Anda di halaman 1dari 24

ANALISIS AKTOR, RELASI KUASA DALAM

PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN HUTAN


DESA LABBO

OLEH :

REZKY AZHURAH DARMAN


M 111 13 040

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii 
 
ABSTRAK
REZKY AZHURAH DARMAN (M111 13 040). Analisis Aktor, Relasi Kuasa
dalam Pembangunan dan Pengelolaan Hutan Desa Labbo di bawah
bimbingan Muhammad Dassir dan Muhammad Alif K.S

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aktor dalam pembangunan hutan desa,
dan menilai relasi kuasa (power) diantara aktor dalam menggerakkan
pembangunan hutan desa Labbo. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2017
di Desa Labbo, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng. Metode
pengambilan data menggunakan tiga tahap yakni metode Snowball Sampling,
triangulasi data, kemudian dilanjutkan dengan analisis data menggunakan teori
ACP (Aktor Centered Power). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktor yang
terlibat pada fase pengusulan hutan desa (2008-2010) yaitu, Pemerintah
Kabupaten, RECOFTC-Universitas Hasanuddin, Bpdas, kepala desa, KTH.
Sedangkan aktor yang terlibat pada pengelolaan hutan desa (2011-2017) yaitu
Dinas kehutanan, Balang Institute, Bpdas, Universitas Hasanuddin, Pemerintah
desa, KTH. Adapun relasi kekuasaan antar aktor pada pengusulan hutan desa
memiliki hubungan kolaborasi yang baik. Dimana aktor powerful pada fase ini
yakni Pemerintah Kabupaten, dan RECOFTC-Universitas Hasanuddin, sedangkan
pada pengelolaan hutan desa terdapat beberapa hubungan yang kurang harmonis,
juga kurangnya kontribusi dari berbagai pihak. Dimana pada fase ini aktor yang
powerful yakni BPDAS/ PSKL dan Balang Institute.
Kata Kunci: Aktor, Relasi Kuasa, Hutan Desa

iii 
 
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT untuk segala berkat,

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan

dengan baik, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Jurusan

Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Tak lupa salam dan

salawat atas Nabiullah Muhammad SAW yang telah diutus sebagai pembawa

risalah (ajaran) Islam yang suci dan agung.

Dalam melaksanakan seluruh kegiatan penelitian ini, penulis telah banyak

mendapatkan bimbingan, pelajaran, petunjuk serta bantuan yang sangat dan akan

bermanfaat bagi penulis di dalam menerapkan ilmu-ilmu yang diperoleh di

bangku perkuliahan ke dalam realita kehidupan sesungguhnya. Karenanya, pada

kesempatan ini penulis dengan tulus mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Dassir, M.Si dan Bapak Dr Forest.

Muhammad Alif K.S. S.Hut, M.Si selaku pembimbing yang dengan sabar

telah mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran dalam mengarahkan dan

membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Syahidah, S.Hut, M.Si.Ph.D, Bapak Prof. Dr. Yusran, S.Hut.M.Si dan

Bapak Dr. H. A. Mujetahid M., S.Hut.M.P. selaku dosen penguji yang telah

memberikan bantuan, saran dan koreksi dalam penyusunan skripsi ini.

3. Seluruh dosen–dosen pengajar dalam ruang lingkup Fakultas Kehutanan

Universitas Hasanuddin yang telah membagi ilmunya yang bermanfaat dan

telah berperan sebagai orang tua bagi penulis.

iv 
 
4. Serta seluruh staf pegawai Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin yang

telah membantu mengurus administrasi yang penulis butuhkan.

5. Sahabat Nurul Anuqrah Waty, Mulianti, Ayu Handirsa, Muthmainnah Aqilah,

Andi Batari, serta semua teman-teman angkatan ”013” (Gemuruh), terimah

kasih atas kebersamaan selama menjadi mahasiswa Fakultas Kehutanan.

6. Teman penelitian serta teman bimbingan Riah Reski dan Dwi Wulandari

Lukman terimah kasih atas bantuan dan kerjasamanya.

7. Sahabat SMA Sukma Wahab, Andi Ayu Nurhidayah, Riska T, Nur Rahmah,

Rezky Nur Amaliah Assyahrani dan Syamsiar terimah kasih telah banyak

membantu, memberi dukungan dan dorongan moril serta candaan-candaan

kalian yang membangun semangat penulis.

8. Semua pihak yang telah turut membantu dan bekerjasama setulusnya dalam

pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini.

