Anda di halaman 1dari 9

ARSITEKTUR BALI 2

SANGA MANDALA

ANGGOTA:
KENCANA ARUM SAVITRI (1304205072)
THEANA TRISNAWATI (1304205073)
PUTU NOVIA DEVI SWANDEWI (1304205088)
DIANTINI SUWENA (1304205090)
VITA AFRIYANI (1304205095)

BUKIT JIMBARAN
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
2014/2015
1. Pengertian dan Hakekat

Sanga mandala merupakan konsep turunan/terapan dari konsep asli yaitu persilangan
antara sumbu bumi (Kaja-Kelod), sumbu ritual (Kangin-Kauh), dan Tri Mandala (Utama,
Madya, Nista). Konsep tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari Sembilan manifestasi
Tuhan, yaitu Dewata Nawa Sanga yang menyebar di delapan arah mata angina di tambah
satu di tengah dalam menjaga keseimbangan alam semesta.

Konsep Sanga Mandala ini menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata
letak bangunan pada Arsitektur Tradisional Bali. Kegiatan uatama atau yang memerlukan
ketenangan diletakkan di daerah Utamaning Mandala, dan kegiatan yang dianggap kotor
diletakkan di daerah Nistaning Mandala, sedangkan kegiatan di antaranya diletakkan di
tengah atau Madyaning Mandala.

2. Perwujudan
a. Makro
Sanga Mandala dalam Skala Perumahan ( desa)
Dalam skala perumahan konsep Sanga Mandala, menempatkan kegiatan bersifat suci
(pura desa) pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), letak pura dalem dan kuburan
pada daerah nistaning nista (klod-kauh), dan pemukiman pada daerah madya. Ini dapat
terlihat pada perumahan yang memiliki pola perempatan (catus Patha). Tata nilai
berdasarkan sumbu bumi (kaja/gunung-kelod/laut), memberikan nilai utama pada arah
kaja (gunung) dan nista pada arah kelod (laut), sedangkan berdasarkan sumbu matahari,
nilai utama pada arah matahari terbit dan nista pada arah matahari terbenam. Jika kedua
system tata nilai ini digabungkan, secara imajiner akan terbentuk pola Sanga Mandala,
yang membagi ruang menjadi Sembilan segmen.
Konsep tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari Sembilan manifestasi Tuhan dalam
menjaga keseimbangan alam menuju kehidupan harmonis yang disebut Dewata Nawa
Sanga.

Gambar 1. Pola Perempatan (Catus Patha) Perumahan Tradisional Bali.


Sumber: Eko Budiharjo (1986)
Gambar 2. Pola Linear Perumahan Tradisional Bali
Sumber: Eko Budiharjo (1986)

Gambar 3. Gambar Kombinasi Perumahan Tradisional Bali


Sumber: Eko Budiharjo (1986)
b. Mikro
Perwujudan konsep sanga mandala dalam lingkup mikro adalah sistem tata ruang
rumah tradisional Bali. Pembagian tata ruang dan letak bangunan dalam sanga mandala
dibagi berdasarkan kegiatannya. Kegiatan yang bersifat utama dan memerlukan
ketenangan diletakkan di daerah utamaning utama (kaja kangin-timur laur), kegiatan
yang biasa saja atau tidak utama dan tidak nista ditaruh di tengah (sekarang menjadi
natah), sedangkan kegiatan yang dianggap kotor/sibuk ditaruh dibagian nistaning nista
(klod kauh – barat daya).

Tata ruang berdasarkan konsep sanga mandala dalam penataan ruang di Bali Utara
dan Bali Selatan berbeda, hal disebabkan letak kaja (gunung) dan arah timur (matahari
terbit) sehingga terjadi perbedaan tata letak seperti cermin.

