11
Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X
Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X
terbuka. Dengan demikian novel ini dapat 2011:191). Disadari atau tidak sebuah
memberikan gambaran pengetahuan karya sastra juga erat kaitannya dengan
tentang tradisi Tana Toraja yang syarat latar belakang pengarang. Dalam
akan kandungan nilai budaya adi luhung. menciptakan karya sastra seorang
Dalam upacara Rambu Solo pengarang melakukan proses pengamatan
dikenal konsep Puang Matua sebagai terhadap situasi budaya masyarakat
pencipta manusia dan alam dengan segala sekelilingnya. Seorang pengarang yang
isinya. Agar kehidupan alam semesta memiliki wawasan budaya yang luas akan
menjadi seimbang dan teratur Puang menyertakan pengetahuan budaya yang
Matua menetapkan Aluk Todolo sebagai diketahuinya itu di dalam proses
perangkat norma dan aturan yang Pemali. imajinatif penciptaan karya sastranya.
Pemali inilah yang menjadi pedoman Untuk menyampaikan makna
hidup masyarakat Tana Toraja dipegang sebuah budaya yang diamatinya,
teguh hingga kini. pengarang menggunakan cara yang
Faisal Oddang dalam menciptakan berbeda-beda. Ada pengarang yang
novel Puya ke Puya, seolah-olah menyampaikannya secara langsung dan
menciptakan dunia baru yang mungkin terbuka, namun ada juga yang
saja mirip dengan dunia nyata atau menyampaikan melalui representasi tanda
bahkan mungkin berbeda. Hal ini sejalan atau simbol. Mengutip rumusan budaya
dengan yang diungkapkan Ratna yang dikemukakan Collier (1994: 36-44)
(2012:15) bahwa karya sastra pada bahwa budaya merupakan seperangkat
dasarnya membangun dunia yang sistem simbol, makna dan norma yang
membentuk citra tentang dunia tertentu, ditransmisikan secara historis. Dalam hal
sebagai dunia baru. Kehadiran tokoh ini budaya terdiri dari tiga komponen
utama, Allu yang berasal dari golongan utama yang saling berkaitan, yakni
bangsawan Toraja berusaha untuk simbol dan makna, norma-norma, serta
mendobrak tradisi dan adat-istiadat yang perjalanan sejarah. Ketiga komponen ini
diyakini di Tana Toraja. Meski pada nantinya akan membentuk sebuah
akhirnya Allu pun menyerah dan identitas kebudayaan.
melaksanakan tradisi tersebut. Collier (1994: 43) juga
Sastra dan kebudayaan memiliki merumuskan bahwa identitas budaya
keterkaitan secara dialektik. Kebudayaan tercipta jika suatu kelompok masyarakat
yang merupakan hasil aktifitas manusia menciptakan sebuah sistem sistem simbol
dijadikan bahan utama dalam menulis budaya yang untuk mengemukakan
karya sastra. Dalam hal ini sastra gagasan mereka tentang layak dan
berfungsi melegitimasi berbagai aspek tidaknya sebuah praktik budaya.
kebudayaan hasil interaksi manusia. Selanjutnya sistem simbol tersebut
Tanpa adanya aspek kebudayaan tersebut diturunkan kepada anggota kelompoknya.
karya sastra tidak akan tercipta (Ratna, Sementara menurut Ting-Toomey
13
Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X
Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X
15
Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X
Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X
Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X
Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X
gentayangan karena keluarga yang puya- menuju surga. Begitu kata ibu yang
ditinggalkan belum melaksanakan baru. Ibu pohon, katanya lagi, aku
upacara Rambu Solo. Dalam hal ini nasib tinggal menunggu tubuhku dihancurkan
arwah menjadi belum jelas
batang pohon, menyatu bersama
keberadaannya. Kutipan tersebut juga
membuktikan bahwa keberadaan Aluk getahnya yang kami susui, menyatu
(Tuhan) sangat diyakini dan dijunjung dengan rantin, menjadi daun, lalu kering,
tinggi oleh orang Toraja. lalu jatuh kembali ke tanah, kembali ke
asal dan kembali kesurga” (Oddang
b. Pohon Tarra 2015: 11).
Keberadaan Pohon Tarra sudah
ada sejak ratusan tahun lalu, sama usianya
Oddang menggambarkan bahwa
dengan adat Passiliran sudah dilakukan
mayat bayi yang belum cukup umur (usia
oleh nenek moyang orang Toraja yang
dibawah 6 bulan) di kuburkan ke dalam
menganut kepercayaan Aluk Todolo.
pohon Tarra yang dianggap sebagai
Pohon Tarra hanya dapat tumbuh dan
pengganti ibu mereka. Maria sang bayi itu
ditemukan di bisa ditemukan di Desa
akan hidup di pasiliran selama kurang
Kambira, Tana Toraja, Sulawesi Selatan
lebih 17 tahun sebelum mereka pergi ke
(KSPN Toraja, 2016). Pohon ini dapat
Puya. Selama itu pula Maria akan
tumbuh dengan ukuran yang sangat besar
menunggu ayahnya untuk pergi ke Puya
mencapai diameter sekitar 80 hingga 100
bersama-sama. Memang pohon Tarra
cm. Oddang menggambarkannya seperti
merupakan salah satu pohon yang
kutipan di bawah ini :
memiliki banyak getah berwarna putih.
Getah berwarna putih ini dipercaya dapat
“Tujuh belas tahun yang lalu, keluarga
menjadi pengganti ASI (Air Susu Ibu).