Akhirnya kebahagiaan ini kupersembahkan kepada Ayahanda tercinta

Darman dan juga Ibunda tercinta Ratna Wati terimah kasih telah mencurahkan

doa, kasih sayang, cinta, perhatian, pengorbanan, motivasi yang sangat kuat yang

tak akan putus dan terhingga di dalam kehidupan penulis selama ini.

Kekurangan dan keterbatasan pada dasarnya ada pada segala sesuatu yang

tercipta di alam ini, tidak terkecuali skripsi ini. Untuk itu, dengan penuh

kerendahan hati penulis terbuka menerima segala saran dan kritik dari pembaca

dan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Makassar, 2017

Penulis


 
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
ABSTRAK .......................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................………….. xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Tujuan dan Kegunaan ......................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 4
2.1. Aktor atau Stakeholder ....................................................................... 4
2.2. Struktur Sosial/ Stratifikasi Sosial ...................................................... 5
2.3. Dinamika Aktor dan Relasi Kuasanya................................................ 6
2.4. Peranan Struktur Sosial, Relasi Kuasa Dalam Pengelolaan
Hutan Desa ......................................................................................... 8
2.5. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ................................................ 10
2.5.1. Keadaan Fisik Wilayah............................................................. 10
2.5.2. Keadaan Sosial Ekonomi ......................................................... 11
BAB III METODOLOGI PENELITIAN............................................................ 13
3.1. Waktu dan Tempat.............................................................................. 13
3.2. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 13
3.3. Tahapan Pengambilan Data dan Analisis Data ................................... 14
3.4 Definisi Operasional ........................................................................... 17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 18
4.1. Identifikasi Aktor yang Terlibat dalam Pembangunan Hutan Desa di
Desa Labbo, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng ............. 18
4.2. Dinamika Power Aktor dan Unsur Kekuasaannya ............................. 24
4.3. Pola Hubungan (Relasi) Antara Aktor atau Stakeholder .................... 32
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ 35
5.1. Kesimpulan ........................................................................................ 35
5.2. Saran .................................................................................................. 35

vi 
 
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 36
LAMPIRAN ........................................................................................................ 39

vii 
 
DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman


Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian ...................................................................... 13

Gambar 2.Penilaian Sebaran Penggunaan Sumber Power Aktor Pada Fase


Penmbangunan Hutan Desa ............................................................. 25

Gambar 3. Penilaian Aktor powerful untuk Elemen Dominan Informasi ........... 27

Gambar 4. Penilaian Aktor powerful untuk Elemen Incentives .......................... 28

Gambar 5.Penilaian Sebaran Penggunaan Sumber Power Aktor Pada Fase


Pengelolaan Hutan Desa .................................................................. 29

Gambar 6. Penilaian Aktor powerful untuk Elemen Dominan Informasi ........... 30

Gambar 7. Penilaian Aktor powerful untuk Elemen Incentives .......................... 31

Gambar 8. Pola Hubungan/ Relationship Antara Aktor Pada pengususlan


Hutan Desa ....................................................................................... 32

Gambar 9. Pola Hubungan/ Relationship Antara Aktor Pada pengelolaan


Hutan Desa ....................................................................................... 33

Gambar 10. Interview dengan Masyarakat/ Petani Hutan .................................. 69

Gambar 11. Interview dengan Pihak RECOFTC/ Universitas Hasanuddin ....... 69

Gambar 12. Diskusi Dengan Pihak Balang Institute........................................... 70

viii 
 
DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman


Tabel 1. Aktor atau Stakeholder pada Fase Pengusulan Hutan Desa ............... 19

Tabel 2. Aktor atau Stakeholder pada Fase Pengelolaan Hutan Desa .............. 22

Tabel 3. Penilaian Power Aktor Fase Pembangunan Hutan Desa ..................... 40

Tabel 4.Perhitungan Power Aktor: Sumber Power Dominan Informasi ............ 41

Tabel 5. Perhitungan Power Aktor: Sumber Power Insentif............................... 41

Tabel 6. Penilaian Power Aktor Fae Pengelolaan Hutan Desa ........................... 51

Tabel 7. Perhitungan Power Aktor: Sumber Power Dominan Informasi ........... 52

Tabel 8. Perhitungan Power Aktor: Sumber Power Insentif............................... 52

Tabel 9. Perhitungan Power Aktor: Sumber Power Koersi ................................ 52

ix 
 
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

Lampiran 1. Penilaian Power Aktor Fase Pembangunan Hutan Desa ................ 40

Lampiran 2. Perhitungan Power Aktor: Sumber Power Dominan Informasi ..... 41

Lampiran 3. Perhitungan Power Aktor: Sumber Power Insentif ........................ 41

Lampiran 4. Perhitungan Fase pembangunan Hutan .......................................... 41

