Anda di halaman 1dari 14

Jurnal

Mimesis Vol. I No. 1


P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X

IDENTITAS BUDAYA TORAJA DALAM NOVEL PUYA KE PUYA


KARYA FAISAL ODDANG

Tristanti Apriyani
Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Budaya dan Komunikasi
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
tristanti.apriyani@idlitera.uad.ac.id

DOI:
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Article Info ABSTRACT


The author uses different ways of conveying the meaning of a culture
Article history:
he observes. Some authors deliver it directly and openly, but there
are also those who convey it through the representation of signs or
symbols. Citing the formulation of culture proposed by Collier (1994:
36-44) that culture is a set of systems of symbols, meanings and
norms that were transmitted historically. These three system tools
will form a cultural identity. This paper aims to examine the cultural
identity of Toraja which is depicted in the Puya ke Puya novel by
Faisal Oddang. The richness of ethnographic aesthetics in the Puya
to Puya novels is examined with a literary anthropological approach.
Oddang describes the magical conception of the Toraja people into
three symbols, namely Puyya, Tarra Tree, and Tongkonan.

Keywords: Toraja, Cultural Identity, Literary Anthropology


ABSTRAK
Pengarang menggunakan cara yang berbeda-beda dalam
menyampaikan makna sebuah budaya yang diamatinya. Ada
pengarang yang menyampaikannya secara langsung dan terbuka,
namun ada juga yang menyampaikan melalui representasi tanda
atau simbol. Mengutip rumusan budaya yang dikemukakan Collier
(1994: 36-44) bahwa budaya merupakan seperangkat sistem simbol,
makna dan norma yang ditransmisikan secara historis. Ketiga
perangkat sistem tersebut nantinya akan membentuk sebuah
identitas kebudayaan. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji identitas
budaya Toraja yang tergambar dalam novel Puya ke Puya karya
Faisal Oddang. Kekayaan estetika etnografi dalam novel Puya ke
Puya dikaji dengan pendekatan antropologi sastra. Oddang
menggambarkan konsepsi magis orang Toraja ke dalam tiga simbol,
yaitu Puyya, Pohon Tarra, dan Tongkonan.

Kata Kunci : Toraja, Indentitas Budaya, Antropologi Sastra

11


Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X

I. PENDAHULUAN Faisal Oddang sebagai pengarang


Karya sastra merupakan karya novel Puya ke Puya mengungkapkan
seni yang menjadi bagian dari realitas budaya Tana Toraja dalam karya
kebudayaan. Menurut Ratna (2010) sastranya. Di tahun 2014 novel ini
manusia dalam masyarakat merupakan memenangkan sayembara novel Dewan
objek kajian sastra dan kebudayaan. Kesenian Jakarta sebagai pemenang
Sementara pemilik suatu kebudayaan itu keempat dan di tahun 2015 novel ini
sendiri adalah masyarakat. Permasalahan merupakan novel terbaik versi Tempo.
yang ditampilkan dalam sebuah karya Dengan latar cerita yang sangat kental,
sastra tidak terlepas dari kebudayaan yang novel Puya ke Puya banyak mengulas
melatarbelakanginya. adat istiadat Toraja yang hingga saat ini
Sebagai negara multikultural, masih dilestarikan. Dalam penyajiannya
Indonesia memiliki tingkat pluralitas penulis tak jarang menggunakan bahasa
sosial yang sangat kompleks dan atau istilah asli. Hal ini menunjukan
majemuk. Geertz (1996) menggambarkan bahwa novel ini menyimpan kekayaan
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang kebudayaan yang dapat dikaji secara
memiliki perjalanan sejarah yang sama etnografi.
dan membentuk struktur ideologis, Salah satu tradisi budaya yang
ekonomis dan politis dengan ukuran diceritakan dalam novel ini adalah tradisi
makna dan ukuran yang berbeda-beda. pemakaman dikenal dengan Rambu Solo.
Seluruh keanekaragaman tersebut hidup Upacara Rambu Solo dilakukan pada
dalam sebuah harmoni untuk membangun waktu matahari terbenam (Gundara, 2016
sebuah sistem nilai yang menjadi : 3). Upacara ini dilandasi oleh
kekayaan dalam masyarakat. kepercayaan dan keyakinan kepada
Masyarakat pendukung leluhur atau yang disebut dengan Aluk
kebudayaan mempunyai harapan untuk Todolo. Tujuan utama dari upacara ini
melestarikan budaya dan tradisi masing- adalah agar arwah dari yang meninggal
masing. Demikian pula dengan diterima dan dapat terus ke Puya (Surga).
masyarakat Tana Toraja yang memegang Pelaksanaan upacara Rambu Solo
teguh kebudayaan dan kepercayaan ini tidak terbatas dilakukan oleh para
leluhur, serta tetap berupaya melestarikan pendukung kebudayaan yang tinggal di
tradisi, seperti upacara perkawinan, Toraja saja, namun juga bagi mereka
upacara kelahiran, upacara kematian dan yang tinggal di luar Toraja. Teguhnya
sebagainya. Hal ini tampak dengan masih pendirian untuk terus melestarikan tradisi
digelarnya berbagai upacara adat yang upacara Rambu Solo dan pandangan
dilakukan masyarakat pendukung tokoh utama terhadap pelaksanaan tradisi,
kebudayaan Tana Toraja, seperti yang mitos, mayat, arwah hingga tujuan akhir
diuraikan dalam novel Puya ke Puya. manusia yaitu Puya digambarkan oleh
penulis novel Puya ke Puya secara
12


Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X

terbuka. Dengan demikian novel ini dapat 2011:191). Disadari atau tidak sebuah
memberikan gambaran pengetahuan karya sastra juga erat kaitannya dengan
tentang tradisi Tana Toraja yang syarat latar belakang pengarang. Dalam
akan kandungan nilai budaya adi luhung. menciptakan karya sastra seorang
Dalam upacara Rambu Solo pengarang melakukan proses pengamatan
dikenal konsep Puang Matua sebagai terhadap situasi budaya masyarakat
pencipta manusia dan alam dengan segala sekelilingnya. Seorang pengarang yang
isinya. Agar kehidupan alam semesta memiliki wawasan budaya yang luas akan
menjadi seimbang dan teratur Puang menyertakan pengetahuan budaya yang
Matua menetapkan Aluk Todolo sebagai diketahuinya itu di dalam proses
perangkat norma dan aturan yang Pemali. imajinatif penciptaan karya sastranya.
Pemali inilah yang menjadi pedoman Untuk menyampaikan makna
hidup masyarakat Tana Toraja dipegang sebuah budaya yang diamatinya,
teguh hingga kini. pengarang menggunakan cara yang
Faisal Oddang dalam menciptakan berbeda-beda. Ada pengarang yang
novel Puya ke Puya, seolah-olah menyampaikannya secara langsung dan
menciptakan dunia baru yang mungkin terbuka, namun ada juga yang
saja mirip dengan dunia nyata atau menyampaikan melalui representasi tanda
bahkan mungkin berbeda. Hal ini sejalan atau simbol. Mengutip rumusan budaya
dengan yang diungkapkan Ratna yang dikemukakan Collier (1994: 36-44)
(2012:15) bahwa karya sastra pada bahwa budaya merupakan seperangkat
dasarnya membangun dunia yang sistem simbol, makna dan norma yang
membentuk citra tentang dunia tertentu, ditransmisikan secara historis. Dalam hal
sebagai dunia baru. Kehadiran tokoh ini budaya terdiri dari tiga komponen
utama, Allu yang berasal dari golongan utama yang saling berkaitan, yakni
bangsawan Toraja berusaha untuk simbol dan makna, norma-norma, serta
mendobrak tradisi dan adat-istiadat yang perjalanan sejarah. Ketiga komponen ini
diyakini di Tana Toraja. Meski pada nantinya akan membentuk sebuah
akhirnya Allu pun menyerah dan identitas kebudayaan.
melaksanakan tradisi tersebut. Collier (1994: 43) juga
Sastra dan kebudayaan memiliki merumuskan bahwa identitas budaya
keterkaitan secara dialektik. Kebudayaan tercipta jika suatu kelompok masyarakat
yang merupakan hasil aktifitas manusia menciptakan sebuah sistem sistem simbol
dijadikan bahan utama dalam menulis budaya yang untuk mengemukakan
karya sastra. Dalam hal ini sastra gagasan mereka tentang layak dan
berfungsi melegitimasi berbagai aspek tidaknya sebuah praktik budaya.
kebudayaan hasil interaksi manusia. Selanjutnya sistem simbol tersebut
Tanpa adanya aspek kebudayaan tersebut diturunkan kepada anggota kelompoknya.
karya sastra tidak akan tercipta (Ratna, Sementara menurut Ting-Toomey
13


Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X

(1999:30), identitas budaya merupakan sastra sebagai salah satu pendekatan


perasaan (emotional significance) dari interdisipliner memiliki hubungan dengan
seseorang untuk ikut memiliki (sense of kajian budaya. Antropologi sastra dapat
belonging) atau berafiliasi dengan kultur menampilkan aspek-aspek estetis,
tertentu. Dapat disimpulkan bahwa hubungan model analisis wacana, serta
identitas budaya merupakan karakteristik korelasi antara karya sastra dengan nilai-
khusus yang dimiliki suatu kelompok nilai kebudayaan pada masa tertentu.
dalam hal kebiasaan hidup, adat istiadat, Ratna (2011a: 156) bahkan menyitir
bahasa, nilai dan norma. pernyataan Winner (1988) yang
Pengarang menguraikan gambaran menyebutnya bahwa antropologi sastra
sebuah budaya di dalam karya sastranya sebagai pendekatan etnosemiotik. Ratna
memanfaatkan bahasa sebagai medianya. (2011a:158) pun berpendapat bahwa
Faruk (2011: 49) menjelaskan bahwa antropologi sastra belum sepenuhnya
bahasa memiliki peran sebagai indikator diakui keberadaannya secara metodologis
dalam sebuah realitas sosial dan mampu di dalam memahami karya sastra.
memelihara serta mengkonstruksi realitas Diperlukan adanya pengkajian teori-teori
sosial tersebut. Faruk (2011: 50) pun yang dapat digunakan dalam penelitian
menyitir pernyataan Berger dan Lukman antropologi sastra. Kekayaan estetika
bahwa bahasa dapat memberikan etnografi dalam teks tersebutlah yang
perubahan dari dunia sosial budaya yang membuat peneliti merasa tertarik untuk
objektif menjadi kesadaran subjektif mengkaji karya Faisal Oddang tersebut
masyarakat dalam realitas sosial budaya. dengan pendekatan antropologi sastra.
Demikian pula halnya penggambaran
sebuah identitas budaya pengarang II. METODE PENELITIAN
memanfaatkan Bahasa di dalam karya Novel Puya Ke Puya karya Faisal
sastranya. Odang dikaji dengan menggunakan
Tulisan ini bertujuan untuk metode penelitian deskriptif kualitatif.
mengkaji identitas budaya Toraja yang Data deskriptif berbentuk diksi tertulis
tergambar dalam novel Puya ke Puya mengenai kondisi, fenomen baik individu
karya Faisal Oddang. Kekayaan estetika maupun kelompok yang diamati
etnografi dalam novel Puya ke Puya (Moleong, 2008). Mengacu pada batasan
membuat peneliti merasa tertarik untuk tersebut maka data deskriptif yang
mengkaji karya Faisal Oddang tersebut disajikan dalam penelitian ini berupa
dengan pendekatan antropologi sastra. kumpulan dialog para tokoh yang
Pendekatan yang digunakan dalam menggambarkan peristiwa yang memiliki
mengkaji novel ini dinilai sesuai karena makna atau nilai-nilai kebudayaan.
memiliki kemampuan maksimal untuk Sementara itu sumber data yang
mengungkapkan berbagai permasalahan digunakan berupa kutipan dialog antar
kebudayaan. Pendekatan antropologi tokoh, perilaku tokoh dan pemikiran
14


Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X

pengarang dalam memperlihatkan nilai- III. HASIL DAN


nilai budaya di kehidupan masyarakat. PEMBAHASAN
Teknik pengumpulan data Upacara Pemakaman Rambu Solo
dilakukan dengan teknik studi dokumen Tradisi Rambu Solo adalah
dalam bentuk novel, yaitu dengan cara upacara kematian budaya Toraja yang
mengumpulkan data berupa arsip-arsip merupakan simbol penghormatan terakhir
dokumen, termasuk buku-buku dan kepada orang yang sudah meninggal.
jurnal-jurnal. Teknis analisis data ini Upacara ini digelar dengan sangat meriah
berpedoman pada teknik kajian dan mewah. Orang Toraja meyakini
antropologi sastra yang dipadukan dengan bahwa dengan mengadakan upacara
teknik membaca hermeneutika dengan Rambu Solo, roh orang yang sudah
cara memahami dan menafsirkan teks. meninggal dapat menuju tujuan akhir
Palmer (2003: 15-16) menyatakan bahwa kehidupan yaitu surga (Puya). Pada
terdapat dua fokus kajian dalam upacara ini simbol-simbol yang
hermeneutika, yaitu pemahaman dan digunakan memiliki peran yang sangat
interpretasi terhadap teks. Hal ini penting, salah satunya adalah
sepemahanan dengan Ratna (2011: 352) digunakannya simbol hewan kerbau
yang menyatakan bahwa fokus kajian sebagai syarat utama dalam upacara
hermeneutika adalah kemampuan bahasa kematian Rambu Solo.
sebagai wacana atau teks. Hewan Kerbau dijadikan simbol
Untuk teknik analisis data, penulis kendaraan yang akan membawa roh
menggunakan analisis deskriptif kualitatif tersebut menuju Puya. Dalam budaya
model Miles dan Huberman (2014) Toraja hewan kerbau memang memiliki
dengan cara membaca novel dan nilai yang tinggi dan dianggap sebagai
memahami isi novel Puya ke Puya. simbol kemakmuran. Sairubang, dkk
Kemudian penulis mengkaji nilai-nilai (2011: 122) menjelaskan bahwa hewan
budaya yang ditemukan di dalam novel kerbau melambangkan kesejahteraan
Puya ke Puya dan mendeskripsikan serta sekaligus menandakan tingkat
menganalisis nilai-nilai budaya tersebut. kesejahteraan dan status social
Langkah terakhir adalah menarik pemiliknya. Hewan kerbau yang
kesimpulan sebagai jawaban atas semua digunakan dalam upacara Rambu Solo
permasalahan dalam penelitian. adalah hewan kerbau berjenis Tedong
Sementara itu proses triangulasi data Bonga (kerbau belang). Oleh karena
berupa triangulasi teori, triangulasi dianggap suci, kerbau jenis ini mendapat
sumber data dan triangulasi peneliti, perlakuan khusus sejak kerbau sejak
dilakukan penulis untuk mengecek kecil.
keabsahan data. Pelaksanaan upacara Rambu Solo
bagi masing-masing golongan masyarakat