Pembagian zona dalam tata ruang rumah tradisional Bali. Zona tengah yang berupa
ruang terbuka disebut natah (halaman) berada pada zona Madyaning Madya. Zona
Kaja-Kangin atau Utamaning Utama terdapat Sanggah atau Pura Rumah Tangga,
disampingnya terdapat Bale Daja atau Bale Meten yaitu di zona Utamaning Madya.
Bale Daja atau bale Menten merupakan satu-satunya bangunan yang memiliki privasi
paling tinggi, biasanya menjadi tempat tinggal kepala keluarga dan isterinya, dan juga
anak-anak perempuan yang belum menikah, namun terkadang ditinggali juga oleh
pasangan anak yan baru menikah. Sedakangkan zona madyaning Utama diletakkan
Bale Dangin, merupakan tempat tidur anak laki-laki dan juga tempat untuk
mepersiapkan upacara-upacara. Bale dangin disebut juga bale sikepat, karena bertiang
empat. Bersebrangan dengan Bale Dangin terdapat Bale Dauh yang berfungsi sebagai
tempat menerima tamu, pada zona Madyaning Nista. Bale Dauh digunakan sebagai
tempat untuk menerima tamu. Bale Delod yang terletak pada zona Nistaning Madya
merupakan tempat para wanita bekerja seperti menenun. Paon (dapur) terletak pada
zona Nistaning Nista, dan lumbung padi atau jineng terletak pada zona nistaning
Utama, dan dibelakangnya terdapat kandang ternak (babi). Pintu masuk atau biasa
disebut angkul-angkul terletak di area Nistaning Nista, dan dibalik angkul-angkul
terdapat dinding penutuk yang disebut aling-aling dimaksudkan untuk melindungi
bagian dalam pekarangan dadi pengaruh buruk yang berasal dari luar rumah. Umumnya
seluruh pekarangan dikelilingi oleh pagar yang disebut penyengker.
Dalam menentukan letak tata ruang rumah memiliki beberta aturan atau pantangan
yang harus diperhatikan yaitu :
 Pekarangan rumah tidak boleh besebelahan langsung atau berada diseblah timur atau
utara Pura, bila tidak ada pembatas lorong atau pekarangan, seperti sawah.
Ladang/sungai.
 Pekarangan rumah tidak boleh numbak runung atau tusuk sate. Artinya jalan lurus
langsung bertemu dengan pekarangan rumah.
 Pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh pekarangan/rumah sebuah keluarga lain.
Pantangan ini dinamakan: Karang Kalingkuhan.
 Pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi oleh cucuran atap dari rumah orang lain.
Pantangan ini dinamakan: Karang Kalebon Amuk.
 Pekarangan rumah sebuah keluarga tidak boleh berada sebelah- menyebelah jalan
umum dan berpapasan. Pantangan ini dinamakan: Karang Negen.
 Pekarangan rumah yang sudut Barat Dayanya bertemu dengan sudut Timur Lautnya
pekarangan rumah keluarga itu juga berada sebelah-menyebelah jalan umum, ini
tidak boleh. Pantangan ini dinamakan: Celedu Nginyah.
3. Penyimpangan
Terbatasnya lahan di Bali menjadikan banyak masyarakat yang tidak membuat rumah
tinggal mereka dengan konsep Sanga Mandala. Selain keterbatasan lahan, faktor biaya
juga juga dipertimbangkan untuk membangun rumah dengan konsep ini karena rumah
Arsitektur Tradisional Bali memerlukan biaya yang tidak sedikit, baik dari bahan maupun
proses konstruksinya yang harus bertahap.

Untuk masalah ini, solusi yang dapat


kami berikan adalah dengan menggunakan
konsep Sanga Mandala tidak dalam lingkup
fisik, tapi dalam penataan ruang-ruang dalam
rumah tinggal yang akan dibangun yang lebih
banyak menggunakan tipe studio. Contoh
seperti peletakan dapur di arah nistaning nista
(kelod-kauh) atau dekat dengan pintu masuk.
Untuk merajan, tetap berada di utamaning
utama (kaja-kangin). Peletakan ruang-ruang
lain bisa menyesuaikan dengan konsep Sanga
Mandala ini. Untuk ruang kosong (natah),
disesuaikan dengan ruang terbuka yang ada pada lahan agar tercipta keselarasan dengan
lingkungan, tidak dibeton semuanya (konsep Tiga Sumbu Kosmik).

4. Kesimpulan

Konsep Sanga Mandala merupakan konsep tata ruang yang lahir dari Sembilan
manifestasi Tuhan, yaitu Dewata Nawa Sanga yang menyebar di delapan arah mata angina
di tambah satu di tengah dalam menjaga keseimbangan alam semesta. Konsep ini
digunakan sebagai tata letak ruang dalam rumah tradisional Bali. Kegiatan utama atau
yang memerlukan ketenangan diletakkan di daerah Utamaning Mandala, dan kegiatan
yang dianggap kotor diletakkan di daerah Nistaning Mandala, sedangkan kegiatan di
antaranya diletakkan di tengah atau Madyaning Mandala. Namun karena terbatasnya lahan
di Bali membuat banyaknya rumah minimalis bermunculan. Hal tersebut tidak sesuai
dengan konsep sanga mandala pada rumah tradisional Bali, hal ini dapat ditangani dengan
tetap melakukan penataan (zoning) ruang – ruang yang ada sesuai dengan konsep Sanga
Mandalayang ada, sehingga konsep rumah tradisional Bali yang ada tidak hilang atah
punah dimakan zaman.
DAFTAR PUSTAKA

http://kosmologidanmitologiarsitekturbali.blogspot.com/

http://www.scribd.com/doc/213649223/Arsitektur-Bali-Konsepsi-Sanga-Mandala-dan-Tri-
Mandala
Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. 2010. Arsitektur Rumah Tradisional Bali, buku ajar.
Jurusan Arsitektur. Fakultas Teknik. Universitas Udayana:Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai