Anda di halaman 1dari 27

Wastu Citra

Bentuk-bentuk arsitektural selaku simbol kosmologis


Bangunan pada masa lampau tidak mementingkan estetika dalam
perancangannya, namun dipengaruhi oleh mitos, keagamaan (rohani), dan
hakekat keberadaan manusia ataupun semesta. Bentuk-bentuk yang dihadirkan
pada sebuah bangunan dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang pada
suatu daerah. Bangunan tidak dapat dikatakan masjid hanya karena mempunyai
kubah, walaupun kubah memang menjadi suatu simbolik arsitektur masjid,
namun penggunaan kubah sebenarnya tidak hanya digunakan oleh masjid,
tetapi juga gereja-gereja. Terdapat perbedaan antara doktrin atau dogma-dogma
yang melekat pada suatu bangunan peribadahan dengan kebudayaan yang
berkembang. Wahyu Tuhan melekat pada bangunan secara mendasar (esensial),
sedangkan kebudayaan datang dari manusia, ungkapan diri, cara berpikir, cita
rasa serta selera. Wahyu Tuhan atau keyakinan akan mempengaruhi bentukbentuk bangunan karena hal tersebut sudah mengendap pada diri penciptanya
walaupun hanya beberapa aspek saja yang dapat dimunculkan, begitu juga
kebudayaan. Perlambangan arsitektural bermacam-macam tergantung aspek
apa yang ingin diekspresikan sesuai dengan penghayatan segi-segi konkrit riil
pada suatu daerah.
Bentuk-bentuk Dasar Orientasi Diri
Pusat = pangkal yang merupakan awalan dari sesuatu
Orientasi berasal dari kata orient yang berarti timur, dengan makna mencari
ufuk timur (berlawanan = barat) yang kemudian muncul juga utara dan selatan.
Arah-arah tersebut akan membentuk satu titik tengah apabila dhubungkan
dengan garis. Titik pusat tersebut dapat disebut sebagai pusering jagat dalam
bahasa Jawa, yang diartikan sebagai tali ari-ari atau tali pusar yang akan
berkembang menjadi janin. Begitu juga titik tengah pada persatuan arah
tersebut, yang kemudian akan berkembang pula ke segala arah.
Mandala, merupakan suatu bentu (form) yang berdaya gaib, yang mempunyai
tingkatan dengan bagian tengah yang mempunyai daya paling kuat. Mandala
terhubung oleh dunia atas, ibarat pusar yang terhubung dengan ibunya, atau
bagi manusia berhubungan dengan Tuhannya. Oleh karena itu bagi orang jaman
dulu arsitektur tidak semata-mata hanya untuk estetika namun juga merupakan
bagian dari semesta raya. Wujud bangunan, akan mempunyai citra yang
diwujudkan dalam berbaagai bentuk, seperti citra gunung yang diwujudkan pada
candi-candi, atap rumah, dll. Pohon kehidupan, gunung, dan rumah mempunyai
makna kosmis bagi banyak suku yang dimaknai sebagai satu kesatuan semesta.
Borobudur
Melambangkan visualisasi dari mikro kosmos hingga makro kosmos. Dari
belenggu maya hingga penyatuan atman (diri relatif) dengan brahman (keesaan
mutlak). Merupakan bentuk yang diambil dari citra gunung yang semakin ke atas
semakin runcing dan semakin polos. Pada bagian paling bawah borobudur
terdapat banyak ornamen yang kemudian semakin ke atas semakin hilang. Hal
tersebut melambangkanperjalanan lepasnya nafsu manusia dari kesemuan

