbuhan lokal yang dipercaya
masyarakat sebagai bahan obat-obatan
tradisional untuk menyembuhkan berbagai
jenis penyakit.

Untuk memanfaatkan isi rimak adat,


masyarakat sepakat membuat aturan
kampung yang mereka namakan Bepekat
Bat Ngetan Ngintu Tanah Ai’. Kesepakatan
ini untuk memperkuat Surat Keterangan Hutan Adat milik Kampung
Tapang Sambas-Tapang Kemayau yang dibuat oleh Kepala Dusun Tapang
Sambas-Tapang Kemayau (1994), telah disetujui oleh Kades Tapang
Semadak dan diketahui oleh Plt. Camat Sekadau Hilir.

Meskipun dikeramatkan, lokasi Tawang Panyai tidak sepenuhnya tertutup


bagi orang lain diluar MHA Tapang Sambas-Tapang Kemayau. Masyarakat
luar tetap boleh masuk dan melihat keindahan Tawang Panyai meskipun
dengan berbagai batasan-batasan yang telah ditentukan oleh pemuka
adat, contohnya adalah tidak menebang pohon-pohon, menangkap
burung dan hewan dalam hutan, mengambil rotan dan lain-lain..
Kedepannya, apabila telah ditetapkan menjadi Hutan Adat akan dikelola
dan dijadikan obyek wisata terbatas dan melengkapinya dengan fasilitas
canopy trail sehingga memudahkan akses jalan masuk bagi wisatawan
dan tidak merusak ekosistem rawa-rawa yang ada didalamnya. Obyek
wisata Tawang Panyai ini sangat potensial karena merupakan hutan hujan
alam yang masih sangat terjaga dan lokasinya dapat dijangkau dengan
mudah dari pusat kota Sekadau atau Kota Sintang.

Bayang-bayang keuntungan besar dari budidaya tanaman kelapa sawit


ternyata tidak menggoyahkan pendirian MHA Tapang Sambas-Tapang.

70
Masyarakat adat tersebut tetap bersikukuh untuk “mempertahankan
Tawang Panyai” areal yang secara turun temurun dipercaya sebagai
areal hutan adat seluas ± 40,5 hektar, namun semangat untuk
mempertahankan eksistensi komunitas adat beserta wilayah adatnya
dari gempuran arus konsumerisme dan pragmatisme yang demikian
deras terjadi disekitarnya, patut untuk diapresiasi secara positif

Hutan Adat Tawang Panyai terus diperjuangkan oleh masyarakat agar


mendapat pengajuan dan perlindungan hukum dari Pemerintah Daerah
Kabupaten Sekadau. Pada tahun 2012, masyarakat melakukan dialog
dengan Pemda Kabupaten Sekadau, menghasilkan berita acara tentang
kesepahaman pengelolaan sumber daya hutan adat di Desa Tapang
Semadak. Menindaklanjuti berita acara tersebut, Masyarakat Adat
Kampung Tapang Sambas-Tapang Kemayau sepakat untuk membuat
Peraturan Desa (Perdes) tentang Pengelolaan Rimak Adat Tawang Panyai.
Pemerintah Kabupaten Sekadau sangat antusias dan menyambut baik
inisitatif Kampung Tapang Sambas-Tapang Kemayau yang telah membuat
Perdes. Satu-satunya kampung di Kabupaten Sekadau yang memiliki
inisiatif dan berani membuat Perdes tentang hutan adat adalah Kampung
Tapang Sambas-Tapang Kemayau. Komitmen Pemkab Sekadau terus
mereka kawal hingga dikeluarkan Surat Keputusan Bupati atau Peraturan
Daerah Kabupaten Sekadau tentang pengakuan dan perlindungan atas
hutan adat mereka.

Tempelak merah sebagai obat demam Buah Maram dapat dijadikan manisan asam payak

71
Sebagai Masyarakat Hukum Adat, khususnya Dayak, Masyarakat Hukum
Adat di Kampung Tapang Sambas-Tapang Kemayau memiliki kelembagaan
dan aturan adat secara turun-temurun. Secara Pemerintahan Adat
berada di bawah Ketemenggungan Tapang Semadak. Dengan struktur
kelembagaan adat adalah Temenggung sebagai Pemangku Adat
Tertinggi, kemudian Menteri Adat yang dibantu Sekutu Adat sebagai
Pengurus Adat tiap-tiap kampung. Jabatan pengurus adat memiliki
tugas dan kewenangannya masing-masing. Uniknya, Pemerintahan
Ketemenggungan ini menguasai 3 suku, yakni Dayak De’sa, Dayak
Ketungau dan Melayu.

Proses penetapan Rimak Adat Tawang Panyai menjadi Hutan Adat


kemudian berlanjut saat Bupati Sekadau menerbitkan Surat Keputusan
No. 180/392/HK-A/2016 tanggal 28 Desember 2016 tentang Penetapan
Rimak Adat Tawang Panyai sebagai Hutan Adat di Wilayah Adat Tapang
Sambas-Tapang Kemayau di dalam wilayah administrasi Desa Tapang
Semedak Kecamatan Sekadau Hilir seluas ± 40,5 hektar. Sebagaimana
amanat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 32
Tahun 2015 tentang Hutan Hak, lokasi yang diusulkan atau ditetapkan
Bupati Sebagai Hutan Adat harus melalui proses verifikasi dan validasi.

Berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana tertuang dalam


Berita Acara No. 1/PKTHA/PHAPKL/PSL.1/2/2017 tanggal 23 Februari
2017, areal calon hutan adat Tawang Panyai seluas keseluruhan ± 40,5
Ha dinyatakan layak dan dilanjutkan prosesnya menjadi Areal Hutan Adat
secara definitif. Berdasarkan peta kawasan Hutan Provinsi Kalimantan
Barat skala 1:250.000 (Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan
No.SK.733/Menhut-II/2014 tanggal 2 September 2014), areal calon Hutan
Adat Tawang Panyai seluas ± 40,5 hektar merupakan Areal Penggunaan
Lain (APL) dan berada diluar kawasan hutan negara serta tidak tumpang
tindih dengan perizinan lain.

72
Melalui Keputusan Nomor SK.1152/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.0/3/2017
tanggal 16 Maret 2017, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
secara resmi menetapkan Pencantuman Hutan Adat “Tawang Panyai”
seluas ± 40,5 Ha di yang dikelola MHA Tapang Sambas-Tapang Kemayau
di Desa Tapang Semadak Kecamatan Sekadau Hilir Kabupaten Sekadau
Provinsi Kalimantan Barat dalam Peta Kawasan Hutan. Dengan terbitnya
keputusan dimaksud, tuntas sudah penantian MHA Tapang Sambas-
Tapang Kemayau untuk dapat mengelola hutan adat tawang panyai
secara sah sekaligus merupakan simbol kemenangan masyarakat adat
terhadap ekspansi dan hegemoni perkebunan sawit yang ada diwilayah
tersebut. Hutan Adat Tawang Panyai juga kemudian dinobatkan sebagai
Hutan Adat pertama yang diakui negara di pulau Kalimantan.

Ritual Penyambutan oleh MHA Tapang Sambas - Tapang Kemayau di Hutan Adat Tawang Panyai

73
D. Hutan Adat Wana Posangke
Masyarakat Hukum Adat Wana Posangke mendiami lembah dan bukit-bukit
D. Hutanaliran
sepanjang Adatsungai
Wana Posangke
Salato di bagian selatan Jazirah Timur Sulawesi. Secara administrasi,
wilayah adat Wana Posangke masuk dalam Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali
Masyarakat Hukum Adat Wana Posangke mendiami lembah dan bukit-
Utara. Pola permukiman yang berkelompok (komunal) hingga saat ini teridentifikasi ada
bukit sepanjang aliran sungai Salato di bagian selatan Jazirah Timur
tujuh satuan mukim (lipu) yakni : Saliasarao, Fyautiro, Sumbol, Vaturui, Ratobae, Pattuja
Sulawesi. Secara administrasi, wilayah adat Wana Posangke masuk dalam
dan Sankiyoe. Jumlah penduduk yang menghuni tujuh lipu di wilayah Wana Posangke
Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali Utara. Pola permukiman
berjumlah 108 Kepala Keluarga atau sekitar 461 jiwa. Aktifitas utama masyarakat Wana
yang berkelompok hingga saat ini teridentifikasi ada tujuh satuan mukim
Posangke adalah bertani dan berladang untuk memenuhi kebutuhan pangan dari usaha
(lipu) yakni : Saliasarao, Fyautiro, Sumbol, Vaturui, Ratobae, Pattuja dan
budidaya padi dan tanaman musim di ladang (navu) yang tersebar disekitar pemukiman (lipu)
51
74
Sankiyoe. Jumlah penduduk yang menghuni tujuh lipu di wilayah Wana
Posangke berjumlah 108 Kepala Keluarga atau sekitar 461 jiwa. Aktifitas
utama masyarakat Wana Posangke adalah bertani dan berladang untuk
memenuhi kebutuhan pangan dari usaha budidaya padi dan tanaman
musim di ladang (navu) yang tersebar disekitar pemukiman (lipu) dan
belukar bekas ladang (yopo). Dalam satuan mukim biasanya terdapat 5
(lima) hingga 13 rumah yang dihuni oleh orang-orang yang berkerabat
atau bersepupu, anak, sepupu, hingga cucu sepupu.

Batas-batas wilayah masyarakat hukum adat Tau Taa Wana Posangke


terdiri dari :
1) Sebelah Utara, berbatasan Bulu (gunung) Rapansulaimanu (Puncak
berbentuk seperti hati ayam) dengan ketinggian 2.173 meter dpl
yang merupakan batas alam dengan orang Taa Wana Untunu Ue;
2) Sebelah Timur, berbatasan bentang alam Pegunungan Tokala dengan
puncak tertinggi 2.505 meter dpl;
3) Sebelah Selatan, berbatasan Bulu (gunung) Taronggo (335 meter
dpl) dan;

Keindahan bukit dan hutan dalam wilayah adat Masyarakat Hukum Adat Wana Posangke di
Kabupaten Morowali Utara , Provinsi Sulawesi Tenggara.

75
4) Sebelah Barat, berbatasan anak sungai Tiworo yang juga merupakan
batas alam dengan orang Wana Kajupoli.

Keceriaan anak-anak Masyarakat Hukum Adat Wana Posangke di Kabupaten Morowali


Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Pada tataran perangkat pemimpin adat, pada satuan mukim


kepemimpinan adat, yang ditaati adalah Tau Tua Lipu dan Tau Tua Ada.
Tau Tua Lipu merupakan pemimpin adat yang berposisi sebagai Kepala
Lipu (Kepala Kampung) dan berfungsi mengurus berbagai persoalan sosial
kemasyarakatan, biasanya dipegang oleh orang tua yang menjadi perintis
berdirinya lipu. Jika tokoh Tau Tua Lipu meninggal, maka penggantinya
dipilih melalui Mogombo (musyawarah). Tau Tua Ada adalah pemimpin
adat yang berfungsi sebagai kepala hukum adat lipu dan berfungsi
menegakkan, memutuskan dan menetapkan sanksi adat, umumnya
dipegang oleh orang yang dituakan dan banyak mengetahui norma-norma
hukum adat. Worotana adalah seseorang yang memimpin pelaksanaan
adat pertanian untuk urusan penentuan lokasi lahan, pembukaan lahan,
biasanya dipegang sendiri oleh Tau Tua Lipu maupun seseorang yang
mengetahui adat pertanian. Tadulako merupakan pemimpin pelaksanaan

76
adat pertanian untuk urusan panen pertama hingga memasukkan padi
ke dalam lumbung (konda), Jabatan ini umumnya dipegang oleh seorang
perempuan yang dituakan. Tau Valia merupakan seorang yang memimpin
ritual pengobatan penyakit (mobolong), dengan syarat memiliki kekuatan
supra natural.

Masyarakat hukum adat Wana Posangke memiliki beberapa klasifikasi


pola tata guna lahan yaitu : 1) Kapali (hutan larangan)); 2) Pompalivu
(hutan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu); 3) Pangale (hutan primer
sebagai fungsi perlindungan mata air dan kesuburan tanah); 4) Navu
(areal ladang padi ladang dan tanaman jangka pendek); 5) Yopo (areal
bekas ladang)), 6) Lipu (wilayah permukiman dan pekarangan)

Status atau hak adat atas Pangale, Kapali, Pompalivu dan Yopo adalah
hak bersama (kepemilikan komunal), sedangkan hak individu hanya
berlaku pada Navu dan Wakanavu. Hak komunal maupun hak individu
ini tidak boleh terjadi pemindahan hak kepemilikan kepada orang lain,
baik melalui transaksi jual beli atau pemberian (hibah).

Proses penetapan Hutan Wana Posangke dilakukan berdasarkan


Peraturan Daerah Kabupaten Morowali nomor 13 Tahun 2012 tentang
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Wana.
Setelah dilakukan proses verifikasi dan validasi sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri LHK No. 32 tahun 2015 tentang hutan hak,
areal hutan adat Wana Posangke seluas ± 6.212 ha melalui SK. 6743/
Menlhk-PSKL/kum.1/12/2016 tanggal 28 Desember 2016 dan secara
resmi dicantumkan dalam peta kawasan hutan.

77
Melintasi sungai menuju
M a sya ra kat H u ku m
Adat Wana Posangke
di Kabupaten Morowali
Utara, Provinsi Sulawesi
Tenggara.

Melintasi padang ilalang menuju Masyarakat Hukum Adat


Wana Posangke di Kabupaten Morowali Utara, Provinsi
Sulawesi Tenggara.

Melintasi sungai menuju Masyarakat Perjalanan verifikasi melintasi sungai menuju Masyarakat
Hukum Adat Wana Posangke di Hukum Adat Wana Posangke di Kabupaten Morowali Utara,
Kabupaten Morowali Utara, Provinsi Provinsi Sulawesi Tenggara.
Sulawesi Tenggara.

78
E. Hutan Adat Kasepuhan Karang

Secara administratif Hutan Adat Kasepuhan Karang berada di Desa Jagaraksa

E. Hutan Adat
Kecamatan Kasepuhan
Muncang, Karang
Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Batasan wilayah adat Kasepuhan
Karang adalah :
SecaraUtara
administratif
: KampungHutan Adat Desa
Pondok Raksa Kasepuhan
Cikarang Karang berada di Desa
Jagaraksa Kecamatan
Selatan Muncang, Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
: Kampung Cilunglum-Cibinglu
Batasan wilayah adat Kasepuhan
Barat : Kampung Pasir Karang
Nangka Desa Pasiradalah :
Nangka Kecamatan Muncang

Utara : Kampung Pondok Raksa Desa Cikarang 54

Selatan : Kampung Cilunglum-Cibinglu


Barat : Kampung Pasir Nangka Desa Pasir Nangka Kecamatan Muncang
Timur : Kebun Campuran dan berbatasan dengan Desa Kumpay.

79
Secara geografis Kasepuhan Karang berada di sekitar kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak dan berada di jalur lintas Kecamatan
Sobang - Kecamatan Sajira - Kota Rangkasbitung. Masyarakat yang
bermukim di Kasepuhan Karang sebanyak 476 KK (data tahun 2014).
Diantara individu masyarakat masih masih terjalin kekerabatan antara
satu individu dengan yang lainnya karena merasa masih satu keturunan.
Pola kehidupan dan keseharian MHA Kasepuhan Karang mengikuti filosofi
“Salamet ku Peso, bersih ku Cai“ yang bermakna kesederhanaan terhadap
berbagai hal dalam kehidupan termasuk dalam pengelolaan Sumber
Daya Alam. Masyarakat di Kasepuhan Karang menyandarkan sumber
keberlangsungan penghidupan dari kemurahan alam yang merupakan
anugerah dari Tuhan yang mahakuasa.
Struktur kelembagaan adat pada masyarakat Kasepuhan Karang dipimpin
oleh Kokolot Karang yang berperan sebagai pimpinan adat, dan dalam
kesehariannya dibantu oleh :
a. Wakil Kokolot : Urusan dengan pihak luar;
b. Pangiwa : Urusan pamarentahan, ketertiban kampung;
c. Ronda Kokolot : Menjaga Imah Gede pada malam hari;
d. Amil : Urusan keagamaan;
e. Bengkong : Urusan khitanan dan kesehatan ;
f. Paraji/Ma Beurang : Membantu melahirkan dan sesudah
melahirkan;
g. Palawari : Mengatur, menyediakan makanan serta
melayani tamu pada saat ada acara syukuran
atau hajatan.
Dalam kehidupan sehari-hari dan pengelolaan sumberdaya alam
terdapat beberapa kearifan lokal seperti tradisi kegiatan bersawah hanya
diwajibkan 1 tahun satu kali. Melakukan penanaman yang kedua kali
masyarakat menyebutnya Ngebon (Berkebun) alasan penamaan yang
kedua adalah dianggap sebagai penghasilan tambahan sifatnya tidak
diwajibkan karena dianggap diluar kebiasaan kasepuhan.

80
Proses penetapan Hutan Adat Kasepuhan Karang dilakukan berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat
Kasepuhan. Setelah dilakukan proses verifikasi dan validasi sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri LHK No. 32 tahun 2015 tentang Hutan
Hak, areal hutan adat Kasepuhan Karang seluas ± 486 ha ditetapkan
sebagai Hutan Adat melalui SK. 6744/Menlhk-PSKL/kum.1/12/2016
tanggal 28 Desember 2016 dan secara resmi dicantumkan dalam peta
kawasan hutan.

