ARSITEKTUR TORAJA
Dosen Pengampu:
1. Ir. Ria Wikantari Rosalia, M.Arch., Ph.D.
2. Andi Karina Deapati, S.Arch., MT.
Disusun Oleh:
Nama: Sasmitha Raya Pata’
NIM: D051201087
DEPARTEMEN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
BAB I: PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Arsitektur Toraja yang merupakan hasil kebudayaan kuno yang berasal dari
masa sebelum masuknya pengaruh agama masuk ke daerah ini. Ada beberapa
cerita dan pendapat mengenai asal usul suku Toraja. Konon, leluhur orang Toraja
adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun-
temurun hingga kini secara lisan di kalangan masyarakat Toraja ini menceritakan
bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari
langit” untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi
dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Esa). Lain lagi versi dari Dr. C. Cyrut,
seorang antropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana
Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang
mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah
imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua
masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah
yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah
Enrekang. Para imigran ini membangun pemukimannya di daerah tersebut.
Pengaruh akulturasi budaya ini terlihat pada atap rumah adat suku Toraja, yaitu
Tongkonan yang melengkung menyerupai perahu.
Arsitektur tradisional Toraja meliputi segala aspek yang berhubungan dengan
tongkonan, seperti rumah adat, alang sura atau lumbung padi, kuburan, dan segala
aspek lingkungan binaan dari Tongkonan, sehingga berbicara tentang arsitektur
tradisional Toraja merupakan topik yang sangat luas, tetapi dalam paper ini yang
menjadi fokus pembahasan adalah hal-hal yang berkaitan dengan rumah adat
sebagai bangunan tradisional.
I.III Tujuan
1. Mengetahui asal-usul penamaan suku Toraja
2. Mengetahui sistem kasta dalam masyarakat Toraja
3. Mengetahui kosmologi Toraja
4. Mengetahui tipe banua/rumah dalam suku Toraja
5. Mengetahui perkembangan rumah adat Toraja
6. Mengetahui detail struktur bangunan rumah Tongkonan
7. Mengetahui tata ruang dan makna simbolik Tongkonan
8. Mengetahui pola penempatan ragam hias Toraja pada Tongkonan
BAB II: PEMBAHASAN
II.I Asal-usul Penamaan Suku Toraja
Tana Toraja dulu bernama Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo yang
artinya negeri yang bentuk pemerintahan dan kemasyarakatannya merupakan
kesatuan/bulat bagaikan bentuk bulan dan matahari. Asal-usul kata Toraja, terbagi
menjadi 2 versi. Versi pertama, mengatakan bahwa kata Toraja berasal dari kata
“to” yang artinya orang dan kata “raja” yang artinya raja. Jadi, Toraja artinya orang-
orang keturunan raja. Versi lain mengatakan bahwa Toraja berasal dari dua kata,
yaitu “to” yang artinya orang dan “ri aja” (bahasa Bugis) yang artinya orang-orang
gunung. Jadi, Toraja artinya orang-orang yang tinggal di gunung (dataran tinggi).
Secara garis besar suku Toraja dibagi atas tiga bagian besar, yaitu:
Toraja Barat di daerah Kulawi, Kailo dll, kini meliputi Provinsi Sulawesi Tengah
dan Tenggara.
Toraja Timur (Poso).
Toraja Selatan (Toraja Sa’dan), kini meliputi: Makale dan Rantepao, Polewali
Mamasa, Satu Noling, Satu Lamasi, dan Rongkong.
II.II Sistem Kasta dalam Masyarakat Toraja
Masyarakat Toraja sejak dulu mengenal beberapa tingkatan masyarakat yang
dinamakan tana’ (kasta) seperti yang terdapat didalam Agama Hindu-Bali. Karena
itulah sebabnya kepercayaan asli suku Toraja, yaitu Aluk Todolo ditetapkan
pemerintah menjadi salah satu sekte dalam agama Hindu-Bali. Tana’ atau kasta ini
dibagi menjadi 4, yakni :
Tana’ Bulaan lapisan bangsawan tertinggi sebagai pewaris yang dapat
menerima Sukaran Aluk, yang dipercaya mengatur aturan hidup dan
memimpin agama.