dunia. Puncak tertinggi borobudur yang polos, melambangkan keheningnya yang


kemudian menghilang ke langit.
Terdapat 3 lapisan :
- Kamadhatu (nafsu, hasrat) : alam purba bawah sadar, yang masih
dikuasai oleh nafsu
- Rupadhatu ( penuh rupa) : berupa kesadaran semu, terbelenggu oleh alam
semesta, serba ramai dan membingungkan
- Arupadhatu ( tanpa rupa) : kesadaran sejati, hening, mencapai
kemutlakan tak terkatakan, sudah tidak menghiraukan bentuk atau rupa.
Filosofi bentuk borobudur ini hampir sama dengan filosofi pada atap rumah Jawa,
yang memuncak menyatu dengan Pencipta.
Bentuk yang ada pada mandala Borobudur yaitu lingkaran dan bujursangkar.
Dengan pusatnya berupa lingkaran di tengah yang melambangkan pusar. Makna
dari lingkaran tersebut adalah maya, atau fana, nyata tapi tipuan. Sedangkan
bujur sangkar merupakan simbol dari prinsip yang lebih sejati . Penggabungan
antara bujur sangkar dan lingkaran merupakan gambaran pergulatan hidup
untuk melepaskan diri dari maya menuju yang lebih sejati.
Borobudur merupakan suatu perjalanan menuju kesempurnaan dengan
mengitari sebuah poros.
Filosofi rumah jawa
Rumah Jawa merupakan hasil pemikiran masyarakatnya yang berkaca
pada alam disekitarnya. Bangunan rumah Jawa merupakan bangunan
pernaungan. Yang berarti bangunan rumah merupakan perwujudan dunia yang
hanya sementara. Rumah dalam bahasa Jawa yaitu Omah, om berarti angkasa
bersifat laki-laki, dan mah berarti bumi yang bersifat perempuan. Jadi dalam
omah merupakan gabungan antara angkasa dan bumi, atau dapat pula disebut
sebagai miniatur jagad.
Atap pada rumah jawa merupakan perlambangan dari meru atau gunung
yang bagi masyarakat hindu merupakan tempat tertinggi, tempat tinggal para
dewa. Bermula dari atap tajug yang kemudian berkembang menjadi atap joglo,
kemudian disederhanakan menjadi limasan dan kampung(Prijotomo 1995,
Ismunandar 1986).
Soko guru pada bangunan jawa merupaka lambang dari 4 sisi mata angin
yang apa bila ditarik garis secara diagonal akan menghasilkan sebuah titik di
tengah. Soko guru memiliki orientasi vertikal, dan ketika titik itu ditarik garis
secara vertikal maka akan sampai pada atap rumah. Hal tersebut merupakan
terminologi papat keblat kelima pancer atau pajupat. Dimana manusia menjadi
pusat dari keempat arah mata angin dan berhubungan vertikal dengan Tuhan.
Susunan ruang pada rumah jawa biasa ataupun keraton dibagi menjadi 2,
yaitu yang bersifat intim privat dan sakral yang disebut ndalem, dan yang luar
tempat bergaul dengan masyarakat bersifat publik yang disebut plataran atau
njaba (halaman luar). Plataran merupakan bagian dari rumah yang bersifat
publik dapat digunakan oleh semua orang,di pelataran di bangun pendapa yaitu
tempat pimilik rumah bertemu dengan tamu-tamunya. Pendapa juga dijadikan
sebagai tempat pesta bersama masyarakat. Tempat tinggal pada rumah jawa

adalah ndalem, pada ndalem masih dibagi lagi menjadi beberapa ruangan, yaitu
senthong kiwa, senthong tengah, dan senthong tengen. Senthong merupakan
tempat yang sakral bagi masyarakat Jawa, terutama bagian senthong tengah
yang merupakan ruangan yang diperuntukkan untuk dewi Sri, Kama Ratih dan
Kama jaya sebagai lambang cinta penyatuan antara laki-laki dan perempuan,
lebih dalam yaitu penyatuan kosmis. Pemilik rumah pada rumah Jawa tinggal di
bagian yang disebut gandhok (bangunan tambahan). Pada perayaan wayang
kulit, seketeng dibuka dan dipasang layar putih. Para tamu agung dan keluarga
intim duduk di sisi ndalem menghadap layar putih sehingga mereka melihat
wayang dalam bentuk bayangan, pihak dalang, pemain gamelan dan rakyat ada
di luar ataupun pendopo. Maka diantara pendopo dan ndalem terdapat ruang
yang disebut pringgitan, yaitu ruang untuk memainkan wayang.
Pola ruang pada rumah jawa semakin ke belakang semakin tertutup, sakral dan
semakin privat, sebaliknya semakin keluar maka semakin terbuka, profan, dan
umum. Hal tersebut menggambarkan adanya kesinambungan antara
keterbukaan bermasyarakat dengan keintiman tertutup keluarga.
Bagian peruangan pada rumah jawa merupakan penggambaran dari anatomi
tubuh manusia.

Menurut Hadiwijono manusia memiliki dua pusat yang berbeda, yaitu pusat
immaterial dan pusat material.
Pusat Imaterial (kepentingan manusia pada kehidupan spiritual)
Mengacu pada Tri purusa atau Trinity. Terdapat suatu sistem konsentris yaitu
suksma kawekas, suksma sejati, dan roh suci.
Suksma kawekas merupakan pusat dari sebuah bola, berdimensi absolute,
tidak
dapat
diuraikan,
merupakan
sifat
ke-Esa-an
Tuhan.Absolute
menggambarkan bahwa ada sebuah keterbatasan didalam ketidakterbatasan,
yang menyangkut nilai bahwa masyarakat Jawa menghendai dirinya di bawah
naungan kekuasaan yang lebih besar dari dirinya yang dapat memberi jaminan
kesempurnaan hidup.
Dalam sebuah rumah Jawa dapat diarahkan pada
keberadaan senthong tengah di tengah rumah, ataupun ndalem pada sistem
rumah, ataupun rumah dalam batasan tempat tinggal.
Suksma sejati, lapisan yang menyelimuti suksma kawekas yang tumbuh
sebagai jiwa manusia dengan sifat yang hampir sama dengan suksma kawekas.