F. Hutan Adat Marga Serampas


Masyarakat Hukum Adat Serampas saat ini hidup mendiami lima desa
administrasi yaitu, Desa Renah Alai, Rantau Kermas, Lubuk Mentilin,
Rantau Kermas dan Renah Kemumu. Depati Segindo Balak merupakan
nenek moyang masyarakat adat serampas. Sedangkan nama Serampas
diambil dari nama sungai yang ada di dekat Desa Tanjung Kasri.

Sebagai bagian dari marga Serampas, masyarakat Desa Rantau Kermas


dikepalai oleh seorang Pesirah yang bergelar Depati Sribumi Putih.
Dibawah Depati Sribumi Putih terdapat 3 depati yang berkedudukan
pada masing-masing desa dari Marga Serampas. Salah satunya adalah
Depati Karti Mudo Menggalo yang membawahi 3 Desa, Yaitu Rantau
kermas, Rantau Kermas, dan Lubuk Mentilin. Kedudukan Ketua Adat
berada dibawah Depati. Ketua Lembaga Adat dipilih oleh masyarakat.
Biasanya yang terpilih menjadi ketua lembaga adat adalah orang yang
pernah menjabat menjadi Kepala Desa.

Lembaga Adat bertugas mengatur hal-hal yang bersifat dengan adat dan
kebiasaan, misalnya dalam hal mengatur upacara adat dan perkawinan,
serta sanksi-sanksi dari pelanggaran terhadap adat. Hubungan antara
lembaga pemerintahan desa dengan lembaga adat berjalan beriringan
dan bersifat setara. Biasanya setiap persoalan ataupun konflik yang terjadi
dalam desa diselesaikan secara adat terlebih dahulu. Jika persoalan tidak
dapat diselesaikan secara adat, maka baru diselesaikan secara hukum formal.

81
Wilayah Adat Serampas tertuang dalam tambo induk : “Dari Tanjung Kasri, ke utara
Perontak Pangkalan Jambu ke timur Durian Batakok Rajo menghilir Batang Kemsi sampai
ke Rantau Gedang, ke selatan Danau Serampas Sungai Tenang, ke Sungai Teramang Batu
Gombak Sarang Katako mendaki ke barat ke Sungai Impu menghilir ke Batang Bantal terus
Wilayah Adat Serampas tertuang dalam tambo induk : “Dari Tanjung
ke Muaro Solang Berlantak Besi daerah muko-muko, Tapan langsung ke Bukit Atap Ijuk
Kasri,
balik ke
lagiutara Perontak
ke Tanjung Kasri” Pangkalan Jambu ke timur Durian Batakok Rajo
menghilir Batang Kemsi sampai ke Rantau Gedang, ke selatan Danau
Serampas Sungai Tenang, ke Sungai Teramang Batu Gombak Sarang
Katako mendaki ke barat ke Sungai Impu menghilir ke Batang Bantal terus 57

ke Muaro Solang Berlantak Besi daerah muko-muko, Tapan langsung ke


Bukit Atap Ijuk balik lagi ke Tanjung Kasri”

82
Adapun batas wilayah adat Serampas meliputi: Sebelah timur berbatasan
dengan Pematang Sungai Manden, lahan persawahan dan perladangan
warga Rantau Kermas; sebelah barat berbatasan dengan sungai Limo
Ruso, dan Sei Mengkeruh; Sebelah utara berbatasan dengan TNKS dan
perladangan masyarakat; Sebelah selatan berbatasan dengan TNKS dan
sawah. Sebahagian wilayah adat Serampas masuk dalam kawasan Taman
Nasional Kerinci Seblat, yaitu seluas 24 Ha, dan di luar kawasan (Areal
Penggunaan Lain/APL) seluas 103 Ha.

Hutan Adat Serampas memiliki fungsi untuk: (1) Meningkatkan


kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan; (2) Mengantisipasi
pembukaan hutan oleh masyarakat dan mencegah kebakaran hutan;
(3) Sebagai sumber air untuk mengairi sawah, konsumsi penduduk dan
pembangkit listrik tenaga mikro hidro (kapasitas 50 MW); (4) Mencegah
bahaya bajir dan longsor; (5) Melindungi tumbuhan dan hewan sebagai
sumber plasma nutfah; (6) Sumber bahan ramuan dan obat-obatan
tradisional; (7) Untuk pariwisata dan penelitian, (8) Penyangga taman
nasional.

Ketentuan dalam pengelolaan hutan dalam Masyarakat Hukum Adat


Marga Serampas :
a. Masyarakat dilarang membuka lahan pertanian di daerah yang
mempunyai kelerengan yang sangat curam, konsep curam dalam
masyarakat Serampas kelerengan curam yang berada disekitar areal
sungai.
b. Masyarakat dilarang membuka lahan pertanian di hulu air/sungai.
Masyarakat Serampas percaya jika membuka lahan pertanian di hulu
air dapat menyebabkan banjir.
c. Masyarakat dilarang membuka lahan pertanian di kawasan padang
batu, karena padang batu dianggap lahan yang kurang produktif.
d. Masyarakat dilarang memperjual belikan kayu-kayu yang diambil
dari hutan, hanya boleh untuk dikonsumsi sendiri dan untuk kayu
bakar.

83
e. Masyarakat diperbolehkan menebang kayu, kecuali cempedak,
manggis, durian, petai dan pohon seri, ini dikarenakan tanaman
tersebut peninggalan nenek moyang masyarakat adat serampas.

Setelah melalui serangkaian proses, maka Penetapan Pencantuman


Hutan Adat Marga Sarampas oleh Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan No. SK.6741/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016 Tanggal 28
Desember 2016 dan secara resmi dicantumkan dalam peta kawasan
hutan.

84
G. Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Bukit Padun Gelanggang
G. Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Bukit Padun Gelanggang
Hutan adat bukit sembahyang dan bukit padun gelanggang secara administratif
terletak
Hutan adat
di desa air Bukit Sembahyang
terjun Kecamatan dan BukitKerinci
Siluak Kabupaten Padun Gelanggang
Provinsi secara
Jambi dengan luas +
administratif terletak di desa air terjun Kecamatan Siluak Kabupaten
39 Ha dan dikelola oleh MHA Desa Air Terjun yang beranggotakan sekitar 40 kepala
Kerinci Provinsi Jambi dengan luas + 39 Ha dan dikelola oleh MHA Desa
keluarga yang seluruhnya bermatapencaharian sebagai petani.
Air Terjun yang beranggotakan sekitar 40 kepala keluarga yang seluruhnya
Areal Hutan Adat tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai hutan lindung untuk
bermatapencaharian sebagai petani.
pemanfaatan bambu dan hasil hutan non kayu seperti pohon aren dan pohon buah-buahan.. Di
85
sebelah utara dibatasi dengan kebun masyarakat yang jaraknya + 500 meter setelah kebun
masyarakat berbatasan lagi dengan desa Plakman, disebelah selatan dibatasi dengan kebun
masyarakat dan sungai, di sebelah timur dibatasi dengan kebun masyarakat dan pemukiman
Areal Hutan Adat tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai hutan
lindung untuk pemanfaatan bambu dan hasil hutan non kayu seperti
pohon aren dan pohon buah-buahan.. Di sebelah utara dibatasi dengan
kebun masyarakat yang jaraknya - 500 meter setelah kebun masyarakat
berbatasan lagi dengan desa Plakman; disebelah selatan dibatasi dengan
kebun masyarakat dan sungai; di sebelah timur dibatasi dengan kebun
masyarakat dan pemukiman dusun 3 (100 meter ke arah timur berbatasan
dengan kantor pemerintah desa) dan sebelah barat berbatasan dengan
kebun masyarakat dengan tanda semak belukar dari batas terluar hutan
adat berjarak 5-6 km ke areal Taman Nasional Kerinci Selebat.

Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Padun Gelanggang dibagi menjadi


dua areal, dimana bagian utara sungai air terjun adalah areal Bukit
Sembahyang sedangkan bagian selatan sungai air terjun adalah areal
padun gelanggang. Di dalam areal Hutan Adat terdapat sumber air dari
aliran sungai Air Terjun yang berhulu dari Gunung Terasi. Sumber air
tersebut digunakan oleh warga untuk kebutuhan sehari-hari air konsumsi
dan keperluan rumah tangga, dan kebutuhan air di sekitar sawah yang
berlokasi di luar kawasan hutan adat.

Masyarakat adat setempat menyakini bahwa “Bukit Sembahyang”


adalah kawasan yang dulunya terdapat sebuah batu tempat nenek
moyang mereka melakukan ibadah sembahyang (shalat). Istilah lain
yang masyarakat percaya bahwa “Padun Gelanggang” berarti areal yang
dulunya adalah gelanggang (tempat) sabung ayam (padun). Areal Hutan
Adat Bukit Sembahyang dan Padun Gelanggang dulunya dikenal sebagai
areal “Ladang Tinggi” dalam bahasa sehari-hari mereka yang dulunya
banyak terdapat tanaman tinggi berupa pohon kapas.

Beberapa masyarakat adat lainnya menyebutkan areal Hutan Adat mereka


dulunya adalah ‘hutan larangan’ tidak boleh dimasuki dan memiliki
kemiringan lereng 50-60 derajat. Terdapat juga sebuah cerita rakyat yang
meyakini bahwa nenek moyang orang Desa Air Terjun berawal dari dua
orang yang pertama kali menginjakkan kaki di Bukit Sembahyang, yakni:

86
(1) Tengku Imam Majenin; (2) Tengku Siak Tangen. Masyarakat meyakini
bahwa kedua orang tersebut berasal dari Minangkabau wilayah Pagar
Uyung yang melakukan perjalanan ke Danau Kerinci. Namun, di tengah
perjalanan dua orang tersebut hanya sampai di wilayah Gunung Kerinci,
dan kemudian menghilang di areal Bukit Sembahyang.

Dalam pengaturan tata kehidupan masyarakat dalam pengelolaan


hutannya diatur oleh 3 Kalbu (garis keturunan) diantaranya : (1). Luhah
Patih, (2). Rio Bayang, (3). Manti Agung. Ketiga kalbu tersebut dipimpin
masing-masing ninik-mamak. Pemilihan ketua adat sendiri harus berasal
dari Depati/orang adat. Secara langsung masyarakat menyepakati, ketua
adat memainkan peran sekaligus sebagai “Ketua Hutan Adat”. Mereka
memiliki aturan bahwa hanya orang adat Desa Air Terjun yang boleh
mengambil komoditas bambu di dalam areal hutan adat, namun dengan
permohonan izin desa dan hanya dibatasi sebanyak 7 (tujuh) batang
bambu saja.

Pada tahun 2011 di terbitkan Keputusan Bupati Kerinci Nomor 522.21/


Kep.435.2011 tentang Penetapan Pengukuhan Pengelolaan Hutan
Hak Adat Bukit Sembahyang dan Padun Gelanggang Desa Air Terjun
Kecamatan Siulak Kabupaten Kerinci Tanggal 15 November 2011.
Berbekal dari SK Bupati tersebut masyarakat hukum adat mengajukan
permohonan penetapan hutan adat pada tanggal 3 November 2015, dan
ditanggapi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan
diturunkannya Tim verifikasi dan validasi pada tanggal 11 November
2015. Tahun 2016 ditetapkan hutan adat oleh Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan dengan no. SK. 6737/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016
dan diserahkan oleh Presiden Republik Indonesia di Istana Negara pada
tanggal 30 Desember 2016.

87
tanggal 11 November 2015. Tahun 2016 ditetapkan hutan adat oleh Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan dengan no. SK. 6737/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016 dan
diserahkan oleh Presiden Republik Indonesia di Istana Negara pada tanggal 30 Desember
2016.

61

88
H. Hutan Adat Bukit Tinggai
Hutan Adat Bukit Tinggai terletak di Desa Sungai Deras Kecamatan Air
Hangat Timur Kabupaten Kerinci dengan luas + 41 Ha dikelola oleh MHA
Desa Sungai Deras. Sistem pengelolaan Hutan Hak Adat Bukit Tinggai
melibatkan seluruh komponen masyarakat, dengan membentuk lembaga
pengurus Hutan Hak Adat yang disebut Lembaga Perwalian Kelompok
Kerja Hutan Hak Adat. Hutan Adat Bukit Tinggai ditanami beberapa jenis
pohon seperti Kayu Embun, Beneng Merah dan Meranti. Sebelah utara
hutan adat Bukit Tinggai berbatasan dengan Desa Pungut, sebelah selatan
dengan Desa Sungai Deras, sebelah timur dengan Desa Abu dan Desa
Pungut Hilir, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Desa Sungan
Tutung.

Dalam menjaga kelestarian hutan adatnya, masyarakat membagi dengan


tiga kegiatan diantaranya :
1. Pengawasan, dilakukan pengawasan oleh masyarakat terhadap
praktek dan potensi illegal loging di kawasan yang sudah ditetapkan
sebagai Hutan Hak Adat

Tanda keterangan hutan adat Bukit Tinggai di pitu masuk hutan adat.

89
2. Pemeliharaan Tanaman, tumbuhan dan tanaman yang sudah ada di
kawasan tersebut tetap dijaga dan dipelihara oleh masyarakat adat,
salah satunya adalah menjaga dari potensi kebakaran
3. Pengajian Adat, pengajian adat dilakukan dua minggu sekali. Dalam
pengajian adat ini juga dibahas mengenai permasalahan hukum adat
yang berlaku, keadaan atau kondisi hutan adat terkini dan hal hal
lain yang sedang berkembang.

Pada tahun 2011 Bupati Kerinci menerbitkan Keputusan Bupati


Kerinci Nomor 522.21/Kep.437.2011 tentang Penetapan Pengukuhan
Pengelolaan Hutan Hak Adat Bukit Tinggai Desa Sungai Deras Kecamatan
Air Hangat Timur Kabupaten Kerinci Tahun 2011. Ini juga diperkuat
dengan ketentuan Hukum Adat Desa Sungai Deras tahun 2014 dari
Lembaga Adat Desa Sungai Deras.

Berbekal Surat Keputusan Bupati Kerinci dimaksud, pada tanggal 3


November 2015 masyarakat hukum adat Bukit Tinggai mengajukan
permohonan penetapan hutan adat ke Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan. Usulan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan
kegiatan verifikasi dan validasi oleh Tim KLHK pada tanggal 16 November
2016. Akhirnya melalui keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor SK.6738/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016 tanggal
28 desember 2016, areal hutan adat Bukit Tinggai seluas + 41 hektar
ditetapkan menjadi Hutan Adat dan secara resmi dicantumkan dalam
peta kawasan hutan. Surat Keputusan Penetapan Hutan Adat tersebut
diserahkan secara langsung oleh Presiden RI di Istana Negara pada tanggal
30 Desember 2016.

90
diserahkan secara langsung oleh Presiden RI di Istana Negara pada tanggal 30 Desember
2016.

I. Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan

Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan terletak di Desa Kemantan Kebalai, Desa
Kemantan Tinggi, Desa Kemantan Darat, Desa Kemantan Agung, Desa Kemantan Mudik,
Desa Kemantan Raya, Kecamatan Air Hangat Timur, Kabupaten Kerinci seluas + 452 91

Hektar, dan dikelola oleh MHA Kemantan. Pada areal hutan adat tersebut terdapat empat
I. Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan
Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan terletak dalam wilayah tujuh desa, yaitu
Desa Kemantan Kebalai, Desa Kemantan Tinggi, Desa Kemantan Darat,
Desa Kemantan Agung, Desa Kemantan Mudik, Desa Kemantan Raya,
Kecamatan Air Hangat Timur, Kabupaten Kerinci seluas + 452 Hektar, dan
dikelola oleh MHA Kemantan. Pada areal hutan adat tersebut terdapat
empat aliran Sungai Besar diantaranya Sungai Delas, Sungai Ampuh,
Sungai Batu Bajula, Sungai Batu Asoh. Hutan adat tersebut berbatasan
di sebelah Utara dengan Hutan Adat Pendung, sebelah Selatan dengan
Hutan Masyarakat Air Hangat, sebelah Timur dengan Taman Nasional
Kerinci Seblat dan sebelah Barat dengan wilayah pemukiman Desa
Kemantan Kebalai, Kemantan Tinggi, Kemantan Darat, Kemantan Agung,
Kemantan Mudik, dan Kemantan Raya.

Kondisi tutupan lahan di areal Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan antara
lain terdapat vegetasi Medang, Mambung, Kemiri, Kesigi/Pinus, Medang
Tanduk, Empening, Petai, Saliso, Surian, Cempedak, Semantung, Jengkol,
Durian. Sedang satwa liar di dominasi Monyet/kera, Burung murai batu,

Hutan Adat Tigo Luhah kemantan di kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi

92
burung jalak dan lebih dari 40 jenis burung, Babi Hutan, Ayam Hutan,
Macan, Tutul (Imo Buloh), Kijang, Kukang, Siamang, Landak, Beruang,
Kancil, Harimau, Ular.

Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan memiliki 3 zona pengelolaan hutan


diantaranya :
1. Zona Merah (seluas 40%) : zona yang berfungsi sebagai hutan
konservasi. yang tidak dikelola sama sekali dan tidak boleh dibuka
sebagai areal pemanfaatan hasil hutan. Tanaman yang paling khas
adalah Kayu Empening, Kayu Kertangbelalang, Kayu Selusuk, Kayu
Medang Hijau, dan Kayu Medang Kuning
2. Zona Kuning (seluas 40%) : zona yang berfungsi sebagai hutan
lindung. Berupa hutan sekunder dan semak belukar yang merupakan
bekas perladangan rakyat dan tidak boleh dipakai kembali. Zona
Kuning memiliki tanaman kayu yang khas yakni: kayu asap ketaji
(sejenis pohon beringin), Tanaman sejenis pinus, dan kayu embun
3. Zona Hijau (20%) : zona yang berfungsi sebagai hutan produksi.
Berupa kebun campuran dan ladang. Zona ini merupakan wilayah
yang dapat dikelola oleh masyarakat Kemantan setempat untuk
budidaya pertanian dengan prinsip agroforestry yaitu tanaman
campuran pertanian dan tanaman kayu-kayuan berdaur panjang

Masyarakat Hukum Adat Kemantan berdomisili di 6 desa diantaranya


Desa Kemantan Kebalai,Desa Kemantan Dinggai, Desa Kemantan Darat,
Desa Kemantan Agung, Desa Kemantan Mudik dan Desa Kemantan Raya
Kecamatan Air Hangat Timur. Sedangkan komunitas masyarakat adat
di kelompokan menjadi masyarakat Desa Pendung (Utara), masyarakat
Desa Air Hangat (Selatan), masyarakat Desa Kemantan (Barat) dan Taman
Nasional Kerinci Seblat (Timur). Asal mula orang Kemantan “Tigo Luhah”
berawal dari seorang yang disebut Puti Dayang Romayah. Inilah yang
menjadi cikal bakal orang Kemantan di areal Hutan Adat sekarang. “Tigo
Luhah” sendiri adalah tiga garis keturunan tertinggi di masyarakat Kerinci.

93
Di dalam Tigo Luhah, sesuai dengan penamaannya, memiliki tigo (tiga)
petinggi adat yang terdiri dari: Depati Mudo, Rajo Mudo, dan Seko Bajo.
Tiga petinggi adat tersebut terdapat di dua desa yakni Kemantan Darat
dan Kemantan Kebalai yang menjadi desa paling tua di areal Kemantan
sebelum pemekaran wilayah beberapa desa. Areal Desa Kemantan Darat
kini telah bermekar ke dalam empat desa, yakni: Desa Kemantan Darat,
Desa Kemantan Tinggi, Desa Kemantan Agung, dan Desa Kemantan
Mudik. Pada sisi lain Desa Kemantan Kebalai telah bermekar menjadi
dua wilayah: Kemantan Kebalai dan Kemantan Raya.

Melalui Surat Keputusan Bupati Kerinci Nomor. 522.21/Kep. 373/2013,


areal Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan dikukuhkan sebagai salah
satu “Hutan Adat” di Kabupaten Kerinci. Berdasarkan surat keputusan
Bupati Kerinci dimaksud, kemudian MHA Kemantan mengusulkan
penetapan hutan adat kepeda Menteri LHK. Usulan dimaksud kemudian
ditindaklanjuti dengan verifikasi dan validasi bersama stakeholder
terkait pada tanggal 16 November 2016. Melalui keputusan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan No. SK. 6740/MENLHK-PSKL/
Kum.1/12/2016 tanggal 28 Desember 2016 Hutan Adat Tigo Luhah
Kemantan ditetapkan secara definitif menjadi Hutan Adat dan secara
resmi dicantumkan dalam peta kawasan hutan. Surat Keputusan Menteri
LHK dan diserahkan secara langsung oleh Presiden Republik Indonesia
di Istana Negara pada tanggal 30 Desember 2016.

94
J. Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam

Hutan Adat Tigo Luhah Permenti yang Berenam terletak di desa Pungut Mudik RT 2
Kecamatan Air Hangat Timur Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi dengan luasan + 276 Ha.

66
95
J. Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam
Hutan Adat Tigo Luhah Permenti yang Berenam terletak di desa Pungut
Mudik RT 2 Kecamatan Air Hangat Timur Kabupaten Kerinci Provinsi
Jambi dengan luasan + 276 Ha. Hutan Adat Tigo Luhah Permenti yang
Berenam dikelola oleh MHA Tigo Luhah Permenti yang Berenam.

Berdasarkan cerita yang diperoleh dari masyarakat, nenek moyang orang


Pungut Mudik pernah membuka hutan di wilayah kaki bukit Langeh
dan masyarakat mengenal wilayah tersebut dengan nama Hutan Ateh
Dusun. Selanjutnya setelah satu kali dibuka mereka pindah ke area lain
yang lebih subur, lalu kemudian mulai dibuka hutan dipinggir desa. Sejak
mulai menetapnya masyarakat di wilayah ini telah dimanfaatkan sebagai
sumber air untuk keperluan hidup dan mengairi persawahan. Dikarenakan
kawasan ini kurang baik untuk lahan budidaya, maka masyarakat tidak
membuka hutan Ateh Dusun. Tahun 1960-an masyarakat mulai membuka
lahan untuk berkebun kearah Renah Pemetik. Seiring waktu berjalan,
masyarakat mulai menyadari bahwa perlindungan terhadap hutan perlu
dilakukan karena akan menimbulkan bencana alam.

Pada masyarakat desa Pungut Mudik adat istiadat yang dijalankan berasal
dari suku :
a. SUKU RIO
b. MANTI AGUNG
c. PATIH
Di desa Pungut Mudik ada juga MANGKU (pemangku adat), fungsi dari
Mangku ini adalah bisa menggantikan peran dari Rio, Manti Agung, Patih.
Misalnya dalam suatu perundingan ada yang tidak sempat hadir atau
berhalangan dari salah satu suku maka perannya bisa di gantikan oleh
Mangku tersebut. Mangku ini sendiri di pilih oleh anak butino (wanita
adat Desa Pungut Mudik), Mangku yang dipilih oleh anak butino dengan
sistem tunjuk dan yang mengerti tentang adat Pungut Mudik. Bahasa
yang di gunakan adalah bahasa kerinci asli yang sudah turun temurun

96
dari nenek moyang. Upacara adat masih sering dijumpai pada saat
pelaksanaan acara pernikahan, perkawinan, turun mandi (kayie) dan
acara adat lainnya seperti kenduri sudah tuai, kenduri sko. Untuk kenduri
sudah tuai dan kenduri sko dilaksanakan 5 tahun sekali

Di desa Pungut Mudik ini kepala adat di pilih dengan cara diadakan rapat
tigo luhah dan dipilih dua orang calon yang dituakan serta mengerti
tentang aturan adat yang berlaku. Kemudian dipilih berdasarkan suara
terbanyak yang berhak menjabat sebagai Ketua Adat, dengan catatan
untuk ketua adat harus dari Depati. Depati itu sendiri bisa dari suku Rio,
Manti Agung, dan Patih dipilih atau diangkat oleh anak butino yang sesuai
dengan kemampuannya dan mengerti tentang adat desa Pungut Mudik.
Tugas dari kepala adat adalah membantu untuk penyelesaian konflik
di masyarakat, misalnya perkelahian atau perselisihan, hal mengenai
warisan (kebun atau tanah) dan juga biasanya diminta oleh masyarakat
untuk menjadi pimpinan upacara-upacara adat.

Potensi yang dimiliki pada hutan adat Tigo Luhah Permenti yang Berenam
terdiri dari jenis kayu dominan: Kayu Pandan, Kayu Sigi, Pinus, Kayu
Meranti dan Kayu Embun. Pengelolaan hutan adat juga dimuat dalam
Peraturan Desa (Perdes) Desa Pungut Mudik Nomor 02 tahun 2014
tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Adat Tigo Luhah Permenti
yang Berenam Desa Pungut Mudik. Hutan Adat ini dimanfaatkan untuk
2 fungsi yaitu fungsi lindung dan fungsi adat, dalam Peraturan Desa ini
juga sudah dimuat bagaimana aturan pemanfaatan dalam hutan dan
juga sanksi bagi pelanggar atau yang tidak melaksanakan aturan adat
dalam pemanfaatan hutan.

Proses penetapan pencantuman hutan adat tigo luhah permenti


berdasarkan pada:
1. Surat Keputusan Kepala Desa Pungut Mudik Nomor 03/HA Tahun
2008 tentang Penetapan Kelompok Pengelola Hutan Adat.
2. Keputusan Kepala Desa Pungut Mudik Nomor 113/2035/PM/1999
Tentang Penetapan Hutan Sisa yang Terletak di Samping Sebelah

97
Barat Desa Pungut Mudik Menjadi Kawasan Hutan Adat Desa Pungut
Mudik. Peraturan Desa Nomor 02 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
dan Pemanfaatan Hutan Adat Tigo Luhah Permenti yang Berenam
Desa Pungut Mudik tanggal 25 Juli 2013.
3. Keputusan Bupati Kerinci Nomor 522.21/Kep.181.2013 tentang
Penetapan Pengukuhan Pengelolaan Hutan Hak Adat Tigo Luhah
Permenti Yang Berenam Pungut Mudik Kecamatan Air Hangat Timur
Tahun 2013.

Berdasarkan 3 dokumen tersebut, MHA Kemantan (Melayu Kerinci)


kemudian mengajukan permohonan penetapan hutan adat dari
masyarakat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam melalui surat
permohonan penetapan hutan adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam
pada tanggal 3 November 2015 kepada Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Usulan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Verifikasi
dan Validasi Hutan Hak oleh pada tanggal 13 November 2016. Melalui
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK.6739/
MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016 tanggal 28 Desember 2016 Hutan Adat
Tigo Luhah Permenti ditetapkan menjadi Hutan Adat dan secara resmi
dicantumkan dalam peta kawasan hutan.

98
K. Pencadangan Hutan Adat Pandumaan Sipatuhuta di Kabupaten Humbang
Hasundutan

Di desa Pandumaan dan Sipituhuta terdapat Tombak Haminjon (Hutan Kemenyan)


yang dijadikan Masyarakat Hukum Adat Pandumaan Sipituhuta sebagai Hutan Adat. Tombak 99
69
K. Pencadangan Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta di Kabupaten
Humbang Hasundutan
Di desa Pandumaan dan Sipituhuta terdapat Tombak Haminjon (Hutan
Kemenyan) yang dijadikan Masyarakat Hukum Adat Pandumaan
Sipituhuta sebagai Hutan Adat. Tombak Haminjon ini terdiri dari 7 (tujuh)
tombak (hutan) yang dikelola oleh masyarakat Batak Toba Pandumaan-
Sipituhuta, yaitu Dolok Ginjang, Lobang Nabagas, Sipiturura, Aek
Simonggo dan Aek Sibundong, Aek Sulpi, Aek Sitangi dan Dologna Barat.

Selain jenis kayu rimba dan kemenyan, terdapat juga tanaman perdu
dan tanaman lain yang bermanfaat seperti rotan, sihirput, bayon, pege
tombak, jarango, dan lain lain. Serta beberapa jenis fauna yaitu burung,
rusa, kancil, kucing hutan, beruang, monyet, kera, trenggiling, babi hutan
dan lain lain.

Hampir seluruh waktu mereka, berada dan hidup di tengah hutan


kemenyan. Dalam seminggu, 4-5 hari mereka tinggal di sana, pulang ke
rumah membawa hasil getah kemenyan untuk dijual. Hasilnya cukup
untuk keperluan makan dan biaya anak-anak sekolah. Jika dulu kemenyan
masih bisa mereka jadikan sebagai tabungan, tidak langsung dijual seperti
sekarang. Sebelumnya mereka baru menjual ketika musim sekolah tiba,
untuk keperluan pesta, dan ketika menjelang akhir tahun. Jadilah akhir
tahun yang menggembirakan bagi keluarga-keluarga petani kemenyan
tersebut.

Bagi masyarakat, kemenyan sangatlah berharga. Sehingga sampai saat


ini tidak pernah terjadi perselisihan diantara mereka, termasuk dengan
pemilik kemenyan dari desa lainnya menyangkut hutan kemenyan
tersebut. Semua diatur dengan kebiasaan atau hukum adat yang mereka
akui dan taati, sehingga pengelolaannya pun tertata dengan baik.

Tidak ada sistem jual-beli dalam hal kepemilikan tombak haminjon


tersebut. Mereka hanya mengenal sistem dondon (gadai). Seperti
disebutkan di atas, marga-marga yang baru datang juga diberi kesempatan

100
untuk mengelola kemenyan sebagai sumber penghidupan. Namun tetap
tidak berhak atau tidak boleh menjualnya. Jika sekarang ada istilah jual-
beli karena keperluan biaya yang sangat penting dan mendesak, itupun
dilakukan oleh sesama marga yang memiliki hak milik di sana. Dan jika
kemudian yang menjual tersebut sudah memiliki uang, maka bisa dibeli
kembali (mengembalikan uang yang membeli tersebut).

Mereka juga masih memegang teguh petuah yang diwariskan leluhur


mereka. Mereka masih memegang prinsip,”Jonjong adat dang jadi
tabaon, peak uhum dang jadi langkaon, dang adong naboi mansoadahon
uhum na binaen ni oppungta najolo.” Artinya hukum adat dibuat untuk
ditegakkan dan dipatuhi, tidak boleh ada yang melangkahi dan tidak
mengakui keberadaan hukum adat yang dibuat para leluhur mereka.

Petuah lainnya yang masih tetap mereka pegang adalah,”Parbue ni bosta


naso marlauk bota, naingot di hata naso lupa di tona.” Artinya bahwa
leluhur mereka sudah berpesan agar keturunannya selalu mengingat
pesan, petuah, dan nasehat serta tidak melupakan sejarah. Termasuk
dalam mengelola dan merawat hutan kemenyan tersebut.

Kearifan lokal menjadi modal penting dalam pengelolaan sumber daya


alam dan pelestarian lingkungan, diantaranya yaitu
1. Hutan kemenyaan adalah bagian dari kelangsungan hidup
masyarakat Pollung sebagai bona pinasa/ bona pasogit (kampung
asal) untuk Toga Marbun, yang harus dijaga kelestariannya karena
kaya akan kekayaan sumber daya hayati atau sumberdaya genetik.
2. Hutan kemenyan dikelola secara arif dengan memanfaatkannya dari
Hasil Hutan Bukan kayu (HHBK), keberadaannya sebagai hutan, dan
menjadi sumber pencaharian utama masyarakat Kecamatan Pollung.
3. Penataan ruang tradisional: hutan yang ditumbuhi sejenis rotan
lamosik sebagai pertanda bahwa hutan tersebut milik Pandumaan
dan Sipituhuta. Sedangkan Hatubuan hotang pulogos atau hutan
yang ditumbuhi sejenis rotan pulogos tandanya hutan tersebut milik
desa Simataniari, Kecamatan Parlilitan

101
4. Adanya tradisi mangaluak dan manige yaitu penggunaan tata cara
tradisional dalam pemanfaatan dan pelestarian hutan kemenyaan
Pada tahun 1992, Hutan Adat “Tombak Haminjon” masuk dalam kawasan
HPHTI melalui SK Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992 tanggal 1
Juni 1992, dan sejak bulan Juni 2009 PT. Toba Pulp Lestari (TPL) yang
merupakan pemilik izin konsesi HPHTI (SK Menhut No. SK.351/Menhut-
II/2004) melakukan pembukaan hutan adat “Tombak Haminjon” untuk
ditanami pohon eucalyptus. Sejak saat itu terjadi konflik antara PT. TPL
dengan masyarakat desa Pandumaan-Sipituhuta.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 497/Kpts-II/1992
mewajibkan pemegang ijin IUPHHK untuk melakukan penataan batas
seluruh areal kerja, namun belum dilakukan sehingga timbul konflik.
Upaya-upaya yang ditempuh dalam rangka penyelesaian konflik antara
lain :
1) Tombak Haminjon (hutan kemenyan) yang berada di area kerja
PT Toba Pulp Lestari Tbk memiliki kekhususan dibanding kawasan
hutan lainnya karena adanya sumber daya genetik, kemenyaan
sehingga harus dikelola secara arif dengan memanfaatkannya dari
hasil hutan bukan kayu (HHBK), serta merupakan habitat berbagai
satwa dilindungi yang keberadaannya di sekitar barat daya Danau
Toba. Oleh karena itu, areal tersebut ditetapkan sebagai kawasan
lindung dengan tujuan khusus.
2) Mendorong Pemda dan DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan
untuk mengakui keberadaan masyarakat Desa Pandumaan dan
Sipituhuta sebagai Masyarakat Hukum Adat melalui Perda, sebagai
dasar pengakuan hutan adat “Tombak Haminjon” Pandumaan-
Sipituhuta.
3) Berdasarkan hasil verifikasi lapangan, serta untuk memenuhi
rasa keadilan dan sesuai dengan amanat Pasal 18b UUD 1945,
Putusan MK 35/PUU-X/2012, rekomendasi Pansus DPRD Kabupaten
Humbang Hasundutan, Rekomendasi DPRD Provinsi Sumatera Utara,
Rekomendasi dari Dewan Kehutanan Nasional (DKN), Rekomendasi
Komnas HAM, dan surat Bupati Humbang Hasundutan, maka

102
disarankan untuk merevisi (addendum) SK Menhut No. SK.351/
Menhut-II/2004 (area kerja PT Toba Pulp Lestari Tbk) dengan
mengeluarkan hutan kemenyan seluas 5.172 ha dari area kerja
PT Toba Pulp Lestari Tbk dan menetapkannya sementara sebagai
kawasan lindung dengan tujuan khusus menunggu pengakuan
masyarakat adat dengan Perda Kabupaten Humbang Hasundutan
untuk pengakuan hutan adat.
4) PT Toba Pulp Lestari Tbk diminta untuk menghentikan penebangan
pohon kemenyan dan kayu di area kerja yang bermasalah khususnya
tombak haminjon serta mengizinkan masyarakat Pandumaan
Sipituhuta melakukan kegiatan pengelolaan hutan kemenyan
sebagaimana biasanya dan diatur dalam nota kesepakatan.
5) Sambil menunggu proses pengakuan MHA tersebut, yang
kemungkinan prosesnya akan memakan waktu yang lama, kemudian
didiorong upaya untuk menetapkan hutan adat “Tombak Haminjon”
sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk kepentingan
religi dan budaya yang dikelola oleh masyarakat hukum adat
Pandumaan-Sipituhuta sesuai dengan pasal 8 ayat (2), Pasal 34 dan
pasal 37 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Karena MHA Tombak Hamijon belum memiliki Perda pengakuan MHA,
maka ditempuh upaya mengeluarkan areal seluas 5.172 Ha dari areal
kerja PT. Toba Pulp Lestari untuk dicadangkan sebagai areal Hutan Adat
Tombak Hamijon.