Lampiran 5. Penilaian Power Aktor Fase Pengelolaan Hutan Desa ................... 51

Lampiran 6. Perhitungan Power Aktor: Sumber Power Dominan Informasi ..... 52

Lampiran 7. Perhitungan Power Aktor: Sumber Power Insentif ........................ 52

Lmapiran 8. Perhitungan Power Aktor: Sumber Power Koersi ......................... 52

Lampiran 9. Perhitungan Fase pembangunan Hutan .......................................... 52

Lmpiran 10. Pedoman Wawancara .................................................................... 67

Lampiran 11. Daftar Narasumber ....................................................................... 68

Lampiran 12. Dokumentasi Penelitian ................................................................ 69

Lampiran 13. Peraturan Menteri Kehutanan Tentang Hutan Desa ..................... 71


 
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengembangan hutan desa di Indonesia salah satu diantaranya berada di


Kabupaten Bantaeng. Terdapat tiga daerah yang telah ditetapkan untuk
pengelolaan hutan desa di Kabupaten Bantaeng, salah satunya adalah Desa Labbo
yang memperoleh alokasi areal kerja hutan desa seluas ± 342 ha (Supratman &
Sahide, 2013). Sebelum ditetapkannya areal kerja hutan desa tersebut, masyarakat
di sekitar hutan biasanya melakukan aktivitas penebangan, baik untuk tujuan
produksi maupun untuk tujuan konversi lahan hutan rakyat menjadi areal tanaman
semusim.
Aktivitas tersebut didukung karena adanya sistem tenure tradisional yang
kuat, sehingga hal ini dapat menjadi sumber konflik apabila sistem tersebut tidak
disinergikan dengan sistem tenure formal pengelolaan hutan berbasis masyarakat
(Supratman & Sahide, 2013). Konflik tidak sebatas semata-mata menghadapkan
dunia usaha dengan masyarakat, namun kadang juga terjadi antara pemerintah
dengan masyarakat (Nugraha, 2004). Nugraha (2004) lebih lanjut mengungkapkan
bahwa secara umum, konflik yang terjadi dikawasan hutan sekarang ini,
mencerminkan kondisi para pihak yang sedang berupaya merevitalisasi dan
mereposisi perannya dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Dalam sudut pandang
sosial politik, konflik di kawasan hutan mencerminkan perubahan sistem politik
(pemilikan dan penguasaan) terhadap hak politik berupa kewenangan dalam
pengurusan, serta pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan.
Secara praktis politik kehutanan merupakan pengaturan pengelolaan hutan
untuk memperoleh manfaat yang maksimal dan lestari (Yusran, 2012). Sedangkan
secara teoritis politik kehutanan merupakan sebuah analisis untuk mengetahui
pemangku kepentingan atau stakeholder yang memiliki pengaruh atau
sumberdaya yang bisa mempengaruhi pada proses pengambilan keputusan
(Brugha & Varvasovszky, 2000). Yusran (2012) juga mengemukakan bahwa
politik kehutanan menitikberatkan pada kepentingan dalam meningkatkan fungsi

1
serta manfaat sumberdaya hutan bagi kesejahteraan masyarakat. Dibalik
kesuksesan peningkatan fungsi pemanfaatan sumberdaya, terdapat peran serta
berbagai pemangku kepentingan (aktor atau stakeholder) yang terlibat dalam
pembangunan hutan desa (Supratman & Sahide, 2010). Dalam hal ini aktor yang
dimaksud adalah individu atau kelompok yang memiliki pengaruh dan
kepentingan yang jelas dalam hal pembangunan hutan desa (Krott, 2005; Sahide
dkk, 2016).
Disetiap kepentingannya aktor-aktor tersebut memiliki tujuan formal dan
informal (Sahide & Giessen, 2015 ; Wibowo, 2016). Dalam mewujudkan tujuan
tersebut, tidak terlepas dari peran aktor yang memiliki kekuasaan (Power),
incentives dan dominan information (Wibowo, 2016 ; Krott, 2005). Hal ini terjadi
karena adanya suatu kepentingan yang berbeda dengan tingkat kekuasaan yang
berbeda, yang dapat mengakibatkan konflik (Febryano dkk, 2015). Kondisi
tersebut diakibatkan karena adanya relasi kuasa yang tidak transparan, dimana
relasi kuasa yang dimiliki oleh aktor tertentu mampu menentukan siapa saja pihak
yang terlibat dan berperan dalam pembangunan hutan (Rosyadi & Sobandi,
2013). Hal tersebut sejalan dengan kajian yang telah dilakukan oleh Krott (2005)
yang menyatakan bahwa didalam relasi kuasa terdapat unsur kekuatan hubungan
sosial dimana seorang aktor memiliki kemampuan untuk mengubah perilaku
aktor yang lainnya, hal tersebut juga erat kaitannya dengan suasana politik di desa
dalam hal pembangunan hutan desa.
Berdasarkan hal diatas, maka perlu dilakukan suatu penelitian terkait aktor
untuk mengetahui siapa saja yang terlibat serta yang lebih berpengaruh, juga
bagaimana relasi kuasa antar aktor/ stakeholder dalam pembangunan dan
pengelolaan hutan desa, di Desa Labbo, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten
Bantaeng. Pemilihan lokasi di dasari karena Kabupaten Bantaeng merupakan
salah satu sentral pembangunan hutan desa di Sulawesi Selatan, dan daerah ini
juga sebagai salah satu laboratorium lapangan Fakultas Kehutanan Unhas, dimana
laboratorium ini menjadi tempat belajar mahasiswa.