Hanya saja suksma sejati dipengaruhi oleh hal-hal duniawi yang memberikan
batasan atas tanggung jawab terhadap diri manusia dan pribadinya. Nilai ini
merupakan pertanda bahwa manusia menghendaki adanya sebuah batasan
dalam arti pengendalian diri. Dalam rumah jawa diwujudkan dengan adanya nara
atau gebyok yang membatasi antara rumah utama dengan halaman, tanpa
menghilangkan hubungan antara rumah dengan dunia luar.
Roh suci, merupakan lapisan terluar dari yang menggambarkan pandangan
hidup seseorang yang lekat dengan kehidupan kejiwaan dan spiritual. Padangan
hidup menurut Heru Satoto :
Alam semesta (gumelaring dumadi)
Menggambarkan suatu tempat yang luas, terbuka dan jujur. Dalam rumah
jawa digambarkan sebagai halaman rumah. Luas dalam artian ratio antara
bangunan dengan halaman lebih luas halaman, terbuka yaitu halaman
tidak berpagar dinding melainkan tanaman (pagar hidup), jujur yaitu
pantangan menutupi permukaan tanah dengan rumput ataupun semak
agar permukaan tanah tetap terlihat alami apa adanya.
Petunjuk Tuhan (Tunggal Sabda)
Pandangan mengenai adanya petunjuk Tuhan yang mengarahkan manusia
pada satu titik arah (tujuan). Menerapkan diri manusia pada satu titik
dengan batasan 4 penjuru mata angin dan satu pusat ditengahnya. Dalam
rumah Jawa dapat digambarkan pada adanya soko guru yang berjumlah 4
dan berorientasi vertikal dan mempunyai suasana pemusatan pada titik
diagonalnya.
Kesejahteraan (rahayu)
Baik sejahtera secara lahir maupun batin. Kesejahteraan lahir dapat
dipenuhi melalui kekayaan (falsafah hidup yang rumit), kemewahan
(keanekaragaman bentuk) dan mutu yang baik (bahan yang terbaik).
Penerapan pada rumah Jawa yaitu : falsafah hidup yang rumit tersirat dari
bentuk dan tampilan bangunan sebagai upaya penyamapaian pesan,
keanekaragaman bentuk yaitu dari bentuk tapak, denah, tampak
bangunan yang beranekaragam, mutu yang baik yaitu pemilihan bahan
atau material pembuat rumah dengan kualitas bagus.
Arah tujuan (sangkaning paran)
Menafsirkan dari arah mana dan ke arah mana yang mengandung
makna arah menerus. Pandangan ini merupakan tanda bahwa masyarakat
jawa menghargai masa lalu dan selalu mempunyai keinginan dalam
menjangkau masa depan. Dalam bangunan jawa alur ini diwujudkan
secara horizontal, maupun vertikal. Secara horizontal yaitu terlihat dari
susunan ruang yang menerus dari muka ke belakang. Sedangkan secara
vertikal yaitu susunan struktur rumah jawa dari bubungan, tumpang sari,
soko guru, umpak hingga lantai.
Sembahyang (manembah)
Berarti menyembah pada kekuasaan tertinggi. Hal tersebut berrti
masyarakat Jawa membutuhkan pengayoman atau perlindungan baik
secara fisik maupun spiritual. Dalam rumah jawa proporsi bentuk
bangunan seperti menelungkup, bagian atap lebih besar dari pada badan
bangunan, hal tersebut seperti seekor induk ayam yang melindungi
anaknya. (luas, rendah, menelungkup rapat.

Pusat Material (kepentingan manusia pada kehidupan kebendaan)