Berdasarkan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.923/Menlhk/Sekjen/


HPL.0/12/2016 tentang Perubahan Kelima Atas Keputusan Men LHK
Nomor 493/Kpts-II/192 tanggal 1 Juni 1992 tentang Pemberian HPHTI
Kepada PT. Inti Indo Rayon Utama. Pasal I, KESATU, huruf c :
Areal seluas + 5.172 Ha sebagaimana pada huruf a, dialokasikan untuk
Hutan Adat Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta, Kecamatan Pollung
Kabupaten Humbang Hasudutan, Propinsi Sumatera Utara, sebagai hutan
kememyan Tombak Hamijon adat masyarakat Pandumaan-Sipituhuta
silsilah marga Marbun Lumban Gaol sebagai marga bius huta.

103
Dengan adanya keputusan tersebut, maka areal hutan adat Tumbak
Hamijon seluas ± 5.172 ha secara resmi dicadangkan sebagai areal hutan
adat. Apabila nantinya Peraturan daerah terkait pengakuan terhadap
MHA Pandumaan Sipatuhuta, wilayah adat dan hutan adat telah disahkan
oleh DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan, maka hutan adat tersebut
baru dapat ditetapkan secara definitif oleh Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan.

Penyerahan SK Pencadangan Hutan Adat oleh Presiden RI di Istana Negara kepada perwakilan
Masyarakat Hukum Adat Pandumaan – Sipituhuta yang berada di Kabupaten Humbang
Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara.

104
BAB IV
KEARIFAN LOKAL
DAN PENGETAHUAN
TRADISIONAL

105
BAB IV
KEARIFAN LOKAL DAN PENGETAHUAN TRADISIONAL

Salah satu kriteria utama keberadaan MHA adalah adanya kearifan lokal
dan pengetahuan tradisional. Komunitas masyarakat hukum adat adalah
pengampu dan pemilik kearifan lokal dan pengetahuan tradisional. Definisi
kearifan lokal dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah “nilai-nilai
luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain
melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari” (Pasal 1 Huruf
30 UU 32/2009). Dengan kearifannya, MHA terbukti secara temurun-
temurun menjaga kelestarian lingkungan menjadi salah satu ciri bagaimana
MHA memberikan kontribusi dalam pelestarian lingkungan hidup. Namun
perkembangan di lapangan, berbagai isu-isu yang melanda MHA seperti
konflik pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, posisi pemangku
pemangku adat dalam konflik pengelolaan SDA, penyalahgunaan/pembajakan
pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik (biopiracy). Presiden
Joko Widodo dalam acara penyerahan SK Hutan Adat tanggal 30 Desember
2016 juga menyampaikan pentingnya kearifan lokal. Menurut presiden,
“Saya rasa nilai-nilai yang penting kita ingat semua di masa modern yang ada
sekarang ini. Apalagi di tengah sengitnya arus budaya global dan persaingan
global yang semakin sengit. Janganlah pernah kita lupakan kearifan lokal,
kearifan nilai-nilai asli bangsa Indonesia,”
Salah satu bagian penting dari hutan adat adalah kearifan lokal dan
pengetahuan tradisional yang selama turun temurun dilakukan oleh
Masyarakat Hukum Adat. Kearifan lokal adalah bagaimana pengelolaan
kawasan hutan dengan menggunakan nilai-nilai lokal yang koservasionis
dan didukung oleh kelembagaan lokal yang menumpukan pada tradisi dan
hukum adat.
Pada bagian ini akan membahas lebih jauh apa itu kearifan lokal dan
pengetahuan tradisional sebagai bagian tidak terpisahkan dari pengelolaan
hutan adat pada masa yang akan datang. Kearifan lokal telah ada dalam
kehidupan masyarakat semenjak lama yang merupakan perilaku positif

106
manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya.
Sumber pengetahuan lokal berasal dari nilai-nilai agama, adat istiadat dan
petuah (folklore).
Perlindungan Kearifan Lokal adalah suatu bentuk pelayanan negara
kepada MHA atau masyarakat setempat dalam rangka menjamin
kelangsungan kearifan lokal dan keberadaan masyarakat pengampunya. Selain
itu terpenuhinya hak dan kewajiban dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang sebagai satu
kelompok masyarakat yang madani, berpartisipasi sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaannya.
Sumberdaya hutan yang selama ini memenuhi kebutuhan masyarakat,
melalui kegiatan berburu, meramu, bercocok tanam, menyadap getah dan
lain-lainnya untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi telah berubah. Berbagai
komunitas masyarakat hukum adat yang sebelumnya melakukan sistem
barter untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya, atau kebutuhan yang bersifat
subsisten, sekarang banyak terlibat dalam ekonomi yang konsumtif. Sehingga
dikhawatirkan memanfaatkan sumber daya hutan secara berlebihan.
Hasil sumberdaya hutan sekarang ini sudah berada dalam mekanisme
pasar, yaitu menjual hasil hutan untuk mendapatkan uang guna membeli
barang-barang kebutuhan yang tidak tersedia di lingkungan hutan. Uang
menjadi alat tukar penting bagi komunitas-komunitas MHA. Kebutuhan
akan pangan, sandang-papan dan kebutuhan-kebutuhan sekunder-tersier
lainnya pun mereka dapatkan di pasar, bahkan di beberapa tempat berbagai
perangkat upacara adat atau yang terkait dari adat harus dibeli dari luar
komunitas. Situasi inilah yang mendorong perlunya ada pengaturan
perlindungan untuk masyarakat hukum adat terkait dengan kearifan lokal
dan pengetahuan tradisionalnya.

A. Kearifan Lokal dan Pengetahuan Lokal


Perasaan menyatu dengan lingkungan alam atau munculnya kesadaran
bahwa alam adalah sumber kehidupan mereka, mendorong manusia
untuk menciptakan norma-norma yang dipakai sebagai pedoman
bagi kelakuan mereka dalam mengelola lingkungan, lengkap dengan

107
sanksi-sanksi sosial bagi mereka yang melanggarnya. Bahkan yang
tidak kalah pentingnya, berkat pengetahuan yang mereka peroleh dari
pengalaman maupun berdasarkan observasi terhadap lingkungannya,
mereka mengembangkan pula aneka kearifan ekologi tradisional.
Norma-norma yang mengatur kelakuan manusia dalam berinteraksi
dengan lingku-ngannya, ditambah dengan kearifan ekologi tradisional
yang mereka miliki, merupakan etika lingkungan yang mempedomani
perilaku manusia dalam mengelola lingkungannya.
Pengetahuan anggota komunitas MHA tentang jenis-jenis flora dan
fauna yang berguna dan bermanfaat bagi kehidupannya, seperti bahan
rumah, obat-obatan, bahan upacara. Selain itu pengetahuan pemahaman
perilaku jenis-jenis binatang tertentu sebagai pemberi tanda-tanda alam.
Pengetahuan tentang alam, flora dan fauna serta pemeliharaan dan
perlindungannya menjadi bagian dari kehidupan suatu masyarakat.
Pengetahuan ini adalah nilai yang disosialisasi dan ditransmisikan antar
generasi dan dijadikan pedoman hidup bermasyarakat. Pedoman itu
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat pendidikan
sehingga melahirkan pola-pola pengelolaan lingkungan secara tradisional.
Sementara itu sejumlah konflik yang muncul mengenai tenurial
melibatkan anggota komunitas MHA dengan pihak lain dikarenakan
cara pandang yang berbeda terhadap kearifan lokal, misalnya pemilikan
dan penguasaan tanah secara tradisional yang bersifat komunal berbeda
dengan penguasaan yang bersifat individual. Perlu ada upaya agar
pengetahuan lokal dari komunitas MHA dapat dipahami dengan baik .
Upaya mengkaji kembali tradisi yang ada di masyarakat tentang usaha
mereka untuk mewujudkan keseimbangan kehidupannya dengan
lingkungannya menjadi hal yang penting.
MHA memiliki kemandirian dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup,
karena memiliki modal sosial dan budaya yang mengganggp sumber
daya hutan bukan sekedar benda ekonomi, melainkan mempunyai nilai-
nilai budaya tertentu. Masyarakat agraris di Indonesia memiliki kearifan
lokal termasuk pengetahuan tradisional sebagai acuan dalam mengelola
lingkungan yang didapat dari proses adaptasi sosial (social adaptation)
dan penyesuaian diri (individual adjustment).

108
Kita mengetahui bahwa salah satu ciri masyarakat agraris adalah
keterikatan pada nilai-nilai kearifan lokal yang terwujud dalam berbagai
bentuk unsur kebudayaan yang direpresentasikan dalam pengetahuan
tradisional, nilai, norma, adat-istiadat, etika lingkungan, folklore, sistem
kepercayaan dan mitologi, pola penataan ruang tradisional, peralatan dan
teknologi sederhana ramah lingkungan. Selain itu nilai-nilai agama yang
mendasari sikap dan perilaku sehari-hari, termasuk tindakan pengelolaan
lingkungan hidup dan sumber daya alam.

Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa MHA di Indonesia


secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman
hayati alami. Suatu realitas bahwa sebagian besar MHA masih memiliki
kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal
ini berbeda satu sama lain, sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem
setempat. MHA umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan
sumberdaya lokal yang diwariskan dan ditumbuhkembangkan terus
menerus secara turun temurun.

B. Regulasi tentang Kearifan Lokal


Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.34/
Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017 mengatur tentang tata cara pengakuan
dan perlindungan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup. Peraturan tersebut merupakan tindak lanjut
amanat Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan upaya


sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.
Aturan ini memberikan perlindungan hukum bagi pengampu dan
memfasilitasi pengakses kearifan lokal dalam mewujudkan keadilan,
kesejahteraan masyarakat, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup dan
sumber daya alam. Tujuan dari regulasi tersebut agar pengampu kearifan
lokal mendapat pengakuan, perlindungan, dan memperoleh pembagian

109
keuntungan yang adil dan seimbang dari pemanfaatan kearifan lokal
dalam relevansi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Dalam peraturan tentang kearifan lokal juga mengatur tata cara
pengakuan dan perlindungan kearifan lokal yang ditetapkan oleh Menteri,
Gubernur, atau Bupati/Walikota. Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota
sesuai dengan kewenangannya secara aktif mendorong dan memfasilitasi
inventarisasi, verifikasi dan validasi kearifan lokal dan keberadaan
masyarakat pengampu kearifan lokal.
Pengampu kearifan lokal adalah masyarakat hukum adat atau masyarakat
setempat yang memegang hak ulayat atau hak tradisional dan
memperoleh manfaat dari hak ulayat atau pengelolaan dalam bentuk
tanggung jawab moral, ekonomi dan budaya.

C. Mekanisme Pengakuan Kearifan Lokal


Dalam peraturan tentang kearifan lokal juga menyebutkan tata cara
pengakuan dan perlindungan kearifan lokal seperti tercantum dalam
bagian ketiga bukui ini . Dalam bab tersebut mencantumkan Menteri,
Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya secara
aktif mendorong dan memfasilitasi inventarisasi, verifikasi dan validasi
kearifan lokal dan keberadaan masyarakat pengampu kearifan lokal.
Adapun inventarisasi dilakukan oleh Pengampu Kearifan Lokal, dapat
melibatkan LSM, Lembaga Adat, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian
dan dunia usaha. Apabla Pengampu tidak melaksanakan inventarisasi
maka dilakukan oleh Pemerintah.

Proses inventarisasi dilakukan melalui kegiatan studi pustaka, kunjungan


lapangan, identifikasi daftar kearifan lokal dan pengampunya dan
dokumentasi hasil inventarisasi. Pengampu kearifan lokal mendaftarkan
hasil inventarisasi kepada menteri, yaitu wilayah adatnya lintas provinsi),
Gubernur untuk wilayah adat lintas kota/kabupaten dan bupati/waliko
untuk wilayah kabupaten/kota definitif. Adapun pengumuman hasil
inventarisasi dapat diumumkan melalui media cetak, media elektronik,
dan/atau pengumuman di kantor Pemerintah/pemerintah daerah.

Bila tidak ada keberatan terhadap hasil inventarisasi maka dikeluarkan


Keputusan Penetapan Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal oleh
110
Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota (tergantung wilayahnya). Bila
ada keberatan bisa dilakukan verifikasi dan validasi atau mediasi.

Verifikasi dan validasi dilakukan oleh Pemerintah atau Pemda dibantu


oleh Tim Independen (terdiri dari akademisi dan LSM). Mediasi dilakukan
oleh Mediator bersertifikat. Hasil verifikasi dan validasi maupun mediasi
dituangkan dalam Berita Acara, berdasarkan berita acara tersebut
Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota menetapkan Pengakuan dan
Perlindungan Kearifan Lokal. Apabila ada yang keberatan atas penetapan
di atas, maka diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

TATA CARA PENETAPAN DAN PERLINDUNGAN KEARIFAN LOKAL (KL)

Oleh Pengampu
INVENTARISASI DAFTAR PENGUMUMAN

Oleh Pemerintah Keputusan Menteri, Gubernur,


Bupati/Wakil Bupati sesuai
Keberatan dengan Kewenangannya
Tentang Penetapan
perlindungan & Pengakuan KL

Mediasi Verifikasi & Validasi


oleh Mediatur oleh Pemda
Bersertifikat dibantu Tim
Independen

Berita Acara
Keputusan Menteri, Gubernur, Bupati/Wakil
Bupati Sesuai Dengan Kewenangannya
Tentang Penetapan Perlindungan
& Pengakuan KL

Tidak ada Keberatan


Keberatan

Diajukan ke PTUN
Penetapan Pengakuan
& perlindungan KL Oleh Menteri
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati
Melaporkan Kepada Menteri Penetapan
Kearifan Lokalya
Sumber: Epistema Institute

111
TATA CARA PENETAPAN DAN PERLINDUNGAN KEARIFAN LOKAL (KL)

Inventarisasi :
S Studi Pustaka Oleh
Tidak Ada
S In Situ/Kunjungan Pengampu Didaftarkan ke Keberatan
Lapangan Menteri PENGUMUMAN
S Identifikasi dan Gubernur,
Pembuatan Daftar KL Bupati/
dan Pengampunya Oleh
Pemerintah Wakil Bupati Keputusan Menteri,
S Dokumentasi Ada Gubernur, Bupati/
Hasil Inven Keberatan Wakil Bupati Tentang
Penetapan Pengakuan
dan Perlindungan KL

Mediasi Verifikasi & Validasi


Oleh Mediatur Oleh Pemerintah/Pemda
dibantu Tim Independen
Bersertifikat

Berita Acara Disampaikan Kepada Menteri, GUbernur, Bupati/Wakil Bupati

Tidak Ada Keberatan Ada Keberatan

Penetapan Pengakuan & Perlindungan Kl Diajukan ke PTUN


Oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Wakil Bupati

Beberapa contoh kearifan lokal dan pengetahuan tradisional Masyarakat


Hukum Adat

a. Ammatoa Kajang
Pasang Ri Kajang merupakan panduan hukum adat bagi segala
aspek kehidupan Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang dan juga
mencerminkan bagaimana kearifan lokal masyarakat terbentuk, dipatuhi
dan diterapkan dalam kehidupan. Dalam Pasang Ri Kajang, ada empat
larangan yang tidak boleh dilakukan ketika berada di dalam hutan yaitu;
Tabbang Kayu (tebang kayu) dikarenakan masyarakat akan terus merasa
menebang kayu apabila diperbolehkan, Tatta Uhe (meretas rotan) juga
dilarang karena masyarakat akan terus bergantung mengambil rotan

112
dari hutan, Tunu Bani (membakar sarang lebah untuk mengambil madu)
dengan alasan dapat membunuh lebah, sementara lebah merupakan
hewan yang dianggap berperan besar dalam membantu perkembangan
tanaman yaitu dengan membantu menyebarkan serbuk sari, Rao Doang
(menangkap ikan dan udang) di dalam wilayah hutan juga dilarang karena
dianggap dapat merusak ekosistem hutan, sementara udang dipercaya
dapat menjadi pertanda bagi kualitas air. Apabila udang mati, maka
pertanda kualitas air tidak sehat dan juga dapat menjadi pertanda hutan
dalam kondisi yang tidak baik, sebaliknya apabila udang tumbuh baik
maka pertanda kualitas air dan hutan baik.

