Anda di halaman 1dari 11

Analisis Gapura Candi Bentar, Bali

Nama: Herdarudewi Prabandari


NIM: 16/399803/TK/44817

Teori Arsitektur 2

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


DEPARTEMEN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2017
I. Profil Bangunan
Gapura Candi Bentar adalah nama dari rumah adat Bali. Rumah ini memiliki
massa yang banyak disesuaikan dengan fungsinya, jadi setiap massa bangunana
memiliki fungsi khusus.

Adapun massa-massa tersebut adalah:


1. Angkul-angkul yaitu pintu masuk rumah.

2. Aling-aling yaitu pembatas angkul-angkul dengan pekarangan rumah dan


daerah suci. Aling-aling biasanya berupa gazebo kecil setinggi 1.5 meter
atau juga bisa berupa ruang dengan tatakan batu yang menyambung dengan
angkul-angkul.
3. Sanggah atau Pamerajan (Pura Keluarga) yaitu bagian paling suci karena
diperuntukkan untuk memuja Tuhan.

4. Bale Meten atau Bale Daja yaitu kamar tidur kepala rumah dan gadis yang
terletak di sebelah utara tanah rumah.

5. Bale Dauh atau Bale Tiang Sanga yaitu tempat menyambut tamu.
6. Bale Sekapat merupakan tempat untuk bersantai atau bisa juga dijadikan
ruang tidur.

7. Bale Gede atau Bale Dangin yaitu tempat biasanya dilaksanakannya


upacara adat.

8. Paon atau Paweregen yaitu dapur.


9. Jineng yaitu tempat menyimpan padi.

II. Analisis Bangunan


Rumah Adat Bali memiliki konsep hirarkis dan kosmologis yang kuat yang
membuat ruang-ruang dan zonasi-zonasi di dalamnya memiliki alasan kenapa
peletakkannya di tempat itu. Untuk satu rumah, didalamnya bisa terdapat berbagai
konsep. Dimulai dari konsep atau prinsip Tri Angga, kansep orientasi Nawa Sanga
atau Sanga Mandala, dan Tri Hita Karana. Konsep-konsep ini tentunya saling
berhubungan yang pada akhirnya menghasilkan bentuk pelakatan setiap massanya
yang tidak asal karena pembagian zonasi sudah berdasarkan konsep-konsep yang
ada. Itu juga sebabnya konstruksi rumah adat Bali bisa bertahan lama yang sampai
sekarang prinsipnya juga masih digunakan karena nilai-nilai di dalamnya.

a. Konsep Tri Hita Karana


Konsep ini adalah konsep yang berkaitan dengan keseimbangan dan
keharmonisan. Arti dari Tri Hita Karana itu sendiri adalah tri yaitu tiga, hita yaitu
keharmonisan dan karana yaitu penyebab. Jadi, sederhananya konsep ini adalah
‘tiga penyebab keharmonisan’. Tiga penyebab itu adalah atma (jiwa), prana
(tenaga) dan angga (fisik). Adapun arti dari masing-masingnya adalah: atma yaitu

unsur yang berkaitan dengan kejiwaan, spiritual atau kerohanian dimana ini
berarti hubungan dengan Tuhan harus baik agar memiliki jiwa yang baik; prana
yaitu berkaitan dengan hubungan antar manusia atau karakter susila manusia itu
sendiri; dan angga yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar atau bumi. Dari
penjabaran makna tersebut, dapat kita simpulkan bahwa sebuah kehidupan manusia
akan terasa harmonis jika hubungan dengan Tuhan, manusia sesama dan
lingkungan harus seimbang.
Karena tuntutan prinsip ini, maka untuk setiap rumah di Bali harus memiliki
bagian untuk sembahyang agar tidak lupa dengan Tuhan, kemudian harus ada
halaman atau area hijaunya sebagai pengingat manusia bahwa manusia hidup di
bumi yang harus dirawat olehnya. Maka dari itu, dalam rumah tinggal, keberadaan
atma adalah pada area sucinya yaitu sanggah atau pamerajan, kemudian prana
adalah penghuni rumah, dan angga adalah pada pekarangan atau halaman rumah.
Dalam arsitektur rumah adat Bali, konsep ini lebih menunjukkan kepada
elemen-elemen rumah yang ada di dalamnya.