Mencakup angen-angen, nepsu, dan rasa.
Angen-angen, merupakan sebuah pusat dari bola material yang diuraikan
menjadi pengertian, penalaran dan daya cipta (yang merupakan kelebihan
manusia). Hal tersebut menjadi pertanda bahwa manusia berkepentingan untuk
mengungkapkan hal tersebut di dalam lingkungan hidupnya sebagai salah satu
wujud keberadaan dirinya. Keberadaan diri dapat pula diterjemahkan sebagai
peran, kedudukan dan satatus diri.Dari keberadaan dirinya maka didapat pula
potensi diri yaitu kekuasaan, kekayaan, dan kepandaian. Pada kaitannya dengan
rumah Jawa hal tersebut dapat ditunjukkan dari letak tempat tinggal, ketinggian
bangunan, ukuran dan volume bangunan, keanekaragaman dalam bangunan,
dan kesederhanaan pada bangunan.
Nepsu, diuraikan menjadi nafsu keimanan, nafsu marah, nafsu kasi sayang, dan
nafsu kebendaan. Manusia dikuasai dan menguasai nafsu-nafsu tersebut yang
pada akhirnya akan memeberikan gambaran sifat dari manusia tersebut.
Keimanan diungkapkan sebagai penampilan kewibawaan, marah dengan
penampilah kekokohan yang kasar, kasih sayang dengan penampilan
kelembutan yang menonjolkan kehalusan dan kebendaan dengan penampilan
kelebihan yang tidak perlu.
Rasa, disebut juga perasaan yang didasarkan pada bisikan hari nurani (Mulder),
perasaan yang memberikan pengalaman-pengalaman hidup yang menyatukan
antara dunia luar dengan dunia dalam, yang membentuk suatu keselarasan.
Dunia luar berkaitan dengan gangguan, penderitaan, pukulan dan perkosaan,
sedangkan dunia dalam berkaitan dengan bisikan hari nurani, penguasaan diri,
ketenangan, dan ketertiban. Pandangan ini memberikan gambaran bahwa
manusia hidup selaras ditengah-tengahnya, yang kemudian berwujud pada
kebijaksanaan, ketahanan, ketangguhan, dan pengendalian. Dalam bangunan
jawa kebijaksanaan diwujudkan dalam pembangunan rumah yang gotongroyong,
ketahan diwujudkan pada fleksibilitas rumah, ketangguhan diwujudkan dalam
desain yang menanggulangi pengaruh luar seperti matahari, angin, hujan, dan
pengendalian diwujudkan dalam bentuk maupun komponen atau hiasan yang
tidak kontras dengan bangunan sekitar.
Pembagian tipe rumah dalam arsitektur Jawa didasarkan pada jenis atap. Hal
tersebut menunjukkan status sosial pemilik rumah.

Rumah
Jawa

Tipe
Rumah
Jawa
Panggang
Pe

Makna Filosofis

Bantuk/Shape

Pola ruang

Fungsi

Tempat
menjemur,
warung di pasar,
gubuk sawah,
gudang

Kampung

Tutup keong
pada bangunan
kampung bagi
masyarakat
jawa digunakan
sebagai
pengusir
Bathara kala,
namun pada
fungsinya
digunakan
sebagai
penahan hawa
dingin, terik
matahari, air
hujan dan
sebagai
ventilasi

Rumah tinggal
rakyat biasa,
tobong genteng
atau kapur
1. ruang depan / emper
2. ruang tengah / ruang keluarga
3. ruang belakang / kamar
- senthong kiwo
- senthong tengah
- senthong tengen
4. kamar tambahan

Limasan

Rumah tinggal
masyarakat
menengah ke atas
(priyayi,
bangsawan)
1. ruang depan
2. ruang tengah
3. ruang belakang
a. senthong kiwa
b. senthong tengah
c. senthong tengen
4. kamar tambahan

Tajug

Pada ujung atap


terdapat
mustaka yang
melambangkan
keagungan
Tuhan

Tempat ibadah,
makam

Joglo

Atap joglo
merupakan
gabungan dari 2
atap tajug, atap
tajug
diibaratkan
seperti gunung,
yang
merupakan
salah satu
tempat yang
dianggap
tertinggi, dan
suci.

Rumah tinggal
bangsawan

Borobud
ur

Makna Filosofis
Melambangkan
visualisasi dari mikro
kosmos
hingga
makro kosmos. Dari
belenggu
maya
hingga
penyatuan
atman (diri relatif)
dengan
brahman
(keesaan
mutlak).
Merupakan
bentuk
yang diambil dari
citra
gunung
(merupakan tempat
bersemanyam
dewa)
yang
semakin
ke
atas
semakin runcing dan
semakin polos. Pada
bagian paling bawah
borobudur terdapat
banyak
ornamen
yang
kemudian
semakin
ke
atas
semakin hilang. Hal
tersebut
melambangkanperja
lanan
lepasnya
nafsu manusia dari
kesemuan
dunia.
Puncak
tertinggi
borobudur
yang
polos,
melambangkan
keheningnya
yang
kemudian
menghilang
ke
langit.
Pusat lingkaran
ditengah
melambangkan
pusar, diletakkan
paling atas agar
lebih dekat dengan
sang Pencipta.