Pengetahuan Tradisional banyak digunakan terutama dalam bidang


pengobatan tradisional, beberapa diantaranya yaitu; Pemanfaatan
Tammu (temulawak) untuk pengobatan sakit perut (diare), Jammu
Bo’dong (Jambu Biji) untuk pengobatan penyakit perut (diare), pohon
kuma-kuma untuk pengobatan luka (menghentikan pendarahan), pohon
Biccoro’ untuk menghilangkan bau mulut, daun tangeng-tangeng (jarak)
untuk pengobatan penyakit demam, daun pisang untuk pengobatan
perempuan yang telah bersalin.

Pengetahuan tradisional juga diterapkan dalam pemanfaatan untuk


peralatan dan teknologi berupa; Pemanfaatan pohon tarum untuk
bahan pewarna sarung khas Kajang, daun rumbia sebagai bahan atap
rumah masyarakat adat ammatoa kajang, daun kelapa sebagai bahan
pembungkus panganan khas kajang, dan pohon Inru (enau) untuk bahan
pembuat gula aren.

b. Marga Serampas

Dalam hal penataan Hutan Adat Serampas memiliki pola tata ruang
tradisional yaitu Tanah ajum, berarti tanah yang diperbolehkan dibuka
untuk areal pemukiman/tempat tinggal penduduk; Tanah arah, berarti
tanah yang diperbolehkan dibuka untuk tempat berkebun/ perladangan;
Tanah basah, diperuntukan untuk areal persawahan dan tanah kering
diperuntukan untuk areal berladang.

113
Untuk menjaga kelestarian lingkungan, masyarakat adat Serampas
memberlakukan Norma Adat :
a. Masyarakat dilarang membuka hutan di tanah arai. Tanah Arai
merupakan tanah yang memiliki kelerengan sangat curam yang
berada di sekitar sungai.
b. Masyarakat dilarang membuka hutan di hulu aik. Hulu Aik merupakan
kawasan hulu sungai
c. Masyarakat dilarang membuka hutan di Padang Batu.
d. Masyarakat diperbolehkan membuka hutan sesuai dengan ketentuan
Tanah Ajum dan Tanah Arah.
e. Masyarakat tidak boleh menebang cempedak, manggis, durian,
petai dan pohon seri, karena tanaman tersebut peninggalan nenek
moyang masyarakat adat serampas.
f. Masyarakat dilarang memperjualbelikan kayu-kayu yang diambil
dari hutan, hanya boleh untuk dikonsumsi sendiri dan untuk kayu
bakar.
Sanksi adat akan dikenakan terhadap pelanggar, yaitu :

Penyelesaian melalui runding keluarga, dianjurkan untuk berdamai


a. Penyelesaian melalui orang tuo adat, sanksi berupa beras 1 gantang
ayam 1 ekor
b. Penyelesaian melalui ninik mamak, sanksi berupa beras 2 gantang
ayam 2 ekor
c. Penyelesaian melalui masing-masing depati, sanksi berupa beras 4
gantang ayam 4 ekor
d. Penyelesaian melalui depati nan batigo (depati pulang jawa, singo
negaro dan depati karti mudo menggalo), sanksi berupa beras 20
gantang kambing 1 ekor
e. Penyelesaian melalui Depati Seri Bumi Putih, sanksi beras 100
gantang sapi 1 ekor

114
Untuk menghindari masuknya wabah penyakit, masyarakat hukum
adat Serampas punya cara tersendiri, mereka melarang keras orang
membawa telur atau ayam dari luar wilayah adat Serampas meskipun
sudah dimasak. Begitu pula sebaliknya ayam dan telur dari dalam wilayah
adat tidak boleh diperjualbelikan keluar. Ternak itu semata-mata untuk
kebutuhan pangan mereka sendiri.

Ada juga ketentuan bagi setiap masyarakat yang berada dalam kawasan
adat serampas hanya boleh memiliki satu rumah, hal ini bertujuan untuk
memberi ruang kepada masyarakat yang belum memiliki rumah untuk
mendirikan rumah di wilayah adat serampas.

Dalam mengelola hasil hutan juga terdapat kearifan lokal seperti adanya
larangan membuka lahan di hulu air dan lereng yang curam. Hal ini
bertujuan agar tidak terjadinya banjir di dalam kawasan adat serampas.
Untuk memanfaatkan sungai, masyarakat juga dilarang untuk memutas,
menyentrum, menjala ikan, ini bertujuan agar sungai tetap terjaga
dari pencemaran. Masyarakat hanya boleh memancing ikan, sanksi
akan diberikan kepada anggota masyarakat yang ketahuan memutas,
menyentrum dan menjala ikan, yaitu kan dikenakan sanksi uang Rp 500
ribu, 1 ekor kambing dan beras 20 gantang.

Sistem Pengetahuan
Masyarakat Marga Serampas memiliki adat istiadat yang berdasar
pada nilai-nilai keagaaman dipadukan dengan nilai-nilai budaya dan
membentuk pengetahuan dasar yang berguna dalam kehidupan.
Pengetahuan dasar ini mereka terapkan pada segala aspek kehidupan,
termasuk kehidupan pertanian dan pengobatan.

Pengetahuan tentang pertanian mereka terapkan terhadap alam,


terutama yang berkaitan dengan musim. Masyarakat Serampas memiliki
sistem kalender pertanian. Sistem ini menentukan kaitan antara
tingkat curah hujan dengan kemarau. Dengan sistem ini memudahkan
masyarakat dalam menentukan kapan saat yang baik untuk mengolah
tanah, saat menanam dan saat memanen hasil pertaniannya karena
semua aktivitas pertaniannya didasarkan pada siklus peristiwa alam.

115
Masyarakat serampas juga memakai obat-obat tradisional dalam proses
penyembuhan orang sakit. Mereka menggunakan beberapa jenis tumbuhan
alam dan minyak alami untuk dijadikan ramuan obat, misalnya ramuan obat
untuk menyembuhkan penyakit demam yang berupa daun sitawar, sedingin,
kumapai, cekun, kunyit polai, dan jerangau. Di samping itu, juga digunakan
berbagai jenis jeruk, akar kayu, bunga-bungaan, pinang, dll.

c. Kulawi Marena
Masyarakat Hukum Adat Marena di Kecamatan Kulawi membagi kawasan
hutan atas beberapa kategori dan disesuaikan dengan pemanfaatannya.
Ini merupakan salah satu bentuk kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan
menurut klasifikasi dan nilai-nilai budaya masyarakat. Beberapa klasifikasi
kawasan tersebut yaitu: Wana Ngiki yaitu kawasan hutan di puncak-
puncak gunung yang jauh dari pemukiman, berhawa dingin dan tidak ada
aktifitas manusia didalamnya; Wana yaitu kawasan hutan yang luas dan
tutupannya rapat dan menjadi peyangga dan penyimpan persediaan air,
hutan ini biasanya hanya dimanfaatkan untuk pengambilan rotan (lauro)
dan pandan hutan (naho); Pangale yaitu hutan yang sebagian wilayahnya
pernah diolah menjadi ladang dan kemudian dibiarkan untuk menjadi
hutan kembali, hutan ini dimanfaatkan untuk pengambilan kayu, rotan,
pandan hutan, umbut , daun melinjo untuk sayuran, dan obat-obat
tradisional; Pahawa Pongko yaitu hutan bekas kebun yang ditinggalkan
selama 25 tahun keatas dan akan dibuka kembali menjadi ladang selama
beberapa waktu; Oma yaitu hutan bekas ladang atau kebun yang sering
diolah dan dimanfaatkan untuk menanam kopi, kakao dan tanaman
tahunan lainnya; Balingkea yaitu bekas kebun yang berumur 6 bulan
sampai 1 tahun dan dimanfaatkan untuk menanam tanaman palawija
berupa jagung (galigoa), ubi kayu (ngkahubi), kacang-kacangan, rica
(mariha) dan sayur-sayuran (uta-uta).
Larangan dalam pengelolaan tanah dan hutan juga diberlakukan seperti
untuk Hutan Wana Ngiki dan Wana tidak diperbolehkan ada aktifitas
manusia; Pangale dan Oma tidak diperbolehkan menebang kayu di
sekitar Taolo dan Dumpolo (hulu sungai dan daerah yang dikeramatkan),
tidak boleh mengelola damar dan gaharu tanpa ijin lembaga adat Boya
Marena, dan larangan-larangan lainnya.

116
Ada beberapa jenis kayu yang diolah untuk kebutuhan ramuan yaitu kayu
Uru, Taiti, Lonca Ibo, Marantaipa, Karunia, Kume, Palio, Baka Ngkuni,
Ngkarahihi, Siuri, Alipaa, Balintunga, Kuhio, Werau, Lekotu, Wonce,
Pawa, Duria, Lebanu Ngkuni, Lao, Hinanau, Lalari. Ada juga kegiatan
penangkapan ikan-ikan kecil yang dilakukan oleh kaum perempuan yaitu
Mohao untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga.

d. Tawang Panyai

Kearifan lokal pada MHA Tapang Sambas - Tapang Kemayau yaitu


pembagian tataguna lahan berdasarkan kearifan lokal :
S Penugau/Langkau (pemukiman) : kawasan yang disepakati bersama
sebagai kawasan pemukiman atau tempat mendirikan bangunan
rumah dan pusat seluruh aktivitas keseharian mereka.
S Tamawang (Tembawang) : suatu kawasan bekas pemukiman dan
bekas uma yang didalamnya berisi berbagai jenis tanaman.
S Uma (Ladang) : tempat mereka berusaha dalam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari.mereka mengenal uma bukit (dataran
tinggi) dan huma payak (dataran rendah)
S Babas/Bawas (Ladang Bera) : kawasan bekas uma yang dipersiapkan
dalam jangka waktu tertentu sehingga dapat dipergunakan untuk
be-uma lagi pada tahun-tahun berikutnya. Mereka juga mengenal
tingkat vegetasi (kesuburan tanah) yang ada di babas (bekas ladang),
sehingga kapan mereka dapat membukanya lagi untuk beuma
seperti babas muda’ dan babas tua’.
S Rimak (hutan primer) : hutan yang masih utuh atau dikenal dengan
istilah hutan primer. Rimak merupakan hak bersama dalam satu
ketemenggungan atau satu kampung.
S Gupung (kebun buah-buahan) : kawasan bekas uma atau pemukiman
yang telah ditanami berbagai jenis tanaman buah-buahan
S Kebun Getah (karet) : kawasan yang berisikan tanaman karet

117
S Perkuburan : tempat yang secara khusus untuk perkuburan, dimana
tempat ini merupakan lokasi yang tidak boleh diladangi
S Tempat Keramat : tanda yang menunjukan bahwa ditempat tersebut
ada pemukiman masyarakat adat atau pernah ada pemukiman yang
ditempati oleh masyarakat adat dalam waktu yang cukup lama.
S Kebun Engkabang (Tengkawang) : kawasan yang didalamnya berisi
tanaman tekawang/engkabang.

Selain itu juga dikenal pengetahuan tradisional mengenai tumbuhan obat-


obatan : jengarau, daun pemamar darah sebagai obat peluruh darah;
Tempelak merah sebagai obat demam; tempelak putih dan daun perih
kepala untuk meredakan sakit kepala; buah kelilik sebagai obat bisul.
Tanaman obat lainnya adalah daun meranti, serai, kumis kucing, daun
cangkok manis, daun sirih, buah pinang, cekur, jahe, kunyit dan buah
kelapa.

e. Kasepuhan Karang
Sebagai Masyarakat Hukum Adat yang interaksinya sangat dekat dengan
hutan, Masyarakat Kasepuhan Karang memiliki kearifan lokal dalam hal
pengelolaan hutan (Leuweung). Terdapat zonasi tradisional yaitu dibagi
menjadi Leuweung Kolot, Leuweung Bukaan (kebun campuran, sawah),
Leuweung awisan, dan Gunung Haruman. Selain itu, terkait dengan
pertanian tradisional dikenal Leuit Paceklik yaitu sistem lumbung padi
yang dapat berfungsi dalam hal ketahanan pangan bagi masyarakat
Kasepuhan.

Masyarakat juga mengenal areal kawasan yang dilindungi secara komunal


di Kasepuhan Karang yaitu Aub Lembur. Aub Lembur adalah kawasan yang
dijadikan sebagai sumber mata air dan dianggap keramat seperti halnya
tanah makam. Maka pada kawasan ini masyarakat dilarang menebang
pohon atau memanfatkan kayu untuk kepentingan bangunan.

Kawasan lainya yang dianggap sakral masyarakat dan Kasepuhan adalah


Paniisan (Tempat istirahat) tempat ini berada di sekitar Tanah Adat.
Paniisan memiliki dua fungsi yang pertama tempat beristirahat yang

118
kedua kawasan ini pun merupakan salah satu sumber air di Kampung
Karang.

Selain itu, masyarakat kasepuhan Karang masih menyimpan pengetahuan


dan melakukan budi daya padi lokal, yaitu Pare (Padi) lokal, yaitu
Rajawesi, Srikuning, Cere, Kui, Kewal, Cere Ketan, Langkasari, Ketan
Bogor, Ketan Tawa, Ketan Putri, Ketan Hideung dan Gantang.

f. Hutan Adat di Kabupaten Kerinci


Beberapa kearifan lokal yang dapat dijumpai pada masyarakat hukum
adat di Kabupaten Kerinci umumnya mempunyai kemiripan dari satu
komunitas dengan komunitas lainnya karena berada dalam satu wilayah
budaya.. Misalnya terkait kasus penebangan hutan di area yang terlarang
untuk penebangan, akan dikenakan sanksi paling berat berupa 100 kaleng
beras (1 kaleng = 14 Kg) dan satu ekor kerbau. Sanksi ringan lainnya adalah
memberikan satu gantang beras dan seekor ayam untuk pelanggaran
yang sifatnya ringan.

Salah satu contohnya adalah pada MHA pengelola Hutan Adat Bukit
Sembahyang dan Padun Gelanggang, yang hutan adatnya dominan hutan
bambu. Disana terdapat ketentuan adat pengambilan bambu yang diatur
oleh Lembaga Pengelola Adat, yaitu boleh mengambil maksimal 7 batang
bambu per keluarga dalam sekali pengambilan.

Pada MHA pengelola Hutan Adat Kemantan, berlaku tata aturan adat
yang menyatakan pemanfaatan hutan untuk fungsi produksi hanya boleh
maksimal sejumlah 30% dari total keseluruhan hutan adat. Kelembagaan
Adat Tigo Luhah Kemantan membagi beberapa zonasi diantaranya
zona merah sebagai hutan yang berfungsi lindung, zona kuning sebagai
hutan yang berfungsi pemanfaatan terbatas, sementara zona hijau
dimanfaatkan sebagai zona produksi dan pemanfaatan lahan.

Berkaitan dengan pengetahuan tradisional, pada hutan adat Bukit


Sembahyang dan Padun Gelanggang terdapat areal dikenal sebagai
“ladang tinggi” dengan tanaman yang dipandang bernilai penting/
berharga (tinggi) yaitu kapas.

119
g. Wana Posangke
Pola tata guna lahan dan hutan MHA Wana Posangke telah dijelaskan
pada bagian III, yaitu pembagian zona lokal yaitu : 1) Kapali (Hutan
larangan yang tidak boleh dimanfaatkan atau diolah); 2) Pompalivu (hutan
tempat mencari rotan, damar, gaharu dan madu); 3) Pangale (hutan
rimba yang belum diolah, untuk perlindungan mata air dan kesuburan
tanah); 4) Navu (areal perladangan rotasi untuk padi ladang dan tanaman
jangka pendek); 5) Yopo (belukar bekas ladang), terdiri atas Yopo Masia
(Yopo yang tegakan pohonnya sudah 10 tahun lebih); Yopo Mangura
(Yopo yang tegakkan pohon masih di bawah 10 tahun) dan Wakanuvu
(Yopo yang baru berusia 1-2 tahun, yang masih ditanami tanaman
semusim); 6) Lipu (areal mukim dan pekarangan, juga dimanfaatkan
untuk tanaman jangka panjang seperti kelapa dan kopi).

Khusus untuk Kapali, tidak ada pemanfaatan langsung, mengingat


posisinya yang sakral/keramat bagi komunitas. Pangale merupakan tipe
tata guna lahan-hutan yang sangat penting keberadaanya bagi komunitas,
dimana berkontribusi untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Pangale
dijadikan sumber utama untuk memenuhi kebutuhan bahan anyaman
dan tali-temali, bahan perkakas rumah tangga dan peralatan untuk
berburu. Sebagian besar bahan hiasan dan ritual adat, konstruksi rumah,
(ramuan)obat-obatan serta makanan sumber energi berasal dari Yopo.