Tana’ Bassi adalah lapisan bangsawan menengah sebagai pewaris yang dapat
menerima Maluangan Bata’tan ditugaskan mengatur kepemimpinan dan
mengatur kecerdasan.
Tana’ Karurung adalah lapisan masyarakat biasa yang merdeka, tidak pernah
diperintah langsung, sebagai pewaris yang dapat menerima pande, yaitu
tukang-tukang dan orang yang terampil.
Tana’ Kua-kua, adalah lapisan hamba sahaya sebagai pewaris yang menerima
tanggung jawab sebagai pengabdi, biasanya disebut matutu inaa.
II.III Kosmologi Toraja
Makrokosmos adalah alam raya yang terdiri dari tiga pembagian:
Dunia atas, langi’ atau suangan tempat Puang Matua, yaitu Tuhan Yang Maha
Esa yang menjaga keseimabangan siang dan malam dari kehidupan di dunia
ini, diasosiasikan dengan matahari, sesuatu yang tidak tergantung dari apapun,
disebut allo yang berarti siang hari (terang), diidentifikasi sebagai laki-laki,
berada di atas, terang, dan baik.
Dunia Tengah, berada di permukaan bumi sebagai tempat manusia menjalani
kehidupan, yang wajib melaksanakan persembahan dan pemujaan pada setiap
fase kehidupannya, dan lainnya.
Dunia Bawah, dianggap berda di bawah air diidentifikasi sebagai bawahan dan
buruk yang dijaga oleh Pong Tulak Padang, yang mendukung dan memberikan
topangan pada Tongkonan dan kehidupan manusia di bumi.
Selain makrokosmos, secara umum dalam tingkatan kosmos juga dikenal
sebutan dan mesokosmos yang contohnya adalah sebuah wilayah di suatu daerah
tertentu, misalnya sebuah desa dan mikrokosmos yang contohnya sebuah rumah
tempat tinggal.
Keterangan:
a. Pongko'
b. Tasik, laut
c. Gunung Bamba Puang, Pintu Masuk
Para Dewa
d. Puya, Alam baka
e. Padang atau Lino, Dunia Tengah,
Dunia Manusia
f. Langi’, Dunia Atas
g. Dunia Bawah
h. Pong Tulak Padang
i. Spirit, menopang rumah dan tempat
tinggal di Dunia Bawah
j. Puang Matua di puncak, ulunna langi’
(kepala Surga)
k. Tongkonan
Jowa Imre Kis-Jovak, 1988: 36)
II.IV Rumah Bagi Masyarakat Toraja
Rumah (banua) dalam masyarakat Toraja terbagi atas dua golongan:
1. Banua Barung-barung atau rumah pribadi orang Toraja, bentuknya bisa seperti
rumah Bugis, atau berbentuk seperti Tongkonan, tetapi tidak dilengkapi ragam
hias dan perlengkapan seperti pada Tongkonan.
2. Banua Tongkonan atau rumah adat keluarga Toraja yang memiliki fungsi adat.
Tongkon artinya duduk, Tongkonan artinya tempat duduk, maksudnya tempat
untuk bermusyawarah atau melakukan hal lain yang terkait dengan adat.
Tongkonan adalah pusat perayaan Rambu Solo dan Rambu Tuka. Tongkonan
juga merupakan rumah atau istana raja/penguasa adat dan pusat pertalian
keluarga. Rambu Solo adalah upacara kedukaan/pemakaman/kematian
dilaksanakan di sebelah barat Tongkonan. Adapun Rambu Tuka adalah
upacara pengucapan syukur, keselamatan, kegembiraan, dan kesuksesan
dilaksanakan di sebelah timur Tongkonan.