b. Konsep Tri Angga atau Tri Loka


Konsep ini memiliki makna yang kosmologis. Dalam arsitektur rumah bali,
bagian-bagian zonasi dari rumah dikaitkan dengan kosmologi bagain tubuh
manusia. Maka konsep ini terdiri dari tiga unsur juga yaitu: utama (kepala), madya
(badan) dan nista (kaki). Pada konsep ini utama dianggap paling suci, kemudian
madya bersifat netral, dan nista diangap bagian paling kotor karena ada di bawah
(kaki).
Dalam arsitektur rumah adat Bali, konsep ini digunakan sebagai pembagian
zonasi ruang atau massa di dalamanya dan hasilnya pada ada tiga zonasi yaitu
sanggah atau pamerajan itu bagian utamanya, tegah umah adalah bagian madyanya
dan tebe adalah nistanya.
Selain zonasi, konsep ini juga digunakan sebagai alat mendefinisi bagian dari
bangunan itu sendiri secara individual. Bangunan bagi orang Bali sama saja dengan
tubuh manusia. Analoginya adalah persamaan antara struktur bangunan dengan
tubuh manusia yaitu kuda-kuda atau atap sebagai ‘kepala’ dari rumah itu, kolom
sebagai ‘badan’ dari rumah, dan pondasi sebagai ‘kaki’ dari rumah itu.

c. Konsep Nawa Sanga atau Sanga Mandala


Konsep ini adalah dasar dari pertimbangan orientasi dan pembagian zonasi
bangunan rumah adat Bali. Orientasi konsep Sanga Mandala ini merupakan
gabungan dari orientasi sumbu bumi dan sumbu matahari. Sumbu bumi terdiri dari
tiga sumbu yaitu daerah yang paling tinggi atau gunung (biasanya di utara) yang
desebut sebagai Kaja, daratan, dan daerah terendah atau laut (biasanya di selatan)
yaitu Kelod. Dari ketiga ini jika dikaitkan dengan konsep Tri Angga, berarti kaja
adalah utamanya, daratan adalah madyanya, dan kelod adalah nistanya. Sedangkan,
orientasi sumbu matahari terdiri dari tiga sumbu juga yaitu arah terbitnya matahari
di timur yang disebut Kangin, transisi antara timur dan barat, dan yang terakhir arat
terbenamnya matahari di barat yang disebut Kauh. Jika dikaitkan dingen konsep Tri
Angga maka Kangin adalah utamanya, transisinya adalah madyanya, dan Kauh
adalah nistanya.
Arah-arah ini memiliki arti mereka tersendiri dan memiliki alasan kenapa ada
yang dianggap utama, madya atau nista. Untuk Kaje dan Kangin, mereka termasuk
dalam utama karena bagi orang Bali, Kaje karena secara topografinya merupakan
dataran tertinggi (gunung) maka, persepsinya adalah bahwa tempat itu adalah
tempat dimana dewa-dewa tinggal maka dianggap suci. Kemudian Kangin yang
merupakan arah matahari terbit atau timur, maka persepsinya bagi orang Bali adalah
sumber dimulainya aktivitas atau hari atau kehidupan sehingga dinggap sebagai
arah yang paling utama atau sebagai ‘pemulai’-nya. Sedangkan untuk Kelod dan
Kauh yang termasuk dalam nista karena Kelod yang secara topografinya
merupakan titik terendah daratan dan merupakan destinasi akhir sungai, maka arah
sumbu ini dianggap sebagai bagian yang tidak suci karena bersifat mengakhiri.
Kemudian sama seperti Kelod, Kaung yang berada di sebelah barat merupakan
berakhirnya hari dimana interpretasinya juga berakhirnya aktivitas manusia. Di sini
juga ada kata kunci ‘mengakhiri’ sehingga dianggap kurang suci juga.
Konsep ini juga lahir berdasarkan manifestasi dewa yaitu Dewata Nawa Sanga.
Sanga berarti Sembilan, dimana dewa-dewa dinggap menyebar ke delapan arah
mata angin dan satu di bagian tengah.