Navu atau ladang merupakan sumber utama untuk bahan makanan pokok
(padi, jagung dan sayuran) dan sumber energi (kayu bakar). Berkaitan
dengan pengetahuan tradisional dapat dijumpai pada wilayah Pompalivu,
dimana berkontribusi sebagai sumber konstruksi perahu dan juga sumber
makanan. Dari 17 lokasi “Pinamuya Tau Tua” (bekas tanaman leluhur)
biasanya dijumpai rumpun sagu dan pohon durian, dimana sebagian
besar berada di Pompalivu.

120
BAB V
PENUTUP

121
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
Pandangan romantik tentang kehidupan masyarakat hukum adat yang
penuh kesederhanaan, keluguan dan egaliter perlu kita tinjau kembali, karena
perkembangan modernisasi dan arus globalisasi telah membawa perubahan
sangat besar. Beberapa komunitas masyarakat hukum adat masih secara
ketat menjalankan tata cara hidup tradisionalnya di tengah-tengah arus
perubahaan dan globalisasi yang semakin menderas. Misalnya komunitas
Baduy di Lebak Banten, Ammatoa Kajang (hutan adatnya ditetapkan pada
tahun 2016) di Bulukumba Sulawesi Selatan, Boti di Timor Tengah Selatan
(TTS) di propinsi Nusa Tenggara Timur. Ketaatan pada tradisi dan hukum
adat pada komunitas-komunitas tersebut, harus menjadi perlakuan khusus,
sebagai bentuk perghormatan cara hidup yang mereka pilih.
Komunitas-komunitas tersebut bukan tidak ingin berubah sama sekali.
Dalam kesehariannya menjalankan dua sistem ekonomi secara bersamaan
yaitu ekonomi tradisonal dan ekonomi pasar ketika berhubungan dengan
dunia luar. Sementara di sisi lain banyak komunitas masyarakat hukum adat
yang telah mengalami perubahan secara besar-besaran, baik secara ekonomi
maupun sosial budaya. Tentu saja kearifan lokal dan pengetahuan lokal
masyarakat telah tergerus. Bahkan dalam banyak kasus, dihilangkan karena
mengikuti kebijakan negara pada masa lalu.
Realitas kekinian dalam kehidupan sehari-hari masyarakat hukum
adat berubah secara dinamis ketika berhadapan dengan globalisasi dan
modernisasi. Masuknya teknologi dan peralatan dari luar kedalam ranah
kehidupan sehari-hari mereka telah mengubah ide, pandangan, tindakan
dan produk material dari komunitas adat. Berbagai perangkat baru ini juga
membawa perubahan dengan makin tergerusnya prinsip-prinsip kearifan lokal
yang selama ini mereka yakini. Terdapat kesan perbenturan antara budaya
modern dengan kebudayaan trasidional yang dianggap kuno dan tidak sesuai

122
lagi dengan kemajuan jaman. Kemajuan dan kemakmuran telah menjadi
lambang yang dominan. Masyarakat Hukum Adat tetaplah suatu komunitas
yang khusus (lex spesialist) dengan identitas bersama yang melekat secara
turun temurun pada georgrafis tertentu.
Peran kelembagaan komunitas masyarakat hukum adat sangat penting
sebagai pegangan hidup. Berbagai aturan yang bersumber pada tata nilai
budaya setempat yang sebelumnya ditegakkan melalui norma, adat istiadat
dan hukum adat, saat ini mengalami kemunduran atau malah nyaris hilang.
Sejatinya kelembagaan Masyarakat hukum Adat telah terbukti mampu
mengelola sumberdaya alam, relasi sosial dan kepentingan politik, sehingga
terjaga keteraturan, ketertiban dan serta keharmonisan. Modernisasi telah
banyak meredupkan kelembagaan MHA yang telah ada sebelumnya, hal ini
juga karena kebijakan-kebijakan yang kurang memberikan tempat kepada
kelembagaan Adat sehingga sering terjadi kelembagaan adat kehilangan
perannya.
Sebagai sebuah contoh, Bali adalah salah satu wilayah yang memiliki dua
kelembagaan sekaligus, yaitu pemerintahan desa dan pemerintahan adat. Hal
ini adalah sebuah proses akulturasi yang terjadi dengan segala dinamikanya,
termasuk konflik internal. Sementara itu di sisi lain banyak kelembagaan adat
tidak punya kewibawaan lagi khususnya ketika institusi desa yang terlalu
berorientasi pada pemerintahan pusat. Orientasi kewenangan yang dipunyai
berasal dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah secara politis,
ekonomi (pendanaan) hingga tata cara pengaturan pemerintahan di tingkat
lokal.
Konflik Tenurial yang melibatkan masyarakat hukum adat di kawasan
hutan seringkali terjadi. Konflik dipicu oleh perbedaan sistem aturan yang
diberlakukan dan juga pemahaman yang berbeda-beda pada lokasi atau
wilayah yang sama. Pemerintah berpedoman pada hukum formal yang
bersifat mutlak dan harus ditaati oleh semua warga negara. Peraturan
yang ada tidak melihat apakah informasi, partisipasi dari pengaturan ini
sampai kepada Masyarakat Hukum Adat. Di sisi lain Masyarakat Hukum Adat
berpedoman kepada sistem hukum lokal atau sistem hukum adat yang belum

123
banyak diakui atau terinformasikan kepada para pengambil kebijakan yang
ada, khususnya pada saat penetapan wilayah kelola hutan apalagi kemudian
pengelolaan itu diberikan kepada pihak lain atau swasta.
Masyarakat Hukum Adat tidak hanya berkonflik terhadap pemerintah
dengan penetapan kawasan hutan sekaligus sebagai pengelola, tetapi juga
pihak swasta yang diberikan konsesi untuk mengelola hutan. Berkenaan
dengan hal ini diperlukan terobosan-terobosan hukum untuk mencari solusi
dan resolusi konflik yang terjadi, karena adanya ketidakjelasan tata batas dan
aturan yang menjadi acuan. Konflik melebar hanya konflik data, tetapi juga
konflik kepentingan, bahkan konflik struktural dan konflik horizontal yang
derajat penanganannya jauh lebih kompleks, memakan waktu yang lama dan
biaya yang tidak sedikit.
Secara Perundang-undangan, masyarakat hukum adat telah dilindungai
dan diakui melalui UUD 1945 yang telah diamandemen, maupun Undang-
Undang turunannya yang lebih terperinci dalam upaya perlindungan
Masyarakat hukum Adat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun
2012, terkait UU Kehutanan, pada intinya adalah merubah Hutan Adat
menjadi Hutan Hak, maka Pemerintah cq Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan telah membuat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 Tentang Hutan Hak. Menteri telah
menetapkan tata cara penetapan hutan hak sebagai perwujudan dari Negara
Hadir di tengah masyarakat khususnya Masyarakat Hukum Adat.
Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan menjadi resolusi
konflik yang sangat penting dalam berbagai konflik tenurial yang terjadi
di Indonesia. Ketidakjelasan data dalam pengelolaan hutan di Indonesia
akan banyak terselesaikan dengan data dan informasi yang cukup di tingkat
provinsi, kabupaten dan kota, hingga pemerintah pusat tentang keberadaan
Masyarakat Hukum Adat. Permasalahan utama yang ada dalam Pengakuan
Hutan Adat adalah masih minimnya daerah yang mempunyai Pengakuan
Masyarakat Hukum Adat melalui peraturan daerah.
Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
di tingkat kabupaten/kota berimplikasi pada penarikan 4 kewenangan daerah

124
ke pusat dalam hal ini adalah Propinsi yaitu kewenangan kehutanan.Hal ini
berimplikasi kepada hilangnya dinas kehutanan di tingkat kabupaten dan
kota. Posisi ini sering diartikan oleh para pengambil kebijakan di daerah
bahwa Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat sudah bukan
lagi kewenangan Kabupaten/Kota. Pemahaman yang kurang tepat ini masih
sering terjadi yang kemudian menjadi salah satu hambatan besar dalam
implementasi pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan pengakuan Hutan
adat sebagai Hutan Hak.
Dalam Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah menetapkan penggolongan urusan pemerintahan menjadi tiga,
yaitu urusan absolut, konkuren dan umum. Urusan pemerintahan yang
absolut adalah kewenangan mutlak Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan
konkuren merupakan kewenangan yang dibagi antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Urusan ini
merupakan dasar pelaksanaan otonomi daerah. Urusan daerah meliputi
urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib meliputi urusan terkait dengan
pelayanan dasar dan bukan pelayanan dasar.

Saran
Kewenangan mengatur dan menetapkan Masyarakat Hukum Adat
terdapat dalam urusan wajib bukan pelayanan dasar, khususnya pada bidang
pertanahan, lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat dan desa. Dinas
Lingkungan Hidup menjadi salah satu pintu dan penggerak utama dalam
proses ini, khususnya setelah Dinas Kehutanan tidak ada lagi di Kabupaten
dan Kota. Hal ini makin dikuatkan tidak saja keberadaan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 tentang Hutan Hak tahun 2015
tetapi juga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 34 tentang
Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan SumberDaya
Alam Dan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang 41/1999 tentang kehutanan dan Undang-Undang
32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah

125
secara jelas mencatumkan pengukuhan keberadaan masyarakat hukun
adat di suatu kebupaten/kota dilakukan melalui Peraturan Daerah (Perda),
maka Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Provinsi/Kabupaten/Kota memiliki kewajiban hukum dan
politik membuat Peraturan Daerah dengan melibatkan semua pihak terkait,
terutama masyarakat hukum adat di wilayah kabupaten/kota tersebut.
Secara yuridis, tata cara pembuatan peraturan daerah tentang mayarakat
hukum adat mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebagai bagian dari
proses trias politika maka Produk Peraturan Daerah dapat menghindarkan
perangkap-perangkap kepentingan para pihak karena proses yang transparan
antara unsur pemerintahan dan juga adanya konsultasi publik yang
melibatkan secara aktif Masyarakat Hukum Adat sebagai subyek hukum.
Proses demokratis dan keterbukaan dalam penyusunan Perda Pengakuan
Masyarakat Hukum Adat yang berisi pengaturan di dalam komunitas adat
dengan mengedepankan kearifan dan pengetahuan lokal tidak saja bentuk
pengakuan dan penghormatan pilihan dan cara hidup MHA tetapi juga bagian
dari resolusi konflik terhadap persoalan-persoalan tenurial kawasan hutan
yang selama ini terjadi.
Terkait dengan Kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang telah
selama ini dijaga, dihayati dan dilakukan oleh Masyarakat Hukum Adat
menjadi penting sebagai penyeimbang dari arus globalisasi dan modernisasi
yang terkadang tidak sesuai dengan kondisi geografis, budaya, maupun
sosial dari kondisi komunitas MHA. Disinilah perlunya negara hadir untuk
memberikan perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat.
Intinya, isi buku ini adalah harapan agar kebijakan pengakuan terhadap
Masyarakat Hukum Adat, Wilayah Adat dan Hutan Adatnya merupakan
momentum untuk menata kembali relasi dan aksi parapihak dalam rangka
mewujudkan rakyat berdaulat dan bangsa bermartabat sekarang dan masa
yang akan datang.

126
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arizona, Yance, Malik, dan Irena Lucy Ishimora. 2017. Pengakuan Hukum
terhadap Masyarakat Adat: Tren Produk Hukum Daerah Nasional Pasca
Putusan1 MK.35/PUU-X/2012, Outlook Epistema 2017. Jakarta: Epistema
Institute

Asaad, Ilyas., et al. 2014. Masyarakat Hukum Adat dan Kearifan Lokal di
Indonesia. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Hidayat, Rakhmat. 2005. Jangan tuduh kami lagi dengan kata “Maling”: berbagi
pengalaman didalam mendorong insiatif pengelolaan sumberdaya hutan
berbasiskan masyarakat di Desa Gukguk Kecamatan Sungai Manau
Kabupaten Merangin Provinsi Jambi.

Kurniawan. 2012. Eksistensi MHA dan lembaga-lembaga adat di Aceh dalam


penyelenggaraan Keistimewaan dan Otonomi Khusus di Aceh: Yustisia
Edisi 84 Sep-Des 2012

Mathari, Rusdi et-al, 2016. Jalan Panjang Masyarakat untuk Konservasi dan
Ruang Hidup, WGII - Bogor.

Rachman, Noer Fauzi. 2014. Hutan Untuk Rakyat: Jalan Terjal Reforma Agraria
di Sektor Kehutanan.Yogyakarta: LkiS Yogyakarta

Setiawan, Heru & Qiptiyah, Maryatul, 2010, Kajian Etnobotani Masyarakat


Adat Suku Moronene di TN. Rawa Aopa Watumohai. Makassar : Balai
Penelitian Kehutanan Makassar.

Artikel Ilmiah dan Jurnal

Anggaraini, Fauziah Suci. 2013. Politik Hukum Undang Undang No 21 Tahun


2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Malang (Artikel
ilmiah)

127
Latif, Udin. 2011. Peran Masyarakat Adat Papua Dalam Implementasi Undang-
Undang No 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua (Jurnal)

Surat

Surat Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat No. S.87/PKTHA/
PHAPKL/PSL.1/4/2017 tgl 13 April 2017.

Surat Keputusan No. 180/392/HK-A/2016 tgl 28 Desember 2016 tentang


Penetapan Rimak Adat Tawang Panyai sebagai Hutan Adat di Wilayah
Adat Tapang Sambas – Tapang Kemayau di dalam wilayah administrasi
Desa Tapang Semedak Kec. Sekadau Hilir seluas ± 40,5 ha.

Berita Acara

Berita Acara Verifikasi Calon Hutan Adat Marena No.2/PKTHA/PHAPKL/


PSL.1/3/2017 tanggal 9 Maret 2017.

Berita Acara Verifikasi Calon Hutan Adat Tawang Panyai No. 1/PKTHA/PHAPKL/
PSL.1/2/2017 tanggal 23 Februari 2017.

Laporan Hasil Kegiatan Fasilitasi dan identifikasi Calon Hutan Adat Moronene
Hukaea Laea, Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat,
Maret 2017.

Internet

http://riobukanferdinand.blogspot.co.id/2011/07/komunitas-adat-hukaea-
laea-melawan.html

http://agustinusmualang.blogspot.co.id/2014/10/melestarikan-rimak-
tawang-panyai-tapang.html

128
Lampiran 1

Permendagri 52/2014

1
SALINAN

MENTERI DALAM NEGERI


REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR 52 TAHUN 2014
TENTANG
PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka mengakui dan menghormati kesatuan-


kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu pengakuan dan
perlindungan terhadap masyarakat hukum adat;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang
Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat;
Mengingat : 1. Pasal 18B Bab IV, Pasal 25 Bab IXA dan Pasal 28I Bab XA Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun;
2. Undang -undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437); sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-
undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3. Undang -Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495);
4. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2014 tentang
Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri Tahun 2014;
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN


PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

2
1. Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiiki
karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya,
memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat
hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan
memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun.
2. Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan
beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki,
dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari
leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.
3. Hukum Adat adalah seperangkat norma atau aturan, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis, yang hidup dan berlaku untuk mengatur tingkah laku manusia yang
bersumber pada nilai budaya bangsa Indonesia, yang diwariskan secara turun
temurun, yang senantiasa ditaati dan dihormati untuk keadilan dan ketertiban
masyarakat, dan mempunyai akibat hukum atau sanksi.
4. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah
perangkat daerah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan urusan pemerintahan
di daerah
5. Menteri adalah Menteri Dalam Negeri.

Pasal 2

Gubernur dan bupati/walikota melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat


hukum adat.

BAB II
PEMBENTUKAN PANITIA

Pasal 3

(1) Dalam melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat,


bupati/walikota membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota.
-3-
(2) Struktur organisasi Panitia Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), terdiri atas:
a. Sekretaris Daerah kabupaten/kota sebagai ketua;
b. Kepala SKPD yang membidangi pemberdayaan masyarakat sebagai sekretaris;
c. Kepala Bagian Hukum sekretariat kabupaten/kota sebagai anggota;
d. Camat atau sebutan lain sebagai anggota; dan
e. Kepala SKPD terkait sesuai karakteristik masyarakat hukum adat sebagai anggota.
(3) Struktur organisasi Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota ditetapkan
dengan Keputusan Bupati/walikota.

BAB III
TAHAPAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN

Pasal 4

Pengakuan dan perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan melalui


tahapan:
a. identifikasi Masyarakat Hukum Adat;

3
b. verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan
c. penetapan Masyarakat Hukum Adat.

Pasal 5

(1) Bupati/Walikota melalui Camat atau sebutan lain melakukan identifikasi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 3 huruf a dengan melibatkan masyarakat hukum adat atau
kelompok masyarakat.
(2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mencermati:
a. sejarah Masyarakat Hukum Adat;
b. wilayah Adat;
c. hukum Adat;
d. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
(3) Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan verifikasi dan
validasi oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota.
(4) Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diumumkan kepada
Masyarakat Hukum Adat setempat dalam waktu 1 (satu) bulan.
Pasal 6

(1) Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota menyampaikan rekomendasi kepada


Bupati/Walikota berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (4).
(2) Bupati/walikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat
hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan
Keputusan Kepala Daerah.
(3) Dalam hal masyarakat hukum adat berada di 2 (dua) atau lebih kabupaten/kota,
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Keputusan
Bersama Kepala Daerah.

BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 7

(1) Dalam hal Masyarakat Hukum Adat keberatan terhadap hasil verifikasi dan validasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), maka masyarakat hukum adat
dapat mengajukan keberatan kepada Panitia.
(2) Panitia melakukan verifikasi dan validasi ulang terhadap keberatan masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Verifikasi dan validasi ulang terhadap keberatan masyarakat, hanya dapat dilakukan
1 (satu) kali.

Pasal 8

4
(1) Dalam hal Masyarakat Hukum Adat keberatan terhadap Keputusan Kepala Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3), dapat mengajukan
keberatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.
(2) Penyelesaian sengketa atas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 9

(1) Menteri Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat.
(2) Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat kabupaten/kota di wilayahnya.
(3) Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengakuan
dan perlindungan kesatuan masyarakat hukum adat di wilayahnya.

Pasal 10

(1) Bupati/walikota melaporkan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat


hukum adat kepada gubernur.
(2) Gubernur melaporkan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum
adat kabupaten/kota di wilayahnya kepada kepada Menteri melalui Direktorat
Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa sebagai bahan pengambilan
kebijakan.

BAB VI
PENDANAAN

Pasal 11

Segala biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan pengakuan dan perlindungan


masyarakat hukum adat dibebankan pada:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota; dan
c. Lain-lain pendapatan yang sah dan tidak mengikat.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 12

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

5
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juli 2014.
MENTERI DALAM NEGERI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
GAMAWAN FAUZI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juli 2014.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 951.
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM,

ZUDAN ARIF FAKRULLOH


Pembina Utama Muda (IV/c)
NIP. 19690824 199903 1 001.

6
Lampiran 2

Permen LHK 32/2015

7
MENTERI LINGKUNGAN HDIUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015

TENTANG
HUTAN HAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2014, Pemerintah menetapkan
status hutan;
b. bahwa berdasarkan Pasal 100 Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008,
hutan hak perlu diatur dengan Peraturan Menteri;
c. bahwa kewenangan penetapan hutan hak
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005 tentang
Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak sudah tidak
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah;
d. bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 35/PUU-X/2012 hutan adat yang
merupakan bagian hutan hak belum diatur dalam
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-
II/2005;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d perlu menetapkan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Hutan
Hak;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2043);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3419);
3.Undang...

8
-2-

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak


Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3888)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
7. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang
Pengesahan Protokol Nagoya tentang Akses pada
Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan
yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari
Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman
Hayati (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5412);
8. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5495);
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indoesia
Nomor 3696);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4833);
12. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014
tentang Pembentukan Kementerian dan
Pengangkatan Kabinet Kerja Tahun 2014-2019;
13. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);
14. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 17);
15.Peraturan...

9
-3-

15. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan


Kehutanan Nomor P.18/Menlhk-II/2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 713);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN TENTANG HUTAN HAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak
dapat dipisahkan.
2. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
3. Hutan Tetap adalah kawasan hutan yang akan dipertahankan
keberadaannya sebagai kawasan hutan, terdiri dari hutan konservasi,
hutan lindung, hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap.
4. Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak
atas tanah.
5. Hutan Perseorangan/Badan Hukum adalah hutan yang berada pada
tanah yang dibebani hak atas tanah atas nama perseorangan/badan
hukum.
6. Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat
hukum adat.
7. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak
dibebani hak atas tanah.
8. Pemangku Hutan Hak adalah masyarakat hukum adat, perseorangan
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam kelompok atau
badan hukum yang memiliki hak untuk mengurus hutan hak.
9. Hak atas Tanah adalah hak sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
10. Hak Ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, yang
selanjutnya disebut hak ulayat, adalah hak milik bersama masyarakat
hukum adat yang diakui oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
11. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara
turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya
ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan
lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata
ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
12. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola
lingkungan hidup secara lestari.
13.Pengetahuan...

10
-4-

13. Pengetahuan Tradisional adalah bagian dari kearifan lokal berupa


substansi pengetahuan yang diperoleh dari hasil kegiatan olah pikir
dalam konteks tradisi, termasuk namun tidak terbatas pada
keterampilan, inovasi, dan praktek-praktek dari Masyarakat Hukum
Adat yang mencakup cara hidup secara tradisi, baik yang tertulis
ataupun tidak tertulis yang disampaikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
14. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan.
15. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur
tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air
laut, dan memelihara kesuburan tanah.
16. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
17. Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan
hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan
kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan
kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan
tetap menjaga kelestariannya.
18. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
19. Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di
bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
20. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.
21. Pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Bagian Kedua
Maksud, Tujuan dan Ruang Lingkup
Pasal 2
(1) Pengaturan hutan hak dimaksudkan untuk memberikan jaminan
kepastian hukum dan keadilan bagi pemangku hutan hak dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan hutan lestari.
(2) Tujuan pengaturan hutan hak adalah agar pemangku hutan hak
mendapat pengakuan, perlindungan dan insentif dari Pemerintah
dalam mengurus hutannya secara lestari menurut ruang dan waktu.
(3) Ruang lingkup pengaturan hutan hak meliputi:
a. Penetapan hutan hak;
b. Hak dan kewajiban;
c. Kompensasi dan insentif.
BAB II
PENETAPAN HUTAN HAK
Pasal 3
(1) Hutan berdasarkan status terdiri dari :
a. hutan negara;
b. hutan adat; dan
c. hutan hak.
(2)Hutan...

11
-5-

(2) Hutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Hutan adat;
b. Hutan perseorangan/badan hukum.
(3) Hutan perseorangan/badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b antara lain berupa hutan rakyat.
(4) Hutan hak dapat mempunyai fungsi pokok:
a. Konservasi;
b. Lindung;
c. Produksi.
Pasal 4
(1) Masyarakat hukum adat, perseorangan secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama dalam kelompok atau badan hukum mengajukan
permohonan penetapan kawasan hutan hak kepada Menteri.
(2) Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk
koperasi yang dibentuk oleh masyarakat setempat.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) Menteri melakukan verifikasi dan validasi.
(4) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan dengan mengacu pada pedoman yang disusun dan
ditetapkan oleh Direktur Jenderal dengan melibatkan para pemangku
kepentingan.
(5) Berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), Direktur Jenderal atas nama Menteri dalam waktu 14 (empat
belas) hari kerja menetapkan hutan hak sesuai dengan fungsinya.
(6) Areal hutan hak yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dicantumkan dalam peta kawasan hutan.
(7) Dalam hal masyarakat tidak mengajukan permohonan penetapan
hutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri bersama
pemerintah daerah melakukan identifikasi dan verifikasi masyarakat
adat dan wilayahnya yang berada di dalam kawasan hutan untuk
mendapat penetapan masyarakat hukum adat dan hutan adat.
Pasal 5
Syarat permohonan penetapan hutan hak perseorangan/badan hukum
meliputi:
a. Terdapat hak atas tanah yang dimiliki oleh perseorangan/badan
hukum yang dibuktikan dengan dokumen-dokumen tertulis atau
bukti-bukti tidak tertulis sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-perundangan;
b. Terdapat tanah yang sebagian atau seluruhnya berupa hutan; dan
c. Surat pernyataan dari perseorangan/badan hukum untuk menetapkan
tanahnya sebagai hutan hak.
Pasal 6
(1) Syarat permohonan penetapan hutan adat meliputi:
a. Terdapat masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah
diakui oleh pemerintah daerah melalui produk hukum daerah;
b. Terdapat wilayah adat yang sebagian atau seluruhnya berupa
hutan;
c. Surat pernyataan dari masyarakat hukum adat untuk menetapkan
wilayah adatnya sebagai hutan adat.
(2)Dalam...

12
-6-

(2) Dalam hal produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a tidak mencantumkan peta wilayah adat, Menteri bersama-
sama pemerintah daerah memfasilitasi masyarakat hukum adat
melakukan pemetaan wilayah adatnya.
Pasal 7
(1) Lahan berhutan dapat ditetapkan menjadi kawasan hutan yang
berstatus sebagai hutan hak sesuai fungsinya berdasarkan
persetujuan pemegang hak atas tanah dan pertimbangan-
pertimbangan ekosistem yang dikomunikasikan oleh Menteri melalui
Direktur Jenderal kepada pemegang hak.
(2) Dalam hal pemegang hak atas tanah keberatan atas penetapan fungsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri menetapkan fungsi
sesuai ekosistem dengan memberikan kompensasi dan/atau insentif
sesuai peraturan perundang-perundangan.
(3) Dalam hal areal yang dimohonkan sebagai hutan hak masih terdapat
konflik dengan pemegang izin atau pemangku hutan yang lain,
Menteri mencadangkan areal hutan hak dan memerintahkan pejabat
yang berwenang dalam lingkup tugasnya untuk menyelesaikan konflik
yang menyangkut kewenangan Menteri dalam waktu paling lambat 90
(sembilan puluh) hari kerja.
Pasal 8
(1) Penetapan hutan hak oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), mengacu pada rencana tata ruang
wilayah (RTRW).
(2) Dalam hal RTRW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
menampung keberadaan hutan hak, maka kawasan hutan hak
tersebut diintegrasikan dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah
berikutnya.
Pasal 9
(1) Peralihan hak atas tanah yang telah ditetapkan sebagai kawasan
hutan hak tidak dapat mengubah fungsi hutan tanpa persetujuan
Menteri.
(2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan peraturan mengenai perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan yang berlaku.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 10
(1) Hak pemangku hutan hak meliputi:
a. mendapat insentif;
b. mendapat perlindungan dari gangguan perusakan dan
pencemaran lingkungan;
c. mengelola dan memanfaatkan hutan hak sesuai dengan kearifan
lokal;
d. memanfaatkan dan menggunakan pengetahuan tradisional dalam
pemanfaatan sumber daya genetik yang ada di dalam hutan hak;
e. mendapat perlindungan dan pemberdayaan terhadap kearifan
lokal dalam perlindungan dan pengelolaan hutan hak;
f. memanfaatkan hasil hutan kayu, bukan kayu dan jasa lingkungan
sesuai dengan fungsi kawasan hutan; dan/atau
g. memperoleh sertifikat Legalitas Kayu.
(2)Kewajiban...

13
-7-

(2) Kewajiban pemangku hutan hak meliputi:


a. mempertahankan fungsi hutan hak;
b. menjalankan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari;
c. memulihkan dan meningkatkan fungsi hutan; dan
d. melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap hutannya
antara lain perlindungan dari kebakaran hutan dan lahan.
Pasal 11
Direktur Jenderal dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
bertugas untuk:
a. memberikan pelayanan kepada pemangku hutan hak;
b. memenuhi hak-hak pemangku hutan hak;
c. mengakui dan melindungi kearifan lokal;
d. memfasilitasi pembagian manfaat yang menguntungkan dan adil dari
pemanfaatan sumber daya genetik dalam hutan hak;
e. memfasilitasi penguatan kelembagaan dan kapasitas pemangku hutan
hak;
f. mencegah perubahan fungsi hutan hak;
g. memfasilitasi pengembangan teknologi, bantuan permodalan dan
pemasaran, serta promosi hasil hutan kayu, bukan kayu dan jasa
lingkungan;
h. memfasilitasi pengembangan kewirausahaan sosial (social
enterpreneurship);
i. memfasilitasi perolehan sertifikat Legalitas Kayu;
j. memfasilitasi pemerintah daerah dalam hal pembuatan peta hutan
adat
Pasal 12
Menteri dapat memfasilitasi pemerintah daerah untuk menyusun produk
hukum yang mengakui masyarakat hukum adat atau hak ulayat.
BAB IV
KOMPENSASI DAN INSENTIF
Pasal 13
(1) Dalam hal hutan hak ditetapkan berfungsi konservasi dan lindung
yang mengakibatkan terbatasnya akses pemangku hak pada kawasan
hutan, Menteri memberikan kompensasi kepada pemangku hak.
(2) Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan besarnya
kompensasi yang dimaksud pada ayat (1) secara periodik sesuai
dengan kondisi dan fungsi kawasan hutan.
(3) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa prioritas
untuk mendapatkan program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
huruf g dan huruf h.
Pasal 14
Menteri dan pemerintah daerah memberikan insentif kepada pemangku
hutan hak, antara lain berupa :
a. tidak memungut PSDH hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta iuran
pembayaran jasa lingkungan;
b. memberikan rekomendasi keringanan pajak bumi dan bangunan;
c. kemudahan dalam mendapatkan pelayanan perijinan usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta jasa lingkungan;
d. kemudahan dalam pelayanan ekspor hasil hutan kayu dan bukan kayu;
e. pengakuan atas imbal jasa lingkungan dari usaha atau pemanfaatan
oleh pihak ketiga;
f. memberikan rekomendasi percepatan program pemerintah yang sejalan
dengan kearifan lokal.
BAB…

14
-8-

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 15

Hutan Adat yang sudah ditetapkan dengan Peraturan Daerah atau


Keputusan Kepala Daerah dinyatakan tetap berlaku dan ditetapkan
sebagai hutan hak sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri ini.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 16

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri


Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Pemanfaatan
Hutan Hak dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 17

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juli 2015
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SITI NURBAYA

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juli 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 1025

Salinan sesuai dengan aslinya


KEPALA BIRO HUKUM,

ttd.

KRISNA RYA

15
16
Lampiran 3

Perdirjen PSKL 1/2016

17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
Lampiran 4

Permen LHK 34/2017

37
MENTERI LINGKUNGAN HDIUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR P.34/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2017
TENTANG
PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18B ayat (2)


Undang-Undang Dasar 1945, negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa peran masyarakat lokal termasuk masyarakat
hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup dengan praktek kearifan lokal sangat
penting untuk kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan;
c. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63 ayat (1)
huruf t Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu
menetapkan kebijakan dalam implementasi pengakuan
hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum
adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;

38
-2-

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan tentang Pengakuan dan Perlindungan
Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Hidup;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang


Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3419);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang
Pengesahan United Nations Convention on Biological
Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3556);
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang
Pengesahan Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber
Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan

39
-3-

Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas


Konvensi Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5412);
6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5495);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
8. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang
Konservasi Tanah dan Air (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5608);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4818);
10. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);

40
-4-

11. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang


Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 17);
12. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.18/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 713);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN
KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA
ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu
Pengertian

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah
upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum.
2. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku
dalam tata kehidupan masyarakat setempat antara lain
untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup dan
sumber daya alam secara lestari.
3. Pengetahuan Tradisional adalah bagian dari Kearifan
Lokal yang merupakan substansi pengetahuan dari hasil

41
-5-

kegiatan intelektual dalam konteks tradisional,


keterampilan, inovasi, dan praktik-praktik dari
Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat yang
mencakup cara hidup secara tradisi, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis yang disampaikan dari satu
generasi ke generasi berikutnya yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan
sumber daya alam secara berkelanjutan.
4. Sumber Daya Genetik adalah materi genetik yang
mengandung nilai aktual atau nilai potensial, yakni
bagian tubuh tumbuhan, hewan, atau mikroorganisme
yang mempunyai fungsi dan kemampuan mewariskan
sifat.
5. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat
yang secara turun-temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul
leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan
hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan
pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum yang
mendapatkan pengakuan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
6. Komunitas adalah kelompok masyarakat atau satuan
sosial yang menempati wilayah geografis tertentu
didasarkan atas kesamaan wilayah yang saling
berinteraksi dan berhubungan secara fungsional karena
adanya kepentingan bersama untuk memenuhi
kebutuhan kehidupan sosialnya.
7. Pengampu Kearifan Lokal adalah Masyarakat Hukum
Adat atau masyarakat setempat yang memegang hak
ulayat atau hak tradisional dan memperoleh manfaat dari
hak ulayat atau pengelolaan dalam bentuk tanggung
jawab moral, ekonomi, dan budaya.
8. Pengakses Kearifan Lokal adalah orang perseorangan,
kelompok masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi
profesi, dan/atau badan usaha, baik dari dalam maupun
luar negeri, yang mengakses dan/atau memanfaatkan

42
-6-

Kearifan Lokal yang diampu oleh Masyarakat Hukum


Adat atau masyarakat setempat.
9. Pengakuan Kearifan Lokal adalah pernyataan Negara
sebagai penerimaan dan penghormatan atas Kearifan
Lokal yang diampu Masyarakat Hukum Adat dan/atau
masyarakat setempat.
10. Perlindungan Kearifan Lokal adalah suatu bentuk
pelayanan Negara kepada Masyarakat Hukum Adat atau
masyarakat setempat dalam rangka menjamin
kelangsungan Kearifan Lokal dan keberadaan
masyarakat pengampunya, serta terpenuhinya hak dan
kewajiban dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, agar dapat hidup, tumbuh, dan
berkembang sebagai satu kelompok masyarakat yang
madani, berpartisipasi sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaannya.
11. Wilayah Kearifan Lokal adalah suatu wilayah tertentu
berupa daratan dan/atau perairan beserta sumber daya
alam yang ada di atasnya, dengan batas-batas tertentu di
mana pemanfaatan Kearifan Lokal dan pengetahuan
tradisional dilaksanakan secara turun termurun dan
berkelanjutan.
12. Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal, yang selanjutnya
disingkat PADIA adalah pemberitahuan dari pemohon
akses kepada Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat
setempat tentang semua informasi dalam rangka
kegiatan pemanfaatan Kearifan Lokal sebagai bahan
pertimbangan dalam memberikan persetujuan akses
terhadap Kearifan Lokal.
13. Kesepakatan Bersama adalah kesepakatan yang adil dan
seimbang antara Pengampu dengan Pengakses Kearifan
Lokal.
14. Protokol Komunitas adalah pranata atau tata cara
pengambilan keputusan dalam pemberian akses yang
berkembang secara turun-temurun pada Masyarakat
Hukum Adat atau masyarakat setempat terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

43
-7-

15. Inventarisasi adalah kegiatan ilmiah untuk mendata


tentang Kearifan Lokal, keberadaan masyarakat
pengampunya, beserta hak-hak masyarakat yang
dilakukan melalui suatu urutan kerja tertentu yang
sesuai dengan kaidah umum tentang proses pendataan
secara ilmiah, partisipatif, dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
16. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan
kehutanan.
17. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang
membidangi Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan.
18. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.

