Anda di halaman 1dari 7

Pada hakekatnya prinsip-prinsip konsep arsitektur tradisional Bali diturunkan dari filsafat ajaran

agama hindu yang disarikan dan dipahami serta dihayati dan dilaksanakan menjadi falsafah budaya
setempat yang mendasari konsep tentang tata ruang kawasan maupun wilayah serta bangunan
setempat. Yang secara garis besar filsafat budaya setempat yang dimaksud adalah filosofis mengenai
:

- Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa)

- Manusia

- Alam

Dari ketiga filosofis diatas tidak boleh berdiri sendiri, namun harus terjadi keselarasan,
keseimbangan, keharmonisan antara Bhuana Agung dengan Bhuana Alit serta kemanunggalan
dalam keberagaman yang merupakan filosofis pembangunan. Konsep sebagai gagasan awal adalah
rangkuman dari berbagai aspek dalam pola pikir yang utuh. Beberapa prinsip-prinsip konsep
arsitektur tradisional Bali adalah :

- Konsep Puser

- Konsep Rwa Bhinneda

- Konsep Tri Bhuana/ Tri Loka/ Tri Mandala/ Tri Angga/ Tri Hita Karana

- Konsep Nyatur Desa/ Catur Muka/ Catur Phata

- Konsep Nawa Sanga/ Sanga Mandala/ Padma Bhuana

Semua konsep ini diimplementasikan secara ketercaitan dan sinergis sehingga melahirkan
sinkronisasi guna terciptanya keharmonisan untuk melahirkan keindahan dan keandalan,
berjiwa (taksu) dan beraga.
a. Konsep Puser

Pada hakekatnya penciptaan alam semesta beserta isinya yakni bersumber dari Tuhan dan
akan kembali kepada Tuhan itu sendiri (Sanghyang Sangkara Paran). Dari Tuhan (Sunia) untuk Tuhan
(Sunia), dari 0 (nol), dari ruang kosong menuju ruang kosong, sehingga melahirkan konsep
berorientasi ke ruang kosong (Suwung) yang terletak ditengah (Puser) sebagai pusat rotasi
(sumbu) dan distribusi (pengider) ruang-ruang berisi yang ada di luarnya. Karang suwung yang datar
di tengah pekarangan rumah tradisional Bali disebut Natah, sedangkan karang suwung di palemahan
desa disebut Bengang.

b. Konsep Rwa Bhineda

Rwa Bhineda artinya dua hal yang berbeda namun sesungguhnya tidak berbeda, karena memang
keberadaannya dalam satu kesatuan yang utuh, yang diikat oleh ruang kosong yang penung berisi
dua hal yang berbeda (dulistis) tadi, seperti yang kita lihat pada kain hitam-hitam (saput Poleng)
yang dikenal di Bali.

Sesuatu dilahirkan dari pertemuan dua hal yang berbeda, yang mana dalam proses penciptaannya
alam semesta ini baik Bhuana Agung (macro cosmos) maupun Bhuana Alit (micro cosmos) disebut
Purusa dan Prakerti. Purusa adalah asas kejiwaan (rohani), sedangkan Prakerti adalah asas
kebendaan (jasmani), sebagai sebab adanya alam semesta beserta isinya.

Landasan konsep Rwa Bhineda ini memberi pengertian bahwa dalam setiap Arsitektur Tradisional
Bali memiliki adanya kejiwaan dan kebendaan, baik dalam tata letak, tata ruang, maupun tata
bangunannya.

Asas kejiwaan ini terbentuk oleh unsur0unsur yang lebih halus seperti ;

- Mahat/budi (kecerdasan)

- Ahamkara (ego, keakuan, Triguna)

- Manas (pikiran)

- Panca Budhindry (lima alat/indria intlektual budi) yang terdiri atas ; Srotendrya
(pendengaran), Caksuindrya (penglihatan), Granendrya (penciuman), Twakindya (peraba),
Jihwendrya (pengecap) dan

- Panca Karmendrya antara lain; Wakindrya (suara/bicara), Panendrya


(tangan/berbuat), Padendrya (Kaki/bertindak), Payuindrya (anus/dubur) dan Upastendrya (indria
seksual).
Purusa memberi pengertian adanya jiwa dalam penataan ruang sebagai bentuk konsepsi Tri Hita
Karana. Dan adanya prakerti dalam penataan ruang sebagai bentuk konsepsi Tri Angga.

Alam penciptaan Arsitektur Tradisional Bali, manusia memakai eika spiritual sehingga adanya arah
yang disucikan dan di profane kan. Beberapa dua hal yang berbeda, berlawanan yang didasari
konsep Rwa Bhinneda yakni; Gelap-terang, tinggi-rendah, berat-ringan, atas-bawah, kasar-halus,
jauh-dekat, siang-malam, sekala-niskala, kaja- kelod, kangin-kauh, hulu-teben, nyegara-gunung
dan sebagainya.

c. Konsep Tri Bhuana / Tri Loka

Secara universal susunan bhuana terdiri dari tiga bagian Alam (Tri Bhuana) dan tiga lapisan serta
menempati tiga lokasi (Tri Loka) masing-masing yakni ; (alam manusia di Bumi pada lapisan
Lithosphere, alam roh/pitaea di Udara pada lapisan atmosphere, ala Dewa di Ruang Angkasa pada
lapisan Sratosphere). Dan bekerja sesuai fungsinya masing- masing sehingga terciptalah
keseimbangan alam semesta jagat-raya ini.