Bentuk /shape
Bentuk dasar
dari borobudur
yaitu lingkaran
dan bujur
sangkar.
Bentuk yang ada
pada
mandala
Borobudur yaitu
lingkaran
dan
bujursangkar.
Lingkaran
yang
melambangkan
maya atau fana,
nyata tapi tipuan.
Bujur
sangkar
melambangkan
prinsip
yang
lebih sejati.
Penggabungan
kedua
bentuk
mempunyai
makna gambaran
pergulatan hidup
untuk
melepas
diri dari maya
menuju
yang
lebih sejati.

Pola Ruang

Fungsi
Tempat
ibadah

Ibarat pusar yang


terhubung pada
ibunya.

Tipe
Rumah
Jenis
Jawa
Panggang
Panggang Pe
Pe
Pokok
Bentuk
Belum
paling
mengalami
sederhana
variasi/perke
Denah
mbangan
Memiliki 1, 3, 5
Persegi
panjang
ruang
Panggang Pe
Beratap 1
trajumas
Tiang 4, 6,
8
Memiliki 3 tiang
Berarti
Dipanasi/d
ijemur
pada sinar Panggang Pe
empyak
matahari
setangkep
Fungsi
Berarti atap
sebagai
setangkep
tempat
Fungsi
sebagai
menjemur
gudang
barang
Panggang
Pe
(teh, pati,
gedang
ketela,
dll), gubuk salirang
di sawah, Penambahan
emper
warung di
Berarti pisang
pasar
sesisir
(bango)
1 atau 3 ruang
Dalam
Panggang Pe
bentuk
Gedang
besar
setangkep
berfungsi
sebagai
gudang

Denah

Bentuk

Panggang Pe
Cere Gancet
Berarti cere
(serangga)
yang sedang
kawin
Panggang Pe
Bentuk Kios
Atap depan
pada bentuk
ini
digunakan
sebagai
pelindung
dari sinar
matahari
dan hujan
Panggang Pe
Kodok
Mempunyai
arti katak
Sering pula
disebut
sebagai
jengki
Panggang Pe
Barengan
Berarti
bersamasama
Kebanyakan
untuk
gedung
beras,
gudang besar
atau pabrik
Kampung
Kampung
Pokok
Berarti
halaman, Belum
desa,
mendapat
orang
tambahan
desa yang
lain

Denah
tidak
berbentuk
memiliki
persegi
sawah dan
panjang

orang
desa
Dipakai
oleh
orangorang
tidak
mampu,
rakyat
jelata
Denah
persegi
panjang
Bertiang 4,
6, 8
Mempunyai
2 sisi atap
berbentuk
persegi
panjang
Pada sisi
samping
atas
ditutup
dengan
sebuah
tutup yang
disebut
tutu
keyong
(siput air)

Kampung
Jompongan
Bentuk denah
persegi
Hanya memiliki
1 ruang
Menggunakan
4 tiang
Kampung
Trajumas
Memiliki 2
ruang
Memiliki 3
pengeret
Memiliki 6 buah
tiang
Kampung
Srotongan
Mempunyai
lebih dari 4
pengeret
Mempunyai 2
emper
Kampung
Gajah
Ngombe
Mempunyai arti
gajah yang
sedang
minum
Hanya
mempunyai 1
emper pada
satu sisi
Kampung
Gajah Njerum
Mempunyai 3
atap emper,
2 di muka
dan belakang
, dan satu
lagi pada sisi
samping

Kampung
Dara Gepak
Mempunyai
atap emper
pada ke
empat
sisinya
Kampung
Klabang
Nyander
Mempunyai
lebih dari 8
buah tiang
dan pengeret
lebih dari 4
Kampung
Pacul Gowang
Mempunyai
atap emper
pada salah
satu sisi
panjang.
Kampung
Semar
Pinondong
Memakai tiangtiang berjajar
di tengah
sesuai
panjang
rumah
Terdapat
penyiku
sebagai
penjaga
keseimbanga
n
Kampung
Lambang
Teplok Semar
Tinandu
Berarti semar
diusung
Lambang
teplok karena
penghubung

atap brujung
dengan atap
menanggap
masih
merupakan
satu tiang
Tiang
penyangga
diatas
bertumpu
pada balok
blandar yang
ditopang oleh
tiang-tiang
dipinggir
yang tidak
langsung
sampai ke
dasar rumah
Digunakan
sebagai
tobong
genteng,kapu
r, terdapat
tempat
pembakaran
di tengah
Tajug
Tajug Pokok
Dijumpai
Denah bujur
pada
sangkar
bangunan Atap runcing
Mempunyai 4
suci
tiang
(masjid,
makam)
Tajug
Denah
Lawakan
bujur
Memiliki emper
sangkar
keliling,
Bertiang 4
langsung dari
Berpuncak
brujung
runcing
Tajug
Lambang
teplok
Mempunyai
serambi yang
menempel
pada soko