2
1.2 Tujuan dan Kegunaaan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aktor dalam pembangunan dan


pengelolaan hutan desa, dan menilai relasi kuasa (power) diantara aktor dalam
menggerakkan pembangunan hutan desa Labbo. Adapun kegunaan dari penelitian
ini yaitu sebagai referensi atau bahan informasi untuk pemerintah setempat dalam
peningkatan pengelolaan hutan desa Labbo, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten
Bantaeng

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aktor atau Stakeholder

Aktor merupakan individu atau kelompok yang memiliki jaringan


kekuasaan, serta memiliki suatu kepentingan tertentu (Krott, 2005; Sahide dkk,
2016). Aktor sebagai pemangku kepentingan yang dinyatakan oleh Iqbal (2007)
secara aktif terlibat dalam suatu kegiatan dan terkena dampak, baik positif
maupun negatif, dari hasil pelaksanaan kegiatan. Mitchell dkk (2011) mengatakan
teori pemangku kepentingan menitikberatkan pada siapa yang memegang
kekuasaan, legitimasi, serta mempunyai kepentingan dalam organisasi. Setiap
aktor memiliki kepentingan yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan tertentu
(Febryano dkk, 2015).
Aktor-aktor tersebut dalam kepentingannya tidak terlepas dari tujuan
formal dan informal, dimana tujuan formal yaitu melayani kepentingan umum
sedangkan tujuan informal yaitu bertahan dan memperluas kepentingan
organisasi, memaksimalkan kekuasaan, anggaran dan staf secara bersamaan
(Sahide dkk, 2016 ; Wibowo & Giessen, 2015). Meskipun hal ini tampak logis
perilaku ini dapat disebut tidak homogeny, karena tergantung pada kemampuan
masing-masing aktor untuk memperoleh keuntungan pribadi (Wibowo, 2016).
Pemangku kepentingan dapat dibedakan atas tiga kelompok yaitu pemangku
kepentingan utama, pemangku kepentingan penunjang dan pemangku kepentingan
kunci (Iqbal, 2007 ; Falah, 2012).
Pemangku kepentingan utama, yakni aktor yang memiliki keterkaitan
langsung serta yang menerima dampak positif ataupun negatif (di luar kerelaan)
dari suatu kegiatan. Pemangku kepentingan penunjang, yakni perorangan atau
kelompok yang menjadi perantara dalam membantu proses penyampaian dari
suatu kegiatan, sedangkan pemangku kepentingan kunci, yakni individu atau
kelompok yang berpengaruh kuat atau penting terkait dengan masalah, kebutuhan,
dan perhatian terhadap kelancaran kegiatan (Iqbal, 2007).