Rumah Tongkonan adalah rumah panggung yang didirikan dari kombinasi
lembaran papan dan batang kayu. Denahnya berbentuk persegi panjang mengikuti
bentuk praktis dari material kayu. Material kayunya terdiri dari kayu uru, yaitu
sejenis kayu lokal dari Sulawesi. Kayu uru banyak ditemui dihutan-hutan di daerah
Toraja dan kualitas dari kayu uru cukup baik, kayu-kayu ini tidak perlu dipernis atau
dipelistur, kayu dibiarkan asli. Pembangunan rumah tradisional Tongkonan
biasanya dilakukan secara gotong royong.
Rumah Adat Tongkonan dibedakan menjadi 3 macam:
a. Tongkonan Layuk, rumah adat tempat membuat peraturan dan penyebaran
aturan-aturan.
b. Tongkonan Pakamberan atau Pakaindoran, rumah adat tempat dilaksanakannya
aturan-aturan. Biasanya dalam satu daerah terdapat beberapa Tongkonan, yang
semuanya bertanggung jawab pada Tongkonan Layuk.
c. Tongkonan Batu A’riri, rumah adat yang tidak mempunyai peranan dan fungsi
adat, hanya sebagai tempat pusat pertalian keluarga.
Dalam pembangunan rumah adat Tongkonan ada hal-hal yang harus
diperhatikan dan tidak boleh untuk di langgar, yaitu rumah diharuskan menghadap
ke utara atau dipercaya menghadap ke arah Puang Matua sebutan bagi orang
Toraja kepada Tuhan YME dan untuk menghormati leluhur mereka dan dipercaya
akan mendapatkan keberkahan di dunia, letak pintu di bagian depan rumah,
dengan keyakinan langit dan bumi itu merupakan satu kesatuan, dan bumi dibagi
kedalam 4 penjuru mata angin, yaitu:
a. Utara disebut Ulunna langi’, yang paling mulia di mana Puang Matua berada
(keyakinan masyarakat Toraja).
b. Timur disebut Matallo, tempat matahari terbit, tempat asalnya kebahagiaan atau
kehidupan.
c. Barat disebut Matampu, tempat metahari terbenam, lawan dari kebahagiaan
atau kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian.
d. Selatan disebut Pollo’na langi’, sebagai lawan bagian yang mulia, tempat
melepas segala sesuatu yang tidak baik atau angkara murka.
Di depan Tongkonan dibangun alang sura atau lumbung. Untuk alang sendiri
ada yang diukir ada yang tidak diukir. Alang yang diukir inilah yang disebut alang
sura. Tak hanya satu, alang juga biasanya dibangun sesuai dengan jumlah
keturunan. Sang pemilik akan meletakkan padi-padi yang masih bertangkai di
dalam alang. Uniknya, kadang alang juga jadi tempat penyimpanan barang
berharga. Tongkonan dan alang dibangun berhadapan sesuai dengan arah utara
dan selatan. Kedua bangunan ini berperan sebagai pengganti orang tua.
Tongkonan diibaratkan sebagai ibu yang melindungi anak-anaknya, yaitu orang
Toraja. Sedangkan, alang sura yang adalah lumbung merupakan ayah yang
menjadi tulang punggung.
Rumah Toraja atau Tongkonan ini dibagi menjadi 3 bagian:
1. Kolong (Sulluk Banua)
2. Ruangan rumah (Kale Banua)
3. Atap (Rattiang Banua)
Warna/kasumba Rumah Toraja
a. Warna merah (kasumba mararang) yang berarti darah yang melambangkan
kehidupan manusia.
b. Warna putih (kasumba mabusa) melambangkan warna daging serta tulang yang
berarti suci.
c. Warna kuning (kasumba mariri) berarti anugerah dan kekuasaan dari Sang Ilahi.
d. Warna hitam (kasumba malotong) berarti kematian dan kegelapan.