15


Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X

tentunya berbeda-beda. Misalnya jika merupakan tradisi turun temurun yang


golongan bangsawan atau golongan dilakukan masyarakat Toraja.
Rapasan meninggal dunia maka jumlah
kerbau yang dijadikan untuk “Kematian. Kebanyakan orang Toraja
persembahan dalam upacara Rambu Solo merayakan sekarib masa lalu kepada
jauh lebih banyak dibandingkan dengan kenangan. Orang-orang bersaput kain
masyarakat biasa. Jumlah kerbau dapat hitam berkerumun. Mereka mengantar
berkisar 24 sampai dengan seratus ekor kerabat yang ingin berjalan ke puya,
kerbau. Sementara itu, masyarakat alam tempat menemui Tuhan. Di dalam
golongan menengah (golongan peti kayu yang diarak itu, apakah kau
Tana’bassi), diwajibkan lihat tubuh Rante Ralla yang
mempersembahkan 8 ekor kerbau ringkih?”(Oddang, 2015:3).
ditambah dengan 50 ekor babi, dengan
memakan waktu sekitar 3-7 hari. Apabila Kepercayaan bahwa orang yang
jumlah kerbau belum mencukupi, maka meninggal dapat langsung menuju Puya
jenazah tidak boleh disimpan atau dengan tenang jika dilaksanakan upacara
dikuburkan di tebing atau tempat tinggi. Rambu Solo berlaku bagi semua orang
Oleh sebab itu tidak jarang jenazah Toraja, terutama golongan bangsawan
disimpan selama bertahun-tahun di atas atau orang terpandang. Penundaan
rumah atau di atas Tongkonan (rumah pelaksanaan upacara Rambu Solo akan
adat Toraja) sampai akhirnya keluarga menyebabkan arwah seseorang tetap
almarhum dapat menyiapkan hewan berkeliaran seperti layaknya manusia
kurban (Embon dan Saputra, 2018 : 4). yang masih hidup, tampak pada kutipan
Demikian pula yang diyakini di bawah ini :
masyarakat Kampung Kete’ dalam Novel “dulu kampung ini hanya akan ramai jika
Puya ke Puya. Allu Ralla sebagai seorang ada kematian yang dirayakan. Ketika ada
mahasiswa jurusan sastra di Makasar, mayat “sakit” yang diarak. Iya, sakit.
yang mana mendiang ayahnya yang Kau mengerti juga, bukan? Bagi orang
bernama Rante Ralla adalah seorang Toraja, sebelum Rambu Solo, semua
kepada adat di Kampung Kete’, harus mayat masih sakit. Selayaknya mereka
mengadakan upacara Rambu Solo dengan yang sakit, kerabat tetap mengajaknya
mempersembahkan kerbau dan babi berbicara. Memberi mereka makan,
dalam jumlah yang banyak. Bagi orang rokok, serta sirih. Kini di sekitar rumah
Toraja kematian merupakan proses Rante Ralla, kampung kete’ kau akan
perjalanan menuju Puya. Mayat diusung temukan keramaian hampir setiap hari.
ke dalam peti dan diarak menuju tebing (Oddang, 2015: 13).
tempat peristirahatan terakhir orang
Toraja. Tradisi Rambu Solo ini Upacara Rambu Solo diawali
dengan prosesi ma’pasulluk yaitu
16


Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X

pertemuan keluarga yang tujuannya remuk harga diri mereka.” (Oddang,


menyepakati kesanggupannya untuk 2015:33)
menyediakan hewan kurban berupa Dalam novel Puya ke Puya
kerbau (Embon dan Saputra, 2018: 7). dipaparkan ritual ma’popengkalao yaitu
penurunan mayat ke lumbung untuk
“Aku takjub bukan main ketika kubuka disemayamkan. Lumbung tersebut
daun pintu dan kudapati puluhan kerbau memang khusus digunakan untuk tempat
dan ratusan babi di depanku. Aku tahu menyimpan mayar. Lumbung terletak di
kerbau dan babi itu adalah kerbau yang bagian depan tongkongan induk. Oddang
pernah dipersembahkan saat aku menggambarkannya seperti kutipan di
dirambu Solo”. (Oddang, 2015 : 183) bawah ini :
Hal ini memicu adanya konflik “hari ini mayatku akan
dalam diri Allu Ralla yang tinggal jauh diturunkan ke lumbung di bagian depan
dari Tana Toraja. Ia menolak untuk Tongkonan induk. Yang memang kerap
melaksanakan uparaca Rambu Solo yang digunakan menyimpan jenazah menjelang
menghabiskan biaya yang sangat besar. keberangkatan ke puya. Orang-orang
Sementara kerabatnya memaksa Allu menyebut acara ini sebagai
Ralla untuk segera mempersiapkan dan ma’popengkaloa. Jenazahku
melaksanakan upacara Rambu Solo disemayamkan tiga hari tiga malam di
karena tidak ingin menanggung malu dalam lumbung sebelum diadakan
yang berkepanjangan. Akan tetapi Allu upacara ma’pasonglo dan menaikkan
Ralla cenderung menyarankan agar jenazahku ke keranda jenazah yang telah
mendiang ayahnya yang telah meninggal dihiasi macam-macam ukiran dan
17 tahun lalu dimakamkan di Makasar berbentuk miniatur Tongkonan-saringan
saja. namanya” (Oddang, 2015: 137).
“saya ingin menguburkan Ambe di Sebagai orang Toraja yang telah
Makkasar,” kata saya kepada kerabat mengenyam pendidikan dan tinggal di
yang membentuk lingkaran kecil di luar wilayah budaya Toraja, memahami
tengah Tongkonan yang mulai lengang” tradisi Toraja terutama Rambu Solo,
(Oddang, 2015: 10) sebagai sebuah tradisi yang tidak relevan
“ibu pohon mengatakan, apalagi sebagai dengan perkembangan zaman saat ini.
penuluan tertua, pimpinan Tongkonan di Allu Ralla tidak merasa perlu untuk
Kete-Ambe harus bikin mewah acaranya” mempertahankan tradisi tersebut, seperti
(Oddang, 2015:12). yang termuat pada kutipan berikut :
“Kau paham. Jika tak ada Rambu Solo,
wajah kerabat akan tercoreng. Gengsi “Kebudayaan adalah produk manusia,
keluarga Ralla akan jatuh mirip buah manusia dan kebudayaan itu dinamis
ranum yang menimpa bebatuan. Akan sesuai ruang dan waktu, dan relevansi
17


Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X

dengan zaman sangat penting sebagai Kematian hanyalah merupakan


acuan untuk mempertahankan sebuah perubahan bentuk, alam dan wujud.
tradisi yang merupakan bagian dari Kehidupan merupakan jembatan emas
untuk sampai ke alam gaib, dimana
kebudayaan. Acuan untuk tetap
arwah tetap dapat mengadakan hubungan
melakukannya atau tidak, dan saya pikir dengan kehidupan manusia di alam
zaman sudah tidak relevan dengan yang nyata.
kalian pertahankan” (Oddang, 2015:20). Sementara itu, semua yang
dilakukan di alam fana merupakan
Konsep Alam Gaib Orang Toraja refleksi kehidupan di puya. Konsepsi ini
Magis merupakan keadaan disimbolkan dengan beberapa bentuk
alam/lingkungan kehidupan yang pengorbanan di setiap tahapan upacara
keberadaannya bersifat irrasional, yang kematian, misalnya berupa penyediaan
memiliki tidak terlihat, tersembunyi atau bekal kubur. Kesempurnaan tahapan
dalam upacara kematian seseorang dan
bahkan tidak nyata. Kepercayaan yang
status sosialnya ketika hidup, akan
dianut orang Toraja disebut dengan Aluk menentukan dimana posisi arwahnya itu
Todolo. Menurut Aluk Todolo, kematian berada. Seperti tertera pada kutipan di
adalah suatu proses hidup manusia di bawah ini :
dunia dan merupakan bayangan hidup
kemudian. Artinya segala yang dilakukan Di puya, leluhur sedang bingung.
di dunia nyata maka akan dialami di alam Bagaimana cara mengatasi masalah
yang timbul di bumi? Atau paling tidak
gaib. mengatasi masalah di kampung Kete’.
Novel Puya ke Puya Itu yang paling utama. Leluhur harus
menggambarkan Aluk Todolo sebagai bertanggung jawab atas anak cucu
kepercayaan orang Toraja. Aluk Todolo mereka. (Oddang, 2015: 208)
mengasumsikan sebuah dunia dipenuhi
dengan karakter-karakter magis yang Puya merupakan tempat peristirahatan
memiliki perasaan seperti halnya yang yang abadi. Tempat ini merupakan tempat
dialami oleh manusia biasa. Mereka berkumpulnya arwah para leluhur. Wujud
meyakini bahwa dunia dijaga oleh para arwah manusia ditentukan oleh
leluhur yang memiliki kekuatan gaib. kesempurnaan ritual pada upacara Rambu
Oddang menggambarkan konsepsi magis Solo. Belum pastinya nasib wujud arwah
orang Toraja ke dalam tiga simbol, yaitu ini tergambar pada kutipan berikut :
pohon Puyya, Pohon Tarra dan
Tongkonan. “Soal rohku yang kini masih tergatung
antara langit dan bumi, menjadi bambo
a. Puya karena belum diupacarakan, biarlah
Menurut kepercayaan Aluk menjai tanggunganku sendiri, biarlah
Todolo, kehidupan dan kematian kuderitakan sendiri” (Oddang, 2015:32).
merupakan keberlanjutan kehidupan dari
alam fana ke alam arwah atau yang Bambo yang dimaksud pada
disebut dengan Puya. Kehidupan dan kutipan di atas adalah arwah yang
kematian tidak memiliki batas yang jelas.
18


Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X

gentayangan karena keluarga yang puya- menuju surga. Begitu kata ibu yang
ditinggalkan belum melaksanakan baru. Ibu pohon, katanya lagi, aku
upacara Rambu Solo. Dalam hal ini nasib tinggal menunggu tubuhku dihancurkan
arwah menjadi belum jelas
batang pohon, menyatu bersama
keberadaannya. Kutipan tersebut juga
membuktikan bahwa keberadaan Aluk getahnya yang kami susui, menyatu
(Tuhan) sangat diyakini dan dijunjung dengan rantin, menjadi daun, lalu kering,
tinggi oleh orang Toraja. lalu jatuh kembali ke tanah, kembali ke
asal dan kembali kesurga” (Oddang
b. Pohon Tarra 2015: 11).
Keberadaan Pohon Tarra sudah
ada sejak ratusan tahun lalu, sama usianya
Oddang menggambarkan bahwa
dengan adat Passiliran sudah dilakukan
mayat bayi yang belum cukup umur (usia
oleh nenek moyang orang Toraja yang
dibawah 6 bulan) di kuburkan ke dalam
menganut kepercayaan Aluk Todolo.
pohon Tarra yang dianggap sebagai
Pohon Tarra hanya dapat tumbuh dan
pengganti ibu mereka. Maria sang bayi itu
ditemukan di bisa ditemukan di Desa
akan hidup di pasiliran selama kurang
Kambira, Tana Toraja, Sulawesi Selatan
lebih 17 tahun sebelum mereka pergi ke
(KSPN Toraja, 2016). Pohon ini dapat
Puya. Selama itu pula Maria akan
tumbuh dengan ukuran yang sangat besar
menunggu ayahnya untuk pergi ke Puya
mencapai diameter sekitar 80 hingga 100
bersama-sama. Memang pohon Tarra
cm. Oddang menggambarkannya seperti
merupakan salah satu pohon yang
kutipan di bawah ini :
memiliki banyak getah berwarna putih.
Getah berwarna putih ini dipercaya dapat
“Tujuh belas tahun yang lalu, keluarga
menjadi pengganti ASI (Air Susu Ibu).
Ralla juga berduka. Mereka kehilangan Pohon ini merupakan tempat
Maria Ralla, balita lima bulan yang peristirahatan terakhir untuk bayi-bayi
meninggal tiba-tiba. Maria semalaman yang meninggal dunia.
menangis tidak berhenti. Penyebabnya
jelasnya tidak ada yang tahu. Ambenya, “Maria anakku, kau di dalam rahim ibu
Rante Ralla, mengatakan bahwa anak yang lain sekarang. Baik-baik di sana.
Sebab di sini, kerabatmu tak hentinya
mereka menderita sakit paru. Ya, sakit
mengirimkan doa buatmu, Nak, O iya,
perut yang tidak biasa. Sejak saat itu Maria bagaimana dengan ibu barumu?
tubuh Maria Ralla dikubur di pohon Dia pasti pohon perawat sekaligus
tarra. Pohon bersar bergetah sewarna air sebagai ibu yangh baik bagi anak-anak
susu. Dipercayai sebagai pengganti ibu. yang lain. Di dalam peti mati ini tubuhku
Orang Toraja menyebutnya makam tak henti-hentinya mengharapkan segera
passiliran” ( Oddang, 2015:11). bertemu denganmu. Bagaimana rupamu
sekarang? Pasti kamu cantik. Apakah
“Sudah lama aku mau pulang ke rumah mewarisi bola mata indomu? Yang
tempat orang tuaku. Sejak tujuh belas cerlang itu? Semoga saja Maria”.
tahun yang llau, aku dirawat oleh ibu (Oddang, 2015 : 129).
yang baru, sebelum akhirnya menuju
19


Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X

Mayat bayi yang dapat disimpan sejak mereka masih bayi. Pohon Tarra
atau dimakamkan di pohon Tarra ini diasumsikan ibu mereka yang menjaga
adalah mayat bayi yang usianya belum dan memberi makan mereka selama di
berusia 6 bulan dan belum tumbuh gigi. makam passiliran.
Mayat bayi disimpan dan dimasukkan ke
dalam pohon Tarra yang dilubangi sesuai c. Tongkonan
dengan ukuran badan sang bayi. seperti Tongkonan merupakan rumah adat
kutipan yang tertera di bawah ini : Toraja yang penuh makna. Latar belakang
Maria Ralla yang paling disukai. Iya,
arsitektur rumah tradisional Toraja
disukai. Oleh mayat lelaki tentunya. Ada
banak mayat di pohon itu. Laki- laki didasari falsafah budaya Toraja. Bentuk
perempuan bercampur. Banyak mayat- Tongkonan setiap daerah memiliki ciri
mayat lelaki. Secara jasad masih bayi. khas masing-masing. Namun demikian,
Giginya tak tumbuh. Tapi arwahnya telah secara kasat mata bentuknya hampir
remaja. Bahkan dewasa. Hanya saja, sama. Perbedaan ciri khas tersebut
dewasa dalam pohon, beda dengan memberikan kekayaan rupa dan bentuk
dewasa di dunia. Alam yang berbeda.
Tongkonan (Sultan, dkk, 2014: 41).
(Oddang, 2015: 43)
Tongkonan berasal dari kata
Meski dalam satu pohon ditempati “tongkon” yang artinnya duduk.
banyak mayat bayi, namun pohon ini Bangunan Tongkonan selalu dibangun
tidak pernah mengeluarkan bau busuk. menghadap ke utara (ulunna lino). Hal ini
Hal ini didasari keyakinan bahwa pohon merupakan simbol penghormatan pada
Tarra adalah wujud yang menghidupi. Puang Matua. Bagian selatan Tongkonan
Mayat bayi yang dimasukkan ke dalam
pohon Tarra dengan sendirinya akan (pollo’na lino) menghadap ke arah pollo’
menyatu berkat adanya getah pohon Tarra banua atau puya. Bagian ini merupakan
yang berwarna putih. Pada kenyataannya representasi hubungan antara para leluhur
setelah 20 tahun, pohon Tara akan dan kehidupan setelah kematian. Bagian
kembali dalam keadaan bersih dan dapat timur (matallo) merupakan simbol
ditempati mayat bayi lainnya. hubungan dengan para dewa, sedangkan
bagian barat (matampu’) merupakan
Pagi ini aku minum susu lebih banyak
dari getah tubuh Ibu Pohon. Aku juga simbol hubungan para leluhur yang
sempat mengambil sebagian dari susu dihormati (Indratno, dkk, 2016: 78).
milik Bumi Tandiongan. Kata Ibu Pohon, Tongkonan merupakan sebuah
Bumu setahun lebih muda dariku. Ia baru hunian yang memiliki fungsi, tugas, dan
enam belas tahun di makam passiliran kewajiban. Tongkonan pun dapat
ini. (Oddang, 2015: 13) diartikan sebagai suatu sistem
kekerabatan yang didasarkan pada prinsip
Mengacu pada kutipan pohon besar yang
dinamakan Pohon Tarra atau makam sang rara sang buku (sedarah dan
passiliran merupakan kehidupan lain. setulang). Dengan kata lain Tongkonan
Seperti yang di rasakan Maria dan Bumi merupakan simbol keberadaan keluarga

20


Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X

dan sebagai simbol pusat berkumpulnya


kekerabatan atau rumpun keluarga. Ada beberapa larangan berkenaan
Seperti kutipan dibawah ini : fungsi Tongkonan sebagai tempat upacara
adat dan upacara keagamaan. Jika dalam
satu waktu sebuah keluarga harus
“Semua kerabat yang memiliki pertalian
melaksanakan upacara Rambu Solo dan
dengan keluarga Ralla akan dating ke
upacara pernikahan, maka yang harus
Tongkonan, mereka tentu akan
digelar terlebih dahulu di Tongkongan
menyumbangkan pemikiran tentang
adalah upacara Rambu Solo. Seperti yang
bagaimana seharusnya kami
tertera pada kutipan berikut :
memperlakukan mayat Ambe.” (Oddang,
2015 :16).
“soal pernikahan, Allu. Soal pernikahan
dan soal pemakaman, sungguh kau
Tongkonan merupakan tempat
seharusnya sudah mengerti. Di dalam
bermusyawarah untuk mentukan segala
sebuah tongkongan, tidak baik digelar
hal yang harus diputuskan oleh keluarga.
rambu tuka-upacara kenangan macam
Jika mufakat belum tercapai maka seluruh
pernikahan sebelum digelarkan Rambu
anggota keluarga akan menjadwalkan
Solo sebagai upacara kesedihan.”
kembali rapat di Tongkonan yang sama
(Oddang, 2015 :99)
hingga tercapainya kesepakatan.
(Hidayah, 2018: 6). Selain sebagai tempat
Seperti telah dikemukakan di atas,
tinggal dan rumah adat, Tongkonan
bentuk bangunan Tongkonan berusaha
berfungsi sebagai tempat
mengkomunikasikan segala bentuk
penyelenggaraan upacara adat dan
falsafah hidup budaya Toraja berdasarkan
upacara keagamaan (Sarungallo dalam
pandangan Aluk Todolo. Salah satunya
Said, 2004: XV). Di depan Tongkonan
adalah pengharapan agar orang Toraja
induk terdapat lumbung yang berfungsi
dapat menyesuaikan diri dengan keadaan
sebagai tempat penyimpanan mayat pada
atau situasi apa pun yang ada dalam
upacara Rambu Solo. Seperti tertera
kehidupan.
dalam kutipan di bawah ini :
Aku yakin Tina tidak mendengarnya.
“Hari ini mayatku akan diturunkan ke
Kini, ia tengah bersimpih di dekat
lumbung di bagian depan Tongkonan
mayatku. Rapat yan membahas
induk. Yang memang kerap digunakan
pemakamanku baru saja bubar. Kulihat
menyimpan jenazah menjelang
lelehan air di pipinya. Lukanya dalam,
keberangkatan ke puya. Orang-orang
namun ia sekuat pasak-pasak Tongkonan.
menyebut acara ini sebagai
Perlahan bibirnya bergetar, bergumam,
ma’popengkaloa. Jenazahku
bergumam, kemudian bersuara (Oddang,
disemayamkan tiga hari tga malan di
2015: 25)
dalam lumbung sebelum diadakan
upacara ma’pasonglo dan menaikkan
jenazahku ke keranda jezanah yang telah Kutipan di atas menunjukkan
dihiasi macam-macam ukiran dan bahwa Tongkonan merupakan sebuah
berbentuk miniatur Tongkonan-saringan bangunan yang kokoh dengan pasak-
namanya”(Oddang, 2015 : 137). pasak yang menyangganya. Sebagai

21


Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X

rumah panggung, Tongkonan seakan budaya orang Toraja ke dalam tiga


memiliki kaki-kaki, yang ketinggiannya simbol, yaitu Puya, Pohon Tara, dan
hampir dua meter dari tanah. Jadi untuk Tongkonan. Puya merupakan tempat
masuk ke rumah, harus menggunakan
peristirahatan yang abadi, merupakan
tangga (Sultan, dkk, 2014: 43). Orang
Toraja diharapkan dapat memiliki tempat berkumpulnya arwah para
pendirian sekokoh Tongkonan. Meski leluhur. Kematian menurut kepercayaan
dalam kondisi terpuruk sekalipun, orang Aluk Todolo adalah hanyalah sebuah
Toraja harus mampu bertahan dari proses perubahan status dari manusia di
keterpurukannya. dunia menjadi roh manusia di alam gaib.
Kehidupan di dunia merupakan jembatan
emas menuju alam gaib, di mana arwah
tetap dapat mengadakan hubungan
IV. KESIMPULAN
dengan kehidupan manusia di alam
Berdasarkan pemaparan kajian di
nyata. Tongkonan merupakan simbol
atas, identitas budaya toraja yang
kesatuan relasi antara manusia dan
digambarkan Faisal Oddang dalam novel
leluhurnya. Tongkonan diibaratkan
Puya ke Puya nampak pada uraian
sebagai pusat kehidupan sosial dan
tentang ritual keagamaan orang Toraja,
spiritual Suku Toraja, dimana seluruh
yakni upacara Rambu Solo dan konsep
anggota keluarga diharuskan untuk ikut
alam gaib Toraja. Ritual keagamaan
serta dalam setiap bentuk ritual.
Rambu Solo diasumsikan sebagai “pintu
gerbang” bagi jenazah untuk memasuki
alam yang baru. Selain itu bagi
DAFTAR PUSTAKA
masyarakat Toraja, Rambu Solo
Collier, Mary Jane, 1994, “Cultural
merupakan salah satu bentuk bakti
Identity and Intercultural
seorang anak kepada orang tua dan
Communication”, dalam
pengikat tali silaturahmi dalam keluarga
Samovar, Larry A. dan Porter,
besar.
Ricard E. (eds), Intercultural
Aluk Todolo sebagai kepercayaan
Communication: A Reader,
orang Toraja dalam novel Puya ke Puta
Berlmont: Wadsworth, h. 36-44.
diasumsikan sebagai sebuah dunia yang
Embon, Debyani dan Saputra, I Gusti
dipenuhi dengan karakter-karakter
Ketut Alit. 2018. “Sistem simbol
magis. Karakter magis tersebut memiliki
dalam upacara adat Toraja rambu
perasaan seperti halnya yang dialami
solo: kajian semiotik” dalam
oleh manusia biasa. Mereka meyakini
Jurnal Bahasa dan Sastra
bahwa dunia dijaga oleh para leluhur
Volume 3 No 7 (2018).
yang memiliki kekuatan gaib. Oddang
Faruk. 2012. Metode Penelitian sastra,
menggambarkan konsepsi magis orang
sebuah penjelajahan awal.
Toraja yang dijadikan sebagai identitas
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
22


Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X

Guntara, Fuad. 2016. “Kajian Sosial Nasir, M. 1992. Metodologi Penelitian.


Budaya Rambu Solo dalam Jakarta: Usaha Nasional.
Pembentukan Karakter Peserta Oddang, Faisal. 2015. Puya ke Puya.
Didik”, Jurnal Pendidikan Vol 1, Jakarta: KPG (Kepustakaan
No 2, Populer Gramedia).
Hidayah, Nurul Mei. 2018. “Tradisi Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika,
Pemakaman Rambu Solo Di Teori Baru Mengenai
Tana Toraja Dalam Novel Puya Interpretasi, terj. Musnur Hery.
Ke Puya Karya Faisal Oddang Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
(Kajian Interpretatif Simbolik Ratna, I Nyoman Kutha. 2011.
Clifford Geertz)”, Jurnal “antropologi sastra: perkenalan
Interpretatif Simbolok Clifford awal (anthropology Literature:
Geertz, Vol 01, No 01 Tahun an Early Introduction)” dalam
2018. Metasastra, Vol. 4 No. 2,
Indratno, Imam, dkk. 2016. “Silau’na Desember 2011.
Tongkonan sebagai sebuag realitas Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi
Tondok”, dalam Jurnal Ethos (Jurnal Sastra Peranan Unsur-unsur
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) Kebudayaan dalam Prosa
Vol 4, No.1, Januari 2016. Kreatif. Yogyakarta: Pustaka
KSPN Toraja. 2016. Rencana Belajar.
pembangunan infrastruktur Sariubang, Matheus, Qomariyah, R, dan
terpadu kawasan strategis Kristanto, L. 2010. “Peranan
pariwisata pegunungan dan ternak kerbau dalam masyarakat
budaya. Jakarta : Pusat adat Toraja di Sulawesi Selatan
Pengembangan Kawasan (The Role of Buffalo in Culture
Strategis Badan Pengembangan Toraja Ethnic in South
Infrastuktur Wilayah Kementrian Sulawesi)” dalam Prosiding
Pekerjaan Umum dan Seminar Nasional Teknologi
Perumahan Rakyat. Peternakan dan Veteriner 2010.
Miles, M.B, Huberman, A.M, dan Sultan, St. Hadidjah dan Mayasari,
Saldana, J. 2014. Qualitative Karina. 2014. “Teknologi dan
data analysis, a methods konstruksi rumah tradisional
sourcebook, edition 3. USA: toraja (Tongkonan) technology
Sage Publications. Terjemahan and construction of Toraja
Tjetjep Rohindi Rohidi, UI- traditional house (Tongkonan)”,
Press. dalam Jurnal Masalah
Moleong, Lexy. 2008. Metodologi Bangunan, Vol. 49 No. 1 Juli
Penelitian Kualitatif. Bandung: 2014.
Remaja Rosdakarya.
23


Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X

Ting-Toomey, Stella. (1999). puya karya Faisal Oddang”


Communication Across Culture. dalam Prosiding Senasbasa,
New York: The Guilford Edisi 2 Tahun 2018.
Publications, Inc.
Wahyuni, Irni. 2018. “Nilai budaya yang
terkandung dalam novel puya ke

24

Anda mungkin juga menyukai