4
2.2 Struktur Sosial/ Stratifikasi Sosial

Firth (2013) berpendapat bahwa struktur sosial merupakan suatu bentuk


hubungan atau keterkaitan antar manusia yang meliputi berbagai tipe kelompok
dan meliputi pula lembaga-lembaga dimana orang-orang tersebut ambil bagian.
Struktur sosial sebagai sebuah tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat
merupakan suatu jaringan dari unsur-unsur sosial yang pokok, seperti kelompok
sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan, dan wewenang
(Moeis, 2008). Stratifikasi sosial merupakan pembedaan dan/ atau
pengelompokan masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat, hal itu terjadi
pada setiap masyarakat yang mempunyai sesuatu yang dihargai (Moeis, 2008 ;
Singgih, 2014 ). Pengelompokan ini didasarkan pada adanya simbol-simbol
tertentu yang dianggap berharga atau bernilai, baik bernilai secara sosial,
ekonomi, politik, hukum, budaya atau dimensi lainnya (Singgih, 2014).
Setiap masyarakat pasti memiliki sesuatu yang dapat dihargai, dalam hal
ini dapat berupa barang atau berupa uang, benda-benda yang bernilai ekonomis,
berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan atau mungkin keturunan dari orang
terhormat (Moeis, 2008). Menurut Al Humaidy (2012) konsep stratifikasi sosial
berupa stratifikasi kelas menunjuk pada stratifikasi sosial berdasarkan perbedaan
posisi pekerjaan, tingkat pendidikan, dan gaya hidup. Al Humaidy (2012) lebih
lanjut mengatakan bahwa stratifikasi sosial juga sebagai hasil interaksi sosial dari
berbagai faktor seperti kelas, kesukuan, jenis kelamin, dan usia. Sebelumnya telah
diketahui bahwa dasar timbulnya suatu pelapisan dalam masyarakat karena
adanya suatu sistem penilaian atau penghargaan terhadap berbagai hal, berkenaan
dengan potensi, serta kapasitas atau kemampuan seseorang yang berbeda dari
yang lain (Moeis, 2008).
Terdapat dua proses yang mengakibatkan timbulnya pelapisan dalam
masyarakat; pertama terjadi dengan sendirinya, dan yang kedua sengaja disusun
untuk mengejar suatu tujuan bersama (Moeis, 2008). Proses pelapisan sosial yang
pertama terjadi karena tingkat umur, kecerdasan/ kepandaian, kekerabatan, serta
gender. Sedangkan proses pelapisan yang disengaja disusun dilihat berdasarkan

5
pendidikan, pekerjaan, dan stratifikasi ekonomi. Dalam sistem pelapisan sosial
ukuran atau kriteria yang dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat
kedalam lapisan-lapisan tersebut yakni ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan,
dan ilmu pengetahuan. Ukuran-ukuran tersebut tidaklah bersifat limitatif, karena
masih ada ukuran-ukuran lainnya yang dapat dipergunakan. Akan tetapi ukuran-
ukuran tersebut adalah aspek yang menonjol sebagai dasar timbulnya suatu sistem
berlapis-lapis dalam masyarakat (Moeis, 2008).

2.3 Dinamika Aktor dan Relasi Kuasanya

Struktur sosial tersusun dari beberapa unsur salah satunya yakni adanya
kekuasaan, berupa kemampuan memerintah dari anggota masyarakat yang
memegang kekuasaan sehingga sistem sosial tetap berjalan (Moeis, 2008). Alit
(2005) lebih jelas mengemukakan bahwa kekuasaan biasanya membentuk suatu
hubungan asimetris dalam arti bahwa ada salah satu pihak yang memerintah, satu
pihak yang memberi perintah serta pihak yang mematuhi perintah. Kekuasaan
merupakan kemampuan seseorang atau kelompok dalam mempengaruhi orang
atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Budiarjo (2003).
Rosyadi & Sobandi (2013) mengungkapkan bahwa relasi kuasa merupakan
hubungan yang terbentuk antara aktor-aktor (stakeholder) tertentu yang memiliki
suatu kepentingan dengan tingkat kekuasaan yang berbeda. Krott (2005) juga
mengatakan bahwa didalam relasi kuasa terdapat unsur kekuatan hubungan sosial
yakni seorang aktor memiliki kemampuan untuk mengubah perilaku aktor yang
lainnya, dengan kata lain unsur kekuasaan memiliki pengaruh dalam membentuk
sebuah program atau kegiatan sesuai dengan kepentingan seseorang, bahkan
terhadap perlawanan aktor-aktor lain.
Secara formal sampai saat ini pemegang kuasa atau aktor yang memiliki
kekuatan perintah serta merupakan pihak yang didengar oleh bawahannya adalah
pemegang kekuatan jabatan tinggi (Krott, 2005). Krott (2005) lebih lanjut
mengatakan selain pemegang jabatan tinggi, pemegang jabatan rendah juga
membentuk relasi untuk memperkuat suatu power, karena pemegang jabatan