d. Alasan-alasan Bentuk Rumah Adat Bali Berdasarkan Konsep


Dari konsep-konsep yang ada di atas, lalu dapat kita jabarkan alasan-alasan
peletakkan massa dan komponen-komponen yang ada dalam rumah adat Bali.
Penerapan konsep Tri Hita Karana pada rumah adat Bali adalah pada
komponennya. Dari ajaran konsep ini dapat dilihat bahwa sesungguhnya ketiga
alasan itu sesungguh dibutuhkan untuk mencapai hidup yang harmonis maka
komponen-komponen pada rumah adat Bali juga ada karena kebutuhan mereka agar
hidupnya lebih nyaman, bukan semata-mata karena ini hanya adalah prinsip. Maka
untuk kebutuhan jiwa (atma) yang lebih tenang dengan adanya bimbingan Tuhan
muncul lah komponen sanggah yang isinya terdiri dari pura-pura untuk
bersembahyang kepada Tuhan. Kemudian untuk kebutuhkan kenyamanan tinggal
(prana) di rumah maka muncul lah bale dangin, bale daja, bale dauh, paon untuk
mendukung kelangsungan aktivitas manusia secara fungsional. Setiap rumah Bali
juga pasti ada komponen innercourt, halaman, atau pekarangan rumah karena
kebutuhan ekologis (angga)atau spesifikinya penghawaan yang baik. Hal ini
berkaitan dengan lingkungan rumah. Jadi, adanya komponen-komponen massa
dalam rumah adat Bali didasari konsep Tri Hita Karana yang memerhatikan
kebutuhan manusia.
Untuk konsep Tri Angga dan Nawa Sanga, mereka saling berkaitan dalam hal
pembagian zonasinya hanya saja konsep Nawa Sanga lebih memerhatikan pada
orientasi mata angin. Namun, konsep Tri Angga juga dianggap penting karena sifat
hirarkisnya lebih kelihatan. Hal ini akan membantu dalam pembagian fungsi massa
pada zonasi-zonasi yang sudah ada dalam konsep ini.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, Tri Angga terdiri dari utama, madya dan
nista dimana utama adalah bagian yang paling suci, madya netral dan nista dianggap
bagian paling kotor. Kemudian seperti yang sudah dijelaskan juga, konsep Nawa
Sanga membagi sumbunya menjadi Kaje, Kalod, Kangin dan Kauh. Kaje dan
Kangin meruapakan arah yang dianggap paling suci, dan Kalod dan Kauh yang
dianggap bagian tidak suci.

Dapat dilihat pada gambar di bawah, pada konsep Tri Angga, utama terletak
pada timur laut dimana timur laut adalah tengahnya utara dan timur. Dari
definisinya pun sama-sama suci dan berkaitan dengan Tuhan. Maka pada zona
inilah diletakkan sanggah atau pamerajan yang secara fungsi untuk beribadah.
Kemudian masih di zona suci, dibawah sanggah terdapat bale dangin yang secara
fungsi digunakan sebagai tempat pelaksanaan acara adat. Acar adat dianggap
penting dan suci dan itu sebabnya diletakkan di arah Kangin (timur) dimana arah
ini juga masih suci. Kemudian di sebelahnya sanggah terdapat bale meten (utara)
yang digunakan sebagai ruang tidur untuk kepala keluarga dan gadis. Mereka
dianggap orang-orang yang harus dilindungi dan paling dihormati, oleh karena itu
letakknya di utara dan biasanya dihadapkan ke Kaje atau tempat gunung berada.
Zona utama selain dianggap suci juga dianggap aman.
Selanjutnya untuk madya yang terletak di tengah-tengah biasanya kosong atau
menjadi innercourt rumah karena dianggap area paling netral. Tetapi bisa juga diisi
dengan bale-bale yang fungsinya menengah tidak seistimewa sanggah atau sekotor
dapur dan kamar mandi. Sesungguhnya bale meten dan bale dangin bisa termasuk
dalam madya tetapi karena secara hirarkis fungsinya dianggap penting juga maka
letaknya pun di timur dan utara yang masih dianggap suci dan aman. Selain bale
sakepat danbale meten, jika ke barat sedikit dapat kita temu bale tiang sanga yang
berfungsi sebagai penerima tamu. Kemudian ke selatan sedikit namun masih dalam
zona madya, terdapat bale sakepat yaitu tempat tidur anak-anak dan anggota
keluarga lainnya. Itu adalah ruang-ruang massa yang ada pada zona madya.
Kemudian yang terakhir, untuk zona nista yang terletak di barat daya dimana
ini adalah tengahnya barat dan selatan. Dalam konsep Nawa Sanga, ini berarti nista
berada di Kelod dan Kauh yang dianggap kotor, sehingga peletakkan ruang-
ruangnya juga yang fungsinya bersifat ‘servis’ seperti dapur atau paon, kamar
mandi, dan jineng.
Sesungguhnya untuk setiap daerah di Bali denahnya berbeda-beda tergantung
letak gunung dan lautnya ada dimana, tetapi karena adanya konsep seperti ini,
polanya setiap rumah sama. Jadi, nilai-nilainya tetap terjaga.

e. Ornamen pada Rumah Adat Bali


Ornamen-ornamen yang dapat ditemukan pada rumah-rumah di Bali ada tiga
maca, yaitu: keketusan, kekarangan dan pepatran.
Keketusan merupakan corak bagian dari tumbuhan, missal akarnya atau
daunnya saja Biasanya oranmennya melengkung-lengkung seperti Bungan dan
daun yang lebar.

Kekarangan adalah motif pahatan fauna yang terurai sampai bawah. Biasanya
terdapat pada sudut-sudut batas atas yang disebut karang simbar, dan pada sendi
tiang tugek yang disebut karang suring.
Kemudian pepatran adalah ornament tumbuhan dan bunga-bunga dan daunnya
secara utuh.

f. Pemilihan Material Bangunan


Jika kita lihat secara keseluruhan, kebanyakan rumah adat Bali terbuat dari batu
bata dan tanah liat. Untuk setiap material juga memiliki makna. Biasanya rumah
yang menggunakan batu bata adalah rumah seorang bangsawan atau yang status
sosialnya tinggi, Sedangkan untuk rumah dengan tanah liat untuk masyarakat biasa.
Dipilihnya material-material ini juga karena batu bata dan tanah liat merupakan
material lokal.
III. Kesimpulan
Rumah adat Bali merupakan bangunan yang kompleks dan sangat bernilai
dengan adanya konsep-konsep kuat yang mendasari tata letak ruang-ruangnya.
Konsep-konsep yang membentuk rumah adat Bali adalah konsep Tri Hita Karana
yang menentukan komponen ruang-ruang massanya, Tri Angga atau Tri Loka yang
menentukan zonasi secara hirarkis dan kosmologis, dan Nawa Sangan yang
menentukan orientasi bangunan. Konsep-konsep ini menjadi kemudian menjadi
alasan mengapa suatu massa bangunan diletakkan di sana.
Kemudian ada ornament-ornamen yang memberikan estetika dan juga memberi
kesan yang sangat berseni pada rumahnya.
Karena komponen-komponen ini rumah Bali menjadi bangunan yang penuh
filosofi yang diharapkan akan memberi manfaat kepeda penguhuninya. Jika dilihat
dari segi budaya dan agama mereka, konsep-konsep ini sangat mendukung budaya
kehidupan di sana, sehingga dari tahun ke tahun konsep-konsep dan prinsip ini tetap
digunakan oleh masyarakatnya.

IV. Daftar Pustaka


- 2018. Rumah Adat Bali. www.adatindonesia.com
- Tyo. 2017. 9+ Contoh Rumah Adat Bali Beserta Keunikan dan
Penjelasannya. www.balubu.com
- yusufarief1. 2017. Arsitektur Rumah Adat Bali/Gapura Candi
Bentar Lengkap. www.rumahulin.com
- Arsitektur Bali: Tata Ruang Masyarakat Bali. www.cvastro.com
- Rahmat Budiharjo. Konsep Arsitektur Bali pada Bangunan Puri.
Thesis. Universitas Parahyangan. www.wordpress.com
- Pengertian Ragam Hias dan Jenis-jenisnya. www.ilmuseni.com

Anda mungkin juga menyukai