guru
Tajug Semar
Tinandu
Soko guru
bertumpu
pada
pengeret
penanggap
Brunjung
disangga
oleh tiangtiang yang
menyangga
balok
Tajug Semar
Sinongsong
Berarti
dipayungi
Bertiang satu
seperti
payung
Tajug
Lambangsari
Tidak memakai
ander tetapi
kepala gada
Antara brujung
dan atap
penanggap
ada
dihubungkan
menggunaka
n balok yang
disebut
lambangsari
Tajug Semar
sinongsong
lambang
gantung
Bertiang satu
dengan bahu
danyang
(Semar
dipayungi)
Memakai
lambang
gantung

sebagai
penggantung
atap
penananggap
pada
brunjung
Disebut juga
masjid soko
tunggal,
campuran
dari Pajajaran
dan Sultan
Agung
Tajug Tawang
Boni
Mempunyai
denah bujur
sangkar
Memakai
kepala ganda
ander
penyangga
puncak
Tajug Masjid
payung
agung
Mempunyai
tingkatan
lebih dari tiga
atau lima
Berbentuk
bundar
Tinggi
tingkatan
tergantung
status sosial
pemilik
Tajug
Lambang
Gantung
Memakai saka
bentung
sebagai
penggantung
atap
menanggap
pada

brunjung
Memakai
tumpang sari
dan uleng
ganda, masih
memakai
ander
Tajug
Mangkurat
Mempunyai
tumpangsari,
uleng, tiang
bentung dan
lambang sari
Tajug Sinom
Tinandu
Sinom berarti
muda,
dinamakan
sinom karena
atap
penanggap
dan brunjung
tidak
disangga
langsung
oleh tiang
utama (soko
guru) tetapi
dipikul oleh
blandar
pemikul yang
berderet di
pinggir
Tajug
Ceblokan
Tiang tertanam
pada tanah
Termasuk jenis
teplok yaitu
tiidak
memakai
tiang
bentung,
kecuali atap
pengapit
memakai

Limasan
Mempunyai
4 sisi atap,
dengan
bubungan
dan dudurdudurnya
Denah
berbentuk
segi
empat
Tiang 4,6,8
Digunakan
pada
bangasalbangsal di
keraton
ataupun
masyarak
at yang
mampu

lambang sari
Limasan
Pokok
Disebut juga
limasan
wantah
Belum
mengalami
variasi
bentuk
Limasan
Gajah
Ngombe
Mempunyai
emper pada
1 sisi yang
pendek
Limasan
Pacul Gowang
Mempunyai
emper pada
1 sisi panjang
Limasan
Gajah
Mungkur
Mempunyai 3
emper pada
2 sisi panjang
dan satu sisi
pendek
Atap hanya 3
sisi, satu
sisinya
berupa atap
keyong
Limasan
Lawakan
Memiliki emper
keliling
Limasan
Maligi Gajah
Limasan
dengan 2
emper pada
sisi panjang

Limasan
Gajah
Njerum(Sroto
ngan)
Memiliki 3
emper pada
2 sisi panjang
dan satu sisi
pendek
Limasan
Klabang
Nyander
Limasan yang
memiliki
ruang lebih
dari 3 (5, 7
dan
seterusnya)
Limasan
Trajumas
Lambang
gantung
Memiliki 2
ruangan
Emper keliling
melekat pada
saka bentung
Limasan
Trajumas
Lambang
Teplok
Memiliki 2
ruangan
Emper keliling
melekat pada
tiang
Limasan
Ceblokan
Tiang ditanam
pada tanah
Limasan
Bapangan
Blandar lebih
panjang dari
pada jumlah
panjang

pengeret
4 tiang
Digunakan
untuk rumah
ukuran kecil
Limasan
Semar
Tinandu
2 tiang sejajar
memanjang
pada bagian
rumah,
terletak di
tengahtengah
Digunakna
sebagai regol
dan model
los di pasar
Limasan Cere
Geret
Bergandengan
pada salah
satu sisi
emper
Limasan
gotong mayit
Bergandengan
3 baik pada
blandar
ataupun
emper.
Jarang dipakai
oleh
masyarakat
Limasan
Semar
Pinondong
Sama dengan
semar
tinandu
namun diberi
tambahan
berupa bahu
dayang
Pinondong
berarti

digendong /
didukung
Limasan
Apitan
Pengapit
Rumah limasan
bergandeng
dua, masingmasing
mempunyai
ander dan
bergandenga
n dengan
tritisannya.
Limasan
Lambangsari
Memakai
lambang sari
atau balok
penggandeng
atap
brunjung
dengan atap
penanggap
Limasan
Trajumas
Lambang
Gantung
Bertiang
biasanya 8
Memakai
lambang
gantung
Limasan
Lambang
Teplok
Memakai
regangan
antara atap
brunjung
dengan atap
penanggap
Dihubungkan
oleh tiang
utama