6
rendah juga mampu mengambil tindakan tertentu untuk tidak melakukannya.
Namun secara keseluruhan pemegang jabatan yang tinggi juga harus menjalin
hubungan kerja sama yang baik dengan pemegang jabatan rendah untuk
tercapainya suatu tujuan (kepentingan).
Menurut Febryano dkk (2015) relasi kuasa antara aktor-aktor yang terlibat
dalam pengelolaan kehutanan juga kerap terbentuk karena adanya beragam
kepentingan serta tingkat kekuasaan yang berbeda. Hal ini merupakan sumber
terjadinya konflik antar pihak karena masing-masing aktor berusaha untuk
memanfaatkan kekuasaan yang dimilkinya untuk kepentingannya. Namun jika
relasi kuasa terjalin dengan baik antar aktor akan mempermudah untuk
tercapainya tujuan (kepentingan) dalam pengelolaan hutan (Krott, 2005 ;
Febryano, 2015).
Relasi kuasa memiliki tiga elemen dan hal itu dapat mengikat satu aktor
ataupun beberapa aktor. Adapun elemen-elemen tersebut sebagai berikut :
1. Elemen pertama yaitu power coercion (kekuasaan) didefinisikan sebagai
perilaku subordinat. Dalam hubungan sosial, kekuatan paksaan atau
tekanan yang terjadi dari suatu pihak terhadap pihak tertentu karena
adanya kekuasaan dimana seorang aktor dapat mengubah perilaku aktor
yang lainnya (Krott, 2005). Devkota (2010) juga menyatakan bahwa
elemen coercion juga mencakup kekerasan fisik maupun psikologis,
dimana aktor yang mengubah perilaku aktor lainnya biasanya
menggunakan ancaman, intimidasi, atau bentuk lain dari tekanan. Krott et
al. (2014) mengungkapkan bahwa elemen coercion yang biasa ditemukan
di lapangan dalam konteks penelitian empiris, yaitu regulasi/ peraturan
dimana ordinat mengubah perilaku subordinat dengan membuat peraturan.
Selain itu tindakan fisik, merupakan salah satu bentuk coercion dimana
ordinat menggunakan kekuatannya, seperti menahan subordinat.
2. Elemen kedua adalah incentives, merupakan informasi mengenai aktor
(Stakeholder) yang pernah atau telah memberikan bantuan seperti
pelatihan, atau berupa bantuan apapun dalam pengelolaan pembangunan
hutan. Incentives didefnisikan sebagai mengubah perilaku subordinat

7
dengan cara menimbulkan kerugian atau keuntungan (Krott et al., 2014).
Dimana ordinat “membeli” kepentingan pribadi subordinat atau
mengkompensasikan kepentingan subordinat (Maryudi, 2011).
3. Elemen terakhir yaitu dominan informasi (Trust) yang berarti mengubah
perilaku dengan verifikasi informasi. Informasi dapat digolongkan sebagai
informasi murni, yang dapat dengan mudah diverifikasi oleh penerima,
atau tidak sama sekali karena kurangnya kapasitas atau karena
ketidakpercayaan yang dimiliki. Dominan informasi merupakan sebuah
kekuatan karena aktor tanpa informasi tidak dapat dengan mudah membuat
keputusan yang tepat. Dalam hal ini dominan informasi termasuk
informasi apapun yang dapat diberikan hanya oleh lembaga negara dan
yang diperlukan oleh stakeholder lainnya. Dominan informasi
didefinisikan sebagai mengubah perilaku subordinat dengan sarana
informasi yang belum diverifikasi (Krott et al., 2014). Jika subordinat
tidak memverifikasi informasi yang diterima oleh ordinat dan membuat
keputusan berdasarkan informasi tersebut, maka ordinat telah mengubah
perilaku subordinat tanpa mengakui kehendaknya.

2.4 Peranan Struktur Sosial , Relasi Kuasa Dalam Pengelolaan


Hutan Desa

Permenhut P. 49/Menhut-II/2008 menjelaskan tentang hutan desa


khususnya pasal 1 ayat (7), hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh
desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izin/hak.
Skema hutan desa merupakan suatu model pengelolaan hutan yang berbasis
masyarakat yang berada pada unit manajemen paling kecil (pemerintah desa)
(Awang, 2010). Skema tersebut juga merupakan peluang bagi masyarakat
setempat untuk mendapatkan hak legalitas formal dalam mengelola kawasan
hutan). Pengelolaan hutan desa pada intinya adalah melaksanakan pengeolaan
hutan agar dapat meningkatkan fungsi-fungsi hutan secara optimal, serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui suatu sistem pengelolaan yang
menempatkan masyarakat desa sebagai pelaku utama, mitra kerja, dan sebagai