Dalam strata alam dikenal adanya alam bawah (bhur), tengah (bhuah), dan atas (swah). Strata
vertical ini menggambarkan tata nilai ruang kearah alam atas dan bawah. Dan dikenal pula adanya
strata kesamping yang dinekan dengan mandala ; seperti Tri Mandala dan Sanga Mandala.

d. Konsep Tri Hita Karana

Secara konsepsi tata ruang arsitektur Bali menyangkut tata ruang makro sampai mikro, Tri Hita
Karana sebagai landasan konsep, Tri Hita Karana berasal dari kata Tri berarti tiga, Hita berarti
Kemakmuran, dan Karana berarti sebab musabab (penyebab). Tri Hita Karana mengandung
pengertian tiga penyebab kemakmuran dan kebaikan (Majelis Lembaga Adat, 1992:15). Secara
filosofis, Tri Hita Karana pada manusia (Bhuana Alit) terdiri dari; unsur Atma selaku jiwa yang
menghidupinya, prana sebagai tenaga yang menyebabkan dapat beraktifitas, dan Sarira adalah
sebagai badan wadah diri manusia. Dalam Bhuana Agung, dimana paramatma adalah semesta alam,
Prana adalah semua jenis tenaga alam, dan sarira adalah himpunan segenap materi yang terdiri dari
Pamca Maha Bhuta (Kaler,1982;44). Tri Hita Karana terdapat dalam Microcosmos (Bhuana Alit) dan
Macrocosmos (Bhuana Agung), dan dalam peataan ruang diteladani sebagai suatu konsep yang
dapat dituangkan sebagai konsep keharmonisan dalam berbhuana yaitu menyerarukan
Bhuana Alit dan Bhuana Agung yang memiliki inti hakekat yang sama, dan
merupakan bhuana yang hidup (maurip) dimana keduanya saling hidup menghidupi agar
keharmonisan bisa terwujud (Alit,1996:II-28). Keharmonisan tersebut seperti Manik ring cecupu,
dimana unsur-unsur tersebut diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan baik dalam menata
lingkungan, desa, banjar, perumahan sampai ke unit-unit bangunan dalam satu pekarangan (Kaler,
1982;88).

Konsepsi Tri Hita Karana dalam Bhuana Agung, sebagai jiwa adalah Paraatma, tenaga adalah yang
menggerakkan alam (seperti pegerakan matahari, bulan, dan bintang), fisik adalah unsur-unsur
panca maga buta.

e. Konsep Tri Angga dan Tri Mandala

Tri Angga berarti tiga hirarki nilai ruang secara vertical sedangkan Tri Mandala adalah tiga hirarki
nilai ruang secara horizontal. Tri Angga terdiri dari Utama Angga yang bernilai sacral, Madya Angga
yang bernilai netral dan Nista Angga bernilai kotor. Konsep Tri Angga diterapkan dalam Arsitektur
tradisional bali menjadi landasan dalam menentukan posisi komposisi dalam kerangka sosok
(postur) bangunan. Konsepsi Tri Angga dalam Bhuana Agung dimana Utama Angga adalah Gunung,
Madya Angga adalah daratan, Nista Angga adalah Laut, sedangkan dalam Bhuana Alit, Utama Angga
adalah Kepala, Madya Angga adalah badan, dan Nista Angga adalah kaki.

f. Konsep Catus Patha

Konsep catus Patha yang memberikan pengertian bertemunya pengaruh yang dating dari 4 (empat)
arah (utara, selatan, timur, barat), juga disebut Nyatur Desa, Catur Muka dan Perempatan Agung.
Kepercayaan orientasi ruang tetap berkiblat kepada arah terbitnya matahari dan gunung sebagai
arah utara (kaja) yang dipercayai sebagai stana Dewa. Sehingga gunung dan lingkungannya
disucikan, selanjutnya laut sebagai arah selatan (kelod)/ hilir sungai sebagai tempat menyucikan
segala kotoran/leteh. Dari arah ritual timur-barat dan sumbu natural utara-selatan kalau ditarik garis
melintang akan terbentuk gambar Tapak dara atau garis melintang sama jari, yang dalam
agama Hindu sebagai suatu symbol keharmonisan dan keseimbangan.