Liang (kuburan batu) atau kuburan adat bagi keluarga Toraja diistilahkan Tongkonan
tang merambu’/Tongkonan tanpa asap yang mengepul karena dapurnya tidak
mengepulkan asap.
Liang merupakan pasangan Tongkonan yang sebenarnya. Orang Toraja percaya
bahwa kematian adalah pergantian status dari alam nyata ke alam baka/puya.
Selain liang, ada juga yang disebut patane (kuburan berbentuk rumah adat Toraja
yang materialnya kebanyakan berbahan dasar kayu). Satu patane bisa digunakan
sebagai tempat persemayaman lebih dari satu jenazah, bahkan ada yang lebih dari 5
jenazah. Hal ini tergantung pada ketentuan yang ditetapkan dan juga disesuaikan
dengan tana’/kasta.
2. Bentuk kedua dinamakan Pandoko Dena. Bentuk ini biasa disebut pondok pipit
karena letaknya yang diatas pohon. Pada prinsipnya rumah ini dibuat atas 4
pohon yang berdekatan dan berfungsi sebagai tiang. Hal pemindahan tempat ini
mungkin disebabkan adanya gangguan binatang buas.
3. Perkembangan ketiga ditandai dengan mulainya pemakaian tiang buatan. Bentuk
ini memakai 2 tiang yang berupa pohon hidup dan 1 tiang buatan. Mungkin ini
disebabkan oleh sukarnya mencari 4 buah pohon yang berdekatan. Bentuk ini
disebut Re'neba Longtongapa.
8. Pada periode ini hanya terjadi perkembangan pada lantai dan tangga yang berada
di bagian depan.
9. Pada periode ini letak tangga pindah ke bawah serta perubahan permainan lantai.
Banua Diposi merupakan nama yang dikenal untuk perkembangan kesembilan ini.
Perubahan ini lebih untuk menyempurnakan fungsi lantai (ruang).
Berikutnya adalah perubahan lantai yang menjadi datar dan ruang hanya dibagi
dua. Setelah periode ini perkembangan selanjutnya tidak lagi berdasarkan adat,
tetapi lebih banyak karena persoalan kebutuhan akan ruang dan konstruksi.
Begitu juga dalam penggunaan materi mulai dipakainya bahan produk mutakhir,
seperti seng, sirap, paku, dan sebagainya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
perkembangan yang terakhir merupakan puncak perkembangan dari rumah adat
Toraja.
Keterangan:
1. Matallo banua bagian timur rumah
2. Matampu banua bagian barat rumah
3. Eran tangga
4. Dapo' (dapur)
5. Jenazah orang meninggal
6. Orang tidur
7. Ba'ba sade, pintu di bagian barat
Tongkonan, digunakan untuk
membawa jenazah keluar rumah.
b. Pondasi
Pada umumnya sistem struktur yang dipakai untuk bangunan Tongkonan
adalah sistem konstruksi pasak (knock down), yaitu teknik konstruksi yang
menggunakan sistem sambungan tanpa paku dan alat penyambung selain
kayu. Bahan pondasi sendiri terbuat dari batu gunung.
c. Kolom/Tiang A’riri
Terbuat dari kayu uru, bentuk kolom persegi empat. Selain itu, digunakan juga
kayu nibung agar tikus tidak dapat naik ke atas, karena serat dari kayu ini
sangat keras dan sapat sehingga terlihat licin. Kolom disisi barat dan timur
jaraknya rapat dan berjumlah banyak, agar kuat menampung orang-orang yang
datang saat upacara kematian.
d. Balok
Seperti sloof, yaitu sebagai pengikat antara kolom-kolom sehingga tidak terjadi
pergeseran tiang dengan pondasi. Hubungan balok dengan kolom disambung
dengan pasak yang terbuat dari kayu uru.
e. Lantai
Terbuat dari bahan papan kayu uru yang disusun di atas pembalokan lantai.
Disusun pada arah memanjang sejajar balok utama. Sedangkan untuk alang
terbuat dari kayu banga.
f. Dinding
Dinding disusun satu sama lain dengan sambungan pada sisi-sisi papan
dengan pengikat utama yang dinamakan Sambo Rinding. Fungsinya sebagai
rangka dinding yang memikul beban. Pada dinding dalam, tidak terdapat
ornamen-ornamen, hanya dibuat pada bagian luar bangunan.
g. Tangga
Tangga Rumah Tongkonan terletak dibagian samping rumah, menuju pada
pintu masuk atau terletak di bagian tengah rumah menuju langsung ruang
tengah atau sali’. Tangga menggunakan kayu uru, yaitu sejenis kayu lokal yang
berasal dari Sulawesi.
h. Pintu
Pintu rumah Tongkonan nampak dihiasi dengan beberapa motif ukiran. Salah
satu motif pada gambar pintu rumah tersebut adalah motif Pa’ Tedong. Ukiran
yang melambangkan kemakmuran. Sebagai pegangan, di pintu ditempatkan
ekor kerbau yang dipotong hingga pangkal ekor dan telah dikeringkan.
Memasuki rumah adat ini mempunyai cara tertentu, yaitu pintu masuk harus
diketuk dengan membenturkan kepala perlahan-lahan.
i. Jendela
Jendela pada rumah Tongkonan umumnya terdapat 8 buah. Masing-masing di
setiap arah mata angin terdapat 2 jendela. Fungsinya adalah sebagai tempat
masuknya aliran angin dan cahaya matahari dari berbagai arah mata angin.
j. Atap
Atapnya melengkung menyerupai perahu (merupakan pengaruh budaya Cina)
atau ada juga pendapat lain yaitu menyerupai tanduk kerbau. Atap ini terdiri
atas susunan bambu (saat ini sebagian Tongkonan menggunakan atap seng)
dan diatasnya dilapisi ijuk hitam. Terbuat dari bambu pilihan yang disusun
tumpang tindih dengan dikait oleh beberapa reng bambu dan diikat oleh
rotan/tali bambu.
Kabongo, yaitu
'patung' dengan
- Tongkonan ini bernilai
ikonis kepala - Perlengkapan
'tinggi' menurut adat dan
kerbau, Tongkonan
Sebagai 'tanda' tradisi dalam masyarakat
berwarna hitam - Tanda yang
yang hitam tradisional Toraja
dan putih bernilai informatif
menunjukkan - Simbol kebangsawanan
dipasang pada Tongkonan ini
bagian depan dan atau Pemangku adat
bagian bawah memberlakukan
Tongkonan - Pemilik Tongkonan
dinding depan 'aturan adat'
mempunyai peranan adat
Tongkonan, Toraja
dalam Masyarakat
atau pada
Tulak Somba
Katik, yaitu
'patung' yang - Penempatan katik di
secara ikonik Sebagai 'tanda' atas kabongo’
dikonotasikan bahwa
menyerupai yang
'aturan adat’ harus selalu
kepala burung menunjukkan berada di atas penguasa,
dengan leher bagian depan dengan kata lain
Perlengkapan
panjang atau Tongkonan, peraturan harus selalu
Tongkonan
ayam jantan, yang dijunjung tinggi
dipasang di memberlakukan - Pemilik Tongkonan
atas kabongo', ‘aturan adat’ tunduk dan menaati
aturan adat
warna: hitam, Toraja
- Simbol bagi Pemangku
putih, merah, Adat
dan kuning
- Motif ini dikonotasikan
sebagai matahari dan
Ragam hias
bulan yang sedang
Pa'barre allo,
bersinar
yaitu motif
- Lingkaran
ukiran yang
melambangkan tekad
berbentuk dua
orang Toraja untuk
lingkaran besar
bersatu dalam adat,
dan kecil, Motif ukiran yang
tradisi, berdasarkan Aluk
diukirkan pada wajib pada tiap
Todolo, sedangkan
dinding atap Tongkonan
segitiga-segitiga yang
yang berbentuk
mengelilingi lingkaran
segitiga (warna
dianggap sebagai sinar
merah), warna
matahari/bulan yang
motif: merah,
menyinari/menerangi
kuning, hitam,
kehidupan.
dan putih
- Simbol pemersatu orang
Toraja
Ragam hias
Pa'manuk
Londong,
ukiran yang Sebagai 'tanda'
secara yang
menunjukkan Motif ukiran
ikonografis - Simbol aturan adat atau
bahwa di pelengkap setiap
menyerupai keteraturan
Tongkonan ini Tongkonan
ayam jantan, berlaku 'aturan
biasanya adat Toraja'
diukirkan di
atas motif
pa'barre allo
- Pemilik Tongkonan
Tanduk kerbau,
adalah rumpun keluarga
adalah tanduk
yang memiliki 'pengaruh'
kerbau asli
Tongkonan ‘Tanda’ bagi dalam masyarakat
yang telah
diresmikan Tongkonan berdasarkan adat.
dikeringkan,
dengan kurban bahwa pernah Jumlah tanduk yang
biasanya
kerbau ditempati digantungkan pada
digantungkan
(mangrara melaksanakan Tongkonan sebagai
pada tulak
banua) upacara adat informasi mengenai
somba atau
kekayaan dan strata
pada tiang
sosial rumpun keluarga
rumah
pemilik Tongkonan
Ragam Hias
Penempatan Makna Penempatan Keterangan
Toraja
Kerbau sebagai
Pa'tedong
- Rangka penunjang
menggambarkan ragam
panil dinding kelangsungan
hias kepala kerbau
(sangkinan keberadaan
Pa'tedong Toraja sebagai simbol
rinding) Tongkonan yang
- Daun pintu modal utama
mengikat dan
Tongkonan (kekayaan) orang
mempersatukan
Toraja
rumpun keluarga
Dinding luar
bagian atas
Tongkonan
(dinding atap
yang Penempatan ragam
berbentuk hias tersebut Pa'bare allo merupakan
segitiga), dikonotasikan untuk simbol sistem
Pa'barre Allo pemerintahan dan
selalu menjunjung tinggi
dan Pa'manuk kemasyarakatan Toraja,
diukirkan (menghormati) sistem
Londong sedangkan Pa'manuk
bersama, kemasyarakatan dan londong adalah simbol
dimana aturan adat aturan adat Toraja
pa'barre allo masyarakat Toraja
berada tepat
di bawah
pa'manuk
londong
Tanda peringatan
suatu peristiwa, Pemakaian motif-motif
Panil dinding pesan moral, yang lainnya pada dinding
Motif lain (rinding)
juga sekaligus tidak mempunyai pola
Tongkonan
sebagai hiasan tertentu
dinding Tongkonan
Ukiran (ragam hias dekorasi) pada Tongkonan ada hubungannya dengan
tana’ atau kasta dalam masyarakat Toraja. Jika pemiliknya memiliki kasta rendah
(Tana’ Karurung), maka rumah Tongkonan miliknya tidak diukir, jika menengah
(Tana’ Bassi dan Tana’ Karurung), maka rumah Tongkonan miliknya diukir namun,
ukirannya tidak berwarna, dan jika tinggi (Tana’ Bulaan), maka pada rumah
Tongkonan miliknya akan ada banyak ukiran dan diberi warna.