Limasan
Empyak
Setangkep
Memakai
kepala ganda
dan atap
berupa atap
kajen
(runcing)
yang
ditangkupkan
tanpa tritisan
Mempunyai 4
buah empyak
Limasan
trajumas
lambang
teplok
Usuk atap
tritisan
diteruskan
dari atap
brunjung
diperpanjang
dari melewati
blandar
Limasan
sinom
lambang
gantung
rangka kutu
ngambang
Kutuk
ngambang
yaitu ikan
gabus yang
mengamban
g di air,
Menggunakang
tiang
bentung
sebagai
penggantung
atap
penanggap

Joglo
Rumah
Jawa
paling
sempurna
yang
hanya
dimiliki
oleh
orangorang
berstatus
sosial
tinggi
Adanya
tumpangs
ari pada
brunjunga
n
Terdapat 4
soko guru
yang
menyangg
a
brunjunga
n
Denah
bujur
sangkar
Tiang 4
Pola
susunan
ruang ,
pendapa,
pringgitan,
ndalem
(omah
njero),
Sentong
kiwa,
tengah,
tengen

Joglo
Jompongan
Bentuk denah
bujur
sangkar,
merupakan
bentuk dasar
dari rumah
joglo
Joglo
ceblokan
Tidak memiliki
umpak, tiang
ditanam di
tanah
Joglo
Kepuhan
Limolasan
Berbentuk
pedaringan
kebak
(tempat
makan : padi,
beras yang
penuh)
Sama dengan
joglo yang
lain hanya
tidak
memakai
ganja
(sepotong
kayu
melintang di
atas tiang)
Empyak
brunjung
lebih panjang
dari yang
lainnya
Joglo Wantah
Apitan
Memiliki emper
keliling
Perbandingan
denah pokok
1:2

Mempunyai 5
tumpang
(Blandar
pengeret
yang terletak
pada luar
pamidangan)
Joglo
Mangkurat
(Limolasan)
Menggunakan
lambangsari
sebagai
penyambung
atap
penanggap
dengan atap
penitih
Joglo
Pangrawit
(apitan)
Keraton
Surakarta
Sebuah
bangunan
joglo dengan
5 tumpang,
singup, ganja
Emper
brunjung
terbuka
dengan
menggunaka
n tiang
bentung,
begitu juga
pada
penanggap
memakai
tiang
bentung
Joglo
Kepuhan
Lawakan
Memakai ganja
atap
brunjung

sehingga
nampak lebih
tinggi
Joglo sinom
apitan
Memakai 3
buah
pengeret, 3
sampai 5
buah
tumpang dan
4 atap emper
Joglo
kepuhan
apitan
Hampir sama
dengan joglo
limasan,
tetapi
brunjung
lebih
tinggi(tegak)
karena
pengeret
lebih pendek
Joglo Semar
Tinandu
Memakai 2
buah
pengeret dan
2 buah saka
guru diantara
pengeret
Kebanyakan
digunakan
sebagai regol
Joglo
Lambangsari
Memakai
lambangsari,
tanpa emper
Memakai
tumpangsari
5 tingkat,
memakai
uleng ganda
dan godegan

Joglo Hageng
Disebut juga
joglo besar
Hampir sama
dengan joglo
pangrawit
tetapi lebih
pendek dan
ditambah
atap
pengerat
juga tratak
keliling
Joglo
Mangkurat
Hampir sama
dengan joglo
pangrawit
namun lebih
tinggi
Atap
penanggap
dan penitih
disambung
dengan
lambangsari

RUMAH TEMPAT TINGGAL


Rumah tempat tinggal dibagi menjadi 2 :
Rumah rakyat biasa, dibagi menjadi 5 bentuk, yaitu :
o Panggang pe
o Kampung
o Limasan
o Tajug
o Joglo
Susunan ruang dalam rumah Jawa