Selanjutnya dengan lapisan kosmos (Sthula Sarira, Sukma Sarira, Antakarana Sarira) yang
sifatnya (Utpati, Sthiti, Pralina), yang memberikan makna dalam dimensi waktu/masa, yakni masa
lalu, masa kini, danmasa dating (Tri Masa). Perwujudannya terjadi melalui proses Manacika/berpikir,
Wacika/diskusi, Kayika/pelaksanaan. Sifat kosmos yang disimbulka dengan huruf suci Tri Aksara
menjiwai proses keseimbangan
yang juga disimbulkan dengan huruf suci Panca Brahma. Filosofi ini melahirkan konsep Dasa Aksara
(sepuluh huruf suci), dimana semua huruf suci Bang, Tang, Ang, Nang, Shing, Wang menjiwai
terbentuknya konsep Astha dala (delapan penjuru angina), sedangkan huruf suci Ing dan Yang
menjadi satu dalam inti, sehingga menjadi Dewata Nawa Sanga. Konsep ini merupakan kristalisasi
dari filosofi yang dismbulkan dalam bentuk huruf-huruf suci, menggambarkan pengendalian
seluruh kehidupan masyarakat dan sebagai Jiwa dalam perencanaan tata ruang yang melahirkan
konsep Nawa sanga berdasarkan kesamaan unsu Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Sifat kosmos yang
mengandung Utpati, Shiti dan Pralina (Tri Kona) dalam konteks proses alam juga memberikan arti
simbolis matahari (terbit/ timur/ Utpati, terik/ tengah/ Shiti, tenggelam/ barat/ praline). Bersama-
sama dengan filosofi Tri Angga melahirkan konsep ruang Sanga Mandala (Sembilan ruang), dan ini
menjadi landasan terbentuknya pola-pola penataan ruang, sebagai aspek fisik dalam filosofi kosmos.
Bertolak dari filosofi Catur Asrama dan Catur Warna, profesi yang sejalan dengan tingkatan
kehidupannya, kegiatan social lemasyarakatan, ekonomi dan budaya yang selalu didasarkan pada
Catur Purusa Artha melalui Panca Yadnya. Kesemuanya melandasi prilaku, adaptasi dan budaya
masyarakat, membentuk keselarasan dan menjiwai terbentuknya tata ruang.

g. Konsep Sanga Mandala

Konsep Sanga Mandala/ Padma Bhuana (Sembilan Ruang/zona / wilayah) terlahir dari Pertemuan
konsep Tri Hita Karana dan konsep tri Angga.

Landasan konsep ruang diturunkan dari filosofi ini, secara terus menerus sampai pada elemen
terkecil, yang pada hakekatnya merupakan penjambaran keselarasan kosmos melalui unsur-unsur
Tri Hita Karana (purusa/jiwa, prana/tenaga, prakerti/fisik dan Tri Angga (utama angga/hulu, madya
angga/jero, nista angga/teben). Kedudukan filosofi dan landasan konsep ini bersifat kontekstual,
dimana dalam penjabarannya timbul keragaman bentuk tatanan lingkungan dan tata social. Filosofi
Tri Hita Karana dan tri Angga sebagai landasan konsep ruang tradisional Bali. (RUTR Tabanan Th.
1995-2005:III-11).

Kombinasi susunan segmen utama, media, nista, dalam dalam tata ruang, pada arah utara selatan
(kaja-kelod) dengan arah timur-barat (kangin-kauh) akan membentukan Sembilan segmen yang
disebut Sanga Mandala (Robi Sularta, 1993:7).

Dewata Nawa Sanga adalah menifestasi Sang Hyang Widhi (Tuhan) dalam menjaga keseimbangan
alam semesta. Dewa tersebut masing-masing berlokasi disemua penjuru mata angin dan ditengah.
Pengertian ini pula yang mendasari konsep Nawa Sanga, Asta
Dala, Sanga Mandala adalah Sembilan nilai zoning peruntukan suatu fungsi. Setiap segmen
memiliki tata nilai dengan hirarki tertentu dari nilai utamaning utama sampai pada nilai nistaning
nista. Konsep Dewata Nawa Sanga sebagai penguasa alam semesta yang terletak pada setiap
penjuru angin, menggambarkan manifestasi Tuhan (Sang Hyang Widhi) dalam wujud dewata Nawa
Sanga, sebagai penguasa Sembilan penjuru angin atau penguasa Bhuana Agung. Sebagai
implementasi Arsitektur Dewata Nawa Sanga dalam Papincer/ Pengider Bhuana. Kesembilan Dewata
Nawa Sanga tersebut adalah : Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Cangkara, Wisnu,
dan Ciwa, dan Dacaksara sebagai jiwanya seru sekalian alam (urip buana), dengan sepuluh huruf suci
serta letaknya di makrokosmos (Bhuana Agung) sebagai berikut ; Sa di timur, Ba di selatan, Ta di
barat, A di utara, I di tengah, Na di tenggara, Ma di barat daya, Si di barat laut, wa di timur laut, Ya di
tengah atas (Ardana), 1983:129). Kesembilan dewata Nawa Sanga tersebut secara konsepsi, Tuhan
(Sang Hyang Widhi) itu di manifestasikan pada setiap penjuru alam baik secara horizontal maupun
vertical dengan letak dan huruf sucinya. Huruf suci tersebut disamping bentuknya yang bersifat
simbolis, juga memiliki makna khusus yang bersifat sprilitual karena di dalamanya terkandung
kekuatan yang bersifat magis.

Anda mungkin juga menyukai