BAB III: PENUTUP
III.I KESIMPULAN
Tana Toraja dulu bernama Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo
yang artinya negeri yang bentuk pemerintahan dan kemasyarakatannya
merupakan kesatuan/bulat bagaikan bentuk bulan dan matahari. Asal-usul kata
Toraja, terbagi menjadi 2 versi. Versi pertama, mengatakan bahwa kata Toraja
berasal dari kata “to” yang artinya orang dan kata “raja” yang artinya raja. Jadi,
Toraja artinya orang-orang keturunan raja. Versi lain mengatakan bahwa Toraja
berasal dari dua kata, yaitu “to” yang artinya orang dan “ri aja” (bahasa Bugis) yang
artinya orang-orang gunung. Jadi, Toraja artinya orang-orang yang tinggal di gunung
(dataran tinggi).
Secara garis besar suku Toraja dibagi atas tiga bagian besar, yaitu Toraja
Barat di daerah Kulawi, Kailo dll, kini meliputi Provinsi Sulawesi Tengah dan
Tenggara, Toraja Timur (Poso), dan Toraja Selatan (Toraja Sa’dan), kini meliputi
Makale dan Rantepao, Polewali Mamasa, Satu Noling, Satu Lamasi, dan Rongkong.
Dalam kosmologi Toraja, makrokosmos adalah alam raya yang terdiri dari tiga
pembagian, yakni dunia atas, langi’ atau suangan tempat Puang Matua, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa, dunia tengah yang berada di permukaan bumi sebagai tempat
manusia menjalani kehidupan, dan dunia bawah yang dianggap berada di bawah air
diidentifikasi sebagai bawahan. Selain makrokosmos, secara umum dalam tingkatan
kosmos juga dikenal sebutan dan mesokosmos yang contohnya adalah sebuah
wilayah di suatu daerah tertentu, misalnya sebuah desa dan mikrokosmos yang
contohnya sebuah rumah tempat tinggal.
Rumah dalam masyarakat Toraja terbagi atas dua golongan, yakni Banua
Barung-barung atau rumah pribadi orang Toraja dan Banua Tongkonan atau rumah
adat keluarga Toraja yang memiliki fungsi adat.
Detail rumah Tongkonan mulai dari denah, pondasi, kolom, balok, lantai,
dinding, tangga, pintu, jendela, dan atap sarat akan makna adat dalam
masyarakat Toraja. Begitu pula dengan tata ruang dan pola penempatan
dekorasi/ukiran Toraja pada rumah adat Tongkonan.
III.II SARAN
Sebagai mahasiswa arsitektur kita harus selalu memperkaya diri dengan
pengetahuan mengenai arsitektur nusantara (berasal dari negara kita) agar
keberadaannya tidak sekedar berakhir di buku (menjadi kenangan semata),
melainkan bisa terus dilestarikan.
DAFTAR PUSTAKA
Kumparan Travel. 2018. Mengenal Tongkonan, Rumah Adat Toraja yang Sarat Makna.
(Online). https://kumparan.com/kumparantravel/mengenal-tongkonan-rumah-adat-
toraja-yang-sarat-makna/full. Diakses tanggal 13 Maret 2021.
Bona. 2017. Tongkonan, Rumah Adat Toraja yang Penuh Simbol dan Makna. (Online).
https://travel.detik.com/domestic-destination/d-3407466/tongkonan-rumah-adat-
toraja-yang-penuh-simbol-dan-makna. Diakses tanggal 13 Maret 2021.
Nuranissa, Fadiah. 2014. Struktur Rumah Tradisional Nusantara – TORAJA. (Online).
https://fadiahnurannisa.wordpress.com/2014/01/22/struktur-rumah-tradisional-
nusantaratoraja/. Diakses tanggal 13 Maret 2021.
Pongsitanan, Stella. 2014. 2014 DAN LAMUNAN DI PAGI HARI. (Online).
https://stellatoday.wordpress.com/2014/01/09/2014-dan-lamunan-di-pagi-hari/.
Diakses tanggal 13 Maret 2021.
Eko Darwanto, Muchammad. 2012. Rumah Adat Toraja (Tongkonan). (Online).
http://muchammadekodarwanto.blogspot.com/2012/11/rumah-adat-toraja-
tongkonan.html. Diakses tanggal 13 Maret 2021.