Rumah Raja
Raja tinggal di rumah khusus yang disebut istana/keraton. Fungsi
ruang-ruang pada keraton sama dengan fungsi-fungsi ruang dalam rumah
orang biasa, namun pada keraton lebih beraneka ragam, dan dengan
berbagai bentuk rumah yang ada. Merupakan sekumpulan bangunan jawa
dari beberapa bentuk atau tipe.
Konsep ruang keraton surakrta didasarkan pada adat dan juga
keamanan. Berdasar adat, bahwa manusia lahir harus mengahadap ke
Tuhan, yang kemudian dalam hal ini Tuhan digambarkan sebagai matahari
terbit di sebelah timur. Tradisi lain yang menimbulkan konsep ruang pada
keraton surakarta yaitu kepercayaan mengenai hubungan raja-raja jawa
dengan Ratu Kidul (selatan) sehingga pada bagian dalem ageng
menghadap selatan.
Berdasarkan keamanan, pada jaman dulu musuh biasanya
menyerang dari arah utara, dikarenakan pada bagian utara Jawa jaringan
jalan lebih mudah dilalui dari pada bagian selatan yang masih berupa
hutan-hutan.
Fungsi ruang pada keraton dibagi menjadi 2, yaitu resmi (alun-alun,
bangunan kavaleri dan infanteri, pendapa, gedung administrasi
pemerintahan), dan bagian pribadi (ndalem, balai peni, pracimusono,
kamar tidur), sedangkan bagian pemisahnya berupa pringgitan dan
paratan.

Denah keraton Surakarta


1. Gladag
2. alun-alun lor
3. Masjid
4. Pasar
5. Pagelaran
6. Siti Hinggil
7. Supit Urang
8. Bangsal Brojonolo
9. Kori Brojonolo
10. Bangsal Wisamarto
11. Tempat lonceng
12. Ngebrak
13. Bale Rata
14. Kori Kamandungan
15. Garasi
16. Smarakata
17. Marcukunda
18. Panti Pidana
19. Kori Sri Maganti
20. Ruang Jaga
21. Panggung
Sanggabuwana
22. Sasana Wilapa
23. Nguntarasana
24. Parepatan

25. Gedong/senthong
26. Paningrat
27. Malige
28. Susana Sewaka
29. Sasana Parasdya
30. Bangsal
Pradangga
31. Bangsal Bujana
32. Bangsal Bujana
33. Sasana
Handrawina
34. Kantoran
Kerajaan
35. Gedong/senthong
36. Art Galerry
37. Wiwara Priya
38. Prabasuyasa
39. Wiwara Kenya
40. Sasana Pustaka
41. WC
42.bangunan
43. Semar Maganti
Kidul
44. Karya Baksana
45. Mandrasana

RUMAH TEMPAT IBADAH


Yaitu rumah atau tempat untuk melakukan ibadah atau pemujaan sesuai
dengan adama dan kepercayaan masing-masing.
Bentuk rumah ibadah, dalam hal ini rumah ibadah orang islam, yang
berupa masjid, menggunakakn atap tajug. Dipercayai bahwa atap tajug
merupakan penggambaran dari meru (gunung yang dianggap suci oleh agama
hindu) dengan tingkatan atap berjumlah gasal 3 atau 5, bilangan gasal adalah
bilangan yang baik menurut kepercayaan jawa.
Rumah ibadah selain masjid yaitu langgar, langgar lebih kecil dari masjid,
dengan pola peruangan yang sama. Atap pada langgar biasanya menggunakan
atap limasan ataupun kampung

Denah Masjid

Denah Langgar

RUMAH TEMPAT MUSYAWARAH


Peranan hubungan kekerabatan di Indonesia khususnya di Jawa sangat penting,
apalagi pada jaman itu penduduk masih sangat sedikit, sehingga keterlibatan
dalam suatu pengambilan keputusan dirasa sangat perlu. Dan dari hal tersebut
kemudian munculah adat bermusyawarah.

Rumah pasamuan
Tempat untuk musyawarah dan juga untuk melakukan upacara yang
bersifat religius bagi anggota masyarakat. Contoh di desa Adiraja, kecamatan
Adipala, Cilacap. Rumah pasamuan berbentuk Joglo (tikelan), terdapat 3
bangunan cabrakan berbentuk srotong, dua di depan dan satu dibelakang.
Terdapat pula tempat musyawarah dengan atap tajug, yang dinilai sakral dan
suci, seperti Balai si Panji di Purwokerto.
Rumah berbentuk joglo berfungsi sebagai tempat musyawarah yang
termasuk tetua, dan juga upacara sakral. Srotong pada bagian belakang
digunakan untuk peserta yang tidak termasuk golongan tetua. Ruangan di bagi
menjadi 8 tempat sebagai tempat duduk. 6 buah membujur ke utara dua buah
melintang di sebelah utara.

RUMAH TEMPAT MENYIMPAN


Dalam hal ini meruakan rumah tempat menyimpan hasil bumi. Di
Jawa Tengah tempat penyimpanan hasil bumi tersebut disebut dengan
lumbung. Atap yang digunakan pada lumbung yaitu atap kampung
dengan ruangan luas yang dapat menampung banyak. Biasanya berkolong
tinggi, kurang lebih 1 m dari tanah untuk menghindari banjir dan
kebasahan tanah. Umumnya menggunakan dinding dari gedheg atau
anyaman bambu.

Anda mungkin juga menyukai