8
pihak yang harus mendapat bagian kesejahteraan yang memadai dari kegiatan
pengelolaan hutan (Supratman & Sahide, 2013).
Supratman & Sahide (2013), mengemukakan bahwa sebelum kawasan
hutan di Desa Labbo ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa masyarakat
setempat telah memanfaatkan lahan dibawah tegakan hutan untuk menanam kopi,
namun pengelolaan tersebut tidak intensif. Supratman & Sahide (2013) juga
mengatakan selain menanam kopi masyarakat juga telah memungut madu lebah
dari kawasan hutan desa. Masyarakat yang tinggal disekitar hutan sesungguhnya
dapat menjadi pilar bagi terciptanya pengelolaan hutan desa yang lestari.
Partisipasi masyarakat lokal dalam rangka pelestarian hutan merupakan suatu hal
yang mendasar dan positif, dimana kesadaran masyarakat dibangun dan
dikembangkan sehingga masyarakat dapat melakukan kontrol sepenuhnya
terhadap pengelolaan sumber daya hutan (Suprayitno, 2008).
Dalam pengelolaan hutan desa, posisi institusi kehutanan formal sebagai
fasilitator, regulator dan juga penilai, peran pengusaha swasta juga tetap penting
dalam hutan desa terutama terkait dalam hal permodalan, informasi, industri serta
pasar (Awang, 2010). Posisi pemimpin dan penguasa desa, dinas maupun adat
juga sangat penting, karena memiliki wewenang dan kemampuan dalam
menggerakkan masyarakat (Alit, 2005). Alit (2005) juga mencatat selain
masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengembangan pengelolaan hutan,
pemimpin atau penguasa desa juga berperan penting sebagai orang yang memiliki
kekuatan dalam menggerakkan masyarakat, selain itu juga bertugas dalam
mensosialisasikan kepada masyarakat desa tentang penetapan areal kerja hutan
desa dan tentunya dituntut adanya kemampuan untuk memotivasi dalam
melakukan gerakan tersebut. Dalam pengembangan pengelolaan hutan desa tidak
hanya orang-orang yang berkuasa memiliki pengaruh, akan tetapi dapat pula
dilakukan oleh perorangan, kelompok orang-orang, tokoh-tokoh masyarakat
termasuk lembaga pemerintahan yang bersifat adat dan atau dinas (Alit, 2005).

9
2.5 Gambaran Umum Wilayah Penelitian

2.5.1 Keadaan Fisik Wilayah

Lokasi dan Aksesibilitas

Kawasan hutan yang terdapat di Desa Labbo sesuai badan planalogi


Kehutanan dan hasil Peta paduserasi provinsi Sulawesi Selatan tahun 1999, seluas
342 ha, berada di 5025’20” – 5023’40” LU dan 119057’30” – 119059’20” LS
Hutan Desa yang dicanangkan di Kabupaten Bantaeng Kecamatan Tompobulu
(Dokumen RKHD, 2010).
Jarak dari pusat desa : ± 4.6 km
Jarak dari pusat kecamatan (Banyorang) : ± 7 km
Jarak dari pusat kabupaten (Kota Bantaeng) : ± 16 km
Jarak dari pusat provinsi (Kota Makassar) : ± 160 km

Areal Hutan Desa Labbo berada di ketinggian antara 1100 mdpl dan 1800
mdpl. Areal Hutan Desa Labbo berbatasan dengan desa lainnya. Selengkapnya
dapat dilihat sebagai berikut (Dokumen RKHD, 2010) :
Sebelah Utara : Desa Pattaneteang
Sebelah Timur : Kecamatan Ulu Ere dan Kecamatan Eremerasa
Sebelah Selatan :Desa Bonto Tappalang dan Desa Bonto
Balumbung, dan kelurahan Ereng-Ereng
Sebelah Barat : Kabupaten Bulukumba
Daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba merupakan hutan
alam yang belum terkontaminasi oleh aktivitas manusia yang di batasi oleh sungai
yang membelah daerah tersebut. Terdapat mata air yang merupakan sumber air
bagi desa dan kondisi sempadan sungai masih terjaga dengan beberapa jenis
tumbuhan khas seperti karoci (dominan), mawa, galattiri’ dan kayu pala
(sedikit/terbatas) (Dokumen RKHD, 2010).

10
Keadaan Kawasan Hutan dan Penutupan/Penggunaan Lahan

Kawasan Hutan Desa memiliki banyak potensi tanaman baik kayu,


maupun non kayu. Akses masuk Hutan Desa dapat ditempuh dengan berjalan kaki
ataupun menggunakan kendaraan roda dua melalui jalan rintis yang telah dibuat
sebelum penetapan kawasan hutan. Waktu tempuh yang dicapai jika berjalan kaki
yaitu 1 jam perjalanan (Dokumen RKHD, 2010).
2.5.2 Keadaan Sosial Ekonomi

Mata Pencaharian

Produk hasil hutan dari masyarakat Desa Labbo dijual dibeberapa tempat
seperti Pasar Banyorang (9 km), Pasar Borongrappoa (10 km), Pasar Lambocca (2
km) dan Pasar Panjang (5 km). Kebiasaan masyarakat yang menjual hasil panen
mereka ke pedagang pengumpul menyebabkan harga komoditas yang dijual
ditentukan oleh pedagang tersebut. Padahal harga sebenarnya di pasar jauh lebih
tinggi. Hal ini dikarenakan jarak pasar dan biaya transportasi yang mahal serta
transportasi yang minim.