Ralla juga berduka. Mereka kehilangan Pohon ini merupakan tempat
Maria Ralla, balita lima bulan yang peristirahatan terakhir untuk bayi-bayi
meninggal tiba-tiba. Maria semalaman yang meninggal dunia.
menangis tidak berhenti. Penyebabnya
jelasnya tidak ada yang tahu. Ambenya, “Maria anakku, kau di dalam rahim ibu
Rante Ralla, mengatakan bahwa anak yang lain sekarang. Baik-baik di sana.
Sebab di sini, kerabatmu tak hentinya
mereka menderita sakit paru. Ya, sakit
mengirimkan doa buatmu, Nak, O iya,
perut yang tidak biasa. Sejak saat itu Maria bagaimana dengan ibu barumu?
tubuh Maria Ralla dikubur di pohon Dia pasti pohon perawat sekaligus
tarra. Pohon bersar bergetah sewarna air sebagai ibu yangh baik bagi anak-anak
susu. Dipercayai sebagai pengganti ibu. yang lain. Di dalam peti mati ini tubuhku
Orang Toraja menyebutnya makam tak henti-hentinya mengharapkan segera
passiliran” ( Oddang, 2015:11). bertemu denganmu. Bagaimana rupamu
sekarang? Pasti kamu cantik. Apakah
“Sudah lama aku mau pulang ke rumah mewarisi bola mata indomu? Yang
tempat orang tuaku. Sejak tujuh belas cerlang itu? Semoga saja Maria”.
tahun yang llau, aku dirawat oleh ibu (Oddang, 2015 : 129).
yang baru, sebelum akhirnya menuju
19
Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X
Mayat bayi yang dapat disimpan sejak mereka masih bayi. Pohon Tarra
atau dimakamkan di pohon Tarra ini diasumsikan ibu mereka yang menjaga
adalah mayat bayi yang usianya belum dan memberi makan mereka selama di
berusia 6 bulan dan belum tumbuh gigi. makam passiliran.
Mayat bayi disimpan dan dimasukkan ke
dalam pohon Tarra yang dilubangi sesuai c. Tongkonan
dengan ukuran badan sang bayi. seperti Tongkonan merupakan rumah adat
kutipan yang tertera di bawah ini : Toraja yang penuh makna. Latar belakang
Maria Ralla yang paling disukai. Iya,
arsitektur rumah tradisional Toraja
disukai. Oleh mayat lelaki tentunya. Ada
banak mayat di pohon itu. Laki- laki didasari falsafah budaya Toraja. Bentuk
perempuan bercampur. Banyak mayat- Tongkonan setiap daerah memiliki ciri
mayat lelaki. Secara jasad masih bayi. khas masing-masing. Namun demikian,
Giginya tak tumbuh. Tapi arwahnya telah secara kasat mata bentuknya hampir
remaja. Bahkan dewasa. Hanya saja, sama. Perbedaan ciri khas tersebut
dewasa dalam pohon, beda dengan memberikan kekayaan rupa dan bentuk
dewasa di dunia. Alam yang berbeda.
Tongkonan (Sultan, dkk, 2014: 41).
(Oddang, 2015: 43)
Tongkonan berasal dari kata
Meski dalam satu pohon ditempati “tongkon” yang artinnya duduk.
banyak mayat bayi, namun pohon ini Bangunan Tongkonan selalu dibangun
tidak pernah mengeluarkan bau busuk. menghadap ke utara (ulunna lino). Hal ini
Hal ini didasari keyakinan bahwa pohon merupakan simbol penghormatan pada
Tarra adalah wujud yang menghidupi. Puang Matua. Bagian selatan Tongkonan
Mayat bayi yang dimasukkan ke dalam
pohon Tarra dengan sendirinya akan (pollo’na lino) menghadap ke arah pollo’
menyatu berkat adanya getah pohon Tarra banua atau puya. Bagian ini merupakan
yang berwarna putih. Pada kenyataannya representasi hubungan antara para leluhur
setelah 20 tahun, pohon Tara akan dan kehidupan setelah kematian. Bagian
kembali dalam keadaan bersih dan dapat timur (matallo) merupakan simbol
ditempati mayat bayi lainnya. hubungan dengan para dewa, sedangkan
bagian barat (matampu’) merupakan
Pagi ini aku minum susu lebih banyak
dari getah tubuh Ibu Pohon. Aku juga simbol hubungan para leluhur yang
sempat mengambil sebagian dari susu dihormati (Indratno, dkk, 2016: 78).
milik Bumi Tandiongan. Kata Ibu Pohon, Tongkonan merupakan sebuah
Bumu setahun lebih muda dariku. Ia baru hunian yang memiliki fungsi, tugas, dan
enam belas tahun di makam passiliran kewajiban. Tongkonan pun dapat
ini. (Oddang, 2015: 13) diartikan sebagai suatu sistem
kekerabatan yang didasarkan pada prinsip
Mengacu pada kutipan pohon besar yang
dinamakan Pohon Tarra atau makam sang rara sang buku (sedarah dan
passiliran merupakan kehidupan lain. setulang). Dengan kata lain Tongkonan
Seperti yang di rasakan Maria dan Bumi merupakan simbol keberadaan keluarga
20
Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X
21
Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X
Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X
Jurnal Mimesis Vol. I No. 1
P-ISSN : 2715-744X
E-ISSN : 2721-916X
24