Bagian Kedua
Maksud, Tujuan, dan Ruang Lingkup

Pasal 2
(1) Pengaturan Kearifan Lokal dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan hukum bagi pengampu dan
memfasilitasi pengakses Kearifan Lokal dalam
mewujudkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan
pelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya
alam.
(2) Pengaturan Kearifan Lokal bertujuan agar pengampu
Kearifan Lokal mendapat pengakuan, perlindungan, dan
memperoleh pembagian keuntungan yang adil dan
seimbang dari pemanfaatan Kearifan Lokal dalam
relevansi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup.

Pasal 3
Ruang lingkup pengaturan Kearifan Lokal, meliputi:
a. lingkup, sifat, wilayah, dan kriteria Kearifan Lokal;

44
-8-

b. tata cara pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal;


c. hak dan kewajiban Pengampu dan Pengakses Kearifan
Lokal; dan
d. pembiayaan.

BAB II
LINGKUP, SIFAT, WILAYAH, DAN KRITERIA KEARIFAN LOKAL

Pasal 4
Lingkup Kearifan Lokal paling sedikit mencakup:
a. pengetahuan tradisional di bidang Sumber Daya Genetik,
air, tanah, dan energi;
b. pengetahuan tradisional termasuk namun tidak terbatas
pada mata pencaharian berkelanjutan, kesehatan, dan
lainnya, di bidang wilayah Kearifan Lokal yang dijaga
kelestariannya;
c. peralatan dan teknologi tradisional di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan
sumber daya alam;
d. ekspresi budaya tradisional, tradisi dan upacara
tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dan sumber daya alam termasuk
folklor terkait Sumber Daya Genetik;
e. pembelajaran tradisional di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;
dan/atau
f. warisan budaya benda dan tak benda.

Pasal 5
(1) Sifat Kearifan Lokal terdiri atas:
a. Kearifan Lokal yang dapat diakses publik; dan
b. Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral dan
dipegang teguh.
(2) Kearifan Lokal yang dapat diakses publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan Kearifan
Lokal yang oleh pengampunya dapat diakses oleh
pengakses atau kelompok lain.

45
-9-

(3) Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral, dan


dipegang teguh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, yang karena sifatnya oleh pengampunya
dirahasiakan dan/atau disakralkan sehingga tidak dapat
diakses oleh pihak lain atau tidak boleh dipublikasi
secara luas kepada masyarakat.

Pasal 6
(1) Wilayah Kearifan Lokal meliputi:
a. Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat;
b. Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar
wilayah ulayat; atau
c. Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa
wilayah ulayat.
(2) Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Kearifan
Lokal yang diampu oleh satu komunitas Masyarakat
Hukum Adat dalam satu Wilayah Kearifan Lokal.
(3) Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar wilayah
ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh satu
Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat baik
dalam satu atau lebih Wilayah Kearifan Lokal.
(4) Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa
wilayah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh
beberapa kelompok Masyarakat Hukum Adat atau
masyarakat setempat baik dalam satu atau lebih Wilayah
Kearifan Lokal.

Pasal 7
Kriteria Kearifan Lokal di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam , terdiri
atas:
a. nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat; dan

46
- 10 -

b. pernyataan pengakuan masyarakat sekitar yang berbeda


adat dan budaya.

Pasal 8
(1) Indikator kriteria Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf a, terdiri atas:
a. terpelihara praktik pengetahuan dan keterampilan
tradisional yang nyata secara terus menerus dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dan sumber daya alam;
b. terpelihara kualitas lingkungan hidup dan sumber
daya hutan sebagai pelaksanaan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. terpelihara ingatan kolektif masyarakat tentang
Kearifan Lokal yang berkaitan dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
hutan termasuk ekspresi budaya tradisional; dan
d. terwariskan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a yang direpresentasikan antar generasi.
(2) Indikator kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf b berupa surat pernyataan, pernyataan sikap,
dan/atau bentuk pengakuan lainnya tentang kebenaran
Kearifan Lokal dan pengampunya yang diberikan oleh
masyarakat sekitar melalui proses musyawarah mufakat.

BAB III
TATA CARA PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN
KEARIFAN LOKAL

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 9
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya secara aktif mendorong dan
memfasilitasi inventarisasi, verifikasi, dan validasi

47
- 11 -

Kearifan Lokal dan keberadaan masyarakat Pengampu


Kearifan Lokal.
(2) Inventarisasi dilaksanakan oleh Pengampu Kearifan
Lokal.
(3) Dalam hal Pengampu Kearifan Lokal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak melakukan inventarisasi,
Pemerintah dapat melakukan inventarisasi Kearifan
Lokal untuk melindungi dan mengakui Kearifan Lokal.

Pasal 10
(1) Penyelenggaraan inventarisasi, verifikasi, dan validasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilaksanakan
dengan ketentuan:
a. wilayah lintas daerah provinsi diselenggarakan oleh
Menteri;
b. wilayah lintas daerah kabupaten dan/atau kota
dilaksanakan oleh gubernur; dan
c. dalam satu wilayah daerah kabupaten/kota
dilaksanakan oleh bupati/walikota.
(2) Penyelenggaraan inventarisasi, verifikasi, dan validasi
pada wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dan huruf c dilakukan oleh organisasi perangkat
daerah yang membidangi lingkungan hidup dan
kehutanan.

Bagian Kedua
Inventarisasi

Pasal 11
(1) Pengampu Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) dalam melakukan inventarisasi dapat
melibatkan lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat,
perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan dunia usaha.
(2) Dalam hal inventarisasi dilakukan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (3) dapat melibatkan lembaga

48
- 12 -

swadaya masyarakat, lembaga adat, perguruan tinggi,


lembaga penelitian, dan dunia usaha.
(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dan Pengampu
Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dalam melaksanakan inventarisasi berkoordinasi
dengan kementerian/lembaga terkait.

Pasal 12
Masyarakat Pengampu Kearifan Lokal yang melakukan
inventarisasinya sendiri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1), mendaftarkan data Kearifan Lokal dan
pengampunya kepada:
a. Menteri untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh 1 (satu)
atau lebih komunitas yang tersebar di wilayah lintas
provinsi;
b. Gubernur untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh 1
(satu) atau lebih komunitas yang tersebar di wilayah
lintas daerah kabupaten dan/atau kota; atau
c. Bupati/walikota untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh
komunitas dalam satu wilayah daerah kabupaten/kota
untuk selanjutnya diteruskan kepada gubernur.

Pasal 13
(1) Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dilakukan melalui kegiatan:
a. studi pustaka;
b. in situ atau kunjungan lapangan;
c. identifikasi dan pembuatan daftar kearifan lokal dan
pengampunya; dan
d. dokumentasi hasil inventarisasi.
(2) Dalam melakukan inventarisasi wajib:
a. mentaati hukum adat dan kode etik yang berlaku;
b. menghormati kesakralan dan kerahasiaan dari
Kearifan Lokal tersebut; dan
c. dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

49
- 13 -

(3) Inventarisasi paling sedikit memuat data atau informasi


mengenai:
a. nama Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat
setempat Pengampu Kearifan Lokal;
b. sejarah perkembangan masyarakat;
c. adat-istiadat atau norma adat yang masih berlaku;
d. keberadaan dan fungsi kelembagaan adat, serta
sistem kekerabatan;
e. protokol komunitas dan sistem pengambilan
keputusan;
f. pengetahuan tentang Sumber Daya Genetik atau
sumber daya hayati;
g. pengetahuan tentang tata ruang dan Wilayah
Kearifan Lokal;
h. pengetahuan tentang tanah dan air;
i. pengetahuan tentang hal-hal tabu dan sakral dalam
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
alam;
j. teknologi dan peralatan tradisional pengelolaan
lingkungan hidup dan sumber daya alam;
k. tradisi tentang pelestarian fungsi lingkungan hidup
dan sumber daya alam ;
l. pola pengawasan lingkungan hidup dan
penyelesaian konflik; dan/atau
m. pengetahuan tentang suksesi, seleksi, dan adaptasi.
(4) Dokumentasi hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d dilakukan setelah mendapatkan
PADIA dari kelompok masyarakat pengampunya.
(5) Dokumentasi Kearifan Lokal yang bersifat sakral dan
rahasia hanya dilakukan terhadap jenis Kearifan Lokal
dan pengampunya dengan tetap menjaga kesakralan dan
kerahasiaannya.

50
- 14 -

Bagian Ketiga
Pengumuman Hasil Inventarisasi

Pasal 14
(1) Hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 dapat diumumkan melalui media cetak, media
elektronik, dan/atau pengumuman di kantor
Pemerintah/pemerintah daerah.
(2) Dalam hal terdapat keberatan terhadap hasil
inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
masyarakat dapat mengajukan keberatan dalam kurun
waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diumumkan di
media.
(3) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan melalui surat tertulis dari pimpinan
lembaga adat atau Pengampu Kearifan Lokal kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Berdasarkan keberatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya, melakukan:
a. verifikasi dan validasi; atau
b. mediasi.

Pasal 15
Dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap hasil
inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya menetapkan pengakuan dan perlindungan
Kearifan Lokal dalam bentuk Keputusan Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota.

51
- 15 -

Bagian Keempat
Verifikasi, Validasi, dan Mediasi

Pasal 16
(1) Verifikasi dan validasi data Kearifan Lokal dan
pengampunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (4) huruf a dilakukan untuk memastikan kebenaran
hasil inventarisasi Kearifan Lokal dan pengampunya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).
(2) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan berdasarkan hasil inventarisasi, yang
dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya dibantu oleh Tim
Independen yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Tim Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri dari unsur akademisi yang membidangi Kearifan
Lokal dan lembaga swadaya masyarakat, keanggotaannya
paling banyak 7 (tujuh) orang dengan memperhatikan
kesetaraan gender.
(4) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan melalui kajian lapangan dengan
metode:
a. menyalin manuskrip;
b. diskusi dalam grup;
c. wawancara;
d. pengamatan;
e. pengkajian sejarah kehidupan masyarakat
Pengampu Kearifan Lokal; dan
f. pemetaan partisipatif Wilayah Kearifan Lokal.
(5) Kearifan Lokal yang bersifat sakral dan rahasia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) tidak
dilakukan verifikasi dan validasi.

Pasal 17
(1) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16, meliputi:

52
- 16 -

a. nama komunitas pengampu Kearifan Lokal;


b. wilayah Kearifan Lokal yang dilindungi;
c. jenis Sumber Daya Genetik yang dilindungi;
d. jenis Kearifan Lokal yang dilindungi; dan
e. skema pemanfaatan kearifan lokal.
(2) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan paling lama 14 (empat belas) hari
kerja setelah ditetapkannya Tim Independen.
(3) Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dituangkan dalam berita acara dan disampaikan
kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.

Pasal 18
(1) Mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4)
huruf b dilakukan oleh mediator bersertifikat.
(2) Hasil mediasi dituangkan dalam berita acara dan
disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota.

Bagian Kelima
Penetapan

Pasal 19
(1) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (3) atau Pasal 18 ayat (2), Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya menetapkan pengakuan dan
perlindungan Kearifan Lokal.
(2) Penetapan pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. nama komunitas pengampu Kearifan Lokal;
b. wilayah Kearifan Lokal yang dilindungi;
c. jenis Sumber Daya Genetik yang dilindungi;
d. jenis Kearifan Lokal yang dilindungi;
e. skema pemanfaatan Kearifan Lokal; dan

53
- 17 -

f. hak, kewajiban Pengampu, tugas dan tanggung


jawab Pengakses, dan pemerintah.
(3) Gubernur atau bupati/walikota yang telah menerbitkan
keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melaporkan kepada Menteri.

Pasal 20
(1) Keputusan penetapan Kearifan Lokal oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota, disimpan pada Balai
Kliring Kearifan Lokal.
(2) Balai Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengelola:
a. data naratif, numerik, visual dan/atau spasial;
b. daftar pengampu;
c. daftar pengakses; dan
d. daftar kesepakatan bersama dan perubahannya.
(3) Pengelolaan Balai Kliring sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal untuk
mencegah penyalahgunaan dan pemanfaatan yang tidak
sah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
(4) Data yang menyangkut Sumber Daya Genetik dan
pengetahuan tradisional yang terkait dengan Sumber
Daya Genetik hanya dapat diakses berupa resume
data/abstrak/metadata.
(5) Data yang menyangkut ekspresi budaya tradisional
terkait sumber daya genetik, warisan budaya benda dan
tak benda dapat diakses dan dipublikasi secara luas.

Pasal 21
Dalam hal terdapat keberatan terhadap penetapan pengakuan
dan perlindungan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, keberatan dapat diajukan kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

54
- 18 -

Pasal 22
Tata Cara inventarisasi, verifikasi, dan validasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 17 diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal.

BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN PENGAMPU DAN
PENGAKSES KEARIFAN LOKAL

Pasal 23
(1) Hak Pengampu Kearifan Lokal meliputi:
a. memanfaatkan dan menggunakan pengetahuan
Kearifan Lokal dalam pemanfaatan Sumber Daya
Genetik dan mendapat pembagian keuntungan baik
secara moneter maupun non moneter atas
pemanfaatan Kearifan Lokal baik pada pengetahuan
generik maupun lanjutannya;
b. mengekspresikan Kearifan Lokal baik di dalam
maupun di luar Wilayah Kearifan Lokal;
c. mendapat perlakuan yang adil dan seimbang dalam
PADIA;
d. menolak atau menerima permohonan akses melalui
PADIA;
e. memperoleh kesempatan dalam kegiatan
peningkatan kapasitas dan penguatan kelembagaan
masyarakat;
f. mendapat perlindungan dari gangguan kerusakan
dan pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya
alam;
g. mengajukan keberatan terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan hidup, sumber
daya alam, religi, politik, keamanan, ekonomi, sosial
dan budaya;
h. melakukan pelaporan dan pengaduan akibat dugaan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
dan sumber daya alam;

55
- 19 -

i. mendapat perlindungan dan pemberdayaan


terhadap Kearifan Lokal dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
alam; dan/atau
j. mengajukan gugatan atas wanprestasi atau
pelanggaran terhadap kesepakatan bersama antara
Pengampu dengan Pengakses Kearifan Lokal.
(2) Kewajiban Pengampu Kearifan Lokal meliputi:
a. memelihara, mengembangkan, dan mempraktikkan
Kearifan Lokal dan pengetahuan tradisional untuk
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dan sumber daya alam secara lestari; dan
b. mewariskan nilai-nilai luhur Kearifan Lokal dan
pengetahuan tradisional dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
alam kepada generasi berikutnya.
(3) Dalam hal pengampu mengembangkan Kearifan Lokal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pengampu
menginformasikan kepada Pemerintah dan pemerintah
daerah.

Pasal 24
(1) Pengakses Kearifan Lokal berhak untuk memperoleh
keuntungan finansial dan nonfinansial sebagaimana
ditentukan dalam kesepakatan bersama dari
pemanfaatan Kearifan Lokal dengan cara yang benar,
terbuka, adil, seimbang, keberlanjutan, dan
penghormatan kepada Masyarakat Hukum Adat atau
masyarakat setempat.
(2) Kewajiban Pengakses Kearifan Lokal meliputi:
a. melakukan pemberitahuan kepada Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah sesuai
kewenangannya;
b. melakukan PADIA dan kesepakatan bersama dengan
Pengampu Kearifan Lokal;
c. mematuhi protokol komunitas Pengampu Kearifan
Lokal;

56
- 20 -

d. membagi keuntungan sesuai dengan kesepakatan


bersama;
e. memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup
serta mengendalikan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam;
f. melindungi Kearifan Lokal yang bersifat generik
dengan tidak mematenkannya;
g. meminta persetujuan dan kesepakatan dari
Pengampu Kearifan Lokal jika mematenkan turunan
dari Kearifan Lokal; dan
h. melaporkan hasil turunan Kearifan Lokal kepada
Pemerintah Pusat dan daerah.
(3) Dalam hal mengakses dan memanfaatkan turunan
Kearifan Lokal sebagai dasar temuan untuk paten,
Pengakses wajib memberikan pembagian keuntungan
yang adil dan seimbang kepada Pengampu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V
PEMBIAYAAN

Pasal 25
Pembiayaan pelaksanaan pengakuan dan perlindungan
Kearifan Lokal dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi atau Kabupaten/Kota, dan sumber dana lain yang
sah dan tidak mengikat.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 26
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

57
- 21 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Mei 2017

MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN


KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SITI NURBAYA

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juni 2017

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 801

Salinan sesuai dengan aslinya


KEPALA BIRO HUKUM,

ttd.

KRISNA RYA

58

Anda mungkin juga menyukai