Aspek Pemanfaatan kawasan/Ketergantungan Masyarakat terhadap


Kawasan Hutan

Produk unggulan berupa markisa biasanya dipanen pada bulan September.


Saat ini, produk unggulan yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat dan diolah
sebelum dijual ke pasar berupa kopi, markisa dan madu. Namun ada juga produk
hasil hutan yang dijual ke pedagang pengumpul seperti kopi dan markisa. Kopi
arabika yang dipanen setiap 3 kali dalam setahun dan robusta setiap 1 kali dalam
setahun dengan kapasitas produksi rata-rata 200 liter/tahun. Produksi madu
biasanya hanya sampai 2-3 botol/hari itu pun tergantung jika ada permintaan.
Untuk produk hutan berupa rotan, anggrek dan banga belum teroptimalisasi
pemanfaatannya dikarenakan kemampuan masyarakat mengolah produk tersebut
serta target pasar yang belum diketahui.

11
Aspek Konflik Masyarakat

Dalam pemahaman masyarakat desa, tidak ada konflik yang sifatnya


terbuka. Namun terdapat yang sifatnya potensial dan berbeda persepsi diantara
masyarakat Desa Labbo dan BUMDes. Secara garis besar, konflik yang laten
adalah konflik yang masih sangat tertutup jika peran, hak, kewajiban,
tangungjawab dan manfaat yang akan diterima antara masyarakat atau petani,
BUMDes, pemerintah Desa tidak jelas dan tidak dijalankan dengan menganut asas
keterbukaan dan partisipatif, maka akan menimbulkan konflik terbuka.

12
III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April 2017 yang bertempat di
Desa Labbo Kecamatan Tompobulu Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi
Selatan.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

3.2 Metode pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan kuantitatif, yang


mengacu pada data yang diperoleh di lapangan melalui informan/responden,
dokumentasi dan observasi pada setting sosial yang berkaitan terhadap objek yang
diteliti (Ekawati dkk, 2014). Objek penelitian ini yaitu menganalisa aktor beserta
relasi kuasanya dalam pembangunan dan pengelolaan hutan desa Labbo.
Jenis data dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh langsung dari lapangan atau tempat penelitian melalui hasil

13
wawancara dengan beberapa stakeholder, sedangkan data sekunder merupakan
data-data yang diperoleh dari sumber bacaan dan berbagai sumber lainnya dari
lembaga/ instansi terkait sebagai data pendukung untuk melengkapi informasi
yang telah dikumpulkan melalui wawancara langsung.
Adapun teknik pengamatan yang digunakan pada penelitian ini:
1. Observasi merupakan pengumpulan data melalui pengamatan langsung
dilapangan (Nasution, 2001). Dalam penelitian ini dilakukan observasi
untuk mengetahui objek informan yang terlibat dalam pemanfaatan dan
pengelolaan hutan desa yang dapat memberikan informasi, serta untuk
mengidentifikasi aktor-aktor yang telah disebutkan oleh informan
sebelumnya.
2. Wawancara merupakan salah satu metode penelitian yang efektif
digunakan untuk memverfikasi dan memvalidasi data (Sarwono, 2006).
Wawancara dilakukan terhadap narasumber/ informan untuk mendapatkan
informasi terkait pembangunan hutan desa di Desa Labbo.
3. Analisis dokumen (content analysis) yaitu sebuah metode yang
berlandaskan pada teori kajian sebagai sumber gagasan yang baru untuk
meningkatkan kepahaman kajian penelitian dalam bentuk teks (Raditya,
2012). Analisis dokumen ini merupakan pengumpulan data-data sekunder
sebagai data pendukung penelitian melalui pengutipan dan pencatatan
data dari kantor desa, kecamatan, BPS dan isntansi yang terkait, serta
laporan yang ada hubungannya dengan penelitian.
3.3 Tahapan pengambilan data dan analisis data

Pada metode pengambilan data digunakan tiga tahap, yakni :


1. Metode Snowball Sampling yang artinya kami akan mengikuti
rekomendasi responden awal untuk penjelajahan data selanjutnya dan
berhenti mencari tahu ketika tidak ada lagi informasi yang baru (Nurdiani,
2014). Metode ini digunakan pada tahap wawancara yang dilakukan untuk
mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dan berpengaruh besar terhadap
pembangunan hutan Desa Labbo.

14

Anda mungkin juga menyukai